ARAHAN PEMANFAATAN RUANG DALAM PENGEMBANGAN WILAYAH SUB URBAN KOTA BANDA ACEH PASCA BENCANA TSUNAMI (Studi Kasus Kecamatan Ulee Kareng, Lueng Bata, dan Banda Raya)
KAMARUZZAMAN
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Arahan Pemanfaatan Ruang dalam Pengembangan Wilayah Sub Urban Kota Banda Aceh Pasca Bencana Tsunami : Studi Kasus Kecamatan Ulee Kareng, Lueng Bata dan Banda Raya adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, November 2008 Kamaruzzaman Nrp. A.253050261
ABSTRAK KAMARUZZAMAN. Arahan Pemanfaatan Ruang dalam Pengembangan Wilayah Sub Urban Kota Banda Aceh Pasca Bencana Tsunami (Studi Kasus Kecamatan Ulee Kareng, Lueng Bata dan Banda Raya). Dibimbing oleh MAHMUD A. RAIMADOYA dan DARMAWAN. Sebagai kota yang pernah mengalami bencana alam gempa dan tsunami yang terjadi pada Desember tahun 2004 yang lalu, Kota Banda Aceh telah mengalami perubahan land use seiring dengan terjadinya migrasi penduduk dari kawasan pesisir ke kawasan yang semakin jauh dari pantai, sebagai akibatnya telah terjadi pergeseran dan perubahan struktur pusat-pusat pelayanan. Salah satu dampak pergeseran tersebut adalah aktivitas pembangunan Kota Banda Aceh mengarah ke wilayah sub urban yaitu kawasan di bagian Selatan kota: Kecamatan Ulee Kareng, Lueng Bata, dan Banda Raya. Metode penelitian ini menggunakan analisis spasial berbasis SIG, menggunakan citra satelit IKONOS tahun 2006, analisis skalogram dan anilisis hirarki proses dengan menggunakan software CDP ver.3.0. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa penggunaan ruang di Kecamatan Ulee Kareng: ruang terbangun 30% dan ruang terbuka 70%; di Kecamatan Lueng Bata: ruang terbangun 52% dan ruang terbuka 48%; di Kecamatan Banda Raya: ruang terbangun 55% dan ruang terbuka 45%. Kemudian dari analisis skalogram dan AHP menunjukkan bahwa penentuan lokasi pengembangan wilayah Kota Banda Aceh cenderung mengarah ke Kecamatan Lueng Bata. Kata kunci: Pemanfaatan Lahan, Pengembangan wilayah, Kota Banda Aceh, Tsunami.
ABSTRACT KAMARUZZAMAN. Land use Direction on the Sub Urban Development Area After Tsunami in Banda Aceh (A Case Study in Kecamatan Ulee Kareng, Lueng Bata, and Banda Raya). Advisors: MAHMUD A. RAIMADOYA and DARMAWAN. Banda Aceh, a city which was hit by earthquake and Tsunami In December 2004. It has caused the change of land use. Moreover, community migrates from coastal area to area which is far from seashore. As the result, the structure of service centers has moved and changed. One of the movement impacts is the development activity of Banda Aceh has been directed to sub urban area which is at the Southern part of the city: Kecamatan Ulee Kareng, Lueng Bata, and Banda Raya. This research applied analysis method of Spatial-Based GIS, Satelite Image of IKONOS 2006, Scalogram Analysis, and Process Hierarchy analysis by using CDP ver.3.0 software. The result of research shows the land uses are as follows. In Kecamatan Ulee Kereng there are 30% constructed area and 70% opened area; in Kecamatan Lureng Bata there are 52% constructed area and 48% opened area; in Kecamatan Banda Raya there are 55% constructed area and 45% opened area. Furthermore, Scalogram and AHP analysis shows that the location determination for area development in Banda Aceh tends toward Kecamatan Lueng Bata. Key words: land use, development area, Banda Aceh, Tsunami.
KAMARUZZAMAN. Arahan Pemanfaatan Ruang dalam Pengembangan Wilayah Sub Urban Kota Banda Aceh Pasca Bencana Tsunami ( Studi kasus: Kecamatan Ulee Kareng, Lueng Bata dan Banda Raya ) Dibimbing oleh MAHMUD A. RAIMADOYA dan DARMAWAN. RINGKASAN Suatu kota pada mulanya berawal dari suatu pemukiman kecil, yang secara spasial mempunyai lokasi strategis bagi kegiatan perdagangan locatural rent (Sandy,1978). Seiring dengan perjalanan waktu, kota mengalami perkembangan sebagai akibat dari pertambahan penduduk, perubahan sosial-ekonomi dan budaya serta interaksi dengan kota-kota lain di sekitarnya. Secara fisik, perkembangan suatu kota dapat dicirikan dari penduduknya yang semakin bertambah padat, bangunan-bangunan yang semakin rapat dan wilayah terbangun terutama pemukiman cenderung semakin luas, serta semakin lengkapnya fasilitas kota yang mendukung kegiatan sosial dan ekonomi kota (Branch, dalam Sobirin 2001). Bencana alam, gempa dan tsunami yang terjadi di akhir tahun 2004 merupakan peristiwa yang sangat dahsyat sepanjang sejarah peradaban umat manusia yang menimpa pulau Sumatera di bagian pesisir utara dan barat, menghancurkan infrastruktur, perekonomian dan sosial masyarakat serta menelan korban manusia yang sangat besar. Salah satu wilayah yang mengalami kerusakan terparah adalah ibukota Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, yaitu Kota Banda Aceh. Peristiwa ini memberikan pelajaran/masukan di dalam perencanaan wilayah bahwa seharusnya mitigasi bencana sudah dipikirkan dan dikaji sehingga kejadian/peristiwa bencana dapat diantisipasi secara dini dan diambil tindakan untuk mengurangi ancaman kematian dan kehancuran di kemudian hari ketika bencana alam tersebut terjadi. Bencana tersebut membuat kota Banda Aceh mengalami perubahan landuse, migrasi penduduk dari kawasan pesisir dan dari daerah lain yang diikuti pula terjadi perubahan struktur pusat-pusat pelayanan, bergeser semakin menjauh dari pantai. Dampaknya adalah pergeseran aktivitas pembangunan kota Banda Aceh yang mengarah ke wilayah selatan kota yang merupakan wilayah pinggiran atau Sub Urban. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui (1) penggunaan lahan/ruang di kawasan Sub Urban Kota Banda Aceh, (2) mengidentifikasi hirarki pusat-pusat aktivitas, dan (3) menentukan arah pengembangan wilayah Sub Urban kota Banda Aceh. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis penggunaan lahan, analisis skalogram dan analisis hirarki proses (AHP). Analisis penggunaan lahan dilakukan untuk mengetahui bentuk-bentuk penggunaan, lahan untuk kegiatan budidaya. Metode skalogram digunakan untuk mengetahui sebaran sarana-prasarana yang terdapat di kawasan Sub Urban Kota Banda Aceh didalam menentukan hirarki pusat aktivitas di masing-masing kecamatan penelitian Metode pendekatan analisis hirarki proses (AHP) dilakukan untuk mengetahui kebijakan tata ruang, maka dapat dipilih alternatif dari arahan pengembangan wilayah di Sub Urban kota Banda-Aceh. Penggunaan lahan dominan di Kecamatan Ulee Kareng adalah penggunaan lahan kebun sebesar 53.09 %. Urutan berikutnya adalah permukiman sebesar
29.16 %, sawah sebesar 9.14 %, dan lain-lain. Ruang terbangun sebesar dominan 29.63 % dan ruang tidak terbangun/terbuka sebesar 70.37 %. Penggunaan lahan dominan di Kecamatan Lueng Bata adalah penggunaan lahan permukiman sebesar 47.67 %. Urutan berikutnya ialah sawah sebesar 24.45 %, kebun sebesar 14.45 %, rawa sebesar 5.27 %, dan lain-lainnya. Ruang terbangun sebesar 52.30 % dan ruang tidak terbangun/terbuka sebesar 47.70 %. Penggunaan lahan di Kecamatan Banda Raya dominan adalah penggunaan lahan permukiman sebesar 49.57 %, sawah sebesar 29.18 %, kebun sebesar 10.99 %, rawa sebesar 2.70 %, dan lainnya. atau ruang terbangun sebesar 54.80 % dan ruang tidak terbangun/terbuka sebesar 45.20 %. Hasil analisis skalogram berdasarkan jumlah jenis sarana dan prasarana maupun berdasarkan indeks perkembangan kecamatan menunjukkan bahwa secara kumulatif Kecamatan Lueng Bata berada pada hirarki I, Kecamatan Banda Raya berada pada hirarki II sedangkan Kecamatan Ulee Kareng berada pada hirarki III. Dengan demikian dikatakan bahwa Kecamatan Lueng Bata secara realistis menjadi pusat berbagai aktifitas yang memiliki berbagai fasilitas umum yang secara relatif lebih baik Dari hasil analisis AHP dengan menggunakan sofware CDP Ver.3.0 terlihat bahwa Kecamatan Lueng Bata memiliki sumberdaya wilayah yang lebih baik, dibanding Kecamatan Banda Raya maupun Kecamatan Ulee Kareng, sedangkan bila ditinjau dari faktor sosial fisik wilayah Kecamatan Banda Raya lebih unggul di banding Kecamatan Lueng Bata dan Kecamatan Ulee Kareng. Bila dilihat dari sudut faktor ekonomi wilayah maka kecamatan Ulee Kareng lebih unggul dibandingkan dengan kedua kecamatan lainnya. Secara kumulatif, dari ketiga kecamatan yang dianalisis yang menjadi penentu di dalam menentukan lokasi pengembangan wilayah adalah Kecamatan Lueng Bata sebesar 0.458, Kecamatan Banda Raya sebesar 0.298 dan Kecamatan Ulee Kareng sebesar 0.244. Ini berarti bahwa penentuan lokasi pengembangan wilayah di Sub Urban kota Banda Aceh adalah Kecamatan Lueng Bata memiliki bobot sebesar 45.8 %, Kecamatan Banda Raya sebesar 29.8 % dan Kecamatan Ulee Kareng sebesar 24.4 %. Jadi lokasi yang menjadi arahan perkembangan wilayah kota Banda Aceh adalah mengarah ke Kecamatan Lueng Bata. Arahan pemanfaatan ruang di BWK Selatan (Bahagian Wilayah Kota) di Kota Banda Aceh, berfungsi sebagai pusat kegiatan olah raga (sport center), terminal AKAP dan AKDP, perdagangan dan jasa serta pergudangan. Kemudian Pusat BWK Selatan ditetapkan di koridor Batoh (Kecamatan Lueng Bata) hingga Lampeunereut (Kabupaten Aceh Besar). sebagai pusat pelayanan di Kota Banda Aceh yang arahan rencana sistem pelayanan berada di Batoh dan Lamdom (Kec. Lung Bata) berfungsi sebagai pusat pemerintahan provinsi NAD yang baru, pusat perdagangan dan jasa dan permukiman. Sedangkan Kecamatan Ulee Kareng sebagai pusat BWK Timur yang merupakan pengembangan kota ke bagian Timur, berfungsi sebagai pusat pelayanan sosial kota seperti pendidikan, kesehatan, dan kegiatan lain yang komplementer dengan kedua kegiatan tersebut. Selain itu juga berfungsi sebagai perdagangan dan jasa serta permukiman.
© Hak cipta milik I P B, tahun 2009 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebut sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.
ARAHAN PEMANFAATAN RUANG DALAM PENGEMBANGAN WILAYAH SUB URBAN KOTA BANDA ACEH PASCA BENCANA TSUNAMI (Studi Kasus Kecamatan Ulee Kareng, Lueng Bata, dan Banda Raya)
KAMARUZZAMAN
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009
Judul Tesis
:
Arahan Pemanfaatan Ruang dalam Pengembangan Wilayah Sub Urban Kota Banda Aceh Pasca Bencana Tsunami (Studi Kasus Kecamatan Ulee kareng, Lueng Bata, dan Banda Raya)
Nama NIM
: :
KAMARUZZAMAN A 253050261
Disetujui Komisi Pembimbing
Ir. Mahmud A. Raimadoya, M.Sc. Ketua
Dr. Ir. Darmawan, M.Sc. Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah
Dekan Sekolah Pascasarjana IPB
Dr. Ir. Ernan Rustiadi, M.Agr.
Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, M.S.
Tanggal Ujian: 16 Pebruari 2009.
Tanggal Lulus : 27 Pebruari 2009
Tesis ini aku persembahkan buat : Ibunda Aisyah dan Ayahanda Muhammad Umar (alm) Mertuaku Ibunda Zaida (almh) dan Ayahanda Araby Ahmad (alm) yang selalu mendukung ananda dalam suka maupun duka. Kepada Istriku tercinta Dzarnisa Araby yang tak pernah lelah mendampingiku, terima kasih, Juga kepada anakku :Muhammad Rizki Alfihusni dan Nur Rizka Alfirahusna si kembarku, anakku Rizna Annisa Marzatilla serta Muhammad Chairul Rizqullah, terimakasih atas do’a kalian.
Allah Always Answer your requesr, Maybe not always with “a yes” but with “the best”.
Sebuah SUKSES Lahir bukan karena Kebetulan Atau Keberuntungan Semata Sebuah SUKSES terwujud karena di Ikhtiarkan, melalui Target yang Jelas, Perencanaan yang matang, Keyakinan, Kerja Keras, Keuletan dan Niat Baik ( Andrie Wongso )
PRAKATA Bismillahirrahmanirrahim Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, atas rahmat serta ridhoNya karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Judul penelitian adalah Arahan Pemanfaatan Ruang dalam Pengembangan Wilayah Sub Urban Kota Banda Aceh Pasca Bencana Tsunami (Studi Kasus Kecamatan Banda Raya, Lueng Bata dan Ulee Kareng). Dalam kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada : Bapak Ir. Mahmud A.Raimadoya, M.Sc selaku ketua komisi pembimbing, dan Bapak Dr. Ir. Darmawan, M.Sc sebagai anggota komisi pembimbing, atas arahan, bimbingan dan kesediaannya meluangkan waktu di antara jadwal kerjanya yang sangat padat, Bapak Dr. Ir. Ernan Rustiadi, M.Agr selaku Ketua Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah, serta Bapak Dr.Ir. Setia Hadi, M.S sebagai penguji luar komisi yang memberi masukan yang berguna, dan juga segenap staf pengajar dan staf manajemen Program Studi Perencanaan Wilayah. Ucapan terimakasih disampaikan juga kepada sahabat-sahabat PWL kelas reguler angkatan 2005: Ni Made Esti Nurmani, Lilis, Suci Rachmawaty, Mesriany Hudiya, Arman, Samy dan Nina Nidiana Darojati atas segala bantuan dan dukungan serta kerjasamanya. Serta semua pihak yang tidak bisa disebutkan satu persatu yang telah membantu dalam penyelesaian karya ilmiah ini. Penulis menyadari keterbatasan ilmu dan kemampuan penulis sehingga dalam penulisan ini masih banyak kekurangan. Kiranya karya ini ada manfaatnya bagi kita semua. Bogor, Juni 2008 Kamaruzzaman
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Banda Aceh, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam pada tanggal 5 Januari 1967 sebagai anak ke tiga dari tujuh bersaudara, dari pasangan Muhammad Umar (alm) dan Aisyah Tahun 1987 penulis lulus dari SMA Negeri 2 Banda Aceh dan pada tahun yang sama melanjutkan pendidikannya pada Fakultas Pertanian Jurusan Peternakan Universitas Syiah Kuala melalui jalur PMDK dan lulus pada tahun 1993. Pada tahun 2005 penulis diterima di Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah. Tahun 1996, penulis diangkat sebagai Pegawai Negeri Sipil di Kabupaten Pidie dan pada tahun 2000 pindah ke Kota Banda Aceh hingga sekarang, dan di tempatkan pada Bappeda Kota Banda Aceh.
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL ………………………………………………………
xv
DAFTAR GAMBAR …………………………………………………..
xvi
DAFTAR LAMPIRAN …………………………………………………
xvii
PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang ………………………………….………………..…...
1
1.2. Perumusan Masalah ………………….…..….......................................
2
1.3. Kerangka Pemikiran ..............................................................................
3
1.4. Tujuan Penelitian ……………………………………………………...
5
1.5. Manfaat Penelitian ................................................................................
5
TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tsunami ………………………………….…………………………..
6
2.1.1. Penyebab tsunami …..………………….…..….........................
6
2.1.2. Perambatan tsunami dan rayapan tsunami di daratan .................
7
2.2. Penataan Ruang ............. ..……………………….…………………..
8
2.3. Konsep Wilayah dan Pengembangan Wilayah ………………………
10
2.4. Kota dalam Pengembangan Wilayah ………………………………..
13
2.5. Teori Lokasi dan Pemusatan Kegiatan ...............................................
17
2.6. Hirarki Pusat Aktivitas …………………………………....................
23
2.7. Citra Satelit Resolusi Tinggi.................................................................
27
METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Studi .................. ………………………………….
29
3.2. Data dan Sumber Data ..........………………………………………….
29
3.3. Motode Pengolahan dan Analisis Data ….……………………...........
30
3.3.1. Analisis penggunaan lahan ………............................
32
3.3.2. Analisis pusat aktivitas dengan skalogram.…............……….
34
3.3.3. Analisis Hirarki Proses (AHP)..............................................
35
KEADAAN UMUM WILAYAH PENELITIAN 4.1. Kota Banda Aceh..................................................................................
38
4.1.1. Letak Geografis...........................................................................
38
4.1.2. Topografi.....................................................................................
38
4.1.3. Hidrologi.....................................................................................
39
4.1.4. Klimatologi.................................................................................
39
4.1.5. Geologi ......................................................................................
40
4.2. Jumlah Penduduk.................................................................................
40
4.2.1. Kepadatan penduduk………………………………………….
41
4.3. Kecamatan Ulee Kareng, Lueng Bata, dan Banda Raya……………..
43
4.4. Sosial Ekonomi……………………………………………………….
44
HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Penggunaan Lahan………………………………………....………...
45
5.1.1. Penggunaan Lahan di Kecamatan Ulee Kareng ................…...
47
5.1.2. Penggunaan Lahan di Kecamatan Lueng Bata …......….……
47
5.1.3. Penggunaan Lahan di Kecamatan Banda Raya ……….………
48
5.2. Penentuan Hirarki Pusat Aktivitas ….......…......................................
50
5.3. Keterkaitan Hirarki Pusat Aktivitas dengan Prasarana Jalan………..
53
5.4. Kebijakan Arah Perkembangan Wilayah Kota Banda Aceh..……….
55
KESIMPULAN DAN SARAN 6.1. Kesimpulan …. ……………………………………….……………...
60
6.2. Saran ……….... ……………………………………….……………..
61
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN
DAFTAR TABEL
Halaman 1
Spesifikasi Citra Ikonos.............................................……......................
28
2
Jenis Data, Aspek dan Sumber Data yang Digunakan ................…….....
30
3
Matrik Tujuan, Analisis, Variabel, Data dan Keluaran..........................
31
4
Luas dan Persentase Wilayah Kecamatan di Kota Banda Aceh.............
38
5
Nama Sungai di Kota Banda Aceh dan Luas Daerah Resapannya.........
39
6
Jumlah Penduduk Pasca Tsunami di Kota Banda Aceh ........................
40
7
Tingkat Kepadatan Penduduk di Kota Banda Aceh Pasca Tsunami .....
43
8
Nama Desa / Kelurahan.........................................................................
44
9
Jenis Penggunaan Lahan di Tiga Kecamatan Penelitian........................
45
10
Jenis Penggunaan Lahan di Kecamatan Ulee Kareng tahun 2006........
47
11
Jenis Penggunaan Lahan di Kecamatan Lueng Bata tahun 2006..........
48
12
Jenis Penggunaan Lahan di Kecamatan Banda Raya tahun 2006........
49
13
Pemanfaatan Ruang Terbangun dan Ruang Terbuka ..........................
49
14
Hirarki Kecamatan Penelitian dalam Kota Banda Aceh berdasarkan 51 Jumlah Jenis Sarana Prasarana...............................................................
15
Hirarki Kecamatan berdasarkan Indeks Perkembangan Kecamatan......
52
DAFTAR GAMBAR
Halaman 1
Bagan Alir Kerangka Pemikiran ................….....………...............................
4
2
Peta Lokasi Penelitian …………………………. ................………….…..….
29
3
Bagan Alir Pendekatan Penelitian.......................................................…..…. 32
4
Grafik Jumlah Penduduk Sebelum dan Sesudah Tsunami ……………
5
Grafik Penurunan Kepadatan Penduduk di Kota Banda Aceh 43 Pasca Bencana Tsunami……………………………………………….
6
Peta Penggunaan Lahan Lokasi Penelitian.…..……….............................
46
7
Peta Jaringan Jalan Daerah Penelitian....................................................
54
8
Peta Arahan Pemanfaatan Ruang Area Penelitian..................................
58
41
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman Lampiran 1
Struktur AHP..................................................................
65
Lampiran 2
Kuisioner ………………………………………………
66
Lampiran 3
Hasil AHP Arah Pengembangan Wilayah ……………
81
Lampiran 4
Penentuan Lokasi Pengembangan Wilayah……………
82
Lampiran 5
Hasil Kontribusi Pengembangan Wilayah…………….
82
Lampiran 6
Peta Zonasi BWK Areal Penelitian…………………….
83
1
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Suatu kota pada mulanya berawal dari suatu pemukiman kecil, yang secara spasial mempunyai lokasi strategis bagi kegiatan perdagangan (Sandy,1978). Seiring dengan perjalanan waktu, kota mengalami perkembangan sebagai akibat dari pertambahan penduduk, perubahan sosial-ekonomi dan budaya serta interaksi dengan kota-kota lain di sekitarnya. Secara fisik, perkembangan suatu kota dapat dicirikan dari penduduknya yang semakin bertambah padat, bangunan-bangunan yang semakin rapat dan wilayah terbangun terutama pemukiman cenderung semakin luas, serta semakin lengkapnya fasilitas kota yang mendukung kegiatan sosial dan ekonomi kota (Branch, 1996 dalam Sobirin, 2001). Gempa dan tsunami yang terjadi di akhir tahun 2004 merupakan peristiwa bencana alam yang sangat dahsyat sepanjang sejarah peradaban umat manusia yang menimpa pulau Sumatera di bagian pesisir utara dan barat. Bencana ini telah menghancurkan infrastruktur, perekonomian dan sosial masyarakat serta menelan korban manusia yang sangat besar. Salah satu wilayah yang mengalami kerusakan terparah adalah ibukota Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, yaitu Kota Banda Aceh dengan penduduk berjumlah 230.774 jiwa (BPS, 2004) dan pasca bencana jumlah penduduk Kota Banda Aceh 178.380 jiwa (BPS, 2006). Peristiwa ini memberikan pelajaran/masukan di dalam perencanaan wilayah, bahwa mitigasi bencana semestinya sudah dipikirkan dan dikaji sehingga setiap bencana dapat diantisipasi secara dini dan diambil tindakan untuk mengurangi ancaman kematian dan kehancuran di kemudian hari ketika bencana alam terjadi. Mitigasi perlu dilakukan karena pada umumnya penduduk kembali membangun bangunan di atas lahan yang telah hancur akibat bencana, namun sulit untuk meyakinkan masyarakat bahwa bahaya/bencana tersebut sewaktu-waktu bisa terjadi lagi. Akibat bencana gempa dan tsunami kota Banda Aceh mengalami perubahan land use, migrasi penduduk dari kawasan pesisir dan dari daerah lain yang diikuti pula terjadi perubahan struktur pusat-pusat pelayanan, bergeser semakin menjauh dari pantai. Dampaknya adalah pergeseran aktivitas pembangunan kota Banda
2
Aceh yang mengarah ke wilayah selatan kota yang merupakan wilayah pinggiran atau sub urban. Yunus (1987) mengatakan bahwa salah satu tanda terjadinya pemekaran kota di daerah pinggiran kota adalah adanya gejala filtering up yaitu pergantian pemukiman-pemukiman lama dengan pemukiman-pemukiman baru yang kondisi ekonominya lebih baik. Selanjutnya Hammond, (1979) dalam Daldjoeni, (1987) mengemukakan bahwa tumbuhnya daerah pinggiran kota karena (1) Adanya peningkatan pelayanan transportasi kota yang memudahkan orang bertempat tinggal pada jarak yang jauh dari tempatnya bekerja; (2) Berpindahnya sebahagian penduduk dari bagian pusat kota ke bagian pinggiran kota dan masuknya penduduk baru yang berasal dari perdesaan; serta (3) Meningkatnya taraf kehidupan masyarakat.
1.2. Perumusan Masalah Struktur kota Banda Aceh sebelum bencana tsunami berpusat pada Mesjid Raya Baiturrahman dan Pasar Aceh yang menjadi pusat pemerintahan, budaya, agama serta pedagangan. Kemudian pada kawasan permukiman perkotaan terdapat permukiman dan pusat pelayanan baru. Kawasan ini dalam pemanfaatan ruang masih beragam. Seperti umumnya kota-kota di Indonesia, Banda Aceh pun tumbuh hampir tidak terencana dengan baik, dengan konsentrasi kepadatan di pusat kota, di sekitar mesjid Baiturrahman dan memanjang hampir linier mengikuti jalan utama yang relatif sejajar pantai dan melebar ke arah pantai Pengembangan kota Banda Aceh di masa mendatang, seharusnya struktur pusat kota dalam bentuk multi center dengan satu atau dua pusat kota dan didukung oleh beberapa sub pusat pengembangan. Pusat-pusat tersebut dihubungkan dengan jaringan jalan melingkar dengan utilitas lainya sehingga tuntutan terhadap pengembangan pusat-pusat pelayanan semakin dirasakan sangat dibutuhkan seiring dengan semakin pesatnya perkembangan kota di masa yang akan datang. Hal tersebut perlu dilakukan dalam rangka memberikan efesiensi dan efektifitas pelayanan. Dengan adanya pengembangan dan pembangunan fisik di bagian Selatan Kota Banda Aceh, sehingga adanya perluasan pembanguan wilayah kota menuju ke bagian pinggir kota (sub urban) menyebabkan terjadinya
3
perubahan penggunaan lahan. Adapun permasalahannya dapat dirumuskan sebagai berikut : (1) Bagaimana arahan penggunaan ruang/lahan sudah sesuai dengan Revisi Rencana Tata Ruang di kawasan sub urban kota; (2) Bagaimana sebaran sarana dan prasarana di kawasan sub urban kota dalam kaitannya dengan hirarki wilayah (3) Apa kebijakan pemerintah kota Banda Aceh dalam pengembangan wilayah di sub urban Kota.
1.3. Kerangka Pemikiran Salah satu tahapan dari penataan ruang adalah perencanaan, yang menghasilkan dokumen Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW). Dokumen ini merupakan acuan yang sah dalam melaksanakan pembangunan/pemanfaatan ruang, sehingga penataan ruang merupakan acuan dalam menentukan peluang dan batasan dalam pembangunan/pengembangan wilayah. Tujuan dari penataan ruang wilayah adalah terwujudnya pemanfaatan ruang yang berkualitas, berdaya guna dan berhasil guna untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat secara berkelanjutan. Tujuan tersebut dapat tercapai dengan upaya-upaya optimalisasi dan efisiensi dalam penggunaan ruang, kenyamanan bagi penghuninya, peningkatan produktivitas kota, sehingga mampu mendorong sektor perekonomian wilayah dengan tetap memperhatikan aspek kesinergian, keberkelanjutan dan berwawasan lingkungan. Bencana alam gempa dan tsunami yang terjadi akhir tahun 2004 yang lalu telah menyebabkan tingkat kehancuran yang sangat tinggi di Kota Banda Aceh. Walaupun demikian, kota ini hingga saat kini pun masih memiliki peran, fungsi dan kedudukan yang strategis dalam konteks pelayanan regional. Akibat bencana yang terjadi tersebut, pergeseran penggunaan lahan yang terjadi pasca bencana cukup besar, terutama untuk kawasan permukiman.
Kawasan permukiman
bergeser ke kecamatan-kecamatan yang berada di wilayah pinggiran Kota Banda Aceh.
Pada dokumen Revisi Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota
Banda Aceh tahun 2006 – 2016, arahan pola ruang wilayah dengan tegas mengarahkan pengembangan wilayah lebih ke arah Selatan Kota Banda Aceh, sementara wilayah Utara kota yang merupakan kawasan pesisir/pantai diarahkan juga untuk pengembangan pembangunan terbatas. Berdasarkan kecenderungan
4
yang terjadi di lapangan, kecenderungan perkembangan Kota Banda Aceh adalah ke sebelah Selatan kota. Dengan menggunalan analisis spasial dapat diketahui pemanfaatan lahan di kawasan sub urban Kota Banda Aceh. Potensi dari wilayah sub urban itu harus diketahui, yaitu dengan menggunakan kriteria penggunaan lahan untuk berbagai kegiatan (permukiman, industri, perdagangan, jasa, pertanian dan lain-lain). Metode skalogram digunakan untuk mengetahui sebaran sarana-prasarana yang terdapat di kawasan sub urban kota Banda Aceh di dalam menentukan hirarki pusat aktivitas di masing-masing kecamatan penelitian. Metode pendekatan analisis hirarki proses (AHP) dilakukan untuk mengetahui kebijakan tata ruang, sehingga dapat dipilih alternatif dari arahan penentuan pengembangan wilayah di sub urban Kota Banda-Aceh.
Kerangka pemikiran dapat di lihat pada ( Gambar 1 ).
Gambar 1. Bagan Alir Kerangka Pemikiran
5
1.4. Tujuan Penelitian 1. Mengetahui penggunaan lahan/ruang di kawasan sub urban Kota Banda Aceh 2. Mengidentifikasi hirarki pusat-pusat aktivitas 3. Menentukan arah pengembangan wilayah Kota Banda Aceh
1.5. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat serta memberi masukan bagi pemerintah Kota Banda Aceh sebagai bahan pertimbangan dan acuan dalam pengembangan wilayah sub-urban kota Banda Aceh.
6
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Tsunami Tsunami merupakan kosa-kata yang berasal dari jepang, yaitu “tsu” berarti pelabuhan dan “nami” berarti gelombang/ombak. Kedua kata tersebut digabungkan dan dapat diartikan sebagai “gelombang pelabuhan yang besar”. Pengertian ini diambil dari akibat gelombang raksasa yang sering menyebabkan kematian dan kerusakan pada pelabuhan-pelabuhan dan pedesaan yang terletak di pantai Jepang (Diposaptono, 2005).
2.1.2. Penyebab tsunami Tsunami dapat ditimbulkan oleh berbagai gangguan yang memindahkan massa air yang besar secara vertikal dari posisi kesetimbangannya. Gempa dengan patahan vertikal, baik patahan naik atau patahan turun yang terjadi secara mendadak di kedalaman ribuan meter, dapat memicu terjadinya tsunami. Keberadaan tersebut juga bisa terjadi akibat letusan gunung berapi bawah laut atau lingkungan laut, dimana gaya impulsif yang dihasilkan oleh letusan memindahkan kolam air dan menciptakan tsunami. Fenomena tersebut pernah terjadi di Indonesia pada saat gunung Krakatau meletus pada tanggal 27 Agustus 1883, yang telah memicu timbulnya gelombang tsunami setinggi lebih dari 30 meter. Selain disebabkan oleh peristiwa alam yang bersumber dari bawah laut, tsunami dapat pula terjadi akibat longsoran gunung es seperti yang terjadi di Alaska pada tahun 1958 ( Diposaptono, 2005). Menurut Diposaptono (2005), kejadian tsunami di Aceh akhir tahun 2004 disebabkan oleh pergeseran lempeng tektonik yang menyebabkan gempa tektonik berkekuatan 9.0 SR, pada kedalaman 4 km di dasar laut. Disamping menyebabkan gempa, pergeseran tersebut menyebabkan patahan dan memicu dua gempa besar lainnya di kepulauan Andaman dan Nikobar (India) dengan kekuatan 6.3 dan 7.3 SR yang mengganggu keseimbangan air laut sehingga menimbulkan pergolakan air yang dahsyat dan menyebabkan kerusakan serta korban jiwa di daerah pantai yang terletak di sekitar samudera Hindia.
7
2.1.3. Perambatan dan rayapan tsunami di daratan Di tengah lautan, ketinggian gelombang tsunami tidak lebih dari 3 meter, terlihat seperti gelombang laut normal pada umumnya, walaupun wujud fisik tsunami tidak kelihatan di permukaan laut dalam, sebenarnya kecepatan rambatan tsunami bisa mencapai 1000 km/jam di laut dalam, ia akan mengalami perubahan kenampakan gelombang ketika meninggalkan perairan laut dalam dan merambat ke perairan yang lebih dangkal di pesisir. Pada saat gelombang mencapai perairan yang dangkal, kecepatan tsunami akan berkurang tetapi energi total dari tsunami konstan sehingga ketinggian gelombang dapat mencapai ketinggian lebih dari 15 meter atau lebih. Pada kedalaman laut 4.000 meter, tsunami merambat dengan kecepatan 720 km/jam, sedangkan pada kedalaman laut 90 meter kecepatannya berkurang menjadi sekitar 25 – 100 km/jam. Terkadang tsunami bisa saja musnah jauh sebelum mencapai pantai. Namun bila mencapai pantai, tsunami dapat terlihat sebagai gelombang pasang naik maupun pasang turun yang meningkat drastis, rangkaian gelombang besar, atau bahkan sebuah bore yang menerjang hingga ke pedalaman (daratan) yang secara normal tidak pernah terjangkau oleh gelombang laut. Bore adalah gelombang yang mirip tangga dengan dengan sisi yang curam, yaitu ujung gelombang pasang yang mendesak air sungai ke hulu yang terjadi pada saat pasang laut naik, disebut juga tidal bore. Sebuah bore dapat terjadi apabila tsunami bergerak dari perairan dalam ke perairan teluk dangkal atau sungai. Terumbu karang, semenanjung, muara-muara, kenampakan-kenampakan bawah laut dan kelerengan pantai kesemuanya itu membantu untuk memodifikasi tsunami pada saat mencapai pantai. Tsunami yang bergerak naik ke daratan umumnya merayap dengan kecepatan sekitar 70 km/jam merupakan kekuatan yang sangat besar yang bisa mengangkat pasir di pantai, mencabut pepohonan dan menghancurkan bangunan apalagi manusia dan kapal-kapal tidak berdaya melawan turbulensinya. Kualitas air yang dibawa ke daratan mampu membanjiri daerah luas yang biasanya kering (dry land). Rayapan akibat gelombang tsunami dapat menimbulkan genangan banjir yang merambah daratan hingga 300 meter dari garis pantai atau lebih.
8
2.2. Penataan Ruang Ruang didefinisikan sebagai wadah yang meliputi ruang daratan, ruang lautan dan ruang udara sebagai suatu kesatuan tempat manusia dan mahluk hidup lainnya melakukan kegiatan serta kelangsungan hidupnya. Menurut UU No. 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang, penataan ruang adalah suatu sistem proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang. Perencanaan tata ruang adalah proses untuk menentukan struktur ruang dan pola ruang yang meliputi penyusunan dan penetapan rencana tata ruang. Pemanfaatan ruang adalah upaya untuk mewujudkan struktur ruang dan pola ruang sesuai dengan rencana tata ruang melalui penyusunan dan pelaksanaan program beserta biaya, sementara itu pengendalian pemanfaatan ruang adalah upaya untuk mewujudkan tertib tata ruang. Lebih jauh lagi pada pasal 2 undang–undang ini menyatakan bahwa penataan ruang berasaskan : a) Keterpaduan; b) Keserasian, keselarasan, dan keseimbangan; c) Keberlanjutan; d) Keberdayagunaan dan keberhasilgunaan; e) Keterbukaan; f) Kebersamaan dan kemitraan; g) Perlindungan kepentingan umum; h) Kepastian hukum dan keadilan; dan i) Akuntabilitas. Menurut Rustiadi et al. (2005), penataan ruang pada dasarnya merupakan perubahan yang disengaja. Dalam pemahamannya sebagai proses pembangunan melalui upaya-upaya perubahan kearah kehidupan yang lebih baik, maka penataan ruang merupakan bagian dari proses pembangunan. Penataan ruang mempunyai tiga urgensi, yaitu : a) Optimalisasi pemanfaatan sumberdaya (prinsip produktivitas dan efesiensi); b) Alat dan wujud distribusi sumberdaya (prinsip pemerataan, keberimbangan, dan keadilan) dan c) Keberlanjutan (prinsip sustainabilitas). Konsep penataan ruang dapat menjadi aktivitas yang mengarahkan kegiatan pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah dan masyarakat termasuk dunia usaha. Penataan ruang bukanlah suatu tujuan akan tetapi merupakan alat untuk mencapai tujuan, dengan demikian kegiatan penataan ruang tidak boleh berhenti dengan diperda kannya rencana tata ruang kabupaten/kota, tetapi penataan ruang harus merupakan aktifitas yang terus menerus dilakukan untuk mengarahkan
9
masyarakat suatu wilayah untuk mencapai tujuan-tujuan pokoknya (Darwanto, 2000). Menurut UU 26/2007, pola ruang adalah distribusi peruntukan ruang dalam suatu wilayah yang meliputi peruntukan ruang untuk fungsi lindung dan peruntukan ruang untuk fungsi budidaya. Menurut Rustiadi (2004), tata ruang sebagai wujud pola dan struktur pemanfaatan ruang terbentuk secara alamiah dan merupakan wujud dari proses pembelajaran (learning process) yang terus menerus. Sebagai alat pendeskripsian, istilah pola spasial (ruang) erat dengan istilah-istilah kunci seperti pemusatan, penyebaran, pencampuran dan keterkaitan, posisi/lokasi, dan lain-lain. Pola pemanfaatan ruang selalu berkaitan dengan aspek-aspek sebaran sumberdaya dan aktifitas pemanfaatannya menurut lokasi, setiap jenis aktifitas menyebar dengan luas yang berbeda-beda, dan tingkat penyebaran yang berbeda-beda pula (Rustiadi 2004). Pola pemanfaatan ruang juga dicerminkan dengan gambaran pencampuran atau keterkaitan spasial antar sumberdaya dan pemanfaatannya. Kawasan pedesaan dicirikan dengan dominasi pencampuran antara aktifitas-aktifitas pertanian, penambangan, dan kawasan lindung. Sebaliknya, kawasan perkotaan dicirikan oleh pencampuran yang lebih rumit antara aktifitas jasa komersial dan pemukiman. Adapun, kawasan sub urban di daerah perbatasan perkotaan dan pedesaan dicirikan dengan kompleks pencampuran antara aktifitas pemukiman, industri dan pertanian. Peta penggunaan lahan dan peta penutupan lahan adalah bentuk deskriptif terbaik dalam menggambarkan pola pemanfaatan ruang yang ada (Rustiadi 2004). Hutabarat (2005), menyatakan bahwa dewasa ini penyelenggaraan penataan ruang senantiasa dikaitkan dengan upaya mewujudkan good governance, baik dalam konteks pembangunan wilayah administrasi maupun kawasan fungsional. Penerapan prinsip-prinsip good governance seperti keberlanjutan, keadilan, efesiensi, trasparansi, akuntabilitas, kepatian hukum, dan pelibatan masyarakat secara keseluruhan juga merupakan prinsip-prinsip dasar dalam penataan ruang. Dalam kata lain instrumen penataan ruang dapat dimanfaatkan oleh pengelola wilayah administrasif ataupun kawasan fungsional dalam pelaksanaan kegiatan pembangunan yang terpadu untuk mewujudkan ruang yang berkualitas, yang
10
didukung oleh pelayanan sosial-ekonomi yang baik bagi kesejahteraan masyarakat. Menurut Rustiadi (2001), proses alih fungsi lahan dapat dipandang merupakan suatu bentuk konsekuensi logis dari adanya pertumbuhan dan transformasi perubahan struktur sosial ekonomi masyarakat yang sedang berkembang.
Perkembangan
yang
dimaksud
tercermin
dari
adanya:
(1) Pertumbuhan aktivitas pemanfaatan sumberdaya alam akibat meningkatnya permintaan kebutuhan terhadap penggunaan lahan sebagai dampak dari peningkatan jumlah penduduk dan pendapatan per kapita; dan (2) Adanya pergeseran kontribusi sektor-sektor pembangunan dari sektor-sektor primer (sektor-sektor pertanian dan pengelolaan sumberdaya alam) ke aktivitas sektorsektor sekunder (industri manufaktur dan jasa).
2.3. Konsep Wilayah dan Pengembangan Wilayah Wilayah menurut Undang-Undang No. 26 tahun 2007 adalah ruang yang merupakan kesatuan geografis beserta segenap unsur yang terkait kepadanya yang batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan aspek administratif dan atau aspek fungsional. Sedangkan menurut Winoto (1999), wilayah sebagai area geografis yang mempunyai ciri tertentu dan merupakan wadah bagi segala sesuatu untuk berlokasi dan berinteraksi. Sehingga wilayah dapat didefinisikan, dibatasi dan digambarkan berdasarkan ciri atau kandungan area geografis tersebut, namun ciri dan kandungan area geografis yang digunakan untuk mendefinisikan wilayah merupakan hal yang masih diperdebatkan. Dalam memahami wilayah, terdapat juga pengertian wilayah sebagai wilayah nodal. Wilayah nodal merupakan bentuk spesifik dari wilayah fungsional dan dianggap sebagai suatu sel yang terdiri dari satu inti (center) dan dikelilingi oleh plasma (hinterland). Inti merupakan daerah center of excellence dan memiliki sifat lebih majemuk daripada daerah hinterland. Inti atau pusat berfungsi sebagai tempat konsentrasi penduduk, pusat pasar, pusat perdagangan, pusat pelayanan masyarakat, pusat industri dan inovasi. Hinterland mempunyai fungsi spesifik sebagai pemasok bahan mentah, tenaga kerja dan sebagai tempat pemasaran produk yang dihasilkan oleh pusat serta berfungsi juga sebagai
11
penyeimbang ekologis. Pola hubungan yang terjadi antara pusat dan daerah hinterland adalah hubungan fungsional yang berjenjang (hirarki) sehingga timbul ketergantungan hinterland kepada inti. Selanjutnya Winoto (1999), menjelaskan bahwa peubah-peubah yang digunakan untuk membatasi wilayah nodal adalah kepadatan penduduk, jenis dan jumlah sarana pelayanan serta sirkulasi kapital. Pengembangan wilayah merupakan program menyeluruh dan terpadu dari semua kegiatan dengan memperhitungkan sumberdaya yang ada dan memberikan kontribusi kepada pembangunan suatu wilayah. Dalam tipologi wilayah, mengklasifikasikan konsep wilayah ke dalam ( 3 ) tiga kategori, yaitu: (1) wilayah homogen (uniform/homogenous region), (2) wilayah nodal (nodal region), dan (3) wilayah perencanaan (planning region atau programming region). Wilayah homogen adalah wilayah yang dibatasi berdasarkan pada kenyataan bahwa faktor-faktor yang dominan pada wilayah tersebut bersifat homogen, sedangkan faktor yang tidak dominan dapat beragam. Pada dasarnya terdapat beberapa faktor penyebab homogenitas wilayah, secara umum terdiri atas penyebab alamiah dan penyebab artifisial. Faktor alamiah yang dapat menyebakan homogenitas wilayah adalah kelas kemampuan lahan, iklim, dan berbagai faktor lainya. Sedangkan homogenitas yang bersifat artifisial adalah homogenitas yang didasarkan pada pengklasifikasian berdasarkan aspek tertentu yang dibuat oleh manusia. Contoh wilayah homogen artifisial adalah wilayah homogen dasar kemiskinan (peta kemiskinan). Pada umumnya wilayah homogen sangat dipengaruhi oleh potensi sumberdaya alam dan permasalahan spesifik yang seragam, maka menurut Rustiadi et al., (2004), wilayah homogen sangat bermanfaat dalam: (1) penentuan sektor basis perekonomian wilayah sesuai dengan potensi/daya dukung utama yang ada (comparative advantage), (2) pengembangan pola kebijakan yang tepat sesuai denga permasalahan masing-masing wilayah. Konsep wilayah nodal didasarkan atas asumsi bahwa suatu wilayah diumpamakan sebagai suatu sel hidup yang mempunyai plasma dan inti. Inti (pusat simpul) adalah pusat-pusat pelayanan/pemukiman
sedangkan
plasma
adalah
daerah
belakang
(peripheri/hinterland) yang mempunyai sifat-sifat tertentu dan mempunyai hubungan fungsional (Rustiadi et al., 2005).
12
Konsep wilayah perencanaan, merujuk pada wilayah yang dibatasi berdasarkan kenyataan terhadap sifat-sifat tertentu pada wilayah tersebut yang bersifat alamiah maupun artifisial dimana keterkaitannya sangat menentukan sehingga perlu perencanaan secara integral. Sebagai contoh, secara alamiah suatu daerah aliran sungai (DAS) merupakan suatu wilayah yang terbentuk dengan matrik dasar kesatuan hidrologis yang perlu direncanakan secara integral. Perencanaan wilayah (regional planning) pada dasarnya merupakan upaya intervensi terhadap kekuatan-kekuatan pasar yang dalam konteks pengembangan wilayah memiliki tiga tujuan pokok, yakni meminimalkan konflik kepentingan antar sektor, meningkatkan kemajuan sektoral dan membawa kemajuan bagi masyarakat secara keseluruhan. Sedangkan pengembangan wilayah (regional development) merupakan upaya untuk memacu perkembangan sosial ekonomi, mengurangi kesenjangan antar wilayah, tujuan utamanya adalah menyerasikan berbagai kegiatan pembangunan sektoral dan wilayah, sehingga pemanfaatan ruang dan sumberdaya yang ada didalamnya dapat optimal mendukung kegiatan kehidupan masyarakat (Riyadi, 2002). Menurut Rustiadi et al. (2005) perencanaan pengembangan wilayah merupakan bidang kajian yang mengintegrasikan berbagai disiplin ilmu yang saling berkaitan didalam menjawab permasalahan-permasalahan pembangunan serta aspek-aspek proses politik, manajemen dan administrasi perencanaan pembangunan yang berdimensi ruang dan wilayah. Proses kajian perencanaan dan pengembangan wilayah memerlukan pendekatan-pendekatan yang mencakup : (1) aspek pemahaman, yaitu aspek yang menekankan pada upaya memahami fenomena fisik alamiah hingga sosial ekonomi. Oleh karena itu diperlukan pemahaman pengetahuan mengenai teknik-teknik analisis dan model-model sistem untuk mengenal potensi dan memahami permasalahan pembangunan wilayah; (2) aspek perencanaan, mencakup proses formulasi masalah, teknikteknik desain dan pemetaan hingga teknis perencanaan; dan (3) aspek kebijakan, mencakup pendekatan evaluasi, perumusan tujuan pembangunan dan proses pelaksanaan pembangunan seperti proses politik, administrasi, dan manajerial pembangunan. Bidang kajian ini tidak saja menjawab pertanyaan mengapa keadaan wilayah demikian adanya
tetapi juga menjawab bagaimana wilayah di
13
bangun.
Oleh karenanya mencakup aspek-aspek perencanaan yang bersifat
spasial (spatial planning), tata guna lahan (land use planning) hingga perencanaan kelembagaan (Structural planning) dan proses perencanaan. Sebagai suatu ilmu yang mengkaji seluruh aspek-aspek kewilayahan dan mencakup aspek sumberdaya serta interaksi dan interelasi antar wilayah, maka kajian perencanaan dan pengembangan wilayah memiliki sifat: (1) berorientasi kewilayahan; (2) futuristik; dan (3) berorientasi publik. Secara umum perencanaan pengembangan wilayah ditunjang oleh empat pilar pokok, yaitu: (1) inventarisasi, klasifikasi dan evaluasi sumberdaya; (2) aspek ekonomi; (3) aspek kelembagaan (institusional) dan; (4) aspek spasial/lokasi. Menurut Triutomo (2001), tujuan pengembangan wilayah mengandung dua sisi yang saling berkaitan. Disisi sosial-ekonomi, pengembangan wilayah adalah upaya memberi kesejahteraan dan kualitas hidup masyarakat, misalnya menciptakan pusat-pusat produksi, memberikan kemudahan prasarana, dan sebagainya. Disisi lain secara ekologis pengembangan wilayah juga bertujuan untuk menjaga keseimbangan lingkungan sebagai akibat dari campur tangan manusia terhadap lingkungan. Berkembangnya suatu wilayah sangat terkait oleh tingkat pemanfaatan dari tiga sumberdaya yakni sumberdaya alam, sumberdaya manusia dan teknologi. Kemudian Prod homme (1985), dalam Triutomo (2001), menyatakan bahwa pengembangan wilayah merupakan program yang menyeluruh dan terpadu dari semua
kegiatan
dengan
memperhitungkan
sumberdaya
yang
ada
dan
kontribusinya pada pembangunan suatu wilayah.
2.4. Kota dalam Pengembangan Wilayah Perkotaan adalah kawasan yang mempunyai kegiatan utama bukan pertanian dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat permukiman perkotaan, pemusatan dan distribusi pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial dan kegiatan ekonomi. Kawasan kota (urban) merupakan kawasan yang dinamis, dimana secara tetap terjadi perubahan. Kota merupakan sebuah hasil proses produksi yang permanen (Lefebvre (1990), diacu dalam Martokusumo, 2006).
14
Perubahan ini bisa bersifat ekspansif (perluasan) atau intensifikasi (restrukturisasi internal) sebagai respon dari kebijakan ekonomi atau tekanan sosial yang timbul. Desain urban dapat dilihat sebagai sebuah alat untuk mengontrol perubahan, sebagai konsekuensi terhadap perkembangan dan pembangunan perkotaan, terutama yang berkaitan dengan kepentingan publik. Desain urban bukanlah merupakan suatu produk akhir. Namun, desain urban akan sangat turut menentukan kualitas dari produk akhirnya, yaitu lingkungan binaan yang dihuni. Dengan demikian desain urban harus dipahami sebagai suatu proses yang mengarahkan perwujudan suatu lingkungan binaan fisik yang layak, sesuai dengan aspirasi masyarakat, ramah terhadap lingkungan, termasuk kepada kemampuan sumberdaya setempat dan daya dukung lahan serta merujuk kepada aspek lokal (Martokusumo, 2006). Menurut Budiharjo (1997), kota adalah kumpulan orang-orang yang berdomisili dalam jangka waktu lama maupun sementara. Sebuah kota tidak akan nyaman jika orang-orangnya tidak menciptakan kenyamanan bagi lingkungannya. Kota yang baik dan berkesan adalah kota-kota dimana masyarakatnya memberikan kenyamanan terhadap eksistensi lingkungannya. Jadi dengan membicarakan kenyamanan berarti sebuah kota adalah kumpulan nilai-nilai yang dianut masyarakatnya. Kota dari pandangan yuridis administrasi dapat didefinisikan sebagai suatu daerah tertentu dalam wilayah negara, dimana keberadaannya diatur oleh undangundang (peraturan tertentu) daerah, dimana dibatasi oleh batas-batas administratif yang jelas yang keberadaannya diatur oleh undang-undang/peraturan tertentu dan ditetapkan berstatus sebagai kota dan berpemerintahan tertentu dengan segala hak dan kewajibannya dalam mengatur wilayah kewenangannya (Yunus, 2005). Sementara itu menurut Sujarto (1970), yang dikutip Yunus (2005), kota adalah suatu wilayah negara/suatu areal yang dibatasi oleh batas-batas administrasi tertentu, baik berupa garis yang bersifat maya/abstrak ataupun batas-batas fisikal, misalnya sungai, jalan raya, lembah, barisan pegunungan dan lain sebagainya yang berada di dalam wewenang suatu tingkat pemerintahan tertentu yang berhak dan berkewajiban mengatur dan mengurus rumah tangga di wilayah tersebut.
15
Kota di tinjau dari morfologi kota, dapat didefinisikan sebagai suatu daerah tertentu dengan karakteristik pemanfaatan lahan non pertanian, pemanfaatan sebagian besar tertutup oleh bangunan baik bersifat residensial maupun non residensial, kepadatan bangunan khususnya perumahan yang tinggi, pola jaringan jalan yang kompleks, dalam satuan permukiman yang kompak dan relatif lebih besar dari satuan permukiman kedesaan di sekitarnya. Sementara itu daerah yang bersangkutan sudah/mulai terjamah fasilitas kota (Yunus, 2005). Kriteria Umum Kawasan Perkotaan menurut Kepmen Kimpraswil 327/2002 adalah: (1) memiliki fungsi kegiatan utama budidaya bukan pertanian atau lebih dari 75% mata pencaharian penduduknya di sektor perkotaan; (2) memiliki jumlah penduduk sekurang-kurangnya 10.000 jiwa; (3) memiliki kepadatan penduduk sekurang-kurangnya 50 jiwa per hektar; (4) memiliki fungsi sebagai pusat koleksi dan distribusi pelayanan barang dan jasa dalam bentuk sarana dan prasarana pergantian moda transportasi. Budiharjo (1997), mengatakan bahwa fungsi kota sebagai pusat pelayanan (service center) membawa konsekuensi areal kota akan dipenuhi oleh kegiatankegiatan komersial dan sosial, selain kawasan perumahan dan permukiman. Pembangunan ruang kota bertujuan untuk: (1) memenuhi kebutuhan masyarakat akan tempat berusaha dan tempat tinggal, baik dalam kualitas maupun kuantitas; dan (2) memenuhi kebutuhan akan suasana kehidupan yang memberikan rasa aman, damai, tenteram dan sejahtera. Berkenaan dengan hal tersebut pembangunan kota harus ditujukan untuk lebih meningkatkan produktifitas yang selanjutnya akan dapat mendorong sektor perekonomian. Namun dalam pengembangannya, tentu perlu diperhatikan ketersediaan sumberdaya, sehingga perlu dicermati efisiensi pemanfaatan sumberdaya maupun efisiensi pelayanan prasarana dan sarana kota. Pembangunan perkotaan dilaksanakan dengan mengacu pada pengembangan investasi yang berwawasan lingkungan, sehingga tidak membawa dampak negatif terhadap lingkungan dan tidak merusak kekayaan budaya daerah. Selain itu juga diharapkan untuk selalu mengarah kepada terciptanya keadilan yang tercermin pada pemerataan kemudahan dalam memperoleh penghidupan perkotaan, baik dari segi prasarana dan sarana maupun dari lapangan pekerjaan.
16
Menurut Rustiadi et al. (2005) dilihat dari konsep keruangan (spasial) dan ekologis, urbanisasi merupakan gejala geografis yakni; a) adanya perpindahan penduduk keluar wilayah ; b) gerakan/perpindahan penduduk yang terjadi disebabkan adanya salah satu komponen dari ekosistem kurang/tidak berfungsi secara baik sehingga terjadi ketimpangan dalam ekosistem setempat; c) terjadinya adaptasi ekologis yang baru bagi penduduk yang pindah dari daerah asal ke daerah yang baru, dalam hal ini kota. Sehingga urbanisasi dapat dipandang sebagai suatu proses dalam artian : (1) meningkatkan jumlah dan kepadatan penduduk kota menjadi lebih menggelembung; (2) bertambahnya kota dalam suatu negara atau wilayah akibat dari perkembangan ekonomi, budaya dan tehnologi baru; (3) merubah kehidupan desa atau nuansa desa menjadi suasana kehidupan kota. Yunus (2006), ada dua dimensi dalam membahas urbanisasi yaitu; (1) dimensi fisiko-spasial dan (2) dimensi non fisikal. Dalam dimensi fisiko-spasial, urbanisasi berarti berubahnya kenampakan fisiko spasial kedesaan menjadi kenampakan
fisiko-spasial
kekotaan.
Jadi
urbanisasi
merupakan
proses
berubahnya ketiga elemen morfologi kekotaan (land use characteristics; building characteristics dan circulation characteristics). Sedangkan dimensi non fisikal merupakan berubahnya keseluruhan dimensi kehidupan manusia (perilaku ekonomi, sosial, budaya, politik, teknologi) dari sifat kedesaan menjadi bersifat kekotaan. Sub-urban diartikan sebagai proses terbentuknya pemukiman-pemukiman baru dan juga kawasan industri di pinggir wilayah perkotaan, terutama sebagai perpindahan penduduk kota yang membutuhkan tempat bermukim dan untuk kegiatan industri. Sub urban telah melahirkan fenomena yang kompleks di wilayah sub urban yaitu akulturasi budaya, konversi lahan pertanian di perkotaan, spekulasi lahan dan lain-lain. Proses sub urbanisasi adalah salah satu proses pengembangan wilayah yang semakin menonjol dan semakin berpengaruh nyata di dalam proses penataan ruang disekitar wilayah perkotaan (Rustiadi et al., 2005). Disatu sisi proses ini dipandang sebagai perluasan wilayah ke wilayah pinggir kota yang berdampak meluasnya skala manajemen wilayah urban secara riil, dilain sisi proses ini sering
17
dinilai sebagai proses yang kontradiktif mengingat prosesnya selalu diiringi dengan proses konversi lahan pertanian yang sangat prodiktif.
2.5. Teori Lokasi dan Pemusatan Kegiatan Menurut Hanafiah (1989), pemerintah sebagai penentu lokasi mempunyai kekuatan atau kewenangan yang dapat mempengaruhi penentuan lokasi berbagai kegiatan ekonomi rumah tangga dan perusahaan melalui kegiatan masyarakat yang tersebar secara spasial, dan bertujuan untuk memaksimumkan pelayanan kepada masyarakat melalui penyebaran fasilitas pelayanan secara merata. Kajian tentang teori lokasi secara komprehensif dilaksanakan oleh Alfred Weber pada tahun 1909 (Tarigan, 2005). Apabila Von Thunen menganalisis lokasi kegiatan pertanian, maka Weber menganalisis lokasi kegiatan industri atas prinsip minimisasi biaya. Weber mengemukakan teori lokasinya berdasarkan asumsi-asumsi sebagai berikut: 1. Lokasi kajian adalah suatu wilayah yang terisolasi, mempunyai iklim yang homogen, konsumen terkonsentrasi pada beberapa pusat aktifitas, dan kondisi pasar adalah persaingan sempurna. 2. Beberapa sumberdaya alam, seperti tanah liat, pasir, dan air tersedia di manamana dalam jumlah yang memadai (ubiquitous). 3. Bahan-bahan lainnya tersedia secara sporadis pada tempat-tempat tertentu dengan jumlah terbatas. 4. Tenaga kerja tidak tersedia secara luas, tetapi terbatas pada beberapa lokasi dengan mobilitas yang tetap. Teori lokasi Weber lebih menekankan pada lokasi industri, dengan anggapan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi lokasi tersebut adalah: 1. Biaya transportasi dan biaya tenaga kerja. Biaya transportasi dan biaya tenaga kerja merupakan faktor umum yang secara fundamental berpengaruh dalam penentuan lokasi kegiatan industri, biaya transportasi berbanding lurus dengan dengan jarak tempuh, dan ketersediaan tenaga kerja dengan upah yang rendah di lokasi tertentu akan mempengaruhi keputusan pemilihan lokasi.
18
2. Kekuatan aglomerasi dan deglomerasi (aglomerative and deglomerative force). Kekuatan aglomerasi dan deglomerasi adalah faktor yang juga turut menentukan konsentrasi atau penyebaran berbagai kegiatan ekonomi dalam suatu pola tata ruang. Sampai pada tingkat tertentu kegiatan ekonomi akan cenderung terkonsentrasi atau mengumpul pada suatu lokasi tertentu. Bila hal ini berlangsung terus menerus, maka akan timbul kejenuhan ekonomi pasar lokal yang ditandai oleh dis-economic of scale, dan ini akan mengakibatkan menyebarnya kegiatan ekonomi ke wilayah lain di sekitarnya. Berdasarkan faktor tersebut di atas, maka lokasi industri akan cenderung akan memilih lokasi dengan biaya input yang paling minimum. Weber menyatakan bahwa biaya transportasi merupakan faktor utama dalam determinasi lokasi, asumsinya adalah bahwa biaya transportasi bertambah secara proporsional dengan bertambahnya jarak angkut, sedangkan faktor lainnya merupakan faktor yang dapat memodifikasi lokasi. Salah satu kelemahan dari teori Weber adalah hanya menekankan pada biaya input, dan kurang memperhatikan aspek permintaan pasar, padahal pasar adalah termasuk salah satu variabel dalam menentukan lokasi industri. Konsumen tersebar di wilayah yang luas dengan intensitas permintaan yang berbeda-beda, sehingga pasar menjadi faktor penting dalam pemilihan lokasi yang optimum, yaitu lokasi di mana dapat diperoleh laba maksimum. Hal ini dikemukakan oleh Losch pada tahun 1939, seperti dikutip oleh Hanafiah (1989). Dalam konsep teori lokasinya, Losch mendasarkan pada asumsi: 1. Tidak ada perbedaan spasial dalam distribusi input, seperti bahan baku, tenaga kerja, dan modal pada suatu wilayah yang homogen 2. Kepadatan penduduk yang seragam dan dengan selera yang konstan. 3. Tidak ada interdependensi antara perusahaan. Apabila Weber melihat persoalan dari sisi produksi, maka Losch melihat persoalan dari sisi permintaan pasar atas dasar prinsip lokasi yang dapat memaksimumkan laba. Losch mengatakan bahwa lokasi penjual sangat berpengaruh terhadap jumlah konsumen yang dapat digarapnya. Makin jauh dari tempat penjual, konsumen makin enggan membeli karena biaya transportasi untuk
19
mendatangi tempat penjual semakin mahal. Produsen harus memilih lokasi yang menghasilkan penjualan terbesar yang identik dengan penerimaan terbesar. Pandangan ini mengikuti pandangan Christaller. Atas dasar pandangan tersebut Losch cenderung menyarankan lokasi produksi berada di pasar atau di dekat pasar (Tarigan, 2005). Menurut Isard (1960), dalam Tarigan (2005), masalah lokasi merupakan masalah penyeimbangan antara biaya dengan pendapatan yang dihadapkan pada suatu situasi ketidak pastian yang berbeda-beda. Keuntungan relatif dari lokasi sangat dipengaruhi oleh faktor dasar: (a) biaya input atau bahan baku; (b) biaya transportasi; dan (c) keuntungan aglomerasi. Perkembangan dari teori Losch dikembangkan lebih lanjut oleh Isaard pada tahun 1956 dengan konsep aglomerasi. Konsep aglomerasi Isard adalah: 1. Faktor skala usaha yang ekonomis, yaitu suatu besaran skala usaha dari suatu perusahaan tertentu, sebagai konsekuensi dari perluasan perusahaan di suatu lokasi. 2. Faktor lokalisasi yang ekonomis, yaitu lokasi yang ekonomis bagi sekelompok perusahaan industri yang sejenis, sebagai konsekuensi dari peningkatan produksi total pada suatu lokasi. 3. Faktor urbanisasi yang ekonomis, yaitu suatu lokasi yang ekonomis bagi semua perusahaan dari berbagai jenis industri, sebagai konsekuensi kegiatan ekonomi secara keseluruhan di suatu tempat berdasarkan jumlah penduduk, tingkat pendapatan, produksi dan tingkat kesejahteraan setempat. Secara alamiah, terdapat kecenderungan pada setiap individu penduduk dan perusahaan untuk memilih lokasi pada daerah-daerah yang relatif sudah berkembang atau daerah-daerah yang menjadi pemusatan di dalam wilayah yang bersangkutan. Hal ini terjadi karena adanya berbagai keuntungan yang dihasilkan oleh daerah-daerah pemusatan yang menjadi daya tarik bagi penduduk dan perusahaan atau aktifitas ekonomi untuk memilih lokasi pada daerah-daerah tersebut. Keuntungan-keuntungan tersebut dinamakan dengan keuntungan aglomerasi.
20
Keuntungan aglomerasi, dapat didefinisikan sebagai keuntungan yang diperoleh individu penduduk atau perusahaan, dan oleh masyarakat dan industri secara keseluruhan pada suatu daerah di mana terjadi pemusatan kegiatan. Keuntungan ini merupakan keuntungan eksternal yang diakibatkan oleh adanya pemusatan geografi kependudukan, perusahaan, aktifitas sosial ekonomi, ketersediaan sarana dan prasaran fasilitas pelayanan umum dari berbagai institusi dan kelembagaan baik pemerintah maupun swasta. Konsep aglomerasi dapat timbul pada berbagai skala, di mana pusat-pusat aglomerasi yang lebih kecil akan cenderung mengitari pusat aglomerasi yang lebih besar. Pusat dengan tingkat terendah akan melaksanakan berbagai fungsi atau menyediakan berbagai barang dan jasa yang jumlah dan jenisnya terbatas oleh terbatasnya jumlah penduduk ataupun sumberdaya yang dimiliki wilayah tersebut. Pada umumnya aglomerasi terjadi pada bidang pelayanan administrasi, kesehatan, sosial, keuangan, perdagangan, tenaga kerja, dan lalu lintas perhubungan. Setiap pemusatan akan menghasilkan pengaruh positif dan negatif sekaligus. Adanya pemusatan yang berlebihan pada daerah-daerah tertentu, di samping akan menimbulkan masalah sosial ekonomi dan lingkungan hidup, juga akan menyebabkan dana dan sumberdaya untuk pembangunan wilayah lain menjadi terbatas. Apalagi dengan adanya aktifitas lembaga pemerintahan yang berhirarki lebih tinggi di suatu wilayah, maka perhatian pemerintah terhadap wilayah tersebut cenderung lebih besar dibandingkan terhadap wilayah lainnya. Dusseldorp (1971), diacu dalam Prakoso (2005), mengemukakan bahwa konsep dasar teori pusat pelayanan adalah pemusatan dan fungsi pemusatan, batas ambang dan hirarki. Dengan adanya kristalisasi penduduk pada daerah inti akan berimplikasi pada terjadinya pemusatan fasilitas pelayanan sekaligus menobatkan daerah inti ini menjadi pusat pelayanan bagi daerah sekitarnya. Pemusatan pusat pelayanan akan memberikan keuntungan antara lain: 1. Pemanfaatan dan pengelolaan fasilitas pelayanan akan lebih intensif daripada tidak dipusatkan; 2. Fungsi dari setiap fasilitas pelayanan akan lebih efisien;
21
3. Mengoptimalkan fungsi kelembagaan dan social capital masyarakat. Usaha penekanan biaya operasional dalam rangka meningkatkan efisiensi fasilitas pelayanan atau untuk mendapatkan pasar dan jumlah konsumen yang cukup besar bagi fasilitas pelayanan, cenderung dapat mengurangi banyaknya pusat-pusat pelayanan, sehingga dapat meningkatkan biaya perjalanan konsumen. Jika ditinjau dari segi usaha untuk meningkatkan kesamaan jarak maksimum yang bersedia ditempuh oleh setiap konsumen, maka jumlah pusat-pusat pelayanan perlu ditambah sehingga biaya perjalanan atau jarak ekonomi dapat dikurangi. Hakimi (1964), diacu dalam Rushton (1979), menyatakan bagaimana menemukan satu titik optimum dalam satu jaringan. Dengan adanya jarak yang tetap di antara simpul-simpul yang ada dalam jaringan, maka akan ditemukan satu simpul di antara semua simpul yang ada yang memiliki jarak terpendek dan memiliki kriteria bobot yang ditetapkan. Simpul atau titik yang dimaksud adalah titik tengah dari jaringan, ini merupakan teori yang penting karena dapat digunakan untuk menyelesaikan permasahan-permasalahan penaksiran simpul-simpul alternatif pada jalur jaringan. Hakimi mengatakan, bahwa ada satu simpul dalam jaringan yang meminimumkan jarak terpendek yang berbobot dari semua simpul terhadap satu simpul tertentu di mana simpul tersebut juga merupakan bagian dari jaringan tersebut. Pemukiman penduduk yang tidak tersebar merata di semua wilayah akan menyebabkan setiap individu akan berusaha untuk mendapatkan berbagai jenis barang, jasa, dan pelayanan terbaik yang juga tersebar di berbagai lokasi yang dapat dijangkau berdasarkan biaya yang harus dikeluarkannya. Lokasi yang dapat dijangkau memiliki banyak pilihan dan masyarakat akan memilih yang berada pada posisi most accessible bagi mereka. Suatu lokasi dapat dikatakan most accessible apabila mempunyai kriteria berikut (Rushton 1979): 1. Kriteria jarak rata-rata minimum, yaitu jarak total dari semua penduduk yang akan dilayani ke pusat pelayanan terdekat adalah minimum, disebut juga jarak agregat minimum;
22
2. Kriteria jarak maksimal, yaitu apabila jarak terjauh dari tempat penduduk yang akan dilayani ke pusat pelayanan adalah minimum yang disebut dengan jarak minimax; 3. Kriteria penetapan berdasarkan kesamaan, yaitu apabila jumlah penduduk yang akan dilayani pada daerah yang mengelilingi pusat pelayanan terdekat selalu sama dengan jumlah yang ditentukan; 4. Kriteria ambang batas (population treshold), yaitu apabila jumlah penduduk yang akan dilayani pada daerah yang mengelilingi pusat pelayanan terdekat selalu lebih besar dari jumlah yang telah ditentukan; dan 5. Kriteria kapasitas atau daya tampung, yaitu apabila jumlah penduduk yang akan dilayani pada daerah yang mengelilingi pusat pelayanan teredekat selalu lebih kecil dari jumlah yang ditentukan. Rushton (1979), mengungkapkan permasalahan lokasi yang terjadi di negara berkembang, yaitu: 1. Belum berkembangnya sistem transportasi. Sistem transportasi yang ada belum terintegrasi dengan lokasi fasilitas pelayanan masyarakat sehingga sangat menyulitkan bagi masyarakat yang membutuhkan pelayan. 2. Fasilitas pelayanan tidak sesuai dengan kebutuhan. Sering terjadi fasilitas yang tersedia tidak sesuai dengan kebutuhan dalam ukuran tata ruang, sehingga keberadaan fasilitas yang telah ada tidak dapat memenuhi suatu permintaan yang sesuai dengan yang diperlukan. 3. Kesalahan lokasi akibat pengaruh sistem kolonial. Perlunya perbaikan pada sistem pola lokasi yang dibangun oleh sistem kolonial karena hal ini sering menjadi kendala dalam perencanaan pembangunan di masa sekarang dan akan datang, seperti diketahui bahwa sistem kolonial dibangun untuk tujuan dan sesuai dengan keperluan dan kepentingan pemerintah kolonial pada saat itu. 4. Ketidakmerataan tingkat kesejahteraan masyarakat. Upaya pemerataan kesejahteraan masyarakat di suatu wilayah perlu dijadikan perhatian, sehingga perencanaan pembangunan fasilitas pelayanan di suatu wilayah dapat mengarah kepada pencapaian tujuan untuk meningkatkan tingkat pemerataan kesejahteraan masyarakat di wilayah tersebut.
23
Penetapan lokasi dari suatu jenis kegiatan hendaknya tidak hanya sekedar menerangkan kegiatan tersebut sebagaimana adanya, melainkan harus dibuat keputusan yang rasional serta dikemukakan alasan mengapa kegiatan tersebut berada di suatu tempat. Cara terbaik untuk menyediakan pusat pelayanan kepada penduduk yang mendasarkan pada aspek keruangan adalah dengan menempatkan lokasi kegiatan pada hirarki wilayah yang luasnya makin meningkat dan berada pada tempat sentral.
2.6. Hirarki Pusat Aktivitas Keterkaitan antara aktivitas ekonomi dengan aspek lokasi dalam suatu ruang sudah mulai dipelajari sejak era Von Thunen yang menjelaskan tentang pola spasial dari aktivitas produksi pertanian. Von thunen dari suatu pemikiran sederhana, bahwa pola penggunaan lahan dalam suatu ruang merupakan fungsi dari perbedaan harga produksi pertanian yang dihasilkan dan perbedaan biaya produksinya, dimana jarak dari pusat pasar merupakan faktor penentu besarnya biaya produksi. Pemikiran ini didasarkan pada suatu asumsi bahwa : (1) biaya hanya ditentukan oleh jarak dari pasar, (2) karakteristik wilayah dianggap homogen, (3) harga di pusat pasar ditentukan oleh mekanisme suplai dan demand yang normal, (4) tidak ada halangan untuk melakukan perdagangan (no barrier to trade) seperti biaya tarif, kebijakan harga, labor immobility, dan tidak dapat menggambarkan dengan cukup baik aktivitas ekonomi riil yang terjadi. Kemudian Christaller (1966), dan Losch (1954), dalam
Smith (1976),
dengan “teori lokasi pusat” yang mulai mencoba untuk menjelaskan mengapa dalam suatu wilayah bisa muncul pusat-pusat aktivitas. Menurut Christaller (1966), setiap produsen mempunyai skala ekonomi yang berbeda sehingga aktivitasnya akan menjadi efesien apabila jumlah konsumennya mencukupi. Karena itu lokasional aktivitas dari suatu produsen ditujuakan untuk melayani wilayah konsumen yang berada dalam suatu jarak atau range tertentu. Dengan demikian wilayah cakupan dari produk yang dihasilkan akan sangat tergantung kepada seberapa jauh keinginan konsumen melakukan perjalanan untuk memperolehnya, elastisitas demand, harga produk, biaya trasport dan frekwensi penggunaannya.
24
Lokasi di sekitar produsen atau suplier yang memiliki tingkat demand konsumen yang mencakupi terhadap barang dan jasa yang dihasilkan disebut dengan istilah treshold. Setiap produk yang dihasilkan, termasuk dalam hal ini fasilitas umum, mempunyai wilayah treshold-nya sendiri. Karena itu distribusi spasial dari aktivitas produksi bisa diprediksi berdasarkan wilayah treshold-nya. Dari sisi karakteristik suplai, aktivitas ekonomi skala besar akan berada di pusat pelayana hirarki I karena wilayah treshold-nya luas. Sementara dari sisi karakteristik
demand,
produk
yang
sifatnya
inelastis
dan
frekwensi
penggunaannya tidak terlalu sering juga akan berada di pusat pelayanan hirarki I, sebagai upaya untuk mengoptimalkan keuntungan melalui maksimalisasi jumlah konsumen yang harus dilayani. Sistem lokasi pusat-pusat pelayanan dapat diidentifikasi melalui pendekatan top down, yaitu dari aktivitas produksi dengan treshold tinggi ke rendah atau bottom up, yaitu dari aktivitas produksi dengan treshold rendah ke tinggi. Christaller (1966), diacu Smith (1976), melakukan identifikasi melalui pendekatan top down. Hasil analisisnya menunjukkan bahwa lokasi pusat utama akan menjadi semakin besar dan meyebar daripada lokasi pusat yang lebih rendah. Lokasi pusat utama ini akan menyediakan barang dan jasa utama, yaitu barang dan jasa yang dihasilkan oleh aktivitas produksi yang treshold-nya tinggi, dan sekaligus menyediakan barang dan jasa yang lebih rendah, yaitu barang dan jasa yang dihasilkan oleh aktivitas produksi yang treshold-nya rendah. Keberadaan barang dan jasa yang lebih rendah di lokasi pusat utama disebabkan karena produsen dengan treshold-nya rendah ingin medapatkan keuntungan yang lebih tinggi dari treshold-nya itu sendiri. Sementara itu lokasi pusat pelayanan yang lebih rendah hanya akan menyediakan barang dan jasa yang lebih rendah. Sedangakan Losch (1954), diacu Smith (1976), melakukan identifikasi melalui pendekatan bottom up. Hasil analisisnya menunjukkan bahwa lokasi pusat utama hanya akan menyediakan barang dan jasa utama, sedangkan lokasi pusat yang lebih rendah hanya akan meyediakan barang dan jasa yang lebih rendah. Menurut Smith (1976), pemikiran Losch ini banyak ditentang oleh para peneliti, karena dengan menggunakan teknik skalogram berdasarkan skala Gutman, secara
25
empiris tidak pernah ditemukan lokasi pusat pelayanan yang hanya menyediakan barang dan jasa utama saja. Pada perkembangan selanjutnya, Isard (1975), mulai mempertanyakan kegunaan dari teori yang tidak mampu melakukan prediksi karena asumsinya yang kurang realistis. Berkaitan dengan teori lokasi pusat, asumsi-asumsi yang dikritisi mencakup kondisi wilayah yang homogen, terjadinya persaingan sempurna antara produsen/suplier, lokasi produsen/suplier hanya didasarkan pada treshold, hanya ada satu produsen/suplier pada satu pusat, dan konsumen melakukan perjalanan hanya untuk satu tujuan saja. Berdasarka hasil temuan empiris, produsen/suplier selain menyediakan jasa untuk konsumen, pada dasarnya juga menjadi konsumen bagi produsen/suplier yang lain. Karena itu antara produsen/suplier pun saling terkait dalam kerangka sistem supply dan demand. Dengan demikian sebenarnya para produsen/suplier akan muncul di satu lokasi apabila terjadi konsentrasi demand di lokasi tersebut. Menurut Isard (1975), teori lokasi pusat tidak mempertimbangkan adanya konsentrasi demand, dan munculnya lokasi pusat utama dalam kondisi wilayah yang relatif homogen justru mengganggu asumsi dasar dari teorinya. Selain itu, berdasarkan hasil temuan empiris konsumen biasanya akan membeli lebih dari satu jenis barang dan jasa dalam satu kali perjalanan. Karena itu ketersediaan jenis barang dan jasa yang beragam akan mendorong konsumen untuk melakukan perjalanan. Fakta empiris ini menggugurkan asumsi bahwa konsumen melakukan perjalanan hanya untuk satu tujuan, dan sekaligus membuat asumsi bahwa lokasi produsen/suplier hanya ditentukan oleh treshold-nya menjadi tidak realistis. Apabila produsen/suplier memilih lokasi yang lebih jauh untuk bisa melayani wilayah konsumen yang lebih luas. Tetapi karena bagi konsumen membeli berbagai barang dalam satu kali perjalanan membuat ongkos transport menjadi lebih murah, maka produsen/suplier yang berbeda akan memilih lokasi yang berdekatan untuk melayani keinginan konsumen. Selanjutnya menurut Smith (1976), teori lokasi pusat ini akan sangat membantu dalam menganalisa sistem hirarki pusat wilayah yang terjadi di lapangan secara empiris. Fakta empiris pertama yang dijumpai adalah sistem hirarki pusat yang berjenjang seperti distribusi log-normal (rank-size distribution
26
of urban center). Menurut Berry (1961), diacu dalam Smith (1976), hal ini terjadi karena proses trickle down effect dapat berjalan dengan baik. Tenaga kerja di kota-kota besar akan menuntut upah yang lebih tinggi, sehingga industri akan bergeser ke wilayah-wilayah yang upah tenaga kerjanya lebih rendah. Karena itu industri akan bergeser dari kota-kota besar ke kota-kota yang lebih kecil dan multiplier effect dari bergesernya lokasi industri ini akan mendorong proses trickle down effect terus berjalan. Namun terjadinya proses ini mensyaratkan adanya 2 hal, yaitu adanya pertumbuhan yang berimbang dan berkelanjutan dalam waktu yang relatif lama dan adanya kompetisi diantara perusahaan dalam memperoleh faktor produksi dan tenaga kerja. Faktor empiris kedua adalah sistem hirarki pusat, dimana lokasi pusat utama sangat dominan (primate system). Dalam primate system, tidak semua bagian dari suatu wilayah mendapatkan pelayanan yang sama, tetapi ada satu pusat yang dipilih untuk dikembangkan melebihi share dari produsen/suplier yang secara riil ada di lokasi tersebut memonopoli aktivitas ekonomi seluruh wilayah, dan meninggalkan wilayah hinterland yang jauh menjaditidak terlayani. Banyak orang berpikir bahwa fakta empiris ini mirip dengan model Von Thunen, dimana munculnya primate center justru akan mendorong komersialisasi dan intensifikasi di wilayah hinterland-nya. Tetapi perlu diingat bahwa model Von Thunen tidak mempertimbangkan faktor-faktor ekonomi bisa bergerak bebas. Menurut Smith (1976), apabila jaringan transportasi, modal, dan industri terkonsentrasi di suatu pusat (primate center), intensifikasi produksi di daerah periphery hanya akan menyebabkab harga yang lebih rendah bagi produk periphery yang dihasilkan (term of trade-nya rendah). Menurut Berry (1961), diacu dalam Smith (1976), primate system ini terjadi karena suatu wilayah sedang dalam proses menuju masyarakat maju atau masyarakat industri, atau karena bargaining politik yang jauh tidak berimbang, dimana lokasi pusat biasanya dihuni oleh para elite dengan kekuatan politik yang jauh lebih besar. Tetapi menurut Smith (1976), ada satu hal yang dilupakan Berry bahwa di negara-negara Amerika Latin primate system terus berlangsung hingga saat ini. Dalam kondisi ini primate system terjadi bukan karena proses pembangunan ekonomi yang sedang berjalan atau karena keberadaan elit politik
27
di pusat kota, tetapi ini merupakan produk dari sistem ekonomi non kompetitif. Artinya perusahaan di primate center mempunyai keuntungan dari kondisi pasar monopsony dalam memperoleh faktor produksi dan tenaga kerja. Dari berbagai uraian di atas, diketahui bahwa berkembangnya suatu lokasi menjadi pusat pelayanan, secara alamiah terjadi karena adanya proses aglomerasi yang bertujuan untuk mengoptimalkan economic of scale ( biaya per satuan input menjadi lebih murah apabila skala aktivitasnya menjadi lebih besar dan economic of scope (nilai tambah akan meningkat apabila berbagai aktivitas ekonomi yang berbeda digabungkan).
2.7. Citra Satelit Resolusi Tinggi Kenampakan wilayah perkotaan jauh lebih rumit dari pada kenampakan daerah pedesaan. Hal ini disebabkan persil lahan kota pada umumnya sempit, bangunan padat dan fungsi bangunannya beraneka. Oleh karena itu sistem penginderaan jauh yang diperlukan untuk menyusun tata ruang harus disesuaikan dengan resolusi spasial yang sepadan, untuk keperluan perencanaan tata ruang detail, maka resolusi spasial yang tinggi akan mampumenyajikan data spasial secara rinci. Untuk keperluan klasifikasi penutup lahan dapat digunakan berbagai citra, dimana ada beberapa citra yang mempunyai resolusi tinggi sehingga mampu menunjukkan perbedaan antara perumahan teratur dengan perumahan tidak teratur atau pemukiman padat dan pemukiman tidak padat. Berbagai data satelit resolusi tinggi dengan resolusi spasial 0.7 – 10 m, dapat digunakan untuk memperoleh data penggunaan lahan dengan tingkat kerincian skala 1 : 5000 atau 1 : 10000. Citra satelit resolusi tinggi yang dapat digunakan antara lain SPOT 5, Ikonos, ALOS, Quick Bird, Formosat 2, Orbview 3 dan lain-lain (Martono. 2006). Citra Ikonos merupakan salah satu citra yang beresolusi tinggi. Citra merupakan gambaran yang terekam oleh sensor, sedangkan kata Ikonos berasal dari bahasa Yunani yaitu “Eye-Kohnos” yang artinya sama dengan citra (image). Ikonos merupakan nama satelit sekaligus sensor yang digunakan untuk merekam gambar/obyek permukaan bumi. Satelit Ikonos mengorbit bumi pada orbit Sunsynchronous, 14 kali per hari, atau setiap 98 menit (Hildamus, 2002).
28
Saluran spektral 1, 2 dan 3 dari citra Ikonos multispektral secara berurutan mengukur reflektansi spektrum elektromagnetik pada bagian biru, hijau, dan merah. Pita-pita tersebut untuk mengukur karakteristik spektral yang tampak oleh mata. Saluran mengukur reflektansi spektrum elektromagnetik pada bagian infra merah dekat, dan sangat membantu dalam mengklasifikasi vegetasi. Resolusi Ikonos yang tinggi tersebut memberikan peluang untuk dapat mendeteksi penggunaan lahan secara rinci. Rekaman citra satelit Ikonos menggunakan saluran atau panjang gelombang pankromatik (sinar tampak) dan saluran infra merah dengan pantulan (infra merah dekat) kombinasi saluran menghasilkan warna palsu yang dapat digunakan untuk identifikasi permukaan bumi secara rinci. Citra Ikonos dapat dikoraksi geometri secara presisi, sehingga layak untuk pembuatan peta dasar maupun peta tematik. Resolusi spasial citra Ikonos pankromatik 1 meter, memungkinkan pembuatan peta skala dengan besar yaitu peta skala 1 : 2000, sedangkan citra Ikonos multispektral 4 meter memungkinkan membuat peta skala 1 : 5000, dengan ketelitian pemetaan lebih dari 95 %. Hasil pengecekan lapang di berbagai tempat dapat meningkatkan ketelitian peta menjadi 100 % dengan kaidah kartografi standar. Di bawah ini dapat dilihat spesifikasi citra Ikonos pada Tabel 1. Tabel 1. Spesifikasi Citra Ikonos. Waktu Peluncuran
24 September 1999
Lokasi Peluncuran
Venderberg Air Forces Base, California
Resolusi
Resolusi setiap pita spektral : • Pankromatik : 1 meter (nominal < 260 off nadir) • Multispektral : 4 meter (nominal < 260 off nadir) Respon Spektral Citra • Pankromatik : 0.45-0.90 mikron • Multispektral : 4 meter Lebar Swath dan ukuran • Lebar Swath : 13 km pada nadir Scene • Areas of interest : Citra tunggal 13 km x 13 km Ketinggian 423 mil / 681 km Inklinasi
98,10
Kecepatan
4 mil per detik / 7 km per detik
Waktu Orbit
98 menit
Tipe Orbit
Sun-synchronous
Sumber : Hildanus, 2002
29
METODE PENELITIAN
3.1. Lokasi dan Waktu Studi Lokasi penelitian meliputi tiga kecamatan yang tidak terkena bencana tsunami di Kota Banda Aceh yang terletak di wilayah sub urban (pinggiran) kota Banda Aceh yaitu Kecamatan Ulee Kareng, Lueng Bata dan Banda Raya, yang termasuk dalam administrasi kota Banda Aceh (lihat Gambar 2). Analisis dan pengolahan data dilakukan di Bagian Penginderaan Jauh dan Informasi Spasial, Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor dari Bulan Maret 2008 sampai dengan Bulan Nopember 2008.
Gambar 2. Peta Lokasi Penelitian.
3.2. Data dan Sumber Data Data sekunder diperoleh dari studi literatur terhadap hasil-hasil penelitian, laporan, peta dan data statistik yang diperoleh dari instansi pemerintahan, antara lain: Bappeda, BPN, BPS, BRR Aceh-Nias. Data sekunder meliputi; data spasial,
30
data kependudukan, sosial ekonomi dan aksesibilitas. Data dengan melakukan survey pada lokasi penelitian dan
primer diperoleh
penyebaran kuesioner
kepada responden melalui metode analisis hirarki proses (AHP). Responden yang dipilih untuk kegiatan AHP terdiri dari unsur Pemerintah Daerah, DPRD, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dan akademisi, dengan prinsip bahwa responden yang dipilih mempunyai pemahaman yang baik tentang karakteristik wilayah serta perkembangan pembangunan, ekonomi, dan sosial di Kota Banda Aceh.
Tabel 2. Aspek, Variabel, Jenis Data, dan Sumber Data yang Digunakan. No
Aspek
Variabel
Jenis Data • Citra Ikonos Thn 2006
Sumber Data • BRR Aceh-Nias
1.
Penggunaan Lahan
Spasial
2.
Sarana dan Prasarana
3.
Arahan Pemanfaatan Ruang
Atribut/ • Data Kependudukan • Podes thn 2006 sebaran • Banda Aceh dalam sarana dan Angka 2006 prasarana Kebijakan • RTRW Kota Banda • Bappeda Aceh 2007 • Kuesioner
3.3. Metode Pengolahan dan Analisis Data Pada penelitian ini digunakan beberapa analisis data yang dapat dikelompokkan dalan 2 bagian yaitu analisis spasial dan analisis statistika. Lebih jelasnya mengenai metode pengolahan dan analisis data dapat dilihat bagan alir pendekatan pada Gambar 3 dan Tabel 3 mengenai matrik tujuan, analisis dan keluaran penelitian sebagai berikut:
31
Tabel 3. Matrik Tujuan, Analisis, Variabel, Data dan Keluaran No
2.
3.
Keluaran
Citra Ikonos 2006
Pengguna an Lahan / Ruang
Analisis/ Metode
Parameter
Mengetahui penggunaan lahan di kawasan suburban
Analisis spasial
Penggunaan lahan
Mengidentifi kasi hirarki pusat-pusat aktifitas
Deskriptif Skalogram 2006
Jarak, biaya Peta Adminis dan waktu trasi, Podes 2006 yg diperkaya /dikoreksi dgn data primer (Fasilitas Infrastruktur, Sosial, Kelembaga an, Kependu dukan, dan Ekonomi)
Arahan pemanfaatan lahan
Analisis spasial Penggunaan lahan AHP
Arahan Pengemban gan wilayah
.
1.
Data dan Sumber Data
Tujuan
Fisik Dasar Kuisioner
Pusatpusat aktivitas dan hirarki wilayah di kawasan sub urban
Arahan Pengembangan Wilayah
32
Gambar 3. Bagan Alir Pendekatan Penelitian
3.3.1. Analisis penggunaan lahan Analisis penggunaan lahan dilakukan untuk mengetahui bentuk-bentuk penguasaan, penggunaan, pemanfaatan lahan untuk kegiatan budidaya dan lindung. Selain itu, dengan analisis ini dapat diketahui besarnya fluktuasi intensitas kegiatan di suatu kawasan, perubahan, dan kecenderungan pola perkembangan kawasan budidaya. Analisis dilakukan dengan mengidentifikasi suatu bentuk penggunaan lahan yang terjadi. Hasil identifikasi tersebut kemudian dideskripsikan. Hasil deskripsi tersebut berupa luasan dan persentase luasan dari suatu bentuk penggunaan lahan pada suatu wilayah administrasi. Data spasial yang dianalisis adalah citra Ikonos tahun 2006 yang diperoleh dari Badan Rehabilitasi dan Rekontruksi Aceh-Nias (BRR-Aceh Nias), kemudian diolah dengan
menggunakan software Erdas Imagine 8.6. Analisa spasial di
gunakan sebagai upaya memanipulasi data spasial. Analisa terfokus pada kegiatan
33
investigasi pola-pola atribut atau gambaran di dalam studi kewilayahan untuk meningkatkan pemahaman dan prediksi atau peramalan. Langkah-langkahnya adalah sebagai berikut:
Koreksi Geometrik Langkah pertama yang dilakukan sebelu
melakukan analisis penggunaan
lahan adalah mengkoreksi geometrik. Akuisisi citra yang dipengaruhi oleh rotasi bumi, kelengkungan bumi, kecepatan scanning dan efek panoramik menyebabkan posisi setiap obyek di citra tidak sama dengan posisi geografis yang sebenarnya. Untuk itu perlu dilakukan koreksi terhadap distorsi geometrik tersebut dengan melakukan (1) transformasi koordinat citra ke koordinat
bumi
dan
(2)
resampling
citra.
Transformasi
koordinat
dilakukandengan bantuan titik control tanah (Ground Control Point) yang didapat dari peta topografi (referensi), sedangkan metode resampling menggunakan nearest neighbour.
Memotong Citra (Cropping). Pemotongan citra dilakukan dengan memotong wilayah obyek penelitian. Sebagai acuan adalah peta administrasi yang sudah terkoreksi geometris, dimana batas wilayah yang akan dipotong dibuat dengan area of interest (AOI).
Klasifikasi Penggunaan Lahan. Klasifikasi citra Ikonos ke dalam beberapa jenis penutup lahan menggunakan metode klasifikasi terbimbing yaitu klasifikasi kemungkinan maksimum (maximum likelihood classification). Klasifikasi terbimbing dilakukan berdasarkan area contoh ditentukan berdasarkan keberadaan jenis penutupan lahan yang ada di dalam citra dan kesamaan warna obyek tersebut.
Uji akurasi. Keakuratan hasil klasifikasi dapat dihitung dengancara membandingkan citra hasil klasifikasi dengan data referensi. Data referensi yang akan digunakan disini adalah berasal dari pengecekan lapangan yang diambil secara acak pada areal yang dicakup oleh citra Ikonos untuk masing-masing kelas.
34
3.3.2. Analisis Pusat Aktivitas dengan Skalogram Analisis skalogram digunakan untuk menentukan hirarkhi pusat-pusat wilayah. Dalam metode skalogram, seluruh fasilitas umum yang dimiliki oleh setiap unit wilayah didata dan disusun dalam satu tabel. Metode skalogram ini bisa digunakan dengan menuliskan jumlah fasilitas yang dimiliki oleh setiap wilayah, atau menuliskan ada/tidaknya fasilitas tersebut di suatu wilayah tanpa memperhatikan jumlah/kuantitasnya. Tahap-tahap dalam penyusunan skalogram adalah sebagai berikut: 1. Menyusun fasilitas sesuai dengan penyebaran dan jumlah fasilitas di dalam unit-unit wilayah. Fasilitas yang tersebar merata di seluruh wilayah diletakkan dalam urutan paling kiri dan seterusnya sampai fasilitas yang terdapat paling jarang penyebarannya di dalam seluruh unit wilayah yang ada diletakkan di kolom tabel paling kanan. Angka yang dituliskan adalah jumlah fasilitas yang dimiliki setiap unit wilayah. 2. Menyusun wilayah sedemikian rupa dimana unit wilayah yang mempunyai ketersediaan fasilitas
paling lengkap terletak di susunan paling atas,
sedangkan unit wilayah dengan ketersediaan fasilitas paling tidak lengkap terletak di susunan paling bawah. 3. Menjumlahkan seluruh fasilitas secara horizontal baik jumlah jenis fasilitas maupun jumlah unit fasilitas di setiap unit wilayah. 4. Menjumlahkan masing-masing unit fasilitas
secara vertikal sehingga
diperoleh jumlah unit fasilitas yang tersebar di seluruh unit wilayah. 5. Dari hasil penjumlahan ini diharapkan diperoleh urutan, posisi teratas merupakan sub wilayah yang mempunyai fasilitas terlengkap. Sedangkan posisi terbawah merupakan sub wilayah dengan ketersediaan fasilitas umum paling tidak lengkap. 6. Jika dari hasil penjumlahan dan pengurutan ini diperoleh dua daerah dengan jumlah jenis dan jumlah unit fasilitas yang persis, maka pertimbangan ke tiga adalah jumlah penduduk. Subwilayah dengan jumlah penduduk lebih tinggi diletakkan pada posisi di atas, sedangkan subwilayah dengan jumlah penduduk lebih rendah ditempatkan di urutan berikutnya.
35
3.3.3. Analisis Hirarki Proses Salah satu kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah adalah merumuskan dan mengeluarkan kebijakan. Suatu kebijakan dapat diketahui melalui beberapa parameter penting seperti proses, isi, dan konteks atau suasana dimana kebijakan itu dihasilkan atau dirumuskan. Pemerintah perlu memperhatikan isu-isu yang berkembang di masyarakat, sehingga dapat dirumuskan kebijakan yang tepat yang menjadi prioritas dalam kebijakan pembangunan. Oleh karena itu, analisis kebijakan dan proses kebijakan menjadi unsur yang penting dilakukan. Untuk menggali persepsi dari pengambil kebijakan dan tokoh masyarakat terhadap penentuan arahan pengembangan wilayah kota Banda Aceh Pasca Tsunami di Kecamatan-Kecamatan Sub-Urban dapat dilakukan dengan metode analisis yang dikenal dengan Analisis Hirarki Proses (AHP). Metode ini diperkenalkan oleh Dr. Thomas Saaty di tahun 1970-an. Dalam menetapkan suatu kebijakan, maka perumus kebijakan akan dihadapkan pada banyak faktor baik yang bersifat kuantitatif maupun kualitatif, dimana seringkali analisis yang dilakukan mengabaikan faktor-faktor yang bersifat kualitatif. Dengan metode AHP, maka semua faktor yang dianggap berpengaruh
terhadap suatu kebijakan akan diikutkan dalam perhitungan.
Menurut Saaty (1980) pada umumnya hal-hal yang berperan dalam pengambilan keputusan adalah a) perencanaan, b) perumusan alternatif, c) menetapkan berbagai prioritas, d) menetapkan alternatif terbaik, e) mengalokasikan sumber daya, f) menentukan kebutuhan, g) memprediksi hasil yang dicapai, h) mendesain sistem i) penilain hasil, j) menjaga kestabilan sistem, k) mengoptimalkan tujuan, dan l) mengelola konflik. Saaty (1980) menekankan pentingnya pendekatan sistem dalam pengambilan keputusan, dengan memperhatikan struktur, fungsi, tujuan dan lingkungan. Beberapa keuntungan dari metode AHP dalam kegiatan analisis antara lain : 1. Dapat merepresentasikan suatu sistem yang dapat menjelaskan bagaimana perubahan pada level yang lebih tinggi mempunyai pengaruh terhadap unsurunsur pada level yang lebih rendah;
36
2. Membantu memudahkan analisis guna memecahkan persoalan yang komplek dan tidak berstruktur, dengan memberikan skala pengukuran yang jelas guna mendapatkan prioritas; 3. Mampu mendapatkan pertimbangan yang logis dalam menentukan prioritas dengan tidak memaksakan pemikiran yang linier; 4. Mengukur secara komprehensif pengaruh unsur-unsur yang mempunyai korelasi dengan masalah dan tujuan, dengan memberikan skala pengukuran yang jelas Sarana yang digunakan dalam metode AHP ini adalah dengan memberikan kuisioner kepada para responden terpilih yang mengetahui dan memahami dengan baik masalah-masalah yang menjadi obyek penelitian. Untuk mendapatkan skoring yang diperlukan, maka dilakukan penyebaran kuisioner dan wawancara dengan berbagai unsur yakni Pemerintah Daerah Kota Banda Aceh sebanyak 3 orang, DPRD Kota Banda Aceh sebanyak 1 orang, dari Akademisi sebanyak 1 orang, LSM sebanyak 1 orang. Metode sampling yang digunakan adalah purposive sampling, dengan kriteria responden adalah pihak-pihak yang terlibat langsung atau minimal pernah terlibat dalam perumusan kebijakan pembangunan di Kota Banda Aceh. Kriteria responden
tersebut
dimaksudkan
agar
jawaban
yang
diperoleh
dapat
mencerminkan kondisi yang lebih realistis dalam perumusan kebijakan pembangunan. Analisis AHP dilakukan dengan software Criterium Decision Plus Ver.3.0 Dalam analisis ini, langkah-langkah yang dilakukan dalam metode AHP adalah sebagai berikut : 1. Mengidentifikasi/menetapkan masalah-masalah yang muncul; 2. Menetapkan tujuan, kriteria dan hasil yang ingin dicapai; 3. Mengidentikasi kriteria-kriteria yang mempunyai pengaruh terhadap masalah yang ditetapkan; 4. Menetapkan struktur hirarki; Menurut Saaty (1980) hirarki adalah suatu sistem yang tersusun dari beberapa level/tingkatan, dimana masing-masing tingkat mengandung beberapa unsur atau faktor.
Hal yang dilakukan dalam suatu hirarki adalah mengukur
37
pengaruh berbagai kriteria yang terdapat pada hirarki. Pada umumnnya masalah dasar yang muncul dalam penyusunan hirarki adalah menentukan level tertinggi dari berbagai interaksi yang terdapat pada berbagai level; 5. Menentukan hubungan antara masalah dengan tujuan, hasil yang diharapkan, pelaku/objek yang berkaitan dengan masalah, nilai masing-masing faktor; 6. Membandingkan alternatif-alternatif (comparative judgement); 7. Menentukan faktor-faktor yang menjadi prioritas (synthesis of priority); 8. Menentukan urutan alternatif-alternatif dengan memperhatikan logical conssistency.
38
KEADAAN UMUM KOTA BANDA ACEH
4.1. Kota Banda Aceh 4.1.1. Letak Geografis Secara geografis Kota Banda Aceh terletak antara 5°30’ – 05035’ LU dan 95°30’ – 99016’ BT, dengan ketinggian rata-rata 0,80 meter diatas permukaan laut, dengan luas wilayah 61,36 km2. Adapun batas-batas wilayahnya adalah sebagai berikut : sebelah Utara berbatasan dengan Selat Malaka; sebelah Selatan berbatasan dengan Kecamatan Darul Imarah dan Kecamatan Ingin Jaya (Kabupaten Aceh Besar); sebelah Barat berbatasan dengan Kecamatan Peukan Bada (Kabupaten Aceh Besar); sebelah Timur berbatasan dengan Kecamatan Barona Jaya dan Kecamatan Darussalam (Kabupaten Aceh Besar). Wilayah administrasi Kota Banda Aceh meliputi 9 Kecamatan, 70 desa dan 20 kelurahan, luas masing-masing wilayah kecamatan di Kota Banda Aceh.
Tabel 4. Luas dan Persentase Wilayah Kecamatan di Kota Banda Aceh NO
KECAMATAN
LUAS (Km2)
PERSENTASE (%)
1.
Meuraxa
7.258
11.83
2.
Baiturrahman
4.539
7.40
3.
Kuta Alam
10.047
16.37
4.
Syiah Kuala
14.244
23.21
5.
Ulee Kareng
6.150
10.02
6.
Banda Raya
4.789
7.80
7.
Kuta Raja
5.211
8.49
8.
Lueng Bata
5.341
8.70
9.
Jaya Baru
3.780
6.16
JUMLAH 61.359 Sumber: Banda Aceh Dalam Angka, 2006
100.00
4.1.2. Topografi Kota Banda Aceh secara geomorfologi merupakan dataran banjir Krueng Aceh dan 70% wilayahnya berada pada ketinggian kurang dari 10 meter dari permukaan laut. Ke arah hulu dataran ini menyempit dan bergelombang dengan
39
ketinggian hingga 50 m di atas permukaan laut. Dataran ini diapit oleh perbukitan terjal di sebelah Barat dan Timur dengan ketinggian lebih dari 500 m, sehingga mirip kerucut dengan mulut menghadap ke laut.
4.1.3. Hidrologi Ada delapan sungai yang melalui Kota Banda Aceh yang berfungsi sebagai daerah tangkapan air (Catchment Area) dan sumber air baku, kegiatan perikanan, dan sebagainya. Tabel. 5 Nama Sungai di Kota Banda Aceh dan Luas Daerah Resapannya Nama Sungai
Luas Daerah Resapan (km2)
Krueng Aceh
1712,00
Krueng Daroy Krueng Doy
14,10 13,17
Krueng Neng Krueng Lhueng Paga Krueng Tanjung Krueng Titi Panjang Sumber: URRP Banda Aceh City JICA, 2006.
6,55 18,25 30,42 7,80
Wilayah Kota Banda Aceh memiliki air tanah yang bersifat asin, payau dan tawar. Daerah dengan air tanah asin terdapat pada bagian Utara dan Timur kota sampai ke tengah kota. Air payau berada di bagian tengah kota membujur dari Timur ke Barat. Sedangkan wilayah yang memiliki air tanah tawar berada di bagian Selatan kota.
4.1.4. Klimatologi Banda Aceh memiliki rentang suhu udara mulai dari 18 0C hingga 37 0C dengan rata-rata bulanan antara 25 0C hingga 27 0C dan tekanan (minibar) 10081012. Adapun kelembaban udaranya adalah berkisar dari 75-85 % dengan jumlah hari hujan 11 hari dalam 1 bulan. Rata-rata jumlah curah hujan adalah 1.454 mm dengan konsentrasi musim hujan mulai dari bulan Oktober hingga Maret. Kecepatan angin tidak terlalu tinggi, yaitu dengan kecepatan normal rata-rata 13,3 m/detik dan kecepatan maksimum rata-rata sebesar 17,3 m/detik.
40
4.1.5. Geologi Pulau Sumatera dilalui oleh patahan aktif Sesar Semangko yang memanjang dari Banda Aceh hingga Lampung. Patahan ini bergeser sekitar 11 cm/tahun dan merupakan daerah rawan gempa dan longsor. Kota Banda Aceh diapit oleh dua patahan di Barat dan Timur kota, yaitu patahan Darul Imarah dan Darussalam, dan kedua patahan yang merupakan sesar aktif tersebut diperkirakan bertemu pada pegunungan di Tenggara kota. Sehingga sesungguhnya Banda Aceh adalah suatu dataran hasil amblasan sejak Pliosen, membentuk suatu Graben. Sehingga dataran Banda Aceh ini merupakan batuan sedimen yang berpengaruh kuat apabila terjadi gempa disekitarnya.
4.2.Jumlah Penduduk Jumlah penduduk Kota Banda Aceh sebelum terjadinya bencana tsunami adalah sekitar 263.668 jiwa, dengan mayoritas penduduk beragama dan berbudaya Islam. Sebagai ibukota Provinsi yang berfungsi sebagai pusat pemerintahan dan ekonomi, Kota Banda Aceh memiliki jumlah dan kepadatan penduduk tertinggi dibandingkan dengan Kabupaten/Kota lainnya dalam lingkup Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
Tabel 6. Jumlah Penduduk Pasca Tsunami di Kota Banda Aceh JUMLAH PENDUDUK NO KECAMATAN
PRETSUNAMI
PASCA TSUNAMI
JUMLAH PENGUNGSI
1.
Baiturrahman
37.449
36.783
5.052
2.
Kuta Alam
55.062
43.113
23.971
3.
Meuraxa
31.218
5.657
867
4.
Syiah Kuala
42.779
35.514
6.411
5.
Lueng Bata
18.360
18.254
5.229
6.
Kuta Raja
20.217
5.122
230
7.
Banda Raya
19.071
19.015
9.451
8.
Jaya Baru
22.005
11.384
6.163
9.
Ulee Kareng
17.510
17.388
8.126
192.194
65.500
TOTAL 263.668 Sumber: Pemerintah Kota Banda Aceh, 2006.
41
Pasca terjadinya Tsunami, jumlah penduduk kota Banda Aceh berkurang dengan nyata sekitar 27 %, tereduksi menjadi 192.194 jiwa, dengan jumlah kehilangan (meninggal dunia atau hilang) sebanyak 71.475 jiwa dan jumlah penduduk yang kehilangan tempat tinggal sebanyak 65.500 jiwa. Perbandingan penurunan jumlah penduduk dan jumlah pengungsi antar kecamatan di Kota Banda Aceh dapat dilihat pada gambar berikut ini. Berdasarkan grafik tersebut, terlihat bahwa jumlah kehilangan terbesar terjadi di Kecamatan Meuraxa (82 %), Kecamatan Kuta Raja (75 %), Kecamatan Jaya Baru (49 %), dan Kecamatan Kuta Alam (22 %). 60000 50000 40000 30000 20000 10000
Ba itu rr
ah m an K ut a al am M eu ra Sy xa ia h K ua la Lu en g Ba ta K ut a R aj Ba a nd a R ay a Ja ya Ba U ru le eK ar en g
0
Jumlah Penduduk Pre-Tsunami Jumlah Pengungsi
Jumlah Penduduk Pasca Tsunami
Sumber: Pemerintah Kota Banda Aceh, 2006. Gambar 4. Grafik Jumlah penduduk sebelum dan sesudah tsunami.
4.2.1. Kepadatan Penduduk Akibat besarnya penurunan jumlah penduduk yang terjadi pada bencana Tsunami, kepadatan penduduk di Kota Banda Aceh juga mengalami penurunan dari 43 jiwa/ha menjadi hanya 31 jiwa/ha. Data kepadatan penduduk per kecamatan di Kota Banda Aceh dapat dilihat pada Tabel 7. Penurunan tingkat kepadatan penduduk yang paling drastis terjadi di Kecamatan Meuraxa (menurun
42
sebesar 82 %) dan Kuta Raja (menurun sebesar 75 %) karena memang di kedua wilayah tersebutlah terjadi jumlah kehilangan penduduk yang paling besar. Selain itu, Kecamatan Jaya Baru dan Kuta Alam juga mengalami penurunan kepadatan yang cukup besar. Sedangkan untuk Kecamatan Ulee Kareng, Banda Raya dan Lueng Bata tidak mengalami perubahan kepadatan penduduk. Ketiga wilayah tersebut memang tidak terkena dampak yang besar akibat bencana tsunami. Gambar 5 di bawah ini menunjukkan penurunan kepadatan penduduk di Kota Banda Aceh pasca bencana tsunami.
Tabel 7. Tingkat Kepadatan Pendudukdi Kota Banda Aceh Pasca Tsunami
NO
KECAMATAN
JUMLAH PENDUDUK (Jiwa) PRETSUNAMI
PASCA TSUNAMI
LUAS WILAYAH (Ha)
KEPADATAN PENDUDUK (Jiwa/Ha) PRETSUNAMI
PASCA TSUNAMI
1.
Baiturrahman
37.449
36.783
453.90
83
81
2.
Kuta Alam
55.062
43.113
1004.70
55
42
3.
Meuraxa
31.218
5.657
725.80
43
8
4.
Syiah Kuala
42.779
35.514
1424.40
30
25
5.
Lueng Bata
18.360
18.254
534.10
34
34
6.
Kuta Raja
20.217
5.122
521.10
39
10
7.
Banda Raya
19.071
19.015
478.90
40
40
8.
Jaya Baru
22.005
11.384
378.00
58
30
9.
Ulee Kareng
17.510
17.388
615.00
28
28
6135.9
43
31
TOTAL 263.668 192.194 Sumber: Pemerintah Kota Banda Aceh, 2006.
43
100 90 80 70 60 50 40 30 20 10 0 n g ja ta m ru ya xa ala ma Ra Ba ren Ba ala Ra Ku ura a ah e Ka h t r ya ng r uta anda M a u a e e i u K J K e u y t l i L S B U Ba
Kepadatan Penduduk Pre-Tsunami
Kepadatan Penduduk Pasca Tsunami
Sumber: Pemerintah Kota Banda Aceh, 2006. Gambar 5. Grafik Penurunan Kepadatan Penduduk di Kota Banda Aceh Pasca Bencana Tsunami. Kecamatan Ulee Kareng, Lueng Bata, dan Banda Raya Secara administratif Kecamatan Ulee Kareng, Kecamatan Lueng Bata, dan Kecamatan Banda Raya, termasuk kedalam wilayah administrasi Kota Banda Aceh. Ketiga Kecamatan tersebut terletak di sebelah Selatan Kota Banda Aceh dan berbatasan langsung dengan Kabupaten Aceh Besar. Kecamatan Ulee Kareng terdiri dari 9 desa, Kecamatan Lueng Bata terdiri dari 9 desa, dan Kecamatan Banda Raya terdiri dari 10 desa (lihat Tabel 8)
Tabel 8. Nama Desa / Kelurahan KECAMATAN
KELURAHAN/DESA
Ulee Kareng
Pango Raya, Pango Deah, Ilie, Lamteh, Lam Glumpang, Ceurih, Ie Masen Ulee Kareng, Doi, Lambhuk.
Lueng Bata
Landom, Cot Mesjid, Batoh, Lueng Bata, Blang Cut, Lampaloh, Sukadamai, Panteriek, Lam Seupeung.
Banda Raya
Lam Ara, Lampuot, Mibo, Lhong Cut, Lhong Raya, Peunyeurat, Lam Lagang, Geuceu-Komplek, GeuceuIniem, Geuceu Kayee Jato.
Sumber: Banda Aceh dalam Angka, 2006.
44
4.4. Sosial Ekonomi Jumlah penduduk Kecamatan Ulee Kareng, Lueng, Bata, dan Banda Raya tahun 2006 berturut-turut adalah 22.823 jiwa, 19.339 jiwa, 24.272 jiwa. Dengan rata-rata kepadatan penduduk berturut-turut adalah 2.536 jiwa/desa, 2.149 jiwa/desa, dan 2.427 jiwa/desa dengan penduduk beragama dan berbudaya Islam.
45
HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1. Penggunaan Lahan Hasil interpretasi Citra Ikonos tahun 2006 pada Kecamatan Ulee Kareng, Lueng Bata dan Banda Raya, juga pemeriksaan lapangan diperoleh informasi mengenai penggunaan lahan tahun 2006 pada tiga kecamatan penelitian. Jenis penggunaan lahan di daerah penelitian disajikan pada Tabel 10. Tabel 9. Jenis Penggunaan Lahan di Tiga Kecamatan Penelitian No
Jenis Penggunaan
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13
Fasilitas Olah Raga Industri Jalan Kebun Lahan Kosong Makam Pemukiman Perguruan Tinggi Rawa Rumput Sawah Semak / Belukar Sungai Total Sumber : Hasil Analisis
Luas (Ha) 22.842 9.317 18.132 400.772 10.568 0.338 626.932 1.359 49.281 18.081 310.497 3.946 26.241 1.498.306
Persentase (%) 1.52 0.62 1.21 26.74 0.71 0.02 41.84 0.09 3.29 1.21 20.72 0.26 1.75 100.00
Penggunaan lahan di tiga kecamatan penelitian didominanasi oleh pemukiman sebesar 41.84 %, urutan berikutnya ialah kebun sebesar 26.74 %, sawah sebesar 20.72 %, rawa sebesar 3.29 %, dan lainnya sebesar 7.41 %. Penutupan lahan berupa sawah, dan ruang terbuka hijau lainnya (kebun, rawa, dan semak-semak)
lebih dominan terdapat pada bahagian Selatan hingga ke
perbatasan Kabupaten Aceh Besar. Sementara itu ruang terbangun dominan cenderung menyebar di bahagian Utara mengikuti jaringan jalan yang telah terbangun dengan baik yang
merupakan daerah yang meliliki jaringan
infrastruktur yang lebih baik dan tersedia transportasi umum yang melayani masyarakat kawasan tersebut, seperti terlihat pada gambar 7 peta penggunaan di tiga lokasi penelitian.
46
Gambar 7. Peta Penggunaan Lahan Lokasi Penelitian.
47
Di tiga kecamatan penelitian terlihat bahwa ruang terbangun dan ruang tidak terbangun/ruang terbuka masing-masing sebesar 43.80 % dan 56.20 %. Penyebaran penggunaan lahan kebun dominan terdapat di Kecamatan Ulee Kareng di bahagian Selatan hingga ke bantaran Krueng Aceh (sungai). Penyebaran penggunaan lahan sawah dominan terdapat di Kecamatan Lueng Bata dan berdampingan dengan Kecamatan Bandara Raya menyebar ke arah Selatan menuju ke perbatasan Kabupaten Aceh Besar. Sedangkan penyebaran penggunaan lahan pemukiman merupakan penggunaan yang dominan dibandingkan untuk penggunaan lainnya di tiga kecamatan penelitian menyebar di bahagian Utara masing-masing kecamatan.
5.1.1. Penggunaan Lahan di Kecamatan Ulee Kareng Peta penggunaan lahan menunjukkan bahwa kondisi penutupan lahan tahun 2006 di Kecamatan Ulee Kareng di dominasi oleh kebun sebesar 53.09 %, urutan berikutnya ialah pemukiman sebesar 29.16 %, sawah sebesar 9.14 %, rumput sebesar 3.01 %, rawa sebesar 2.15 %, lahan kosong sebesar 0.73 %, perdagangan dan industri sebesar 0.01 %, dan lainnya sebesar 2.71 %. Penutupan lahan berupa kebun, sawah dan ruang terbuka hijau lainnya lebih dominan berada pada bagian Selatan Kecamatan Ulee Kareng, sementara itu ruang terbangun cenderung menyebar mengikuti jaringan jalan yang dominan bagian Utara kecamatan. Pemanfaatan ruang di Kecamatan Ulee Kareng adalah ruang terbangun sebesar 29.63 % dengan luas 155.488 ha dan ruang tidak terbangun sebesar 70.37 % dengan luas 369.328 ha.
Pemanfaatan ruang didominasi penggunaan untuk
kebun sebesar 53.09 % yang berada di bahagian Selatan sampai ke bantaran Krueng Aceh (sungai). Pada umumnya kebun-kebun yang terdapat di kecamatan ini di tanami dengan tanaman tahunan berupa tanaman kelapa, tanaman buahbuahan seperti mangga, sawo, dan lain-lain. Kemudian penggunaan lahan berikutnya adalah pemukiman sebesar 29.16 % yang mengelompok di bahagian Utara kecamatan hingga ke perbatasan Kecamatan Syiah Kuala dan Kecamatan Kuta Alam merupakan wilayah administratif Kota Banda Aceh, serta ke perbatasan Kabupaten Aceh Besar.
48
Tabel 10. Jenis Penggunaan Lahan di Kecamatan Ulee Kareng tahun 2006 No
Jenis Penggunaan lahan
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Fasilitas Olah Raga Perdagangan & Industri Jalan Kebun Lahan Kosong Pemukiman Rawa Rumput Sawah Sungai Total Sumber : Hasil Analisis
Luas (Ha) 1.024 0.032 2.408 278.633 3.812 153.048 11.302 15.816 47.987 10.754 524.816
Persentase (%) 0.20 0.01 0.46 53.09 0.73 29.16 2.15 3.01 9.14 2.05 100.00
5.1.2. Penggunaan Lahan di Kecamatan Lueng Bata Peta penggunaan lahan menunjukkan, bahwa kondisi penutupan lahan tahun 2006 di Kecamatan Lueng Bata didominasi oleh permukiman sebesar 47.67 %, urutan berikutnya ialah sawah sebesar 24.45 %, kebun sebesar 14.45 %, rawa sebesar 5.27 %, perdagangan dan industri sebesar 2.04 %, dan lainnya sebesar 6.12 %. Kawasan pemumukiman cenderung berkembang di sebelah Utara kecamatan, sedangkan
ruang terbuka hijau dominan di bagian
Selatan
kecamatan. Pemanfaatan ruang di Kecamatan Lueng Bata adalah ruang terbangun sebesar 52.30 % dengan luas 238.229 ha dan ruang tidak terbangun sebesar 47.70 % dengan luas 217.348 ha.
Pemanfaatan ruang didominasi penggunaan untuk
pemukiman sebesar 47.67 % yang berada di bahagian Utara kecamatan. Pada umumnya pemukiman yang terdapat di kecamatan ini sudah ada sejak pemerintahan kolonial Belanda bahkan pada masa Kerajaan Aceh pun desa-desa yang ada di kecamatan ini sudah ada dan mengelompok di bahagian Utara di sepanjang Krueng Aceh yang relatif lebih maju. Kemudian penggunaan lahan sawah menunjukkan bahwa mengelompok di satu kawasan bersebelahan dengan Kecamatan Banda Raya, keberadaan sawah di sekitar pinggiran desa/kecamatan menandakan sistem pertanian yang sudah maju dengan sistem drainase. Namun sekarang ini sawah-sawah tersebut sudah tidak produktif lagi dan sudah banyak
49
yang dialih fungsikan menjadi pemukiman, meskipun wujud fisiknya berupa sawah, sebahagian sawah tersebut sudah tidak digarap lagi. Tabel 11. Jenis Penggunaan Lahan di Kecamatan Lueng Bata tahun 2006 No
Jenis Penggunaan lahan
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Perdagangan & Industri Jalan Kebun Lahan Kosong Pemukiman Rawa Perguruan Tinggi Sawah Semak / Belukar Sungai Total Sumber : Hasil Analisis
Luas (Ha) 9.285 10.427 65.803 2.989 217.158 23.993 1.359 111.401 1.115 12.047 455.577
Persentase (%) 2.04 2.29 14.45 0.66 47.67 5.27 0.30 24.45 0.24 2.64 100.00
5.1.3. Penggunaan Lahan di Kecamatan Banda Raya Peta penggunaan lahan menunjukkan bahwa kondisi penutupan lahan di Kecamatan Banda Raya di dominasi oleh permukiman sebesar 49.57 %, urutan berikutnya ialah sawah sebesar 29.18 %, kebun sebesar 10.87 %, tegalan sebesar 2.88 %, rawa sebesar
2.70 %, lahan kosong sebesar 0.73 % dan lainnya sebesar
6.95 %. Penutupan lahan berupa sawah dan ruang terbuka hijau lainnya lebih dominan berada pada bagian selatan Kecamatan Banda Raya, sedangkan ruang terbangun cenderung menyebar mengikuti jaringan jalan, dominan di bagian utara hingga ke bahagian barat kecamatan yang berbatasan dengan kabupaten Aceh Besar beberapa kawasan pemukiman baru dibangun di bahagian barat kecamatan, dimana terdapat jaringan jalan lingkar Kota Banda Aceh yaitu jalan negara Sukarno-Hatta. Percepatan pengembangan wilayah kecamatan ini sangat dimungkinkan dikarenakan terdapat fasilitas yang tidak dimiliki kecamatan lain seperti stadion sepak bola terbesar di Aceh, sarana kesehatan berupa rumah sakit meuraxa, sarana pendidikan terpadu yaitu sekolah kejuruan STM Negeri dan SMK Negeri pada lokasi yang sama dengan penggunaan fasilitas yang berintegrasi pada lembaga pendidikan ini sehingga penggunaan fasilitas lebih efisien.
50
Pemanfaatan ruang di Kecamatan Banda Raya adalah ruang terbangun sebesar 54.80 % dengan luas 283.841 ha dan ruang tidak terbangun sebesar 45.20 % dengan luas 217.348 ha.
Pemanfaatan ruang didominasi penggunaan untuk
pemukiman sebesar 49.57 % yang berada di bahagian Utara kecamatan. Pada umumnya pemukiman yang terdapat di kecamatan ini sudah ada sejak lama dan mengelompok di bahagian Utara kecamatan. Kemudian penggunaan lahan sawah menunjukkan bahwa mengelompok di satu kawasan bersebelahan dengan Kecamatan Lueng Bata dan pencilan terdapat di bahagian Selatan yang berbatasan dengan Kabupaten Aceh Besar. Keberadaan sawah di sekitar pinggiran desa/kecamatan, sekarang sebahagian sawah-sawah tersebut sudah tidak digarap lagi, sebahagian lagi masih ditanami satu tahun sekali, sehingga sawah-sawah tersebut sudah tidak produktif lagi meskipun wujudnya berupa sawah.
Tabel 12. Jenis Penggunaan Lahan di Kecamatan Banda Raya tahun 2006 No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
Jenis Penggunaan
Fasilitas Olah Raga Jalan Kebun Lahan Kosong Makam Pemukiman Rawa Rumput Sawah Semak / Belukar Sungai Total Sumber : Hasil Analisis
Luas (Ha) 21.818 5.297 56.336 3.767 0.338 256.726 13.986 2.265 151.109 2.831 3.440 517.913
Persentase (%) 4.21 1.02 10.87 0.73 0.07 49.57 2.70 0.44 29.18 0.55 0.66 100.00
Pemanfaatan ruang di tiga kecamatan penelitian dapat di tampilkan sederhanakan menjadi pemanfaatan ruang terbangun berupa stadion olah raga, jalan, pemukiman ,perumahan,gedung dan ruang tidak terbangun/terbuka, berupa sawah, kebun, rawa, dan semak/belukar, sungai adalah sebagai berikut:
51
Tabel 13. Pemanfaatan Ruang Terbangun dan Ruang Terbuka Ruang Terbangun No.
Nama Kecamatan
Ruang Terbuka
Luas (Ha)
( % )
Luas (Ha)
( %)
1.
Ulee Kareng
155.488
29.63
369.328
70.37
2.
Lueng Bata
238.229
52.30
217.348
47.70
3.
Banda Raya
283.841
54.80
234.072
45.20
Sumber: Hasil Analisis
5.2. Penentuan Hirarki Pusat Aktivitas Salah satu cara untuk mengukur tingkat perkembangan suatu wilayah secara cepat dan mudah adalah menggunakan metode skalogram. Pada prinsipnya suatu wilayah berkembang secara ekonomi dicirikan oleh tingkat aksesibilitas masyarakat di dalam pemanfaatan sumberdaya ekonomi yang dapat digambarkan baik secara fisik maupun non fisik. Metode
skalogram
dapat
digunakan
untuk
menentukan
peringkat
pemukiman atau wilayah dan kelembagaan atau fasilitas pelayanan. Asumsi yang digunakan adalah bahwa wilayah yang memiliki ranking tertinggi adalah lokasi yang dapat menjadi pusat pelayanan. Berdasarkan analisis ini dapat ditentukan prioritas pengadaan sarana dan prasarana di setiap unit wilayah yang dianalisis. Indikator yang digunakan dalam analisis skalogram adalah jumlah penduduk, jumlah jenis, jumlah unit serta kualitas fasilitas pelayanan yang dimiliki masing masing wilayah. Metode ini mempunyai beberapa keunggulan, antara lain: 1. Memperlihatkan dasar diantara jumlah penduduk dan tersedianya fasilitas pelayanan. 2. Secara cepat dapat mengorganisasikan data dan mengenal wilayah. 3. Membandingkan pemukiman-pemukiman dan wilayah-wilayah berdasarkan ketersediaan fasilitas pelayanan. 4. Memperlihatkan hierarki pemukiman atau wilayah.
52
5. Secara potensial dapat digunakan untuk merancang fasilitas baru dan memantaunya. Selanjutnya dari hasil analisis skalogran seperti terlihat pada Tabel 14 bahwa pusat-pusat hirarki menunjukan pusat pelayanan di kecamatan sub urban kota, dengan Kecamatan Lueng Bata menduduki urutan pertama dari sisi ketersediaan fasilitas berdasarkan jumlah jenis sarana prasarana, juga berdasarkan indeks perkembangan kecamatan.
Tabel 14. Hirarki Kecamatan Penelitian dalam Kota Banda Aceh berdasarkan Jumlah Jenis Sarana Prasarana. No.
KECAMATAN
1.
ULEE KARENG
2.
LUENG BATA
3.
BANDA RAYA
DESA/KELURAHAN CEURIH DOI IEMASEN ULEE KARENG ILIE LAMBHUK LAMGLUMPANG LAMTEH PANGO DEAH PANGO RAYA BATOH BLANG CUT COT MESJID LAMPALOH LAMSEUPEUNG LANDOM LUENG BATA PANTERIEK SUKADAMAI GEUCEU INIEM GEUCEU KAYEE JATO GEUCEU KOMPLEK LAM ARA LAM LAGANG LAMPUOT LHONG CUT LHONG RAYA MIBO PEUNYEURAT
Jumlah jenis sarana dan prasarana 38 30 27 27 35 37 31 24 30 25 31 34 24 41 26 33 30 38 27 29 26 25 45 26 30 31 27 25
Jumlah sarana dan prasarana 668 446 348 582 1180 643 683 100 282 883 513 856 151 736 371 753 287 700 760 727 855 479 1133 144 414 1154 424 234
Hirarki Hirarki I Hirarki II Hirarki III Hirarki III Hirarki II Hirarki II Hirarki III Hirarki III Hirarki III Hirarki III Hirarki III Hirarki II Hirarki III Hirarki I Hirarki III Hirarki II Hirarki III Hirarki I Hirarki III Hirarki III Hirarki III Hirarki III Hirarki I Hirarki III Hirarki II Hirarki I Hirarki III Hirarki III
.Sumber : BPS, Podes 2006 (Analisis) Dari hasil analisis skalogram seperti terlihat pada Tabel 14 diketahui bahwa Kecamatan Lueng Bata secara kumulatif menduduki urutan pertama dari sisi ketersediaan fasilitas berdasarkan jumlah sarana dan prasarana, kemudian diikuti oleh Kecamatan Ulee Kareng dan Kecamatan Banda Raya. Dari analisis
53
skalogram tersebut, Kecamatan Lueng Bata masuk kategori hirarki I, kemudian Kecamatan Ulee Kareng hirarki II dan Kecamatan Banda Raya hirarki III. Tabel 15. Hirarki Kecamatan berdasarkan Indeks Perkembangan Kecamatan No.
KECAMATAN
DESA/KELURAHAN
Indeks Perkembangan Kecamatan 70 48 31 28 47 55 42 18 27
Hirarki
1.
ULEE KARENG
CEURIH DOI IEMASEN ULEE KARENG ILIE LAMBHUK LAMGLUMPANG LAMTEH PANGO DEAH PANGO RAYA
2.
LUENG BATA
BATOH BLANG CUT COT MESJID LAMPALOH LAMSEUPEUNG LANDOM LUENG BATA PANTERIEK SUKADAMAI
33 40 49 23 85 30 62 38 69
Hirarki III Hirarki III Hirarki II Hirarki III Hirarki I Hirarki III Hirarki II Hirarki III Hirarki I
GEUCEU INIEM GEUCEU KAYEE JATO GEUCEU KOMPLEK LAM ARA LAM LAGANG LAMPUOT LHONG CUT LHONG RAYA MIBO PEUNYEURAT
27 42 24 33 102 24 48 67 40 26
Hirarki III Hirarki III Hirarki III Hirarki III Hirarki I Hirarki III Hirarki II Hirarki I Hirarki III Hirarki III
3.
BANDA RAYA
Hirarki I Hirarki II Hirarki III Hirarki III Hirarki II Hirarki II Hirarki III Hirarki III Hirarki III
Sumber : BPS, Podes 2006 (Analisis)
Hasil analisis skalogram baik berdasarkan jumlah jenis saran dan prasarana maunpun berdasarkan indeks perkembangan kecamatan menunjukkan bahwa: (1) Kecamatan Ulee Kareng terdapat 1 desa yang berhirarki I yaitu Desa Ceurih, 3 desa yang berhirarki II yaitu Desa Doi dan Desa Lambhuk, Lam Glumpang dan 5 desa yang berhirarki III yaitu Desa Ie Masen Ulee Kareng, Ilie, Lamteh, Pango Deah, Pango Raya; (2) Kecamatan Lueng Bata terdapat 2 desa yang berhirarki I yaitu Desa Lam Seupeung dan Desa Sukadamai, yang berhirarki II ada 2 desa yaitu Desa Cot Mesjid dan Desa Lueng Bata, yang berhirarki III ada 5 Desa yaitu
54
Desa Batoh, Desa Blang Cut, Desa Lampaloh, Desa LamDom dan Desa Pante Riek; (3) Kecamatan Banda Raya terdapat 2 desa yang berhirarki I yaitu Desa Lam Lagang dan Desa Lhong Raya, ada 1 desa yang berhirarki II yaitu Desa Lhong Cut, dan 7 desa yang berhirarki III yaitu Desa Geuce Iniem, Desa Geuce Kayee Jato, Desa Geuce Komplek, Desa Lam Ara, Desa LamPeuot,Desa Mibo dan Desa Peunyeurat. Dari hasil hirarki diperoleh bahwa antara kecamatan Lueng Bata memiliki 2 desa yang berhirarki I, dan juga kecamatan Banda Raya memiliki 2 desa yang berhirarki I, hanya berbeda pada hirarki II dimana Kecamatan Lueng ada 2 desa dan Kecamatan Banda Raya 1 desa. Sedangkan Kecamatan Ulee Kareng berada hanya satu desa berhirarki I. Secara kumulatif Kecamatan Lueng Bata pada hirarki I, Kecamatan Banda Raya pada hirarki II sedangkan Kecamatan Ulee Kareng pada hirarki III. Sesuai dengan hasil analisis skalogram yang menunjukkan bahwa Kecamatan Lueng Bata berada pada hirarki I, maka dapat dikatakan bahwa Kecamatan Lueng Bata secara realistis dapat menjadi pusat berbagai aktifitas yang memiliki beberapa fasilitas umum yang secara relatif lebih baik.
5.3. Keterkaitan Hirarki Pusat Aktivitas dengan Prasarana Jalan Keterkaitan antara hirarki pusat aktivitas dan jalan yang menghubungkannya memiliki pola spasial tertentu yang sangat penting dalam mewujudkan keberimbangan pembangunan antar wilayah dan interaksi antar wilayah yang saling memperkuat. Menurut Smith (1976) terdapat tiga jenis pola spasial yaitu: (1) dendritic system, (2) solar system, dan (3) network system. Dari ketiga pola ini menurut Smith (1976), pola spasial yang bisa mendorong pembangunan wilayah adalah pola spasial yang berhirarki dari wilayah pedesaan – kota kecil – kota menengah – kota besar. Dengan dibangun jaringan jalan yang menghubungkan wilayah berhirarki rendah dengan beberapa wilayah lain yang berhirarki tinggi maka menghilangkan kontrol dari hirarki wilayah yang lebih tinggi. Wilayah berhirarki rendah ini akan memilih melakukan transaksi dengan wilayah berhirarki tinggi yang menawarkan harga yang lebih kompetitif. Juga akan terjadi kompetisi di antar wilayah yang berhirarki sama untuk menyediakan pelayanan yang lebih baik.
55
56
Berdasarkan analisis skalogram yaitu wilayah-wilayah desa dalam kecamatan yang berada pada hirarki I merupakan desa-desa yang terletek dekat dengan jalan nasional ataupun dengan jalan provinsi yang memiliki berbagai fasilitas. Sementara itu untuk desa-desa lain umumnya tingkat perkembangannya relatif rendah karena posisinya jauh dari jalan nasional ataupu dengan jalan provinsi berada pada kelompok hirarki III. Terbukanya akses jalan sangat mempengaruhi konfigurasi ruang, karena itu pola jaringan jalan menjadi penting dalam pengembangan wilayah. Menurut Smith (1976), pola jaringan jalan dengan pola network system adanya keterkaitan hirarkis yang memfasilitasi perkembangan wilayah. Network system berarti adanya jalan yang menghubungkan pusat produksi yang satu dengan pusat produksi lainnya atau antara wilayah yang satu dengan wilayah yang lain. Desa-sesa dengan hirarki I terletak pada jalan yang menghubungkan/melalui desanya dilalui angkutan kota (angkot/labi-labi) dimana desa-desa tersebut adalah Desa Ceurih di Kecamatan Ulee Kareng; Desa Lam Seupueng, Desa Suka Damai di Kecamatan Lueng Bata; Desa Lam Lagang, Desa Lhong Raya. Desa-desa dengan hirarki II adalah Desa Lambhuk, Desa Doi, Desa Lam Glumpang terdapat di Kecamatan Ulee Kareng; Desa Cot Mesjid, Desa Lueng Bata terdapat di Kecamatan Lueng Bata; Desa Lhong Cut terdapat di Kecamatan Banda Raya.
5.4. Kebijakan Arah Perkembangan Wilayah Kota Banda Aceh Pemerintahan kota Banda Aceh mempunyai otoritas sebagai penentu kebijakan perencanaan pembangunan daerah, demikian pula dengan pemangku kepentingan (stakeholder) dari beberapa komponen masyarakat serta kelompok akademisi turut dilibatkan dan diberdayakan dalam rangka membantu penentuan kebijakan pembangunan, terutama kebijakan spasial untuk menggerakkan perekonomian wilayah. Kriteria yang menjadi bahan pertimbangan penilaian dalam menganalisa arah perkembangan wilayah Kota Banda Aceh digali melalui metode analisis hirarki proses (AHP). Hasil AHP menunjukkan bahwa dalam penentuan arah pengembangan wilayah faktor yang harus diperhatikan antara lain sebagai berikut:
57
1. Pada kriteria antara faktor sumberdaya wilayah, faktor sosial fisik wilayah, dan faktor perekonomian wilayah, maka faktor sumberdaya wilayah lebih penting daripada faktor sosial fisik wilayah dan faktor perekonomian wilayah, dimana kriterian faktor sumberdaya wilayah dengan skor 0.540, kemudian faktor sosial fisik wilayah 0.297 dan faktor perekonomian wilayah 0.163. 2. Pada sub kriteria faktor sumberdaya wilayah, antara faktor
potensi
sumberdaya alam, faktor keberadaan kelembagaan formal dan informal dan faktor ketersediaan sarana dan prasarana, maka faktor ketersediaan sarana dan prasarana menjadi lebih penting daripada faktor potensi sumberdaya alam maupun faktor ketersediaan kelembagaan formal dan informal, dengan skor untuk faktor ketersediaan sarana san prasarana adalah 0.344, kemudian faktor keberadaan kelembagaan formal dan informal adalah 0.139, sedangkan faktor potensi sumberdaya alam adalah 0.057. 3. Pada sub kriteria sosial fisik wilayah, antara faktor kependudukan, faktor kestrategisan lokasi/wilayah dan faktor aksesibilitas, maka faktor kestrategisan lokasi/wilayah menjadi lebih penting dibandingkan faktor kependudukan maupun faktor aksesibilitas, dimana faktor kestrategisan lokasi/wilayah adalah 0.132, faktor aksesibilitas adalah 0.115 dan faktor kependudukan adalah 0.050. 4. Pada sub kriteria perekonomian wilayah, antara faktor pusat aktivitas pertanian, faktor pusat perdagangan dan industri serta faktor pusat jasa, maka faktor pusat jasa adalah 0.088, faktor perdagangan dan industri 0.060 serta faktor pertanian adalah 0.016. Berdasarkan kriteria yang dikembangkan dalam AHP untuk menentukan arah pengembangan wilayah kota Banda Aceh, maka Kecamatan Lueng Bata adalah wilayah yang paling memenuhi kriteria sebagai wilayah pengembangan Kota Banda Aceh. Seperti terlihat pada lampiran 4. Hasil analisis AHP dengan menggunakan software CDP Ver.3.0 terlihat bahwa Kecamatan Lueng Bata memiliki sumberdaya wilayah yang lebih baik, dibanding kecamatan Banda Raya maupun kecamatan Ulee Kareng, sedangkan
58
bila di tinjau dari faktor sosial fisik wilayah kecamatan Banda Raya lebih unggul di banding kecamatan Lueng Bata dan Ulee Kareng. bila dilihat dari sudut faktor ekonomi wilayah maka kecamatan Ulee Kareng lebih unggul dibandingkan dengan kedua kecamatan lainnya. Secara kumulatif ketiga kecamatan yang dianalis yaitu terhadap kriteria yang menjadi penentu di dalam menentukan lokasi pengembangan wilayah adalah kecamatan Lueng Bata. Hasil AHP berdasarkan persepsi responden menghasilkan kesimpulan bahwa kecamatan Lueng Bata adalah lokasi yang paling memenuhi semua kriteria yang ditentukan untuk menjadi alternatif wilayah pengembangan kota Banda Aceh untuk masa yang akan datang. Arahan pemanfaatan ruang berdasarkan, rencana kawasan budidaya di BWK Selatan (Bagian Wilayah Kota) di Kota Banda Aceh terdiri dari wilayah Kecamatan Lueng Bata dan Banda Raya, merupakan pengembangan wilayah kota ke arah bagian Selatan, sedangkan Kecamatan Ulee Kareng sebagai pusat BWK Timur termasuk ke dalam BWK Timur Kecamatan Syiah Kuala. BWK Selatan (Bagian Wilayah Kota) di Kota Banda Aceh terdiri dari wilayah Kecamatan Lueng Bata dan Banda Raya,
berfungsi sebagai pusat
kegiatan olah raga (sport senter) terminal AKAP dan AKDP, perdagangan dan jasa serta pergudangan. Pusat BWK Selatan ditetapkan di koridor Batoh (Kecamatan Lueng Bata) hingga Lampeunereut (Kabupaten Aceh Besar). Sedangkan Kecamatan Ulee Kareng sebagai pusat BWK Timur termasuk ke dalam BWK Timur Kecamatan Syiah Kuala, yang merupakan pengembangan kota ke bagian Timur, yang berfungsi sebagai pusat pelayanan sosial kota seperti pendidikan, kesehatan, dan kegiatan lain yang komplementer dengan kedua kegiatan tersebut. Sebagai pusat pelayanan di Kota Banda Aceh, arahan rencana sistem pelayanan berada di Batoh dan Lamdom (Kecamatan Lueng Bata) berfungsi sebagai pusat Pemerintahan Provinsi NAD yang baru, pusat perdagangan dan jasa dan permukiman. Sedangkan pusat pelayanan Ulee Kareng berfungsi sebagai perdagangan dan jasa serta permukiman.
59
Gambar 12. Peta Arahan Pemanfaatan Ruang Area Penelitian
60
Pembagian zona pada BWK Selatan Kota Banda Aceh dengan Kode Zone BWK dan fungsi wilayah sebagai berikut: Zona C.1 sebagai kawasan permukiman kepadatan tinggi. Zona C.2 sebagai kawasan permukiman kepadatan tinggi, kawasan campuran komersial dan fasilitas umum (fasum). Zona C.3 sebagai kawasan permukiman kepadatan tinggi, kawasan campuran komersial dan fasilitas umum (fasum), pertanian. Zona C.4 sebagai kawasan Mix-use berupa campuran komersial dan fasilitas umum (fasum), permukiman kepadatan tinggi. Pembagian zona pada BWK Timur Kota Banda Aceh dengan Kode Zone BWK dan fungsi wilayah sebagai berikut: Zona D.4 sebagai kawasan permukiman kepadatan tinggi, kawasan campuran komersial. Zona D.5 sebagai kawasan permukiman kepadatan tinggi. Zona D.6 sebagai kawasan perdagangan dan jasa. Kota Banda Aceh merupakan dataran banjir krueng Aceh yang sekitar 70 persen wilayahnya berada pada ketinggian kurang dari 10 meter dari permukaan laut, suhu udara terendah 180C dan suhu tertinggi 370C, curah hujan berkisar 1.039 mm sampai 1.907 mm, kelembaban berkisar 75 % hingga 87 %, kecepatan angin bertiup 2 hingga 28 knots, elevasi ketinggian kota Banda Aceh 0 hingga 10 meter dpl, dan kemiringan lereng berkisar 0 hingga 2 %. Berdasarkan uraian diatas bahwa faktor geobiofisik tidak terlalu berpengaruh terhadap pemanfaatan penggunaan ruang di Kota Banda Aceh.
61
SIMPULAN DAN SARAN 6.1. Simpulan Hasil penelitian yang dilakukan dapat disimpulkan bahwa: 1. Penggunaan lahan di setiap kecamatan berbeda-beda, dimana dominasi penggunaan lahan di Kecamatan: Ulee Kareng adalah penggunaan lahan dominan untuk kebun sebesar 53.09 %, diikuti penggunaan lahan untuk permukiman sebesar 29 %, penggunaan lahan untuk sawah sebesar 9.14 %. Lueng Bata adalah penggunaan lahan dominasi untuk permukiman sebesar 47 %, kemudian penggunaan lahan untuk sawah sebesar 24 %, dan penggunaan lahan untuk kebun sebesar 14.45 %. Banda Raya adalah penggunaan lahan didominasi untuk permukiman sebesar 50 %, lalu penggunaan lahan untuk sawah sebesar 29 % ha. 2. Ruang terbangun dan ruang terbuka di masing-masing kecamatan adalah; Ulee Kareng, ruang terbangun adalah 30 % dengan luas 155 ha dan ruang terbuka adalah 70 % dengan luas 369 ha. Lueng Bata, ruang terbangun adalah 52 % dengan luas 238 ha, dan ruang terbuka adalah 48 % dengan luas 217 ha. Banda Raya, ruang terbangun adalah 55 % dengan luas 284 ha, dan ruang terbuka adalah 45 % dengan luas 234 ha. 3. Hasil analisa skalogram berdasarkan jumlah jenis sarana dan prasarana serta tingkat perkembangan kecamatan disimpulkan bahwa Kecamatan Lueng Bata berhirarki I, Kecamatan Banda Raya berhirarki II, dan Kecamatan Ulee Kareng berhirahki III 4. Letak desa-desa yang berhirarki I maupun berhirarki II merupakan desadesa yang dilintasi oleh jaringan jalan negara dan jalan provinsi serta adanya sarana transportasi umum yang melintasi kawasan tersebut dengan angkutan perkotaan (angkot/labi-labi). 5. Dari analisis AHP yang merupakam persepsi responden, bahwa arahan pengembangan wilayah sub urban Kota Banda Aceh di tiga kecamatan adalah ke Kecamatan Lueng Bata sebesar 46 %, Kecamatan Banda Raya sebesar 30 %, dan ke Kecamatan Ulee Kareng sebesar 24 %. Sehingga
62
kecamatan yang menjadi pilihan pengembangan wilayah di kota Banda Aceh adalah kecamatan Lueng Bata. 6. Arahan pemanfaatan ruang di BWK Selatan (Bahagian Wilayah Kota) di Kota Banda Aceh, berfungsi sebagai kawasan permukiman kepadatan tinggi, kawasan campuran komersial dan fasilitas umum (fasum), pertanian. Sedangkan pada BWK Timur Kota Banda Aceh dengan fungsi wilayah sebagai kawasan permukiman kepadatan tinggi, kawasan campuran komersial, perdagangan dan jasa
6.2. Saran Pemerintah Provinsi NAD maupun pemerintah Kota Banda Aceh mesti bijaksana dalam menentukan arahan pemanfaatan ruang/lahan dalam pengembangan wilayah di sub urban Kota Banda Aceh, agar tidak menimbulkan konflik kepentingan di dalam pembangunan. sebaiknya pengembangan Kota Banda Aceh berdasarkan kajian ilmiah yang dapat dipertanggung jawabkan.
63
DAFTAR PUSTAKA
Aronoff.S. 1993. Geograpihc Information System : A Management Perspective. Ottawa. Canada. Arsyad.S. 1989. Konservasi Tanah dan Air. IPB Press. Bogor. Barus.B, Wiradisastra.U.S. 2000. Sistem Informasi Geografis. Laboratorium Penginderaan Jauh dan kartografi. Jurusan Tanah. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Budiharjo, Eko. 1997. Tata Ruang Perkotaan. Bandung. PT Alumni. [BPS] Badan Pusat Statistik.2004. Kota Banda Aceh Dalam Angka Tahun 2004. [BPS] Badan Pusat Statistik. 2006. Potensi Desa tahun 2006. Jakarta. Daldjoeni. N. 1987. Geografi Kota dan Desa. Alumni. Bandung. Darwanto.H. 2000. Mekanisme pengelolaan Penataan Ruang Wilayah Pesisir, Laut dan Pulau-Pulau Kecil. Dirjen Urusan Pesisir, Pantai dan Pulau-Pulau Kecil serta Hubungan nya Dengan RTRWN, RTRWP, RTRW Kab/Kota. Proseding Temu Pakar Penyusunan Konsep Tata Ruang Pesisir. Depertemen Kelautan dan Perikanan. Jakarta. Departemen Kelautan dan Perikanan. 2002. Pedoman Umum Penataan Ruang Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Jakarta. Diposaptono, S., Budiman.2005. Tsunami. Penerbit Buku Ilmiah Populer. Bogor. [Ditjen Penataan Ruang] Direktorat Jenderal Penataan Ruang. 2007. UndangUndang No.26 tahun 2007. tentang Penataan Ruang. Jakarta. ESRI. 1990. Understanding GIS : The Arc/Info Method Environmental at System Reasearch Institute. Redland.CA.USA. Hanafiah T. 1989. Aspek Lokasi dalam Analisis Ekonomi Wilayah. Bogor: Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian Fakultas Pertanian IPB. Hardjowigeno.S., Widiatmaka. 2001. Kesesuaian lahan dan Perencanaan Tata Guna Tanah.Jurusan Tanah. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor, Hildamus. 2002. Kajian Penggunaan Data Ikonos untuk Evaluasi Lahan Hutan Hujan.[tesis]. Bogor. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
64
Hutabarat. J. 2005. Penataan Ruang untuk Kesejahteraan Masyarakat : Standarisasi Penataan Ruang Nasional Sebagai Acuan bagi Pemerintah Daerah. LSKPI Press. Jakarta. Isard. W. 1975. Introduction to Regional Sciece. Englewood Cliff,N.J : PrenticeHill Lillesand. M.T., R.W. Kieffer. 1990. Penginderaan Jauh dan Interpetasi Citra. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Martokusumo W. 2006. Revitalisasi dan Rancang Kota : beberapa catatan dan konsep penataan kawasan berkelanjutan. Perencanaan Wilayah dan Kota Martono, Dwi.2006. Aplikasi Data Penginderaan Jauh untuk Mendukung Tata Ruang. Jurnal Inovasi Vol 7/XVIII/Juni 2006. Nugroho.M.B.T,. 2005. Tingkat Kerusakan Bangunan Akibat Gempa dan Tsunami di Kota Banda Aceh (skripsi). Fakultas Geografi. Universitas Indonesia. Prahasta. E. 2005. Konsep-Konsep Dasar Sistem Informasi Geografis. Informatika. Bandung. Prakoso BSE, Muta’ali L. 2005. Dinamika sistem kota-kota dan pemilihan alternatif pusat pertumbuhan baru di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Majalah Geografi Indonesia. 19:155-175. Riyadi.D.S. 2002. Dampak Globalisasi Ekonomi dan Kebijakan Regional terhadap Pengembangan Wilayah di Indonesia. Di dalam : Urbanus M.Ambardi dan Socia prihawantoro. Editor. Pengembangan Wilayah dan Otonomi Daerah. Jakarta. Pusat Pengkajian Kebijakan Tehnologi Pengembangan Wilayah. Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi. Halaman 3 - 24 Rushton G. 1979. Optimal Location of Facilities. Iowa: Departement of Geography University of Iowa. Rustiadi. E., Panuju dan Saefulhakim . 2005. Perencanaan dan Pengembangan Wilayah. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Saaty, Thomas L. 1980. The Analytic Hierarchy Process. McGraw-Hill, Inc Sandy, I M. 1978. Kota di Indonesia, publikasi No.113, Direktorat Tata Guna Tanah, Dirjen.Agraria. Departemen Dalam Negeri. Jakarta Sitorus. S.R.P. 1998. Evaluasi Sumberdaya Lahan. Penerbit Tarsito. Bandung. Smith A.C. 1976. Regional Analysis, vol I Economic System. North Carolina : Dept. of Antropology Duke University Durham. Sobirin, 2001. Distribusi Pemukiman dan Prasarana Kota di dalam Dimensi Keruangan Kota. Penerbit UI-Press.
65
Tarigan. R. 2005. Ekonomi Regional, Teori dan Aplikasi. Edisi revisi. Jakarta: PT Bumi Aksara. Ttiutomo.S. 2001. Pengembangan Wilayah Melalui Pembentukan Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu. Di dalam .Alkadri, Muchdie dan Suhandono. Editor. Tiga Pilar Pengembangan Wilayah. Jakarta. BPPT. Hlm 49 – 61. Yunus, H.S. 1987. Permasalahan Daerah Urban Fringe dan Alternatif Pemecahannya. Fakultas Geografi UGM. Yogyakarta. Yunus. H.S. 2005. Manajemen Kota, Perspektif Spasial. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
66
LAMPIRAN 1. STRUKTUR AHP Goal/sasaran
PEMILIHAN LOKASI PENGEMBANGAN WILAYAH
Kriteria Sumber Daya Wilayah
Potensi SDA
Keberadaan Kelembagaan Normal
Ketersedia an Sarana dan Prasarana
Sosial Fisik Wilayah
Kepadatan Penduduk
Kesrtategisan Lokasi
Perekonomian Wilayah
Ak sesibi litas
Pusat Pertani an
Pusat Perdagangan, Industri
ALTERNATIF
LUENG BATA
ULEE KARENG
BANDA RAYA
Pusat Jasa
67
Lampiran 2.
KUISIONER UNTUK PENELITIAN TENTANG
ILMU PERENCANAAN WILAYAH SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR APRIL 2006
ARAHAN PEMANFAATAN RUANG DALAM PENGEMBANGAN WILAYAH SUB URBAN KOTA BANDA ACEH PASCA TSUNAMI (studi kasus Kec.Banda Raya, Lueng Bata dan Ulee Kareng)
Dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah (Ps PWL), Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor (IPB), maka saya : Nama : Kamaruzzaman NRP : A253050261 Program Studi : Ilmu Perencanaan Wilayah mengajukan tugas akhir dengan topik penelitian tentang Arahan Pemanfaatan Ruang Dalam Pengembangan Wilayah Sub urban Kota Banda Aceh Pasca Bencana Tsunami (Studi kasus Kec. Banda Raya, Lueng Bata dan Ulee Kareng). Kuesioner ini merupakan salah satu tahapan dalam proses pengumpulan data penelitian. Berkenaan dengannya, saya mohon kesediaan Bapak/Ibu meluangkan waktu untuk berdiskusi dan menjawab pertanyaan yang ada dalam kuesioner ini dengan jawaban yang sesuai dengan pengetahuan, pemahaman, dan pengalaman Bapak/Ibu terhadap permasalahan yang dikemukakan. Jawaban yang Bapak/Ibu berikan tidak akan berpengaruh terhadap penilaian kebijakan Bapak/Ibu karena kuisioner ini hanya ditujukan untuk keperluan penelitian dalam bingkai kepentingan akademis semata. Atas perhatian dan bantuan Bapak/Ibu serta kesediaan dalam meluangkan waktu untuk mengisi kuisioner dan bertukar-pikiran , kami ucapkan terimakasih. Bogor, April 2008 Hormat saya, Kamaruzzaman
68
ANALISIS HIRARKI PROSES (AHP) A. PENGANTAR Kuesioner ini ditujukan untuk menggali persepsi dari Pejabat dan stakeholders tentang Arahan Pemanfaatan Ruang dalam Pengembangan Wilayah Sub urban Kota Banda Aceh Pasca Bencana Tsunami (Studi kasus Kecamatan Banda Raya, Lueng Bata dan Ulee Kareng). Bapak/Ibu diharapkan dapat memberikan urutan dan nilai bobot berdasarkan tingkat kepentingan dari masing-masing aspek yang ditanyakan. Penilaian yang Bapak/Ibu berikan minimal sama dengan 1 (satu) untuk hal yang Bapak/Ibu anggap kurang begitu penting, maksimal sama dengan 9 (sembilan) untuk hal yang Bapak/Ibu anggap sangat penting sekali. Dalam memberikan urutan dan nilai bobot Bapak/Ibu diperbolehkan memberikan angka yang sama, apabila Bapak/Ibu memandang bahwa tingkat kepentingan antar aspek yang dinilai tersebut adalah sama. (1) Tata Cara Pengisian Kuisioner • Responden menentukan nilai bobot kepentingan antara 1-9 berdasarkan urutan kepentingan dari suatu aspek dibandingkan aspek lainnya dan diisi pada kolom dengan cara melingkari. Perbandingan antara masingmasing atribut sesuai dengan Skala Saaty, seperti yang tertera pada tabel Skala Angka Saaty. Perbandingan dilakukan dengan cara membandingkan komponen sebelah kiri dengan komponen sebelah kanan. • Pengisian harus dilakukan secara konsisten. Sebagai contoh, apabila atribut A lebih baik dari atribut B, dan atribut B lebih baik dari atribut C, maka atribut A harus lebih baik dari atribut C. Tabel . Skala Angka Saaty Intensitas Pentingnya (Nilai)
Definisi
1
Kedua elemen sama pentingnya
3
Elemen yang satu sedikit lebih penting ketimbang yang lainnya
5
Elemen yang satu esensial atau sangat penting ketimbang yang lainnya
7
Satu elemen jelas lebih penting dari elemen yang lainnya
9
Satu elemen mutlak lebih penting ketimbang yang lainnya
2,4,6,8
Nilai-nilai apabila ragu-ragu di antara dua pertimbangan yang berdekatan
69
1. Terdapat 3 faktor yang berhubungan dengan karakteristik wilayah yang dianggap menentukan dan menjadi prioritas pertimbangan penentuan arahan pemanfaatan ruang dalam pengembangan wilayah sub urban Kota Banda Aceh pasca bencana tsunami, yaitu Kec. Banda Raya , Lueng Bata dan Ulee Kareng yaitu: a. Faktor sumberdaya wilayah, yang meliputi potensi sumberdaya alam, keberadaan kelembagaan formal dan informal, dan ketersediaan sarana dan prasarana. b. Faktor sosial-fisik wilayah, yang meliputi kepadatan penduduk, aksesibilitas, dan kestrategisan lokasi. c. Faktor perekonomian wilayah, yaitu menyangkut aktifitas perekonomian yang dominan di suatu wilayah seperti pusat pertanian, pusat perdagangan & industri, dan pusat jasa. Menurut pendapat Bapak/lbu, berdasarkan pemahaman dan pengalaman selama ini, bagaimanakah urutan pentingnya dari ketiga faktor tersebut dalam penentuan arahan pemanfaatan ruang dalam pengembangan wilayah sub urban Kota Banda Aceh pasca bencana tsunami, yaitu Kec. Banda Raya , Lueng Bata dan Ulee Kareng Faktor yang dipertimbangkan
Urutan
Sumberdaya wilayah Sosial-fisik wilayah Perekonomian wilayah Bapak/Ibu diminta untuk memberikan bobot, berapa kalikah lebih penting faktor yang satu dibanding faktor lainnya dalam penentuan arahan pemanfaatan ruang dalam pengembangan wilayah sub urban Kota Banda Aceh pasca bencana tsunami, yaitu Kec. Banda Raya , Lueng Bata dan Ulee Kareng ? Sumber Daya Wilayah 9
8
7
6
5
Sosial Fisik Wilayah 4
3
2
1
1
Sumber Daya Wilayah 9
8
7
6
5
2
3
4
5
6
7
8
9
7
8
9
Perekonomian Wilayah 4
3
2
1
1
2
3
4
5
6
70
Sosial Fisik Wilayah 9
8
7
6
5
Perekonomian Wilayah 4
3
2
1
1
2
3
4
5
6
7
8
9
2. Untuk faktor sumberdaya wilayah, setidaknya terdapat 3 aspek yang memiliki konstribusi terhadap sumberdaya suatu wilayah, yaitu: a. Potensi sumberdaya alam. b. Keberadaan kelembagaan formal dan informal. c. Ketersediaan sarana dan prasarana. Menurut pendapat Bapak/lbu berdasarkan pemahaman dan pengalaman selama ini, bagaimanakah urutan pentingnya dari ketiga aspek sumberdaya wilayah tersebut dalam penentuan arahan pemanfaatan ruang dalam pengembangan wilayah sub urban Kota Banda Aceh pasca bencana tsunami, yaitu Kec. Banda Raya , Lueng Bata dan Ulee Kareng ? Aspek
Urutan
Potensi sumberdaya alam Keberadaan kelembagaan formal dan informal Ketersediaan sarana dan prasarana
Bapak/Ibu diminta untuk memberikan bobot, berapa kalikah lebih penting aspek yang satu dibanding aspek lainnya dalam penentuan arahan pemanfaatan ruang dalam pengembangan wilayah sub urban Kota Banda Aceh pasca bencana tsunami, yaitu Kec. Banda Raya , Lueng Bata dan Ulee Kareng ? Potensi Sumberdaya Alam Keberadaan Kelembagaan Formal dan Non formal 9
8
7
6
5
4
3
2
1
Potensi Sumberdaya Alam 9
8
7
6
5
4
1
2
3
4
5
6
7
8
9
Ketersediaan Saran dan Prasarana 3
2
1
1
2
3
4
5
6
7
8
9
71
Keberadaan Kelembagaan Formal dan non Fornmal.
9
8
7
6
5
4
3
2
1
1
2
3
Ketersediaan Sarana dan Prasarana
4
5
6
7
8
9
3. Aspek yang berhubungan dengan faktor sosial-fisik wilayah, yaitu kepadatan penduduk, aksesibilitas dan kestrategisan lokasi Menurut pendapat Bapak/lbu berdasarkan pemahaman dan pengalaman selama ini, bagaimanakah urutan pentingnya dari aspek sosial-fisik wilayah tersebut dalam penentuan arahan pemanfaatan ruang dalam pengembangan wilayah sub urban Kota Banda Aceh pasca bencana tsunami, yaitu Kec. Banda Raya , Lueng Bata dan Ulee Kareng ? Aspek
Urutan
Kepadatan penduduk Aksesibilitas Kestrategisan lokasi Bapak/Ibu diminta untuk memberikan bobot, berapa kalikah lebih penting aspek yang satu dibandingkan dengan aspek yang lain dalam penentuan arahan pemanfaatan ruang dalam pengembangan wilayah sub urban Kota Banda Aceh pasca bencana tsunami, yaitu Kec. Banda Raya , Lueng Bata dan Ulee Kareng ? Kepadatan Penduduk Aksesibilitas 9
8
7
6
5
4
3
2
1
Kepadatan Penduduk 9
8
7
6
5
8
7
2
3
4
5
6
7
8
9
6
7
8
9
6
7
8
9
Kestrategisan Lokasi 4
3
2
1
Aksesibilitas 9
1
1
2
3
4
5
Kestrategisan Lokasi 6
5
4
3
2
1
1
2
3
4
5
72
4.
Aktifitas yang dominan dari kegiatan perekonomian suatu wilayah termasuk aspek yang menjadi bahan pertimbangan dalam pemilihan suatu lokasi untuk pengembangan wilayah sub urban Kota Banda Aceh pasca bencana tsunami. Menurut pendapat Bapak/lbu berdasarkan pemahaman dan pengalaman selama ini, bagaimanakah urutan sektor kegiatan perekonomian suatu wilayah yang paling berpengaruh dalam penentuan arahan pemanfaatan ruang dalam pengembangan wilayah sub urban Kota Banda Aceh pasca bencana tsunami, yaitu Kec. Banda Raya , Lueng Bata dan Ulee Kareng ? Aspek
Urutan
Pusat kegiatan pertanian Pusat kegiatan perdagangan dan industri Pusat kegiatan jasa Bapak/Ibu diminta untuk memberikan bobot, berapa kalikah lebih penting aspek yang satu dibandingkan dengan aspek yang lain. Pusat Kegiatan Pertanian 9
8
7
6
5
4
Pusat Kegiatan Perdaganga dan Industri 3
2
1
Pusat Kegiatan Pertanian 9
8
7
6
5
4
1
2
3
4
5
6
7
8
9
6
7
8
9
6
7
8
9
Pusat Kegiatan Jasa 3
2
1
1
2
3
4
5
Pusat Kegiatan Perdagangan dan Industri Pusat Kegiatan Jasa 9
8
7
6
5
4
3
2
1
1
2
3
4
5
5. Ditinjau dari sudut pandang potensi sumberdaya alam ada 3 lokasi alternatif untuk arahan pemanfaatan ruang dalam pengembangan wilayah sub urban Kota Banda Aceh pasca bencana tsunami, yaitu Kec. Banda Raya , Lueng Bata dan Ulee Kareng. Menurut pendapat Bapak/lbu berdasarkan pemahaman dan pengalaman selama ini,
73
bagaimanakah urutan prioritas dari ketiga lokasi alternatif tersebut jika ditinjau dari segi potensi sumberdaya alam? Alternatif
Urutan
Kec.Banda Raya Kec.Lueng Bata Kec.Ulee Kareng Bapak/Ibu diminta untuk memberikan bobot yang ditinjau dari segi potensi sumberdaya alam, berapa kalikah lebih baik alternatif lokasi yang satu dibanding lokasi lainnya untuk arahan pemanfaatan ruang dalam pengembangan wilayah sub urban Kota Banda Aceh pasca bencana tsunami, yaitu Kec. Banda Raya , Lueng Bata dan Ulee Kareng ? Kec.Banda Raya 9
8
7
6
Kec.Lueng Bata 5
4
3
2
Kec.Banda Raya 9
8
7
6
8
7
6
1
2
3
4
5
6
7
8
9
4
5
6
7
8
9
4
5
6
7
8
9
Kec.Ulee Kareng 5
4
3
2
Kec.Lueng Bata 9
1
1
1
2
3
Kec.Ulee Kareng 5
4
3
2
1
1
2
3
6. Ditinjau dari sudut pandang keberadaan kelembagaan formal dan informal ada 3 lokasi alternatif untuk arahan pemanfaatan ruang dalam pengembangan wilayah sub urban Kota Banda Aceh pasca bencana tsunami, yaitu Kec. Banda Raya , Lueng Bata dan Ulee Kareng. Menurut pendapat Bapak/lbu berdasarkan pemahaman dan pengalaman selama ini, bagaimanakah urutan prioritas dari ketiga lokasi alternatif tersebut jika ditinjau dari segi keberadaan kelembagaan formal dan informal ?
74
Alternatif
Urutan
Kec.Banda Raya Kec.Lueng Bata Kec.Ulee Kareng Bapak/Ibu diminta untuk memberikan bobot yang ditinjau dari segi keberadaan kelembagaan formal dan informal, berapa kalikah lebih baik alternatif lokasi yang satu dibanding lokasi lainnya untuk arahan pemanfaatan ruang dalam pengembangan wilayah sub urban Kota Banda Aceh pasca bencana tsunami, yaitu Kec. Banda Raya , Lueng Bata dan Ulee Kareng. Kec.Banda Raya 9
8
7
6
Kec.Lueng Bata 5
4
3
2
Kec.Banda Raya 9
8
7
6
8
7
6
1
2
3
4
5
6
7
8
9
4
5
6
7
8
9
4
5
6
7
8
9
Kec.Ulee Kareng 5
4
3
2
Kec.Lueng Bata 9
1
1
1
2
3
Kec.Ulee Kareng 5
4
3
2
1
1
2
3
7. Ditinjau dari sudut pandang ketersediaan sarana dan prasarana ada 3 lokasi alternatif untuk arahan pemanfaatan ruang dalam pengembangan wilayah sub urban Kota Banda Aceh pasca bencana tsunami, yaitu Kec. Banda Raya , Lueng Bata dan Ulee Kareng. Menurut pendapat Bapak/lbu berdasarkan pemahaman dan pengalaman selama ini, bagaimanakah urutan prioritas dari ketiga lokasi alternatif tersebut jika ditinjau dari segi ketersediaan sarana dan prasarana?
75
Alternatif
Urutan
Kec.Banda Raya Kec.Lueng Bata Kec.Ulee Kareng
Bapak/Ibu diminta untuk memberikan bobot yang ditinjau dari segi ketersediaan sarana dan prasarana, berapa kalikah lebih baik alternatif lokasi yang satu dibanding lokasi lainnya untuk arahan pemanfaatan ruang dalam pengembangan wilayah sub urban Kota Banda Aceh pasca bencana tsunami, yaitu Kec. Banda Raya , Lueng Bata dan Ulee Kareng ? Kec.Banda Raya 9
8
7
6
Kec.Lueng Bata 5
4
3
2
Kec.Banda Raya 9
8
7
6
8
7
6
1
2
3
4
5
6
7
8
9
4
5
6
7
8
9
4
5
6
7
8
9
Kec.Ulee Kareng 5
4
3
2
Kec.Lueng Bata 9
1
1
1
2
3
Kec.Ulee Kareng 5
4
3
2
1
1
2
3
8. Ditinjau dari aspek kepadatan penduduk ada 3 lokasi alternatif untuk arahan pemanfaatan ruang dalam pengembangan wilayah sub urban Kota Banda Aceh pasca bencana tsunami, yaitu Kec. Banda Raya , Lueng Bata dan Ulee Kareng. Menurut pendapat Bapak/lbu berdasarkan pemahaman dan pengalaman selama ini, bagaimanakah urutan prioritas dari ketiga lokasi alternatif tersebut jika ditinjau dari aspek kepadatan penduduk?
76
Alternatif
Urutan
Kec.Banda Raya Kec.Lueng Bata Kec.Ulee Kareng
Bapak/Ibu diminta untuk memberikan bobot yang ditinjau dari aspek kepadatan penduduk, berapa kalikah lebih baik alternatif lokasi yang satu dibanding lokasi lainnya untuk arahan pemanfaatan ruang dalam pengembangan wilayah sub urban Kota Banda Aceh pasca bencana tsunami, yaitu Kec. Banda Raya , Lueng Bata dan Ulee Kareng ? Kec.Banda Raya 9
8
7
6
Kec.Lueng Bata 5
4
3
2
Kec.Banda Raya 9
8
7
6
8
7
6
1
2
3
4
5
6
7
8
9
4
5
6
7
8
9
4
5
6
7
8
9
Kec.Ulee Kareng 5
4
3
2
Kec.Lueng Bata 9
1
1
1
2
3
Kec.Ulee Kareng 5
4
3
2
1
1
2
3
9. Ditinjau dari aspek kestrategisan lokasi ada 3 lokasi alternatif untuk arahan pemanfaatan ruang dalam pengembangan wilayah sub urban Kota Banda Aceh pasca bencana tsunami, yaitu Kec. Banda Raya , Lueng Bata dan Ulee Kareng. Menurut pendapat Bapak/lbu berdasarkan pemahaman dan pengalaman selama ini, bagaimanakah urutan prioritas dari ketiga lokasi alternatif tersebut jika ditinjau dari aspek kestrategisan lokasi?
77
Alternatif
Urutan
Kec.Banda Raya Kec.Lueng Bata Kec Ulee Kareng
Bapak/Ibu diminta untuk memberikan bobot yang ditinjau dari aspek kestrategisan lokasi, berapa kalikah lebih baik alternatif lokasi yang satu dibanding lokasi lainnya untuk arahan pemanfaatan ruang dalam pengembangan wilayah sub urban Kota Banda Aceh pasca bencana tsunami, yaitu Kec. Banda Raya , Lueng Bata dan Ulee Kareng ? Kec.Banda Raya 9
8
7
6
Kec.Lueng Bata 5
4
3
2
Kec.Banda Raya 9
8
7
6
8
7
6
1
2
3
4
5
6
7
8
9
4
5
6
7
8
9
4
5
6
7
8
9
Kec.Ulee Kareng 5
4
3
2
Kec.Lueng Bata 9
1
1
1
2
3
Kec.Ulee Kareng 5
4
3
2
1
1
2
3
10. Ditinjau dari aksesibilitas ada 3 lokasi alternatif untuk arahan pemanfaatan ruang dalam pengembangan wilayah sub urban Kota Banda Aceh pasca bencana tsunami, yaitu Kec. Banda Raya , Lueng Bata dan Ulee Kareng. Menurut pendapat Bapak/lbu berdasarkan pemahaman dan pengalaman selama ini, bagaimanakah urutan prioritas dari ketiga lokasi alternatif tersebut jika ditinjau dari aspek aksesibilitas ?
78
Alternatif
Urutan
Kec.Banda Raya Kec.Lueng Bata KecUlee Kareng
Bapak/Ibu diminta untuk memberikan bobot yang ditinjau dari aspek aksesibilitas, berapa kalikah lebih baik alternatif lokasi yang satu dibanding lokasi lainnya untuk arahan pemanfaatan ruang dalam pengembangan wilayah sub urban Kota Banda Aceh pasca bencana tsunami, yaitu Kec. Banda Raya, Lueng Bata dan Ulee Kareng ? Kec.Banda Raya 9
8
7
6
Kec.Lueng Bata 5
4
3
2
Kec.Banda Raya 9
8
7
6
8
7
6
1
2
3
4
5
6
7
8
9
4
5
6
7
8
9
4
5
6
7
8
9
Kec.Ulee Kareng 5
4
3
2
Kec.Lueng Bata 9
1
1
1
2
3
Kec.Ulee Kareng 5
4
3
2
1
1
2
3
11. Ditinjau dari aspek perekonomian wilayah sebagai pusat kegiatan pertanian ada 3 lokasi alternatif untuk arahan pemanfaatan ruang dalam pengembangan wilayah sub urban Kota Banda Aceh pasca bencana tsunami, yaitu Kec. Banda Raya , Lueng Bata dan Ulee Kareng. Menurut pendapat Bapak/lbu berdasarkan pemahaman dan pengalaman selama ini, bagaimanakah urutan prioritas dari ketiga lokasi alternatif tersebut jika ditinjau dari aspek perekonomian wilayah sebagai pusat kegiatan pertanian?
79
Alternatif
Urutan
Kec.Banda Raya Kec.Lueng Bata Kec.Ulee Kareng Bapak/Ibu diminta untuk memberikan bobot yang ditinjau dari aspek perekonomian wilayah sebagai pusat kegiatan pertanian, berapa kalikah lebih baik alternatif lokasi yang satu dibanding lokasi lainnya untuk arahan pemanfaatan ruang dalam pengembangan wilayah sub urban Kota Banda Aceh pasca bencana tsunami, yaitu Kec. Banda Raya , Lueng Bata dan Ulee Kareng ? Kec.Banda Raya 9
8
7
6
Kec.Lueng Bata 5
4
3
2
Kec.Banda Raya 9
8
7
6
8
7
6
1
2
3
4
5
6
7
8
9
4
5
6
7
8
9
4
5
6
7
8
9
Kec.Ulee Kareng 5
4
3
2
Kec.Lueng Bata 9
1
1
1
2
3
Kec.Ulee Kareng 5
4
3
2
1
1
2
3
12. Ditinjau dari aspek perekonomian wilayah sebagai pusat kegiatan pedagangan dan industri ada 3 lokasi alternatif untuk pemanfaatan ruang dalam arahan pengembangan wilayah sub urban Kota Banda Aceh pasca bencana tsunami, yaitu Kec. Banda Raya , Lueng Bata dan Ulee Kareng. Menurut pendapat Bapak/lbu berdasarkan pemahaman dan pengalaman selama ini, bagaimanakah urutan prioritas dari ketiga lokasi alternatif tersebut jika ditinjau dari aspek perekonomian wilayah sebagai pusat kegiatan pedagangan, industri, dan jasa?
80
Alternatif
Urutan
Kec.Banda Raya Kec.Lueng Bata Kec.Ulee Kareng Bapak/Ibu diminta untuk memberikan bobot yang ditinjau dari aspek perekonomian wilayah sebagai pusat kegiatan pedagangan dan industri, berapa kalikah lebih baik alternatif lokasi yang satu dibanding lokasi lainnya untuk arahan pemanfaatan ruang dalam pengembangan wilayah sub urban Kota Banda Aceh pasca bencana tsunami, yaitu Kec. Banda Raya , Lueng Bata dan Ulee Kareng ? Kec.Banda Raya 9
8
7
6
Kec.Lueng Bata 5
4
3
2
Kec.Banda Raya 9
8
7
6
8
7
6
1
2
3
4
5
6
7
8
9
4
5
6
7
8
9
4
5
6
7
8
9
Kec.Ulee Kareng 5
4
3
2
Kec.Lueng Bata 9
1
1
1
2
3
Kec.Ulee Kareng 5
4
3
2
1
1
2
3
13. Ditinjau dari aspek perekonomian wilayah sebagai pusat kegiatan jasa ada 3 lokasi alternatif untuk arahan pemanfaatan ruang dalam pengembangan wilayah sub urban Kota Banda Aceh pasca bencana tsunami, yaitu Kec. Banda Raya , Lueng Bata dan Ulee Kareng. Menurut pendapat Bapak/lbu berdasarkan pemahaman dan pengalaman selama ini, bagaimanakah urutan prioritas dari ketiga lokasi alternatif tersebut jika ditinjau dari aspek perekonomian wilayah sebagai pusat kegiatan jasa?
81
Alternatif
Urutan
Kec.Banda Raya Kec.Lueng Bata Kec.Ulee Kareng Bapak/Ibu diminta untuk memberikan bobot yang ditinjau dari aspek perekonomian wilayah sebagai pusat kegiatan jasa, berapa kalikah lebih baik alternatif lokasi yang satu dibanding lokasi lainnya untuk arahan pemanfaatan ruang dalam pengembangan wilayah sub urban Kota Banda Aceh pasca bencana tsunami, yaitu Kec. Banda Raya , Lueng Bata dan Ulee Kareng ? Kec.Banda Raya 9
8
7
6
Kec.Lueng Bata 5
4
3
2
Kec.Banda Raya 9
8
7
6
8
7
6
1
2
3
4
5
6
7
8
9
4
5
6
7
8
9
4
5
6
7
8
9
Kec.Ulee Kareng 5
4
3
2
Kec.Lueng Bata 9
1
1
1
2
3
Kec.Ulee Kareng 5
4
3
2
1
1
2
3
TERIMA KASIH ATAS KERJASAMANYA
82
Lampiran 3
Hasil AHP Arah Pengembangan Wilayah
Keterangan Gambar: Lokasi PW = Lokasi Pengembangan Wilayah SDW = Sumberdaya Wilayah Sos.FW = Sosial Fisik Wilayah Eko.Wil = Perekonomian Wilayah Potensi SDA= Potensi Sumberdaya Alam KLF-IF = Keberadaan Lembaga Formal dan Informal KSPS = Ketersediaan Sarana dan Prasarana KPddk = Kependudukan Kst.Lok = Kestrategisan Lokasi Pst.Pert = Pusat Pertanian Pst.D-Indt = Pusat Perdagangan dan Industri Pst Jasa = Pusat Jasa Ulee Kareng= Kecamatan Ulee Kareng Lueng Bata = Kecamatan Lueng Bata ` Banda Raya= Kecamatan Banda Raya
83
Lampiran 4.
Penentuan lokasi pengembangan wilayah
Lampiran 5.
Kriteria pengembangan wilayah
84
Lampiran 6. Peta Zonasi BWK Areal Penelitian