- --- - -
•
......
~ "
-
' J
NESIA .
'.;;;,:
'~rd.ko _.
Irmur
....,,....; ..
r _
, -~. .~.Q www.gnr.of'":1
--
- .--
--"~
. ". •
'-
I
_
-
Media
..,..-
.---- - - .. - ?
•
-
Hr/tgllbln/thn
-
•
• •
•
~ -
m
• • •
•
•
•
•
aru: UNIA seni semakin cair batas-bata nya. Peraih hadiah utama ASEAN Put Awards tahun ini adalah karya dua dimensi dengan basis fotografi, yang sebelumnya tak pernah diperhitungkan. KaIJ'a-karya di dalam pameran besar grafis di Bentara Budaya Jakarta (BBJ) yang dibuka malam ini, 13 Juni, oleh pegrafis senior AD Pirou ,menega kan hal itu. Pameran akan berlangsung sampai 22 Juni 2002, menampllkan hasil kerja 65 seniman dari Bandung, Yogyakarta, Bali, dan Jakarta. lnilah pameran besar gratis kedua oleh BBJ, sesudah yang pertama pameran "Setengah Abad Grafis Indonesia" tahun 2000 yang diikuti hampir seluruh eksponen pegrafis se)ak generasi "perinli ., seperti Suromo sampai eniman belia. Kalangan seni mengakui, pameran pertama BBJ kehiclup"kean grafis yang las 2". 'I\mtutan untuk pameran kali ini lebih spesifik, seperti terbaca dari tajuknya, "Eksplorasi Medium Eksplorasi
Gagasan". Muncullah selain kertas putih atau kanvas untuk merekam hasil seni cetak grafis, juga potongan kayu nangka, bahkan bakiak (selop) dan kayu, pennukaan batu, lempengan alumunium, atau kaca. Teknik pencetakan merambah dunia digital, fotokopi, bahkan cetak off-set, sampai gaya manual cetak stempel atau sidik jari yang dicelup tinta. Hal itu diimbuh dengan teknik tempel, jahit, pewarnaan tambahan dengan tangan langsung, dipadu dengan bermacam benda yang tak berkait dengan materi cetaknya. eara pemajangan pun beragam, tidak lagi hanya dipaang di dinding. Karya-karya itu ada yang digantung, di tarub di lantai, dibuat rampak, disusun dalam struktur bangun tertentu, dan beragam cara tampil lainnya yang menciptakan ruang-ruang nyata clan teraba, dan serentak dengan itu menyebabkan kehadiran hasil cetak per eksemplar memperoleh makna yangbaru. (Bersambung ke him 11 kot 4-7)
• •
......_. "" "'~ ..
•
KOMPASlAGU SUSAN'lO
Pameran besar grafts di Bentara Budayalakarta (BBI) akan dibuka malam ini, 13 Juni, oleh pegraftS senior AD Pirous. Pameran akan berlangsung sampai 22 luni 2002, menampilkan hasil kerja 65 seniman dari Bandung, Yogyakarta, Ba/i, dan Jakarta. Pameran Gratis
,
•
.",..--
'- ---.
--
. NESIA
•
. :-.---
•
-
'..
•
•
------
•
. ......-:,- --' ~ ----
- -~
- -.
;.... ;: -~ -
___ ::'}-
Md e .la
•
-? ~~~~~'------------.~ _; Hr/ tgl/ bln/ thn : --. -. .r . --. - , Hlm/klm ~ ,_l- - ' ," ...-f-- -".... '1_ - ----.. - - ------~ . -
-
•
~
~
~,
• - # -
f" •.•
'
~.
~
4
"
...
• •
I ·'
•
•
•
I
•
•
""TAl (lG PAMERAN
Mas Petruk (2002), Karya Hasirun
AAI)£N "AWl
••
• •
. ''-::::-:--_.
•
- .-
._
-~
? . . .. Wo ",
l ,mur
-.
r
•_ _
-.,-
, ,
Media
•
~ ~ ~ .-
.
• t • •
.-.
--:: .. '
.~
_
-'
_-- .
Hr/tglJbln/thn : .
.
•
-.. ""t~!.:_~ . - _ .;: =:.:'L-- -- -- - - -- - - - - - --- - - •
,
.
-,
Cra Barn: Celak diBalll dari halaman 1)
Masuk ke ntang pamer, bisa terkecoh menganggapnya sebagai pameran lukisan. bahkan seni rupa yang lagt ngetren lebib dari 10 tahun terakhir. Tapi. ini grafts. meski Irwan Rahman membubuhkan bentuk pisang atau kaleng Coca Cola dan sepatu. Lebih dramatis adalah karya Rini Chairin Hayati yang membuat gratis di ata kertas roti berbentuk dalln-daun pisang, dengan pohonan disangga bambu-bambu. dihias sejum\ah kupu-kupu plastik. TIdak seluruh karya yang tampil merupakan penampakan gejala visual atau kon ep dan praktik seni rupa yang 100 persen baru. Beberapa kegiatan seni telah memberi tanda betapa para seniman telah memberi ke egaran atas apa yang "seni grafis" seperti dalam sajian "Print 2000+2 '~ dari kelompok Rllang Rupa d..i 'I'1M Jakarta bulan Juni 2002. Pameran grafis dalam hajatan besar Bandung Art Event September 2001 di Bandung mel ke arab strategi. perupaan dengan gratis sebagai basIS produksi senioya. Dalam pameran Print Making in the Future bulan Mei 2001 di Galeri Cemeti di Yogyakarta sebagian karya menabrak kesepakatan yang selama ini diikuti dan menawarkan batasanbaru. Gltirah penJel Jahan ltu rnelilbakar sejurnlah p graIls
yang telah melakukannya selama bertahun-tahun. Sebutlah Rotua Magdalena Agung yang membubuhkan tulisan tangan, sapuan cat dan jahitan. Anna ana menekankan kel"]a cetak di atas permukaan batu: mengabarkan proses pencetakan dan pengenalan bahan yang khas, dan meluaskan wilayab tampilannya. Denny Rusanto melakukannya di atas permukaan kayu lengkap dengan guratanguratan uratnya sebingga membrui efek mpa tersendiri. Agung Setiadi mencetak di atas permukaan bakiak, sedangkan 'Iiis Neddy Santo di atas piling porselen, dan Bagas Arga Santosa mencetaknya ell atas tembikar. SyahIizal Pahlevi, yang kerja cetaknya meyakinkan, kini melakukannya di atas sejumlah kepingan aluminium sambil menyiasati aspek penyajiannya. Yamyuli Dwi Iman menggarapnya di atas papan dan memasangnya di dalam tiga panel yang sating terhubllng dengan engsel, dengan salah satu panel berisi "biang"-nya yangmenyiI'atkan gagasan tentang riwayat dapur seninya . Hidayat menggarap logam dan kertas daur ulang yang per mukaannya tampak berseral dan berkerut sehlngga menciptakan lanskap tersendiri. Marida Nasulion yang sering menggunakan bidang transparan eperti fiberglass, datang d ngan cetak anng, kaca. resin yang tampilannya mengingatkan orang pada cennin besar
tempo doeloe. l tu lah cellIlin perjuangan perempuan atau bisa jadi kaum lerpinggirkan mengamngi perubahan zaman lewat sosok seorang tukang jamu gendong di tengah jajaran gedung-gedung jangkung. Contoh-contoh penjelajahan medium yang menarik ini bisa sangat panjang, hampir sepanjang daftar peserta pamerannya sendiri. Cukil kayu diimbuh sapllan cat langsnng di bidang gambar yang dibikin menonjol di bagian tengab dikerjakan Edi Sunaryo. Sejumlah seniman menggunakan gaya carnpur kola se dari berbagai teknik seperti Andre Tanama, Irwanto Lentho, dan Petrus Priya Wicaksana. Gaya semacam dengan gagasan isi dan v:isual yang lebib canggih muncul misalnya dari Arief Yuristiawan. Kurniasari, maupun Sony Irawan. Muncul pula cara pernaniaatan sem untuk wahana kl;tik: budaya seperti diajukan 11sna Sanjaya dengan "cetak jengkol" . Ketekunan, keceJ'lllatan, dan keterampilan, di dalam olah cetak-mencetak ini. dengan gagasan visual yang llnggul, namun lewat karya-karya yang lebih "konvensional" , datang dari Agus Yulianto dan Hend.rawan Riyanto. Katya mereka juga raksasa dan segi. ukuran, yang dengan dicetak utuh sudah dengan sendiri menceI1uinkan kerja. keras. Kalya Yulianto (132 x 250 cm) lebib njelimet lagi. karena bertumpu pada konsep simelri dengan isi tentang peradaban
' •
s-.... JC.;oSOIllO aD" Publib".·_ _ _ _~_ _~
..
yang erba gigantik sekaligus r agam hias menarik, sementara Hendrawan (300 x 140 cm) lebib "kontemporer". Salah satu daya tarik yang lai n adalah Identifikasi Dua Ratus Ornng garapan Agus All Muslim. la mendata nama dan pekerjaan 200 orang di Bandung berikut cap jarinya masing-masing di atas secarik kertas, yang kemudian ia tempelkan di tiga panel. P ergulatan pemikiran ten tang riwayat sejumlah man usia kota denga n berbagai latar itu segera muncul ketika memandangi k arya grafisnya . "Kenakalan" lain muncul dari Amelia Lestari yang membuat poster tentang asupan yang dikonsumsi tubuh maupun otak. Pameran kali ini menonjolkan beberapa seniman dengan jam terbang sangat panjang. Sebutlah contohnya seperti H. Widayat yang menyertakan dua buah karya yang berasal dari satu saja biang, dengan judul serupa Mancing Kebelet Kencing. Sejumlah nama yang sudah leruji memang mendorong p ameran ini. Sebutlah jawara gratis seperti S Prinka yang menampilkan gambar digital yang sangat menarik. Sama menatiknya adalah beberapa hasil kerja cetak Sukamto yang ia dalam k anvas yang kemudian ia balut dengan kain kasa. Ata u Y Eka Suprihadi dan Herry Wibowo yang tetap menunjukkan ketekunan dan keterampilan mereka. (EFIX MULYADl)
"mur T
-
"-
--
.
="'"'
..-
.'-;-'=-=-=-
~:=;~ Sn!~iQ-':'"
,.
.,
•
•
•
• •
•
-
.-
_ _
~
... .
-c. ."
-
~'::-:;;-, ,~ e~-~._ ~'"
•.-
-
r~'-,:,"'''Ir-· ~~="'~
: .-
,' "
- -
•
Media
•
-'~,.....,. Him/ kin'
1--:;c ~ . - "-::- - -
-: : ; '
~ ',= = _____' _ _ _. _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _---'
..
•
,
•
., - - --_.-
,
Bagaimana membaca so ok Semar besar dalam pameran ini, wayang yang paling dicintai orang Jawa itu, di hadapan so ok-so ok berbaju resmi Jawa, menyandang keris, merunduk tunduk di hadapan sang Pamong, dekat gerbang lengkung keraton pada lukisan Semar (2002) karya VA Sudiro? Atau lukisan Melodia, Becak di Milenium Baru, (2002) yang melukiskan serombongan becak tengah parkir di plaza yang disesaki huruf-huruf digital? 8ama sulitnya jika kita harus menafsir hubungan antara potret Dalai Lama, dua bocah pengungsi, burung garuda dan sepotong lukisan Penangkapan Diponegoro (1857) karya R Saleh pada lukisan Imagine I (2002) Sutjipto Adi. Basis realisme yang digunakan oleh kurator Suwamo Wisetrotomo untuk memnih para perupa terasa tanpa gigi. Ketimbang gubahan "realisme" yang membuat IOta yakin bahwa yang dilukis adalah Raden Saleh - bukan Mahesa J enar atau Pak Bendot (almarhum) misalnya- "realisme" cuma tampak pada judul. Misalnya, lukisan perjuangan hidup mati seorang ibu yang melahirkan dalam lukisan Bukaan 10 (2002), Agung Mangu Putra, atau Antara Hidup dan Mati (1997) karya Wara Anindiyah yang sejajar dengan judul lukisan Saleh, Al1tara Hidup dan Mati (1848). Thfsir pennukaan begini tentu saja meleset dal; tema pameran yang berniat meoampilkan di.rnensi yang lebih dalam mengenai sosok Saleh. Suwarno menulis ten tang karya S Teddy tang saya contohkan pada awal tulisan ini sebagai "me1ampaui ikon teks". Namun, lukisan Ti na Sanjaya, "Jonalhan Borofsky, Goya dan Saya Nonton Joget Komando" (2001) bukan saja melampaui teks, tetapi benarbenar melejit ke luar dari batasan tema pameran, tanpa mengerling kepada teks. Pada karya Tisna, kita melibat ecuil
adegan yang mengingatkan sebuah lukisan Goya, The Third of May (1814-15), katya insta1asi Dancing Clown (1982-83) karya Borofsky yang dilukis di atas kanvas, serta 'ecuil pemandangan mooi indie. Barangkali cuma senimannya yang paham, ill mana letak dimensi Saleh dalam lukisan ini. Dalam khasanah henneneutika atau menafsir teks, teks yang dibadapi oleb penafsir dianggap sebagai "benda asing". Tetapi, pada sisi lain, rasa ketera ingan itu diangga;p tidak pernah total, karena jika demikian, "pemahaman" itu tidak dimungkinkan sama sekali. Seorang penafsir dikatakan berada selalu da1am situasi in between, yakni antara merasa "akrab" dan "asing" . Ranah "di tengah" antara situasi "akrab" dan "asing" itulah yang disebut sebagai "locus hermeneutika" sejati. Tentu saja ini adalah kutipan dari Gadamer, seorang filsuf hermeneutika terkemuka. Pameran ini menunjukkan bagaimana Raden Saleh sebenarnya tetap menjadi asing ill mata sebagian besar seniman yang berupaya merayakannya. Karya-karya mereka rata-rata tidak berhasil mencapai apa yang dijnginkan oleh kurator yang memberi batasan terlampau luas dan seakan tanpa perspektil. Memang, membaca sejarah saja tentunya tak cukup, apalagi kalau sekadar membaca, kemudian nekat-nekatan menafsirkan tema. Ada baiknya teks pada lukisan Nasirun itu dikutip lagi untuk melukiskan taIsir-menafsir da1am pameran yang a1'at plesetan dan kekurangan dimensi ItU: Semarang kalme banjirl BeTaS larang aja dzpikirlJangk rik genggonglLuwih becik omong kosong. (Semarang
banjirlBeras mahal jangan dipikir/Jangkrik GenggonglLebih baik omong kosong). HENDRO W I YANTO Kritikus seni
,
•
,
'...-
-
•
-
_.... -
.
. . .-
-'":":'~:-
-
•
-
-
."" ..
--, .
•
.. .:' '--- -... "'L __ .. -.. -. -",. :-
-
- --
:::'l'-
E o
••
~-
J-
•
- _
-
•
• •
Media
.
~.
,",
..
l,mur T
----- -----:
Hr/tgl/bln/ thn Hlm/klm
-
• •
-
• •
•
•
,
, tepat dijulllki ber-"dirnensi Ugo" Bisakah sepotong lukisan potret Ugo yang personal terinSpirasl oleh satu pasal cerita atau gagasan sem lukis Raden Saleh? Sebuah tafsir yang terlampau kreatU, "melesat" atau pemilihan karya yang "meleet"? Perhatikan juga tahun pembuatan lukisan in.i yang berjarak dengan ide kurasi pamerannya (2001). Tafsir waton yang terlampau mengada-ada semacam itu membuat pameran bertajuk "Dimensi R Saleh" di Galeri Semarang (satu-satunya galeri seni rupa kontemporer di kota ini) yang diikuti oleh 34 perupa tera a ulit dipaharni. Nyaris semua karya yang dipamerkan tampaknya tak berhasil membongkar dengan jerllih dan cerdas tema "dirnensi Raden Saleb" yang ditawarkan oleh kurator lIntuk pameran ini, baik dirnensi personal maupun sejarab, lebih daripada satu abad setelah sang perintis tanpa pengikut itu pergi. Pengantar kuratorial yang dapat dibaca dalam katalog, dilengkapi pula dengan riwayat panjang lebar tokoh pelukis Indonesia modern kelahiran Terbaya, Semarang, ini. Teks Raden Saleb yang ditulis cukup meyakinkan: cuplikan dari tesis sejarah kuratornya yang sudah teruji di program pascasarjana un.iversitas terkemuka di Yogyakarta. Tapi, pengantar itu tak menjelaskan dengan baik apa "dimensi" yang relevan dengan ketokohan Saleb yang direpresentasikan oleh para seniman di sana. Contohnya, ya, karya Potratt of Ugo yang ditafsir sendiri semena-mena oleh perupanya itu tadi. Lihatlah, misalnya, Siteran, lukisan realisme kerakyatan karya Wardoyo (67), p lukis paling senior dalam pameran ini. Rombongan pemusik jalanan yang biasa kita jumpai di kota di Jawa dimengamen dt bawah bayang rindang pohon Dua
laki-laki setengah baya masing-masing meniup seruling bambu dan memetik siter, mengapit perempuan berpupur tebal dengan pipi jambon menor-menor. Di kejauhan tampak hamparan sawah bijau dan jejeran rumah-rumah mungil real estate. Sejauhjauh mata memandang lukisan in.i , tak tampak persinggungan antara pokok lukisan ini lema pamerannya. Apa ukuran yang digunakan oleh kurator untuk memasang lukisan ini di ruang pameran? Lukisan Putu Sutawijaya, Damai-Damai-Damai (2001) , melukiskan manusia-manusia burung beririoga n turun dari langit. Melihat lukisan ini di ruang pameran dan menyimaknya lagi di dalam katalogus, tak dapat dihindarkan kesan kuat yang segera timbul adalab: bisa jadi lukisan salah pasang dan reproduksi salah cetak. Teks gamblang sejarah R Saleh agaknya sudah terkubur dan yang kita lihat adalah ke"saleh" -an bahasa estetik yang kabur. DernikianJah, melukiskan sejarah seringkali mencederai seni (artless history), mencocokcocokkan tema sejarah dengan ekspresi pribadi adalah mengecilkan sejarah itu sendiri, di mana se)arah (history) menjadi cerita pribadi (his-story). Apa tafsir dad dirnensi Saleh yang membuat pelukis menggambarkan burung (I Gusti Nengab Nurata), pemandangan pagi (Kok Po), orang berkelahi (1 Pande Kelut Taman), sepasang wayang golek (Agus Sudarto), Semar (VA Sudiro, Bambang Pramudiyanto), atau bahkan Petruk (Nasirun)? Membaca lukisan Raden Mas Petruk (2002) karya Nasirun yang menghadirkan sang Petruk berkuasa dalam bingkai cermin benggala, kurator Suwarno Wisetrotomo menyimpulkan begioi:" ... Jika ditarik garis lurus, dari Raden Saleh (fakta rill) hingga sang Petruk (dun.ia fiksi) maka makna yang
tersembunyi adalah tak ada lagi batas antara yang rill dan yang fiksi. Ketika semua tindakan diarahkan dan berujung pada sikap mumpung dan serakah, maka ia - siapa pun mereka - akan terus-menerus berkubang dalam dlloia yang tak pasti dan sementara". Tak jelas, mengapa teks Saleh yang sudah resrni menjadi tesis itu tiba-tiba menjadi tidak nyata? Apa kaitan antara kekuasaan dan arogansi Sang Petruk yang jatuh dari langit dengan kepelukisan yang diakui pada masanya yang berhasil dicapai oleh Saleh? Lebih daripada separuh karya yang dipamerkan dalam pamemn ini memberikan tafsir yang terlampau luas dan karena itu kehilangan fokus. Libailah lukisan-lukisan "Antara Hidup dan Mati (1997) Woro Anindyah, Perahu -Kertas VII (1997) Dyan Anggraeoi Hutomo, Yang Memori yang Lestari (1999) I Gusti Nengah Nurata. Bukaan 10 (2002) Agung Mangu Putra yang membuat kita kelimpungan mencari substansi apa yang ditafsir dari sosok maupun karya Saleb, "toekang gambarnya Baginda Maha Radja Olanda" itu. Kalau pun ada bau "tafsir" yang muncul adalah simbolsimbol kejawaao . Blangkon, misalnya, seperti tampak pad a karya AS Kurnia. Kurnia melukisAmbivalensi (2002) terd.iri dari dua bagia o yang men ampilkan bayangan singa masuk ke dalam buntut blangkon. Kurnia tampaknya ingin melukiskan pribadi mendua Raden Sal h, di satu sisi ia adalah pelukis Jawa dan pada isi lain, k hidupan pelukis ioi dekat dengan para bangsawan dan lingkungan kerajaan dan kolonial Belanda. Agus Suwage melukiskan sosok manusia Jawa yang kehilangan muka. yang tertutup oleb teks nuwun sewu berulang-ulang. Di balik teks yang mencenninkan tata krama budaya Juwa itu lidahnya mencibir.
•
••
•
•