BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Mahkamah Agung mengajukan keberatan dan memprotes laporan jurnalistik Tabloid Mahkamah berjudul
“Mahkamah Agung dijajah Australia” serta
beberapa berita lainnya pada edisi III, November 2008.
Mahkamah Agung
keberatan dengan Mahkamah yang telah merendahkan lembaga tinggi negara tersebut melalui pemberitaan dengan menggunakan kata-kata tidak etis seperti “obok-obok” dan “dijajah”. Selain itu, lembaga yudikatif itu juga menilai berita tersebut tidak berimbang, cenderung memanipulasi data dengan menulis bahwa pembangunan Gedung Pusat Pendidikan dan Pelatihan Mahkamah Agung dibiayai bantuan dari Australia. Protes Mahkamah Agung terhadap Tabloid Mahkamah disampaikan melalui Dewan Pers. Setelah melalui mediasi di lembaga Dewan Pers, pada tanggal 1 Desember 2008, Mahkamah menyadari kekeliruannya dan bersedia mencabut berita tersebut disertai permintaan maaf. Mahkamah juga memuat koreksi di halaman sampul (cover) dan memuat hak jawab penuh. Materi pemberitaan berupa penjelasan dari Mahkamah Agung yang membantah berita sebelumnya di tabloid tersebut1 Pada kasus lain, Edison M. Tambunan, warga Jakarta, mengadu ke Dewan Pers atas liputan empat penerbitan di ibukota, masing-masing Pos Kota atas 1
http/www/dewanpers.or.id Laporan Komisi Pengaduan Masyarakat dan Penegakan Etika Pers, Dewan Pers, Tahun 2008, 16 Maret 2009, 10 Maret 2011
1
2
berita berjudul “Wanita Diborgol Mantan Suami” (edisi 21 Desember 2008); Warta Kota berjudul “Tangan Diborgol, Wanita Dikeroyok, Pelaku Eks Suami” (edisi 21 Desember 2008), Lampu Hijau berjudul “Limery Tobing (57 tahun) Babak Belur Dihajar Mantan Suami” (edisi 21 Desember 2008) dan Tabloid Nova berjudul “Dari Amerika Menjemput Petaka. Natal Kali Ini Penuh Kepedihan” (edisi 29 Desember 2008-4 Januari 2009). Edison yang menjadi objek berita dari empat surat kabar tersebut merasa keberatan. Kepada Dewan Pers, Edison mengemukakan, pemberitaan empat media cetak itu tidak berimbang dan bersifat menghakimi (trial by the press). Sumber berita hanya berdasar keterangan mantan isterinya, Lameria, tanpa melakukan verifikasi dan klarifikasi (cross check) kepada Edison. Melalui mediasi, Dewan Pers mempertemukan Edison dengan keempat media tersebut. Setelah melalui proses cukup panjang, dicapailah kesepakatan diantara kedua belah pihak. Pihak pertama, Edison yang merasa dirugikan dengan pemberitaan yang tidak seimbang itu, dan pihak kedua, empat media cetak yang telah memuat berita. Tiga surat kabar, yakni Pos Kota, Warta Kota dan Lampu Hijau akhirnya bersedia memuat hak jawab dari Edison disertai permintaan maaf. Sementara tabloid mingguan Nova memberi kesempatan wawancara satu halaman penuh kepada Edison. Berita keempat media tersebut memuat utuh penjelasan atas peristiwa di hari Natal dari sisi atau versi keterangan Edison.2 Dua cerita di atas hanyalah contoh dari serangkaian kasus pemberitaan media massa yang diadukan oleh objek berita yang dirugikan. Cerita itu
2
http/www/dewanpers.or.id Laporan Komisi,..ibid
3
memanfaatkan Hak Jawab melalui mediasi di Dewan Pers yang merupakan manifestasi lembaga pers tertinggi di Indonesia sesuai amanat Undang Undang Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers. Dari dua contoh tersebut, membuktikan bahwa pemanfaatan Hak Jawab cukup efektif dapat menyelesaikan persoalan yang diakibatkan oleh pemberitaan media massa. Persoalannya ialah apakah fasilitas Hak Jawab itu sudah optimal dijadikan sarana menyelesaikan sengketa pemberitaan. Baik antara lembaga penerbitan dengan objek berita, antara wartawan dengan nara sumber dan antara nara sumber dengan nara sumber di dalam lingkaran konflik yang dijadikan materi pemberitaan atau tulisan jurnalistik. Pertanyaan di atas mengemuka karena pemanfaatan Hak Jawab penerapannya belum optimal. Ditandai masih banyaknya perkara (delik pers) diakibatkan oleh produk pemberitaan yang berujung pada peradilan umum, dimana pers, baik secara instusional (lembaga penerbitan) maupun perorangan, dalam arti wartawannya (jurnalis), dijadikan tersangka. Tidak sedikit pula, persidangan yang menyeret lembaga penerbitan atau wartawan sebagai terdakwa, kemudian dinyatakan bersalah dan harus menanggung sanksi pidana yang dijatuhkan oleh majelis hakim. Pada saat bersamaan, muncul pula banyak keluhan dari seseorang atau masyarakat, termasuk lembaga pemerintahan, yang merasa dirugikan akibat pemberitaan pers yang cenderung menghakimi (trial by the press), tanpa melakukan check and recheck dan bentuk penulisan cover both stories (pemberitaan dari kedua belah pihak) yang menjadi kewajiban, sekaligus standar moral dan profesionalisme pers (wartawan)
4
Keengganan memanfaatkan Hak Jawab sering pula berujung pada aksi anarkis atau tindak kekerasan, baik yang ditujukan langsung kepada wartawan si penulis berita, maupun lembaga penerbitannya. Kekerasan terhadap pers, bahkan ada yang sampai berakhir pembunuhan wartawannya. Di tahun 90-an, kasus fenomenal yang menjadi isu nasional ialah pembunuhan wartawan Harian Bernas Yogyakarta, Fuad Muhammad Syarifudin (Udin) tahun 1996. Contoh kasus yang terjadi baru-baru ini yang menimpa wartawan Radar Bali (Jawa Pos Group), Anak Agung Gede Prabangsa yang mayatnya ditemukan mengapung di perairan Selat Lombok. Kematian Prabangsa diketahui akibat dari pemberitaan menyangkut dugaan penyelewengan projek pada Dinas Pendidikan Bangli.3 Sedangkan tekanan yang ditujukan kepada lembaga penerbitannya, diantaranya melalui aksi massa dengan pendudukan, terkadang disertai aksi pengrusakan. Sekadar contoh pendudukan kantor Redaksi Pikiran Rakyat Bandung oleh sekelompok massa, mengatasnamakan Forum Ulama Umat Indonesia (FUUI) dan Masyarakat Korban Kesesatan Al Zaytun, yang memprotes keras laporan jurnalistik tentang Pondok Pesantren atau Mahad Al Zaytun, di Haurgeulis, Kabupaten Indramayu di tahun 2003. Ada juga pendudukan kantor Redaksi Jawa Pos Surabaya oleh massa pendukung Presiden K.H. Abdurahman Wahid (Gus Dur), memprotes pemberitaan Jawa Pos yang cenderung memojokan Gus Dur sebagai presiden pada tahun 20004. Selain itu, kurangnya pemanfaatan Hak Jawab, membuat perkara pidana yang berujung pada persidangan sering terjadi akibat pemberitaan pers. 3 4
Vivanews-Nasional, ”Teka-teki Kematian Wartawan Radar”. 25 Mei 2009, 10 Maret 2011 Didik Supriyanto, mantan Sekjen Aliansi Jurnalis Independen (AJI) dan Ketua Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Detiknews, 5 Januari 2010, 10 Maret 2011
5
Melibatkan antara nara sumber dengan pihak yang dirugikan akibat keterangan nara sumber bersangkutan dalam pemberitaan. Perkara itu umumnya berkaitan pasal-pasal karet (haatzai artikelen) di dalam Kitab Undang Undang Hukum Pidana (KUHP), seperti pasal yang mengatur pencemaran nama baik, fitnah dan perbuatan tidak menyenangkan. Munculnya istilah delik pers dan kriminalisasi (pemidanaan) pers, hingga kini masih menghantui. Meski tidak sesuai semangat pasal 28 Undang Undang Dasar 1945 dan Undang Undang Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers, namun keberadaan pasal karet untuk menjerat pers sebagai institusi, wartawan maupun nara sumber di dalam pemberitaan, masih menjadi momok menakutkan. Juniver Girsang, S.H, M.H menengarai telah terjadi pemanipulasian makna delik pers. Istilah delik pers, telah diperluas artinya, namun disisi lain, justru dipersempit dalam penerapannya. Penerapannya terbatas untuk menjerat tindakan yang dilakukan oleh wartawan (pers) 5 Padahal, delik pers juga bisa terjadi kepada nara sumber oleh pihak yang dirugikan akibat pernyataan nara sumber dimaksud dalam sebuah pemberitaan.
Kapolri Jendral Polisi Da’i
Bachtiar terhadap delik pers menggolongkan dalam lima kelompok delik pers yang dapat dikenakan pada pers (wartawan dan medianya). 6 Kategorisasi yang dikemukakan Da’i Bachtiar, sebagai reaksi atas kebebasan pers yang cenderung tanpa kontrol sehingga muncul banyak keluhan dari masyarakat.
5
Juniver Girsang, Penyelesaian Sengketa Pers, Jakarta, PT. Gramedia Pustaka Utama, 2007, hlm 8 6 Da’i Bachtiar, “Kebebasan Pers Vs Delik Pers”, dalam Dialog Pers dan Hukum, Dewan Pers & Unesco, Juni 2004, hlm 42
6
Mengutip penggolongan yang dilakukan Dai Bachtiar, Juniver Girsang mengemukakan, pertama delik pers yang masuk kategori kejahatan terhadap ketertiban umum (haatzai artikelen), sebagaimana diatur dalam Pasal 154, 155, 156 dan 157 Kitab Undang Undang Hukum Pidana, tentang penyerbarluasan kebencian dan permusuhan di dalam masyarakat terhadap pemerintah. Kedua, kejahatan penghinaan terhadap Presiden dan Wakil Presiden (Pasal 134 dan 137), termasuk terhadap badan atau alat kekuasaan negara (Pasal 207, 208 dan 209), dan penghinaan umum (Pasal 310 dan 315). Ketiga, kejahatan melakukan hasutan (provokasi), berupaya atau tindakan untuk mendorong, mengajak, membangkitkan dan “membakar” orang lain supaya melakukan suatu perbuatan (Pasal 160 dan 161). Keempat kejahatan menyiarkan kabar bohong (Pasal 14 dan 15 Undang Undang Nomor 1 tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana), dan kelima, kejahatan kesusilaan (pornografi), diatur dalam Pasal 282 dan 533 Kitab Undang Undang Hukum Pidana.7 Belakangan untuk kejahatan kesusilaan diperkuat oleh Undang Undang Pornografi yang disyahkan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia pada 30 Oktober 2008,
yang menurut berbagai kalangan pro demokrasi dan
masyarakat pendukung keberagaman (pluralitas), sebagai bagian dari skenario besar untuk memenjarakan pikiran dan merantai kebebasan 8 . Sedang kategori kedua, terutama yang berkaitan Pasal 310 dan 315 (pencemaran nama baik), malah cakupannya makin luas dengan terbitnya Undang Undang nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), khususnya Pasal 27 yang 7 8
Juniver Girsang, Penyelesaian Sengketa Pers,... opt.cit, hlm 8 http/www/jiwamerdeka.blogspot.com, ”Kontroversi UU Pornografi”. 18 September 2009. 10 Maret 2011
7
cenderung menciderai prinsip kebebasan berekspresi dan kebebasan pers yang dilindungi konstitusi serta Undang Undang Pers nomor 40 tahun 1999. Aliansi Jurnalis Indonesia mendesak pencabutan Pasal 27 ayat 3 Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik karena mengancam kebebasan berekpresi bagi wartawan maupun masyarakat sipil9. Undang Undang Informasi dan Transaksi Elektronik, khususnya Pasal 27 menjadi kontroversial dan mengancam kebebasan pers seiring berkembangnya cyber-journalism atau jurnalisme di dunia maya (on line) dalam sepuluh tahun terakhir di Indonesia. Termasuk juga adanya perundang-undangan lain yang bermunculan dan menjadi ancaman bagi kebebasan pers, serta demokrasi dalam pengertian lebih luas. Sudah sepuluh tahun lebih reformasi bergulir sejak 1998, ancaman terhadap delik pers, dengan kategori-kategori yang disebutkan di atas, justru makin bertambah. Jebakan pasal-pasal karet dan undang undang untuk terjadinya delik pers masih banyak. Di sisi lain, masyarakat, termasuk pemerintah dan kalangan pers sendiri belum optimal, dalam memanfaatkan fasilitas yang ada dalam Undang Undang Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers yang menurut Dewan Pers dan para praktisi pers merupakan Lex Specialis10. Fasilitas dimaksud ialah hak-hak yang diatur Undang Undang Pers dan Kode Etik Jurnalistik (KEJ) atau Kode Etik Wartawan Indonesia (KEWI) yang merupakan mekanisme legal untuk menyelesaikan masalah terkait pemberitaan. Salah satunya Hak Jawab, hak seseorang atau kelompok masyarakat untuk
9
http/www/Antaranews, ”AJI Desak Pencabutan Pasal 27 UU ITE”. 29 Desember 2009, 10 Maret 2011 10 Hinca I.P. Panjaitan, “Mengoptimalkan Peran Dewan Pers”, dalam Dialog Pers dan Hukum, Dewan Pers & Unesco, Juni 2004, hlm 24-30
8
memberikan tanggapan atau sanggahan terhadap karya jurnalistik menyangkut fakta (pemberitaan) yang bersifat sepihak dan tidak akurat sehingga merugikan nama baiknya,11 termasuk juga Hak Koreksi, hak setiap orang untuk mengoreksi atau membetulkan kekeliruan informasi yang diberitakan oleh pers, baik tentang dirinya maupun tentang orang lain12. Tidak optimalnya pemanfaatan Hak Jawab itu membuat sengketa pers yang diakibatkan oleh kriminalisasi pers dan penghakiman oleh pers (trial by the press) acapkali terjadi. Padahal, Hak Jawablah yang selama ini bisa menjadi alat mediasi untuk mengatasi supaya sengketa pers tidak berujung pada pemidanaan pers, yang tentu mengakomodir kepentingan wartawan yang membutuhkan kebebasan pers. Pada sisi lain, juga mengontrol agar kebebasan pers tidak lantas berubah menjadi “kebablasan pers”13, dimana tindakan-tindakan tidak terpuji yang dilakukan oleh pers bermunculan, seperti tindakan penghakiman oleh pers (trial by the press) yang acap merugikan masyarakat dan merusak citra pers itu sendiri. Atas dasar pemikiran di atas, skripsi ini diajukan dengan judul “PELAKSANAAN HAK JAWAB BAGI SUBJEK BERITA YANG DIRUGIKAN”
(STUDI
KASUS DI DEWAN PERS)
B. Identifikasi Masalah Dalam karya tulis ini, identifikasi masalah difokuskan pada :
11
Juniver Girsang, Penyelesaian Sengketa ...loc.cit, hlm 43 - 44 Juniver Girsang, Penyelesaian Sengketa ... ibid, hlm 43 13 Juniver Girsang, Penyelesaian Sengketa ... ibid. hlm 6. Istilah ini muncul seiring terjadinya euforia media masa pasca reformasi 1998, ditandai dengan makin marak media massa dan makin bervariasinya pemberitaan, serta ledakan jumlah wartawan yang luar biasa, sehingga terkesan lepas kontrol. 12
9
1.
Bagaimanakah penggunaan Hak Jawab atas pemberitaan yang dianggap merugikan ?
2.
Bagaimanakah penggunaan Hak Jawab sebagai antisipasi untuk menghindari timbulnya sengketa pers ?
C. Maksud dan Tujuan Penelitian Maksud dan tujuan penulisan ini adalah :
1.
Untuk mengetahui sejauhmana Hak Jawab bisa menjadi sarana efektif dalam menyelesaikan masalah-masalah yang timbul akibat pemberitaan pers, sekaligus menghindari munculnya delik pers dan upaya pemidanaan informasi pers, serta mengantisipasi tidak terjadinya tindakan tak terpuji seperti penghakiman melalui pemberitaan yang dilakukan oleh kalangan pers sendiri.
2.
Untuk mengetahui lebih jauh tentang Hak Jawab yang merupakan fasilitas legal-yuridis yang tertuang baik dalam Undang Undang Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers maupun dalam Kode Etik Jurnalistik atau Kode Etik Wartawan Indonesia (KEWI). Juga untuk mengetahui bagaimana langkah yang harus ditempuh bila menghadapi berita-berita yang cenderung pada bentuk penghakiman oleh pers tersebut.
10
D. Kegunaan Penelitian Penelitian diharapkan memiliki kegunaan teoritis maupun praktis. 1.
Kegunaan teoritis, menambah wawasan penulis tentang Hukum Pidana secara umum. Karena delik-delik pers yang banyak terjadi, baik berupa pemidanaan terhadap pers maupun penghakiman oleh pers, berkaitan pula dengan keberadaan pasal-pasal pidana yang tertuang di dalam Kitab Undang Undang Hukum Pidana maupun diatur dalam Undang Undang tersendiri. Sekaligus juga untuk menambah khasanah mengenai keberadaan Undang Undang Pers, Kode Etik Wartawan Indonesia serta kepustakaan hukum pidana secara umum.
2.
Kegunaan praktis, hasil penelitian atau karya penulisan ini diharapkan dapat disumbangkan kepada terutama kantor-kantor redaksi media massa, baik yang konvensional seperti cetak dan elektronik (televisi dan radio) maupun yang inkonvensional seperti cyber-media atau on line, terkait hak-haknya sebagai lembaga pers, maupun juga kepada wartawan atau praktisi pers. Hasil penelitian ini juga bermanfaat bagi masyarakat luas, melalui organisasi massa seperti Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), partai politik, organisasi pemuda, organisasi keagamaan, organisasi mahasiswa dan lain-lain, termasuk juga kepada aparat
11
penegak hukum sebagai preferensi dalam menyelesaikan sengketa hukum berkaitan dengan delik pers.
E. Kerangka Pemikiran Perkembangan pers di Indonesia pasca gerakan reformasi 1998 sangat luar biasa. Tumbangnya pemerintahan Orde Baru yang represif, tidak saja menimbulkan euforia politik, tetapi juga euforia informasi. Euforia informasi ditunjukan perkembangan media massa, secara kualitatif maupun kuantitatif. Secara kualitatif, terlihat dari bentuk-bentuk pemberitaan yang sangat variatif. Nyaris tidak ada lagi ruang yang tidak bisa dijadikan objek pemberitaan, baik yang menyangkut ruang privat maupun ruang publik. Batas antara privat dan publik menjadi begitu tipis di mata pers. Pendeknya, pers benar-benar menemukan kebebasan (kemerdekaannya). Hal yang kemudian menjadi masalah, ialah kebebasan pers yang muncul dalam bentuk perkembangan pers yang luar biasa tadi, ternyata tidak dibarengi oleh kesadaran masyarakat akan arti penting dan strategisnya pers sebagai watch dog. Pers sebagai pengawal proses demokrasi. Menjadi salah satu agen dalam pembentukan masyarakat sipil, bersama komponen masyarakat lain dalam konstruksi teori strukturasi Gidden dalam bentuk relasi Agen-Struktur14. Meski 14
Anthony Giddens, Teori Strukturasi diperkenalkan Gidden, sosiolog Inggris melalui salah satu bukunya yang terkenal, “Third Way, The Renewal of Social Democracy”, Polite Press, Cambridge, 1998. Dalam teori itu Agen digambarkan sebagai masyarakat atau kekuatan sosial yang lahir dari aktifitas individu. Dan Struktur adalah sistim sosial yang diciptakan oleh individu, namun membentuk sebuah organisasi. Pada hubungan selanjutnya, Agen-Struktur bisa disebut juga sebagai hubungan kekuatan di dalam masyarakat yang menjadi faktor subjektif, diantaranya pressure group berupa organisasi sosial seperti Lembaga Swadaya Masyarakat dan Pers (Agen) dengan negara (Struktur). Dalam Teori Strukturasi Giddens, pers menjadi salah satu kelompok penekan terhadap struktur, yang bisa merubah Struktur (negara) dalam konteks sistim
12
pers telah berkembang sedemikian rupa, akan tetapi masyarakat sebagian besar masih belum memahami akan arti, fungsi dan manfaat pers. Akibatnya, banyak pemberitaan media massa yang akhirnya berujung pada tindakan kontra produktif bagi perusahaan pers maupun terhadap wartawannya. Kasus-kasus pemidanaan (kriminalisasi) pers masih mewarnai. Sebuah pemberitaan akhirnya bisa berdampak pada penghukuman, baik terhadap media massa maupun wartawannya. Seperti yang sempat ramai ialah soal kriminalisasi Majalah Tempo menyusul pemberitaan soal kebakaran di Pasar Tanah Abang. Pemimpin Redaksi Tempo diputus satu tahun penjara oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada 16 September 2004 karena terbukti mencemarkan nama baik pengusaha nasional Tomy Winata. Tempo dijerat dengan pasal karet (haatzai artikelen) 310 Kitab Undang Undang Hukum Pidana tentang pencemaran nama baik. Kasus-kasus serupa juga masih banyak terjadi yang menimpa wartawan atau media massa lain. Bahkan tak hanya pemidanaan, kekerasan wartawan juga masih terjadi, yang cukup mengejutkan ialah pembunuhan wartawan Radar Bali, Anak Agung Gede Prabangsa, di Bangli, Bali yang diduga kuat terkait pemberitaan.
demokrasi sebagai jalan ke arah terwujudnya negara kesejahteraan (welfare state). Hubungan antara Agen-Struktur selama ini seperti piramida kembar, namun dalam susunan yang terbalik. Idealnya, Agen-Struktur bertemu dalam keseimbangan. Giddens mengelaborasi perlunya pembaharuan demokrasi sosial sebagai sebuah sistim ideal dimana agen memiliki kedudukan seimbang dengan negara. Melalui piramda kembar yang terbalik itu, terjadi hubungan berbanding terbalik. Makin besar peranan Agen, makin kecil kekuatan Struktur. Dalam konteks negara, dalam bentuk yang ekstrim berupa anarkisme. Negara menjadi tidak berwibawa, atau bahkan peranannya dienyahkan dalam kehidupan sosial. Ini terjadi pada negara-negara liberal dengan ideologi kapitalisme dan neo-liberalisme sebagai new-right (kanan baru). Sebaliknya, makin kuat Struktur, maka makin lemahlah Agen. Ini muncul dalam negara-negara otoriter. Biasanya terjadi pada negara-negara komunis, fasis atau diktator-militer seperti Indonesia di masa rezim Orde Baru. Konstruksi ideal Giddens ialah antara Agen-Struktur atau masyarakatnegara, memiliki kesetimbangan. Inilah yang disebut sebagai jalan ketiga atau Third Way. Baca juga karya Anthony Giddens lainnya, Beyond Left and Right, Tarian “Ideologi Alternatif” di atas Pusara Sosialisme dan Kapitalisme”, Yogyakarta, Polite Press, Cambridge, 1994, diterjemahkan oleh Imam Khoiri, IRCISoD, 2003
13
Pemidanaan (kriminalisasi) dan tindak kekerasan terhadap pers, merupakan keprihatinan yang masih dialami masyarakat pers sampai sekarang. Meski memiliki nilai positif, kebebasan pers ternyata juga ada sisi lain yang negatif. Semangat kebebasan pers yang terjadi, ternyata menimbulkan kecemasan. Pers atau jurnalisme seringkali justru sebagai pelopor terjadinya proses dehumanisasi, 15
misalnya dalam bentuk pornokitch 16 atau pemberitaan
yang hanya berisi bombasme, insinuasi dan “jurnalisme kuning” atau yellow journalism17 yang mempertontonkan kekerasan. Kebebasan yang tanpa batas dari media, acapkali melahirkan apa yang disebut sebagai anarkisme media. Itu pula kenapa sejumlah pihak lalu menilai era kebebasan pers di Indonesia telah berubah menjadi era “kebablasan pers”. Saking kuatnya posisi sebagai pembentuk opini publik, pers bahkan dituding telah menggeser paksa demokrasi menjadi “mediaocracy” 18. Undang Undang Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers dan Kode Etik Jurnalistik (KEJ) atau Kode Etik Wartawan Indonesia (KEWI), telah mengakomodasi kemungkinan pengantisipasian terjadinya kriminalisasi pers dan trial by the press. Keberadaan Hak Jawab yang dituangkan di dalam Undang Undang Pers dan Kode Etik Wartawan Indonesia, menjadi sangat strategis dan merupakan jawaban untuk mengantisipasi dua hal tadi. Banyaknya kasus 15
Nurdin, Jurnalisme Masa Kini, Jakarta, Rajawali Pers, 2009, hlm 256 Nurdin, Jurnalisme Masa... ibid. Menurut Yasraf Amir Piliang, Dosen Jurusan Seni Rupa dan Desaingrafis ITB, istilah ini berupa wilayah bahasa pers untuk memenuhi selera rendah masyarakat. Ia berupa bahasa visual untuk membangkitkan efek-efek sensualitas. Pornokitch merupakan dampak dari pornografi yang diistilahkan dengan “jurnalisme lher” 17 Nurdin, Jurnalisme Masa ... ibid, hlm 229. Ialah jurnalisme yang mementingkan pemberitaan bombastis, sensasional dengan pembuatan judul utama menarik perhatian publik. Tujuannya praktis untuk meningkatkan tiras penjualan 18 Danny Schechter, Matinya Media, Perjuangan Menyelamatkan Demokrasi, Jakarta, Yayasan Obor Indonesia, 2007, hlm 2 16
14
kriminalisasi pers atau fenomena trial by the press yang terus menggejala, terjadi karena tidak dimanfaatkannya secara optimal fasilitas Hak Jawab. Padahal, bila Hak Jawab dimanfaatkan untuk menyelesaikan sengketa yang berkaitan dengan pers, tidak perlu ada pemidanaan pers atau kekerasan terhadap wartawan. Termasuk tidak perlu lagi adanya pemberitaan yang menghakimi tanpa menghormati hak-hak nara sumber atau objek berita. Wartawan tetap bukan segala-galanya. Sebagai manusia, atau sebagai profesional, adakalanya melakukan kesalahan. Euforia kebebasan pers, dapat memicu dampak negatif dan positif. Dampak positif terbukanya peluang untuk menciptakan jurnalisme yang profesional. Namun dampak negatifnya, euforia dapat melahirkan keteledoran yang justru menghianati etika pers19. Pemanfaatan Hak Jawab jelas membutuhkan partisipasi aktif dari kedua belah pihak, baik pers maupun masyarakat. Sebab makna dari keberadaan Hak Jawab tadi, sebagaimana yang diamanatkan oleh Undang Undang Pers dan Kode Etik Wartawan Indonesia, di dalamnya menyangkut dua unsur yang terintegrasi satu sama lain. Yakni pihak pers, diwakili perusahaan penerbitan, beserta struktur organisasinya hingga wartawan selaku pelaku jurnalistik di lapangan, dan masyarakat atau entitas yang dijadikan objek berita oleh pers. Hak Jawab adalah hak masyarakat untuk memperoleh kebenaran atau keseimbangan berita. Sedang bagi pers, Hak Jawab lebih merupakan kewajiban undang undang yang harus dilakukan apabila ada pengaduan menyangkut ketidakpuasan masyarakat terhadap sebuah pemberitaan. Undang Undang Nomor 19
Zainal Arifin Emka, Wartawan juga Bisa Salah, Etika Pers dalam Terapan, Surabaya, JP Books, 2005, hlm 14
15
40 tahun 1999 tentang Pers memuat soal Hak Jawab pada posisinya sangat strategis. Hak Jawab selama ini juga dikaitkan etika yang diatur dalam Kode Etik Wartawan Indonesia 20. Karenanya, memiliki bobot kekuatan yuridis. Ketentuan secara rinci dan detil mengenai Hak Jawab, ada pada Peraturan Dewan Pers Nomor 9/Peraturan-DP/X/2008 tentang Pedoman Hak Jawab.21 Belakangan, seiring makin banyaknya delik pers yang muncul, masyarakat pers menghendaki, agar apa yang terangkum dalam Peraturan Dewan Pers itu menjadi pasal-pasal tersendiri dan menjadi satu kesatuan utuh dalam Undang Undang Pokok Pers. Hal ini agar ketentuan mengenai Hak Jawab, bisa memiliki kekuatan yang lebih besar secara yuridis, sehingga bisa mengeliminasi atau menekan kecenderungan penggunaan pasal-pasal karet atau ketentuan pidana dalam menghadapi persoalan media massa atau wartawan (kriminalisasi pers) yang memanfaatkan kelenturan pasal karet (haatzai artikelen) di dalam Kitab Undang Undang Hukum Pidana. Pada sisi lain, dengan memasukan ketentuan rinci soal Hak Jawab ke dalam Undang Undang Pers, bisa menjadi jaminan yuridis pula bagi masyarakat yang menghadapi produk-produk pemberitaan bernuansa penghakiman oleh pers (trial by the press). Bagaimanapun, melihat kecenderungan perkembangan pers yang makin pesat seiring kemajuan luar biasa pada teknologi informasi dan komunikasi, masalah Hak Jawab menjadi sangat strategis. Hal ini juga bagian dari perjuangan bagaimana hukum, beserta kaidah-kaidahnya, mampu mengikuti perkembangan masyarakat sebagaimana yang dielaborasi oleh diskursus Hukum Progresif oleh 20 21
Juniver Girsang, Penyelesaian Sengketa,...loc.cit, hlm 44 UU Pers dan Peraturan-peraturan Dewan Pers, rangkuman Drs. Kusmadi, M.Si dan Samsuri. Menjadi buku saku yang diterbitkan Dewan Pers, April 2010
16
Prof. Satjipto Rahardjo (almarhum), Guru Besar Emeritus Ilmu Hukum Universitas Diponegoro (Undip) Semarang, bahwa hukum harus bersikap dinamis, sebagaimana sifat dinamis yang ada di dalam masyarakat. Hukum harus selalu mengikuti perkembangan masyarakat. Sebab hanya dengan cara demikian hukum bisa bermanfaat sebesar-besarnya bagi masyarakat. “Hukum tidak perlu tertatih-tatih sibuk membuat undang-undang baru, karenanya tanpa membuat yang barupun, praksis hukum progresif bisa menjadi penyalur atau kanalisasi dinamika masyarakat”22. Dalam konteks Hak Jawab pada lingkup peraturan bagi pers, sebagaimana seharusnya semangat progresivitas di dalam hukum, Undang Undang Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers harus rinci dan fesibel dalam mengurai pedomanpedoman dan kaidah-kaidah terkait Hak Jawab. Hal ini agar Undang Undang Pokok Pers senantiasa mengiringi dan mengawal perkembangan pesat dunia jurnalistik yang begitu massif, cepatl dan sangat beragam. Tidaklah berlebihan, bila dalam sebuah seminar tentang pers “Problem Penegakan Etika dan Profesionalisme Media” yang diselenggarakan Harian Umum Pikiran Rakyat Bandung dengan Dewan Pers di aula redaksi koran tersebut, 1 November 2010, mengemuka keinginan dan rencana masyarakat pers mengajukan revisi mengenai Undang Undang Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers kepada badan legislatif, Dewan Perwakilan Rakyat. Salah satu yang menjadi usulan revisi ialah mengenai Hak Jawab yang merupakan salah satu standar etis penting bagi kinerja pers.
22
Satjipto Rahardjo, Biarkan Hukum Mengalir, Catatan Kritis tentang Pergulatan Manusia dan Hukum.Jakarta, PT Media Kompas Nusantara, 2007, hlm 47
17
Terlepas dari rencana revisi, meski Undang Undang Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers tidak, atau belum mengatur secara rinci dan detil soal Hak Jawab, namun kewajiban wartawan mematuhi Kode Etik Jurnalistik adalah sesuatu yang diamanatkan dalam Undang Undang Pokok Pers. Artinya, bila ada nara sumber yang merasa dirugikan, sementara pers mengakui adanya kekeliruan, maka hak prerogatif untuk memberitakan, atau tidak memberitakan, menjadi relatif. Tak lagi bersifat mutlak bagi pers oleh karena ada kewajiban Hak Jawab yang dibebankan kepada pers. Pers dituntut wajib mengakomodasikan keberatan-keberatan tersebut dalam bentuk Hak Jawab. Teknis penuangan atau penyajian beritanya, tergantung sejauh mana intensitas kekeliruan pers melalui pemberitaan.
F. Metode Penelitian
1. Objek Penelitian
Penelitian tidak membatasi pada Undang Undang Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers, tetapi juga implementasinya, sejauhmana kedudukan Hak Jawab memiliki kekuatan mengikat, terutama bagi pers (wartawan). Undang Undang tersebut memuat kewajiban bagi wartawan (pers) untuk menaati Kode Etik Jurnalistik(KEJ) atau Kode Etik Wartawan Indonesia, (KEWI), dengan sendirinya Hak Jawab juga merupakan kewajiban yuridis bagi pers. Bila tidak ditaati bisa berdampak pada terjadinya penuntutan pidana kepada wartawan (pemidanaan pers) oleh objek berita yang dirugikan menyusul berita yang masuk kategori penghakiman oleh pers (trial by the press). Pada sisi lain, pers juga bisa memanfaatkan kewajiban
18
etis dan juga yuridis dari Hak Jawab untuk menghindari penuntutan atau praktek pemidaan pers (kriminalisasi pers).
2. Pendekatan Penelitian
Penelitian ini difokuskan pada masalah yang berkenaan keberadaan Hak Jawab yang bagi pers merupakan kewajiban etis dan yuridis sebagaimana amanat Undang Undang Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers, dalam mengatasi koreksi atau kekeliruan pemberitaan menyusul pengaduan dari objek berita yang merasa dirugikan. Pada saat bersamaan, Hak Jawab dapat mencegah terjadinya pengaduan yang berujung pada penuntutan pidana. Bagaimanapun, penuntutan pidana berupa tuduhan pelanggaran pidana umum sebagaimana diatur dalam Kitab Undang Undang Hukum Pidana, merugikan pihak pers. Hak Jawab juga bisa mengatasi jebakan pasal-pasal karet (haatzai artikelen) dalam Kitab Undang Undang Hukum Pidana seperti pasal tentang pencemaran nama baik, penghasutan, perbuatan tidak menyenangkan, penghinaan presiden, wakil presiden dan pejabat negara serta pasal karet lain yang selama ini selalu dimanfaatkan untuk membelenggu kebebasan pers melalui praktik-praktik kriminalisasi pers. Dengan demikian pendekatan yang digunakan adalah pendekatan penelitian hukum normatif, yaitu penelitian yang menggunakan sumber data sekunder atau penelitian hukum kepustakaan. Disampingi itu digunakan juga pendekatan hukum empiris, yaitu penelitian hukum yang menggunakan data primer, data yang diperoleh dari lapangan dengan
19
mewawancarai nara sumber secara langsung. Selain itu, bila Hak Jawab terpenuhi, juga bisa mengantisipasi terjadinya aksi-aksi main hakim sendiri atau kekerasan yang ditujukan langsung kepada wartawan.
3. Jenis dan Sumber Data
Jenis dan sumber data dalam penelitian ini meliputi data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh melalui wawancara langsung dengan pimpinan atau anggota Dewan Pers terkait perkara-perkara pers yang masuk kategori kriminalisasi pers, maupun jenis-jenis pengaduan yang diakibatkan praktek trial by the press (penghakiman oleh pers) terhadap objek pemberitaan. Di dalamnya termasuk inventarisasi berapa jumlah perkara yang masuk kategori kriminalisasi pers dan berapa yang masuk kategori penghakiman oleh pers yang terhimpun di Dewan Pers di Jakarta.
Sedang data sekunder berupa Undang Undang Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers, serta perundang-undangan lain yang berlaku di Indonesia berkaitan pembahasan materi tulisan.
4. Teknik Pengumpulan Data
Berangkat dari jenis dan sumber data di atas, teknik pengumpulan data yang akan ditempuh melalui penelitian ini, adalah :
20
a. Studi Dokumen. Penelitian terhadap berbagai data sekunder yang berkaitan dengan objek penelitian, baik berbentuk data sekunder maupun data dari sumber primer. b. Wawancara. Hal ini ditempuh untuk memperoleh informasi secara langsung kepada pimpinan dan anggota Dewan Pers selaku nara sumber penelitian yang berkaitan posisi Hak Jawab, tindak kriminalisasi terhadap pers dan penghakiman oleh pers, kode etik jurnalistik, kebebasan pers, delik maupun pelanggaran pers. c. Observasi. Dilakukan untuk memberi gambaran lebih komprehensif dan
independen
(netral)
terhadap
materi
atau
objek
penulisan/penelitian. Dengan begitu diperoleh hasil objektif. Observasi dilakukan dengan mempelajari hasil inventarisasi terhadap fakta tindakan kriminalisasi pers dan penghakiman oleh pers yang terdapat dalam data atau laporan pengaduan di Dewan Pers dimana jumlah pelanggaran berupa pemberitaan pers yang diadukan ke Dewan Pers tiap tahun selalu meningkat antara 300 hingga 400 bentuk pengaduan. Hasil data tadi, termasuk hasil wawancara dengan Dewan Pers dianalisis berdasar ketentuan-ketentuan atau peraturan pers, yakni Undang Undang Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers dan Kode Etik Jurnalistik atau Kode Etik Wartawan Indonesia (KEWI) serta korelasi diantara keduanya.
5. Teknik Penyajian dan Analisis Data.
21
a. Teknik Penyajian Data. Penyajian data yang diperoleh
melalui
penelitian menggunakan teknik kualitatif. Teknik ini berisi sajian berbagai bentuk data seperti informasi seputar Hak Jawab, pendapat, konsep, doktrin serta analisa-analisa hukum yang ditemui selama penelitian.
b. Analisa Data. Menitikberatkan pada keprihatinan yang melanda iklim jurnalisme
secara
nasional,
ditandai
masih
banyaknya
tindakan
kriminalisasi terhadap pers, dan di sisi lain terkait tindakan penghakiman oleh pers (trial by the press). Kedua hal di atas lalu dielaborasi dengan keberadaan Hak Jawab. Sejauhmana Hak Jawab mengakomodasikan kepentingan-kepentingan yang berbeda dalam setiap perkara pers, baik berupa kriminalisasi maupun penghakiman pers. Selanjutnya diurai ketentuan yuridis soal Hak Jawab, baik dalam Kode Etik Jurnalistik (KEJ) atau Kode Etik Wartawan Indonesia (KEWI) maupun kerangka acuan normatif Undang Undang Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers.
G. Sistematika Penulisan.
Karya tulis atau skripsi ini berisi lima bab pembahasan. Terdiri dari :
Bab I. Pendahuluan. Berisi uraian latar belakang penelitian. Meliputi identifikasi masalah, maksud dan tujuan penulisan/penelitian, kegunaan penelitian, kerangka pemikiran serta metode penelitian sebagai panduan atau alat dalam menentukan langkah atau tahapan-tahapan
penulisan/penelitian.
Tujuannya
mengurai,
22
mencari sekaligus menganalisi data-data pendukung sehingga tercipta bentuk pemikiran yang lebih konkrit menyangkut materi penulisan/penelitian dan sistematika penulisan.
Bab II. Tinjauan Pustaka. Berisi uraian hasil kajian kepustakaan terhadap materi peneltian/penulisan. Selanjutnya, kajian itu digunakan sebagai pisau bedah analisis terhadap data penulisan ini.
Ada dua bahasan yang dibagi dalam sub-bab, yakni ;
A. Sejarah pers di Indonesia dari masa ke masa serta peranannya, meliputi : 1. Definisi, pengertian, fungsi dan peranan pers 2. Sejarah pers Indonesia dan perananya dari masa ke masa 3. Teori-teori dan kebebasan pers B. Perundang-undangan Pers, meliputi : 1. Ketentuan perundang-undangan pers 2. Delik dan pertanggungjawaban pers 3. Kode Etik Jurnalistik, hak dan kewajiban pers 4. Hak Jawab
Bab III. Tinjauan Lapangan. Pencarian data dan hasil inventarisasi terhadap kasus yang masuk kategori kriminalisasi pers dan penghakiman oleh pers (trial by the press). Kedudukan Hukum dan Struktur Organisasi Dewan Pers, Penguatan Peran dan Wewenang Dewan
23
Pers, Pengaduan-pengaduan dan Mediasi di Dewan Pers serta Standar Kompetensi Wartawan.
Bab IV. Uraian Hasil Penelitian dan Pembahasan. Berisi penggunaan Hak Jawab serta upaya yang dilakukan dalam memaksimalkan Hak Jawab. Bentuk-bentuk atau jenis-jenis tindakan yang masuk kategori kriminalisasi pers dan penghakiman oleh pers terhadap subjek atau nara sumber pemberitaan. Cara penyelesaian, dan posisi Hak Jawab secara etis dan yuridis. Kemudian upaya-upaya yang perlu dilakukan dalam memaksimalkan pelaksanaan Hak Jawab sehingga tidak menimbulkan pemidanaan bagi subjek berita. Bab ini secara garis besar menguraikan tentang ;
1. Penggunaan Hak Jawab atas pemberitaan yang dianggap merugikan 2. Penggunaan Hak Jawab sebagai antisipasi untuk menghindari timbulnya sengketa pers
Bab V. Kesimpulan dan Saran. Berupa kesimpulan dari keseluruhan bahasan, secara khusus maupun umum, dari penulisan karya tulis (skripsi) ini. Kemudian mengemukakan saran atau pendapat sebagai bahan masukan, dan diakhiri dengan Daftar Pustaka.