APLIKASI PANCASILA DALAM KEHIDUPAN KOS DI DAERAH PRENGGAN, KOTAGEDE, YOGYAKARTA
Diajukan Oleh : Nama
: Rifqi Mizan Aulawi
NIM
: 11.11.4964
Kelompok
:D
Jurusan
: S1 – Teknik Informatika
Nama Dosen
: Tahajudin S. Drs
Untuk Memenuhi Syarat Matakuliah Pendidikan Pancasila
STMIK AMIKOM YOGYAKARTA TAHUN 2011
APLIKASI PANCASILA DALAM KEHIDUPAN KOS DI DAERAH PRENGGAN, KOTAGEDE, YOGYAKARTA
Abstrak: Sebagai warga negara Indonesia maka setiap warga negara perlu dan semestinya mempelajari, mendalami, menghayati dan mengamalkan nilai-nilai pancasila secara bersama dalam rangka bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Semua tingkah laku dan tindak perbuatan setiap manusia Indonesia harus dijiwai dan merupakan pancaran dari semua sila Pancasila. Undang‐Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, yang menegaskan bahwa setiap warga negara wajib menghormati hak asasi manusia orang lain, moral, etika dan tata tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Sila pertama mendasari sila ke-2 dan seterusnya; sila ke-2 didasari sila pertama dan mendasari sila ke-3 dan seterusnya; sila ke-3 didasari sila pertama, sila ke-2 dan mendasari mendasari sila ke-4 dan seterusnya; sila ke-4 didasari sila pertama, ke-2, ke-3 dan mendasari sila ke-5; sila ke-5 mendasari pertama, ke-2, ke-3, ke-4.
I.
BAB I A.
Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara berkembang dan sebagian besar penduduk
Indonesia menganut kepercayaan (memiliki agama) masing-masing. Indonesia terdiri dari berbagai suku, budaya dan latar belakang yang berbeda-beda tetapi tetap satu jua. Pancasila merupakan dasar negara Indonesia yang terdapat dalam Pembukaan UUD 1945 dan ditetapkan oleh PPKI tanggal 18 Agustus 1945. Sebagai warga negara Indonesia maka setiap warga negara perlu dan semestinya
1
mempelajari, mendalami, menghayati dan mengamalkan nilai-nilai pancasila secara bersama dalam rangka bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Pancasila sebagai dasar filsafat negara Indonesia mengandung konsekuensi setiap aspek penyelenggara negara dan semua sikap dan tingkah laku bangsa Indonesia dalam bermasyarakat dan bernegara harus berdasarkan pada nilai-nilai Pancasila. Pancasila bersifat abstrak umum universal, tetap dan tidak berubah. Nilai-nilai tersebut perlu dijabarkan dalam setiap aspek penyelenggara negara dan dalam wujud norma-norma baik norma-norma kenegaraan maupun norma-norma moral yang harus dilaksanakan dan diamalkan oleh setiap warga negara Indonesia. ( Bakry, Noor. 1994) Pancasila sebagai norma fundamental, berfungsi sebagai suatu cita-cita atau ide yang harus diwujudkan menjadi suatu kenyataan; adapaun wujud pancasila secara kongkrit merupakan perwujudan Pancasila itu dalam setiap tindak perbuatan, tingkah laku dan sikap hidup sehari-hari. Hal tersebut selain terlalu banyak ragamnya, juga meliputi aspek kehidupan. Karena itu yang mungkin dapat dikemukakan ialah : bahwa Pancasila sebagai pegangan hidup yang merupakan pandangan hidup Bangsa, penjelmaan falsafat hidup Bangsa, dalam pelaksanaan hidup sehari-hari tidak boleh bertentangan dengan normanorma agama, norma-norma kesusilaan, norma-norma sopan santun, dan tidak bertentangan dengan norma-norma hukum yang berlaku. (M.S, Kaelani. 1996) Pengertian tersebut sebagai Pandangan Hidup Bangsa Indonesia. Dilihat dari kedudukannya, Pancasila mempunyai kedudukan yang tinggi, yakni sebagai cita-cita dan Pandangan Hidup Bangsa dan Negara Republik Indonesia. Dilihat dari fungsinya, Pancasila mempunyai fungsi utama sebagai Dasar Negara Republik Indonesia. Demikianlah dapat dikatakan bahwa Pancasila itu dibuat dari materi atau bahan “dalam negeri”, bahan asli murni, dan merupakan kebanggaan bagi suatu bangsa yang berpatriotik. (Prof. Darji Darmodiharjo, S.H. Santiaji Pancasila, 1978) Terkadang didalam dunia kos hubungan komunikasi antar teman kurang terjalin dengan baik. Sikap acuh tak acuh, egois dan malu masih tertanam dalam diri kita. Tidak dapat dipungkiri juga untuk membantu sesama tetangga kamar pun 2
enggan dan tidak dengan ikhlas membantunya. Hal-hal semacam inilah yang perlu dirubah dalam diri kita dan memulai menanamkan nilai-nilai Pancasila. Permasalahan yang dihadapi saat ini yaitu mengenai masalah pengamalan nilai-nilai Pancasila tersebut baik
dalam kaitannya dengan sikap moral dan
tingkah laku semua warga negara Indonesia. Oleh karena itu permasalahan pokok dalam pengamalan Pancasila adalah bagaimana wujud pengamalan itu, yaitu bagaimana nilai-nilai Pancasila yang abstrak umum universal tersebut dijabarkan dalam bentuk norma-norma yang jelas dalam kaitannya dengan tingkah laku semua warga negara dalam bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, serta dalam kaitannya dengan segala aspek penyelenggaraan negara. ( Bakry, Noor. 1994)
B.
Rumusan Masalah Pancasila berfungsi sebagai pandangan hidup bangsa Indonesia. Pancasila
dalam pengertian ini sering juga disebut : Way of life, Weltnschauung, Weldbeschouwing, Wereld en leevens beschouwing, pandangan dunia, pandangan hidup, pegangan hidup, pedoman hidup, petunjuk hidup. Dalam hal ini Pancasila dipergunakan sebagai petunjuk hidup sehari-hari (Pancasila diamalkan dalam hidup sehari-hari). Dengan kata lain : Pancasila digunakan sebagai penunjuk arah semua kegiatan atau aktivitas hidup dan kehidupan di dalam segala bidang. (M.S, Kaelani. 1996) Ini berarti, bahwa semua tingkah laku dan tindak perbuatan setiap manusia Indonesia harus dijiwai dan merupakan pancaran dari semua sila Pancasila, karena pancasila sebagai Weltanschauung selalu merupakan suatu kesatuan, tidak bisa dilepas pisahkan satu dengan yang lain; keseluruhan sila didalam Pancasila merupakan suatu kesatuan organis. Pancasila yang harus dihayati ialah Pancasila sebagaimana tercantum di dalam Pembukaan UUD 1945. Dengan demikian, jiwa keagamaan (sebagai manifetasi/perwujudan sila Ketuhanan Yang Maha Esa), jiwa yang (berperikemanusiaan yang adil dan beradab), jiwa kebangsaan (sebagai manifestasi
sila
Persatuan
Indonesia),
jiwa
kerakyatan
manifestasi/perwujudan dari sila Kerakyatan yang dipimpin oleh
(sebagai hikmat
kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan) dan jiwa yang menjunjung 3
tinggi keadilan sosial (sebagai manifestasi/perwujudan sila Keadilan Sosial bagi seluruh Rakyat Indonesia) selalu terpancar dalam segala tingkah laku dan tindak perbuatan serta sikap hidup Bangsa Indonesia. (M.S, Kaelani. 1996) Kehidupan di dalam kos tidak secara menyeluruh melakukan nilai-nilai Pancasila. Hal ini didasari dengan hilangnya kontrol dari orang tua, adaptasi lingkungan yang kurang mendukung, serta kegiatan yang negatif. Untuk menumbuhkan nilai-nilai pancasila perlu adanya kesadaran yang tinggi dan ada yang memulai serta mengajak untuk melakukan hal-hal yang berhubungan dengan sila-sila Pancasila. Negara Indonesia merupakan negara beragama. Kepercayaan merupakan hal yang mendasari kita beragama, sedangkan kebanyakan orang beragama dikarenakan agama keturunan, orang tua sebelumnya sudah menganut agama yang dibawa dari nenek moyangnya. Hal seperti inilah merupakan penyebab kemalasan untuk beribadah kepada Tuhannya, karena masih ragu dan belum yakin dengan agama yang dipeluknya. Semestinya manusia di anjurkan untuk memilih agama sesuai dengan keyakinan masing-masing. Karena di negara Indonesia bebas untuk memilih agama yang akan di peluknya. Kata adil dan beradab di dalam sila ke-2 Pancasila patut untuk dipertanyakan didalam kehidupan kos. Dikarenakan yang dimaksud dengan kemanusiaan yang adil dan beradab adalah : kesadaran, sikap dan perbuatan yang sesuai dengan nilai-nilai moral dalam hidup bersama atas dasar tuntutan mutlak hati nurani dengan memperlakukan sesuatu hal sebagaimana mestinya. Tetapi didalam kehidupan kos kurang untuk di terapkan karena kesadaran, sikap dan perbuatan yang kurang di junjung tinggi. Contoh kecil yang sering terjadi adalah peminjaman barang (sepatu, pakaian, alat makan, dll) yang jarang dikembalikan. Peralatan makanan bersama yang jarang untuk dicuci dan di kembalikan pada tempatnya. Dalam sila ke-3 yaitu persatuan indonesia, terkandung nilai bahwa negara sebagai penjelmaan sifat kodrat manusia sebagai makhluk sosial; sedangkan sila ke-4 yaitu kerakyatan
yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/perwakilan mengandung beberapa nilai yaitu setiap manusia Indonesia mempunyai kedudukan, hak dan kewajiban yang sama; mengutamakan 4
musyawarah dalam mengambil keputusan untuk kepentingan bersama. Sebagai makhluk sosial manusia membutuhkan orang lain untuk saling melengkapi. Sering kali ditemukan banyak masalah, perbedaan pendapat dan tujuan yang berbedabeda yang membingungkan masyarakat, bahkan jika tidak di selesaikan akan menimbulkan masalah lagi. Maka dari itu perlunya musyawarah untuk mencapai mufakat yang disetujui untuk tujuan hidup yang lebih baik serta menguntungkan bersama. Dalam kehidupan bersama entah itu bertetangga maupun berkeluarga nilainilai diatas merupakan hal yang paling sering dilakukan. Nilai-nilai tersebut akan menimbulkan dampak positif bagi kehidupan. Keadilan Sosial bagi seluruh rakyat indonesia adalah sila terakhir dari pancasila. Sila ke-5 adalah pelengkap dari sila-sila sebelumnya, karena Pancasila saling didasari sila sebelumnya dan mendasari sila selanjutnya.
Kehidupan
bersama tak lepas dari berbagai permasalahan, dari perbedaan pendapat, permasalahan ras, adat, budaya antar suku yang kurang bisa diterima oleh orang lain disekitar kita terutama di kos tempat tinggal sementara kita. Sehingga sila ke5 adalah wadah untuk menyelesaikan masalah secara musyawarah sehingga bisa diterima oleh semua khalayak.
C.
Pendekataan 1. Landasan Historis. a. Masa Pergerakan Kebangsaan. Masa penjajahan yang sangat panjang oleh bangsa‐bangsa Eropa dan Jepang, disamping telah berdampak pada penderitaan rakyat, ternyata juga telah menyemai kesadaran baru di kalangan rakyat dari berbagai daerah, di seluruh wilayah Nusantara. Politik etik yang diterapkan oleh pemerintah Kerajaan Hindia Belanda ternyata telah memicu lahirnya rasa dan semangat kebangsaan. Faktor pengaruh lain yang menjadi pendorong lahirnya pemikiran tentang kebangsaan dan kemerdekaan adalah kesempatan
memperoleh
pendidikan
baru,
sehingga
mampu
mengembangkan pemikiran yang lebih maju, rasional dan profesional. Dari 5
sinilah kemudian impian yang berkenaan dengan kebangsaan dan kemerdekaan diwujudnyatakan menjadi bentuk‐ bentuk gerakan dan perkumpulan, baik yang berciri kedaerahan, keagamaan, politik, maupun profesi. (Sunardjo. 2009) Berbagai gerakan dan perkumpulan yang terorganisir mulai terbentuk pada awal abad XX (Donald Wilhelm, 1981) Contoh gerakan dimaksud antara lain; Boedi Oetomo (1908), Sarekat Islam (1911), Jong Java (1915), Jong Sumatera Bond (1917) Jong Minahasa (1918), Jong Ambon, Perkoempoelan Madoera, Perkoempoelan Timoer, Perhimpunan Indonesia di Belanda. Selain itu, terdapat pula perkumpulan campuran pribumi dan non pribumi, yang sama‐sama menginginkan kemerdekaan, seperti
Indische
Partij
(1912),
Indische
Sociaal
Democratische
Vereeniging (1914), Indische Sociaal Democratische Partij (1917). (Sunardjo. 2009) Melalui
gelombang
pasang
surut
perjuangannya,
berbagai
pergerakan kebangsaan tersebut akhirnya membulatkan tekad untuk menyatukan segenap potensi perjuangan demi terciptanya satu kekuatan yang lebih besar untuk merealisasikan segala impian kebangsaan dan kemerdekaan. Sumpah Pemuda yang diikrarkan pada Kongres Pemuda II tanggal 28 Oktober 1928 merupakan wujud tekad seluruh komponen masyarakat Nusantara untuk menyatukan diri sebagai satu bangsa, dalam satu wadah kesatuan tanah air, serta menjunjung tinggi bahasa persatuan, Indonesia. (Sunardjo. 2009) Perjalanan sejarah pada masa
pergerakan kebangsaan sampai
menjelang kemerdekaan, dapat dipetik beberapa hal penting, yaitu; pertama, pentingnya pencerahan disegenap kalangan bangsa untuk membuka wawasan baru yang semakin luas (nasional) dan demokratis; kedua, perlunya mengembangkan dan mendayagunakan
setiap
potensi
masyarakat sebagai kekuatan perjuangan untuk tercapainya sebuah cita‐ cita yang dalam hal ini adalah pembebasan diri dari penjajahan; ketiga, perlunya elemen‐elemen pemersatu disertai kerelaan berkorban atas kepentingan‐kepentingan yang bersifat individual, kelompok/golongan ataupun kedaerahan. (Sunardjo. 2009) 6
b.
Masa perjuangan kemerdekaan (1945‐1949) Masa ini ditandai dengan gerakan perjuangan rakyat yang
makin luas, semesta, makin terarah dan masif. Perjuangan tidak terbatas pada aspek militer, melainkan juga lewat Diberbagai
daerah
terjadi
aspek
perlawanan
politik dan budaya.
dengan bermacam cara serta
intensitas yang berbeda terhadap tentara penjajahan. Walaupun perlawanan dilakukan dengan kekuatan tidak setara dan pada medan yang terpisah‐ pisah, akan tetapi rasa kebangsaan serta hasrat untuk merdeka dikalangan rakyat ternyata telah mampu membakar semangat tidak kenal menyerah. Betapapun besarnya pengorbanan yang mesti ditanggung akhirnya perjuangan rakyat ini membuahkan hasilnya, Indonesia.
Disamping
itu,
keberhasilan
yaitu
Kemerdekaan
perjuangan dibidang politik
(diplomasi) telah semakin mengukuhkan keberadaan negara Indonesia yang baru lahir, yaitu berupa dukungan pengakuan dari berbagai negara atas kemerdekaan dan kedaulatan bangsa dan negara Indonesia. Para tokoh nasional dengan cepat dan tepat memanfaatkan momentum proklamasi kemerdekaan ini dengan sistem
kenegaraan
fundamental
bagi
serta
menetapkan
menyusun
penyelenggara
bentuk
negara,
dan meletakkan dasar‐dasar
negara,
berikut
susunan
dan
perlengkapannya. (Sunardjo. 2009) Seiring
dengan
mulai
berfungsinya
pemerintahan
negara,
kalangan pejuang bersenjatapun segera mengorganisasikan dirinya ke dalam wujud
organisasi ketentaraan maupun kepolisian yang resmi
menjadi bagian dari perangkat penyelenggaraan negara. Walaupun telah berada dalam wadah tersendiri, dan telah dilatih dan diperlengkapi secara khusus, namun tentara (TNI) dan Polisi (POLRI) tidak pernah melepaskan identitasnya sebagai bagian dari keutuhan dan kesemestaan, perjuangan yang lahir dari rakyat, berjuang bersama dan untuk kepentingan rakyat, demi tetap tegak‐kokohnya kemerdekaan bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia. (Sunardjo. 2009) Hal penting yang dapat dilihat pada masa perjuangan kemerdekaan tersebut adalah, pertama, adanya kesadaran akan pentingnya persatuan 7
dan kesatuan dalam kehendak dan tujuan, serta memegang teguh komitmen bersama seluruh komponen masyarakat melawan musuh, yaitu kaum penjajah; kedua, kesadaran akan adanya ”berkat dan rahmat Allah Yang Maha Kuasa” yang telah memberi kekuatan spiritual dan keyakinan diri akan kebenaran perjuangan; ketiga, perlunya membangun dan menjaga hubungan (diplomasi) dengan bangsa lain yang terbukti telah berhasil menciptakan situasi yang kondusif seta dukungan bagi keberhasilan perjuangan kemerdekaan. (Sunardjo. 2009)
c. Masa Pembangunan Nasional dan pergolakan dalam negeri (1950 s/d sekarang) Masa ini diwarnai oleh berbagai konsep pembangunan sebagai konsekuensi
logis atas kemerdekaan yang telah diperoleh bangsa
Indonesia. Secara umum bentangan masa pembangunan ini dapat dibagi dalam tiga segmen, yaitu;
1) Masa pemerintahan Sukarno, yang juga dikenal sebagai masa Orde Lama. Pembangungan yang dinyatakan sebagai ”National and character Building” lebih menekankan pentingnya mengukuhkan rasa persatuan dan kesatuan bangsa serta menanamkan rasa percaya diri sebagai bangsa yang mampu mandiri. Masa ini juga diwarnai berbagai pergolakan bersenjata dibeberapa daerah, seperti DI/TII, PRRI, Permesta, RMS dan lain‐lain, menandakan bahwa pembangunan di bidang politik, ekonomi dan sosial budaya nampaknya belum memenuhi tuntutan aspirasi seluruh rakyat secara adil dan merata. (Sunardjo. 2009) Jargon politik yang dikembangkan dalam bentuk “Revolusi Belum Selesai” ternyata merangsang langkah‐langkah penyimpangan konstitusional yang pada akhirnya menuju ke pemerintahan yang tidak demokratis dan kurang menjaga keseimbangan antara moralitas dan kepentingan individual, sosial dan institusional. (Sunardjo. 2009) 8
2) Masa pemerintahan Suharto, juga dikenal sebagai masa Orde Baru. Pembangunan yang dinyatakan sebagai pembangunan Semesta Berencana, merupakan koreksi atas konsep masa sebelumnya yang dinilai belum menuju sasaran dengan tepat. Secara garis besar pelaksanaan pembangunan yang diselenggarakan tahap demi tahap telah berhasil membawa bangsa Indonesia kepada situasi kemajuan. Namun disisi lain semangat
mengeksploitasi
segenap
potensi
nasional ternyata juga
membawa pengaruh kurang menguntungkan. Kesenjangan sosial mulai nampak dan semakin melebar. Penetrasi kepentingan politik dan ekonomi dari luar negeri berbarengan dengan situasi nasional dan internasional yang semakin mengglobal telah mengusik rasa kebersamaan. Isu kedaerahan dan primordialisme mulai muncul sebagai titik balik terhadap semangat persatuan dan kesatuan. (Sunardjo. 2009) Pembangunan yang
Ideologi
mengutamakan
Trilogi
Pembangunan : Pertumbuhan
ekonomi,
pemerataan
dan
stabilitas
pada
akhirnya
menempatkan stabilitas secara eksesif, sehingga menimbulkan langkah‐ langkah penyalahgunaan kekuasaan (Abuse of Power) dan pelanggaran Hak‐ hak Asasi Manusia. (Sunardjo. 2009) 3) Masa reformasi (1998 s/d sekarang) Masa ini, sekali lagi merupakan koreksi atas pembangunan pada masa sebelumnya yang dinilai sangat sentralistik, kurang berpihak kepada kepentingan daerah, dan dilaksanakan dengan pola yang sangat represif, kurang menghargai prinsip‐prinsip Hak Asasi Manusia. Berbagai kepentingan politik yang saling tarik menarik, dibarengi kepentingan global yang makin menekan, dirasakan semakin melemahkan persatuan dan kesatuan bangsa dan kesatuan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Reformasi yang mengangkat tema keterbukaan dan kebebasan belum dimaknai secara taat asas. (Sunardjo. 2009) 9
Gerakan Reformasi pada dasarnya merupakan usaha rasional dan sistemik untuk membangun masyarakat atas dasar nilai‐nilai dasar (Core Values) demokrasi, tanpa merupakan kapital sosial atau aspek‐aspek partikularistik bangsa. Hal‐hal yang telah dilakukan secara mendasar adalah melakukan amandemen terhadap UUD NRI Tahun 1945 sampai empat kali untuk
menyempurnakan
sistem
and
“Checks
Balances”; usaha
menciptakan “Good Governance”; desentralisasi kewenangan (Otonomi Daerah); menegakkan supremasi hukum dan kekuasaan kehakiman yang merdeka; kebebasan mass media, promosi dan perlindungan HAM; penghargaan masyarakat madani (Civil Society); Reformasi TNI dan Polri dan sebagainya yang pada dasarnya untuk melengkapi kemerdekaan dengan kebebasan yang bertangggungjawab. Proses ini akan terus berlanjut dalam kerangka konsolidasi demokrasi. (Sunardjo. 2009) Semangat untuk tetap mempertahankan keutuhan bangsa dan negara yang diletakan di atas landasan konsensus bersama, yaitu falsafah bangsa Pancasila, konstitusi negara Undang‐Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan semboyan bangsa Bhinneka Tunggal Ika, tidak boleh redup. Hal tersebut tentu menjadi tantangan, bahkan ancaman bagi eksistensi bangsa dan negara Indonesia. (Sunardjo. 2009) Dari lintasan masa pembangunan tersebut di atas, beberapa hal penting yang dapat disimpulkan adalah; pertama, pembangunan mengisi kemerdekaan harus diletakkan pada kepentingan seluruh rakyat, bangsa dan negara sebagai konsekuensi
penyelenggaraan
misi
negara
yang diamanatkan
lewat
Pembukaan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945; kedua, bahwa timbulnya berbagai gejolak dalam negeri pada dasarnya merupakan petunjuk masih adanya rasa memiliki Indonesia ini oleh seluruh komponen bangsa; ketiga, seiring dengan kemajuan di berbagai bidang kehidupan manusia membutuhkan konsep baru untuk tetap menjaga dan megobarkan rasa dan semangat kebangsaan dan kemerdekaan. (Sunardjo. 2009) Keseluruhan
rentetan
sejarah
di
atas
menunjukkan
secara
jelas bahwa kesepakatan untuk merdeka dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia bukan terjadi dengan sendirinya atau secara instan. 10
Eksistensi Indonesia ditentukan melalui suatu proses perjalanan sejarah yang panjang, penuh pengorbanan dalam menjaga momentum perjuangan menuju cita‐cita kemerdekaan. (Sunardjo. 2009)
2. Landasan Filosofis
a. Pancasila sebagai falsafah bangsa Indonesia, merupakan kekuatan pemersatu dalam membangun karakter bangsa. Salah satu karakter yang harus dibangun secara terus menerus dan berkesinambungan ialah semangat
kebangsaan
atau
semangat
persatuan
Indonesia
yang
multikultur. Semangat persatuan Indonesia didasari oleh prinsip toleransi, yang melahirkan Bhinneka Tunggal Ika memberikan kesempatan berkembangnya keragaman, serta penghormatan atas hak untuk mengembangkan kebudayaan sendiri. Semangat persatuan inilah yang perlu dimiliki oleh setiap warga negara Indonesia dalam menghadapi perubahan zaman yang semakin cepat. (Sunardjo. 2009)
b. Nilai‐nilai demokrasi, membangun semangat persatuan atau nasionalisme sekarang ini dan di masa depan tidak lagi dengan dasar ingin merdeka tetapi
mengisi kemerdekaan tersebut dalam
berbagai aspeknya.
Membangun kembali semangat kebangsaan tersebut tidaklah mudah, ia memerlukan penyadaran sikap hidup warga negara yang menghargai nilai‐nilai demokrasi, kemanusiaan, keadilan sosial, cinta tanah air, memiliki kesadaran hukum, dan rasa kebersamaan. (Sunardjo. 2009) 3. Landasan Yuridis Pemantapan nilai‐nilai kebangsaan bagi setiap warga negara Indonesia, merupakan sesuatu yang sangat strategis dalam menghadapi perkembangan saat ini dan ke depan serta kenyataan empirik di lapangan yang mengindikasikan cukup kuat akan melunturnya implementasi nilai‐nilai kebangsaan dalam kehidupan bernegara bermasyarakat dan berbangsa. 11
Implementasi nilai‐nilai kebangsaan dalam kehidupan sehari‐hari pada dasarnya merupakan jiwa, semangat dan tekad untuk senantiasa membela, mempertahankan dan mengisi kemerdekaan. Landasan yuridisnya mengacu pada : a. Undang‐Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pembukaan Undang‐Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dalam alenia empat menyuratkan bahwa tujuan nasional adalah segenap daya upaya untuk melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan perdamaian abadi dan keadilan sosial. (Sunardjo. 2009) b.
Undang‐undang
Republik
Indonesia
Nomor
20
Tahun
2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional. Pendidikan nasional adalah pendidikan yang berdasarkan Pancasila dan Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang berakar pada nilai‐nilai agama, tanggap
terhadap
tuntutan
kebudayaan nasional Indonesia dan
perubahan zaman. Pendidikan nasional
mempunyai visi terwujudnya sistem pendidikan sebagai pranata sosial yang kuat, berwibawa untuk memberdayakan semua warga negara Indonesia berkembang menjadi manusia yang berkualitas, sehingga mampu dan proaktif menjawab tantangan zaman yang selalu berubah. Dengan visi tersebut, pendidikan nasional memiliki misi yang antara lain mengandung upaya pengembangan kepribadian yang bermoral dan dalam konteks Negara Kesatuan Republik Indonesia. (Sunardjo. 2009) c. Undang‐Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, yang menegaskan bahwa setiap warga negara wajib menghormati hak asasi manusia orang lain, moral, etika dan tata tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. (Sunardjo. 2009) Hak Asasi Manusia adalah hak‐hak dasar yang melekat pada diri 12
manusia secara kodrati, universal dan abadi sebagai anugerah Tuhan yang Maha
Esa
meliputi;
hak
untuk
hidup,
hak
berkeluarga,
hak
mengembangkan diri, hak keadilan, hak kemerdekaan, hak kesejahteraan, oleh karena itu tidak boleh diabaikan atau dirampas oleh siapapun. (Sunardjo. 2009) Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya. Negara tidak memiliki kewenangan untuk merubah atau menafikan hak tersebut. Negara justru harus menjamin hak‐hak setiap individu warga negara untuk menjalankan hajat hidupnya. Setiap hak asasi manusia seseorang menimbulkan kewajiban dasar dan tanggung jawab untuk menghormati hak asasi orang lain secara timbal balik. Oleh sebab kewajiban dasar itu, individu warga negara mengemban konsekwensi identitas kolektifnya, sebagai bagian dari ke‐Indonesiaan, sehingga setiap warga negara Indonesia wajib ikut serta dalam upaya pembelaan negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang‐undangan yang berlaku. (Sunardjo. 2009)
d. Undang‐Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara menyatakan, bahwa setiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam upaya bela negara yang diwujudkan dalam penyelenggaraan pertahanan negara. (Sunardjo. 2009) Keikutsertaan setiap warga negara dalam upaya bela negara, diselenggarakan melalui : 1) Pendidikan kewarganegaraan; 2) Pelatihan dasar kemiliteran secara wajib; 3) Pengabdian sebagai prajurit Tentara Nasional Indonesia secara sukarela atau secara wajib; dan 4) Pengabdian sesuai dengan profesi. (Sunardjo. 2009) 13
D.
Pembahasan 1. Sila pertama Ketuhanan yang Maha Esa Istilah ketuhanan berasal dari pokok kata Tuhan, yaitu suatu Dzat Yang Maha Kuasa, pencipta segala yang ada di alam semesta ini, yang biasa disebut Penyebab Pertama
atau Kausa Prima. Sedang istilah
Ketuhanan berarti keyakinan dan pengakuan yang diekspresikan dalam bentuk perbuatan terhadap Dzat Yang Maha Kuasa sebagai Pencipta. (Gani Juyuf, H.A S.Ip. 2011) Tiga konsep dasar, yakni keyakinan, pengakuan, dan perwujudan (pengekspresian) dalam perbuatan, merupakan hal-hal pokok yang harus diperhatikan dalam ajaran ketuhanan. Karena jika keyakinan yang ada tanpa disertai pengakuan dan perbuatan-perbuatan disebut “ingkar” terhadap keyakinannya. Demikian sebaliknya, jika hanya ada pengakuan saja tidak diikuti keyakinan dan perbuatan—perbuatan disebut “munafik”. Maka yang harus diperhatikan ialah keyakinan terhadap adanya Tuhan diikuti dengan pengakuan yang diwujudkan dalam perbuatan-perbuatan, yang disebut dengan istilah “iman”. Dengan demikian secara singkat dapat dinyatakan, ketuhanan berarti “iman terhadap Tuhan”. (Gani Juyuf, H.A S.Ip. 2011) Kunci dan titik sentral pemikiran dari kelima sila ada pada sila pertama, yaitu “Ke-Tuhanan”, karena Tuhan adlah dasar keberadaan bagi makluk pemberian kekuatan oleh oleh-Nya, merupakan syarat bagi setiap gerakan, upaya, dan perubahan pada mahluk-Nya. Semua agama di NKRI ini, meyakini keberadaan Tuhan. Tuhan Maha Besar, Maha Pencipta, Maha Pengasih Lagi Maha Penyayang. Segala sesuatu yang ada dan terjadi dalam kehidupan ini, adalah ciptaan dan atas kehendak Tuhan. Kaum Kristiani menyatakan bahwa Tuhan ada dalam diri setiap orang. Kaum Hindu/Budha menyatakan, bahwa diri manusia merupakan rumah Tuhan yang harus dijaga kebersihannya dan dijauhkan dari hal-hal yang bertentangan dengan agama. Sedang kaum Islam, sesuai dengan Firman Tuhan (Allah) dinyatakan, bahwa “Allah ada sangat dekat dengan dirimu, tidak lebih dari 14
kedua urat nadi lehermu”. Keberadaan dan keesahan Tuhan ini, mendasari suatu kesepakatan untuk menempatkan “Ketuhanan Yang Maha Esa” sebagai Sila Pertama, yang menjiwai semua sila-sila dibawahnya. (Belief in God). (Gani Juyuf, H.A S.Ip. 2011)
2. Sila Kedua Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab Semua agama meyakini, bahwa manusia adalah mahluk ciptaan Tuhan yang paling sempurna, lebih sempurna dari binatang. Kalau binatang diberi makanan, cenderung rebutan bahkan cakar-cakaran. Sedang manusia sebagai mahluk yang diberi kelebihan akal, akan membaginya secara “adil”. Binatang bila telah besar (dewasa) mau menggauli induknya, sedang manusia sebagai mahluk yang beradab tak akan mungkin sebiadab yang dilakukan binatang. Sehubungan dengan ini, pada dasarnya manusia adalah mahluk yang “adil dan beradab”, yang taat dan patuh pada ajaran agama, serta norma yang berlaku yang telah disepakati bersama yang tidak bertentangan dengan ajaran agama. Didasarkan pada pemikiran ini, Bangsa Indonesia bersepakat, merumuskan “Kemanusiaan yang adil dan beradab” sebagai Sila Kedua. Bangsa Indonesia sangat menentang ketidakadilan dan perbuatan yang tidak manusiawi, serta menentang penjajahan dalam bentuk apapun (Nationalism). (Gani Juyuf, H.A S.Ip. 2011)
3. Sila Ketiga Persatuan Indonesia Pada umumnya semua agama meyakini, bahwa kehadiran manusia di dunia ini, semata-mata bertugas untuk menyembah dan mencintai “Pencipta”. Hal ini sesuai Firman Tuhan dalam salah satu Kitab Suci (AlQuran), mengatakan “Tiada Ku ciptakan Jin dan Manusia selain untuk beribadah kepada KU”. Sehubungan dengan ini, manusia diharuskan berjuang mempertahankan hidup, bersama-sama manusia lainnya secara rukun, tentram dan damai, sehingga dengan tenang beribadah menyembah dan mencintai Pencipta. Untuk ini, Tuhan menganugerahkan “Alam” dengan segala isinya, yang dapat dikelola dan dimanfaatkan bersama. 15
Nikmat dan Anugerah Tuhan yang sangat besar ini, harus dijaga, dipelihara, dan dimanfaatkan sebaik-baiknya, serta jangan sampai terjadi pengrusakan terhadap alam ciptaan Tuhan. Agar tidak terjadi kerusakan maka bangsa ini “harus bersatu”, tidak memperebutkan ruang hidup diatas nikmat Tuhan yang memberikan sumber kehidupan bagi bangsa Indonesia dan bangsa-bangsa lain di dunia. Adanya ketentraman, kedamaian dan kerukunan dalam hidup ini, memungkinkan Bangsa ini dapat beribadah dengan tenang dan khusuk menyembah dan mencintai Pencipta (Tuhan). (Gani Juyuf, H.A S.Ip. 2011) Dasar pemikiran ini, secara filosofis dituangkan dalam rumusan “Persatuan Indonesia” sebagai Sila Ketiga. Bangsa Indonesia cinta akan bangsanya dan seluruh bangsa di dunia (Internationalism). (Gani Juyuf, H.A S.Ip. 2011)
4. Sila
Keempat
Kerakyatan
Yang
Dipimpin
oleh
Hikmat
Kebijaksanaan Dalam Permusyawaratan/Perwakilan Firman Tuhan dalam salah satu Kitab Suci (Al-Qur’an), yang intinya mengatakan bahwa “Manusia sengaja diciptakan Tuhan berbeda-beda”, supaya saling mengenal. Tidak dapat dipungkiri, bahwa dengan adanya perbedaan, pasti ada ketidaksesuaian, ada gesekan, bahkan bisa meluas pada pertengkaran atau permusuhan. Sebagai manusia yang Ber-Tuhan dan beradab, yang menginginkan persatuan dan kesatuan dalam kebhinekaan, ketentraman, kedamaian dan kerukunan hidup bersama, seyogianya dalam setiap menghadapi berbagai masalah sekecil apapun, diselesaikan secara “musyawarah”, demi tetap utuhnya persatuan dan kesatuan. Hitorogenitas masyarakat atau rakyat Indonesia dengan beragam aspirasi dan kepentingan, telah menempatkan penyelesaian secara musyawarah menjadi sangat penting, terutama dalam memelihara Persatuan dan Kesatuan Bangsa. Bertolak dari pemikiran ini, dengan mempertimbangkan kemajemukan dari bangsa Indonesia dan menempatkan kedaulatan berada di tangan rakyat, maka dirumuskan Sila Keempat, yaitu Kerakyatan yang dipimpin
oleh
hikmat
kebijaksanaan 16
dalam
“permusyawaratan”
perwakilan. Dari rakyat diputuskan oleh rakyat dalam bentuk peraturan perUUan, dan dikembalikan kepada rakyat untuk ditaati (Democracy). (Gani Juyuf, H.A S.Ip. 2011)
5. Sila Kelima Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia Pada hakekatnya manusia diciptakan Tuhan dimuka bumi adalah sebagai “Khalifah” atau pemimpin yang bertugas mengelola alam dengan segala isinya, sehingga berada dalam kehidupan yang aman, tenteram, dan damai, yang memungkinkan manusia melaksanakan kewajibannya dengan khusyuk
dalam
menyembah
dan
mecintai
pencipta/Tuhan.
Khalifah/pemimpin yang memiliki kemampuan dan kemauan untuk memecahan dan menyelesaikan berbagai masalah secara musyawarah, terhadap beragam macam kebutuhan manusia, baik kebutuhan sebagai mahluk individu maupun sebagai mahluk sosial. Dalam hal ini diperlukan pemimpin yang mampu dan mau mangambil keputusan yang dapat diterima oleh semua pihak sengan keputusan yang seadil-adilnya tanpa keberpihakkan. Didasarkan pada pemikiran ini, bangsa Indonesia bersepakat secara filosofis merumuskan ‘Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia’. (Gani Juyuf, H.A S.Ip. 2011) Semua keputusan yang telah disepakati bersama, ditaati sebagai produk hukum yang harus ditegakkan dan dikenakan tindakan tegas/keras bagi siapa yang melanggarnya (Social Justice). (Gani Juyuf, H.A S.Ip. 2011)
E.
Kesimpulan Pancasila sebagai landasan kehidupan masyarakat Indonesia yang harus di
terapkan secara lisan, perbuatan, dan diresapkan dalam hati. Penerapan nilai-nilai pancasila diterapkan mulai dari lingkungan kita seperti keluarga, saudara, tetangga, rekan, dll. Penerapan nilai-nilai pancasila dapat diterapkan di rumah, kos, sekolah, universitas, serta dimanapun kita berada. Sila pertama mendasari sila ke-2 dan seterusnya; sila ke-2 didasari sila pertama dan mendasari sila ke-3 dan seterusnya; sila ke-3 didasari sila pertama, sila ke-2 dan mendasari mendasari sila ke-4 dan seterusnya; 17
sila ke-4 didasari sila pertama, ke-2, ke-3 dan mendasari sila ke-5; sila ke-5 mendasari pertama, ke-2, ke-3, ke-4.
F.
Refrensi Bakry, Noor. 1994, Orientasi Filsafat Pancasila. Paradigma : Yogyakarta Darmodiharjo Darji, Prof. S.H.,dkk. 1979, Santiaji Pancasila. Usaha Nasional : Surabaya Gani Juyuf, H.A S.Ip. 2011, Kongkritisasi Nilai-Nilai Pancasila Dalam Mempertahankan Kelangsungan Hidup Bangsa dan Bernegara. : Jakarta M.S, Kaelani. 1996, Pendidikan Pancasila Yuridis Keneggaraan. Paradigma : Yogyakarta Sunardjo. 2009, Naskah Akademik Pedoman Nilai-Nilai Bangsa. : Jakarta
18