Katalog ini diterbitkan oleh Bentara Budaya Jakarta, 2014
Pameran Seni Rupa
ASAM GARAM BENTARA GM Sudarta, Hari Budiono, Hermanu, Ipong Purnama Sidhi, Wiediantoro
di Bentara Budaya Jakarta | 11-20 Desember 2014
Penyelia Hariadi Saptono Penulis Efix Mulyadi Sindhunata Desain Katalog Muhammad Safroni Tim Bentara Budaya Jakarta Paulina Dinartisti Ipong Purnama Sidhi Ika W. Burhan Cicilia Natalinda Rini Yulia Hastuti Muhammad Safroni Samani Agus Purnomo Aristianto
“ASAM GARAM PARA KURATOR-KREATOR” Nama GM Sudarta, Hermanu, Hari Budiono, Ipong Purnama Sidhi, dan Wiediantoro, adalah lima nama yang tak bisa dilepaskan dari nama Bentara Budaya dan Harian Kompas. Di luar kelima nama itu, tentu saja nama GP Sindhunata tak bisa dilupakan pula. Yang terakhir ini adalah mantan wartawan Kompas, sekaligus kurator Bentara Budaya bersama lima nama yang pertama. Jadi, “para senior“ dan “perintis” itu bukan cuma bekerja di lembaga Bentara Budaya dan Harian Kompas, melainkan merekalah bagian dari sejarah Bentara Budaya karena sumbang-pikir dan kerja keras mereka mendirikan dan mengisi agenda kegiatan salah satu lembaga kebudayaan yang memilih pembelaan kesenian dan seniman yang terpinggirkan sebagai visi dan misi Bentara Budaya dan harian Kompas itu sendiri. Setidaknya tiga nama pertama Mas GM Sudarta (perupa dan karikaturis Harian Kompas), Mas Hermanu, dan Mas Hari Budiono adalah perupa yang ikut mempersiapkan pendirian dan menangani agenda kegiatan Bentara Budaya Yogyakarta sejak kelahirannya 26 September 1982. Tahun-tahun berikutnya lahirlah Bentara Budaya Jakarta 1986, Balai Soedjatmoko Solo 2003 dan terakhir Bentara Budaya Bali 2009 Tahun 2014 ini, Bentara Budaya memasuki usia empat windu atau 32 tahun (mengambil tanggal kelahiran Bentara Budaya Yogyakarta). Momentum empat windu ini dianggap penting sekali karena sebagian besar dari para perintis Bentara Budaya itu sudah memasuki masa pensiun, dan tinggal Mas Hermanu dan Mas Hari Budiono yang dalam waktu dekat juga akan memasuki masa “pensiun”. Padahal sesungguhnya “kesenimanan” tak kenal itu kategori “pensiun”. Jadi pensiun itu sebenarnya sepenuhnya urusan duniawai: administrasi. Yang surgawi dan yang ilahiah-estetik tak akan pernah tumpas, tak pernah selesai di tangan mereka masing-masing. Kenapa dua kalimat terakhir itu kami tegaskan, karena selain mereka itu “perintis”, dan kurator, semua nama yang kami sebut di atas sebenarnya juga para perupa dan seniman. Itu sebabnya, mereka ini berada di wilayah “abu-abu”—kurator sekaligus pelaku kesenian yang hingga kini masih aktif berkarya dan karyanya laku di mana-mana. Karena pelaku dan seniman itulah, pameran bersama kali ini bukan semata memenuhi peringatan empat windu Bentara Budaya, tetapi sebuah praksis kerja kesenian dari para kurator sekaligus kreator tadi. Inilah “asam garam” para kurator-kreator, yang menggeskplorasi tema besar “Jaya Giri Jaya Bahari” yaitu tradisi kegunungapian dan tradisi kelautan yang senantiasa mempengaruhi peradaban Nusantara. Selamat berkarya, selamat berpameran.
Jakarta, 11 Desember 2014 Hariadi Saptono Direktur Eksekutif Bentara Budaya
Pameran Seni Rupa | ASAM GARAM BENTARA
3
Pameran Seni Rupa “Asam Garam Bentara”
MEMANTIK NEGOSIASI BUDAYA DARAT DAN BUDAYA LAUT
Ternyata hampir semua kita adalah orang daratan. Laut begitu jauh. Laut hanya ada di foto-foto wisata, film, atau buku cerita. Semua itu bukan perkara sehari-hari dari kebanyakan kita. Hanya kesempatan tertentu yang memungkinkan kita berhubungan dengan laut. Orang bilang itu disebabkan oleh budaya daratan yang telah menguasai praktis seluruh kehidupan. Keramaian politik di media sosial beberapa bulan terakhir tahun 2014 memunculkan ungkapan yang khas yang ditujukan kepada calon presiden atau calon legislator atau calon gubernur yang tidak disetujui: kalau dia sih suruh ke laut saja! Para calon yang “disuruh ke laut” itu dianggap tidak pantas untuk menata kehidupan kita. Laut punya konotasi negatif di dalam ingatan bersama masyarakat masa kini. Yang menarik, itu terjadi pada masyarakat Indonesia yang negaranya merupakan negara kepulauan, dengan 17.500 an lebih pulau besar kecil. Letak kepulauan ini strategis di antara dua benua dan dua samudra, yang mestinya dengan pengelolaan yang baik bisa mendatangkan kemanfaatan termasuk di dalam soal ekonomi. Diperkirakan ada sekitar puluhan juta orang yang hidup dari berbagai
4
Pameran Seni Rupa | ASAM GARAM BENTARA
kegiatan yang berhubungan dengan laut di pesisir dan ratusan pulau kecil. Di sisi lain 70 persen angkutan barang harus melewati perairan Indonesia. Negeri ini punya garis pantai sepanjang 81.000 km, terpanjang kedua di dunia sesudah Kanada, yang merupakan wilayah pesisir dengan ekosistem yang sangat kaya dan dengan tingkat keaneka ragaman hayati yang tinggi, dan kekayaan biologi yang
bernilai ekonomi tinggi. Belum lagi soal minyak dan gas alam maupun mineral langka dan sejumlah sumber energi terbarukan. Harap dicatat bahwa sebagian besar potensi bahari tersebut terabaikan. Kehidupan nelayan di kawasan yang mestinya “loh jinawi” sangat memprihatinkan. Kaum nelayan, dan mereka yang mencari hidup dari kekayaan laut seperti misalnya petani rumput laut, pelaku transportasi, pelaku budidaya dengan basis kehidupan laut, sungguh jauh dari perhatian para pengambil keputusan. Di dalam hal ini para pengambil keputusan dan warga masyarakat umumnya berposisi sama: laut, kebaharian, dan berbagai masalahnya adalah “urusan di luar kita”. Itu hanya semata “sang liyan” yang tidak perlu benar-benar digubris sampai menghabiskan energi dan fikiran. Mungkin ilustrasi berikut bisa sedikit memberi gambaran. Kedudukan laut dan kehidupannya mirip dengan nasib wilayah-wilayah yang jauh dari kota provinsi atau dari ibu kota negara. Sebuah kabupaten seperti Yakuhimo di Papua harus mengalami bertahun-tahun kelaparan untuk mendapat perhatian, mendapat liputan media, dan akhirnya mendesak semua pihak untuk bergegas mengulurkan bantuan. Maklumlah selama ini urusan pemerintah maupun urusan media, terpusat pada kehidupan di pulau-pulau besar terutama di Jawa. Baik masyarakat maupun mereka yang terpilih untuk mengatur kehidupan umumnya tumbuh di dalam kehidupan bersama yang diwarnai oleh budaya orang darat. Kesadaran sehari-hari mereka adalah kesadaran “orang darat”. Mereka kenal dengan cukup baik
sungai, sawah, lembah dan gunung, gedunggedung tinggi, jalan tol, maupun hotel, mall, atau cafe dan sekujur kehidupan urban, namun asing dengan selat, laut dangkal, palung, dengan segala keragaman dan kekayaannya, dengan segala potensi dan masalahnya. Semangat bahari yang belakangan ini sering ditiup-tiupkan tentu tidak dengan mudah mengubah pola fikir dan pandangan umum untuk tidak lagi menganggap laut dan kebaharian sebagai “urusan di luar kita”. Tidak mudah untuk merangkul persoalan kebaharian dan menumbuhkan semangat untuk mengelola potensi besar yang dikandungnya untuk kesejahteraan bersama. Tidak ada sulapan untuk merangkul sebuah kehidupan yang dilupakan dan sering disingkirkan dalam kehidupan bersama. Semangat bahari suku Bugis-Makassar tidak bisa dengan begitu saja dicangkokkan kepada warga masyarakat lain. Gestur politik pemerintahan baru Indonesia sejak akhir tahun 2014 ini yang ingin membuat kehidupan maritim sebagai tulang punggung kehidupan bersama Indonesia diharap bisa mendorong gerakan perubahan. Karena memang tidak mungkin banyak orang menjadi pesulap seperti David Copperfield, lebih berguna kalau ada berbagai upaya bersama untuk mendekatkan budaya bahari, budaya maritim itu, dengan budaya yang selama ini melingkupi kehidupan keseharian sebagian masyarakat kita. Pameran seni rupa “Asam Garam Bentara” karya lima orang kurator Bentara Budaya ini hanya merupakan langkah kecil untuk
Pameran Seni Rupa | ASAM GARAM BENTARA
5
ikut andil di dalam upaya bersama tersebut, paling tidak untuk sedikit lebih memahami kebaharian. Ke-5 perupa itu ---GM Sudarta, Hermanu, Ipong Purnama Sidhi, Hari Budiono, dan Wiediantoro--- lahir, tumbuh, terdidik, dan berkarya di dalam kultur orang daratan yang melekat pada sebagian besar warga Indonesia. Ibarat kata, mereka disusui namun sekaligus juga ikut meyuburkan kebudayaan “asam di gunung”. Sebagian dari karya-karya mereka ini terasa dikerjakan dengan semangat dan ketulusan –yang lebih dekat pada kepolosan— untuk mencoba memahami dan mencari “garam di laut”, mencari intisari permasalahan kehidupan bahari.
Susi Duyung Langkah politik dan langkah kebudayaan pada tingkat gagasan dan implementasi awal sesungguhnya adalah langkah simbolik. Presiden yang mengumumkan tekad pemerintah untuk merayakan kebudayaan maritim tak bisa lain bekerja pertama-tama di dalam ranah simbolik. Para seniman ini demikian pula, mengumuman karya-karya mereka sebagai langkah simbolik, sebagai ajakan untuk menyelami kehidupan laut dan menyisipkan kesadaran akan kebaharian ke dalam sanubari khalayak ramai. Harapannya adalah mempertemukan budaya “asam di gunung” yang berakar di dalam kesadaran sebagian besar masyarakat dengan budaya “garam di laut” yang sedang akan dieksplorasi dan dirangkul.
6
Pameran Seni Rupa | ASAM GARAM BENTARA
Sudah tentu upaya-upaya di dalam ukuran kecil ini tidak mudah dilakukan dan tidak pada tempatnya menanggung beban harapan yang berlebihan. Meskipun demikian sudah ada usaha sofistifikasi yang dilakukan untuk ukuran seniman yang lahir di dalam kesadaran orang daratan. Mereka menangkap problematika yang muncul ke permukaan lewat berbagai laporan dan berita yang mengemuka terutama yang menjadi topik populer pada bulan November 2014 ini. Hal itu bisa dilihat antara lain tentang tata kelola kekayaan laut terutama perikanan, yang menjadi hot issue selama beberapa hari di berbagai media arus utama oleh aksi Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti. Menteri Susi bertindak cepat, tegas, dan keras, untuk mengatasi pencurian hasil laut oleh sejumlah kapal asing. Upayanya didukung Presiden Joko Widodo yang meminta tentara laut menenggelamkan kapal-kapal maling tersebut yang selama ini keluyuran dengan bebas di teritorial kita. Hal itu semua memang atraktif, meski sebenarnya barulah merupakan ombak kecil di tengah samudera persoalan. Salah satu perupa yang berpameran, Hari Budiono, menangkap keramaian berita itu sebagai peluang untuk berkomentar lewat sebuah lukisannya terbaru yang bertajuk “Susi Duyung” (2014). Lukisan ini memberi citra realistik yang digarap rapi dalam tampilan poster-like, mirip tokoh-tokoh superhero yang mengalir deras dari rahim tradisi cerita komik dan film-film populer. Sang ibu menteri digambarkan sebagai perempuan cantik dan digdaya. Ia menyandang dua senapan modern, dengan posisi menghadap kamera. Tampak sepasang sayap di bahunya, dan bagian bawah tubuh yang mestinya berujud
sepasang kaki, ternyata merupakan ekor ikan. Itulah Susi sang putri duyung yang bisa terbang. Dalam kehidupan sehari-hari sang menteri memang juga suka menerbangkan sendiri pesawatnya. Langkah “menduyungkan” Susi adalah pilihan cerdas sang pelukis, yang dengan itu mendapatkan jalan metafora yang produktif. Ekor duyung dan sayap itu melengkapi “kebagusan” lukisan –meminjam istilah yang dipakai Sudjojono untuk karya-karya yang bisa memikat secara visual-- namun sekaligus juga menaburkan bumbu mitologi yang mampu mendorong kita menerobos batas-batas kesadaran akan keseharian. Susi sesungguhnya berasal dari kehidupan nyata, namun ia telah tumbuh melampaui kenyataan itu sendiri. Coba bandingkan: Superman datang dari Planet Krypton, Susi berasal dari budaya pasar ikan Pengandaran Jawa Barat. Superman sakti, Susi juga dianggap mempunyai kekuatan adi kodrati, serba linuwih. Kesaktian memang harus melekat pada para jagoan yang diharapkan mengalahkan penjahat seperti di film-film televisi. Gebrakannya untuk mengatasi pencurian ikan oleh kapal nelayan negeri tetangga melengkapi profilnya yang berani, percaya diri, anti kejahatan, kerja cepat, berkarakter kuat, namun juga nyleneh. Balada Susi kini telah menjadi bagian dari sastra rakyat yang diproduksi oleh media massa serta media sosial, dan didaur ulang di warung kopi, pasar, terminal bus, arisan, atau gardu ronda. Maka pelukisnya tidak perlu menciptakan latar kultural bagi kisah superhero ini seperti lingkungan yang mengancam di Metropolis untuk Superman atau di Gotham City buat Batman. Masyarakat Indonesia
kontemporer sudah menyediakan diri menjadi latar yang subur untuk tumbuhnya berbagai kisah jagoan pemberantas kejahatan. Sering terdengar sindiran yang menganggap hidup di Indonesia lebih bersifat fiksi daripada kisah fiktif karya pengarang yang paling jempolan, dan itulah lahan subur untuk tumbuhnya berbagai harapan yang disimbolkan pada sosok-sosok pembawa keadilan. Kelanjutan kisah para superhero ini adalah perwujudan dari ungkapan “crime doesn’t pay”. Para penjahat harus menerima ganjarannya. Kalau tidak, rakyat (pembaca dan penikmat kisah superhero) akan kecewa. Dengan gaya karikaturalnya yang khas dan menjadi kekuatan tersendiri di dalam sejumlah lukisan yang bertema sosial politik, GM Sudarta menyodorkan persoalan yang kurang lebih serupa: posisi Indonesia yang lemah di dalam pengelolaan laut. Salah urus ini membuat para nelayan (dan siapapun yang bergiat di dalam berbagai upaya pengelolaan usaha berbasis laut) juga menjadi runyam. Maka dalam lukisan bertajuk “Di Laut Kita Jaya (Katanya Lho …!) yang digarap seiring proses akhir penyiapan pameran ini, ia menggambarkan para nelayan lengkap dengan perahunya tertangkap oleh jaring raksasa, yang ujungnya bermuara pada tangan-tangan jahat para perompak. Dan apa yang dilakuan oleh negara ini? Lihatlah aparatur dan perangkatnya di lautan, simaklah ujung meriam di kapal mereka yang lamban. Situasi karikatural ini sesungguhnya representasi dari salah urus di dalam tata kelola negara ini termasuk di dalam bidang kelautan dan perikanan, yang selama puluhan tahun mendera masyarakat. Maka para nelayan (dan siapapun yang bergiat di dalam pengelolaan
Pameran Seni Rupa | ASAM GARAM BENTARA
7
usaha berbasis laut) hanya akan terus menjadi korban. Mereka tidak akan pernah kebagian berkah melimpah yang tersedia di laut yang menjadi kampung halamannya sepanjang hayat. Buruh di kota-kota di pulau Jawa masih punya daya untuk melakukan unjuk rasa minta kenaikan upah, namun para nelayan ini umumnya hanya pasrah. Mereka hanya dibutuhkan di dalam masa pemilihan umum, namun dilupakan sepanjang tahun sisanya.
GM Sudarta DI LAUT KITA JAYA (KATANYA LHO!), 2014 Akrilik di atas kanvas | 70 X 90 cm
8
Pameran Seni Rupa | ASAM GARAM BENTARA
Ipong Purnama Sidhi juga berminat mengangkat persoalan kelautan. Ia menampilkan satu sosok nelayan miskin dengan topi anyaman jerami dan bersandal jepit. Itulah tubuh sosial para nelayan gurem, mewakili kaum tak berdaya dan terpinggirkan selama ini, yang berjibaku melawan pemilik modal yang tangan jahatnya menjarah kekayaan laut Indonesia lewat sejumlah kapal yang canggih. Bahkan seekor ikan besar (baca: kemakmuran) yang terletak tepat di depan perutnya saja tak terjangkau oleh tangan, karena ketakberdayaan struktural yang menimpa kaum nelayan gurem itu dari generasi ke generasi berikutnya. Keliaran garis-garis dari sabetan kuas yang biasa muncul dalam kanvas-kanvas
Ipong digantikan oleh torehan palet, menyusun anatomi semrawut tubuh sang nelayan. Latarnya menarik, berupa sejumlah baris kalimat yang dituliskan, menyusun larik-larik syair lagu yang populer tentang kehidupan bahari: “Nenek Moyangku Seorang Pelaut” , yang juga ia ambil sebagai judul lukisan yang ia garap tahun 2014 ini. Tabrakan antara sosok nelayan gurem dan syair lagu yang membanggakan leluhur ini memunculkan ironi. Itulah kepedihan kita bersama. Masih ada beberapa lukisan yang kiranya juga lahir karena terpicu oleh kisah-kisah kelautan. Sebut misalnya karya-karya GM Sudarta seperti “Potret Lamalera” (2014) yang menggambarkan perburuan ikan paus yang spektakuler di NTT . Karya lainnya berupa lukisan “Pesona Alam Laut Dalam” (2014) yang dengan sengaja menghadirkan bukan kenyamanan namun wajah ganas ikanikan unik. Rupanya sang pelukis ingin mengingatkan kita bahwa problematika urusan kelautan tak ubahnya ikan-ikan yang ganas dan menakutkan tersebut.
Ipong Purnama Sidhi NENEK MOYANGKU SEORANG PELAUT, 2014 Media campur di kanvas | 145 X 89 cm,
Hari Budiono juga punya dua lukisan lain yang bersinggungan dengan laut. Sebuah menampilkan ibu menteri Susi menunggang kuda lumping. Bajunya basah. Titik-titik air tampak di ujung hidung. Judulnya “Kesurupan di Air”, memberi sugesti akan tekadnya untuk sepenuhnya mengatasi persoalan laut dan kebaharian. Sosok lain –mungkin
Pameran Seni Rupa | ASAM GARAM BENTARA
9
Hari Budiono KESURUPAN DI AIR, 2014 Cat minyak di atas kanvas, 100 X 100 cm
10
Pameran Seni Rupa | ASAM GARAM BENTARA
modelnya juga sang menteri—digambarkan tengah mencangkul di tempat yang kurang semestinya, yakni di pantai. Lukisan “Petani Pantai” (2014) mengungkap pandangan sang pelukis tentang perlunya kultur daratan (petani) memahami kultur lautan atau bahari (pantai).
Semar Langit Dua perupa lain sepenuhnya menggarap masalah kehidupan di dalam ranah budaya darat. Hermanu boleh dilihat sebagai contoh bahwa mitologi yang telah berakar di dalam kebudayaan Jawa yang melingkupinya menjadi sumber penciptaan yang tak kunjung kering. Ia menampilkan Semar, tokoh panakawan yang menjadi bagian dari cerita wayang versi Jawa, yang umumnya dianggap mewakili sosok jelata sekaligus dewa sakti yang sangat bijaksana. Ujudnya sebuah patung sebatas dada yang ia kerjakan dengan bahan kayu pinus . Pada bagian kepala, yang biasanya menampakkan rambut dengan “kuncung”, terpasang semacam mahkota -- yang seperti di bagian dada-- berupa susunan dari lempeng sparepart pesawat televisi. Penggunaan elemen modern pada sosok tradisi ini membuat Semar berada dalam konteks baru. Sosok jelata sekaligus dewa sakti penuh kebijakan adi kodrati ini didorong untuk mendapat makna baru yang terkait dengan kebutuhan kekinian, dan tentu diharap menjawab persoalan-persoalan masa kini juga yang lebih berat dan rumit. Hal itu sekaligus juga menunjukkan bahwa seseorang akan kesulitan melakukan hal serupa ketika harus menangguk dari alam fikiran di luar diri, seperti misalnya alam fikiran budaya maritim. Hermanu mengenal “asam di gunung” seperti mengenali telapak tangannya sendiri, dan tidak akrab dengan “garam di laut” yang jauh dari pengalaman fisikal, mental, dan spiritualnya.
Hermanu SEMAR LANGIT, 2014 Kayu pinus, logam & elemen TV, 55 X 96 X 15 cm
Pameran Seni Rupa | ASAM GARAM BENTARA
11
Wiediantoro MIMIKA INDONESIA RAYA, 2012 Media campur di atas kanvas, 129 X 179 cm
12
Pameran Seni Rupa | ASAM GARAM BENTARA
Karena itu dua karya lain yang ia sertakan, keduanya berupa lukisan, juga bertutur tentang kehidupan di darat. Sebuah di antaranya berjudul “Pak Min”, yang menggambarkan kerja bersama sebuah keluarga sederhana, yaitu memperbaiki roda pedati. Ia juga menaruh
sebuah mobil mahal di latar, memberi kontras yang nyata di dalam kehidupan sehari-hari -nama Pak Min memberi kesan sebagai sosok pria jelata. Begitu juga dengan lukisan lainnya, “Barong Anak”, yang berkisah tentang keriaan anak yang memberi isyarat akan ketenteraman warga masyarakatnya. Wiediantoro juga orang daratan dan tidak tergerak untuk berkarya dengan meminjam alam fikiran bahari. Namun ia tetap memberi gambaran bahwa persoalan di daratan tidak kalah rumit, misalnya tentang salah urus di dalam mengelola kekayaan alam Indonesia. Karyanya “Mimika Indonesia Raya” (2012) yang ia kerjakan dengan media campur menyuguhkan kisah tragis pertambangan yang antara lain menghasilkan emas. Seorang anak dilukiskan bergelantungan, melongok di atas lubang penambang yang tengah menyemburkan bongkah-bongkah logam kekuningan. Pukulan jitu hadir di latar, berupa gelas-gelas minuman yang identik dengan gairah konsumtif di dalam kehidupan modern: Coca cola, namun ia sengaja mengubah logo yang menjadi ikon dunia konsumsi itu menjadi “Gold Cola”, yang langsung menunjuk emas yang menjadi harta jarahan. Dengan itu ia menjejerkan kekayaan yang terkuras dan konon sebagian sangat besar hasilnya lari ke luar negeri, dengan bujukan budaya konsumtif yang puluhan tahun belakangan ini semakin merasuk di dalam peri kehidupan masyarakat. Ketika modal berupa alam yang kaya habis
--begitu terbaca pesannya-- yang tertinggal adalah masyarakat yang lembek yang konsumtif di dalam bidang apapun. Siapapun ragu akan kemampuan masyarakat seperti ini bisa bertahan di dalam pergaulan antarbangsa yang semakin penuh persaingan. Karya media campurnya yang lain, “Rindu Kuasa” (2012) juga merupakan sejenis kritik sosial politik. Ia menaruh kursi di atas setumpuk batal (?) , dikelilingi sejumlah dadu, dan di bagian atas bantal-bantal lain, sepasang pengeras suara yang sering dipakai di dalam aksi unjuk rasa serta tameng polisi. Memang pertarungan kekuasaan ibarat permainan judi, dan sering melibatkan kekerasan jalanan. Kedua karya media campur Wiediantoro ini menyingkap wilayah artistik lain dari yang biasa ia tempuh. Ia sering memanfaatkan kekuatan “drawing”nya di dalam mengeksekusi sebuah gagasan, yang masih menampakkan jejak yang jelas di dalam karya media campurnya yang bertajuk “Bintang Padi” (2012). Ini sebentuk penghormatan kepada kearifan leluhur di dalam menjaga warisan alam. Pada banyak karya lainnya kepiawaian di dalam menarik goresan pena di atas kertas membubuhkan mutu visual yang terjaga, baik ketika membangun sosok-sosok yang dikenal maupun yang memunculkan semacam bentuk dari alam khayal atau mahluk-mahluk biomorfis. Lihatlah contohnya seperti “Polusi” (2014), “Gerhana Bulan” (2014), atau “Sarang” (2013), dan juga “Bermain Cahaya” (2014).
Pameran Seni Rupa | ASAM GARAM BENTARA
13
Perkara semacam itu juga bisa dijumpai pada Ipong Purnama Sidhi. Keliaran garisnya memberi kesan teredam ketika menggarap lukisan bertema bahari “Nenek Moyangku Seorang Pelaut” seperti tersebut di muka. Sulit diduga apakah ini merupakan dampak dari alam fikiran yang tidak diakrabi. Namun hal itu bisa dilihat dari karya-karyanya yang lain, yang semua dikerjakan tahun 2014 ini, seperti “Twist”, “Joyful Party”, “Aku Rahwana”, dan “All We Need is Love”. Keempatnya juga memberi isyarat akan bobot keliaran yang berbeda, yang tidak pernah kita tahu ke mana dan kapan mencapai keseimbangan yang baru. Meskipun demikian pernyataan saya di dalam tulisan pengantar untuk pameran berlima “Expandableg: Mateng Pu’un” April 2013 di Galeri Nasional Jakarta rasanya masih relevan untuk menikmati karya-karya Ipong Purnama Sidhi terbaru. Saya ringkas kutipannya: Menatap lukisan Ipong orang akan mengalami sensasi kebebasan, bahkan keliaran, di dalam sebuah dunia yang sengaja disiapkan untuk merayakan sikap “semua boleh dilakukan”. Ia tidak menyembunyikan kekagumannya pada Jean Dubuffet dengan “ArtBrut”nya, di samping sederet kampiun seni lainnya. Karya-karya Ipong adalah paduan menarik antara garis-garis yang ekspresif, tegas, kadang keras, tabrakan warna yang mengagetkan, dengan semangat bermain anak-anak yang selalu segar lewat citraan yang ditimbulkan: berani, tanpa beban, dan selalu bergelora. Jejak emosi bertebaran di sekujur taferil. Kekuatan gambarnya antara lain terletak pada sisi ini, yakni kemampuan
14
Pameran Seni Rupa | ASAM GARAM BENTARA
menawarkan ironi di tengah keriuhan garis, bentuk, dan warna. Pada sisi lain karya-karya terbaru GM Sudarta memberi kepastian sosoknya sebagai penjaga keindahan yang dilengkapi dengan bakat dan semangat untuk memberi lukisan yang necis, tertib, dan memikat secara visual. Isi dan narasinya boleh apa saja, namun pelukis dan karikaturis Kompas ini selalu menghadirkan keseimbangan yang dicapai baik oleh komposisi bentuk maupun paduan warna. Biarpun nantinya akan menghasilkan “keseimbangan yang dinamis” misalnya, namun tetaplah pada dasarnya salah satu yang melekat pada dirinya adalah kerinduan akan keindahan yang sesungguhnya sangat dekat dengan harmoni alam. Itulah nature dari seni visual pencipta tokoh kartun Oom Pasikom ini. Tiga karyanya dengan posisi kanvas vertikal yaitu “Ibu dan Putra” (2013), “Kawicaksanan” (2014), dan “Wajah” (2014) boleh menjadi contoh yang baik dari kecenderungan dasar yang terasah selama 40-an tahun ini. Api kreatif Hari Budiono tampaknya mudah tersulut oleh perkara sosial politik yang membuat gemas. Pilihan-pilihan kuasnya berujung pada masalah pertarungan antar kelompok yang mewabah di negeri ini seperti ia lukiskan di dalam “Anjing-anjing Negeriku” (2013). Kritiknya yang keras pada kemunafikan muncul di dalam “Buto Apa Janoko, Janoko Apa Buto?” (2008). Kecemasannya akan fanatisme agama yang destruktif ia tuturkan di dalam lukisan yang ia garap tahun 2008,
yaitu “Buddha Berapi”. Sosok teduh, tentram, damai ini ia gambarkan di dalam jilatan api yang berkobar. Itulah sekilas pemandangan dari isi pameran seni rupa hasil karya para kurator yang sudah puluhan tahun bekerja mengurus Bentara Budaya. Boleh dikata mereka sudah “kenyang makan asam garamnya” bertugas sebagai kurator, sejak menentukan arah dan isi kegiatan sampai ikut mencari para pengisi kegiatan. Sangat kebetulan semua mereka terdidik secara formal di perguruan tinggi seni ASRI, kemudian STSRI “ASRI” di Yogyakarta yang sekarang menjadi Institut
Seni Indonesia. Sebuah kebetulan yang lain adalah, mereka semua lahir, tumbuh, dan kuyub dengan kebudayaan Jawa, di dalam hal ini kebudayaan agraris, kultur orang daratan. Mereka pengusung “budaya asam di gunung”, yang mencoba mencicipi “budaya garam lautan”. Pameran ini menjadi saksi atas proses negosiasi antara kedua kebudayaan ini biarpun baru di lapis awal dan di dalam skala kecil. Bentara Budaya terpanggil untuk mendorong dan memfasilitasi peristiwa kebudayaan ini, yang bisa diharapkan memantik upaya-upaya serupa di dalam keragaman teknik, cara, dan pendekatan yang bisa lebih sehat dan produktif.
Efix Mulyadi
Wartawan dan Kurator Bentara Budaya
Pameran Seni Rupa | ASAM GARAM BENTARA
15
Hari Budiono SUSI DUYUNG, 2014 Cat Minyak di atas Kanvas 150 X 200 cm
16
Pameran Seni Rupa | ASAM GARAM BENTARA
SUSI DUYUNG Dengan gemuruh deru laut, lembu-lembu turun dari gunung, menembus gelombang pasang, mau mengisi perutnya dengan ikan-ikan. Wahai lembu-lembu, mengapa kaudatang ke laut sedang gunung-gunungmu berpermadani hijau rerumputan? Di gunung-gunung kami sudah tiada lagi kehijauan, sedang terlihat oleh kami dari kejauhan, lautan adalah padang hijau rerumputan, kami datang ke mari mencari makan. Lalu lembu-lembu itu pun terjun ke laut, menceburkan laparnya menjadi harapan. Lembu-lembu itu hilang ditelan gelombang, sedang di tepi pantai seorang petani perempuan mencangkuli hamparan pasir bagaikan tanah persawahan. Perempuan itu bulat telanjang. Katanya, di gunung aku berpakaian karena kedinginan, mengapa di laut tak boleh aku telanjang sedang aku kepanasan? Kulihat perempuan-perempuan kota yang kaya-kaya telanjang berbaring bermalas-malasan, mengapa tak boleh pula aku bertelanjang sedang aku kepanasan karena mencangkul nafkah kehidupan? Air mengijinkanku bebas telanjang, karena air hendak menyirami aku dengan kesegaran dan harapan. Perempuan itu menangkap ikan dengan cangkul. Pikirnya, di gunung aku menyambung kehidupan dengan cangkul,
Pameran Seni Rupa | ASAM GARAM BENTARA
17
di laut ini aku juga hendak mempertahankan kehidupan, kenapa aku tak bisa dan tak boleh menggunakan cangkulku? Ia lalu mencangkul dan mencangkul, sampai berlubanglah tanah di pantai bagaikan sumur. Kerjanya selesai di saat datang gelombang pasang, dan ketika kembali surut gelombang, penuhlah sumur-sumur itu dengan ikan. Perempuan petani itu terkejut, sebelum ia mulai memungut, ikan-ikan itu seakan memberikan diri mereka padanya. Berupa-rupalah ikan itu bentuk dan warnanya: ikan sapi, ikan lembu, ikan babi, ikan kuda, ikan angsa, ikan bebek, ikan ayam. Perempuan itu terbelalak, pikirannya terbuka jelas: Kehidupan adalah sama, di gunung maupun di lautan, karena itu tiada bedanyalah ikan di laut dengan binatang di gunung: sapi, lembu, babi, kuda, angsa, bebek dan ayam. Senja sedang tiba, tepian pantai meminta cahaya matahari meninggalkannya. Rekah-rekah merah di angkasa, tiba-tiba tampaklah seorang wanita berbadan duyung datang mengendarai ombak bergulung-gulung. Jelita wajahnya menyimpan indahnya senja, segar buah dadanya bermandikan cahaya merah. “Siapa engkau sesungguhnya?” tanya perempuan petani itu. “Aku perempuan seperti kamu. Aku bukan putri duyung. Seperti kamu, aku juga berasal dari gunung. Bagiku pula, tiada bedanya gunung dan lautan, karena keduanya sama-sama mengandung kehidupan. Gunung adalah asal dan lautan adalah tujuan kehidupan. Karena itu di lautan, sapi, lembu, babi, kuda, angsa, Bebek, dan ayam bisa berubah menjadi ikan-ikan. Seperti kamu, aku juga bersusahpayah mencari makan, karena itu harus kuusir maling-maling dan jahanam-jahanam
18
Pameran Seni Rupa | ASAM GARAM BENTARA
yang mencuri kehidupan dari lautan. Aku berbadan duyung, karena nafsuku untuk menenggelamkan dan memusnahkan mereka menggelora bagaikan ombak bergulung-gulung.” Ombak pun datang bergulung-gulung, tiba-tiba dari badan wanita berbadan duyung itu mengepaklah sepasang sayap, dan ia pun melesat terbang tinggi di angkasa. Dari balik awan, ia menembakkan senjatanya, dan hancur dan tenggelamlah kapal-kapal para maling dan jahanam yang mau merampok kehidupan di lautan. Seiring dengan kemusnahan mereka, berdatanganlah mengalir bagaikan air bah ikan-ikan berupa-rupa warnanya: ikan sapi, ikan lembu, ikan babi, ikan kuda, ikan bebek, ikan ayam, dan ikan angsa ke dalam sumur-sumur yang digali oleh perempuan petani di tepi pantai, di mana orang-orang bisa menyanyikan lagi: Jaya Giri Jaya Bahari! Itulah kerinduan yang telah melegenda di saat gunung-gunung kering dari rerumputannya, dan lautan miskin dari ikan-ikannya. Dan legenda itu dikenal dengan nama “Susi Duyung”.
Sindhunata, 2014 Kurator Bentara Budaya
Pameran Seni Rupa | ASAM GARAM BENTARA
19
GM Sudarta Hari Budiono Hermanu Ipong Purnama Sidhi Wiediantoro
20
Pameran Seni Rupa | ASAM GARAM BENTARA
Karya-karya
GM Sudarta
Pameran Seni Rupa | ASAM GARAM BENTARA
21
POTRET dari LAMALERA, 2014 Cat minyak di atas kanvas | 70 X 90 cm
22
Pameran Seni Rupa | ASAM GARAM BENTARA
PESONA ALAM LAUT DALAM, 2014 Acrylic di atas kanvas | 100 X 120 cm
Pameran Seni Rupa | ASAM GARAM BENTARA
23
WAJAH, 2014 Cat minyak di atas kanvas | 80 X 100 cm
24
Pameran Seni Rupa | ASAM GARAM BENTARA
KAWICAKSANAN, 2014 Cat minyak di atas kanvas | 80 X 95 cm
Pameran Seni Rupa | ASAM GARAM BENTARA
25
IBU dan PUTRA, 2013 Cat minyak di atas kanvas | 70 X 90 cm
26
Pameran Seni Rupa | ASAM GARAM BENTARA
Karya-karya
Hari Budiono
Pameran Seni Rupa | ASAM GARAM BENTARA
27
ANJING-ANJING NEGRIKU, 2013 Cat minyak di atas kanvas | 190 X 145 cm
28
Pameran Seni Rupa | ASAM GARAM BENTARA
BUDHA BERAPI, 2008 Cat minyak di atas kanvas | 145 X 110 cm
Pameran Seni Rupa | ASAM GARAM BENTARA
29
BUTO APA JANOKO, JANOKO APA BUTO, 2008 Cat minyak di atas kanvas | 190 X 145 cm
30
Pameran Seni Rupa | ASAM GARAM BENTARA
PETANI PANTAI, 2014 Cat minyak di atas kanvas | 150 X 200 cm
Pameran Seni Rupa | ASAM GARAM BENTARA
31
Karya-karya
Hermanu
32
Pameran Seni Rupa | ASAM GARAM BENTARA
IWAK PINDANG, 2014 Akrilik di atas kanvas | 110 X 170cm
Pameran Seni Rupa | ASAM GARAM BENTARA
33
PAK MIN, 2009 Cat minyak di atas kanvas |145 X 300 cm
34
Pameran Seni Rupa | ASAM GARAM BENTARA
Pameran Seni Rupa | ASAM GARAM BENTARA
35
BARONG ANAK, 2008 Cat minyak di atas kanvas |144 X 229 cm
36
Pameran Seni Rupa | ASAM GARAM BENTARA
Karya-karya
Ipong Purnama Sidhi
Pameran Seni Rupa | ASAM GARAM BENTARA
37
AKU RAHWANA, 2014 Media campur di kanvas | 145 X 120 cm
38
Pameran Seni Rupa | ASAM GARAM BENTARA
SEMARAK PESTA, 2014 Media campur di knvas | 145 X 120 cm
Pameran Seni Rupa | ASAM GARAM BENTARA
39
ALL WE NEED IS LOVE, 2014 Media campur di kanvas | 145 X 120 cm
40
Pameran Seni Rupa | ASAM GARAM BENTARA
LELAP, 2014 Media campur di kanvas 145 X 89 cm
Pameran Seni Rupa | ASAM GARAM BENTARA
41
Karya-karya
Wiediantoro
42
Pameran Seni Rupa | ASAM GARAM BENTARA
GERHANA BULAN, 2014 Drawing pen dan akrilik di atas kertas | 49 X 69 cm
Pameran Seni Rupa | ASAM GARAM BENTARA
43
POLUSI, 2014 Drawing pen dan akrilik di atas kertas | 49 X 69 cm
44
Pameran Seni Rupa | ASAM GARAM BENTARA
SARANG , 2013 Drawing pen dan akrilik di atas kertas | 49 X 69 cm
Pameran Seni Rupa | ASAM GARAM BENTARA
45
BINTANG PADI, 2012 Media campur di atas kanvas | 129 X 179 cm
46
Pameran Seni Rupa | ASAM GARAM BENTARA
RINDU KUASA, 2012 Media campur pada kanvas | 144,5 X 185 cm
Pameran Seni Rupa | ASAM GARAM BENTARA
47
GM SUDARTA (70 th)
1967 s/d 2007: karikaturis Kompas 2007 s/d sekarang: kontributor karikatur Kompas. 2008 s/d 2010: dosen tamu Kyoto SEika University, Cartoon Department 1980 s/d aktif melukis dan pameran di dalam dan luar negeri, disamping sebagai karikaturis.
48
Pameran Seni Rupa | ASAM GARAM BENTARA
HARI BUDIONO
Lulus Sekolah Tinggi Seni Rupa “ASRI” Yogyakarta, tahun 1985. Tahun 1978 tergabung dalam komunitas Seni Kepribadian Apa (PIPA) di Yogyakarta. Ketika tahun 1982 Jakob Oetama mendirikan Bentara Budaya di Yogyakarta, bersama Sindhunata, GM Sudarta, JB Kristanto, Hajar Satoto, dan Ardus M Sawega, menjadi pelaksana angkatan pertama. Sekarang sebagai koordinator Balai Soedjatmoko dan kurator di Bentara Budaya, lembaga kebudayaan milik Harian Kompas tersebut. Menjadi Wartawan Majalah Bergambar JakartaJakarta (tahun 1986 – 1989 dan 1993 – 1994), serta menjadi Redaktur Foto Harian Bernas Yogyakarta (tahun 1990 – 1993). Menulis feature dan liputan budaya untuk media Tabloid Citra, Majalah Intisari, The Jakarta Post, dan Harian Kompas.
Pameran Seni Rupa | ASAM GARAM BENTARA
49
Tahun 1996, bersama Ong Harry Wahyu dan Hendro Suseno (alm), membantu Sindhunata menerbitkan Majalah Basis format baru. Sampai sekarang menjadi redaktur artistik di majalah kebudayaan dan intelektual yang sudah berumur lebih dari setengah abad itu. Mengerjakan disain cover buku untuk Penerbit Kanisius, Galang Press, Tjap Petroek, Gramedia, dan Penerbit Kompas. Sesekali membuat ilustrasi cerpen di Kompas edisi Minggu. Pernah menjadi Pengurus Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) cabang Yogyakarta, Bidang Seni Budaya. Dari Bulan Mei hingga Agustus 2006, memamerkan (tunggal) karya rupanya bertema Putri Cina secara keliling, di Bentara Budaya Jakarta, Orasis Art Gallery Surabaya, dan Darga Gallery Bali. Juni tahun 2007, sebagai peserta pada Pameran Imagined Affandi di Gedung Arsip Nasional, yang diselenggarakan oleh Galeri Semarang. 19 September hingga 21 Oktober 2007 ikut Pameran Seni Visual Portofolio, memperingati setahun Jogja Gallery. Bersama 163 perupa lainnya, ikut bagian dalam event Biennale IX Yogyakarta, bertema NeoNation, 28 Desember 2007 hingga 28 Januari 2008. Dari 23 Maret hingga 23 April 2008, pameran bersama bertajuk Silence Celebration di Tony Raka Art Gallery, Ubud-Bali. 19 – 27 April 2008, pameran bersama ”Perang Kembang” di Bentara Budaya Yogyakarta.
50
Pameran Seni Rupa | ASAM GARAM BENTARA
8 – 22 Agustus 2008, pameran bersama Seni Rupa Multikultural ”Jali-Jali Jakarta” di Rumah Jawa Gallery, Jakarta. 14 – 24 Oktober 2008, pameran bersama ”After 40” di Sangkring Art Space, Yogyakarta. 15 November – 7 Desember 2008, pameran bersama “Contemporary Heroes” di Tujuh Bintang Art Space, Yogyakarta. Peserta Pameran VOX POPULI, Bentara Budaya Jakarta, 3 – 12 Februari 2009 & di Sangkring Art Space, Yogyakarta Pameran Kolaboratif bersama Komunitas Cibubur di Roemah 9a, Cibubur, 8 Juli – 8 Agustus 2012 Pameran Seni Rupa Borneo Terbuka di Banjarmasin, akhir Agustus – awal September 2013 Pameran [non]-Expression di Taman Budaya Surakarta, 19 – 24 Oktober 2013 Pameran ILUSTRASI CERPEN KOMPAS 2008, 2009, 2010, 2012, 2013 di 4 Venue Bentara Budaya (Jakarta, Yogyakarta, Solo, & Bali) Pameran Seni Rupa ISI-ISI di Kemang 58 Gallery, Jakarta, ,16 Februari – 16 Maret 2014 Malaysia – Indonesia Fusion Art Exhibition, Sasaran International Art Exhibition featuring 9 Indonesian & 11 Malaysian Artist, Galeri Seni Mutiara, Penang, Malaysia, 13 - 17 Juli 2014
HERMANU
Lahir di Bojonegoro, 25 September 1955 Alumni STSRI “ASRI” 1976. Sejak masih kuliah sering mengikuti pameran di dalam dan di luar kampus ASRI. Tahun 1982 sampai sekarang bergabung dalam Lembaga Kebudayaan Kompas Gramedia, Bentara Budaya Yogyakarta. Menjadi penyusun poster dan buku-buku terbitan Bentara Budaya Yogyakarta.
Penghargaan : “Pratisara Affandi Adi Karya diperoleh pada tahun 1982. PAMERAN : 1990 Pameran 100 hari Affandi di Bentara Budaya Jakarta 2001 Pameran Seni Rupa Pahit Ning Karem, BBY 2003 Pameran Seni Rupa Air Kata-Kata, BBY 2004 Pameran Seni Rupa Molimo, BBY 2005 Pameran Seni Rupa Celengan Malo 2006 Pameran Seni Rupa Lindu
Pameran Seni Rupa | ASAM GARAM BENTARA
51
2007 Pameran Seni Rupa Gendhakan Pameran Media Art di BBJ Pameran Ilustrasi Cerpen Kompas 2008 Perang Kembang, Bentara Budaya Yogyakarta Pameran Seni Rupa After 40 di Sangkring Art Space Pameran Seni Rupa Gasing “Komidi Putar di BBY 2009 Poli(chromatic), Bentara Budaya Yogyakarta Pameran seni rupa Rai Gedheg, BBY, BBJ, Orasis Surabaya, Perpustakaan Umum dan Arsip Kota Malang 2010 Pameran Pit Onthel INDISCHE FIETSEN Bentara Budaya Yogyakarta 2011 Pameran Seni Rupa PASAR KENCRUNG, Bentara Budaya (Yogyakarta & Jakarta) 2012 Pameran Ilustrasi Tembang Dolanan ILIRILIR, Bentara Budaya Yogyakarta 2013 Pameran Seni Rupa “KESURUPAN KUDA LUMPING”, Bentara Budaya Yogyakarta
52
Pameran Seni Rupa | ASAM GARAM BENTARA
Pameran Sepeda SIMPLEX NGANGGO BERKO Pameran Radio Lama “LAYANG SWARA”, Bentara Budaya (Yogyakarta, Jakarta, Bali, Solo), House of Sampoerna Surabaya Pameran PAWUKON 3000 th, Bentara Budaya Yogyakarta 2014 Pameran Ilustrasi Insulinde “DJALAN KE BARAT: Jawa di Mata C. Jetses), Bentara Budaya Yogyakarta Pameran Foto Sepur Kluthuk & Modelling Train “KERETA MALAM”, Bentara Budaya Yogyakarta Pameran Ilustrasi Buku karya H.J. Wolff “INDIE 1928”, Bentara Budaya Yogyakarta Pameran Seni Rupa Tradisi JAMILAH, Bentara Budaya Yogyakarta Pameran Seni Rupa SABDO PALON NOYOGENGGONG, Bentara Budaya Yogyakarta
IPONG PURNAMA SIDHI
Selain dikenal sebagai kurator Bentara Budaya, ia juga perupa yang menggeluti lukisan, seni grafis, ilustrasi, desain buku dan menulis kritik seni rupa di beberapa media. Ilustrasi cerpennya dimuat di Harian Kompas setiap edisi Minggu sejak 1990 sampai 1995, diteruskan beberapa lagi sampai 2014. Fokus minat terakhirnya adalah seni lukis dan seni grafis terutama menerapkan teknik karborundum yang masih jarang dilakukan di sini. Lahir di Yogyakarta, menempuh studi seni rupa di STSRI Asri (kini Institut Seni Indonesia) Yogyakarta, jurusan Seni Lukis (1975-1981). Kemudian meneruskan studi seni grafis di
Kungliga Konsthogskolan (Royal University of Art) di Stockholm, Swedia (1996), belajar semua teknis grafis pada para profesor di bidangnya. Di Stockholm beberapa kali berpameran bersama dan membuat workshop tentang perkembangan seni rupa Indonesia dan disponsori oleh Akademi Swedia. Pengalaman berpameran dilakukan sejak 1972 ketika masih duduk di kelas 2 SMA Taman Siswa Yogyakarta, aktif dilakukan sampai kini, baik di dalam maupun di luar negeri. Karyanya banyak dikoleksi di Perancis, Swedia, Negeri Belanda, Jerman, Singapura, Malaysia, Amerika Serikat dan Australia. Pameran Seni Rupa | ASAM GARAM BENTARA
53
Pameran Tunggal 2008 Pop Culmination, Vivi Yip Artroom, Jakarta 2009 Horray! Are You Ready, Ganesha Gallery, Bali Pameran Bersama: 2014. “Migration”, Langkawi Art Biennale, Malaysia. ”Ruang Jakarta 2014”, Galeri Nasional, Jakarta “Pameran ISI-ISI”, Galeri Kemang 58, Jakarta “Ilustrasi Cerpen Kompas 2013”, Bentara Budaya Jakarta 2013. “Expandableg”, Galeri Nasional, Jakarta Seni Grafis “ Pada Sentuhan Tangan”, Bebtara Budaya Bali 2012. Seni Grafis “Pada Sentuhan Tangan”, Bentara Budaya Bali “Asian Watercolours: Soul of Expression”, Bentara Budaya Jakarta, bentara Budaya Yogyakarta, Balai Soedjatmoko, Solo, Bentara Budaya Bali. “chairs n’ Bones”, Tony Raka Art Gallery, Ubud, Bali “Sketsa Jakarta”, Bentara Budaya Jakarta “Ilustrasi Cerpen Kompas 2011”, Bentara Budaya Jakarta, Bentara Budaya Yogyakarta, Balai Soedjatmoko, Bentara Budaya Bali. 2011. “Ilustrasi Cerpen Kompas 2010”, Bentara Budaya Jakarta, Bentara Budaya Yogyakarta, Balai Soedjatmoko, Bentara Budaya Bali. “Tunas yang Terbentang 70-80”, Tiny Rose Gallery, Jakarta 2010. “Makassar Art Moment”, Gedung Trans, Makassar “Tramendum”, Philo Art Space, Jakarta “Integritas Jiwa Nampak”, Bentara Budaya Bali
54
Pameran Seni Rupa | ASAM GARAM BENTARA
“Indonesia with Love”, Crown Plaza, Jakarta “Behind the Funny Mask”, Hadiprana Gallery, Jakarta “Detergen”, Dewan Kesenian Jakarta, TIM, Jakarta “Soccer Fever”, Canna Gallery, Jakarta “Chairs n’ Bones”, Bentara Budaya Jakarta 2009. Vox Populi”, Bentara Budaya Jakarta, dan Sangkring Art Space, Yogyakarta “Seni Rupa Rai Gedheg”, Balai Soedjatmoko, Bentara Budaya Yogyakarta, Bentara Budaya Jakarta. “Exposign”, Jogja Expo, Yogyakarta “Ilustrasi Cerpeb Kompas 2008”, Bentara Budaya Jakarta, Bentara Budaya Yogyakarta, Balai Soedjatmoko Solo, Bentara Budaya Bali. “Wong Jowo Ilang Jawane”, Balai Soedjatmoko Solo. “Indonesian Contemporary Drawing”, Galeri Nasional Jakarta. “Urban Figure”, Philo Art Space, Jakarta “Illumination”, Gedung Sampoerna, Jakarta 2008. “Manifesto”, Galeri Nasional Indonesia, Jakarta “Hello Print”, Edwin Gallery, Jakarta “Ilustrasi Cerpen Kompas 2007”, Bentara Budaya Jakarta, Bentara Budaya Yogyakarta, Balai Soedjatmoko Solo, Bentara Budaya Bali. 2007. “Soul of Expression”, Tony Raka Art Gallery, Ubud, Bali. Pernah memperoleh penghargaan kompetisi Seni Lukis Remaja Internasional dalam Olimpiade Munchen, Jerman (1972), dan meraih desain buku terbaik dari Ikatan Penerbit Indonesia (IKAPI) berturut-turut 1983-1989.
WIEDIANTORO
Lahir 3 Mei 1951, Wates-Kulon Progo, Yogyakarta. Pendidikan : STSRI, ASRI Yogyakarta 19711974. Telpon : 08129942017
2014 : Pameran “ISI ISI” di Galeri Kemang 58 Jakarta 2013 : Pameran Alumni ASRI di Kota Kasablanka, Jakarta Pameran “GREY Art Exhibition” di Grand Indonesia, Jakarta Pameran “Sixty ASRI” di Galeri Nasional Jakarta 2012 : Pameran Alumni ASRI-ISI di Gandaria City, Jakarta Pameran bersama Wajah Seni di Kota Casablanca, Jakarta
Pameran Seni Rupa | ASAM GARAM BENTARA
55
2011 : Pameran The Art of Over Sixty ASRI di Galeri Cipta II Taman Ismail Marzuki, Jakarta Pameran bersama Wajah Seni di Hanna Art Space, Jakarta Pameran Seni Rupa “Pasar Kencrung” di Bentara Budaya Yogyakarta dan Bentara Budaya Jakarta Pameran Seni Rupa “Mirong Kampuh Jinggo” di Bentara Budaya Yogyakarta Kurator Museum Kartun Indonesia Bali, Bali, Indonesia Pameran bersama Artventure di Hanna Art Space, Jakarta 2010 : Pameran Seni Rupa INTERARTION di Galeri 678, Kemang, Jakarta. Pameran Seni Rupa BANK BANK KRUT di Bentara Budaya Yogyakarta. 2009 : Pameran Seni Visual EXPOSIGN 25th ISI di Yogyakarta. - Pameran Ilustrasi Cerpen Kompas 2008 di Bentara Budaya Jakarta, Bentara Budaya Yogyakarta dan Bentara Budaya Bali. Pameran Seni Rupa Alumni STSRI ISI di Jakarta. Pameran Seni Rupa Expo Sign 25th, ISI Yogyakarta, Yogyakarta. Pameran Ilustrasi Cerpem KOMPAS 2008 di Bentara Budaya Yogyakarta & Bentara Budaya Bali. Konsultan Artistik dan Tata Ruang Bangunan Bentara Budaya Bali. 2008 : Pameran Seni Rupa Media Art di Jakarta. Pameran Ilustrasi Cerpen Kompas 2007
56
Pameran Seni Rupa | ASAM GARAM BENTARA
di Bentara Budaya Jakarta, Bentara Budaya Yogyakarta, Galeri Soemardja ITB, Galeri Orasis Surabaya. 2007 : Pameran Ilustrasi Cerpen Kompas 2006 di Bentara Budaya Jakarta, Bentara Budaya Yogyakarta. Pameran Alumni ASRI di Hotel Belagio, Jakarta. 2006 : Pameran Ilustrasi Cerpen Kompas 2005 di Bentara Budaya Jakarta, Bentara Budaya Yogyakarta, GaleriGracia Surabaya, Perpustakaan Umum dan ARSIP Malang, Galeri Darga Bali, Galeri Semarang dan Galeri Kita Bandung. 2005 : Pameran Ilustrasi Cerpen Kompas 2004 di Bentara Budaya Jakarta, Bentara Budaya Yogyakarta, Toga Mas Malang, Galeri Soemardja FSRD ITB Bandung, Danes Art Veranda Bali. 2004 : Pameran Seni Rupa Media Art di Bentara Budaya Jakarta. 1985 : Pengelola Bentara Budaya Jakarta, lem baga Kebudayaan Kompas Gramedia. 1981 : Bekerja di Gramedia Film Jakarta. 1975 : Pameran Lukisan berdua di Museum Nasional Jakarta (mulai aktif di Pasar Seni Jaya Ancol). 1974 : Pameran Lukisan di Karta Pustaka, Yogyakarta. Pameran Lukisan bertiga di lembaga Indonesia Amerika, Jakarta.