Press Release Pameran Tunggal Entang Wiharso “Inter-Eruption” di Bentara Budaya Jakarta, 8-17 April 2005 Seniman asal Tegal yang kini menetap di Yogyakarta, Entang Wiharso akan menggelar sejumlah karya rupanya di Bentara Budaya, di Jalan Palmerah Selatan 17 Jakarta, mulai 8 hingga 17 April 2005. Pameran kali ini bertajuk kuratorial Inter-Eruption. Bagi Entang, ini merupakan pameran tunggalnya yang ke 14 dalam kurun waktu sebelas tahun terakhir – belum termasuk empat pameran tunggal lainnya yang bermateri karya sama tetapi dilangsungkan di kota atau negara yang berbeda. Dalam pameran Inter-Eruption ini Entang telah menyiapkan sejumlah karya rupa yang terdiri dari lukisan sebanyak 10 bentang, satu buah patung, dan sembilan karya instalasi. Sebagian besar karya-karya tersebut – terutama patung dan instalasi – diciptakan oleh Entang khusus untuk perhelatan ini. Sedang untuk karya lukisan merupakan hasil kreasinya antara kurun waktu 2002 hingga 2005. Pameran tunggal sebelumnya berlangsung bulan Agustus 2004 lalu di CP Art Space Jakarta dengan tema kuratorial Sublime Tunnel. Tajuk kuratorial Inter-Eruption ini diambil sebagai sebuah kerangka pembacaan atas kecenderungan karya-karyanya kali ini, sekaligus sebagai gagasan estetik yang menyembul dalam sebagian karyanya. Tema ini bertitik berangkat dari kenyataan sosial dan pengalaman pribadi Entang sendiri yang berkait dengan ihwal kultur, identitas, hibriditas dan kenyataan lain yang melingkupi. Inter-Eruption mencoba menelisik dan memetakan wajah personal yang bisa menjadi cermin wajah sosial. Sekaligus sebaliknya, berupaya melacak kondisi wajah sosial atau wajah kultural yang termanifestasikan dalam cermin wajah personal. Dalam pameran tunggal kali ini Entang Wiharso mengeluarkan banyak artifak dari pengalaman batin dan pengalaman pribadinya, jejak-jejak wajah personalnya, yang penuh “letusan kontradiksi” di dalamnya, dan mencoba merangkai “identitas” baru pada perbenturan penuh ironi di dalamnya. Ada situasi konflik yang sengaja dipertarungkan. Ada kondisi kontradiktif yang sengaja dipertaruhkan dalam satu ruang mediasi. Semua kenyataan itu berkait dengan ihwal kultur, identitas, hibriditas dan kenyataan sosial yang melingkupi. Pengalaman pribadi yang menjadi titik berangkat dalam berkaryanya ini tentu tak lepas dari perkawinan antar-ras yang dialaminya sendiri dengan Christine Cocca, seorang sejarawati seni asal Rhode Island, Amerika Serikat keturunan Italia. Ini ditunjang dengan banyak pengalamannya ketika berada di berbagai kota yang memiliki budaya berbeda yang memungkinkannya menjumpai percampuran atau pertemuan budaya di dalamnya. Dan “konflik”, atau semacam “letusan antarbudaya” yang terjadi itulah yang lalu menjadi titik perhatian bagi Entang dalam mengungkapkan ekspresi estetiknya. Maka muncullah, misalnya, karya-karya patung atau instalasi yang menggambarkan sosoksosok manusia yang berdiri mengambang, tak menjejak di tanah: tidak lagi jelas identitas budayanya, tidak utuh mencitrakan bumi tempatnya hidup. Atau sebaliknya, identitas budayanya adalah sebuah ketidakjelasan, yang mengambang di antara dua (atau lebih) akar budaya. Bagi Entang – pria kelahiran 19 Agustus 1967 dan ayah dari Dominic Ensar Wiharso dan Marco Emil Wiharso ini – realitas sosial tersebut telah banyak ditemui dimanapun. Dan dimensi spesifik yang ditemui atas kecenderungan sosial ini adalah kuatnya kontradiksi. Tema seperti inilah yang banyak diolah oleh Entang. Pameran “pemanasan” sebelum Entang bertolak ke pameran di Venesia bulan Juni depan ini rencananya juga akan dikelilingkan di Emmitan Fine Art Gallery Surabaya September yang akan datang. Menurut rencana kolektor senior asal Magelang, Dr. Oei Hong Djien akan membuka pameran Inter-Eruption ini. Kuss Indarto, kurator pameran “Inter-Eruption”. Kaprioke@yahoo.com, 081 228 35525. Sementara Entang Wiharso dapat disapa di Entang Wiharso@yahoo.com, atau di selular 081 2275 3311, 7480723.
Inter-Eruption: Konflik yang Dipertarungkan, Kontradiksi yang Dipertaruhkan Oleh Kuss Indarto TAK berlebihan kiranya kalau menilai bahwa karya-karya seni visual Entang Wiharso bukanlah karya yang stabil. Atau apalagi ditendensikan masuk dalam perangkap kemandegan. Dia memiliki “istiadat” dan kerangka berpikir sendiri yang terus-menerus berupaya memberi nafas kreativitas untuk menggoyahkan kestabilan karyanya yang terdahulu menjadi lebih bergerak. Lebih progresif. Lebih punya nilai kebaruan (novelty). Kestabilan karyanya “digoyangnya” sendiri, namun dengan tetap merawat konsistensi gagasan, bukan kebentukan. Dalam gradasi tertentu, barangkali diri dan karyanya mengembangkan konsep yang disebut oleh Deleuze dan Guattari (1986) sebagai “tanda-tanda skizofrenik” (schizophrenic signs) dari seorang nomad, yaitu semacam arus tanda-tanda (sign flow) yang selalu mengalir, berpindah, berganti (tempat), beralih (teritorial) tanpa henti. Ia tanpa henti bertukar posisi dari satu sistem tanda ke sistem tanda lainnya. Ia bagai tengah merayakan proses perpindahan tanda itu sendiri, ketimbang terpancang pada sebuah tanda, makna, citra, identitas, keyakinan, dan bahkan mungkin ideologi. Sebuah ketetapan untuk ada (being) kemudian bisa saja tidak menjadi penting daripada selalu dalam proses menjadi (becoming). Lukisan, patung, instalasi atau performance art-nya yang telah lebih dahulu diciptakan – dan dengan demikian tergolek dalam posisi sebagai artifak – kemudian menjadi titik pijak bagi penciptaan karya-karya baru berikutnya. Memang ini bukanlah sebuah rumusan proses kreatif yang linier berikut sekat-sekat struktur dan sistematika praktik kerja yang mekanistik, namun itulah penampang perjalanan kreatif yang terjadi dalam tujuh hingga delapan tahun terakhir dari proses kreatif Entang. Proses kesenimanannya sendiri kira-kira telah bergerak selama 17 tahun kalau dipatok dari tahun pertama dia menginjakkan kaki di bangku kuliahnya di Fakultas Seni Rupa ISI (Institut Seni Indonesia) Yogyakarta. Pergerakan karya-karyanya yang mencoba lari dari kebuntuan ini, memang sebuah upaya untuk menghindari involusi: seolah-olah bergerak dinamis, tetapi sebenarnya sekadar bersetia berjalan di tempat yang statis. Sebagai upaya meretas kemandegan inilah Entang kemudian menciptakan tema-tema dan kerangka utama (mainframe) yang membingkai kecenderungan karyakarya pada kurun waktu tertentu, dengan intensi kreatif dan tendensi makna yang digagas cukup baik. *** TEMA-TEMA utama yang digarapnya ini, saya duga, sebagai kerangka berpikir yang mencoba “menjinakkan dunia dalam” yakni perasaan, insting, sensasi, dan intuisi. Tapi bisa juga diduga bahwa langkah ini merupakan upaya untuk mengelola dan melogikakan “jagat ide”, satu hal yang banyak mangkir dari pemikiran dan tindakan beberapa seniman “romantis” Indonesia yang menganggap bahwa ide adalah sesuatu yang given, sesuatu yang terberi, yang seolah datang begitu saja dari langit. Tema pertama yakni The New God Series atau Seri Berhala Baru, yang (di)muncul(kan) pada kurun 1998-2000. Pada kurun ini, karya-karya Entang yang berhamburan muncul banyak mengusung ihwal citra tentang dunia idola yang dipuja masyarakat dunia dan diwarnai oleh kultur konsumerisme. Jaman imagologi – sebagaimana dilontarkan oleh para kaum postmodernis semacam Jean Baudrillard – dimana citra atau image menjadi ideologi, menebarkan banyak tawaran yang disebarluaskan oleh beragam media. Dan celakanya, menurut Entang dalam buku NusaAmuk (2001), “kita tidak sanggup untuk lari dari imaji-imaji yang menjadi tuhan-tuhan baru kita”. Maka keluarlah antara lain karya Bart Simpson in the Surgery Room (1999). Tokoh komik/kartun/animasi Simpson divisualkan sebagai sosok yang baru akan dilahirkan dari sebuah
operasi caesar oleh “keluarga” dengan identitas yang plural. Bukan lahir di tengah sang ibu-bapak Maggy atau Homer Simpson seperti hasil rekaan asli Matt Groening, The Simpson. Lewat karya ini, tergambar cukup jelas bagaimana Entang memprihatinkan publik yang telah menjadi budak konsumerisme dan dikontrol oleh berhala baru lewat “kuasa media” yang penetrasinya semakin menghunjam dalam. Tema kedua, Melting Soul atau Jiwa (yang) Larut, yang diciptakan antara kurun 1999-2001. Pada karya-karya yang masuk dalam kerangka tema ini, Entang mencoba memagari dengan upaya pemahaman untuk memeriksa dan mengeksplorasi “pelapukan spirit manusia”. Ia mempertanyakan “Mengapa orang-orang mengadopsi aktivitas, ide, dan kepercayaan yang asing baginya ke dalam pengalaman dan emosinya…” Dari sini terlihat bagaimana dia menggelisahkan lumernya personalitas di tengah kungkungan komunalitas. Pribadi-pribadi manusia banyak “tak berdaya” dalam semangat kolektivitas yang menciptakan pengaruh kuat lewat “norma-norma” tersistem. Maka, dalam Melting Pot karya-karyanya seperti merepresentasikan proses perubahan jiwa, pergolakan nurani, dimana personalitas orang perorang didera oleh tegangan budaya, politik, sosial, ekonomi, agama dan lainnya yang tak mungkin dielakkan. Karya instalasi Membebek (2000-2001) saya kira secara kuat menjadi salah satu ikon penting dalam tema besar ini. Terlihat di sana belasan sosok laki-laki gundul memakai kemeja, jas dan dasi seragam, tetapi semua tidak bercelana. Wajahnya memancarkan kekosongan berikut senyum yang tak lagi natural. Antar-mereka dihubungkan oleh kabel satu sama lain. Dengan tajam, saya kira, Entang mencoba menyodorkan satir tentang dehumanisme pada diri manusia kini. Manusia diandaikannya telah menjadi sesosok makhluk robotik yang terus menerus mereproduksi diri dan hidup dalam sistem yang menunggal. Atau karya lain, lukisan Kepala-kepala yang Hilang (2000), yang juga menawarkan ironi atas kuatnya kultur rasionalitas pada satu sisi, dan di sisi lain menguatnya semangat irasionalitas yang ditandai oleh suburnya kultur reproduksi-repetisi. Kesan serupa juga terlihat pada karya Cultural Burden (1999). Tema ketiga, Community Storage atau Komunitas Gudang, yang terlihat pada karyakaryanya dalam kisaran tahun 2000-2001. Tema ini antara lain mengemuka dari kenyataan yang dilihat di lingkungannya di Yogyakarta dan waktu tinggal di Rhode Island, yakni banyaknya orang yang mengonsumsi barang bekas, bahkan hingga memunculkan semacam komunitas konsumen barang bekas, barang seharusnya telah digudangkan. Tentu, Entang tak serta-merta menampilkan tema itu secara verbal, namun membuat kerangka tema yang melintas batas di atas realitas tersebut. Barang bekas, baginya, menyimpan beragam memori. Kehadirannya bisa menjadi medium untuk kembali menghadirkan masa lalu. Inilah kata kunci. Nah, dalam konteks sosial politik di Indonesia, ada memori kolektif yang dihasratkannya untuk terus dihadirkan sebagai terapi atas masa lalu untuk mengkonstruksi masa depan. Ada Yellow Sperm yang secara jelas mencoba mewaspadai “kultur kuning” di negeri ini. Kuning sudah tak lagi berujud bendera atau doktrin, tapi secara sistematis telah menjadi ancaman genetis. Tentu saja makna warna kuning untuk konteks politik di Indonesia sudah sangat menunggal – terutama tahun-tahun terakhir menjelang kejatuhan tiran orde baru, Soeharto – yakni Golkar. Di samping karya itu, ada juga karya Forgotten Yellow Sperm, yang melakukan perlawanan atas “kultur kuning” dengan cara yang eufemistik. Judul yang seolah melupakan itu justru dihasratkan sepenuhnya untuk mengingat dengan kuat subyek yang harus dilawan. Dalam visualisasi terlihat bagaimana warna kuning tertoreh di kening kepala sesosok wajah. Yah, kening dimana di balik itu bersemayam otak sebagai “sarang” saraf untuk membuka ingatan. “Sabda” sastrawan Milan Kundera, yakni “perjuangan melawan kekuasaan adalah perjuangan melawan lupa”, tampaknya sangat tepat untuk membingkai hasrat Entang ini. Tema keempat, Hurting Landscape atau kurang lebih Pemandangan Luka. Ini tampak pada karya-karya yang dibuat mulai tahun 2001, mungkin hingga sekarang. Dalam periode ini, Entang mempertanyakan secara filosofis ulang-alik relasi antara interioritas dan eksterioritas: dapatkan ekterior menjadi representasi atas kenyataan interior, atau sebaliknya, benarkah asumsi bahwa interior sepenuhnya merupakan reduplikasi atas kenyataan eksterior? Ini bisa diderivasikan dengan pertanyaan lain, yakni apakah antara individu dan komunitasnya berkait cukup erat dan integral satu
sama lain? Pertanyaan ini menyeruak dalam dasar batinnya karena telah menyaksikan banyaknya ironi sekaligus jurang kesenjangan dalam relasi interior-ekterior tersebut. Misalnya, bagaimana Amerika Serikat, sebuah negeri yang telah menjadi ikon kebebasan justru memberangus kreativitas seniman. Atau teriakan anti-terorisme presiden Bush Jr digemakan tetapi diikuti oleh aksi-aksi polisional yang meneror banyak orang di berbagai negara. Itulah ironi. Begitulah salah satu “luka” yang banyak dipaparkannya dalam karya. Lukisan Portrait in the Gold Rain (2003) tentu saja tak bisa dilupakan pada periode ini. Karya tersebut menjadi pangkal dari kegagalannya untuk berpameran di Rhode Island Foundation Gallery AS pada Januari 2003, karena diklaim oleh pengelola yayasan itu sebagai illegal. Sebuah alasan yang dianggap Entang sangat tidak masuk akal. Karya itu menggambarkan sesosok manusia yang tengah berjongkok sambil berteriak di atas bola putih berselimut warna merah. Mungkin hal ini dianggap vulgar dan membawa interpretasi seksual. Tentu masalahnya, bagi Entang sebagai kreator, adalah hegemoniknya “kuasa makna” yang dipraktikkan oleh pihak galeri dengan berlandaskan pada standar sosial, bukan standar estetik. Dan kenyataan ini sangat ironis karena terjadi di Amerika Serikat, sebuah negara yang menjadi embah-nya demokrasi, juga sebagai salah satu kekuatan seni rupa dunia. *** PADA perhelatan pameran tunggalnya kali ini Entang mencoba masuk dalam kerangka tema besar baru, atau setidaknya masih hilir-mudik merunuti tema lama dengan berupaya memberi gagasan baru. Secara khusus Entang belum memberi “testimoni” untuk mengguratkan “garis batas” pada kerangka tema besar yang tengah digelutinya sekarang. Saya kira ini sekadar persoalan formalitas: perlu tetapi tidak menjadi hal yang paling penting. Namun dari beragam cecitraan atas karya yang ditampilkannya, pengharapan besar terhadap munculnya beragam kebaruan pantas dilayangkan. Cecitraan itu menjadi implementasi dari buah kegelisahannya tentang persoalan sosial kultural yang melingkupi, dari yang personal hingga dalam lingkar komunal, bahkan universal. Persoalan personal tentu saja berangkat dari pengalaman pribadinya yang beristrikan Christine Cocca, wanita Amerika Serikat keturunan Italia yang telah dinikahi beberapa tahun lalu dan membuahkan dua orang anak yang lucu. Perkawinan antarbangsa ini membawa tanggung jawab dengan “mengharuskan” Entang untuk mengunjungi keluarga istrinya secara rutin tiap tahun ke negeri Paman Sam yang dalam lingkup kecil memberi “perbenturan” sosial-kultural tertentu. Adaptasi terhadap lingkungan baru berikut istiadat yang jauh berbeda, misalnya – meski hal ini bisa dengan gampang diatasi – memberinya jendela kecil bagi pemahaman tentang makna perbedaan. Pengalamannya dalam ulang-alik dari dua negeri yang berbeda secara kultural – termasuk residensi dan pameran di Eropa – juga tatkala menghadapi anak-anaknya yang merupakan buah dari percampuran ras, betul-betul menjadi pengalaman batin yang begitu mengendap dalam memaknai kebudayaan, identitas, hibriditas dan globalisasi. Pada titik inilah saya kira, Entang kemudian sedikit banyak mampu menciptakan bayangan konstruksi identitas tertentu lewat simbol-simbol dan citra-citra dengan kategori yang mencoba melampaui identitas asalinya yang terdahulu. Modal budaya yang secara bawah sadar sebelumnya telah dimiliki kemudian bertemu budaya lain dalam konteks baru berikut lapangan interaksi dan mediasi untuk menciptakan “identitas” yang khusus dan berbeda. Inilah yang memberangkatkan karya-karyanya dalam situasi yang tidak stabil. Selalu berupaya untuk berubah, menciptakan perubahan, yang didorong oleh keinginan dari dalam dan dirangsang sepenuhnya oleh kondisi dari luar. Ketidakstabilan inilah yang menciptakan dinamika. Kalau perspektif perbincangan ini dimasukkan pada konteks kebudayaan dalam arti yang lebih luas, Homi Bhabha (1994) menengarai bahwa ketidakstabilan dalam bentuk ekspresi kebudayaan memaksa kita untuk tidak memikirkan kebudayaan dan identitas sebagai entitas yang bersifat tetap dan rigid, melainkan selalu berusaha berubah untuk menemui kebaruan. Keadaan ini menemukan ruang percakapan yang lebih kompleks ketika dihadapkan pada globalisasi yang secara
memadai membentuk kebudayaan dan identitas dengan berbagai derivatnya yang terus beranakpinak. Dalam globalisasi ini nyaris semua manusia seperti disediakan tempat yang begitu lapang untuk mengkonstruksi identitas, juga pertukaran citra-citra, simbol-simbol dan pergerakan antarlokasi yang kian gampang, yang dikombinasikan dengan perkembangan teknologi komunikasi, sehingga memungkinkan percampuran dan pertemuan kebudayaan juga semakin mudah terjadi. Maka, gagasan tentang ketakstabilan kebudayaan dan identitas dalam arus globalisasi ini membawa manusia ke dalam pemahaman bahwa kebudayaan dan identitas selalu merupakan pertemuan dan percampuran yang kemapanan batas-batasnya dikaburkan dan dibuat tidak stabil oleh hibridasi tersebut. Sampai pada tahap ini menjadi menarik untuk membincangkan ihwal kecenderungan kreolisasi – seperti yang terjadi di beberapa negara di Amerika Latin – dimana elemen-elemen kebudayaan lain diserap, tetapi dipraktekkan dengan tidak mempertimbangkan kondisi aslinya. Konsep kreolisasi ini sekaligus memberi cara berpikir alternatif yang berbeda dengan konsep imperialisme kultural seperti yang diutarakan oleh Tomlinson (1991), yang menganggap bahwa budaya Barat telah berhasil melakukan dominasinya atas budaya Timur dengan menciptakan “kesadaran palsu” lewat budaya massa, benda-benda konsumen dan sebagainya. Realitas ini menyeruakkan indikasi bahwa konsumen (kebudayaan) tidak dalam keadaan hampa reaksi, melainkan aktif menciptakan makna-makna baru bagi benda-benda dan simbol-simbol yang mereka dikonsumsi. Di sinilah kemudian Homi Bhabha (1994) merekomendasikan konsep mimikri sebagai strategi dalam menghadapi praktik dominasi budaya. Mimikri ini digambarkannya sebagai proses peniruan atau peminjaman berbagai elemen kebudayaan (yang dominatif) dengan sekaligus menolak ketergantungan atas kebudayaan yang dominan itu. Dalam praktiknya, mimikri dilakukan dengan melakukan pengimitasian sembari bermain ambivalensi di dalamnya. Maka, mimikri selalu mengindikasikan makna yang “tidak tepat” dan “salah tempat” karena melakukan imitasi sekaligus subversi. Dengan demikian, mimikri menjadi strategi kebudayaan yang memungkinkan adanya proses transformasi budaya luar untuk memberi pengayaan atas budaya lokal. Oleh karenanya, dalam kaitannya dengan wacana globalisasi inilah – seperti dipetakan oleh Pieterse (1995) – kebudayaan dan identitas kini telah bersifat translokal. Artinya kebudayaan tidak lagi mencukupi apabila dipahami secara sempit sebagai terminologi tempat – karena dia akan jadi kurungan, melainkan akan lebih ideal jika dikonseptualisasikan dalam terminologi perjalanan. Pada kerangka konsep seperti ini maka budaya dan manusia sebagai pelaku di dalamnya, selalu dalam perjalanan dari satu tempat ke tempat lain. Kebudayaan dan identitas yang terbentuk, dengan demikian merupakan sebuah proses yang terus berjalan melakoni dinamikanya. Lebih lanjut dikatakan Pieterse bahwa orang dapat membedakan antara pandangan tentang kebudayaan sebagai sesuatu yang terbatas, terikat pada tempat dan berorientasi ke dalam, dan pandangan yang melihat kebudayaan sebagai proses belajar translokal yang berorientasi ke luar. Ini seiring dengan gagasan Clifford (1992) yang meyakini bahwa percepatan globalisasi menempatkan persinggungan kebudayaan yang juga cepat, sehingga kebudayaan diposisikan sebagai sites of criss-crossing travellers. Pada aras yang demikian, maka arus budaya global juga berpotensi menaburkan metafor ketidakpastian, ketidakmenentuan dan kekacauan menggantikan metafor kemapanan, stabilitas, dan sistematis. Ien Ang (1996) mencacat bahwa globalisasi dan arus budaya global tidak dapat dipahami lewat serangkaian determinasi linear yang tersusun rapi namun justru dipahami sebagai serangkaian kondisi yang tumpang-tindih, ruwet, kompleks dan bahkan kacau-balau, yang menyatu dalam satu titik simpul. Overdeterminisme yang tidak dapat diperkirakan dan rumit disebut oleh Ang sebagai “tidak mengarah kepada penciptaan desa global yang tertata rapi, melainkan mengarah kepada keanekaragaman titik konflik, antagonisme, dan kontradiksi”. Tesis Ang ini menentang gagasan umum yang berkembang bahwa globalisasi adalah proses homogenisasi (penyeragaman) budaya. ***
TESIS Ien Ang (tentu juga serangkaian telaah teoritik ihwal kebudayaan) di atas saya kira dapat diderivasikan lebih jauh dan menukik untuk melakukan upaya pembacaan atas serangkaian karya-karya visual Entang Wiharso kali ini. Karena – kalau melakukan pelacakan secara terbalik – Entang sendiri juga melakukan prosesi penciptaan atas karya-karyanya ini sebagai usaha pembacaan terhadap kecenderungan sosial-kultural yang melingkupi diri dan lingkungannya seperti disinggung pada bagian depan catatan ini. Konflik, kontradiksi, antagonisme dan lainnya yang tidak sedikit ditemui dalam pengalaman pribadi dan realitas sosial yang melingkunginya, seperti menjadi lautan inspirasi yang melimpah bagi proses kreatif Entang. Kemudian, dirinya yang sesekali berkelebat terbang ke Amerika atau Eropa sebagai makhluk kosmopolitan, menemui dan mengalami perbenturan sosial-kultural baik secara laten maupun manifes – mulai dari istiadat hingga jaring-jaring birokrasi, administrasi hingga ke politik tubuh yang rasis. Semua kenyataan itu – yang berkait dengan ihwal kultur, identitas, hibriditas dan semacamnya – dirasakan Entang sebagai letusan-letusan persoalan yang terjadi dalam sebuah ruang-ruang sosial yang sesungguhnya integral satu sama lain. Satu hal dan lainnya yang sebetulnya satu tubuh tetapi menyatu dalam kontradiksi, berpeluk erat dalam langgam yang ironik. Inilah yang melahirkan gagasan kuratorial Inter-Eruption, yang mencoba menelisik letusan atau letupan konflik saling berbalas dalam satu ruang dan waktu. Kondisi ini berupaya memetakan sebuah wajah personal yang bisa menjadi cermin wajah sosial. Sekaligus sebaliknya, berupaya melacak kondisi wajah-wajah sosial atau wajah kultural yang termanifestasikan dalam cermin wajah-wajah personal. Dan saya kira, dalam pameran tunggal kali ini Entang mengeluarkan banyak artifak pengalaman batin-pribadinya, jejak-jejak wajah personalnya, yang penuh letusan kontradiksi di dalamnya, yang mencoba merangkai “identitas” baru pada perbenturan penuh ironi di dalamnya. Ada situasi konflik yang sengaja dipertarungkan. Ada kondisi kontradiktif yang sengaja dipertaruhkan dalam satu ruang mediasi. Gagasan dan pemikiran yang terimplementasikan pada hampir semua karya Entang ini mencoba memberi titik persuasi sekaligus “teror” bagi publik untuk menjadikannya cermin dalam membaca beragam tanda, entah tanda zaman, tanda kultural, tanda sosial, tanda kuatnya kontradiksi, tanda berseminya buah percampuran, dan lainnya. Semuanya terdedahkan penuh dalam sekujur ruang: pada lukisan-lukisan yang menempel di dinding yang dingin, pada beragam instalasi yang menyergap mata, menyergap ruang. Sweet Terrorism, merupakan salah sebuah karya instalasi yang memperlihatkan patung dua sosok manusia yang seperti laiknya tengah melakukan wirid (merapal doa berulang-ulang). Mereka duduk tepekur dalam posisi saling berhadapan. Saling beradu doa. Dan mereka dihubungkan oleh tasbih panjang yang menjuntai di antara keduanya. Sosok-sosok itu seperti menemukan ruang spiritualitasnya dalam ketinggian di atas tiang pancang. Memang, Entang memberi pilar yang tinggi serupa menara yang menjadikan dua sosok ini melambung tinggi posisinya. Di sinilah, kontradiksi dimainkan oleh Entang. Apakah mereka betul menemukan ruang spiritualitasnya, atau justru disubversi pemahamannya menjadi seolah-olah merupakan sosok-sosok yang merawat ekslusivitas nilai-nilai keberagamaan? Apakah dengan demikian ritus agama memang sebatas praktik selebrasi yang mengenyahkan begitu saja nilai-nilai substansial dari agama itu sendiri? Apakah agama tidak lagi hadir dalam ruang-ruang yang inklusif di tengah-tengah kita? Apakah praktik beragama bisa gampang berbaur erat dengan mempraktikkan doktrin politik-agama? Entang, lewat karya ini, seperti mengingatkan betapa agama bisa dengan mudah dikoyak-koyak untuk membuat identifikasi yang sempit dan sesat. Misalnya, Islam adalah Timur, dan identitas itu diperhadapkan secara konfrontatif dengan Nasrani yang diidentikkan sebagai Barat. Begitu seterusnya. Karya serupa, atau yang membincangkan secara kuat perihal identitas, juga ihwal kontradiksi banyak bertebaran pada karya-karya Entang. Misalnya, beberapa instalasi yang melibatkan sosok patung manusia, disengajakan untuk tampil menggantung. Mengambang. Seolah perupa ini tengah mempersuasi sekali lagi terhadap apresian bahwa problem identitas yang mengambang, in between, semakin banyak terjumpai pada berbagai komunitas, pada berbagai persoalan, disiplin, dan dalam ranah yang bertingkat-tingkat hingga kompleks persoalannya. Tetapi
pada dimensi penilaian yang berseberangan, justru dalam situasi yang mengambang itulah kesejatian identitas (kultural, komunal, personal) banyak ditemukan. Justru dalam hibriditas yang “tak jelas” identitas itu terjelaskan. Begitu juga untuk karya-karya lukis yang semuanya nyaris bergerak dalam satu ritme tema. Misalnya serial sosok manusia berkepala gundul yang arah hadapnya membelakangi apresian. Figurnya yang anonim, ada yang tengah membopong tokoh Bart Simpson, membopong bedil, atau membopong ikan besar. Ada juga lukisan Mermaid yang begitu besar dengan menyuguhkan visualitas yang segar. Saya tidak akan berupaya menunggalkan pemaknaan atas karya-karya tersebut dengan menjelas(-jelas)kan dalam tulisan pengantar ini. Biarkanlah, Anda sidang pembaca yang akan menciptakan identitas sendiri lewat politik pemaknaan tertentu yang akan Anda pilih. Kuss Indarto, kurator independen. Bisa disapa di kaprioke@yahoo.com (Tulisan ini telah dimuat untuk katalog pengantar kuratorial pameran tunggal Entang Wiharso, Inter-Eruption di Bentara Budaya Jakarta 8-18 April 2005 dan dikelilingkan di Emitan Fine Art Gallery Surabaya September 2005)
Inter-Eruption: Conflicts being Fought, Contradictions Put at Stake By Kuss Indarto Saying that Entang Wiharso’s visual art is not stable, let alone stagnant, is perhaps not an exaggeration. He has his own ‘habit’ and frame of mind consistently oriented to instilling creativity that shakes the stability of his past works and leads to new, more dynamic works: more progressive ones with more novelty. He ‘shakes’ the stability of his own works while maintaining the consistency of ideas rather than forms. To some extent, he and his work seem to develop what Deleuze and Guattari (1986) call ‘schizophrenic signs’ of a nomad, i.e. some sign-flow endlessly running, moving, changing (places), and shifting (territories). He incessantly shifts his positions from one to another system of signs. He seems to be celebrating the process of shifting itself rather than sticking to a single sign, signification, image, identity, conviction, and even – perhaps – ideology. A determination to be may then be less important than being in an interminable process of becoming. The painting, sculpture, installation as well as performance art he ever made – so that they now have the status as artifacts – provide the starting points for his next and new works. This is not, indeed, a remark on a linear creative process with all its structural dividers and systems of mechanistic practices; instead, this is the longitudinal section of Entang’s creative pursuit during the last seven to eight years. His process and career as an artist has been running for seventeen years beginning from his first year as a student at the Faculty of Visual Art of the ISI Institute for the Arts in Yogyakarta. The maneuver of his works to escape from a stalemate is an attempt at preventing involution, namely being seemingly dynamic yet what really prevails is but a stationary situation.
To fight off deadlock, Entang invents themes and mainframes that draw together the inclinations of his works in certain periods, with thought-out creative intention and signification tendencies. *** The main themes he’s been working on, I think, provide a framework of thinking that tries to “tame the inner-world” of feelings, instincts, sensations and intuitions. One may also see it as a venture to manage and rationalize “ideas”, and this is a rarity among some “romantic” Indonesian artists who regard ideas as something given, necessarily and immediately coming down from the sky. The first theme is The New God Series that surfaced in the 1998-2000 period. Entang’s numerous works in this period offer images of an idolized worshipped by the global society and affected by consumerism. The age of imagology – as postmodernists like Jean Baudrillard term it – when image becomes an ideology, propagating lots of offers via various media. And alas! as Entang remarks in his publication of NusaAmuk (2001), “we are powerless to escape from images that become our new gods.” Hence his Bart Simpson in the Surgery Room (1999), among others, emerged. Simpson the comic/cartoon/animation character gets visualized as a figure about to be born out of a Caesarean section by a “family” having a pluralistic identity. He is not to be born to the couple of Maggy and Homer Simpson as is in Matt Groening’s original version of The Simpson’s. This work reveals quite clearly Entang’s deep concern of how the public are enslaved by consumerism and controlled by new idols through “the power of the media” that has been penetrating increasingly deeper. His second theme is Melting Soul, comprising his works of the 1999-2001's period. In his works on this theme Entang attempts at examining and exploring “the decay of human’s spirit”. He questions “Why people adopt activities, ideas and beliefs alien to them into their experience and emotion...” It is apparent how he is uneasy about the melting of personality in the confinement of communality. Human personalities are often rendered “powerless” amid the ambience of collectivism impacting forcefully through systemized “norms”. That is why his works of Melting Pot series seem to represent the process of mental shifts, the upheavals in conscience, where individual personalities are battered by unavoidable cultural, political, social, economic, religious, and other tensions. His installation Membebek (2000-2001) is, I think, one of the important icons for this big theme. It shows a number of bald-headed men uniform shirts, jackets and ties but they all have no trousers on. Their faces are empty and smiles no longer natural. They are interconnected by wires. I think here Entang is offering a satire of dehumanization concerning contemporary people. He supposes humans have turned to some robotic beings continuously reproducing themselves and live in a monolithic system. Another work, a painting entitled Kepala-kepala yang Hilang (2000), depicts the irony of a strong culture of rationality on one hand and the increased power of irrationality on the other, as manifest in the fertile culture of reproduction-repetition. A similar impression prevails in Cultural Burden (1999). Entang’s third theme is Community Storage that emerges in his works made in 2000-2001. This theme finds its source in people’s daily life that he encounters in Yogyakarta and he did in Rhode Island during his visit there: so many people “consume” used goods and objects that they make out of them a sort of community of used-goods consumers. Of course, Entang doesn’t necessarily offer this theme verbally. Instead, he makes out of it a thematic framework that goes beyond the mere physical reality. To him, used goods keep various memories. Their presence can be a medium in featuring the past once again. This is the key phrase. Now, in Indonesian sociopolitical context there is the collective memory he wants to feature on and on as a therapy for the past in order to construct the future. There is the work, Yellow Sperm, which clearly reflects alertness regarding “yellow culture” in the country. Yellow no longer appears as the color of the flag or doctrine (of a once predominating political party) but has systematically turned to a genetic threat. In the Indonesian
political context – particularly in the years preceding the fall of Soeharto’s tyrannical New Order regime – yellow has the single signification that is Golkar party. In addition to it is Forgotten Yellow Sperm, which euphemistically resist the “yellow culture”. The title that seemingly suggests forgetfulness is actually intended to recall vividly what has to be resisted. In the visualization, it is represented how the yellow color marks someone’s forehead. Yes, the forehead behind which abides the brain, the “nest” of nerves to uncover memories. Milan Kundera’s phrase, implying that the struggle against power is one against forgetting, is somewhat a most suitable motto to be associated with Entang’s intention. The fourth theme is Hurting Landscape. This surfaces in the works of year 2001 onward, probably up to this time. In this period Entang philosophically questions the reciprocal relationships between interiority and exteriority: can the exterior be the representation of the interior, or, on the contrary, is the assumption of the interior being completely the reduplication of the exterior true? This can be formulated alternatively, i.e., is there any close and integral relationship between an individual and its community? This question bothers his mind as he has seen a lot of irony and incongruity in the interiority-exteriority relationship. For example, the US, a country that has become the icon of liberty, represses artist’s creativity. Or else, President Bush junior’s loud appeals against terrorism are followed by policing actions terrorizing many people in many countries of the world. This is an irony. Such is one among the painful wounds that he often depicts in his works. The painting Portrait in the Gold Rain (2003) must not be forgotten among his other works in this period. This particular work is responsible for his failure to make an exhibition at the Rhode Island Foundation Gallery, USA, in January 2003 as the Gallery management claimed it to be illegal, a pretext Entang found very unreasonable. This work features a human figure squatting and yelling above a white ball covered in red. Perhaps the management had found it vulgar and having the inclination to sexual interpretations. To Entang the creative artist, the point was, and is, the hegemony of “the authority of meanings” practiced by the Gallery management on the basis of social instead of esthetical/artistic standards. And this was highly ironical as it happened in America, the “father land” of democracy while being among the major proponent of the world’s art. *** In this current solo exhibition of his, Entang introduces another big theme or, at least, he tries to infuse new ideas to his existent themes revisited. Specifically, Entang does not as yet make any “testimony” that can provide borderlines to define the thematic framework for what he currently works on. I think this is only a question of formality; it is not the heart of the matter. Anyway, judged from the various images in his works so far, one may expect from him a whole range of novelty. These images provide the embodiments of his concerns for socio-cultural problems encircling him, ranging from personal through communal and even universal realms. The personal begins with his experience in his marital life with Christine Cocca, an American lady of Italian lineage he married some years ago, who has given him two cute kids. This international marriage brings Entang the annual responsibility to visit his wife’s family regularly; in a narrow scope, this implies certain socio-cultural “clashes”. For example, adapting himself to a new environment with its very different custom – though it was quite easy for him to go through – has given him an open little window to learn the meaning of differences. His travels to and fro culturally different countries – including his residency and exhibitions in Europe – also when he is together with his children, the progeny of mixed parents, give him an experience that goes deep into his mind and affects his sense of culture, identity, hybridism and globalization. In my opinion, it is at this point that Entang has a capacity to figure out a certain construct of identity through symbols and images that categorically tend to go beyond his original, or previous, identity. His cultural capital that has been with him, subconsciously, then meets with a different culture in a new context with its field of interaction and mediation to generate a specific and distinct
“identity”. This is the base for the unstable situation of his works. Always trying to change, to make changes, motivated by some internal intention and induced by external conditions. It is precisely the instability that produces the dynamic quality. If this discussion is brought into the context of culture in its wider sense, there is Homi Bhabha (1994) who remarks that the instability of cultural expressions forces us to consider culture and identity not as a fixed and rigid entity but, rather, consistently trying to change for newness. Discussions on this get more complex in the face of globalization that shapes cultures and identities with their various derivatives incessantly proliferating. In this globalization, it seems that most human beings are provided with a space so wide for each to construct identity, exchange images and symbols; with moving from one place to another getting increasingly easier, coupled with the ever progressive development in communication technologies, the mixing and encounters of cultures are also more likely to happen. Hence the notion of the instability of culture and identity in globalizing currents leads to the perception that culture and identity always mean encounter and mixture in which established borderlines are blurred and made unstable by hybridization. At this point it is interesting to discuss the trend of "creolization" – as it happens in some of the Latin American countries – in which elements of other cultures are absorbed but their implementation disregards their original conditions. The concept of “creolization” offers at the same time an alternative way of thinking rather than Tomlinson’s (1991) concept of cultural imperialism. Tomlinson says that the Western culture has succeeded in dominating the East by creating an “artificial awareness” through the mass culture, consumer goods, and so on. Yet in reality there are indications that the consumers (of culture) are not in the state of “reactionvacuum”; rather, they actively create new meanings for objects and symbols that they consume. Regarding this, Homi Bhabha (1994) recommends the concept of mimicry as a strategy in facing the practices of cultural domination. Bhabha describes mimicry as imitating and borrowing various elements of a (predominating) culture while at the same time refusing dependency on the domineering culture. In practice, mimicry is conducted by imitating while playing the game of ambivalence in doing the imitation. It follows that mimicry always implies “incorrect” and “misplaced” signification; imitating is also subverting at the same time. As it is, mimicry provides a cultural strategy that enables the transformation of an external culture to enrich a local one. Therefore, in connection with the discourse of globalization – as Pieterse (1995) has mapped it – culture and identity have now become translocal in nature. It means that it doesn’t suffice now to take culture narrowly as a kind of “place” – then it can easily turn to the image of a cage – but, rather, it shall be closer to ideal if we conceptualize it in terms of travel. When this is the case, culture and humans as agents in it are always in the move from one point to another. Seen that way, current culture and identity is an on-going process, moving on living out its dynamism. Pieterse further remarks that one can distinguish two views of culture: the first regards culture as something limited, bonded to location and inward-oriented; and the second one sees culture as a translocal learning process that is outward-oriented. This is in line with Clifford (1992) who believes that the accelerating globalization also speeds up intercultural contacts so that culture is positioned as “the sites of crisscrossing travellers”. On this level, the current of global culture is also potential to sow the metaphors of uncertainty, indecisiveness and chaos that replace those of establishment, stability, and systematization. Ien Ang (1996) notes that globalization and the current of global culture are incomprehensible in terms of a series of linear determinations orderly arranged but, instead, in terms of a series of overlapping complex, complicated and even chaotic conditions that merge to make one single knot. Ang remarks on an over-determinism that is unpredictable and complicated as “not leading to the creation of an orderly global village, but to various points of conflicts, antagonism, and contradictions.” Ang’s thesis challenges the more common idea of globalization as the homogenizing process of culture. ***
I think Ien Ang’s thesis (and of course a whole series of theoretical accounts on culture) can be used further in dealing with and interpreting Entang Wiharso’s visual works currently exhibited. This is because, in turn, his creative process that has led to the production of these works represents his attempt to interpret the socio-cultural phenomena that encircle him and his environments as stated previously in this writing. Conflicts, contradictions, antagonism, and others, which he often meets in his personal experience and in the social reality surrounding him, seem to provide him with an ocean of inspirations for the creative process. Then, Entang will every now and then be flying to America or Europe as a cosmopolitan person, to meet and go through socio-cultural clashes – both latent and manifest – involving from habits, customs, bureaucratic webs, administrative matters, and through racist politics of the body. To Entang, the entire phenomena – which are related to issues of culture, identity, hybridism and the like – are like the eruptions of problems taking place in social spaces that are actually integral to each other. One thing and another actually belong to one and the same body, yet they are tied to each other by contradiction, hugging each other closely in some ironical manner. It is this that leads to the curatorial concept of Inter-Eruption, trying to trace and explore the explosions or eruptions of reciprocal conflicts in one single space-and-time. As it is, the curatorial mindset is characterized by the attempt to chart a personal complexion that can mirror a social countenance. Reversely, it is characterized by the attempt to trace social or cultural complexions manifesting themselves as personal faces in the mirror. And as I see it, in his solo exhibition Entang uncovers a lot of artifacts of his personal experience, the traces of his personal face full of erupting contradictions – the personal face of someone trying to develop a new “identity” upon ironical clashes within. There is a conflict situation by intention. There is a contradictory condition intentionally staked in a mediating space. The ideas implemented in most of Entang’s works seem to persuade and at the same time terrorize the viewers to take these works as mirroring various signs. They could be signs of the time; they could be cultural or social signs, or, the signs of intense contradictions; they could be the signs that the progeny of a mixture are blooming, and so on. All of them are exposed in full: in paintings clasping the cold walls, in various installations that are eye-catching, space-catching. Sweet Terrorism is an installation featuring two human figures as if in the middle of performing wirid (the repetitious saying of a formulaic prayer). Both are seated solemnly, face to face. A praying contest. They are connected to each other by a long string of prayer beads hanging loose between them. These figures seem to find their spiritual space high upon the pillars. Indeed, Entang gives high pillars resembling a minaret to send the two human figures soaring very high. It is precisely here that Entang plays with contradictions. Do they really acquire their spiritual space? Or, is this subversion that renders the two figures as persons solemnly maintaining the exclusivity of religious values? Then, do religious rituals merely imply the practices of celebration that simply eliminate the substantial values of religion itself? Is religion no longer present in inclusive spaces among us? Do religious practices easily merge with implementing the doctrines known to the politics of religion? Through this work Entang seems to remind how religion may easily be torn and slit to make narrow and misled identifications out of it. For example, Islam is “East”, and this identity is to be confronted against Christianity that is taken as identical with “West”. And so on and so forth. Such works, or ones that profoundly deal with the issues of identity and contradiction, are abound in the corpus of Entang’s work. For example, some of his installations that involve sculptural human figures are intentionally made to appear as dangling, floating. By it, the artist seems to be persuading the viewers to sense how the problem of floating, “in-between” identity is increasingly encountered in various communities currently, in various issues, disciplines, and multileveled realms to complicate the matter. But from the opposite point of evaluation, it is precisely in such floating condition that genuine identity (cultural, communal, and personal ones) is often found. It is in an “unclear” hybridism that identity gets clarification. Similar remarks may go to the paintings that mostly move to a single thematic rhythm. Take for instance the series of bald-headed figures turning away from viewers. Their anonymity, one of
them is carrying Bart Simpson, another one a gun, or else big fish. And there is also a huge mermaid offering fresh visualization. I have no intention to delineate one single signification for these individual works by offering pretentious explanations in this introduction. It’s up to you to conceive your own identity, pursuing certain politics of signification you choose on your own. [English translation by Landung Simatupang] Kuss Indarto, and independent curator. E-mail address: kaprioke@yahoo.com