BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Akuntabilitas pemerintah daerah menjadi perhatian sejak bergulirnya reformasi pada tahun 1999 pada saat presiden B. J. Habibie menandatangani Instruksi Presiden No. 7 Tahun 1999 tentang Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (LAKIP). Inpres ini mewajibkan semua instansi pemerintah untuk
melaporkan
akuntabilitasnya
kepada
pemerintah
pusat.
Dalam
pelaksanaannya, lebih dari satu dekade banyak permasalahan yang dihadapi, salah satu permasalahan utama yang dihadapi adalah heterogenitas institusi pemerintah (ukuran, aset, populasi, sumber daya manusia, kemampuan keuangan, dan kemampuan managerial) yang menyebabkan instansi pemerintah tidak dapat menghasilkan dan mengimplementasikan akuntabilitas pada tingkatan yang sama (Akbar, Pilcher, & Perrin, 2012). Solikhin (2005) menyatakan terjadi bias dalam pelaporan akuntabilitas, karena adanya kecenderungan pemerintah daerah melaporkan program yang berhasil dicapai dibandingkan program yang mengalami kegagalan (Nurkhamid, 2008). Bias pelaporan akuntabilitas mungkin saja terjadi karena pemerintah daerah mempersepsikan akuntabilitas sebagai suatu kewajiban untuk menjelaskan dan menjustifikasi perilaku mereka, yaitu sebagai kemampuan menjawab (answerability) (Bovens, 1998) dan kemampuan mengelola ekspektasi dari forumforum akuntabilitas (Romzek & Dubnick, 1987). Indikasi fenomena persepsi akuntabilitas sebagai keharusan mengelola ekspektasi berbagai tipa forum akuntabilitas di pemerintah Indonesia terindikasi dalam hasil penelitian Akbar
1
dkk. (2102) yang menyatakan bahwa faktor yang menyebabkan pemerintah daerah melaksanakan akuntabilitas adalah karena kewajiban legislasi dan tekanan yang kuat dari pemerintah pusat. Keharusan mempertanggungjawabkan (account) perilaku dan mengelola ekspektasi berbagai tipa forum dengan berbagai cara menjadi permasalahan yang tidak terselesaikan bagi institusi publik (Posner, 2000) yang disebabkan oleh tekanan berlebihan pada salah satu set bentuk keharusan akuntabilitas (Dubnick, 2005; Johnston & Romzek, 1999; Kearns, 1994; Koppell, 2005; Radin, 2002; Radin & Romzek, 1996; Romzek & Dubnick, 1987). Menurut Yang (2012) tekanan berlebihan pada salah satu set bentuk keharusan akuntabilitas disebabkan oleh perbedaan tipa akuntabilitas, yaitu accountability to atau akuntabilitas berdasarkan sumber, misalnya akuntabilitas politik, legal, dan teknik, seperti dalam penelitian Romzek & Ingraham (2000), Schwartz & Sulitzeanu-Kenan (2004), dan accountability for atau akuntabilitas berdasarkan konten, misalnya akuntabilitas keuangan dan akuntabilitas kinerja, seperti dalam penelitian Bardach & Lesser (1996), Heinrich (2002), Wang (2002). Accountability to dan accountability for merupakan bagian dari proses integratif. Accountability for yang berbeda berasal dari accountability to yang berbeda. Hasil penelitian di atas secara umum bertujuan untuk mengilustrasi dilema dan konflik akuntabilitas serta perubahan ekspektasi forum dapat menciptakan dilema, konflik dan tekanan bagi individu dan/atau organisasi yang berdampak secara negatif maupun positif terhadap pencapaian tujuan organisasi.
2
Konflik keharusan akuntabilitas menyebabkan kerapuhan akuntabilitas yang berdampak pada kegagalan pencapaian nilai, menyebabkan tantangan managerial dalam mencapai misi organisasi, menghambat pembentukan standar tunggal, menyebabkan tekanan dan permasalahan managemen (Koppell, 2005), menghambat perubahan (Schwartz & Zulitzeanu-Kenan, 2004), mempengaruhi opini individu (Jos & Tompkins, 2004), menyebabkan efek jera untuk keinovatifan dan perilaku wirausaha manager publik (Anechciaricho & Jacobs, 1994), mempengaruhi kinerja (O’Connel, 2006; Page, 2004), mempengaruhi outcome kinerja (Dicke, 2002) yang berakibat pada stagnansi penyampaian pelayanan (Caseley, 2006). Selain itu, memastikan tipa akuntabilitas menjadi hal yang sulit karena organisasi sektor publik tidak bekerja pada kondisi statis tetapi harus merespon terhadap ekspektasi konstitusi yang berbeda dengan gagasan masing-masing tentang akuntabilitas (Brody, 2002; Ebrahim, 2003). Penelitianpenelitian di atas mengindikasikan keharusan pencapaian berbagai tipa akuntabilitas menyebabkan tekanan dan berpengaruh secara negatif terhadap kinerja aktor akuntabilitas. Hasil penelitian Caseley (2006) pada lingkup pemerintah menunjukkan hubungan berbagai tipa akuntabilitas berkontribusi terhadap perbaikan kinerja pelayanan melalui pembentukan mekanisma formal. Hasil penelitian ini menunjukkan dampak positif dari keharusan akuntabilitas yang berbeda dengan hasil-hasil penelitian sebelumnya. Hasil penelitian Caseley (2006) didukung oleh penelitian Kim (2005) yang menyatakan konflik keharusan akuntabilitas itu sendiri mungkin tidak menjadi permasalahan untuk kinerja aktor. Tekanan antar
3
hubungan akuntabilitas yang berbeda bertindak sebagai sistem check and balances apabila tidak terjadi penekanan berlebihan pada salah satu set hubungan, karena dapat menyebabkan set lain yang sama pentingnya menjadi rapuh. Penelitian Wang (2002) dengan menggunakan pendekatan survei menunjukkan berbagai tipa keharusan akuntabilitas berpengaruh secara positif terhadap forum akuntabilitas dalam syarat konsensus tujuan dan kepercayaan forum dan juga berpengaruh secara positif dengan kemampuan merespon aktor akuntabilitas terhadap kebutuhan masyarakat. Hasil penelitian Dubnick (2005) menunjukkan tidak ada hubungan antara tipa-tipa akuntabilitas dan kinerja. Dubnick menyatakan bahwa asumsian
hubungan antara akuntabilitas dan kinerja tidak dapat dijadikan
tumpuan,
sehingga
dibutuhkan
perluasan
perspektif
pada
faktor
yang
menghubungkan account giving dan kinerja. Penelitian-penelitian sebelumnya pada konflik keharusan akuntabilitas menggunakan pendekatan konseptual, desain kualitatif, seperti studi kasus tunggal dan komparatif, wawancara, metoda penelitian campuran dengan penekanan pada desain kualitatif, dan desain eksperimen (Acar, Guo & Yang, 2008, Dicke, 2002, Dubnick, 2005; Heindrich, 2002, Johnston & Romzek, 1999; Kearns, 1994, Koppel, 2005; Romzek & Ingraham, 2000). Penelitian-penelitian tersebut tidak menekankan pada hubungan antara konflik keharusan akuntabilitas dengan variabel lain, sehingga indikasian hasil penelitian hanya berupa asumsian hubungan pengaruh konflik keharusan akuntabilitas dan kinerja kerja aktor akuntabilitas (Dubnick & Yang, 2009). Kim & Lee (2009) menggunakan desain survei untuk menguji hubungan konflik keharusan dan kinerja kerja dengan
4
memasukan konsep lain, yaitu tekanan kerja dan beban kerja. Hasil penelitian menunjukan konflik keharusan akuntabilitas berpengaruh positif terhadap beban kerja dan tekanan kerja pada level yang berbeda, dan selanjutnya berpengaruh secara negatif terhadap kinerja kerja aktor akuntabilitas. Penelitian-penelitian sebelumnya menunjukan hasil yang belum kokoh untuk menjelaskan dampak konflik keharusan akuntabilitas terhadap kinerja aktor akuntabilitas, sedangkan secara retorik tipa-tipa keharusan akuntabilitas merupakan janji solusi untuk permasalahan-permasalahan aktor akuntabilitas, janji untuk keadilan, janji transparansi, janji perilaku tepat aktor akuntabilitas, janji kinerja aktor akuntabilitas (Dubnick, 2005) dan bukan sebagai faktor penyebab kegagalan pencapaian tujuan-tujuan tersebut. Oleh karena itu sangat penting untuk kembali menguji secara empiris hubungan antara konflik keharusan akuntabilitas dan kinerja kerja, dengan memasukan konsep lain yang menghubungkan konflik keharusan akuntabilitas dan kinerja. Pada konteks pemerintah daerah di Indonesia, akuntabilitas dipandang sebagai keharusan karena adanya tekanan eksternal (Akbar dkk., 2012) yang mengisyaratkan derajat otonomi yang rendah pada aktor akuntabilitas (Johnston & Romzek, 1999). Prioritas terhadap keharusan akuntabilitas karena tekanan eksternal melalui akuntabilitas hierarkikal dan legal menyebabkan komtimen pelayanan yang rendah aktor akuntabilitas (Dwiyanto dkk, 2002). Pada era otonomi daerah dan desentralisasi fiskal terjadi pergeseran pemenuhan kebutuhan legitimasi yang menyebabkan pemerintah daerah cenderung menekankan pada akuntabilitas
politikal
terhadap
masyarakat
melalui
representasi
Dewan
5
Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) yang bertujuan untuk mempertahankan legitimasi dan meningkatkan persepsian teman sekerja (Romzek & Ingraham, 2000). Hal ini disebabkan akuntabilitas dijadikan alat politik dalam bentuk komitmen pemerintah daerah kepada legislatif dan untuk mencapai kesepakatan penggunaan dana publik (Mardiasmo, 2009). Akuntabilitas pada konteks Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) sebagai objek penelitian menjadi fenomena yang tidak terselesaikan bagi institusi-institusi di dalamnya. Hal ini mungkin saja disebabkan kecenderungan Pemerintah Provinsi NTT untuk melaporkan program yang berhasil dicapai dibandingkan program yang mengalami kegagalan (Nurkhamid, 2008), heterogenitas institusi-institusi di dalamnya yang menyebabkan meretia tidak dapat melaporkan akuntabilitas pada tingkatan yang sama (Akbar., dkk, 2012), dan adanya tekanan berbagai bentuk keharusan akuntabilitas dari berbagai tipa forum akuntabilitas dengan ekspektasi masing-masing tentang akuntabilitas (Romzek & Dubnick, 1987). Penelitian ini menguji hubungan konflik keharusan akuntabilitas dengan kinerja kerja aktor akuntabilitas dengan memasukan konsep konteks kerja dengan persepsian negatif melalui beban kerja dan tekanan kerja. Model penelitian yang digunakan berdasarkan pengembangan model Kim & Lee (2009) yang diuji pada sektor nonprofit. Model penelitian tersebut menggunakan tipa-tipa akuntabilitas berdasarkan Johnston & Romzek (1999) untuk sektor pemerintah, yaitu akuntabilitas hierarkikal, akuntabilitas legal, akuntabilitas profesional, dan akuntabilitas politikal. Penelitian ini kembali menggunakan tipa-tipa akuntabilitas tersebut pada sektor pemerintah sesuai penelitian Johnston & Romzek (1999).
6
Pengembangan hipotesis untuk melihat pengaruh konflik akuntabilitas terhadap kinerja kerja pemerintahan daerah dan interpretasi hasil penelitian ini akan dilihat dari teori institusional berdasarkan konsep isomorfisma di pemerintah daerah dengan harapan konflik-konflik keharusan akuntabilitas berhubungan dengan kinerja kerja pemerintah daerah bergantung pada persepsi terhadap konteks kerja. Penelitian ini akan menggunakan mixed method, yaitu metoda penelitian yang mengharuskan peneliti menggabungkan teknik penelitian, metoda, pendekatan, konsep atau bahasa kuantitatif dan bahasa kualitatif ke dalam suatu bentuk studi tunggal (Johnson & Onwuegbuzie, 2004). Strategi yang digunakan adalah eksplanatori sekuensial (Creswell & Clark, 2011; 57), yaitu desain metoda penelitian yang di dalamnya peneliti memulai dengan menjalankan tahap kuantitatif dan diikuti dengan tahap kualitatif. Langkah kualitatif diimplementasi untuk tujuan menjelaskan hasil awal secara lebih mendalam (Creswell & Clark, 2011; 81-82). Eksplanatori sekuensial dalam penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan hasil kuantitatif secara lebih mendalam dan juga untuk menangkap fenomena teori institusional yang sesuai dengan praktik pemerintah daerah. Selain itu, melalui pendekatan integratif diharapkan adanya pemahaman yang lebih baik terhadap fenomena yang terjadi serta dapat menguji hasil penelitian dari pendekatan yang berbeda (Creswell & Clark, 2011; 82). Metoda penelitian campuran dengan desain eksplanatori sekuensial dapat juga mengeksplorasi hasil yang outlier dan ekstrim ketika menganalisis data kuantitatif pada tahap pertama, kemudian dapat ditindaklanjuti dengan wawancara kualitatif tentang kasus-kasus outlier tersebut
7
untuk memperoleh pengetahuan yang lebih mendalam berdasarkan hasil olah data kuantitatif (Creswell & Clark 2011; 71). Hal ini menjadi penting karena penelitian ini adalah penelitian sektor publik yang secara khusus pada instansi pemerintah daerah yang sangat berbeda dalam ukuran, aset, populasi, sumber daya manusia, kemampuan keuangan, dan kemampuan managerial (Akbar dkk., 2012). Perbedaan tersebut dapat menyebabkan perbedaan ekstrim (outlier) pada cara dan kemampuan menghadapi tekanan-tekanan akuntabilitas yang tidak dapat dijelaskan oleh pendekatan tunggal.
1.2. Perumusan Masalah Konflik keharusan akuntabilitas berdasarkan hasil-hasil penelitian sebelumnya menunjukkan pengaruh yang berbeda terhadap kinerja individu dan /atau organisasi. Hasil penelitian, Johnston & Romzek (1999), Kearns (1994), Koppell (2005), Radin (2002), Radin & Romzek (1996), Romzek & Dubnick (1987) menunjukkan pengaruh negatif konflik keharusan akuntabilitas terhadap kinerja individu dan/atau organisasi, sedangkan hasil penelitian Caseley (2006), Kim (2005) dan Wang (2002) menunjukkan pengaruh positif konflik keharusan akuntabilitas terhadap individu dan/atau organisasi. Hasil penelitian Dubnick (2005) pada tataran konsep menunjukkan tidak ada hubungan antara keharusan akuntabilitas dan kinerja, sehingga dibutuhkan perluasan perspektif pada faktor yang mungkin menghubungkan keharusan akuntabilitas dan kinerja aktor akuntabilitas. Hasil penelitian tersebut didukung oleh penelitian Dubnick & Yang (2009) yang menyatakan hubungan antara berbagai tipa dan fungsi akuntabilitas serta interaksinya mempengaruhi kinerja. Kunci utamanya adalah pada rasa
8
individu yang terlibat dalam hubungan akuntabilitas tersebut, yaitu bagaimana individu mempersepsikan hubungan antara tekanan akuntabilitas dan interaksi tekanan akuntabilitas tersebut dengan faktor lainnya dapat mempengaruhi kinerja kerja individu pada level yang berbeda. Selanjutnya, hasil penelitian Tetlock (1985) menunjukkan hubungan antara persepsi tekanan akuntabilitas dan kognitif individu dimoderasi oleh berbagai variabel, di antaranya pewaktuan, kepercayaan, dan lingkungan kerja. Hasil penelitian Kim & Lee (2009) yang menyatakan, konflik keharusan akuntabilitas berpengaruh secara negatif terhadap kinerja kerja aktor akuntabilitas apabila aktor akuntabilitas mempersepsikan konflik keharusan akuntabilitas sebagai beban kerja dan tekanan kerja. Oleh karena itu sangat penting untuk menguji kembali konflik keharusan akuntabilitas terhadap kinerja kerja aktor akuntabilitas untuk mengisi gap penelitian-penelitian sebelumnya berdasarkan teori institusional dengan tujuan untuk menjelaskan fenomena isomorfisma dalam lingkup pemerintah daerah. Berdasarkan rumusan masalah penelitian, maka pertanyaan yang diajukan dalam penelitian ini adalah “Apakah konflik keharusan akuntabilitas berpengaruh terhadap
kinerja
kerja
aktor
akuntabilitas,
apabila
konflik
keharusan
akuntabilitas dipersepsikan sebagai beban kerja dan tekanan kerja?”.
1.3. Tujuan Penelitian Berdasarkan latar belakang penelitian dan pertanyaan penelitian, maka tujuan penelitian ini adalah untuk menguji secara empiris pengaruh konflik keharusan akuntabilitas terhadap kinerja kerja aktor akuntabilitas, apabila konflik keharusan akuntabilitas dipersepsikan sebagai beban kerja dan tekanan kerja.
9
1.4. Kontribusi Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan memberikan kontribusi secara teoretis dengan mengisi gap penelitian sebelumnya, yaitu pada hubungan antara konflik keharusan akuntabilitas dan kinerja kerja (Caseley, 2006; Johnston & Romzek, 1999; Kim, 2005; Kim & Lee, 2009; Koppell, 2005; Romzek & Dubnick, 1987; Wang, 2002) dan untuk memperluas perspektif pada faktor yang menghubungkan akuntabilitas dan kinerja (Dubnick, 2005; Dubnick & Yang, 2009; Tetlock, 1985). Penelitian ini menguji konflik keharusan akuntabilitas dan kinerja kerja pada konteks pemerintah daerah dengan menggunakan teori institusional yang merujuk pada hasil penelitian Akbar, dkk. (2012). Hasil penelitian tersebut menghadirkan bukti isomorfisma yang kuat dalam praktek pemerintah Indonesia. Selanjutnya penelitian ini juga berkontribusi pada penggunaan desain mixed method untuk mengisi gap metoda pada penelitian-penelitian sebelumnya yang lebih cenderung menggunakan salah satu bentuk metoda yang menyebabkan keterbatasan untuk menjelaskan fenomena konflik keharusan akuntabilitas. Penelitian ini juga diharapkan memberikan kontribusi praktis terhadap pemerintah daerah dalam memahami konflik yang mungkin terjadi karena adanya keharusan akuntabilitas yang berbeda dan bagaimana konflik ini mempengaruhi kerja aktor akuntabilitas dan kinerja kerjanya. Penelitian ini juga diharapkan berkontribusi terhadap wacana penentuan tipa akuntabilitas yang tepat bagi tiap institusi pemerintah daerah sesuai dengan ekspektasi masing-masing forum (Romzek & Dubnick, 1987) dan tidak sekedar penyeragaman karena tekanan legislasi dan pemerintah pusat (Akbar dkk., 2012).
10
1.5. Sistematika Penulisan Untuk mencapai tujuan penelitian, maka penelitian ini disusun dalam lima bab sebagai berikut: Bab 1 pendahuluan, Bab 2 rerangka teoretis yang relevan dengan lingkup akuntabilitas, Bab 3 metoda penelitian dengan pengembangan pada metoda penelitian campuran (mixed method). Bab 4 analisis data dan pembahasan dengan pengembangan pada dua tahapan analisis, yaitu pada tahap pertama dengan pendekatan kuantitatif dan tahap kedua dengan pendekatan kualitatif. Bab 5 kesimpulan, keterbatasan, implikasi, diskusi dan saran penelitian.
11