ARTIKEL PENELITIAN DOSEN MUDA
MENGIDENTIFIKASI PERMASALAHAN, STRATEGI, DAN AKURASI DALAM PENERJEMAHAN TEKS BERBAHASA INGGRIS KE DALAM BAHASA INDONESIA
Oleh: 1. ZULPRIANTO, S.S, M.A (KETUA) 2. Drs. PARUHUMAN NASUTION (ANGGOTA) 3. ULIL AMRI (ANGGOTA)
Pembimbing: Dr. MUHAMMAD YUSDI, M.Hum
JURUSAN SASTRA INGGRIS FAKULTAS SASTRA UNIVERSITAS ANDALAS TAHUN 2010
Dibiayai Oleh Dana DIPA Universitas Andalas Tahun Anggaran 2010 Sesuai dengan Surat Perjanjian Pelaksanaan Penelitian Nomor: 007/H.16/PL/DM-DIPA/III/2010, Tanggal 18 Maret 2010
0
MENGIDENTIFIKASI PERMASALAHAN, STRATEGI, DAN AKURASI PENERJEMAHAN TEKS BERBAHASA INGGRIS KE DALAM BAHASA INDONESIA Abstract The main points discussed in this research are the accuracy, problems encountered, and techniques applied by the respondents, a number of English Department Students of Andalas University, when translating from English into Indonesian. There were twelve respondents chosen with particular consideration. The respondents were then asked to translate a similar English text which is approximately 500 words in length into Indonesian. Therefore, there were twelve comparable texts collected. During the translation process, they were given a plenty of time (a couple of days) and were also allowed to use any kinds of translation tools. The results of the analysis show that the respondents tended to apply literal methods or strategies in their translation especially in terms of word order or syntactical constructions, to be more general. These tendencies in general do not necessarily produce inadequate translations, but to some degree, it may produce less natural target text. Also, they made some considerable mistakes in choosing the appropriate equivalence for the words of the source text. The mistakes they made ended them up with producing incorrect translations. The inputs obtained from this research are worth noting in the effort to improve the translation learning and teaching process particularly at the department and to enrich insight generally in the field of translation studies. Kata Kunci: Strategi Penerjemahan, Metode Penerjemahan, Permasalahan Penerjemahan, Akurasi Penerjemahan.
I. Pendahuluan Bagi mahasiswa Prodi Bahasa & Sastra Inggris Unand, menjadi bilingual, terlepas dari debat atau polemik tentang apakah mungkin bagi mereka menjadi bilingual atau tidak, merupakan salah satu tujuan yang diharapkan. Kemampuan dan mutu kebilingualan mahasiswa dapat diukur, salah satunya, dari kemampuan mereka melakukan penerjemahan yang melibatkan kedua bahasa tersebut. Penerjemahan dijadikan sebagai ukuran dimungkinkan karena kegiatan penerjemahan pada dasarnya membutuhkan kompetensi yang idealnya seimbang dalam bahasa-bahasa yang terlibat (Kaur, 2005:2; Muhammad, 1979:12; Muhammad, 1987:1-2; Riazi, 2003:1). Kompetensi yang dimaksud tidak hanya dilihat dari sisi linguistiknya, tetapi juga dari sisi ekstra-linguistiknya yakni sosio-kulturalnya sebab permasalahan penerjemahan pada intinya berawal dari perbedaan bahasa dan budaya dimana pada saat yang sama kedua entitas ini bertalian erat. Untungnya pada Prodi Bahasa dan Sastra Inggris Unand, para mahasiswa biasanya juga diajarkan berbagai teori linguistik mikro, makro, dan juga pengetahuan ekstra linguistik lain yang mendukung terbentuknya kompetensi tersebut. Pengetahuan linguistik dan budaya tentang bahasa dan penutur bahasa inggris yang mereka peroleh pada gilirannya sangat membantu kemampuan mereka menerjemah. Urgensi lain dari identifikasi kemampuan menerjemah ini, disamping mengukur kompetensi mahasiswa dalam bahasa inggris, adalah fakta bahwa sejumlah alumni bahasa dan sastra inggris yang terjun menjadi penerjemah (yang lain sebagai pengajar) freelance sampai mereka menemukan pekerjaan tetap/yang mereka inginkan. Dengan keahlian menerjemahkan tersebut para alumni tersebut bisa melewati ‘masa tunggu’ yang biasanya masa kritis dan stressful bagi sebagian alumni karena peralihan status dari mahasiswa ke pencari kerja (job seeker). Kaitannya dengan pekerjaan menerjemah adalah meskipun hanya sebagai freelance atau part time translator, mahasiswa fresh 1
graduates yg bersangkutan bisa berkarya dalam masa tunggu ini yang mungkin bisa mencegahnya dari kondisi kontraproduktif. Bahkan dalam beberapa kasus ada alumni yang tetap berprofesi sebagai penerjemah, utama atau sambilan, meskipun sudah mendapatkan pekerjaan tetap. Ada sejumlah bidang dalam kegiatan penerjemahan yang bisa dijadikan bahan kajian diantaranya adalah analisa bahasa sumber (source text analysis), perbandingan bahasa sumber dan bahasa target (comparison of translations and non-translated text), terjemahan berikut komentar (translation with commentary), dan sebagainya (Williams & Chesterman, 2002: 6-8). Penelitian ini secara khusus memfokuskan perhatian pada perbandingan bahasa sumber dan bahasa target (comparison of translations and non-translated text) yang pada dasarnya berusaha menentukan perbedaan-perbedaan yang terdapat dalam hasil terjemahan yang paralel (parallel text atau comparable text). Dari berbagai teks paralel yang nantinya diperoleh dari responden, akan dapat ditemukan ‘invariant core’ yaitu sejenis bentuk terjemahan yang stabil (stable), dasar (basic), dan elemen semantik yang konstan (constant semantic elements). Singkatnya, ‘invariant core’ tersebut adalah kesamaan-kesamaan yang teridentifikasi dari setiap teks paralel yang ada. Hal ini terkait dengan fakta bahwa setiap penerjemah memiliki subjektifitas atas karya terjemahannya. Sepuluh orang, jika diminta menerjemahkan teks yang sama, akan menghasilkan sepuluh terjemahan yang sama atau berbeda dalam beberapa hal. Persamaan-persamaan hasil terjemahan tersebutlah yang disebut sebagai ‘invariant core’. Hal tersebut dijelaskan dalam Bassnett-Mcguire (1980: 26-27): ‘It is an established fact in Translation Studies that if a dozen translator tackle the same poem, they will produce a dozen different versions. And yet somewhere … what Popovic calls the ‘invariant core’ of the original poem. This invariant core, he claims, is represented by stable, basic, and constant semantic elements in the text, whose existence can be proved by experimental semantic condensation.’ Penelitian ini secara khusus bertujuan untuk mengidentifikasi (research questions) tiga hal: (1) permasalahan penerjemahan (subjektif) yang dihadapi responden (dalam hal ini mahasiswa Prodi Bahasa dan Sastra Inggris Universitas Andalas), (2) Teknik penerjemahan yang diaplikasikan para responden dan (3) akurasi hasil terjemahan para responden. Hasil identifikasi ketiga hal di atas akan digunakan, khususnya, sebagai perbaikan proses belajar mengajar (remedial-akademik) mata kuliah yang terkait dengan ilmu penerjemahan dan, umumnya, sebagai untuk mewarnai khasanah bidang ilmu dimaksud. II. Landasan Teori Meskipun ilmu penerjemahan berada di bawah payung linguistik terapan karena teori dan praktek penerjemahan muncul sebagai akibat dari fenomena atau perbedaan linguistik dua atau lebih bahasa yang terlibat, linguistik bukanlah satu-satunya ilmu yang mendapat keuntungan dari setiap kegiatan penerjemahan. Faktanya adalah sejarah kehidupan manusia membenarkan bahwa semua cabang ilmu yang lain sesungguhnya berawal dari aktifitas dan hasil penerjemahan. Aktifitas penerjemahan berjasa memperkenalkan bahkan melahirkan ilmu-ilmu yang lain. Hal ini senada dengan ungkapan Bruno (dalam Gross, 2005:1), ’From translation all science had its offspring’.
2
Terkait dengan hubungan ilmu penerjemahan dan linguistik, teori penerjemahan pada kenyataannya lebih merujuk kepada aspek linguistik bahasa-bahasa yang terlibat; sementara praktek penerjemahan merujuk kepada strategi dan taktik yang dilakukan ketika menerjemahkan misalnya bagaimana menyelesaikan penerjemahan kata-kata yang bersifat kultural. Namun, linguistik dan penerjemahan tidak bisa dipisahkan. Kedekatan hubungan inilah yang menjadikan ilmu penerjemahan sebagai satu bagian dari applied linguistics sekalipun ilmu penerjemahan sendiri sudah menjadi bidang ilmu yang mandiri meskipun masih relatif baru. Hubungan yang demikian itulah yang melandasi kleim bahwa translation layak disebut sebagai sains (science), bisa juga ketrampilan (skill), atau seni (art). Hal ini disebabkan kenyataan bahwa setiap praktek penerjemahan melibatkan ketiga unsur tersebut. Salah satu aspek yang memudahkan proses penerjemahan adalah apabila kedua bahasa yang terlibat memiliki kesamaan linguistik (hal lain adalah budaya penuturnya). Kesamaan bentuk-bentuk linguistik memungkinkan setiap bahasa bisa diterjemahkan ke dalam bahasa lain dengan hanya sedikit penyesuaian (Zulprianto, 2008:1). Faktanya, kesamaan-kesamaan dalam beberapa bahasa terjadi tidak hanya pada tingkatan fonologi, morfologi, tetapi juga sintaksis. Chomsky (dalam Anelo, 2004:1) mungkin benar ketika mengatakan bahwa lebih dari 4000 bahasa di dunia menunjukkan kesamaan sintaksis sekalipun bunyi dan tulisannnya berbeda pada tingkat tertentu. Menurut Chomsky kesamaan sintaksis inilah yang memungkinkan proses penerjemahan bisa dilakukan. Dan sesungguhnya semakin dekat hubungan linguistik (karena berada dalam satu rumpun) dan kultural (secara geografis berdekatan, dsb) memudahkan proses terjemahan karena tidak banyak strategi atau penyesuaian yang harus dilakukan. Bahasa Indonesia dan Inggris pada dasarnya tidak memiliki hubungan linguistik dan kultural sebagai akibat kondisi kultural dan jarak geografis, namun beberapa bentuk linguistik kedua bahasa masih memiliki kemiripan, misalnya dalam hal constituent order atau word order (urutan kata dalam kalimat). Dalam aliran deskriptif linguistik, kajian word order ini merujuk kepada urutan bagian-bagian gramatikal sebuah kalimat seperti subjek, verb, dan objek (Crystal (1987:98) Urutan kata dalam kalimat dalam Bahasa Indonesia pada dasarnya adalah S(ubjek) + V(erb) + O(bjek) pada kalimat transitif (Stack, 2005:168; Chung, 2006:143; Sneddon, 1996:256). Word order yang sama juga ditemukan dalam Bahasa Inggris. Perbedaannya adalah ketika membentuk kalimat intransitif atau non-verbal; dalam bahasa Inggris setiap kalimat harus mempunyai kata kerja (verb) karena kata kerja tersebut akan menjadi penanda tense (Quirk & Greenbaum, 1973:12-13). Sebaliknya, Bahasa Indonesia tidak harus demikian. Misalnya, kalimat She is smart adalah kalimat non-verbal tapi tetap mempunyai intensive verb (is); dengan demikian teridentifikasi dari verb ‘is’ ini bahwa tense kalimat tersebut adalah simple present. Jika kalimat tersebut diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia, salah satu hasil terjemahannya adalah Dia cerdas yang hanya memiliki subjek dan complement, tidak punya verb. Terlepas dari perbedaan linguistik tersebut, urutan katanya masih tergolong relatif sama (subjek mendahului complementnya). Lebih jauh tentang bukti kemiripan word order Bahasa Inggris dan Bahasa Indonesia adalah kutipan dari Parera (1988:9-11) di bawah ini yang menunjukkan bahwa terdapat lima struktur dasar kalimat dalam kedua bahasa tersebut; berikut adalah contoh kalimat dan terjemahannya dalam bentuk kategori sintaksis:
3
a. b. c. d.
Bahasa Inggris1 NP + VP Birds sing NP1 + VP + NP2 John bought a book NP1 + VP + NP2 + NP3 John gave Mary a book NP + VP + NP/AP John is a doctor John is good NP + VP + AdverbP John is here
Bahasa Indonesia 1. NP + VP Burung-burung bernyanyi Birds ber-sing (lit2.) 2. NP1 + VP + NP2 John membeli sebuah buku John mem-buy a book (lit.) 3. NP1 + VP + NP2 + NP3 John memberikan sebuah buku untuk Mary
John me-give-kan a book for Mary 4. NP + NP/AP John guru/sedih (lit.) John teacher/sad 5. NP + AdverbP John di sini (lit.) John here Dari susunan kategori sintaksis di atas terlihat bahwa word order struktur kalimat dasar dalam kedua bahasa relatif sama; perbedaannya terletak pada kenyataan bahwa setiap kalimat dalam Bahasa Inggris harus mempunyai verb (sekaligus penanda tense), sedangkan dalam Bahasa Indonesia tidak harus demikian. Kenyataan ini ditunjukkan di poin d, e, 4, dan 5. Kaitan perbandingan struktur dasar (kernel) kedua bahasa tersebut dengan penerjemahan yang melibatkan kedua bahasa tersebut adalah kembali bersinggungan dengan dikotomi penerjemahan literal dan bebas (kedua istilah ini hanyalah pilihan teknis diantara banyaknya terminologi tentang Theory and Practice of Translation). Keterkaitanya adalah kalau bahasa sumber dan sasaran, misalnya, memiliki word order yg sama, maka terjemahan literal sangat memungkinkan dilakukan oleh penerjemah, sadar atau tidak sadar. Jika penerjemah melakukannya dengan tidak sadar kemungkinan kondisi ini dipengaruhi oleh kompetensi penerjemah dimana penerjemah memiliki keterbatasan dalam hal pengetahuan linguistik kedua bahasa. Kalau penerjemah melakukannya dengan sadar kemungkinan situasi tersebut digiring oleh preference penerjemah, misalnya karena penerjemah secara sadar ingin menjaga word order bahasa sumber di dalam bahasa sasaran. Secara umum, penelitian yang berhubungan dengan bidang terjemahan dibagi ke dalam tiga macam; tentang proses dan hasil terjemahan, tentang pengajaran terjemahan dan yang terakhir tentang penelitian yang menggunakan terjemahan sebagai alatnya (Suryawinata dan Hariyanto, 2003: 173). Dalam penelitian ini, kami membatasi diri pada hasil penerjemahan, bukan proses. Sebab itu, analisis penelitian ini akan terbatas pada batasan tertentu. Data yang terbatas pada dasarnya akan berakhir dengan kesimpulan atau peenmuan yang terbatas. Data yang akan digunakan merupakan sebuah teks berbahasa Inggris dan sejumlah terjemahannya berbahasa Indonesia (comparable texts). Penelitian yang dilakukan dalam bidang penerjemahan di Indonesia yang secara khusus berkaitan dengan topik penelitian yang diusulkan dalam proposal ini, sepanjang pengetahuan kami, belum pernah dilakukan. Salah satu indikasinya barangkali bisa e.
1
NP (Noun Phrase), VP (Verb Phrase), AP (Adjective Phrase), Adjunct (Keterangan), AdverbP (Adverb Phrase) 2 Lit. maksudnya literally translated atau terjemahan literal
4
dilihat dari terbatasnya buku tentang teori dan praktik penerjemahan yang ditulis dalam Bahasa Indonesia masih sangat terbatas. Berikut ini akan disebutkan beberapa penelitian bidang terjemahan yang telah dilakukan yang sedikit banyak berhubungan dengan penelitian ini. Pada tahun 1958, Vinay dan Darbelnet (dalam Munday, 2001:56) melakukan penelitian yang melibatkan Bahasa Inggris dan Bahasa Prancis. Keduanya menganalisa dua teks dalam dua bahasa tersebut dan membandingkannya. Hal-hal yang mereka perhatikan adalah perbedaan linguistik (contrastive linguistics) dan mengidentifikasi strategi dan prosedur penerjemahan teks dimaksud. Kemudian, Brislin, pada tahun 1976, (dalam Suryawinata dan Hariyanto, 2003:180) melakukan penelitian yang berusaha mengamati proses atau prosedur penerjemahan naskah IPTEK dari suatu bahasa yang mempunyai banyak istilah teknis (Bahasa Inggris) ke dalam bahasa yang hanya mempunyai sedikit istilah teknis (Bahasa Vietnam). Selain itu, Hariyanto pada tahun 1997 (Suryawinata dan Hariyanto, 2003: 181184) melakukan penelitian terhadap karya sastra yaitu novel asli Burung-Burung Manyar karya Mangunwijaya dan versi terjemahannya yang berjudul The Weaverbirds yang diterjemahkan T. M. Hunter. Penelitian ini menganalisa tingkat padanan teks bahasa sumber dan bahasa sasaran dalam tiga aspek utama yaitu makna dan/atau amanat, gaya, dan kesan pembaca. Masalah yang ingin diungkapkan adalah akurasi dan equivalent effects ketiga aspek tersebut ketika bahasa sumber dan bahasa sasaran dibandingkan. Permasalahan Dalam Penerjemahan. Pada dasarnya permasalahan dalam penerjemahan disebabkan oleh perbedaan budaya dan bahasa. Dalam hal ini, bahasa merupakan satu bagian dari budaya. Sebab itu, menerjemahkan budaya juga sebenarnya menerjemahkan budaya dari penutur Teks Sumber (Tsu) ke penutur Teks Sasaran (Tsa). Seperti halnya bahasa yang punya sifat partikuler dan universal dengan bahasa lain, budaya juga demikian. Artinya bahasabahasa di dunia mempunyai persamaan dan juga perbedaan; jika membandingkan sebuah bahasa A dengan bahasa B, bisa saja sisi perbedaannya lebih besar bila dibandingkan dengan bahasa C. Namun intinya bahasa-bahasa tersebut selalu memiliki persamaan dan perbedaan. Lagipula, itu sebabnya mereka disebut sebagi bahasa (yang berbeda). Kadar atau tingkat perbedaan dan persamaan bahasa-bahasa tersebut sangat dipengaruhi oleh kenyataan apakah mereka berasal dari rumpun yang sama atau tidak. Rumpun bahasa pada banyak hal berangkat dari kenyataan kedekatan geografis yang pada gilirannya membuat penuturnya juga memiliki budaya yang relatif sama. Pendeknya, penutur bahasa serumpun biasanya mempunyai budaya yang relatif sama. Itulah sebabnya kenapa menerjemahkan dari Bahasa Inggris ke Bahasa Jerman lebih mudah sebab budaya keduanya lebih sama dibandingkan dengan menerjemahkan dari Bahasa Inggris ke Bahasa Indonesia yang budaya keduanya jauh berbeda. Lebih jauh, permasalahan dalam penerjemahan dapat dikategorikan ke dalam dua bagian: objektif dan subjektif. Permasalahan Objektif merupakan permasalahan inheren: berasal dari kendala linguistik atau budaya seperti disinggung di atas. Permasalahan subjektif, sebaliknya, merupakan permasalahan yang berasal dari penerjemah: pengetahuan rendah terhadap Tsu dan Tsa yang mempengaruhi akurasi hasil terjemahan, durasi penerjemahan yang lama, dsb. Sebagai usaha untuk menyelesaikan permasalahan-permasalahan kegiatan penerjemahan tersebut maka
5
dibutuhkan semacan ideologi, metode, dan strategi penerjemehan. Dalam penelitian ini, kami akan lebih mefokuskan perhatian terhadap permasalahan subjektifnya. Ideologi, Metode, dan Teknik Penerjemahan. Ketiga istilah tersebut (Ideologi, Metode, dan Teknik Penerjemahan), dalam bidang penerjemahan, kadang menimbulkan kebingungan sebab para pakar kadang tidak menggunakan istilah yang sama sekalipun substansinya sama. Menurut kami, keadaan ini dipicu beberapa hal: pertama, kenyataan bahwa Ilmu Penerjemahan sebagai disiplin ilmu baru yang mulai mapan sejak pertengahan abad ke dua puluh. Karena usianya masih belia, statusnya juga belum begitu mapan. Sebagai informasi, penerjemahan awalnya merupakan bagian dari pengajaran dan pembelajaran bahsa asing yang dikenal dengan ‘Grammar-Translation Method’. Konsekuensi dari penerapan penerjemahan di bidang tersebut mengakibatkan para akademisi meremehkan status Ilmu Penerjemahan sebab hasilnya hanya sekadar ’jembatan’ untuk membaca karya asli dan sebuah terjemahan tidak akan pernah menjadi karya asli. Pada perkembangan selanjutnya, metode pengajaran dan pembelajaran bahasa asing tersebut banyak dikritisi dan akhirnya digantikan oleh metode baru yang dikenal ’Communicative Approach’. Munculnya metode baru tersebut memberikan angin segar bagi kegiatan penerjemahan sebab tidak lagi dianggap sebagai elemen dari pengajaran dan pembelajaran bahasa asing. Para peneliti kemudian giat melakukan penelitian di bidang penerjemahan yang sering dikategorikan dalam dua hal: ’Comparative Literature’-dimana karya sastra dipelajari dan diperbandingkan antar bahasa dan antar budaya- dan ’Contrastive Analysis’-dimana dua bahasa dikontraskan sebagai upaya mengidentifikasi perbedaan linguistik (fonologi, morfologi, dst) keduanya baik secara umum maupun khusus. Kedua, kenyataan bahwa pakar Ilmu Terjemahan pada umumnya adalah teorikus dan sekaligus praktisi terjemahan. Mereka berteori berangkat dari pengalaman mereka pribadi ketika menerjemahkan. Di samping itu, banyak pakar di bidang penerjemahan bukan penutur asli Bahasa Inggris. Bahasa Inggris merupakan bahasa kedua atau kesekian. Akibatnya adalah ketika mereka berteori, menerjemahkan atau karya mereka diterjemahkan muncul peristilahan yang beda dengan istilah yang sebenarnya sudah ada sebagai akibat sedikitnya akses seorang pakar penerjemah kepada pakar lainnya. Berikut ini akan Kami jelaskan lebih jauh tentang ketiga istialh tersebut. Ideologi Penerjemahan. Ideologi merupakan pandangan ideal terhadap sesuatu. Ideologi merupakan nilai dan kebenaran yang selalu dicari dan diyakini oleh komunitas tertentu. Barthes (dalam Hoed, 2006:83) mengatakan bahwa ideologi adalah mitos yang sudah mantap dan mitos adalah ’pemaknaan atas suatu gejala budaya yang sudah mantap’. Mitos juga bisa dianggap sebagai kebenaran yang belum terjelaskan sehingga kebenaran dalam hal ini lebih merupakan sebuah proses daripada hasil. Ideologi dalam penerjemahan terkait dengan ’keyakinan ’benar-salah’ atau ’baik-buruk’ dalam penerjemahan, yakni terjemahan seperti apa yang terbaik bagi masyarakat pembaca Bsa atau terjemahan apa yang cocok dan disukai masyarakat’ (Hoed, 2006:83). Ideologi penerjemahan dikategorikan ke dalam dua macam: foreignisasi (foreignization) dan domestikasi (domestication). Kategorisasi ini diperkenalkan oleh
6
Lawrence Venutti pada tahu 1995. Sebenarnya, konsep ideologi penerjemahan yang relatif sama sudah lama diperkenalkan oleh Schleiermacher pada tahun 1813. Pada awalnya, Schleiermacher membagi penerjemah ke dalam dua tipe berdasarkan jenis teks yang diterjemahkan: penerjemah teks komersial dan penerjemah teks akademik dan artistik. Menurutnya, pertanyaan dalam kegiatan penerjemahan adalah bagaimana cara mendekatkan pengarang Tsu dan pembaca Tsa. Kemudian muncullah ideologi ’alienating’ (yang lebih disukai oleh Schleiermacher) dan ’naturalizing’ yang pengertian intinya sama dengan kedua istilah yang diusung oleh Venutti di atas. Alienating berarti membawa ’membawa’ pembaca Bsa ke penulis Bsu; Naturalizing berarti ’membawa’ penulis Bsu kepada pembaca Bsa. Pakar penerjemahan lain seperti Larson (1984) membagi terjemahan ke dalam dua tipe: form-based dan meaning-based. Meskipun tidak sepenuhnya sama dengan dikotomi yang dibuat Venutti di atas, kategorisasi yang mereka buat memiliki persamaan substansi dalam beberapa hal. Kita akan membahas lebih jauh tentang ideologi penerjemahan foreignisasi dan domestikasi tersebut lebih dalam berikut ini. Ideologi penerjemahan Domestikasi (juga disebut Venutti sebagai ideologi Transparansi) merupakan penerjemahan yang berorientasi pada Bsa. Artinya, terjemahan yang baik, betul, dan berterima adalah terjemahan yang sesuai dengan ekspektasi pembaca Bsa dimana unsur bahasa atau budaya asing tidak ditemukan. Domestikasi menjadikan sebuah karya terjemahan seperti karya asli sebab perubahan bentuk (linguistik dan budaya) dilakukan secara signifikan. Bsa digunakan dalam bentuk yang paling natural baik tatabahasa maupun kosakatanya. Larson (1984) menyebut bahwa terjemahan yang demikian merupakan tujuan dari seorang penerjemah yang baik. Demikian juga Nida dan Taber (1974) menyebut bahwa penerjemahan yang baik berorientasi pada keberterimaan oleh pembaca Bsa (dalam Hoed, 2006:84). Sementara itu, ideologi penerjemahan Foreignisasi merupakan jenis penerjemahan yang berorientasi pada Bsu. Sebab itu, penerjemahan akan dianggap betul, baik, dan berterima jika unsur bahasa dan budaya Bsu dihadirkan dalam Bsa. Dengan ideologi tersebut, sebuah karya sangat visible dan terasa sebagai sebuah karya terjemahan, bukan kaya asli. Ideologi ini mengandalkan konsep penerjemahan mikro seperti transference (… to carry out an operation in which the TL text, or rather, parts of the TL text, do have values set up in the SL … (Catford, 1965:43-48 dalam Hoed, 2006:87) dan decenterring dimana unsur khas dari teks sumber sengaja dihadirkan di dalam Bsa. Ideologi ini semakin mengemuka seiring dengan pertimbangan ethnolinguistik atau cultural anthropology dimana kita disadarkan bahwa bahasa merupakan bagian dari budaya. Dan orang yang berasal dari budaya yang beda memiliki konsepsi yang beda terhadap konsep-konsep tertentu apalagi konsep terrkait bersifat kultural. Menerjemahkan, pada hakikatnya, adalah menerjemahkan budaya, bukan sekedar alih bahasa. Metode Penerjemahan Machali (2009:75-76) mendefinisikan metode sebagai suatu cara melakukan sesuatu dan ’pada hakikatnya menyangkut teks secara keseluruhan’. Hubungan ideologi dengan metode adalah bahwa untuk mengikuti ideologi tertentu seorang penerjemah harus menerapkan metode tertentu. Hubungan lebih jauh atas keduanya akan dibahas kembali. Di masa awal perkembangannya, metode penerjemahan yang dikenal adalah antara ’word for word translation (kata per kata)’ atau ’sense for sense translation.
7
Newmark menyebut periode tersebut sebagai ‘pre-linguistic period of translation’. Terjemahan kata per kata berarti menggantikan setiap kata dalam Bsu (dulunya Bahasa Yunani) dengan ekuivalen terdekatnya dalam Bsa (bahasa Latin). Pada saat itu, terjemahan demikian berterima sebab orang Romawi punya akses baik ke Bsu maupun Bsa dan bisa bahasa Latin pada tingkatan tertentu. Di samping itu, bahasa yang terlibat saat itu cenderung berasal dari bahasa-bahasa serumpun di mana perbedaan budaya tidak terlalu mencolok. Kemudian istilah lain muncul: literal vs free translation yang pada dasarnya tidak begitu berbeda dengan metode sebelumnya kecuali yang pertama lebih ’literal’ daripada yang kedua. Selanjutnya, Larson (1984) juga memperkenalkan istilah penerjemahan literal (form-based) vs idiomatik (meaning-based) (mungkin bukan Larson yang pertama memperkenalkan istilah tersebut). Kategorisasi Larson berbeda sebab dia membagi lagi penerjemahan literal ke dalam dua bagian yaitu penerjemahan interlininear dan ’modified literal translation’ yang berbeda sedikit tingkat kepatuhannya terhadap bentuk Bsu. Tapi, Larson secara tegas mengatakan bahwa seorang penerjemah yang baik selalu melakukan penerjemahan idiomatik: makna lebih penting dijaga daripada bentuk. Itu sebabnya kenapa di atas Larson digolongkan ke kelompok ideologi domestikasi: berorientasi kepada (pembaca) Bsa. Akan tetapi, Larson menyadari bahwa penerjemahan tidak bisa hanya menggunakan sebuah metode dan melupakan metode yang lain. Faktanya, kegiatan penerjemah merupakan campuran dari berbagai metode sehingga batas antara satu metode dengan lainnya kabur. Terjemahan terjadi dalam sebuah continuum, sebuah rangkaian kesatuan: kadang sangat literal, kadang idiomatik, sebab metode yang bersangkutan mungkin diterapkan dan merupakan keputusan yang tepat. Bahkan Newmark pernah bilang jika penerjemahan literal bisa dilakukan, metode tersebut harus diutamakan. Bagan di bawah ini memperlihatkan perihal continuum tersebut. Berorientasi Bsu (Form-based) •literal •Very Literal
Berorientasi Bsa (Meaning-based)
•Inconsistent Mixture •Modified Literal
•Idiomatic •Near Idiomatic
•Unduly free
Gambar 1. Rangkaian kesatuan kegiatan penerjemahan. Bagan di atas menunjukkan posisi seorang penerjemah ketika melakukan penerjemahan yang biasanya menerapkan sejumlah rangkaian metode sesuai dengan ideologi yang diikuti. Semakin ke kiri semakin form-based dan sebaliknya semakin ke kanan semakin meaning-based. Akan tetapi, kata Larson, kita pada prakteknya sering sekali tidak hanya memilih satu metode saja, tapi metode yang mana saja menurut kebutuhan meskipun kita sedang mengikuti ideologi penerjemahan tertentu. Kenyataannya, sebuah ujaran suatu saat bisa diterjemahkan secara sangat literal dan, meskipun demikian, maknanya tetap baik, bagus dan berterima. Akan tetapi, lebih sering kita harus melakukan penyesuaian atau pergeseran bentuk dan makna. Newmark (1988), sama halnya seperti Larson juga memperkenalkan berbagai metode penerjemahan yang bersifat kontinum. Bedanya, Newmark memvisualisasikannya dalam bentuk V-diagram seperti terlihat di bawah ini. Berorientasi Bsu (Foreignization) •Word-for-word •Literal
Berorientasi Bsa (Domestication) •Adaptation •Free
8
•Faithful •Semantic
•Idiomatic •Communicative
Gambar 2. (Sumber: Newmark dikutip dari Hoed, 2006:55). Diagram berbentuk V di atas menunjukkan hubungan yang jelas antara ideologi dan metode penerjemahan. Ideologi tertentu dimungkinkan untuk diikuti dengan menerapkan metode tertentu. Semakin ke kiri semakin berorientasi ke Bsu atau semakin ’asing’ bagi pembaca Bsa dan juga semakin terasa bahwa karya tersebut merupakan terjemahan. Demikian juga, semakin ke kanan semakin berorientasi ke Bsa atau semakin ’dekat’ dengan pembaca Bsa dan juga semakin terasa seolah-olah karya tersebut asli (bukan terjemahan) sebab pergeseran bentuk dan makna dilakukan secara signifikan. Prosedur Penerjemahan Akan tetapi, permasalahan penerjemahan tidak lagi berkutat pada masalah literal atau bebas sebab perdebatan keduanya bergerak seperti lingkaran setan dan sepihak. Perdebatan di antara keduanya tidak pernah selesai dan seolah-olah penerjemah adalah pembuat keputusan satu-satunya dalam proses terjemahannya. Padahal, faktor lain ada yang harus lebih diperhatikan: jenis teks, pembaca Bsa, tujuan penerjemahan, keinginan klien, dsb. Terkait dengan hal tersebut setiap kegiatan penerjemahan perlu membuat audience design dan diikuti oleh need analysis. Masalah praktis yang ditemukan dalam penerjemahan ada dua: (a) kita tidak paham makna kata leksikal atau kultural dan tatabahasa sehingga tidak memahami pesannya; (b) kita sulit menerjemahkannya meskipun sudah memahami Tsu-nya (diadaptasi dari Hoed, 2006:67). Disinilah kiat penerjemahan dibutuhkan. Prosedur yang bisa kita lakukan adalah tahapan yang disampaikan oleh Nida & Taber (1974): analisis (memahami Tsu), transfer (mengalihbahasakan dalam pikiran dan deverbalisasi: melupakan struktur Bsu ketika ’mengucapkannya’ dalam Bsa seperti dalam hal interpreting), dan restrukturisasi (menerjemahkan). Setiap tahapan tidak harus diikuti secara berurutan dan kaku, tetapi dapat diulangi seperlunya. Namun, kita harus sadar bahwa klien sedang menunggu. Prosedur lain dijelaskan oleh Newmark (1988:20-30) yang menyebutnya sebagai approach, bukan stage (tahapan) atau prosedur. Ancangan tersebut adalah: 1. the textual level (memahami teks secara linguistik) 2. referential (memahami teks dan konteks) 3. cohesion (memadukan teks terjemahan) 4. the level of naturalness (kewajaran, kealamian bahasa dalam Bsa) Baik tahapan penerjemahan Nida & Taber maupun Newmark pada dasarnya berpesan sama bahwa seorang penerjemahn harus benar-benar memahami Bsu secara tektual dan kontekstual (tahapan analisis). Kemudian hasil analisis tersebut dipadukan dan diterjemahkan ke dalam Bsa secara kohesif dan wajar (tahapan transfer dan restructuring). Teknik Penerjemahan Penggunaan istilah ’teknik’ dalam hal ini merupakan pilihan subjektif. Pakar lain juga sepertinya menggunakan istilah lain untuk menyatakan substansi yang sama seperti istilah prosedur (Machali, 2009:91-103) atau strategi. Istilah ’teknik’ sendiri
9
banyak digunakan pakar dalam dan luar negeri. Tapi terlepas dari perbedaan penggunaan istilah, kami akan memilih menggunakan istilah teknik penerjemahan. Teknik penerjemahan merupakan cara praktis yang secara langsung berkaitan dengan permasalahan penerjemahan dan pemecahannya. Teknik berbeda dengan metode atau prosedur karena keduanya bersifat normatif (Machali, 2009: 107). Berikut akan disampaikan beberapa teknik penerjemahan yang diadaptasi dari beberapa pakar: 1. Transposisi: merubah struktur kalimat agar dapat memperoleh terjemahan yang betul. 2. Modulasi: memberikan padanan segi semantik yang beda seperti dalam hal sudut pandang atau cakupan maknanya, tapi pesan/maksud tetap sama. 3. Penerjemahan Deskriptif: menguraikan makna kata yang padanannya belum/tidak ditemukan dalam Bsa. 4. Penjelasan Tambahan (Contextual Conditioning): memberikan kata khusus untuk menjelaskan suatu kata agar dipahami pembaca Bsa. 5. Catatan Kaki: memberikan keterangan dalam bentuk catatan kaki untuk memperjelas makna kata terjemahan tertentu sebab jika tidak ada keterangan pembaca Bsa diragukan akan memahami terjemahan. 6. Penerjemahan Fonologis: tidak menemukan padanan yang sesuai dalam Bsa, penerjemah membuat kata baru dengan mengasimilasinya (sesuai dengan sistem bunyi dan ejaan Bsa). 7. Penerjemahan Resmi/Baku: menggunakan sejumlah istilah, nama, dan ungkapan yang sudah baku atau resmi dalam Bsa dengan langsung menggunakannya sebagai padanan. 8. Tidak diberikan Padanan: mengutip bahasa aslinya sebab penerjemah tidak dapat menemukan terjemahannya dalam Bsa. Kutipan tersebut biasanya berlaku untuk sementara. 9. Padanan Budaya: menerjemahkan dengan memberikan padanan berupa unsur kebudayaan yang ada dalam Bsa. (diadaptasi dari Hoed, 2006:7278). Sementara itu, Machali (2009, 91-105) tidak menggunakan istilah teknik penerjemahan tetapi prosedur penerjemahan. Akan tetapi, Machali juga menggunakan istilah ’teknik’ tapi dengan bahasan yang beda dengan Hoed dan Moentaha. Machali mengunakan istilah ’teknik’ dalam hubungan esensialnya dengan dengan fungsi teks, gaya bahasa, ragam fungsional, dan dialek. Berikut adalah prosedur penerjemahan yang diuraikan oleh Machali: 1. Pergeseran bentuk (transposition). Pergeseran bentuk bisa dalam bentuk pergeseran: (1) wajib dan otomatis sebagai akibat dari perbedaan tatabahasa. (2) dilakukan apabila suatu struktur gramatikal dalam Bsu tidak ada dalam Bsa; (3) disebabkan kewajaran ungkapan, sebab jika terjemahan harfiah tetap dilakukan, Bsa berakhir tidak wajar; (4) dilakukan untuk mengisi kerumpangan kosakata dengan suatu struktur gramatikal. 2. Pergeseran makna (modulation). Modulasi dibagi dua yaitu wajib dan bebas. Perbedaannya adalah uang pertama muncul atas alasan linguistik dimana suatu konstruksi tidak ada padanannya dalam Bsa. Sementara yang kedua muncul sebab alasan nonlinguistik dimana suatu makna dirasa perlu untuk diperjelas, dibuat setali, dan dicarikan padanan yang alami. Dengan demikian, eksplitasi menjadi bagian modulasi. 3. Adaptasi. Teknik ini merupakan pengupayaan padanan kultural antara Bsu dan Bsa.
10
4. Pemadanan berkonteks yaitu penempatan suatu informasi dalam konteks agas maknanya lebih jelas. 5. pemadanan bercatatan. Teknik ini barangkali bisa disebut sebagai pilihan terkahir jika penerjemah tidak menemukan padanan yang diharapkan. Pada dasarnya, teknik ini juga hampir sama dengan teknik penerjemahan fonologis atau borrowings dimana kosakata Bsu diambil (biasanya diasimilasi). Akan tetapi, dalam pemadanan bercatatan, kosakata tersebut ditambahkan catatan, catatan kaki atau catatan akhir. Selain itu, Moentaha (2006, 48-78) menguraikan berbagai macam teknik penerjemahan. Dia sebelumnya membagi-bagi jenis terjemahan berdasarkan beberapa hal: terjemahan berdasarkan ragam bahasa, bentuk teks, hierarki bahasa (ranks seperti menurut Catford), dan tingkat isi. Teknik-teknik penerjemahan yand disebutkan oleh Moentaha yang tampaknya sedikit berbeda dengan yang dua sebelumnya adalah penambahan (addition), penghilangan (omission atau deletion), eksplikasi-implikasi (yang pada dasarnya identik dengan eksplitasi sebagai bagian dari modulasi yang dimaksud Machali di atas). Terlihat dengan jelas dalam kutipan yang diadaptasi di atas bahwa para pakar berbeda dalam penguraian teknik-teknik penerjemahan. Namun, jika ditilik lebih dalam, substansi dari teknik yang mereka uraikan relatif sama. Dengan demikian, tidak berarti bahwa Machali, misalnya, hanya mengetahui lebih sedikit teknik penerjemahan daripada dua yang lain. Penilaian (akurasi) terjemahan Penerjemahan menurut Hoed (2006) dapat dibagi empat berdasarkan sifatnya: penerjemahan sebagai ilmu (pengetahuan) (science), keterampilan (craft), seni (art), dan selera (taste). Menilai terjemahan bukan perkara mudah sebab kriteria betul-salah dalam penerjemahan bersifat relatif (lebih kurang). Kriteria yang lebih moderat adalah baikburuk. Hal ini karena faktor subjektifitas penerjemah sangat berperan. Jika keempat sifat terjemahan di atas dianggap sebagai sebuah kontinum, kita dapat mengatakan bahwa dalam penerjemahan sebagai ilmu, peran penerjemah sangat kecil (objektif). Namun, jika penerjeman dianggap sebagai selera, peran penerjemah sangat besar (subjektif). Dan penerjemahan sebagai keterampilan dan seni berada di antara keduanya. Karena sifatnya yang objektif, relasi betul-salah hanya dapat ditemukan dalam sifat penerjemahan sebagai science, bukan yang lain. Sebuah terjemahan dikatakan salah hanya jika terjadi distorsi makna referensial Bsu baik sebagai akibat pemahaman tatabahasa maupun kosakata, bukan estetis dan pragmatik. Di samping makna referensial, ejaan dan peristilahan (keduanya sebenarnya bukan domain khusus penerjemahan) juga sangat mempengaruhi akurasi penerjemahan. Namun, kedua aspek tersebut tidak dibicarakan dalam penelitian ini. III. Metodologi Penelitian Teks yang digunakan sebagai bahan atau bahasa sumber dalam penelitian ini merupakan teks bidang ekonomi yang diunduh dari situs www.economist.com edisi 13 November 2009. Teks tersebut terdiri dari sekitar 500 kata. Penelitian ini menggunakan kuisioner sebagai instrumen penelitian. Kuisioner tersebut berisi petunjuk tentang pengisian kuisioner tersebut dan sebuah teks (artikel) ekonomi berbahasa inggris. Dengan demikian, peneliti tidak terlibat langsung dalam pengumpulan data (non-participatory research method).
11
Responden adalah mahasiswa Prodi Bahasa dan Sastra Inggris yang sudah pernah mengambil mata kuliah yang berhubungan dengan Teori dan Praktek Penerjemahan. Para responden kemudian diminta untuk menerjemahkan teks tersebut dalam kurun waktu cukup untuk mengkondisikan suasana kegiatan penerjemahan mereka seolah-olah nyata. Dengan demikian, mereka dibebaskan untuk menggunakan alat bantu penerjemah apapun seperti kamus cetak atau elektronik, thesaurus, dan lain. Akan tetapi, mereka tidak dibolehkan menggunakan alat bantu yang berhubungan dengan machine atau automatic translator. Jika mereka menggunakan alat bantu yang demikian, mereka harus tetap menyunting terjemahan mereka sendiri. Para responden diberikan teks dimaksud dalam bentuk hardcopy dan softcopy dan diminta mengumpulkannya dalam kedua salinan tersebut. Akan tetapi, untuk memudahkan proses penelitian, para responden diharapkan dapat mengumpulkannya dalam bentuk softcopy. Responden berjumlah dua belas orang yang dipilih secara acak (random) dan dengan demikian data yang dikumpulkan juga berjumlah dua belas teks terjemahan (comparable texts). Data yang telah dikumpulkan tersebut kemudian diekstraksi ke dalam unit-unit penerjemahan yaitu unit kalimat. Kalimat yang dimaksud bisa berupa kalimat sederhana (simple), majemuk (comfound), atau kompleks (complex). Hasil ekstraksi teks menjadi kalimat menghasilkan sekitar dua puluh tujuh kalimat yang terdiri dari ketiga jenis kalimat tersebut. Akan tetapi, analisis hanya akan dilakukan terhadap beberapa kalimat yang mewakili ketiga jenis kalimat tersebut. Lebih jauh, dalam penelitian ini, ketiga kalimat tersebut akan dibedakan menjadi dua kelompok: kalimat pendek dan kalimat panjang. Kalimat pendek dalam hal ini sama dengan kalimat sederhana atau simple. Sementara, kalimat panjang mewakili kalimat majemuk, kompleks atau gabungan keduanya sebab kalimat kompleks juga sering mengandung kalimat majemuk. Namun tentu saja kita, sebagaimana dugaan semua orang, akan memperkirakan bahwa kalimat yang panjang akan lebih sulit diterjemahkan daripada kalimat yang pendek dan dengan demikian sebagian permasalahan, teknik, dan akurasi penerjemahan akan ditemukan dalam kalimat jenis ini. Prediksi tersebut betul dan wajar. Analisis data yang digunakan adalah metode simak (observasi) yaitu mengobservasi data tulis yang telah dikumpulkan. Selanjutnya, teks yang akan dianalisis ditampilkan dalam bentuk perbandingan. Artinya, bahasa sumber (Bsu) dan bahasa sasaran (Bsa) ditampilkan dalam bentuk berurutan. Analisis hanya akan dilakukan terhadap kalimat Bsa yang diyakini perlu dan representatif untuk dianalisis. Hasil analisis data penelitian ini disajikan secara deskriptif-naratif dengan kalimat verbal (informal). IV. Hasil dan Pembahasan Judul penelitian ini menfokuskan pada tiga hal: permasahan, teknik, dan akurasi. Ketiga hal tersebut terkait satu sama lain. Permasalahan, baik yang bersifat objektif maupun subjektif, terkait dengan teknik dalam hal: permasalahan kegiatan penerjemahan misalnya dapat diselesaikan dengan teknik penerjemahan tertentu untuk memperoleh hasil terjemahan yang akurat atau cermat. Pemilihan teknik tertentu untuk menyelesaikan permasalahan penerjemahan tertentu memiliki andil terhadap hasil penerjemahan, akurat, kurang akurat, atau tidak akurat (salah/buruk) sama sekali. Namun istilah permasalahan dalam penelitian ini akan lebih diarahkan pada masalah subjektif penerjemah seperti masalah yang bersumber dari diri penerjemah seperti pengetahuan mereka terhadap bahasa sumber (Bsu) dan bahasa sasaran (Bsu), pengetahuan tentang jenis teks yang diterjemahkan, dsb. Tentu saja, seseorang bisa
12
mengatakan kemungkinan bahwa tidak ada masalah dengan penerjemahan yang akan ditemukan. Namun, salah satu tujuan dari penelitian ini bersifat remedial-akademik. Artinya permasalahan yang nantinya ditemukan akan diidentifikasi untuk digunakan sebagai dasar atau petunjuk untuk kegiatan belajar mengajar mata kuliah atau pengetahuan terkait. Demikian juga halnya dengan hasil identifikasi terhadap teknik dan akurasi. Permasalahan dan akurasi tentu sangat berkaitan erat sebab setiap penerjemahan yang bermasalah pasti juga mengurangi akurasinya. Sementara pemilihan teknik penerjemahan dapat dipengaruhi beberapa hal termasuk preferensi dan stilistika. Sekedar mengingatkan kembali, penerjemah dalam hal ini adalah dua belas responden yang merupakan mahasiswa Jurusan Bahasa dan Sastra Inggris Universitas Andalas. Dalam menganalisis data di bagian ini, Bsu (Bahasa Inggris) dan Bsa (Bahasa Indonesia) akan ditampilkan berhadapan/berurutan. Bsa, karena terdiri dari dua belas versi, dinomori untuk memudahkan referensi. Sementara Bsu tidak dinomori sebab hanya satu versi. Analisis secara terperinci terhadap setiap Bsa tidak akan dilakukan kecuali dianggap perlu. Maksudnya, kami hanya akan menganalisis Bsa secara umun dan akan membahas kalimat Bsa tertentu lebih detail jika terkait dengan aspek yang sedang dibahas atau diteliti. Aspek yang dibahas dalam sebuah data sebelumnya juga mungkin tidak akan secara detail dibahas pada data sesudahnya. Data I Bsu Talent is not patient, and it is not faithful 1. Bakat bukanlah kesabaran, dan tidak pula setia. 2. Bakat Bukanlah Kesabaran, Bukan Juga Sekedar Keyakinan 3. Bakat Itu Tidak Sabar dan Tidak Selalu Ada 4. Bakat bukanlah sebuah penantian dan loyalitas 5. Bakat tidaklah sabar, dan tidak pula setia 6. Bakat Bukanlah Kesabaran, dan Bukanlah Berbakti Bsa 7. Keterampilan bukanlah buah dari dari kesabaran atau kepercayaan 8. Bakat bukanlah kesabaran dan juga bukan kesetiaan 9. Bakat Bukanlah Soal Kesabaran, dan Bukanlah Soal Kejujuran 10. Bakat bukanlah sebuah kesabaran dan bukan juga sebuah kesetiaan 11. Bakat Bukanlah kesabaran, Bukan Pula Kesetiaan 12. Bakat Bukanlah Sebuah Kesabaran, Itu Tidaklah Tepat Bsu pada di atas merupakan kalimat panjang atau majemuk dimana sebenarnya subjeknya sama (masing-masing talent dan it). Alasan penulis mengulang subjeknya, menurut kami, salah satunya adalah karena alasan penekanan. Tetapi Bsa mungkin punya cara lain untuk menunjukkan penekanan tersebut. Bsu tersebut, posisinya dalam teks secara keseluruhan, adalah judul teks yang juga hadir kembali dalam isi teks. Sebab itu, kalimat tersebut muncul dua kali: sebagai judul dan sebagai kalimat dalam paragraf. Dalam posisinya sebagai judul, seorang penerjemah hanya punya sedikit informasi kontekstual tentang maksud sesungguhnya. Sebab itu, terjemahan tekstual atau literal merupakan pilihan yang paling mungkin. Sebaliknya, dalam posisinya dalam paragraf, penerjemah memiliki petunjuk kontekstual tentang maksud sebenarnya dari kalimat tersebut. Penerjemah, dalam hal ini, sebenarnya diuntungkan akibat pengulangan kalimat tersebut sebab dapat memperoleh informasi yang lebih (tahapan analisis teks).
13
Salah satu yang menarik untuk dibandingkan dari Bsu dan semua Bsa adalah masalah pengulangan subjek [it]3 pada kalimat kedua yang tidak ditemukan dalam sebagian besar Bsa atau hasil terjemahan. Hal ini diakibatkan, sebagaimana disebutkan sebelumnya, Bsa punya cara tersendiri untuk menunjukkan penekanan seperti yang direalisasikan oleh pengulangan subjek [it]. Secara bentuk, dalam Bsa subjek tersebut dihilangkan untuk mendapatkan Bsa yang lebih natural atau wajar dengan menambahkan kata [juga], [pula] atau partikel [-lah]. Kedua kata pertama merupakan bentuk yang paling sering digunakan penerjemah meskipun [pula] tampaknya lebih natural dalam Bsa. Perbedaan cara penekanan ini mungkin terkait dengan masalah objektif kedua bahasa yang terlibat. Beberapa masalah yang bisa diidentifikasi dari data I di atas adalah ketidaksejaran struktur yang dalam hal ini adalah frase. Dalam Bsu kata [patient] dan [faithful] merupakan kelas kata sifat yang berfungsi sebagai komplemen dalam kalimat tersebut. Metode penerjemahan literal akan cenderung mempertahankan kelas kata tersebut jika mungkin. Salah satu terjemahan dengan bentuk sejajar yang mungkin adalah masing-masing [sabar] dan [setia] seperti ditunjukkan Bsa (nomor) 5. Namun, konstruksi kesejajaran struktur dalam Bsa tidak mengharuskan kelas kata yang sama antara Bsu dan Bsa. Penerjemah bisa saja melakukan teknik transposisi dengan merubah kelas katanya. Yang terpenting adalah kesejajaran struktur atau bentuknya: sama-sama kata sifat atau sama-sama kata benda, misalnya dengan menerjemahkan keduanya menjadi [kesabaran] dan [kesetiaan]. Teknik seperti ini lebih lengkap ditunjukkan Bsa 2, 3, 4, 7, 8, 9, 10, 11 terlepas dari keakurasian Bsa masing-masing. Di samping masalah kesejajaran bentuk, pemilihan kata untuk beberapa kata penting dalam kalimat tersebut juga patut dicermati. Pertama, kata [talent] diterjemahkan menjadi [bakat] dan diksi ini merupakan ‘invariant core’ atau bentuk yang stabil karena paling banyak digunakan oleh penerjemah (selanjutnya akan disebut bentuk luas). Kami juga sependapat bahwa kata [talent] dalam hal ini lebih natural jika berekuivalensi dengan [bakat]. Diksi lain yang digunakan adalah [keterampilan] seperti ditunjukkan Bsa nomor 7. Variasi pilihan kata yang lain adalah kata [patient] diterjemahkan menjadi [sabar/kesabaran] sebagai bentuk luas dan [penantian]. Yang menarik adalah padanan yang diberikan untuk kata [faithful] yaitu [setia/kesetiaan] sebagai bentuk luas, [keyakinan], [ada], [loyalitas], [berbakti], [kepercayaan], [kejujuran], [tepat]. Kami berpendapat, bahwa padanan yang paling baik untuk kata tersebut adalah [setia/kesetiaan]. Sebab itu, pilihan kata yang lain dapat dianggap sebagai kurang tepat. Para penerjemah juga menerapkan beberapa teknik penerjemahan seperti transposisi, pemadanan berkonteks (contextual conditioning), penghilangan (subjek [it] dalam kalimat kedua). Transposisi terlihat pada hampir semua Bsa dimana kata sifat [patient] dipadankan dengan kata benda [kesabaran]. Atau kata sifat [faithful] dipadankan dengan kata benda [kesetiaan], dsb. Pemadanan berkonteks ditunjukkan oleh Bsa nomor 9 dimana penerjemah menambahkan kata [soal]. Dari semua Bsa di atas juga terlihat bahwa para penerjemah cenderung menggunakan metode atau teknik penerjemahan literal dalam hal urutan kata (tipe kalimat). Hal ini sangat dimungkinkan sebab kalimat Bsu merupakan kalimat majemuk yang sebenarnya sederhana walaupun kesederhanaan bentuk bukan satu-satuanya alasan penerapan metode atau teknik penerjemahan literal. Secara keseluruhan, kami beranggapan salah satu terjemahan yang baik untuk Bsu di atas adalah: 3
Tanda [ ] digunakan untuk menunjukkan kutipan kata, frase, kalimat, atau unit yang lebih besar dikutip sebagaimana bentuk aktualnya.
14
[Bakat bukan soal kesabaran, bukan pula soal kesetiaan]. Terjemahan ini menunjukkan bahwa metode atau teknik literal tidak sepenuhnya bisa diterapkan. Hal ini dibuktikan dengan penambahan kata [soal] yang merupakan teknik sebuah teknik ‘contextual conditioning’ untuk memenuhi kebutuhan semantik dan kewajaran dalam Bsa. Teknik penerjemahan yang lain adalah penghilangan kata ganti [it] dalam kalimat kedua. Menariknya, semua Bsa melakukan teknik tersebut. Pemilihan teknik tersebut merupakan langkah tepat untuk mendapatkan Bsa yang lebih wajar atau natural sebab secara semantik kata [pula] dan variasinya yaitu [juga] dan [-lah] dapat menggantikan keberadaannya. Secara umun, akurasi hasil terjemahan para responden adalah baik kecuali nomor 7 dan 12. Nomor 7, dalam hal ini, memilih ekuivalen yang kurang tepat, yang dapat mengaburkan pesan Bsu sebab kata [talent] dalam kalimat atau teks tersebut merupakan salah satu kata kunci atau topik. Terjemahan 12 menunjukkan penyimpangan makna sehingga pesan Bsu tidak dapat disampaikan. Namun, masalahmasalah yang disebutkan di atas juga harus menjadi pertimbangan untuk menentukan konsep akurasi secara lebih terperinci. Data II Bsu
Bsa
Spurred on by a book called “The War for Talent”, written by three McKinsey consultants in the late 1990s, the word became common in management speak. 1. Dipicu oleh sebuah buku berjudul “The War for Talent” atau “Peperangan untuk Bakat” karya tiga orang konsultan McKinsey pada akhir abad ke-19. Selanjutnya, kata tersebutpun menjadi biasa dalam perbincangan ilmu managemen. 2. Berangkat dari sebuah buku yang berjudul “Perang Bakat”, yang ditulis oleh tiga konsultan Mckinsey diakhir tahun 1990-an, kata tersebut menjadi umum dalam dunia manajemen. 3. Mendadak oleh buku yang berjudul “Perang untuk Bakat” yang ditulis oleh tiga orang konsultan McKinsey di penghujung tahun 1990, kata tersebut menjadi istilah umum di dalam percakapan tentang kepemimpinan. 4. Termotivasi oleh sebuah buku yang berjudul “ The War for Talent” yang ditulis oleh 3 konsultan Mckinsey pada akhir 1990an, kata tersebut menjadi lazim dibicarakan dalam pembicaraan manajemen. 5. Terpacu oleh sebuah buku yang berjudul “Perang untuk Bakat”, ditulis oleh tiga orang konsultan McKinsey pada akhir 1990-an, kata tersebut menjadi lumrah dalam pembicaraan manajemen. 6. Terpacu dari sebuah buku yang berjudul “The War For Talent”, yang ditulis oleh tiga konsultan McKinsey pada akhir tahun 1990, kata tersebut menjadi terkenal dalam manajemen berbicara. 7. Hal ini dipacu oleh diterbitkannya sebuah buku yang berjudul “The war for talent” yang dibuat oleh Mckinsey bersaudara yang menjadi konsultan pada akhir 1990an. Kata “keterampilan” ini kemudian menjadi sesuatu hal yang sering dibicarakan dalam diskusi managemen perusahaan. 8. Disebutkan dalam sebuah buku yang berjudul ‘The War for Talent’ yang ditulis oleh tiga penasihat Mckinsey di akhir tahun 1990an, kata tersebut 15
menjadi hal yang biasa dalam bidang manajemen. 9. Terpicu dari buku “The War for Talent”, karanga konsultan McKinsey bersaudara pada akhir 1990an, kata itu menjadi trend di kalangan management. 10. Disebutkan dalam sebuah buku yang berjudul ‘The War for Talent’ yang ditulis oleh tiga penasihat Mckinsey di akhir tahun 1990an, jargon tersebut menjadi konsumsi umum dalam bidang manajemen. 11. Didorong terbitnya sebuah buku yang ditulis tiga orang konsultan McKinsey pada akhir tahun 1990an dengan judul “The War for Talent”, kata tersebut menjadi hal yang lumrah dalam ruang lingkup manajemen. 12. Yang ditulis pada sebuah buku “The War for Talent” yang ditulis oleh tiga konsultan McKinsey pada awal 1990-an, kata itu menjadi biasa yang diucapkan direksi. Kalimat Bsu di atas merupakan sebuah kalimat panjang atau lebih spesifik merupakan kalimat kompleks yang terdiri dari dua anak kalimat yang dipadatkan (menjadi frase) dan sebuah induk kalimat. Sebagai kalimat kompleks, para penerjemah punya pilihan untuk melakukan transposisi: menjadikan satu kalimat panjang tersebut menjadi dua atau lebih kalimat yang lebih pendek. Permasalahan yang terlihat dari data di atas adalah: kecenderungan para penerjemah menerapkan metode atau teknik penerjemahan literal dimana penerjemahan mereka cenderung mengikuti urutan kata (tipologi SVO) Bsu meskipun Bsu merupakan sebuah kalimat yang panjang/kompleks. Meskipun metode atau teknik tersebut bisa dilakukan, penerjemah harus mempertimbangkan kewajaran atau kenaturalannya di kalangan pembaca Bsa. Kecenderungan ini hampir ditemukan dalam sebagai besar Bsa. Contoh Bsa nomor 5 sangat tepat mewakili kecenderungan ini: [Terpacu oleh sebuah buku yang berjudul “Perang untuk Bakat”, ditulis oleh tiga orang konsultan McKinsey pada akhir 1990-an, kata tersebut menjadi lumrah dalam pembicaraan manajemen.] Terjemahan ini mematuhi urutan kalimat/frase Bsu. Sementara terjemahan lainnya melakukan modifikasi ringan seperti dengan menambahkan penanda klausa penanda klausa adjektiva ’yang’ sebelum anak kalimat/frase kedua [yang ditulis ...] seperti nomor 2, 3, 4, 5, dsb. Hal ini berarti klausa dalam bentuk partisipium dalam Bsu dinyatakan penuh dan eksplisit dalam Bsa. Penambahan ’yang’ tersebut merupakan pilihan yang tepat sebab menghasilkan Bsa yang lebih natural atau tidk kaku. Di samping itu, pemahaman terhadap Bsu juga terjadi seperti nomor 3. Juga, masalah pilihan kata yang kurang tepat atau bahkan salah yang akan dijelaskan lebih terperinci berikut ini. Bsa nomor 1 terlihat melakukan tranposisi dimaksud, tetapi menjadikan keseluruhan kalimat tidak kohesif. Bagian kalimat [Dipicu oleh sebuah buku berjudul “The War for Talent” atau “Peperangan untuk Bakat” karya tiga orang konsultan McKinsey pada akhir abad ke-19] adalah (anak) kalimat yang janggal sebab tidak memberikan pikiran yang lengkap atau utuh. Penerjemah juga menambahkan kata sambung [selanjutnya] untuk mengawali kalimat keduanya. Akan tetapi, secara keseluruhan kalimat Bsa tersebut dianggap salah sebab tidak berterima dalam Bsa. Transposisi jenis ini, yang lebih akurat, juga ditemukan pada Bsa nomor 7. Penerjemah membagi satu kalimat panjang tersebut menjadi dua kalimat. Konsekuensinya, agar
16
terjemahan kohesif, penerjemah menambahkan subjek [hal ini] pada anak kalimatnya seperti ditunjukkan dalam potongan kalimat berikut ini: [Hal ini dipacu oleh diterbitkannya ...]. Masalah lain yang ditemukan dari data di atas terkait dengan pilihan kata atau padanan dalam Bsa. Pilihan kata dalam hal ini bisa tepat, kurang tepat, atau bahkan salah. Sebagai contoh bentuk past participle [spurred on] diterjemahkan bervariasi seperti [terpacu/dipacu] sebagai bentuk luas, [dipicu], [disebutkan], [terpicu], [berangkat], [termotivasi], dsb. Akan tetapi, salah seorang penerjemah memadankannya dengan kata [mendadak] yang berarti aktif yang dengan demikian menjadikan terjemahannya salah [Mendadak oleh buku yang berjudul ... ]. Hasil terjemahan tersebut adalah salah baik bentuk maupun maknanya. Dalam Bsa nomor 12 juga terlihat pilihan kata yang kurang berterima: frase [management speak] dipadankan dengan [diucapkan direksi]. Terjemahan kurang tepat sebab menurut kami penerjemah melakukan teknik modulasi (menggeser makna) secara berlebihan yang pada dasarnya cukup dipadankan dengan [obrolan/pembicaraan manajemen]. Dengan memilih kata [... direksi], penerjemah melakukan modulasi yang berlebihan sebab menyempitkan cakupan sebuah kata atau konsep. Sebaliknya, Bsa nomor 3 memadankan kata [management] dengan [kepemimpinan] yang menurut kami lebih memperluas cakupan kata Bsu tersebut daripada yang seharusnya. Terkait dengan padanan frase [management speak] ini, Bsa nomor 7 juga menunjukkan sebuah perbedaan yakni teknik penambahan. Dalam hal ini, penerjemah memadankannya dengan [diskusi manajemen perusahaan] dimana kata [perusahaan] sebenarnya ditambahkan. Namun, kami berpendapat penambahan kata tersebut tidak begitu berpengaruh secara semantik. Dengan demikian, penambahan tersebut sebenarnya bisa ditiadakan atau dihindari; frase [diskusi manajemen] sudah memadai. Hal ini perlu ditegaskan sebab teknik penambahan bisa mengakibatkan sebuah terjemahan terlalu panjang atau bertele-tele. Sebuah teknik penerjemahan seharusnya digunakan seperlunya. Data III Bsu “We need to cultivate the talent” Bsa 1. “Kita harus mengasah bakat yang ada” 2. “Kita harus mengembangkan bakat” 3. “Kita perlu mengembangkan bakat yang ada” 4. “Kita perlu mengolah bakat itu” 5. “Kita perlu untuk mengembangkan bakat” 6. “Kita butuh memelihara bakat” 7. Seperti:“kita harus meningkatkan keterampilan karyawan karena keterampilan merupakan faktor yang penting dalam kesuksesan perusahaan untuk masa yang akan datang” 8. “kita perlu mengupayakan bakat” 9. “Kita perlu mengolah bakat” 10. “Perlunya mengembangkan bakat” 11. “Kita harus melatih bakat” 12. “Kita butuh untuk mengolah bakat” Data di atas merupakan sebuah kalimat pendek. Dengan demikian, seseorang bisa berharap beberapa hal. Pertama, responden hanya akan menemukan sedikit atau bahkan 17
tidak ada permasalahan ketika menerjemahkan Bsu tersebut. Kedua, karena hanya sedikit atau nihil permalasahan, akurasi Bsa akan tinggi atau baik. Yang terakhir, para penerjemah tidak perlu menggunakan teknik penerjemahan yang variatif, sebab Bsa hanya membuthkan sedikit penyesuaian. Dengan alasan yang terakhir ini, maka masalah keharfiahan urutan kata dalam kalimat Bsa tidak akan dianalisis. Itu pula alasan kenapa kami tidak akan membahas data berupa kalimat pendek atau sederhana. Hal yang menarik dari Bsa dalam data di atas terkait dengan pemilihan equivalen untuk kata pronomina we dan kata kerja cultivate. Berikut penjelasan lebih lanjut tentang keduanya. Data menunjukkan bahwa seluruh responden , kecuali nomor 10, memadankan pronomina we tersebut dengan kita yang merupakan pilihan yang tepat. Kedua pronomina tersebut secara objektif berbeda sebab dalam Bsa, we yang bisa bermakna inklusif dan ekslusif mempunyai dua simbol (dua pilihan): kami (ekslusif) dan kita (inklusif). Meskipun perbedaan objektif tersebut hadir, para responden, menurut kami, memilih kata yang tepat. Bsa nomor 10 menunjukkan terjemahan yang agak beda sebab penerjemah melakukan teknik penerjemahan omission yakni menghilangkan ekuivalen pronomina we. Ekuivalensi yang kedua terkait dengan kosakata cultivate. Salah satu makna kata tersebut adalah ’to develop a particular skill or quality …’(Longman Active Dictionary). Menurut kami, salah satu komponen semantik kata tersebut mengandung makna pengusahaan seperti tersirat dari penggunaan kata ’develop’ dalam defenisi di atas. Kata tersebut merupakan sebuah actional verb. Artinya, cultivate tidak menghasilkan sesuatu begitu saja, tapi butuh tindakan atau action. Para responden menggunakan sejumlah ekuivalensi untuk kata tersebut diantaranya mengembangkan (yang merupakan bentuk luas atau padanan paling sering digunakan), mengasah, mengolah, meningkatkan, mengupayakan, bahkan melatih. Pilihan kata tersebut secara keseluruhan mengandung makna pengusahaan meskipun pilihan kata responden ada yang berakhir lebih implisit, eksplisit, atau metaforikal. Akan tetapi, kami berkesimpulan bahwa akurasi semua Bsa secara umum berterima. Data IV And they have altered their approach to issues such as governance and environmental responsibility because they know that many of the talented people Bsu they are seeking want to work for ethical and responsible employers—almost more than they want a hefty pay packet. 1. Selain itu, mereka juga telah mengubah pandangan mereka terhadap berbagai isu dalam pemerintahan dan pertanggungjawaban lingkungan karena mereka Bsa tahu bahwa banyak orang- orang yang berbakat bekerja sesuai dengan etika dan tanggungjawab sebagai pekerja- lebih banyak dari mereka yang hanya menginginkan gaji besar. 2. Dan mereka mengubah pendekatannya pada hal-hal seperti tanggungjawab pemerintahan dan lingkungan karena mereka tahu bahwa orang-orang berbakat yang mereka cari ingin bekerja sebagai karyawan yang ber-etika dan bertanggungjawab, hampir melebihi keinginan mereka atas gaji yang lebih. 3. Dan mereka telah mengubah pendekatan mereka pada beberapa hal seperti tanggung jawab lingkungan dan pemerintah karena mereka tahu banyak orang berbakat yang mereka cari ingin bekerja untuk majikan yang beradab dan bertanggung jawab—hampir lebih dari mereka menginginkan sepaket bayaran besar.
18
4. Dan mereka telah merubah pendekatan mereka terhadap isu-isu, seperti tanggung jawab pada pemerintahan dan lingkungan karena mereka tahu kebanyakan dari orang-orang bertalenta yang mereka cari ingin bekerja sebagai pekerja yang beretika dan bertanggung jawab- hampir kebanyakan dari mereka menginginkan gaji yang besar. 5. Dan mereka telah mengubah pendekatan mereka ke masalah seperti tanggung jawab lingkungan dan kepemerintahan karena mereka tahu bahwa banyak dari orang-orang berbakat yang mereka cari mau bekerja sebagai karyawan yang beretika dan bertanggung jawab—hampir melebihi keinginan mereka menerima paket bayaran yang besar. 6. Dan mereka memodifikasi pendekatan pada persoalan seperti tanggung jawab pemerintahan dan lingkungan sekitar, karena mereka tau bahwa banyak dari orang-orang berbakat yang mereka cari untuk bekerja bagi karyawan yang bersusila dan bertanggung jawab, hampir lebir dari yang mereka inginkan adalah paket gaji yang besar. 7. Perusahaan juga mengubah cara pendekatan mereka dengan mengembangkan isu-isu pertanggungan jawab pemerintah dan lingkungan, hal ini terjadi karena mereka tau bahwa seorang pekerja terampil umumnya lebih memilih untuk menjadi pekerja tetap daripada gaji yang lebih besar. 8. seperti tanggung jawab terhadap lingkungan dan pemerintahan karena mereka tahu bahwa banyak orang, dan mereka mencari para tenaga kerja yang bertanggung jawab dan lebih dari itu mereka menginginkan paket upah yang memadahi. 9. Dan mereka mengubah pendekatan mereka kepada pokok permasalahan seperti pemerintah dan tanggung jawab lingkungan karena mereka mengetahui bahwa banyak dari orang berbakat yang mereka cari menginginkan bekerja etis dan bertanggung jawab—hampir melebihi paket gaji yang mereka inginkan. 10. Dan mereka telah merubah paradigm mereka terhadap isu-isu seperti tanggung jawab terhadap lingkungan dan pemerintahan karena mereka tahu bahwa banyak orang, dan mereka mencari para tenaga kerja yang bertanggung jawab dan lebih dari itu mereka menginginkan paket upah yang besar. 11. Perusahaan juga telah merubah jangkauan mereka terhadap isu-isu, seperti tanggung jawab pemerintah dan lingkungan, karena mereka mengetahui bahwa ada banyak orang-orang berbakat yang mencari pekerjaan yang pantas dan para karyawan yang bertanggung jawab, yang menginginkan upah dengan upah yang besar. 12. Dan mereka telah mengubah pendekatannya untuk isu- isu seperti sebuah pemerintahan dan lingkungan yang bertanggung jawab karena mereka mengetahui bahwa dari beberapa orang yang berbakat, mereka sedang dicari untuk etika pekerjaan dan karyawan yang bertanggung jawab. Hampir lebih dari mereka ingin sebuah paket yang besar.
Teks Bsu di atas seperti terlihat merupakan kalimat yang panjang yang terdiri dari satu induk kalimat dan beberapa kalimat anak kalimat (kalimat compoundcomplex). Beberapa frase yang taksa juga berpotensi ada dalam kalimat panjang di atas. Dengan demikian, kita dapat menyimpulkan bahwa tingkat kesulitan dalam 19
menerjemahkan kalimat tersebut cukup tinggi. Salah satu upaya menyederhanakan teks Bsa nantinya adalah menerapkan teknik transposisi yakni membagi kalimat tersebut ke dalam kalimat yang lebih pendek. Hal ini juga pada dasarnya membantu penerjemah dalam fase analisis teks atau pemahaman teks Bsu sebelum melangkah ke fase transfer dan restrukturisasi (Nida, 1975). Hasil analisis menunjukkan bahwa sebagian besar terjemahan pare responden atas kalimat tersebut adalah salah. Disebut salah, sebab terjadi penyimpangan makna semantik atau referensial yang parah yang mengakibatkan pesan Bsu gagal tersampaikan dalam Bsa. Hal ini tentu berawal dari pemahaman teks Bsu yang salah (tahapan analisis teks) sehingga menghasilkan Bsa yang salah. Ini menunjukkan bahwa para responden mengalami kesulitan memahami kalimat yang panjang. Menurut kami, salah satu terjemahan yang baik untuk teks Bsu di atas adalah: [Pihak perusahaan juga telah mengubah pendekatan mereka terhadap masalahmasalah seperti kepemimpinan dan tanggung jawab terhadap lingkungan sebab mereka tahu bahwa banyak di antara orang berbakat yang mereka cari lebih ingin bekerja dengan pengusaha yang beretika dan bertanggung jawab. Keinginan tersebut bahkan lebih besar dari keinginan orang-orang berbakat tersebut untuk mendapatkan paket gaji yang tinggi.] Terjemahan yang disarankan di atas juga menerapkan teknik transposisi sebagaimana disinggung di atas (menjadikannya menjadi dua kalimat yang lebih pendek dengan modifikasi tertentu). Beberapa faktor yang medorong kesalahan terjemahan beberapa responden tersebut, menurut kami, adalah terkait dengan pilihan padanan kata tertentu, kesan ketaksaan Bsu, penggunanaan kata ganti [they (sebagai subjek dan posesif) > mereka] secara monoton, dan tentu saja kalimat Bsu yang sangat panjang. Berikut akan dibahas satu per satu. Kata [employers] dalam deretan kalimat [… want to work for ethical and responsible employers] cenderung disalahartikan atau bahkan dihilangkan. Beberapa penerjemah memadankan kata tersebut dengan [pekerja], [karyawan], [tenaga kerja] seperti ditunjukkan Bsa nomor 1, 2, 4, 5, 6, 8, 10, 11, dan 12. Kata tersebut juga dihilangkan seperti ditunjukkan Bsa nomor 9 dan 12. Kesalahan memilih equivalensi dan penghilangan kata tersebut berakibat fatal: terjadi penyimpangan makna atau paling tidak kekaburan makna. Pada akhirnya, hasil terjemahan menjadi salah. Berdasarkan data di atas, hanya Bsa nomor 3 yang menggunakan padanan yang tepat yaitu [majikan] meskipun kata tersebut terkesan kurang formal, sebab jenis teks yang terkait dengan perusahaan, bukan domestik, jika dibandingkan dengan sinonimnya [pengusaha]. Faktor lain yang memicu kesalahan pemahaman penerjemah adalah terkait dengan penerjemahan frase kata benda yang kompleks (complex noun phrase) yang terkesan taksa. Frase kata benda tersebut adalah [governance and environmental responsibility]. Secara bentuk, frase pada dasarnya tidak taksa. Permasalahannya menurut kami terletak pada konstruksi frasenya yang kompleks. Frase [governance and environmental responsibility] tidak berarti [*governance responsibility and environmental responsibility] sebab jika dianggap demikian seharusnya kata [governance] digunakan dalam bentuk adjektivanya yaitu [govermental]. Beberapa penerjemah (nomor 1) menerjemahkan frase tersebut menjadi [tanggungjawab pemerintahan dan lingkungan]. Jika frase ini diterjemahkan kembali ke dalam Bsu (back translation) akan menjadi [governmental and environmental responsibility] yang
20
berbeda dengan Bsu. Terjemahan nomor 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 10, 11 juga tampaknya menunjukkan pemahaman demikian meskipun dengan variasi tertentu. Intinya, penerjemah salah paham dengan teks Bsu (potongan frase kata benda majemuk tersebut) sehingga mengakibatkan kesalahan Bsa. Menurut kami, kata [governance] di dalam teks itu dengan demikian bermakna [pemerintahan] dalam ruang lingkup sebuah perusahaan, bukan pemerintahan dalam arti luas seperti pemerintahan sebuah negara. Kata yang lebih tepat barangkali adalah [kepemimpinan] atau [pengelolaan]. Penggunaan kata ganti [mereka] dalam Bsa sebagai padanan pronomina [they] juga terkesan monoton. Kami menduga, terjemahan monoton tersebut digiring oleh metode atau teknik literal yang digunakan oleh penerjemah secara sadar atau tidak yang juga sering ditemukan dalam data lain. Dalam Bsu, kata ganti [they (dan variannya) their] muncul sebanyak lima kali dengan anticedent yang berbeda (empat pertama merujuk kepada ‘company’ dan yang terakhir merujuk kepada ‘talented people’). Akan tetapi, sebagian besar responden menerjemahkan kata ganti tersebut secara ‘literal’ menjadi [mereka]. Pilihan tersebut dapat mengaburkan pesan Bsa sebab yang dirujuk bersifat taksa atau kabur. Penerjemah pada dasarnya punya pilihan untuk menggunakan antecedent pronomina tersebut atau memodifikasi kalimat tersebut menjadi dua atau lebih kalimat yang lebih pendek. Kesalahan terakhir dipicu oleh pengetahuan tatabahasa (inggris) para responden yang kurang memadai terhadap struktur kalimat panjang. Seperti disebutkan di awal, untuk jenis kalimat yang kompleks dan panjang seperti ini, penerjemah harus melakukan analisis misalnya dengan membagi kalimat tersebut ke dalam beberapa kalimat yang lebih pendek. Teknik transposisi ini sebenarnya berguna untuk penerjemah (khususnya dalam tahap analisis teks) dan pembaca. Namun pada intinya, penerjemah harus bisa mengidentifikasi bagian-bagian kalimat tersebut: yang mana induk kalimat, anak kalimat, anak kalimat dari anak kalimat, dst. Di dalam kalimat tersebut terdapat satu induk kalimat dan empat anak kalimat. Dalam tampilan hierarkis, kalimat tersebut dapat digambarkan sebagai berikut: > induk kalimat: [(1) And they have altered their approach to issues such as governance and environmental responsibility > anak kalimat dan anak kalimat dari anak kalimat: [(2) because they know [(3) that many of the talented people] [(4) they are seeking] want to work for ethical and responsible employers—(5) almost more than (6) they want a hefty pay packet]. Pemahaman yang baik terhadap Bsu seperti di atas akan menghasilkan versi terjemahan yang lebih baik. Bahkan, penerjemah juga harus memahami kalimat yang mengalami elipsis seperti ditunjukkan di bagian angkan (5) di atas. Data V What’s more, in today’s knowledge-based businesses, these young people are far more Bsu aware of their working environment, of “what’s going on around here”, than were their grandparents, who were hired for their brawn rather than their brain Bsa
1. Terlebih lagi, dalam bisnis- bisnis yang berlandaskan ilmu pengetahuan dewasa ini, sebagian orang- orang muda jauh lebih waspada terhadap lingkungan tempat mereka bekerja, terhadap “apa yang sedang terjadi disini”, daripada dimana 21
orangtua mereka, yang digaji karena tenaga bukan karena pemikiran mereka. 2. Terlebih lagi, dalam pengetahuan terkini berbasis bisnis, generasi muda jauh lebih mengenal lingkungan pekerjaan mereka, atas “apa yang tengah terjadi disini”, daripada generasi pendahulu mereka yang digaji lebih untuk tenaga ketimbang otak mereka. 3. Terlebih lagi, dalam bisnis berlandaskan pengetahuan saat ini, orang-orang muda ini jauh lebih tahu tentang lingkungan kerja mereka, atas “apa yang terjadi di sekitar sini”, dibanding kakek-nenek mereka, yang digaji untuk tenaga mereka bukan otak mereka. 4. Ditambah lagi, pada era yang berbasis ilmu pengetahuan-bisnis ini, generasi muda semakin peduli dengan lingkungan kerja mereka, terhadap “apa yang terjadi di sekitarnya ?”, ini sangat kontras dengan nenek moyang mereka yang hanya digaji untuk tenaga mereka, bukan untuk otak mereka. 5. Apa yang lebih, pada bisnis berdasarkan pengetahuan saat ini, anak-anak muda jauh dari kesadaran terhadap lingkungan bekerja mereka, dari “apa yang terjadi disekitar sini”, daripada kakek-nenek mereka, yang digaji untuk tenaga fisik mereka lebih dari pemikiran mereka. 6. Apa yang lebih dari bisnis berbasis pengetahuan saat ini, anak muda sangat jauh dari lingkungan kerja mereka, dari “apa yang terjadi disekitar mereka”, ketimbang kakek nenek mereka, yang digaji dari tenaga fisik dari pada pikiran mereka. 7. Selain itu, mereka juga melihat bahwa pekerja yang masih muda tidak begitu perhatian terhadap lingkungan kerja mereka atau terhadap hal-hal apa saja yang terjadi di sekiranya, hal ini tentu jauh berbeda dengan yang terjadi pada masa lampau dimana orang-orang lebih memilih bekerja menggunakan fisik daripada menggunakan otak mereka. 8. Apa lagi, dalam ilmu pengetahuan yang berdasarkan bisnis, diisinilah generasi muda telah lebih jauh menyadari bahwa mereka bekerja untuk lingkungan dan apa yang sebenarnya terjadi disekitar, kemudian ketika para orang tua yang kurang menyadari bahwa mereka hanya dibayar untuk tenaga bukan karena keahlian. 9. Apalagi, dalam standar bisnis masa kini, kaum muda jauh lebih sadar akan ligkungan pekerjaan mereka, atas ”yang terjadi di sekitarnya”, dari pada pendahulu mereka yang bekerja dengan tenaga ketimbang otak. 10. Lebih dari itu. Dalam perkembangan lmu pengetahuan dasar bisnis, disini orangorang muda telah lebih jauh menyadari bahwa mereka bekerja untuk lingkungan dan apa yang sebenarnya terjadi disekitar mereka ketika dulu para orang tua dulunya mereka tidak menyadari hal itu, mereka hanya dibayar untuk tenaga secara fisik bukan karena kecerdasan atau ilmu pengtahuannya. 11. Lagi pula, saat ini bisnis yang berdasarkan pada ilmu pengetahuan, orang-orang muda jauh menyadari lingkungan kerja mereka “apa yang akan berlangsung disini”, dari pada mereka bersama kakek dan nenek mereka, yang memperkerjakan mereka dengan otot dan yang sebaliknya bukan dengan otak. 12. Lebih dari itu, dalam perkembangan ilmu pengetahuan dasar bisnis, disini orangorang muda telah lebih jauh menyadari bahwa mereka bekerja untuk lingkungan, dan “apa yang sebenarnya terjadi disekitar mereka”, ketika para orang tua yang dulunya menyadari hal itu, dimana mereka hanya dibayar untuk tenaga secara fisik dari pada kecerdasannya (ilmu pengetahuan). Kalimat Bsu di atas merupakan kalimat panjang atau kompleks sebab di dalamnya terdapat sebuah kalimat induk dan beberapa anak kalimat. Hasil analisis secara umum 22
menunjukkan beberapa responden mengalami kesulitan dalam memahami teks yang berujung pada hasil terjemahan yang salah atau buruk. Kesalahan tersebut disebabkan karena makna Bsu mengalami distorsi dalam Bsa. Menurut analisis kami, salah satu terjemahan yang baik untuk Bsu tersebut adalah: [Terlebih lagi, di masa bisnis berbasis (ilmu) pengetahuan ini, orang-orang muda tersebut jauh lebih waspada terhadap lingkungan kerja mereka, terhadap “apa yang sedang terjadi disini”, daripada generasi pendahulu mereka yang dipekerjakan lebih karena otot daripada otak mereka.] Kesalahan penerjemahan satu bagian dalam kalimat panjang tersebut akan mengawali atau menimbulkan kesalahan yang lain. Hal ini disebabkan sebuah kalimat memiliki pikiran yang satu dan padu. Di samping itu, penerjemah juga akan cenderung terkondisikan oleh pemahaman dan hasil terjemahan awalnya. Dalam tahapan inilah, pada dasarnya, seorang penerjemah perlu melakukan analisis yang dalam terhadap Bsu sampai makna (bagian terpenting) berhasil disampaikan dalam Bsa. Secara khusus, ada dua hal yang menarik untuk dianalisis dari data di atas. Pertama, metode yang digunakan secara umum cenderung literal yang mengakibatkan ketidakwajaran hasil terjemahan, sebagai contoh, dalam Bsu terdapat kata sambung atau sentence connector [what’s more] yang seharusnya tidak diterjemahkan secara literal dengan menerjemahkannya berdasarkan makna setiap komponen konstituen dimaksud. Kata sambung itu sendiri bisa bervariasi maknanya seperti lagipula, lebih jauh, apalagi, di samping itu, dsb. Tetapi, inti dari penggunaan kata sambung tersebut memberikan kesan ‘tambahan’ terhadap apa yang telah disebutkan sebelumnya. Terjemahan yang kurang berterima untuk kata sambung tersebut dapat dilihat pada terjemahan nomor 5 dan 6 dimana secara kebetulan terjemahannya sama yaitu [apa yang lebih]. Dengan terjemahan tersebut, kita dapat menduga bahwa kata [what] dan [more] diterjemahkan sebagai [apa] dan [lebih]. Demikian juga keliteralan dalam hal tipologi kalimat dimana sebagian besar Bsa memiliki tipologi atau urutan kata yang relatif sama. Hal lain yang menarik juga untuk dilihat dari terjemahan di atas terkait dengan hasil terjemahan frase kata benda [knowledge-based business] dalam yang secara tegas bisa dirubah menjadi [bisnis berbasis (ilmu) pengetahuan]. Faktanya, hanya seorang responden yang menerjemahkannya demikian. Hasil analisis menunjukkan terjemahan responden untuk frase itu ada yang salah dan juga benar (tapi wordy). Kategori pertama dapat kita lihat pada Bsa nomor 2, 4, 8, 9, 10, dan 12. Berikut adalah terjemahannnya: Nomor Terjemahan 2 4 8 9 10 12
Hasil terjemahan (Bsa) … dalam pengetahuan kini berbasis bisnis … … pada era yang berbasis ilmu pengetahuan-bisnis … … dalam ilmu pengetahuan yang berdasarkan bisnis … … dalam standar bisnis masa kini … Dalam perkembangan ilmu pengetahuan dasar bisnis, … … dalam perkembangan ilmu pengetahuan dasar bisnis …
Dalam frase Bsu secara tegas disebutkan [bisnis yang berbasis (ilmu) pengetahuan], bukan misalnya [pengetahuan berbasis bisnis], [perkembangan ilmu pengetahuan dasar bisnis], [standar bisnis], dan sebagainya.
23
Kategori kedua, yaitu Bsa yang benar tapi cenderung panjang dan sebagian kecil malah cenderung bertele-tele, dapat kita temukan pada terjemahan sebagai mana ditampilkan di bawah ini: Nomor Terjemahan Hasil Terjemahan (Bsa) 1 … dalam bisnis-bisnis yang berlandaskan ilmu pengetahuan deawas ini … 3 … dalam bisnis berlandaskan pengetahuan saat ini … 5 … pada bisnis berdasarkan pengetahuan saat ini … 6 … dari bisnis berbasis pengetahuansaat ini … 11 … bisnis yang berdasarkan pada ilmu pengetahuan … Akan tetapi, perlu kami tegaskan, meskipun terjemahan di atas cenderung panjang, Bsa tersebut tidak berarti salah atau buruk. Sebab, faktor keberterimaan sebuah Bsa dipengaruhi sejumlah hal termasuk pembaca. Jika pembacanya adalah orang awam dalam bidang teks yang diterjemahkan, terjemahan yang panjang barangkali lebih tepat sebab frase [bisnis berbasis (ilmu) pengetahuan] mungkin terlalu kompleks atau canggih bagi mereka. Selain itu, hasil terjemahan frase [… for their brawn rather than their brain] juga menarik dibahas. Dasar ketertarikan tersebut disebabkan kata [brawn] dan [brain] mempunyai muatan estetis dimana keduanya memiliki fitur aliterasi (deretan kata yang dimulai dengan bunyi yang sama) dan rima (meskipun bukan rima yang sempurna). Dalam Bsa, kedua kata tersebut mungkin sebaiknya diterjemahkan menjadi masingmasing [otot] dan [otak] dimana kita masih bisa mempertahankan aliterasinya (meskipun rima tampaknya tidak dapat dipertahankan). Alasan lain, kedua kata [otot] dan [otak] merupakan sanding kata (collocation). Para responden sendiri memadankan kata [brawn] dan [brain] secara bervariasi, diantaranya [tenaga] dan [pemikiran], [tenaga] dan [otak], [fisik] dan [pemikiran], [fisik] dan [otak], [tenaga] dan [keahlian], [fisik] dan [kecerdasan]. Terdapat satu responden yang menerjemahkannya menjadi [otot] dan [otak] namun penerjemahan responden yang bersangkutan mengalami penyimpangan makna. Di samping itu, sanding kata [tenaga] dan [p(em)ikiran] juga merupakan pilihan yang tepat mengingat kedua kata tersebut juga sering disandingkan. Hal ini juga tidak berarti pilihan kata yang lain salah. Sebab, pada intinya setiap variasi diksi tersebut seperti [tenaga], [fisik], dan sebagainya dapat merepresentasikan pesan Bsu. Terkait dengan teknik penerjemahan, kami menemukan beberapa teknik seperti transposisi, penambahan, penghilangan (omission). Akan tetapi, teknik ini menjadi tidak relevan untuk dibahas karena hasil terjemahan (Bsa) yang tidak atau kurang akurat. Sebab teknik penerjeman biasanya dibutuhkan jika penerjemah menemui kendala objektif atau alasan subjektif (preferensi atau stilistika). V. Kesimpulan dan Saran Kesimpulan Berdasarkan analisis data, kami dapat menyimpulkan beberapa hal. Pertama, terkait dengan permasalahan dan akurasi hasil terjemahan para responden. Kedua aspek ini akan kami simpulkan secara bersamaan sebab keduanya berhubungan erat: jika sebuah karya terjemahan bermasalah pastinya akan mempengaruhi akurasi atau kecermatan sebuah karya terjemahan itu sendiri. Namun perlu kami tegaskan lagi bahwa permasalahan yang kami angkat di sini merupakan permasalahan subjektif
24
(penerjemah), bukan permasalahan objektif kedua bahasa. Sebab itu, kajian ini juga bersifat preskriptif. Permasalahan dan akurasi yang kami temukan terkait dengan Bsa yang tidak memiliki konstruksi yang tidak sejajar. Pada dasarnya, permasalahan jenis ini hanya terkait dengan akurasi bentuk saja sebab makna Bsu tetap dapat disampaikan meskipun bentuk Bsa tidak paralel. Permasalahan yang lain berhubungan dengan pilihan kata atau padanan yang kurang tepat sehingga mengurangi kewajaran Bsa. Bahkan, kami juga menemukan pilihan kata yang salah sehingga menghasilkan terjemahan yang salah. Keputusan untuk mengatakan sebuah terjemahan salah, dalam kasus ini, diambil sebab dalam Bsa ditemukan distorsi makna sehingga pesan Bsu tidak padan dengan Bsa. Terjemahan yang salah atau buruk dipicu oleh pemahaman atau analisis Bsu yang tidak tepat atau tidak memadai. Hal lain yang perlu kami sebutkan terkait dengan kecenderungan para responden untuk menerjemahkan, baik metode dan teknik, Bsu secara literal. Kecenderungan ini pada dasarnya bukan sebuah permasalahan sepanjang Bsa berterima dan sesuai dengan selera klien. Akan tetapi, kami menemukan dalam beberapa hal kecenderungan ini bisa menjebak sebab tidak semuanya bisa diterjemahkan secara literal seperti ungkapanungkapan yang bermakna konotatif atau formulaic expressions seperti ketika menerjemahkan kata sambung [what’s more]. Sebaliknya, penerjemah seharusnya harus merasa bebas menggunakan metode atau teknik penerjemahan apa saja sepanjang pesan Bsu dapat direproduksi di Bsa; penerjemah tidak membatasi diri dengan metode atau teknik tertentu. Selain itu, masih terkait dengan keliteralan responden, kami juga menemukan bahwa word order (urutan kata) Bsa dalam kalimat atau urutan kalimat dalam paragraf cenderung sama dengan Bsu. Jika Bsu adalah sebuah kalimat panjang dan kompleks maka Bsa juga cenderung panjang dan kompleks. Padahal, kalimat terkait bisa dimodifikasi menjadi kalimat yang lebih pendek dengan menggunakan teknik penerjemahan tertentu. Modifikasi tersebut mungkin perlu dilakukan untuk kepentingan pembaca. Akan tetapi, modifikasi juga harus mementingkan efektifitas Bsa: Bsa tidak menjadi panjang dan bertele-tele. Kemudian kami juga menemukan beberapa teknik penerjemahan yang digunakan oleh penerjemah. Teknik-teknik tersebut adalah transposisi atau pergeseran makna yang sangat sering bersifat wajib untuk dilakukan karena perbedaan objektif kedua bahasa; misalnya perubahan urutan kata dalam sebuah frase kata benda. Teknik yang lain adalah modulasi (pergeseran makna) dimana penerjemah menggunakan padanan kata dalam Bsa yang sedikit berbeda makna dari Bsu. Teknik penerjemahan yang lain adalah penerjemahan literal, penambahan (addition), dan penghilangan (deletion/omission). Akan tetapi, beberapa kasus penghilangan menjadikan Bsa kabur sebab bagian yang dihilangkan merupakan bagian penting dari Bsu dimaksud. Saran Syarat wajib menjadi penerjemah adalah penguasaan, dari segala aspek, Bsu dan Bsa. Akan tetapi, syarat tersebut adalah kondisi ideal yang tidak akan pernah tercapai sebab menurut sebagian ahli tidak ada penutur yang misalnya bilingual secara sempurna, tapi seorang bilingual cenderung lebih baik dalam salah satu bahasa dari dua atau lebih bahasa yang digunakannya. Di samping itu, ukuran untuk mencapai status kebilingualan sempurna juga belum pernah ditetapkan walaupun ada beberapa indikator yang bisa digunakan. Pada kenyataannya, banyak orang yang menjadi penerjemah, untuk diri sendiri atau orang lain, tanpa misalnya mempunyai pengetahuan atau pengalaman kultural langsung terkait dengan salah satu bahasa terlibat. Pengalaman
25
kultural penting dalam proses penerjemahan sebab, pada dasarnya, menerjemahkan bahasa juga berarti menerjemahkan budaya. Namun, kealpaan pengalaman tersebut tidak sepenuhnya menghambat proses terjemahan. Sebab, hal terpenting lain dari kegiatan penerjemahan adalah: seorang penerjemah juga seorang pelajar bahasa yang terlibat. Ketika kita menerjemahkan bahasa inggris ke bahasa Indonesia, kita juga sedang belajar (aspek linguistik dan kultural) kedua bahasa tersebut. Hal ini juga berlaku untuk para responden kami yaitu mahasiswa Bahasa dan Sastra Inggris Universitas Andalas. Ketika mereka menerjemahkan mereka sebenarnya sedang mempelajari kedua bahasa tersebut. Kondisi ini akan menambah kompetensi dan kualitas kebahasaan mereka dalam kedua bahasa yang terlibat. Selain itu, hasil terjemahan mereka sebenarnya bisa menjadi salah satu ukuran kompetensi dan kualitas tadi. Penelitian ini menggunakan data dengan arah penerjemahan dari Bahasa Inggris (Bsu) ke Indonesia (Bsa). Banyak orang yang berpendapat bahwa arah penerjemahan demikian lebih mudah sebab penguasaan terhadap Bsa lebih penting daripada penguasaan terhadap Bsu. Pendapat ini masih bisa diperdebatkan. Kami menganggap penelitian dengan tema atau judul yang sama patut dilakukan tapi dengan arah yang berbeda yaitu dari Bahasa Indonesia ke Bahasa Inggris yang bertujuan sama yakni remedial-akademik khususnya dalam pengakaran mata kuliah yang terkait dengan teori dan praktek penerjemahan di Jurusan Bahasa dan Sastra Inggris universitas Andalas. Daftar Pustaka Bassnet-McGuire, Susan. (1980). Translation Studies. London: Methuen & Co. Ltd. Bell, Roger T. (1991). Translation and Translating: Theory and Practice. Essex: Longman Group UK Limited. Crystal, David. (1987). The Cambridge Encyclopaedia of Language. Melbourne: Cambridge University Press. Chung, Sandra. (2007). Indonesian Clause Structure from an Austronesian Perspective. Santa Cruz: University of California. Delisle, Jean. (1988). Translation: An Interpretative Approach (translated by Patricia Logan & Monica Creery). Ottawa: University of Ottawa Press. Echols, J.M & Shadily Hassan. An Indonesian-English Dictionary. USA: Cornell University Press. Encyclopedia Britannica Standard Edition CD-ROM. Copy Right@1994-2003. Encyclopedia Britannica Inc. Fowler, Roger. (1971). An Introduction to Transformational Syntax. London: Routledge and Keagen Paul Ltd. Gross, Alex. (2005). Some Major Dates and Events in the History of Translation’. Translation Journal Volume 9, No. 1 January 2005. URL: http://accurapid.com/journal/31history.htm Hariyanto, Sugeng. (2008). Methods in Translating Poetry. Taken from the website: http://www.translationdirectory.com/article638.htm Huddlestone, Rodney. (1988). English Grammar: An Outline. Cambridge: Cambridge University Press Kaur, Kulwindr. “A Competent Translator and Effective Knowledge Transfer” Translation Journal Volume 9, No. 4 (2005) 25 Jan. 2007
26
Kaur, Kulwindr. (2005). ‘Parallesism Between Language Learning and Translating’. Translation Journal. Volume 9, No. 3 July 2005. URL: http://accurapid.com/journal/33edu.htm Kaplan, Jeffrey P. (1989). English Grammar: Principles and Facts. New Jersey: Prentice-Hall, Inc. Leech, Geoffrey N. (1969). A Linguistic Guide to English Poetry. London: Longmans. Leech, G., et al. (1982). English Grammar for Today: A New Introduction. London: MACMILLAN EDUCATION LTD Lefevere, Andre. (1975). Translating Poetry: Seven Strategies and a Blueprint. Assen/Amsterdam: Van Gorcum. Macdonald, R. Ross. (1976). Indonesian Reference Grammar. USA: Georgetown University. Machali, R. (2009). Pedoman Bagi Penerjemah. Jakarta: Kaifa Moentaha, Salihen. (2006). Bahasa dan Terjemahan. Kesaint Blanc: Jakarta. Muhammad, Ainon. (1987). Panduan Menterjemah. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka Kementerian Pendidikan Malaysia. Muhammad, Ainon. Pengantar Terjemahan: Teori dan Latihan Praktikal. Penerbitan Adabi Damansara Utama: Kuala Lumpur. 1979. Munday, Jeremy. (2001). Introducing Translation Studies: Theories and Applications. Oxon: Routledge. Newmark, Peter. (1988). A Textbook of Translation. UK: Prentice Hall International (UK) Ltd. Nida, Eugene. A. (1975). Exploring Semantic Structures. Munchen: Wilhelm Fink Verlag. Parera, Jos Daniel. (1988). SINTAKSIS. Jakarta: PT Gramedia. Quirk, Randolph & Sydney Greenbaum. (1973). A University Grammar of English. Essex: Longman. Riazi, A. ‘The Invisible in Translation: The Role of Text Structure’ Translation Journal Volume 7, No. 2 (2007) 7 Feb. 2007 < http://accurapid.com/journal/24structure.htm> Robinson, Douglas. (1997/2003). Becoming a Translator: An Introduction to the Theory and Practice of Translation. London: Routledge. Savory, Theodore. (1968). The Art of Translation. London: Jonathan Cape Limited. Shibatani, Masayoshi (ed). (1988). Passive and Voice. Amsterdam: John Benjamins Publishing Company Sneddon, James Neil. (1996). Indonesian: A Comprehensive Grammar. London: Routledge. Stack, Maggie. (2005). Word Order and Intonation in Indonesian (LSO working papers in Linguistics 5). Madison: University of Wisconsin. http://ling.wisc.edu/lso/wpl/5.1/LSOWP5.1-13-Stack.pdf Stevens, Alan M. & A.Ed. Aschmidgall-Tellings. (2004). A comprehensive IndonesianEnglish Dictionary. Ohio: Ohio University Press. Williams, Jenny & Andrew Chesterman. (2002). The Map: A beginner’s Guide to Doing Research in Translation Studies. Manchester: St. Jerome Publishing. Zulprianto. (2008). Two English Translations of 11 Poems by Chairil Anwar (A Subthesis). Canberra: The Australian National University.
27