BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah Pertambahan jumlah penduduk mengakibatkan kepadatan populasi semakin meningkat. Hal ini akan berpengaruh pada daya dukung lingkungan yang memiliki keterbatasan. Pertumbuhan penduduk yang pesat dan terbatasnya lahan sebagai sumber untuk memenuhi kebutuhan hidup akan menyebabkan terjadinya kelangkaan sumber daya alam, terjadinya pencemaran lingkungan, dan adanya persaingan yang terjadi untuk mendapatkan sumber daya alam. Menurut World Population Data Sheet 2013, Indonesia menempati urutan ke lima dengan estimasi jumlah penduduk terbanyak yaitu 249 juta jiwa. Diantara negara ASEAN, Indonesia dengan luas wilayah terbesar tetap menjadi negara dengan penduduk terbanyak, dibandingkan 9 negara lainnya. Dengan angka fertilitas atau Total Fertility Rate 2,6 (ditas rata – rata TFR negara Asean, yaitu 2,4) (Kemenkes, 2014). Selain itu, data dari Family Planning Worldwide tahun 2008 dalam Kemenkes 2013 diketahui bahwa jumlah Wanita Usia Subur Indonesia merupakan jumlah terbesar di Asia Tenggara an negara dengan jumlah WUS terendah di Asia Tenggara adalah Timor Leste. Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan Republik Indonesia mengestimasi jumlah penduduk Indoensia Tahun 2013 sejumlah 248, 4 juta jiwa. (Kemenkes, 2014). Badan Pusat Statistik (BPS) memproyeksikan jumlah penduduk Indonesia Tahun 2015 mencapai
264,4 juta jiwa yang sebelumnya di prediksikan hanya mencapai 237,8 juta jiwa. Jika yang ber KB 1 persen saja setiap tahun, maka jumlah penduduk yang diprediksikan akan tetap sesuai, namun kenyataannya yang ber- KB tidak sesuai dengan harapan. Besarnya jumlah penduduk akan menyebabkan permasalahan kependudukan dimasa yang akan datang, dimana anak-anak yang dilahirkan sebagai generasi penerus akan sangat membutuhkan pemeliharaan berupa makanan yang lebih bergizi, pakaian yang cukup, fasilitas pendidikan yang memadai dan tentunya pekerjaan yang layak, ketika mereka sudah dewasa nantinya. Tidak hanya berdampak pada masalah penyediaan papan, sandang, pangan, pendidikan, pekerjaan dan kesehatan saja, tetapi juga dapat menimbulkan dampakdampak lain, seperti dampak sosial, misalnya, masalah meningkatnya kriminalitas, kemiskinan dan pengangguran sehingga dapat mengakibatkan penurunan kualitas sumber daya manusia mendatang. Dari kenyataan tersebut perlu dilakukan upaya pengendalian tingkat kelahiran pada Pasangan Usia Subur (PUS), melalui program Keluarga Berencana Nasional untuk mengendalikan jumlah peduduk khusunya di Indonesia. Keluarga Berencana merupakan langkah pertama yang paling tepat untuk dipilih karena program inilah yang paling dapat diterima oleh seluruh lapisan masyarakat Indonesia (Singarimbun, 1989). Menurut Undang-undang Nomor 52 Tahun 2009 tentang perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga menyatakan bahwa Keluarga Berencana adalah upaya mengatur kelahiran anak, jarak dan usia ideal melahirkan, mengatur kehamilan melalui promosi, perlindungan dan bantuan sesuai hak reproduksi untuk mewujudkan keluarga
berkualitas. Jadi, program keluraga berencana selain bertujuan untuk menekan pertambahan jumlah penduduk juga
digunakan sebagai salah satu upaya untuk menurunkan angka
kematian ibu dan meningkatkan kualitas kesehatan ibu dan anak serta meningkatkan kesehatan reproduksi (Kemenkes, 2014). Program Keluarga Berencana di Indonesia pertama kali ditetapkan sebagai program pemerintah pada tanggal 29 Juni 1970, bersamaan dengan dibentuknya Badan Koordinasi Kelurga Berencana Nasional. Saat ini program KB telah diubah visinya dari mewujudkan NKKBS (norma keluarga kecil bahagia sejahtera) menjadi “Keluarga berkualitas tahun 2015”. Keluarga yang berkualitas adalah keluarga yang sejahtera, sehat, maju, mandiri, memiliki jumlah anak yang ideal, berwawasan kedepan, bertanggung jawab, harmonis dan bertaqwa kepada tuhan yang Maha Esa. Dalam paradigma baru keluarga berencana ini, misinya sangat menekankan pentingnya upaya menghormati hak-hak reproduksi sebagai upaya integral dalam meningkatkan kualitas keluarga (Saifuddin,
2003). Pengaturan kehamilan dalam
program KB dilakukan dengan menggunakan alat kontrasepsi. Berdasarkan data dari SDKI tahun 2012 menunjukkan prevalensi penggunaan kontrasepsi atau Contraception Prevalence Rate (CPR) di Indonesia sejak tahun 1991 – 2012 cenderung meningkat, sementara tren Angka Fertilitas atau Total Fertility Rate (TFR) cenderung menurun. Tren ini menggambarkan bahwa cakupan wanita usia subur 15 – 49 tahun yang melakukan KB meningkat namun TFR belum mencapai target (2,36) dengan angka tahun 2012 sebesar 2,6.
Berdasarkan metode kontrasepsi yang digunakan dari Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) diketahui bahwa pada tahun 2013 dari 8.500.247 PUS (Pasangan Usia Subur) yang merupakan peserta KB baru diketahui penggunaan alat kontrasepsi jangka panjang sebesar 1.442.847 (16.97%) yang meliputi IUD sebesar 658.632 dan Implan sebesar 784.215; pengguna Metode Operasi Wanita (MOW) sebesar 128.793 (1.52%); pengguna Metode Operasi Pria (MOP) sebesar 21.374 (0.25%); dan pengguna alat kontrasepsi jangka pendek sebesar 6.907.2331 (81.26%) yang terdiri dari Kondom sebesar 517.638, suntikan sebesar 4.128.115 dan Pil sebesar 2.261.480. Dari sini dapat diketahui bahwa pemakaian alat kontrasepsi Jangka Panjang masih rendah jika dibandingkan dengan alat kontrasepsi jangka pendek. Hal ini juga sesuai dengan data yang didapat dari SDKI bahwa rasio penggunaan alat kontrasepsi Non – MKJP mengalami kenaikan dari tahun ke tahun, tahun 1991 (28,3), 2002 (41,7) dan 2012 (47,3) sementara jika dibandingkan dengan pemakaian alat kontrasepsi jangka panjang rasio penggunaannya mengalami penurunan dari tahun ke tahun, tahun 1991 (18,7), 2002 (14,6) dan 2012 (4,5). Dengan kata lain, pemakaian kontrasepsi non – MKJP lebih besar dibandingkan dengan pemakaian kontrasepsi jangka panjang (MKJP). Metode kontrasepsi jangka panjang (MKJP) adalah alat kontrasepsi yang digunakan untuk menunda, menjarangkan kehamilan, serta menghentikan kesuburan, yang digunakan dengan jangka panjang, yang meliputi IUD, implant dan kontrasepsi mantap. Saat ini kebijakan pemerintah mengarah kepada pemakaian Metode Kontrasepsi Jangka Panjang (MKJP) yaitu Alat Kontarepsi Dalam Rahim (AKDR) atau Intra Uterine Device (IUD) merupakan salah satu cara efektif yang sangat diprioritaskan pemakaiannya oleh Badan Kependudukan
Keluarga Berencana Nasional (BKKBN). Hal ini dikarenakan tingkat keefektifannya cukup tinggi yaitu 0,1-1 kehamilan per 100 perempuan (BKKBN, 2012). Couple Years Protection (CYP) MKJP berkisar 3-5 tahun sehingga memberi peluang yang tinggi untuk kelangsungan. Sementara itu, CYP non-MKJP hanya berkisar 1-3 bulan sehingga memberi peluang besar untuk putus dalam penggunaan kontrasepsi (20 – 40%). Hal ini sesuai dengan data Drop – Out Rate KB dari SDKI tahun 2003 dan 2007 menunjukkan bahwa angka ketidaklangsungan (droup out) metode non – MKJP (pil (38,8%) dan suntikan (23%)) lebih tinggi dibandingkan dengan metode MKJP (Implant (5,7%) dan IUD (9,9%)). Namun penggunaan metode MKJP ini jumlahnya kurang banyak. Padahal saat ini pemerintah telah menyediakan secara gratis tiga jenis alat kontrasepsi di seluruh wilayah Indonesia, yaitu Kondom, Alat Kontrasepsi Dalam Rahim (AKDR) atau IUD, dan Susuk (Implan). Propinsi Aceh berada di wilayah paling barat Indonesia, propinsi ini mempunyai luas wilayah sebesar 58.375.63 km2, yang terletak antara 20 sampai 60 lintang utara dan 950 sampai 980 lintang selatan. Wilayah Aceh terdiri dari 119 buah pulau, 73 sungai besar dan 35 gunung. Provinsi Aceh dengan ibu-kota Banda Aceh, terdiri dari 23 kabupaten/kota dan 286 kecamatan. Adapun jumlah penduduknya menurut kelompok umur dapat menunjukkan jumlah penduduk produktif dan nonproduktif. Dimana pengelompokan penduduk dalam usia produktif dan nonproduktif dapat digunakan sebagai acuan menghitung Angka Beban Tanggungan (ABT) yang merupakan indikator ekonomi di suatu daerah. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, jumlah penduduk Aceh tahun 2012 sebanyak 4.726.001 jiwa. Kepadatan penduduk menurut kabupaten/kota bervariasi. Jumlah penduduk terendah
adalah di Kota Sabang sebesar 31.861 jiwa, sementara kabupaten dengan jumlah penduduk tertinggi adalah Aceh Utara sebesar 556.793 jiwa. (Profil Aceh 2014). Salah satu kendala Program KB adalah otonomi daerah yang menyebabkan keterputusan koordinasi dan implementasi program secara luas, tidak semua daerah mempunyai struktur yang khusus menangani KB, ditengah perubahan itu fungsi Petugas Penyuluh Lapangan KB (PLKB) juga tergerus karena kurangnya dukungan, padahal PLKB penting untuk mengedukasi dan memberikan konseling sehingga masyarakat dapat merencanakan keluarga dengan baik dan rasional. Propinsi Aceh terdiri atas 23 Kabupaten/kota, dan Kabupaten Aceh Barat merupakan salah satu kabupaten di propinsi tersebut. Saat ini Kabupaten Aceh Barat memiliki 13 puskesmas aktif yang tersebar ke 12 kecamatan dan 322 desa. Tenaga kesehatan yang ada di Dinas Kesehatan Aceh Barat terdiri atas dokter sebanyak 39 orang, perawat dan bidan sebanyak 535 orang, tenaga farmasi sebanyak 83 orang, tenaga gizi sebanyak 25 orang, tenaga kesehatan masyarakat sebanyak 48 orang. Secara khusus untuk peningkatan program KB dinas kesehatan dibantu oleh tenaga PLKB yang sekarang berjumlahh 21 orang. Saat ini jumlah Pasangan Usia Subur (PUS) sekabupaten Aceh Barat pada tahun 2013 sebanyak 29.256 jiwa. Berdasarkan jumlah tersebut pemerintah menargetkan 9.542 PUS melakukan kunjungan ke puskesmas dalam setahun untuk mengakses pelayanan KB baik kontrasepsi jangka pendek maupun jangka panjang. Berdasarkan data dari BKKBN Aceh Barat target dan realisasi akseptor KB di Kabupaten Aceh Barat dapat dilihat pada tabel berikut ini :
Tabel 1.1 Data Realisasi dan Target Pemakaian Alat Kontrasepsi di Aceh Barat Tahun 20132014
Metode Alat Kontrasepsi Jangka Pendek
Jenis Alat Konrasepsi
Tahun 2014
Target
Realisasi
%
Target
Realisasi
%
Suntik
3350
2343
69,9
2150
1826
84,9
Pil
3709
3205
86,4
2271
1024
45,1
Kondom
1893
1493
78,9
491
360
73,3
8952
7041
78,7
4912
3210
65,4
IUD
246
109
44,3
312
248
79,5
MOP
2
0
0,0
2
0
0,0
MOW
63
16
25,4
154
49
31,8
Implant
279
143
51,3
442
154
34,8
590
268
45,4
910
451
49,6
Jumlah Jangka Panjang
Tahun 2013
Jumlah
Sumber : Badan Pusat Statistik Aceh Tahun 2014
Berdasarkan tabel 1.1 diketahui bahwa terjadi penurunan realisasi pemakaian kontrasepsi dengan metode jangka pendek (suntik, pil, kondom) dan peningkatan pada metode kontrasepsi jangka panjang. Akan tetapi permasalahan yang selalu muncul yaitu pemakaian kontrasepsi metode jangka panjang masih sangat minim dibandingkan metode kontrasepsi jangka pendek, terlihat dari masih rendahnya realisasi pada tahun 2013 dan 2014 yaitu masih di bawah 50%.
Aceh barat saat ini memiliki 12 kecamatan, salah satu kecamatannya adalah Woyla Timur. Kecamatan Woyla Timur merupakan salah satu kecamatan yang berada di wilayah terpencil Kabupaten Aceh Barat dengan jumlah desanya sebanyak 26 desa, dan kecamatan ini memiliki jumlah penduduk sebanyak 4006 jiwa pada tahun 2014. Bila ditinjau berdasarkan letak Geografis Kecamatan Woyla Timur adalah salah satu daerah yang sulit dijangkau, dengan 26 desa yang masih terpencil ini sulit dilalui oleh petugas. Kecamatan Woyla Timur saat ini memiliki 1 puskesmas induk, 5 puskesmas pembantu, 2 poskesdes/polindes, 2 dokter umum dan 1 dokter gigi dan 14 orang bidan. Kemudian secara khusus untuk pelayanan program KB saat ini khususnya di Kecamatan Woyla Timur, pemakaian alat kontrasepsi dapat diakses di berbagai tempat, mulai dari klinik pemerintah sampai pada swasta. Kecamatan Woyla Timur saat ini memiliki beberapa sarana tersebut antara lain klinik KB sebanyak 1 buah, Pos Alat KB Desa (PAKBD) sebanyak 26 buah, PLKB sebanyak 1 orang. Selain itu masih ada bidan praktik swasta yang juga melayani pemakaian kontrasepsi di Kecamatan Woyla Timur. Keseluruhan akses pemakaian alat kontrasepsi ditangani langsung oleh bidan yang berada pada sarana milik pemerintah dan juga swasta. Akan tetapi bila ada permasalahan dalam pemakaian kontrasepsi yang tidak bisa ditangani oleh bidan, maka sarana pelayanan tersebut akan merujuk ke rumah sakit terdekat yang ditangani langsung oleh dokter. Selain bidan, PLKB dan tenaga sukarela seperti kader KB yang berada di PAKBD juga sangat besar pengaruhnya terhadap keinginan awal dalam memanfaatkan pelayanan KB, karena mereka yang langsung berhadapan dengan masyarakat dalam pelayanan KB yang ada di desa.
Berdasarkan data BPS (2014) diketahui bahwa diantara Pasangan Usia Subur yang ada di setiap kecamatan, Woyla Timur merupakan kecamatan yang tidak mencapai angka standar kabupaten (89,89%) dalam pemanfaatan KB yaitu hanya 38,56%. Sehingga berdasarkan data tersebut kecamatan Woyla Timur merupakan kecamatan terendah dalam pencapaian pemanfaatan KB di seluruh kabupaten Aceh Barat, karena dari 941 target PUS yang seharunya ber-KB ternyata hanya 363 PUS saja yang berk-KB. Sedangkan pemakaian alat kontrasepsi dapat dilihat pada tabel,berikut ini : Tabel 1.2 Pemakaian Alat Kontrasepsi Berdasarkan Metode di Kecamatan Woyla Timur Kabupaten Aceh Barat Tahun 2013-2014
Metode Alat Kontrasepsi Jangka Pendek
Jangka Panjang
Jenis Alat Konrasepsi
Tahun 2013
Tahun 2014
Jumlah
%
Jumlah
%
Suntik
213
46,7
129
35,5
Pil
101
22,1
75
20,71
Kondom
138
30,3
120
33,14
IUD
0
0,0
27
7,09
MOP
0
0,0
0
0,0
MOW
0
0,0
0
0,0
Implant
4
0,9
12
2,96
456
100
363
100
Jumlah
Sumber : Badan Pusat Statistik Aceh Tahun 2014
Berdasarkan tabel 1.2 dapat diketahui bahwa terjadi penurunan jumlah pemakaian alat kontrasepsi dari 456 akseptor pada tahun 2013 menjadi 363 akseptor pada tahun 2014. Selain permasalahan tersebut pemakaian alat kontrasepsi juga tidak merata, karena pemakaian alat kontrasepsi jangka panjang masih sangat kecil pemanfaatannya dibandingkan dengan pemakaian alat kontrasepsi jangka pendek. Kemudian berdasarkan data yang diperoleh dari petugas PLKB diketahui bahwa sebaran pemakaian alat kontrasepsi di 26 desa juga tidak merata, bahkan ada desa yang sama sekali tidak memanfaatkan alat kontrasepsi jangka panjang yaitu Desa Paya Baro padahal penggunaan alat kontrasepsi di desa tersebut tinggi. Banyak faktor yang mempengaruhi orang untuk memilih alat kontrasepsi seperti pengetahuan, jarak pelayanan kesehatan, biaya kontrasepsi, sosial budaya dan sebagainya. Penelitian Hapsari (2009), mengatakan bahwa banyak perempuan yang mengalami kesulitan dalam menentukan pilihan jenis kontrasepsi. Hal ini tidak hanya terbatasnya metode yang tersedia, tetapi juga oleh ketidaktahuan mereka tentang persyaratan dan keamanan metode kontrasepsi tersebut. Berbagai faktor harus dipertimbangkan termasuk status kesehatan, efek samping, potensi, konsekuensi kegagalan/kehamilan yang tidak diinginkan, besar keluarga yang diinginkan/direncanakan, persetujuan pasangan bahkan norma budaya lingkungan integral yang sangat tinggi dalam pelayanan KB. Berdasarkan hasil wawancara dengan Kepala Puskesmas, Kasi Keluarga Berencana dan Keluarga Sejahtera Kantor PP (Pemberdayaan Perempuan) Meulaboh Aceh Barat dan Petugas Penyuluh Lapangan Keluarga Berencana (PLKB) berbagai upaya sosialisasi sudah
dilakukan petugas untuk meningkatkan program KB. Pada setiap event besar yang dilakukan oleh dinas Pemberdayaan Perempuan, bidan, dokter puskesmas, petugas PLKB dan kader KB turut terlibat dalam mensosialisasikan program KB dengan memanfaatkan media poster dan leaflet yang diberikan kepada masyarakat secara lasngsung. Kemudian petugas berkerjasama dengan PLKB dan kader KB juga melakukan sosialisasi KB dengan menggunakan media audiovisual yaitu layar tancap. Kemudian upaya lain yang dilakukan dalam meningkatkan pemanfaatan pelayanan KB dilakukan secara langsung oleh bidan secara face to face saat memberikan pelayanan KB dan pelayanan tersebut diberikan ketika masyarakat berkunjung ke pelayanan bidan. Bidan melakukan konsultasi langsung kepada masyarakat mengenai permasalahan yang dihadapi masyarakat dalam memanfaatkan pelayanan KB sekaligus memberikan pelayanan kebidanan dan pelayanan medis lainnya. Akan tetapi proses ini masih bersifat reaktif, karena bidan hanya menunggu masyarakat datang ke pelayanannya, tidak proaktif melakukan proses face to face kepada masyarakat. Peran ini hanya dilakukan oleh bidan sedangkan dokter hanya melakukan penyuluhan yang bersifat kelompok pada event tertentu. Berbagai upaya telah dilakukan untuk meningkatkan pemanfaatan program KB dengan metode jangka panjang oleh PUS, akan tetapi upaya tersebut belum mencapai target yang diharapkan. PUS yang menjalani program KB di Kecamatan Woyla Timur realisasinya masih rendah. Hal ini disebabkan oleh beberapa hambatan, seperti hambatan budaya dimana masyarakat masih memegang erat nilai-nilai budaya yang dikaitkan dengan agama sehingga para keluarga tidak mudah menerima program KB, terdapat juga masyarakat yang
masih usia produktif beranggapan bahwa selagi masih bisa maka perbanyaklah anak karena ada anggapan masyarakat bahwa banyak anak banyak rezeki, anak laki-laki lebih berharga dari anak perempuan dan ajaran agama yang menyatakan bahwa program KB hukumnya haram.
Hambatan di atas dipengaruhi oleh banyak faktor, salah satunya merupakan faktor yang berasal dalam diri manusia yang disebut faktor predisposisi. Menurut Green dalam Notoatmodjo (2013) pengetahuan dan sikap merupakan bagian dari faktor predisposisi. Pengetahuan merupakan hasil dari tahu yang terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Sikap merupakan reaksi atau respon yang masih tertutup dari seseorang terhadap suatu stimulus atau objek. Adopsi perilaku yang didasari pengetahuan, kesadaran dan sikap yang positif terhadap stimulus akan membentuk perilaku baru yang mampu bertahan lama. Untuk meningkatkan pengetahuan dan sikap PUS agar mau mengikuti program Keluarga Berencana diperlukan adanya komunikasi, informasi dan edukasi yang diberikan kepada mayarakat. Salah satu metode promosi kesehatan yang digunakan untuk meningkatkan pengetahuan dan sikap seseorang, kelompok atau masyarakat adalah dengan melakukan penyuluhan. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Rahayu (2010) diketahui bahwa ada pengaruh penyuluhan terhadap perubahan pengetahuan PUS tentang KB, hasil pengetahuan meningkat dari 45% menjadi 60 % setelah diberikan penyuluhan.
PLKB menempati posisi yang sangat penting dalam pencapaian program KB Nasional, karena merekalah yang berhadapan langsung dengan masyarakat. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Hafidiah (2010) yang mengatakan bahwa ujung tombak sebuah keberhasilan program KB terdapat pada Penyuluh Lapangan Keluarga Berencana (PLKB) yang secara langsung melakukan kontak, komunikasi dan secara langsung memotivasi PUS dalam menggunakan kontrasepsi. Penelitian Handini (2013) menunjukkan bahwa konseling KB yang dilakukan petugas memiliki pengaruh terhadap pengetahuan dan sikap ibu dalam menggunakan alat kontrasepsi. Penelitian Saluja (2009) menemukan bahwa pengetahuan dan sikap PUS di India dipengaruhi oleh pesan KB dari rekan sebaya atau pasangannya, selain itu media elektronik dan tenaga kesehatan juga memiliki pengaruh dalam meningkatkan pengetahuan dan sikap PUS mengenai pemakaian alat kontrasepsi. Selain itu penelitian yang dilakukan oleh Sri Sulistiyani (2008) menunjukkan bahwa ketidakmampuan PLKB dalam melaksanakan aspek manajerial karena tidak didukung oleh tenaga, dana dan sarana KIE yang memadai dapat mempengaruhi pilihan PUS dalam ber KB. Selain peran PLKB, metode dan materi yang disampaikan juga sangat mempengaruhi keberhasilan penyuluhan yang dilakukan. Oleh karena itu, agar kegiatan penyuluhan dapat mencapai hasil yang maksimal, maka metode dan media penyuluhan perlu mendapat perhatian besar dan harus disesuaikan dengan sasaran. Metode penyuluhan kesehatan dapat dibagi berdasarkan jumlah sasaran (perorangan, kelompok, massa). Ceramah merupakan metode penyuluhan yang sering digunakan pada kelompok yang pesertanya lebih dari 15 orang.
Menurut Herijulianti (2002), pemilihan metode dan media biasanya mengacu pada penentuan tujuan yang ingin kita capai, apakah pengubahan pada tingkat pengetahuan, sikap atau tindakan. Metode yang baik untuk meningkatkan aspek pengetahuan misalnya penyuluhan langsung, pemasangan poster, spanduk dan penyebaran leaflet. Sedangkan untuk aspek sikap dapat menggunakan metode yang dapat menggugah emosi, perasaan dan sikap sasaran seperti foto, slide, film atau video. Menurut penelitian para ahli diketahui bahwa indera yang paling banyak menyalurkan pengetahuan ke otak manusia adalah pandang yaitu sekitar 75% sampai 87%, 13% melalui indera dengar dan 12% lainnya tersalur melalui indera lain (Arsyad, 2006). Oleh karena itu penggunaan media yang banyak menarik perhatian pandangan seperti slide dan film menjadi prioritas. Slide dan Film yang ditayangkan dengan menggunakan LCD merupakan media penyuluhan yang fungsinya untuk mempermudah penerimaan pesan-pesan kesehatan bagi masyarakat karena slide dapat berisi pesan berupa tulisan, gambar, dan suara. Semakin banyak indra yang digunakan untuk menerima pesan maka semakin jelas pula pengertian dan pemahaman. Keberhasilan suatu penyuluhan dapat dilihat dari adanya peningkatan pengetahuan dan sikap yang mendukung perubahan perilaku tersebut (Notoatmodjo, 2010). Selain itu, materi KB harus dibuat semenarik mungkin agar PUS dapat mengingat apa yang di sampaikan (Hafidiah, 2010). Berdasarkan hal diatas peneliti tertarik untuk melakukan penelitian tentang pengaruh penyuluhan dengan media Slide dan Film terhadap pengetahuan dan sikap Pasangan Usia Subur (PUS) dalam mengikuti Program KB dengan menggunakan metode kontrasepsi jangka panjang di Kecamatan Woyla Timur Kabupaten Aceh Barat tahun 2015.
1.2
Permasalahan Berdasarkan kondisi pada latar belakang tersebut maka diperlukan sebuah kajian
tentang pengaruh penyuluhan dengan media Slide dan Film terhadap pengetahuan dan sikap pasangan usia subur dalam mengikuti program KB dengan menggunakan metode kontrasepsi jangka panjang (IUD dan Implan) di Kecamatan Woyla Timur Kabupaten Aceh Barat tahun 2015. 1.3 Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah untuk melihat pengaruh penyuluhan dengan media Slide dan Film terhadap pengetahuan dan sikap Pasangan Usia Subur dalam mengikuti program KB dengan menggunakan metode kontrasepsi jangka panjang (IUD dan Implan) di Kecamatan Woyla Timur Kabupaten Aceh Barat tahun 2015.
1.4
Hipotesis
1. Ada perbedaan tingkat pengetahuan PUS tentang program KB dengan metode kontrasepsi jangka panjang (IUD dan Implan) setelah mendapat penyuluhan dengan media Slide dan Film. 2. Ada perbedaan sikap PUS tentang program KB dengan metode kontrasepsi jangka panjang (IUD dan Implan) setelah mendapat penyuluhan dengan media Slide dan Film.