BAB I P E N D A H U L U A N
“Manusia adalah makhluk ciptaan Tuhan yang paling mulia, karena kepadanyalah diberikan Akal Budi dan Pikiran” Aristoteles
A.
LATAR BELAKANG PERMASALAHAN Ketika manusia dihadapkan pada suatu pertanyaan “mengapa kamu memilih untuk beragama”, rasanya frasa di atas merupakan jawaban yang tepat untuk mengutarakan alasan mengapa manusia mempercayai Tuhan. Frasa tersebut telah sering terdengar di telinga kita, mengingat karena eksistensi dari frasa tersebut, manusia memilih untuk terus menyembah dan mengagungkan Tuhan sesuai dengan pola dan tata cara yang dianutnya, sebagai bentuk ungkapan syukur atas karunia berupa akal budi dan pikiran, yang diberikan oleh Tuhan kepada manusia. Pola dan tata cara masingmasing individu untuk bersyukur tersebut, berbeda-beda tergantung pada agama dan kepercayaan yang dianutnya. Manusia sebagai subjek hukum internasional1 secara implisit diberikan kebebasan untuk menentukan apakah ia akan atau tidak akan
1
Dalam studi hukum internasional, salah satu subjek hukum internasional adalah individu. Individu in casu adalah orang-perorangan atau manusia yang dalam studi hukum HAM internasional (international human rights law) telah dikokohkan statusnya sebagai subjek hukum internasional, baik karena keterikatan manusia tersebut dalam sebuah instrumen hukum internasional maupun karena kapasitasnya untuk bertindak di bawah hukum internasional. Lihat : Jawahir Tontowi & Pranoto Iskandar, 2006, Hukum Internasional Kontemporer, Refika Aditama, Bandung, hlm. 121
2
beragama2. Ketika manusia memiliki keyakinan terhadap suatu agama atau kepercayaan tertentu, maka ia dipersilahkan untuk memeluk agama atau kepercayaan tersebut. Sebaliknya, ketika manusia tidak memiliki keyakinan terhadap satupun agama atau kepercayaan yang ada, ia diperbolehkan untuk tidak memeluk agama apapun3. PBB pun mengakui hak-hak individu untuk meyakini atau tidak meyakini suatu agama. Pengakuan tersebut termaktub dalam Pasal 1 ayat (1) United Nations Declaration on the Elimination of All Forms of Intolerance and of Discrimination Based on Religion or Belief (Penghapusan Segala Bentuk Intoleransi dan Diskriminasi Berlandaskan Agama atau Keyakinan, untuk selanjutnya disingkat sebagai DEIDRB), yang berbunyi sebagai berikut : “Everyone shall have the right to freedom of thought, conscience and religion. This right shall include freedom to have a religion or whatever belief of his choice, and freedom, either individually or in community with others and in public or private, to manifest his religion or belief in worship, observance, practice and teaching” “Setiap orang berhak atas kebebasan berpikir, berkeyakinan dan beragama. Hak ini mencakup kebebasan untuk memiliki agama atau keyakinan apa pun pilihannya, dan kebebasan, baik secara individu maupun dalam komunitas dengan orang lain dan di depan umum atau swasta, untuk mewujudkan agama atau keyakinan dalam ibadah, ketaatan, praktek dan pengajaran” Deklarasi a quo merupakan penyempurnaan dari pasal-pasal mengenai kebebasan beragama dari instrumen hukum HAM internasional sebelumnya,
2
3
vide Pasal 1 ayat (1) Deklarasi PBB tahun 1981 tentang Penghapusan Segala Bentuk Intoleransi dan Diskriminasi Berlandaskan Agama atau Keyakinan (United Nations Declaration on the Elimination of All Forms of Intolerance and of Discrimination Based on Religion or Belief), Resolusi PBB Nomor A/RES/36/55, diadopsi oleh Majelis Umum PBB tanggal 25 November 1981 Buihe Okenu, 2002, The Right to Freedom of Religion Vis a Vis Religious Intolerance in the New Millenium, LLM Thesis, University of Georgia School of Law, Georgia, hlm. 7
3
yakni Universal Declaration of Human Rights (Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, untuk selanjutnya disingkat sebagai UDHR)4. Adapun ketentuan dalam UDHR yang mengatur mengenai kebebasan beragama dapat ditemukan pada Pasal 18 yang berbunyi sebagai berikut : “Everyone has the rights to freedom of thought, conscience, and religion; this right includes freedom to change his religion or belief, and freedom, either alone or in community with others and in public or private, to manifest his religion or belief in teaching, practice, worship, and observance” “Setiap orang memiliki hak atas kebebasan pikiran, hati nurani, dan agama; hak ini termasuk kebebasan berganti agama atau kepercayaan, dan kebebasan, baik sendiri atau dalam komunitas dengan orang lain dan di depan umum atau privat, untuk mewujudkan agama atau kepercayaan dalam pengajaran, praktek, ibadah, dan ketaatan” Sayangnya instrumen hukum tersebut berbentuk deklarasi, sehingga tidak mengikat bagi negara-negara anggota PBB, dan hanya dapat dijadikan sebagai pedoman – yang tidak harus diikuti – untuk menjaga kerukunan antar umat beragama5. Apa yang diatur dalam deklarasi ini sebenarnya merupakan pengejawantahan secara tertulis nilai-nilai moral yang berlaku di masyarakat, yakni rasa saling menghormati dan toleransi antar umat beragama. Inti dari deklarasi a quo adalah mengajak masyarakat internasional yang masing-masing menganut agama dan/atau kepercayaan yang berbeda untuk menghormati pemeluk agama dan/atau kepercayaan lainnya. Ketika pemeluk agama yang satu menghormati keyakinan pemeluk
4
5
Ali Khanif, 2010, Hukum dan Kebebasan Beragama di Indonesia, Laksbang Mediatama, Yogyakarta, hlm. 29 ibid, hlm. 30
4
agama lainnya, vice versa, maka tujuan dari dibentuknya DEIDRB tersebut pun akan tercapai, yakni terciptanya kerukunan antar umat beragama. Setelah PBB mengakuisisi nilai-nilai moral tersebut dalam UDHR dan DEIDRB, memasuki abad ke-21 ini, hampir semua negara di Planet Bumi mengakui hak-hak asasi manusia – salah satunya hak untuk kebebasan beragama – sebagai bagian hakiki konstitusi mereka. Substansi materiil dari konstitusi negara-negara tersebut pun sedikit banyak dipengaruhi oleh UDHR dan DEIDRB. Penerimaan kedua deklarasi tersebut sekaligus menunjukkan bahwa untuk pertama kalinya dalam sejarah umat manusia, sebuah sistem nilai moral menjadi universal6. Selain mendapatkan pengakuan dari negara-negara sebagai subjek hukum internasional, komunitas-komunitas keagamaan juga telah menjamin kemerdekaan bagi manusia untuk memilih agama apapun yang diyakininya, kendati berseberangan dengan filosofi teologi yang dianut oleh komunitas tersebut. Bahkan 3 (tiga) agama Abrahamik7 memberikan pengakuan secara tertulis. Salah satunya adalah Gereja Katholik, yang hingga abad ke-20 (dua puluh) masih bersikap skeptis terhadap hak-hak asasi manusia karena acap kali dikaitkan dengan antiklerikalisme8 dalam Revolusi Prancis. Gereja 6
7
8
Budi Hardiman, 2011, Hak-hak Asasi Manusia : Polemik Agama dan Kebudayaan, Penerbit Kanisius, Yogyakarta, hlm. 11 Agama Abrahamik atau sering pula disebut sebagai Agama Samawi adalah agama monoteistik yang banyak dianut oleh masyarakat Amerika, sebagian Eropa, dan sebagian Amerika; yang dipercaya bersumber dari satu nabi (penyebar agama) dalam tradisi Semit, yakni Abraham (Bahasa Ibrani) atau Ibrahim (Bahasa Arab). Kata “Abraham” atau “Ibrahim” itu sendiri berarti “Bapak segala Bangsa”. Agama Abrahamik dengan jumlah pemeluk terbanyak di antaranya adalah Kristen Protestan, Kristen Ortodoks, Katholik Roma, Islam, Yahudi, Yudaisme, dan Baha’i. Lihat : Paul Helm, “Phillosophy of Religion” dalam Ensyclopaedia Britannica, http://www.britannica.com/EBchecked/topic/497132/philosophyof-religion, 25 Oktober 2013, diakses terakhir kali pada tanggal 28 September 2014 pukul 17.43 WIB. Antiklerikalisme (dalam Bahasa Inggris : Anticlericalism) adalah gerakan historis yang menentang dan cenderung memaksakan kehendak terhadap para pastor (clerk) dalam Gereja
5
Katholik baru memberikan pengakuan terhadap hak atas kebebasan beragama melalui ensiklik Pacem In Terris (1963) dan dokumen Konsili Vatikan II Dignitatis Humanae (1965)9. Kemudian, Gereja Kristen Protestan yang awalnya pun skeptis terhadap isu-isu kebebasan beragama, baru pada dekade 1970-an melalui World Council of Churches menerima deklarasi-deklarasi hak-hak asasi manusia, seperti UDHR dan DEIDRB10. Terakhir, komunitas Islam mengakui hak-hak asasi manusia dalam Universal Islamic Declaration of Human Rights (Deklarasi Universal HakHak Asasi Manusia Islam) yang disahkan pada tahun 1981 oleh Islamic Council of Europe dan dalam Cairo Declaration on Human Rights in Islam (Deklarasi Hak-Hak Asasi Manusia dalam Islam) yang disahkan oleh para menteri luar negeri negara-negara anggota OIC (Organization of Islamic Conference) pada tahun 1990 di Kairo, Mesir11. Jika negara-negara serta komunitas-komunitas keagaman telah memberikan pengakuan resmi atas hak-hak asasi manusia – terutama dalam topik penulisan hukum ini adalah hak atas kebebasan beragama – maka dapat diandaikan bahwa hak-hak asasi manusia tersebut akan dijamin dan dihormati di berbagai wilayah di muka bumi. Sayangnya, pengandaian tersebut tetap akan menggantung di atas langit imajinasi. Dalam daratan
9 10 11
Katholik Roma, karena perbedaan keyakinan atau ketidak-percayaan (disbelief) terhadap ajaran Katholik Roma. Gerakan ini bersifat politis dan bertujuan untuk melakukan indoktrinasi ajaran mereka sendiri (ajaran berhala) terhadap para pemeluk agama Katholik pada zaman Revolusi Prancis. Salah satu filsuf ternama pada zaman itu, Voltaire, merupakan motor dari Antiklerikalisme, setelah ia melakukan penyerangan terhadap Gereja Katholik Roma dan menyebarkan isu bahwa para imam Katholik (priests) telah melakukan korupsi moral. Lihat : Jose Mariano Sanchez, 1972, Anticlericalism : A Brief History, University of Notre Dame Press, South Bend, Indiana, hlm. 22 Budi Hardiman, loc.cit. ibid. Heiner Bielefeldt, 1998, Philosophie der Menschenrechte : Grundalgen Eines Weltweiten Freheitsethos, Primus Verlag, Darmstadt, hlm. 3-4 dalam Budi Hardiman, op.cit., hlm.12
6
kenyataan, praktek yang terjadi di lapangan justru sebaliknya. Pelanggaran terhadap hak-hak asasi manusia masih dapat kita jumpai dalam kehidupan keseharian kita. Pelanggaran hak-hak asasi manusia tersebut bervariasi di berbagai bidang, seperti penyiksaan (torture), hukuman mati, perdagangan manusia, pekerja di bawah umur, diskriminasi gender dan ras, perlakuan tidak manusiawi terhadap para pengungsi, pembersihan etnis (genosida), serta tindakan intoleransi terhadap kaum minoritas (budaya dan/atau agama), dan berbagai bentuk lainnya12. Bahkan, tidak jarang kasus-kasus a quo terjadi di Indonesia. Bhineka Tunggal Ika. Demikianlah semboyan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang memiliki arti “berbeda-beda tetapi tetap satu”. Indonesia terdiri atas ragam suku bangsa, bahasa, budaya, dan agama. Seyogyanya, untuk dapat menciptakan kerukunan dan perdamaian di antara perbedaan tersebut, masing-masing golongan harus saling menghargai dan menjalin komunikasi. Keberagaman tersebut dapat menjadi kekuatan tersendiri bagi Indonesia, seandainya digunakan dengan baik. Sebaliknya, bila timbul perpecahan dan kebencian antara masing-masing golongan, maka potensi kekuatan tersebut akan berbalik menjadi chaos yang justru akan menghancurkan Bangsa Indonesia sendiri. Mayoritas penduduk Indonesia beragama Islam13. Bahkan, jumlah penduduk beragama Islam di Indonesia adalah yang terbesar di dunia. Kendati demikian, Indonesia bukanlah negara Islam. Indonesia pun
12 13
Budi Hardiman, loc.cit. Berdasarkan data sensus penduduk Tahun 2010, komposisi jumlah penduduk Indonesia yang beragama Islam sebanyak 87,13%, sisanya beragama Katholik, Kristen, dan Hindu. Sementara yang beragama Buddha dan Kong Hu Cu berjumlah kurang dari 2%.
7
bukanlah negara yang sekuler anti-agama14, seperti kebanyakan negaranegara barat. Setidaknya ada 6 (enam) agama yang diakui di Indonesia, di antaranya : Islam, Katholik, Kristen Protestan, Hindu, Buddha, dan Kong Hu Cu (yang terakhir baru diakui pada rezim Gus Dur). Keenam agama tersebut berada di bawah naungan Kementerian Agama. Bahkan, Indonesia pun mengakui adanya aliran kepercayaan yang berkembang di masyarakat, terutama di kalangan masyarakat hukum adat. Secara tersurat, salah satu instansi yang mengakui eksistensi dari aliran kepercayaan tersebut adalah Mahkamah Agung. Mahkamah Agung dalam Buku II-nya, selain mengatur lafal dan tata cara sumpah saksi / ahli yang beragama Islam, Katholik, Kristen Protestan, Hindu, dan Buddha, juga mengatur lafal dan tata cara sumpah bagi saksi / ahli yang menganut aliran kepercayaan15. Khusus untuk aliran kepercayaan ini, masing-masing daerah memiliki corak dan nama yang berbeda-beda, dan pembinaannya berada di bawah naungan Kementerian
Kebudayaan dan Pendidikan Dasar dan Menengah16
(Direktorat Jenderal Kebudayaan – pen).
14
15
16
Sigit Ardianto, 2009, From Secularism into Modified Pluralism : Comprehensive Application of John Rawls’s justice as Fairness Theoiry in Defining State and Religion Relationship, Cornell Law Library, Cornell University Press, New York, hlm. 114 Mahkamah Agung Republik Indonesia, 2009, Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Pengadilan dalam Empat Lingkungan peradilan, Mahkamah Agung Republik Indonesia, Jakarta, Hlm. 235 – 236. Zakiyuddin Baidhawi, 2005. Kredo Kebebasan Beragama, PSAP Muhammadiyah, Jakarta, Hlm. xxiii. Catatan Penulis : Dalam buku tersebut, Departemen yang bertanggung jawab adalah Departemen Pariwisata dan Kebudayaan, namun Departemen tersebut sudah tidak ada (berganti nama dan dilebur menjadi satu dengan) menjadi Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif serta Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dalam Kabinet Indonesia Bersatu II di bawah pimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Kemudian di Kabinet Kerja di bawah pimpinan Presiden Joko Widodo yang efektif berlaku sejak 27 Oktober 2014, berganti lagi menjadi Kementerian Kebudayaan dan Pendidikan Dasar dan Menengah. Berdasarkan analisa penulis, instansi pemerintah yang seharusnya bertanggung jawab atas pembinaan aliran kebudayaan adalah Kementerian Kebudayaan dan Pendidikan Dasar dan Menengah di bawah Direktorat Jenderal Kebudayaan.
8
Ditinjau dari segi agama yang dianut, terdapat perbedaan yang sangat signifikan antara jumlah penganut golongan mayoritas dan golongan minoritas.
Disparitas
yang
tinggi
tersebut
menimbulkan
berbagai
permasalahan yang berujung pada pelanggaran kebebasan beragama, terutama terhadap kaum minoritas. Jumlah orang di Indonesia yang sanggup menghargai adanya perbedaan di antara mereka sangat sedikit jika dibandingkan dengan jumlah kasus yang bertopik diversity-based violation (kejahatan berbasis keragaman). Kasus yang paling diingat adalah pertikaian antara etnis Dayak dan Madura di Sampit, Kalimantan Tengah (2001)17 serta pertikaian antar agama antara umat Kristiani dengan para Muslim di Ambon, Maluku (1999)18. Dua kasus tersebut hanyalah secuil saja dari sekian banyaknya kasus kekerasan antar golongan (Agama, Suku, Ras, Budaya, dll) yang terjadi di Indonesia. Satu hal yang pasti dilanggar dalam kasus-kasus yang pokok perkaranya demikian adalah, adanya pelanggaran hak asasi manusia terhadap kaum minoritas. Ironis, di negeri yang Presidennya
mendapatkan
penghargaan
atas
prestasinya
karena
berhasil
mempromosikan toleransi, perdamaian, dan resolusi konflik19, ternyata kasus-kasus pemaksaan pelarangan ibadah bagi agama minoritas masih ada.
17
18
19
Kirsty Alfredson, “Kalimantan’s Agony : The Failure of Transmigrasi, Inside the head of a headhunter”, http://edition.cnn.com/SPECIALS/2001/kalimantan/feature.html, 15 Mei 2003, diakses terakhir kali pada tanggal 22 Oktober 2013 pukul 15.00 WIB Rustam Kastor, “Damai Sekarang atau Perang Berlanjut”, http://media.isnet.org/ambon/Kastor/Sungguh.html, 7 Oktober 2001, diakses terakhir kali pada tanggal 28 September 2014 pukul 15.04 WIB Pada hari Jumat tanggal 31 Mei 2013, Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono mendapatkan penghargaan World Statesman Award yang diberikan atas promosi dari The Appeal of Conscience Foundation. Presiden SBY dinilai telah berprestasi untuk menekan jumlah pertikaian antar etnis di Indonesia dan berjasa besar atas tingginya tingkat toleransi dan perdamaian antar agama di Indonesia. Namun, pemberian penghargaan tersebut mendapat kecaman dari sejumlah kalangan di Indonesia, di antaranya Teolog Katholik yang juga Pengamat Politik, Romo Franz Magnis Suseno, SJ
9
Bagaimana wujud dari pemaksaan pelarangan ibadah tersebut? Banyak modus yang dilakukan dalam hal pembatasan dan/atau pelarangan untuk melaksanakan ibadah atau kegiatan keagamaan lainnya. Kebanyakan kasus pelanggaran terhadap kebebasan beribadah ditunjukkan dengan adanya pelanggaran / kejahatan (perlakuan khusus yang bersifat melawan hukum materiil20 – pen) terhadap rumah ibadah. Agama minoritas seperti Katholik dan Kristen Protestan seringkali mendapatkan hambatan untuk menjalankan dan melaksanakan ibadah, diantaranya adanya suatu unpleasant actions bagi gereja tempat dimana mereka melaksanakan kegiatan keagamaan. Sudah jamak sekali terdengar berita mengenai adanya penyegelan dan bahkan hingga pembakaran gereja. Peristiwa yang terbaru adalah penyegelan yang dilakukan terhadap Gereja Katholik Paroki St. Bernadette, Bintaro, Tangerang Selatan. Gereja tersebut didemo oleh massa yang mengatasnamakan warga Bintaro pada hari Minggu, 22 September 2013, sekitar pukul 08.00 sampai dengan pukul 11.00 WIB. Massa yang mengamuk kemudian menggembok gereja tersebut dari luar dan meminta perluasan pembangunan gereja dihentikan21. Kasus ini pun bukan yang pertama kali, dan diduga kuat peristiwa serupa akan kembali terjadi di masa mendatang. Sejumlah tempat ibadat lainnya pun (tidak hanya gereja), juga kerap kali mendapatkan perlakuan serupa.
20
21
Sifat melawan hukum materiil, artinya melawan nilai-nilai moral dan kesusilaan yang berlaku di masyarakat. Lihat : D. Schaffmeister, N. Keijzer, E. PH. Sutorius, 1995, Hukum Pidana, J. E. Sahetapy (terj.), Liberty, Yogyakarta, Hlm. 41. Anggita Desyani, “Komnas HAM Kecam Penyegelan Gereja St. Bernadette”, http://www.tempo.co/read/news/2013/09/23/064515947/Komnas-HAM-Kecam-PenyegelanGereja-St-Bernadette, 23 September 2013, diakses terakhir kali pada tanggal 28 September 2014 pukul 15.04 WIB
10
Apabila melihat perkembangan yang terjadi hingga saat ini, angka kekerasan (kejahatan) terhadap kebebasan beragama (violation against the freedom of religions or beliefs) justru meningkat dari tahun ke tahun22 (lihat Grafik 1) nec non dengan jumlah kasus pengrusakan atau pelanggaran tata beribadah umat Nasrani di Indonesia23 (lihat Grafik 2). Tidak hanya umat Nasrani, korban kasus kekerasan beragama pun juga berasal dari aliranaliran tertentu dalam agama Islam24 (lihat Grafik 3).
Grafik 1 – Jumlah kasus kejahatan terhadap kebebasan beragama di Indonesia Tahun 2009 – 2013 sumber : Laporan Penelitian INFID No. 2 / 2013 tentang Kebebasan Beragama di Indonesia
22
23 24
International NGO Forum on Indonesian Development (INFID), 2013, Laporan Penelitian INFID No. 2 / 2013 tentang Kebebasan Beragama di Indonesia, Hilman Hamdoni (ed.), INFID, Jakarta, hlm. 3 ibid, hlm. 5 ibid, hlm. 6
11
Grafik 2 – Jumlah pengrusakan rumah ibadah / pelanggaran tata beribadah umat Nasrani 2009 – 2013 sumber : Laporan Penelitian INFID No. 2 / 2013 tentang Kebebasan Beragama di Indonesia
Grafik 3 – Korban pelanggaran kebebasan beragama di Indonesia 2010 – 2012 sumber : Laporan Penelitian INFID No. 2 / 2013 tentang Kebebasan Beragama di Indonesia
Ketiga grafik di atas menunjukkan bahwa kesadaran masyarakat akan pentingnya toleransi antar umat beragama dan penegakkan hukum terhadap pelanggaran kebebasan beragama di Indonesia masih sangat lemah. Padahal, kebebasan beragama tersebut telah dijaminkan dalam Pancasila (ideologi yang dianut oleh Bangsa Indonesia), serta termaktub dalam Pasal 29 UUD
12
1945 (konstitusi Negara Republik Indonesia sebagai Negara yang berdaulat)25. Terlebih lagi, telah ada instrumen Internasional yang menjamin adanya penegakkan Hak Asasi Manusia dalam hal kebebasan untuk beragama, yakni UDHR, ICCPR, DEIDRB, serta DR-Min. Misi yang kini perlu diwujudkan pasca diratifikasinya ICCPR melalui Undang Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2005, adalah bagaimana caranya agar tiap-tiap umat beragama di Indonesia bisa saling hidup berdampingan tanpa adanya friksi-friksi yang dapat menyebabkan perpecahan internal antar sesama rakyat Indonesia. Seperti yang telah diutarakan sebelumnya, keberagaman tersebut dapat menjadi kekuatan tersendiri seandainya dimanfaatkan dengan baik. Hal inilah yang secara garis besar akan penulis ulas dalam penulisan hukum berjudul “AspekAspek Hukum Internasional sebagai Pedoman Pemerintah dalam Menegakkan Kebebasan Beragama” dengan memfokuskan studi pada segelintir kasus penyegelan gereja di Indonesia.
25
Nella Sumika Putri, “Pelaksanaan Kebebasan Bergaama di Indonesia (External Freedom) dihubungkan dengan Izin Pembangunan Rumah Ibadah”, Jurnal Dinamika Hukum, Vol.11 No. 2, Mei 2011, hlm. 231
13
B.
RUMUSAN MASALAH Berdasarkan uraian latar belakang permasalahan pada sub-bab sebelumnya, Penulis menentukan rumusan masalah yang akan dibahas dalam penulisan hukum ini adalah sebagai berikut : 1. Bagaimana aktualisasi kebebasan beragama di Indonesia? 2. Bagaimana
seharusnya
pemerintah
dan
masyarakat
memposisikan diri dalam mewujudkan kebebasan beragama di Indonesia ditinjau dari perspektif hukum internasional? 3. Bagaimana instrumen hukum internasional dan hukum nasional melindungi dan menjamin hak-hak kebebasan beragama kaum minoritas?
C.
TUJUAN PENELITIAN Tujuan yang ingin Penulis capai dalam penulisan hukum ini mencakup 2 (dua) hal, yakni sebagai berikut : 1. Tujuan Subjektif Tujuan subjektif dari penulisan hukum ini adalah untuk memperoleh semua data yang diperlukan dalam rangka menyusun penulisan hukum guna memenuhi persyaratan untuk memperoleh gelar kesarjanaan (Sarjana Hukum / S.H.) dari Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada.
14
2. Tujuan Objektif Tujuan objektif dari penulisan hukum ini didasarkan pada rumusan masalah yang telah Penulis kemukakan pada sub-bab sebelumnya, yakni : a. Mengetahui aktualisasi kebebasan beragama di Indonesia, dengan fokus utama pada kebebasan beragama umat Kristiani di Indonesia; b. Mengetahui tindakan apa saja yang telah dilakukan pemerintah Republik Indonesia serta masyarakat dalam rangka mewujudkan kebebasan beragama di Indonesia, serta menganalisis apakah perbuatan tersebut telah sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku di Indonesia dan telah cukup melindungi kebebasan beragama kaum minoritas; c. Mengetahui perlindungan hukum terhadap kebebasan beragama baik yang bersumber dari hukum nasional maupun hukum internasional, serta menganalisis apakah segala instrumen hukum tersebut telah diaplikasikan dengan baik di Indonesia dalam
rangka
mewujudkan
kebebasan
beragama
kaum
minoritas.
D.
KEASLIAN PENELITIAN Penulis telah melakukan penelusuran terhadap beberapa sumber, telah banyak penelitian dilakukan dengan topik Penegakkan Hak Asasi Manusia, namun hanya terdapat 2 (dua) penelitian yang bertemakan
15
Kebebasan Beragama. Berikut adalah judul kedua penelitian tersebut beserta dengan perbedaan dan persamaannya dengan Penulisan Hukum yang dibuat oleh Penulis : 1. Penulisan Hukum berjudul “Ahmadiyya in Indonesia : International Human Rights Law Perspective (A Case Study)”, yang terjemahan bebasnya berjudul “Ahmadiyah di Indonesia : Perspektif Hukum Hak Asasi Manusia Internasional (Sebuah Studi Kasus)”, hasil karya Hayu Qisthi Adilla26. Persamaan dalam Penulisan Hukum karya Sdri. Hayu dengan Penulisan Hukum yang dibuat oleh Penulis adalah sama-sama membahas mengenai hak kebebasan beragama dalam perspektif hukum internasional. Namun, Sdri. Hayu secara khusus membahas mengenai eksistensi Ahmadiyah sebagai salah satu aliran dalam agama Islam di Indonesia, yang kerap kali mengalami tindakan diskriminasi dan intoleransi karena dianggap bukan bagian dari agama Islam27. Tindakan impulsif (unpleasant actions) yang dilakukan oleh umat Islam non-Ahmadiyah teradap umat Islam Ahmadiyah dianggap sebagai bentuk pelanggaran terhadap hak kebebasan beragama, karena umat Islam Ahmadiyah tidak dapat melaksanakan ibadah dengan tenang akibat adanya kejahatan terhadap tata laksana ibadah mereka (violation against the freedom of religions or beliefs). Sdri. Hayu pun
26 27
Sarjana Hukum (S.H.), Jurusan Ilmu Hukum, Fakultas Hukum, Universitas Gadjah Mada Penganut aliran Ahmadiyah percaya bahwa Nabi Muhammad S.A.W. bukanlah Nabi terakhir. Menurut mereka, ada seorang Nabi lainnya yang lahir setelah Nabi Muhammad S.A.W. wafat, yakni Mirza Ghulam Ahmad. Lihat : Hayu Qisthi Adila, 2012, Ahmadiyya in Indonesia : International Human Rights Law Perspective (A Case Study), Penulisan Hukum, Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, hlm. 105-107
16
turut membahas mengenai instrumen hukum hak asasi manusia internasional apa saja yang dilanggar dalam kasus penyerangan terhadap Ahmadiyah (violation of human rights in accordance to the case of Ahmadiyya in Indonesia). Tetapi, Sdri. Hayu belum merinci bagaimana seharusnya pemerintah menyikapi instrumen hukum internasional yang ada demi terwujudnya kebebasan beragama. Dalam
Penulisan
Hukum
ini,
nantinya
Penulis
akan
memfokuskan studi pada serangkaian kasus tindakan tercela (unpleasant actions), salah satunya berupa penyegelan, terhadap gereja atau rumah ibadah Nasrani (Kristen Protestan dan Katholik) di Indonesia
sebagai bentuk pelanggaran terhadap hak kebebasan
beragama. Selain itu, Penulis juga akan membahas mengenai aplikasi instrumen hukum internasional yang berkaitan dengan hak asasi manusia untuk dijadikan pedoman bagi pemerintah dalam rangka menegakkan kebebasan beragama. 2. Tesis berjudul “Politik Hukum Kebebasan Beragama dalam Perspektif Pancasila dan UUD 1945”, hasil karya Ilmal Yaqin28. Tesis yang dibuat oleh Sdr. Ilmal ini mengulas segi teoritik tentang kebebasan beragama dalam perspektif Pancasila dan UUD 1945, serta peran pemerintah pada implementasi kebebasan beragama yang sudah tertuang dalam peraturan perundang-undangan. Inilah letak persamaan sekaligus perbedaan antara penelitian yang dibahas oleh Sdr. Ilmal dengan penulisan hukum ini. Sdr. Ilmal dan Penulis 28
Lex Legum Magister / Master of Law (LL.M..), Program Magister Ilmu Hukum, Fakultas Hukum, Universitas Gadjah Mada
17
sama-sama mengulas secara normatif menggunakan pendekatan historis dan komparatif, mengenai hal-hal apa saja yang seharusnya dilakukan pemerintah untuk menegakkan kebebasan beragama. Hanya saja, ruang lingkup landasan yang dijadikan basis penelitian berbeda. Sdr. Ilmal menggunakan pendekatan teoritis dan membahas segi hukum ketata-negaraan, mengingat dasar hukum yang digunakan adalah Pancasila dan UUD 1945, masing-masing merupakan fundamentalnorm dan konstitusi negara Republik Indonesia. Penulis menggunakan pendekatan kasuistis dan membahas segi hukum internasional, mengingat dasar hukum yang digunakan adalah beragam perjanjian internasional baik yang bersifat mengikat maupun hanya sebagai pedoman bertindak bagi pemerintah. Dalam Tesis-nya, Sdr. Ilmal menyimpulkan bahwa kebebasan beragama dalam perspektif Pancasila harus diartikan bahwa bangsa Indonesia harus beragama karena bangsa Indonesia mengakui adanya Tuhan. Oleh karenanya, bangsa Indonesia memiliki kebebasan untuk menafsirkan hakekat Tuhan. Sementara kebebasan beragama dalam perspektif UUD 1945 adalah kebebasan untuk menjalankan ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaan yang diyakininya, kendati kebebasan
tersebut
dibatasi.
Namun
implementasi
kebebasan
beragama tersebut belum maksimal, karena terkendala dengan hal-hal berikut : (1) peraturan perundang-undangan yang tumpang tindih, (2) politik pembiaran terhadap kekerasan atas nama agama, (3) lemahnya
18
penegakkan hukum, dan (4) lemahnya kesadaran masyarakat untuk menghargai perbedaan pendapat29. Demikianlah kedua penelitian dengan tema kebebasan beragama berikut pokok-pokok materinya. Kendati memiliki kesamaan topik, namun substansi materiil dari apa yang disampaikan berbeda. Oleh karena itu, Penulis memiliki keyakinan bahwa penulisan hukum ini adalah asli.
E.
KEGUNAAN PENELITIAN Pada hakekatnya penelitian merupakan suatu studi yang mendalam mengenai bidang ilmu tertentu dengan mengikuti dan menerapkan metode serta prosedur ilmiah tertentu yang dimaksudkan untuk mengembangkan ilmu dan mengungkapkan suatu kebenaran berdasarkan analisa terhadap fakta dan informasi yang telah dikumpulkan. Terkait dengan kegunaan dari penulisan hukum ini, mungkin tidak semua orang bisa merasakannya. Penulis hanya berharap agar kehadiran dari penulisan hukum ini dapat menambah khasanah pengetahuan Penulis serta membuka jendela berpikir kita semua mengenai realita penegakan hak kebebasan beragama di Indonesia. Secara khusus, berikut adalah beberapa kegunaan dari penulisan hukum berjudul “Aspek-Aspek Hukum Internasional sebagai Pedoman Pemerintah dalam Menegakkan Kebebasan Beragama” ini :
29
Ilmal Yakin, 2011, Politik Hukum Kebebasan Beragama dalam Perspektif Pancasila dan UUD 1945, Tesis, Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, hlm. 155 – 157
19
1. Kegunaan Akademis a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangsih bagi perkembangan ilmu hukum, khususnya dalam bidang hukum internasional, lebih khusus lagi dalam bidang hukum hak asasi manusia internasional dengan fokus utama hak-hak kebebasan beragama. b. Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan acuan bagi penelitian-penelitian
selanjutnya
yang
memiliki
research
interest yang sama dengan Penulis, yakni di bidang hak asasi manusia, khususnya dengan sub-topik kebebasan beragama. 2. Kegunaan Praktis a. Hasil
penelitian
ini
diharapkan
dapat
bermanfaat
bagi
masyarakat pada umumnya terutama dalam mengurangi dan mencegah segala bentuk kekerasan dan intoleransi terhadap agama yang mengatas-namakan agama lain; b. Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan pertimbangan oleh pemerintah Republik Indonesia dalam menegakkan kebebasan beragama di Indonesia demi terwujudnya kerukunan antar umat beragama di Indonesia.