BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Untuk menjalankan roda pemerintahan, Pemerintah Indonesia tentu membutuhkan materi atau uang seperti halnya pemerintahan-pemerintahan lain yang ada di dunia ini. Pajak merupakan jawaban dari pemenuhan kebutuhan tersebut meskipun sektor ini sempat tidak menjadi pemasukan primadona sebelum tahun 1980-an, sebelum dilakukannya reformasi perpajakan, melainkan sektor pertambangan terutama minyak dan gas. Hal ini disebabkan oleh pemasukan yang besar dari sektor tersebut khususnya minyak dan gas bahkan Indonesia sempat menjadi salah satu negara penghasil minyak terbesar di dunia pada waktu itu. Kemudian pemerintah menyadari bahwasannya sektor tersebut hanya mengandalkan pada sumber daya alam (SDA) yang tidak terbarukan, yaitu sumber daya alam (SDA) yang jika habis maka keberadaannya tidak bisa diperbaharui maupun diperbanyak lagi. Apalagi produksi minyak Indonesia dari waktu ke waktu mengalami penurunan. Tentu saja berbeda dengan pajak yang akan selalu ada selama pemerintah menghendaki dan mengundangkannya ke dalam peraturan tertulis karena negara mempunyai spesifikasi tersendiri dan negara adalah organisasi yang tinggi, luas, dan kuat dengan jangkauan
kekuasaannya yang mencakup hampir semua segi kehidupan warganya serta memiliki kekuatan memaksa (daya paksa) yang kuat.1 Tentu saja dalam perjalanannya, pajak akan menimbulkan suatu konflik berupa Sengketa Pajak antara wajib pajak (WP) penanggung pajak dengan pejabat yang berwenang memungut pajak (fiskus) sebagai akibat dikeluarkannya keputusan oleh fiskus. Maka, lahirlah Pengadilan Pajak yang pembentukannya sesuai dengan Undang-undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak selanjutnya disebut UU Pengadilan Pajak atau UU PP. Tidaklah mengherankan jika Pengadilan Pajak merupakan lembaga perlindungan hukum karena memiliki urgensi yang sangat vital khususnya di dalam melakukan penegakan hukum dalam bidang perpajakan. Salah satunya ialah memberikan perlindungan hukum kepada Pemohon Banding (WP). Sengketa Pajak yang dikenal dalam Pengadilan Pajak hanya berupa Gugatan dan Banding saja. Tidak dikenalnya Banding di dalam Pengadilan Pajak, bertolak belakang karena para pencari keadilan pada umumnya bisa mendapatkannya melalui Pengadilan Tinggi dalam berbagai peradilan lainnya di Indonesia. Peradilan yang demikian merupakan suatu kekhususan yang hanya dimiliki oleh Pengadilan Pajak. Pengadilan Pajak bisa dikatakan sebagai bagian dari salah satu ciri dari negara hukum (rechtsstaat) karena Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN), sebagai tempat bernaung dari Hakim Pengadilan Pajak, merupakan salah satu ciri dari 1
Rozikin Daman, 1993, Hukum Tata Negara, Rajawali Press, Jakarta, hlm. 8
negara hukum. Ciri itu biasanya ada di negara hukum dengan latar belakang tradisi Eropa Kontinental.2 Tidak seperti PTUN, Pengadilan Pajak hanya memiliki 1 (satu) Pengadilan saja, yaitu di Ibu Kota Negara, Jakarta, sesuai amanat Pasal 3 Undang-undang Nomor 14 tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak selanjutnya disebut UU PP atau UU Pengadilan Pajak. Meskipun Pengadilan Pajak hanya ada di Jakarta tetapi dimungkinkan dilakukan persidangan di daerah-daerah di Indonesia, sesuai Pasal 4 pada undangundang yang sama. Akan tetapi adanya tempat bersidang tersebut tidak akan menjadikannya sebagai Pengadilan Pajak, hanya sebatas pada tempat persidangan saja. Saat ini sidang di luar tempat kedudukan (SDTK) Pengadilan Pajak hanya terdapat di Yogyakarta, dibentuk tanggal 7 Juni 2012 melalui Surat Keputusan Ketua Pengadilan Pajak Nomor KEP006/PP/2012, dan Surabaya pada tanggal 14 Maret 2013. Pada tiap-tiap tempat persidangan di luar tempat kedudukan akan ditempatkan
pegawai Sekretariat Pengadilan Pajak guna melayani
persidangan dan tempat informasi. Pegawai pada Sekretariat Pengadilan Pajak tersebut merupakan pegawai yang ditunjuk dari Sekretariat Pengadilan Pajak. Akan tetapi adanya Pegawai Sekretariat Pengadilan Pajak yang ditempatkan pada masing-masing tempat persidangan tidak menjadikannya 2
sebagai
tempat
pengurusan
administrasi
karena
Sekretariat Jenderal MPR RI, 2006, Panduan Permasyarakatan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (Sesuai dengan Urutan Bab, Pasal, dan Ayat), Sekretariat Jenderal MPR RI, Jakarta, hlm. 47
kepengurusannya tetap menjadi tanggung jawab dari Sekretariat Pengadilan Pajak di Jakarta sebagai Ibu Kota Negara saat ini. Selain itu, Majelis Hakim yang menyidangkan didatangkan langsung dari Jakarta pada tiap persidangan yang dilaksanakan seminggu sekali pada hari sidang (harsinom) Kamis. Tidak hanya Majelis Hakim yang didatangkan langsung tetapi Tim Kepaniteraannya, memang ditunjuk khusus untuk Majelis Hakim tersebut, juga didatangkan bersamaan dengan Majelis Hakim. Tim Kepaniteraan ini memang bekerja di Jakarta dan berbeda dengan pegawai pada Sekretariat Pengadilan Pajak yang ditempatkan di masing-masing tempat persidangan. Kekhususan lainnya yaitu terdapat perbedaan puncak koordinasi di dalam tubuh Pengadilan Pajak. Hakim-hakim dari Pengadilan Pajak, seperti yang sudah penulis sebutkan, berada di bawah naungan Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN) karena memang sengketa yang diajukan sama dengan sengketa di PTUN, yaitu kebijakan yang dibuat oleh aparatur negara. Sehingga dapat dipastikan bahwa puncak dari hakim-hakim Pengadilan Pajak ialah Mahkamah Agung (MA), sebagai puncak dari semua lingkungan peradilan yang ada di Indonesia. Akan tetapi Kepaniteraan
Pengadilan
Pajak
termasuk
pegawai-pegawai
pada
Sekretariat Pengadilan Pajak dan Kepaniteraan Pengadilan Pajak berada di bawah naungan Kementrian Keuangan. Adanya kekhususan tersebut pada tubuh Pengadilan Pajak tidak lantas membuat dan mengijinkan Pengadilan Pajak mengesampingkan asas
sederhana, cepat dan biaya ringan karena setiap persidangan yang ada di muka bumi ini akan selalu menganut asas sederhana, cepat dan biaya ringan. Asas cepat artinya acara dalam persidangan harus diselesaikan dengan cepat tanpa melakukan hal-hal yang tidak efisien, asas sederhana memiliki maksud bahwa persidangan harus dilakukan secara simpel, tanpa berbelit-belit, dan asas biaya ringan ialah biaya harus ditekan seminimal mungkin agar para pencari keadilan bisa menjangkau biaya perkaranya. Berdasarkan
pengertian-pengertian
sebelumnya,
maka
tidak
mengherankan lahirnya asas tersebut guna menopang perlindungan hukum bagi para pencari keadilan. Asas sederhana, cepat dan biaya ringan, memiliki variable-variabel yang berdiri sendiri, yaitu sederhana, cepat dan biaya ringan. Adanya variablevariabel tersebut memang semestinya dijabarkan secara terpisah antara satu dengan yang lainnya. Apalagi dari uraian-uraian penulis mengenai keunikan-keunikan yang terdapat pada Pengadilan Pajak dibandingkan peradilan-peradilan yang ada di Indonesia mengundang tanya besar pada diri penulis apakah dengan keberagaman tersebut tetap memberikan ruang pada variabel cepat dan vaeiabel sederhana yang dirasakan oleh para pencari keadilan. Oleh karena itu pada penelitian hukum kali ini, Penulis hanya ingin mengupas lebih mendalam dari sisi variabel cepat dan variable sederhana saja, tidak menggunakan variable lainnya, yaitu variable biaya ringan. Hal ini didasarkan pada informasi di lapangan yang didapatkan penulis bahwa
pada penyelesaian Sengketa Pajak masih terdapat perkara yang penyelasaiannya memakan waktu yang lama, melebihi ketentuan yang ada di dalam peraturan undang-undang, yaitu 12 (dua belas) bulan dan bisa ditambah lagi 3 (tiga) bulan dengan alasan tertentu. Sehingga penulis menetapkan bahwa tidak semua variable-variabel yang terdapat pada asas sederhana, cepat dan biaya ringan bisa digunakan dalam menganalisis permasalahan yang ingin dijawab oleh penulis. Oleh karena itu penulis menetapkan variable-variabel tersebut dengan judul
penulisan
hukum,”RELEVANSI
ASAS
CEPAT
DAN
SEDERHANA DENGAN TEMPAT PERSIDANGAN PAJAK DI LUAR
TEMPAT
KEDUDUKAN
PENGADILAN
PAJAK
DI
YOGYAKARTA”.
B. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian latar belakang masalah diatas, maka saya dapat merumuskan 2 (dua) kategori permalsahan, yaitu permasalahn hukum empiris dan permasalahan hukum normatif sebagai berikut: 1. Permasalahan Hukum Empiris: 1.1 Bagaimana realisasi asas sederhana dan cepat dalam pelaksanaan persidangan pajak di Luar Tempat Kedudukan Pengadilan Pajak di Yogyakarta?
2. Permasalahan Hukum Normatif 2.1 Apakah makna asas sederhana dan cepat dalam pengaturan persidangan pajak di Luar Tempat Kedudukan Pengadilan Pajak dalam hukum formil perpajakan Indonesia?
C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Subjektif Untuk penyusunan penulisan hukum yang digunakan sebagai syarat dalam memperoleh gelar Sarjana Strata Satu Hukum di Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada 2. Tujuan Objektif Untuk menganalisis makna asas sederhana dan cepat dalam pengaturan persidangan pajak di Luar Tempat Kedudukan Pengadilan Pajak dalam hukum formil perpajakan Indonesia.
D. Manfaat Penelitian 1. Bagi Peneliti Penulisan ini akan memperluas pengetahuan dan pengalaman bagi penulis dalam konteks bidang hukum pajak terutama konteks yang
berkaitan dengan pengadilan pajak termasuk hal-hal yang berkaitan dengan Tempat Sidang di Luar Tempat Kedudukan Pengadilan Pajak serta esensi yang terdapat pada asas cepat dan sederhana.
2. Bagi Pemerintah Hasil yang diperoleh nantinya diharapkan dapat dipergunakan sebagai rekomendasi bagi perumusan, peningkatan dan perbaikan pengadilan pajak kedepan agar keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum bisa didapatkan oleh pemerintah maupun Wajib Pajak (WP) itu sendiri.
3. Bagi Wajib Pajak (WP) Pengetahuan WP setelah membaca penulisan ini diharapkan meningkat, baik dalam segi teknis maupun non-teknis sehingga WP lebih mudah memahami, dan melaksanakan apa saja yang menjadi hak-haknya dan kewajiban-kewajibannya termasuk alur dari persidangan pajak.
4. Bagi Ilmu Pengetahuan Untuk menambah khazanah sekaligus memberikan kontribusi pemikiran yang positif bagi perkembangan ilmu pengetahuan pada umumnya dan perkembangan di bidang hukum pada khususnya, terlebih lagi dalam bidang hukum pajak mengenai pengadilan pajak.
E. Keaslian Penelitian Sepanjang penelusuran yang dilakukan oleh penulis di Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM), terdapat beberapa penulisan hukum yang berhubungan dengan Pengadilan Pajak, antara lain penulisan hukum berupa tesis yang dilakukan oleh Santi Erita pada tahun 2007, mahasiswa Magister
Kenoktariatan
“EKSISTENSI
Fakultas
PENGADILAN
Hukum
UGM
PAJAK
dengan
DALAM
judul
SISTEM
PERADILAN DI INDONESIA DAN PERLINDUNGAN HUKUM YANG
DIBERIKAN
TERHADAP
WAJIB
PAJAK
DALAM
PENYELESAIAN SENGKETA PAJAK”. Penelitian tersebut mengkaji status Pengadilan Pajak yang dibentuk berdasarkan Undang-undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak selanjutnya disebut UU PP atau UU Pengadilan Pajak dalam memberikan perlindungan hukum pada Sengketa Pajak.
Selanjutnya ditemukan penelitian dari mahasiswa Magister Hukum Bisnis Fakultas Hukum UGM yang serupa juga berupa tesis oleh Wildan Abdilah pada tahun 2008 yang berjudul “TINJAUAN YURIDIS ATAS KEDUDUKAN PERADILAN
PENGADILAN DI
INDONESIA”.
PAJAK
DALAM
Penulisan
hukum
SISTEM tersebut
memfokuskan pada kedudukan dan kompetensi absolut dari Pengadilan Pajak dalam sistem peradilan di Indonesia termasuk kajian tentang Keputusan MK No:004/PU-II/2004 atas Judicial Review terhadap Undang-undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak selanjutnya disebut UU PP atau UU Pengadilan Pajak. Selain itu juga didapatkan penulisan hukum yang dibuat pada tahun 2008, juga dilakukan oleh mahasiswa Magister Hukum Bisnis Fakultas Hukum UGM yang bernama Hadiyanto dengan judul “KEMANDIRIAN PENGADILAN
PAJAK DI INDONESIA DALAM
RANGKA
KEKUASAAN KEHAKIMAN YANG MERDEKA”, secara garis besar penulisan ini menjabarkan kesesuaian antara kemandirian Pengadilan Pajak di Indonesia dengan kekuasaan kehakiman dan untuk mengetahui faktor-faktor yang dapat mempengaruhi kemandirian Pengadilan Pajak di Indonesia. Tidak berhenti disitu saja, peneliti juga menemukan penulisan hukum yang sama oleh Rayi Bhaskara pada tahun 2010. Berbeda dari penulisan hukum-penulisan hukum lainnya, penulisan hukum ini dilakukan oleh mahasiswa Strata Satu (S1) Fakultas Hukum UGM
bernama Rayi
Bhaskara sekitar tahun 2010 yang berjudul “PENERAPAN ASAS CEPAT,
SEDERHANA
DAN
BIAYA
RINGAN
DALAM
PERADILAN PAJAK SEBAGAI UPAYA PENEGAKAN HUKUM DI SEKTOR PERPAJAKAN”. Penulis menganalisis variabel-variabel asas yang hampir sama dengan penulisan yang akan penulis lakukan, yaitu asas cepat, sederhana, dan biaya ringan. Perbedaan lainnya terletak pada lokasi penelitian yang dipilih. Lokasi yang dipilih oleh Rayi Bhaskara adalah Pengadilan Pajak yang berada di Jakarta, Ibu Kota Negara Indonesia, sedangkan penulis menganalisis Tempat Sidang di Luar Tempat Kedudukan Pengadilan Pajak Yogyakarta yang tentunya memiliki perbedaan dalam pelaksanaan persidangannya. Selain itu penulisan hukum tersebut mengkaji dari sudut pandang penegakan hukumnya di dalam sektor perpajakan. Terakhir yaitu penulisan hukum yang dilakukan oleh Adriyani Masyitoh pada tahun 2011, mahasiswa Magister Hukum Ketatanegaraan Fakultas Hukum UGM dengan judul “PENGADILAN PAJAK DALAM RANGKA MEWUJUDKAN PERLINDUNGAN HUKUM BAGI PENCARI KEADILAN”. Fokus dari penulisan ini terletak pada perlindungan hukum apa saja yang didapatkan oleh para pencari keadilan juga
mengukur besar kemampuan dari Pengadilan Pajak agar bisa
mengakomodir perlindungan hukum bagi para pencari keadilan.