Yang terhormat Bapak Rektor Universitas Negeri Semarang, Bapak Ketua Senat Universitas Negeri Semarang, Para Guru Besar dan Anggota Senat Universitas Negeri Semarang, Bapak Direktur Program Pascasarjana Universitas Negeri Semarang, Para Dekan di lingkungan Universitas Negeri Semarang, Para Anggota Senat FBS Universitas Negeri Semarang, Para Dosen, Tenaga Kependidikan, dan Mahasiswa UNNES, Para tamu undangan dan hadirin yang berbahagia. Assalamualaikum Wr. Wb. Selamat Pagi, Salam Sejahtera. Pertama-tama, perkenankan saya mengajak Bapak, Ibu, dan Saudara untuk memanjatkan puji syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Kuasa atas Berkah Karunia-Nya, sehingga pada pagi yang membahagiakan ini kita dapat berkumpul di tempat ini dalam keadaan sehat untuk mengikuti rapat senat terbuka di Universitas yang kita cintai ini. Selanjutnya, puji syukur saya sampaikan kepada Allah Maha Pengasih yang telah melimpahkan berkah karunia-Nya kepada kami sekeluarga berupa jabatan Guru Besar yang akan dikukuhkan pada hari ini. Tanpa campur tangan-Nya, tidaklah mungkin ini menjadi kenyataan. Pada kesempatan ini, ijinkan saya menyampaikan pidato ilmiah pengukuhan jabatan Guru Besar di bidang Linguistik Terapan pada Jurusan Bahasa dan Sastra Inggris Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Semarang. Pidato ini saya beri judul “Foreignisasi: Strategi Alternatif dalam Penerjemahan untuk Pemertahanan Identitas Budaya” (Foreignization as an Aternative Translation Strategy for Safeguarding the Cultural Identity). Foreignisasi: Strategi Alternatif dalam Penerjemahan untuk Pemertahanan Budaya
1
PENDAHULUAN Jika ditanya apa padanan kata „Ibu‟ dalam bahasa Inggris, kita pasti menjawab „mother‟, „mom‟, „mommy‟, „mummy‟, „mama‟, dan semacamnya. Berbeda dengan jawaban seperti itu, MaxLane (1992: 340) memilih mempertahankan kata „Ibu‟ dan memberikan keterangan “literally „mother‟; used as a term of address for respected women” sebagai catatan. Walaupun dalam kamus Indonesia – Inggris kata „ibu‟ dipadankan dengan „mother‟, kandungan makna kedua kata tidaklah sama. Dalam budaya Indonesia, kata „ibu‟ terkait erat dengan – ke atas – „nenek‟, „buyut‟, „canggah‟ dan ke bawah – „anak‟, „cucu‟, „cicit‟. Secara horizontal, kata „ibu‟ terkait dengan unsur keluarga besar seperti bapak, suami, misan (beserta saudara-saudaranya), kakak, adik, paman, bibi, menantu, mertua, dan seterusnya. Semua unsur membangun keluarga besar (extended family) yang satu sama lain berhubungan erat dan diberi tempat dalam tindak berinteraksi. Sementara itu kata „mother‟ hanya memiliki hubungan vertikal ke atas „parents‟ (father dan mother) ke bawah „kids‟ (sons dan daughters) dan horisontal „siblings‟ (brothers dan sisters). Hubungan itu membentuk keluarga inti (family), sedangkan hubungan di luar itu membentuk kekerabatan (relatives). Sebab itu, kita menjumpai istilah kekeluargaan yang dalam bahasa Inggris dibangun menggunakan sedikitnya dua kata dasar, misalnya „grand-mother‟, „grand-son‟, „great grand-father‟, „in laws‟, „brother in-law‟ dan sebagainya. Dalam penerjemahan kita dihadapkan kepada pemahaman tentang cakupan makna setiap kata. Dalam bahasa sumber (BSu), kata bisa memiliki rujukan makna yang lebih luas daripada padanannya dalam bahasa sasaran (BSa), demikian pula yang sebaliknya. Misalnya, pronomina „I‟ dalam bahasa Inggris berpadanan dengan „saya‟, „aku‟, „hamba‟, „beta‟, dan bahkan nama diri seperti „Susi‟ dalam kalimat “Pak, Susi mau ke pasar.” Menurut Wardaugh (2006: 225), walaupun baik manusia maupun banteng punya „leg‟ (kaki) dalam bahasa Inggris, bangsa Spanyol menggunakan kata „piernas‟ untuk manusia dan „patas‟ untuk binatang. Baik manusia maupun kuda „eat‟ (makan) dalam bahasa Inggris; dalam bahasa Jerman manusia „essen‟, kuda „fressen‟. Bahasa Indonesia pun membedakan „perempuan‟ dengan „betina‟. Suku bangsa Beduin di wilayah Arab mempunyai banyak kata untuk membedakan jenis „camel‟ (unta), demikian pula suku pedalaman Trobriand 2
Yan Mujiyanto FBS UNNES
di Samudra Pasifik memiliki banyak kata untuk menamai berbagai jenis „yams‟. Masalahnya, apakah setiap kata dalam BSu selalu dapat dicarikan padanannya dalam BSa? Pencarian padanan dapat terkendala oleh sejumlah variabel seperti kesetiaan kepada amanat, karakteristik pembaca teks, profil penerjemah, ideologi teks sumber, jenis perpadanan yang hendak dicapai, perbedaan sosiokultural antarmasyarakat penggguna bahasa, dan penggunaan strategi pengalihan bahasa. Dalam pidato ini saya bahas implementasi foreignisasi sebagai strategi alternatif dalam upaya pemertahanan identitas budaya komunitas di tempat bahasa digunakan sebagai BSu. Berikut ini, saya sajikan konsep mengenai terjemah, perpadanan, dan identitas budaya. Selanjutnya saya bahas kaitan antara domestikasi dan foreignisasi sebagai strategi penerjemahan. Pada bagian berikutnya saya bahas upaya pemertahanan identitas budaya bangsa. Sejumlah contoh saya sajikan untuk memperjelas pemahaman tentang pentingnya foreignisasi sebagai strategi alternatif. TERJEMAH, PERPADANAN, DAN IDENTITAS BUDAYA Terjemah Translation, Translation Study, Translatology, Translatics atau Terjemah sebagai ilmu dapat mencakupi ranah amat luas. Istilah ini dapat berarti teori atau konsep dasar mengenai tindak pengalihan makna dari jenis media tertentu menjadi makna yang sepadan dalam jenis media lain. Jacobson (1959; periksa juga Bassnett-McGuire, 2002: 23) membedakan tiga jenis terjemah, yaitu (1) terjemah intrabahasa yang disebut rewording, (2) terjemah antarbahasa atau translation proper dan (3) terjemah antarsemiotis dengan istilah transmutation. Terjemah intrabahasa dan antarbahasa bermakna penafsiran tanda bahasa, sedangkan terjemah antarsemiotis merujuk kepada penafsiran tanda bahasa menggunakan sistem nonverbal. Dengan demikian, dapat dibedakan antara (1) terjemah nonbahasa dan (2) terjemah bahasa. Di antara keduanya terdapat (3) terjemah bahasa-nonbahasa. Terjemah nonbahasa dapat berupa terjemah intranonbahasa atau internonbahasa. Terjemah intranonbahasa berupa kajian mengenai pengalihan makna nonverbal dalam satu media tetapi dengan ragam yang berbeda. Misalnya, drama berjudul Romeo and Juliet karya Shakespeare Foreignisasi: Strategi Alternatif dalam Penerjemahan untuk Pemertahanan Budaya
3
(1595) diterjemahkan menjadi drama berjudul serupa tetapi dengan memodifikasi unsur verbal menjadi unsur visual. Contoh lainnya, lukisan berjudul Monalisa karya Michel Angelo (1452-1615) direkacipta dengan menambahkan unsur baru sehingga memunculkan lukisan berbentuk kartun untuk menyindir seorang tokoh yang hidup pada masa sekarang (Gambar 1a). Terjemah internonbahasa mengkaji pengalihan makna nonverbal yang melibatkan dua atau lebih media komunikasi nonverbal. Dengan banyaknya media jenis ini, dapatlah digolongkan dua terjemah internonbahasa, yaitu terjemah binonbahasa dan terjemah multinonbahasa. Terjemah pertama merujuk kepada kajian terjemah yang melibatkan dua media nonverbal atau lebih. Misalnya, lukisan Soedjojono yang berjudul Tari Barong lahir sebagai hasil rekacipta berdasarkan pengamatan terhadap tari barong sebagai bagian upacara ritual dalam budaya masyarakat Hindu di Bali. Sementara itu, terjemah multinonbahasa mengkaji kegiatan pengalihan makna yang melibatkan lebih dari dua media nonverbal. Sebagai contoh, tari barong diterjemahkan menjadi lukisan berjudul Tari Barong, dan kemudian diterjemahkan lagi menjadi tempat tisu berbahan keramik dengan tema yang sama.
Bagan 1. Jenis-jenis terjemah Terjemah bahasa-nonbahasa mengkaji pengalihan makna dari media verbal menjadi nonverbal, atau yang sebaliknya. Makna yang pada mulanya disampaikan dengan media grafis dialihkan menjadi makna yang bermedia pandang-dengar. Dalam pengalihan itu, deskripsi, narasi, dan argumentasi 4
Yan Mujiyanto FBS UNNES
dalam novel dialihkan menjadi tontonan; urut-uturan cerita dan dialog antartokoh disajikan dengan andalan aspek pandang-dengar. Misalnya, judul novel The Grapes of Wrath (Steinbeck, 1939) dialihmaknakan pada sampul terjemahan (Damono, 1999) menjadi bentuk visual berupa gambar merahhitam dengan motif siluet daun anggur dan bangunan pabrik berwarna hitam serta buah anggur merah sebagai latar depan dengan kata „Amarah‟ yang merupakan padanan kata „Wrath‟ (Gambar 1b. dan 1c.)
Gambar 1a. Sampul Majalah Tempo; 1b. Sampul The Grapes of Wrath (2006); 1c. Sampul Amarah (1999). Terjemah bahasa mengkaji tindak pengalihan makna yang melibatkan media verbal, baik lisan maupun tulisan. Pengalihbahasaan jenis ini dapat berupa terjemah intrabahasa atau antarbahasa. Terjemah intrabahasa mengkaji tindak pengalihan makna dalam satu bahasa. Terjemah jenis ini dapat pula disebut terjemah ekabahasa. Novel klasik berjudul The Adventures of Huckleberry Finn (Twain, 1884), misalnya, telah ditulis ulang dalam sejumlah versi, baik yang menyangkut isi maupun format tampilan. Yang menyangkut isi, terdapat beberapa versi yang lazim disebut simplified series. Misalnya, versi dengan basic vocabulary – 850 word count, 1500 word count, dan seterusnya. Tindak pengalihan makna yang melibatkan dua bahasa atau lebih disebut penerjemahan antarbahasa. Terjemah jenis ini dapat digolongkan menjadi terjemah dwibahasa atau multibahasa. Penerjemahan novel berjudul Burung-burung Manyar (Mangunwijaya, 1981) ke dalam bahasa Inggris (The Weaverbirds, 1989) hanya melibatkan bahasa Indonesia sebagai BSu dan bahasa Inggris sebagai BSa. Terjemah multibahasa dapat melibatkan tiga Foreignisasi: Strategi Alternatif dalam Penerjemahan untuk Pemertahanan Budaya
5
bahasa atau lebih, yaitu satu BSu dan dua atau lebih BSa. BSa pertama bisa menjadi BSu bagi penerjemahan ke dalam BSa kedua, ketiga, dan seterusnya. Novel trilogi berjudul Roads to Freedom karya Sartre yang terdiri atas The Age of Reason (1945; terj. 1947), The Reprieve (1945; terj. 1947), dan Iron in the Souls (1949; terj. 1951) (Microsoft ® Encarta ® 2009. © 19932008 Microsoft Corporation) telah diterjemahkan ke dalam sejumlah bahasa, termasuk bahasa Indonesia. Terjemahan itu dapat bersumber pada karya berbahasa Inggris yang aslinya berbahasa Prancis. Terjemah bahasa dapat diwujudkan dalam bentuk fonis, grafis-fonis, ataupun grafis. Terjemah fonis melibatkan tata-bunyi, yang lazim disebut bahasa lisan. Istilah interpreting merupakan contoh terjemah fonis. Istilah salah kaprah sight translating merujuk kepada interpretasi makna yang bermedia grafis menjadi makna yang bermedia fonis dan sebaliknya. Akhirnya, istilah penerjemahan grafis berarti pengalihan makna dalam teks tulis. Istilah penerjemahan, terjemahan, dan (teori) terjemah, yang digunakan dalam tulisan ini, dirujukkan kepada Bell (1991) yang mengartikannya sebagai „proses atau hasil pengalihan informasi dari suatu bahasa ke bahasa lain dengan tujuan mereproduksi setepat mungkin fitur gramatikal dan leksikal BSu dengan menemukan padanannya dalam BSa. Dalam penerjemahan itu, semua informasi faktual dalam teks sumber (TSu) dipertahankan dalam teks sasaran (TSa) (Bell, 1991: 13). Berdasarkan pengertian tersebut, Bell (1991:13) memperkenalkan tiga istilah, yaitu (1) translating (penerjemahan) yang merujuk kepada proses pengalihbahasaan teks, (2) a translation (terjemahan) yang merujuk kepada hasil dari proses penerjemahan, dan (3) translation (terjemah) sebagai konsep abstrak yang mencakupi proses dan hasil penerjemahan. Istilah terjemah sebagai teori yang komprehensif dapat mencakupi proses dan hasil. Dalam tulisan ini, istilah „terjemah‟ dirujukkan kepada konsep abstrak yang diperoleh melalui penelusuran „terjemahan‟ sebagai hasil dari proses „penerjemahan‟ teks berbahasa Inggris ke bahasa Indonesia. Konsep tentang pengalihan makna yang dikemukakan oleh pakar seperti Nida (1964), Catford (1965), Larson (1983), Bassnett-McGuire (1993; 2002), Newmark (1988; 1991), Bell (1992), Baker (1992), House (1997), dan Halliday (2001) baru mencakupi sebagian kecil dari semesta yang dapat 6
Yan Mujiyanto FBS UNNES
digolongkan sebagai tindak terjemah. Diistilahkan sebagai „a house of many rooms‟ (Neubert dan Shreve dalam Hatim, 2001: 8-10), terjemah tidak lagi dianggap bagian dari linguistik terapan tetapi dapat diangkat menjadi disiplin yang otonom. Dalam rumah yang bernama Terjemah terdapat banyak kegiatan; masing-masing bergerak dalam ranahnya sendiri. Ranah nonbahasa, bahasa-nonbahasa, dan bahasa berkembang dalam „ruangnya‟ sendiri dan memunculkan masalah masing-masing. Terjemah nonbahasa memunculkan masalah yang dipecahkan berdasar teori nonbahasa, terjemah bahasa-nonbahasa memunculkan masalah yang terkait dengan ranah verbal-nonverbal. Novel berjudul The Da Vinci Code (Brown, 2003) direkacipta berdasarkan dan dengan latar pemecahan „sandi‟ (kalau itu benar-benar ada) pada lukisan berjudul The Last Supper (da Vinci, 1452-1519). Novel itu kemudian diterjemahkan menjadi karya sinema berjudul sama dan memunculkan masalah seperti kebenaran cerita ditinjau dari perspektif kesejarahan, kebenaran sandi-sandi dalam lukisan yang diungkapkan oleh pencerita melalui tokoh fiktif Leigh Teabing dan Robert Langdon, dan beraneka reaksi pembaca baik yang mendukung maupun menentang hipotesis Brown. Selain itu, pengalihan cerita menjadi sinema memunculkan masalah pengalihan media grafis menjadi audio-visual, latar cerita, subtitling, penokohan beserta aksesorisnya, dan sebagainya. Terjemah antarbahasa memunculkan sejumlah masalah yang terkait dengan ranah verbal. Masalah itu dapat disebabkan oleh perbedaan antara budaya yang melekat pada BSu dengan padanannya dalam BSa (Dingwaney dan Maier (ed.), 1995; Bush, 1996). Kata „siraman‟, „midodareni‟, dan „gending kebogiro‟ yang dicontohkan oleh Machali (1998:147) harus dijelaskan satu persatu dalam penerjemahan ke dalam bahasa Inggris karena kandungan budaya Jawa yang melekat pada kata tersebut tidak dijumpai dalam budaya Anglo-Saxon. Dengan demikian, terjemah memunculkan masalah ketakberterjemahan – apakah makna yang terkandung dalam BSu selalu dapat dicarikan padanannya dalam BSa? Jika tidak, bagaimana pengungkapan makna itu dalam BSa tanpa menambah atau mengurangi kandungan makna yang terdapat dalam BSu? Untuk memecahkan persoalan itu, Vinay dan Darbelnet (1995; periksa juga Munday, 2001; Bassnett-Mcguire, 2002) mengusulkan penggunaan konsep pergeseran (shift) yaitu “departures from formal correspondence between source and target text” (Catford, 1965: 73; Larson, 1983: 58 ff. Foreignisasi: Strategi Alternatif dalam Penerjemahan untuk Pemertahanan Budaya
7
menggunakan istilah skewing; Al-Zoubi dan Al-Hassnawi, 2001; Al-Hassnawi. 2007). Menurut Carford (1965), pergeseran dapat berwujud pergeseran tingkat (level shifts) dan pergeseran kategori (category shifts). Penerjemahan selalu dapat dilaksanakan tanpa mempedulikan perbedaan unsur budaya atau gramatika antara BSu dan BSa; pergeseran ditempuh untuk mencapai derajat perpadanan jenis tertentu. Terjemah antarbahasa juga memunculkan masalah pencapaian tingkat persetaraan (correspondence) dan perpadanan (equivalence). Persetaraan dirujukkan kepada aspek bentuk bahasa, sedangkan perpadanan dirujukkan kepada perwujudan makna yang terkandung dalam bentuk bahasa. Nida dan Taber (1982: 200), misalnya, mengidentifikasi dua aspek yang hendak dicapai dalam penerjemahan, yaitu korespondensi formal dan perpadanan dinamis yang mereka definisikan sebagai “prinsip penerjemahan yang menjadi dasar untuk mengalihbahasakan makna yang terkandung dalam TSu sedemikian rupa sehingga TSa membangkitkan dampak yang sama dengan dampak yang diterima oleh pembaca TSu”. Konsep dasar perpadanan tersebut dikembangkan oleh para pakar terjemah yang muncul kemudian. Misalnya, Larson (1983), Baker (1992); Koller (1995). Leonardi (2000) menjabarkan konsep perpadanan menjadi sejumlah kategori seperti perpadanan tingkat kata, semantis, tekstual, gramatikal, dan pragmatis, sementara Newmark (1991) – dengan merujuk kepada Halliday – menyarankan (1) pemadanan butir demi butir fitur kebahasaan, (2) pemberian pertimbangan kembali kepada lingkup kebahasaan dalam mempertimbangkan konteks situasi, dan (3) pemberian pertimbangan kepada fitur gramatikal BSa. Konsep ini dikembangkan berdasarkan teori tatabahasa sistemik-fungsional Halliday (2004) dan para pendukungnya seperti Eggins (1994), Matthiessen (1995), Thomson (1996), Lock (1996), serta Halliday dan Matthiessen (2004). Berdasarkan teori itu, para pakar mencari cara untuk menemukan model terjemah yang bermuara pada pencapaian perpadanan fungsional. Bell (1991; periksa juga Mujiyanto 2009, 2010, 2011a, 2011b, 2012, 2014, 2015, 2016), misalnya, mengadopsi konsep metafungsi dengan mengajukan asumsi bahwa (1) gramatika suatu bahasa merupakan sistem pilihan yang tersedia bagi pemakai bahasa untuk mengungkapkan makna, (2) suatu rentang bahasa harus berisi perpaduan tiga jenis makna, dan (3) masing8
Yan Mujiyanto FBS UNNES
masing jenis makna diorganisasi menurut metafungsinya. Halliday (2001) bahkan menegaskan bahwa perpadanan harus didefinisikan menurut metafungsinya. Dengan landasan itu, para pakar terjemah berupaya menemukan model pengalihan makna untuk mencapai perpadanan fungsional. Pencapaian perpadanan inilah yang banyak dikaji dalam praktik penerjemahan sampai setakat ini. Perpadanan Istilah „padanan‟ (yang bermakna „keadaan seimbang, sebanding, ... searti) dapat diartikan sebagai „kata atau frase dalam suatu bahasa yang memiliki kesejajaran makna dengan kata atau frase dalam bahasa lain, misalnya maison dalam bahasa Prancis padanannya rumah dalam bahasa Indonesia‟ (Tim Penyusun KBBI, 1991: 712). Dengan menambahkan kombinasi prefikssufiks „per-an‟, kata „padan‟ dapat dibentuk menjadi „perpadanan‟ yang bermakna „hal, keadaan, atau hasil yang dinyatakan oleh verba „berpadan‟ (Alwi et al., 1993: 259). Dalam terjemah, istilah perpadanan (equivalence) dapat diartikan sebagai hal, keadaan, atau hasil dari suatu tindak penerjemahan yang tercapai ketika TSa 'replicates the same situation as in the original, whilst using completely different wording' (Vinay and Darbelnet dalam Newmark, 1991). Menurut Nida dan Taber (1969), perpadanan dapat digolongkan menjadi perpadanan formal (yang juga disebut korespondensi formal) dan perpadanan dinamis. Korespondensi formal tercapai bilamana suatu kata, kelompok kata, frase, atau klausa dalam TSa sudah sesuai dengan padanannya dalam TSu. Menurut Fawcett (1997), perpadanan memiliki “implikasi serius” dalam TSa sebab terjemahan menghadirkan tatakalimat asing yang mungkin sulit dipahami atau bahkan disalahartikan oleh pembacanya. Sebab itu, mereka mengemukakan pentingnya perpadanan dinamis yang diartikan sebagai prinsip penerjemahan yang menjadi rujukan bagi penerjemah dalam mengalihbahasakan makna yang terkandung dalam TSu. Seperti yang dikatakan oleh House (1997), TSu dan TSa harus berpadanan dalam fungsi. Teks dapat dianalisis dengan mempertimbangkan matra situasional TSu karena setiap teks ditempatkan dalam situasi tertentu yang harus diidentifikasi dengan tepat dalam analisis dan dipertimbangkan dengan serius dalam penerjemahan. Dengan demikian, penerjemahan Foreignisasi: Strategi Alternatif dalam Penerjemahan untuk Pemertahanan Budaya
9
dimaksudkan untuk mencapai perpadanan fungsional, perpadanan dinamis, atau penerjemahan berdasar makna, yaitu perpadanan yang dicapai dengan cara penerjemah merefleksikan pikiran yang disampaikan oleh penulis TSu. Bell (1991: 6) mempertimbangkan perpadanan menurut derajatnya (sepadan penuh atau sebagian), tingkat penyampaiannya (konteks, semantik, gramatika, leksis, dsb.) dan jenjangnya (kata demi kata, frase demi frase, klausa demi klausa). Dengan perspektif itu, kajian penerjemahan dapat dititikberatkan kepada perpadanan formal atau perpadanan fungsional. Dari kedua pilihan itu, Bell mengutamakan perpadanan fungsional. Ditinjau menurut perspektif tatabahasa sistemik-fungsional, perpadanan dapat dipertimbangkan dengan membedakan antara How things are? dan How things ought to be? Pertanyaan pertama memerlukan jawaban yang berupa deskripsi dan eksplanasi; pertanyaan kedua memerlukan prodesur, penafsiran, dan aturan. Merujuk kepada perspektif pertama, perpadanan dapat dipahami berdasarkan tiga metafungsi bahasa. Dengan dasar itu, sejumlah pakar mencurahkan perhatian kepada perpadanan menurut perspektif fungsional. Newmark (1991: 68) beranggapan bahwa karya Halliday (1994) menjadi bagian penting bagi praktik penerjemahan teks yang menggunakan bahasa Inggris baik sebagai BSu atau BSa. Hatim dan Mason (1991; 1997) menggunakan analisis register sebagai pertimbangan dalam membahas konteks. Menurut mereka, walaupun terdapat faktor lain (seperti faktor pragmatis dan semiotis), identifikasi jenis-jenis register teks merupakan bagian penting dalam “discourse processing” yang melibatkan pembaca dalam merekonstruksi konteks melalui analisis terhadap apa yang terjadi, siapa yang berperanan dalam tuturan, dan apa media yang dipilih untuk menyampaikan makna. Identitas Budaya Budaya adalah fitur penentu identitas seseorang; budaya mengarahkan cara orang melihat diri-sendiri dan kelompok di tempatnya berada. Budaya juga merupakan keseluruhan cara hidup yang terbangun oleh sekelompok manusia, yang diwariskan dari generasi ke generasi. Setiap komunitas, kelompok masyarakat ataupun kelompok etnis memiliki nilai, keyakinan, dan cara hidup masing-masing. 10
Yan Mujiyanto FBS UNNES
Berdasarkan pengertian itu, identitas budaya dapat diartikan sebagai perasaan menjadi bagian dari konsepsi dan persepsi diri pada rasa kebangsaan, kesukuan, keagamaan, kelas sosial, generasi, kedaerahan dan jenis kelompok sosial apapun dengan budayanya sendiri yang khas. Identitas dapat dianggap sebagai karakteristik individual atau kelompok yang sama budayanya sehingga anggota kelompoknya berbagi identitas yang sama pula (Hachem, 2011). Budaya dan bahasa saling berhubungan dan bergantung satu sama lain. Bahasa dibentuk oleh budaya, sementara budaya dipengaruhi dan terdampak oleh bahasa. Bahasa adalah media budaya. Hachem (2011) mencontohkan bahwa kelompok masyarakat yang menjadi imigran di suatu wilayah umumnya sudah terbiasa dengan bahasa jatinya. Walaupun terjadi asimilasi dengan komunitas lain, mereka akan terus menggunakan dan memelihara bahasa jatinya itu sehingga tercipta masyarakat budaya yang berbeda di tempat tinggal mereka yang baru untuk melestarikan bahasa jatinya. Perbedaan bahasa sering kali dipandang sebagai tanda kehadiran budaya lain, dan dengan sendirinya sering kali tercipta perbedaan cara pandang suatu masyarakat dengan masyarakat tetangga atau kelompok lain dalam satu bangsa sekalipun. Misalnya, di Canada, para penduduk asli di Quebec yang berbahasa Prancis berseberangan dengan mayoritas penduduk yang berbahasa Inggris (Language and Culture, 2011). Untuk menunjukkan pentingnya bahasa dan budaya dalam pembentukan identitas individual, Mike (2010) mencontohkan reaksi masyarakat di negaranegara kawasan Asia ketika harus bergeser bahasa. Kebanyakan reaksi berupa kecemasan bahwa pergeseran dari bahasa lokal ke bahasa Inggris berdampak negatif pada „identitas budaya bangsanya‟. Mengutip (Bakhtin 1981), Patricia (2012) berpendapat bahwa bahasa secara intrinsik terkait dengan budaya. Bahasa merealisasikan fungsi sosial dalam mengkomunikasikan tatanilai, keyakinan, dan adat-istiadat serta menggalang identitas kelompok. Dengan perkataan lain, bahasa merupakan media yang digunakan kelompok masyarakat untuk melestarikan budaya jati dan mempertahankan tradisi mereka agar tetap bertahan. Bebab itu, masyarakat perlu memelihara budayanya. Hilangnya bahasa dapat berarti hilangnya pula budaya dan identitas suatu masyarakat. Foreignisasi: Strategi Alternatif dalam Penerjemahan untuk Pemertahanan Budaya
11
Bahasa dan identitas budaya berhubungan erat satu sama lain. Sementara bahasa merupakan media yang digunakan oleh individu untuk menegosiasikan rasa diri dalam konteks yang berlainan (Pierce, 1995; Norton, 2000), pembentukan identitas budaya merupakan proses sosial yang dicapai melalui praktik berulang-ulang. Sebab itu, kemampuan menggunakan suatu bahasa dalam konteks tertentu dapat mempengaruhi perkembangan identitas budaya (Trechter & Bucholtz, 2001) melalui penciptaan kesenjangan antara wacana budaya yang dominan dan wacana subkultur penutur bahasa. Dengan perkataan lain, penggunaan bahasa menentukan kepada kelompok sosial mana seseorang diijinkan untuk bergabung. Sebagai contoh, penutur bahasa Inggris akan diterima untuk bergabung dengan kelompok sosial yang memiliki jumlah kekuasaan sosial dan politik yang lebih besar daripada mereka yang bukan penutur bahasa Inggris (Fairclough, 2001). Bilamana bahasa jati pembelajar bahasa Inggris adalah bahasa yang lebih rendah nilai budayanya dan bahasa kelompok masyarakat yang dominan secara politis dipaksakan kepada semua siswa, maka identitas budaya pembelajar tersebut akan terancam, dan terciptalah hubungan yang tak seimbang antara pembelajar bahasa Inggris dan penutur jati bahasa yang dominan tersebut (Pierce, 1995). STRATEGI PENERJEMAHAN Istilah „strategi‟ memiliki sejumlah makna. Krings (1986: 18) mengartikannya sebagai “rencana yang potensial disadari oleh penerjemah untuk memecahkan masalah konkret dalam rangka penerjemahan yang konkret pula”. Loescher (1986: 8) mengartikan istilah itu sebagai “prosedur untuk memecahkan masalah yang dihadapi penerjemah dalam mengalihbahasakan teks atau bagian dari teks”. Kedua definisi menekankan pentingnya kesadaran penerjemah ketika melaksanakan tugas profesionalnya. Jaaskelainen (1999: 71) mengartikan strategi penerjemahan sebagai „seperangkat kemampuan, langkah, atau proses yang mendukung pemerolehan, penyimpanan, dan/atau penyediaan informasi.‟ Berdasarkan pengertian seperti itu, Bell (1991: 188) membedakan strategi global dengan strategi lokal. Strategi global merujuk kepada prinsip dan modus tindakan umum sedangkan strategi lokal merujuk kepada kegiatan khusus yang terkait dengan pemecahan masalah dan pembuatan keputusan dalam pengalihan makna secara khusus. 12
Yan Mujiyanto FBS UNNES
House (1997; 2006: 25-6), alih-alih, menggunakan istilah penerjemahan terbuka (overt translation) dan penerjemahan tertutup (covert translation). Penerjemahan terbuka diartikan sebagai pengalihan bahasa yang di dalamnya pembaca teks terjemahan secara sangat terang-terangan tidak disapa langsung sehingga dihasilkan TSa yang benar-benar merupakan terjemahan dan bukan „second original‟. Penerjemahan tertutup, sebaliknya, diartikan sebagai proses penerjemahan yang dilakukan dengan mempertahankan fungsi teks asli menggunakan kendala yang disebut filter budaya (cultural filter), yaitu „seperangkat matra lintas budaya di mana anggota masyarakat kedua budaya berperilaku dan memiliki preferensi sosial-budaya yang berlainan dalam komunikasi (Baker, 2005: 199). Norma BSu yang culture-specific diadaptasi ke dalam norma BSa (House, 2006: 256). Strategi ini dapat direalisasi dengan menerapkan variasi makna sebagaimana yang dikemukakan oleh Halliday (2004), yaitu makna ideasional, makna interpersonal, dan makna tekstual. Venuti (1998: 240) menyatakan bahwa strategi penerjemahan “mencakupi tugas pokok pemilihan teks sumber dan pengembangan metode penerjemahannya”. Pakar ini memperkenalkan istilah domestikasi dan foreignisasi. Domestikasi diartikan sebagai penyusutan etnosentris TSu menjadi nilai budaya BSa dengan cara „membawa pulang‟ pengarang TSu. Foreignisasi, sebaliknya, diartikan sebagai “―an ethnodeviant pressure on those (cultural) values to register the linguistic and cultural difference of the foreign text, sending the reader abroad” (Venuti, 1995: 20). Seperti yang dikemukakan oleh Shuttleworth & Cowie (1997 dalam Yang, 2010), “… foreignization means a target text that is produced by deliberately breaking target conventions by retaining something of the foreignness of the original.” Dengan perkataan lain, domestikasi merujuk kepada jenis penerjemahan dengan gaya fasih dan transparan yang disesuaikan untuk meminimalkan keasingan TSu bagi pembaca TSa, sedangkan foreignisasi bermakna bahwa TSa dihasilkan dengan secara sengaja melanggar konvensi-konvensi dalam bahasa dan budaya sasaran dengan jalan mempertahankan segala sesuatu dalam TSu yang asing bagi pembaca TSa. Dengan mempertentangkan penerjemahan sebagai proses dan terjemahan sebagai hasil, Jaaskelainen (2005: 16) membagi strategi penerjemahan menjadi dua kategori, yaitu strategi yang mengaitkan peristiwa dalam teks sebagai hasil dan strategi mengaitkan peristiwa yang terjadi Foreignisasi: Strategi Alternatif dalam Penerjemahan untuk Pemertahanan Budaya
13
dalam proses. Strategi pertama melibatkan pemilihan TSu dan mengembangkan metode penerjemahannya, sedangkan strategi kedua mengimplementasikan seperangkat aturan untuk mencapai tujuan yang ditetapkan oleh situasi penerjemahan. Dengan demikian, istilah strategi penerjemahan dapat diartikan sebagai rencana memecahkan masalah dalam pengalihbahasaan teks sehingga tercipta teks BSa dengan rujukan kepada aspek BSa (domestikasi) atau kepada aspek BSu (foreignisasi). Baker (1992) menguraikan penggunaan strategi untuk mencapai perpadanan pada tingkat kata, tingkat di atas kata, dan tingkat tekstual. Pada tingkat kata, dia menyarankan penggunaan kata yang lebih umum atau superordinate, penggunaan kata yang lebih netral, penerjemahan dengan memanfaatkan substitusi budaya, penggunaan kata pinjaman atau kata pinjaman ditambah penjelasan, penerjemahan dengan parafrase, penerjemahan dengan penghilangan, dan penerjemahan dengan memanfaatkan ilustrasi. Pada tingkat di atas kata, masalah pencapaian perpadanan bisa mencakupi (1) penerjemahan kolokasi dan (2) penerjemahan idiom dan peribahasa. Penerjemahan kolokasi memunculkan masalah-masalah seperti perlunya perhatian khusus pada efek penggunaan pola tertentu pada TSu, penyalahtafsiran makna kolokasi dalam BSu, dan tarik-ulur antara persoalan ketepatan, keberterimaan, dan kelaziman. Menurut Baker (1992: 57), walaupun ketepatan merupakan tujuan utama, penggunaan pola yang lazim dan berterima dalam BSa memainkan peranan penting dalam menjaga saluran komunikasi yang terbuka antara penerjemah dan pembacanya. Pada tingkat tekstual, Baker (1992) menyarankan penggunaan empat strategi untuk mencapai perpadanan fungsional, yaitu (1) perubahan aktifpasif‟, (2) perubahan verba, (3) nominalisasi, dan (4) penyisipan posisiekstra. Dari penelusuran bahan-bahan pustaka ditemukan bahwa sejauh ini Baker merupakan salah satu pakar yang menyajikan uraian relatif komprehensif dan rinci mengenai penggunaan strategi penerjemahan sehingga patut kiranya teori tersebut digunakan sebagai landasan praktik penerjemahan. Walaupun demikian, kesahihan strategi dalam pengindonesiaan teks berbahasa Inggris perlu diuji berulang kali.
14
Yan Mujiyanto FBS UNNES
STRATEGI ALTERNATIF Istilah domestikasi dan foreignisasi secara implisit sudah sangat lama dibahas di dalam khasahah penerjemahan. Savory (1957: 43), misalnya, menyajikan daftar dikotomis tentang prinsip pengalihbahasaan. Di satu sisi penerjemahan terarah pada foreignisasi, di sisi lain pada domestikasi. Menurut pakar itu, penerjemahan haruslah: give the words of the original. read like an original work. reflect the style of the original. read as a contemporary of the original. add to or omit from the original. change verse to prose
give the ideas of the original. read like a translation. possess the style of the translator. read as a contemporary of the translator. never add to or omit from the original. Rewrite verse as verse.
Berdasarkan dikotomi itu, Savory (1957: 43) menyatakan bahwa pemilihan strategi bergantung pada keinginan pembaca yang bervariasi. Menurut Hatim (2001:46), sebagai ancangan penerjemahan, domestikasi diterapkan untuk mengatasi sebagian efek keasingan (alienasi) TSa yang cenderung mengutamakan gaya transparansi dan kefasihan. Sementara itu, menurut Venuti (1995; periksa juga antara lain Zare-Behtash 2009; Yang, 2010; Schmidt, 2013; Mujiyanto, 2013; 2015), domestikasi merupakan strategi merekacipta teks asing demi kenyamanan pembaca TSa. Gaya ini diadopsi untuk meminimalkan keasingan TSu agar budayanya lebih dikenal oleh pembaca TSa. Venuti menambahkan bahwa “all translation is fundamentally domestication and is really initiated in the domestic culture”. Menurut Machali (2012), “jika unsur asing tidak didomestikasi, unsur itu tidak akan terjangkau oleh pembaca TSa”. Tentang foreignisasi, Venuti (1995: 46; periksa juga Hatim, 2001) berpendapat bahwa, berbeda dengan domestikasi, strategi itu sengaja melanggar konvensi bahasa dan budaya sasaran dengan cara mempertahankan sebagian keasingan TSa. Dengan demikian, pembaca TSa diajak menelusuri bahasa dan budaya sumber untuk membuatnya merasakan perbedaannya dengan bahasa dan budaya sasaran. Akibatnya, pembaca teks terjemahan didorong untuk memahami sebanyak mungkin unsur teks asing dalam BSa. Menurut Venutti (1995: 20), sepanjang Foreignisasi: Strategi Alternatif dalam Penerjemahan untuk Pemertahanan Budaya
15
foreignisasi dimaksudkan untuk mengendalikan pelanggaran etnosentris penerjemahan, stretegi itu lebih „desirable‟. Dihadapkan pada dua pilihan strategi, Schmidt (2013) berpendapat bahwa keduanya menyiratkan adanya manipulasi teks; keduanya samasama bias. Sebab itu, pemilihan strategi yang tepat bergantung pada variabel seperti tujuan penerjemahan, status sistem literer penerima terjemahan, „power relation‟ antara sistem literer BSu dan BSa, dan variabel lain seperti “historical, social and cultural setting in which the translation takes place”. Selanjutnya, mengutip Wang (2002: 24), Schmidt menyatakan bahwa perbedaan antara domestikasi dan foreignisasi lebih bersifat politis, alih-alih kebahasaan. Dikatakan domestikasi karena TSa dihasilkan dalam BSa dengan kandungan budaya BSa, dan dikatakan foreignisasi karena teks terjemahan yang disajikan kepada pembaca TSa merupakan teks yang berasal dari bahasa dan budaya sumber (asing). Sebab itu, jika tidak terdapat perbedaan konotasi budaya dalam kedua bahasa, penerjemahan menggunakan strategi domestikasi dan foreignisasi secara tandem. Bassnett (2002: 28) cenderung memilih strategi foreignisasi dengan alasan (1) penerjemahan dilakukan berdasar anggapan bahwa TSu mengungguli TSa; (2) penerjemahan merupakan wahana untuk mendorong pembaca agar kembali ke TSu; (3) penerjemahan membantu pembaca TSa agar menjadi setara dengan pembaca TSu melalui keasingan teks yang sengaja dihadirkan dalam BSa; (4) penerjemahan menempatkan penerjemahnya sebagai pihak yang menawarkan pilihan pragmatis kepada pembaca TSa; (5) terjemah meningkatkan status TSu jika dipahami sebagai teks yang rendah tingkat budayanya. Menurut Kuhiwczak & Littau (2007: 27), „jika domestikasi adalah norma sebuah budaya yang dominan dan bergengsi, foreignisasi dapat diidealkan sebagai modus keterbukaan yang cenderung menyambut alih-alih memisahkan makna dan budaya dalam TSu. Dengan demikian, teori terjemah menjadi cara membahas perkara-perkara yang terkait dengan perlindungan budaya … dan etika dalam foreignisasi sudah sesuai dengan pandangan sejumlah pakar yang berada di dalam budaya yang dominan itu. 16
Yan Mujiyanto FBS UNNES
Berman (1984: 30; periksa juga Pym, 1997) membela strategi foreignisasi dengan mengambil contoh dari gagasan Romantisme Jerman. Sebagai pendukung strategi foreignisasi, Venuti (1995, 1998b: 146; Periksa juga Tymoczko, 2000) mengartikan penerjemahan sebagai praktik sosio-politik dan menyarankan penggunaan strategi itu untuk menghormati dan merepresentasikan “the 'otherness' of the foreign text, language and culture.” Dengan demikian, melalui metode foreignisasi, penerjemahan menjadi tindak yang melibatkan unsur sosial dan politik BSu untuk disampaikan kepada pembaca TSa. Yang (2010:79) memberikan contoh bahwa sejak dekade 1980-an di China telah terjadi perdebatan tentang mana di antara kedua strategi itu yang lebih tepat. Dia menunjukkan dukungannya kepada penggunaan strategi foreignisasi dengan menyatakan bahwa perwujudan domestikasi merupakan “abuse of (1) four-word idioms; (2) words of classic elegance; (3) abstraction; (4) replacement; as well as (5) allusions and images”. Yang (1994: 269) pernah menyatakan sebelumnya bahwa strategi domestikasi yang mengasimilasikan karakteristik nasional pada TSu telah menyimpangkan makna TSu dan mungkin juga menghilangkan fitur nasional suatu budaya. Yang (2010) juga menyebutkan bahwa pada dekade 2000-an gema foreignisasi secara keseluruhan ternyata lebih dominan. Menurutnya, tugas utama penerjemahan adalah dengan tepat dan sepenuhnya menyampaikan pikiran dan gaya yang terdapat dalam TSu. Dia bahkan berani memprediksi bahwa pada abad ke 21 strategi foreignisasi akan menjadi pilihan utama dalam penerjemahan teks sastra. Dengan mengutip Xu Jianping (2002: 3638), Yang menegaskan bahwa foreignisasi harus digunakan untuk memenuhi komunikasi lintas budaya dalam penerjemahan dari bahasa Inggris ke bahasa China; domestikasi digunakan sebagai suplemen. Alasannya, sejumlah besar pembaca di negara itu lebih menerima unsur yang dikenal dari budaya asing daripada pembaca asing menerima budaya China. PEMERTAHANAN IDENTITAS BUDAYA Dalam permainan sepakbola, dikenal semacam konsep bahwa pertahanan yang baik dilakukan dengan menyerang. Sebab itu, dikembangkan strategi yang dikenal sebagai total football, yaitu strategi yang memungkinkan para pemain menggantikan peranan pemain lain dalam satu tim. Peranan pemain Foreignisasi: Strategi Alternatif dalam Penerjemahan untuk Pemertahanan Budaya
17
dapat berubah-ubah dalam rangka membangun serangan yang tepat dan mematikan. Jika konsep ini diterapkan dalam praktik penerjemahan, pemertahanan budaya dilakukan dengan mengeksplorasi budaya , membawa pulang, dan mendudukkannya berdampingan dengan budaya yang telah hidup di tengah masyarakatnya. Kemenangan diperoleh jika fitur bahasa dan budaya asing dapat berdampingan dengan fitur dan budaya jati tanpa menimbulkan konflik. Dengan cara itu, bahasa jati tidak terus menerus mempersempit diri hanya dengan unsur-unsurnya yang sudah ada tetapi memperkaya wawasan dengan menambahkan unsur bahasa asing ke dalamnya. Pengayaan itu dengan sendirinya membawa serta budaya yang lekat dengan unsur bahasa tersebut.
Gambar 2a Dansa
Gambar 2b Tarian
Sebagai contoh, kata „dance‟ yang diadopsi menjadi „dansa‟ (Gambar 2a) memiliki kandungan budaya yang berbeda dengan istilah „tarian‟ (Gambar 2b). Dengan demikian, muncul kata „dansa‟ dan „tari‟ yang berdampingan; masing-masing mengandungi unsur budayanya sendiri. Kata „amok‟ (amuck), „gong‟, „guru‟, dan „madrasa(h)‟ sudah lama masuk sebagai lema dalam Cambridge Advanced Learner‟s Dictionary, dan sedang dipertimbangkan masuknya kata-kata baru seperti „macet‟, „odong-odong‟, dan „ojek‟ ke dalam kamus tersebut. Jika bahasa Inggris membuka diri untuk dimasuki kosa kata seperti itu, bahasa Indonesia pun kiranya tidak perlu mensterilkan diri untuk tidak menerima istilah-istilah berbahasa Inggris yang sulit dicarikan padanannya yang lazim, tepat, dan berterima dalam bahasa Indonesia, terutama istilah-istilah ilmu pengetahuan yang dikelompokkan sebagai terminologi internasional. Perlukah kita memeras keringat untuk mencari padanan istilah seperti mouse, on-line, boarding pass, e-mail, dan mother-
18
Yan Mujiyanto FBS UNNES
board, walaupun dengan cantiknya istilah timeline dipadankan dengan „tatakala‟? Pandangan sempit, yang hanya berorientasi kepada bahasa dan budaya sendiri tanpa membuka diri pada realitas tentang keberadaan berbagai perbedaan di tengah masyarakat justru dapat mengakibatkan terjadinya „communication breakdown‟. Sebagai ilustrasi, pada suatu hari di Sydney sekelompok masyarakat hendak menyelenggarakan perayaan Paskah. Panitianya datang di suatu paroki minta izin menggunakan Hall di lingkungan paroki tersebut untuk melaksanakan pesta makan siang. Ketika ketua paroki bertanya “What will you have for the party?” Salah seorang yang belum lama tinggal di negeri itu menjawab “We will have snack, lunch and some drinks”. Sang ketua geleng-geleng kepala sambil bilang “No no no!” Rupanya kata „drink‟ yang berupa teh, sirup, dan beberapa jenis minuman ringan ditafsirkan sebagai „alchoholic drink‟. Berikut teks hipotetis tentang seorang eksekutif yang menjadi boss di suatu holding company. Mengklaim baru dapat projek water treatment, dia invite koleganya untuk lunch di continental restoran yang menyediakan fastfood seperti fish n chip, chicken currey, dan beef noodle sebelum meeting yang prosidingnya sudah ready untuk mendiskusikan nonprofit oriented business. Seorang kolega usul: ke waroeng stick and shake saja atau deCobek. Di sana tersedia „garlic nut sauce with rice cake, soft fried tofu, and crackers‟ (maksudnya gado-gado). Dalam mempertahankan pemakaian bahasa jati (native language), tidak jarang penutur berupaya mencari padanan yang dianggap paling sesuai dan merepresentasikan budayanya. Walaupun demikian, tak jarang upaya itu justru mempersempit kandungan amanat yang hendak disampaikan dalam BSu. Misalnya, terjadi kontradiksi dalam penerjemahan singkatan-singkatan badan internasional Perserikatan Bangsa Bangsa. UNO (United Nations Organisation) dilafalkan “You know” yang berarti “Anda tahu” sedangkan terjemahannya PBB dilafalkan “pebebe” saja. UNICEF (dilafalkan „Unichef‟ – satu koki) tidak diindonesiakan. Demikian pula ICU (dilafalkankan “I see you” – “Saya melihatmu”, yang terasa sympathetic, diindonesiakan menjadi „Unit Gawat Darurat‟ yang membuat pendengarnya cemas). Contoh lainnya, ATM singkatan „Automated Teller Machine‟ diindonesiakan menjadi ATM -
Foreignisasi: Strategi Alternatif dalam Penerjemahan untuk Pemertahanan Budaya
19
kependekan „Anjungan Tunai Mandiri‟ sedangkan IUD (Intrauterine Device) diindonesiakan menjadi „spiral‟ saja atau setengah kelakar „Iki Ucul Dadi‟. Pertanyaannya, apa batasan yang digunakan untuk memilah istilah asing dalam teks berbahasa Indonesia. Mana di antara istilah itu yang harus digunakan, dapat dipertahankan, perlu dihindari, atau diharamkan? Di dalam komunitas kita terdapat kecenderungan untuk menempatkan budaya Anglo-Saxon lebih tinggi atau lebih bergengsi daripada budaya lokal. Ini direpresentasikan dengan kecenderungan penggunaan kosakata asing daripada milik sendiri. Perhatikan ungkapan seperti cleaning service, driver, dan security, yang menggantikan istilah „pesuruh‟, „sopir‟, dan „satpam‟. Istilah seperti „chatting‟, „lunch‟, „meeting‟, sering digunakan untuk memadani kata „ngobrol‟, „makan siang‟, „rapat‟, walaupun istilah seperti „casting‟ dan „dissenting opinion‟ tidak selalu mudah dicarikan padanannya dalam bahasa kita. Sebagai ilustrasi, pada suatu hari di sebuah toko obat saya menjumpai dua varian obat herbal, yaitu Curmino dan Curmino Plus. Ketika iseng saya tanyakan perbedaan antara kedua varian itu, inilah penjelasannya: “Curmino hanya untuk kesehatan hati, sedangkan Curmino Plus untuk kesehatan liver.” Tabel 1. Perpadanan Istilah Bahasa Inggris dan Bahasa Indonesia. Bahasa Inggris glossary word list index significant error
Bahasa Indonesia takarir lema senarai bena galat
Bahasa Inggris nature continuous file sample space
Bahasa Indonesia khuluk malar tangkil terok rongak
Adjat Sakri pernah mengusulkan pemakaian kata „sangkil‟ dan „mangkus‟ sebagai padanan kata „effective‟ and „efficient‟. Konon, dia mencabut sendiri usulan itu karena kedua kata sering disalahartikan. Dalam salah satu karya terjemahannya, Suryanto (1985) membuat takarir berisi lema yang terdiri atas kata-kata senarai seperti „bena‟, „galat‟, „khuluk‟, „malar‟, „tangkil‟, „terok‟ dan „rongak‟. Istilah-istilah tersebut diindonesiakan dari istilah berbahasa Inggris seperti yang terlihat pada Tebel 1. Pertanyaan yang muncul, mana yang lebih dikenal oleh masyarakat pengguna bahasa Indonesia: istilah yang berbahasa Indonesia atau yang berbahasa Inggris? 20
Yan Mujiyanto FBS UNNES
PENUTUP Kata merepresentasikan makna yang berlainan antarbahasa. Hal itu bisa disebabkan oleh perbedaan cara pandang atau ideologi terhadap kandungan makna atau amanat yang selalu disertai unsur budaya. Kenyataan ini berimbas pada upaya pengalihan makna, yang lazim disebut penerjemahan. Sebagai disiplin otonom, terjemah bisa meliputi dua bidang kajian utama, yaitu terjemahan semiotis dan terjemahan bahasa. Di antara kedua kutub terdapat jenis terjemah bahasa-semiotis. Walaupun demikian, terjemah bahasa, khususnya terjemah antarbahasa yang melibatkan unsur grafis berbentuk tulisan, menjadi bagian terpenting disiplin tersebut. Penerjemahan antarbahasa bertujuan mengalihbahasakan teks berbahasa sumber untuk menghasilkan teks dalam bahasa sasaran yang mengandungi perpadanan dan persetaraan dengan teks sumber. Perpadanan dan persetaraan itu bisa bersifat formal, semantis, dinamis, ataupun fungsional, baik pada tingkat kata, frase, klausa, kalimat, maupun wacana. Karena eratnya kaitan antara bahasa dan budaya, penerjemahan antarbahasa pastilah melibatkan unsur budaya. Penerjemah selalu dihadapkan pada pilihan apakah pengalihbahasaan harus menyertakan pengalihan unsur budaya atau membiarkan unsur budaya yang lekat pada bahasa sumber tetap lestari; masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangannya sendiri. Pilihan pertama berpotensi mensterilkan budaya yang terkandung dalam bahasa sasaran dari pengaruh budaya sumber. Pilihan kedua bisa menyebabkan masuknya budaya sumber ke dalam khasanah perbendaraan budaya sasaran. Sebab itu, pengalihbahasaan bisa menggunakan pilihan-pilihan strategi, yang terkadang bersifat dikotomis. Misalnya, penerjemahan formal vs. penerjemahan semantik, penerjemahan terbuka vs. penerjemahan tertutup, penerjemahan kata vs. penerjemahan gagasan, penerjemahan yang berorientasi pada proses vs. penerjemahan yang berorientasi pada hasil, dan domestikasi vs. foreignisasi. Strategi domestikasi digunakan untuk meminimalkan keasingan teks sumber dan mengutamakan transparansi dan kefasihan dalam perikaciptaan Foreignisasi: Strategi Alternatif dalam Penerjemahan untuk Pemertahanan Budaya
21
teks sasaran, dengan asumsi bahwa jika tidak didomestikasi, unsur asing tidak akan terjangkau oleh pembaca teks sasaran. Sebaliknya, strategi foreignisasi dimaksudkan untuk mempertahankan keasingan teks sasaran sehingga kehadirannya bagi pembaca tetap terasa sebagai teks terjemahan. Melalui strategi ini, pembaca diajak menelusuri bahasa dan budaya sumber untuk membuatnya merasakan perbedaannya dengan bahasa dan budaya sasaran. Dengan demikian, mereka terdorong untuk membuka diri pada keberadaan unsur budaya asing dalam teks yang berbahasa sasaran. Pemilihan strategi dalam praktik penerjemahan bisa ditentukan oleh faktor-faktor seperti tujuan penerjemahan, status sistem literer dalam masyarakat pengguna bahasa, hubungan power-relation dalam masyarakat, latar belakang kesejarahan, politik, sosial, dan budaya, target pembaca teks sasaran, dan sebagainya. Foreignisasi sebagai strategi alternatif didasarkan pada anggapan bahwa (1) TSu mengungguli TSa; (2) penerjemahan dapat mendorong pembaca untuk kembali ke TSu; (3) penerjemahan mendorong penyetaraan pemahaman TSa dengan TSu melalui keasingan teks yang hadir dalam BSa; (4) penerjemahan menawarkan pilihan pragmatis kepada pembaca TSa; (5) terjemah meningkatkan status TSu jika dipahami sebagai teks yang rendah tingkat budayanya. Selain itu, strategi ini juga merepresentasikan kebedaan (otherness) bahasa dan budaya yang terdapat dalam TSu dan menghidari penyimpangan makna substansial yang terkandung di dalamnya. Melalui foreignisasi, identitas budaya yang melekat pada bahasa jati dapat dipertahankan dengan mengeksplorasi bahasa dan budaya asing, membandingkannya dengan budaya jati, dan mendudukkannya berdampingan dengan bahasa dan budaya yang telah hidup dan berakar di tengah masyarakat. Dengan cara itu, bahasa jati tidak terus menerus mempersempit diri hanya dengan unsur-unsurnya yang sudah ada tetapi memperkaya wawasan dengan menambahkan unsur bahasa asing ke dalamnya. Pengayaan itu dengan sendirinya membawa serta budaya yang lekat dengan unsur bahasa tersebut. Jika bahasa-bahasa asing mau membuka diri untuk dimasuki kosakata bahasa Indonesia beserta muatan budayanya, kiranya kita tidak perlu mensterilkan diri dengan menolak istilahistilah asing yang sulit dicarikan padanannya yang tepat dalam bahasa kita,
22
Yan Mujiyanto FBS UNNES
terutama istilah-istilah ilmu pengetahuan yang dikelompokkan sebagai terminologi internasional. Akhirnya, strategi alternatif tetaplah merupakan strategi yang “hanya” dicadangkan bilamana trategi utama, yaitu domestikasi, tidak dapat diimplementasikan secara maksimal. Jika antara kedua strategi dianggap suatu rentang, perjalanan dari ujung satu ke ujung lain dapat ditempuh melalui langkah-langkah pokok sebagai berikut. (1) Gunakan bahasa dan budaya jati yang lazim; (2) Gunakan bahasa dan budaya jati yang tersedia walaupun langka; (3) Gunakan bahasa dan budaya lokal yang tersebar di bumi Nusantara; (4) Gunakan bahasa lokal yang berakar dari bahasa yang arkis seperti bahasa Sanskerta, Kawi, dan Jawa kuna; (5) Gunakan bahasa yang diadopsi dari bahasa asing tetapi telah berakar dalam bahasa Indonesia, seperti bahasa Belanda dan Arab; (6) Gunakan bahasa dan budaya asing lain seperti Inggris, Prancis, Jepang, dan Cina dalam bentuk adopsi dan adaptasi; Jadi, untuk melakukan peziarahan dari strategi utama menuju strategi alternatif diperlukan perjalanan yang panjang dan penuh liku. Ucapan Terima Kasih Hadirin yang saya hormati, Saya menyadari bahwa perjalanan untuk mencapai jabatan Guru Besar sangat panjang dan terjal. Capaian ini bukan semata-mata karena prestasi saya melainkan karena karunia Allah Mahakuasa dan melalui didikan, bimbingan, bantuan, semangat dan doa dari berbagai pihak. Sebab itu, selain bersyukur kepada-Nya, perkenankan saya menyampaikan penghargaan dan terima kasih kepada pihak-pihak berikut ini. Pertama, penghargaan yang setinggi-tingginya saya sampaikan kepada Pemerintah Republik Indonesia melalui Menteri Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi, Direktur Sumberdaya Iptek Dikti yang telah memberikan kepercayaan dan mengangkat saya sebagai Guru Besar bidang Linguistik Terapan di Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas negeri Semarang. Ucapan terima kasih yang sedalam-dalamnya saya sampaikan kepada Bapak Rektor, Wakil Rektor, Ketua Senat beserta seluruh anggota Senat, Direktur dan Wakil Direktur Program Pascasarjana, Dekan dan Anggota Senat Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Semarang, serta Ketua Foreignisasi: Strategi Alternatif dalam Penerjemahan untuk Pemertahanan Budaya
23
Jurusan Bahasa dan Sastra Inggris FBS, yang selain telah mengusulkan saya untuk memperoleh jabatan terhormat ini juga telah memberikan persetujuan, motivasi, fasilitas, dan perhatian besar kepada saya selama proses pengusulan gelar Guru Besar saya berlangsung. Selanjutnya, ucapan terima kasih dan penghargaan saya sampaikan kepada Bapak/Ibu guru saya di SD Kanisius Ngawen Muntilan; Bapak/Ibu guru saya di SMP Kanisius Muntilan, terutama Bpk Poerwanjono yang telah menanamkan bibit awal keterampilan berbahasa Inggris yang saya tekuni sampai setakat ini; Bapak/Ibu guru SMA Negeri Muntilan yang memberikan pilihan bagi saya untuk menekuni bidang ilmu eksakta, ilmu sosial, atau keterampilan bahasa; Bapak/Ibu Dosen IKIP Semarang terutama Prof. Dr. Retmono, Prof. Dr. Warsono, Prof. Dr. Ramelan (Alm), Prof. Dr. Poernomodjati (Alm), Prof. Dr. Soelistia (Alm), Drs. Soemarto, M.Sc. (Alm), Drs. Wilarso (Alm), Drs. Soemardi (Alm), Drs. Hartono (Alm), Dra. Serayawati Durya, Drs. Soeyono, M.A., dan para senior, sejawat, dan junior yang tidak dapat saya sebutkan satu per satu, yang telah menumbangkan dasar-dasar keterampilan, ilmu, dan pengalaman berbahasa Inggris, serta silaturahmi yang tanpa henti di kampus tercinta ini. Terima kasih juga saya sampaikan kepada Bapak/Ibu Dosen Program Pascasarjana Universitas Indonedia terutama Prof. Dr. Anton Moeliono (Alm), Prof. Dr. Benny Hoed (Alm), Prof. Dr. Asim Goenarwan (Alm), Prof. Dr. Soenjono (Alm), Prof. Dr. Bambang Kaswantipoerwo, dan lain-lain yang telah menorehkan warna tersendiri kepada saya dalam memandang ilmu humaniora dan memberikan bekal untuk menekuni Penerjamahan sebagai ilmu otonom; Bapak/Ibu Dosen Ilmu Pendidikan Bahasa S3 Program Pascasarjana Universitas Negeri Semarang terutama Prof. Dr. Retmono, Prof. Dr. A. Maryanto (Alm), Prof. Dr. Mursid Saleh, Prof. Dr. Rustono, Prof. Dr. Karno Ekowardono, Prof. Dr, Dandan Supratman, Prof. Dr. Teguh Supriyanto, Prof. Dr. Astini, Prof. Dr. Dwi Rukmini, Dr. Asroeddin Tou (anggota promotor dari UNY), Prof. Dr. Joko Nurkamto (penguji disertasi dari UNS), Prof. Dr. M. Sri Samiati Tarjana (UNS), dan Prof. Dr. Sukarno (Untidar) yang baik secara langsung maupun implisit telah memberikan semangat dan kesabaran dalam menanamkan bibit pengetahuan, wawasan, pengalaman, dan bimbingan lanjut untuk penyelesaian studi program doktoral saya, serta pengusulan untuk memperoleh gelar ini. 24
Yan Mujiyanto FBS UNNES
Ucapan terima kasih juga saya sampaikan kepada teman-teman sejawat di Fakultas Bahasa dan Seni, di Jurusan Bahasa dan Sastra Inggis, dan di Program Pascasarjana yang baik secara langsung maupun tak langsung turut mengambil bagian dalam upaya pemenuhan angka kredit dan syaratsyarat lain yang saya butuhkan untuk memperoleh gelar Guru Besar. Hutang budi, kebajikan, dan kasih sayang kepada kedua orang tua saya (Alm), kakak-kakak saya baik yang sudah damai di alam baka maupun yang masih menelusuri jalan kehidupan di alam raya ini masih dan akan terus tinggal di hati sanubari ini. Mereka telah dengan sabar, bijaksana, dan penuh perhatian menjadi pengasuh, pembimbing, dan penasihat saya sejak kecil sampai dengan dewasa ini. Hutang yang sama kepada mertua Bapak Supangat (Alm) dan Ibu Warniti yang hadir di antara kita di ruang ini masih pula bersemayam di kalbu ini. Dengan kearifan dan perhatian penuh, mereka tak henti-hentinya berdoa bagi keberhasilan saya dalam meraih jabatan tertinggi sekarang ini. Akhirnya, terima kasih saya sampaikan kepada istri tercinta Lily Mudiarti yang dengan caranya sendiri terus memberikan dukungan dan semangat, dengan kerelaannya menerima saya apa adanya, dengan kesabarannya mengikuti perkembangan salama saya menyelesaikan perkuliahan, dan dengan keteguhan; kesabaran, dan kasih-sayang membimbing dan mengasuh empat buah hati: Anita, Lenny, Andreas, dan Titus, sehingga dengan mengambil menantu Tonovan, Bimo, dan Christina telah membuahkan cucu-cucu yang lucu-lucu: Alvin, Nauval, Christian, Rissa, dan Bella. Demikian, saya akhiri podato ini dengan ucapan terima kasih atas perhatian Bapak, Ibu, dan Saudara semua. Semoga Allah memberkati kita semua kini dan selamanya. Wassalam Wr. Wb.
Referensi Al-Hassnawi, A.R. 2007. A Cognitive Approach for Translating Metaphors. The Translation Journal, 11/3. Foreignisasi: Strategi Alternatif dalam Penerjemahan untuk Pemertahanan Budaya
25
Alwi, H., S. Dardjowidjojo, H. Lapoliwa, A.M. Moeliono. 1993. Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia Edisi II. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Al-Zoubi M. Q. R. dan A. R. Al-Hassnawi. 2001. Constructing a Model for Shift Analysis in Translation. The Translation Journal. http://www.occuparid.com. Edisi Oktober Angelo, Michel. 2009. Monalisa. Deskripsi pada Microsoft® Encarta®. 14521615 Baker, M. (ed.). 2005. Routledge Encyclopedia of Translation Studies. London and New York: Routledge. Baker, M. 1992. In Other Words: A Coursebook on Translation. London: Routledge. Bassnett-McGuire, S. 1991/2002. Translation Studies (Edisi Perbaikan). London dan NewYork: Routledge. Bell, R.T. 1991. Translation and Translating: Theory and Practice. London: Longman. Brown, Dan. 2003. The Da Vinci Code. New York: Doubleday. Burke, P. and R. Po-Chia Hsia (Eds). 2007. Cultural Translation in Early Modern Europe. Cambridge: Cambridge University Press. Bush, P. 1996. The language of the translator: towards cultural hybridity. Dalam FIT. Hlm. 682 – 688. Catford, J.C. 1965. A Linguistic Theory of Translation. London: Oxford University Press. da Vinci, Leonardo. 2009. The Last Supper. Deskripsi pada Microsoft® Encarta® Hlm. 1452 – 1519. Damono, S.D. 1999. Amarah (Terjemahan The Grapes of Wrath, John Steinbeck). Jakarta: Yayasan Obor. Dingwaney, A. dan C, Maier (ed.) 1995. Between Languages and Cultures: Translation and Cross-Cultural Texts. Pittsburgh dan London: University of Pittsburgh Press. Eggins, S. 1994. An Introduction to Systemic Functional Linguistics. London: Pinter. Fawcett, P. 1997. Translation and Language: Linguistic Theories Explained. Manchester: St. Jerome. Hachem, Mariam. 2011. Language, Culture, and Identity. https://mhachem426.wordpress.com/2011/01/31/language-culture-andidentity/ 26
Yan Mujiyanto FBS UNNES
Halliday, M.A.K. 1994. An Introduction to Functional Grammar 2nd Ed. London: Arnold. Halliday, M.A.K. 2001. Towards a theory of good translation, dalam Steiner, E. & C. Yallop (eds). 2001. Exploring Translation and Multilingual Text Production: Beyond Content, Berlin/New York: Mouton de Gruyter 13-18. Halliday, M.A.K. and Ch. M.I.M. Matthissen 2004. An Introduction to Functional Grammar (Revised Edition). London: Arnold. Hatim, B. 2001. Teaching and Researching Translation. Harlow: Pearson Education. Hatim, B. dan I. Mason. 1991. Discourse and the Translator. London dan New York: Longman. Hatim, B. dan I. Mason. 1997. The Translator as Communicator. London: Routledge. House, J. 1997. Translation Assessment: A Model Revisited. Tubingen: Guenter Narr Verlag. House, J. 2006. Covert Translation, Language Contact, Variation and Change, Synaps. 19. House, J. dan S. Blum-Kulka (eds.) 1986. Interlingual and Intercultural Communication. Tubingen: Gunter Narr. Jaaskelainen, R. 1999. Tapping the Process: an Explorative Study of Cognitive and Affective Factors Involved in Translating. Joensuu: University of Joensuu Publications in Humanities. Jaaskelainen, R. 2005. The Translation Studies: What are they? http://www.hum.expertise.workshop. Koller, W. 1995. The concept of equivalence and the object of translation studies. TARGET, 7. Hlm. 191 – 222. Krings, H.P. 1986. Translation problems and translation strategies of advanced German learners of French. Dalam J. House, & S. Blum-Kulka (Eds.) Hlm. 263-75). Kuhiwczak, Piotr and Karin Littau Ed. 2007. A Companion to Translation Studies. Clevedon, Buffalo, Toronto: Multilingual Matters Ltd Lane, M. 1992. House of Glass (Terjemahan Rumah Kaca P.A. Tour) Victoria: Penguin Books Ltd. Larson, M.L. 1983. Meaning-Based Translation: A Guide to Cross-language Equivalence. New York: University Press of America. Leonardi, V. 2000. Equivalence in Translation: Between Myth and Reality. Translation Journal, 4/4. Foreignisasi: Strategi Alternatif dalam Penerjemahan untuk Pemertahanan Budaya
27
Lock, G. 1996. Functional English Grammar: An Introduction for Second Language Teachers. Cambridge: Cambridge Language Education. Loerscher, W. 1986. Linguistic aspects of translation processes: towards an analysis of translation performance. Dalam J. House dan S. Blum-Kulka (ed.) Hlm. 277 – 292. Machali, R. 1998. Redefining Textual Equivalence in Translation with Special Reference to Indonesian-English. Jakarta: The Translation Center. Mangunwijaya. Y.B. 1981. Burung-Burung Manyar. Jakarta: Djambatan dan terjemahannya oleh Thomas M. Hunter; Editor John H. McGlynn. 1991. The Weaverbirds. Jakarta: Lontar Foundation. Matthiessen, C. 1995. Lexicogrammatical Cartography: English System. Tokyo: International Language Sciences Publishers. Microsoft ® Encarta ® 2009. Microsoft Corporation. Mike, Johnny. 2010. Language And Cultural Identity – Research Papers. All Free Essays – Term Papers, Book Reports, Research Papers and College Essays. Free Essays, 28 July. http://www.allfreeessays.com/ essays/Language-And-CulturalMujiyanto, Y. 2009. Strategi Pencapaian Perpadanan Fungsional dalam Pengindonesiaan Teks Novel Seri Harry Potter Karya J.K Rowling. Penelitian Mandiri. Mujiyanto, Y. 2010. The Transfer of Modalization in the Indonesian Translation of English Interpersonal Clauses. Language Circle, V/1. Mujiyanto, Y. 2011a. Nonequivalence in the English-to-Indonesian Translation of Behavioral Clauses. Language Circle, V/1. Mujiyanto, Y. 2011b. Teknik Aproksimasi dalam Rekonstruksi Klausa Eksistensial: Kasus Pengindonesiaan Novel Serial Hary Potter Karya J.K. Rowling. Adabiyyat, X/2. Mujiyanto, Y. 2012. Rekonstruksi Klausa dalam Penerjemahan. Semarang: UNNES Press. Mujiyanto, Y. 2014. Strategi dalam Praktik Penerjemahan. Semarang: UNNES Press. Mujiyanto, Y. 2015. The Implementation of Domestication Strategy to Maintain Bahasa‟s Role in Adopting Novel Terminologies for Scien-Tech Undertaking. Language Circle Journal of Language and Literature. IX/2. Munday, J. 2001. Introducing Translation Studies. London dan New York: Routledge. Newmark, P. 1988. A Textbook of Translation. New York: Prentice Hall. 28
Yan Mujiyanto FBS UNNES
Newmark, P. 1991. About Translation. Clevedon: Multilingual Matter. Nida, E.A. 1964. Toward a Science of Translating. Leiden: E.J. Brill. Nida, E.A. dan C.R. Taber. 1969/1974/1982. The Theory and Practice of Translation. Leiden: E.J. Brill. Patricia, Sandra. 2012. Understanding the Interconnectedness between Language Choices, Cultural Identity Construction and School Practices in the Life of a Latina Educator. Gist Education and Learning Research Journal. ISSN 1692-5777. No. 6, November. Pp. 12-43 Satre, J.P. 1947. The Age of Reason, translation by Eric Sutton. New York dan London: Penguin. Satre, J.P. 1947. The Reprieve, translation by Eric Sutton. New York dan London: Penguin. Satre, J.P. 1951. Iron in the Soul, translation by Gerard Hopkins. London dan New York: Penguin Savory, T.H. 1957. The Art of Translation. London: Jonathan Cape Translation. London and New York: Routledge. Shakespeare. 1998. Romeo and Juliet (Collins Edition). Champain: Guttenberg Project. Steinbeck, J. 1939. The Grapes of Wrath. London: David Campbell Publishers Ltd. Thomson, G. 1996. Introducing Functional Grammar. London: Arnold. Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. 1991. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Edisi II. Jakarta: Balai Pustaka. Tour, Pramudya A.1957. Cerita Calon Arang. Jakarta: Balai Pustaka Twain, M. 1884. The Adventures of Huckleberry Finn. New York: W.W. Norton & Company. Venuti, L. 1995. The Translator‟s Invisibility: A History of Translation. London and New York: Routledge. Venuti, L. 1998. Strategies of Translation. Dalam M. Baker (Ed.). Hlm. 240-4. Vinay, J-P. & J. Darbelnet. 1995. Comparative Stylistics of French And English: A Methodology for Translation. Amsterdam: Jon Benjamin Publishing Company. Wardhaugh, R. 2006. An Introduction to Sociolinguistics (5th edition). Oxford: Blackwell Publishing Ltd Yang, W. 2010. Brief Study on Domestication and Foreignization in Translation. Journal of Language Teaching and Research, 1(1): 77-80. Foreignisasi: Strategi Alternatif dalam Penerjemahan untuk Pemertahanan Budaya
29
RIWAYAT HIDUP Identitas Diri Nama NIP Kode Dosen UNNES Kode Dosen Nasional Jenis Kelamin Kelahiran Alamat Tinggal Agama Nomor telepon; HP Alamat Email CPNS TMT Pangkat/Golongan Jabatan Fungsional Mata Kuliah Pokok Nama Istri Anak Menantu Cucu
: Prof. Dr. Januarius Mujiyanto, M.Hum. : 131281221/195312131983031002 : 40284 : 0013125301 : Laki-laki : Muntilan, 13 Desember 1953 : Kapri Raya 12 Pondok Beringin Semarang 50185 : Katolik : 024-8662214; 081325626234 :
[email protected];
[email protected] : 01 Maret 1983 : Pembina Utama Muda, IV/c : Guru Besar : Translation; Applied Linguistics : Lily Mudiarti, S.Pd. : Anita Martha W., S.Pd.; Lenny Agustina I., M.Pd. Andreas Heri K., M.Pd.; Titus Adhi S. : M.Tonovan, S.T.; Bimo Priodjati, S.E.; Christina Dian Ekawati., M.Pd. : Alvin, Nauval, Christian, Rissa, Bella.
Riwayat Pendidikan 1. 2. 3. 4.
Sekolah Dasar Kanisius Ngawen Muntilan, Lulus 30 Juni 1966. Sekolah Menengah Pertama Kanisius Muntilan, Lulus 30 Juni 1969. Sekolah Menengah Atas Negeri Muntilan, Lulus 30 Juni 1972. Sarjana Muda Pendidikan Bahasa Inggris IKIP Negeri Semarang, Lulus 30 Nopember 1976. 5. Sarjana Pendidikan Bahasa Inggris IKIP Negeri Semarang, Lulus 23 Februari 1982. 6. Magister Linguistik Universitas Indonesia, Lulus 11 Oktober 1999. 7. Doktor Pendidikan Ilmu Bahasa Universitas Negeri Semarang, Lulus 11 Mei 2011. 30
Yan Mujiyanto FBS UNNES
Riwayat Pelatihan/Workshop 1. Akta Mengajar V. Universitas Terbuka, 01 Agustus 1985 sd. 31 Juli 1986. 2. Predeparture Training Program for Students Studying in Australia. Australian International Development Program, 01 sd. 31 Desember 1988. 3. Graduate Diploma in Teaching English as a Foreign Language (Dipl. TEFL). Sydney University Australia, 01 Januari sd. 22 Desember 1989. 4. Pelatihan Penerjemahan. Institut Teknologi Bandung, 01 sd.14 September 1991 5. Graduate Diploma in Interpreting/Translation (Dipl. I/T). Deakin University Melbourne Australia, 01 Januari sd. 22 Desember 1992 6. Specialist in English Language Testing (Certificate). RELC Singapore, 02 sd. 23 September 1995 7. Pelatihan Penilaian Buku Ajar – Cisarua. Pusbuk Depdiknas, 01 sd. 05 Januari 2006 8. Pembelajaran Inovatif, Asesmen Afektif, Lesson Study. Ditjen Dikti, 05 sd. 10 Desember 2007 9. Lulus Sertifikasi Dosen Profesional. Universitas Negeri Yogyakarta, 25 November 2008. Riwayat Pangkat No 1 2 3 4 5 6 7 8
Pangkat/ Golongan CPNS III/a - Penata Muda III/b - Penata Muda Tk. I III/c - Penata III/d - Penata Tk. I IV/a - Pembina IV/b - Pembina Tk. I IV/c- Pembina Utama Muda
Nomor SK 85645/C/2/83 34/C.1/Ed/IKIP/I/85/2 403/C/KP.ED/86
TMT 01-03-1983 01-02-1985 01-10-1986
Masa Kerja 0 th, 0 bln 1 th, 11 bln 3 th, 7 bln
053/C5.1/Ed/1989 233/C-5.1/92 62361/A2.IV.1/Kp/98 1069/A2.III.1/KP/2003 117/KTHN 2006
01-10-1988 01-04-1993 01-04-2000 01-10-2002 01-10-2006
5 th, 7 bln 9 th, 0 bln 15 th, 1 bln 19 th, 7 bln 23 th, 7 bln
Foreignisasi: Strategi Alternatif dalam Penerjemahan untuk Pemertahanan Budaya
31
Jabatan Fungsional Akademik No 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Jabatan Fungsional Asisten Ahli Madya Asisten Ahli Lektor Muda Lektor Madya Lektor Lektor Kepala Lektor Kepala Lektor Kepala Guru Besar
Nomor SK
TMT
Kum
34/C.1/ED/IKIP/I/1985 404/PT.36/TJD/86 698/C-14.1/1988 579/C-4/1991 78578/A2.IV.1/KP/1997 28820/A2.III.I/Kp2001 9932/A2.III.1/KP/2002 23257/A2.7/KP/2006 49173/A2.3/KP/2016
01-02-1985 01-10-1988 01-10-1988 01-12-1991 01-09-1997 01-01-2001 01-03-2002 01-03-2006 01-05-2016
000 150 200 300 400 400 550 700 850
Mulai 1993 2003
Selesai 1996 2011
2014 2015
2015 2016
Riwayat Jabatan Struktural/Nonstruktural No 1 2 3 4
Nama Jabatan Sekretaris Jurusan Bahasa Inggris FBS UNNES Pembantu Dekan Bidang Akademik FBS UNNES Kepala Kantor Urusan Internasional UNNES Koordinator Prodi Pendidikan Bahasa Inggris S2/S3 PPs UNNES
Penelitian (5 Tahun Terakhir) 1. Strategi Penerjemahan Kata untuk Merealisasikan Perpadanan Semantis dalam Pengindonesiaan Novel Berbahasa Inggris. Program: DIPA UNNES 2011. Status: Ketua. 2. Pemetaan dan Pengembangan Mutu Pendidikan di Kabupaten Demak, Kudus, dan Jepara. Program: DIKTI 2011. Status: Anggota. 3. Analisis Kebutuhan Mahasiswa Jurusan Bahasa dan Sastra Inggris FBS UNNES dalam Pengayaan Keterampilan Berinteraksi. Program: DIPA UNNES 2012. Status: Anggota. 4. Pemertahanan Gaya Naratif dalam Penerjemahan Novel Jane Eyre Karya Charlotte Bronte. Program: Peneliti Senior FBS 2012. Status: Ketua.
32
Yan Mujiyanto FBS UNNES
5. Pemenuhan Harapan Mahasiswa Semester I Jurusan Bahasa Inggris dalam Meningkatkan Kinerja Bahasa Inggirs melalui Geladi dan Perlatihan Komunikatif. Program: Kelembagaan 2014. Status: Ketua. 6. Pemertahanan Kesantunan Verbal Sivitas Akademika UNNES dalam Komunikasi Interpersonal Berbahasa Inggris. Program: Kelembagaan FBS 2015. Status: Ketua. 7. Pengembangan Bahan Ajar Bahasa Inggris Teks Prosedur Berbasis Fun Activities untuk Memperkuat Karakter Siswa. Program: Pusat Kajian UNNES 2015. Status: Anggota. 8. Implementasi Penilaian Multimodal dalam Pengukuran Keterampilan Reseptif dan Literasi Akademik Pembelajar Bahasa Inggris FBS UNNES. Program: Pusat Kajian UNNES 2016. Status: Ketua. 9. Analisis Kebutuhan Prodi Pendidikan Bahasa Inggris S2/S3 PPs UNNES dalam Rangka Percepatan Kelulusan dan Peningkatan Prestasi Mahasiswa. Program: Kelembagaan PPs 2016. Status: Ketua. Publikasi Ilmiah (Terpilih) 1. Yan Mujiyanto. 2000. Beberapa Aspek Mengenai Penerjemahan Puisi: Kasus Penginggrisan “Cintaku Jauh di Pulau”. Lingua Artistika. Standar: Nasional Terakreditasi, XXIII /2. 2. Yan Mujiyanto. 2000. Fungsi Pengalihan Bahasa di dalam Cerpen “Sri Sumarah” Karya Umar Kayam. Lingua Artistika. Standar: Nasional Terakreditasi, Edisi Khusus XXIII. 3. Yan Mujiyanto. 2001. Modulasi di dalam Penerjemahan: Kasus Pengindonesiaan Tindak Tutur Direktif Berbahasa Inggris. Lingua Artistika. Standar: Nasional Terakreditasi, XXIV /1. 4. Yan Mujiyanto. 2002. Penggeseran Kesantunan: Kasus Pengindonsiaan Tindak Tutur Direktif di dalam Novel a Farewell to Arm karya E. Hemingway. Morfema. Standar: Nasional Tak Terakreditasi, I/2. 5. Yan Mujiyanto. 2003. Bingkai Kognitif sebagai Sarana Pemerluas Lingkup Analisis Kebahasaan. Morfema. Standar: Nasional Tak Terakreditasi, III/4. ISSN: 1412-1980. 6. Yan Mujiyanto. 2005. Penggunaan Kata 'yang' di dalam Penerjemahan: Kasus Pengindonesiaan The Old Man and the Sea Karya E. Hemingway, Lingua Jurnal Bahasa dan Sastra. Standar: Nasional Tak Terakreditasi, II/1. Foreignisasi: Strategi Alternatif dalam Penerjemahan untuk Pemertahanan Budaya
33
7. Yan Mujiyanto. 2007. Ke(tak)salingtergantungan Hubungan Fungsional antarklausa di dalam Kalimat Majemuk. Bahasa, Sastra, dan Pengajarannya. Standar: Nasional Tak Terakreditasi. 8. Yan Mujiyanto. 2009, Penerapan Analisis Wacana Kritis dalam Pembelajaran Keterampilan Mengarang Berbahasa Inggris, Lingua Jurnal Bahasa dan Sastra. Standar: Nasional Tak Terakreditasi, V/1. 9. Yan Mujiyanto. 2010. Perestrukturan Tema Topikal dalam Pengindonesiaan Klausa Berbahasa Inggris. Lingua Jurnal Bahasa dan Sastra. Standar: Nasional Tak Terakreditasi, VI/2. 10. Yan Mujiyanto. 2010. The Transfer of Modalization in the Indonesian Translation of English Interpersonal Clauses. Language Circle Journal of Language and Literature. Standar: Nasional Tak Terakreditasi, V/1. 11. Yan Mujiyanto. 2011. Perestrukturan Klausa Interperonal dalam Penerjemahan Novel Berbahasa Inggris. Lingua Jurnal Bahasa dan Sastra, Standar: Nasional Tak Terakreditasi.VII/1. 12. Yan Mujiyanto. 2011. Nonequivalence in the Translation of Behavioral Clauses. Language Circle Journal of Language and Literature. Standar: Nasional Tak Terakreditasi.VI/1. 13. Yan Mujiyanto. 2011. Teknik Aproksimasi dalam Penerjemahan Klausa Eksistensial: Kasus Pengindonesiaan Novel. Adabiyyat. Standar: Nasional Terakreditasi. V/1. 14. Yan Mujiyanto. 2013. The Significance of Academic Literacy in Analysing Texts for Translation. Language Circle Journal of Language and Literature. Standar: Nasional Tak Terakreditasi. VII/2. 15. Yan Mujiyanto. 2015. The Implementation of Domestication Strategy to Maintain Bahasa‟s Role in Adopting Novel Terminologies for Scien-Tech Undertaking. Language Circle Journal of Language and Literature. Standar: Nasional Tak Terakreditasi. IX/2. 16. Dery Tria Agustin, Warsono, Yan Mujiyanto. 2015. The Use of Bahasa Indonesia (L1) in the Intensive English (L2) Classroom. English Language Journal. Standar: Nasional Tak Terakreditasi.V/1. 17. Puspa Wijayanti, Dwi Anggani Linggar Bharati, Yan Mujiyanto. 2015. The Use of Written Feedback Technique to Improve the Practice of Grammar for Sentence Writing Competence. English Language Journal. Standar: Nasional Tak Terakreditasi.V/1. 18. Devi Hermasari & Yan Mujiyanto. 2015. The Effectiveness of Online Brainwriting and Brainstorming Techniques in Teaching Writing to 34
Yan Mujiyanto FBS UNNES
19.
20.
21. 22.
Students with Different Learning Strategies. English Language Journal. Standar: Nasional Belum Terakreditasi.V/2. Sri Erma Purwanti &Yan Mujiyanto. 2015. The Ideology in the Indonesian-to-English Translation of Cultural Terms in Toer‟s Bumi Manusia. English Language Journal. Standar: Nasional Tak Terakreditasi.V/2. Saptina Ratnawati & Yan Mujiyanto. 2015. Code Switching in Conversations by an American Student of the Darmasiswa Program. Language Circle Journal of Language and Literature. Standar: Nasional Tak Terakreditasi.X/1. Yan Mujiyanto. 2016. The Comprehensibility of Readable English Texts and Their Back-Translations. International Journal of English Linguistics. Standar: Internasional Bereputasi. 6/2; doi:10.5539/ijel.v6n2p21. Yan Mujiyanto. 2016. The Verbal Politeness of Interpersonal Utterances Resulted from Back-Translating Indonesian Texts into English. Indonesian Journal of Applied Linguistis. Standar: Internasional Bereputasi (Scopus), Segera Terbit.
Pengabdian kepada Masyarakat (Terpilih) 1. Yan Mujiyanto. 2010. Sosialisasi Pemanfaatan Media Elektronik sabagai Alat Pembelajaran Bahasa bagi Guru Sekolah Menengah Pertama Kab. Magelang.Status: Ketua. 2. Yan Mujiyanto. 2012. Penerapan Model Pengembangan Mutu Pendidikan bagi MGMP Bahasa Inggris di Kota Pekalongan. Status: Anggota 3. Yan Mujiyanto. 2014. English for Academic Communication for PPs Students of UNNES. Status: Anggota. 4. Yan Mujiyanto. 2015. Pengembangan Bahan Ajar Bahasa Inggris Teks Prosedur Berbasis Fun Activities untuk Memperkuat Karakter Siswa. Status: Anggota. 5. Yan Mujiyanto. 2015. Penggunaan EDMODO sebagai Media Online untuk Blended Learning. Status: Anggota. Seminar (Tiga Tahun terakhir) 1. Yan Mujiyanto. 2014. Back Translation as a Means of Retaining the Stylistic Features of Literary Works. 3rd English Language Teaching, Foreignisasi: Strategi Alternatif dalam Penerjemahan untuk Pemertahanan Budaya
35
2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.
Literature and Translation Internasional Conference. Semarang, 27 September. Yan Mujiyanto. 2014. Text Readability, Comprehensibility, and Acceptability to Foster the Learners‟ Literacy in Character Education. Mimbar Profesor dan Doktor. Semarang, 28 Oktober. Yan Mujiyanto. 2014. Language as a Means of Expressing Meaning in Cultural Conservation. National Conference on Conservation for Better Life (NCCBL). Semarang, 22 November. Yan Mujiyanto. 2015. Menghidupkan Kembali Penggunaan Ancangan Aural-Oral dalam pembelajaran Bahasa Inggris bagi Pemula. TEFLIN National Seminar. Semarang, 21 Juni. Yan Mujiyanto. 2015. Fulfilling Freshmen‟s Expectation for Better English Performance through Communicative Drills and Exercises. 62nd TEFLIN International Conference. Denpasar, 14 September. Yan Mujiyanto. 2015. Comparing the Readability Levels of a Source Text and its Back-translations. 4th ELTLT International Conference. Semarang, 10 Oktober. Yan Mujiyanto. 2015. Akselerasi Inovasi Pendidikan dalam Membentuk Karakter Bangsa. Seminar Nasional Pendidikan Serentak se-Indonesia. Medan, 30 Maret. Yan Mujiyanto. 2016. The Dependence of Verbal Passages on Visual Representation in Meaning-Making. International Seminar Prasasti III. Surakarta, 2-3 Agustus Yan Mujiyanto. 2016. The Implementation of Multimodal Assessment to Measure the English Learners‟ Receptive Skills and Appraise their Academic Literacy. TESOL Indonesia International Conference. Mataram Lombok, 11-13 Agustus.
Buku/Diktat/Modul 1. Metode Penelitian Ilmu Pengetahuan Sosial (Penerjemah Anggota). IKIP Semarang Press Semarang.1988. 2. Novel Berbahasa Jawa (Penerjemah Pendamping). IKIP Semarang Press Semarang. 1995. 3. Pengukuran dan Evaluasi di Perguruan Tinggi (Penerjemah). IKIP Semarang Press Semarang. 1996. 36
Yan Mujiyanto FBS UNNES
4. English for Science and Technology (5 modul). Universitas Terbuka Jakarta. 1997. 5. Pragmatik sebuah Pengantar (Penerjemah). Pusat Bahasa Jakarta. 1999. 6. Jendela IPTEK (Penerjemah/Penyunting). Balai Pustaka Jakarta. 1998. 7. An Introduction to the Philosophy of Science (Diktat Kuliah). Bahasa Inggris FBS UNNES, 2006. 8. Panduan Penulisan Karya Ilmiah (Penyunting). UNNES Press Semarang. 2007. 9. English MKU (Penulis). UNNES Press Semarang. 2009. 10. Pengantar Ilmu Budaya (Penulis Anggota). Pelangi Publishing Yogyakarta. 2010. 11. Petunjuk Penulisan Skripsi (Penulis). UNNES Press Semarang. 2011. 12. English Intensive Course (3 jilid) & Listening Practice (Penulis/Penyunting) Bahasa Inggris FBS UNNES Semarang. 2011. 13. Rekonstruksi Klausa dalam Penerjemahan (Penulis). UNNES Press Semarang. 2012. 14. Konservasi Moral: Menuju Kampus Etika Berwawasan Budaya Lokal (Penulis Anggota). UNNES Press Semarang. 2013. 15. Strategi dalam Praktik Penerjemahan (Penulis). UNNES Press Semarang 2013. Pengalaman, Prestasi, Penghargaan 1. 2. 3. 4. 5.
Dosen Bahasa Inggris IKIP/Universitas Negeri Semarang, 1983- 2016. Guru Bahasa Inggris SMEA Antonius Semarang, 1977-1981. Guru Bahasa Inggris SMA Sint Louis Semarang, 1981-1984. Dosen Tidak Tetap Bahasa Inggris Universitas Muria Kudus, 1983-1995. Dosen Tidak Tetap Bahasa Inggris Universitas Tidar Magelang, 19901991. 6. Dosen Tidak Tetap Bahasa Inggris Akademi Penata Rontgen. RSUP Dr. Kariadi Semarang, 1984-1988. 7. Dosen Tidak Tetap Bahasa Inggris Universitas Dharma Persada Jakarta, 1997-2001. 8. Instruktur Balai/Pusat Pelatihan Bahasa IKIP Semarang//UNNES, 19831995.
Foreignisasi: Strategi Alternatif dalam Penerjemahan untuk Pemertahanan Budaya
37
9. Instruktur Pelatihan Bahasa Inggris Crash-Program Depag-UNNES, 2000-2003. 10. Instruktur Pelatihan Penerjemah Bersumpah Universitas Indonesia. 1999-2003. 11. Instruktur Pendidikan dan Latihan Profesi Guru (PLPG) Sekolah Menengah. 2008-2014. 12. Karyasiswa Indonesia terbaik di Sydney (Indonesia-Australia Association). 1989. 13. Penerjemah/Interpreter Sekretariat Negara Republik Indonesia. 19881999. 14. Penilai Buku Pelajaran Bahasa Inggris Pusat Perbukuan Depdiknas. 2005-2007. 15. Asesor Sertifikasi Guru Sekolah Menengah. Lokal Universitas Negeri Semarang, 2007-2012. 16. Asesor Sertifikasi Dosen. Lokal Universitas Negeri Semarang. 2011. 17. Koordinator Pengawas Ujian Nasional SMA Kabupaten Magelang. 20092011. 18. Panitia Seminar ICCBL.Universitas Negeri Semarang. Nasional. 2015. 19. Panitia Seminar Ketahanan Nasional UNNES-Akademi Militer Magelang. 2015. 20. Anggota Organisasi Profesi: Masyarakat Linguistik Indonesia. 19902016. 21. Anggota Organisasi Profesi: TEFLIN. 2007-2016. 22. Pemonitor Praktik Pengalaman Lapangan PPG SM3T Kemenristekdikti di Provinsi Aceh. 2015. 23. Penyusun Soal Uji Kompetensi Pendidikan Profesi Guru SM3T. Depdiknas/Kemenristekdikti. 2013-2016. 24. Penyusun Soal Ujian Masuk UNNES. Universitas Negeri Semarang. 2011-2016. 25. Penyusun Soal Ujian Masuk Universitas Negeri Tidar Magelang. 20152016. 26. Penyusun Soal Ujian Masuk Politeknik Keselamatan Perhubungan Darat Tegal. 2016. 27. Penerima Penghargaan Satyalancana Karya Satya Pengabdian 30 tahun sebagai Dosen PNS. 2015.
38
Yan Mujiyanto FBS UNNES
FOREIGNISASI: STRATEGI ALTERNATIF DALAM PENERJEMAHAN UNTUK PEMERTAHANAN IDENTITAS BUDAYA Pidato Pengukuhan Guru Besar Tetap Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Semarang Disampaikan dalam Rapat Senat Terbuka Universitas Negeri Semarang Rabu 5 Oktober 2016
oleh Yan Mujiyanto
KEMENTERIAN RISET, TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG 2016
Foreignisasi: Strategi Alternatif dalam Penerjemahan untuk Pemertahanan Budaya
39
FOREIGNISASI: STRATEGI ALTERNATIF DALAM PENERJEMAHAN UNTUK PEMERTAHANAN IDENTITAS BUDAYA
Pidato Pengukuhan Guru Besar Tetap Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Semarang
Disampaikan dalam Rapat Senat Terbuka Universitas Negeri Semarang Rabu 5 Oktober 2016 oleh Yan Mujiyanto
KEMENTERIAN RISET, TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG 2016 40
Yan Mujiyanto FBS UNNES
BIODATA Yan Mujiyanto, born in 1953, has been concentrating in translation studies and practices since 1983 at the English Department of IKIP (then Universitas Negeri Semarang). He has written a number of journal articles, textbooks, modules, and guidelines. His major achievement was the publication of two textbooks entitled The Reconstruction of Clauses in Translation (2011) and Strategies in Translation Practices (2013) both in Bahasa. Foreignization as an Alternative Translation Strategy for Safeguarding the Nation’s Cultural Identity Abstract Translation is constrained by the translator‟s preference whether to implement domestication or foreignization strategy. While the first may facilitate readers to easily understand messages contained in the translated text, the second certainly provides them with differed cultures which are offered through the translator catering them with source contents presented in the target language. Facing such options, it may take the translator to deeply ponder whether to use either the first or the second strategy or to combine the two before starting a translation project, especially one dealing with culture-bound texts; each has its own strength and weaknesses if related to the effort to maintain cultural identity. This paper intends to explain the implementation of foreignization as an alternative strategy to safeguard the nation‟s cultural identity of the target readers. This study aims to (1) describe the notion of translation and culture including that of cultural identity, translation equivalence, and translation strategies, (2) explain the theoretical review of domestication vs. foreignization strategies along with the interconnection between the two, and (3) discuss the possible effort of the translator to safeguard the cultural identity through translation undertaking.
Foreignisasi: Strategi Alternatif dalam Penerjemahan untuk Pemertahanan Budaya
41