1
BAB 1 PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Tuntutan pengelolaan program Kesehatan dan Keselamatan Kerja di Rumah Sakit (K3RS) pada era globalisasi ini semakin tinggi. Pekerja, pengunjung, pasien dan masyarakat sekitar rumah sakit ingin mendapatkan perlindungan dari gangguan kesehatan dan kecelakaan kerja, baik sebagai dampak proses kegiatan pemberian pelayanan maupun karena kondisi sarana dan prasarana yang ada di Rumah Sakit yang tidak memenuhi standar. Keselamatan (safety) telah menjadi isu global termasuk juga untuk rumah sakit. Ada lima isu penting yang terkait dengan keselamatan di rumah sakit, yaitu: keselamatan pasien (patient safety), keselamatan pekerja atau petugas kesehatan, keselamatan bangunan dan peralatan di rumah sakit yang bisa berdampak terhadap keselamatan pasien dan petugas, keselamatan lingkungan (green productivity) yang berdampak terhadap pencemaran lingkungan dan keselamatan bisnis rumah sakit yang terkait dengan kelangsungan hidup rumah sakit. Ke-lima aspek keselamatan tersebut sangatlah penting untuk dilaksanakan di setiap rumah sakit. Namun harus diakui kegiatan institusi rumah sakit dapat berjalan apabila ada pasien. Karena itu
1
2
keselamatan pasien merupakan prioritas utama untuk dilaksanakan dan hal tersebut terkait dengan isu mutu dan citra rumah sakit (Kemenkes RI, 2010). Pelayanan kesehatan pada dasarnya adalah untuk menyelamatkan pasien sesuai dengan yang diucapkan Hiprocrates pada 2400 tahun yang lalu, yaitu Primum, non nocere (First, do no harm). Namun dengan semakin berkembangnya ilmu dan teknologi pelayanan kesehatan khususnya di rumah sakit menjadi semakin kompleks dan berpotensi terjadinya kejadian tidak diharapkan (KTD) apabila tidak dilakukan dengan hati-hati (Pujiatun, 2012). Rumah sakit memiliki ratusan macam obat, ratusan tes dan prosedur, banyak alat dengan teknologinya, bermacam jenis tenaga profesi dan non profesi yang siap memberikan pelayanan pasien 24 jam terus menerus. Keberagaman dan kerutinan pelayanan tersebut apabila tidak dikelola dengan baik dapat terjadi KTD. Institute of Medicine di Amerika Serikat pada tahun 2000 menerbitkan laporan yang mengagetkan banyak pihak: “TO ERR IS HUMAN”, Building a Safer Health System. Laporan itu mengemukakan penelitian di rumah sakit di Utah dan Colorado serta New York. Di Utah dan Colorado ditemukan KTD (Adverse Event) sebesar 2,9%, dimana 6,6% diantaranya meninggal. Sedangkan di New York KTD adalah sebesar 3,7% dengan angka kematian 13,6%. Angka kematian akibat KTD pada pasien rawat inap di seluruh Amerika yang berjumlah 33,6 juta per tahun berkisar 44.000–98.000 per tahun. Publikasi WHO pada tahun 2004, mengumpulkan angka-
3
angka penelitian rumah sakit di berbagai Negara antara lain Amerika, Inggris, Denmark, dan Australia, ditemukan KTD dengan rentang 3,2–16,6%. Dengan datadata tersebut, berbagai negara segera melakukan penelitian dan mengembangkan Sistem Keselamatan Pasien (Depkes RI, 2008). Kejadian tidak diharapkan merupakan insiden yang mengakibatkan cidera pada pasien (Kemenkes No.1691/MENKES/PER/VIII/2011 tentang Keselamatan Pasien). Besarnya kasus KTD yang terjadi di rumah sakit sebagaimana disebutkan diatas mengharuskan pihak
rumah sakit
melakukan langkah-langkah
yang lebih
mengutamakan keselamatan pasien. Craven dan Hirnle dalam Setiowati (2010) mengemukakan bahwa ketidakpedulian akibat keselamatan pasien akan menyebakan kerugian bagi pasien dan pihak rumah sakit, seperti biaya yang harus ditanggung pasien menjadi lebih besar, pasien semakin lama dirawat di rumah sakit dan terjadinya resistensi obat. Kerugian bagi rumah sakit yang harus dikeluarkan menjadi lebih besar, yaitu pada upaya tindakan pencegahan terhadap kejadian luka tekan, infeksi nosokomial, pasien jatuh dengan cidera, kesalahan obat yang mengakibatkan cidera (Bea, 2013). Data tentang KTD di Indonesia apalagi Kejadian Nyaris Cedera (Near miss) masih langka. Namun kejadian kesalahan medis pada pasien telah banyak dilaporkan dalam beberapa kasus yang mendapatkan kerugian bermakna bagi pasien. Raharjo (2006) yang mengutip dari Herkutanto (2004) melaporkan adanya 126 kasus tuduhan
4
malpraktik terhadap rumah sakit selama periode 1999 sampai 2004. Majelis kode etik kedokteran juga mencatat 41 kasus malpraktik di DKI Jakarta selama Juli–September 2003. Tuntutan–tuntutan tersebut hanyalah puncak yang tampak dari fenomena gunung es yang besar yang mengandung masalah yang jauh lebih besar. Dalam rangka meningkatkan keselamatan pasien di rumah sakit maka Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia telah mengambil inisiatif membentuk Komite Keselamatan Pasien Rumah Sakit (KKP-RS) (Beginta, 2012). Mengingat keselamatan pasien sudah menjadi tuntutan masyarakat maka pelaksanaan program keselamatan pasien rumah sakit perlu dilakukan. Karena itu diperlukan acuan yang jelas untuk melaksanakan keselamatan pasien tersebut. Buku Panduan Nasional Keselamatan Pasien Rumah Sakit yang terutama berisi Standar Keselamatan Pasien Rumah Sakit dan Tujuh Langkah Menuju Keselamatan Pasien Rumah Sakit diharapkan dapat membantu rumah sakit dalam melaksanakan kegiatannya. Keselamatan merupakan aspek penting dalam kualitas pelayanan. Dengan menilai budaya keselamatan di rumah sakit dengan menggunakan pedoman yang valid akan memberikan impilkasi yang sesuai dengan perencanaan dan peningkatan pelayanan (Hellings et al,. 2010). Berdasarkan Undang-Undang No. 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit dijelaskan bahwa rumah sakit di Indonesia diwajibkan untuk meningkatkan mutu pelayanan melalui akreditasi rumah sakit minimal dalam jangka waktu 3 (tiga) tahun
5
sekali. Standar akreditasi rumah sakit terdiri dari empat kelompok, yang salah satunya adalah kelompok sasaran keselamatan pasien. Sehingga keselamatan pasien merupakan bagian yang sangat penting dalam akreditasi rumah sakit (KARS, 2014). Menciptakan budaya keselamatan pasien merupakan hal yang sangat penting. Hal tersebut dikarenakan budaya mengandung dua komponen, yaitu nilai dan keyakinan, dimana nilai mengacu pada sesuatu yang diyakini oleh anggota organisasi untuk mengetahui apa yang benar dan apa yang salah, sedangkan keyakinan mengacu pada sikap tentang cara bagaimana seharusnya bekerja dalam organisasi (Sashkein dan Kisher dalam Tika, 2006). Dengan adanya nilai dan keyakinan yang berkaitan dengan keselamatan pasien yang ditanamkan pada setiap anggota organisasi, maka setiap anggota akan mengetahui apa yang seharusnya dilakukan dalam penerapan keselamatan pasien. Dengan demikian, perilaku tersebut pada akhirnya menjadi suatu budaya yang tertanam dalam setiap anggota organisasi berupa perilaku budaya keselamatan pasien (Bea, 2013). Budaya keselamatan pasien dapat dilihat berdasarkan enam sasaran keselamatan pasien yang dikeluarkan oleh komite akreditasi rumah sakit versi 2012. Enam sasaran keselamatan pasien terdapat pada standar akreditasi rumah sakit, terdiri dari ketepatan identifikasi pasien, ketepatan identifikasi pasien, peningkatan komunikasi yang efektif, peningkatan keamanan obat yang perlu diwaspadai (highalert medications), kepastian tepat-lokasi, tepat-prosedur, tepat-pasien operasi,
6
pengurangan risiko infeksi terkait pelayanan kesehatan, pengurangan risiko pasien jatuh. Identifikasi pasien yang dilakukan dengan benar merupakan landasan keselamatan paien. Keselahan pada proses identifikasi pasien dapat terjadi dalam setiap layanan kesehatan baik di ruang rawat inap, rawat jalan, maupun laboratorium. (Dhatt., et all, 2011). Ketepatan identifikasi pasien berkontribusi dalam upaya pencegahan insiden keselamatan pasien. Kejadian obat yang merugikan (adverse drug events), keselahan pengobatan (medical error), dan reaksi obat yang merugikan (adverse drug reaction) merupakan bagian yang perlu diperhatikan dalam keselamatan pasien. Auburn University melakukan penelitian di 36 rumah sakit dan nursing home di Coloradi dan Georgia, USA pada tahun 2002 menemukan bahwa dari 3216 jenis pemberian obat, 435 diberikan pada waktu yang salah, 30% tidak diberikam, 17% diberikan dengan dosis yang salah, dan 4% diberikan obat yang salah (Virawan, 2012). Infeksi yang didapatkan pasien yang terkait dengan pelayanan kesehatan selama menjalani perawatan di rumah sakit (infeksi nosokomial) menjadi permasalahan diseluruh dunia. Angka kejadian infeksi nosokomial di Indonesia belum diketahui jumlahnya namun data dari beberapa negara seperti United Kingdom menunjukkan sekitar 300.000 pasien terkena infeksi nosokomial dan diperkirakan 5000 orang diantaranya meninggal dikarenakan infeksi tersebut. Infeksi nosokomial dapat
7
menyebabkan lamanya length of stay (LOS), mortalitas, dan peningkatan biaya keperawatan. Jumlah kasus jatuh cukup bermakna sebagai penyebab cedera pasien rawat inap. Dalam konteks populasi atau masyarakat yang dilayani, pelayanan yang diberikan dan fasilitasnya, rumah sakit perlu mengevaluasi risiko pasien jatuh dan mengambil tindakan untuk mengurangi risiko cedera bila pasien jatuh. Berdasarkan hasil survei awal yang dilakukan pada Juli 2014 diketahui bahwa RSUP Dr M.Djamil Padang belum terakreditasi baik akreditasi nasional maupun JCI, termasuk komponen keselamatan pasien. Tim keselamatan pasien RSUP Dr M.Djamil Padang dibentuk pada tahun 2011. Tim keselamatan pasien dipimpin oleh Direktur Medik Dan Keperawatan. Tim keselamatan pasien memiliki Sembilan program kerja. Program pertama dari tim ini, yaitu membudayakan keselamatan pasien. Pencapaian dari program ini belum 100% atau belum optimal. Tim Keselamatan Pasien RSUP Dr M.Djamil Padang menargetkan pada tahun 2017 semua kegiatan akan terealisasi 100%. Berdasarkan hal tersebut, maka penulis tertarik untuk meneliti lebih lanjut tentang budaya keselamatan pasien di RSUP Dr M.Djamil Padang. B.
Rumusan Masalah
Pelaksanaan program keselamatan pasien di rumah sakit menjadi hal utama dalam upaya meningkatkan dan menjaga mutu pelayanan kesehatan di rumah sakit.
8
Besarnya tantangan yang dihadapi manajemen RSUP Dr. M. Djamil Padang dalam menghadapi akreditasi rumah sakit tingkat nasional dan internasional yang salah satu fokusnya, yaitu keselamatan pasien dapat ditunjukkan dengan penerapan budaya keselamatan pasien. Berdasarkan latar belakang tersebut dirumuskan permasalahan, yaitu “Bagaimana Budaya Keselamatan Pasien di RSUP Dr. M. Djamil Padang?”
C. 1.
Tujuan Penelitian
Tujuan Umum Mengkaji budaya keselamatan pasien di RSUP Dr M. Djamil Padang
2.
Tujuan Khusus a. Mengkaji budaya keselamatan pasien dilihat dari aspek ketepatan identifikasi pasien, b. Mengkaji budaya keselamatan pasien dilihat dari aspek peningkatan komunikasi efektif, c. Mengkaji budaya keselamatan pasien dilihat dari aspek keamanan obat yang perlu diwaspadai (high-alert medications), d. Mengkaji budaya keselamatan pasien dilihat dari aspek ketepatan lokasi, prosedur, dan tepat pasien operasi, e. Mengkaji budaya keselamatan pasien dilihat dari aspek pengurangan risiko infeksi terkait pelayanan kesehatan
9
f. Mengkaji budaya keselamatan pasien dilihat dari aspek pengurangan risiko cedera karena jatuh
D. 1.
Manfaat Penelitian
Bagi Manajemen RSUP Dr M. Djamil Padang 1) Hasil penelitian ini dapat dijadikan bahan evaluasi dalam pengelolaan dan penerapan keselamatan pasien di RSUP Dr M. Djamil Padang. 2) Sebagai bahan pertimbangan dalam pembuatan kebijakan dalam penerapan keselamatan pasien untuk meningkatkan kualitas mutu pelayanan di RSUP Dr M. Djamil Padang
2.
Bagi Tim Keselamatan Pasien RSUP Dr M. Djamil Padang 1) Sebagai bahan evaluasi dalam pelaksanaan keselamatan pasien di RSUP Dr M. Djamil Padang 2) Sebagai
bahan
dalam
pembuatan
perencanaan
kegiatan–kegiatan
keselamatan pasien 3.
Bagi Peneliti 1) Sebagai penerapan teori dan pengalaman yang didapat dalam situasi sesungguhnya yang ada di lapangan. 2) Sebagai fasilitas untuk peneliti dalam mengembangkan kemampuan meneliti sekaligus mengaplikasikan ilmu yang telah didapat sebelumnya.
10
4.
Bagi Prodi Ilmu Kesehatan Masyarakat FK UGM Sebagai data dan informasi ilmiah bagi penelitian selanjutnya yang diharapkan menjadi salah satu sumber informasi serta masukan yang bermanfaat bagi program studi.
E. 1.
Keaslian Penelitian
Beginta (2012) dengan judul Pengaruh Budaya Keselamatan Pasien, Gaya Kepemimpinan, Kerja Tim Terhadap Persepsi Pelaporan Kesalahan Pelayanan Oleh Perawat di Unit Rawat Inap RSUD Kabupaten Bekasi. Perbedaan dengan penelitian tersebut adalah penelitian tersebut dilakukan dengan metode kuatitatif dengan melihat korelasi antara budaya keselamatan pasien, gaya kepemimpinan, dan kerja tim terhadap persepsi pelaporan kesalahan pelayanan.
2.
Bea (2013) dengan judul Gambaran Budaya Keselamatan Pasien di Rumah Sakit Universitas Hasanuddin Tahun 2013. Perbedaan penelitian tersebut dengan penelitian ini adalah metode yang digunakan. Penelitian tersebut menggunakan metode kuantitatif (deskripstif) sedangkan penelitian ini menggunakan metode kualitatif.
3.
Komariah (2014) dengan judul Budaya Keselamatan dan Kesehatan Kerja Dalam Implementasi Keselamatan Pasien (studi kasus pada Rumah Sakit X di Kota Batam). Perbedaan penelitian tersebut dengan penelitian ini ialah variabel
11
penelitian tersebut, yaitu budaya keselamatan dan kesehatan kerja dihubungkan dengan implementasi keselamatan pasien sedangkan penelitian ini akan melihat komitmen manajemen dan budaya keselamatan pasien di rumah sakit.