BAB 1 PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Pajak merupakan sumber utama pendapatan negara. Pada tahun 2012 penerimaan negara dari sektor pajak mencapai Rp980.520 milyar atau sekitar 73,3% dari keseluruhan penerimaan negara sebesar Rp1.338.110 milyar (LKPP, 2012). Meskipun kontribusi penerimaan pajak terhadap penerimaan negara sangat dominan, namun tax ratio di Indonesia masih tertinggal dibandingkan dengan negara yang memiliki tingkat perekonomian yang sama. Sebagai contoh, pada tahun 2012 Malaysia sudah mampu mencapai tax ratio 15,3%, sedangkan Indonesia masih pada kisaran 12,3%. Bahkan untuk negara maju seperti Denmark tax ratio sudah mencapai 34% (Worldbank, 2013). Tax ratio yang masih rendah menunjukan partisipasi dan tingkat kesadaran publik dalam membayar pajak masih rendah. Dengan kata lain, potensi penerimaan pajak masih dapat ditingkatkan lagi dengan meningkatkan partisipasi dan kesadaran publik. Dalam sistem self assesment, wajib pajak diberikan kepercayaan untuk melaksanakan kewajiban perpajakan dengan cara menghitung, memperhitungkan, menyetor, dan melaporkan sendiri pajak yang terutang. Sistem self assesment bukan berarti memberikan kepercayaan secara penuh kepada wajib pajak dalam melaksanakan hak dan kewajiban perpajakannya tanpa ada pengawasan dari pemerintah. Pemerintah, dalam hal ini Direktorat Jenderal Pajak berhak untuk
1
2
melakukan pengawasan dan penegakan hukum terhadap wajib pajak dalam melaksanakan kewajiban perpajakannya. Salah satu bentuk pengawasan dan penegakan hukum pajak terhadap wajib pajak dalam melaksanakan kewajiban perpajakannya adalah melalui pemeriksaan pajak. Sesuai dengan pasal 29 ayat (1) Undang-Undang Nomor 6 tahun 1983 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 tahun 2009 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, pemeriksaan pajak dilakukan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dan atau untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan undang-undang perpajakan. Pemeriksa pajak memiliki peran penting dalam sistem self assesment. Pemeriksa pajak diberikan wewenang untuk melakukan pengujian terhadap kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan yang dilaksanakan oleh wajib pajak. Laporan keuangan dan Surat Pemberitahuan (SPT) yang disampaikan oleh wajib pajak menjadi dasar penghitungan besarnya pajak yang terutang. Dalam sistem self assesment, laporan yang disampaikan oleh wajib pajak kepada fiskus harus dianggap benar, kecuali ada bukti lain yang menunjukan bahwa laporan tersebut tidak sesuai dengan kondisi yang sebenarnya. Pemeriksa pajak berwenang untuk membuktikan kebenaran atau ketidakbenaran laporan wajib pajak melalui tindakan pemeriksaan pajak. Kegiatan pemeriksaan pajak yang bersifat sistematis diharapkan dapat memberikan efek penggentar (deterren effect) bagi wajib pajak sehingga bisa meningkatkan kepatuhan (SE-11/PJ/2013). Meskipun pemeriksaan pajak sangat penting dalam sistem self assesment, sampai dengan saat ini pemeriksaan pajak belum optimal. Direktur Jenderal Pajak
3
mengakui bahwa program pemeriksaan yang dilakukan terhadap wajib pajak di sektor properti pada tahun 2013 dengan potensi Rp40 trilyun hanya dapat diterbitkan Surat Ketetapan Pajak sebesar Rp1 trilyun (Kontan, 22 November 2013). Pada tahun 2012, sesuai dengan SE-07/PJ/2012 tanggal 06 Maret 2012, Direktorat Jenderal Pajak menargetkan penerimaan dari kegiatan pemeriksaan pajak sebesar Rp13.300.000.000,00 (tiga belas triliun tiga ratus miliar rupiah), namun hanya dapat terealisasi sebesar Rp9.801.000.000,00 (sembilan triliun delapan ratus satu miliar rupiah). Surat Ketetapan Pajak (SKP), sebagai produk dari pemeriksaan pajak, bukan merupakan ketetapan yang bersifat final. Wajib pajak yang merasa tidak puas dengan hasil pemeriksaan pajak dapat mengajukan keberatan atau banding atas SKP yang telah diterbitkan oleh Direktorat Jenderal Pajak. Dalam proses keberatan atau banding, penelaah keberatan atau hakim pengadilan pajak akan memeriksa kebenaran formal dan material dari proses dan hasil pemeriksaan pajak. Pihak Direktorat Jenderal Pajak mengakui bahwa dalam penyelesaian sengketa pajak ditingkat banding kebanyakan dimenangkan oleh pihak wajib pajak (Kontan, 13 November 2010). Banyaknya sengketa yang dimenangkan wajib pajak menunjukan bahwa koreksi fiskal tidak didasarkan pada bukti yang kompeten dan peraturan perundang-undangan yang sesuai. Selain itu, hal tersebut juga menunjukan proses pemeriksaan pajak belum sesuai dengan tata cara pemeriksaan pajak. Hal-hal tersebut diatas perlu mendapat perhatian yang serius dari Direktorat Jenderal Pajak karena kegiatan pemeriksaan pajak merupakan bentuk
4
penegakan hukum pajak. Sebagai bentuk penegakan hukum pajak, pemeriksaan pajak diharapkan dapat memberikan efek penggentar untuk meningkatkan kepatuhan wajib pajak dan pada akhirnya meningkatkan tax ratio sehingga berimbas kepada peningkatan penerimaan negara dari sektor perpajakan. Peluang tersebut harus dioptimalkan oleh tenaga pemeriksa pajak yang saat ini berjumlah 4.242 (SIKA DJP) sebagai
ujung tombak dalam
pemeriksaan pajak.
Penelitian mengenai kualitas pemeriksaan pajak penting untuk dilakukan mengingat peranan penting pemeriksaan pajak dalam sistem self assesment yang dapat melakukan pengujian terhadap kebenaran pelaporan wajib pajak. Selain itu berdasarkan penelitian yang dilakukan Salip dan Tendy (2006) menunjukan bahwa hasil pemeriksaan pajak meningkatkan penerimaan pajak penghasilan dari setiap individu wajib pajak yang diperiksa. Pemeriksaan pajak juga berpengaruh kepada kepatuhan sukarela (voluntary compliance) wajib pajak (Niu, 2010). Chadegani (2011) merangkum berbagai penelitian tentang kualitas audit dan menyimpulkan bahwa sampai saat ini paling tidak ada 7 isu penelitian yang mendefinisikan kualitas audit dari perspektif yang berbeda. Hal ini menyebabkan proxy kualitas audit juga berbeda-beda. Ketujuh isu penelitian kualitas audit tersebut yaitu: 1) menggunakan ukuran langsung (misalnya; kesesuaian pelaporan dengan Standar Akuntansi Keuangan), atau tidak langsung dari kualitas audit (misalnya;
audit size, audit fee),
2) studi berdasarkan sumber diferensiasi,
misalnya; perbedaan kelembagaan di setiap negara, 3) studi mengandalkan pada hasil (output; opini), proses (misal; lingkungan audit, kinerja proses)
dan
masukan (misal; persepsi auditor), 4) aspek Organisasi (Big N dan Non Big N), 5)
5
perspektif perilaku dan kualitas auditor, 6) persepsi (sudut pandang) yang berbeda tentang kualitas audit (Shareholders dan Analisis), dan 7) penelitian lain. De Angelo (1981) mendefinisikan kualitas audit sebagai kemungkinan auditor menemukan kesalahan material dalam laporan keuangan klien dan melaporkannya. Kemungkinan auditor menemukan pelanggaran tergantung antara lain kepada: kemampuan teknis auditor, prosedur audit yang dijalankan, dan luasnya sampel. Sedangkan kemungkinan untuk melaporkan pelanggaran tergantung pada independensi dari auditor. Dengan demikian kualitas audit adalah produk dari kompetensi dan indepedensi (Gull et al, 2011) Menurut Moizer dalam Sutton (1993) ukuran kualitas audit mensyaratkan adanya kombinasi antara hasil (outcome) dan proses. Ukuran hasil terpusat pada meningkatnya kepercayaan pengguna laporan keuangan, dan ukuran proses berfokus pada performa kerja auditor dan kepatuhan auditor terhadap standar. Kualitas audit dalam tahap proses menurut Sutton (1993) dipengaruhi oleh faktorfaktor yang dimulai dari tahap: perencanaan (planning), pekerjaan lapangan (field work), dan administrasi akhir (final administration). Kualitas hasil (output) audit penting bagi kualitas audit karena seringkali digunakan oleh para pemangku kepentingan dalam menilai kualitas audit (Chadegani, 2011). Sebagai contoh, laporan auditor kemungkinan akan dipandang sebagai positif mempengaruhi kualitas audit jika menyampaikan hasil audit dengan jelas. Dalam lingkup pemeriksaan pajak kualitas audit hasil telah diteliti oleh Sunhaji (2013). Kualitas hasil pemeriksaan pajak pemeriksaan.
didasarkan pada beberapa indikator kinerja utama
6
Kompetensi didefinisikan sebagai kemampuan individu untuk melakukan pekerjaan atau tugas dengan baik yang meliputi seperangkat pengetahuan, keterampilan dan perilaku (Institut Internal Auditor, 2013). Dalam lingkup pemeriksaan pajak, kompetensi pemeriksa pajak diatur dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor: PER-23/PJ/2013 tanggal 11 Juni 2013, tentang Standar Pemeriksaan Pajak. Pasal 3 ayat (3) Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini menyebutkan bahwa, pemeriksa pajak harus mendapat pendidikan dan pelatihan teknis yang cukup serta memiliki keterampilan sebagai pemeriksa pajak dan menggunakan keterampilannya secara cermat dan seksama. Skeptisisme profesional didefinisikan sebagai suatu sikap yang mencakup pikiran yang mempertanyakan dan menilai secara kritis bukti audit, namun sikap skeptis tidak diartikan sebagai mengasumsikan ketidakjujuran manajerial. Sikap skeptisisme profesional auditor sangat penting dalam mendeteksi kecurangan yang dilakukan oleh klien, tanpa bersikap skeptis seorang auditor hanya akan menemukan salah saji yang disebabkan oleh kekeliruan saja, bukan yang disebabkan oleh fraud (Noviyanti, 2008 dan Nasution dan Fitriani, 2012). Menurut Noviyanti (2008), salah saji yang disebabkan oleh fraud biasanya akan disembunyikan oleh pelaku. Sikap skeptis akan mendorong pemeriksa pajak selalu mempertanyakan bukti yang diajukan wajib pajak dalam pemeriksaan, sehingga pemeriksa pajak dapat menemukan adanya pelanggaran dalam laporan wajib pajak. Pemeriksaan pajak dibatasi dengan adanya jangka waktu penyelesaian pemeriksaan sesuai dengan standar pemeriksaan pajak. Tekanan waktu jatuh
7
tempo terjadi ketika auditor dipaksa untuk menyelesaikan tugas audit dari total waktu yang tersedia sebelum waktu jatuh tempo (deadline) tercapai. Penelitian yang dilakukan Margheim et al (2005) menyimpulkan bahwa peningkatan tekanan anggaran waktu dan tekanan waktu jatuh tempo menyebabkan meningkatnya persepsi stres auditor, dan perilaku difungsional auditor yang dapat mengurangi kualitas audit. Penelitian ini mengacu pada penelitian sebelumnya yang telah dilakukan oleh Suyani (2009), dan menambahkan variabel skeptisisme profesional. Penambahan variabel skeptisisme berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Noviyanti (2008) yang meneliti pengaruh tipe kepribadian terhadap skeptisisme dan kemampuan mendeteksi kecurangan. Variabel Skeptisisme profesional menurut pengetahuan peneliti belum pernah diteliti dalam lingkup pemeriksaan pajak. Selain itu peneliti juga menambahkan dimensi kualitas hasil pemeriksaan pajak yang digunakan dalam penelitian Sunhaji (2013). Penambahan dimensi kualitas hasil pemeriksaan pajak penting karena hasil pemeriksaan pajak menjadi dasar penilaian bagi indikator kinerja utama kegiatan pemeriksaan dalam penilaian kinerja baik di level individu pemeriksa pajak maupun level organisasi Direktorat Jenderal Pajak. Sampel yang digunakan dalam penelitian ini yaitu pemeriksa pajak pada kantor pelayanan pajak di lingkungan Kanwil DJP Jawa Timur III, sedangkan penelitian sebelumnya mengambil sampel di Kanwil DJP Jawa Timur I dan Kanwil DJP Jakarta Khusus.
8
1.2.
Rumusan Masalah Pemeriksaan pajak kurang optimal, ini terbukti dari belum tercapainya
target penerimaan dari kegiatan pemeriksaan pajak serta masih banyak gugatan di pengadilan pajak yang dimenangkan oleh pihak wajib pajak. Salah satu faktor yang perlu mendapatkan perhatian adalah masalah kualitas pemeriksaan pajak. Berdasarkan hasil penelitian yang telah diuraikan sebelumnya kualitas pemeriksaan dipengaruhi oleh faktor kompetensi auditor, skeptisme profesional, dan tekanan waktu. Penelitian ini ingin mencari bukti apakah hasil penelitian tersebut juga berlaku dalam lingkup pemeriksaan pajak. 1.3.
Pertanyaan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah tersebut di atas, pertanyaan dalam
penelitian ini adalah: 1.
Apakah kompetensi berpengaruh terhadap kualitas pemeriksaan pajak?
2.
Apakah skeptisisme profesional berpegaruh terhadap kualitas pemeriksaan pajak?
3.
Apakah tekanan waktu berpengaruh negatif terhadap kualitas pemeriksaan pajak?
1.4.
Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk:
1.
Mengkaji secara empiris pengaruh kompetensi, skeptisisme profesional dan tekanan waktu terhadap kualitas pemeriksaan pajak.
1.5.
Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut:
9
1.
Bagi Direktorat Jenderal Pajak, penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan mengenai pengaruh kompetensi, skeptisisme profesional, dan tekanan waktu terhadap kualitas pemeriksaan pajak sehingga dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan bagi perumusan kebijakan tentang pemeriksaan pajak.
2.
Bagi pemeriksa pajak, penelitian ini diaharapkan dapat memberikan bukti empiris tentang variabel kompetensi, skeptisisme profesional, dan tekanan waktu terhadap kualitas pemeriksaan pajak sehingga dapat merumuskan langkah yang akan dilakukan untuk meningkatkan kualitas pemeriksaan pajak.
3.
Bagi dunia akademis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan bukti empiris pengaruh kompetensi, skeptisisme profesional dan tekanan waktu terhadap kualitas pemeriksaan pajak.
1.6.
Sistematika Penulisan Sistematika penulisan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
BAB I : PENDAHULUAN Bab ini meliputi latar belakang, rumusan masalah, pertanyaan penelitian, tujuan penelitian, motivasi penelitian, manfaat penelitian dan sistematika penulisan. BAB II : TINJAUAN LITERATUR Bab ini membahas tinjauan literatur, penelitian terdahulu, kerangka pemikiran, dan pengembangan hipotesis. BAB III : METODA PENELITIAN
10
Bab ini berisi tentang jenis dan metoda penelitian, populasi dan sampel, jenis dan teknik pengumpulan data, variabel penelitian, serta metoda analisis data. BAB IV : HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Hasil penelitian dan pembahasan terdiri dari hasil analisis data dan interpretasi hasil pengolahan data yang dilakukan, serta membahas deskriptif uji statistik pembuktian hipotesis berdasarkan data yabg telah diperoleh. BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN Bab ini berisi kesimpulan yang diperoleh dari hasil analisis data yang telah dilakukan, implikasi penelitian, keterbatasan, dan saran-saran yang diajukan untuk penelitian selanjutnya.