BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar belakang masalah. Masyarakat adalah sekumpulan individu-individu yang saling berinteraksi satu sama lain, oleh karenanya dalam suatu masyarakat terdapat kelompok-kelompok yang berbeda antara satu dengan kelompok yang lain. Perbedaan kelompok dan kualitas individu yang ada dalam masyarakat tersebut, mengakibatkan munculnya ketertiban, keselarasan dan rasa solidaritas diantara sesama. Solidaritas dalam konteks penelitian ini adalah keterikatan erat antara individu yang satu dengan individu yang lain pada situasi sosial tertentu. Solidaritas yang muncul dalam setiap kelompok masyarakat disebabkan adanya beberapa persamaan, seperti persamaan kebutuhan, keturunan, dan tempat tinggal. Oleh karena itu solidaritas menurut Doyle (1986:181) menunjuk pada suatu hubungan antara individu atau kelompok berdasarkan perasaan moral dan kepercayaan yang dianut dan di perkuat oleh pengalaman emosional bersama, ikatan ini lebih mendasar daripada hubungan kontraktual yang dibuat atas persetujuan rasional. Setiap individu yang terikat dalam suatu ikatan solidaritas kelompok masyarakat, memiliki kesadaran kolektif yang sama. Kesadaran kolektif adalah keseluruhan keyakinan dan perasaan yang membentuk sistem tertentu dan dimiliki bersama. Kesadaran kolektif memiliki sifat sakral karena mengharuskan rasa hormat
1
Universitas Sumatera Utara
dan ketaatan, hal tersebut dapat tercipta dengan baik apabila prilaku individu dalam kelompok masyarakat telah sesuai dengan sistem yang ada. Khaldun (dalam Soekanto. 1990:26). Solidaritas dalam bentuk keterkaitannya sering muncul dalam aktivitas gotong royong, menurut Koentjaraningrat (1961: 2), gotong royong adalah kerjasama diantara anggota-anggota suatu komunitas. Lebih lanjut gotong royong dapat di golongkan kedalam tujuh jenis, yakni: Pertama. Gotong royong yang timbul bila ada kematian atau beberapa kesengsaraan lain yang menimpa penghuni desa. Kedua. Gotong royong yang dilakukan oleh seluruh penduduk desa. Ketiga. Gotong royong yang terjadi bila seorang penduduk desa menyelenggarakan suatu pesta. Keempat. Sistem gotong royong yang dipraktekkan untuk memelihara dan membersihkan kuburan nenek moyang. Kelima. Gotong royong dalam membangun rumah. Keenam. Gotong royong dalam pertanian. Ketujuh. Gotong royong yang berdasarkan pada kewajiban kuli dalam menyumbangkan tenaga manusia untuk kepentingan masyarakat (Koentjaraningrat, 1997: 32-33). Aktivitas gotong royong ini sering dijumpai di setiap daerah yang masingmasing memiliki latar kebudayaan yang berbeda-beda. Salah satunya adalah kelompok masyarakat Jawa pedesaan, hubungan sosial desa di Jawa sebagian besar berdasarkan sistem gotong royong, walaupun gotong royong tidak terbatas pada hubungan keluarga saja, namun sistem itu oleh kelompok masyarakat desa di Jawa dipahami sebagai perluasan hubungan kekerabatan yang mempunyai pengaruh kuat atas seluruh kompleks hubungan interpersonal di seluruh desa.
2
Universitas Sumatera Utara
Seperti halnya kehidupan kelompok masyarakat desa di Jawa, gotong royong merupakan suatu sistem pengerahan tenaga kerja tambahan dari luar kalangan keluarga, untuk mengisi kekurangan tenaga pada masa-masa sibuk dalam aktivitas pertanian di sawah, dengan adat sopan santun seorang petani meminta penduduk di desanya untuk dapat membantunya dalam memanenkan hasil pertanian padi di sawahnya. Sebagai imbalan bagi tenaga petani tersebut, cukup disediakan makan siang setiap hari kepada penduduk desa yang datang untuk membantu selama pekerjaannya berlangsung (Koentjaraningrat, 1993: 57). Hukum adat di Jawa menuntut setiap laki-laki bertanggung jawab terhadap keluarganya dan masih dituntut untuk bekerja membantu kerabat lain dalam hal-hal tertentu seperti mengerjakan tanah pertanian, membuat rumah, memperbaiki jalan desa, membersihkan lingkungan perkuburan dan yang lainnya. Semboyan saiyeg saeka praya atau gotong royong merupakan rangkain hidup tolong menolong sesama warga. Kebudayaan yang mereka bangun adalah hasil adaptasi dari alam sehingga dapat menciptakan pondasi yang kuat dan mendasar pada sistem kebudayaan tersebut. Di daerah Jawa pesta-pesta mendapat bantuan dari tetangga, saudara-saudara dan dari desa-desa lain secara spontan dengan tidak mengharapkan balasan apapun dari apa yang telah mereka berikan, karena mereka langsung menikmati keramaian dan menikmati makanan itu secara bersama-sama. Akan tetapi akhir-akhir ini bantuan yang diberikan (gotong royong) jarang dilakukan dalam acara pesta perkawinan, banyak desa-desa di Jawa dimana setiap kelompok masyarakatnya sudah memperhitungkan dengan seksama akan keuntungan dan kerugian mengenai bantuanbantun yang akan diberikan, lebih besar pesta yang diadakan dengan mengundang
3
Universitas Sumatera Utara
tamu-tamu dari desa lain dan dari kota maka lebih besar pula keuntungan yang mereka peroleh, dan mereka yang telah menerima sumbangan tidak akan melupakan mereka yang telah memberi sumbangan (Koentjaraningrat, 1961: 38). Interaksi yang terjadi karena adanya pergaulan, pada dasarnya dapat dilihat apabila terjadi hubungan-hubungan kerjasama antara individu-individu, kelompok dengan kelompok, individu dengan kelompok sesuai dengan status dan peranannya yang mungkin terjadi dalam peristiwa bertemu, berbicara, makan bersama dalam pekerjaan, upacara dan sebagainya. Kesemuanya itu dapat terwujud apabila adanya rasa solidaritas yang tinggi antar warga di lingkungan tersebut. Namun dengan seiring berjalannya waktu, rasa solidaritas kekerabatan dalam etnis Jawa khususnya Jawa perantaun yang dulunya sangat terasa kini mulai berkurang. Masalah terbesar di desa Jawa sekarang adalah pertambahan penduduk. Karena tanah pertanian baru tidak mungkin dicari lagi, maka luas bidang tanah yang dikuasai masing-masing keluarga terus menerus menyusut. Di zaman dulu setiap warga desa laki-laki terjamin kemungkinannya untuk bekerja di sawah melalui suatu sistem kompleks untuk menyewakan tanah dan mengikut sertakan orang pada waktu panen. Sistem ini sekarang sudah mulai hilang, usaha-usaha intensifikasi pertanian yang padat modal memaksa petani yang lebih miskin untuk menyerahkan tanah mereka kepada petani yang lebih kaya supaya dapat membayar utang-utang mereka, sedangkan bagi buruh tani tanpa tanah, kemungkinan untuk menemukan pekerjaan di bidang pertanian semakin kecil. Sebagai akibatnya, arus perpindahan penduduk ke kota-kota besar semakin deras (Franzs M.S. 1983: 19-20).
4
Universitas Sumatera Utara
Selain faktor pendorong diatas, terjadinya arus urbanisasi dari desa ke kota disebabkan adanya kemiskinan di daerah pedesaan dan hal ini juga dikarenakan cepatnya pertambahan penduduk di desa, sehingga menimbulkan ketimpangan dalam perimbangan antara jumlah penduduk dengan luasnya lahan pertanian. Selain itu terdesaknya pengolahan lahan pertanian secara manual disebabkan adanya alat-alat mekanikal yang didatangkan dari kota, sektor industri kerajinan rumah tangga juga mulai didominasi oleh produk industri modern. Untuk menanggulangi hal tersebut, maka diadakan program pemindahan penduduk dari pulau Jawa ke pulau Sumatera yang pertama kali diadakan pada zaman penjajah Belanda. Pemindahan penduduk dari pulau Jawa ke Sumatera ini merupakan program pemindahan tenaga kerja yang diikat dengan perjanjian kerja untuk daerahdaerah perkebunan yang dikenal dengan sebutan kuli kontrak. Pemindahan penduduk dari daerah pulau Jawa yang sudah padat itu baik secara paksaan maupun secara sukarela sudah mulai terjadi sejak tahun 1870-an. Sejak itu banyak orang Jawa mulai dipindahkan dari kampung halamannya sebagai buruh kontrak ke perkebunan-perkebunan yang ada di Sumatera. Mayoritas buruh kontrak dari pulau Jawa tersebut setelah bertransmigrasi ke perkebunan itu tetap tinggal sebagai buruh perkebunan yang terus berlanjut dari satu generasi kegenerasi berikutnya. Jika dilihat pada kelompok masyarakat Jawa perantauan di daerah Sawit Seberang hubungan sosial kelompok masyarakatnya akan tampak dalam aktivitas sosial maupun dalam aktivitas keagamaan. Kelompok masyarakat Jawa perantauan di Sawit Seberang ini memiliki hubungan kekerabatan, hubungan kekerabatan ini tidak
5
Universitas Sumatera Utara
hanya karena adanya ikatan darah ataupun perkawinan tetapi juga karena pernah saling bertetangga dan menjadi sangat akrab sehingga mereka mengaku bersaudara. Ataupun hubungan saudara karena orang tua mereka dahulu satu kapal ketika mereka bermigrasi dari pulau Jawa, yang umumnya disebut dulur sak kapal. Hubungan ini akan membuat mereka akan segera datang menghadiri apabila ada yang mengadakan pesta ataupun mengalami musibah. Kelompok masyarakat Jawa perantauan di Sawit Seberang ini mayoritas bekerja sebagai karyawan pabrik, walupun mereka sama-sama karyawan tetapi ada perbedaan dalam status sosial ekonomi. Perbedaan ini menyebabkan timbulnya persaingan, hal ini dapat dilihat dalam hal cara berpakaian, dalam hal perabotan rumah tangga, serta alat transportasi seperti sepeda motor yang dianggap dapat mengangkat prestise mereka. Walaupun kelompok masyarakat Jawa perantauan di kelurahan sawit seberang ini masih sering melakukan aktivitas sosial di lingkungan mereka namun intensitas mereka dalam melaksanakan aktivitas sosial tersebut sudah mulai berkurang Perubahan dan hilangnya rasa solidaritas kekerabatan yang pada umumnya melekat erat pada setiap kelompok masyarakat di Indonesia ini tidak hanya terjadi pada kelompok masyarakat Jawa saja. Namun juga terjadi di beberapa daerah seperti di daerah Simalungun, solidaritas kekerabatan dalam berbagai aktivitas gotong royong sudah mulai berubah contohnya dalam aktivitas pertanian, sejak tahun 80-an seseorang yang akan memanen hasil sawah harus menyewa pekerja untuk mengerjakan sawahnya dan membayar upah pekerja tersebut menurut bayaran yang sudah ditetapkan berdasarkan lamanya waktu kerja.
6
Universitas Sumatera Utara
Pada aktivitas persiapan pesta juga sudah terjadi pergeseran ini terbukti dari data yang didapat bahwa kelompok masyarakat Simalungun sudah memakai sistem memesan makanan yang diperlukan untuk pesta. Sedangkan dahulu sebelum tahun 90-an makanan yang untuk pesta dikerjakan oleh kelompok masyarakat setempat dengan cara gotong royong. Para kerabat dan tetangga terdekat hadir kerumah kerabat pelaksana pesta pada malam sebelum hari pesta tersebut berlangsung. Mereka saling bekerja sama, ada yang
mengerjakan bumbu-bumbu
masakan, ada
yang
membereskan peralatan pesta, misalnya mempersiapkan piring, gelas dan lain sebagainya. Kemudian esok harinya mereka masih bergotong royong mulai dari memasak sampai usainya pesta tersebut yang biasanya berlangsung sampai sore bahkan malam hari (Julia Saragih. 1998: 17-18). Adanya perubahan-perubahan tersebut mengakibatkan penelitian ini terfokus pada pengamatan solidaritas kekerabatan khususnya pada etnis Jawa yang ada di perantauan.
7
Universitas Sumatera Utara
1.2. Rumusan Masalah. Berdasarkan dari latar belakang penelitian sebagaimana yang telah di kemukakan sebelumnya, secara khusus penelitian ini akan berusaha membahas permasalahan tentang solidaritas kekerabatan khususnya etnis Jawa yang ada di perantauan. Berdasarkan latar belakang masalah diatas, maka permasalahan yang dapat dirumuskan adalah sebagai berikut: 1. Bagaimana solidaritas kekerabatan dalam berbagai kegiatan slametan pada masyarakat Jawa perantauan. 2. Bagaimana solidaritas kekerabatan dalam upacara perkawinan pada masyarakat Jawa perantauan. 1.3. Lokasi Penelitian. Lokasi penelitian ini adalah di Kelurahan Sawit Seberang, Kabupaten Langkat. Ada beberapa alasan dalam pemilihan lokasi ini antara lain yaitu, lokasi awal penelitian ini adalah di kelurahan Silalas tepatnya di pinggiran sungai Deli. Namun karena lokasi ini dianggap kurang sesuai dengan masalah yang akan dibahas maka dosen pembimbing menyarankan lokasinya untuk dirubah. Selain itu penduduk yang tinggal dilokasi ini di tempati oleh mayoritas suku Jawa perantauan walupun terdapat etnis-etnis lainnya, yang mana penduduknya sudah mengalami kemajuan baik dari segi pengetahuan yang di dasari oleh faktor pendidikan, sehingga kemungkinan terjadinya perubahan atau pergeseran dari solidaritas kekerabatan pada daerah tersebut. Penduduk di kelurahan tersebut selain bermata pencaharian bertani juga sudah memiliki pekerjaan lain yang menetap yang membuat mereka mulai memahami prinsip bahwa waktu adalah uang.
8
Universitas Sumatera Utara
1.4. Tujuan Dan Manfaat Penelitian. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan gambaran bagaimana terjadinya perubahan solidaritas kekerabatan etnis Jawa yang berada di Kelurahan Sawit Seberang, kabupaten Langkat. Manfaat dari penelitian ini dapat dilihat secara akademis dan praktis: 1. Secara akademis, dapat menambah pemahaman tentang konsep-konsep solidaritas kekerabatan dan mengetahui pola hidup pada masyarakat etnis Jawa di perantauan. 2. Secara praktis, dapat memberikan pemahaman bagi si peneliti sendiri berdasarkan pada masalah diatas dan sebagai suatu syarat lulus ujian akhir.
9
Universitas Sumatera Utara
1.5.Tinjauan Pustaka. Masyarakat adalah suatu kesatuan hidup yang berinteraksi menurut suatu sistem adat istiadat tertentu yang bersifat kontinu dan terikat oleh suatu rasa identitas bersama (Koentjaraningrat, 1986:160). Dari pengertian di atas dapat diambil beberapa hal yang menjadi ciri-ciri suatu masyarakat, yaitu saling berinteraksi, mempunyai ikatan, pola tingkah laku yang khas tentang semua faktor kehidupan dalam batas kesatuan, rasa identitas diantara warga yang dapat menunjukkan perbedaan dengan masyarakat lain. Dalam peristiwa kehidupan sosial sehari-hari, individu sebagai bagian yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan bermasyarakat, memiliki kewajiban untuk menyatu dalam tujuan masyarakat itu sendiri. Kenyataan ini tidak terbantahkan jika dilihat pada bentuk kehidupan masyarakat, baik masyarakat dalam bentuk organis maupun dalam bentuk mekanis. Hal ini di karenakan kehidupan masyarakat merupakan suatu model kehidupan yang saling mengisi antara satu dengan yang lainnya. Durkheim secara jelas membagi klasifikasi masyarakat atas dasar ikatan solidaritas mekanis dan solidaritas organis. Bentuk ikatan tersebut menurutnya ditandai dengan kekentalan hubungan antara individu, baik berdasarkan hubungan darah atau hubungan kepentingan, masyarakat terpaut kedalam bentuk ikatan yng mendasarinya dalam hal ini masyarakat dapat dipilih ke dalam karakteristik masingmasing.
10
Universitas Sumatera Utara
Pembagian masyarakat berdasarkan bentuk ikatan solidaritas sosial yang di kategorikan Durkheim dapat di bagi menjadi dua kategori yaitu masyarakat bertipe mekanis dan masyarakat bertipe organis. Masyarakat bertipe mekanis (masyarakat tradisional). Dimana didalam masyarakat ini terdapat model hubungan kolektif yang mana masyarakatnya lebih dapat bersosialisasi dengan baik antar sesama, serta hubungan kekerabatan di dalam masyarakat tersebut terasa lebih akrab. Selain itu masyarakat pedesaan cara berfikirnya lebih menggunakan perasaan sehingga hubungan antara sesama personal lebih bersifat informal atau dengan kata lain lebih bersifat kekeluargaan. Adapun jenis pekerjaan mereka lebih bersifat umum, dimana dalam kegiatan sehari-hari mereka masih sering tolong-menolong antar sesama. Sedangkan masyarakat bertipe organis yaitu masyarakat modern. Masyarakat bertipe organis ini lebih identik dengan masyarakat perkotaan, model hubungan antar sesama lebih bersifat individual tanpa di dasari atas rasa kekerabatan yang kuat. Masyarakat ini cara berfikirnya lebih rasional atau dengan kata lain lebih menggunakan akal sehat, selain itu jenis pekerjaan mereka telah terspesialisasi yang pada akhirnya akan menjadi salah satu faktor pembeda antara masyarakat kelas menengah atas dengan masyarakat kelas menengah bawah. Solidaritas sosial di pertahankan sejauh kesadaran individu pada masyarakat sama kuatnya, dengan sendirinya akan memelihara unsur-unsur pengintegrasian yang ada pada masyarakat tersebut. Menurut A. Lysen (1981:20) “kesadaran masyarakat” adalah unsur tertentu dalam kesatuan sosial yang menetapkan dan mempengaruhi kelakuan manusia yang
11
Universitas Sumatera Utara
menjadi bagian dari kesatuan itu. Unsur-unsur yang di maksud adalah situasi-situasi yang memuat individu-individu dalam masyarakat terlibat langsung serta berbuat sesuai dengan keinginan situasi tersebut. Lebih jauh Durkheim menyatakan bahwa pembagian kerja mempunyai peringkat fungsi terhadap solidaritas sosial sebagai peningkat rasa solidaritas. antara teman dan di dalam keluarga, ketidaksamaan akan menciptakan suatu ikatan dan karena individu-individu memiliki kualitas yang berbeda akan terdapat ketertiban, keselarasan dan solidaritas, setiap individu melakukan berbagai kegiatan sehingga terdapat ketergantungan antara satu dengan yang lainnya. Solidaritas tidak dapat dengan seketika di amati secara eksak, maka diperlukan suatu indeks ekstern. Menurut Durkheim (Layendecker, 1991:290). Indeks ekstern adalah peraturan-peraturan, hukum-hukum, solidaritas sosial terwujud kedalam hubungan timbal balik, yang mendapat prasyarat dalam sifat dan jumlah peraturan-peraturan hukum yang berlaku. Durkheim mengklasifikasikan peraturan-peraturan hukum atas dasar sanksi yang dijatuhi bila terjadi pelanggaran. Durkheim membedakan antara sanksi represif, yaitu hukum yang dimaksud untuk menyebabkan penderitaan dan sanksi restitutif yaitu sanksi yang diarahkan untuk memulihkan pada keadaan semula. Hal ini sesuai dengan solidaritas mekanis dan solidaritas organis. Solidaritas mekanis didasarkan pada persamaan. Dalam suatu masyarakat yang ditandai oleh solidaritas ini. Semua anggotanya mempunyai kesadaran kolektif yang sama. Kesadaran kolektif adalah keseluruhan keyakinan dan perasaan yang membentuk sistem tertentu yang mempunyai kehidupan tersendiri dan dimiliki
12
Universitas Sumatera Utara
bersama oleh anggota masyarakat tersebut. Kesadaran kolektif memiliki sifat keagamaan karena mengharuskan rasa hormat dan ketaatan. Setiap individu selalu tunduk pada kolektifitasnya. Setiap pelanggaran terhadap keyakinan-keyakinan bersama akan menimbulkan reaksi yang emosional. Setiap individu yang bersalah akan dihukum dan dalam ritual pelaksanaan hukuman akan di balas penghinaan yang terjadi terhadap kesadaran kolektif, dengan ini kesadaran di perkuat kembali. Dalam masyarakat seperti ini, hanya sedikit anggota masyarakat yang memiliki individualitas. Dalam manusia rangkap kesadaran individual dikuasai oleh kesadaran kolektif. Orang-orang mirip satu dengan yang lainnya, hal ini menyebabkan solidaritas ini di sebut solidaritas mekanis. Solidaritas organis menunjukkan pada keterpaduan dalam organisme yang berdasarkan atas keanekaragaman fungsi-fungsi demi kepentingan keseluruhan. Setiap organ memiliki ciri-ciri masing-masing dan tugas masing-masing yang tidak dapat diambil oleh organ yang lain. Demikian pula dalam pembagian kerja, individuindividu tidak dikelompokkan dalam segmen-segmen tetapi menurut kegiatankegiatan yang dilakukan. Berlawanan dengan masyarakat segmenter pada masyarakat dengan solidaritas organis terdapat saling ketergantungan yang besar. Keadaan ini akan diatur dengan pertumbuhan tenaga kerja. Aturan-aturan itu sendiri akan timbul dari interaksi yang sering terjadi. Aturan-aturan akan memperoleh pernyataan yuridis dalam hak orang lain. Seperti melakukan pelanggaran terhadap hak milik atau tidak menepati kerjasama.
13
Universitas Sumatera Utara
Hukum restitutif bertujuan untuk memulihkan keadaan kepada aslinya. Pembayaran ganti rugi atau pemaksaan suatu persetuajuan. Menurut Durkheim terjadi suatu evolusi dari soilidaritas mekanis ke solidaritas organis yang di dasarkan atas pembagian kerja. Hal ini dilihat dari meningkatnya hukum restitutif yang mengakibatkan berkurangnya hukum represif dan melemahnya kesadaran kolektif. Kesadaran kolektif melemah terutama dalam hilangnya nilai agama (Layendecker, 1991: 290-291). Lebih lanjut dia melihat dasar integrasi sosial yang sedang mangalami perubahan kesuatu bentuk yang baru ini, yang benar-benar di dasarkan pada saling ketergantungan antara bagian-bagian yang terspesialisasi dapat merupakan satu sumber yang lebih menyeluruh, lebih mampu dan lebih dalam untuk integrasi sosial daripada bentuk integrasi mekanis yang lama yang didasarkan terutama pada kesamaan dalam kepercayaan dan nilai. Kesadaran kolektif yang mendasari solidaritas mekanis paling kuat perkembangannya dalam masyarakat-masyarakat primitif yang sederhana. Dalam masyarakat seperti itu semua anaggota pada dasarnya memiliki kepercayaankepercayaan bersama, pandangan, nilai dan semuanya memiliki gaya hidup yang kira-kira sama. Homogenitas ini mungkin kalau kita lihat kenyataan bahwa pembagian kerja sangat rendah. Tentu ada semacam spesialisasi menurut usia dan jenis kelamin. Orang yang lebih tua diharapkan menjadi pemimpin atau sekurang-kurangnya sebagai penasehat yang bijaksana, sedangkan wanita diharapkan untuk berspesialisasi dalam urusan rumah tangga. Namun, pembagian kerja yang sangat elementer ini tidak
14
Universitas Sumatera Utara
menghasilkan heterogenitas sosial yang demikian tingginya sehingga cara berfikir dan bertindak yang sama benar-benar dihilangkan. Karena pembagian kerja mulai meluas, kesadaran kolektif pelan-pelan mulai hilang. Orang yang kegiatan pekerjaannya menjadi lebih terspesialisasi dan tidak sama lagi merasa dirinya makin berbeda dalam kepercayaan, pendapat dan juga gaya hidup. Inilah yang diharapkan karena pengalaman sosial seseorang di pengaruhi oleh pekerjaannya. Pengalaman yang beranekaragam maka begitu pula kepercayaan, sikap dan kesadarannya. Tetapi heterogenitas yang semakin bertambah ini tidak menghancurkan solidaritas sosial. Sebaliknya karena pembagian kerja yang semakin tinggi, individu dan kelompok dalam masyarakat merasa menjadi semakin tinggi, individu dan kelompok dalam masyarakat merasa menjadi semakin lebih tergantung satu sama lain daripada hanya mencukupi kebutuhannya sendiri saja. Orang yang mecurahkan perhatiannya pada spesialisasi pekerjaan harus tergantung pada yang lain yang berbeda pekerjaan dan spesialisasinya untuk barang-barang dan jasa yang mereka butuhkan guna mempertahankan hidup dan memenuhi berbagai kebutuhan. Meningkatnya secara bertahap saling ketergantungan fungsional antara berbagai bagian masyarakat yang heterogen itu memberikan satu alternatif baru untuk kesadaran kolektif sebagai dasar solidaritas sosial (Doyle. 1994:187)..
15
Universitas Sumatera Utara
1.6. Metode penelitian. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitataif yang bersifat deskriptif. Dalam penelitaian ini peneliti akan mencoba menggambarkan secara terperinci mengenai solidaritas yang mulai melemah di dalam intensitas hubungan antar sesama warga di kelurahan tersebut. Teknik penelitian yang akan digunakan dalam pengumpulan data dilapangan antara lain. 1.6.1. Teknik Observasi. Metode observasi dilakukan guna mengetahui situasi dalam konteks ruang dan waktu pada daerah penelitian, data yang diperoleh dari hasil wawancara saja tidaklah cukup untuk menjelaskan fenomena yang terjadi. Oleh karena itu di perlukan suatu aktivitas dengan langsung mendatangi tempat penelitian sambil melakukan pengamatan. Teknik observasi atau pengamatan partisipasi di lakukan dengan tujuan untuk dapat memahami fenomena yang terjadi di lokasi, khususnya masalah yang menyebabkan melemahnya solidaritas kelompok masyarakat di Kelurahan Sawit Seberang tersebut. Dari pengamatan itu dimungkinkan untuk dapat memahami kondisi alam, fisik, sosial ekonomi dan budaya. Selain itu observasi ini juga nantinya diharapkan dapat menggambarkan peran masyarakat dalam proses perubahan solidaritas di Kelurahan tersebut. 1.6.2. Teknik Wawancara. Metode yang kedua yaitu metode wawancara yang dilakukan secara langsung dan tatap muka dengan informan. Wawancara yng dilakukan adalah wawancara mendalam (depth interview) kepada beberapa orang informan yang sesuai dengan
16
Universitas Sumatera Utara
tujuan penelitian. Informan dalam hal ini adalah warga masyarakat yang bermukim di Kelurahan Sawit Seberang, dimana informan itu sendiri sudah lama menetap di lingkungan tersebut serta mengetahui secara persis bagaimana hubungan solidaritas kekerabatan antar sesama warga di dalam aktivitas mereka sehari-hari . Seperti yang telah disebutkan diatas bahwa wawancara ini dilakukan dengan komunikasi verbal atau langsung dengan informan, dengan menggunakan pedoman wawancara (inteview guide) yang telah dipersiapkan sebelumnya. Tujuan dari pedoman wawancara ini adalah untuk mendapatkan data yang konkrit, lebih terperinci dan mendalam. Untuk mendapatkan data yang konkrit tersebut maka peneliti akan mengajukan beberapa pertanyaan yang sesuai dengan masalah yang dibahas, contohnya “apakah ada perubahan dalam kegiatan-kegiatan sosial yang biasanya dilakukan oleh masyarakat Jawa tersebut”, “bagimanakah sikap warga setempat apabila ada seorang warga yang tidak pernah ikut didalam berbagai kegiatan sosial yang sering dilakukan oleh masyarakat setempat”, “serta apakah ada sanksi yang ditetapkan oleh masyarakat itu terhadap warga yang tidak pernah ikut serta dalam berbagai aktivitas-aktivitas sosial di lingkungan tersebut”. Untuk memperlancar wawancara ini digunakan perlengkapan berupa alat-alat tulis dan tape recorder yang berguna untuk menulis dan merekam bagian-bagian penting dari hasil wawancara, yang bertujuan untuk menghindari kesalahan data yang diperoleh ketika wawancara. Tahap berikutnya adalah studi pustaka, dilakukan untuk mengumpulkan dan mencari data tentang kegiatan-kegiatan sosial yang melibatkan setiap warga masyarakat tersebut dengan membaca literatur-literatur yang berkaitan dengan
17
Universitas Sumatera Utara
masyarakat Jawa perantauan serta melihat hasil penelitian para ahli lain yang berhubungan dengan penelitian ini guna untuk menambah pengertian dan wawasan peneliti untuk menyempurnakan hasil akhir penelitian ini. 1.6.3. Penentuan Informan. Informan kunci dalam penelitian ini adalah informan yang dianggap dapat mewakili kelompok masyarakat di Kelurahan tersebut, dari informan ini diharapkan di dapat konsep bagaimana pandangan mereka terhadap solidaritas kekerabatan yang ada di dalam aktivitas kehidupan mereka sehari-harinya. Selain itu, informan kunci haruslah orang yang mengetahui budaya masyarakat Jawa dengan begitu baik tanpa harus memikirkannya, dan benar-benar mengetahui situasi dan kondisi aktivitas sosial masyarakat Jawa khususnya Masayarakat Jawa perantauan dalam hidup bermasyarakat. Dalam penelitian ini informan yang mungkin mengetahui budaya masyarakat Jawa dan sangat mengenal lingkungan tersebut dengan begitu baik adalah kepala lingkungan (Kepling) juga kepala desa/kelurahan dan tokoh-tokoh masyarakat. Dimana mereka yang selalau terlibat di dalam kegiatan sosial di lingkungan tersebut.
1.7. Teknik Analisa Data. Data yang diperoleh dilapangan akan diedit ulang kembali, yang akhirnya ditujukan untuk memeriksa kelengkapan hasil wawancara. Hasil wawancara itu diperlukan adanya tanpa mengurangi dan menambahi yang dapat mengurangi keaslian data tersebut dan pada akhirnya data ini akan dianalisa secara kualitatif.
18
Universitas Sumatera Utara
Keseluruhan data diperoleh dari observasi, wawancara dan sumber kepustakaan disusun berdasarkan pemahaman serta fokus penelitian dan tujuan penelitian.
19
Universitas Sumatera Utara