BAB II L A N D A S A N T E O RI
I. INTIMACY I. A. Pengertian Intimacy Kata intimacy berasal dari bahasa Latin, yaitu intimus, yang memiliki arti “innermost”, ”deepest” yang artinya paling dalam (Caroll, 2005). Intimacy dapat diartikan sebagai sebuah proses berbagi diantara dua orang yang sudah saling memahami sebebas mungkin dalam pemikiran, perasaan dan tindakan (Masters,1992).
Intimacy
dapat
terjadi
melalui
penerimaan,
komitmen,
kelembutan dan kepercayaan terhadap pasangan. Kemampuan membentuk sebuah intimacy dengan orang lain tergantung bagaimana seseorang memahami diri sendiri yang didasarkan pada pengetahuan tentang diri yang sebenarnya dan berdasarkan tingkat penerimaan terhadap diri sendiri (Masters, 1992). Penerimaan terhadap diri sendiri adalah dasar yang utama terhadap kemampuan membentuk intimacy dalam hubungan dengan orang lain, karena seseorang yang menerima diri sendiri akan mampu untuk menjadi dirinya sendiri tanpa harus menutupnutupi dirinya atau berpura-pura menjadi pribadi yang lain. Dari penjelasan mengenai intimacy tersebut, dapat diambil sebuah kesimpulan mengenai pengertian intimacy, yaitu mengarah pada sebuah perasaan adanya kedekatan di antara pasangan yang saling berinteraksi, menyatakan pikiran, perasaan dan tindakan yang terdalam kepada individu lain.
23
I. B. Komponen Intimacy Menurut Masters (1992), untuk memahami proses terbentuknya intimacy dalam sebuah hubungan, intimacy itu sendiri memiliki beberapa komponen, yaitu : 1. Memahami (Caring) dan Berbagi (Sharing) Memahami (caring) adalah bentuk sikap atau perasaan yang dimiliki terhadap orang lain, yang secara umum dihubungkan dengan kuatnya perasaan positif terhadap orang tersebut. Berbagi
(sharing)
pemikiran,
perasaan
dan
pengalaman
mengiringi pertumbuhan intimacy dalam hubungan yang muncul melalui kebersamaan untuk saling mempelajari satu sama lain tanpa ada batasan, misalnya
menutupi
rahasia
pribadi.
Salah
satu
kunci
dalam
mengembangkan sebuah intimacy adalah adanya self-disclosure, keinginan untuk memberitahu pasangan mengenai apa yang dipikirkan dan dirasakan. Berbagi perasaan khawatir, ketidakpastian dan masalah pribadi yang lain juga akan mempengaruhi berkembangnya intimacy dalam sebuah hubungan. 2. Kepercayaan Proses self-disclosure tidak terjadi dalam sebuah ruangan yang hampa, tetapi tergantung pada tingkatan sejauh mana kepercayaan pada orang yang dipilih untuk melakukan self-disclosure. Kepercayaan merupakan bagian dari intimacy, dan sama seperti komponen memahami dan berbagi, kepercayaan juga berkembang seiring dengan waktu. Saat orang-orang berusaha membentuk hubungan yang intim, usaha tersebut akan dimulai
24
dengan menaruh kepercayaan kepada orang lain. Pada saat kepercayaan tumbuh semakin kuat, dua orang yang saling percaya tersebut dapat lebih berbagi dalam hal informasi, perasaan, pemikiran tanpa ada rasa takut bahwa keterbukaan yang mereka lakukan akan digunakan untuk menyerang mereka. 3. Komitmen Komponen intimacy yang lainnya adalah komitmen sebagai lanjutan dari adanya saling memahami, berbagi dan percaya terhadap pasangan yang dimulai di awal hubungan. Komitmen melibatkan ke dua pribadi yang menjadi pasangan untuk berkeinginan mempertahankan intimacy yang sudah terbentuk dalam hal apapun. 4. Kejujuran Kejujuran adalah hal yang penting dalam intimacy, meskipun untuk sepenuhnya jujur tidak terlalu baik dalam sebuah hubungan. Terlalu jujur dapat menghancurkan hubungan jika tidak memahami bagaimana isi pesan yang disampaikan. Terdapat perbedaan dalam memutuskan menjaga suatu hal yang bersifat sangat pribadi dengan kebohongan. Kebohongan yang muncul dalam sebuah hubungan merupakan suatu peringatan bahwa ada manipulasi yang dilakukan salah satu pasangan dalam hubungan tersebut. 5. Empati Empati merupakan kemampuan untuk merasakan pengalaman yang dialami oleh pasangan, mengenali dan mengalami emosi pasangan, pikiran dan sikap pasangan tanpa harus membicarakannya.
25
6. Kelembutan Salah satu hal yang paling sering ditolak dalam sebuah intimacy adalah kelembutan hati, yang hanya bisa dicapai melalui pembicaraan atau dengan bahasa tubuh, contohnya memeluk, menggenggam tangan. Komponen intimacy sering menjadi hal yang sulit bagi seorang pria, karena pria yang dipandang sosial sebagai seorang yang berpikiran rasional, berorientasi pada tindakan, sehingga pria akan merasa tidak menjadi seorang pria saat melakukan komponen ini. Beberapa pria akan mampu memberikan kelembutan secara fisik, tetapi merasa kurang nyaman dalam menyampaikan kalimat-kalimat yang lembut terhadap pasangannya.
I.C. Aspek-aspek Intimacy Menurut Mackey (2000), intimacy dalam berpacaran terdapat dua aspek, yaitu: 1. Komunikasi Nonverbal Tatapan atau sentuhan akan memiliki arti yang cukup besar antara pasangan karena adanya pengenalan terhadap pasangan, tanpa harus berbicara. 2. Hubungan seksual dengan pasangan Adanya hubungan seksual dalam sebuah hubungan merupakan sebuah tanda atau ciri jenis hubungan yang terjadi. Pada intimacy terhadap teman,
26
hubungan seksual tidak terjadi, berbeda dengan pacar, kemungkin hubungan seksual bisa saja terjadi.
I. D. Jenis-jenis Gaya Intimacy Orlofsky ( dalam Santrock, 1998) mengatakan ada 5 jenis gaya intimacy dalam dewasa dini, yaitu : a. Intimate style Individu membentuk dan mempertahankan satu atau lebih hubungan yang mendalam dan cinta yang bertahan lama. b. Preintimate style Individu menunjukkan keambiguan sebuah komitmen sebagai tanda cinta yang ada tanpa rasa kewajiban atau bertahan lama. c. Stereotype sytle Hubungan yang dangkal, didominasi oleh persahabatan dengan rekan sebaya. d. Pseudointimate style Seseorang mempertahankan kedekatan seksual yang menetap dengan sedikit atau tanpa adanya kedekatan terhadap pasangan. e. Isolated style Individu menarik diri dari lingkungan sosial dan tidak memiliki kedekatan dengan individu lain.
27
II. DEWASA DINI II.A. Pengertian Dewasa Dini Kata adult
berasal dari bahasa Latin, yang berarti tumbuh menjadi
dewasa, jadi orang dewasa adalah individu yang telah menyelesaikan pertumbuhannya dan siap menerima kedudukan dalam masyarakat bersama dengan orang dewasa lainnya (Hurlock, 1999). Setiap kebudayaan memiliki perbedaan tersendiri dalam memberikan batasan usia kapan seseorang dikatakan dewasa. Pada sebagian besar kebudayaan kuno, status ini tercapai apabila pertumbuhan pubertas sudah selesai atau hampir selesai dan apabila organ reproduksi anak sudah berkembang dan mampu bereproduksi. Hurlock (1999) membedakan masa dewasa dalam 3 bagian, yaitu:
Masa dewasa dini (18 – 40 tahun ) Masa ini ditandai dengan perubahan-perubahan fisik dan psikologis yang disertai berkurangnya kemampuan produktif.
Masa dewasa madya (40 – 60 tahun) Masa menurunnya kemampuan fisik dan psikologis yang tampak jelas pada setiap orang.
Masa dewasa lanjut (Usia lanjut) Dimulai dari usia 60 tahun sampai kematian. Pasa masa ini kemampuan fisik maupun psikologis cepat menurun, tetapi tehnik pengobatan modern, serta upaya dalam hal berpakaian serta dandanan memungkinkan pria dan wanita berpenampilan, bertindak, dan berperasaan seperti saat mereka masih lebih muda.
28
II.B. Tugas-tugas Perkembangan Dewasa Dini Menurut Havighrust (dalam Hurlock, 1999), dewasa dini memiliki tugas perkembangan sebagai berikut:
Mulai bekerja
Memilih pasangan
Belajar hidup dengan tunangan
Mulai membina keluarga
Mengasuh anak
Mengelola rumah tangga
Mengambil tanggung jawab sebagai warga negara
Mencari kelompok sosial yang menyenangkan
II. C. Tugas Psikososial Dewasa Dini Erikson mengatakan bahwa tahap perkembangan psikososial dewasa dini adalah intimacy versus isolation, sebagai salah satu tugas yang penting bagi dewasa dini (dalam Papalia, 2004). Intimacy akan muncul saat seseorang sudah mencapai atau menemukan cara untuk membentuk dan mempertahankan identitas secara menetap, yang dilakukan dalam masa remaja. Intimacy merupakan kemampuan seseorang untuk menyatukan identitas diri yang sudah ditemukan di masa remaja dengan identitas diri orang lain (Feist & Feist, 2002), Erikson menggambarkan intimacy sebagai sebuah proses menemukan identitas diri dan juga kehilangan identitas diri pada orang lain (dalam Santrock,1998). Intimacy pada dewasa dini dapat ditemukan melalui hubungan intim yang dibentuk dengan
29
pasangan
romantisnya
(pacar,
suami
atau
istri)
dan
juga
dengan
sahabat (Papalia,2004). Individu dewasa dini yang tidak berhasil melaksanakan tugas psikosialnya, dalam menyatukan identitas diri sendiri dengan identitas diri orang lain melalui intimacy akan mengalami isolasi. Isolasi merupakan keadaan individu yang tidak memiliki kemampuan untuk menyatukan identitas diri sendiri dengan identitas diri orang lain melalui intimacy yang sebenarnya (Erikson dalam Feist & Feist, 2002). Pada saat individu dewasa dini berhasil membentuk hubungan intim yang sehat dengan orang lain, intimacy akan tercapai, jika tidak akan mengasilkan isolasi (Santrock, 1998).
III. GAY Istilah gay digunakan secara umum untuk menggambarkan seorang pria yang tertarik secara seksual dengan pria lain dan menunjukkan komunitas yang berkembang diantara orang-orang yang memiliki orientasi seksual yang sama. Caroll (2005) mengatakan bahwa orientasi seksual merupakan ketertarikan seseorang pada jenis kelamin tertentu secara emosional, fisik, seksual dan cinta. Orientasi seksual menjadi tiga bagian, yaitu : 1. Heteroseksual, yaitu ketertarikan secara seksual pada jenis kelamin yang berbeda, wanita tertarik pada pria, dan pria tertarik pada wanita.
30
2. Homoseksual, yaitu ketertarikan secara seksual pada jenis kelamin yang sama, wanita tertarik pada wanita yang disebut sebagai lesbian, dan pria yang tertarik pada pria disebut sebagai gay. 3. Biseksual, ketertarik secara seksual pada wanita dan pria sekaligus.
III.A. Teori Penyebab Seseorang Menjadi Gay III.A.1. Teori Biologis : Perbedaan adalah sesuatu yang dibawa lahir Banyak gay yang menyatakan bahwa orientasi seksual yang dimiliki adalah hasil yang muncul dari faktor biologis, sehingga mereka tidak memiliki kendali ataupun pilihan terhadap orientasi seksualnya. Menurut pandangan biologis penyebab seorang pria menjadi gay adalah: a. Faktor Genetik Kallman
(dalam
Maters,
1992),
melaporkan
bahwa
kondisi
homoseksualitas adalah kondisi genetik. Kesimpulan ini diambil dari penelitian yang dilakukan terhadap kembar yang identik dan kembar fraternal. Penelitian menemukan jika salah satu saudara kembar adalah seorang gay, kemungkinan saudara kembarnya juga adalah seorang gay. Penelitian lainnya menemukan bahwa gay dapat diturunkan, jika dalam sebuah keluarga ada seorang gay, gay tersebut juga memiliki cenderung memiliki saudara laki-laki, paman atau sepupu yang juga gay. b. Faktor Hormonal Menurut teori ini, hormon seks berperan dalam menentukan orientasi seksual seseorang (Savin-Williams & Cohen, 1996). Hormon testosteron
31
ditemukan lebih rendah dan hormon estrogen lebih tinggi pada seorang gay (Meyer et al, dalam Maters,1992). Hasil penelitian lain menemukan gay memiliki tingkat androgen yang lebih rendah dibandingkan pria straight. c. Urutan Kelahiran Berdasarkan penelitian hubungan urutan kelahiran dengan kecenderungan pria menjadi gay ditemukan seorang gay cenderung lahir pada urutan terakhir dengan
memiliki
saudara
laki-laki
tetapi
tidak
memiliki
saudara perempuan (Caroll,2005).
III.A.2. Teori Perkembangan a. Pandangan Freud Freud yakin bahwa homoseksualitas merupakan hasil dari kelanjutan predisposisi mengenai manusia yang terlahir dengan keadaan biseksual. Dibawah lingkungan biasa, psikoseksual berkembang pada masa kanak-kanak yang berhadapan dengan kehidupan heteroseksual, tetapi pada kondisi lingkungan tertentu, perkembangan yang normal mengalami gangguan dalam tahap “ketidakmatangan”, dan menghasilkan homoseksualitas dalam masa dewasa (Masters, 1992). Freud yakin ada satu tahap dalam perkembangan manusia yang tertarik kepada jenis kelamin yang sama, dan kebanyakan kaum homoseksual melewati masa tersebut beberapa tahun sebelum masuk ke dalam masa pubertas (Savin-Williams & Cohen,1996). Pada homoseksual, perkembangan tersebut dialami lebih lambat bila dibandingkan dengan orang normal pada umumnya, dan mengalami fixasi dalam tahap ketertarikan kepada jenis kelamin yang sama.
32
Fixasi tersebut terjadi karena keadaan ibu yang terlalu dominan, juga karena ayah yang terlalu dominan. Homoseksualitas juga dapat disebabkan trauma pada masa kanak-kanak, dimana selama masa kanak-kanak awal mendapatkan penyiksaan dari saudara kandung, teman bermain ataupun orang dewasa (Cameron dalam Savin-Williams, 1996). b. Bieber’s Model Bene (dalam Masters, 1996) menyatakan seorang gay memiliki hubungan yang kurang dengan ayahnya dibandingkan dengan pria straight. Greenbal (dalam Masters, 1992) menemukan ayah dari seorang gay bersifat dominan, tidak protektif, sementara ibu seorang gay memberikan perlindungan dan dominansi yang berlebih-lebihan). Pendapat Marmor (dalam Masters,1992) mengenai gay, gay bisa juga muncul dari keluarga dengan kondisi jauh dari ibu, atau ibu yang pemarah, terlalu dekat dengan ayah, tidak memiliki ayah atau ibu yang ideal, dan ketidakberadaan figur ayah atau ibu. c. Teori Behavioral Teori behavioral menekankan pada homoseksualitas yang muncul karena proses belajar (McGuire et al dalam Masters, 1992). Homoseksual muncul karena adanya penguatan positif atau reward terhadap pengalaman homoseksualitas dan hukuman atau penguatan negatif terhadap pengalaman heteroseksualitas. Masters (1992) menyatakan teori behavioral juga menduga pada masa dewasa dini seorang heteroseksual bisa berubah menjadi homoseksual. Menurut Feldmen dan MacCulloch (dalam Masters, 1992), jika seseorang mengalami pengalaman heteroseksual yang tidak menyenangkan kemudian mendapatkan penguatan dalam
33
pengalaman homoseksualitas, ada kemungkinan heteroseksual tersebut akan menjadi homoseksual.
III.B. Tahap Pembentukan Identitas Diri Menjadi Seorang Gay Cass (dalam Kelly, 2001) menyatakan, seseorang menjadi gay dapat melalui 5 tahapan, yaitu: 1. Tahap I : Identity Confusion Tahap ini terjadi saat seorang gay merasakan informasi mengenai hubungan sesama jenis berhubungan dengan dirinya. Kebingungan mengenai
identitas mungkin terjadi
yang diikuti dengan usaha
menghindari aktivitas seksual sesama jenis, bahkan di dalam mimpi ataupun fantasi. 2. Tahap II : Identity Comparasion Individu mulai mencari tahu informasi tentang gay, dan merasa berbeda dengan anggota keluarga lain yang dibimbing berdasarkan pandangan heteroseksual. Saat hubungan sesama jenis semakin berkembang, dasar bimbingan yang berdasarkan pandangan heteroseksual tersebut mulai menghilang. 3. Tahap III : Identity Tolerance Setelah menerima orientasi seksual sebagai gay, individu mulai mengenali seksualitas mereka, mencari dukungan sosial dan memenuhi kebutuhan emosional sebagai seorang gay. Pada tahap ini muncul komitmen terhadap
34
penerimaan diri sebagai gay, dan pikiran untuk melakukan coming-out atau terbuka terhadap lingkungan mengenai orientasi seksual. 4. Tahap IV : Identity Acceptance Tahap ini terjadi saat seseorang bukan saja menerima diri sebagai gay, tetapi juga menerima self-image dirinya sebagai seorang gay. Dilanjutkan dengan meningkatkan hubungan dengan gay lain. Sikap dari orang lain akan mempengaruhi kenyamanan seorang gay dalam mengekspresikan identitas diri sebagai gay. 5. Tahap V : Identity Pride Tahap ini ditandai dengan memberitahu lingkungan mengenai orientasi seksualnya, pada keluarga atau orang-orang di sekitar. Gay pada tahap ini sudah tidak menggunakan batasan-batasan heteroseksualitas lagi dalam kehidupannya. Saat penerimaan lingkungan bersifat negatif terhadap diri seorang gay, gay cenderung untuk menutupi orientasi seksualnya, tetapi jika positif, gay akan masuk ke dalam perkembangan selanjutnya. 6. Tahap VI : Indetity Synthesis Tahap ini ditandai dengan adanya pemikiran bahwa tidak ada pembedaan manusia berdasarkan orientasi seksual. Tidak semua heteroseksual memandang gay adalah hal negatif dan tidak semua gay memandang gay sebagai hal yang positif.
35
III.C. Jenis-jenis Gay Bell dan Weinberg (dalam Masters, 1992) mengelompokkan homoseksual ke dalam 5 kelompok, yaitu:
Close-couple Homoseksual yang hidup dengan pasangannya, dan melakukan aktivitas yang hampir sama dengan pernikahan yang dilakukan oleh kaum heteroseksual. Homoseksual jenis ini memiliki masalah yang lebih sedikit, pasangan seksual yang lebih sedikit, dan frekuensi yang lebih rendah dalam mencari pasangan seks dibandingkan jenis homoseksual yang lain.
Open-couple Homoseksual jenis ini memiliki pasangan dan tinggal bersama, tetapi memiliki pasangan seksual yang banyak, dan menghabiskan waktu yang lebih banyak untuk mencari pasangan seks. Homoseksual ini memiliki permasalahan seksual yang lebih banyak dibandingkan close-couple homoseksual.
Functional Homoseksual jenis ini tidak memiliki pasangan, dan memiliki pasangan seks yang banyak, tetapi dengan sedikit masalah seksualitas. Individu homoseksual ini kebanyakan individu muda, yang belum menerima orientasi seksualnya, dan memiliki ketertarikan yang tinggi terhadap seksualitas.
36
Dysfunctional Tidak memiliki pasangan menetap, memiliki jumlah pasangan seksual yang banyak, dan jumlah permasalahan seksual yang banyak.
Asexual Ketertarikan terhadap aktivitas seksual rendah pada kelompok ini, dan cenderung untuk menutup-nutupi orientasi seksualnya.
IV. PACARAN IV.A. Pengertian Pacaran Saxton (dalam Bowman & Spanier, 1978) menggambarkan pacaran sebagai sebuah istilah yang digunakan masyarakat untuk menggambarkan sebuah kegiatan perencanaan kegiatan, termasuk di dalamnya adalah melakukan aktivitas bersama antara dua orang yang biasanya belum menikah dan berjenis kelamin berbeda. Proses pacaran tersebut dapat direncanakan untuk beberapa bulan atau bisa juga hanya dalam beberapa menit. Pacaran hanya terjadi saat seseorang, tidak harus pria yang memulainya, mengajak orang lain untuk melakukan aktifitas pacaran tersebut. Keduanya membentuk sebuah hubungan dan memberitahu pada umum. Hubungan tersebut bisa saja bersifat bebas, tanpa disengaja dan sementara, bisa juga bertahan lama dan ekslusif. Duvall (1985)
mengatakan pacaran memiliki 3 elemen yaitu (1) ada
kegiatan atau aktivitas, (2) dilakukan bersama, (3) oleh dua orang yang berjenis kelamin berbeda.
37
IV.B. Fungsi Pacaran Winch, Skipper dan Nass (dalam Bowman & Spanier, 1978) mengatakan pacaran memiliki beberapa fungsi, yaitu : 1) Pacaran sebagai bentuk rekreasi Pacaran memberikan hiburan bagi individu yang melakukan pacaran dan sebagai sumber kesenangan. 2) Pacaran sebagai bentuk sosialisasi Pacaran memberikan kesempatan pada individu untuk saling mengenal, belajar menyesuaikan satu sama lain, dan mengembangkan tehnik interaksi yang sesuai dengan pasangan. 3) Pacaran adalah prestasi Melalui pacaran dan terlihat bersama dengan seseorang yang diinginkan oleh teman-teman sebaya memberikan kebanggaan dan martabat. 4) Pacaran adalah untuk saling mengenal Pacaran memberikan kesempatan bagi mereka yang belum menikah untuk berhubungan dengan orang lain dengan tujuan untuk memilih pasangan dengan siapa seseorang akan menikah.
IV.C. Tahap Pacaran Menurut Duvall (1985), pacaran memiliki 5 tahap, yaitu: 1) Casual dating Tahap ini adalah awal pembentukan hubungan pacaran dengan ditandai dengan melakukan kegiatan bersama. Pada tahap ini , seseorang bisa saja
38
melakukan hubungan yang sama dengan beberapa orang yang berbeda. 2) Random dating Tahap yang ditandai dengan aktivitas yang sama dengan tahap casual dating, tetapi pada tahap ini, seseorang akan jarang melakukan kegiatan yang sama dengan orang yang berbeda. 3) Regular dating Pada tahap ini, seseorang akan lebih sering melakukan sesuatu hal dengan pasangan yang dipilih, serta mengurangi bahkan menghentikan kegiatan melakukan
hubungan
yang
sama
dengan
orang
yang
berbeda.
Kegagalan dalam tahap ini dapat membuat seseorang kembali ke tahap casual dating. 4) Steady dating Tahap ini merupakan tahap yang bersifat lebih serius dengan pasangan. Pada tahap ini, memberikan simbol sebagai bukti keseriusan hubungan adalah hal yang umum. Perpisahan juga bisa terjadi pada tahap ini, mengakibatkan seseorang memulai hubungan yang baru dengan orang yang lain. 5) Enggagement Tahap ini merupakan tahap dimana lingkungan mengetahui pada pasangan terdapat rencana untuk melanjutkan hubungan kepada pernikahan. Kebiasaan yang terjadi pada tahap ini adalah memberikan cincin atau barang lainnya sebagai simbol keseriusan hubungan yang ada.
39
IV.D. Pacaran pada Gay Proses pembentukan hubungan pacaran ini juga terjadi pada hubungan pacaran yang dibentuk oleh pasangan gay.
Gay akan melakukan aktivitas
bersama sebagai tahap pembentukan hubungan pacaran. Berlanjut sampai kepada tahap-tahap pacaran berikutnya, meskipun banyak pasangan gay yang hanya sampai pada tahap regular dating. Hal ini disebabkan karena kurangnya dukungan dari lingkungan dalam memberikan contoh kepada gay dalam menjalin hubungan pacaran (Caroll, 2005). Hubungan pacaran yang sampai kepada tahap steady dating tetap menjadi harapan seorang gay dalam berpacaran (Savin-Williams & Cohen, 1996 ; Caroll,2005). Seperti kaum straight, kaum gay juga mengalami perasaan yang sama dalam
membentuk
hubungan
pacaran
dengan
orang
yang
disukainya
(Miracle,2008). Tertarik pada seseorang, berusaha menghindari penolakan, menentukan
seseorang
yang
paling
tepat
sebagai
pasangannya,
mengkomunikasikan hasrat seksualnya, mempertahankan cinta kepada pasangan. Aktivitas yang dilakukan sepasang gay yang berpacaran tidak jauh berbeda dengan pacaran yang dilakukan oleh pasangan straight. Pasangan gay melakukan aktivitas dalam pacaran secara bersama, contohnya, menonton atau berkencan. Perbedaan pacaran pada gay dengan pasangan straight hanya pada penerimaan lingkungan terhadap pasangan tersebut (Caroll, 2005).
Pasangan
straight tidak akan menghadapi masalah yang sama dengan pasangan gay saat memberitahu lingkungan mengenai hubungan yang mereka lakukan. Hal ini
40
berhubungan dengan penolakan, stigma dan stereotip masyakarat terhadap hubungan sesama jenis.
V. INTIMACY DALAM PACARAN PADA GAY Penelitian menemukan bahwa seorang gay juga akan melakukan pacaran dalam
perkembangan
kehidupannya
(Savin-Williams
&
Cohen,
1996).
Berdasarkan pendapat tersebut dapat ditarik suatu pemahaman, pacaran tersebut dilakukan sebagai satu cara bagi gay dewasa dini untuk memenuhi tugas perkembangannya. Tujuan pacaran tersebut juga untuk menemukan pasangan yang tepat dalam kehidupan seorang gay, walaupun menurut Caroll (2005), kebanyakan pacaran pada gay hanya sampai pada tahap regular dating. Gay tetap berharap untuk setiap hubungan pacaran yang dilakukannya, dapat bertahan sampai kepada tahap steady dating (Caroll,2005). Gay membentuk hubungan pacaran berdasarkan pada sebuah intimacy (Kelly, 2001), bukan seperti tanggapan umum yang memandang hubungan gay hanyalah sebuah hubungan seksualitas belaka. Intimacy dalam hubungan gay didasarkan pada saling memahami dan penuh kehangatan, walalupun menurut beberapa ahli, intimacy yang terdapat dalam pacaran tersebut sangat kurang. Caroll (2005) menyatakan dengan keadaan lingkungan yang masih menolak keberadaan hubungan sesama jenis, membuat seorang gay susah untuk mendapatkan pasangan dan tidak mudah untuk mengenali seseorang yang berpotensi menjadi pasangan mereka. Gay harus berusaha lebih keras untuk
41
mempertahankan hubungan tersebut. Hal ini membuat intimacy dalam hubungan gay tidak terlalu kuat. Coleman (dalam Masters,1992) menyatakan pendapatnya dimana gay berada pada ketidakberuntungan dengan kurangnya role model bagi gay dalam mempelajari hubungan pacaran pada gay akan berpengaruh terhadap intimacy yang terjalin dalam hubungan tersebut. Hal ini disebabkan oleh kurangnya penerimaan lingkungan terhadap hubungan sesama jenis dan pandangan negatif dari lingkungan. Menurut Coleman (dalam Masters, 1992) intimacy pada seorang pria selalu dihubungkan dengan aktivitas seksualitas, sehingga saat dua pria berpacaran, perilaku ini akan meningkat. Perilaku promiscuous menyebabkan kurangnya intimacy dalam hubungan pacaran pada gay (Geen, 1984), walaupun seorang gay tetap mengharapkan adanya intimacy dalam hubungannya (Knox, 1984).
42
VI. PARADIGMA Komponen Intimacy
Tugas Psikososial C. Intimacy
Tugas perkembangan : Memilih Teman Hidup
Aspek Intimacy
Jenis Gaya Intimacy
Pacaran
Dewasa dini Gay Homoseksual Orientasi seksual
Intimacy dalam pacaran pada gay
Lesbian
Heteroseksual Biseksual
43