BAB 1 PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Arah kebijaksanaan pembangunan bidang kesehatan, diantaranya menyebutkan bahwa pembangunan kesehatan diarahkan untuk mempertinggi derajat kesehatan termasuk di dalamnya keadaan gizi masyarakat dalam rangka meningkatkan kualitas hidup serta kecerdasan dan kesejahteraan rakyat pada umumnya (Suhardjo, 2003). Pemerintah telah menyusun Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN, 2005-2009) di bidang kesehatan yang mencakup programprogram prioritas sebagai berikut: program promosi kesehatan dan pemberdayaan masyarakat, program lingkungan sehat, program pencegahan dan pemberantasan penyakit dan program perbaikan gizi masyarakat. Salah satu sasarannya adalah menurunnya frekuensi gizi kurang menjadi 20% pada tahun 2009 dan penurunan gizi buruk menjadi 5% (Depkes RI, 2005). Masalah gizi di Indonesia yang terbanyak meliputi gizi kurang atau yang mencakup susunan hidangan yang tidak seimbang maupun konsumsi keseluruhan yang tidak mencukupi kebutuhan badan. Anak balita merupakan kelompok umur yang paling sering menderita kekurangan gizi. Di negara berkembang anak-anak umur 0 - 5 tahun merupakan golongan yang paling rawan terhadap gizi, khususnya pada periode umur 1 - 3 tahun (Suhardjo, 2003).
Universitas Sumatera Utara
Pada masa balita, anak sedang mengalami proses pertumbuhan yang sangat pesat sehingga memerlukan zat-zat makanan yang relatif lebih banyak dengan kualitas yang lebih tinggi. Hasil pertumbuhan menjadi dewasa, sangat tergantung dari kondisi gizi dan kesehatan sewaktu masa balita. Gizi kurang atau gizi buruk pada bayi dan anak-anak terutama pada umur kurang dari 5 tahun dapat berakibat terganggunya pertumbuhan jasmani dan kecerdasan otak (Achmad Djaeni, 2000). Gizi buruk mempunyai dampak jangka pendek dan jangka panjang. Dampak jangka pendek gizi buruk adalah anak menjadi apatis, mengalami gangguan bicara dan perkembangan. Sedang dampak jangka panjang adalah penurunan skor IQ, penurunan perkembangan kognitif, penurunan integrasi sensori. Gizi buruk jika tidak dikelola dengan baik pada fase akutnya akan mengancam jiwa dan pada jangka panjang akan menjadi ancaman hilangnya generasi bangsa. Penundaan pemberian perhatian, pemeliharaan gizi yang kurang tepat terhadap balita akan menurunkan nilai potensi mereka sebagai sumber daya pembangunan masyarakat dan ekonomi nasional.
Mereka
memerlukan
penggarapan
sedini
mungkin
apabila
kita
menginginkan peningkatan potensi mereka untuk pembangunan bangsa di masa depan (Nency Y, Arifin M.T., 2005). Berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2010, menunjukkan angka balita kurang gizi sebanyak 17,9 persen, jumlah tersebut menurun jika dibanding dengan tahun 2007, yaitu sebesar 18,4 persen. Demikian pula halnya dengan prevalensi balita pendek yang menurun sebanyak 1,2 persen yaitu dari
Universitas Sumatera Utara
36,8 persen pada tahun 2007 menjadi 35,6 persen pada tahun 2010, dan prevalensi balita kurus menurun sebanyak 0,3 persen yaitu dari 13,6 persen pada tahun 2007 menjadi 13,3 persen pada tahun 2010. Meskipun terjadi penurunan angka penderita gizi kurang dan gizi buruk, namun masih terjadi disparitas prevalensi antar provinsi yang cukup lebar. Angka gizi kurang dan gizi buruk terendah berada di Provinsi Sulawesi Utara, yaitu sebesar 10,6%, sedangkan tertinggi berada di Provinsi Nusa Tenggara Barat, yaitu sebesar 30,5%. Di propinsi Sumut prevalensi gizi kurang dan buruk juga mengalami penurunan dari 22,8% pada tahun 2007 menjadi 21,4% pada tahun 2010. Di kota Medan, prevalensi gizi kurang 12,89% dan gizi buruk 2,78% (Depkes, 2010). Untuk Kabupaten Serdang Bedagai dari 63.292 jumlah balita yang ada pada tahun 2009, yang ditimbang 45.517 balita, ditemukan 1.072 balita menderita gizi kurang dan gizi buruk sebanyak 85 balita. Di Kecamatan Bandar Khalifah sendiri dari 3.267 balita yang ada, yang ditimbang 3.004 balita, dijumpai 65 balita gizi kurang dan 4 balita gizi buruk (Profil Dinas Kesehatan Serdang Bedagai, 2010). Berdasarkan hasil survei pendahuluan yang dilakukan, balita penderita gizi kurang dan buruk pada umumnya berasal dari keluarga kurang mampu (miskin), sehingga ibu tidak memiliki pilihan untuk memberikan makanan yang bervariasi dan sesuai dengan kebutuhan jumlah kalori minimal dalam sehari (2.100 kkal). Selain itu, pada keluarga penderita juga ditemukan perilaku ayah yang mengkonsumsi rokok, sehingga mengurangi pendapatan yang bisa digunakan untuk menyediakan makanan
Universitas Sumatera Utara
yang bergizi bagi anak. Hal ini menyebabkan berbagai dukungan tenaga kesehatan melalui pemberian informasi (penyuluhan) tentang pemberian makanan bergizi, pemberian makanan tambahan tidak berdampak dalam upaya penurunan kasus gizi kurang dan buruk. Berdasarkan laporan bulanan di Puskesmas Bandar Khalifah untuk bulan Juni 2011, dari 1421 balita yang ditimbang, telah dijumpai 35 balita diantaranya mengalami gizi kurang dan 2 balita mengalami gizi buruk. Kekurangan zat gizi pada anak disebabkan karena anak mendapat makanan yang tidak sesuai dengan kebutuhan pertumbuhan badan anak atau adanya ketidakseimbangan antara konsumsi zat gizi dan kebutuhan gizi dari segi kuantitatif maupun kualitatif (Moehji, S., 2003). Dari hasil beberapa penelitian menyatakan bahwa keadaan kurang gizi pada bayi dan anak disebabkan karena kebiasaan pemberian makanan pendamping ASI yang tidak tepat. Ketidaktahuan tentang cara pemberian makanan bayi dan anak serta adanya kebiasaan yang merugikan kesehatan, secara langsung dan tidak langsung menjadi penyebab utama terjadinya masalah kurang gizi pada anak, khususnya pada anak usia dibawah 2 tahun (Depkes RI, 2000). Ibu adalah seseorang yang paling dekat dengan anak haruslah memiliki pengetahuan tentang gizi. Pengetahuan minimal yang harus diketahui seorang ibu adalah tentang kebutuhan gizi, cara pemberian makan, jadwal pemberian makan pada balita, sehingga akan menjamin anak dapat tumbuh dan berkembang dengan optimal (Baliwati, Y.F., 2004). Pemberian makanan pada balita bertujuan untuk mendapat zat
Universitas Sumatera Utara
gizi yang diperlukan tubuh untuk pertumbuhan dan pengaturan faal tubuh. Zat gizi berperan memelihara dan memulihkan kesehatan serta untuk melaksanakan kegiatan sehari-hari (Suharjo, 2003). Kurangnya pengetahuan gizi dan kesehatan orang tua, khususnya ibu merupakan salah satu penyebab terjadinya kekurangan gizi pada balita. Dalam periode pemberian makanan pendamping ASI, balita tergantung sepenuhnya pada perawatan dan pemberian makanan oleh ibunya. Oleh karena itu pengetahuan dan sikap ibu sangat berperanan, sebab pengetahuan tentang pemberian makanan dan sikap yang baik terhadap pemberian makanan pada balita akan menyebabkan seseorang mampu menyusun menu yang baik untuk dikonsumsi balitanya. Semakin baik pengetahuan gizi seseorang maka ia akan semakin memperhitungkan jenis dan jumlah makanan yang diperolehnya untuk dikonsumsi (Achmad Djaeni, 2000). Pada keluarga dengan pengetahuan tentang makanan pendamping ASI yang rendah, seringkali anaknya harus puas dengan makanan seadanya yang tidak memenuhi kebutuhan gizi balita karena ketidaktahuan. Kejadian gangguan gizi tidak hanya ditemukan pada keluarga yang berpenghasilan kurang akan tetapi juga pada keluarga yang berpenghasilan relatif baik (cukup). Keadaan ini menunjukkan bahwa ketidaktahuan akan faedah makanan bagi kesehatan tubuh merupakan sebab buruknya mutu gizi makanan keluarga, khususnya makanan balita. Menurut hasil penelitian Sulistiyowati, H. (2007) di Desa Sendang Harjo, Kecamatan Blora, Kabupaten Blora ditemukan bahwa ada hubungan yang signifikan
Universitas Sumatera Utara
(p=0.003) antara pengetahuan ibu dengan pemberian makanan pada balita. Pengetahuan ibu yang dominan kurang baik menjadikan pola pemberian makanan pada anak balita juga kurang baik. Demikian juga dengan hasil penelitian Irawan, A., (2009) menyatakan ada hubungan pengetahuan ibu dalam pemberian makanan pendamping ASI dengan kurang gizi di wilayah kerja Puskesmas Semurup Kabupaten Kerinci Provinsi Jambi. Penelitian Wijayanti, A. (2005), menyatakan bahwa ada hubungan yang signifikan (P<0,05) antara pengetahuan ibu balita tentang gizi dan Pemberian Makanan Tambahan Pemulihan (PMT-P) dengan tindakan ibu dalam PMT-P di Kabupaten Semarang. Menurut Mokoagow (2007) yang dikutip Hayati, N., (2009), pemahaman bahwa kurang gizi sebenarnya dapat dicegah bila seseorang memiliki bekal pengetahuan yang cukup, akan memicu keingintahuan semua orang untuk memperluas pengetahuan serta wawasannya. Adalah hal ironis bila kurang gizi yang terjadi di sekitar kita hanya karena pengetahuan yang kurang pada pola pemberian makanan apalagi kita berada pada era yang penuh dengan informasi seperti sekarang ini. Pengetahuan tentang pola pemberian makanan balita seharusnya didapat sejak seorang ibu mengandung. Dengan pola pemberian makanan yang baik akan dapat menjamin terhindarnya seorang balita dari kurang gizi. Sikap ibu juga merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi terjadinya gizi buruk. Sikap yang kurang baik terhadap pemberian makanan pada ibu berpengaruh terhadap pola konsumsi anak, sehingga menghasilkan anak yang kurang
Universitas Sumatera Utara
gizi. Sikap adalah respons tertutup seseorang terhadap stimulus atau objek tertentu yang sudah melibatkan faktor pendapat dan emosi yang bersangkutan (senang-tidak senang, setuju-tidak setuju, baik-tidak baik, dan sebagainya). Menurut Campbell (1950) yang dikutip Notoatmodjo (2005), menyatakan bahwa sikap adalah suatu sindroma atau kumpulan gejala dalam merespon stimulus atau objek, sehingga sikap itu melibatkan pikiran, perasaan, perhatian dan gejala kejiwaan yang lain. Menurut hasil penelitian Kristiadi, E., (2007) terdapat hubungan sikap ibu dengan kejadian kurang energi protein pada balita (p=0,034), bahkan ibu dengan sikap kurang baik berisiko mempunyai anak kurang energi protein 3,09 kali lebih tinggi dibanding ibu dengan sikap baik. Demikian juga dengan hasil penelitian dari Dewi, S. (2009) menyatakan bahwa ada hubungan sikap dengan pemberian makanan pendamping ASI pada bayi usia 0 – 6 bulan di Kelurahan Jungke Kecamatan Karanganyar Kabupaten Karanganyar. Dukungan atau peran tenaga kesehatan juga sangat berpengaruh terhadap tindakan pemberian makanan pada balita. Tenaga kesehatan seharusnya berperan dalam meningkatkan pengetahuan ibu dalam hal mengatur pola makan yang baik dan bergizi serta frekuensi pemberian makanan yang baik setiap hari. Gottlieb dalam Koentjoro (2002), berpendapat dukungan sosial terdiri dari informasi atau nasehat verbal dan non verbal, bantuan nyata, atau tindakan yang diberikan oleh keakraban sosial atau dapat dikatakan karena adanya kehadiran mereka mempunyai manfaat emosional atau efek perilaku bagi pihak penerimanya. Dukungan tenaga kesehatan
Universitas Sumatera Utara
masuk didalam lingkup dukungan sosial, dimana yang dimaksud dari dukungan sosial adalah bentuk dukungan dan hubungan yang baik untuk memberikan kontribusi penting pada kesehatan. Dukungan sosial yang dibutuhkan adalah berupa dukungan informasional yang mendasari tindakan. Menurut hasil penelitian Siregar, L.T. (2008) menyatakan bahwa ada pengaruh yang signifikan dari tenaga kesehatan terhadap pemberian makanan pada bayi di wilayah kerja Puskesmas Simpang Limun Medan. Beberapa bentuk dukungan yang diberikan oleh tenaga kesehatan adalah dukungan informasional (penyuluhan, pelatihan dan pendampingan) dan dukungan instrumental, seperti: pemberian makanan tambahan (roti, telur, bubur, kacang hijau dan makanan lainnya). Demikian juga dengan hasil penelitian Theresiana K.L., (2002), tentang faktor-faktor yang memengaruhi pemberian makanan pada balita di Kabupaten Tangerang, menyatakan bahwa ada pengaruh tenaga kesehatan terhadap perilaku pemberian makanan pada balita. Bahkan, dari beberapa faktor yang diteliti (umur, pekerjaan, pendidikan, jumlah anak, pengetahuan, sikap ibu dan dukungan tenaga kesehatan), dukungan tenaga kesehatan merupakan faktor yang paling dominan. Peluang ibu untuk memberikan makanan yang tepat pada balita yang memperoleh dukungan dari tenaga kesehatan, 3,6 kali lebih baik dibanding ibu yang tidak memperoleh dukungan dari tenaga kesehatan. Bentuk dukungan yang diberikan dapat berupa; penyuluhan, pelatihan dan pendampingan pemberian makanan.
Universitas Sumatera Utara
Berdasarkan latar belakang di atas maka perlu dilakukan penelitian tentang pengaruh pengetahuan dan sikap ibu serta dukungan tenaga kesehatan terhadap pemberian makanan pada balita di Puskesmas Bandar Khalifah Kabupaten Serdang Bedagai tahun 2011.
1.2. Permasalahan Berdasarkan uraian latar belakang di atas, dapat dirumuskan permasalahan penelitian adalah apakah ada pengaruh pengetahuan dan sikap ibu serta dukungan tenaga kesehatan terhadap pemberian makanan pada balita di puskesmas Bandar Khalifah Kabupaten Serdang Bedagai tahun 2011.
1.3. Tujuan Penelitian Secara umum penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh pengetahuan dan sikap ibu serta dukungan tenaga kesehatan terhadap pemberian makanan pada balita di puskesmas Bandar Khalifah Kabupaten Serdang Bedagai tahun 2011.
1.4. Hipotesis Ada pengaruh pengetahuan dan sikap ibu serta dukungan tenaga kesehatan terhadap pemberian makanan pada balita di puskesmas Bandar Khalifah Kabupaten Serdang Bedagai tahun 2011.
Universitas Sumatera Utara
1.5. Manfaat Penelitian 1.
Bagi Dinas Kesehatan Kabupaten Serdang Bedagai Sebagai bahan masukan dan informasi untuk mengambil kebijakan dalam pengelolaan program gizi khususnya penerapan pola pemberian makanan yang baik terhadap balita dalam rangka penanggulangan masalah kekurangan gizi pada balita.
2.
Bagi masyarakat Memberikan informasi khususnya kepada ibu yang mempunyai balita tentang pemberian makanan pada balita sehingga dapat meningkatkan pemahaman ibu tentang manfaat pemberian makanan yang tepat pada balitanya.
3.
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah khasanah ilmu pengetahuan yang berkaitan dengan pengaruh pengetahuan dan sikap ibu serta dukungan tenaga kesehatan terhadap pemberian makanan pada balita.
Universitas Sumatera Utara