II.
TINJAUAN PUSTAKA
A. KACANG SALUT Kacang salut merupakan makanan ringan berupa kacang tanah yang dibalut dengan adonan tepung kemudian digoreng dengan suhu tertentu sampai kacang tanahnya matang dan balutan tepungnya renyah (Wati, 2007). Kacang salut memiliki berbagai macam varian bentuk dan rasa. Di Indonesia, kacang salut sering dikenal dengan sebutan kacang atom. Kacang atom adalah kacang tanah yang dibalut dengan adonan tapioka kemudian digoreng sampai kering dan garing (Hasbullah, 2001). Citarasa kacang salut berasal dari penggunaan bumbu. Bumbu yang lazim digunakan antara lain garam, bawang putih, penyedap rasa dan gula. Bumbu-bumbu tersebut dimasukkan pada saat pembuatan adonan bumbu yang merupakan campuran bumbu, tepung, dan air. Proses pembuatan kacang salut cukup sederhana. Pertama, lem dibuat terlebih dahulu dengan mencampurkan tapioka dengan air, lalu dimasak sampai agak matang dan dicampurkan dengan bumbu-bumbu yang terdiri dari bawang, garam, dan bumbu lainnya. Kacang tanah dicampur dengan sedikit lem berbumbu dan diaduk hingga semua kacang terbalut oleh lapisan tipis lem berbumbu. Sedikit tapioka dan kacang tanah yang telah dilapisi lemberbumbu tersebut dimasukkan ke dalam
mesin coating pan yang sedang berputar.
Setelah semua tapioka melapisi kacang, kemudian dimasukkan sedikit lem. Setelah semua lem melapisi kacang, dimasukkan lagi tapioka. Demikian dilakukan seterusnya sampai lapisan dianggap sudah mencukupi tebal tertentu. Hasil yang diperoleh disebut dengan kacang atom mentah. Kacang atom mentah digoreng di dalam banyak minyak panas (suhu 170°C) sambil diaduk pelan-pelan sampai matang (Hasbullah, 2001).
B. TEKSTUR PRODUK FRIED SNACK Penerimaan konsumen terhadap suatu produk dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor organoleptik seperti tekstur, rasa, warna, dan aroma. Tekstur merupakan salah satu parameter yang sering digunakan dalam menganalisis produk pangan. Terdapat beberapa jenis parameter tekstur yang penting dan
sering digunakan yaitu kekerasan, kekenyalan, elastisitas, kelengketan, kerenyahan, kerapuhan dan sebagainya yang dapat diidentifikasi dengan indera manusia. Pada produk fried snack, seperti kacang salut, parameter tekstur yang penting yaitu kerenyahan. Produk kacang salut termasuk ke dalam golongan produk berbasis pati. Pembentukan tekstur penyalut pada produk berbasis pati terjadi selama pengolahannya. Menurut Balagopalan et al. (1988), tekstur pada produk berbahan dasar pati diperoleh dari hasil perubahan pati selama dan setelah pemasakan. Pengolahan dari bahan berpati dapat dibagi menjadi beberapa tahapan yaitu bahan-bahan dicampur, diaduk, dan disiapkan. Variabel proses dari operasi pencampuran adalah kombinasi dari suhu, shear/stress, waktu, dan komposisi bahan. Bahan mentah dihidrasi dan komponen-komponen berinteraksi dalam pembentukan struktur. Struktur dapat dibentuk oleh beberapa pendekatan yang berbeda (Rosenthal, 1999). Karakteristik tepung tapioka yang digunakan sebagai bahan penyalut pada kacang salut mempengaruhi kerenyahan pada produk akhirnya. Menurut Matz (1992), tingkat pengembangan dan tekstur dari makanan ringan (snack) dipengaruhi oleh rasio amilosa dan amilopektin. Pati yang memiliki kandungan amilopektin tinggi cenderung memberikan karakter produk yang fragile (mudah pecah), sedangkan amilosa akan memberikan tekstur yang lebih tahan terhadap kemudahan untuk pecah. Rasio amilosa dan amilopektin tertentu akan menghasilkan tingkat kerenyahan yang optimal pada tekstur produk. Kerenyahan produk kacang salut juga berkaitan dengan tingkat pengembangan produk tersebut. Rahman (2007) melaporkan bahwa adanya korelasi positif dan nyata antara tingkat pengembangan papatan dengan skor kerenyahan penyalut produk kacang salut, sehingga dapat disimpulkan bahwa semakin tinggi tingkat pengembangan papatan, maka kerenyahan penyalut pada produk kacang salut akan semakin tinggi. Perubahan struktural pada tekstur produk snack timbul pada tingkat mikroskopik. Perubahan ini melibatkan peleburan biopolimer atau gelatinisasi pati secara spesifik, denaturasi protein, dan pembentukan kompleks dari komponen fungsional utama tersebut, serta dengan gula dan lemak. Perubahan
ini juga disertai dengan sifat reologi. Penguapan air dan pengembangan termal dari gas yang terperangkap juga terjadi selama proses. Interaksi matriks dan proses pelepasan gas adalah kompleks, tetapi penting untuk struktur produk (Rosenthal, 1999). Kerenyahan kacang salut dapat dianalisis secara obyektif dengan menggunakan instrumen Texture Analyser dan secara subyektif menggunakan indera manusia (uji organoleptik). Indera manusia dapat merasakan kerenyahan produk snack yang sebenarnya berkaitan dengan sifat kerapuhan (fracturability) produk akibat gaya tekan. Analisis secara obyektif ditentukan dengan melihat gaya (force) pada puncak pertama di mana sampel mulai berubah bentuk (Faridah et al., 2009). Menurut Anonim (2005) diacu dalam Rahman (2007), untuk mengukur kerenyahan tidak hanya dilihat dari gaya (force) untuk mendeformasi sampel tetapi juga dilihat jarak saat gaya mulai menekan sampel (distance). Jika hasil pengukuran sampel memiliki gaya yang sama dengan jarak yang berbeda-beda, maka sampel yang paling renyah adalah sampel dengan jarak yang terdekat. Sebaliknya, jika hasil pengukuran sampel memiliki jarak yang sama, dengan gaya yang berbeda-beda, maka sampel yang paling renyah adalah sampel dengan gaya terendah. Untuk membandingkan kerenyahan antara dua sampel yang memiliki gaya dan jarak yang berbeda, uji organoleptik dapat digunakan untuk mengetahui sampel yang memiliki kerenyahan lebih tinggi.
C. PATI 1. Granula Pati Pati merupakan polisakarida yang dibentuk dari sejumlah molekul glukosa dengan ikatan α-glikosidik. Oleh karena itu, pati dapat disebut sebagai karbohidrat kompleks (Brithis Nutrition Foundation, 2005). Pati terdiri dari butiran-butiran kecil yang disebut granula. Winarno (2002) menyatakan bahwa granula pati mempunyai sifat merefleksikan cahaya terpolarisasi, sehingga di bawah mikroskop terlihat kristal hitam putih. Sifat inilah yang disebut birefringent. Pada saat granula mulai pecah, sifat birefringent ini akan menghilang. Granula pati tidak larut dalam air dingin
tetapi akan mengembang dalam air panas atau hangat (Greenwood, 1979). Pengembangan granula pati tersebut bersifat bolak-balik jika tidak melewati suhu gelatinisasi dan menjadi tidak bolak-balik jika telah mencapai suhu gelatinisasi. Secara alami granula pati bersifat semi kristal yang terdiri dari bagian kristal dan bagian amorpus. Level kristalisasi pada pati bervariasi tergantung dari sumbernya. Bagian kristal pada granula pati dipengaruhi oleh komponen amilopektin sedangkan bagian amorpus dipengaruhi oleh komponen amilosa (Zobel,1988). Bagian amorpus tidak tahan terhadap serangan enzim dan asam. Granula pati dari tanaman yang berbeda memiliki karakteristik ukuran dan bentuk yang berbeda (Charley, 1982). Menurut Whister dan Bemiller (1997), struktur granula pati berbeda antara sereal, terigu, jagung dan umbi-umbian.
2. Amilosa dan Amilopektin Granula pati terdiri dari dua fraksi yang dapat dipisahkan dengan air panas. Fraksi terlarut disebut amilosa dan fraksi yang tidak terlarut disebut amilopektin (Winarno, 2002). Misela merupakan bagian molekul linier yang berikatan dengan rantai molekul terluar molekul cabang (Pomeranz, 1991). Ikatan ini terjadi apabila bagian-bagian linier molekul pati berada paralel satu sama lain, sehingga gaya ikatan hidrogen akan menarik rantai ini bersatu (Swinkels, 1985). Di antara misela terdapat daerah yang renggang atau amorf (Pomeranz, 1991). Daerah amorf ini kurang padat, sehingga mudah dimasuki air. Amilosa tersusun dari molekul D-glukopiranosa yang berikatan α(1,4) dalam struktur rantai lurus. Molekul amilosa lengkap dapat terdiri dari 3000 unit D-glukopiranosa. Panjang polimer dipengaruhi oleh sumber pati dan akan mempengaruhi berat molekul amilosa. Menurut Taggart (2004), amilosa memiliki kemampuan membentuk kristal karena struktur rantai polimernya yang sederhana. Strukturnya yang sederhana ini dapat membentuk interaksi molekular yang kuat. Interaksi ini terjadi pada gugus
hidroksil molekul amilosa. Pembentukan ikatan hidrogen ini lebih mudah terjadi pada amilosa daripada amilopektin. Struktur amilosa dapat dilihat pada Gambar 1.
Gambar 1. Struktur amilosa (Chaplin, 2006) Amilopektin terdiri dari molekul D-glukosa yang berikatan α-(1,4) dan mengandung ikatan α-(1,6) pada percabangan rantainya. Ikatan ini menyebabkan
penampilan
molekul
amilopektin
bercabang-cabang,
biasanya terdiri dari 24-30 unit D-glukosa berada di titik percabangan amilopektin (Wilbrahan dan Matta, 1992). Amilopektin juga dapat membentuk kristal, tetapi tidak sereaktif amilosa. Hal ini terjadi karena adanya rantai percabangan yang menghalangi terbentuknya kristal (Taggart, 2004). Struktur amilopektin dapat dilihat pada Gambar 2.
Gambar 2. Struktur amilopektin (Chaplin, 2006)
3. Daya Pengembangan (Swelling Power) dan Kelarutan Pati Bila pati dimasukkan ke dalam air dingin, granula pati akan menyerap air dan membengkak. Namun demikian, jumlah air yang terserap dan pembengkakannya terbatas hanya mencapai 30% (Winarno, 2002). Ketika molekul pati dipanaskan dalam air, struktur kristalin rusak dan molekul air akan terikat oleh ikatan hidrogen pada gugus hidroksil amilosa dan amilopektin yang menyebabkan pengembangan dan kelarutan pada granula. Perbedaan nilai daya pengembangan dan kelarutan pada beberapa macam pati dari sumber yang berbeda disebabkan oleh perbedaan struktur morfologi pada granula pati (Singh et al., 2002). Menurut Balagopalan et. al. (1988), daya pengembangan merupakan pertambahan volume dan berat maksimum yang dialami pati dalam air. Pengembangan terjadi pada daerah amorf granula pati. Ikatan hidrogen yang lemah antar molekul pati pada daerah amorf akan terputus saat pemanasan, sehingga terjadi hidrasi air oleh granula pati. Granula pati akan terus mengembang, sehingga viskositas meningkat hingga volume hidrasi maksimum yang dapat dicapai oleh granula pati (Swinkels, 1985). Faktor-faktor seperti rasio amilosa-amilopektin, distribusi berat molekul dan panjang rantai, serta derajat percabangan dan konformasinya menentukan daya pengembangan dan kelarutan pati (Moorthy, 2004). Pengembangan granula pati merupakan sifat yang dipengaruhi oleh amilopektin (Li dan Yeh, 2001). Proporsi yang tinggi pada rantai cabang amilopektin memiliki kontribusi dalam peningkatan nilai pengembangan. Selain itu, terdapat korelasi yang negatif antara daya pengembangan pati dengan kadar amilosa (Sasaki dan Matsuki, 1998 diacu dalam Li dan Yeh, 2001). Amilosa dapat membentuk kompleks dengan lipida pada pati sehingga dapat menghambat pengembangan granula (Charles et al. 2005). Kandungan
protein
dan
monogliserida
menghambat
tingkat
pengembangan pada granula pati (Wang dan Seib, 1996; Roach dan Hoseney, 1995 diacu dalam Li dan Yeh, 2001).
Menurut Pomeranz (1991), daya pengembangan pati dapat diukur pada interval suhu 5°C pada kisaran suhu gelatinisasi sampai 100°C. Sementara itu, Li dan Yeh (2001) mengukur daya pengembangan dan kelarutan pati dengan interval 10°C yaitu pada suhu 55°C, 65°C, 75°C, 85°C, dan 95°C. Pengukuran daya pengembangan pati dapat dilakukan dengan membuat suspensi pati dalam botol sentrifusa lalu dipanaskan selama 30 menit pada suhu yang telah ditentukan. Kemudian bagian yang cair (supernatan) dipisahkan dari endapan. Daya pengembangan diukur sebagai berat pati yang mengembang (endapan) per berat pati kering. Ketika pati dipanaskan dalam air, sebagian molekul amilosa akan keluar dari granula pati dan larut dalam air. Persentase pati yang larut dalam air ini dapat diukur dengan mengeringkan supernatan yang dihasilkan saat pengukuran daya pengembangan. Menurut Fleche (1985), ketika molekul pati sudah benar-benar terhidrasi, molekul-molekulnya mulai menyebar ke media yang ada di luarnya dan yang pertama keluar adalah molekul-molekul amilosa yang memiliki rantai pendek. Selama pemanasan akan terjadi pemecahan granula pati, sehingga pati dengan kadar amilosa lebih tinggi, granulanya akan lebih banyak mengeluarkan amilosa (Mulyandari, 1992). Semakin tinggi suhu maka semakin banyak molekul pati yang akan keluar dari granula pati. Menurut Pomeranz (1991), kelarutan pati semakin tinggi dengan meningkatnya suhu, serta kecepatan peningkatan kelarutan adalah khas untuk tiap pati.
4. Gelatinisasi Pati Pomeranz (1991) menyatakan bahwa gelatinisasi merupakan proses pembengkakan granula pati ketika dipanaskan dalam media air. Gelatinisasi diawali dengan pembengkakan granula, bersifat irreversible (tidak dapat kembali), dipengaruhi oleh suhu dan kadar air, menghasilkan peningkatan viskositas, serta dipengaruhi oleh kondisi pemanasan dan tipe granula pati (Huang dan Rooney, 2001). Moorthy (2004) menyatakan bahwa gelatinisasi merupakan fenomena kompleks yang bergantung dari ukuran granula, persentase
amilosa, bobot molekul, dan derajat kristalisasi dari molekul pati di dalam granula. Pada umumnya granula yang kecil membentuk gel lebih lambat sehingga mempunyai suhu gelatinisasi yang lebih tinggi daripada granula yang besar. Makin besar bobot molekul dan derajat kristalisasi dari granula pati, pembentukkan gel semakin lambat. Proses gelatinisasi melibatkan peristiwa-peristiwa sebagai berikut: (1) hidrasi dan swelling (pengembangan) granula; (2) hilangnya sifat birefringent; (3) peningkatan kejernihan; (4) peningkatan konsistensi dan pencapaian viskositas puncak; (5) pemutusan molekul-molekul linier dan penyebarannya dari granula yang telah pecah. Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi proses gelatinisasi pati diantaranya yaitu konsentrasi larutan pati, pH, dan karakteristik granula pati. Menurut Winarno (2002), Makin kental larutan, suhu gelatinisasi makin sulit tercapai dan bila pH terlalu tinggi, pembentukan gel semakin cepat tercapai tetapi cepat turun lagi. Pembentukan gel optimum pada pH 4-7. Selain itu, penambahan gula juga berpengaruh terhadap kekentalan gel yang terbentuk. Gula akan menurunkan kekentalan, hal ini disebabkan karena gula dapat mengikat air, sehingga pembengkakan butir-butir pati menjadi lebih lambat, akibatnya suhu gelatinisasi akan lebih tinggi. Adanya gula akan menyebabkan gel lebih tahan terhadap kerusakan mekanik. Sedangkan Charles et al. (2005) melaporkan bahwa suhu gelatinisasi dipengaruhi oleh kadar amilosa. Salah satu metode yang dapat digunakan untuk melihat sifat gelatinisasi pati yaitu dengan melihat profil gelatinisasinya. Profil gelatinisasi dapat ditentukan dengan menggunakan alat Brabender Amilograph. Brabender Amilograph merupakan alat viscometer yang dirancang untuk dapat mengukur viskositas pasta pati secara kontinu selama pemanasan dan pendinginan (Wurzburg, 1989). Beberapa sifat anilografi yang dapat diperoleh yaitu diantaranya, waktu gelatinisasi, suhu gelatinisasi, waktu granula pecah, viskositas puncak, suhu granula pecah, viskositas pada suhu 95°C, viskositas pada suhu 95°C setelah holding, viskositas breakdown, kestabilan viskositas pasta selama pemanasan,
viskositas pada suhu 50°C, viskositas setback, dan kestabilan viskositas pasta terhadap proses pengadukan.
D. TAPIOKA 1. Proses Pembuatan Tapioka Pabrik pembuatan tapioka digolongkan dalam tiga tipe, yaitu pabrik tradisional (kecil), semimodern (medium), dan modern (besar). Menurut Radley (1976), pada pabrik kecil pembuatan tapioka dilakukan oleh sebuah keluarga secara tradisional dan dapat memproduksi tapioka maksimal 200 kg per hari. Sedangkan pabrik medium menggunakan peralatan yang lebih efisien dan memproduksi 5000 kg per hari. Sementara itu, pabrik besar mampu memproduksi 40.000 kg tapioka kering per hari serta menggunakan singkong dengan varietas tertentu untuk mengontrol kualitas tapioka yang diproduksi. Jadi perbedaan diantara ketiga tipe pabrik tapioka tersebut diantaranya adalah peralatan yang digunakan, kapasitas produksi, dan kualitas tapioka yang dihasilkan. Secara umum, proses pembuatan tapioka dibagi dalam empat tahap yaitu,
pertama pembersihan,
pengelupasan
kulit,
pemarutan dan
penyaringan ampas dengan penambahan air. Kedua, pengendapan, pembersihan pati di dalam tangki, dan pemisahan endapan atau melalui sentrifugasi. Ketiga, proses pengeringan dan keempat, penggilingan (Radley, 1976). Perbedaan peralatan yang digunakan untuk memproduksi tapioka oleh masing-masing jenis pabrik diantaranya adalah proses pemisahan pati pada industri modern menggunakan alat sentirfus sedangkan pada industri tradisional pemisahan pati dilakukan dengan proses pengendapan beberapa jam. Proses pengendapan ini akan mempengaruhi kualitas pati yang dihasilkan seperti nilai pH menjadi lebih rendah karena terbentuknya asam organik akibat fermentasi oleh bakteri (Radley, 1976). Proses pengeringan pada pabrik modern umumnya menggunakan alat pengering seperti oven dan flash drier, sedangkan pada pabrik tradisional menggunakan sinar matahari. Perbedaan proses pengeringan ini dapat mempengaruhi nilai
kadar air tapioka yang dihasilkan. Salah satu contoh alur proses pembuatan tapioka pada pabrik modern dapat dilihat pada Gambar 3.
Umbi Singkong Penampungan Umbi
Air
Penghilangan Kulit danTanah
Air
Pencucian
Air bersulfur
Pemarutan
Ekstraksi Kasar
Penampungan Air
Air
Kulit dan Tanah
Ampas
Ekstraksi Halus
Ekstraksi Ampas
Pemisahan
Ampas Tapioka
Udara Panas Pengeringan
Pendinginan
Pengayakan Pengemasan Pati Tapioka
Gambar 3. Diagram alir proses pembuatan tapioka pabrik modern
2. Karakteristik Tapioka Tapioka merupakan pati yang diekstrak dari umbi singkong. Juliana (2007) melaporkan rendemen pati singkong (tapioka) adalah 11.79% dengan kadar air 6.15% dari berat kering. Nilai pati pada singkong dipengaruhi oleh usia atau kematangan dari tanaman singkong. Komposisi kimia tepung tapioka dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Komposisi kimia tepung tapioka Komposisi Serat (%) Air (%) Karbohidrat (%) Protein (%) Lemak (%) Energi (kalori/100 gram) Sumber: Grace (1977)
Jumlah 0.5 15 85 0.5-0.7 0.2 307
Kadar pati tepung tapioka tidak dipersyaratkan dalam SNI. Rahman (2007) melaporkan kadar pati pada tepung tapioka berkisar antara 72-81%bb dan kadar abu pada tapioka berkisar antara 0.01-0.04%bb. Menurut Moorthy (2004), kadar amilosa tepung tapioka berada pada kisaran 20-27% dari kadar patinya dan kadar lipid pada tapioka sangat rendah (<0.1%). The Tapioca Institute of America (TIA) menetapkan standar pH tepung tapioka adalah 4.5-6.5 (Radley, 1976), sedangkan nilai keasaman tapioka berdasarkan SNI 01-3451-1994 ditetapkan dalam bentuk derajat asam, yaitu maksimal sebesar 3 NaOH 1N/100g. Syarat mutu tepung tapioka sesuai SNI dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Syarat mutu tepung tapioka menurut SNI 01-3451-1994 No 1. 2.
Jenis uji
Satuan
Mutu I
Persyaratan Mutu II Mutu III
Kadar air
%
Maks.15.0
Maks.15.0
Maks.15.0
Kadar abu
%
Maks. 0.60 Maks. 0.60
Maks. 0.60
%
Maks. 0.60 Maks. 0.60
Maks. 0.60
%
Min. 94.5
Min. 92.0
<92
Volume NaOH 1N/100g
Maks. 3
Maks. 3
Maks. 3
3. Serat dan benda asing 4. Derajat putih (BaSO4=100%) 5. Derajat asam 6. Cemaran logam - Timbal - Tembaga - Seng - Raksa - Arsen
mg/kg Maks. 1.0 Maks. 1.0 mg/kg Maks. 10.0 Maks. 10.0 mg/kg Maks. 40.0 Maks. 40.0 mg/kg Maks. 0.05 Maks. 0.05 mg/kg Maks. 0,5 Maks. 0,5
Maks. 1.0 Maks. 10.0 Maks. 40.0 Maks. 0.05 Maks. 0,5
7. Cemaran mikroba - Angka lempeng Koloni/g Maks. 1.0 x Maks. 1.0 x Maks. 1.0 x total 106 106 106 - E. coli Koloni/g - Kapang Koloni/g Maks. 1.0 x Maks. 1.0 x Maks. 1.0 x 104 104 104 Menurut Moorthy (2004), ukuran granula tapioka menunjukan variasi yang besar yaitu sekitar 5-40 µm dengan bentuk bulat dan oval. Variasi tersebut dipengaruhi oleh varietas tanaman singkong dan periode pertumbuhan pada musim yang berbeda. Sedangkan Charley (1982) menyebutkan bahwa diameter granula pati tapioka berkisar antara 12-25 µm. Granula tapioka berbentuk mangkuk (cup) dan sangat kompak, tetapi selama pengolahan granula tersebut akan pecah menjadi komponenkomponen yang tidak teratur bentuknya (Swinkels, 1985). Contoh bentuk granula tapioka dapat dilihat pada Gambar 4.
Gambar 4. Granula tapioka (Anonim, 2008)
Pati singkong atau tapioka memiliki suhu gelatinisasi yang sangat rendah, lebih rendah dari pati umbi-umbian yang lain maupun pati sereal. Menurut Grosch dan Belitz (1987), pati dari akar dan umbi lebih mudah dan cepat mengembang dibandingkan dengan pati serealia karena pati serealia strukturnya lebih kompak. Suhu gelatinisasi tepung tapioka berada pada kisaran 52-64°C. Sedangkan Wurzburg (1989) melaporkan bahwa suhu gelatinisasi tepung tapioka berkisar antara 58.5-70°C. Tepung tapioka memiliki daya pengembangan yang besar (Balagopalan et al., 1988).
E. PATI PREGELATINISASI Pati modifikasi merupakan pati yang diberi perlakuan tertentu agar dihasilkan sifat yang lebih baik dari sifat sebelumnya, terutama sifat fisikokimia dan fungsionalnya atau untuk mengubah beberapa sifat lainnya. Menurut Munarso (2004), pati modifikasi merupakan pati yang diberi perlakuan sedemikian rupa baik secara fisik maupun kimia sehingga mempunyai sifat reologi dan fungsional yang berbeda dari pati aslinya. Modifikasi pati dirancang untuk mengubah karakteristik gelatinisasi, hubungan padatan dan kekentalan, kecenderungan pembentukan gel pada dispersi pati, sifat hidrofilik, kekuatan menahan air pada dispersi pati saat suhu rendah, ketahanan dispersi terhadap penurunan kekentalan oleh asam, maupun perusakan secara fisik dan memasukkan sifat ionisasi pati asal (Erungan, 1991).
Beberapa metode modifikasi pati antara lain modifikasi dengan pemuliaan tanaman, konversi dengan hidrolisis (asam atau oksidator), cross linking, derivatisasi secara kimia (esterifikasi dan eterifikasi), serta perlakuan fisik yang akan menghasilkan perubahan bentuk, ukuran serta struktur molekul
pati
(Bao
dan
Bergman,
2004).
Sedangkan
menurut
Tjokroadikoesoemo (1986), pati dapat dimodifikasi melalui cara hidrolisis, oksidasi, cross-linking atau cross bonding dan substitusi. Hasil modifikasi tersebut antara lain thin-boiling starch, pati teroksidasi, pati pregelatinisasi, cross linked atau cross bonding starch, pati termodifikasi asam, dan pati termodifikasi α-amilase. Modifikasi pati secara fisik melibatkan beberapa faktor yaitu suhu, tekanan, pemotongan, dan kadar air pati. Bila dibandingkan dengan modifikasi kimia, modifikasi fisik cenderung lebih aman karena tidak menggunakan berbagai pereaksi kimia. Perlakuan modifikasi secara fisik yaitu ekstrusi, praboiling (pregelatinisasi), steam-cooking, iradiasi microwave, pemanggangan, hydrotermal treatment, dan autoclaving (Bao dan Bergman 2004). Pregelatinisasi merupakan teknik modifikasi pati secara fisik paling sederhana yang dilakukan dengan cara memasak pati di dalam air sehingga tergelatinisasi sempurna, kemudian mengeringkan pasta pati yang dihasilkan dengan menggunakan spray dryer atau drum dryer (Kusnandar, 2006). Menurut Light (1990), pregelatinisasi pati digunakan pada peningkatan viskositas dalam sistem instan, pengembangan pati pada air dingin untuk sistem instan yang membutuhkan ketahanan terhadap proses lain, dan penyesuaian ukuran partikel untuk mengontrol kemampuan dispersi dan hidrasi. Pregelatinisasi menyebabkan kerusakan struktur granula dan ikatan hidrogen sehingga sifat alami pati tidak dapat dipertahankan. Modifikasi ini banyak digunakan untuk proses instan, agen penstabil koloid dan pengikat air pada makanan bayi, es krim, premix pada produk dry baking dan lainnya (Davidek et al.,1990). Menurut Grosch dan Belitz (1987), beberapa tepung pregelatinisasi dicampur dengan tepung guar atau dengan alginat. Contoh bentuk granula pati pregelatinisasi dapat dilihat pada Gambar 5.
(a)
(b) Gambar 5. Granula pati pregelatinisasi (500x) metode spray cooked (a) dan drum dried (b) (Mitolo, 2006)