BAB 1 PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang Program pembangunan kesehatan nasional mencakup lima aspek Pelayanan Kesehatan Dasar (PKD) yaitu bidang: Promosi Kesehatan, Kesehatan Lingkungan, Kesehatan Ibu dan Anak termasuk Keluarga Berencana, Pemberantasan Penyakit Menular dan Pengobatan. Untuk dapat melaksanakan Pelayanan Kesehatan Dasar khususnya bidang pengobatan dibutuhkan obat. Oleh karena itu obat perlu dikelola dengan baik diantaranya perencanaan kebutuhan obat agar persediaan sesuai dengan kebutuhan. Salah satu sub sistem dalam Sistem Kesehatan Nasional (SKN) tahun 2012 adalah subsistem obat dan perbekalan kesehatan yang merupakan tatanan berbagai upaya perencanaan, pemenuhan kebutuhan, pemanfaatan dan pengawasan obat serta perbekalan kesehatan secara terpadu dan saling mendukung. Tujuan subsistem obat dan perbekalan kesehatan adalah tersedianya obat dan perbekalan kesehatan yang mencukupi, terdistribusi secara adil dan merata serta termanfaatkan secara berdaya guna dan berhasil guna, untuk menjamin terselenggaranya pembangunan kesehatan guna meningkatkan derajat kesehatan masyarakat melalui upaya kesehatan. Upaya kesehatan adalah setiap kegiatan dan/atau serangkaian kegiatan yang dilakukan secara terpadu, terintregrasi dan berkesinambungan untuk memelihara dan meningkatkan derajat kesehatan masyarakat dalam bentuk pencegahan penyakit, peningkatan kesehatan, pengobatan penyakit, dan pemulihan kesehatan oleh
Universitas Sumatera Utara
pemerintah dan/atau masyarakat. Penyelenggaraan upaya kesehatan tidak terlepas dari tersedianya obat-obatan (Kementerian Kesehatan RI, 2009a). Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan Suciati dkk (2006), menyatakan bahwa pelayanan farmasi untuk penyediaan obat dan perbekalan kesehatan merupakan pelayanan penunjang sekaligus revenue center atau pusat pendapatan bagi rumah sakit, mengingat lebih dari 90% pelayanan kesehatan menggunakan perbekalan farmasi dan 50% dari seluruh pemasukan rumah sakit berasal dari pengelolaan perbekalan farmasi. Penelitian yang dilakukan Aditama (2006) menyimpulkan bahwa untuk menunjang pelaksanaan kegiatan di rumah sakit dan fasilitas pelayanan kesehatan lainnya diperlukan bahan-bahan logistik. Bahan logistik merupakan bahan operasional yang sifatnya habis pakai seperti obat-obatan dan dan alat kesehatan habis pakai. Kegiatan logistik secara umum memiliki 3 (tiga) tujuan yaitu tujuan operasional, tujuan keuangan dan tujuan pengamanan. Dalam memenuhi tujuan kegiatan logistik sarana pelayanan kesehatan diperlukan manajemen logistik sehingga barang-barang logistik yang tersedia di sarana pelayanan kesehatan dapat terus terjamin keberadaannya. Salah satu upaya penting dalam manajemen logistik obat dan perbekalan kesehatan adalah perencanaan kebutuhan obat, karena proses perencanaan yang baik akan menghasilkan pengadaan obat yang sesuai dengan kebutuhan sarana pelayanan kesehatan. Perencanaan merupakan rangkaian proses pembuatan daftar kebutuhan obat sejak dari pemilihan macam dan jumlah obat serta menghitung dana yang
Universitas Sumatera Utara
dibutuhkan sampai pada penyesuaian dana yang ada,sehingga diperoleh sebuah daftar perencanaan kebutuhan obat (Kementerian Kesehatan RI, 2008). Ada dua metode perencanaan yaitu metode konsumsi dan metode morbiditas. Metode konsumsi dilakukan dengan mengevaluasi penggunaan obat masa lalu sebagai dasar penentuan perkiraan kebutuhan, kemudian disesuaikan dengan rencana dari rumah sakit maupun farmasi rumah sakit. Metode ini memberikan prediksi keakuratan yang baik terhadap perencanaan kebutuhan obat. Namun demikian tidak selalu memberikan hasil yang memuaskan, karena metode ini hanya meramalkan berapa jumlah kebutuhan obat yang akan direncanakan, tidak dapat diketahui kapan saatnya harus memesan obat lagi. Disamping itu, metode konsumsi juga tidak bisa memberikan informasi tentang perencanaan obat berdasarkan prioritas nilai investasinya. Metode morbiditas dilakukan dengan melihat berapa episode masalah kesehatan yang ada, standar terapi, tingkat kepatuhan terhadap standar terapi, maka akan diperoleh jumlah obat yang dibutuhkan (Kementerian Kesehatan RI, 2008). Hasil penelitian Maimun (2009), perencanaan obat bahwa di Instalasi Farmasi Rumah Sakit (IFRS) Darul Istiqomah Kaliwungu Kendal dilakukan oleh kepala IFRS dengan menggunakan metode konsumsi yaitu dengan penambahan sekitar 10% dari pemakaian sebelumnya. Tetapi penggunaan metode konsumsi tidak dapat diketahui obat apa saja yang harus diprioritaskan dalam perencanaan, juga tidak dapat diketahui kapan saatnya memesan obat yang tepat. Sehingga dengan perencanaan obat seperti yang berjalan selama ini dimungkinkan terjadinya kelebihan stok obat. Hal ini ditunjukkan dengan adanya nilai persediaan antibiotik yang meningkat dari tahun
Universitas Sumatera Utara
2005 sebesar 26,77% (Rp. 44.193.750) menjadi 34,30% (Rp. 80.835.000) pada tahun 2006, ini berarti adanya penggunaan dana yang kurang efisien. Fenomena ketersediaan obat secara umum masih menjadi masalah dalam menunjang penyelenggaraan upaya kesehatan di Indonesia yang ditandai dengan belum terjangkaunya masyarakat terhadap kebutuhan obat dalam membantu pemulihan
kesehatannya,
direkomendasikan
telah
padahal ditentukan
secara setiap
kuantitas wilayah
jumlah
dan
adanya
obat
yang
kewajiban
menggunakan obat-obat generik agar dapat terjangkau oleh masyarakat, dengan mutu obat yang sama dengan obat non generik. Fenomena ini juga terjadi di Propinsi Sumatera Utara baik di sarana kesehatan private maupun sarana kesehatan public. Dinas Kesehatan Propinsi Sumatera Utara adalah institusi kesehatan daerah otonom propinsi Sumatera Utara yang mempunyai kewenangan untuk penyediaan obat-obatan bagi seluruh Unit Pelayanan Teknis (UPT) nya. Secara organisatoris, terdapat lima UPT di bawah kewenangan Dinas Kesehatan Propinsi Sumatera Utara yaitu Balai Kesehatan Indera Masyarakat (BKIM), Balai Kesehatan Paru Masyarakat (BKPM), Rumah Sakit Kusta Lau Simomo, dan Rumah Sakit Kusta P.Sicanang, dan PTC Indrapura. Keseluruhan UPT tersebut mendapatkan subsidi obat-obatan dan perbekalan kesehatan dari gudang Farmasi Dinas Kesehatan Propinsi Sumatera Utara, dan seluruh anggaran kebutuhan obat disusun oleh Dinas Kesehatan Propinsi Sumatera Utara, berdasarkan usulan dari masing-masing UPT tersebut (Dinas Kesehatan Propinsi Sumatera Utara, 2012a).
Universitas Sumatera Utara
Penyediaan obat-obatan pada masing-masing UPT bervariatif, baik dari aspek kuantitas obat maupun jumlah anggaran obat. Berdasarkan Dokumen Pelaksanaan Anggaran Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) Dinas Kesehatan Propinsi Sumatera Utara (2012), diketahui bahwa selama 2 (dua) tahun terdapat kecenderungan fluktuasi alokasi anggaran obat dan perbekalan kesehatan. Tahun 2011 alokasi anggaran untuk obat-obatan adalah Rp. 4.084.198.192, tahun 2012 menurun menjadi Rp. 3.910.000.000,-, (terjadi penurunan sebesar 4,3%). Anggaran tersebut didistribusikan ke 5 UPT yang ada di bawah koordinasi Dinas Kesehatan Propinsi Sumatera Utara. Besaran alokasi anggaran pada masing-masing UPT tidak selalu sama dan ditentukan berdasarkan usulan rencana kebutuhan obat dan anggaran masing-masing UPT (Dinas Kesehatan Propinsi Sumatera Utara, 2012b). Idealnya perencanaan kebutuhan obat secara umum berkorelasi dengan jumlah anggaran yang dialokasikan. Besarnya alokasi anggaran tergantung dari jumlah obat yang dibutuhkan dan diusulkan UPT ke Dinas Kesehatan. Sedangkan pada UPT PTC Indrapura perencanaan kebutuhan obat sudah baik, dan tidak ditemukan permasalahan kebutuhan obat oleh pasien. Selain jumlah kebutuhan obat yang dialokasikan cenderung sedikit karena jumlah pasien juga relatif sedikit, dan itupun hanya untuk pasien-pasien yang gawat darurat karena PTC Indrapura prioritas kegiatan dan program di PTC adalah untuk pendidikan dan pelatihan. Adanya perbedaan alokasi anggaran berimplikasi terhadap ketersediaan obat di masing-masing UPT. Seyogyanya penyediaan obat masing-masing diberikan kewenangan kepada UPT agar dapat lebih memahami kebutuhan yang sebenarnya
Universitas Sumatera Utara
terhadap obat yang dibutuhkan pasien dengan analisis situasi dan perencanaan yang sesuai. Namun, mengingat seluruh UPT tersebut dibawah kewenangan Dinas Kesehatan Propinsi Sumatera Utara, maka hanya menerima alokasi obat, meskipun usulan anggaran kebutuhan obat terlebih dahulu di usulkan oleh masing-masing UPT. Akan tetapi karena kemungkinan terbatasnya anggaran, maka tidak semua obat yang diusulkan UPT dapat dipenuhi. Hal ini tentunya sangat berdampak terhadap pemenuhan obat di masing-masing UPT. Berdasarkan hasil survai awal peneliti pada UPT RS Kusta Lau Simomo pada 15 Januari 2012, diketahui bahwa penyusunan rencana kebutuhan obat masih mengikuti pada usulan-usulan tahun anggaran sebelumnya, kalaupun dianalisa kebutuhannya hanya berdasarkan jumlah kunjungan terbanyak, dan disinergiskan dengan jumlah dan jenis obat yang dominan digunakan, sehingga berdampak terhadap stok obat kebutuhan pasien. Selain itu berdasarkan hasil wawancara dengan petugas farmasi RSK. Lau Simomo, menjelaskan bahwa dalam proses pemenuhan obat-obatan di rumah sakit, rumah sakit (UPT) hanya menerima obat yang disediakan oleh Dinas Kesehatan Propinsi Sumatera Utara. Oleh karena itu hal ini menjadi masalah di rumah sakit yaitu: (1) banyak obat yang diperlukan tidak disediakan atau sangat sedikit tersedia, (2) obat yang kurang diperlukan disediakan dalam jumlah yang banyak, (3) banyak obat yang tersedia tetapi tidak digunakan oleh dokter dengan alasan yang tidak jelas, (4) banyak obat yang isi atau gunanya sama dengan nama berbeda. Keadaan tersebut mencerminkan adanya ketidaksesuaian antara kebutuhan oabat (need) dengan ketersediaan obat (demand). Hal
Universitas Sumatera Utara
ini juga menunjukkan bahwa perencanaan obat masih belum optimal, dan belum
didasarkan pada metode yang lebih efektif dan efesien. Hasil survai awal berikutnya pada bulan Mei 2013, di UPT BKIM juga menunjukkan ada ketimpangan antara usulan anggaran obat dengan alokasi obat dari Dinas Kesehatan Propinsi Sumatera Utara. Menurut Kepala UPT BKIM Propinsi Sumatera Utara bahwa secara umum adanya fluktuasi peningkatan jumlah pasien mata yang datang berobat ke BKIM propinsi Sumatera Utara karena sudah ada beberapa puskesmas di Kota Medan yang bekerja sama untuk rujukan ke BKIM. Hal ini tentunya berdampak terhadap tidak terpenuhinya kebutuhan obat bagi pasien, yaitu terjadi kekosongan obat dipertengahan tahun karena alokasi anggaran obat sudah ditentukan pada akhir tahun, sehingga dipertengahan tahun terjadi kekurangan obat untuk pasien. Berdasarkan latar belakang di atas, maka peneliti tertarik untuk meneliti tentang analisis perencanaan kebutuhan obat di Unit Pelayanan Teknis (UPT) Dinas Kesehatan Propinsi Sumatera Utara yang terdiri dari Balai Kesehatan Indera Masyarakat (BKIM), Balai Kesehatan Paru Masyarakat (BKPM), Rumah Sakit Kusta Lau Simomo, dan Rumah Sakit Kusta P.Sicanang Tahun 2013. 1.2 Permasalahan Permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimana analisis perencanaan kebutuhan obat di Unit Pelayanan Teknis (UPT) Dinas Kesehatan Propinsi Sumatera Utara Tahun 2013.
Universitas Sumatera Utara
1.3 Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui dan menganalisis perencanaan kebutuhan obat di Unit Pelayanan Teknis (UPT) Dinas Kesehatan Propinsi Sumatera Utara Tahun 2013. 1.4 Manfaat Penelitian Manfaat penelitian ini diharapkan adalah: 1. Bagi UPT Balai Kesehatan Indera Masyarakat (BKIM), Balai Kesehatan Paru Masyarakat (BKPM), Rumah Sakit Kusta Lau Simomo, dan Rumah Sakit Kusta P.Sicanang menjadi masukan dalam melakukan analisis kebutuhan obat dan anggaran obat melalui teknik yang lebih profesional dan mampu mengakomodir kebutuhan obat sesuai dengan kebutuhan pasien. 2. Bagi Dinas Kesehatan Propinsi Sumatera Utara sebagai induk dari seluruh UPT pelayanan kesehatan di Propinsi Sumatera Utara tentang evaluasi ketersediaan dan perencanaan obat pada masing-masing UPT, sehingga dapat dijadikan dasar penyusunan anggaran pada Tahun anggaran berikutnya. 3. Menjadi referensi untuk penelitian selanjutnya, dan pengembangan khazanah pengetahuan tentang analisis perencanaan kebutuhan obat, dan manajemen pengelolaan obat pada sarana kesehatan.
Universitas Sumatera Utara