BAB 1
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Masalah Reformasi tahun 1998 merupakan tonggak dimulainya era demokrasi di
Indonesia dengan jatuhnya rezim orde baru yang telah berkuasa di Negara ini
selama 32 tahun. Negara yang sebelumnya terkungkung dalam pemerintahan yang tertutup dan otoriter akhirnya bisa merasakan angin kebebasan. Ditandai dengan diberlakukannya UU no. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah dan UU nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah yang berdasarkan UU tersebut dilaksanakan penerapan otonomi daerah yang berarti diserahkannya kewenangan pemerintah pusat kepada pemerintahan daerah mengenai seluruh pengelolaan ataupun pemanfaatan potensipotensi yang ada di setiap daerah. Menurut Undang-undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, Otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Berarti, setiap daerah diberikan hak dalam mengeksplorasi dan melakukan pengelolaan baik itu dari segi kebijakan, pelayanan umum, pemanfaatan sumber daya alam, ataupun keuangannya asalkan tetap mengacu pada peraturan yang berlaku.
2
Pengelolaan keuangan merupakan suatu hal yang menjadi wewenang
sekaligus kewajiban pemerintah daerah dalam melakukan tugasnya. Dalam
penyelenggaraan kegiatan pemerintah tersebut, pemerintah berpedoman pada
Asas Penyelenggaraan Pemerintahan, yaitu asas kepastian hukum, asas tertib
penyelenggara Negara, asas kepentingan umum, asas keterbukaan, asas proporsionalitas, asas profesionalitas, asas akuntabilitas, asas efisiensi, asas efektivitas yang tertulis dalam UU no 32 tahun 2004. Dengan begitu, pengelolaan
keuangan daerah juga harus berpedoman pada prinsip-prinsip tersebut. Dalam pelaksanaannya, pengelolaan keuangan daerah diatur dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri nomor 13 tahun 2006 yang meliputi kekuasaan pengelolaan keuangan daerah, azas umum dan struktur APBD, penyusunan rancangan APBD, penetapan APBD, penyusunan dan penetapan APBD bagi daerah yang belum memiliki DPRD, pelaksanaan APBD, perubahan APBD, pengelolaan kas, penatausahaan keuangan daerah, akuntansi keuangan daerah, pertanggungjawaban
pelaksanaan
APBD,
pembinaan
dan
pengawasan
pengelolaan keuangan daerah, kerugian daerah, dan pengelolaan keuangan BLUD. Setiap tahap dalam pengelolaan keuangan daerah tersebut harus dilakukan dengan baik agar pemerintah dapat mempertanggung- jawabkannya kepada masyarakat sebagai bentuk dalam mewujudkan akuntabilitas dan transparansi yang tertera dalam prinsip tata kelola pemerintahan yang baik atau biasa disebut dengan prinsip good government. Mardiasmo (2002) menyebutkan bahwa
(agent) untuk memberikan pertanggungjawaban, menyajikan melaporkan,dan mengungkapkan segala aktivitas dan kegiatan yang menjadi tanggungjawabnya kepada pihak pemberi amanah (principal)
3
yang memiliki hak dan pertanggungjawaban tersebut
kewenangan
untuk
meminta
Sedangkan Transparansi Menurut Hadi Sumarsono (2003)
kebijakan kebijakan keuangan daerah, sehingga dapat diketahui dan diawasi oleh DPRD dan masyarakat. Transparansi pengelolaan keuangan daerah pada akhirnya akan menciptakan horizontal accountability antara pemerintah daerah dengan masyarakatnya, sehingga tercipta Pemerintah Daerah yang bersih, efektif, efisien, akuntabel dan responsip terhadap aspirasi dan kepentingan
Salah satu dari tahap tersebut ialah tahap penatausahaan keuangan daerah, tahap ini harus dilaksanakan dengan baik dan sesuai dengan peraturan yang berlaku karena penatausahaan dapat menjadi sumber dalam menciptakan informasi yang nantinya akan dibutuhkan dalam pembuatan laporan keuangan. Menurut H.M.Munsin,Msi Asisten III Pemprov Kalbar yang dilansir oleh radaronline.com 23 Desember 2010, dalam pengelolaan keuangan daerah, terdapat 2 tahapan penting yang perlu diperhatikan, yaitu tahapan pelaksanaan penatausahaan keuangan daerah dan akuntansi keuangan daerah. Tahapan pelaksanaan dan penatausahaan keuangan daerah adalah tahapan untuk menentukan apakah pengelolaan APBD telah diselenggarakan dengan baik atau tidak berdasarkan sistem pengendalian intern yang memadai sehingga pada tahapan ini akan menentukan arah selanjutnya dalam proses pengelolaan keuangan di setiap SKPD. Sedangkan tahap akuntansi keuangan merupakan hasil
4
(output) berupa laporan keuangan yang terdiri dari neraca, laporan realisasi anggaran, dan catatan atas laporan keuangan.
Dalam setiap kegiatan yang dilaksanakan oleh pemerintah harus dilakukan
pengendalian agar kegiatan tersebut dapat lebih terarah dan memastikan bahwa
strategi yang dijalankan telah ekonomis efektif dan efisien dalam mencapai tujuan pemerintah. Pengendalian secara umum berarti upaya yang dilakukan manajemen
agar kegiatan yang dilakukan tidak menyimpang dari tujuan yang telah ditetapkan.
Sedangkan menurut Welsch,et.al., yang diterjemahkan oleh Purwatiningsih (2000: 14) mengatakan bahwa
terciptanya kinerja yang efektif yang memungkinkan tercapainya tujuan
Kas Umum Daerah). Ahmad Ridwan (2007) menyebutkan bahwa risiko
kehilangan sangat besar sehingga diperlukan pengendalian yang cukup memadai sehingga bisa menjamin kehandalan pengamanan aset daerah yang berupa kas Penatausahaan dapat menjadi suatu bentuk pengendalian keuangan yang
efektif, karena dengan penatausahaan setiap pengeluaran atau belanja yang dilakukan pemerintah dapat tersaji dengan rinci dan jelas. Selain itu didalam penatausahaan terdapat proses verifikasi yang dapat menyaring pengajuan belanja yang tidak layak karena tidak sesuai dengan DPA-SKPD ataupun karena tidak memenuhi persyaratan yang diberikan. Setiap daerah di Indonesia yang melaksanakan pengelolaan keuangan melakukan penatausahaan, tidak terkecuali Pemerintah Provinsi Jawa Barat. Penatausahaan pada pengelolaan keuangan daerah di Provinsi Jawa Barat
5
dilakukan pada Biro Keuangan Sekretariat Daerah Bagian Perbendaharaan. Bagian ini melakukan penatausahaan belanja yang dibagi menjadi tiga sub bagian,
yaitu sub bagian belanja pegawai, sub bagian belanja program dan sub bagian
belanja non program. Menurut bapak Edwin Gumilang selaku bendahara
pengeluaran bantuan sosial biro keuangan Pemerintah Provinsi Jawa Barat, terdapat beberapa permasalahan yang muncul dalam penatausahaan belanja Pemerintah Daerah Provinsi Jawa Barat yang pertama ialah kegiatan yang daerah
tidak segera dilakukan sesuai jadwal dan anggaran kas yang telah ditetapkan, sehingga berpotensi menyebabkan program pemerintah dalam hal ini adalah pemerintah provinsi Jawa Barat dan/atau pelayanan kepada masyarakat tidak dapat terlaksana secara tepat. Selain itu masalah penundaan pencairan dana untuk belanja modal dan belanja barang/jasa menyebabkan fungsi stimulus fiskal dan multiplier effect dari belanja Pemerintah Provinsi Jawa Barat terhadap aktivitas perekonomian masyarakat tidak optimal. Dan yang terakhir adalah masalah penumpukan tagihan kepada biro keuangan pada akhir bulan berjalan dan/atau akhir tahun menyebabkan beban yang berat terhadap penyediaan uang/kas, sehingga dapat memungkinkan terjadinya kas mismatch. Belanja non program atau belanja tidak langsung berdasarkan Rancangan Anggaran Pendapatan Dan Belanja Daerah Provinsi Jawa Barat Tahun Anggaran 2007 merupakan belanja yang tidak terkait langsung dengan kegiatan yang dilaksanakan dan sukar diukur dengan capaian prestasi kerja yang ditetapkan. Adapun yang termasuk dalam belanja tidak langsung adalah belanja pegawai, bunga, subsidi, hibah, bantuan sosial, belanja bagi hasil, bantuan keuangan dan
6
belanja tidak terduga. Saat ini belanja non program atau belanja tidak langsung sering menjadi sorotan masyarakat karena banyaknya kasus-kasus korupsi yang
muncul berkenaan dengan belanja tidak langsung terutama terkait masalah belanja
bantuan sosial. Menurut Direktur Jenderal Perbendaharaan Agus Suprijanto dalam
sosialisasi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 71 Tahun 2010 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan (SAP) dan Buletin Teknis Nomor 10 Tentang Akuntansi Belanja Bantuan Sosial, 12 Juli 2011 yang bersumber dari perbendaharaan.go.id,
belanja tidak langsung dalam hal ini adalah belanja bantuan sosial seringkali terjadi permasalahan terutama yang terkait belanja bantuan sosial baik dalam penganggaran, pelaksanaan, maupun pertanggungjawabannya yang tidak sesuai ketentuan. Hal ini disebabkan antara lain karena adanya kecenderungan kementerian/ lembaga dan pemda untuk memperbesar belanja bantuan sosial padahal tidak terkait dengan risiko sosial serta kekurangjelasan aturan yang mendasarinya. Selain itu, Menurut salah seorang anggota BPK Rizal Djalil dalam hukumonline.com tanggal 28 Maret 2012, terdapat dugaan korupsi atas dana bansos di Pemerintah Provinsi Jawa Barat dengan nilai kerugian Rp165,4 miliar. Dan diantaranya ialah dugaan korupsi yang dilakukan Pemerintah Kota Bandung. Menurut Hasil Audit BPK Perwakilan Provinsi Jawa Barat seperti yang dilansir oleh Transaktual.com, belanja bantuan sosial dianggarkan pada APBD Kota Bandung Tahun 2010 sebesar Rp 80.218.272.441,- dan sudah di realisasikan sebesar Rp 79.607.119.939. Belanja bantun sosial tersebut dianggarkan melalui belanja Sekretaris Daerah Non Bagian yang antara lain dipergunakan untuk
7
bantuan kepada kelompok / anggota masyarakat dan partai politik. Untuk meningkatkan efisiensi, efektivitas, transparansi, partisipasi, dan akuntabilitas
pengelolaan hibah dan bantuan sosial, Pemerintah Kota Bandung telah
menerbitkan Peraturan Walikota Nomor 107 Tahun 2010. Hasil pemeriksaan atas
register SP2D ( Surat Perintah Pencairan Dana ) bukti pertanggungjawaban belanja bantuan sosial serta konfirmasi kepada penerima pencairan SP2D, bantuan di ketahui bahwa prosedur pencairan belanja bantuan sosial sebesar Rp sosial
40.919.000.000,- tidak sesuai dengan ketentuan.
Hal tersebut diketahui dari
Pengajuan bantuan sosial tidak di lampiri dengan proposal, mekanisme pencairan bantuan sosial tidak sesuai ketentuan dan pertanggungjawaban belanja bantuan sosial tidak memadai. Pengendalian keuangan perlu dilakukan salah satunya ialah untuk menghindari permasalahan seperti ini. Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka dilakukan penelitian sebagai tugas akhir dengan judul
PENATAUSAHAAN
BELANJA DAERAH TERHADAP EFEKTIVITAS PENGENDALIAN KEUANGAN (STUDI KASUS DI PEMERINTAH PROVINSI JAWA BARAT)
8
1.2
Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka perumusan masalah
dalam penelitian ini adalah bagaimana pengaruh penatausahaan belanja daerah
terhadap Efektivitas Pengendalian Keuangan di Pemerintah Provinsi Jawa Barat.
1.3
Batasan Masalah
Karena keterbatasan waktu peneliti membatasi beberapa hal untuk
memfokuskan penelitian ini. Batasan ini dilakukan agar penelitian tidak menyimpang dari arah dan tujuan serta dapat diketahui sejauh mana hasil penelitian dapat dimanfaatkan. Batasan-batasan tersebut adalah: 1.
Penelitian dilakukan pada instansi yang mengelola masalah penatausahaan belanja daerah di provinsi Jawa Barat yaitu Bagian Perbendaharaan Biro Keuangan Sekretariat Daerah Provinsi Jawa Barat.
2.
Penelitian dibatasi pada Penatausahaan Belanja Daerah di provinsi Jawa Barat.
1.4
Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah Penatausahaan Belanja daerah memiliki pengaruh yang signifikan terhadap Efektifitas Pengendalian Keuangan
9
Manfaat Penelitian
1.5
1.
Sedangkan manfaat dari penelitian ini antara lain: Bagi Peneliti
Menambah ilmu pengetahuan, wawasan serta pemahaman peneliti
mengenai penatausahaan belanja dan pengaruhnya terhadap efektifitas
2.
pengendalian keuangan. Bagi Satuan Kerja Perangkat Daerah Peneliti berharap hasil penelitian ini dapat menjadi bahan pertimbangan dalam melakukan penatausahaan belanja daerah agar tetap sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan mengurangi tingkat ketidakefisienan dan ketidakefektifan didalam entitas yang bersangkutan.
3.
Bagi Ilmu Pengetahuan Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan wacana mengenai pengaruh penatausahaan belanja daerah pada suatu entitas pemerintahan.
4.
Bagi Peneliti Selanjutnya Peneliti berharap hasil penelitian ini dapat dijadikan bahan acuan bagi peneliti selanjutnya yang ingin meneliti dalam bidang kajian yang sama.