BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kebutuhan adalah suatu keadaan yang ditandai dengan perasaan kekurangan dan ingin memperoleh sesuatu yang ingin diwujudkan dengan melakukan usaha (Asmadi,2008). Ada berbagai macam kebutuhan manusia, salah satunya adalah kebutuhan dasar, yaitu kebutuhan yang harus dipenuhi oleh manusia. Menurut Maslow (1970) ada 5 kebutuhan dasar manusia yang disusun membentuk sebuah piramida sesuai dengan tingkat kebutuhan yang disebut hirarki Maslow. Hirarki Maslow disusun dengan urutan dari dasar sampai puncak piramida yaitu dari kebutuhan fisiologis, kebutuhan keamanan, kebutuhan cinta sayang dan kepemilikan, harga diri dan kebutuhan aktualisasi diri. Pada piramida Hirarki Maslow ini digambarkan bahwa kebutuhan dasar manusia dengan tingkatan paling dibutuhkan berada pada dasar piramida. Sedangkan kebutuhan yang paling kurang dibutuhkan berada pada puncak piramida. Kebutuhan akan pemenuhan seksualitas termasuk dalam kebutuhan fisiologis yang terletak pada dasar piramida Maslow. Hal ini menunjukkan bahwa menurut Maslow, kebutuhan pemenuhan seksualitas menjadi hal yang sangat penting dalam kehidupan manusia sehingga apabila kebutuhan ini tidak dapat terpenuhi akan terjadi berbagai penyimpangan. Sebagai seorang perawat ini merupakan hal yang sangat penting yang harus diperhatikan secara holistik. Perawat disini bisa berperan sebagai seorang konselor, edukator serta praktisi
1
klinis yang bisa membantu menangani masalah dalam pemenuhan kebutuhan seksual. Oleh karena itu, bagaimanapun, kapanpun, dimanapun, kebutuhan seksualitas harus bisa terpenuhi walaupun manusia berada dalam keadaan sedang dibatasi ruang geraknya untuk melakukan aktivitas, misalnya sedang menjalani hukuman di Lembaga Pemasyarakatan. Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) adalah tempat warga binaan dalam menjalankan hukuman yang telah dijatuhkan oleh pengadilan. Dalam menjalani hukuman pada dasarnya warga binaan kehilangan akan hak-haknya seperti hak kemerdekaan bergerak, hak berpolitik maupun hak untuk menyalurkan hasrat biologis atau melakukan hubungan seksual. Kenyataan yang ada saat ini bahwa lapas diseluruh dunia menempatkan warga binaannya berdasarkan jenis kelamin. Warga binaan laki-laki dan perempuan ditempatkan dalam blok yang terpisah, atau bahkan ditempatkan dalam lapas khusus laki-laki dan perempuan. Dalam menjalani masa pidana tersebut bagi mereka yang sudah berkeluarga serta menjalani masa pidana yang cukup lama, mereka akan merasa tersiksa karena tidak dapat menyalurkan hasrat biologisnya. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Roger Waston (2004) mengenai Prison Health care : a review of the literature didapatkan tiga masalah besar yang terjadi di dalam lapas yaitu masalah mental health, communicable disease dan substance abuse. Masalah communicable disease disebabkan karena sebagian besar perilaku seksual yang menyimpang dan beresiko. Penelitian yang dilakukan oleh Struckman (2006) di penjara Midwestern menginformasikan bahwa dari 328 pria (70%) dan 51 perempuan (29%) mengalami pemaksaan seksual baik secara oral, vaginal dan anal. Dari warga
3
binaan laki-laki dilaporkan bahwa pelakunya adalah warga binaan (72%), staf (8%) dan staf kolaborasi (12%). Dari warga binaan perempuan dilaporkan pelakunya adalahwarga binaan (47%) dan staf (41%). Menurut Merotte (2012) dalam penelitian yang dilakukan di Lapas Perancis ditemukan bahwa pada warga binaan laki-laki terdapat 15% mengalami perubahan hasrat seksual dan bahkan mengalami libido dan penurunan dalam fantasi 65% melakukan masturbasi 2 kali dalam satu minggu, 7% homoseksual, 20% dengan melakukuan prostitusi, 80% pornografi untuk menciptakan fantasi dan 25% melakukan hubungan seksual diruang tunggu. Sementara untuk warga binaan perempuan tedapat 81% mengalami perubahan hasrat seksual dan 60%nya mengalami penurunan emosi, 19% lesbian, 47% menyerah dengan kenyataan atau tidak melakukan hubungan dan 25% melakukan hubungan seksual di ruang tunggu. Lapas Klas IIA Yogyakarta merupakan satu dari tiga Lapas terbesar yang berada di Provinsi Yogyakarta dengan daya tampung 404 narapidana yang saat ini dihuni oleh 22 narapidana perempuan dan 325 narapidana laki-laki. Fasilitas kesehatan yang diberikan berupa pemeriksaan gigi rutin, medical check up, dan pendidikan kesehatan. Penelitian yang dilakukan di lapas ini sebagian besar mengenai penyalahgunaan narkoba dan HIV/AIDS. Penelitian mengenai kebutuhan seksual narapidana di Lapas Klas IIA Yogyakarta itu sendiri belum pernah dilakukan. Dari uraian diatas maka penulis tertarik untuk mengetahui bagaimana warga binaan laki-laki memenuhi kebutuhan seksualnya di Lapas Klas IIA Yogyakarta, dari prespektif warga binaan laki-laki.
4
B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang tersebut, maka peneliti merumuskan masalah penelitian yaitu bagaimana cara pemenuhan kebutuhan seksual warga binaan lakilaki di Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Yogyakarta?
C. Tujuan 1. Tujuan Umum: Untuk mengetahui gambaran pemenuhan kebutuhan seksual warga binaan laki-laki di Lapas Klas IIA Yogyakarta. 2. Tujuan Khusus: a. Untuk mengetahui hasrat seksual warga binaan laki-laki di Lapas Klas IIA b. Untuk mengetahui penglihan dan penyaluran yang digunakan warga binaan selama berada di Lapas
D. Manfaat Penelitian 1.
Manfaat Teoritis:
Menambahkan khasanah ilmu kesehatan reproduksi dan ilmu keperawatan Maternitas mengenai pemenuhan kebutuhan seksual warga binaan laki-laki.
2.
Manfaat Praktis:
a. Untuk institusi: dapat memacu minat mahasiswa lain untuk melakukan penelitian mengenai kebutuhan seksual.
5
b. Untuk lapas: sebagai dasar dan bahan pertimbangan untuk melakukan penyuluhan terkait kesehatan reproduksi yang berhubungan dengan pemenuhan kebutuhan seksual warga binaan. c. Untuk perawat: sebagai dasar untuk melakukan proses asuhan keperawatan (ASKEP) dimulai dari pengkajian hingga evaluasi pada warga binaan yang mengalami masalah dalam pemenuhan kebutuhan seksual, serta dapat menambah wawasan perawat dalam memberikan konseling dan edukasi pada warga binaan.
E. Keaslian Penelitian. Sejauh penelusuran peneliti mengenai kepustakaan, terutama bahan yang dipublikasikan di Indonesia, penelitian menegenai “Gambaran Pemenuhan Kebutuhan Seksual Warga Binaan Laki-laki di Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Yogyakarta” belum pernah dilakukan. Laporan penelitian yang membahas mengenai perilaku seksual pernah dilakukan oleh: 1. Penelitian yang dilakukan Lis Susanti (2009) yang berjudul “Pola Adapatasi Seksual Narapidana Laki-laki di LP Cipinang” menggunakan metode kuantitatif dengan pemberian kuesioner. Responden yang digunakan sebanyak 100 narapidana di LP Cipinang. Variabel yang digunakan ada 2 variabel yaitu variabel bebas pemenuhan kebutuhan seksual dan variabel terikatnya pola adaptasi seksual. Hasil dari penelitian menyebutkan bahwa pola adaptasi seksual yang sering dilakukan adalah konformitas, artinya narapidana memilih untuk mengikuti program pembinaan yang dilakukan oleh lapas. Sedangkan dalam penelitian yang akan peneliti lakukan kali ini menggunkan pendekatan
6
deskriptif menggunakan metode kuantitatif dengan pemberian self report. Sampel yang digunakan berbeda yaitu di Lapas Klas IIA Yogyakarta. 2. Penelitian yang dilakukan oleh L Merotte (2012) dengan judul “Sexuality in Prison: Three Investigation Methods Analysis”. Penelitian ini dilakukan di Lembaga Pemasyarakatan Perancis dengan warga binaan laki-laki dan perempuan. Peneliti menggunakan tiga metode dalam pengumpulan data. Metode pertama dengan warga binaan laki-laki yang ditahan kurang dari 1 tahun dengan diberikan kuesionerdan mereka isi sendiri. Metode yang kedua diberikan kepada warga binaan laki-laki yang ditahan lebih dari 1 tahun, kuesioner dibacakan dan dijelaskan maksudnya kepada responden. Metode yang ketiga diberikan pada warga binaan perempuan dengan cara interview. Hasilnya warga binaan laki-laki terdapat 15% mengalami perubahan hasrat seksual dan bahkan mengalami libido dan penurunan fantasi, 65% melakukan masturbasi 2 kali dalam satu minggu, 7% homoseksual, 20% dengan melakukan prostitusi, 80% pornografi untuk menciptakan fantasi dan 25% melakukan hubungan seksual diruang tunggu. Sementara untuk warga binaan perempuan tedapat 81% mengalami perubahan hasrat seksual dan 60%-nya mengalami penurunan emosi, 19% lesbian, 47% menyerah dengan kenyataan atau tidak melakukan hubungan dan 25% melakukan hubungan seksual di ruang tunggu. Sedangkan dalam penelitian yang akan peneliti lakukan hanya menggunakan satu metode yaitu dengan pemberian self report kepada responden.