BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang memiliki keanekaragaman etnis yang berkembang dengan keyakinan yang berbeda-beda, kata-kata tersebut lebih dikenal dengan istilah multikulturalisme. Masyarakat Indonesia juga sebagai masyarakat majemuk, dimana penduduk masyarakatnya terdiri dari berbagai suku bangsa, golongan sosial yang berbeda dan hidup masing-masing kelompok dan bertemu dalam arena-arena publik saja. Sebagai suatu masyarakat yang majemuk, Indonesia dipersatukan dengan satu sitstem nasional yang mempersatukan sukusuku bangsa yang beraneka warna. Sistem nasional tersebut ialah Bhinneka Tunggal Ika yang dimaknai berbeda-beda tetapi tetap satu. Meskipun mempunyai bermacam-macam suku bangsa namun tetap satu, yaitu Indonesia. Menurut sensus BPS tahun 2010 terdapat lebih dari 300 kelompok etnik atau suku bangsa yang tepatnya 1.340 suku bangsa 1. Sumatera Utara adalah salah satu daerah yang didiami oleh masyarakat multietnis yang menyebar di seluruh daerah di Sumatera Utara mulai dari kota sampai ke pelosok desa atau dusun. Penduduk Sumatera Utara terdiri dari
1
Akhsan Naim dan Hendry Syaputra. 2011. Kewarganegaraan Suku Bnagsa Agama dan Bahasa Sehari-hari Penduduk Indonesia, Sensus Penduduk 2010, Jakarta, Badan Pusat Statistik
Universitas Sumatera Utara
beberapa etnis sepeti: Jawa, Toba, Mandailing, Melayu, Karo, Cina, Minang, Simalungun, Aceh, Pakpak dan lainnya. Terbentuknya suku-suku bangsa disebabkan oleh paham atau ide dari beberapa anggota masyarakat yang mempunyai kecenderungan untuk berkelompok, sehingga pengelompokan itu tidak hanya pembentukan suku bangsa saja, tetapi juga di bidang lain, misalnya pengelompokan berdasarkan ideologi agama dan kepercayaan. Dari antara sukusuku yang ada di Sumatera Utara seperti yang disebutkan diatas yang menjadi fokus pada penelitian ini adalah suku Jawa. Etnis Jawa merupakan etnis yang memiliki populasi terbesar di Indonesia, sehingga sering ditemukan etnis tersebut. Secara Antropologi Budaya, etnis Jawa adalah orang-orang yang secara turun temurun menggunakan bahasa Jawa, bertempat tinggal di Jawa Tengah dan Jawa Timur serta mereka yang berasal dari daerah-daerah tersebut 2. Perpindahan orang-orang Jawa ke Pulau Sumatera, khususnya ke Sumatera Utara ada tiga faktor hal: 3pertama, keterbukaan lahan tembakau Deli di Sumatera Timur yang dilakukan oleh pengusaha Belanda Yacobus Neindles atas kerjasama dengan Sultan Mahmud Perkasa Alam (Sultan Kerajaan Deli) pada era Kolonial Belanda. Arus kepadatan jumlah suku Jawa bertambah pada abad ke-20 dengan menggantikan kuli kontrak asal Cina yang memiliki upah relative mahal
2
Budiono Herusatoto, 2000. Simbolisme Dalam Budaya Jawa, Yogyakarta: PT.Hanindita, hlm.37 3 siyo, Kasim dkk. 2007.Wong Jawa di Sumatera, Sejarah, Budaya, Filosofi & Interaksi Sosial, Jakarta: Pujakesuma, Hal.72-73
Universitas Sumatera Utara
dan juga permasalahan administrasi pada asal negaranya. Oleh sebab itu pemerintah kolonial Belanda mendatangkan kuli Jawa dengan skala lebih besar yang beralihnya tanaman-tanaman perkebunan dari tembakau ke tanamantanaman baru seperti kopi, karet, kelapa sawit, dan serat sisal. Selain itu, Pemerintah Kolonial Belanda lebih senang memilih kuli asal Jawa yang upahnya relatif lebih murah dan tidak banyak menuntut 4. Kedua, transmigrasi pada pemerintahan Orde Baru dengan melihat keadaan jumlah penduduk Pulau Jawa yang meningkat dan kepemilikan tanah yang makin sempit di Pulau Jawa akibat pertambahan penduduk yang cepat
menyebabkan taraf
hidup masyarakat di Pulau Jawa semakin menurun. Perubahan jumlah penduduk tentunya sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor seperti 5 natalitas (kelahiran), mortalitas (kematian), dan migrasi (perpindahan penduduk). Ketiga, perpindahan secara spontan yang dilakukan oleh orang Jawa dalam rangka memperbaiki taraf kehidupan mereka yang semakin sedikit lapangan kerja dan perwakinan antar etnis. Terwujudnya demokrasi yang lebih bermakna di tingkat lokal dan melahirkan pemerintahan yang lebih transparan dan akuntabel. Namun, demokrasi di jenjang lokal kian menghadirkan jumlah perkara baru, salah satunya adalah tumbuhnya identitas-identitas lokal yang dijadikan sebagai karakter sebuah daerah. Salah satu bentuk penciptaan identitas lokal ini adalah etnisitas. 4
Jan Breman. 1997. Menjinakan Sang Kuli: Politik Kolonial pada Awal Abad ke-20 (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, hal.53. 5 David Lucas, dkk, Pengantar Kependudukan, Yogyakarta: UGM Press, 1990, hal.11
Universitas Sumatera Utara
Masyarakat di daerah mencari eksistensi diri menggunakan etnis sebagai basis kekuatan. Dalam praktek pemerintahan daerah selama ini, kerap kita temui adanya pemanfaatan etnis sebagai instrumen untuk medapatkan kedudukan strategis dalam pemerintahan daerah. 6 Sebutan etnis memang merupakan nama baru, adapun istilah yang digunakan dalam kehidupan sehari-hari adalah istilah suku. Seiring dengan perkembangan zaman, suku atau etnis yang mula-mula merupakan kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai nilai-nilai budaya yang positif yang terbentuk sebagai sebuah komunitas paguyuban adat, serta membentuk dewan adat yang berfungsi sebagai lembaga adat yang memfasilitasi masyarakat dalam. Persoalan ini muncul karena minimnya pemahaman dan kurangnya pendidikan politik yang selama ini diberikan oleh parpol. Akibatnya, masyarakat mempersepsikan bahwa politik itu adalah perampasan kekuasaan setiap golongan etnis. Padahal politik adalah usaha untuk menggapai kehidupan yang baik, dan juga politik adalah upaya untuk menentukan peraturan-peraturan yang dapat diterima baik oleh sebagian besar warga, serta membawa masyarakat ke arah kehidupan bersama yang seia sekata. 7
6
Ibrahim Chalid. Etnisitas dalam Pemilihan Kepala Daerah di Sumatera Utara (Perspektif Antropologi Budaya),pada Seminar Nasional dengan topik “ Menghindari Benturan Etnik dan Agama dalam Pemilihan Kepala Daerah Di Sumatera Utara”, Pusat Administrasi Lt. III Universitas Negeri Medan, 17 Maret 2008 diakses melalui http: //repository.unimal.ac.id/1606/1/Etnisitas%20Dalam%20PILKADA%20di%20SUMUT%20 PFD.pdf, pada tanggal 27 April 2017 Pikul 22.18 Wib. 7 Ibid.
Universitas Sumatera Utara
Perlu disadari, politik identitas Jawa di Sumatera Utara tidak terpisahkan dengan filosofi alon-alon wakon kelaton (perlahan-lahan tapi pasti). Keadaan waktu yang dimiliki orang Jawa dan peranan elit melihat potensi kekuataan Jawa serta paguyuban merupakan wadah perkumpulan Jawa dapat mengembangkan diri orang Jawa dalam menunjukkan identitas.Kata alon-alon di dalamnya sebenarnya tersirat makna cara. Jadi, alon-alon hanyalah cara bagaimana seseorang akan mencapai tujuan karena yang penting adalah kriteria yaitu waton kelakon (harus terlaksana) daripada kebat kliwat (tergesa-gesa tetapi gagal). Ketika menjadi pemimpin, orang Jawa memiliki beberapa semboyan dan pandangan hidup yang selalu harus dilaksanakan agar kepemimpinannya dapat berjalan dengan baik karena diiringi dengan sikap-sikap yang arif dan bijaksana.Sikap dan pandangan itu antara lain ialah seorang pemimpin harus dapat hamangku, hamengku, hamengkoni. Hamangku diartikan sebagai sikap dan pandangan yang harus berani bertanggung jawab terhadap kewajibannya, hamengku diartikan sebagai sikap dan pandangan yang harus berani ngrengkuh (mengaku sebagai kewajibannya dan hamengkoni dalam arti selalu bersikap berani melindungi dalam segala situasi. Jadi, seorang pemimpin dalam pandangan masyarakat Jawa itu harus selalu berani bertanggung jawab, mengakui rakyatnya sebagai bagian dari hidupnya dan setiap saat harus selalu melindungi dalam segala kondisi dan situasi. 8
8
Ni Wayan Sartini. 2009. “Menggali Niali Kearifan Lokal Budaya Jawa Lewat Ungkapan (Bebasan, Saloka, Paribasa)”, Jurnal Ilmiah Bahasa dan Sastra, Volume V, No.1 April 2009, hlm.32.
Universitas Sumatera Utara
Ungkapan yang paling populer dalam dunia pendidikan adalah ing arsa sung tuladha, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani. Ungkapan ini juga berasal dari bahasa Jawa dan mengandung nilai-nilai yang sangat baik untuk panutan seorang pemimpin. Apabila seseorang benar-benar ingin disebut sebagai seorang pemimpin, dia harus selalusung tuladha (memberi teladan) ketika berada di depan untuk memberikan contoh yang baik dalam bentuk sikap, ucapan, dan tindakan yang selalu konsisten.Manakala seorang pemimpin berada di tengahtengah rakyatnya, dia harus mangun karsa (memberi semangat) agar rakyat tidak mudah putus asa jika menghadapi segala macam cobaan. Ketika dia ada di belakang dia harus selalu tut wuri handayani (mau mendorong) agar rakyatnya selalu maju. 9 Ketika seorang pemimpin memiliki sikap dan pandangan hidup yang baik rakyat akan selalu melu handarbeni, melu hangrungkebi, mulat sarira hangrasa wani dalam arti segala prestasi yang dicapai dalam suatu tempat atau negara akan selalu dijaga oleh rakyatnya dengan baik karena rakyat merasa ikut memiliki melu handarbeni, dan jika ada orang lain yang akan merusak tatanan yang sudah mapan, rakyat juga akan ikut membela melu hangrungkebi. Namun, semua itu dilakukan setelah mengetahui secara pasti duduk persoalan mana yang benar dan mana yang salah dengan mulat sarira hangrasa wani (mawas diri). 10 Berdasarkan pandangan di atas, seorang pemimpin akan semakin berwibawa dan dapat menyelesaikan segala persoalan tanpa menimbulkan 9
Ibid., hlm.33. Ni Wayan Sartini . Loc.cit.,
10
Universitas Sumatera Utara
persoalan baru. Karena kewibaannya itulah seorang pemimpin memiliki kekuatan sehingga akan berani nglurug tanpa bala, menang tanpa ngasorake, artinya segala persoalan dapat diselesaikan sendiri dengan baik tanpa harus merendahkan martabat orang lain yang bermasalah dengan dirinya. Karena kewibaan itu pulalah seorang pemimpin harus selalu bersikap dermawan kepada orang lain yang kekurangan.Di samping itu, seorang pemimpin atau siapa pun sebaiknya meresapi ungkapan sepi ing pamrihrame ing gawe yang bermakna dalam melakukan pekerjaan apa pun sebaiknya bekerja sungguh- sungguh dan iklas tanpa memikirkan imbalanya. 11 Munculnya politik identitasetnis di Sumatera Utara dari sistem pemilihan umum secara langsung. Tidak adanya kepastian demokrasi di tingkat lokal antara mayoritas dan minoritas. Demokrasi juga memaksa munculnya sebuah kompetisi yang keras untuk dalam hal perebutan kekuasaan. Oleh sebab itu, mobilisasi jaringan etnis memang sengaja diciptakan untuk memenangkan sebuah persaingan dalam hal perebutan kekuasaan. Ada beberapa faktor mengapa politik identitas semakin kuat, terutama pada pemilihan kepala daerah: 12pertama, menguatnya fenomena etnosentrisme. Para calon kepala daerah yang bertarung dalam sebuah kontestasi politik sangat mengagungkan simbol-simbiol identitas yang dijadikan sebagai vote getter. Biasanya para calon menyebut nama suku yang berasal oleh orang tua atau kakek neneknya. Kedua primodialisme, calon kepala daerah yang ikut dalam kontestasi 11
Ibid. Jurnal Kewarganegaraan, Vol.19 Nomor 2, November 2012, Jurusan Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Medan, hal.54 12
Universitas Sumatera Utara
politik memiliki basis jejaring-jejaring kekerabatan atau paguyuban-paguyuban. Partai politik hanya berfungsi sebagai kenderaan untuk meloloskan kandidat tertentu dalam momen pilkada dan mencari eksistensi. Sedangkan para paguyuban memiliki jaringan sampai kelapisan bawah masyarakat menjadi primadona pada saat momen pilkada berlangsung. Ketiga,adanya unsur patron-klien antara calon dengan para pejabat, penguasa, paguyuban, komunitas dengan kepentingankepntingan politik pada saat memenangi pesta demokrasi. Pada tahun 2008, keikutsertaan orang Jawa dalam pemilihan kepala daerah Gubernur dan Wakil Gubernur Sumatera Utara seperti Syamsul Arifin-Gatot Pujo Nugroho, Abdul Wahab Dalimunte-Romo Syafi’i dan Tritamtomo-Benny Pasaribu. Muncul tokoh Jawamemiliki peranan aktif dan kebanggaan bahwa selama ini etnis Jawa menjadi objek dari potensi yang ada dimiliki orang Jawa. Selain itu, di Kabupaten/Kota keterwakilan orang Jawa dalam kancah perpolitikan di Sumatera Utara dapat di lihat di Kabupaten Serdang bedagai Bupati Serdang Bedagai Ir. Soekirman, Kabupaten Langkat Mantan Wakil Bupati Langkat 2008-2013 Budiono, SE, Wakil Bupati Langkat 2013-2018 Drs. Sulistianto, M.Si dan Mantan Wakil Bupati Labuhan Batu 2005-2010 Sudarwanto. Pada tahun 2013 kembalinya lagi orang Jawa berpartisipasi dengan ikut serta sebagai calon Gubernur dan calon Wakil Gubernur yaitu Gatot Pujo Nugroho-Tengku Erry, Gus Irawan-Soekirman dan Efenddi Simbolon-Jumiran Abdi.
Dengan
harapan,
masyarakat
Jawa
dapat
menunjukkan
sosok
Universitas Sumatera Utara
kepemimpinan di Sumatera Utara yang jumlah penduduknya dominan dengan suku asli Sumatera Utara. Pada tahun 2010 sebesar 12.985.075 juta jiwa dengan 33,4% suku Jawa, Batak Toba 22,3%, Batak Mandailing 9,5%, Nias 7,1%, Melayu 6,0%, Batak Karo 5,5%, Batang Angkola 4,1%, Tionghoa 2,7%, Minang 2,6%, Batak Simalungun 2,4%, Aceh 1,0%, Batak Pakpak 0,8%, dan suku lain sekitar 2,6 persen 13. Keberhasilan orang Jawa menjadi Gubernur Sumatera Gatot Pujo Nugroho menunjukkan peran orang Jawa kuat. Adanya opini yang muncul, jumlah yang besar akan mendapatkan hasil yang besar. Demokrasi tidak melihat suatu perbedaan, namun demokrasi melihat jumlah yang dominan dalam sistem pemilihan umum. Etnisitas dan politik identitas kelihatan mendapatkan perhatian penting. Dalam kalangan partai politik dan elit politik, keberadaan politik etnisitas dan politik identitas masih dipandang penting sebagai salah satu medium dalam acara mobilisasi politik, membangun jaringan politik, membangun koalisi-koalisi partai dan membangun jaringan lobi politik. Sedangkan di kalanganbirokrasi dan jajaran eksekutif, politik etnisitas dan politik identitas juga nampak terus mewarnai birokrasi nasional dan lokal 14.
13
Diakses dari http //sp2010.bps.go.id/files /ebook/ kewarganegaraan% 20 penduduk % 20 indonesia/ index.html, pada tanggal 03 Februari 2017, pukul 23.17 Wib 14 Abdillah, Ubed. 2002. Politik Identitas Etnis : Pergulatan Tanda Tanpa Identitas. Magelang : Indonesiatera, hal. 11
Universitas Sumatera Utara
Sebelumnya, orang Jawa pendatang ini dikenal dengan sebutan Jakon (Jawa Kontrak) ataupun Jadel (Jawa Deli), sebutan-sebutan itu adalah sebutan yang dulu identik dengan orang Jawa sebagai pekerja perkebunan di tanah Deli. Sekarang untuk lebih halusnya, orang sering menyebut orang Jawa dengan Pujakesuma (putera Jawa kelahiran sumatera). Sebagian orang yang bukan orang Jawa atau bahkan mereka sendiri yang masih keturunan Jawa atau karena lahir di Sumatera, beranggapan bahwa Pujakesuma adalah sebutan yang lebih terhormat sebagai pengganti istilah Jakon ataupun Jadel yang mengandung konotasi status social yang rendah. 15 Dalam perkembangannya, orang Jawa yang ada di Sumatera membentuk kelompok - kelompok yang mencirikan identitas mereka, tujuan pembentukan didasari dari rasa senasib sepenangunggan, pada dasarnya mereka adalah keturunan atau generasi dari para Jakon atau Jadel yang bekerja di perkebunanperkebunan yang terdapat di tanah Deli. Perkumpulan – perkumpulan etnis yang muncul didasari oleh berbagai macam latar belakang orang Jawa yang ada diperantauan seakan semakin dekat dengan tanah kelahiran mereka. Pada tahun 1980-an munculah perkumpulan etnis Jawa yang dikenal dengan Pujakesuma 16. Selain itu, bermunculan pula berbagai perkumpulan – perkumpulan yang belatar belakang etnis Jawa juga seperti: Arema, Satgas Joko Tingkir, Sekarmirah, Paguyuban Jawa rebug, Puja Sekar, Pujakesuma Perhimpunan Anak Transmigrasi 15
Dani Syahpani.2010. Makna Pemimpin Menurut Orang Jawa, diakses melalui http://repository.usu.ac.id/bistream/123456789/17457/3/cahpter%20IIpdf, pada tanggal 12 April 2015 Pukul 23.40 Wib. 16 Ibid., hal 3-4
Universitas Sumatera Utara
Indonesia, Pendawa, Komunitas Radio Jawa, Forum Komunikasi Warga Jawa, Perkumpulan Persaudaraan Putera Solo. Munculnya paguyuban juga dapat dikategorikan sebagai rasa etnisitas agar tetap populer di tengah-tengah persaingan hidup antar etnik. Oleh karena itu, penulis mengangkat judul “Politik Identitas Etnik Jawa, Studi Sejarah, Pemikiran dan Kekuatan”. 1.2 Perumusan Masalah Beradasarkan uraian latar belakang yang telah dipaparkan diatas, maka peneliti mencoba menarik suatu permaslahan yang lebih mengarah pada fokus penelitian yang dilakukan, yaitu: “Bagaimana Sejarah, Pemikiran dan Kekuatan Politik Identitas Etnik Jawa di Sumatera Utara? 1.3
Batasan Masalah 1. Bagaimana pemikiran etnik Jawa dalam perpolitikan di Sumatera Utara? 2. Bagaimana sejarah masuknya etnik Jawa di Sumatera Utara? 3. Bagaimana kekuatan etnik Jawa dalam perpolitikan di Sumatera Utara?
1.4
Tujuan Penelitian Adapun tujuan dari penelitian ini adalah: 1. Mendeskripsikan pemikiran etnik Jawa dalam perpolitikan di Sumatera Utara 2. Untuk mengetahui kekuatan etnik Jawa dalam perpolitikan di Sumatera Utara 3. Mendeskripsikan sejarah masuknya etnik Jawa di Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
1.5
Manfaat Penelitian 1. Secara akademisi penelitian ini sangat bermanfaat bagi penulis, yaitu untuk mengasah kemampuan dan melatih penulis dalam hal membuat karya ilmiah serta juga dapat menambah pengetahuan penulis mengenai masalah yang diteliti. 2. Menambah khazanah ilmu pengetahuan mahasiswa tentang wawsan ilmu politik terutama menganalisis perkembang isu politik yang ada di masyarakat. 3. Bagi lembaga pemerintahan terutama dalam pemilihan kepala daerah, dapat dijadikan rujukan atau sumber untuk melihat pengaruh etnis dalam pemilihan kepala daerah.
1.6
Kerangka teori Kerangka teori merupakan suatu hal yang sangat penting dalam melakukan
penelitian, karena pada bagian ini penelitian mencoba menjelaskan fenomena yang sedang diamati dengan menggunakan teori-teori yang relevan dengan penelitiannya. Teori adalah serangkaian asumsi, konsep, konstrak, definisi dan preposisi untuk menerangkan suatu fenomena sosial secara sistematis dengan cara merumuskan hubungan antar konsep 17. Oleh sebab itu, dalam penelitian ini, penulis menggambarkan masalah penelitian yang akan menjadi objek di dalam penelitian penulis dengan mengguanakan teori, yaitu: 17
Masri Singarimbun dan Sofian Effendi, 1998. Metode Penelitian Sosial. Jakarta : LP3ES, hlm.37
Universitas Sumatera Utara
1.6.1 Politik Identitas Pemikiran dan pembahasan mengenai istilah politik identitas menjadi salah satu topik besar yang sering diperbincangkan oleh para pakar ilmu sosial dan politik dalam perkembangan politik dewasa ini. Telah banyak para pakar yang memberikan definisi tentang politik identitas terutama setelah menguatnya isu ini dalam agenda suksesi kepemimpinan. Terlebih lagi, ini merupakan konsep yang menjadi basis untuk pengenalan sesuatu hal. Kita akan mengenali sesuatu halnya itu kalau kita tahu identitasnya. Ini juga akan berarti bahwa kalau kita mengenali identitas sesuatu hal, maka kita akan memiliki pengetahuan akan sesuatu halnya itu. 18 Politik
identitas
adalah
tindakan
politis
untuk
mengedepankan
kepentingan-kepentingan dari anggota suatu kumpulan karena memiliki kesamaan identitas atau karakteristik, baik berbasiskan pada ras, etnisitas, gender, atau keagamaan 19. Kemunculan politik identitas merupakan
respon terhadap
pelaksanaan hak-hak asasi manusia yang seringkali diterapkan secara tidak adil. Lebih lanjut dikatakannya bahwa secara konkret, kehadiran politik identitas sengaja
dijalankan
kumpulan-
kumpulan
masyarakat
yang
mengalami
marginalisasi. Hak-hak politik serta kebebasan untuk berkeyakinan mereka selama ini mendapatkan hambatan yang sangat signifikan 20.
18
Henk Shulte Nordholt dkk (ed). 2014. Politik Lokal di Indonesia, Jakarta: Pusatakan Obor Indonesia, hlm.13. 19 Triyono Lukmantoro. 2008. Kematian Politik Ruang. Jakarta : Kompas, hlm. 2 20 Ibid, hlm.3-5
Universitas Sumatera Utara
Politik Identitas ini terkait dengan upaya-upaya mulai sekedar penyaluran aspirasi untuk mempengaruhi kebijakan, penguasaan atas distribusi nilai-nilai yang dipandang berharga hingga tuntutan yang paling fundamental, yaitu penentuan nasib sendiri atas asas keprimordialan 21. Namun demikian, sebenarnya akan lebih mudah bila kita memahami konsep identitas ini dalam bentuk contoh. Ketika seseorang lahir, ia tentu akan mendapatkan identitas yang bersifat fisik dan juga non-fisik. Identitas fisik yang terutama dimiliki adalah apakah ia berjenis kelamin pria atau wanita. Sedangkan untuk identitas non-fisik adalah nama yang digunakan, juga status yang ada pada keluarga pada saat dilahirkan. Identitas dalam sosiologi maupun politik biasanya dikategorikan menjadi dua kategori utama, yakni identitas sosial (kelas, ras, etnis, gender, dan seksualitas) dan identitas politik (nasionalitas dan kewarganegaraan (citizenship). Secara sederhana, apa yang dimaksud identitas didefinisikan sebagai karakteristik esensial yang menjadi basis pengenalan dari sesuatu hal. Identitas merupakan karakteristik khusus setiap orang atau komunitas yang menjadi titik masuk bagi orang lain atau komunitas lain untuk mengenalkan mereka 22. Mengenai pengertian identitas itu sendiri Ari Setyaningrum memberikan pendapatnya yang mengatakan bahwa: Identitas sosial menentukan posisi subyek di dalam relasi atau interaksi sosialnya, sedangkan identitas politik menentukan posisi subyek di dalam suatu komunitas melalui suatu rasa kepemilikan (sense of belonging) dan sekaligus menandai posisi subyek yang lain di dalam suatu pembedaan 21
Abdilah S. Ubed, Op.cit., hlm.16 Setyaningrum, Arie. 2005. “Memetakan Lokasi bagi ‘Politik Identitas’ dalam Wacana Politik Poskolonial”. Jurnal Mandatory Politik Perlawanan. Edisi 2, Tahun 2, 2005, hlm. 19 22
Universitas Sumatera Utara
(sense of otherness). Dikarenakan identitas juga menyangkut apa-apa saja yang membuat sekelompok orang menjadi berbeda dengan yang lainnya maka konstruksi identitas berkaitan erat dengan konstruksi mengenai perbedaan (difference) 23. Pendapat Ari di atas menjelasan bahwa identitas sosial dalam masyarakat itu menentukan bagian seseorang berdasarkan hubungannya dan interaksinya dalam masyarakat. Sedangkan identitas politik menentukan seseorang di dalam bagian kelompok yang berdasarkan perasaan yang sama dan saling memiliki sekaligus memberikan batasan kepada bagian kelompok lain terhadap suatu yang berbeda. Politik identitas merupakan suatu ideologi yang ada dalam setiap etnis; keberadaannya bersifat laten dan potensial dan sewaktu-waktu dapat muncul ke permukaan sebagai suatu kekuatan politik yang dominan. Secara empiris, politik identitas merupakan aktualisasi partisipasi politik yang terkonstruksi dari akar budaya masyarakat setempat, dan mengalami proses internalisasi secara terusmenerus di dalam kebudayaan masyarakatnya dalam suatu jalinan interaksi sosial 24. Selanjutnya, menurut Castells konstruksi identitas menggunakan bangunan material dari sejarah, geografi, biologi, produksi dan reproduksi institusi, memori kolektif dan fantasi pribadi, aparat kekuasaan, dan ajaran agama. Kemudian, permasalahannya
adalah
bagaimana
seseorang
atau
kelompok
orang
23
Ibid., hlm. 27 Kamaruddin salim. 2015. “Politik Identitas Di Maluku Utara”, Jurnal Kajian Politik dan Masalah Pembangunan, Volume 11, No. 2, 2015, hlm. 3-4 24
Universitas Sumatera Utara
mengonstruksikan pembangunan identitas, lalu siapa yang berperan untuk menentukan arah pembangunan identitas tersebut dan kegunaannya. Dalam hubungan ini Castells menyebutkan 25: a. Identitas legitimasi (legitimizing identity) Identitas yang diperkenalkan oleh sebuah institusi yang mendominasi suatu masyarakat untuk merasionalisasikan dan melanjutkan dominasinya terhadap aktor-aktor sosial, seperti misalnya suatu institusi negara yang mencoba meningkatkan identitas kebangsaan anggota masyarakat. Institusi tersebut memang telah mendapatkan legitimasi untuk melakukan hal-hal tersebut. b. Identitas resisten (resistance identity) Sebuah proses pembentukan identitas oleh aktor-aktor sosial yang dalam kondisi tertekan karena adanya dominasi dan stereotipe dari pihak-pihak lain sehingga membentuk resistensi dan pemunculan identitas yang berbeda
dari
pihak
yang
mendominasi
dengan
tujuan
untuk
keberlangsungan hidup kelompok atau golongannya. Hal ini disebutkan sebagai sebuah terminologi ketika Calhoun mengidentifikasi munculnya politik identitas. c. Identitas proyek (project identity) Suatu identitas ketika aktor-aktor sosial membentuk suatu identitas baru yang dapat menentukan porsi-porsi baru sekaligus mentransformasikan struktur 25
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
masyarakat tersebut secara keseluruhan. Misalnya, ketika sekelompok aktivis feminisme berusaha membentuk identitas baru perempuan, mengasosiasikan ulang posisi perempuan dalam masyarakat, dan akhirnya merubah struktur masyarakat secara keseluruhan dalam memandang peranan perempuan. Dalam masyarakat yang multietnik, dinamika politik senantiasa memiliki tegangan yang lebih tinggi disbanding dengan daerah yang relatif homogen. Hal tersebut dapat dilihat pada kontestasi politik di tingkat lokal pada beberapa pilkada provinsi, kabupaten dan kota yang selalu menyita perhatian pemerintah, pengamat politik maupun pimpinan partai politik karena persaingan yang melibatkan simbol-simbol etnisitas baik agama, suku, daerah asal, putra daerah atau pendatang 26. Identitas adalah biografi subyektif yang utuh dalam keragaman dan keberbedaannya. Ada 3 pendekatan pembentukan identitas, yaitu 27:
1. Primodialisme Perspektif primordialis melihat identitas sebagai sesuatu yang sudah pasti dan given serta menekankan faktor kekuatan emosi sebagai penguat dalam afiliasi dengan melihat aspek agama, bahasa, adat-istiadat, dan sebagainya. 2. Konstruktivisme
26
Ibid., hlm. 5 Widayanti, Titik. 2009. Politik Subalter: Pergulatan Identitas Waria. UGM. Yogyakarta, hlm. 16-20 27
Universitas Sumatera Utara
Perspektif konstruktivis melihat bahwa identitas dikonstruksi, dipilih dan diberi penekanan dalam interaksi-interaksi sosial, juga bahwa kelompok etnis dipandang sebagai sebuah unit yang ditentukan oleh batas-batas sosialnya. 3. Instrumentalisme Perspektif instrumentalis melihat bahwa identitas adalah sebuah alat untuk mencapai tujuan yang dibangun dengan proses manipulasi dan mobilisasi dengan memanfaatkan atribut-atribut identitas yang sudah tersusun sejak awal. Konsep ini yang kemudian di kemukakan oleh Bennedict Anderson 28 yang berpendapat bahwa ikatan-ikatan kolektif dalam suatu komunitas politik bukan hanya suatu konstruksi politik semata melainkan juga sebagai konstruksi budaya. Anderson
lebih
menitikberatkan
identitas
mengarah
kepada asal
mula
terbentuknya suatu bangsa. Karena menurutnya ikatan-ikatan kolektif atas kesamaan rasa dalam politik bukan hanya menjadi konstruksi politik semata melainkan juga sebagai bangunan konsep budaya dalam masyarakat. Disini ikatan terhadap kolektifitas bukan lagi didasari oleh kontak-kontak langsung secara fisik sebagaimana yang membuat kita terikat dengan komunitas di lingkungan sekitar atau di dalam suatu organisasi. Melainkan juga terbentuk oleh makna melalui simbol-simbol dan praktek-praktek budaya yang saling dibagi bersama. Seperti penulisan sejarah, lagu-lagu kebangsaan, bendera, atau pengakuan bagi hari-hari besar nasional 29.
28
Setyaningrum Arie. Op.cit., hlm. 14 Ibid., hlm. 16
29
Universitas Sumatera Utara
Jadi dapat disimpulkan bahwa politik identitas adalah suatu tindakan politik yang dilakukan individu atau sekelompok orang yang memliki kesamaan identitas baik dalam hal etnis, jender, budaya, dan agama untuk mewujudkan kepentingan-kepentingan anggotanya. Kemunculan politik etnis diawali oleh tumbuhnya kesadaran yang mengidentikkan mereka ke dalam suatu golongan atau kelompok etnis tertentu. Kesadaran ini kemudian memunculkan solidaritas kekompakkan dan kebangsaan. Politik etnis mengacu pada politik kelompok etnis dan minoritas kecil, sementara penafsiran kelompok etnis bisa mencakup bangsa etnis (ethnic nation). Pada wacana politik kontemporer nuansanya lebih sempit. Dalam konteks ini, biasanya kelompok etnis atau minoritas etnis tidak memiliki teritori tertentu. Tujuan mereka pun berbeda dengan nasionalis klasik, mereka tidak menghendaki determinasi diri kebangsaan dalam suatu wilayah bangsa (negara). Akan tetapi, lebih pada penerimaan proteksi dan kemajuan bagi kelompok, khususnya bagi individu-individu dalam kelompok itu, dalam suatu negara yang telah ada. Pemanfaatan identitas untuk mencapai sebuah tujuan disebut dengan politik identitas. Menurut Bagir, politik identitas setidaknya dicirikan oleh adanya persepsi penindasan masa lalu, tuntutan untuk keadilan melalui perlakuan berbeda untuk mengkompensasikan penindasan tersebut, dan penggunaan suatu identitas sebagai basis klaim 30.
30
Zainal Abidin Bagir. 2011. Pluralisme Kewargaan, Arah Baru Politik Keragaman di Indonesia. Bandung- Yogyakarta : Mizan dan CRCS, hal. 20-24
Universitas Sumatera Utara
Adapun definisi politik identitas sebagai politik yang fokus utamanya menyangkut perbedaan-perbedaan yang didasarkan atas asumsi-asumsi fisik dan karakter fisiologis, serta pertentangan-pertentangan yang muncul akibat asumsiasumsi dan karakter tersebut 31. Politik yang dibangun atas basis etnis memang diawali oleh kesadaran untuk mengidentikkan diri ke dalam suatu golongan atau kelompok etnis tertentu. Kesadaran inilah yang memunculkan solidaritas pengelompokkan tersebut sehingga eksklusivitas menjadi tidak terhindarkan 32. Masalahnya identitas seringkali hanya menjadi pembungkus isu-isu lain yang sebetulnya lebih berkaitan dengan distribusi sumber-sumber daya. Dalam politik, etnis senantiasa menjadi perhatian besar terutama dalam hubungannya dengan peran pengembangan kesadaran kolektif, kesukuan sampai dengan tingkat kebangsaan dan negara bangsa. Makna yang terkandung dalam kata etnis ternyata mengalami evolusi. Perubahan makna ini bisa dilihat dari kondisional dan disiplin ilmu : makna asal, kondisi primitif dari sisi antropologis. Perkembangannya pada era modern seiring dengan perjalanan politik dan interaksi sosiologis. Akan lain lagi maknanya dalam kacamata posmodernisme dan globalisme. 1.6.2 Konsep Etnisitas Secara etimologis, kata etnis (ethnic) berasal dari Bahasa Yunani ethnos, yang merujuk pada pengertian bangsa atau orang. Acap kali ethnos diartikan sebagai setiap kelompok sosial yang ditentukan oleh ras, adat-istiadat, bahasa,
31
Abdilah S. Ubed, Op.cit., hlm. 22 Ibid., hlm. 17
32
Universitas Sumatera Utara
nilai dan norma budaya, dan lain-lain yang pada gilirannya mengindikasikan adanya kenyataan kelompok yang minoritas atau mayoritas dalam suatu masyarakat. Istilah etnis mengacu pada suatu kelompok yang sangat fanatik dengan ideologi kelompoknya dan tidak mau tahu dengan ideologi kelompok lain. Dalam perkembangannya makna ethnos berubah menjadi etnichos yang secara harfiah digunakan untuk menerangkan keberadaan sekelompok “penyembah berhala” atau orang kafir yang hanya berurusan dengan kelompoknya sendiri tanpa peduli kelompok lain. 33 Menurut Frederik Barth istilah etnik adalah suatu kelompok tertentu yang karena ras, agama, asal-usul bangsa, ataupun kombinasi dari kategori tersebut terikat pada sistem nilai kebudayaannya sebagai suatu populasi yang 34 a. Secara biologis mampu berkembangbiak dan bertahan b. Mempunyai nilai-nilai budaya yang sama, dan sadar akan rasa kebersamaannya dalam bentuk budaya c. Membentuk jaringan komunikasi dan interaksi sendiri d. Menentukan cirri kelompoknya sendiri yang diterima oleh kelompok lain dan dapat dibedakan dari kelompok populasi lain.
Dalam berinteraksi antara pemerintah dengan masyarakat, antara lembagalembaga pemerintahan dengan kelompok masyarakat dalam rangka
33
Muchtar Haboddin. 2012. “Menguatnya Politik Identitas di Ranah Lokal”, Jurnal Studi Pemerintahan, Volume3, No. 1 Februari 2012, hlm.121. 34 Fredik Barth, 1988, Kelompok Etnik dan Batasannya, Jakarta : Penerbit Universitas Indonesia (UI Press), hlm.11.
Universitas Sumatera Utara
proses pembuatan kebijakan pelaksanaan keputusan politik, hal ini pada dasarnya merupakan salah satu bentuk perilaku politik. Kegiatan yang dilakukan pada dasarnya dibagi atas dua bagian yaitu, fungsi-fungsi pemerintahan yang dipegang oleh pemerintah. Serta fungsi-fungsi politik yang dipegang oleh masyarakat. Namun fungsi pemerintah dan fungsi politik biasanya dilaksanakan oleh struktur tersendiri. Terdapat empat faktor yang mempengaruhi perilaku politik seseorang: 35 1. Lingkungan sosial politik tidak langsung Seperti sistem politik, sistem hukum, sistem ekonomi, sistem budaya dan sistem media massa. 2. Lingkungan sosial politik langsung Mempengaruhi dan membentuk kepribadian aktor seperti; keluarga, agama, kelompok pergaulan dan sekolah. Dari lingkungan sosial politik langsung seorang aktor akan mengalami sosialisasi dan internalisasi nilainilai dan norma-norma masyarakat termasuk nilai dan norma kehidupan bernegara, dan pengalaman hidup pada umumnya. 3. Struktur kepribadian yang tercermin dari setiap individu Penilaian orang terhadap suatu objek tersebut yang dipengaruhi oleh keinginan untuk mengatasi konflik batin atau tekanan psikis yang mungkin terwujud dalam mekanisme pertahanan diri dan eksternalisasi diri. 4. Faktor lingkungan sosial politik langsung berupa situasi
35
Raman Surbakti , 1992, Memahami Ilmu Politik, Jakarta : Gramedia Widia Sarana, hlm.169.
Universitas Sumatera Utara
Keadaan yang memberikan pengaruh kepada aktor secara langsung ketika hendak melakukan semua kegiatan seperti; cuaca, keadaan keluarga, keadaan ruangan, kehadiran orang lain, suasana kelompok dan ancaman dalam segala bentuk.
Menguatanya identitas kesukuan memepunyai berbagai konsekuensi. Dua jenis konsekuensi antara lain pertama, adakah menjaukan diri atau bahkan keluar dari tatanan negara bangsa dan kedua adalah berusaha mendudukkan orang sesuku dalam pemerintahan negara-bangsa, hal ini dapat kita lihat dalam realitas kehidupan sehari-hari di dalam jajaran pemerintahan dari pusat hingga ke daerah dimana para pejabat lebih senang mendudukkan orang di sekitarnya yaitu orang yang seetnis atau sedaerah dengannya.
1.7
Metode Penelitian Metode yang digunakan dalam penelitian adalah pendekatan deskriptif,
dimana penelitian tersebut merupakan suatu cara dalam memecahkan suatu masalah berdasarkan fakta dan data-data yang ada. Sehingga penelitian ini memberikan gambaran yang lebih detail mengenai suatu gejala atau fenomena melalui fakta-fakta yang akurat 36.
36
Sudarwan Danin. 2002. Menjadi Peneliti Kualitatif: Ancangan Metodologi Presentasi dan Publikasi Hasil Penelitian Untuk Mahasiswa dan Penelitian bidang ilmu-ilmu sosial, pendidikan humaniora, Bandung: Pustaka Setia, hlm. 41
Universitas Sumatera Utara
1.7.1 Jenis Penelitian Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode pendekatan kualitatif. Penelitian kualitatif merupakan metode-metode untuk mengeksplorasi dan memahami makna yang oleh sejumlah individu atau sekelompok orang dianggap berasal dari masalah sosial atau kemanusiaan. Proses penelitian kualitatif ini melibatkan upaya-upaya penting, seperti mengajukan pertanyaan-pertanyaan dan prosedur-prosedur, mengumpulkan data yang spesifik dari para partisan, menganalisis data secara induktif mulai dari tema-tema yang khusus ke tema-tema yang umum, dan menafsirkan makna data 37. 1.7.2 Metode Pengumpulan Data Data menjadi sumber utama yang terpenting dalam menyingkapi suatu permasalahan yang ada, sehingga permasalahan yang dilakukan seorang peneliti pada suatu objek dapat terJawabkan. Dalam melakukan penelitian diperlukan teknik pengumpulan data diantaranya sebagai berikut: a.
Data primer, yaitu data yang langsung diperoleh dari sumber data pertama di lokasi penelitian atau objek penelitian 38. Adapun data primer ini, diperoleh dengan cara :
37
John W. Creswell. 2012. Research Design. Yogyakarta. Pustaka Pelajar, hlm. 4 Bagong Suyanto dan Sutinah. 2005. Metode Penelitian Sosial: Berbagai Alternatif Pendekatan. Jakarta: Kencana Prenada Media Group, hal. 17-18.
38
Universitas Sumatera Utara
•
Wawancara Mengumpulkan data dengan melakukan dialog langsung dengan responden yang berhubungan dengan objek penelitian guna melengkapi data yang kurang jelas. Adapun pihak yang diwawancara adalah -
Ketua Umum Pandawa Bapak Ruslan, SE
-
Ketua Satgas Joko Tingkir Bapak Sukirmanto, SH
-
Seketaris Umum Satgas Joko Tingkir, Bapak Ir. Rudjito
-
Ketua Perhimpuna Anak Transmigrasi Indonesia (PATRI), Bapak Warno
-
Ketua Umum Perkumpulan Persaudaraan Putera Solo (P3S), Bapak Jumadi S.Pdi
-
Dewan Pakar Forum Komunikasi Warga Jawa, Bapak Drs. Shohibul Anshor, M.Si
-
•
Tokoh Jawa Sumatera Utara Bapak Kasim Siyo, M.Si, Ph.D
Observasi
Mengumpulkan data melalui observasi lapangan. Mendiskusikan secara langsung dengan responden terkait permasalahan yang akan diteliti, untuk melihat politik identitas etnik Jawa di Sumatera Utara dalam pemikiran dan kekuatan.
Universitas Sumatera Utara
b.
Data sekunder, yaitu data yang diperoleh peneliti dari sumber kedua atau data yang sudah ada. Data tersebut dapat diperoleh melalui buku, jurnal, internet, koran maupun literatur lainnya yang berkaitan dengan judul penelitian.
1.7.3 Teknik Analisis Data Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik analisis kualitatif. Dalam penelitian kualitatif, peneliti tidak mencari kebenaran dan moralita, tetapi lebih kepada upaya mencari pemahaman 39. Dengan mencari dan menggambarkan data dari jurnal, buku dan sumber lainnya serta menganalisis masalah yang ada selanjutnya sehingga diperoleh gambaran jelas mengenai objek yang diteliti. Dalam kerangka penelitian kualitatif untuk mendeskripsikan data hendaknya peneliti tidak memberikan interpretasi sendiri. Temuan lapangan hendaknya dikemukan dengan berpegang pada prinsip akademik dalam memahami realita dan penulisan tidak bersifat penafsiran atau evaluatif 40. 1.7.4
Sistematika Penulisan
BAB I : PENDAHULUAN Dalam bab ini penulis menguraikan tentang latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, kerangka teori, metode penelitian, serta sistematika penulisan. 39
Lexy Moelon, 1990. Metode Penelitian Kualitatif, Bandung: Remaja Karya, hlm.108 Burhan Bungin, 2001. Metode Penelitian Kualitatif, Jakarta: Raja Grafindo Perkasa, hlm.187 40
Universitas Sumatera Utara
BAB II : SEJARAH MASUK ETNIK JAWA DI SUMATERA UTARA Pada bab ini penulis akan menjabarkan penjelasan tentang sejarah masuk suku Jawa di Sumatera Utara BAB
III
:
ANALISIS
PEMIKIRAN
DAN
KEKUATANPOLITIK
IDENTITAS ETNIK JAWADI SUMATERA UTARA Dalam bab ini penulis akan menjelaskan analisis politik identitas etnik Jawa di Sumatera Utara dalam pemikiran dan kekuatan dengan data yang diperoleh dari berbagai sumber mengenai masalah yang sedang diteliti BAB IV : KESIMPULAN DAN PENUTUP Bab ini berisikan rangkuman kesimpulan dari hasil penelitian yang telah dilakukan dan juga menambhakan beberapa saran terkait dengan hasil penelitian.
Universitas Sumatera Utara