Bab 1 PENDAHULUAN 1.1
Latar Belakang
Secara umum di Indonesia, desa (atau yang disebut dengan nama lain sesuai bahasa daerah setempat) dapat dikatakan sebagai suatu wilayah terkecil yang dikelola secara formal dan mandiri oleh kelompok masyarakat yang berdiam di dalamnya dengan aturanaturan yang disepakati bersama, dengan tujuan menciptakan keteraturan, kebahagiaan dan kesejahteraan bersama yang dianggap menjadi hak dan tanggungjawab bersama kelompok masyarakat tersebut. Dalam sistem administrasi negara yang berlaku sekarang di Indonesia, wilayah desa merupakan bagian dari wilayah kecamatan, sehingga kecamatan menjadi instrumen koordinator dari penguasa supra desa (Negara melalui Pemerintah dan pemerintah daerah). Pada awalnya, sebelum terbentukya sistem pemerintahan yang menguasai seluruh bumi nusantara sebagai suatu kesatuan negara,1 urusan-urusan yang dikelola oleh desa adalah urusan-urusan yang memang telah dijalankan secara turun temurun sebagai norma-norma atau bahkan sebagian dari norma-norma itu telah melembaga menjadi suatu bentuk hukum yang mengikat dan harus dipatuhi bersama oleh masyarakat desa, yang dikenal sebagai hukum adat. Urusan yang dijalankan secara turun temurun ini meliputi baik urusan yang
1
Lihat alinea terakhir Pembukaan UUD NRI 1945: “… untuk membentuk suatu pemerintah negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia…, maka disusunlah … susunan negara Republik Indonesia …”.
1
hanya murni tentang adat istiadat, maupun urusan pelayanan masyarakat dan pembangunan (dalam administrasi pemerintahan dikenal sebagai urusan pemerintahan), bahkan sampai pada masalah penerapan sanksi, baik secara perdata maupun pidana. Urusan yang demikian, dalam teori dan praktek sistem pemerintahan daerah di Indonesia, selama ini dikenal sebagai “urusan asal-usul”. Dalam perkembangannya, setelah terbentuknya Negara Republik Indonesia, urusan desa menjadi bertambah, antara lain dengan masuknya urusan-urusan yang timbul karena adanya pemerintahan negara sebagai kekuasaan supra desa. Dalam hal ini Pemerintah, baik secara langsung dan dengan tugas pembantuan ataupun melalui pemerintah daerah dengan desentralisasi otonomi, memerlukan bantuan dari desa untuk menyelenggarakan urusan-urusan pemerintahan yang dilaksanakan di tingkat “akar rumput” (grass roots). Deskripsi di atas disimpulkan secara umum dari kondisi serta pengaturan yang pernah ada sejak masa sebelum datangnya kekuasaan penjajahan kolonial hingga saat ini. Berbagai periode kekuasaan dan pengaturan telah dilalui oleh desa dalam perjalanan yang sangat panjang. Dalam hal pengaturan, disamping tumbuh dan berkembangnya adat istiadat serta prakarsa masyarakatnya, berbagai kepentingan politik penguasa di tingkat supra desa telah pula ikut mewarnai pengelolaan desa dan masyarakatnya. Namun demikian, karena pada dasarnya keberadaan desa sangat tergantung pada kehendak masyarakat pengelolanya, maka sistem pengelolaan desa yang berkembangpun menjadi sangat beragam. Dalam literatur modern di Indonesia, sistem pengelolaan desa secara formal tercatat sejak zaman pemerintahan kolonial Hindia Belanda dengan dikeluarkannya dua peraturan perundang-undangan, yaitu: Staadsblad No. 83 Tahun 1906 tentang Indische Gemeente Ordonantie (IGO) yang berlaku bagi desa-desa di pulau Jawa dan Madura, dan Staatsblad
2
No. 683 Tahun 1938 tentang Indische Gemeente Ordonantie Buitengevesten (IGOB) yang berlaku bagi desa-desa di luar pulau Jawa dan Madura. Kedua peraturan tersebut banyak “menyerahkan” persoalan masyarakat desa kepada hukum adat masing-masing. Kemudian setelah merdeka, konstitusi Negara Kesatuan Republik Indonesia, Undang-undang Dasar (UUD) 1945 (sebelum amandemen) dalam Penjelasannya mencantumkan: Dalam teritoir Negara Indonesia terdapat lebih kurang 250 zelfbesturende landschappen dan volkgemeenschappen, seperti desa di Jawa dan Bali, nagari di Minangkabau, dusun dan marga di Palembang dan sebagainya. Daerah-daerah itu mempunyai susunan asli dan oleh karenanya dapat dianggap sebagai daerah yang bersifat istimewa.
Dalam paragraf berikutnya dari Penjelasan UUD 1945 tersebut, dinyatakan: Negara Republik Indonesia menghormati kedudukan daerah-daerah istimewa tersebut dan segala peraturan Negara yang mengenai daerah itu akan mengingati hak-hak asal-usul daerah tersebut.
Atas dasar Penjelasan UUD 1945 inilah, 3 tahun kemudian dibuat pengaturan tentang desa yang dimasukkan ke dalam UU No. 22 Tahun 1948 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah dimana desa digolongkan sebagai pemerintah daerah tingkat III. Penjelasan umum UU No. 22 Tahun 1948 menyebutkan alasan untuk mengatur desa sebagai daerah tingkat ketiga:2 Menurut Undang-undang pokok ini, maka daerah otonoom yang terbawah ialah desa, negeri, marga, kota kecil dan sebagainya. Ini berarti bahwa desa ditaruh kedalam lingkungan pemerintahan yang modern tidak ditarik diluarnya sebagai waktu yang lampau. Pada jaman itu tentunya pemerintahan penjajah mengerti, bahwa desa itu adalah sendi negara, mengerti bahwa desa sebagai sendi negara itu harus diperbaiki segala-segalanya, diperkuat dan didinamiseer, supaya dengan begitu negara bisa mengalami kemajuan. Tetapi untuk kepentingan penjajahan, maka desa dibiarkan saja tetap statis (tetap keadaannya). Pemberian hak otonomi menurut ini, Gemeente-ordonnantie adalah tidak berarti apa-apa, karena desa dengan hak itu tidak bisa berbuat apa-apa, oleh karena tidak mempunyai
2
Dalam Undang-Undang ini, kepala desa diangkat oleh gubernur dari empat calon yang diajukan oleh dewan desa.
3
keuangan dan oleh ordonnantie itu diikat pada adat-adat, yang sebetulnya didesa itu sudah tidak hidup lagi. Malah sering kejadian adat yang telah mati dihidupkan pula atau sebaliknya adat yang hidup dimatikan, bertentangan dengan kemauan penduduk desa, hanya oleh karena kepentingan penjajah menghendaki itu.
Perkembangan selanjutnya, dibawah rezim Undang-undang Dasar Sementara (UUDS) 1950, UU No. 22 Tahun 1948 diganti dengan UU No. 1 Tahun 1957 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah. Dalam Penjelasan Umum Undang--Undang ini (Ad. 2) dinyatakan: Hal-hal yang disinggung ini tidak dapat kita lepaskan dari pengertian setempat mengenai kesatuan-kesatuan masyarakat yang paling bawah, yang kita namakan kesatuankesatuan masyarakat hukum. Kesatuan-kesatuan masyarakat hukum ini bentuknya bermacam-macam di seluruh Indonesia ini. Di Jawa namanya Desa dan Desa itu adalah satu macam kesatuan masyarakat hukum yang tidak lagi terbagi dalam kesatuan-kesatuan masyarakat hukum bawahan dan tidak pula Desa itu merupakan bahagian dari lain kesatuan masyarakat hukum menurut adat, sehingga desa itu berdiri tunggal, mempunyai daerah sendiri, rakyat sendiri, penguasa sendiri dan mungkin pula harta benda sendiri, sedangkan hukum-adat yang berlaku di dalamnya adalah sesungguhnya "homogeen". Lain coraknya umpamanya di Tapanuli, di mana kesatuan masyarakat hukum-adat itu mempunyai bentuk yang bertingkat, umpamanya Kuria sebagai kesatuan masyarakat hukum-adat yang tertinggi dan merupakan satu daerah, mempunyai di dalamnya sejumlah kesatuan-kesatuan masyarakat hukum-adat bawahannya, yang dinamakannya Huta, yang masing-masing mempunyai sekumpulan rakyat sendiri, satu penguasa sendiri dan mungkin pula mempunyai daerah sendiri sebagai bahagian dalam daerah kuria itu, sehingga adapula hutahuta yang tidak mempunyai lingkungan daerah itu dalam daerah kurianya sendiri. Meskipun demikian juga dalam setiap kesatuan kuria itu berlaku hukum adat yang "homogeen". Contoh yang lain ialah Minangkabau, dimana didapati kesatuan masyarakat hukum tertinggi yakni Nagari, yang masing-masing mempunyai daerah sendiri sedangkan dalam daerah itu dijumpai sejumlah suku-asal, yang masing-masing suku merupakan pula satu kesatuan masyarakat hukum-adat yang terbawah. Juga kesatuan masyarakat hukumnya yang bernama Suku itu mungkin mempunyai daerah sendiri atau tidak dalam lingkungan nagari itu. Syarat belakangan ini, mempunyai daerah sendiri adalah syarat mutlak dalam sistim otonomi, yang memberikan kekuasaan kepada sekumpulan rakyat yang berdiam dalam suatu lingkungan yang nyata. Dengan demikian nyatalah bahwa bagi tempat-tempat yang serupa ini sulit kita untuk menciptakan satu kesatuan otonomi dalam pengertian tingkat yang ketiga (III), sehingga kemungkinannya atau hanya memberikan otonomi itu secara tindakan baru kepada kabupaten di bawah Propinsi, atau menciptakan dengan cara bikin-bikinan wilayah administratief dalam kabupaten itu untuk kemudian dijadikan kesatuan yang berotonomi. Dalam prinsipnya sangatlah tidak bijaksana mengadakan kesatuan otonomi secara bikinbikinan saja dengan tidak berdasarkan kesatuan-kesatuan masyarakat hukum yang ada. Prinsip yang kedua ialah bahwa sesuatu daerah yang akan kita berikan otonomi itu hendaklah sebanyak mungkin merupakan suatu masyarakat yang sungguh mempunyai
4
faktor-faktor pengikut kesatuannya. Sebab itulah maka hendaknya di mana menurut keadaan masyarakat belum dapat diadakan tiga (3) tingkat, untuk sementara waktu dibentuk 2 tingkat dahulu. Berhubung dengan hal-hal adanya atau tidak adanya kesatuan-kesatuan masyarakat hukum-adat sebagai dasar bekerja untuk menyusun tingkat otonomi itu, hendaklah pula kita insyafi bahwa urusan otonomi tidak "congruent" dengan urusan hukum-adat, sehingga manakala sesuatu kesatuan masyarakat hukum-adat dijadikan menjadi satu daerah otonomi atau dimasukkan ke dalam suatu daerah otonomi, maka hal itu tidaklah berarti, bahwa tugas-tugas kepalakepala adat dengan sendirinya telah terhapus. Yang mungkin terhapus hanya segi-segi hukum-adat yang bercorak ketata-negaraan, manakala hanya satu kesatuan masyarakat hukum-adat itu dijadikan daerah otonomi, sekedar corak yang dimaksud bersepadanan dengan kekuasaan ketata-negaraan yang tersimpul dalam pengertian otonomi itu. Kesanggupan melihat perbedaan itu, yaitu perbedaan antara otonomi dan kekuasaan adat adalah suatu syarat penting untuk menjalin hidupnya otonomi itu secara yang memuaskan, keseluruhan rakyat yang mau tak mau masih terkungkung dalam sistim hukum-adat itu.
Dalam perkembangan selanjutnya yang dimaksud dengan pemerintah daerah tingkat III berubah dalam UU No. 18 Tahun 1965 tentang Pemerintahan Daerah. Undang-undang ini
menyebutkan
bahwa
yang
disebut
sebagai
Daerah
Tingkat
III
adalah
Kecamatan/Kotapraja. Namun karena persoalan desa tidak diatur di dalamnya, sebagai pendamping bagi UU No. 18 Tahun 1965 tersebut dikeluarkan pula UU No. 19 Tahun 1965 tentang Desapraja,3 yang mengatur bahwa desapraja tidak dianggap sebagai tingkat pemerintahan daerah sebagaimana halnya Provinsi, Kabupaten/Kotamadya dan Kecamatan, karena dianggap memiliki perbedaan mendasar, yakni adanya otonomi asli yang sudah hidup secara turun temurun dan menyatu dalam kehidupan masyarakat sebelum terbentuknya Negara. Namun sayangnya, karena alasan politik tertentu dari penguasa pada saat itu (rezim Orde Baru), keberlakuan Undang-undang tentang Desapraja ini ditangguhkan, yang menyebabkan selama lebih kurang 14 tahun sampai munculnya UU
3
UU No 19 Tahun 1965 disahkan empat minggu sebelum peristiwa Gerakan 30 September 1965. Judul lengkap Undang-Undang ini adalah “Undang-undang tentang Desapraja sebagai bentuk Peralihan untuk mempercepat terwujudnya Daerah Tingkat III di seluruh wilayah Republik Indonesia.”
5
No. 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa, peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang desa menjadi “kosong”. Dalam situasi kekosongan hukum tersebut, praktis hanya hukum adatlah saat itu yang menjadi pegangan bagi kesatuan masyarakat yang hidup di desa, mirip seperti sebelum berkuasanya pemerintah kolonial di bumi Nusantara. Seperti alasan dipisahkannya pengaturan tentang desa dalam UU No. 19 Tahun 1965 dari pengaturan tentang Pemerintah Daerah dalam UU No. 18 Tahun 1965 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah, UU No. 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa juga dimaksudkan sebagai pendamping bagi UU No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah dalam mengatur pengelolaan wilayah masyarakat terkecil secara formal. Akan tetapi, meskipun dalam perumusannya UU No. 5 Tahun 1979 mengakui dan menghormati keberadaan hukum adat, terdapat banyak aturan dalam undang-undang ini yang telah membuat penyeragaman dalam berbagai hal, mulai dari penyebutan istilahistilah yang digunakan hingga sistem pengelolaannya. Oleh karenanya, meskipun bertahan hingga 20 tahun, Undang-Undang ini dianggap tidak konstitusional oleh masyarakat desa, terutama bagi mereka yang tinggal di luar pulau Jawa, karena telah menyeragamkan bentuk dan peristilahan desa di seluruh Indonesia. Demi tujuan penyeragaman tersebut bahkan Pemerintah saat itu melakukan regrouping terhadap beberapa desa. Sebagaimana pernah dinyatakan oleh salah seorang tokoh adat di Kabupaten Sanggau di bawah ini:4 Dahulu ketika diberlakukan UU No. 5 Tahun 1979, banyak kampung-kampung yang diregrouping menjadi desa. Hal ini untuk memenuhi syarat menjadi desa. Akhirnya banyak kampung yang letaknya berjauhan menjadi satu desa dan untuk ke desa pengembangan
4
BP LAPPERA, Mempertegas Identitas dengan Kembali ke Sistem Pemerintahan Kampung: Pengalaman Masyarakat Sanggau Mengupayakan Perda Sistem Pemerintahan Kampung, 2002 dalam Analisis Klausul-klausul mengenai Desa dalam UU 32 Tahun 2004: Menutup Pintu yang terbuka, Paramita Iswari (disampaikan pada diskusi ”Mendudukkan Otonomi Asli dengan Memanfaatkan Momentum Politik ’Otonomi Daerah’ dalam rangka Penataan Ulang Relasi Negara dengan Masyarakat Adat”, dalam rangka memperingati Hari Masyarakat Adat Nusantara, yang diselenggarakan oleh Aliansi Masyarakat Adat Kalimantan Barat di Hotel Merpati, Pontianak, 16 Maret 2005),.
6
(pusat desa) warga masyarakat harus menempuh jarak berjam-jam hanya untuk mengurus surat ijin dari kepala desa.
Sebagian kalangan, ada yang menilai bahwa Undang-undang tersebut merupakan upaya “jawanisasi”.5 Ada pula yang mensinyalir, bahwa yang menjadi alasan utama Pemerintah pada waktu itu dalam melakukan penyeragaman tersebut adalah demi terkendalinya persatuan dan kesatuan Negara Kesatuan Republik Indonesia hingga ke tingkat pedesaan dimana hidup para petani yang menjadi basis kekuatan komunisme saat itu, yang dianggap sebagai ancaman utama bagi tegaknya negara yang berdasarkan asas ketuhanan (sila pertama Pancasila). Dalam perkembangannya, penyeragaman pengelolaan desa tersebut telah banyak mematikan kehidupan demokrasi di tingkat desa. Dengan penyeragaman, Orde Baru sebagai penguasa waktu itu telah menjadikan desa sebagai instrumen untuk mempertahankan tirani kekuasaan. Selanjutnya dengan bergulirnya arus reformasi tahun 1998 yang meruntuhkan kekuasaan rezim Orde Baru, lahirlah suatu undang-undang baru di bidang pemerintahan daerah yang isinya diupayakan dibuat sesuai dengan nilai-nilai demokrasi yang menjadi tuntutan utama dari Gerakan Reformasi, yakni Undang-undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, yang kemudian disempurnakan lagi dengan Undang-undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang berlaku hingga saat ini. Namun demikian, meskipun kedua undang-undang itu sudah mengatur tentang desa dalam satu bab khusus, ternyata hal ini belum cukup “memuaskan” masyarakat desa itu sendiri.
5
Yang dimaksud dengan “Jawanisasi” disini adalah menerapkan model desa Jawa untuk kesatuan masyarakat adat di luar Jawa. Hal ini terlihat dari definisi desa oleh UU No 5 Tahun 1979: “Desa adalah wilayah yang ditempati oleh sejumlah penduduk sebagai persatuan masyarakat termasuk di dalamnya kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai organisasi pemerintahan terendah di bawah camat dan berhak menyelenggarakan rumah tangganya sendiri.” Definisi ini tidak memberikan kebebasan kepada desa-desa diluar pulau Jawa untuk memakai bahasa daerah sendiri dalam penyebutan istilah desa, yang telah dikenal dan melekat pada kehidupan mereka secara turun temurun.
7
Sebenarnya, UU No. 22 Tahun 1999 telah memberikan pengakuan terhadap keragaman dan keunikan desa sebagai self-governing community. Hal ini terlihat dari definisi desa yang dimuat dalam Pasal 1 Undang-undang ini, yaitu: Desa atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut Desa, adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal-usul dan adat-istiadat setempat yang diakui dalam sistem Pemerintahan Nasional dan berada di Daerah Kabupaten.
Pada UU ini, tidak ada lagi penyeragaman penggunaan istilah. Penggunaan istilah dalam bahasa daerah mendapat ruang kebebasan.6 Kemudian ada beberapa ketentuan lain yang juga memberikan kebebasan dalam sistem penataan dan pengelolaan desa.7 Secara normatif, UU No. 22 Tahun 1999 sudah tidak lagi menempatkan desa sebagai bentuk pemerintahan terendah di bawah kecamatan semata, melainkan juga sebagai kesatuan masyarakat hukum yang berhak mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat sesuai hak asal-usul dan adat-sitiadat setempat. Implikasinya adalah, desa berhak membentuk regulasi desa sendiri untuk mengelola kehidupan di desa. Dengan demikian, Undang-Undang ini diharapkan dapat membangkitkan wacana, inisiatif, dan eksperimen otonomi desa, sekaligus mendorong bangkitnya identitas lokal daerah. Meskipun demikian, UU No. 22 Tahun 1999 bukannya tanpa kelemahan. Beberapa kesalahan dapat dilihat dalam perumusan judul bagian8 dan definisi. Dalam Undang-
6
Dalam Penjelasan Pasal 93 ayat (1) UU No.22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah disebutkan: “Istilah Desa disesuaikan dengan kondisi sosial budaya masyarakat setempat seperti nagari, kampong, huta, bori dan marga.”
7
Perhatikan penjelasan pasal-pasal 94, 95, 96, 100, 105 ayat (3), dan 110 UU No.22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah.
8
Bagian kerjasama dalam UU No.22 Tahun 1999 menggunakan judul yang salah, yaitu “Kerjasama Antar Desa”. Seharusnya judulnya adalah “Kerjasama Desa” saja sebagaimana digunakan dalam UU No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, karena isinya tidak hanya mengenai kerjasama antar desa saja tetapi juga kerjasama antara desa dengan pihak lainnya (Pasal 110 UU No.22 Tahun 1999).
8
Undang ini, desa didefinisikan sebagai “kesatuan masyarakat hukum, ... berdasarkan asal-usul dan adat-istiadat setempat” padahal dalam kenyataannya banyak sekali desa dengan masyarakat yang memiliki dari lebih dari satu kesatuan masyarakat hukum adat (seperti di Maluku dengan orang Ambon dan orang Buton), dan banyak juga desa yang tidak lagi mengatur dan mengurus rumah tangganya berdasarkan asal-usul dan adat-istiadat setempat, serta juga ada wilayah kesatuan masyarakat hukum adat dengan batasan berbeda dengan batasan wilayah desa. Pada
Undang-Undang
ini,
tidak
tergambarkan
bahwa
desa
juga
dapat
menyelenggarakan urusan pemerintahan (urusan pelayanan dan pembangunan) yang sesuai dengan keinginan masyarakat desa guna meningkatkan kesejahteraan dan kebahagiaan masyarakat desa dengan memperhatikan faktor-faktor perlindungan/kelestarian lingkungan hidup9 yang sangat penting bagi kehidupan masyarakat desa di masa depan. Sebenarnya ada satu ketentuan dalam Undang-Undang ini yang mencoba memberikan solusi terhadap permasalahan ini, yakni Pasal 99 huruf b, namun masih belum cukup untuk memberikan pemecahan. Dalam ketentuan tersebut dinyatakan, bahwa desa memiliki kewenangan yang oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku belum dilaksanakan oleh Daerah dan Pemerintah. Dari perumusan ini memang bisa saja diartikan bahwa pendelegasian urusan pemerintahan terjadi secara “otomatis”, sepanjang belum dilaksanakan oleh Daerah dan Pemerintah. Akan tetapi di sisi lain dapat pula berarti bahwa apabila Daerah dan Pemerintah telah melaksanakannya, maka urusan itupun dengan sendirinya tidak dapat lagi dilaksanakan oleh desa. Hal ini tidak fair bagi desa, karena dalam prakteknya akan menyulitkan desa dimana desa tidak memiliki bargaining position untuk meminta, menolak
9
Masalah kelestarian lingkungan hidup telah diatur dalam Pasal 215 ayat (2) butir d UU No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
9
atau mempertahankan urusan tersebut karena alasan kondisi dan tingkat kemampuan sumber daya, baik sumber daya manusia maupun finansial. Untuk memecahkan persoalan di atas, seharusnya ada prinsip yang jelas untuk dijadikan dasar atau pegangan bagi desa untuk bisa meminta, menolak ataupun mempertahankan urusan-urusan pemerintahan, yang sebenarnya merupakan urusan pemerintah daerah dan/atau Pemerintah. Desa harus bisa menjadi subyek bagi urusanurusan yang akan dikelolanya, bukan hanya menjadi obyek. Prinsip tersebut harus dapat menempatkan posisi desa sejajar dengan pemerintah, bukan sub-ordinatif, sehingga hubungan yang terbentuk adalah hubungan yang bersifat kemitraan, dimana tidak ada unsur pemaksaan dari satu pihak terhadap pihak lainnya. Dengan prinsip ini desa juga dapat mempertahankan urusan pelayanan dan pembangunan yang merupakan urusan asalusulnya. Yang harus diciptakan dengan prinsip ini adalah pemerintah daerah dan/atau Pemerintah hanya dapat mendelegasikan kewenangan atau urusannya kepada desa setelah mendapat persetujuan dari masyarakat desa melalui penyelenggara desa, dan demikian pula sebaliknya pihak desa baru dapat melaksanakan urusan pemerintahan yang mereka anggap sebagai “otonomi asli” milik desa setelah memperoleh persetujuan dari pemerintah. Kedua hal tersebut disepakati oleh kedua belah pihak dengan memperhatikan faktor kehendak dan kesiapan/kemampuan desa10. Memang, setelah berlakunya UU No.22 tahun 1999, ada peraturan pemerintah (PP) yang lahir sebagai peraturan pelaksana, yakni PP No. 76 Tahun
10
Dalam prakteknya nanti, guna menghindari subyektifitas penilaian baik dari pihak desa maupun pihak pemerintah, maka diperlukan adanya suatu lembaga independen untuk itu yang anggotanya terdiri dari berbagai pihak (satake holders) yang mempunyai kepentingan terhadap desa yang berkedudukan di tiap-tiap kota atau ibukota kapubaten, yang dalam Naskah Akademik ini diusulkan diberi nama Komisi Penilai Kinerja dan Kondisi Desa (KOMISI DESA).
10
2001 tentang Pedoman Umum Pengaturan Mengenai Desa. Namun PP ini juga tidak menyebutkan secara jelas prinsip yang dimaksud dalam uraian di atas. Kelemahan lainnya yang dapat dicatat adalah sebagaimana dirumuskan pada definisi desa dalam UU No. 22 Tahun 1999, bahwa desa hanya terdapat di kabupaten. Seharusnya sebagai suatu kesatuan masyarakat hukum yang dapat mengatur dan mengurus dirinya sendiri, desa tidak hanya terdapat di wilayah kabupaten, sehingga di dalam wilayah kota bisa saja terdapat desa, meskipun disuatu kawasan tertentu telah ada satuan wilayah kerja pemerintah daerah (dalam hal ini pemerintah kota) dibawah kecamatan yang disebut kelurahan. Hal ini seharusnya bisa terjadi karena desa sebenarnya bukanlah wilayah kerja pemerintah kota. Dasar pemikiran ini terkait pula dengan pemikiran bahwa pemerintah desa sebenarnya bukanlah pemerintah dalam arti yang sebenarnya sebagaimana yang dikenal dalam istilah Pemerintah (Pusat) ataupun pemerintah daerah. Konstitusi Indonesia (UUD NRI 1945) yang berlaku saat ini tidak menyebutkan bahwa Pemerintah Desa adalah pemerintah. Yang disebut Pemerintah dalam Pasal 18 UUD NRI 1945 hanyalah Pemerintah (Pusat) dan pemerintah daerah provinsi, kabupaten dan kota. Pemerintah desa hanyalah organisasi yang dibentuk oleh masyarakat desa untuk menyelenggarakan (mengatur dan mengurus) urusan umum yang menyangkut kepentingan masyarakat desa dan individu yang berada dan/atau mempunyai kepentingan di desa. Sehingga dalam implementasinya, di dalam wilayah kecamatan bisa saja terdapat kelurahan sekaligus desa. Sebagai perbandingan, dapat dilihat keadaan yang ada di Bali, dimana di dalam wilayah kecamatan bisa terdapat desa administrasi sekaligus desa adat. Desa administrasi mungkin bisa dianalogikan sebagai kelurahan di kota, tetapi perbedaannya desa administrasi di Bali adalah organisasi yang dibentuk dan diselenggarakan secara mandiri oleh masyarakat dan bisa terdapat dimana saja (kota dan kabupaten), sedangkan kelurahan adalah bagian dari
11
dan dibentuk oleh organisasi pemerintah daerah dan hanya terdapat di wilayah perkotaan. Disamping itu, dengan menetapkan bahwa desa hanya terdapat di kabupaten, maka banyak desa-desa yang dikota secara dipaksakan diubah menjadi kelurahan, tanpa memperhatikan aspirasi dari masyarakat desa. Adanya kelemahan pada UU No. 22 Tahun 1999 telah mendorong pemerintah untuk merevisinya dengan UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Sangat disayangkan, UU No. 32 Tahun 2004 inipun tidak terlalu menyelesaikan permasalahan tentang desa yang ada dalam UU No. 22 Tahun 1999 tersebut, karena desain desentralisasi yang dimiliki UU No. 32 Tahun 2004 tidak jauh berbeda dengan yang dimiliki UU No. 22 Tahun 1999. Memang sudah ada sedikit perbaikan dalam Peraturan Pemerintah (PP) No.72 tahun 2005 tentang Desa yang merupakan peraturan pelaksana dari UU 32 Tahun 2004. Pasal 9 ayat (1) PP itu menyebutkan: Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan penyerahan urusan yang menjadi kewenangan Kabupaten/Kota yang diserahkan pengaturannya kepada Desa ... diatur dengan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota dengan berpedoman pada Peraturan Menteri.
Namun ketentuan tersebut belum memberikan prinsip dasar yang dimaksud dalam uraian di atas (kesetaraan), yang seharusnya diatur dalam peraturan pada tingkat undangundang, yang berlaku secara nasional. Selanjutnya, Pasal 10 ayat (3) PP No.72 tahun 2005 menyatakan: “Desa berhak menolak melaksanakan tugas pembantuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang tidak disertai dengan pembiayaan, prasarana dan sarana, serta sumber daya manusia.”11 Namun sekali lagi, ketentuan ini juga belum dianggap cukup untuk memberikan prinsip dasar tentang kesetaraan tersebut, karena hanya memberikan
11
Ketentuan ini sebelumnya diatur dalam Penjelasan Pasal 100 UU No.22 Tahun 1999.
12
aturan mengenai power untuk melakukan penolakan, belum untuk meminta dan mempertahankan. Satu kelemahan lain yang cukup signifikan dalam UU No. 32 tahun 2004 adalah ketentuan Pasal 200 ayat (3) yang menyebutkan: Desa di kabupaten/kota secara bertahap dapat diubah atau disesuaikan statusnya menjadi kelurahan sesuai usul dan prakarsa pemerintah desa bersama badan permusyawaratan desa yang ditetapkan dengan Perda.
Meskipun ketentuan ini telah mengadopsi perhatian terhadap usul dan prakarsa pemerintah desa bersama badan permusyawaratan desa, namun pengaturan bahwa desa dapat diubah menjadi kelurahan adalah tidak tepat, dan tidak ada penjelasan mengapa kelurahan diasumsikan lebih sesuai. Keresahan lainnya adalah adanya ketentuan yang cenderung meningkatkan kontrol pemerintah terhadap desa, yaitu ketentuan Pasal 202 ayat (3) yang menetapkan bahwa seorang sekretaris desa diisi oleh Pegawai Negeri Sipil (PNS). Ketentuan ini dapat menyebabkan “ketidakpatuhan” sekretaris desa kepada kepala desa sebagai atasannya, akan tetapi ia hanya akan patuh kepada kekuasaan yang mengatur dan bertanggungjawab terhadap dirinya sebagai PNS, yang jelas-jelas bukanlah kepala desa tapi pejabat di jajaran perangkat pemerintah daerah. Ketidak puasan masyarakat desa akan peraturan perundang-undangan yang ada, kini telah berujung pada tuntutan bahwa desa seharusnya tidak diatur satu paket dalam undangundang tentang pemerintahan daerah, akan tetapi hendaknya diatur dalam undang-undang tersendiri yang khusus mengatur tentang Desa. Disamping alasan yang telah diuraikan di atas, berbagai alasan lain juga melatarbelakangi tuntutan itu, seperti: dianggap bahwa desa masih kurang diperhatikan oleh pemerintah; pemerintahan desa tidak sama hakikatnya dengan pemerintah daerah, yang otonominya diberikan secara total oleh Pemerintah Pusat;
13
tidak jelasnya kedudukan desa dalam sistem pemerintahan negara; serta sangat kurangnya pengalokasian anggaran negara bagi penyelenggaraan pelayanan dan pembangunan di desa. Dengan fakta-fakta di atas yang dianggap menjadi alasan-alasan utama, Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI) saat ini mencoba mencarikan jalan keluar bagi permasalahan-permasalahan tersebut dengan merumuskan suatu rancangan undangundang (RUU) tersendiri tentang desa. Adapun pokok-pokok pemikiran yang ingin dimuat dalam RUU tersebut adalah hal-hal yang menyangkut: 1.
Ketentuan umum,
2.
Keberadaan dan pembentukan desa,
3.
Pembagian kewenangan antara daerah dan desa,
4.
Sumber keuangan desa,
5.
Penyelenggara Desa (Kepala Desa dan Dewan Perwakilan Masyarakat Desa) dan Pengurus Desa (Kepala Desa dan Perangkat Desa).
6.
Musyawarah desa,
7.
Pemilihan desa,
8.
Lembaga-lembaga desa,
9.
Peraturan desa dan keputusan kepala desa,
10.
Pengelolaan keuangan dan kinerja desa,
11.
Kerjasama,
12.
Penyelesaian perselisihan,
13.
Pengawasan, pembinaan dan pertimbangan otonomi desa,
14.
Instansi Pemerintah dan pemerintah daerah di desa, 14
15.
Ketentuan pidana,
16.
Ketentuan peralihan, dan
17.
Ketentuan penutup.
Selanjutnya naskah akademik ini akan menguraikan hal-hal yang akan diatur dalam pokok-pokok pikiran tersebut, yang nantinya akan dituangkan sebagai bab-bab dalam suatu rancangan undang-undang.
1.2
Tujuan Penyusunan Naskah Akademik
Tujuan dibuatnya naskah akademik ini adalah: 1. Mengkaji dan menganalisa upaya memberdayakan desa agar terwujud desa sebagai entitas lokal yang bertenaga secara sosial, berdaulat secara politik, berdaya secara ekonomi, dan bermartabat secara budaya. 2. Merumuskan konsep desa ideal yang menjamin terwujudnya desa yang berperan dalam pembangunan nasional. 3. Memberikan alasan-alasan ilmiah yang diperlukan bagi pembentukan Rancangan Undang-Undang tentang Desa (RUU Desa) yang memuat peraturan mengenai penyelenggaraan tata kelola desa, yang wilayahnya merupakan bagian dari kabupaten/kota yang didiami masyarakat sipil.
1.3
Metode Penyusunan Naskah Akademik
Pendekatan Penelitian dan Tipe Pemaparan Penelitian yang dilakukan dalam penyusunan Naskah Akademik ini menggunakan 2
15
(dua) metode penelitian. Pertama, metode yuridis normatif yang memusatkan perhatian pada kajian tentang norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundangundangan tentang desa, yaitu peraturan perundang-undangan yang berlaku sekarang ditambah wawasan dari peraturan perundang-undang yang berlaku sebelumnya, sejak jaman pemerintahan Hindia Belanda, Orde Lama, Orde Baru hingga Era Reformasi. Dengan demikian penelitian Naskah Akademik ini merupakan penelitian doktrinal dengan optik prescriptive (bersifat memberi petunjuk atau menjelaskan) guna menemukan kaidah hukum yang menentukan apa yang menjadi hak dan kewajiban yuridis dari subyek dan obyek hukum dalam situasi kemasyarakatan tertentu. Kedua, di samping peraturan perundang-undangan diatas, penelitian ini menjangkau pula pandangan masyarakat terutama masyarakat desa dan peran pemerintah dalam bentuk kebijakan nasional tentang desa yang menjadi topik utama penelitian. Pada tingkat ini, penelitian ini dilakukan dengan metode kualitatif. Metode ini mengacu pada prosedur penelitian yang dimaksudkan untuk memberikan gambaran tentang data secara mendalam dan holistik. Adapun tipe pemaparan yang digunakan naskah akademis ini bersifat deskriptif-analitis, sehingga kajian yang dilakukan dan uraian yang diberikan dapat menjadi acuan komprehensif bagi penyusunan suatu Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Desa.
Data Penelitian Data dalam penelitian yang digunakan berupa data primer dan data sekunder. Pengumpulan data primer dilakukan melalui Focus Group Dissucion (FGD) / konsinyering dan pembahasan dengan anggota DPD RI yang mengundang secara langsung para pemangku kepentingan (stakeholders) desa, diantaranya pemerhati desa dan ilmuwan
16
bidang hukum adat dan pemerintahan yang berasal dari beberapa perguruan tinggi serta konsultasi dengan nara sumber terpilih. Data primer juga diambil dari pertemuanpertemuan lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang mengurus permasalahan desa.12 Sedangkan data sekunder yang digunakan dalam proses penyusunan naskah akademik ini adalah bahan-bahan kepustakaan yang bersifat yuridis normatif, yang mencakup: 1. Bahan hukum primer, berupa ketentuan hukum dan perundang-undangan yangberlaku, khususnya UUD NRI Tahun 1945, UU No. 32 Tahun 2004 dan PP 72 Tahun 2005. Juga bahan hukum primer yang berupa ketentuan hukum dan perundang-undangan yang mengikat pada masa lampau, termasuk UU No. 22 Tahun 1948, UU No. 19 Tahun 1965, UU No. 5 Tahun 1979 dan UU No. 22 Tahun 1999. 2. Bahan kepustakaan akademis, seperti hasil penelitian, hasil karya dari kalangan hukum, buku-buku, makalah-makalah, artikel-artikel dan sebagainya; 3. Bahan kepustakaan lain, berupa kamus, internet, surat kabar, dan sebagainya.
12
LSM yang hasil pertemuannya dijadikan masukan bagi Naskah Akademis ini antara lain adalah Forum Warga KAUKUS 17++ dan Asosiasi Pemerintah Desa Seluruh Indonesia (Apdesi).
17
Bab 2 MATERI PENYEMPURNAAN Yang dimaksud dengan “penyempurnaan” dari judul bab ini adalah perubahan terhadap ketentuan-ketentuan pengaturan tentang desa yang terdapat dalam Bab XI UU No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang terdiri atas enam Bagian (Umum; Pemerintah Desa; Badan Permusyawaratan Desa; Lembaga Lain; Keuangan Desa; dan Kerjasama Desa) dan 17 Pasal (200 – 216) serta penambahan segala pengaturan yang baru yang belum diatur oleh UU tersebut, yang mencakup hal-hal dibawah ini dimana pasalpasal hasil perubahan dan penambahan tersebut dibuat sesuai dengan prinsip-prinsip yang akan dianut dalam UU tentang Desa. Dalam melakukan penyempurnaan tersebut akan diperhatikan segala ketentuan yang sudah ada dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 72 Tahun 2005 tentang Desa. Ketentuan-ketentuan yang ada dalam UU No.32 Tahun 2004 dan PP No. 72 Tahun 2005 yang sudah sesuai dengan prinsip-prinsip yang akan dianut dalam UU tentang Desa akan tetap diadopsi. Sehingga UU tentang Desa yang baru bukanlah suatu produk peraturan baru yang mengadakan perubahan total terhadap produk peraturan yang lama, akan tetapi hanya memperbaiki aturan-aturan yang dianggap kurang tepat dan menambahkan aturan-aturan baru yang memang dibutuhkan dengan menggunakan prinsip-prinsip atau asas-asas penyelenggaraan tata kelola desa yang tepat dan jelas, demi tercapainya kesejahteraan dan kebahagiaan masyarakat desa. Dengan demikian, secara singkat dapat dikatakan, bahwa isi UU tentang Desa adalah gabungan dari ketentuan-ketentuan yang ada dalam UU No. 32 Tahun 2004 dan PP No. 72 Tahun 2005
18
yang telah mengalami penyempurnaan. Namun demikian, walaupun sebagian ketentuanketentuan dalam PP No. 72 Tahun 2005 akan menjadi bagian dari UU tentang Desa, teori tentang tentang materi muatan undang-undang tetap harus diperhatikan. Artinya ketentuanketentuan yang ada dalam PP tersebut yang bukan merupakan materi muatan undang-undang tidak dapat dimasukkan ke dalam UU tentang Desa yang akan dibuat. Ketentuan-ketentuan demikian akan tetap menjadi materi muatan dari PP yang akan menjadi peraturan pelaksana dari UU tentang Desa.
2.1
Ketentuan Umum
Definisi Persoalan definisi yang akan menjadi Bab tentang Ketentuan Umum dari UU tentang Desa yang baru dapat dikatakan merupakan bagian yang paling menentukan. Dalam RUU tentang Desa nantinya, desa didefinisikan sebagai berikut. Desa, yang disebut dengan istilah sesuai dengan bahasa daerah setempat, adalah bagian wilayah kecamatan dengan batas-batas yurisdiksi tertentu, bersama masyarakat yang berdiam didalamnya, yang membentuk kesatuan masyarakat hukum untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan asal usul/adat istiadat dan/atau prakarsa masyarakat setempat, sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan yang diakui Pemerintah sebagai Desa. Dari definisi yang diusulkan ini, terdapat 3 hal yang baru. Pertama, bahwa yang menjadi dasar bagi masyarakat desa dalam mengurus rumah tangganya tidak hanya asal-usul/adat istiadat, melainkan mereka juga dapat menggunakan prakarsa atau inisiatif yang berkembang. Agar dapat dijalankan, maka asal-usul/adat istiadat dan prakarsa tersebut harus diakui dan dihormati (recognised) oleh
19
negara/pemerintah dalam bentuk kesepakatan antara masyarakat desa dengan pemerintah, yang dituangkan dalam wujud peraturan daerah mengenai kewenangan desa. Selanjutnya tentu timbul pertanyaan, mengapa harus dengan kesepakatan? Jawabannya adalah karena desa bukanlah sub-ordinasi dari pemerintah. Artinya, kedudukan desa berada di luar atau tidak dibawah pemerintah. Akibatnya, sebagai organisasi yang independen, kesatuan masyarakat desa bebas melakukan kewenangan apa saja selama masih dalam koridor hukum positif nasional. Namun karena wilayah yang akan digunakan untuk melakukan kewenangan tersebut pada dasarnya adalah wilayah negara yang diserahkan pengelolaannya kepada daerah otonom (kapubaten/kota) tertentu, maka agar dapat diakui, dihormati dan dilindungi oleh negara, kewenangan masyarakat desa harus diatur dengan peraturan perundang-undangan. Dalam hal ini, menurut hukum yang berlaku saat ini (UU No. 32 Tahun 2004), peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai kegiatan masyarakat adalah domain dari pemerintah daerah, yaitu peraturan daerah (perda). Mengenai kewenangan apa saja yang dapat diakui, hal inilah yang perlu dirumuskan bersama antara pemerintah dengan masyarakat desa dalam kedudukan yang sejajar. Dalam hukum perdata, pemerintah dan masyarakat desa dapat diibaratkan sebagai para pihak yang membuat perjanjian. Lebih jelasnya, pemikiran ini didasarkan bahwa penyelenggaraan tata kelola desa (disingkat penyelenggaraan desa), atau yang dikenal selama ini sebagai “pemerintahan desa”, sebenarnya bukanlah suatu bentuk pemerintahan daerah sebagaimana halnya provinsi dan kabupaten/kota, yang kewenangannya diperoleh karena otonomi yang diberikan secara total oleh Pemerintah. Di sini, desa yang sebenarnya adalah lembaga yang dibentuk oleh masayarakat sipil mempunyai kedudukan yang sejajar dengan pemerintah. Oleh karena itu bentuk hubungan kemitraan berlaku dalam hal mengatur dan mengurus
20
urusan pemerintahan. Urusan pemerintahan yang merupakan kewenangan pemerintah - baik pusat maupun daerah kabupaten/kota - dapat di”non-pemerintah”kan (dikembalikan kepada masyarakat desa untuk dijadikan urusan desa) melalui kesepakatan antara pemerintah dengan penyelenggara desa, berdasarkan kemampuan, kinerja dan kondisi desa. Demikian pula sebaliknya, urusan desa yang dapat digolongkan sebagai “urusan pemerintahan” yang telah dilaksanakan secara turun-temurun sebagai urusan asal-usul, juga harus disetujui terlebih dahulu oleh pemerintah untuk dapat terus dipertahankan guna dilaksanakan oleh penyelenggara desa, baik supaya dapat diakui dan dihormati, maupun agar dapat diberi subsidi. Prinsip kesepakatan ini bahkan juga berlaku bagi urusan adat istiadat yang mendapat subsidi dari negara. Sifat obyektif aspiratif dan bottom up yang merupakan ciri utama demokrasi akan lebih muncul jika dibandingkan dengan bila desa dianggap sebagai bagian dari Pemerintah/pemerintah daerah (di bawah kecamatan). Lagipula, jika desa ditempatkan sebagai bagian dari pemerintah daerah adalah sesuatu hal yang tidak mungkin, karena di desa terjadi proses demokrasi lewat pemilihan desa (pemilihan kepala desa dan pemilihan dewan perwakilan masyarakat desa (DPMD)13 dan aparat perangkat desa bersama relawan berasal dari unsur-unsur masyarakat yang bukan Pegawai Negeri Sipil (PNS).14 Hal ini berbeda dengan kelurahan, yang menurut UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah merupakan wilayah kerja dari pemerintah daerah (dalam hal ini kelurahan merupakan bagian dari wilayah kecamatan), dimana kepala dan perangkat
13
Dewan Perwakilan Masyarakat Desa (DPMD) adalah istilah yang diusulkan untuk mengganti Badan Permusyawaratan Desa, sebagaimana diatur dalam UU No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, dengan tujuan untuk menghindari kerancuan dengan penggunaan istilah pemerintahan yang sebenarnya.
14
Status kepegawaian di desa dapat disamakan dengan yang berlaku pada lembaga swadaya masyarakat biasa.
21
kelurahan adalah aparat pemerintah daerah15 yang diangkat oleh pemerintah daerah dengan status kepegawaian PNS. Dengan definisi di atas, otonomi asli dan/atau hasil prakarsa masyarakat mengenai (bekas) urusan pemerintahan hanya dapat diatur dan diurus oleh penyelenggara tata-kelola desa (selanjutnya disingkat “penyelenggara desa”) setelah mendapat kesepakatan dengan pemerintah daerah, sementara otonomi asli dan/atau hasil prakarsa masyarakat, yang bukan mengenai (bekas) urusan pemerintahan, dapat diatur dan diurus langsung oleh penyelenggara desa tanpa memerlukan kesepakatan dengan pemerintah daerah, kecuali bila ingin memperoleh subsidi dari negara. Dengan model pengaturan seperti ini diharapkan desa tidak lagi menjadi obyek, tetapi bisa menjadi subyek dalam pembangunan. Dengan menempatkan desa sebagai mitra bagi pemerintah, diharapkan masyarakat desa akan mempunyai ruang gerak yang lebih leluasa dalam menentukan arah kemajuan yang ingin dicapai. Lalu karena penyelenggara desa bukanlah bawahannya, maka pemerintah daerah akan tercegah dari tindakan melakukan immidiate interference berdasarkan keinginan sepihak. Di sisi lain, guna menjamin obyektifitas bagi pendelegasian kewenangan dan pemberian anggaran dari pemerintah (baik pusat maupun daerah) kepada penyelenggara desa, khususnya pengurus desa,16 pada setiap pemerintah daerah kabupaten/kota diperlukan suatu lembaga independen yang secara rutin membuat penilaian terhadap kinerja pengurus dan kondisi desa. Dalam RUU Desa yang akan dibuat, lembaga tersebut diusulkan untuk diberi nama “komisi penilai kinerja dan kondisi desa” (dapat juga
15
Lihat Pasal 127 ayat (1) dan Penjelasannya UU No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
16
Pengurus Desa adalah istilah yang diusulkan dalam UU Desa yang baru untuk menggantikan istilah Pemerintah Desa - yang terdiri dari Kepala Desa dan Perangkat Desa segaimana dimaksud dalam UU No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Desa, dengan tujuan untuk menghindari kerancuan dengan penggunaan istilah pemerintah yang sebenarnya.
22
disingkat dengan “Komisi Desa”), yang para anggotanya terdiri dari berbagai unsur masyarakat yang berasal dari dalam dan luar desa17, yang ingin bekerjasama secara sukarela demi kepentingan, kemajuan, kesejahteraan dan kebahagiaan masyarakat desa yang terdapat dalam suatu kabupaten/kota. Dengan penilaian secara berkala yang obyektif, diharapkan masyarakat desa benar-benar dapat mengatur dan mengurus urusan yang memang mampu mereka laksanakan berdasarkan kehendak sendiri dan bukan merupakan paksaan sepihak, baik dari sisi desa ataupun dari pihak pemerintah. Kalaupun rakyat di desa itu tidak atau belum/kurang menyadari potensi yang mereka miliki, maka Komisi Desa akan memberi rekomendasi kepada penyelenggara desa dan pemerintah daerah tentang dukungan (encouragement) dan pembinaan yang dapat dilakukan untuk meningkatkan kepercayaan diri mereka. Pola hubungan pemerintah daerah dengan penyelenggara desa tersebut diatas dapat digambarkan dengan skema berikut: Gambar 1: Penyelenggara DESA sebagai lembaga masyarakat dengan kekuasaan sebagai MITRA dari pemerintah daerah
DAERAH
DPRD
DESA
Bupati/Walikota
CAMAT
17
Kepala Desa
DPMD
MASYARAKAT
Diusulkan dalam setiap Komisi Desa hanya perlu sekitar lima sampai dengan sepuluh orang anggota, dengan staf maksimal 20 orang untuk kabupaten/kota yang besar dan 10 orang untuk kabupaten/kota yang kecil.
23
Kedua, hal baru yang terkandung dalam definisi yang diusulkan tersebut adalah selain memiliki kewenangan untuk mengelola hak dan kewajiban yang berasal dari asalusul/adat-istiadat dan/atau prakarsa sendiri, masyarakat desa juga dapat menyelenggarakan urusan pelayanan dan pembangunan, yang juga harus diatur dengan peraturan daerah seperti proses yang diuraikan di atas (dengan kesepakatan). Ketiga, keberadaan desa harus secara nyata diakui oleh Pemerintah dalam bentuk peraturan perundang-undangan (dalam hal ini Peraturan Daerah). Bila proses kesepakatan ini tidak dilakukan, maka suatu desa menjadi tidak berhak menerima bagian keuangan negara, baik dalam bentuk Alokasi Dana Desa (ADD) maupun dana-dana yang diberikan berdasarkan asas pembantuan dan hibah, termasuk dari pemerintah daerah. Permasalahan yang mungkin timbul dari ketentuan ini diantaranya adalah terdapatnya beberapa daerah yang berdasarkan kebudayaan setempat memiliki lebih dari satu sistem kesatuan masyarakat hukum adat yang mempunyai wilayah, seperti halnya di Sumatra Utara, dimana selain ada Huta juga ada wilayah masyarakat hukum adat yang disebut Kuria, yang mempunyai kedudukan lebih tinggi daripada Huta. Dalam hal ini tentunya harus dicari solusi yang terbaik berdasarkan kesepakatan diantara kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat itu sendiri, seperti pemilihan salah satu di antara keduanya yang harus diputuskan untuk diakui oleh Pemerintah sebagai Desa ataupun dengan cara pembagian urusan diantara mereka sendiri. Keberadaan desa adat dan desa admistratif seperti di Balipun dapat diakomodir untuk mendapatkan ADD yang disalurkan lewat APBD, asalkan urusan-urusannya ditetapkan terlebih dahulu melalui kesepakatan antara desa-desa tersebut dengan pemerintah daerah. Sementara itu sistem tata kelola desa secara internal harus diatur dengan memperhatikan kepentingan dan aspirasi masyarakat. Disamping pengurus desa yang berfungsi sebagai pemerintah desa, keberadaan lembaga-lembaga lain dapat dipertahankan.
24
Demikian pula lembaga-lembaga ekonomi yang dapat memajukan kesejahteraan rakyatpun menjadi penting untuk diatur, misalnya koperasi desa, pasar desa, dan sebagainya. Disamping itu, berbagai lembaga kemasyarakatan lainnya dapat pula ikut andil dalam mengelola berbagai kepentingan masyarakat. Sehingga skema di atas dapat dikembangkan seperti digambarkan berikut ini: Gambar 2: Tata Kelola Desa
Komisi Penilai Kinerja dan Kondisi Desa
Lembaga Adat kesepakatan ttg urusan desa
Pemda
Pengurus desa
Lembaga Kemasyarakatan
ADD sesuai dgn kebutuhan
Lembaga Ekonomi Desa mengatur cara melaksanakan urusannya sendiri berdasarkan kondisi yang ada
Ada hal lain yang harus diperbaiki dari UU No.32 Tahun 2004 tentang penyebutan contoh istilah desa di daerah-daerah yang dicantumkan dalam penjelasan pasal tentang
25
pemerintah desa.18 Seharusnya hal ini dicantumkan dalam penjelasan tentang definisi desa. Ada pula satu catatan kecil yang mungkin penting diperhatikan dari pencantuman istilah atau terminologi di daerah sebagai padanan istilah “desa”, yaitu mengenai dicantumkannya Gampong yang ada di Provinsi NAD Aceh. Pencantuman Gampong di UU Desa yang baru sudah tidak relevan lagi, karena Aceh sudah memiliki sistem pemerintahan terendah yang diatur secara khusus dan berbeda. Pasal 1 Angka 19 dan 20 UU No.11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh menyebutkan, bahwa gampong adalah kesatuan masyarakat hukum yang berada di bawah mukim yang merupakan kesatuan masyarakat hukum di bawah kecamatan yang terdiri atas gabungan beberapa gampong. Hal ini berbeda dengan pengaturan yang akan dimuat dalam UU Desa yang baru, dimana yang setingkat dengan desa di Aceh seharusnya adalah mukim. Akan tetapi, mukim juga tidak sama dengan desa, karena mukim adalah sub-ordinat/bawahan dari kecamatan, sedangkan desa bukan merupakan bawahan kecamatan.
Tujuan Pembentukan UU Desa Dibentuknya Undang-Undang tentang Desa secara tersendiri, yang merupakan pemisahan peraturan perundang-undangan tentang desa dari pemerintahan daerah dengan misi memperbaiki dan menyempurnakan ketentuan-ketentuan yang ada di dalamnya, adalah dengan tujuan utuk membentuk desa yang modern berbasis masyarakat sebagai civil society, dimana tersedia ruang publik dan kondisi yang memungkinkan tumbuhnya masyarakat dengan ciri-ciri mandiri, otonom, dan sukarela. Selain itu Undang-undang
18
Pasal 202 ayat (1) UU No.32 Tahun 2004: “Desa yang dimaksud dalam ketentuan ini termasuk antara lain Nagari di Sumatera Barat, Gampong di provinsi NAD, Lembang di Sulawesi Selatan, Desa di Kalimantan Selatan dan Papua, Negeri di Maluku.”
26
tentang Desa juga akan memberikan legitimasi dan justifikasi yang lebih kuat bagi self governing community sesuai dengan kebutuhan dan menggunakan prinsip-prinsip demokrasi seperti checks & balances, tranparancy, dan accountability. Pencapaian tujuan tersebut dilakukan dengan cara memperbaiki ketentuan-ketentuan yang ada sekarang, yang secara khusus dapat dijabarkan sebagai berikut: a. Lebih mengakui dan menghormati upaya masyarakat desa untuk mengatur dan mengurus rumah tangga sendiri dan hubungan mereka dengan masyarakat desa lain; b. Mengatur tata cara masyarakat desa mengatur dan mengurus hal-hal sebagaimana dimaksud pada huruf a; c. Memperjelas aturan mengenai hubungan masyarakat desa dengan Negara, Pemerintah dan pemerintah daerah; d. Memberi masyarakat desa alokasi dana sesuai dengan kebutuhan untuk mengatur dan mengurus hal-hal sebagaimana dimaksud pada huruf a; e. Mengatur tata cara pertanggungjawaban kinerja dan keuangan pemerintah desa dengan menggunakan prinsip profesionalisme; f. Mengatur tata cara pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan pemerintahan desa.
Prinsip-prinsip penyelenggaraan desa Dalam Bab tentang Ketentuan Umum RUU tentang Desa nantinya juga akan 27
dicantumkan prinsip-prinsip atau asas-asas yang berlaku bagi penyelenggaraan desa dimana prinsip-prinsip tersebut harus yang berkaitan dengan kerangka hubungan desa dengan pemerintah, dimana pada dasarnya penyelenggara desa bukanlah pemerintah dan mempunyai kedudukan yang sejajar dengan pemerintah dalam bentuk kemitraan, sehingga hubungan yang terbentuk adalah hubungan kerjasama, bukan hubungan sub-ordinatif. Prinsip-prinsip tersebut adalah: -
Kesetaraan dan kemitraan,
-
Rekognisi (pengakuan dan penghormatan);
-
Subsidiaritas,
-
Demokrasi, dan
-
Profesionalisme, khususnya dalam pengelolaan keuangan yaitu penerapan prinsip-prinsip keuangan modern, yang telah diadopsi oleh UU No.17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara.
Selain prinsip-prinsip diatas juga masih dikenal penerapan asas-asas pemerintahan yang lain seperti desentralisasi dan tugas pembantuan. Namun dalam penyelenggaraan desa, penerapan asas desentralisasi agak berbeda dengan desentralisasi yang kita kenal dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah, dimana walaupun negara telah menyerahkan urusan kepada daerah, urusan tersebut tetap menjadi milik negara, dalam arti negara dapat mengambil alih urusan tersebut setiap saat dengan perubahan undang-undang terkait. Sementara dalam penyelenggaraan desa, suatu urusan yang telah diserahkan oleh pemerintah kepada desa (melalui proses kesepakatan antara pihak pemerintah daerah dengan pihak desa) akan menjadi urusan desa (tidak lagi merupakan urusan pemerintahan). Dengan demikian urusan yang telah menjadi urusan desa ini hanya dapat diambil kembali oleh pemerintah dengan persetujuan dari masyarakat desa dalam bentuk
28
kesepakatan
antara
pemerintah
dengan
penyelenggara
desa,
untuk
selanjutnya
diformalisasikan dalam peraturan daerah. Inilah yang disebut dengan prinsip kesetaraan dan kemitraan. Sebagaimana telah diterangkan di atas, dengan prinsip tersebut desa bukanlah merupakan sub-ordinat dari pemerintah, tapi mitra yang setara dalam rangka memberikan pelayanan kepada masyarakat desa dan melakukan pembangunan di desa. Dengan prinsip ini berarti desa dan pemerintah akan saling menghormati, yang merupakan bagian dari prinsip rekognisi (mengakui dan menghormati). Dalam prinsip rekognisi, negara harus mengakui keberadaan desa-desa beserta sistem pengelolaan kemasyarakatan dan lingkungannya. Namun pengakuan dan penghormatan itu tentunya harus dilakukan dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Desa-desa yang yang harus diakui dan dihormati tersebut mencakup desa-desa yang telah ada sebelum Negara Kesatuan Republik Indonesia diproklamasikan dan desa–desa yang lahir berdasarkan peraturan perundangundangan yang mengatur tentang desa yang pernah berlaku, yang masih ada sampai saat UU tentang Desa disahkan. Sebenarnya konstitusi negara Indonesia pernah merumuskan secara jelas tentang pengakuan terhadap desa-desa di Indonesia, yakni dapat kita lihat pada bagian Penjelasan Umum Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, yang sekarang telah dihapuskan. Prinsip rekognisi juga berlaku bagi pengurus desa terhadap lembaga desa lainnya yang melaksanakan urusan asal-usulnya.
29
Prinsip selanjutnya, yang merupakan suatu prinsip baru yang diperkenalkan dalam Undang-undang tentang Desa nantinya adalah prinsip subsidiaritas.19 Prinsip ini berkaitan dengan pembagian kewenangan antara desa dan pemerintah sebagai kekuasaan supra desa. Prinsip subsidiaritas didefinisikan sebagai prinsip bahwa segala masalah seharusnya diselesaikan pada tingkat paling kecil/rendah, kecuali ada alasan yang memaksakan masalah tersebut perlu diselesaikan pada tingkat yang lebih luas.20 Prinsip subsidiaritas bukan bersifat top-down seperti pada konsep pembagian urusan dalam UU No. 32 Tahun 2004, yang banyak menentukan dimana Pemerintah (Pusat) selalu membuat Peraturan Pemerintah untuk membagi banyak urusan pemerintahan hingga tingkat kabupaten/kota bahkan desa. Prinsip subsidiaritas menekankan rekognisi terhadap semua kewenangan asalusul yang dimiliki desa, sebelum pemerintah dapat mengambil alih urusan yang menurut mereka tidak dapat dilaksanakan oleh desa. Di samping itu, apabila terdapat kewenangan yang berasal dari hak asal-usul, tetapi kewenangan ini baru “ditemukan,” maka pemerintah harus pula me-rekognisi-nya. Asas subsidiaritas dapat dijelaskan dalam diagram berikut: Gambar 3: Perubahan Paradigma Kepemerintahan
PERUBAHAN PARADIGMA KEPEMERINTAHAN DARI … …cara tradisional Tata Kelola Pemerintah
Kebijakan dan peraturan Instansi-instansi Pemerintah Pusat Instansi-instansi provinsi Instansi-instansi kab/kot Masyarakat sebagai penerima layanan
Kepada …
Tata Kelola Pemerintah berbasis kinerja
Masyarakat sebagai Pelanggang ( dan pemegang saham!) PEMKAB/KOTA sebagai pemberi layanan langsung pada masyarakat Pemerintah Provinsi dan PUSAT sebagai fasilitator, dengan penyusun kebijakan dan membina Peraturan perundang-undangan untuk kepastian hukum
(c) 2007 P ublic Management International Institute
19
Prinsip subsidiaritas ini dikenal dalam penyelenggaraan organisasi internasional Uni Eropa, yakni mengenai hubungan negara anggota dengan Uni Eropa secara keseluruhan.
20
Owen Podger, Komentar atas Naskah Akademis dan RUU Desa versi Depdagri, (Tanpa Tempat: April 2008), Makalah tidak dipublikasikan. Hal. 9.
30
Dari gambar di atas terlihat, bahwa campur tangan otoritas publik harus datang dari tingkat hirarki yang lebih dekat dengan warga, sehingga sedapat mungkin komunitaslah yang akan menangani masalah warganya. Tetapi jika komunitas tidak dapat menyelesaikan masalah, maka penguasa regional (supra) yang membantu. Jika tidak mampu juga maka Negara yang harus membantu. Hubungan desa dengan supra desa harus menerapkan prinsip subsidiaritas, karena meskipun dalam hal eksternalitas diamanatkan adanya campur tangan supra desa, akan tetapi apabila antara desa-desa yang akan atau telah memiliki suatu kerjasama tertentu, dan desa-desa tersebut telah memiliki kompetensi untuk mengurus kerjasamanya, maka peran supra desa tetap harus diminimalisir, atau hanya sebatas sebagai institusi pengawas bagi hubungan kerjasama tersebut. Prinsip yang tak kalah penting yang harus dianut dalam penyelenggaraan desa adalah demokrasi, khususnya dalam penggunannya sebagai dasar perubahan Badan Permusyawaratan Desa (Bamusda) menjadi Dewan Perwakilan Masyarakat Desa (DPMD). Keberadaan DPMD adalah agar proses checks and balances dapat terjadi dengan sempurna dalam mengimplementasikan demokrasi di tingkat desa. Di sini yang sangat penting untuk diingat adalah bahwa DPMD bukanlah suatu lembaga legislator yang menjadi oposisi bagi kepala desa seperti apa yang dikenal dalam teori ketatanegaraan, tapi ia hanyalah suatu lembaga yang bertujuan memberikan koreksi dan menciptakan keseimbangan yang memberikan dukungan secara langsung kepada kepala desa untuk mencapai hasil-hasil dari kesepakatan yang dibuat bersama oleh DPMD dan kepala desa. Singkatnya, DPMD dan kepala desa adalah satu lembaga yang disebut Penyelenggara Desa, bukan dua lembaga yang berseberangan satu sama lain. Prinsip yang terakhir adalah profesionalisme, yang khususnya diterapkan dalam pengelolaan administrasi keuangan, yang harus dilakukan secara modern menurut standar ilmu keuangan yang telah diadopsi oleh Undang-undang No.17 Tahun 2003 31
tentang Keuangan Negara, sehingga pemerintah tidak perlu lagi membuat aturan-aturan tersendiri tentang tata-cara pengelolaan keuangan desa. Dalam prinsip ini pengelola keuangan desa tidak perlu dirangkap lagi oleh sekretaris desa, tapi pembukuan dapat dilakukan oleh siapa saja yang memiliki kompetensi yang memiliki sertifikasi minimal sesuai dengan kebutuhan sebagai ahli keuangan dengan persyaratan tertentu sesuai kebutuhan desa. Pesyaratan ini juga belaku bagi auditor
keuangan desa. Ketentuan
mengenai sertifikasi minimal ini dapat ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan teknis/pelaksana. Selain itu dengan prinsip profesionalisme, pembukuan keuangan desa harus dilakukan dengan menggunakan sistem yang universal, dan bila memungkinkan dibuat on-line agar senantiasa dapat dipantau oleh para stakeholders-nya, sehingga dapat mewujudkan transparansi manajemen sebagai salah satu perwujudan sistem good governance.
2.2
Keberadaan dan Pembentukan Desa
Rekognisi keberadaan dan pembentukan Desa Usulan revisi komprehensif terhadap pengaturan tentang keberadaan dan pembentukan desa adalah sebagai berikut:
•
Kenyataan yang ada di Indonesia sehubungan dengan keberadaan desa adalah keberagaman, terutama dalam hal budaya tatacara mengelola kehidupan bersama, yang mempunyai filosofi yang spesifik bagi masing-masing desa.
•
Keberadaan desa tidak ada lagi diatur dalam ketentuan peralihan, namun harus diatur dalam bab khusus yang mencakup pengakuan terhadap desa-desa yang ada serta aturan
32
main untuk pembentukan desa-desa baru ataupun penghapusan desa. Rekognisi terhadap desa seharusnya memang tidak diatur dalam Bab tentang Peralihan, karena “rekognisi” bukanlah isu peralihan, tetapi merupakan isu konstitusional tentang kesatuan masyarakat hukum termasuk masyarakat hukum adat. Rekognisi terhadap keberadaan desa juga akan menghormati dan mengakui adanya nama, simbol dan atribut desa.
•
Pembentukan desa baru harus bertujuan untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat secara efektif dan efisien. Desa dibentuk dengan keputusan musyawarah masyarakat desa, yang harus diakui daerah dengan peraturan daerah, yang setelah itu menjadi peraturan desa tentang pembentukan desa yang baru. Dalam pembentukan desa baru, perlu diperhatikan data kuantitatif tentang penduduk desa di Indonesia dan permasalahan sebagai berikut: (1) Jumlah penduduk desa rata-rata di Indonesia: 3.170 penduduk per desa/kelurahan dengan 5% daerah kurang dari 500 penduduk per desa/kelurahan, 15% daerah kurang dari 1.000 penduduk per desa/kelurahan, 50% daerah kurang dari 2.740 penduduk per desa/kelurahan, dan 10% daerah: lebih dari 8.600 penduduk per desa/kelurahan. (2) Tidak ada data nasional yang definitif tentang pemekaran desa, tetapi ada beberapa contoh yang dapat diambil dari beberapa daerah. Misalnya pada tahun 2004 diakui ada 5.965 gampong di Aceh, dan pada tahun 2007 jumlah tersebut bertambah menjadi 6.381. (3) Jumlah desa dalam satu kecamatan ada yang satu desa saja, tetapi ada juga yang lebih dari 70 desa. Sebagai perbandingan dapat diperhatikan data tentang jumlah
33
Gampong maksimal dan minimal per Kecamatan per Kabupaten/Kota di Aceh berikut: Gambar 4: Jumlah maskimal dan minimal gampong dalam kecamatan di masing-masing kabupaten/kota di Aceh
Sumber: Kode dan Data Wilayah Administrasi Pemerintahan Provinsi NAD 2007
Dalam hal pembentukan desa baru ada suatu pertanyaan penting yang harus dapat dijawab oleh RUU tentang Desa ini, yaitu apakah diperlukan semacam moratorium pembentukan desa dan kecamatan baru sampai ada semacam Grand Design untuk desa dan kecamatan di setiap daerah?
•
Pengaturan khusus tentang lingkungan kawasan perairan (laut, danau dan sungai) yang ditempati oleh (sebagian) masyarakat desa. Ini diperlukan karena undang-undang tentang desa harus melindungi semua rakyat Indonesia. Munculnya ide tentang pengaturan ini karena mengingat, bahwa secara fisik batas wilayah desa hanya dapat ditetapkan di atas daratan. Batas wilayah desa di lingkungan kawasan perairan tidak bisa ditentukan secara fisik, tapi harus ditentukan dengan cara membuat kesepakatan
34
antar masyarakat desa yang bersebelahan dan/atau yang memanfaatkan perairan yang sama. Dalam UU Desa nantinya diusulkan dimasukkan ketentuan-ketentuan sebagai berikut: (1) Desa di lingkungan kawasan perairan mempunyai karakteristik sebagai berikut: -
Masyarakatnya membangun rumah di atas kawasan perairan;
-
Masyarakatnya memanfaatkan hasil perairan;
-
Masyarakatnya menggunakan kawasan perairan untuk transportasi; dan/atau
-
Masyarakatnya hidup di perahu-perahu yang tidak menetap.
(2) Batas desa, yang masyarakatnya membangun rumah diatas kawasan perairan, dapat ditetapkan di kawasan perairan dengan membuat tanda-tanda tertentu; (3) Komunitas dari desa-desa yang bersebelahan bersepakat untuk menetapkan tatacara bersama dalam memanfaatkan perairan dan hasil perairan yang sama. (4) Batas desa, yang masyarakatnya hidup di perahu-perahu yang tidak menetap, dianggap di sekitar lokasi perahu-perahu berada, asalkan dengan kesepakatan bersama komunitas desa lain yang juga memanfaatkan hasil perairan yang sama. Pembahasan mengenai pembentukan desa juga dapat dilihat dari definisi desa. Pada undang-undang yang berlaku sekarang, definisi desa ditekankan pada ”kesatuan masyarakat.”21 Formulasi demikian secara leksikal menyebabkan pengertian yang agak membingungkan. Desa seharusnya berarti wilayah kediaman masyarakat tertentu dengan
21
Lihat definisi desa dalam UU No. 22 Tahun 1999 dan UU No. 32 Tahun 2004.
35
batas-batas tertentu, sedangkan kesatuan masyarakat yang berdiam secara tetap didalamnya dengan jumlah tertentu, yang mengelola urusan tertentu bagi kepentingan mereka sendiri, merupakan salah satu syarat bagi wilayah tersebut untuk dapat diakui sebagai desa. Selain itu, karena pertimbangan dinamika dan mobilitas masyarakat pada jaman modern ini, definisi desa seharusnya lebih ditekankan pada paradigma “teritorial,” bukan “kesatuan masyarakat” karena masyarakat tidak akan selalu tetap menjadi “satu” seperti di masa yang lampau. Perubahan paradigma seperti ini dilakukan dalam upaya mensinergikan perkembangan dan dinamika yang terjadi ditengah-tengah masyarakat. Pada dasarnya dalam merancang ketentuan-ketentuan tentang pembentukan desa yang akan dimuat dalam UU tentang Desa dapat diadopsi pasal-pasal mengenai hal yang sama yang ada dalam PP No.72 tahun 2005 tentang Desa, yakni pasal 2, 3 dan 4. Sementara prinsip-prinsip tentang pembentukan desa berlaku sama bagi penghapusan, penggabungan ataupun pemekaran desa. Sehingga dalam implementasinya, pemerintah daerah kabupaten/kota dapat melakukan pembentukan, penghapusan, penggabungan atau pemekaran desa didalam batas-batas yurisdiksinya yang selanjutnya ditetapkan dengan peraturan daerah menurut tata cara yang ditetapkan dengan peraturan pemerintah, dengan memperhatikan aspirasi dan adat-istiadat masyarakat setempat serta rekomendasi dari suatu lembaga independen, yaitu Komisi Penilai Kinerja dan Kondisi (Komisi Desa).
Tidak Perlu Terjadi Perubahan Status Desa Menjadi Kelurahan Pasal 200 Ayat (3) UU No. 32 Tahun 2004 menyatakan, “Desa di kabupaten/kota secara bertahap dapat diubah atau disesuaikan statusnya menjadi kelurahan sesuai usul dan prakarsa pemerintah desa bersama badan permusyawaratan desa yang ditetapkan dengan
36
Perda.” Ketentuan ini tidak sesuai dengan apa yang telah diuraikan di atas, karena bertentangan dengan upaya mendorong masyarakat sipil untuk melaksanakan asas subsidiaritas. Ketentuan yang mengamanatkan perubahan desa menjadi kelurahan harus ditiadakan dalam Undang-Undang tentang Desa. Beberapa landasan pikiran untuk meniadakan ketentuan perubahan desa menjadi kelurahan dapat dipaparkan sebagai berikut: Pertama, kelurahan menurut Pasal 127 Ayat (2) dipimpin oleh lurah dan melaksanakan tugasnya berdasarkan delegasi dari bupati/walikota.22 Ketentuan ini berarti menempatkan desa (yang telah berubah menjadi kelurahan) sebagai subsistem kabupaten/kota. Dengan demikian ketentuan ini tidak lagi cocok dengan konsep yang dikehendaki dalam Undang-Undang tentang Desa yang baru, yang ingin merevitalisasi konsep civil society sebagai lembaga yang melaksanakan fungsi pelayanan dan pembangunan yang independen dari struktur pemerintah daerah. Kedua, perubahan desa menjadi kelurahan juga menuai konsekuensi hilangnya kekayaan dan sumber alam desa untuk diambil alih oleh kabupaten/kota.23 Kelurahan sebagai subsistem kabupaten/kota harus menyerahkan semua hak-hak dan kekayaannya untuk diatur dan dikelola oleh kabupaten/kota, sehingga hak-hak desa atas wilayahnya menjadi hilang. Ketiga, harus dipahami bahwa terlepas dari jumlah dan besarnya urusan, selama masih ada urusan yang masih dapat dilaksanakan oleh pengurus desa, harus tetap ada desa. Dengan kata lain, Undang-Undang tentang Desa yang baru harus mempertegas pelembagaan asas subsidiaritas. Pelembagaan asas subsidiaritas akan bertentangan bila dikaitkan dengan
22
Pasal 127 Ayat (2) UU No.32 Tahun 2004: “Kelurahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipimpin oleh lurah yang dalam pelaksanaan tugasnya memperoleh pelimpahan dari Bupati/Walikota.”
23
Pasal 201 Ayat (2) UU No.32 Tahun 2004: “Dalam hal desa berubah statusnya menjadi kelurahan, kekayaannya menjadi kekayaan daerah dan dikelola oleh kelurahan yang bersangkutan.”
37
ketentuan perubahan desa menjadi kelurahan. Pelembagaan asas subsidiaritas berarti membantuk desa sebagai self governing community, yaitu suatu komunitas yang menjalankan fungsi-fungsi pemerintahan lokal yang didasarkan pada hak asal-usul/adat istiadat setempat dan prakarsa masyarakat.24 Self governing community bukanlah unit formal governance, melainkan sebagai bentuk informal governance yang mengelola kepentingan masyarakat lokal.25 Oleh karena itu, memberikan legitimasi yang kuat bagi self governing community merupakan upaya mereposisi kedudukan desa menjadi entitas governance terkecil yang bertenaga secara sosial, berdaulat secara politik, berdaya secara ekonomi, dan bermartabat secara budaya, dalam hubungannya dengan negara yang tidak berada dalam subsistem kabupaten/kota. Bahkan ide yang muncul dalam penelitian terhadap penulisan naskah akademik ini adalah penghapusan kelurahan dengan model yang dikenal sekarang. Seyogyanya di kota juga dapat dibentuk desa, karena sistem desa dapat mendidik masyarakat untuk menyelenggarakan demokrasi pada lingkup yang paling kecil. Bila semua tingkat governance yang terendah diselenggarakan dengan sistem desa, maka akan terdapat pilihan bagi masyarakat untuk menyelenggarakan baik urusan sendiri maupun urusan pelayanan dan pembangunan yang dibutuhkan. Sementara itu pemerintah daerah masih dapat menempatkan unit-unit kerjanya di wilayah-wilayah dalam lingkungan kecamatan berdasarkan situasi dan kondisi, dalam hal desa tidak/belum mampu atau mungkin tidak bersedia menyelenggarakan urusan pemerintahan tertentu. Unit kerja pemerintah daerah tersebut dapat saja disebut kantor kelurahan atau suku dinas yang sebenarnya merupakan
24
AA GN. Ari Dwipayana dan Sutoro Eko, “Pokok-Pokok Pikiran Untuk Penyempurnaan UU No. 32/2004 Khusus Pengaturan Tentang Desa,” Makalah Masukan Untuk Tim Pakar DEPDAGRI, hal. 2.
25
Ibid., hal. 6.
38
cabang dari kantor kecamatan atau dinas tertentu, namun tentunya dengan kewenangan yang sangat bervariasi, tergantung pada variasi kewenangan yang dimiliki oleh desa di wilayah tersebut. Dengan demikian kewenangan cabang kantor kecamatan (kantor “kelurahan”) atau suku dinas yang dibentuk merupakan residu dari kewenangan pemerintahan yang telah diserahkan pemerintah daerah kepada desa. Sehingga dengan konsep ini keberadaan suatu kantor “kelurahan” atau suku dinas tidak bersifat compulsary.
2.3
Pembagian kewenangan antara pemerintah daerah dan pemerintah desa
Menurut teori ilmu pemerintahan, daerah otonom memperoleh kewenangan dengan menggunakan asas desentralisasi (otonomi yang diberi oleh Pemerintah). Berbeda dengan desa yang merupakan self governing community menggunakan asas subsidiaritas, dimana sebagian besar kewenangan itu aslinya memang sudah ada di masyarakat, bukan pemberian. Dalam desentralisasi, bila daerah tidak mampu, kewenangannya diambil kembali oleh Pemerintah, sementara dalam subsidiaritas, bila ada eksternalitas, maka masyarakatlah yang meminta pemerintah untuk mengambil alih. Hal ini sesuai dengan amanat Pembukaan UUD NRI 1945, dimana pembentukan Pemerintah Negara Indonesia dimaksudkan untuk mengatur dan mengurus hal-hal yang tidak bisa diselenggarakan oleh masyarakat sendiri (lihat kalimat “Kemudian daripada itu … melindungi segenap bangsa …” ) Dalam UU No. 32 Tahun 2004, tidak diatur secara jelas tentang kedudukan dan tata hubungan kewenangan desa dengan supra desa, termasuk pembinaan, pengawasan, dan pelayanan kebutuhan dasar. Dalam UU ini, pada satu sisi semua kewenangan ada di tangan negara, dengan sebagian besarnya diserahkan kepada pemerintah
39
daerah provinsi dan pemerintah daerah kabupaten/kota (termasuk kecamatan) untuk diatur dan diurus, sehingga tidak ada yang tersisa untuk diserahkan kepada desa. Pada sisi kedua, desa mempunyai otonomi asli, dan UU ini memberi hak untuk desa melanjutkan otonomi yang masih hidup. Dua sisi ini sebenarnya tidak bisa disatukan (kontradiktif). Untuk itu diperlukan suatu konsep yang dapat mencarikan solusi terhadap permasalahan ini. Pembahasan mengenai topik ini dilatarbelakangi oleh kewenangan desa yang mencakup: 1. Urusan-urusan pemerintahan (pelayanan dan pembangunan) yang harus disepakati dengan Pemda Kabupaten/Kota: a. urusan-urusan yang lahir karena hak dan kewajiban asal-usul dan/atau prakarsa masyarakat setempat, dan b. urusan-urusan pemerintahan yang telah disepakati antara masyarakat desa dengan pemerintah daerah untuk dijadikan urusan desa. Karena penyelenggaraan desa bukanlah suatu pemerintahan, maka setelah disepakati oleh kedua belah pihak, kedua urusan diatas tidak lagi disebut sebagai urusan pemerintahan, melainkan akan disebut urusan desa. 2. Urusan-urusan yang tidak harus mendapat kesepakatan dengan Pemda Kabupaten/Kota: a. urusan-urusan yang lahir dari tugas pembantuan dan kewenangan atributif yang lahir karena peraturan perundang-undangan (tingkat pusat/provinsi), dan b. urusan penegakan hukum untuk masyarakat hukum adat tertentu yang harus dapat kesepakatan dengan pengadilan negeri dan kesepakatan dari Polri untuk bekerjasama dengan polisi sebagai upaya ADR (Alternative Dispute Resolution).
40
Pelaksanaan urusan desa selalu direview oleh Komisi Desa) yang memberi rekomendasi kepada bupati/walikota untuk: (1) menambah atau mengurangi urusan; dan (2) menyempurnakan formulir Alokasi Dana Desa (ADD) sesuai dengan kebutuhan. Urusan desa dapat diselenggarakan oleh pengurus desa atau oleh lembaga adat, lembaga ekonomi dan lembaga kemasyarakatan di desa.
2.4
Sumber Keuangan Desa
Sumber keuangan desa secara umum terdiri atas pendapatan asli desa (PADes) dan Alokasi Dana Desa (ADD) yang berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang disalurkan melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). PADes terdiri atas: 1. Retribusi desa: Pemerintah desa dapat menagih ongkos pelayanan yang diberi. 2.
Hasil usaha desa: Karena kebiasaan “rent-seeking” terhadap sumber pendapatan ini, hasil usaha desa jangan masuk ke dalam rekening pengurus desa, kecuali ada asal-usul pendapatan asli desa dari usaha tertentu. Hasil usaha desa seharusnya masuk ke rekening usaha itu, dan keuntungan dibagi
41
sesuai dengan pemilikan saham dan keputusan pemilik saham. Jadi jika usaha desa itu dimiliki desa, akan ada hasil kekayaan pemerintah desa. 3. Hasil kekayaan pemerintah desa: -
Dapat menjadi sumber pendapatan desa.
-
Jika ada usaha desa yang menghasilkan keuntungan, investasi pemerintah desa bisa dapat bagian dari keuntungannya.
4. Hasil swadaya dan partisipasi, hasil gotong royong: -
Harus disepakati masyarakat desa, bukan karena perintah elit desa.
-
Jadi selalu harus ada musyawarah desa untuk mendapatkan kesepakatan masyarakat dulu.
5. Lain-lain pendapatan asli desa yang sah: Hanya sah kalau ada peraturan perundang-undangan yang membuatnya sah. 6. Pungutan yang telah dilaksanakan oleh desa (pemerintah desa atau kesatuan masyarakat lain di desa) tidak dibenarkan diambil alih oleh pemerintah atasan: -
Jika terbukti pada tahun 1979 (tahun berlakunya UU No. 5 tahun 1979 tentang desa) masih ada pungutan tradisional desa yang sejak tahun 1979 diambil pemerintah atasan, pungutan itu harus dikembalikan.
-
Jika sekarang ada lebih dari satu lembaga desa yang melaksanakan fungsi yang menjadi sumber pungutan, pungutan tersebut diberi kepada lembaga itu, dan tidak dibenarkan dipungut oleh yang lain.
42
7. Sumber yang sudah dipungut oleh daerah tidak dibenarkan menjadi sumber pungutan tambahan oleh pemerintah desa, kecuali retribusi berkaitan dengan urusan yang diserahteruskan kepada desa, yang harus juga diserahteruskan bersama urusannya. 8. Pinjaman, hibah dan sumbangan dari pihak ketiga:
•
Setiap pemberian pinjaman, hibah atau penyertaan modal yang diteruspinjamkan atau diterushibahkan terlebih dahulu ditetapkan dalam APBN/APBD. Jika sumbangan berbentuk barang, perlu dicatat sebagai barang inventaris kekayaan milik desa.
•
Pinjaman
yang
diterima
Pemerintah
Pusat
dari
luar
negeri
dapat
diteruspinjamkan kepada Pemerintah Daerah untuk diteruspinjamkan atau diterushibahkan kepada Pemerintah Desa/ atau ke BUMDes.
•
Pemerintah dan pemerintah daerah dapat memberikan pinjaman atau penyertaan modal kepada BUMDes.
•
Hibah dan sumbangan tidak boleh mengikat, dan tidak mengurangi kewajibankewajiban pihak penyumbang kepada desa.
•
Hibah dari luar negeri: Hibah dari negara donor atau lembaga multilateral (UN, Bank Dunia, ADB, IDB dll) perlu dicatat dalam anggaran negara seperti hibah kepada daerah, dan diterushibahkan ke desa melalui daerah kabupaten/kota. Karena desa bukan bagian dari pemerintah, hibah dari lembaga internasional lain tidak perlu dicatat
43
dalam anggaran negara seperti hibah kepada daerah, akan tetapi perlu sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, dan izin kerja donor tsb dan dilaporkan dalam laporan keuangan desa dan laporan keuangan donor, dan dua-duanya diaudit. 9. Dana Darurat: Pemerintah Desa yang mengeluarkan dana untuk keperluan mendesak dapat menerima bagian dari Dana Darurat kabupaten/kota, provinsi atau negara, jika tidak dapat ditanggulangi oleh pemerintah desa sendiri. Keadaan yang dapat digolongkan sebagai bencana dan peristiwa luar biasa ditetapkan oleh Bupati/Walikota berdasarkan peraturan Badan Penanggulangan Bencana Nasional.
Bagi Hasil dan Dana Perimbangan Dalam UU tentang Desa seharusnya tidak ada sumber keuangan desa yang berasal dari dana yang merupakan “bagi hasil” dan “dana perimbangan” dari penghasilan daerah atau negara, karena peran pemerintah desa bukan untuk mengumpulkan kekayaan, tetapi untuk melayani masyarakat. Prinsip bagi hasil dan dana perimbangan sebenarnya telah melanggar Pasal 33 Ayat (3) UUD NRI 1945 yang menyatakan bahwa sumber daya alam dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Yang menjadi inti permasalahan dari penyebab kemiskinan desa bukanlah karena desa tidak menerima dana bagi hasil atau dana perimbangan, akan tetapi adalah pembagian uang yang tidak tepat oleh Pemerintah. Dalam paradigma yang baru, rakyat desa seharusnya dapat menikmati hasil dari sumber daya alamnya yang dibagi merata secara nasional sesuai dengan kebutuhan
44
masyarakat. Yang penting disini adalah masyarakat jangan dipaksa untuk melepaskan haknya karena alas an tidak punya surat-surat yang sah, padahal tanah itu secara tradisional turun temurun menjadi milik masyarakat. Jadi bila ada pihak dari luar desa yang akan mengusahakan sumber daya alam, mereka dapat menyewa tanah tersebut, supaya masyarakat dapat menikmati manfaat atas tanah yang digunakan. Selain itu, agar masyarakat juga dapat menikmati keuntungan dari tanah mereka yang dimanfaatkan oleh negara melalui pihak swasta yang mengusahakan sumber daya alam, maka pihak swasta tersebut harus menyalurkan dana Corporate Social Responsibility (CSR) sebagaimana telah diatur dalam Undang-Undang No.40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas pada Bab V tentang Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan, Pasal 74 yang menyatakan: (1) Perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam wajib melaksanakan Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan. (2) Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan kewajiban Perseroan yang dianggarkan dan diperhitungkan sebagai biaya Perseroan yang pelaksanaannya dilakukan dengan memperhatikan kepatutan dan kewajaran. (3) Perseroan yang tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Solusi lain karena dihapusnya dana “bagi hasil” dan “dana perimbangan” tersebut dapat juga dengan cara sebagai berikut:
•
Jika desa membantu suatu pelayanan yang dibayar dengan retribusi (baik tugas pembantuan maupun urusan yang dikelola desa) desa perlu diberi bagian dari retribusi yang cukup besar untuk menutupi ongkosnya.
45
•
Jika masyarakat desa dengan usah paya menghasilkan sumber keuangan pemerintah atau pemerintahan daerah, seharusnya desa dapat sebagian dari hasil tersebut.
•
Lain daripada itu, sebaiknya sistem alokasi dana kepada desa tidak dibuat terlalu rumit dengan banyak formulir bagi hasil. Selanjutnya masalah yang crucial dalam hal sumber keuangan desa untuk
memperbaiki sistem yang ada sekarang adalah persoalan Alokasi Dana Desa (ADD). ADD seharusnya diberikan kepada desa sesuai dengan kebutuhan karena jika ADD kurang, maka masyarakat tidak dapat dilayani dan sebaliknya jika ADD berlebih, berarti terjadi pemborosan keuangan negara. Penetapan ADD yang tidak fair berpotensi memicu konspirasi pemda dan perangkat desa yang berujung pada rencana anggaran yang dimarkup. Paralel dengan transfer kewenangan, APBDes harus didukung dengan ADD yang cukup, sehingga tidak boleh lagi terjadi penjeratan terhadap masyarakat desa melalui mobilisasi swadaya. ADD bukan lagi sebagai bantuan alakadarnya atau stimulan untuk memobilisasi swadaya masyarakat, tetapi sebagai bentuk hak dasar yang harus diterima sekaligus sebagai bentuk tanggung jawab negara kepada masyarakat desa.26 Pemberian ADD harus ditentukan dalam proses perencanaan yang dibuat berdasarkan formulir yang dibuat berdasarkan standar perhitungan urusan yang dikelola desa, yang ditentukan melalui proses verifikasi sbb:
26
Sutoro Eko, et al., Kaya Peraturan Miskin Kebijakan, Village Papers Hasil Kajian KritisUU No.32/2004 dan PP No.72/2005 (Paper dalam Forum Pengembangan Pembaharuan Desa, Jakarta: Kerjasama FPPD dan LGSP-USAID, 2006), hal. 8
46
•
Komisi Desa dengan masukan dari masing-masing dinas terkait pada setiap kabupaten/kota menilai ongkos pengelolaan setiap urusan;
•
Penilaian ongkos tersebut direview oleh pemerintah provinsi dan hasil review tersebut dikonsultasikan oleh Pemerintah (Pusat) dan provinsi seluruh Indonesia untuk menjamin konsistensi secara nasional;
•
Setelah direview oleh Komisi Desa, formulir ADD dinilai, disetujui dan ditetapkan oleh pemerintah kabupaten/kota;
•
ADD ditetapkan dalam APBN sebagai bagian Dana Alokasi Umum (DAU).
Ada beberapa hal penting yang menjadi inovasi dalam hal sumber keuangan desa, yaitu: -
ADD dibagi atas ADD untuk operasional dan pemeliharaan dan ADD untuk investasi.
-
Dalam sumber keuangan desa seharusnya tidak ada bagian dari bagi hasil, karena ADD dianggap cukup, kecuali dalam hal desa melaksanakan tugas pembantuan maka bagian desa harus cukup untuk melaksanakan tugas tersebut.
-
Untuk dana bantuan yang berasal dari Pemerintah, pemerintah provinsi, dan pemerintah kabupaten/kota, perlu dirancang ongkos tugas pembantuan, dana darurat, proses untuk memberi bantuan kepada pengurus desa luar daripada ADD, dan proses untuk memberi bantuan kepada lembaga desa yang lain diluar pendapatan desa.
-
Karena proses perencanaan negara tahunan dimulai sebelum perencanaan daerah dan sebelum perencanaan desa, maka seharusnya penentuan ADD dan perencanaan desa harus multi tahunan. Penetapan formulir ADD harus 47
dinamis dalam arti dapat disempurnakan secara langsung, tergantung pada kinerja yang lalu dan kinerja yang direncanakan. Namun permasalahannya adalah sampai berapa jauh (detil) konsep ini harus diatur dalam undang-undang? Jika perlu diatur secara detil, DPD RI akan berkonsultasi lebih lanjutan dengan Departemen Keuangan dan Departemen Dalam Negeri.
2.5
Penyelenggara Desa (Kepala Desa dan Dewan Perwakilan Masyarakat Desa)
Pembahasan tentang Penyelenggara Tata Kelola Desa (disingkat Penyelenggara Desa) akan diawali dengan penjelasan tentang beberapa perubahan istilah kelembagaan yang akan digunakan dalam UU tentang Desa dalam rangka menghindari kerancuan dengan istilah-istilah yang digunakan dalam pemerintahan, karena desa adalah suatu bentuk dari civil
society
yang
mirip
dengan
lembaga
swadaya
masyarakat,
yang
berarti
penyelenggaraan tata kelola (pengelolaan)nya bukanlah suatu bentuk penyelenggaraan pemerintahan sebagaimana yang dimaksud dalam UUD NRI 1945. Pertama, istilah Pemerintahan Desa diganti dengan Penyelenggara Desa, yang terdiri atas Kepala Desa dan Dewan
Perwakilan
Masyarakat
Desa
(DPMD).
Kedua,
istilah
Pengurus
Desa
menggantikan istilah Pemerintah Desa yang tetap terdiri atas Kepala Desa dan Perangkat Desa, sedangkan DPMD menggantikan Badan Permusyawaratan Desa (BPD atau Bamusdes). Dalam UU tentang Desa yang baru nantinya, tidak ada perubahan status dan fungsi dari lembaga yang disebut dengan sebutan baru sebagai Penyelenggara Desa, Pengurus Desa, Kepala Desa dan Perangkat Desa. Namun DPMD berbeda dengan Bamusdes. Bamusdes adalah suatu lembaga permusyawaratan yang anggota-anggotanya tidak dipilih
48
secara langsung oleh masyarakat desa,27 sedangkan DPMD adalah suatu lembaga yang mirip dengan DPR pada tingkat pusat atau DPRD pada tingkat daerah. Perbedaannya, anggota-anggota DPMD tidak berasal dari partai politik, tidak berpolitik, dan bertindak berdasarkan hasil Musyawarah Desa (sebagaimana dibahas dibawah). Keberadaan DPMD tidaklah dimaksudkan untuk mengundang perbedaan pendapat diantara masyarakat desa, tapi tujuannnya lebih kepada mewakili masyarakat untuk menjamin bahwa penyelenggara desa bekerja untuk kepentingan semua anggotanya, karena penyelenggara desa yang terdiri atas DPMD dan Kepala Desa adalah satu kesatuan, bukan dua lembaga yang terpisah sebagaimana halnya dalam teori pemisahan kekuasaan negaranya John Locke atau Montesquieu. DPMD adalah bentuk penyempurnaan dari Badan Perwakilan Desa (BPDes) yang dikenal dalam UU No. 22 Tahun 1999.28 Pengembalian fungsi lembaga ”pendamping” bagi pengurus desa (pemerintah desa) ini adalah dengan tujuan mengembalikan lembaga tersebut sebagai lembaga penyeimbang yang demokratis dalam tubuh penyelenggara desa, yakni bagi kepala desa. Ada inconsistency yang terdapat dalam UU No. 32 Tahun 2004 yang telah mengubah BPDes menjadi Bamusdes. Hal ini dapat dilihat dari penjelasan Pasal 209 UU tersebut, yang berbunyi: ”Yang dimaksud dengan Badan Permusyawaratan Desa dalam ketentuan ini adalah sebutan nama Badan Perwakilan Desa sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.”
Sebenarnya ada kejanggalan dalam kebijakan politik yang menetapkan cara penentuan anggota Bamusdes menurut perumusan UU No.32 tahun 2004 dan PP No.72
27
Pasal 210 ayat (1) UU No. 32 Tahun 2004: “Anggota badan permusyawaratan desa adalah wakil dari penduduk desa bersangkutan yang ditetapkan dengan cara musyawarah dan mufakat”.
28
Pasal 105 ayat (1) UU No.22 Tahun 1999: “Anggota Badan Perwakilan Desa dipilih dari dan oleh penduduk desa yang memenuhi persyaratan”.
49
tahun 2005. Mereka tidak dipilih oleh rakyat melalui proses pemilihan umum yang terbuka, tetapi berhak membuat peraturan perundang-undangan yang mengikat masyarakat desa. Secara materi hukum, kekuatan dari produk perundang-undangan (peraturan desa) yang dihasilkannya tentu tidaklah dapat disamakan antara yang dibuat oleh BPDes (atau DPMD) dengan yang dibuat Bamusdes, yang berarti secara demokrasi, legitimasi peraturan desa yang dibuat BPDes (atau DPMD) jelas lebih kuat daripada yang dibuat oleh Bamusdes. Pertanyaan selanjutnya adalah mengapa digunakan kata ”dewan”? Hal ini mempunyai alasan sebagai berikut. Secara manajemen ketatanegaraan, kata dewan mengandung arti suatu lembaga yang terdiri atas anggota-anggota yang merupakan wakil dari pemangku kepentingan (stake holders) dengan kedudukan yang setara diantara para anggota tersebut dan berfungsi sebagai legislator. Padanan kata ”dewan” dalam bahasa Inggris adalah ”council”, yang dalam Kamus Black’s Law29 mempunyai beberapa arti sebagai berikut: -
”an assembly of persons for the purpose of concerting measures of state or municipal policy;
-
The legislative body in (sektor/wilayah/kota kecil);
-
An advisory body selected to aid the executive.”
the
government
of
cities
or
boroughs
Sedangkan kata “badan” mengandung arti sebagai lembaga yang melaksanakan salah satu tugas dari fungsi eksekutif. Padanan katanya dalam Bahasa Inggris adalah “board”, yang dalam Kamus Black’s Law mempunyai arti: “An official representative body organized to perform a trust or to execute official or representative functions or having the
29
Henry Campbel Black, “Council,” Black’s Law Dictionary (St. Paul, MN: West Publishing, 1990), VI, hal. 347.
50
management of a public office or department exercising administrative or governmental functions.30 Dengan demikian, dalam hal tersebut di atas, istilah “dewan” lebih tepat untuk digunakan. Penting untuk diperhatikan, sama halnya dengan penggunaan istilah desa, bahwa pergantian istilah-istilah tersebut tetap dengan syarat pembebasan kepada desadesa untuk menyebutnya sesuai dengan padanan kata dalam bahasa daerah masingmasing. Yang penting di sini adalah keberadaan, fungsi dan tugas yang diemban oleh lembaga tersebut sama dengan yang dimaksud oleh Undang-Undang tentang Desa. Mengenai asal dari calon wakil yang akan dipilih dalam pemilihan anggota DPMD, rasanya tidak perlu ditetapkan secara rigid seperti yang terkandung dalam PP No. 72 Tahun 2005 Pasal 30 ayat (2) yang menyebutkan: ”Anggota BPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri dari Ketua Rukun Warga, pemangku adat, golongan profesi, pemuka agama dan tokoh atau pemuka masyarakat lainnya.” Mengingat jumlah masyarakat desa yang relatif tidak terlalu banyak seperti pada daerah otonom, seyogyanya dibuka pintu kebebasan kepada anggota/kelompok masyarakat untuk mengajukan para wakilnya untuk dijadikan kandidat dalam pemilihan anggota DPMD. Khusus mengenai masa jabatan, agar terjadi sinkronisasi dengan skema masa jabatan Kepala Desa31 dan kontinuitas proses pembangunan32, sebaiknya masa jabatan DPMD adalah 5 tahun bukan 6 tahun seperti yang diatur dalam UU No.UU No.32 Tahun 2004 dan PP No. 72 Tahun 2005. Selanjutnya materi dari pasal-pasal tentang Bamusdes
30
Ibid., hal 173
31
Dalam UU tentang Desa akan ditetapkan masa jabatan Kepala Desa adalah 5 tahun dan dapat dipilih dan diangkat kembali untuk 1 kali masa jabatan berikutnya.
32
Lihat penjelasan pemikiran baru yang tertuang dalam bagian tentang Pemilihan Desa dari Naskah Akademik ini.
51
dalam UU PP No.72 Tahun 2005 (Pasal 31 samapai dengan Pasal 42) yang masih sesuai dengan prinsip-prinsip yang akan dianut dalam UU tentang Desa masih dapat diadopsi. Yang perlu untuk digarisbawahi adalah para anggota DPMD tidak mendapat gaji, tapi hanya mendapat insentif berupa tunjangan, karena mereka bukanlah pegawai dari institusi tersebut dan bukan juga politisi, tetapi disamakan statusnya dengan sukarelawan. Sementara untuk hal-hal yang bersifat administratif, demi efisiensi anggaran, DPMD dapat dibantu oleh perangkat desa. Selanjutnya pembahasan kembali kepada Kepala Desa. Dalam bagian tentang Kepala Desa akan diatur segala sesuatu tentang kepala desa, antara lain tentang persyaratan, usia minimal/maksimal, tugas, wewenang, hak dan kewajiban, larangan, masa tugas, pemberhentian. Guna mewujudkan pengurus desa yang kompeten, maka seorang kepala desa harus memenuhi beberapa persyaratan standar minimal tertentu yang diperlukan untuk menjadi seorang pemimpin di desa, yang mencakup kompetensi di bidang pendidikan, pengalaman memimpin organisasi, penguasaan aspek kewilayahan, sosial dan hukum adat setempat, kesehatan jasmani dan rohani, moralitas, kewirausahaan, dan lainlain. Pada umumnya materi Bagian Kedua tentang Pemerintahan Desa dari Bab IV (Pasal 12 sampai dengan pasal 28) PP No.72 tahun 2005 tentang Desa tidak akan mengalami perubahan sepanjang sesuai dengan prinsip-prinsip yang akan dianut oleh UU tentang Desa. Faktor usia memang perlu ditetapkan, baik usia minimal maupun usia maksimal. Namun, apabila dilihat dari urgensinya, usia minimal lebih penting untuk ditetapkan daripada usia maksimal. Penetapan usia maksimal tidak begitu menjadi persoalan, karena selama seseorang dewasa dinilai masih sehat secara jasmani dan rohani, maka ia masih dapat menjadi pemimpin. Hal ini dimungkinkan, karena beban kerja seorang kepala desa tidaklah terlalu berat. Namun apabila ingin juga ditetapkan batas maksimalnya, usia yang diusulkan
52
adalah 70 tahun dengan masa tugas 5 tahun dan dapat dipilih lebih dari 1 kali, sehingga total masa jabatan tidak terbatas, selama ia mampu, memenuhi persyaratan dan diinginkan oleh masyarakat. Pengaturan seperti ini adalah dengan tujuan untuk mengakomodir adat istiadat desa-desa yang sangat menghormati pemimpinnya. Hal ini dimungkinkan juga karena alasan keterbatasan jumlah penduduk yang memenuhi persyaratan di desa-desa tertentu. Masa jabatan 5 tahun untuk kepala desa terkait dengan waktu pemilihan kepala desa, supaya tidak pernah dilakukan berbenturan dengan tahun yang sama dilakukannya pemilihan umum nasional dan daerah. Teknis pengaturan waktunya dapat dilihat pada uraian bagian 2.7 dibawah. Syarat-syarat yang disebutkan di atas dapat ditetapkan secara terperinci dengan tambahan syarat-syarat tertentu dalam Peraturan Daerah (Perda), berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) yang menetapkan syarat-syarat utama. Sedangkan Undang-Undang hanya memberikan ketentuan umum dari persyaratan tersebut untuk dijadikan landasan hukum bagi pembuatan PP. Sekali lagi, ketentuan Perda yang dibuat untuk hal ini hendaknya tetap memberikan fleksibilitas atau ruang keleluasaan pada desa untuk menerapkan hal-hal khusus yang merupakan kekhasan dari desa, sepanjang tidak bertentangan dengan prinsipprinsip yang dianut oleh UU tentang Desa. Ketentuan mengenai tugas, wewenang, hak dan kewajiban, larangan, prosedur pemilihan, pengangkatan dan pemberhentian kepala desa pada dasarnya tidak berubah. Ketentuan-ketentuan peraturan perundang-undangan yang saat ini masih berlaku yang mengatur hal ini dapat diadopsi menjadi ketentuan-ketentuan dalam UU tentang Desa. Dalam bagian tentang DPMD akan dimuat aturan mengenai kedudukan, fungsi, tugas, wewenang, hak dan kewajiban, hubungan antara DPMD dan Kepala Desa, larangan dan pemberhentian anggota, pertanggungjawaban DPMD sebagai lembaga desa serta peraturan
53
tata tertib bagi para anggota DPMD. Hanya satu alat kelengkapan dalam DPMD yang perlu diatur dalam UU tentang Desa, yaitu Panitia Etik, semacam badan kehormatan pada tingkat desa. Disamping itu juga dimuat aturan tentang larangan dan pemberhentian anggota, hubungan antara DPMD dan kepala desa, serta pertanggungjawaban DPMD sebagai lembaga desa. Sebagaimana telah disebutkan di atas, Pengurus Desa terdiri atas Kepala Desa dan Perangkat Desa. Adapun Perangkat Desa terdiri atas: 1. Sekretaris Desa, 2. Pejabat Pengelolaan Keuangan Desa (supaya ada checks and balances seperti dalam sistem keuangan negara), 3. Unit Urusan Desa, 4. Perangkat Dusun, 5. Kepegawaian Desa, yang terdiri atas Pegawai Penuh Waktu dan Pegawai Paruh Waktu (Sekretaris dan Pejabat Pengelola Keuangan bisa dengan status ini), dan mendapat insentif, kewajiban dan hak sesuai dengan ketentuan yang ada dalam UU tentang Ketenagakerjaan yang berlaku (UU No.13 Tahun 2003) dan peraturan pelaksananya; dan 6. Relawan Desa, yang mendapat insentif (berupa tunjangan), kewajiban dan hak sebagai pekerja ”honorer” yang hanya bekerja beberapa jam seminggu tanpa harus ada keteraturan waktu dan tidak menurut peraturan perundang-undangan tentang ketenagakerjaan. Karena besarnya desa sangat bervariasi, maka beban kerja desa juga akan bervariasi yang membawa akibat kebutuhan akan macam dan jumlah perangkat desa juga harus bervariasi. Dari sekian banyak masalah yang ada, terdapat satu hal yang harus segera diperbaiki dari sistem yang dianut sekarang oleh UU No. 32 Tahun 2004, dimana undang-undang ini menetapkan sekretaris desa diisi seorang Pegawai Negeri Sipil (PNS), yang sangat
54
potensial membawa risiko sebagai berikut:33 1. Dapat menciptakan financial jealousy dalam remunerasi antara yang PNS dan non-PNS. Kasus yang pernah terjadi antara lain kepala desa yang non-PNS menuntut kepada pemerintah untuk dijadikan PNS, karena ingin memiliki gaji yang tetap. 2. Dapat menimbulkan kekurangan loyalitas profesionalisme dari sekretaris desa kepada kepala desa, karena kepala desa tidak memiliki kekuasaan kepegawaian terhadapnya. Untuk mengatasi hal ini, UU Desa nantinya harus mengatur kewenangan kepala desa tentang masalah kepegawaian ini. Pengangkatan kepala desa dan sekretaris desa menjadi PNS tentunya akan menimbulkan masalah di kemudian hari, apabila yang bersangkutan sudah tidak lagi menduduki jabatan-jabatan tersebut. Jadi untuk masa yang akan datang, tidak akan ada lagi pengangkatan PNS dalam struktur kepengurusan desa. Namun untuk menghidari akibatakibat negatif yang tidak diinginkan, PNS yang ada tidak perlu dikeluarkan dan tetap bekerja serta mendapat gaji sampai pensiun. Untuk dapat melakukan administrasi yang baik, yang dibutuhkan dari seorang sekretaris desa adalah kemampuan, dengan demikian ia haruslah seseorang yang memenuhi persyaratan untuk mengemban tugas pada jabatan itu. Dengan kata lain, sekretaris desa dijabat oleh orang yang berkualifikasi, dengan sistem kualifikasi yang diatur oleh pemerintah. Sekretaris desa dapat bekerja bekerja secara fulltime (penuh waktu) ataupun part time (paruh waktu), sesuai dengan beban kerjanya. Jumlah jam kerjanya dalam sehari tidaklah terlalu penting, tapi yang lebih penting ia harus bekerja dengan waktu yang teratur supaya masyarakat mengetahui waktu-waktu untuk mendapat
33
Risiko semacam ini telah terjadi di beberapa desa di Indonesia.
55
pelayanan. Karena dengan jumlah penduduk kebanyakan desa kurang dari 2.500 orang, adalah tidak efisien jika sekretaris (dan juga kebanyakan perangkat desa) bekerja secara full-time. Demikian juga mengenai pejabat pengelola keuangan desa, yang diperlukan adalah kompetensinya, yang selanjutnya dapat dibuktikan dengan pengakuan berupa sertifikasi dengan persyaratan minimal sesuai kebutuhan. Yang paling penting di sini ia dapat melakukan pengelolaan keuangan sesuai dengan prinsip-prinsip keuangan yang dianut oleh Undang-undang yang berlaku, yaitu UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. Pejabat pengelola keuang desa bisa seorang PNS dari kantor kecamatan yang ditugaskan secara resmi datang ke desa secara reguler atau dilakukan secara part-time oleh pekerja yang oleh UU tentang Ketenagakerjaan disebut sebagai pekerja dengan perjanjian kerja tidak tetap (contoh: bisa dilakukan oleh guru, akuntan publik, pengurus keuangan mesjid), atau sukarelawan.
2.6.
Musyawarah Desa
Disamping DPMD, di desa juga diperlukan satu pranata lain dalam rangka merealisasikan demokrasi di tingkat desa, yaitu Musyawarah Desa yang membahas kebijakan desa, yang antara lain mencakup tentang rencana pembangunan desa, kerjasama dengan pihak ketiga dan kerjasama dengan desa lain, anggaran, revisi anggaran, laporan tentang pertanggungjawaban, rencana tata ruang, krisis kepercayaan, dan kesepakatan gotong royong. Untuk desa dengan ukuran kecil, Musyawarah Desa dapat dilakukan lebih sering, dan materi bahasan tidak terbatas pada kebijakan-kebijakan yang disebutkan di atas. Namun
56
demikian, meskipun Musyawarah Desa bisa lebih sering dilaksanakan, keberadaan DPMD tetap diperlukan (tapi jumlah anggota tidak perlu banyak), karena tetap harus ada “pengawas” bagi kepala desa, dan juga karena DPMD berfungsi sebagai perancang peraturan desa bersama-sama dengan kepala desa. Pada desa berukuran sedang, sebaiknya semua masyarakat desa berkumpul dalam suatu musyawarah untuk mendengar usulan kebijakan desa, dan mengambil keputusan bersama-sama tentang kebijakan tersebut. Sementara untuk desa yang berukuran besar, Musyawarah Desa dihadiri oleh perwakilan seluruh RW yang ada di desa tersebut dan masing-masing wakil RW bertanggungjawab atas sosialisasi keputusan Musyawarah Desa.
2.7
Pemilihan Umum tingkat Desa (Pildes)
Waktu Penyelenggaraan Pildes Yang dimaksud dengan pildes adalah pemilihan Kepala Desa dan pemilihan anggota DPMD. Pada prinsipnya, proses pemilihan kepala desa dan anggota DPMD dibuat dengan pola simplifikasi dari model pemilihan kepala daerah. Masalah yang penting untuk diangkat dalam naskah akademik ini adalah tentang pengaturan waktu penyelenggaraan bagi kedua pemilihan tersebut. Sesuai dengan masa jabatan yang diusulkan, yakni 5 tahun, baik untuk Kepala Desa maupun DPMD, maka untuk menjaga kesinambungan seluruh aktifitas proses pelayanan dan pembangunan di desa, maka sebaiknya pemilihan terhadap kedua lembaga tersebut tidak dilakukan bersamaan dengan jarak ideal antara kedua pemilihan lebih kurang 2,5 tahun. Kedua pemilihan desa ini tidak diselenggarakan bersamaan dengan waktu Pemilu Nasional DPR/DPRD, Pilpres atau Pilkada agar tidak dipolitisir oleh partai-partai politik.
57
Pemilihan kepala daerah dilaksanakan paling cepat satu tahun setelah pemilihan umum, dan paling lambat dua tahun setelah pemilihan umum. Pemilihan kepala desa dilaksanakan paling cepat tiga tahun setelah pemilihan umum, dan paling lambat empat tahun setelah pemilihan umum. Pemilihan kepala desa dilaksanakan serentak untuk semua desa dalam masing-masing kabupaten dan kota. Demikian pula dengan pemilihan anggota DPMD, juga diadakan serentak bagi semua desa yang ada dalam satu kabupaten/kota.
Penyelenggara dan Pengawas Pildes Penyelenggaraan dan pengawasan terhadap pildes yang dilakukan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil menjadi kepentingan baik masyarakat desa maupun Pemerintah dan pemerintah daerah. Karena itu pildes diselenggarakan dan diawasi bersama oleh masyarakat dan pengurus desa. Mengingat di Indonesia terdapat lebih dari 70.000 ribu desa,34 maka tidaklah efisien bila harus dibentuk semacam Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk menyelenggarakan pildes disemua desa. Akan tetapi, sulit membayangkan pildes dapat diselenggarakan secara adil dan damai kecuali ada keseragaman dalam penyelenggaraannya. Sebagai jalan keluarnya, diusulkan sebagai penyelenggara pildes adalah Camat. Dengan ditunjuknya Camat menjadi penyelenggara pildes, akan terdapat dua keuntungan, yaitu disamping akan lebih efisien secara finansial, juga akan dapat memberdayakan kecamatan untuk kepentingan masyarakat luas. Meskipun Camat bukanlah
34
Data yang disampaikan Menteri Pembangunan Daerah Tertinggal (PDT) dalam rapat kerja dengan Panitia Ad Hoc I Dewan Perwakilan Daerah RI di Jakarta pada 8 September 2008, setidaknya ada tiga data yang berbeda tentang jumlah desa di Indonesia. Berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 6 Tahun 2008, jumlah desa: 73.067. Data Potensi Desa 2006 dari Badan Pusat Statistik (BPS) memuat jumlah 70.611 desa. Sementara data Identifikasi Desa Tertinggal tahun 2007 menunjukkan angka 73.798.
58
unsur masyarakat desa dan merupakan representasi dari kekuasaan supra desa yang notabene berada di luar bagian masyarakat desa, pemberian kewenangan sebagai penyelenggara pildes kepada Camat tidaklah perlu menimbulkan kekhawatiran akan isu subyektifitas, karena dalam pelaksanaannya di lapangan, aparat kecamatan yang bertugas akan dibantu dan dipantau oleh masyarakat desa sendiri secara sukarelawan. Diusulkan disini bahwa pembantu penyelenggara dan pengawas pildes dipilih dari para pelajar sekolah lanjutan tingkat pertama (SLTP) yang melakukan praktek kerja lapangan dari mata ajaran wajib di sekolah yang memberikan materi tentang demokrasi. Para pelajar itu dilibatkan secara
resmi
sebagai
pembantu
penyelenggara
dan
pengawas
dalam
proses
penyelenggaraan pildes dengan dua tujuan, yaitu: agar pildes diselenggarakan langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil, dan agar para pelajar dapat belajar tentang praktek demokrasi sejak usia remaja di desa sendiri. Mereka diwajibkan untuk membuat laporan dari hasil praktek kerja lapangan tersebut untuk diserahkan kepada gurunya, sebagai salah satu komponen penilaian untuk mata ajaran yang merupakan muatan kurikulum lokal yang bersifat wajib tersebut. Namun demikian, untuk menjamin keamanan penyelenggaraan pildes, secara resmi polisi tetap akan dilibatkan sebagai Pembina Pengawas, sesuai dengan fungsinya. Disamping itu keterlibatan polisi sekaligus juga merupakan representasi dari unsur pemerintah, sebagai kekuasaan yang akan mendelegasikan sebagian kewenangannya kepada desa. Satu hal yang perlu diperhatikan adalah, bahwa dalam proses pemilihan desa, hanya kepala desa yang dipilih dengan memperhatikan visi dan misinya. Kampanye pildes berbentuk pertemuan dengan masyarakat yang diatur oleh penyelenggara dan pembantu penyelenggara untuk menyampaikan visi dan misi, tanpa ada baliho atau kegiatan lain. Sementara anggota DPMD dipilih karena dianggap mampu melaksanakan fungsi DPMD.
59
Tidak perlu ada kampanye sama sekali, hanya pertemuan dengan masyarakat untuk membuktikan kemampuan dan kesetiaannya. Ketentuan-ketentuan Pasal 43 sampai dengan Pasal 54 tentang Pemilihan Kepala Desa dalam PP No. 72 Tahun 2005 yang masih sesuai dengan pemikiran-pemikiran baru dalam naskah akademik ini tetap akan diadopsi dalam UU tentang Desa.
2.8
Lembaga Desa
Dalam UU No. 32 Tahun 2004 tidak dikenal istilah lembaga desa, tetapi dalam Bab XI (tentang Desa), Bagian Keempat (tentang Lembaga Lain), Pasal 211 dikenal istilah lembaga kemasyarakatan. Penjelasan ayat (2) dari pasal ini menyatakan: “Yang dimaksud dengan lembaga kemasyarakatan desa dalam ketentuan ini seperti: Rukun Tetangga, Rukun Warga, PKK, karang taruna, lembaga pemberdayaan masyarakat”. Contoh-contoh lembaga kemasyarakatan tersebut tidak mencakup lembaga adat dan lembaga ekonomi, yang sebenarnya adalah juga bentuk-bentuk dari lembaga desa. Disamping itu terdapat ketidakkonsistenan dalam penyebutan istilah antara rumusan pasal dalam batang tubuh UU (Pasal 211) dengan penjelasannya. Dalam rumusan pasal tersebut istilah yang digunakan adalah lembaga kemasyarakatan, tapi dalam penjelasannya digunakan istilah lembaga kemasyarakatan desa. Dalam UU Desa yang baru nantinya akan digunakan istilah lembaga desa, yang tidak hanya mencakup lembaga kemasyarakatan, tetapi juga termasuk lembaga ekonomi dan lembaga adat. Dengan memenuhi syarat-syarat tertentu dan setelah disepakati urusannya dengan pemerintah daerah kabupaten/kota, lembaga desa dapat diberi pembiayaan dari pengurus desa untuk melaksanakan urusan desa.
60
Lembaga Kemasyarakatan Yang dimaksud lembaga kemasyarakatan disini pada dasarnya sama dengan Pasal 211 ayat (2) UU No. 32 Tahun 2004. Namun rumusan penjelasannya sedikit diubah, menjadi: “Yang dimaksud dengan lembaga kemasyarakatan dalam ketentuan ini seperti: Rukun Tetangga, Rukun Warga dan organisasi masyarakat yang melakukan kegiatan sosial.” Rukun Tetangga (RT) dan Rukun Warga (RW) perlu diatur karena penting untuk membantu pemerintah dan pengurus desa dalam urusan-urusan umum seperti dalam penyediaan data statistik (misal: sensus penduduk), penyelenggaraan pemilu, pembuatan Kartu Tanda Penduduk (KTP), penyelenggaraan pos, dan lain-lain. Sementara yang dimaksud dengan organisasi masyarakat yang melakukan kegiatan sosial adalah seperti PKK, karang taruna, taman pendidikan anak, dan lain-lain. Disini tentu terbuka juga kemungkinan bagi masyarakat desa untuk membuat organisasi semacam ini menjadi berbadan hukum (misalnya: yayasan). Hal ini bertujuan antara lain untuk mengantisipasi bila ada pihak-pihak yang ingin bekerjasama dengan atau memberikan bantuan/donasi kepada organisasi/lembaga tersebut membutuhkan persyaratan bahwa lembaga/organisasi yang akan dibantu harus berbadan hukum.
Lembaga Ekonomi Telah diuraikan diatas, selain lembaga kemasyarakatan, salah satu bentuk lembaga desa lainnya adalah lembaga ekonomi. Sebenarnya UU No. 32 Tahun 2004 telah memuat satu pasal tentang lembaga ekonomi desa, yaitu pasal 213, yang berbunyi: (1) Desa dapat mendirikan badan usaha milik desa sesuai dengan kebutuhan dan potensi desa. (2) Badan usaha milik desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berpedoman pada peraturan perundang-undangan.
61
(3) Badan usaha milik desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat melakukan pinjaman sesuai peraturan perundang-undangan.
Kekeliruan pertama yang terjadi disini adalah penempatan pengaturan tentang badan usaha milik desa (BUMDes) kedalam Bagian tentang Keuangan Desa. UU tentang Desa yang baru nantinya akan menempatkan BUMDes sebagai salah satu bentuk dari lembaga ekonomi desa, sehingga pengaturannya tidak lagi berada dalam bagian tentang keuangan tetapi dalam bagian tentang lembaga desa. Kelemahan lainnya adalah Pasal 213 ini tidak menyebutkan secara jelas siapa saja yang dapat menjadi pemilik dari suatu BUMDes. Dalam UU tentang Desa yang baru nanti akan dijelaskan, bahwa BUMDes selain dapat dimiliki baik oleh Pengurus Desa sebagai suatu lembaga (bukan sebagai perorangan), dapat juga langsung dimiliki oleh kelompok-kelompok masyarakat di desa diluar struktur Pengurus Desa, supaya sesuai dengan skala ekonomi dan kepentingan kelompok masyarakat. Misalnya, BUMDes bidang perikanan dapat dimiliki oleh kelompok nelayan saja. Dengan demikian penjelasan Ayat (2) pasal tersebut sebaiknya diubah menjadi: ”Usaha milik Pengurus Desa atau milik masyarakat Desa dapat berbentuk badan hukum sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan.” Jadi pembentukan badan hukum bagi kedua macam usaha tersebut bukanlah suatu kewajiban, melainkan menjadi pilihan bagi pemiliknya. Contoh badan hukum yang berorientasi bisnis yang dapat dibentuk di desa adalah Perseroan Terbatas (PT) dan Koperasi.
Lembaga Adat Lembaga desa lainnya yang tak kalah penting adalah lembaga adat, bahkan mungkin dianggap paling penting bagi kebanyakan masyarakat desa. Dengan lembaga-lembaga adat, masyarakat dapat mengaktualisasikan dirinya sebagai komunitas yang memiliki harga diri dan peradaban, karena dalam lembaga adat inilah secara nyata (riil) dijunjung tinggi nilai-
62
nilai yang telah hidup secara turun temurun dengan tidak menutup kemungkinan modifikasi sesuai dengan perkembangan jaman dan kondisi masyarakat. Contoh yang paling kompleks dari suatu lembaga adat adalah apa yang disebut sebagai “desa adat”. Berikut ini akan diuraikan secara gamblang penjelasan tentang desa adat, mulai dari sejarah hingga keberadaannya sampai saat ini.
•
Pengertian Desa Adat Keberadaan desa adat dimulai jauh sebelum munculnya kekuasaan kolonial Eropa di
Indonesia, bahkan mungkin sebelum kekuasaan feodal setempat. Secara historis-sosiologis, desa adat atau yang pada waktu dulu lebih dikenal sebagai desa otonom adalah desa yang tumbuh atas prakasa masyarakat setempat. Pendapat ini berdasarkan studi yang dilakukan V.E. Korn, yang mengungkapkan bahwa masyarakat desa adat adalah masyarakat yang otonom, memiliki pemerintahan sendiri, kekayaan sendiri, hidup secara musyawarah di bawah seorang pemimpin desa adat. Hampir mirip dengan pandangan Korn, Van den Broek juga mengungkapkan hasil penelitiannnya tentang kepala desa adat atau yang disebut sebagai kamituwa yang ditunjuk dari penduduk atau anggota desa bersangkutan. Kamituwa mempunyai peranan memimpin dan memutuskan berbagai masalah desa sesuai dengan aturan-aturan dari para pendiri desa. 35 Secara sosiologis, desa adat didefinisikan sebagai wadah (tempat tinggal bersama) dari sekelompok masyarakat hukum adat. Desa adat tersebar di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dengan nama dan ciri khas yang berbeda-beda. Sebagai salah satu bentuk dari lembaga adat, secara tradisional, istilah desa (adat) biasanya
35
I Gde Parimartha, ”Desa Adat dan Desa Dinas di Bali: Sebuah Refleksi Kesejarahan” (Denpasar: Jurnal Dinamika Kebudayaan IV (2), 2002), hal. 72, 73 dan 75.
63
terdapat di Jawa dan Bali. Sedangkan di Sumatera Barat dikenal dengan nama nagari, kampong di Sumbawa, gampong di Aceh dan sebagainya. Secara kelembagaan, eksistensi dari desa-desa adat tersebut mengalami kemunduran yang nyata bahkan sampai kepada kehancuran sejak dikeluarkannya Undang-Undang No. 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa pada era Orde Baru.36 UU ini telah mengubah kelembagaan desa adat asli dengan cara penyeragaman konsep desa secara nasional. Pelaksanaan UU No 5 Tahun 1979 diberbagai daerah membuktikan bagaimana UU ini telah mereduksi kelembagaan desa adat. Di Bali misalnya, pencantuman kepala desa sebagai penguasa tunggal telah membuat peranan, fungsi desa adat menjadi tumpang tindih dengan tugas-tugas desa administrasi (dinas), bahkan acapkali sering terjadi dominasi desa administrasi atas desa adat, meskipun itu dalam urusan-urusan tradisi dan keagamaan. 37 Sedangkan di Sumatera Barat, pembentukan desa yang didasarkan pada jorong, sebagai subdivisi nagari telah membagi-bagi nagari sebagai kesatuan masyarakat hukum adat ke dalam beberapa desa. Akibatnya, sejak keberlakuan UU ini, 543 nagari di Sumatera Barat telah menjadi 3516 desa. 38 Dengan demikian, dampak hukum yang ditimbulkan UU ini adalah nagari telah berhenti menjadi suatu unit administratif yang resmi bagi masyarakat hukum adat minangkabau.
36
Penyeragam konsep desa secara nasional dapat dilihat di UU No 5 Tahun 1979. UU ini tidak memberi tempat keanekaragaman tempat tinggal bersama masyarakat (adat), yang di Jawa di kenal dengan istilah Desa. Penyeragaman sudah dapat dilihat dari defenisi Desa dalam UU No 5 Tahun 1979; “Desa adalah wilayah yang ditempati oleh sejumlah penduduk sebagai persatuan masyarakat termasuk di dalamnya kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai organisasi pemerintahan terendah di bawah camat dan berhak menyelenggarakan rumah tangganya sendiri.”
37
I Gde Parimartha, op.cit., hal. 78
38
Sutoro Eko, Kembali ke Nagari Dalam Konteks Desentralisasi dan Demokrasi Lokal di Sumatera Barat, Pasaman Barat Journal, http://pasamanbarat.multiply.com/journal/item/5, Akses 27 Desember 2008.
64
Di Kalimantan Timur, tepatnya di Kabupaten Kutai Timur, pembentukan desa administrasi berdasarkan UU ini secara langsung telah membelah-belah tanah ulayat berdasarkan desa bukan lagi berdasarkan kesatuan masyarakat hukum adat Dayak Basap. 39 Praktek-praktek sistem pemerintahan sentralistis yang tidak berpihak pada masyarakat adat pada era Orde Baru, harus ditata kembali dengan memberikan penekanan pada pengakuan sekaligus perlindungan bagi masyarakat hukum adat. Secara sosiologis, sekarang ini muncul tuntutan masyarakat agar desa adat hidup mandiri, dapat mengelola aset-asetnya sendiri secara bebas tanpa ada intervensi pemerintah atasan (supra desa). Atas dasar inilah, kewenangan pemerintah dalam hal pengaturan tentang desa adat perlu segera diperbaharui.
•
Dasar Hukum Desa Adat Karena desa adat adalah salah satu bentuk lembaga adat masyarakat, maka
perumusan mengenai pengaturan desa adat dalam RUU tentang Desa sangat terkait dengan rumusan ’masyarakat hukum adat’ atau ”masyarakat adat’ yang secara normatif diatur dalam konstitusi dan peraturan perundang-undangan. Di dalam Undang-Undang Dasar 1945 (UUD) terdapat 2 (dua) pasal yang berkaitan dengan pengakuan dan perlindungan bagi masyarakat hukum adat. Ketentuan ini dapat kita lihat dalam Pasal 18 B Ayat 2: ’Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat serta hakhak tradisonalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang’, dan Pasal 28 I ayat (3); ’Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan
39
Nurul Elmiyah, et al., Laporan Penelitian Tentang Perlindungan dan Pengakuan terhadap Hak Masyarakat Adat, (Jakarta: Komisi Hukum Nasional, 2004), hal. 35-37.
65
perkembangan zaman dan peradaban”. Kedua pasal ini harus dijadikan pijakan utama dalam perumusan materi pengaturan desa adat dalam RUU Desa. Selain itu, berbagai undang-undang yang lahir sejak era reformasi juga telah banyak memuat pengakuan dan perlindungan masyarakat hukum adat. Pengaturan mengenai masyarakat adat bisa ditemui misalnya dalam Pasal 6 Ayat (2) UU No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan yang menegaskan bahwa pengelolaan perikanan untuk kepentingan penangkapan ikan dan pembudidayaan ikan harus mempertimbangkan hukum adat. Contoh lainnya adalah Pasal 61 Ayat (2) UU Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulaupulau Kecil yang menegaskan, bahwa kearifan lokal masyarakat adat yang diwariskan secara turun-temurun diakui, dihormati, dan dilindungi, bahkan dijadikan acuan dalam pengelolaan sumberdaya pesisir dan pulau-pulau kecil yang berkelanjutan. Pengaturan lainnya tentang masyarakat adat juga ditemukan dalam Pasal 6 UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, dan Pasal 67 UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Rumusan yang agak tegas diatur dalam Pasal 203 Ayat (3) UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, yang menyebutkan: Pemilihan kepala desa dalam kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan yang diakui keberadaannya berlaku ketentuan hukum adat setempat yang ditetapkan dalam Perda dengan berpedoman pada Peraturan Pemerintah.” Perkembangan lebih lanjut sejak perubahan sistem politik pada tahun 1998 adalah semakin mengerasnya tuntutan masyarakat agar sistem pemerintahan daerah mengakui keberadaan desa adat. Seiring dengan hal tersebut, telah lahir beberapa Perda dan keputusan kepala daerah, diantaranya: di Provinsi Sumatera Barat dengan Perda Nomor 9 Tahun 2000 tentang Ketentuan Pokok Pemerintah Nagari yang diubah dengan Perda No. 2 Tahun 2007 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Nagari; di Provinsi Bali dengan Perda Nomor 3 Tahun 2001 tentang Desa Pakraman, diubah dengan Perda Nomor 3 Tahun 2003; dan Keputusan
66
Bupati Tana Toraja No. 2 Tahun 2001 tentang Pemerintahan Lembang.40 Walaupun dalam tataran legal-formal banyak ahli hukum adat yang menyambut baik kehadiran peraturan perundang-undangan tentang pengakuan tentang masyarakat adat termasuk didalamnya pengakuan kembali desa adat, namun para pengambil kebijakan masih perlu untuk membuat aturan-aturan hukum yang mengatur secara tegas, lebih terperinci dan berskala nasional yang memungkinkan pengakuan kembali desa adat dengan tetap mengedepankan prinsip kebhinekaan dalam keIndonesian. Sementara itu, di tingkat internasional, legitimasi terhadap pengakuan akan desa adat juga bisa dikaitkan dengan konvensi ILO No.169 tahun 1989 mengenai Bangsa Pribumi dan Masyarakat Adat di Negara-Negara Merdeka (Concerning Indigenous and Tribal Peoples in Independent States). Menurut konvensi ini indigenous people (di Indonesia dikenal dengan istilah masyarakat adat) memiliki hak untuk hidup sesuai dengan sistem hukum dan politik yang mereka miliki yang berbeda dengan kelompok masyarakat yang lain pada umumnya.41 Pengakuan dan juga sekaligus perlindungan masyarakat adat juga semakin maju ketika ia masuk dalam wacana hukum HAM internasional. Rezim hukum HAM internasional mengakui beberapa hak asasi masyarakat adat. Misalnya: hak untuk mengurus diri sendiri, hak atas milik, hak atas pembangunan, hak atas kesehatan, dan sebagainya.
40
Nurul Elmiyah, et al., Laporan Penelitian Tentang Perlindungan dan Pengakuan terhadap Hak Masyarakat Adat, (Jakarta: Komisi Hukum Nasional, 2004), hal. 35-37.
41
Rikardo Simarmata, Menyongsong Berakhirnya Masyarakat Adat: Resistensi Pengakuan Bersyarakat, Sumber: http://dte.gn.apc.org/AMAN/publikasi/Artikel%20Politik%20 Simarmata.htm, Akses pada tanggal 28 November 2008.
67
•
Rekomendasi Materi Pokok Perumusan Masalah tentang Desa Adat Berdasarkan pemaparan diatas, secara sosiologis, historis dan yuridis dapat
disimpulkan bahwa perumusan masalah tentang desa adat di dalam RUU Desa memiliki dasar legitimasi yang sangat kuat. Beberapa materi pokok perumusan masalah tentang desa adat yang dapat direkomendasikan untuk dimuat dalam RUU Desa adalah: 1. Pengakuan terhadap eksistensi desa adat secara tegas oleh Negara dalam RUU Desa. Rumusan dalam pengaturan di pasal ini memiliki alasan yang kuat. Pertama, secara hukum, UUD 1945 hasil amandemen mengakui keberadaan masyarakat hukum adat yang didalamnya merupakan pengakuan terhadap kelembagaan adat, dalam hal ini desa adat. Kedua, adanya tuntutan yang sangat kuat dari masyarakat di daerah agar reformasi politik dapat terus mengembalikan keberadaan desa-desa adat yang secara sistematis keberadaannya telah dihapuskan oleh UU No. 5 Tahun 1979. 2. Pelaksanaan dari prinsip Bhineka Tunggal Ika. Dalam rumusan pengaturan tentang hal ini harus ditegaskan, bahwa pengakuan akan keberadaan desa adat adalah bentuk pengakuan Negara terhadap keberagaman Indonesia yang didasarkan pada prinsip Bhineka Tunggal Ika dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). 3. Pembagian bentuk desa berdasarkan karakteristik desa formal (dinas) dan desa adat, yang memiliki ciri-ciri yang berbeda. Oleh karena itu, rumusan dalam RUU tentang Desa harus mengakomodir adanya perbedaan tersebut, yang didasarkan pada karakteristik masyarakat, kebutuhan yang nyata bagi masyarakat dan pola hubungan sosial diantara indvidu dalam suatu masyarakat. 4. Struktur sebuah desa adat harus didasarkan pada struktur masyarakat adat itu tersendiri. Rumusan pasal dalam pengaturan hal ini akan memuat kenyataan, bahwa struktur sosial berbeda-beda antara struktur masyarakat yang satu adat dengan
68
masyarakat adat yang lain. Dengan demikian RUU desa ini akan memberikan kebebasan bagi masyarakat adat untuk menentukan bentuk-bentuk organisasi desa berdasarkan kekhasan masing-masing desa adat. 5. Desa adat memiliki otonomi untuk mengatur harta milik desa adat antara lain tanah ulayat, hutan, dan air. Rumusan pasal dalam pengaturan hal ini akan menegaskan dan memulihkan kembali hak-hak masyarakat yang selama ini dirampas oleh Negara atas nama pembangunan. 6. Teritorial sebuah desa adat disesuaikan dengan penguasaan atas tanah ulayat desa adat yang bersangkutan yang ditetapkan melalui peraturan daerah kabupaten/kota. Rumusan pasal dalam pengaturan hal ini adalah untuk menerangkan bahwa teritorial suatu desa adat ditentukan dengan hak ulayat yang dimiliki atau yang telah dikuasai oleh suatu komunitas masyarakat adat.
2.9
Peraturan Desa (Perdes) dan Keputusan Kepala Desa Peraturan desa dapat diklasifikasikan dalam dua macam, yaitu peraturan desa
yang tidak mengatur perilaku perorangan (misal: APBDes) dan peraturan desa yang mengatur perilaku perorangan (misal: retribusi desa). Peraturan desa yang tidak mengatur perilaku perorangan dapat diputuskan hanya oleh penyelenggara desa (kepala desa dan DPMD). Sedangkan peraturan desa yang mengatur perilaku perorangan dalam urusan yang disepakati dengan pemerintah daerah, setelah diputuskan oleh kepala desa dan DPMD, perlu diverifikasi oleh daerah dengan perda, sebelum peraturan desa itu di”lembar”kan. Tujuannya adalah supaya dapat diakui sebagai peraturan perundangundangan sebagaimana dimaksud oleh UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Prosesnya dibuat seperti proses yang terjadi pada Peraturan
69
Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perpu). Peraturan desa yang mengatur perilaku perorangan dalam urusan yang sebenarnya tidak diserahkan kepada desa, yakni urusan keadilan dan keamanan, setelah diputuskan oleh kepala desa dan DPMD, perlu diverifikasi oleh pengadilan negeri dengan keputusan pengadilan negeri (setelah mendengar pendapat Kapolres setempat), sebelum peraturan desa itu dilembarkan.
2.10
Keuangan dan Kinerja Desa Ada sebagian kalangan yang berpendapat, ditetapkannya aturan bahwa seorang
Sekretaris Desa haruslah PNS adalah karena keuangan desa yang notabene sebagian besarnya berasal dari APBN (keuangan negara), maka harus dikelola oleh PNS. Namun dari penelitian yang dilakukan dalam pembuatan naskah akademik ini tidak ditemukan dasar hukum dari pernyataan tersebut. Dalam Penjelasan Pasal 3 Ayat (1) UU No.17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara hanya disebutkan: Setiap penyelenggara negara wajib mengelola keuangan negara secara tertib, taat pada peraturan perundang-undangan, efisien, ekonomis, efektif, transparan, dan bertanggung jawab dengan memperhatikan rasa keadilan dan kepatutan.
Oleh karena itu seharusnya sekretaris desa tidak perlu berstatus Pegawai Negeri Sipil (PNS), karena pada hakekatnya, yang penting setiap pengelola keuangan negara (yang dalam hal ini juga dikelola oleh pemerintah desa) dapat melakukan pengelolaan keuangan dan pembukuan secara profesional menurut standar ilmu keuangan, meskipun dalam skala yang kecil seperti keuangan pemerintahan desa. Untuk memastikan tercapainya standar tertentu dalam pengelolaan keuangan, maka petugas atau pejabat pengelola keuangan desa perlu memiliki sertifikasi minimal yang ditetapkan oleh
70
peraturan perundang-undangan pelaksana dari UU Desa. Adapun personel yang mengisi jabatan ini dapat diambil tenaga-tenaga paruh waktu, misalnya guru sekolah atau pengurus mesjid yang terdapat di lingkungan desa atau para sarjana akuntansi yang ada di ibu kota kabupaten atau kota tersebut. Walaupun pengurus desa bukan pemerintah, desa juga menggunakan uang negara. Oleh karena itu perlu diatur secara tegas bahwa prinsip-prinsip dan ketentuan-ketentuan yang terkandung dalam UU No. 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara berlaku pula di desa, dengan catatan bahwa prinsip-prinsip keuangan negara tersebut disesuaikan dengan skala desa. Untuk mencegah korupsi, sistem keuangan dilakukan dengan instrumen yang modern, yaitu dengan memanfaatkan instrumen teknlogi informasi. Sehingga diharapkan aliran listrik dan saluran/signal telepon bisa masuk ke desa-desa agar setiap desa dapat menggunakan komputer dan jaringan internet secara on line. Kerjasama dengan bank-bank milik daerah dan bank nasional yang berorientasi pedesaan (seperti Bank Rakyat Indonesia) dapat dimanfaatkan. Seperti telah diuraikan di atas, pengelola keuangan tidak perlu berstatus PNS yang bekerja secara full time pada struktur pengurus desa. Yang penting ia memiliki sertifikat bidang keuangan dengan kriteria minimum yang ditetapkan dengan peraturan perundangundangan. Kebenaran dan kejujuran keuangan bukanlah karena dia PNS atau bukan. Tapi adalah karena etika dan profesionalisme orang yang bertanggungjawab. Sebagai solusi, orang-orang ini agar dapat dipercaya secara resmi, juga harus disumpah. Hal yang penting juga untuk difikirkan dalam perumusan UU tentang Desa adalah kebutuhan akan adanya auditor keuangan yang bersifat independen, mengingat organisasi pengurus desa bukanlah pemerintah. Biaya untuk menyewa auditor independen ini dapat dibebankan kepada pemerintah daerah kabupaten/kota sebagai pihak yang menyalurkan ADD (karena akan
71
menjadi bagian dari pertanggungjawaban APBD). Terkait dengan pengelolaan keuangan desa, selanjutnya akan dibahas mengenai perencanaan dan anggaran desa. Penyusunan perencanan dan anggaran desa harus dibuat pragmatis untuk kebutuhan yang sesuai dengan jumlah masyarakat desa (separuh desa di Indonesia mempunyai jumlah penduduk kurang dari 2.500 orang) dan konsisten dengan prinsip pertanggungjawaban keuangan dan kinerja negara sebagaimana diatur dalam UU No. 17 Tahun 2003. Disamping dapat membuat perencanaan desa yang merupakan bagian dari otonomi desa, masyarakat desa juga berhak untuk diikutsertakan dalam perencanaan pemerintah daerah dan Pemerintah yang berkaitan dengan hidup mereka. Hal ini sebenarnya sudah diatur dalam UU No. 32 Tahun 2004, tetapi dalam Undang-undang tersebut belum ada pengaturan lebih lanjut tentang hubungan antara perencanaan nasional, perencanaan daerah dan perencanaan desa. Dalam membuat perencanaan desa perlu pula diatur suatu perencanaan yang mudah dimengerti dan disusun oleh orang desa dan relevan bagi masyarakat. Dalam UU No. 32 Tahun 2004, hanya diatur perencanaan kawasan perdesaan secara umum. Sebenarnya, bila dilihat dari ragamnya, ada tiga macam perencanaan desa, yaitu perencanaan pembangunan (yaitu perencanaan tentang perkembangan desa), perencanaan program (yaitu perencanaan tentang kegiatan (rencana kerja) yang didanai dari APBDes), dan perencanaan perkembangan kelembagaan (yaitu perencanaan tentang peningkatan kemampuan desa untuk melaksanakan program). Perencanaan pembangunan desa antara lain meliputi perencanaan tata ruang dan lingkungan desa, ketertiban, investasi, pengembangan ekonomi, sumber air dan irigasi, energi, dan konservasi, penanggulangan keadan darurat & bencana, retribusi, dan perencanaan kerjasama desa dengan desa lain dan/atau dengan pihak ketiga lainnya. Batas waktu untuk masa perencanaan tersebut tidak
72
perlu diatur, dan rencana tersebut dapat disempurnakan pada waktu masyarakat desa menganggap dibutuhkan. Karena mengikat perilaku perorangan, rencana tata ruang, sumber air dan irigasi, energi, konservasi perlu diverifikasi oleh pemerintah daerah kabupaten/kota. Perlu diperhatikan, bahwa dalam melaksanakan perencanaan pembangunan desa oleh masyarakat desa sendiri, efektifitas hanya bisa tercapai bila memenuhi kondisi sebagai berikut: a. Hal-hal yang direncanakan juga merupakan hal-hal yang dapat dilaksanakan oleh masyarakat desa sendiri. b. Desa memiliki kemampuan dalam hal keuangan dan perlengkapan untuk melaksanakan. c. Jarak waktu antara perencanaan dengan pelaksanaan dibuat sesingkat mungkin. d. Dokumentasi perencanaan disesuaikan dengan kemampuan pengurus desa untuk menyusun dan kemampuan masyarakat desa untuk mengerti dan memberi persetujuan atas isinya. Dalam perencanaan program, perlu diatur tahapan perencanaannya, yang terdiri atas: •
Rencana Strategis Urusan dan Rencana Kerja;
•
Rencana Kerja dan Anggaran (diatur pada Bagian tersendiri) dengan dokumen pelaksanaan anggaran; dan
•
Perencanaan pelaksanaan yang berkelanjutan, termasuk revisi Rencana Kerja dan Anggaran (RKA), setiap pertengahan tahun.
Selain itu, dalam perencanaan program (rencana kerja), hal lain yang perlu diatur adalah prinsip-prinsip tentang peningkatan mutu pelayanan dan pembangunan (to improve
73
programs). Bagaimana program-program itu menjadi lebih baik, isunya adalah rencana kerja bisa bertambah, tapi harus ada blue print desa. Selanjutnya dalam perencanaan pengembangan kelembagaan, hal-hal yang harus diperhatikan adalah bahwa kemampuan organisasi, formasi, dan kepegawaian perlu direview bersamaan dengan penganggaran, supaya disesuaikan dengan kebutuhan program. Mengingat skala desa yang cukup kecil, rencana kerjanya tidak perlu dibuat pada pertengahan tahun seperti di kabupaten. Sebaiknya rencana kerja desa dibuat sekitar bulan November, karena pada bulan Oktober APBD diputuskan, sehingga desa dapat mengetahui jumlah uangnya untuk membuat rencana kerja. Bab tentang Keuangan dan Kinerja Desa dalam UU tentang Desa juga akan mengatur hal-hal yang berkaitan langsung dengan pengelolaan keuangan, yaitu: Pendapatan, Belanja, dan Pembiayaan; APBDes dan Perubahan APBDes; Pengelolaan Aset Desa; Evaluasi Rancangan Peraturan Desa tentang APBDes; Pelakasanaan Tata Usaha Keuangan Desa, dan Pertanggungjawaban Pelaksanaan APBDes. Khusus tentang sumber pendapatan, tidak ada lagi dana bagi hasil kecuali berkaitan dengan bila desa melaksanakan tugas pembantuan dimana bagian desa harus cukup untuk melaksanakan tugas tersebut. Penghapusan dana bagi hasil ini dilakukan, karena dana dari Alokasi Dana Desa dianggap cukup. ADD diberi berdasarkan formulir berbasis ongkos menyelenggarakan urusan desa, yang terdiri atas: ADD untuk operasional dan pemeliharaan dan ADD untuk investasi. Dalam sistem keuangan desa perlu dirancang ongkos tugas pembantuan; dana darurat; proses untuk memberi bantuan kepada pengurus desa dan/atau lembaga lain yang dananya berasal dari luar ADD.
74
2.11
Kerjasama
Dalam UU tentang Desa yang baru nantinya, yang dimaksud dengan kerjasama mencakup pola-pola kerjasama sebagai berikut: a. kerja sama antar desa bertetangga, b. kerjasama antar desa yang mempunyai hubungan hierarkis (misal: gampong dengan mukim, desa dengan lembaga adat yang luasnya lebih dari satu desa), c. asosiasi desa pada tingkat kecamatan, tingkat kabupaten/kota, tingkat provinsi dan tingkat nasional, d. asosiasi lembaga-lembaga desa, dan e. kerjasama desa dengan pihak ketiga.
2.12
Penyelesaian perselisihan antar desa
Karena dalam perselisihan antar desa terdapat aspek eksternalitas, maka UU tentang Desa yang baru akan mengatur bahwa penyelesaian perselisihan antar desa akan menjadi tugas pokok asosiasi desa bersama camat. Akan tetapi, camat sebagai aparat pemda hanya dapat menyelesaikan perselisihan berdasarkan kebijakan daerah, sehingga sebaiknya perselisihan yang terjadi agar diselesaikan secara adat atau prakarsa asosiasi desa terlebih dahulu sebelum diselesaikan oleh pemerintah daerah. Dalam hal prakarsa tersebut juga tidak dapat menyelesaikan suatu perselisihan dan jika belum ada peraturan daerah yang memadai yang dapat menyelesaikannya, maka Bupati/Walikota dapat mengambil keputusan dengan peraturan darurat yang harus disetujui DPRD pada sidang berikutnya (seperti konsep Perpu). Namun demikian, penyelesaian dengan cara demikian tidak berlaku terhadap tindakan pidana.
75
Bagi perselisihan karena perbuatan pidana yang melibatkan banyak anggota masyarakat akan berlaku penyelesaian sebagai berikut: -
harus ada proses truth and reconciliation;
-
tetap diselesaikan melalui jalur hukum yang berlaku;
-
Perselisihan antar desa yang muncul akibat suatu perbuatan pidana diselesaikan oleh masyarakat bersama pemerintah. Dalam hal penyelesaian perselisihan, UU tentang Desa menawarkan suatu ide baru,
yakni karena desa biasa mempunyai cara kerjasama yang tradisional untuk selesaikan perselisihan, maka diusulkan dibentuk Dewan Desa tingkat Kecamatan, dan Dewan Desa tingkat Kabupaten/Kota, yang memiliki fungsi antara lain untuk membahas dan memediasi perselisihan antar desa dan perselisihan antara desa dengan pemerintah daerah serta menyampaikan rekomendasi kepada anggota Forum Kordinasi Ketentraman Kecamatan (lembaga yang mengganti Muspika), dan Forum Kordinasi Ketentraman Daerah (lembaga yang mengganti Muspida), dimana Ketua Dewan Desa juga merupakan salah satu anggotanya. Disini akan terjadi pertemuankoordinasi diantara kepala daerah (diwakili oleh camat untuk FKKK), Kapolres (diwakili oleh Kapolsek untuk FKKK), Ketua Dewan Desa, dengan tokoh masyarakat dan pejabat lain, hanya jika dianggap perlu, untuk membagi informasi intelijen tentang risiko perselisihan dan sinkronisasi tindakan penyelesaian perselisihan. Namun tetap prinsipnya yang harus diprioritaskan adalah Dewan Desa dan lembaga masyarakat lain diberi kesempatan untuk menyelesaikan masalah lebih dahulu.
2.13
Pengawasan dan Pembinaan Otonomi Desa
UU tentang Desa mendahulukan kata pengawasan daripada pembinaan dalam judul
76
Bab, karena pembinaan adalah salah satu respon dari hasil pengawasan. Dalam masalah pengawasan, UU tentang Desa akan memuat ketentuan sebagai berikut: 1. Camat sebagai wakil pemda untuk melaksanakan pengawasan umum. 2. SKPD melaksanakan pengawasan teknis sesuai dengan bidang tugasnya, termasuk APBDes dan Perdes. 3. Laporan pertanggungjawaban desa diaudit oleh akuntan publik dan disampaikan kepada Inspektorat Daerah dan DPRD. 4. Komisi Desa menilai keberhasilan pemdes secara menyeluruh dengan rekomendasi kepada kepala daerah ttg peningkatan mutu pelayanan, urusan desa, dana yang layak diterima desa, dan pembinaan. 5. Kepala Daerah menyiapkan laporan tahunan tentang penyelenggaraan tata kelola desa seluruh daerahnya untuk dibahas dengan DPRD, dan diteruskan kepada Gubernur dan Menteri Dalam Negeri. Pengawasan yang bersifat teknis harus sampai ke tingkat menteri karena bertanggungjawab atas sektornya, sedangkan pengawasan kinerja secara keseluruhan (umum) dipegang Presiden, yakni melalui Gubernur terhadap Kabupaten. Jadi, bupati/walikota dan DPRD harus melaksanakan pengawasan umum terhadap desa. Selain oleh Pemerintah Daerah Pengawasan terhadap desa juga dilakukan oleh DPRD. Pengawasan teknis oleh Pemerintah Daerah dilakukan oleh Kepala SKPD melalui Inspektur Teknis Kabupaten/Kota untuk mengawasi semua pelaksanaan teknis di desa. Jika diperlukan, inspektur teknis dapat berkantor di kantor camat. Sebaiknya pengawasan atas penyelenggaraan desa di buat sederhana tapi terfokus. Pengawasan teknis harus terfokus
77
pada masalah mutu pelayanan secara teknis (misal: mutu konstruksi bangunan), sementara pengawasan secara umum terfokus kepada kemampuan desa untuk meningkatkan mutu pelayanan kepada masyarakat, kemampuan untuk menerima urusan baru dari kantor camat atau dinas berdasarkan prinisip subsidiaritas sebagaimana dibahas diatas, dan kecukupan dana untuk menyelenggarakan urusannya. Dalam UU tentang Desa akan diperkenalkan pengawasan yang bersifat independen supaya desa terlindungi dari vested interest pemerintah daerah. Pengawasan independen ini akan dilakukan oleh Komisi Desa, yang akan melakukan penilaian terhadap: -
peningkatan mutu pelayanan berkelanjutan sesuai dengan prinsip-prinsip yang dianut UU tentang Desa,
-
penyerahan urusan dari kekuasaan supra desa kepada desa, dan
-
penyempurnaan formulir ADD.
Guna meningkatkan pelayanan kepada masyarakat, diusulkan untuk dibentuk kantor khusus di kantor kecamatan (jika tidak ada kecamatan, di kantor Bupati42) yang berfungsi menangani semua pengaduan masyarakat. Selain itu, demi kelangsungan otonomi desa perlu dibentuk semacam forum konvensi ditingkat provinsi dan pusat, yang akan mempertimbangkan otonomi desa secara berkala, dengan maksud supaya kebijakan tentang otonomi, subsidiaritas, rekognisi, dan penerapan prinsip-prinsip lainnya dapat direview. Dalam forum yang dapat dilaksanakan setahun sekali ini akan didapatkan umpan balik dari masyarakat, asosiasi desa, dan Komisi Desa tentang pelaksanaan ”pemerintahan” di desa.
42
Dalam RUU tentang pemerintahan daerah, diusulkan kantor kecamatan dapat dihapus jika tidak dapat memberi pelayanan lebih efektif dan efisien daripada SKPD sektoral.
78
Hasil pertemuannya akan disiapkan dalam bentuk pernyataan dan laporan kepada Menteri Dalam Negeri dan menteri teknis. Mengenai pembinaan Otonomi Desa akan diterapkan pembinaan tiga lapis. Lapis pertama adalah peran kabupaten/kota, yang akan diatur dalam UU tentang Desa, dan lapis kedua dan ketiga adalah peran provinsi dan Pusat, yang diatur dengan UU Pemerintahan Daerah. Metode dan teknis pembinaan akan diatur oleh kabupaten/kota. Namun sejauh mungkin pembinaan dilaksanakan oleh lembaga yang berkompeten, seperti perguruan tinggi lokal, LSM, Konsultan, dan lain-lain.
2.14
Instansi Pemerintah dan Pemerintah Daerah di Desa
UU No. 32 Tahun 2004 belum mengatur mengenai Instansi Pemerintah dan pemerintah daerah yang berkedudukan di desa. Pengaturan tentang ini perlu dimasukkan ke dalam UU tentang Desa, karena untuk menciptakan kerja sama antara desa dengan pemerintah, di desa harus ada Unit Pelayanan Teknis (UPT) dan instansi penegakan hukum dan peradilan seperti Polisi/Satuan Polisi Pamong Praja serta TNI (khususnya di teritori yang berbatasan dengan Negara lain).
2.15
Ketentuan Pidana
Ada dua macam ketentuan pidana yang berkaitan dengan tata kelola desa, yaitu untuk kasus-kasus yang terjadi akibat pelanggaran dalam proses Pemilihan Kepala Desa dan Pemilihan Anggota DPMD dan juga untuk kasus-kasus penyalahgunaan keuangan desa. Untuk kasus yang pertama, ketentuan pidananya perlu diatur dalam Bab tersendiri,
79
tapi untuk yang kedua, dapat cukup diatur dengan ketentuan pidana yang sudah ada pada UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara.
2.16
Ketentuan Peralihan
Cara peralihan dalam UU No. 32 Tahun 2004 kurang lengkap diatur serta proses peralihan kurang terkendali dan tidak dapat diawasi oleh DPR RI/DPD RI. Proses pelaksanaan UU Desa yang baru ini nantinya perlu direncanakan dan diawasi. UU Desa tidak memberi batasan waktu untuk melaksanakan UU ini, tapi akan mewajibkan Pemerintah untuk melaksanakannya sesuai dengan kemampuan masing-masing instansi pusat yang berkaitan dan masing-masing daerah. Kinerja diawasi baik oleh pemerintah maupun DPR RI dan DPD RI, dan kebijakannya dapat disesuaikan dari pengalaman. Dengan demikian, DPD RI mempunyai cara kerja baru, yaitu selalu menyempurnakan kebijakan tentang desa. Peralihan akan dimulai dengan membangun proses-proses peningkatan kinerja secara bertahap. Lalu setiap daerah menyiapkan Grand Design secara seksama untuk meningkatkan efektivitas dan efisiensi desa dan kecamatan sebelum membentuk desa baru, membentuk kantor kelurahan menjadi cabang kantor kecamatan atau menghapus kelurahan, dan masyarakat membentuk satu atau lebih desa dalam wilayah bekas kelurahan tersebut. Peralihan UU tentang Desa ini diatur dalam Peraturan Presiden yang mengatur tentang: -
jadwal persiapan Peraturan Pemerintah,
-
jadwal pengaturan ADD,
80
-
Rencana pelaksanaan UU;
-
Program dan anggaran untuk melaksanakan UU;
-
Manager program yang akan bertanggungjawab atas program; dan
-
Sanksi administratif.
Semuanya aspek peralihan tersebut dijadikan dasar bagi pengawasan pelaksanaan UU desa oleh DPD secara berkala. Presiden diamanatkan menyusun rencana tindakan pelaksanaan RUU ini, dan setiap provinsi dan kabupaten/kota juga menyiapkan rencananya. Rencana Presiden tersebut ditetapkan dengan suatu Peraturan Presiden dan dibahas dengan DPR dan DPD supaya menjadi landasan kontrol. Sementara rencana Bupati/Walikota tentang review terhadap landasan hukum setiap desa, revisi perda-perda tentang desa yang ada dan pembentukan Komisi Desa ditetapkan dengan peraturan bupati/walikota dengan persetujuan DPRD untuk menjadi landasan pengawasan DPRD dan provinsi.
2.17
Ketentuan Penutup
Format dan materi Ketentuan Penutup dari UU tentang Desa akan mengacu pada apa yang sudah ada di UU No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan PP No. 72 Tahun 2005 tentang Desa dengan sedikit modifikasi/penyesuaian.
Bab 3 81
PENUTUP Kesimpulan Mengadakan undang-undang tersendiri tentang Desa yang terpisah dari undangundang lain adalah suatu tindakan yang sangat tepat dalam rangka menempatkan desa pada posisi yang semestinya, yaitu sebagai wilayah yang dikelola sendiri oleh masyarakat yang menempatinya, dimana mereka dapat menentukan sendiri upayaupaya apa saja yang akan dilakukan untuk menciptakan masyarakat yang teratur, sejahtera dan bahagia. Penempatan peraturan-peraturan tentang desa di dalam Undangundang tentang Pemerintahan Daerah telah menimbulkan banyak kerancuan, kegalauan dan hambatan dalam proses pembangunan di desa, karena sebenarnya tata kelola desa bukanlah suatu bentuk “pemerintahan” sebagaimana yang dimaksud dalam konstitusi negara kita UUD NRI 1945. Penyelenggara tata kelola desa seharusnya murni merupakan suatu bentuk lembaga swadaya masyarakat yang bermitra dengan pemerintah dalam melayani masyarakat dan ikut serta melakukan proses pembangunan di wilayah tertentu. Untuk itulah, agar dapat diakui sebagai mitra pemerintah yang sah, maka desa perlu diatur dalam suatu peraturan perundang-undangan yang paling tinggi dibawah konstitusi, yaitu undang-undang yang mengatur khusus tentang desa. Dalam membuat Undang-undang tentang Desa, ada beberapa konsep baru yang merupakan penyempurnaan dari prinsip-prinsip dan aturan-aturan yang berlaku selama ini. Yang dimaksud dengan penyempurnaan di sini adalah perubahan terhadap ketentuan-ketentuan pengaturan tentang desa yang terdapat dalam peraturan perundangundangan yang ada, yakni UU No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan PP No. 72 Tahun 2005 tentang Desa serta penambahan segala ketentuan baru yang belum diatur
82
oleh UU dan PP tersebut, dimana pasal-pasal hasil perubahan dan penambahan tersebut dibuat sesuai dengan prinsip-prinsip yang baru diperkenalkan ke dalam UU tentang Desa.
Saran
Ketentuan-ketentuan yang ada dalam UU No. 32 Tahun 2004 dan PP No. 72 Tahun 2005 yang sudah sesuai dengan prinsip-prinsip yang akan dianut dalam UU tentang Desa agar tetap diadopsi, sehingga UU tentang Desa yang baru tidak dibuat sebagai suatu produk peraturan perundang-undangan baru yang mengadakan perubahan total terhadap produk peraturan yang lama, akan tetapi hanya memperbaiki aturan-aturan yang dirasa kurang tepat dan menambahkan aturan-aturan baru yang memang dibutuhkan, demi tercapainya kesejahteraan dan kebahagiaan masyarakat desa. Dalam membuat Undang-undang tentang Desa, prinsip utama yang perlu diperhatikan adalah tidak melakukan perubahan secara revolusioner yang dapat menimbulkan keresahan di tengah-tengah masyarakat. Demikian pula dalam menerapkan Undang-undang tentang Desa nantinya, sangat penting pula untuk memperhatikan periode peralihan sampai semua desa benar-benar dapat menerapkan aturan-aturan yang baru, khususnya aturan-aturan yang bersifat teknis.
DAFTAR PUSTAKA A. Buku
83
Black. Henry Campbel. “Council,” Black’s Law Dictionary. St. Paul: MN:West Publising, 1990. Elmiyah, Nurul, Th Sarjidto, etc., Laporan Penelitian Tentang Perlindungan dan Pengakuan Terhadap Hak Masyarakat Adat. Jakarta: Komisi Hukum Nasional, 2004. Haar, B. Ter. Adat law in Indonesia. New York: New York Institute of Pacific Relations, 1948. Vollenhoven, C. Van. Penemuan Hukum Adat. Jakarta: Jakarta Djambatan, 1987.
B. Makalah dan Jurnal A.A. GN. Ari Dwipayana dan Sutoro Eko. “Pokok-Pokok Pikiran Untuk Penyempurnaan UU No.32/2004 Khusus Pengaturan Tentang Desa”. Makalah masukan untuk Tim Pakar DEPDAGRI. Atmadja, Nengah Bawa. ”Memudarnya Demokrasi Desa desa: pengelolaan tanah adat, konversi dan implikasi sosial dan politik di desa adat julah, buleleng, bali”. Depok, Disertasi S3 Fisip UI, 1998. Hardianingsih. ”Analisis pertanggung jawaban kepala desa dalam rangka pendaftaran konversi bekas hak milik adat (di kecamatan tanah sereal kotamadya bogor)”. Depok, Tesis S2 Magister Kenotariatan FHUI, 2006 Parimartha, I Gde. ”Desa Adat dan Desa Dinas di Bali: Sebuah Refleksi Kesejarahaan. Denpasar.” Jurnal Dinamika Kebudayaan IV (2), 2002. Podger. Owen. “Komentar atas Naskah Akademis dan RUU Desa versi Depdagri.” Makalah, April, 2008. Sutoro Eko., et al. “Kaya Peraturan Miskin Kebijakan, Village Paper Hasil Kajian Kritis UU No.32 /2004 dan PP No.72/2005”. Paper dalam forum Pengembangan Pembaharuan Desa. Kerjasama FPPD dan LGSP-USAID. Jakarta, 2006.
84
C. Peraturan Perundang-Undangan Republik Indonesia. UUD RI 1945. Republik Indonesia. Undang-Undang No. 22 Tahun 1948 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah. Republik Indonesia. Undang-Undang No. 19 Tahun 1965 Tentang Desapraja. Republik Indonesia. Undang-Undang No. 5 Tahun 1979 Tentang Desa. Republik Indonesia. Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah. Republik Indonesia. Undang-Undang No.32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah. Republik Indonesia. Peraturan Menteri Dalam Negeri No.6 Tahun 2008 tentang …...
D. Majalah Manumuhdhita, I Nengah. ”Desa Adat Mengapa di Ganti?”. Denpasar: Sarad Majalah Gumi Bali, 2003.
E. Internet Simarmata, Rikardo. Menyongsong Berakhirnya Masyarakat Adat: Resistensi Pengakuan
Bersyarakat.
Jakarta:
http:
//dte.gn.apc.org/AMAN/publikasi
/Artikel%20Politik%20Simarmata.htm. 28/11/2008.
85