BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Bahasa Jawa sebagai kebanggaan, lambang identitas, alat perhubungan di masyarakat daerah perlu mendapatkan perhatian khusus oleh pemerintah dan warga negara supaya terus hidup dan dipakai sebagai bahasa ibu oleh masyara kat Jawa pada khususnya maupun masyarakat Indonesia pada umumnya. Hal itu sebagai salah satu langkah dalam menjalankan amanah U ndang -Undang Dasar 1945. Bahasa Jawa merupakan salah satu dari ratusan bahkan ribuan bahasa daerah yang telah hidup dan berkembang selama berabad-abad di Indonesia. Di dalam
hubungannya
dengan
kedudukan
bahasa
Indonesia,
bahasa
Jawa
berkedudukan sebagai bahasa daerah. Di dalam kedudukannya sebagai bahasa daerah, bahasa Jawa berfungsi sebagai lambang kebanggaan daerah, lambang identitas daerah, dan alat perhubungan di dalam keluarga dan masyarakat daerah (Halim,1976:145). M enurut Poedjosoedarma (2001:37) bahasa Jawa sebagai bahasa yang memiliki tradisi sastra dan mempunyai martabat yang tinggi. Koentjaraningrat (1994:20) menyatakan bahwa bahasa Jawa sudah memiliki tradisi kesusasteraan sejak abad ke 8. Namun perkembangannya, bahasa Jawa semakin kehilangan perannya sejak dialihkan fungsinya sebagai bahasa daerah. Bahasa Jawa semakin hari semakin menurun frekuensi pemakaiannya dalam kehi dupan bermasyarakat. 1
2
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa gejala menurunnya minat masyarakat Jawa terhadap pemakaian bahasa Jawa disebabkan oleh beberapa faktor. Pertama, pengaruh globalisasi (Fernandez,1993:2), dan kedua yaitu pengaruh modernisasi yang m endorong kemajuan teknologi (Poedjosoedarma, 1979:61). Kedua faktor penyebab menurunnya minat masyarakat Jawa terhadap pemakaian bahasa Jawa tersebut adalah faktor eksternal bahasa
yang memungkinkan munculnya
perubahan. Terdapat sejumlah faktor yang berperan sangat besar dalam menentukan kelangsungan hidup suatu bahasa. Satu di antaranya adalah kebijakan bahasa yang digariskan oleh pemerintah yang dilaksanakan lewat lembaga yang paling berkompeten dalam bidang kebahasaan di antaranya yaitu Pusat Pembinaan Bahasa ataupun Balai Bahasa di setiap daerah. M enurut Wijana (2006:30) secara jujur dalam hal ini perlu kirannya diakui bahwa garis kebijakan ini memiliki nilai positif. Dengan adanya garis kebijakan inilah berjuta-juta rakyat Indonesia dari etnis yang sangat beragam sekarang ini memiliki bahasa persatuan, bahkan hanya bahasalah sekarang yang mungkin mempersatukan bangsa ini di tengah –tengah konflik etnik yang akan membawa ke ambang kehancuran. Tidak dapat dibayangkan keadaannya bila bangsa ini menggunakan beberapa bahasa sebagai bahasa resmi. Hanya saja memang pelaksanaan garis kebijakan yang semata-mata menekankan pembinaan dan pengembangan bahasa nasional, tanpa secara serius melakukan pembinaan dan pengembangan bahasa-bahasa daerah akan lambat laun menyebabkan semakin melemahnya peranan bahasa daerah, dan pada akhirnya akan membawa kepunahan bagi bahasa daerah itu. Hal ini secara tidak langsung
3
merupakan perampasan hak hidup masyarakat pendukung bahasa-bahasa lokal bersangkutan. Untuk melakukan pembuktian minat masyarakat Jawa terhadap pemakaian bahasa Jawa, salah satunya dengan cara meneliti campur kode dan alih kode di suatu kelompok masyarakat. Penelitian ini akan meneliti peristiwa campur kode dan alih kode pada anak-anak. Hal ini disebabkan anak-anak adalah pelangsung dan penerus dalam rangka pelestarian pemakaian bahasa Jawa. Dapat dikatakan, jika anak-anak menggunakan bahasa Jawa dengan baik, maka kelangsungan hidup bahasa Jawa akan tetap terus hidup dan berkembang. Namun sebaliknya, jika kurang baik dan tidak ada usaha yang serius dalam menangani hal tersebut maka dikhawatirkan kelangsungannya akan terganggu. Jika dibiarkan terus-menerus, bisa dimungkinkan bahasa Jawa tidak akan lagi dipakai sebagai alat komunikasi oleh generasi penerus masyarakat
Jawa. Baik atau kurang baik
dalam
menggunakan bahasa Jawa dapat diambil hal positifnya, yaitu dapat diketahui faktor-faktor yang menyebabkan hal tersebut. Faktor-faktor tersebut dapat dijadikan
sebagai
bahan
dalam
rangka
memperbaiki
atau
meningkatkan
suatu
proses
penggunaan bahasa Jawa. Tahap
perkembangan
bahasa
seorang
adalah
yang
berlangsung terus menerus dan m elalui berbagai tahapan. M asing-masing tahapan selalu mengalami perkembangan ke arah bentuk bahasa yang lebih sempurna. Perkembangan bahasa anak dapat dipengaruhi oleh keadaan dan situasi bahasa di lingkungan, sehingga anak dalam perkembangannya akan mengenal bahasa lingkungan. Dalam lingkungan tersebut anak berinteraksi dan menggunakan
4
bahasa untuk melakukan komunikasi dengan masyarakat di lingkung an sekitar. Interaksi yang terjadi menggunakan bahasa dengan berbagai macam bentuk dan ragam bahasa menurut keperluan bahasa dan lawan berbahasa. Jadi, lingkungan sekitar seperti lingkungan keluarga, masyarakat sekitar rumah, sekolah, dan lain sebagainya sangat berpengaruh terhadap campur kode dan alih kode dalam percakapan pada anak-anak. Penelitian campur kode dan alih kode pada percakapan anak-anak dilaksanakan di Taman Kanak-kanak Aisyiyah Bustanul Atfal (disingkat = TK ABA) di Kecamatan Wates Kabupaten Kulon Progo. Diharapkan usia siswa TK dapat mewakili usia anak-anak. Pemilihan lokasi penelitian di TK ABA yaitu karena menurut data dari BPS dalam gabungan riset bersama Pemda K ulon Progo menunjukkan TK ABA merupakan TK yang jum lahnya terbanyak di kecama tan Wates, jadi dengan mengambil sampel di TK ABA diharapkan dapat mewakili anak-anak di Kecamatan Wates Kabupaten Kulon Progo. Penelitian ini merupakan penelitian studi kasus di lapangan menggunakan pendekatan kualitatif. Dalam hal ini meneliti campur kode dan alih kode dalam percakapan siswa TK ABA di Kecamatan Wates. Dalam penelitian ini akan melihat peristiwa campur kode dan alih kode yang terjadi dalam percakapan. Selain itu juga melihat pengaruh yang melatar belakangi kemunculan situasi campur kode dan alih kode.
5
1.2
Rumusan Masalah
Penelitian ini mengkaji fenomena kebahasaan dalam hal campur kode dan alih kode dari sudut pandang sosiolinguistik. Untuk membatasi agar penelitian ini lebih terarah maka masalah yang akan dibahas adalah sebagai berikut.
a. Bagaimana kondisi w ilayah di Kecamatan Wates Kabupaten Kulon Progo dan TK ABA dalam mempengaruhi campur kode dan alih kode?
b. Bagaimana campur kode dan alih kode yang muncul dalam percakapan siswa TK ABA di Kecamatan Wates Kabupaten Kulon Progo dan apa saja faktor yang mempengaruhinya?
1.3
Tujuan Penelitian
Dengan
memperhatikan
latar
belakang
dan
perumusan
masalah
sebagaimana dikemukakan sebelumnya, tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut.
a. M engetahui kondisi w ilayah Kecamatan Wates dan TK ABA yang ada di daerah tersebut.
b. M engetahui kemunculan campur kode dan alih kode dalam percakapan siswa TK ABA di Kecamatan Wates Kabupaten Kulon Progo dan faktor yang mempengaruhinya.
6
1.4
Ruang Lingkup Penelitian
Karena keterbatasan peneliti maka dari beberapa masalah d an tujuan penelitian di atas, ruang lingkup dibatasi pada siswa TK ABA di kecamatan Wates kabupaten Kulon Progo. Data yang diambil dari 6 TK AB A yang berada di kecamatan Wates kabupaten Kulon Progo, yaitu TK ABA Kauman, TK ABA Gadingan, TK ABA Dobangsan, TK AB A Kasatriyan, TK ABA Bendungan, TK ABA Serangrejo.
1.5 Manfaat Penelitian
Penelitian ini memiliki beberapa manfaat yang akan dibagi dalam dua kategori, yaitu manfaat penelitian secara teoritis dan praktis.
1.5.1 Manfaat Teoretis
Campur kode dan alih kode adalah sebuah cabang ilmu linguistik yang menjelaskan tentang peralihan penggunaan satu bahasa ke bahasa lain. Secara teoretis, penelitian ini akan memberikan sebuah pengetahuan baru dalam bidang ilmu linguistik yang mengkaji campur kode dan alih kode dalam percakapan anak-anak. Lebih dari itu, penelitian ini juga merupakan salah satu upaya untuk pengembangan bidang makro linguistik dalam ranah kebudayaan seperti apa pengaruh sosial terhadap penggunaan bahasa anak-anak.
1.5.2 Manfaat Praktis
Seorang akademisi sudah sewajarnya menjunjung tinggi Tri Dharma Perguruan Tinggi, penelitian, pengajaran, pengabdian. Penelitian ini merupakan
7
salah satu bentuk implikasi dari Tri D harma Perguruan Tinggi tersebut sehingga secara langsung memberikan manfaat praktis. Ditambah lagi penelitian ini dibuat bukan sebagai sebuah manfaat material tetapi lebih pada manfaat imaterial, yaitu share knowledge atau apa saja yang harus diperhatikan dalam pengajaran bahasa di TK. Selain itu juga sebagai masukkan bahas pengajaran bahasa Jawa pada anak dan pengayakan materi pembelajaran bahasa Jawa.
1.6
Tinjuan Pustaka
Berikut adalah beberapa temuan pustaka yang dija dikan acuan untuk mendukung penelitian ini. Berisi tentang penelitian yang melibatkan anak-anak sebagai bahan kajian penelitian dan penelitian tentang alih kode dan campur kode. Purwo (1989) mengadakan penelitan tentang perkembangan bahasa anak dari lahir sampai prasekolah. Penelitian ini mengungkapkan bahwa memasuki usia enam tahun anak sudah siap menggunakan bahasanya untuk b elajar di sekolah dasar dan sudah siap untuk mempelajari bahasa tulis. Lebih spesifik lagi anak usia enam tahun sudah memiliki kemampuan dasar berbahasa yaitu berbicara, membaca, menyimak, dan menulis. Walaupun kemampuannya masih terbatas tidak seperti orang dewasa. Purwo (1991) meneliti tentang perkembangan pragmatik dan tata bahasa anak. Penelitian tersebut pengungkapkan bahwa a nak tidak sekedar meniru mentah-mentah model bahasa yang digunakan oleh orang dewasa melainkan mempunyai kaidah tersendiri dalam menyusun bahasa. anak-anak memiliki cara tersendiri dalam menyusun tata bahasa. M odel-model yang disusun tidak serta merta seperti tata bahasa orang dewasa, akan tetapi maksud dari bahasa tersebut
8
seperti yang dimaksudkan oleh orang dewasa. Pengaruh lingku ngan dalam hal ini orang dewasa sangat mempengaruhi anak-anak dalam menyusun tata bahasa. Dardjow ijoyo
(2000)
mengadakan
pengamatan
dan
pengkajian
pemerolehan bahasa mulai tahun pertama hingga tahun kelima usia cucunya, Echa. Dardjowijoyo (2005:49-50) dalam penelitiannya menyatakan bahwa pada anak usia 4-5 tahun, anak telah mengalami berbagai perkembangan dalam bidan g fonologi, morfologi, sintaksis, leksikon, dan pragmatik. Dalam fonologi, anak usia TK telah menguasai hampir semua bunyi bahasa Indonesia. Dari segi morfologi, anak usia lima tahun tampak telah mengembangkan verba dengan lebih cepat dan lebih produktif dari pada kategori lain, dan ragam bahasa yang dipakai masih tetap informal meskipun sudah mulai muncul bentuk -bentuk formal. Dari segi sintaksis, anak mulai menguasai frasa dan kalimat meskipun sebagian besar masih bertipe kalimat tunggal. Perkembangan leksikon anak yang bertambah dengan pesat tersebut disebabkan karena fakta masukan dari lingkungan termasuk di dalamnya sosialisasi dengan teman sebaya. Selain itu adalah kemampuan anak yang dapat membedakan hal-hal di alam sekitarnya dengan lebih baik. Bolonyai (1999) dalam International Jurnal of Bilingualism menulis artikel berjudul In - Between Language: languages Shif/M aintenance in Childhood Bilingualism. Bolonyai mengutarakan konsekuensi struktural kontak intensif dalam perkembangan bahasa 1 dan bahasa 2 pada suatu lingkungan. Hal yang akan terjadi anak-anak akan mengalami perkembangan bahasa yang lebih dominan pada bahasa 2.
9
Kepirianto (2002) dengan judul penelitian Bahasa Tutur Anak Pada Masyarakat Bilingual Studi Kasus Anak Um ur 8 Tahun . Penelitian ini merupakan studi kasus pada sebuah keluarga di Kota Semarang Jawa Tengah. Subyek penelitian ini yaitu, 2 orang anak peneliti yang bernama Ulfa dan Titin. Penelitian ini mendeskripsikan pemerolehan bahasa tutur anak meliputi pemerolehan fonologi, morfologi, sintaksis, dan variasi tutur . Bahasa tutur anak bilingual itu mirip dengan bahasa tutur yang dipakai masyarakat di lingkungan anak. Namun, terkadang bahasa tutur anak masih seperti bahasa tutur yang dituturkan ketika anak masih kecil. Pemerolehan fonologi bahasa tutur anak mirip dengan bahasa orang dewasa. Pemerolehan morfologi bahasa tutur sudah dikuasai oleh anak. Pemerolehan sintaksis pada anak masih belum sempurna dan bersifat informal. Variasi tutur anak yaitu ragam informal dengan tutur ringkas. Dalam penelitian ini juga ditemukan adanya register untuk menyatakan berbagai tujuan dan topik. Selain itu juga ditemukan alih kode sebagai akibat tutur bilingual pada anak. Prihandini (2002) meneliti tentang Penggunaan Bahasa Anak-Anak TK 0 (nol) kecil TK Syuhada Yogyakarta umur 4-5 tahun dalam hal tingkat penggunaan bahasa bidang fonologi, morfosintaksis, dan leksikal. Hasil dalam penelitian ini menunjukkan bahwa anak memperoleh 3 bahasa yaitu, bahasa Indonesia, bahasa Jawa, dan bahasa Arab. Namun demikian, anak-anak belum mampu untuk membedakan antara bahasa yang satu dengan bahasa yang lain , khususnya antara bahasa Indonesia dan bahasa Jawa. B ahasa arab digunakan dalam doa dan salam. Dalam hal ini, nampaknya lingkungan sangat berperan pengaruhnya. Tipe -tipe bahasa yang diperoleh tergantung bahasa apa yang ada di lingkungannya. Bahasa
10
Indonesia banyak digunakan dalam ragam informal. Dalam bahasa Jawa, tingkat ngoko paling banyak digunakan karena anak-anak berada dalam suasana informal dan mereka bicara dengan teman-teman sebaya. Pada bidang fonologi, anak-anak telah memperoleh pola bunyi yaitu, vokal, konsonan dan struktur suku kata. Sedangkan untuk morfosintaksis anak-anak telah memperoleh tentang afiksasi dan reduplikasi. Tipe afiksasi yaitu, prefiks, infiks, dan konfiks. Nicoladis dan Genesce ( 1999) dalam Parental D iscourse and Code Mixing in Bilingual Chlidren melakukan penelitian di M ontreal. M ereka meneliti lima anggota keluarga bilingual Perancis-Inggris sejak berusia 2,0-2,6
tahun.
Penelitian tersebut dipusatkan pada dua hal. Pertama, meneliti tentang hubungan antara gaya tanggapan orang tua dan kecepatan campur kode anak. Kedua, meneliti pengaruh suatu tanggapan tertentu terhadap campur kode anak dalam percakapan berikutnya. Rahardi (1996) dalam tesisnya yang berjudul Kode dan Alih Kode Dalam Wacana Jual Beli Sandang pada Masyarakat T utut Bilingual dan Diglasik di Wilayah Kodya Yogyakarta mengungkapkan bentuk dan arah alih kode yang dilakukan oleh para penjual pakaian serta menjelaskan alasan beralih kode. Subyek penelitian adalah para penjual sandang di Y ogyakarta. M enurut Widjajakusumah (1981) dalam Chaer (2010: 112-113) terjadinya alih kode dari bahasa Sunda ke bahasa Indonesia dikarenakan 12 faktor, yaitu kehadiran orang ketiga, perpindahan topik dari yang nonteknis ke yang teknis, beralihnya suasana berbicara, ingin dianggap “terpe lajar”, ingin menjauhkan jarak, menghindarkan adanya bentuk kasar dan halus dalam bahasa Sunda,
11
mengutip pembicaraan orang lain, terpengaruh lawan bicara yang beralih ke bahasa Indonesia, mitra berbicaranya lebih mudah, berada di tempat umum, menunjukkan bahasa pertamanya bukan bahasa Sunda, dan beralih media /sarana berbicara. Penyebab alih kode dari bahasa Indonesia ke bahasa Sunda juga dikarenakan 12 faktor, yaitu, perginya orang ketiga, topiknya beralih dari hal teknis ke hal nonteknis, suasana beralih dari resmi ke tidak resmi dan dari situasi kesundaan ke keindonesiaan, merasa ganjil untuk tidak berbahasa Sunda dengan orang sekampung, ingin mendekatkan jarak, ingin
beradab -adab dengan
menggunakan bahasa S unda halus dan berakrab-akrab dengan bahasa S unda kasar, mengutip dari peristiwa bicara lain, terpengar uh lawan bicara yang berbahasa Sunda, perginya generasi muda, merasa di rumah sendiri, ingin menunjukkan bahasa pertamanya, dan beralih bicara biasa tanpa alat-alat seperti telepon. Berdasarkan paparan di atas beberapa penelitian tersebut dapat dijadikan sebagai acuan dalam kaitannya tentang penelitian bahasa anak-anak terutama tentang penelitian campur kode dan alih kode dalam percakapan siswa TK ABA di Kecamatan Wates Kabupaten Kulon Progo. 1.7
Kerangka Teori Dalam penelitian ini akan menggunakan teori utama dan teori sekunder
untuk menganalisis data yang ditemukan sebagai sebuah upaya untuk menjawab rumusan masalah di atas. Penelitian ini menggunakan teori-teori sosiolinguistik. Kridalaksana (1993:201) menyatakan bahwa “sosiolinguistik” adalah cabang ilmu yang mempelajari hubungan dan saling pengaruh antara perilaku bahasa dan
12
perilaku sosial. M enurut Chaer (2010:2) definisi sosiolinguistik adalah cabang ilmu linguistik yang bersifat interdisipliner dengan ilmu sosiologi, dengan obyek penelitian hubungan antara bahasa dengan faktor-faktor sosial di dalam suatu masyarakat tutur. Sosiolinguistik
sebagai
cabang
ilmu
linguistik
memandang
atau
menempatkan kedudukan bahasa dalam hubungannya dengan pemakai bahasa di dalam masyarakat, karena dalam kehidupan bermasy arakat manusia tidak lagi sebagai individu, akan tetapi sebagai masyarakat sosial. Oleh karena itu, segala sesuatu yang dilakukan oleh manusia dalam bertutur akan selalu dipengaruhi oleh situasi dan kondisi di sekitarnya. Siapa yang berbicara, yang mana ba hasa itu, dan kapan (Fishman, 1975:15). Dalam kajian sosiolinguistik, ada beberapa teori yang melingkupinya seperti alih kode dan campur kode. Pada penelitian ini teori alih kode atau campur kode akan dijadikan teori utama. Kode
menurut Kridalaksana (1993:87) adalah lambang atau sistem
ungkapan yang dipakai untuk menggambarkan makna tertentu , sistem bahasa dalam suatu masyarakat, atau variasi tertentu dalam suatu bahasa. Kode menurut Poedjosoedarmo (1982:30) adalah suatu sistem tutur yang penerapan unsur bahasanya mempunyai cirri khas sesuai dengan latar belakang penutur, relasi penutur dengan lawan bicara, dan situasi tutur yang ada. Jadi, dalam kode itu terdapat unsur bahasa, seperti kalimat, kata, morfem, dan fonem. Kode berbentuk varian bahasa yang secara nyata dipakai berkomunikasi anggota suatu masyarakat bahasa (Poedjosoedarmo, 1982:30). Dalam sebuah bahasa dapat terkandung beberapa buah kode yang merupakan varian bahasa itu. Bagi masyarakat bilingual
13
atau multilingual , inventarisasi kode itu menjadi lebih luas dan mencakup varian dua bahasa atau lebih (Poedjosoedarmo, 1982:30). Alih kode adalah peristiwa pergantian bahasa yang digunakan dalam situasi percakapan seperti berubahnya dari ragam santai ke ragam resmi atau sebaliknya, dan bisa juga dari satu bahasa ke bahasa lain (Chaer, 2010: 106). Sedangkan campur kode pada dasarnya tidak berbeda jauh dengan alih kode, yaitu perubahan ragam bahasa. Namun, untuk menjelaskan perbedaan yang secara signifikan antara alih kode dan campur kode belum bisa ditarik secara tegas. Untuk penjelasan mengenai campur kode mengikuti Fasold (1984) yang menawarkan kriteria gramatika untuk membedakan campur kode dan alih kode. Kalau seseorang menggunakan satu kata atau frase dari satu bahasa, dia telah melakukan campur kode, tetapi apabila satu klausa jelas-jelas memiliki unsur gramatika satu bahasa dan klausa berikutnya disusun menurut struktur gramatika lain, maka peristiwa itu disebut alih kode (Chaer, 2010: 114-115). Campur kode dan alih kode dianggap sebagai sebuah teori yang sesuai untuk melihat fenomena berbahasa pada anak di Indonesia. Hal tersebut dikarenakan bangsa
Indonesia
memiliki bahasa
Nasional sebagai bahasa
pemersatu dan bahasa-bahasa daerah sebagai bahasa ibu. Oleh karena itu, masyarakat Indonesia merupakan m asyarakat yang bilingual karena di Indonesia menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan, bahasa pemerintahan, bahasa formal, bahkan bahasa pengantar dalam institusi pendidikan. Namun, karena setiap daerah memiliki bahasa sendiri sehingga seorang anak terdidik dan berkembang dengan bahasa Indonesia. Dengan demikian, masyarakat bil ingual
14
cenderung melakukan alih kode maupun campur kode dalam tuturannya. Edwards (1995:56) mengutarakan pendapat Bloomfield, Weinreich, dan Haugen perihal bilingualisme. Bloomfield mengatakan bahwa bilingualisme merupakan hasil dari proses pembelajaran suatu bahasa asing selain bahasa ibunya. Weinreich mendefinisikan bilingualisme semata-mata sebagai penggunaan dua bahasa secara bergantian. Sementara itu, Haugen berpendapat bahwa bilingualisme diawali dengan kemampuan untuk menghasilkan ujaran yang lengkap dan bermakna dalam bahasa kedua. O leh karena itu, alih kode dan campur kode merupakan sebuah fenomena kebahasaan yang sering terjadi dalam masyarakat bilingual. 1.8 Metode Penelitian Berdasarkan tahap dan pelaksanaannya, metode penelitian ini terdiri dari cara penyediaan data, cara analisis, dan cara pemaparan hasil data (Sudaryanto, 1992: 57). Hal tersebut merupakan metode paling mendasar dalam sebuah penelitian linguistik.
1.8.1 Metode Pengumpulan Data
Cara penyediaan atau pengumpulan data penelitian ini dengan mencari data dari TK ABA yang berada di kecamatan Wates kabupaten Kulon Progo. Langkah awal proses pengumpulan data dengan cara observasi tanpa partisipasi, yaitu mengamati situasi kebahasaan siswa tanpa berkomunikasi dengan siswa. hal tersebut dimaksudkan untuk memperkenalkan diri supaya siswa akrab dengan peneliti dan nantinya ketika pengambilan data siswa tidak canggung dengan peneliti. Cara penyediaan atau pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan
15
pertanyaan-pertanyaan yang sudah dibuat sedemikian rupa, terdiri dari 11 pertanyaan. Pertanyaan nomer satu berisi tentang perkenalan identitas siswa, sedangkan pertanyaan nomer 2 sampai 11 berisi tentang pertanya an yang berhubungan dengan gambar supaya mudah dipahami oleh siswa. Siswa diminta untuk mengamati gambar, kemudian siswa diberikan pertanyaan -pertanyaan yang berhubungan dengan isi gambar tersebut. Gambar yang disajikan sebagai bahan pemerolehan data berhubungan dengan fenomena yang tidak asing dengan kehidupan mereka, seperti gambar binatang, makanan, maupun aktifitas anakanak.
Bahasa yang digunakan dalam beberapa pertanyaan tersebut menggunakan bahasa Jawa campuran (krama, krama inggil, dan ngoko). Hal tersebut disebabkan karena untuk mempermudah dalam berkomunikasi dengan siswa, selain itu juga untuk mendekatkan jarak antara peneliti dan siswa. contoh bahasa Jawa campuran (krama dan ngoko) seperti pada contoh (1) berikut ini. Peneliti
Siswa
: Digatekke nggih gambar niki! Kewan napa sing nembe penekan ing uwit niku? „Coba dilihat gambar ini! Binatang apakah yang sedang memanjat pohon itu?‟ : Munyuk maem apel merah. „M onyet memakan apel merah‟
Penggunaan kata kram a inggil m isalnya pirsa „lihat‟ dalam pertanyaan dimaksudkan untuk m basakke (memberikan pengajaran pada siswa untuk belajar krama inggil). Contoh bahasa Jawa campuran (kram a inggil dan ngoko) dapat dilihat pada percakapan (3) berikut ini. Peneliti
: Dipirsani gambar iki! Kewan apa sing lagi ma bur iki? „lihatlah gambar ini! Binatang apa itu?‟
16
Siswa
: Kupu-kupu
Penggunaan bentuk bahasa tersebut sebagai alat implementasi observasi peneliti masuk ke dalam kehidupan bahasa anak untuk menggali kemampuan berbahasa anak secara natural. Jawaban pertanyaan yang diperoleh dari siswa tersebut direkam dan dicatat kemudian dijadikan sebagai data untuk dianalisis menggunakan teori campur kode dan alih kode.
1.8.2 Metode Analisis Data
Setelah data dikum pulkan secara cukup untuk mendapatkan gambaran umum tentang konsep campur kode dan alih kode, kemudian data tersebut dianalisis sesuai dengan rumusan masalah penelitian, yaitu dengan klasifikasi temuan data, kemudian dianalisis sesuai dengan teori yang digunakan.
Berikut adalah contoh analisis data yang akan dilakukan dalam penelitian ini.
(1)Percakapan antara peneliti dengan Adnan M ustafa Peneliti
Siswa Peneliti
Siswa
: Digatekke nggih gambar niki! Kewan napa sing nembe penekan ing uwit niku? „Coba dilihat gambar ini! Binatang apakah yang sedang memanjat pohon itu?‟ : Munyuk maem apel merah. „M onyet memakan apel merah‟ : Liyane kewan sing penekan niku, cobi disebutke kewan liyane? „Selain binatang yang memanjat pohon itu, coba sebutkan binatang yang lain‟ : Pitik ro anake pitik. „Ayam dengan anak ayam‟
Pada percakapan (1) yaitu percakapan antara peneliti dan Adnan M ustafa (Siswa TK ABA Kauman) terjadi peristiwa campur kode yang dilakukan oleh
17
Adnan M ustafa dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan. Percakapan tersebut menunjukan adanya campur kode bahasa Indonesia yang berwujud kata, yaitu merah. M erah dalam bahasa Jawa adalah abang (ngoko) atau abrit (kram a) .
(2) Percakapan antara peneliti dengan Rahma Yunita A ndriyani. Peneliti Siswa Peneliti Siswa Peneliti Siswa Peneliti Siswa
: sinten nam ine, adhik? „Siapa nama adik?‟ : Rahm a. „Rahma‟ : Jangkepe? „Nama lengkap?‟ : Rahm a Yunita Andriyani. „Rahma Yunita Andriyani.‟ : Sakniki umure adhik pinten? „Sekarang umur adik berapa?‟ : Lima tahun. „Lima tahun‟ : Pinten sedulure? „Berapa bersaudara?‟ : Pira ya? Satu, aku thok mas. „Berapa ya? Satu, aku saja mas.‟
Pada percakapan (2) yaitu percakapan antara peneliti dan Rahma Yunita Andriyani (siswa TK ABA Kauman) terjadi peristiwa alih kode yang dilakukan oleh
Rahma
Yunita
Andriyani
dalam
menjawab
pertanyaan-pertanyaan.
Percakapan tersebut menunjukan adanya alih kode bahasa Indonesia yang berwujud frasa, yaitu lim a tahun. Hal tersebut dimasukkan ke dalam peristiwa alih kode karena peneliti selalu menggunakan kode bahasa Jawa, akan tetapi dalam menjawab pertanyaan dari peneliti, Rahma Yunita Andriyani beralih kode menggunakan kode bahasa Indonesia. Lima tahun dalam bahasa Jawa adalah limang taun (ngoko) atau gangsal taun (kram a).
18
1.8.3 Metode Penyajian Data
Setelah data dianalisis, tahap selanjutnya adalah taha p penyajian hasil analisis data. Hasil analisis data pada penelitian ini disajikan dengan menjabarkan keseluruhan penjelasan dari rumusan masalah yang ada, yaitu dengan menyajikan bentuk campur kode dan alih kode yang dilakukan siswa TK ABA di kecamatan Wates kabupaten Kulon Progo.
1.9
Sistematika Penyajian
Hasil penyajian data di dalam penelitian ini disajikan dalam beberapa bab, yaitu: BAB I merupakan pendahuluan. Bab ini menguraikan latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, ruang lingkup peneli tian, manfaat penelitian, tinjauan pustaka, kerangka teori, metode penelitian, dan sistematika penyajian. BAB II berisi tentang deskripsi singkat kondisi kecamatan Wates. BAB III berisi tentang penjelasan campur kode dan alih kode dalam percakapan siswa TK ABA dan faktor yang mempengaruhinya. BAB IV merupakan kesimpulan dan saran dari BAB I sampai BAB III, dan juga dilengkapi dengan daftar pustaka dan lampiran.