BAB 1 PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Katarak berasal dari bahasa Yunani Katarrhakies, Ingris Cataract, dan Latin
Cataracta yang berarti air terjun. Dalam bahasa Indonesia disebut bular dimana penglihatan seperti tertutup air terjun akibat lensa yang keruh. Katarak adalah setiap keadaan kekeruhan pada lensa yang dapat terjadi akibat hidrasi (penambahan cairan) lensa, denaturasi protein lensa terjadi akibat kedua-duanya (Ilyas, 2006). Menurut Shock, JP dan Harper, RA, penelitian-penelitian cross sectional mengidentifikasi adanya katarak pada sekitar 10 % orang Amerika Serikat. Prevalensi ini meningkat sampai sekitar 50 % untuk mereka yangt berusia antara 65 dan 74 dan sampai sekitar 70 % untuk mereka yang berusia lebih dari 75 tahun. Sebagian besar kasus bersifat bilateral, walaupun kecepatan perkembangannya pada masing-masing mata jarang sama (JP Shock, 1995). Angka kebutaan di Indonesia (1,5 %) tertinggi di Wilayah Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) Asia Tenggara. Hal itu terutama disebabkan ketidakseimbangan antara insiden katarak yang besarnya 210.000 orang per tahun dengan jumlah operasi katarak yang hanya 80.000 orang per tahun. Akibatnya, terjadi backlog (penumpukan penderita) katarak yang cukup tinggi (Nyimasy, 2002) Angka kebutaan negara lain di Regional WHO Asia Tenggara yang cukup tinggi antara lain Bangladesh (1,0 %), India (0,8 %), dan Thailand (0,3 %), WHO 1
2
memperkirakan ada 45 juta penderita kebutaan di dunia. Tiap menit ada 12 orang buta di dunia. Di Indonesia tiap menit ada satu orang menjadi buta. Sebagian besar berada di daerah miskin dengan kondisi sosial ekonomi lemah (Nyimasy, 2002). Penyebab utama kebutaan adalah katarak (0,78 %), glaukoma (0,20 %), dan kelainan refraksi (0,14 %) serta penyakit lain yang berhubungan dengan usia lanjut (Nyimasy, 2002). Menurut
Menkes dalam Survei Kesehatan Indera
Penglihatan tahun 1993-1996 , saat ini 1,5 % penduduk indonesia mengalami kebutaan dengan prevalensi penyebab utama katarak (0,78 %), glaukoma (0,2 %), kelainan refraksi (0,14 %), gangguan retina (0,13 %), kelainan kornea (0,10 %), dan penyakit mata lain (0,15 %) (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2010). Sedangkan menurut Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Kementerian Kesehatan tahun 2007, menunjukkan adanya penurunan angka kebutaan di Indonesia yaitu rata-rata kebutaan Nasional adalah 0,9 % dan prevalensi katarak pada usia lebih dari 30 tahun sebesar 1,8 % walaupun angka ini belum dibandingkan dengan hasil survei kesehatan indera penglihatan tahun 1993-1996 karena metode dan teknik yang dilakukan berbeda (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2010). Beberapa jenis teknik ekstraksi katarak yaitu aspirasi lensa, Intra Capsular Cataract Extraction (ICCE), Ekstra Capsular Cataract Extraction (ECCE), Small Incision Cataract Surgery (SICS), dan fakoemulsifikasi. Pasca bedah katarak masih mempunyai resiko terjadinya astigmatisme (Ilyas, 1999).
3
Astigmatisme adalah keadaan dimana sinar sejajar tidak dibiaskan secara seimbang pada seluruh meridian (Dwi Ahmad Yani, 2009). Astigmatisme biasanya disebabkan oleh kelainan bentuk kornea. Pada astigmatisme berkas sinar tidak difokuskan pada satu titik dengan tajam pada retina akan tetapi pada dua garis titik api yang saling tegak lurus yang terjadi akibat kelainan kelengkungan kornea (Ilyas, 2006). Astigmatisme juga dapat terjadi akibat jaringan parut pada kornea atau setelah pembedahan mata. Jahitan kornea yang terlalu kuat pada bedah mata dapat mengakibatkan perubahan pada pembukaan kornea (Dwi Ahmad Yani, 2009). Menurut penelitian yang dilakukan oleh A Sood, S Kumar, B Badhu, V Kulshrestha angka kejadian astigmatisme pasca operasi katarak dengan teknik SICS adalah 40 % with the rule astigmatism dan 40% against the rule astigmatism (Asian Journal of Ophthalmology, 2002). Menurut Riset Kesehatan Dasar Tahun 2007 Provinsi Jawa Timur, angka kebutaan akibat katarak masih tinggi di kota Malang yaitu sebesar 8,6% (Departemen Kesehatan RI, 2008). Untuk mengurangi kebutaan akibat katarak dan timbunan katarak, RSUD dr. Saiful Anwar Malang sering melakukan pengobatan gratis terhadap pasien yang menderita katarak dengan melakukan operasi katarak, dan rumah sakit ini merupakan rumah sakit daerah yang mempunyai banyak data mengenai katarak dan operasi katarak. Dengan adanya fenomena di atas, peneliti tertarik untuk meneliti tentang pengaruh teknik operasi katarak Ekstra Capsular Cataract Extraction (ECCE) dan Small Incision Cataract Surgery (SICS) terhadap terjadinya astigmatisme di RSUD dr. Saiful Anwar Malang periode Januari-Desember 2009.
4
1.2
Rumusan Masalah Bagaimanakah pengaruh teknik operasi katarak Ekstra Capsular Cataract
Extraction (ECCE) dan Small Incision Cataract Surgery (SICS) terhadap terjadinya astigmatisme di RSUD dr. Saiful Anwar Malang periode JanuariDesember 2009?
1.3
Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan Umum Mengetahui pengaruh teknik operasi katarak Ekstra Capsular Cataract Extraction (ECCE) dan Small Incision Cataract Surgery (SICS) terhadap terjadinya astigmatisme di RSUD dr. Saiful Anwar Malang periode JanuariDesember 2009. 1.3.2 Tujuan Khusus 1. Mengetahui jumlah penderita katarak yang menjalani operasi dengan metode ECCE dan SICS di RSUD dr.Saiful Anwar Malang periode Januari-Desember 2009. 2. Mengetahui karakteristik penderita katarak yang menjalani operasi dengan metode ECCE dan SICS (usia, jenis kelamin, jenis katarak). 3. Mengetahui jumlah penderita katarak yang mengalami astigmatisme sesudah operasi dengan metode ECCE dan SICS.
5
1.4
Manfaat Penelitian
1.4.1 Manfaat Klinis Memberi informasi kepada tenaga medis tentang
komplikasi
operasi
katarak dalam upaya perencanaan dan pengadaan fasilitas dan perawatan bagi penderita. 1.4.2 Manfaat Akademis Penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan atau sumber data untuk penelitian selanjutnya. 1.4.3 Manfaat Masyarakat Menambah pengetahuan masyarakat tentang operasi katarak dengan metode ECCE dan SICS.