UNIVERSITAS INDONESIA
APLIKASI MODEL ADAPTASI ROY DALAM ASUHAN KEPERAWATAN ANAK DENGAN GANGGUAN KESEIMBANGAN CAIRAN DI RSUPN DR. CIPTO MANGUNKUSUMO
KARYA ILMIAH AKHIR
DESAK PUTU KRISTIAN PURNAMIASIH 1106122386
FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN PROGRAM NERS SPESIALIS KEPERAWATAN ANAK DEPOK, JUNI 2014
Aplikasi model ..., Desak Putu Kristian Purnamiasih, FK UI, 2014
UNIVERSITAS INDONESIA
APLIKASI MODEL ADAPTASI ROY DALAM ASUHAN KEPERAWATAN ANAK DENGAN GANGGUAN KESEIMBANGAN CAIRAN DI RSUPN DR. CIPTO MANGUNKUSUMO
KARYA ILMIAH AKHIR Disusun untuk memenuhi tugas akhir program profesi Spesialis Keperawatan Anak
DESAK PUTU KRISTIAN PURNAMIASIH 1106122386
FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN PROGRAM NERS SPESIALIS KEPERAWATAN ANAK DEPOK, JUNI 2014
i Aplikasi model ..., Desak Putu Kristian Purnamiasih, FK UI, 2014
Aplikasi model ..., Desak Putu Kristian Purnamiasih, FK UI, 2014
Aplikasi model ..., Desak Putu Kristian Purnamiasih, FK UI, 2014
Aplikasi model ..., Desak Putu Kristian Purnamiasih, FK UI, 2014
Aplikasi model ..., Desak Putu Kristian Purnamiasih, FK UI, 2014
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas kasih – Nya Karya Ilmiah Akhir (KIA) ini dapat diselesaikan. Karya Ilmiah Akhir ini merupakan salah satu tugas akhir dalam menempuh pendidikan Ners Spesialis Keperawatan Anak. Selama penulisan Karya Ilmiah Akhir, penulis mendapat bimbingan, dan dukungan dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada: (1) Dr. Nani Nurhaeni, S.Kp., MN, selaku supervisor utama yang telah memberikan bimbingan, dan arahan selama penulisan Karya Ilmiah Akhir ini. (2) Siti Chodidjah, SKp., MN, selaku supervisor yang telah memberikan bimbingan, dan arahan dalam penyusunan Karya Ilmiah Akhir. (3) Dra. Junaiti Sahar, Ph.D, selaku dekan Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia (4) Staf pengajar Program Pasca Sarjana Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia yang telah memberikan bekal ilmu sehingga penulis mampu melaksanakan penyusunan Karya Ilmiah Akhir. (5) Teman sejawat perawat di ruang rawat infeksi anak RSCM yang telah memberikan dukungan dan fasilitas selama penyusunan Karya Ilmiah Akhir ini. (6) Seluruh karyawan Akademi Keperawatan Ngesti Waluyo yang selalu memberikan motivasi. (7) Keluarga yang selalu mendoakan, dan memberi motivasi kepada penulis. (8) Teman – teman angkatan 2011 yang senantiasa berbagi pengalaman, dan memberi dukungan selama penyusunan Karya Ilmiah Akhir. Semoga Karya Ilmiah Akhir ini dapat meningkatkan perkembangan asuhan keperawatan.
Depok, Juni 2014
Penulis
vi
Universitas Indonesia
Aplikasi model ..., Desak Putu Kristian Purnamiasih, FK UI, 2014
ABSTRAK
Nama Program Studi Judul
: Desak Putu Kristian Purnamiasih : Spesialis I Keperawatan Anak, Fakultas Ilmu Keperawatan, Universitas Indonesia : Aplikasi Model Adaptasi Roy dalam Asuhan Keperawatan Anak dengan Gangguan Keseimbangan Cairan di RSUPN DR. Cipto Mangunkusumo
Cairan berfungsi dalam penyerapan nutrisi, proses metabolisme, fungsi sel – sel tubuh, dan organ tubuh. Gangguan keseimbangan cairan pada sistem gastrointestinal dapat disebabkan oleh diare, muntah atau perdarahan. Aplikasi model adaptasi Roy bertujuan untuk mendukung pasien mampu berespon secara adaptif terhadap gangguan kesehatannya. Empat dari lima klien kelolaan yang mengalami gangguan keseimbangan cairan mengalami keberhasilan adaptasi terhadap gangguan keseimbangan cairan mereka. Sementara, satu klien kelolaan lainnya pada awalnya mengalami perbaikan tetapi adanya penyakit penyerta lainnya menyebabkan klien tidak dapat beradaptasi. Keberhasilan adaptasi individu dipengaruhi oleh usia klien, temperatur lingkungan, stress, dan tingkat keparahan penyakit. Kemampuan perawat mengelola stimulus yang mempengaruhi keseimbangan cairan akan meningkatkan kemampuan adaptasi klien dalam menghadapi gangguan kesehatannya. Kata Kunci: adaptasi, keseimbangan cairan, sistem gastrointestinal.
vii
Universitas Indonesia
Aplikasi model ..., Desak Putu Kristian Purnamiasih, FK UI, 2014
ABSTRACT
Name : Desak Putu Kristian Purnamiasih Study Program : Pediatric Nursing Specialist. Faculty of Nursing University of Indonesia Tittle : The Application of Roy's Adaptation Model in Caring for Children with Fluid Balance Disorder in RSUPN DR. Cipto Mangunkusumo Fluid involves in nutrient absorption, metabolism process, and cell function. Disorder of fluid balance such as in gastrointestinal system can be caused by diarrhea, vomiting or bleeding. Roy adaptation model application aims to support the patient to be able to respond adaptively to their health problems. Four out of five clients with fluid imbalance responded adaptively to their fluid imbalance problem. Meanwhile, the other client initially experienced positive adaptation, however, he finally failed to adapt to his condition because he also suffered other diseases. Many things influence the successfulness of individual adaptation process such as: age, environment temperature, other stressors, and the severity of the disease. Nurse's ability to manage the stimulus that affects fluid balance will improve client’s ability to do adaptation on their health problems.
Keywords: adaptation, fluid balance, gastrointestinal system.
viii
Universitas Indonesia
Aplikasi model ..., Desak Putu Kristian Purnamiasih, FK UI, 2014
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL……………………………………………………...... HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS........................................... HALAMAN PERSETUJUAN…………………............................................ HALAMAN PENGESAHAN........................................................................ HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI...................... KATA PENGANTAR.................................................................................... ABSTRAK...................................................................................................... ABSTRACT.................................................................................................... DAFTAR ISI………………………………………………………………... DAFTAR SKEMA ......................................................................................... DAFTAR TABEL........................................................................................... DAFTAR LAMPIRAN................................................................................... BAB 1 PENDAHULUAN......................................................................... 1.1 Latar Belakang.......................................................................... 1.2 Tujuan Karya Ilmiah Akhir....................................................... 1.3 Sistimatika Penulisan……………………………………….... BAB 2
APLIKASI TEORI KEPERAWATAN PADA ASUHAN KEPERAWATAN......................................................................... 2.1 Gambaran Kasus....................................................................... 2.2 Tinjauan Teoritis…………………………………………....... 2.3 Integrasi Model Adaptasi Roy dan Konsep Keperawatan dalam Proses Keperawatan…................................................... 2.4 Aplikasi Teori Keperawatan Pada Kasus Terpilih……………
i ii iii iv v vi vii viii ix x xi xii 1 1 5 6
7 7 16 21 24
BAB 3
PENCAPAIAN KOMPETENSI……………………………….. 3.1 Target Unit Kompetensi Praktik Residensi…………………... 3.2 Peran Spesialis Keperawatan Anak…………………………..
33 33 35
BAB 4
PEMBAHASAN………………………………............................ 4.1 Pembahasan Penerapan Teori Keperawatan dalam Asuhan Keperawatan…........................................................................ 4.2 Pembahasan Praktik Spesialis Keperawatan Anak dalam Pencapaian Kompetensi…………………………..................
39
SIMPULAN DAN SARAN………………………………........... 5.1 Kesimpulan............................................................................... 5.2 Saran......................................................................................... DAFTAR REFERENSI................................................................................ LAMPIRAN
48 48 49 50
BAB 5
ix
39 46
Universitas Indonesia
Aplikasi model ..., Desak Putu Kristian Purnamiasih, FK UI, 2014
DAFTAR SKEMA
Skema 2.1.
Konsep Asuhan Keperawatan Berdasarkan Roy Adaptation Model......................................................................................... 24
x
Universitas Indonesia
Aplikasi model ..., Desak Putu Kristian Purnamiasih, FK UI, 2014
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1.
Kebutuhan Cairan Berdasarkan Berat badan Per Hari………………
16
Tabel 2.2.
Pengeluaran Urin Berdasarkan Kelompok Umur Per Jam………......
16
Tabel 2.3.
Penentuan Derajat Dehidrasi Menurut WHO 1995………….............
18
Tabel 2.4.
Terapi Cairan Standar (Iso-hiponatremia)……………………...........
19
xi
Universitas Indonesia
Aplikasi model ..., Desak Putu Kristian Purnamiasih, FK UI, 2014
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1
Laporan Proyek Inovasi
Lampiran 2
Kontrak Belajar Praktik Residensi I
Lampiran 3
Kontrak Belajar Praktik Residensi II
xii
Universitas Indonesia
Aplikasi model ..., Desak Putu Kristian Purnamiasih, FK UI, 2014
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Komponen utama dari tubuh manusia adalah air, yang merupakan 55% - 60% dari berat badan pada orang dewasa, 60% - 65% pada anak, dan 75% - 80% pada bayi. Cairan berfungsi dalam membantu penyerapan nutrisi dan metabolisme dalam tubuh, dan elektrolit sangat penting untuk fungsi dari sel – sel, dan organ tubuh karena sifatnya sebagai ion tubuh. Selain itu elektrolit juga membantu dalam stabilisasi asam basa tubuh. Elektrolit dapat mempengaruhi ritme jantung, kemampuan otot berkontraksi, fungsi otak dan penggunaan energi (James, Nelson, & Ashwill, 2013).
Total Body Water (TBW) dibagi ke dalam extracellular fluid (ECF), dan intracellular fluid (ICF). Jumlah ICF dua pertiga dari TBW, kira-kira 40% dari berat badan, dan sepertiga dari TBW/20% - 25% dari berat badan adalah ECF. Pada usia lebih dari 9 bulan, perbandingan ECF, dan ICF akan berubah karena pertumbuhan sel – sel jaringan tubuh yang pesat (Juffrie et al., 2012). Intracellular fluid (ICF) juga dikenal sebagai sitosol atau matriks sitoplasma, merupakan cairan yang berfungsi untuk memastikan proses seluler berlangsung dengan baik. Cairan intraseluler terdapat pada bagian dalam sel, dan membran sel adalah batas sitosol. cairan intraseluler mengandung sebagian besar air dengan beberapa ion seperti natrium, kalium, klorida, magnesium. Karena adanya asam amino, protein yang larut dalam air, dan molekul lainnya, sitosol memiliki banyak komponen. Cairan intraseluler tidak melakukan tugas tertentu, tetapi membantu dalam banyak fungsi termasuk transduksi sinyal dalam organel, menyediakan tempat untuk sitokinesis, sintesis protein, dan transportasi molekul. Pada ICF, kalium (K+) adalah kation utama, dan fosfat (HPO4-) adalah anion utama (Sherwood, 2011). Extracellular fluid (ECF) adalah cairan yang ditemukan di luar sel untuk menjaga sel-sel dan jaringan tubuh. ECF dibagi dua yaitu cairan 1
Universitas Indonesia
Aplikasi model ..., Desak Putu Kristian Purnamiasih, FK UI, 2014
2
interstisium/cairan interstisial-limfe sejumlah 80% dari ECF, dan plasma sejumlah 20% dari ECF. Selain kedua bagian mayor dalam ECF, terdapat juga bagian minor lainnya yaitu cairan trans – sel, terdiri dari cairan serebrospinal, cairan intraokulus, cairan sinovium, cairan perikardium, cairan intrapleura, dan cairan peritoneum sejumlah 1% - 2% dari berat badan. Extracellular fluid terdiri dari natrium, kalium, kalsium, klorida, dan bikarbonat, sedangkan protein sangat jarang dalam cairan ekstraselular. Kation utama pada ECF adalah natrium (Na+),dan anion utama adalah klorida (Cl-). PH cairan ekstraseluler sekitar 7,4, dan cairan memiliki kapasitas buffer hingga batas tertentu. Glukosa juga terdapat dalam extracellular fluid, berfungsi untuk mengatur homeostasis sel (Sherwood, 2011). Kebutuhan cairan, dan elektrolit dipengaruhi oleh usia, temperatur lingkungan, stress, dan kondisi sakit. Perbedaan usia menentukan luas permukaan tubuh serta aktivitas organ, sehingga dapat mempengaruhi jumlah kebutuhan cairan dan elektrolit. Suhu lingkungan yang tinggi menyebabkan proses pengeluaran cairan melalui keringat cukup banyak, sehingga tubuh akan banyak kehilangan cairan. Stres dapat menimbulkan peningkatan metabolisme sel, konsentrasi darah, dan glikolisis otot, mekanisme ini dapat menimbulkan retensi sodium dan air. Apabila tubuh kekurangan zat gizi, maka tubuh akan memecah cadangan makanan yang tersimpan dalam tubuh sehingga terjadi pergerakan cairan dari interstisial ke interseluler, yang dapat berpengaruh pada pemenuhan kebutuhan cairan. Pada kondisi sakit, kehilangan cairan tubuh manusia diakibatkan oleh kehilangan melalui saluran cerna (muntah, diare, perdarahan), kehilangan melalui kulit (luka bakar, diaforesis), serta kehilangan cairan karena fungsi ginjal yang terganggu (Wong, Hockenberry, Willson, Winkelstein, & Schwartz, 2009). Karakteristik penduduk dengan ISPA yang tertinggi terjadi pada kelompok umur 1 – 4 tahun (25,8%), Insidens tertinggi pneumonia balita terdapat pada kelompok umur 12 – 23 bulan (21,7‰). Insiden tertinggi TB paru pada anak terdapat pada usia 1 – 4 tahun (0,4%). Karakteristik diare balita tertinggi terjadi pada kelompok umur 12 – 23 bulan (7,6%) (Riskesdas, 2013). Infeksi
Universitas Indonesia Aplikasi model ..., Desak Putu Kristian Purnamiasih, FK UI, 2014
3
saluran pencernaan, salah satu manifestasi klinisnya adalah diare, dan menyebabkan perubahan signifikan pada keseimbangan cairan dan elektrolit melalui kehilangan secara langsung (Wong, Hockenberry, Willson, Winkelstein, & Schwartz, 2009).
Diare merupakan gangguan saluran pencernaan yang berakibat langsung pada gangguan keseimbangan cairan, dan elektrolit. Unsur makanan seperti sorbitol, fruktosa, magnesium yang sukar diserap bersifat aktif di usus halus sehingga dapat menarik cairan ke lumen usus, diikuti dengan masuknya natrium dalam kadar normal, hal inilah yang akhirnya menimbulkan diare. Enterotoksin bakteri, ataupun bahan kimia meningkatkan sekresi
cairan
bersama ion Cl-, natrium di lumen usus, dan menyebabkan diare. Pengeluaran cairan, dan sejumlah ion pada diare menimbulkan dehidrasi pada anak maupun kondisi asidosis metabolik (Silbernagl & Lang, 2006).
Penelitian yang dilakukan oleh Begum, Hoque, Hussain, Hasan, dan Molla (2010) pada anak usia 1 – 44 bulan yang mengalami diare akut menunjukkan bahwa hipokalemia dan hiponatremia adalah hasil abnormal yang banyak ditemukan. Hipokalemia ditemukan pada 27 (30,1%) responden, dan hiponatremia 13 (15,1%) responden. Rata – rata natrium yang ditemukan pada penelitian tersebut adalah 135,3 meq/l (105 – 148 meq/l), dan rata – rata kalium 3,9 meq/l (1,5 – 5,7 meq/l). Anak-anak penderita gizi buruk pada kelompok umur 6 – 24 bulan yang mengalami diare, dan muntah ditemukan lebih banyak mengalami hiponatremia (p=0,019) dan hipokalemia (p=0,018) dibandingkan dengan kelompok gizi buruk yang hanya mengalami muntah (Gangaraj, Das, & Madhulata, 2013).
Anak yang mengalami diare di ruang rawat infeksi anak di RSUPN DR. Cipto Mangunkusumo pada umumnya disertai juga dengan penyakit lainnya. Klien yang dirawat oleh residen sebagian besar mengalami gangguan keseimbangan cairan, dan mengalami infeksi pada saluran permapasan. Penyakit lain, dan diare yang menimbulkan gangguan keseimbangan cairan memerlukan asuhan
Universitas Indonesia Aplikasi model ..., Desak Putu Kristian Purnamiasih, FK UI, 2014
4
keperawatan yang bersifat komprehensif. Asuhan keperawatan komprehensif diperlukan karena gangguan keseimbangan cairan dipengaruhi oleh stimulus yang bersifat langsung maupun tidak langsung sehingga mempengaruhi adaptasi seluruh fungsi organ tubuh anak, adaptasi konsep diri, peran diri, dan ketergantungan anak terhadap keluarga maupun orang lain. Roy’s Adaptation Model berfokus pada stimulus lingkungan, dan respon biopsiko-sosial terhadap stimulus, serta menekankan interaksi antara individu dan lingkungan. Perawat berperan untuk menganalisa tingkat adaptasi pasien selama sakit menggunakan proses keperawatan. Stimulus lingkungan termasuk fokal, kontekstual, dan residual. Stimulus fokal adalah salah satu yang paling nyata dihadapi individu pada saat itu. Stimulus kontekstual merupakan stimulus lain yang berkontribusi langsung ke adaptasi. Stimulus residual adalah faktor lain yang tidak diketahui secara langsung dapat berkontribusi untuk adaptasi. Ketika stimulus residual diidentifikasi, maka stimulus tersebut dianggap sebagai stimulus fokal atau kontekstual (Christensen & Kenney, 2009).
Ketika individu dihadapkan dengan stimulus, cara mengatasinya dengan melibatkan regulator, dan kognator, diaktifkan dan diwujudkan dalam satu atau lebih dari empat model adaptasi Roy yaitu model fisiologis, model konsep diri, model saling ketergantungan, dan model fungsi peran. Model fisiologis berkaitan dengan pemeliharaan integritas fisiologis dari sistem adaptif. Model konsep diri berhubungan dengan konsep individu dari fisik, dan diri pribadi. Model saling ketergantungan berkaitan dengan dukungan sosial dan pemeliharaan hubungan yang memuaskan dengan orang lain. Model fungsi peran berkaitan dengan integritas social, dan berfokus pada kegiatan yang berhubungan dengan peran individu dalam kehidupan. Respon adaptif memperlihatkan integritas, dan membantu untuk memenuhi tujuan adaptasi. Perawat dapat membantu pasien untuk menyediakan lingkungan yang aman, dan dukungan yang diperlukan untuk memungkinkan pasien
Universitas Indonesia Aplikasi model ..., Desak Putu Kristian Purnamiasih, FK UI, 2014
5
berhasil dalam beradaptasi dengan kondisi mereka (Tomey & Alligood, 2010).
Tugas perawat dalam mendukung pasien untuk mampu berespon secara adaptif terhadap kondisi gangguan keseimbangan cairan adalah melalui proses asuhan keperawatan. Pada proses asuhan keperawatan, perawat harus mampu menganalisa stimulus yang menimbulkan respon adaptif, dan maladaptif. Kemampuan menganalisa respon, dan stimulus akan dapat menentukan
intervensi
keperawatan
yang
tepat,
sehingga
tercapai
kemampuan adaptasi yang diinginkan. Hal ini yang menjadi latar belakang penggunaan model adaptasi Roy dalam memberikan asuhan keperawatan pada anak yang mengalami gangguan keseimbangan cairan di RSUPN DR. Cipto Mangunkusumo.
1.2 Tujuan Karya Ilmiah Akhir Penulisan Karya Ilmiah Akhir ini mempunyai tujuan bagi pengembangan ilmu keperawatan. 1.2.1 Tujuan Umum Penulisan karya ilmiah ini mempunyai tujuan untuk memberikan gambaran tentang proses asuhan keperawatan pada anak yang mengalami gangguan keseimbangan cairan menggunakan aplikasi model adaptasi Roy di RSUPN DR. Cipto Mangunkusumo. 1.2.2 Tujuan Khusus 1. Memberikan gambaran proses asuhan keperawatan menggunakan aplikasi model adaptasi Roy pada anak yang mengalami gangguan keseimbangan cairan. 2. Memberikan gambaran peran perawat spesialis, dan pencapaian kompetensi dalam memberikan asuhan keperawatan pada anak yang mengalami gangguan keseimbangan cairan. 3. Menganalisa faktor – faktor yang mendukung, dan menjadi kendala selama memberikan asuhan keperawatan pada anak yang mengalami gangguan keseimbangan cairan.
Universitas Indonesia Aplikasi model ..., Desak Putu Kristian Purnamiasih, FK UI, 2014
6
1.3 Sistimatika Penulisan Karya ilmiah ini terdiri atas 5 bab, yaitu bab 1 sampai dengan bab 5. Bab 1 terdiri atas latar belakang, dan tujuan karya ilmiah, bab 2 terdiri atas gambaran lima kasus kelolaan selama praktik residensi, tinjauan teoritis, dan aplikasi model adaptasi Roy, bab 3 tentang gambaran pencapaian kompetensi, bab 4 membahas analisa aplikasi model adaptasi Roy pada asuhan keperawatan, dan bab 5 terdiri atas simpulan, dan saran.
Universitas Indonesia Aplikasi model ..., Desak Putu Kristian Purnamiasih, FK UI, 2014
BAB 2 APLIKASI TEORI KEPERAWATAN PADA ASUHAN KEPERAWATAN
2.1 Gambaran Kasus Gambaran 5 kasus pada karya ilmiah ini akan dijelaskan secara singkat dengan penjelasan sebagai berikut: 2.1.1 Kasus 1 An. R, laki – laki, usia 10 tahun, tinggi badan 120 cm, berat badan 25 kg, diagnosa medis epilepsi, Tuberkulosis on OAT bulan ke-3. An. R masuk UGD RSCM tanggal 22 Desember 2013 dengan keluhan muntah – muntah, kejang seluruh tubuh, dan demam sejak 1,5 jam sebelum masuk rumah sakit. Satu hari sebelumnya klien mengalami kejang ± 6 kali, demam, tidak mau makan minum. Klien sejak 3 bulan yang lalu didiagnosa TB, dan sedang dalam pengobatan. Pada usia 10 bulan klien pernah mengalami kejang, klien juga didiagnosa retardasi mental saat usia 6 tahun.
Pengkajian dilakukan pada tanggal 23 Desember 2013 Pk 09.00 WIB. Saat dikaji kesadaran klien compos mentis, tekanan darah 100/80 mmHg, frekuensi nadi 90 x/mnt, frekuensi pernapasan 28 x/mnt, suhu tubuh 38,2°C. Pk. 05.00 WIB klien kejang 1x selama ±10 detik, Pk. 06.30 muntah 1x. Saat ini klien lebih banyak tidur. Hasil laboratorium tanggal 22 Desember 2014, hematokrit 38%, leukosit 19.450/µL, natrium 137 mEq/L, kalium 4 mEq/L, klorida 101 mEq/L. Hasil analisa gas darah tanggal 22 Desember 2014, pH 7,384, p CO2 26, 8 mmHg, p O2 95,7 mmHg, saturasi O2 97,5%, BE -7,0 mmol/L, HCO3 16,2 mmol/L.
Diagnosa keperawatan pada an. R adalah ketidakefektifan termoregulasi berhubungan dengan proses inflamasi, risiko kekurangan volume cairan berhubungan dengan muntah dan peningkatan suhu tubuh, risiko cedera berhubungan dengan gangguan potensial aksi pada otot, dan risiko penyebaran infeksi. 7
Universitas Indonesia
Aplikasi model ..., Desak Putu Kristian Purnamiasih, FK UI, 2014
8
Implementasi yang sudah dilakukan adalah memberikan kompres hangat, mengobservasi tanda – tanda vital setiap 3 jam, memberikan minum air pada klien sedikit demi sedikit, menghitung intake, dan output cairan, memberitahu orang tua untuk mengawasi anaknya selama tidur, dan beraktivitas. Menggunakan masker saat kontak dengan klien, mencuci tangan sebelum dan setelah kontak dengan klien. Klien tidak ditempatkan di ruang isolasi karena ruang isolasi penuh, namun klien ditempatkan dalam satu ruangan dengan pasien lain yang mengalami penyakit infeksi pernapasan. Implementasi berupa edukasi yang diberikan pada keluarga adalah menganjurkan kelurga untuk memisahkan klien sementara dari adik klien yang masih bayi, memberikan obat FDC tepat waktu, dan memastikan bahwa obat sudah diminum oleh klien, memberikan makanan yang bergizi pada klien saat di rumah. Implementasi berupa kolaborasi yang telah dilakukan adalah memberikan farmadol 250 mg/iv, fenobarbital 60 mg/iv, diamox 400 mg/po, kcl 500 mg/po, depakene 2,5 ml/po, Fixed Dose Combination anak 2 tablet, cefotaxime 600 mg/iv, dexamethasone 3,6 mg/iv, cairan parenteral KaEn 1B 65 ml/jam. Evaluasi dilakukan pada masing – masing diagnosa keperawatan. Ketidakefektifan termoregulasi berhubungan dengan proses inflamasi teratasi pada hari ke – 2, ditandai dengan suhu tubuh 36,6°C, frekuensi nadi 88x/menit. Risiko kekurangan volume cairan berhubungan dengan muntah tidak menjadi aktual saat dilakukan evaluasi pada hari ke – 2 perawatan, ditandai dengan ibu mengatakan klien tidak muntah, mau minum, intake cairan pk.14.00 – 20.00 WIB 690 cc, output cairan pk.14.00 – 20.00 WIB 425 cc, balance cairan pk.14.00 – 20.00 WIB +265 cc, mukosa bibir lembab, balance cairan positif karena intake cairan melalui oral banyak. Risiko cedera berhubungan dengan gangguan potensial aksi pada otot tidak menjadi aktual setelah 5 hari perawatan, ditandai dengan klien tidak kejang, kesadaran composmentis. Risiko penyebaran infeksi tidak menjadi aktual setelah 5 hari perawatan, ditandai dengan klien tidak demam, suhu tubuh 36,8°C.
Universitas Indonesia Aplikasi model ..., Desak Putu Kristian Purnamiasih, FK UI, 2014
9
2.1.2 Kasus 2 An. R, laki – laki, usia 4 bulan, berat badan 6,5 kg, panjang badan 64 cm, diagnosa medis pasca laparatomi, ileostomi + kolostomi double barrel e.c invaginasi ileocolica, riwayat high output stoma. Operasi dilakukan tanggal 16 Maret 2014 kemudian dirawat di PICU, tanggal 19 Maret 2014 klien pindah ke ruang rawat infeksi anak lantai 1.
Pengkajian dilakukan tanggal 19 Maret 2014. Saat dikaji kesadaran klien compos mentis, frekuensi pernapasan 30 x/mnt, frekuensi nadi 130 x/mnt, suhu tubuh 36,3°C. Klien saat dikaji masih puasa, keluar cairan berwarna putih dari selang nasogastrik, cairan yang keluar dari stoma berwarna kehijauan, terdapat balutan luka operasi pada abdomen antara kuadran 1, dan 2, FLACC scale 3, mukosa bibir kering. Hasil laboratorium tanggal 16 Maret 2014 (post operasi) Hb 13,5 g/dl, leukosit 6490/µL, SGOT 24/µL, SGPT 60/µL, natrium 134 mEq/L, kalium 3,2 mEq/L, klorida 102 mEq/L.
Diagnosa keperawatan pada an. R adalah nyeri akut berhubungan dengan sensitisasi nosiseptor pada luka pasca laparatomi, risiko kekurangan volume cairan berhubungan dengan peningkatan produksi stoma, nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan high output stoma dan puasa, risiko infeksi berhubungan dengan patogen yang masuk melalui luka pasca laparatomi. Implementasi yang sudah dilakukan adalah mengukur tanda – tanda vital dan skala nyeri, meminta ibu klien untuk menggendong bayi saat menangis, memberikan farmadol 75 mg/iv, menimbang berat badan klien setiap hari, mengukur intake, dan output cairan, melakukan perawatan luka dan kolostomi, mengajarkan keluarga mencuci tangan dengan benar, dan merawat kolostomi. Klien juga diberikan cairan parenteral KaEn 1B (448)+D40(52)+Kcl(10) dengan volume 34,5 cc/jam, AF 5% dijalankan 5,8 cc/jam. Tanggal 21 Maret 2014 klien mulai diberikan ASI, tanggal 22 Maret
Universitas Indonesia Aplikasi model ..., Desak Putu Kristian Purnamiasih, FK UI, 2014
10
2014 diberikan ASI ditambah SF 8 x 60 ml. Klien juga diberikan cefotaxim 175 mg/iv, metronidazole 60 mg iv, omeprazol 10 mg/iv.
Evaluasi pada diagnosa keperawatan didapatkan bahwa diagnosa nyeri akut berhubungan dengan sensitisasi nosiseptor pada luka pasca laparatomi teratasi pada hari ke – 5 perawatan, ditandai dengan anak tenang, tidur nyenyak, FLACC scale 0, frekuensi nadi 120 x/menit. Risiko kekurangan volume cairan berhubungan dengan peningkatan produksi stoma tidak menjadi aktual saat dilakukan evaluasi pada hari ke – 2 perawatan, ditandai dengan intake cairan pk. 06.00 – 14.00 WIB 303 cc, output cairan pk. 06.00 – 14.00 WIB 240 cc, balance cairan pk. 06.00 – 14.00 WIB +63 cc. Nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh teratasi pada hari ke – 4 perawatan, ditandai dengan BB 6,38 kg, klien mau minum ASI, tidak muntah. Risiko infeksi menjadi aktual pada hari ke – 4 post operasi, ditandai dengan adanya pus pada luka post laparatomi, area sekitar luka kemerahan. Tindakan yang dilakukan untuk mengatasi masalah tersebut adalah melakukan perawatan luka setiap hari, dan memberikan antibiotik, sehingga masalah dapat teratasi pada hari ke – 9 post operasi. 2.1.3 Kasus 3 An. A, laki – laki, usia 15 tahun, dengan diagnosa medis tuberkulosis abdomen. Klien masuk Unit Gawat Darurat RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo tanggal 21 Maret 2014. Klien dirujuk dari RSUD Cibinong, dalam 1 bulan terakhir klien mengalami penurunan berat badan 15 kg, sering mual muntah setelah makan, demam, dan diare. Klien sudah dilakukan pemeriksaan BTA, dan hasilnya negatif, hasil USG abdomen menunjukkan tuberkulosis abdomen. Di Unit Gawat Darurat klien mengalami hiponatremia, dan sudah dikoreksi dengan NaCl 3 x 4 capsul, infus N5 + KCl.
Pengkajian dilakukan tanggal 26 Maret 2014. Saat pengkajian klien dalam kondisi lemah, kesadaran composmentis, tinggi badan 167 cm, berat badan 40,5 kg, tekanan darah 100/80 mmHg, frekuensi pernapasan 26 x/mnt,
Universitas Indonesia Aplikasi model ..., Desak Putu Kristian Purnamiasih, FK UI, 2014
11
frekuensi nadi 108 x/mnt, suhu tubuh 36,4°C. Klien merasa lemah, mual muntah setelah minum susu, perut terasa nyeri hilang timbul, Visual Analog Scale 5, BAB cair warna kuning kehijauan 4x, tidak bisa tidur, merasa cemas dengan kondisinya. Mukosa bibir kering, klien tampak kurus, kulit dan konjungtiva pucat. Hasil laboratorium tanggal 21 Maret 2014 natrium 127 mEq/L, kalium 4,1 mEq/L, klorida 93 mEq/L, Hb: 8,21 g/dl, leukosit 12.400/µL, ureum 46,2 mg/dl, creatinin 0,635 mg/dl, hasil USG abdomen 19 Februari 2014 TB abdomen, hasil CT scan abdomen tanggal 24 Februari 2014 penebalan dan dilatasi dinding usus halus.
Diagnosa keperawatan pada an.A adalah kekurangan volume cairan berhubungan dengan kehilangan cairan dan elektrolit melalui diare dan muntah, nyeri akut berhubungan dengan stimulasi reseptor nyeri pada serabut
saraf
di
traktus
digestivus,
diare
berhubungan
dengan
mikroorganisme patogen, nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan intake berkurang, gangguan pola tidur berhubungan dengan nyeri perut, ansietas berhubungan dengan hospitalisasi.
Implementasi yang sudah dilakukan pada an.A adalah mengkaji riwayat kontak dengan orang lain atau keluarga yang mengalami tuberkulosis, melakukan cuci tangan sebelum, dan setelah kontak dengan klien. Menggunakan masker, dan sarung tangan saat melakukan perawatan terhadap klien, menganjurkan kelurga untuk mencuci tangan sebelum, dan setelah kontak dengan klien. Mengukur tanda – tanda vital, menghitung intake dan output cairan, menimbang berat badan, mengkaji skala nyeri, mengajarkan cara personal hygiene yang baik pada orang tua klien, mengatur lingkungan klien lebih nyaman, mengkaji tingkat kecemasan, memotivasi klien mengungkapkan perasaan. Tindakan kolaborasi yang diberikan pada klien adalah memberikan cairan parenteral N5+Kcl (10) dijalankan 21 cc/jam, renalyte, dan aminosteril 6% sebanyak 29 cc/jam, memberi tramadol 50 mg/iv, cefotaxim 1 gr, metronidazole 300 mg, memeriksa BTA feces, memberi peptamen dan F100 modifikasi, merlopam
Universitas Indonesia Aplikasi model ..., Desak Putu Kristian Purnamiasih, FK UI, 2014
12
0,5 mg/po. Tanggal 2 April 2014 klien mengalami syok hipovolemia sehingga terjadi penurunan kesadaran. Saat itu klien diberikan tindakan intubasi, loading cairan yaitu RL 1000 ml, dan gelofusin 1000 ml, pemberian transfusi PRC 400 ml, klien juga mendapatkan dopamin dan dobutamin. Evaluasi pada hari ke – 8 didapatkan bahwa diagnosa kekurangan volume cairan berhubungan dengan diare, dan muntah tidak teratasi, ditandai dengan akral dingin, darah masih keluar dari NGT sejumlah 400 cc, jumlah urin selama 8 jam 100 cc warna kuning pekat, intake cairan selama 8 jam 2116 cc, output cairan selama 8 jam 702 cc, balance cairan +1414 cc, hasil lab natrium 124 mEq/L, kalium 3,18 mEq/L. Diagnosa lainnya yaitu nyeri akut berhubungan dengan stimulasi reseptor nyeri pada serabut saraf di traktus digestivus tidak teratasi, diare berhubungan dengan mikroorganisme patogen, nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan intake berkurang, gangguan pola tidur berhubungan dengan nyeri perut, ansietas berhubungan dengan hospitalisasi tidak teratasi. Klien mengalami syok hipovolemia, dan terjadi penurunan kesadaran (koma), klien meninggal tanggal 3 April 2014 Pk. 00.40 WIB. 2.1.4 Kasus 4 An. K, perempuan usia 1,5 tahun, dengan diagnosa medis pneumonia komunitas, dan diare akut. Klien dibawa ke Unit Gawat Darurat RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo tanggal 18 April 2014 Pk. 09.30 WIB dengan keluhan sesak napas, tidak mau makan minum, menangis lemah. Di UGD klien sudah dilakukan loading RL 20 ml/kgBB dan pemberian oksigen 2 lpm. Saat di UGD klien mulai diare.
Pengkajian dilakukan tanggal 18 April 2014 Pk. 19.00 WIB. Saat dilakukan pengkajian, kondisi klien masih lemah, kesadaran compos mentis, sesak napas, dan masih BAB cair 5x sejak pagi warna kuning, berlendir. Pemeriksaan tanda – tanda vital didapatkan hasil tekanan darah 90/60 mmHg, frekuensi pernapasan 29 x/mnt, frekuensi nadi 154 x/mnt, suhu
Universitas Indonesia Aplikasi model ..., Desak Putu Kristian Purnamiasih, FK UI, 2014
13
tubuh 37,4°C, SaO2: 96%. Klien batuk produktif, ronchi di kedua lapang paru, klien terpasang selang nasogastrik, kateter kandung kemih, mukosa mulut kering, klien gelisah, urine warna kuning pekat. Hasil pemeriksaan laboratorium tanggal 18 April 2014 yaitu Hb 10,2 g/dl, hematokrit 30%, trombosit 139.000, kalsium 7,6 mg/dl, fosfat inorganik 2,8, pemeriksaan tinja makroskopik: kuning, lendir +, mikroskopik: leukosit 0 – 1, eritrosit 0 – 1, pemeriksaan urin: kuning, keruh, pH 5,5, eritrosit 1 – 2. Hasil foto thorax adalah pleuropneumonia.
Diagnosa yang didapatkan pada an. K adalah bersihan jalan napas tidak efektif berhubungan dengan akumulasi sekret pada saluran napas, kekurangan volume cairan berhubungan dengan kehilangan cairan, dan elektrolit tubuh, serta intake cairan tidak adekuat, diare berhubungan dengan malabsorbsi lemak, nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan intake nutrisi tidak adekuat, ansietas berhubungan dengan tindakan/prosedur pengobatan. Implementasi yang sudah dilakukan adalah mengukur tanda – tanda vital setiap 3 jam, memberikan oksigen 2 liter/menit, mengatur posisi klien semi fowler, melakukan fisioterapi dada, memberikan inhalasi combivent ½ ampul + NaCl 0,9% 3 ml, memberikan dexamethasone 2 mg/iv, cefotaxime 470 mg/iv, mengukur intake dan output cairan, memberikan cairan intravena KaEn 3B 35 ml/jam, memberi klien minum melalui NGT, mengajarkan personal hygiene yang baik pada ibu klien, menimbang berat badan klien setiap hari, memberikan diet MC 180 ml (klien mendapat 6 x 180 ml).
Evaluasi tanggal 20 April 2014 didapatkan bahwa diagnosa kekurangan volume cairan sudah teratasi, ditandai dengan BAB cair berampas 2x dalam satu hari, intake cairan 1390 (pk. 06.00 – 20.00 WIB), output cairan 799 cc (pk. 06.00 – 20.00 WIB), balance cairan +591 cc (pk. 06.00 – 20.00 WIB). Diagnosa diare teratasi pada tanggal 20 April 2014, ditandai dengan BAB cair berampas 2x dalam satu hari. Diagnosa bersihan jalan nafas tidak
Universitas Indonesia Aplikasi model ..., Desak Putu Kristian Purnamiasih, FK UI, 2014
14
efektif teratasi pada tanggal 25 April 2014, ditandai dengan klien jarang batuk, frekuensi napas 28 x/menit. Diagnosa nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh teratasi pada tanggal 25 April 2014, ditandai dengan klien sudah makan nasi tim dan lauk ¼ porsi, makan biscuit 6 keping, makanan cair juga dihabiskan, BB klien 9,34 kg (BB naik 40 gram). Diagnosa ansietas teratasi pada tanggal 22 April 2014, ditandai dengan klien tampak ceria, dan kooperatif saat diberikan tindakan. 2.1.5 Kasus 5 An. H, perempuan, usia 3 bulan, berat badan 3,45 kg, PB 52 cm dengan diagnosa medis pneumonia komunitas dan diare akut. Klien masuk UGD RSCM dengan keluhan sesak napas, batuk, demam, diare, di UGD klien kejang 1x selama ± 2 menit. Selama di UGD klien diberikan injeksi antibiotik, oksigen, inhalasi, dan diazepam. Tanggal 27 April 2014 klien dipindahkan ke lantai 1 dengan kondisi tidak diare, masih sesak napas dan batuk. Tanggal 30 April klien kembali mengalami diare. Pengkajian dilakukan tanggal 2 Mei 2014, hasil pemeriksaan tanda – tanda vital yaitu frekuensi pernapasan 48 x/mnt, frekuensi nadi 145 x/mnt, suhu tubuh 38,3 °C. Klien dalam kondisi masih sesak napas, batuk dan diare. Klien juga muntah setelah minum susu, ronchi di kedua lapang paru, klien tampak kehausan, mukosa bibir kering, kemerahan pada kulit di area perineal. Hasil laboratorium tanggal 30 April 2014 yaitu prokalsitonin 0,11 ng/ml, hitung jenis: eosinofil 0,5%, hasil foto thorax tanggal 29 April 2014 infiltrat di kedua lapang paru.
Diagnosa keperawatan yang muncul pada an. H adalah bersihan jalan napas tidak efektif berhubungan dengan mikroorganisme yang meningkatkan sekresi mukus pada jalan napas, kekurangan volume cairan berhubungan dengan muntah, dan diare, diare berhubungan dengan bakteri enteral patogen yang menginduksi sekresi cairan dan elektrolit di lumen usus, nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan muntah, kerusakan integritas kulit berhubungan dengan paparan feces cair pada area perineal.
Universitas Indonesia Aplikasi model ..., Desak Putu Kristian Purnamiasih, FK UI, 2014
15
Implementasi yang sudah dilakukan pada an. H adalah mengukur tanda – tanda vital, mengobservasi pola napas, memberikan inhalasi ventolin 1 amp + NaCl 0,9% 3 ml, memberikan oksigen 2 lpm, memberi cefotaxime 100 mg/iv, metronidazole 25 mg/iv, dan ceftazidime 160 mg/iv. Mengobservasi tanda – tanda dehidrasi, mengukur intake dan output cairan, memberikan renalit 30 ml setiap kali BAB cair, memberi SF 90 cc setiap kali pemberian, menimbang berat badan setiap hari. Selain pemberian therapi, klien juga diiambil contoh feces dan urin untuk pemeriksaan laboratorium, pemberian zinc 10 mg/po, memberikan edukasi pada ibu klien tentang mencuci tangan dengan benar serta personal hygiene untuk klien serta lebih sering mengganti diapers. Klien juga mendapatkan salep myco-z untuk dioleskan di area perineal.
Pada evaluasi didapatkan bahwa diagnosa kekurangan volume cairan berhubungan dengan muntah, dan diare teratasi tanggal 3 Mei 2014, ditandai dengan BAB cair, dan muntah 1x dalam sehari, intake cairan 300 cc (pk. 06.00 – 14.00 WIB), output cairan 109 cc (pk. 06.00 – 14.00 WIB), balance cairan + 191 cc (pk. 06.00 – 14.00 WIB), turgor kulit baik, mata tidak cekung. Diagnosa diare berhubungan dengan bakteri enteral patogen yang menginduksi sekresi cairan dan elektrolit di lumen usus teratasi tanggal 3 Mei 2014, ditandai dengan BAB cair 1x dalam sehari. Diagnosa bersihan jalan napas tidak efektif berhubungan dengan mikroorganisme yang meningkatkan sekresi mukus pada jalan napas teratasi sebagian pada tanggal 9 Mei 204, ditandai dengan anak tidak sesak napas, batuk masih ada. Diagnosa nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan muntah teratasi tanggal 6 Mei 2014, ditandai dengan BB 3530 gram (kenaikan BB 80 gram dalam 5 hari), klien tidak muntah. Diagnosa kerusakan integritas kulit berhubungan dengan paparan feces cair pada area perineal teratasi sebagian pada tanggal 9 Mei 2014, ditandai dengan ruam kulit pada area perineal berkurang.
Universitas Indonesia Aplikasi model ..., Desak Putu Kristian Purnamiasih, FK UI, 2014
16
2.2 Tinjauan Teoritis Kebutuhan cairan dan manajemen pemberian cairan pada kondisi dehidrasi akan disampaikan pada bagian berikut. 2.2.1 Kebutuhan Cairan Pada Anak Dalam Kondisi Normal dan Kondisi Tertentu Komponen utama dari tubuh manusia adalah air, yang merupakan 55% 60% dari berat badan pada orang dewasa, 60% - 65% pada anak, dan 75% - 80% pada bayi. Cairan tubuh pada bayi terdistribusi ke dalam dua bagian yaitu 35% merupakan intracellular fluid (ICF), dan 40% merupakan extracellular fluid (ECF). Pada anak cairan tubuh terdiri dari 34% ICF, dan 30% ECF. Cairan intraselular maupun ekstraselular terdiri dari elektrolit dan non elektrolit. Elektrolit yang terdapat pada cairan tubuh yaitu sodium (Na+), potasium (K+), klorida (Cl+), kalsium (Ca2+), dan magnesium (Mg2+). Elektrolit utama pada ECF adalah sodium, dan elektrolit utama pada ICF adalah potasium, dan magnesium (James, Nelson, & Ashwill, 2013).
Kebutuhan cairan dihitung berdasarkan berat badan anak per hari, dan pengeluran urin dihitung berdasarkan kelompok usia anak, akan disampaikan melalui tabel – tabel berikut: Tabel 2.1 Kebutuhan Cairan Berdasarkan Berat Badan Per Hari Berat Badan ≤ 10 kg 10 – 20 kg ˃ 20 kg Sumber: Fergusson, D (2008)
Kebutuhan Cairan Harian 100 ml/kg bb/hari 1000 ml + 50 ml/kg bb/hari 1500 ml + 20 ml/kg bb/hari
Tabel 2.2 Pengeluaran Urin Berdasarkan Kelompok Umur Per Jam Kelompok Umur Bayi dan toddler Anak usia pra sekolah dan usia sekolah Anak usia sekolah dan remaja Sumber: James, Nelson, & Ashwill (2013)
Pengeluaran Urin Per Jam ˃ 2 – 3 ml/kg bb/jam ˃ 1 – 2 ml/kg bb/jam 0,5 – 1 ml/kg bb/jam
Universitas Indonesia Aplikasi model ..., Desak Putu Kristian Purnamiasih, FK UI, 2014
17
Dehidrasi tetap menjadi penyebab utama tingginya morbiditas, dan mortalitas bayi, dan anak-anak di seluruh dunia. Dehidrasi adalah gejala atau tanda gangguan pada organ tubuh, diare yang paling umum. Bayi sangat rentan terhadap efek buruk dari dehidrasi karena kebutuhan cairan, dan metabolisme yang lebih tinggi. Sumber yang paling umum dari peningkatan kehilangan cairan adalah saluran gastrointestinal dari muntah, diare, atau keduanya (misalnya, gastroenteritis). Sumber-sumber lain adalah ginjal (misalnya, ketoasidosis diabetik), dan kulit (misalnya, keringat berlebihan, luka bakar). Penurunan asupan cairan akan bermasalah ketika anak muntah, saat cuaca panas, dan ketika demam, takipnea, atau keduanya. Semua jenis cairan yang hilang mengandung elektrolit dalam konsentrasi yang berbeda-beda, sehingga kehilangan cairan selalu disertai dengan beberapa derajat kehilangan elektrolit. Tidak adanya penggantian cairan selama dehidrasi meningkatkan natrium serum (Potts & Mandleco, 2012).
Persentase total cairan tubuh bayi yang terkandung dalam ruang ekstravaskuler lebih besar dibandingkan dengan anak yang lebih tua dan orang dewasa meningkatkan resiko gangguan kardiovaskuler pada bayi ketika mengalami kehilangan cairan yang tiba – tiba. Demam meningkatkan IWL sebanyak 12% setiap 1°C kenaikan suhu tubuh (Behrman, Kliegman, & Arvin, 2000).
Parameter untuk menentukan derajat dehidrasi memerlukan pemantauan tanda-tanda vital, penampilan klinis, produksi urin, dan berat jenis urin, berat badan, dan kadar elektrolit serum. Pada pemantauan kadar elektrolit serum, dehidrasi digambarkan dengan penurunan konsentrasi natrium serum dengan pengelompokan sebagai berikut: dehidrasi
isonatremia
(tingkat sodium dari 138-145 mEq/L), dehidrasi hiponatremia (tingkat natrium <130 mEq/L), atau dehidrasi hipernatremia (tingkat sodium >150 mEq/L ). Dehidrasi Isonatremia adalah bentuk paling umum dari dehidrasi (James, Nelson, & Ashwill, 2013).
Universitas Indonesia Aplikasi model ..., Desak Putu Kristian Purnamiasih, FK UI, 2014
18
Tabel 2.3 Penentuan Derajat Dehidrasi Menurut WHO 1995 Penilaian Keadaan umum Mata Air mata Mulut dan lidah Rasa haus
A Baik, sadar
B *Gelisah, rewel
Normal Ada Basah
Cekung Tidak ada Kering
C *Lesu, lunglai, atau tidak sadar Sangat cekung Kering Sangat kering
Minum biasa tidak haus
*Haus, ingin *Malas minum minum banyak atau tidak bisa minum Turgor kulit Kembali cepat *Kembali lambat *Kembali sangat lambat Hasil Tanpa Dehidrasi Dehidrasi berat pemeriksaan dehidrasi ringan/sedang Bila ada 1 tanda * Bila ada 1 tanda * ditambah 1 atau ditambah 1 atau lebih tanda lain lebih tanda lain Terapi Rencana terapi Rencana terapi B Rencana terapi C A Sumber: Juffrie et al. (2012). 2.2.2 Manajemen Cairan Pada Kondisi Dehidrasi The American Academy of Pediatrics, dan WHO merekomendasikan terapi penggantian oral untuk dehidrasi ringan, dan sedang. Anak-anak dengan dehidrasi berat harus menerima cairan IV. Anak-anak yang tidak mampu atau tidak mau minum atau yang mengalami muntah berulang dapat menerima cairan pengganti IV melalui NGT. Dengan penggantian cairan hipotonik (misalnya, dengan air biasa), Na serum kembali normal dan bahkan menurun/hiponatremia (James, Nelson, & Ashwill, 2013).
Penanganan diare berdasarkan derajat dehidrasi menurut Juffrie et al. (2012) sebagai berikut: 1. Diare tanpa dehidrasi Jenis cairan yang diberikan pada diare tanpa dehidrasi adalah air tajin, larutan gula garam, kuah sayur – sayuran. Jumlah cairan yang diberikan adalah setiap kali BAB adalah 10 ml/kg BB untuk anak usia < 1 tahun, 100 – 500 ml untuk anak usia 1 – 5 tahun, 200 – 300 ml Universitas Indonesia Aplikasi model ..., Desak Putu Kristian Purnamiasih, FK UI, 2014
19
untuk anak usia 5 – 12 tahun, dan 300 – 400 ml untuk dewasa. Makanan tetap diberikan tetapi rendah serat. 2. Diare dehidrasi ringan – sedang Diberikan rehidrasi oral berupa oralit 75 cc/kg bb dalam 3 jam pertama, dilakukan evaluasi setelah 3 jam. Bila setelah 3 jam tidak tertangani, maka harus dilakukan penanganan dengan cairan parenteral. 3. Diare dehidrasi berat Selama pemberian cairan intravena, cairan oralit tetap diberikan (± 5 ml/kg BB/jam) dalam 3 – 4 jam untuk bayi, dan selama 1 – 2 jam untuk anak. Cairan parenteral yang diberikan adalah RL dengan jumlah 100 ml/kg BB. Pada anak usia < 1 tahun diberikan 30 cc/kg BB pada 1 jam pertama, dilanjutkan 70 cc/kg BB pada 5 jam berikutnya. Pada anak usia > 1 tahun diberikan 30 cc/kg BB dalam ½ jam pertama, dilanjutkan 70 cc/kg BB pada 2,5 jam berikutnya. 4. Pemberian seng (zinc) Zinc diberikan dengan dosis 20 mg per hari selama 10 – 14 hari, pada bayi usia < 6 bulan diberikan dengan dosis 10 mg selama 10 – 14 hari.
Pemberian terapi cairan standar pada dehidrasi isonatremia, dan hiponatremia akan disampaikan pada tabel berikut. Tabel 2.4 Terapi Cairan Standar (Iso-hiponatremia) Derajat Kebutuhan Dehidrasi Cairan Berat 10% ±30 ml/kg/1 jam Gagal sirkulasi (Plan C) Sedang 6 - 9 ±70 ml/kg/3 jam %
Ringan 5% (Plan B)
±50 ml/kg/3 jam
Jenis Cairan NaCl 0,9% Ringer laktat Asering NaCl 0,9% Ringer laktat ½ darrow KAEN 3B (>3 bulan) KAEN 4B (< 3 bulan) ½ darrow atau oralit
Cara/Lama Pemberian IV/1 jam
IV/3 jam atau oral 3 Jam
IV/3 jam bila oral
Universitas Indonesia Aplikasi model ..., Desak Putu Kristian Purnamiasih, FK UI, 2014
20
Derajat Dehidrasi
Kebutuhan Cairan
Jenis Cairan
Cara/Lama Pemberian tidak mungkin Tanpa ±10-20 ml/kg Oralit atau cairan Oral sampai dehidrasi setiap kali diare rumah tangga diare (Plan A) berhenti Sumber: Juffrie et al. (2012). 2.2.3 Asuhan Keperawatan Pada Anak Dehidrasi Perawat sebagai pemberi asuhan keperawatan harus bersikap waspada terhadap adanya tanda – tanda dehidrasi awal pada bayi, dan anak, karena kondisi yang bisa sangat cepat berubah. Peran perawat dalam hal tersebut adalah melakukan pengkajian, menentukan diagnosa, dan tujuan keperawatan, serta melakukan intervensi, dan evaluasi.
Menurut James, Nelson dan Ashwill (2013) pengkajian yang perlu dilakukan perawat pada anak yang mengalami dehidrasi adalah pengkajian intake, dan output cairan, termasuk urin secara spesifik (warna, jumlah, berat jenis). Pengkajian berat badan dilakukan karena menjadi indikator penting dalam status cairan. Pengkajian lainnya adalah frekuensi BAB, konsistensi feces, adanya muntah, keringat berlebihan, nilai elektrolit serum, kulit (warna, suhu, turgor), membran mukosa, air mata, ubun – ubun cekung/tidak, tanda – tanda vital, dan tingkah laku anak (gelisah, letargi).
Langkah selanjutnya adalah menentukan diagnosa keperawatan. Menurut Wilkinson dan Ahern (2009) diagnosa keperawatan pada masalah cairan adalah kekurangan volume cairan, risiko kekurangan volume cairan, kelebihan volume cairan, dan risiko ketidakseimbangan volume cairan. Diagnosa kekurangan volume cairan, batasan karakteristiknya adalah haus, perubahan status mental, penurunan turgor kulit, penurunan haluaran urin, penurunan pengisian vena, kulit, dan membran mukosa kering, hematokrit meningkat, suhu tubuh meningkat, kelemahan, penurunan berat badan tiba – tiba, peningkatan frekuensi nadi, dan penurunan tekanan darah.
Universitas Indonesia Aplikasi model ..., Desak Putu Kristian Purnamiasih, FK UI, 2014
21
Diagnosa risiko kekurangan volume cairan, faktor risikonya adalah imobilitas fisik, diare, usia ekstrem, berat badan ekstrem, status hipermetabolik, penggunaan obat (diuretik).
Menurut James, Nelson dan Ashwill (2013) intervensi keperawatan yang perlu dilakukan adalah mengajarkan orang tua untuk mencegah dehidrasi, mengenal tanda – tanda dehidrasi, memonitor pemberian cairan enteral maupun parenteral, serta memantau secara terus – menerus tanda dehidrasi pada anak. Evaluasi terkait cairan difokuskan pada tingkat kesadaran klien, jumlah, warna dan berat jenis urin, kulit elastis/tidak, kelembaban membran mukosa, dan nilai laboratorium elektrolit.
2.3 Integrasi Model Adaptasi Roy dan Konsep Keperawatan Dalam Proses Keperawatan Tomey dan Alligood (2010) menjelaskan bahwa proses keperawatan menurut model adaptasi Roy berorientasi pada tujuan, pendekatan pemecahan masalah yang menuntun dalam penetapan keperawatan yang komprehensif, dan menciptakan asuhan keperawatan yang kompeten terhadap seseorang atau kelompok. Menurut Wong, Hockenberry, Willson, Winkelstein dan Schwartz (2009) pada proses keperawatan anak yang bersifat komprehensif berarti perawat mempertimbangkan masalah biofisik, psikologis, sosiokultural dan spiritual klien pada saat dirawat maupun sebelum dirawat, melibatkan keluarga sesuai konsep keperawatan anak sangat diperlukan untuk pencapaian proses keperawatan komprehensif.
Roy membagi proses keperawatan menjadi enam bagian yang berkelanjutan dan disertai langkah-langkah yang dinamis yaitu pengkajian perilaku, pengkajian stimulus, diagnosa keperawatan, penetapan tujuan, intervensi, dan evaluasi. 2.3.1 Pengkajian Perilaku (Pengkajian Tahap Pertama) Menurut Tomey dan Alligood (2010), Roy menggambarkan perilaku adalah aksi atau reaksi dari suatu stimulus. Perilaku dapat diamati atau
Universitas Indonesia Aplikasi model ..., Desak Putu Kristian Purnamiasih, FK UI, 2014
22
tidak dapat diamati. Contoh dari perilaku yang dapat diamati adalah denyut nadi; perilaku yang tidak dapat diamati adalah perasaan yang diekspresikan oleh seseorang dan dilaporkan kepada perawat. Pengkajian perilaku mencakup pengkajian fisiologis terdiri atas oksigenasi, nutrisi, eliminasi, aktivitas dan istirahat, proteksi, penginderaan, cairan dan elektrolit, fungsi neurologi, fungsi endokrin, pengkajian interdependensi, pengkajian konsep diri serta pengkajian fungsi peran yang mencakup pengkajian peran primer, sekunder dan tersier. Menurut Wong, Hockenberry, Willson, Winkelstein dan Schwartz (2009), pada pengkajian perilaku pada anak harus dipertimbangkan latar belakang biofisik, psikologis, sosiokultural dan spiritual klien. Dapat dikatakan bahwa dalam pengkajian anak menurut teori Adaptasi Roy, riwayat kesehatan fisiologis, psikologis anak sebelum sakit perlu dikaji dengan melihat usia perkembangan anak. Selain itu kondisi keluarga, budaya serta spiritual dalam keluarga juga dikaji, proses ini harus melibatkan keluarga. 2.3.2 Pengkajian Stimulus (Pengkajian Tahap Kedua) Pada level pengkajian ini perawat menganalisis perilaku subjektif dan objektif dan melihat lebih dalam kemungkinaan penyebab dari perilaku tertentu (Tomey & Alligood, 2010). Pengkajian stimulus/rangsangan terdiri
atas pengkajian stimulus fokal, stimulus kontekstual, stimulus
residual yang dilihat pada keempat model adaptasi Roy. Pengkajian pada tahap ini jika diterapkan dalam keperawatan anak akan terkait dengan latar belakang biofisik, psikologis, sosiokultural dan spiritual anak. 2.3.3 Diagnosa Keperawatan Diagnosa keperawatan menurut teori Adaptasi Roy mengindikasikan masalah aktual maupun potensial yang berhubungan dengan adaptasi. Pernyataan diagnosa menspesifikkan perilaku yang mengarah pada diagnosa dan penilaian berdasarkan rangsangan yang mengancam atau mencetuskan adaptasi (Tomey & Alligood, 2010). Diagnosa keperawatan ditentukan berdasarkan penilaian perilaku yang paling relevan dengan stimulus/rangsangan. Pada keperawatan anak diagnosa keperawatan terdiri atas 3 komponen yaitu masalah yang menggambarkan respon anak
Universitas Indonesia Aplikasi model ..., Desak Putu Kristian Purnamiasih, FK UI, 2014
23
terhadap gangguan proses, pola, fungsi atau perkembangan kehidupan, termasuk respon yang terjadi sebagai akibat sekunder dari penyakit, etiologi yang menggambarkan faktor fisiologi, situasi dan maturasi yang menyebabkan masalah, tanda dan gejala yang mengacu pada batasan karakteristik yang didapat dari pengkajian menunjukkan masalah kesehatan aktual (Wong, Hockenberry, Willson, Winkelstein, & Schwartz, 2009). 2.3.4 Penetapan Tujuan Penetapan tujuan berfokus pada mempromosikan perilaku adaptif. Perawat dan klien bersama-sama menyetujui pernyataan yang
menjelaskan
keinginan terhadap hasil perilaku dari asuhan keperawatan. Pernyataan tujuan harus mencakup perilaku yang hendak diubah, perubahan yang diharapkan dan waktu yang diperlukan untuk mengubah perilaku tersebut (Tomey & Alligood, 2010). Pada keperawatan anak penetapan tujuan dilakukan bersama anak dan keluarga dengan ketentuan anak dalam usia yang cukup untuk memahami suatu hal. 2.3.5 Intervensi Keperawatan Intervensi keperawatan adalah tindakan yang dilakukan oleh seorang perawat profesional yang dipercaya akan menghasilkan perubahan perilaku klien. Intervensi keperawatan muncul dari pengetahuan yang mendalam dan bertujuan pada stimulus fokal yang memungkinkan (Tomey & Alligood, 2010). Intervensi pada keperawatan anak umumnya membahas masalah potensial di akhir rencana, kecuali dalam keadaan ketika intervensi keperawatan penting dalam mencegah masalah potensial menjadi masalah actual (Wong, Hockenberry, Willson, Winkelstein, & Schwartz, 2009). 2.3.6 Evaluasi Evaluasi membutuhkan analisis dan penilaian untuk memisahkan apakah perubahan perilaku tersebut tercakup dalam pernyataan tujuan dan telah tercapai atau tidak oleh klien dalam asuhan keperawatan (Tomey & Alligood, 2010). Dalam fase evaluasi, perawat menilai keefektifan dari intervensi keperawatan yang telah diimplementasikan dan menilai sejauh
Universitas Indonesia Aplikasi model ..., Desak Putu Kristian Purnamiasih, FK UI, 2014
24
mana
tujuan
keperawatan
telah
tercapai.
Respon
adaptif
dapat
meningkatkan integritas manusia dalam mencapai tujuan manusia untuk mempertahankan kehidupan. Respon yang tidak efektif adalah respon yang tidak mempunyai kontribusi dalam pencapaian tujuan manusia. Integritas proses kehidupan mengarah pada tingkat adaptasi pada struktur, dan fungsi proses kehidupan sebagai suatu keseluruhan untuk mencapai kebutuhan manusia (Tomey & Alligood, 2010). Skema 2.1 Konsep Asuhan Keperawatan Berdasarkan Roy Adaptation Model Input Stimulus fokal, stimulus 1. kontekstual, stimulus residual 2.
Proses kontrol Derajat dehidrasi
Mengelola stimulus melalui manajemen cairan Output
Efektor
Evaluasi: 3. Perilaku adaptif
Mempengaruhi integritas fungsi fisiologis, konsep diri, interdependensi, fungsi peran
Perilaku inefektif
Sumber: Tomey & Alligood (2010)
2.4 Aplikasi Teori Keperawatan Pada Kasus Terpilih Pada bagian ini akan dijelaskan aplikasi Model Adaptasi Roy pada kasus terpilih. 2.4.1 Riwayat Peyakit Sekarang An. K, perempuan usia 1,5 tahun, dengan diagnosa medis pneumonia komunitas dan diare akut. Dua belas hari sebelum masuk rumah sakit klien mengalami demam naik turun, batuk, dan pilek. Orang tua sudah membawa klien berobat ke klinik, dan Puskesmas. Tiga hari sebelum masuk rumah sakit, klien tidak mau makan, minum hanya sedikit sampai dengan sehari
Universitas Indonesia Aplikasi model ..., Desak Putu Kristian Purnamiasih, FK UI, 2014
25
sebelum masuk rumah sakit klien cenderung mengantuk, dan menangis lemah. Klien dibawa ke Unit Gawat Darurat RSUPN DR. Cipto Mangunkusumo tanggal 18 April 2014 Pk. 09.30 WIB dengan keluhan sesak napas, tidak mau makan minum, menangis lemah. Di UGD klien sudah dilakukan loading RL 20 ml/kgBB dan pemberian oksigen 2 lpm, saat di UGD klien mulai diare. Sebelumnya klien belum pernah dirawat di rumah sakit, bila batuk pilek biasanya klien berobat ke Puskesmas. Di keluarga klien saat ini ada yang mengalami batuk pilek, yaitu kakak klien. 2.4.2 Pengkajian Perilaku 1. Model Adaptasi Fisiologis a. Oksigenasi Frekuensi pernapasan 29 x/menit, frekuensi nadi 154 x/menit, SaO2 96% irama pernapasan reguler, ada batuk produktif, ronchi terdengar di kedua lapang paru, suara jantung normal, denyut nadi reguler dan kuat. b. Nutrisi Klien mendapat makanan cair 6 x 180 ml yang diberikan melalui selang nasogastrik, klien tidak nafsu makan sebelumnya. Berat badan 9,3 kg, tinggi badan 82 cm. Hasil pemeriksaan laboratorium yaitu Hb 10,2 g/dl, fosfat inorganik 2,8 mg/dl. c. Eliminasi BAB cair dari pagi 5x warna kuning dan ada lendir, klien terpasang kateter kandung kemih, warna urin kuning pekat, volume 200 ml (Pk. 09.30 – 19.00 WIB). Tidak ada nyeri tekan pada abdomen, bising usus +, perkusi abdomen: timpani. Hasil pemeriksaan feces makroskopis: kuning, lendir +, mikroskopik: leukosit 0 – 1, eritrosit 0 – 1, telur cacing -, ameba tidak ditemukan. Hasil pemeriksaan urin lengkap: kuning agak keruh, bakteri -, pH 5,5, berat jenis 5,5, leukosit 0 – 2, eritrosit 1 – 2. d. Aktivitas dan Istirahat Klien gelisah, rewel, makan/minum, dan toileting menggunakan alat (selang nasogastrik, dan kateter kandung kemih). Klien bergantung
Universitas Indonesia Aplikasi model ..., Desak Putu Kristian Purnamiasih, FK UI, 2014
26
sepenuhnya untuk personal hygiene, mobilisasi klien untuk membuat posisi tidur lebih nyaman masih dibantu. e. Proteksi Warna kulit normal, suhu kulit hangat, tekstur kulit halus, tidak ada lesi pada kulit, suhu tubuh 37,4 °C. Leukosit 13.700, trombosit 139.000. f. Penginderaan Klien dapat melihat, mendengar, merasakan sentuhan, dan mencium bau, untuk pengecapan tidak bisa dikaji saat itu karena klien mengkonsumsi cairan, dan nutrisi melalui NGT. g. Cairan, Elektrolit, dan Keseimbangan Asm Basa Turgor kulit sedang, mukosa bibir kering, tidak ada edema, klien gelisah, klien mengkonsumsi makanan cair dan air minum melalui selang nasogastrik sejumlah 400 ml (Pk. 09.30 – 19.00 WIB), klien mendapat makan cair 6 x 180 ml, cairan parenteral KaEn 3B 35 cc/jam. Hasil pemeriksaan laboratorium AGD: pH 7,514, p CO2 16,9, p O2 129,9, BE -7,2, HCO3 13,7, natrium 140 mEq/L, kalium 3,4 mEq/L, klorida 99 mEq/L, ca 7,6 mg/dl, fosfat inorganik 2,8 mg/dl. h. Fungsi Neurologi Kesadaran composmentis, tidak kejang, reaksi pupil kanan dan kiri positif, tidak ada tanda kernig, brudzinski, dan babinski. i. Fungsi Endokrin Tidak ada riwayat diabetes dalam keluarga, tidak ada pembesaran kelenjar tiroid. 2. Model Adaptasi Interdependensi Klien saat ini rewel, dan sangat tergantung sepenuhnya pada ibunya. 3. Model Adaptasi Konsep Diri Klien rewel, dan kelihatan tidak nyaman dengan alat – alat kesehatan (binasal kanul oksigen, kateter kandung kemih, NGT, dan akses vena) yang terpasang pada klien. Klien juga menangis setiap kali batuk.
Universitas Indonesia Aplikasi model ..., Desak Putu Kristian Purnamiasih, FK UI, 2014
27
4. Model Adaptasi Fungsi Peran Usia perkembangan klien sesuai dengan perkembangan dan pertumbuhan anak usia toddler. Klien sudah bisa berjalan, dan bicara menurut informasi dari ibu. 2.4.3 Pengkajian Stimulus 1. Model Adaptasi Fisiologis a. Oksigenasi Stimulus fokal: akumulasi sekret pada saluran napas. Stimulus kontekstual: pleuropneumonia. b. Nutrisi Stimulus
fokal:
gangguan
metabolisme
saluran
pencernaan
menyebabkan intake nutrisi tidak adekuat. Stimulus kontekstual: gangguan
oksigenasi
dan
peningkatan
sekresi
jalan
napas
menyebabkan anak cepat lelah, dan sirkulasi oksigen ke organ lain tidak adekuat. c. Eliminasi Stimulus fokal: air, dan elektrolit menumpuk di lumen usus. Stimulus kontekstual: bahan yang tidak dapat diserap meningkatkan tekanan osmotik di lumen usus. d. Cairan, Elektrolit, dan Keseimbangan Asam Basa Stimulus fokal: kehilangan cairan dan elektrolit tubuh, serta intake cairan tidak adekuat. Stimulus kontekstual: diare meningkatkan kehilangan
cairan,
dan
elektrolit,
sedangkan
sesak
napas
meningkatkan penggunaan cairan untuk metabolisme tubuh. 2. Model Adaptasi Interdependensi Stimulus fokal: klien merasa lelah, dan tidak bisa beraktivitas seperti biasanya. Stimulus kontekstual: sesak napas, diare. 3. Model Adaptasi Konsep Diri Stimulus fokal: alat – alat kesehatan yang dipasang di tubuh klien, kelemahan tubuh. Stimulus kontekstual: tindakan/prosedur pengobatan, kondisi lingkungan baru di rumah sakit.
Universitas Indonesia Aplikasi model ..., Desak Putu Kristian Purnamiasih, FK UI, 2014
28
4. Model Adaptasi Fungsi Peran Stimulus fokal: adaptif, stimulus kontekstual: adaptif. 2.4.4 Diagnosa Keperawatan Sesuai dengan pengkajian perilaku dan pengkajian stimulus maka diperoleh diagnosa keperawatan sebagai berikut: 1. Bersihan jalan napas tidak efektif berhubungan dengan akumulasi sekret pada saluran napas. 2. Kekurangan volume cairan berhubungan dengan kehilangan cairan, dan elektrolit tubuh, serta intake cairan tidak adekuat 3. Diare berhubungan dengan malabsorbsi lemak. 4. Nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan intake nutrisi tidak adekuat. 5. Ansietas berhubungan dengan tindakan/prosedur pengobatan. 2.4.5 Menentukan Tujuan 1. Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2 x 24 jam, jalan napas efektif dengan kriteria hasil tidak ada sesak napas, jalan napas bersih, batuk berkurang, sekret dapat dikeluarkan, frekuensi pernapasan 24 – 40 x/menit. 2. Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2 x 24 jam, cairan dan elektrolit adekuat dengan kriteria hasil mukosa bibir lembab, turgor kulit baik, berat badan tidak mengalami penurunan, klien tenang, frekuensi nadi 60 – 110 x/menit dengan irama reguler, frekuensi pernapasan 24 – 40 x/menit dengan irama reguler. Kriteria lainnya adalah pengeluaran urin 2 – 3 ml/kgbb/jam, warna urin kuning jernih, intake, dan output cairan seimbang, hasil lab elektrolit normal (Na:132-147 mEq/L, K:3,30-5,40 mEq/L, Cl:94-111 mEq/L, Ca:9-11 mg/dl). 3. Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2 x 24 jam, BAB klien kembali normal dengan kriteria frekuensi BAB kurang dari 3x dengan konsistensi feces lembek, tidak ada lendir pada feces. 4. Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 7 x 24 jam, nutrisi adekuat dengan kriteria hasil klien mampu makan makanan per oral, mampu mengkonsumsi makanan padat, porsi makanan yang dihabiskan
Universitas Indonesia Aplikasi model ..., Desak Putu Kristian Purnamiasih, FK UI, 2014
29
½ - ¾ porsi, konjungtiva tidak anemis, terdapat kenaikan berat badan, status gizi dalam kategori normal. Hasil laboratorium albumin 3,8 – 5,4 g/dl, ureum darah < 50 mg/dl. 5. Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 4 x 24 jam klien menunjukkan tanda – tanda kenyamanan dengan kriteria hasil klien tidak rewel, klien beraktivitas dengan nyaman walaupun terpasang alat – alat kesehatan, tanda – tanda vital dalam batas normal. 2.4.6 Intervensi 1. Bersihan jalan napas tidak efektif berhubungan dengan akumulasi sekret pada saluran napas. Tindakan keperawatan yang telah dilakukan: a. Mengukur tanda – tanda vital, dan melakukan pemeriksaan fisik dada. b. Memantau pemberian oksigen 2 lpm. c. Mengatur posisi klien semi fowler. d. Melakukan fisioterapi dada. e. Memberikan klien minum air melalui NGT. f. Memberikan klien minum air per oral pada hari ke – 4 perawatan. g. Menjelaskan pada ibu klien sebelum memberikan inhalasi, dan injeksi pada klien, dan fungsinya bagi klien. h. Memberikan terapi inhalasi combivent ½ ampul + NaCl 0,9% 3 ml. i. Memberikan injeksi dexamethasone 2 mg melalui intravena. j. Memberikan injeksi cefotaxime 470 mg melalui intravena. k. Memberikan edukasi pada ibu klien untuk menghindarkan anak dari asap rokok, dan anggota keluarga yang batuk pilek. 2. Kekurangan volume cairan berhubungan dengan kehilangan cairan melalui diare. Tindakan keperawatan yang telah dilakukan: a. Mengukur tanda – tanda vital, menilai turgor kulit, dan tingkat kesadaran klien. b. Mengukur intake dan output cairan setiap shift. c. Memberikan klien minum air melalui NGT.
Universitas Indonesia Aplikasi model ..., Desak Putu Kristian Purnamiasih, FK UI, 2014
30
d. Memberikan klien minum per oral pada hari ke – 4 perawatan karena toleransi minum per oral sudah baik. e. Menganjurkan klien tetap diberikan ASI. f. Menimbang berat badan klien setiap hari. g. Mengukur jumlah urin , dan menilai warna urin. h. Mengajarkan ibu untuk mencatat jumlah cairan yang masuk melalui NGT/oral, serta jumlah feces (cair). i. Memantau pemberian cairan parenteral KaEN 3B yang dijalankan 35 cc/jam. j. Memantau hasil lab terkait cairan. 3. Diare berhubungan dengan malabsorbsi lemak a. Mengkaji frekuensi BAB, warna dan konsistensi feces. b. Menanyakan waktu permulaan diare pada klien. c. Menanyakan makanan yang dikonsumsi klien sebelum masuk rumah sakit. d. Melakukan kolaborasi dengan ahli gizi untuk menentukan diet klien. e. Memantau hasil lab feces. f. Menganjurkan dan mengajari ibu untuk mencuci tangan dengan benar dan melakukan personal hygiene untuk klien dengan benar. g. Menganjurkan ibu untuk melaporkan setiap kali anak mengalami BAB cair. h. Memonitor warna, dan konsistensi feces. 4. Nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan intake tidak adekuat. a. Mengkaji intake nutrisi dan mengkaji adanya alergi makanan. b. Memeriksa kondisi dan letak NGT. c. Memberikan makanan cair 180 ml menggunakan feeding tube melalui NGT. d. Memberikan makanan cair per oral pada hari ke – 4 perawatan, dan memberikan nasi tim, dan lauk pauk pada hari ke – 5 perawatan. e. Memeriksa konjungtiva, menimbang berat badan klien setiap hari. f. Mengkaji toleransi klien untuk intake nutrisi melalui NGT dan oral. g. Melakukan kolaborasi dengan ahli gizi untuk menentukan diet klien.
Universitas Indonesia Aplikasi model ..., Desak Putu Kristian Purnamiasih, FK UI, 2014
31
h. Menganjurkan ibu untuk meneruskan pemberian ASI. i. Memantau hasil laboratorium terkait nutrisi. 5. Ansietas berhubungan dengan tindakan/prosedur pengobatan a. Mengkaji tingkat kecemasan pada anak. b. Mengenalkan diri kepada klien, dan keluarga. c. Menanyakan tentang anggota keluarga yang paling dekat dengan klien. d. Memberitahu klien setiap kali dilakukan tindakan. e. Mengajak klien bermain menggunakan boneka kepunyaan klien, dan mendengarkan lagu – lagu dari smartphone sebelum melakukan tindakan (injeksi, inhalasi). f. Menganjurkan ibu klien untuk menggendong, dan memeluk klien selama tindakan pengobatan dilakukan. g. Memberikan kesempatan klien untuk memegang alat inhalasi yang akan digunakan. 2.4.7 Evaluasi 1. Evaluasi tanggal 20 April 2014 Pk 18.00 WIB untuk diagnosa bersihan jalan napas tidak efektif berhubungan dengan akumulasi sekret pada saluran napas: Subyektif: ibu klien mengatakan bahwa anaknya tidak sesak, batuk masih. Obyektif: ronchi +, frekuensi pernapasan 30 x/menit, frekuensi nadi 128 x/menit, oksigen 2 lpm, SaO2 99% Assessment: masalah teratasi sebagian. Planning: intervensi dilanjutkan. Intervensi: memberikan intervensi sama dengan intervensi pada hari – hari sebelumnya. Evaluasi: tanggal 25 April 2014 masalah teratasi karena klien tidak sesak, batuk kadang – kadang, klien tidak memakai oksigen, frekuensi pernapasan 28 x/menit, frekuensi nadi 120 x/menit, SaO2 100%.
Universitas Indonesia Aplikasi model ..., Desak Putu Kristian Purnamiasih, FK UI, 2014
32
2. Evaluasi tanggal 20 April 2014 Pk 20.00 WIB untuk diagnosa kekurangan volume cairan berhubungan dengan kehilangan cairan melalui diare: Subyektif: klien BAB cair berampas 2x, anak sudah mulai aktif. Obyektif: tanda – tanda dehidrasi tidak ada, intake cairan (Pk 07.00 – 20.00 WIB) 1390 ml , output cairan 799 ml, balance cairan +591 ml. Assessment: masalah teratasi Planning: intervensi pemberian cairan parenteral tetap diberikan. 3. Evaluasi tanggal 20 April 2014 Pk 20.00 WIB untuk diagnosa diare berhubungan dengan malabsorbsi lemak: Subyektif: klien BAB cair berampas 2x dari pagi. Obyektif: perut tidak kembung. Assessment: masalah teratasi. 4. Evaluasi tanggal 25 April 2014 Pk. 11.00 WIB untuk diagnosa nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan intake tidak adekuat: Subyektif: ibu mengatakan bahwa klien makan nasi tim dan lauk habis ¼ porsi, makan biscuit 6 keping, makanan cair yang diberikan juga selalu dihabiskan. Obyektif: berat badan 9,34 kg, toleransi makan baik. Assessment: masalah teratasi. Planning: intervensi dihentikan 5. Evaluasi tanggal 22 April 2014 Pk. 14.00 WIB untuk diagnosa ansietas berhubungan dengan tindakan/prosedur pengobatan: Subyektif: ibu mengatakan bahwa klien klien tidak rewel, sudah mulai bermain di ruang bermain, walaupun masih terpasang akses vena di tangan kanan tanpa aliran cairan infus. Obyektif: kateter urin, NGT, kanul oksigen sudah dilepas, klien tampak lebih ceria saat bermain – main di ruang bermain. Saat diberikan terapi inhalasi klien kooperatif, tetapi saat diberikan injeksi klien masih menangis. Assessment: masalah teratasi. Planning: Intervensi dihentikan.
Universitas Indonesia Aplikasi model ..., Desak Putu Kristian Purnamiasih, FK UI, 2014
BAB 3 PENCAPAIAN KOMPETENSI
3.1 Target Unit Kompetensi Praktik Residensi Praktik residensi dilaksanakan dalam dua semester, yaitu praktik residensi I dilaksanakan pada semester I, dan praktik residensi II dilaksanakan pada semester II. Praktik residensi I dilaksanakan tanggal 16 September 2013 sampai dengan 17 Januari 2014 di ruang perinatologi, ruang rawat bedah anak, dan ruang rawat infeksi anak RSCM. Praktik residensi II, disesuaikan dengan peminatan residen, yaitu dilaksanakan tanggal 19 Februari – 9 Mei 2014 di ruang rawat infeksi anak RSCM. Pelaksanaan praktik residensi I, dan residensi II disesuaikan dengan BPKM, dan kontrak belajar yang telah dibuat dengan persetujuan supervisor. Selama pelaksanaan residensi I, dan residensi II, residen telah melaksanakan asuhan keperawatan pada neonatus infeksi maupun non infeksi, anak dengan kasus bedah, dan juga anak dengan kasus infeksi. Pencapaian kompetensi residen di masing – masing ruangan meliputi pemberian asuhan keperawatan berdasarkan Evidence Base Practice, melakukan pengoperasian alat – alat yang digunakan dalam memberi asuhan keperawatan, melaksanakan program edukasi bagi pasien, dan keluarga serta melaksanakan tindakan kolaborasi dengan profesi kesehatan lainnya. 3.1.1 Pencapaian Target Kompetensi di Ruang Perinatologi Praktik residensi I di ruang perinatologi dilaksanakan tanggal 16 September – 12 Oktober 2013. Selama pelaksanaan praktik, residen sudah melaksanakan pengelolaan berbagai kasus pada neonatus. Pemberian asuhan keperawatan dilakukan pada neonatus dengan masalah respirasi, gangguan termoregulasi, infeksi, gangguan metabolisme, dan kelainan kongenital. Ketrampilan prosedural yang sudah didapatkan di ruang perinatologi adalah melaksanakan penilaian masa gestasi pada neonatus, melaksanakan kangaroo mother care, melakukan pemasangan OGT, dan akses vena, melaksanakan resusitasi neonatus bersama dengan petugas lainnya, melakukan perawatan perawatan kolostomi maupun perawatan pada bayi yang mengalami omphalocele. Selain melakukan perawatan
33
Universitas Indonesia
Aplikasi model ..., Desak Putu Kristian Purnamiasih, FK UI, 2014
34
pada neonatus, residen juga melakukan pengoperasian alat – alat yang digunakan selama perawatan. Alat – alat yang dioperasikan adalah CPAP, radian warmer, incubator, alat suction, alat pemantau tanda – tanda vital, dan saturasi oksigen, mengoperasikan infusion pump, dan syringe pump. 3.1.2 Pencapaian Target Kompetensi di Ruang Rawat Bedah Anak (BCh) Praktik residensi I di ruang BCh dilaksanakan tanggal 28 Oktober – 5 Desember 2013. Selama praktik di ruang BCh, kasus yang sudah dikelola oleh residen adalah pada anak dengan gangguan sistem pencernaan, dan perkemihan karena kedua kasus itulah yang ditemui selama praktik. Kasus pada gangguan sistem pencernaan yang dikelola adalah kelainan kongenital seperti atresia esofagus, atresia ani, dan hirschsprung maupun kasus yang bukan kongenital yaitu invaginasi, appendisitis. Kasus pada gangguan sistem perkemihan yang dikelola adalah hipospadia. Kompetensi prosedural yang sudah didapatkan residen selama praktik di ruang BCh adalah melakukan perawatan luka post operasi laparatomi, uretroplasty. Perawatan kolostomi merupakan tindakan yang paling sering dilakukan di ruang BCh, sehingga dengan kondisi ini kelompok residen melakukan proyek inovasi berupa pembuatan media audio visual untuk edukasi perawatan stoma (kolostomi, ileostomi). 3.1.3 Pencapaian Target Kompetensi di Ruang Rawat Infeksi Anak Praktik di ruang rawat infeksi anak merupakan pilihan utama residen, dilaksanakan pada periode residensi I, dan residensi II dalam rentang waktu 9 Desember 2013 – 9 Mei 2014. Selama praktik di ruang rawat infeksi anak, residen melakukan pengelolaan kasus pada anak – anak yang mengalami infeksi pada sistem pernapasan, pencernaan, persarafan, perkemihan, dan kardiovaskuler. Kasus yang dikelola pada anak yang mengalami infeksi pada sistem pernapasan adalah pneumonia, TBC, dua kasus tersebut yang paling sering ditemui selama praktik. Kasus yang dikelola pada anak yang mengalami infeksi pada sistem pencernaan adalah hepatitis, diare, high output stoma pada anak pasca kolostomi, dan ileostomi. Kasus yang dikelola pada anak yang mengalami infeksi pada sistem persarafan adalah meningitis, ensefalitis, epilepsi, dan infeksi pasca
Universitas Indonesia Aplikasi model ..., Desak Putu Kristian Purnamiasih, FK UI, 2014
35
pemasangan shunt. Kasus yang dikelola pada anak yang mengalami infeksi pada sistem perkemihan adalah ISK. Kasus yang dikelola pada anak yang mengalami infeksi pada sistem kardiovaskuler adalah endokarditis.
Kompetensi prosedural yang diperoleh residen selama praktik residensi merupakan prosedur mandiri, dan kolaborasi dengan tenaga kesehatan lainnya. Pada kasus infeksi sistem pernapasan, kompetensi yang diperoleh adalah pemberian terapi inhalasi pada anak menggunakan nebulizer, melakukan fisioterapi dada, penghisapan lendir pada anak yang menggunakan trakeostomi ataupun tidak. Pada kasus infeksi sistem pencernaan, kompetensi yang diperoleh adalah melakukan pemasangan NGT, pemberian nutrisi enteral melalui NGT maupun gastrostomi, memberikan edukasi tentang cara memberikan makanan melalui NGT serta pentingnya pemberian ASI pada bayi. Selain itu, residen juga melakukan pemberian enema pada anak yang mengalami konstipasi, perawatan stoma, memberikan edukasi pada orang tua tentang personal hygiene yang baik pada anak yang mengalami diare untuk menghindarkan anak dari iritasi ataupun penyebaran infeksi bagi keluarga yang mendampingi. Pada kasus infeksi sistem persarafan, residen melakukan pemantauan tingkat kesadaran, tanda – tanda peningkatan TIK, memantau refleks fisiologis, dan patologis, melakukan persiapan pada anak yang akan dilakukan tindakan lumbal pungsi. Pada kasus infeksi sistem perkemihan, residen melakukan pengambilan spesimen urin, juga melakukan perawatan dan edukasi tentang genetalia. Kompetensi lain yang dicapai selama praktik residensi adalah mengoperasikan infusion pump, syringe pump, alat – alat suction, penggunaan alat – alat emergency, bedside monitor, pengambilan spesimen untuk pemeriksaan laboratorium.
3.2 Peran Spesialis Keperawatan Anak 3.2.1 Care giver Perawat sebagai care giver atau pemberi asuhan keperawatan diterapkan residen selama praktik dengan memberikan asuhan keperawatan
Universitas Indonesia Aplikasi model ..., Desak Putu Kristian Purnamiasih, FK UI, 2014
36
menggunakan aplikasi model adaptasi Roy. Aplikasi model adaptasi Roy bersifat komprehensif karena memandang klien sebagai suatu sistem. Memberi asuhan keperawatan menggunakan model adaptasi Roy dimulai dari pengkajian stimulus, dan pengkajian perilaku. Tahapan selanjutnya adalah menentukan diagnosa keperawatan berdasarkan penilaian perilaku yang paling relevan dengan stimulus. Sebelum menentukan intervensi, tujuan harus ditetapkan mencakup perilaku yang hendak diubah, perubahan yang diharapkan, dan waktu yang diperlukan. Intervensi keperawatan dilakukan untuk menghasilkan perubahan perilaku klien. Tahapan terakhir adalah evaluasi, pada tahap ini dilakukan penilaian keefektifan intervensi keperawatan yang telah diimplementasikan, dan sejauh mana tujuan telah tercapai. 3.2.2 Client Advocate Sebagai client advocate, perawat melakukan tugas untuk membela kepentingan
klien
dengan
cara
memberikan
informasi
tentang
tindakan/therapi yang diterima klien sehingga klien mampu mengambil keputusan yang tepat selama perawatan (James, Nelson, & Ashwill, 2013). Selama praktik, residen melaksanakan peran ini melalui beberapa tindakan yaitu memeriksa, dan memastikan bahwa kondisi klien stabil sebelum dibawa ke ruang pemeriksaan diagnostik. Tindakan terkait atraumatic care yang berhubungan dengan peran ini adalah meminta orang tua selalu mendampingi klien dalam setiap tindakan perawatan. 3.2.3 Counsellor Perawat sebagai counsellor bertugas untuk memberikan pemahaman bagi klien tentang perkembangan kondisi kesehatan yang dialami klien. Perilaku klien terhadap kondisi yang dialami, dan semua intervensi yang sudah ditetapkan, dan dilakukan untuk menghasilkan perilaku adaptif (James, Nelson, & Ashwill, 2013). Residen selama praktik menjalankan peran ini dengan cara memberikan penjelasan tentang kondisi klien sesuai hasil pemeriksaan tanda – tanda vital, dan pemeriksaan fisik yang didapat serta tindakan yang telah dilakukan sebelumnya ataupun tindakan selanjutnya. Memberikan penjelasan pada saat orang tua memutuskan
Universitas Indonesia Aplikasi model ..., Desak Putu Kristian Purnamiasih, FK UI, 2014
37
bahwa anaknya akan dirawat di rumah walaupun kondisi anak belum baik. Memberikan penjelasan saat orang tua klien memberikan pernyataan bahwa kondisi anaknya tidak akan normal seperti anak – anak lainnya, serta memberikan dukungan ketika orang tua ingin bergabung dengan komunitas orang tua yang mempunyai anak dengan kondisi yang sama. 3.2.4 Educator Peran perawat sebagai edukator adalah memberikan pendidikan kesehatan pada klien, dan keluarga tentang tindakan – tindakan yang akan diterima klien. Meningkatkan pengetahuan klien, dan kelurga tentang tentang tindakan – tindakan preventif, dan kuratif untuk merawat dalam kondisi sakit serta mencegah penyebaran penyakit ataupun mencegah timbulnya penyakit infeksi lainnya (James, Nelson, & Ashwill, 2013). Residen melaksanakan peran ini dengan cara memberikan edukasi pada keluarga tentang personal hygiene yang benar, perawatan metode kangguru, fungsi ASI bagi bayi, perawatan kolostomi/ileostomi, tehnik suctioning pada anak dengan trakeostomi, pemberian terapi inhalasi, pemberian nutrisi melalui NGT. 3.2.5 Collaborator Sebagai kolaborator, residen melakukan kerjasama dengan profesi kesehatan lainnya yaitu dokter, apoteker, ahli gizi, petugas fisioterapi, petugas laboratorium, petugas radiologi pada setiap intervensi yang akan diberikan pada klien (James, Nelson, & Ashwill, 2013). Pada proses kolaborasi,
residen
melakukan
komunikasi
dengan
dasar
dari
perkembangan kondisi klien, respon, dan toleransi klien terhadap tindakan yang telah diberikan. 3.2.6 Change Agent Peran perawat sebagai pembawa perubahan adalah mengadakan inovasi dalam memberikan asuhan keperawatan pada klien untuk mencapai perilaku adaptif pada klien, dan keluarga (James, Nelson, & Ashwill, 2013). Pada peran sebagai change agent, residen melakukan pemberian asuhan keperawatan berdasarkan evidence based practice. Evidence based practice yang diterapkan residen selama praktik residensi adalah
Universitas Indonesia Aplikasi model ..., Desak Putu Kristian Purnamiasih, FK UI, 2014
38
penggunaan non nutritive sucking untuk mengurangi nyeri pada bayi yang akan dilakukan tindakan, pemberian posisi prone untuk meningkatkan saturasi oksigen, perawatan metode kangguru. Residen juga melakukan proyek inovasi secara berkelompok, dan individu di ruang rawat bedah anak (BCh), dan ruang rawat infeksi. Di ruang BCh residen bersama kelompok melakukan proyek inovasi berupa pemeberian edukasi perawatan stoma menggunakan media audio visual, untuk lebih mempermudah pemahaman keluarga dalam memahami tehnik perawatan. Di ruang rawat infeksi residen melakukan proyek inovasi secara individu, yaitu pemberian penghangat kering pada anak untuk memudahkan pemasangan akses vena.
Universitas Indonesia Aplikasi model ..., Desak Putu Kristian Purnamiasih, FK UI, 2014
BAB 4 PEMBAHASAN
4.1 Pembahasan
Penerapan
Teori
Keperawatan
dalam
Asuhan
Keperawatan 4.1.1 Pengkajian Pengkajian menurut model adaptasi Roy meliputi pengkajian tahap pertama, dan pengkajian tahap ke – 2. Pengkajian tahap pertama adalah pengkajian perilaku. Pengkajian perilaku mencakup pengkajian fisiologis terdiri atas oksigenasi, nutrisi, eliminasi, aktivitas dan istirahat, proteksi, penginderaan, cairan dan elektrolit, fungsi neurologi, fungsi endokrin, pengkajian interdependensi, pengkajian konsep diri serta pengkajian fungsi peran. Pengkajian tahap ke – 2 adalah pengkajian tentang stimulus fokal, kontekstual, dan residual pada keempat model adaptasi yang dapat mempengaruhi perilaku subyektif serta obyektif klien (Tomey & Alligood, 2010). Pada pengkajian anak, riwayat kesehatan fisiologis, dan psikologis anak sebelum sakit perlu dikaji dengan melihat usia perkembangan anak, kondisi keluarga, budaya serta spiritual dalam keluarga, proses ini harus melibatkan keluarga (Wong, Hockenberry, Willson, Winkelstein, & Schwartz, 2009).
Kebutuhan cairan dihitung berdasarkan berat badan anak per hari, dan pengeluran urin dihitung berdasarkan kelompok usia anak James, Nelson, & Ashwill (2013). Sumber yang paling umum dari peningkatan kehilangan cairan adalah saluran gastrointestinal dari muntah, diare, atau keduanya (misalnya, gastroenteritis). Sumber-sumber lain adalah ginjal (misalnya, ketoasidosis diabetik), kulit (misalnya, keringat berlebihan, luka bakar). Penurunan asupan cairan sangat bermasalah ketika anak muntah, saat cuaca panas, dan ketika demam, takipnea, atau keduanya (Potts, & Mandleco, 2012). Demam meningkatkan IWL sebanyak 12% setiap 1°C kenaikan suhu tubuh (Behrman, Kliegman, & Arvin, 2000). Parameter untuk menentukan derajat dehidrasi memerlukan pemantauan tanda-tanda
39
Universitas Indonesia
Aplikasi model ..., Desak Putu Kristian Purnamiasih, FK UI, 2014
40
vital, penampilan klinis, produksi urine dan berat jenis, berat badan, dan kadar elektrolit serum. (James, Nelson, & Ashwill, 2013).
Pengkajian pada kasus kelolaan tentang gangguan keseimbangan cairan sangat berkesinambungan dengan menggunakan model adaptasi Roy. Pengkajian tentang gangguan keseimbangan cairan meliputi intake, dan rute pemenuhan cairan, turgor kulit, mukosa bibir, adanya edema/tidak, hasil pemeriksaan elektrolit, analisa gas darah. Cairan, dan elektrolit sebagai mediator dari sistem regulator akan mempengaruhi fungsi ginjal dalam mengatur keseimbangan cairan, dan asam basa.
Pengkajian tentang gangguan keseimbangan cairan menggunakan model adaptasi roy bersifat multifokal dengan dasar bahwa klien dipandang sebagai individu, dan makhluk bio-psiko-sosio-spiritual. Kondisi biopsiko-sosio-spiritual mencakup banyak aspek sehingga memerlukan tugas yang sangat banyak bagi perawat untuk melakukan pengkajian. Pengetahuan perawat tentang patofisiologi penyakit, dan keterampilan dalam pengkajian sangat diperlukan dalam menggunakan model adaptasi Roy (Christensen & Kenney, 2009).
Lima klien pada kasus kelolaan merupakan anak dalam berbagai kelompok usia. Dua klien termasuk kelompok usia bayi, satu klien termasuk kelompok toddler, sedangkan dua klien lainnya termasuk kelompok anak usia sekolah, dan remaja. Perilaku yang ditunjukkan dari hasil pengkajian pada kelima klien kelolaan menunjukkan perilaku yang berbeda sesuai dengan derajat dehidrasi, dan usia klien. Pada penelitian yang dilakukan oleh Whittemore, Jaser dan Guo (2010) tentang pengkajian pada anak dengan penyakit diabetes mellitus tipe 1 menunjukkan bahwa karakteristik usia, status sosial ekonomi, penggunaan alat – alat kesehatan, respon psikososial (gejala depresi dan respon kecemasan), dan fungsi keluarga mempengaruh adaptasi. Para pasien yang menjalani pengobatan dalam waktu yang lama dapat mengalami gangguan fisik seperti kelelahan,
Universitas Indonesia Aplikasi model ..., Desak Putu Kristian Purnamiasih, FK UI, 2014
41
gangguan integritas kulit, gangguan cairan, dan elektrolit. Pengalaman dalam perubahan fisiologis dapat mempengaruhi fungsi peran pasien (interaksi sosial dengan teman sebaya), dan saling ketergantungan dengan keluarga (Bilal, Badr, & Al-Atiyyat 2014). 4.1.2 Diagnosa Keperawatan Pernyataan diagnosa menspesifikkan perilaku yang mengarah pada diagnosa dan penilaian berdasarkan stimulus yang mengancam atau mencetuskan adaptasi. Diagnosa keperawatan ditentukan berdasarkan penilaian perilaku yang paling relevan dengan stimulus/rangsangan (Tomey & Alligood, 2010). Pada keperawatan anak diagnosa keperawatan terdiri atas 3 komponen yaitu masalah yang menggambarkan respon anak terhadap etiologi, etiologi yang menggambarkan faktor yang menyebabkan masalah, tanda dan gejala yang mengacu pada batasan karakteristik yang didapat dari pengkajian menunjukkan masalah kesehatan aktual (Wong, Hockenberry, Willson, Winkelstein, & Schwartz, 2009).
Diagnosa keperawatan tentang gangguan keseimbangan cairan yang muncul pada kasus kelolaan adalah diagnosa aktual, dan risiko. Diagnosa aktual tentang gangguan keseimbangan cairan adalah kekurangan volume cairan. Kekurangan volume cairan menurut Wilkinson dan Ahern (2009) adalah penurunan cairan intravaskular, interstisial, atau intrasel. Diagnosa ini merujuk pada dehidrasi yang merupakan kehilangan cairan saja. Diagnosa risiko tentang gangguan keseimbangan cairan adalah risiko kekurangan volume cairan. Risiko kekurangan volume cairan menurut Wilkinson dan Ahern (2009) adalah kondisi individu yang beresiko mengalami dehidrasi vaskular, selular, atau intraselular.
Dehidrasi
isonatremia (tingkat sodium dari 138-145 mEq/L), adalah
bentuk paling umum dari dehidrasi pada anak yang disebabkan oleh muntah, diare, kehilangan cairan melalui pernapasan, sistem integumen, penurunan intake cairan per oral yang disertai peningkatan aktivitas (James, Nelson, & Ashwill, 2013). Penelitian yang dilakukan oleh Begum,
Universitas Indonesia Aplikasi model ..., Desak Putu Kristian Purnamiasih, FK UI, 2014
42
Hoque, Hussain, Hasan, dan Molla (2010) pada anak usia 1 – 44 bulan yang mengalami diare akut menunjukkan bahwa hipokalemia ditemukan pada 27 (30,1%) responden, dan hiponatremia 13 (15,1%) responden. Rata – rata natrium yang ditemukan pada penelitian tersebut adalah 135,3 meq/l (105 – 148 meq/l), dan rata – rata kalium 3,9 meq/l (1,5 – 5,7 meq/l). Anak-anak penderita gizi buruk kelompok umur 6 – 24 bulan yang mengalami diare dan muntah, pada suatu penelitian ditemukan lebih banyak mengalami hiponatremia (p=0,019) dan hipokalemia (p=0,018) dibandingkan dengan kelompok gizi buruk yang hanya mengalami muntah (Gangaraj, Das, & Madhulata, 2013).
Pada lima kasus kelolaan, stimulus fokal yang menyebabkan kehilangan volume cairan adalah diare, muntah, dan intake yang tidak adekuat. Stimulus kontekstual adanya penyakit penyerta yaitu infeksi saluran pernapasan, infeksi pada saluran pencernaan, kondisi pasca operasi, dan demam. Perilaku inefektif yang ditemukan pada lima klien kelolaan akibat adanya stimulus tersebut adalah rasa haus, mata cekung, mukosa bibir kering, penurunan berat badan, mengeluh badan terasa lemah, gelisah, dan rewel. Pada pemeriksaan tanda – tanda vital didapatkan sebagian besar tanda – tanda vital klien dalam batas normal, ada satu klien yang mengalami peningkatan suhu tubuh, dan peningkatan frekuensi denyut nadi. Perilaku inefektif juga ditemukan pada 1 klien kelolaan yaitu hasil pemeriksaan laboratorium elektrolit, dan analisa gas darah, walaupun pemeriksaan dilakukan pada hari sebelum pengkajian dilakukan. Empat klien kelolaan menunjukkan bahwa nilai laboratorium elektrolit masih dalam rentang nilai normal, sesuai dengan hasil penelitian Begum, Hoque, Hussain, Hasan, dan Molla (2010), dan sumber yang menyebutkan bahwa dehidrasi yang paling umum dialami anak karena diare, dan muntah adalah dehidrasi isonatremia (James, Nelson, & Ashwill, 2013). 4.1.3 Tujuan Tujuan yang ditetapkan pada masing – masing kasus kelolaan didasarkan pada perilaku inefektif yang terkait dengan gangguan keseimbangan cairan
Universitas Indonesia Aplikasi model ..., Desak Putu Kristian Purnamiasih, FK UI, 2014
43
pada klien yang ditemukan oleh residen. Hasil yang diharapkan dalam penetapan tujuan adalah perilaku adaptif. Tujuan yang dibuat oleh residen pada 5 kasus kelolaan melibatkan klien, dan keluarga mencakup perilaku yang hendak diubah menjadi adaptif, bentuk perilaku yang hendak diubah menjadi adaptif dengan melihat usia perkembangan anak, serta pengetahuan keluarga. Waktu untuk pencapaian tujuan dibuat dengan melibatkan klien, dan keluarga dengan mempertimbangkan usia anak, penyakit penyerta, dan kondisi anak pada saat dilakukan pengkajian. Waktu untuk pencapaian tujuan dibuat dengan melihat respon, dan kemauan keluarga sebagai faktor pendukung untuk kesembuhan klien (Tomey, & Alligood, 2010).
Pencapaian tujuan memerlukan pemahaman yang baik dari klien maupun keluarga. Melalui peran perawat sebagai counsellor, dan educator, pemberian informasi tentang kondisi klien pada keluarga menjadi bagian yang penting bagi perawat dalam menetapkan tujuan bersama klien, dan keluarga. Keputusan yang diambil keluarga, dan klien dalam pencapaian tujuan memerlukan konseling yang baik dari perawat. 4.1.4 Intervensi Intervensi yang dilakukan pada klien kelolaan menggunakan model adaptasi Roy bertujuan untuk mengelola stimulus, dengan cara menyingkirkan, meningkatkan, mengurangi, dan mengubah stimulus, sehingga individu dapat beradaptasi, dan menunjukkan perilaku adaptif (Christensen & Kenney, 2009). Intervensi yang diberikan pada klien adalah untuk mencegah kejadian terulang kembali. Komunikasi yang digunakan dalam intervensi harus jelas, sederhana sehingga mudah dipahami klien, dan keluarga. Bekerjasama dengan klien, dan kelurga perlu dilakukan dalam menyiapkan intervensi, karena klien dan keluarga mempunyai otonomi (Bennett & Nayduch, 2004).
Intervensi terkait cairan yang diberikan pada klien kelolaan adalah memberikan cairan rehidrasi enteral, dan parenteral, menghitung intake,
Universitas Indonesia Aplikasi model ..., Desak Putu Kristian Purnamiasih, FK UI, 2014
44
dan output cairan, menganjurkan ibu untuk tetap memberikan ASI, mengajarkan pemberian cairan oral melalui NGT dengan feeding tube, memberikan syrup Zinc, dan menimbang berat badan klien setiap hari.
Pemberian cairan rehidrasi enteral berdasarkan bukti penelitian, dapat mengurangi kematian akibat diare hingga 93%, karena co transport glukosa dan natrium di seluruh lapisan epitel di usus halus mendukung efek perlindungan dari penggunaan rehidrasi oral terhadap kehilangan cairan dan elektrolit (Munos, Walker, & Black, 2010). Intervensi ini merupakan tindakan untuk mengurangi stimulus, dengan cara pemberian glukosa, dan natrium untuk mempertahankan kondisi usus, dan mengganti kehilangan cairan.
Menghitung intake, dan output cairan serta menimbang berat badan dilakukan untuk menyingkirkan stimulus, yaitu menghindari klien terjadi kekurangan atau kelebihan cairan. Selama praktik, residen menerapkan family centered care dengan cara melibatkan keluarga untuk bekerjasama menghitung intake, dan output cairan melalui pencatatan di buku harian. Residen juga memberitahu ibu klien untuk tetap berusaha memberikan ASI, terutama pada klien usia bayi, walaupun klien mendapatkan susu formula juga di RS. Ibu pada dua klien kelolaan memang beralasan tidak memberikan ASI, karena ASI yang keluar sedikit, tetapi residen tetap memotivasi ibu klien untuk memompa ASI. Menurut penelitian, risiko kematian bayi akibat diare lebih tinggi pada bayi yang tidak mendapatkan ASI eksklusif dibandingkan dengan bayi yang mendapatkan ASI eksklusif (Lamberti, Walker, Noiman, Victora, & Black, 2011). Bayi usia 9-11 bulan yang tidak disusui, kejadian infeksi rotavirus jauh lebih tinggi (82%) dibandingkan dengan bayi dalam kelompok usia 0-5 bulan (57%) (Dey et al., 2013).
Pemberian intervensi keperawatan pada kasus kelolaan menggunakan model adaptasi Roy secara umum mampu dikelola dengan baik karena
Universitas Indonesia Aplikasi model ..., Desak Putu Kristian Purnamiasih, FK UI, 2014
45
stimulus yang menimbulkan perilaku inefektif sudah diketahui pada saat pengkajian.
Pengelolaan
stimulus
dengan
memberikan
intervensi
berdasarkan evidence based practice meningkatkan adaptasi klien terhadap gangguan keseimbangan cairan. Hambatan dalam aplikasi model adaptasi Roy dalam intervensi keperawatan secara umum adalah memerlukan pertimbangan berbagai aspek untuk menentukan intervensi yang tepat. Intervensi yang tepat memerlukan pengkajian yang lama, dan mendalam untuk mengetahui stimulus yang mempengaruhi perilaku inefektif. 4.1.5 Evaluasi Evaluasi pada 5 kasus kelolan tentang diagnosa keperawatan kekurangan volume cairan mencapai perilaku yang adaptif pada 4 klien kelolaan, sedangkan 1 klien meninggal karena syok hipovolemia. Waktu pencapaian perilaku adaptif pada 4 klien kelolaan berbeda – beda karena usia, penyakit penyerta, serta keterlibatan keluarga sebagai faktor pendukung. Intervensi yang diberikan residen untuk mengelola stimulus, melalui intervensi mandiri bersama keluarga, dan kolaborasi dengan profesi lain. Pengelolaan gangguan keseimbangan cairan tidak memerlukan waktu lama pada empat klien kelolaan, karena intervensi yang diberikan merupakan aplikasi dari evidence based practice. Evaluasi pada 1 klien kelolaan menunjukkan perilaku inefektif karena syok hipovolemia. Syok hipovolemia merupakan efek dari stimulus fokal, kontekstual, dan residual yang berlangsung sangat lama, sehingga untuk mengelola stimulus tersebut cukup sulit, walaupun intervensi yang diberikan sudah ditujukan untuk mengelola semua stimulus yang dihadapi klien.
Evaluasi menunjukkan bahwa tidak semua klien mencapai perilaku adaptif. Ketika perilaku adaptif tidak tercapai maka intervensi yang dilakukan terkait gangguan keseimbangan cairan adalah memberikan intervensi yaitu pemberian cairan parenteral dengan tetesan cepat menuju vena central. Pemberian cairan oral tidak dilakukan karena kondisi klien tidak memungkinkan untuk diberikan. Ketika loading cairan tidak mampu mengatasi kondisi syok hipovolemia, maka klien diberikan transfusi PRC.
Universitas Indonesia Aplikasi model ..., Desak Putu Kristian Purnamiasih, FK UI, 2014
46
Kondisi syok mempengaruhi sirkulasi, dan tanda – tanda vital klien, untuk mempertahankan tanda – tanda vital klien yang mengalami penurunan, dilakukan pemberian dopamin, dan dobutamin.
4.2 Pembahasan Praktik Spesialis Keperawatan Anak dalam Pencapaian Kompetensi Kompetensi yang didapat residen selama melaksanakan praktik residensi di RSCM sebagian besar sesuai dengan yang diharapkan, dan sesuai dengan rencana yang telah dibuat dalam kontrak belajar. Pengelolaan kasus yang dilakukan selama praktik residensi I meliputi kasus yang terdapat pada neonatus saat di ruang perinatologi, kasus bedah pada bayi, dan anak saat praktik di ruang bedah, dan kasus infeksi pada bayi, dan anak saat praktik di ruang rawat infeksi anak.
Pada praktik residensi I di ruang perinatologi, residen melewati beberapa ruangan yang merawat neonatus dalam kondisi kegawatan, sakit berat, sampai dengan neonatus dalam kondisi pemulihan. Pengelolaan kasus yang beragam pada neonatus dari kondisi sakit ringan sampai berat memberikan pengalaman belajar, dan praktik yang bervariasi bagi residen. Residen tidak melewati NICU saat praktik di ruang perinatologi, tetapi mendapat informasi tentang penggunaan ventilator, dan CPAP oleh salah satu perawat di ruang perinatologi. Informasi tersebut menambah ilmu pengetahuan residen tentang alat – alat perawatan.
Praktik di ruang bedah anak menjadi sesuatu yang menarik bagi residen, walaupun residen tidak mengikuti pelaksanaan operasi secara langsung, tetapi hanya mengelola kasus pada pra, dan pasca operasi. Pencapaian kompetensi yang diperoleh di ruang bedah anak adalah menerapkan evidence based practice dalam pemberian asuhan keperawatan. Salah satu pelaksanaannya adalah pembuatan media audio visual untuk memberikan edukasi pada orang tua tentang perawatan stoma. Penerapan evidence based practice ini
Universitas Indonesia Aplikasi model ..., Desak Putu Kristian Purnamiasih, FK UI, 2014
47
mendapat dukungan penuh dari perawat ruangan, serta apresiasi yang baik dari PPDS, dan dokter bedah konsultan.
Ruangan terakhir pada praktik residensi I yang digunakan oleh residen adalah ruang rawat infeksi anak. Di ruangan ini kasus yang dikelola sangat beragam, dan mencakup semua sistem tubuh manusia. Penerapan evidence based practice di ruang rawat infeksi sudah dilakukan hampir di semua intervensi keperawatan oleh perawat di ruangan. Kolaborasi dengan dokter, ahli gizi berjalan dengan sangat baik, sehingga proses perawatan pasien dapat berlangsung dengan lancar.
Praktik residensi II dilaksanakan di ruang rawat infeksi juga, karena sesuai dengan peminatan residen. Selama pelaksanaan praktik di ruang rawat infeksi residen juga mengelola kasus yang beragam. Pencapaian kompetensi dalam pengelolaan kasus, dan kompetensi prosedural dapat dicapai residen pada praktik residensi II ini. Penerapan evidence based practice dapat dicapai karena perawat di ruangan sudah menerapkan hal itu sebelumnya. Residen mendapatkan pengalaman dalam menjalankan peran perawat sebagai care giver, advocate, pendidik, counsellor, collaborator, dan juga change agent.
Universitas Indonesia Aplikasi model ..., Desak Putu Kristian Purnamiasih, FK UI, 2014
BAB 5 SIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan Sumber yang paling umum dari peningkatan kehilangan cairan adalah saluran gastrointestinal dari muntah, diare, atau keduanya (misalnya, gastroenteritis). Penanganan dehidrasi memerlukan manajemen cairan yang akurat dari petugas kesehatan, perawat sebagai care giver yang berada di samping pasien selama 24 jam harus mampu melaksanakan manajemen cairan dengan akurat. Aplikasi teori keperawatan dalam pemberian asuhan keperawatan menjadi dasar bagi perawat dalam menganalisa, dan bertindak dengan tepat dalam merawat klien.
Aplikasi model adaptasi Roy dalam menangani masalah cairan pada anak berorientasi pada tujuan, pendekatan pemecahan masalah yang menuntun dalam penetapan keperawatan yang komprehensif karena semua stimulus yang berefek pada perilaku inefektif terkait cairan dikaji, dan dianalisis. Pengkajian perilaku, dan pengkajian stimulus memberikan gambaran bagi perawat tentang hubungan sebab akibat. Pengkajian kedua hal tersebut memudahkan analisis perawat untuk menilai diagnosa keperawatan yang terjadi pada klien. Diagnosa keperawatan ditentukan berdasarkan penilaian perilaku yang paling relevan dengan stimulus, bersifat aktual, dan potensial yang mengancam adaptasi klien. Tujuan ditetapkan untuk mengubah perilaku inefektif menjadi adaptif dengan melibatkan klien, dan keluarga. Dalam rangka mengubah perilaku, perawat memberikan intervensi dengan mempertimbangkan, dan menganalisa stimulus yang berefek pada perilaku menjadikan perawat mampu dalam mengelola stimulus dengan cara mengurangi, menyingkirkan, ataupun menghilangkan stimulus. Evaluasi menjadi output terhadap asuhan keperawatan yang diberikan, dengan menilai perilaku yang dicapai klien adaptif atau inefektif.
48
Universitas Indonesia
Aplikasi model ..., Desak Putu Kristian Purnamiasih, FK UI, 2014
49
Kompetensi sebagai perawat spesialis selama praktik residensi I, dan residensi II memenuhi pencapaian dalam peran perawat sebagai care giver, counsellor, educator, client advocate, collaborator, dan change agent. Melalui penerapan model adaptasi Roy dalam memberikan asuhan keperawatan menjadi mediator dalam pencapaian peran tersebut. Pengalaman tidak hanya diperoleh residen dalam memberikan asuhan keperawatan pada klien, tetapi pengalaman tentang penggunaan alat – alat kesehatan yang sebelumnya residen belum pernah gunakan dalam merawat klien. 5.2 Saran 5.2.1 Perawat Aplikasi model adaptasi Roy dalam memberikan asuhan keperawatan bagi klien bersifat komprehensif, dan berkesinambungan. Pada penerapannya perawat harus mempunyai kompetensi dalam menganalisa aplikasi model tersebut dalam asuhan keperawatan. 5.2.2
Pendidikan Keperawatan Teori keperawatan yang bervariasi memerlukan penelitian lebih lanjut, termasuk aplikasi model adaptasi Roy perlu lebih banyak digunakan dalam penelitian keperawatan anak. Diharapkan dengan adanya penelitian tersebut perawat dapat mengaplikasikan teori dengan cara yang tepat.
5.2.3
Asuhan Keperawatan Asuhan keperawatan pada klien yang mengalami gangguan kebutuhan cairan memerlukan pengkajian mendalam dari perawat. Indikator gangguan cairan, patofisiologi gangguan cairan, dan manajemen cairan harus dipelajari lebih mendalam bagi perawat.
5.2.4 Ruang Rawat Infeksi Anak RSUPN DR. Cipto Mangunkusumo Penerapan asuhan keperawatan komprehensif yang dikombinasikan dengan penerapan evidence based practice akan meningkatkan mutu asuhan keperawatan.
Universitas Indonesia Aplikasi model ..., Desak Putu Kristian Purnamiasih, FK UI, 2014
DAFTAR REFERENSI
Begum, J.A., Hoque, M.M., Hussain, M., Hasan, M.N.A., & Molla, M.H. (2010). Impact of electrolyte disturbances in outcome of acute diarrhoea in children. DS(Child) H J, 26 (1), 36-40. Bennett, V.J,. & Nayduch, D. (2004). Caring for the adolescent trauma patient in the adult critical care nursing. Journal of Trauma Nursing, 11(3), 111-116. Behrman, R.E., Kliegman, R.M., & Arvin, A.M. (2000). Ilmu kesehatan anak. (A. Samik Wahab, penerjemah). Jakarta: EGC. Bilal, S.H., Badr, B.S.H., & Al-Atiyyat, N.M.H. (2014). The relationship between pain experience and Roy adaptation model: Application of theoretical framework. Middle East Journal of Nursing, 8(1). Christensen, P.J., & Kenney, J.W. (2009). Proses keperawatan: Aplikasi model konseptual ( Yuyun Yuningsih, Yasmin Asih, Penerjemah). Jakarta:EGC. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Laporan Hasil Riset Kesehatan Dasar Indonesia (Riskesdas). 2013. Dey, S.K., Chisti, M.J., Das, S.K., Shaha, C.K., Ferdous, F., Farzana, F.D., ...Salam, M.A. (2013). Characteristics of diarrheal illnesses in non-breast fed infants attending a large urban diarrheal disease hospital in Bangladesh. www.plosone.org Fergusson, D. (2008). Clinical assesment and monitoring in children. UK:Blackwell Publishing. Gangaraj, S., Das, G., & Madhulata, S. (2013). Electrolytes and blood sugar changes in severely acute malnourished children and its association with diarrhoea and vomiting. International Journal of Pharmaceutical Science Invention, 2(5), 33-36. James, S. R., Nelson, K. A., & Ashwill, J. W. (2013). Nursing care of children. Fourth Edition. Missouri:Elsevier. Juffrie, M., Soenarto, S.S.Y., Oswari, H., Arief, S., Rosalina, I., & Mulyani, N.S. (2012). Buku ajar gastroenterologi – hepatologi anak. Jakarta:Badan Penerbit IDAI. Lamberti, L.M., Walker, C.L.F., Noiman, A., Victora, C., & Black, R.E. (2011). Breastfeeding and the risk for diarrhea morbidity and mortality. http://www.biomedcentral.com/1471-2458/11/S3/S15.
50
Universitas Indonesia
Aplikasi model ..., Desak Putu Kristian Purnamiasih, FK UI, 2014
51
Munos, M.K., Walker, C.L.F., & Black, R.F. (2010). The effect of oral rehydration solution and recommended home fluids on diarrhoea mortality. International Journal of Epidemiology, 39, i75–i87. Potts, N.L., & Mandleco, B.L. (2012). Pediatric nursing: Caring for children and their families. (3rd ed.). Canada:Delmar. Sherwood, L. (2011). Fisiologi manusia dari sel ke sistem (Brahm.U.Pendit, Penerjemah). Edisi 6. Jakarta:EGC. Silbernagl, S., & Lang, F. (2013). Teks dan atlas berwarna: Patofisiologi. Jakarta:EGC. Tomey, A. M. & Alligood, M. R. (2010). Nursing theorist and their work. (seventh ed). Missouri:Mosby Elsevier. Whittemore, R., Jaser, S., Guo., J., & Grey, M. (2010). A conceptual model of childhood adaptation to type 1 diabetes. Nurs Outlook, 58(5), 242-251. Wilkinson, J.M., & Ahern, N.R. (2009). Buku saku diagnosis keperawatan (Esty Wahyuningsih, Penerjemah). Jakarta:EGC. Wong, L. D., Hockenberry, M., Willson, D., Winkelstein, M., & Schwartz, P. (2009). Buku ajar keperawatan pediatrik (Agus Sutarna, Eni Juniarti & H.Y Kuncara, Penerjemah). Jakarta:EGC.
Universitas Indonesia
Aplikasi model ..., Desak Putu Kristian Purnamiasih, FK UI, 2014
Lampiran 1
UNIVERSITAS INDONESIA
LAPORAN KEGIATAN PROYEK INOVASI PENGGUNAAN PENGHANGAT KERING UNTUK MEMUDAHKAN PEMASANGAN AKSES VENA DI RUANG RAWAT INFEKSI ANAK RSUPN DR. CIPTO MANGUNKUSUMO
DESAK PUTU KRISTIAN PURNAMIASIH 1106122386
PROGRAM SPESIALIS KEPERAWATAN ANAK FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN UNIVERSITAS INDONESIA GANJIL, 2013/2014
Aplikasi model ..., Desak Putu Kristian Purnamiasih, FK UI, 2014
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Tema Proyek Menggunakan penghangat kering untuk memudahkan akses vena perifer pada anak berdasarkan Evidence Based Nursing di ruang rawat infeksi RSCM.
1.2 Latar Belakang Pemasangan akses vena merupakan prosedur medis invasif yang paling umum dilakukan pada pasien di rumah sakit. Pemasangan akses vena dilakukan dengan tujuan untuk memberikan cairan intravena, pemberian obat – obatan intravena, dan pemberian transfusi darah. Teknik yang bertujuan untuk meningkatkan keberhasilan saat melakukan insersi intravena sangat penting bagi petigas kesehatan. Setiap usaha yang gagal pada insersi intravena dapat meningkatkan ketidaknyamanan pasien, menunda terapi yang diperlukan, mengakibatkan stres pada petugas kesehatan saat melakukan prosedur, bahkan menimbulkan hubungan yang tidak baik antara pasien dengan petugas kesehatan (Roberge, 2004).
Pemasangan akses vena perifer pada anak memerlukan ketrampilan, dan tehnik yang tepat bagi petugas kesehatan. Suatu penelitian menyebutkan bahwa untuk mencapai akses vena pada anak membutuhkan waktu lebih dari setengah jam. Faktor – faktor yang menyebabkan kegagalan insersi vena pada anak adalah faktor dari pasien sendiri, penyakit yang dialami, dan pengobatan yang sedang dijalani. Kondisi vena yang rapuh terdapat pada usia anak yang kurang dari 3 tahun, sehingga dapat menimbulkan resiko pecahnya vena pada saat penusukan dengan jarum. Berat badan anak yang kurang atau melebihi nomal mempengaruhi visibilitas vena, karena ukurannya yang kecil. Kecemasan, takut nyeri, dan kondisi emosional anak menyebabkan vasokonstriksi vena, dan kemampuan klien untuk bekerjasama selama prosedur (Negri, Avelar, Andreoni, Pedreira, 2012).
Penanganan permasalahan kesulitan insersi intravena memerlukan tindak lanjut penelitian untuk mencoba metode yang tepat untuk memudahkan prosedur. 1 Aplikasi model ..., Desak Putu Kristian Purnamiasih, FK UI, 2014
2
Beberapa metode yang digunakan pada saat pemasangan akses intravena adalah penghangatan lokal, tehnik transiluminasi, penggunaan nitrogliserin pada epidermis, penggunaan akses vena sentral. Penghangatan lokal melebarkan vena dan mengurangi vasokonstriksi adrenergik. Pada tehnik ini, tangan atau lengan bawah dapat dihangatkan dengan membungkusnya dalam handuk yang dibasahi dengan air hangat atau merendam dalam air hangat. Penelitian yang dilakukan oleh Lenhard (2002) menilai efek dari prosedur ini dalam memfasilitasi penyisipan kanula vena, hasilnya menunjukkan bahwa penghangatan lokal dapat mengurangi waktu dan jumlah usaha yang diperlukan pada saat pemasangan akses vena. Menemukan akses vena pada bayi seringkali sulit, bayi mengalami dehidrasi, obesitas atau ketika pembuluh darah sering diakses, sehingga tidak ada lagi area yang bisa digunakan. Teknik transilluminasi telah digunakan untuk memfasilitasi tusukan arteri, dan vena. Penggunaan salep yang mengandung nitrogliserin telah digunakan untuk menghasilkan vasodilatasi kulit lokal. Penelitian menunjukkan peningkatan diameter pembuluh darah, dan tingkat keberhasilan yang lebih baik untuk insersi vena. Pemasangan akses vena sentral memungkinkan masukan cairan dalam volume besar dalam waktu yang singkat dan pada osmolaritas tinggi untuk rehidrasi, penggantian volume, kemoterapi dan nutrisi parenteral. Selain itu, memungkinkan pemantauan hemodinamik, dan administrasi yang cepat dari obat-obatan (Haas, 2004). RSCM merupakan rumah sakit rujukan nasional, dimana anak – anak yang dirawat di ruang infeksi anak sebagian besar mengalami penyakit infeksi akibat komplikasi dari satu penyakit tertentu. Berbagai macam tindakan invasif dapat dijalani oleh anak- anak tersebut, salah satunya adalah pemasangan akses vena. Hampir 100% anak yang dirawat di ruang infeksi anak RSCM mendapat tindakan pemasangan akses vena.
Ketrampilan dalam pemasangan akses vena di ruang rawat infeksi anak RSCM tentu tidak diragukan lagi. Tetapi kegagalan dalam pemasangan akses vena sering terjadi karena beberapa hal, yaitu anak kurang kooperatif, anak malnutrisi, dan dehidrasi sehingga vena sulit untuk dilihat dan dipalpasi. Cara yang dilakukan perawat di ruang infeksi untuk memudahkan pemasangan akses vena adalah menggunakan tourniquet sehingga vena lebih mudah dilihat. Bila cara
Aplikasi model ..., Desak Putu Kristian Purnamiasih, FK UI, 2014
3
tersebut akhirnya tetap gagal dilakukan, maka dilakukan kolaborasi pemasangan akses vena sentral.
Berdasarkan latar belakang tersebut, penulis tertarik untuk menerapkan metode menggunakan penghangat kering untuk memudahkan tindakan pemasangan akses vena pada anak selama prosedur di ruang infeksi RSCM.
1.3 Tujuan Penulisan 1. Tujuan Umum Menerapkan intervensi penggunaan penghangat kering untuk memudahkan pemasangan akses vena berdasarkan Evidence Based Nursing. 2. Tujuan Khusus a. Menerapkan intervensi menggunakan penghangat kering pada area yang akan dilakukan pemasangan akses vena. b. Memantau efek penghangat kering terhadap kemudahan dalam melihat dan palpasi vena selama prosedur.
1.4 Manfaat 1.
Rumah Sakit Sebagai upaya pelaksanaan asuhan keperawatan yang bersifat atraumatic care bagi anak di RSCM.
2.
Perawat Memudahkan perawat untuk melakukan tindakan pemasangan akses vena.
3.
Pasien Mengurangi resiko kegagalan prosedur bagi pasien, sehingga pasien dapat bersikap kooperatif untuk tindakan – tindakan invasif lainnya.
Aplikasi model ..., Desak Putu Kristian Purnamiasih, FK UI, 2014
BAB 2 TINJAUAN TEORI
2.1 Penghangat Kering Penempatan penghangat pada kulit akan meningkatkan respon pemanasan. Aliran darah kulit, biasanya 5% sampai 10% dari cardiac output, bisa meningkat menjadi 50% sampai 70% selama periode penghangatan. Peningkatan aliran darah kulit disebabkan oleh peningkatan aktivitas vasokonstriktor dan vasodilator simpatis. Pemberian kompres hangat lembab atau kering pada tangan (sebelumnya air dipanaskan sampai 52°C) selama 2 menit sebelum tindakan membuat suhu kulit menjadi 39°C – 42°C, dan menginduksi vasodilatasi optimal (Roberge, 2004).
Ketika pemberian penghangat lokal diterapkan pada kulit, nociceptors memulai akson – akson yang menyebabkan peningkatan aliran darah kulit. Selain itu, mekanisme respon aliran darah kulit berhubungan dengan kadar air kulit. Pengeringan kulit menyebabkan peningkatan osmolaritas dalam ruang interstitial dan ruang intraseluler dalam lapisan dermal . Jika sel-sel endotel yang mengelilingi sel-sel otot mengalami dehidrasi, peningkatan osmolaritas dapat menghambat aktivitas reseptor thermo endotel dan menumpulkan respon aliran darah. Jika saluran ion terhidrasi dengan baik, kalsium mungkin bergerak lebih mudah dan karena itu respon aliran darah lebih besar, dan akan terlihat pada pembuluh darah di kulit. Ini berarti untuk meningkatkan aliran darah kulit, kompres hangat merupakan cara yang lebih efektif dalam meningkatkan aliran darah kulit, (Petrofsky, et al, 2009).
2.2 Pemasangan Akses Vena Akses vena perifer biasanya diperlukan untuk terapi cairan atau obat pada anakanak dirawat di rumah sakit. Tempat pemasangan akses vena dipilih berdasarkan kemudahan, kenyamanan, dan jenis cairan yang dimasukkan. Pada kondisi tertentu mungkin diperlukan pemasangan akses vena sentral. Untuk vena – vena ekstremitas , hal terbaik yang harus dilakukan adalah memilih area vena paling distal, dan menghindari tangan dominan anak (Wong, 2009). 4 Aplikasi model ..., Desak Putu Kristian Purnamiasih, FK UI, 2014
5
Gambar berikut merupakan lokasi pemasangan akses vena pada ekstremitas yang umum digunakan pada anak:
2.3 Penyebab Kegagalan Pemasangan Akses Vena Akses vena perifer pada bayi dan remaja sulit karena pembuluh darah kecil. Alasan paling umum untuk kegagalan di pemasangan akses vena adalah hematoma pada pasien. Untuk mencegah komplikasi, posisi tourniquet harus berada pada bagian distal dengan maksud untuk mengurangi tekanan intravascular. Usia, jenis kelamin dan warna kulit menunjukkan kontribusi pada kegagalan insersi intravena. Usia menghambat perolehan akses vena, hal ini dibuktikan bahwa anak-anak yang kekurangan gizi beresiko untuk gagal saat dilakukan insersi intravena. Kerapuhan kapiler dan penurunan turgor jaringan salah satu alasan yang menyebabkan kegagalan dalam insersi intra vena pada anak kurang gizi. Dalam praktek sehari-hari, insersi pada anak-anak di rentang usia bayi, di mana proporsi lemak tubuh relatif lebih tinggi dibandingkan rentang usia lainnya, secara luas dipandang sebagai kesulitan terbesar pemasangan akses vena. Penelitian yang dilakukan oleh ahli anestesi dengan tujuan menunjukkan hubungan antara indeks massa tubuh dan fasilitas akses menunjukkan bahwa anak-anak obesitas mempunyai probabilitas yang lebih tinggi gagal dalam pemasangan akses vena bila dibandingkan untuk anak-anak yang kurus (Negri, Avelar, Andreoni, & Pedreira, 2012).
Aplikasi model ..., Desak Putu Kristian Purnamiasih, FK UI, 2014
BAB 3 PROFIL RSCM DAN ANALISIS MASALAH
3.1 Profil RSCM 1. Visi Menjadi Rumah Sakit Pendidikan dan Pusat Rujukan Nasional terkemuka di Asia Pasifik tahun 2014. 2. Misi
a. Memberikan pelayanan kesehatan paripurna dan bermutu serta terjangkau oleh semua lapisan masyarakat.
b. Menjadi tempat pendidikan dan penelitian tenaga kesehatan. c. Tempat penelitian dan pengembangan dalam rangka meningkatkan derajat kesehatan masyarakat melalui manajemen yang Dinamis dan Akuntabel. 3. Komitmen Kesehatan
dan
kepuasana
Senantiasa
memberikan
pelanggan
pelayanan
adalah
paripurna
Komitmen
yang
prima
kami untuk
meningkatkan kepuasan dan menumbuhkan kepercayaan pasien sebagai pelanggan utama kami. 4. Values (Nilai Utama)
a. Pasien adalah pelanggan yang utama b. Good corporate culture 5. Motto R=Respek S=Sigap C=Cermat M=Mulia
3.2 Analisis SWOT STRENGTH WEAKNESS a. Asuhan keperawatan di ruang rawat a. Kemungkinan bahwa anak pada infeksi anak RSCM sudah usia tertentu, tidak kooperatif menerapkan evidence based selama penghangat kering nursing. diberikan
6 Aplikasi model ..., Desak Putu Kristian Purnamiasih, FK UI, 2014
7
STRENGTH
WEAKNESS
b. Hampir semua perawat di ruang infeksi terampil dalam melakukan pemasangan akses vena. OPPORTUNITY THREAT a. RSCM merupakan rumah sakit a. Masyarakat lebih kritis dalam pendidikan dan pusat rujukan menanggapi asuhan nasional. keperawatan yang diterima. b. RSCM sudah melaksanakan b. Undang – undang yang evidence based nursing dalam mengatur tanggung jawab dan menerapkan asuhan keperawatan tanggung gugat tenaga kesehatan. c. RSCM mempunyai komitmen c. Kulit yang tipis dan rapuh untuk memberikan pelayanan beresiko untuk rusak bila paripurna untuk meningkatkan dilakukan pemberian kepuasan pasien sebagai pelanggan. penghangat kering. d. Hampir 100% anak yang menjalani perawatan di ruang infeksi anak RSCM mendapat tindakan pemasangan akses vena 3.3 Strategi Penyelesaian Masalah 1. Tahap Persiapan a.
Pembuatan pertanyaan berdasarkan model PICO: Population
: Pasien anak
Intervention
: Penghangat kering
Comparison
: Penggunaan tourniquet
Outcome
: Penghangat kering dan tourniquet efektif memudahkan pemasangan akses vena.
Pertanyaan masalah
: Apakah dengan penambahan penggunaan penghangat kering lebih memudahkan pemasangan akses vena ?
b.
Searching
jurnal
penelitian,
khususnya
jurnal
penelitian
yang
menggunakan metode RCT dan systematic review. Kata kunci: “ Warm application and venous cannulation” c.
Analisa jurnal.
d.
Membuat kerangka acuan proyek inovasi.
e.
Melakukan konsultasi dengan supervisor serta pihak manajemen gedung A RSCM.
Aplikasi model ..., Desak Putu Kristian Purnamiasih, FK UI, 2014
8
f.
Melakukan koordinasi dengan supervisor, kepala ruangan, dan perawat primer ruang infeksi anak RSCM.
2. Tahap Pelaksanaan a.
Presentasi proposal dan sosialisasi penggunaan penghangat kering untuk memudahkan pemasangan akses vena.
b.
Menerapkan penggunaan penghangat kering pada prosedur pemasangan akses vena.
3. Tahap Evaluasi a.
Evaluasi proses Menunjuk 1 orang perawat ruang infeksi RSCM sebagai penanggung jawab pelaksanaan penggunaan penghangat kering pada pemasangan akses vena.
b.
Evaluasi hasil Mengevaluasi tingkat kesulitan pemasangan akses vena menggunakan vein scores di ruang infeksi anak RSCM.
3.4 Planning of Action (PoA) NO KEGIATAN 1. Persiapan
2.
3.
4. 5.
6. 7.
Pembuatan dan konsultasi proposal Presentasi proposal dan sosialisasi Persiapan implementasi Implementasi
Evaluasi proses Evaluasi hasil
WAKTU 17 Februari – 7 Maret 2014
PJ
PRODUK PICO, jurnal penelitian
10 – 21 Maret 2014
Proposal EBN
10 – 21 Maret Mahasiswa, 2014 kepala ruangan, supervisor gedung A lantai I 17 – 21 Maret Mahasiswa dan 2014 perawat primer 17 Maret – 25 Mahasiswa, April 2014 perawat primer, perawat associate, dan keluarga pasien 17 Maret – 25 Mahasiswa dan April 2014 keluarga 28 April – 2 Mei Mahasiswa 2014
Presentasi poposal
Aplikasi model ..., Desak Putu Kristian Purnamiasih, FK UI, 2014
Hasil dokumentasi Laporan pelaksanaan EBN
BAB 4 PELAKSANAAN DAN PEMBAHASAN
4.1 Pelaksanaan Pelaksanaan proyek inovasi dilakukan di lantai 1 gedung A ruang rawat infeksi dan non infeksi anak dengan tahapan pelaksanaan sebagai berikut: 1. Tahap Persiapan Persiapan proyek inovasi dimulai dengan presentasi proposal di ruang Panel lantai 5 Departemen Anak pada tanggal 14 Maret 2014 Pk 13.00 – 16.30 WIB. Presentasi dihadiri oleh kepala bidang keperawatan, kepala ruang Perinatologi, perwakilan perawat gedung A, kepala ruang lantai 1 gedung A, perawat primer, perawat asosiet, dan mahasiswa. Presentasi dilakukan oleh 9 mahasiswa, 5 mahasiswa pertama melaksanakan presentasi dilanjutkan dengan diskusi dan tanya jawab, dilanjutkan dengan 4 mahasiswa dengan kegiatan yang sama. Pada presentasi dan diskusi proposal proyek inovasi didapatkan hasil sebagai berikut: a. Supervisor ruangan, kepala ruang lantai 1, perawat primer memberikan persetujuan tentang pelaksanaan penggunaaan penghangat kering di ruang rawat infeksi anak RSCM. b. Rencana sosialisasi penggunaan penghangat kering pada pemasangan akses vena pada perawat primer dan perawat asosiet di ruang rawat infeksi anak. c. Rencana pelaksanaan penggunaan penghangat kering pada pemasangan akses vena pada pasien di ruang rawat infeksi anak RSCM. 2. Pelaksanaan Proyek Inovasi Pelaksanaan proyek inovasi penggunaan penghangat kering dimulai dari tanggal 18 Maret – 19 April 2014 dengan tahapan kegiatan sebagai berikut: a. Sosialisasi Sosialisasi dilaksanakan tanggal 18 – 20 Maret 2014 pada perawat primer dan perawat asosiet di ruang rawat infeksi. Sosialisasi kembali dilakukan pada perawat primer dan perawat asosiet di ruang rawat non infeksi pada tanggal 7 – 8 April 2014.
9 Aplikasi model ..., Desak Putu Kristian Purnamiasih, FK UI, 2014
10
b. Pelaksanaan penggunaan penghangat kering Penggunaan penghangat kering sebelum pemasangan akses vena pada pasien anak di ruang rawat infeksi dilaksanakan pada tanggal 21 Maret – 19 April 2014. Penggunaan penghangat kering juga dilakukan di ruang rawat non infeksi pada tanggal 9 – 19 April 2014. Tahap – tahap pelaksanaan sebagai berikut: 1) Mencuci tangan. 2) Menyiapkan WWZ (Warm Water Zak), termometer air, air dengan suhu 52°C. 3) Mengisi WWZ dengan air yang sudah diukur suhunya 52°C. 4) Mencuci tangan. 5) Memberitahu keluarga dan anak tentang penggunaan penghangat sebelum pemasangan akses vena. 6) Memasang tourniquet pada area yang akan dipasang akses vena, dan menilai kondisi vena dengan vein scores. 7) Melepas tourniquet, dan meletakkan penghangat kering (WWZ yang sudah diisi air 52°C) pada area yang akan dipasang akses vena selama 7 menit. 8) Setelah 7 menit, penghangat kering diambil, dan tourniquet dipasang serta kondisi vena dinilai dengan vein scores, dilanjutkan dengan pemasangan akses vena sesuai protap. 9) Mencuci tangan, dan WWZ dibersihkan dengan sabun dan air lalu dikeringkan. 10) Mendokumentasikan hasil pada lembar observasi. 3. Hasil pelaksanaan Pelaksanaan proyek inovasi di ruang rawat infeksi dan non infeksi anak RSCM pada tanggal 21 Maret – 19 April 2014 pada 6 pasien anak didapatkan hasil sebagai berikut: a. Terdapat 1 pasien anak usia 14 bulan dengan vein scores awal 1, setelah diberi penghangat kering vein scores tetap 1. b. Terdapat 2 pasien anak usia 3 tahun, dan 14 tahun dengan vein scores awal 2, setelah diberi penghangat kering vein scores tetap 2. c. Terdapat 2 pasien anak usia 14 tahun, dan 15 tahun dengan vein scores awal 3, dan setelah diberi penghangat kering vein scores menjadi 4.
Aplikasi model ..., Desak Putu Kristian Purnamiasih, FK UI, 2014
11
d. Terdapat 1 pasien anak usia 10 tahun dengan vein scores awal 2, dan setelah diberi penghangat kering vein scores menjadi 3. 4. Kendala Pelaksanaan Proyek Inovasi Pasien yang dirawat di ruang rawat infeksi anak lebih banyak usia toddler dan bayi. Pasien pada usia tersebut kurang kooperatif, karena aktif bergerak, sehingga proyek inovasi dilanjutkan dengan pasien anak di ruang non infeksi yang terdiri dari anak usia sekolah dan remaja. 5. Faktor Pendukung Pelaksanaan Proyek Inovasi Pasien usia sekolah, dan remaja sangat kooperatif dengan penggunaan penghangat kering sebelum pemasangan akses vena. Keluarga juga dapat menerima penggunaan penghangat kering pada anaknya. Perawat di ruangan juga memberikan respon yang baik serta melaksanakan proyek inovasi ini di ruangan. Sarana prasarana di ruangan juga mendukung pada penggunaan penghangat kering ini, khususnya air hangat yang memang sudah tersedia di ruangan. 6. Evaluasi a. Evaluasi Proses Pelaksanaan proyek inovasi yang pada awalnya hanya direncanakan di ruang infeksi, akhirnya dilaksanakan juga di ruang non infeksi. Usia pasien di ruang rawat infeksi yang kebanyakan bayi dan toddler kurang kooperatif pada pelaksanaan, selain itu kulit bayi yang tipis beresiko bila diberikan penghangat kering. Pada pasien usia sekolah, dan remaja sangat kooperatif saat diberikan penghangat kering. b. Evaluasi Hasil Pelaksanaan proyek inovasi penggunaan penghangat kering sebelum pemasangan akses vena di ruang rawat infeksi, dan non infeksi lantai 1 RSCM menunjukkan bahwa penghangat kering mampu meningkatkan vein scores, terutama pada pasien anak usia sekolah, dan remaja.
4.2 Pembahasan Pemasangan akses vena dilakukan dengan tujuan untuk memberikan cairan intravena, pemberian obat – obatan intravena, dan pemberian transfusi darah. Tempat pemasangan akses vena dipilih berdasarkan kemudahan, kenyamanan, dan jenis cairan yang dimasukkan. Pada kondisi tertentu mungkin diperlukan
Aplikasi model ..., Desak Putu Kristian Purnamiasih, FK UI, 2014
12
pemasangan akses vena sentral. Untuk vena – vena ekstremitas , hal terbaik yang harus dilakukan adalah memilih area vena paling distal, dan menghindari tangan dominan anak. Pemasangan akses vena pada pasien – pasien yang dirawat di ruang infeksi, dan non infeksi lebih banyak pada vena ekstremitas atas. Vena pada ekstremitas yang biasa digunakan sebagai area pemasangan akses vena adalah vena sefalika, vena basilika, vena dorsalis, vena safena besar, vena marginalis medialis, arkus vena dorsalis (Wong, 2009).
Pemasangan akses vena perifer pada anak memerlukan ketrampilan, dan tehnik yang tepat bagi petugas kesehatan. Suatu penelitian menyebutkan bahwa untuk mencapai akses vena pada anak membutuhkan waktu lebih dari setengah jam. Faktor – faktor yang menyebabkan kegagalan insersi vena pada anak adalah faktor dari pasien sendiri, penyakit yang dialami, dan pengobatan yang sedang dijalani. Kerapuhan kapiler dan penurunan turgor jaringan salah satu alasan yang menyebabkan kegagalan dalam insersi intra vena pada anak kurang gizi. Kondisi vena yang rapuh terdapat pada usia anak yang kurang dari 3 tahun, sehingga dapat menimbulkan resiko pecahnya vena pada saat penusukan dengan jarum. Berat badan anak yang kurang atau melebihi nomal mempengaruhi visibilitas vena, karena ukurannya yang kecil. Kecemasan, takut nyeri, dan kondisi emosional anak menyebabkan vasokonstriksi vena, dan kemampuan klien untuk bekerjasama selama prosedur (Negri, Avelar, Andreoni, Pedreira, 2012).
Pada pelaksanaan proyek inovasi penggunaan penghangat sebelum pemasangan akses vena beberapa faktor yang mempengaruhi visibilitas vena adalah usia anak, serta kondisi penyakit. Pada usia bayi dan toddler kondisi vena sangat tipis, bahkan tidak terlihat. Pada anak usia sekolah, dan remaja vena lebih terlihat, tetapi penyakit menyebabkan kondisi dehidrasi/kurang nutrisi membuat penurunan turgor jaringan dan kerapuhan kapiler.
Teknik yang bertujuan untuk meningkatkan keberhasilan saat melakukan insersi intravena sangat penting bagi petugas kesehatan. Penanganan permasalahan kesulitan insersi intravena memerlukan tindak lanjut yang tepat untuk memudahkan prosedur. Beberapa metode yang digunakan pada saat pemasangan
Aplikasi model ..., Desak Putu Kristian Purnamiasih, FK UI, 2014
13
akses intravena adalah penghangatan lokal, tehnik transiluminasi, penggunaan nitrogliserin pada epidermis, penggunaan akses vena sentral. (Roberge, 2004).
Pada penelitian tentang penghangat lokal dan pemasangan akses vena perifer yang dilakukan oleh Lenhardt, Kimberger, Stoiser, & Sessler (2002) digunakan penghangat yang dihangatkan sampai 52°C dan yang tidak dihangatkan sampai 52°C. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa penghangat efektif meningkatkan ukuran vena. Pada penelitian tentang dampak penghangat kering dan lembab pada pemasangan akses vena pasien hemato-onkologi yang dilakukan oleh Fink, et al (2009) digunakan dengan menggunakan desain two group randomized controlled clinical design. Pada penelitian ini didapatkan bahwa penghangat kering meningkatkan vein scores dibandingkan penghangat lembab
Penempatan penghangat pada kulit akan meningkatkan respon pemanasan. Aliran darah kulit, biasanya 5% sampai 10% dari cardiac output, bisa meningkat menjadi 50% sampai 70% selama periode penghangatan. Peningkatan aliran darah kulit disebabkan oleh peningkatan aktivitas vasokonstriktor dan vasodilator simpatis. Pemberian kompres hangat lembab atau kering pada tangan (sebelumnya air dipanaskan sampai 52°C) menginduksi vasodilatasi optimal (Roberge, 2004). Ketika pemberian penghangat lokal diterapkan pada kulit, nociceptors memulai akson – akson yang menyebabkan peningkatan aliran darah kulit. Selain itu, mekanisme respon aliran darah kulit berhubungan dengan kadar air kulit. Pengeringan kulit menyebabkan peningkatan osmolaritas dalam ruang interstitial dan ruang intraseluler dalam lapisan dermal . Jika sel-sel endotel yang mengelilingi sel-sel otot mengalami dehidrasi, peningkatan osmolaritas dapat menghambat aktivitas reseptor thermo endotel dan menumpulkan respon aliran darah. Jika saluran ion terhidrasi dengan baik, kalsium mungkin bergerak lebih mudah dan karena itu respon aliran darah lebih besar, dan akan terlihat pada pembuluh darah di kulit (Petrofsky, et al, 2009).
Pada pelaksanaan proyek inovasi, penggunaan penghangat pada pasien usia bayi dan toddler kurang maksimal untuk dilakukan karena anak bergerak aktif, bahkan cenderung tidak tenang. Pada anak usia sekolah, dan remaja efektif diberikan karena anak pada usia tersebut sangat kooperatif, walaupun ada juga
Aplikasi model ..., Desak Putu Kristian Purnamiasih, FK UI, 2014
14
anak yang mengalami dehidrasi. Pada anak yang mengalami dehidrasi, respon aliran darah terganggu, dan akhirnya mempengaruhi visibilitas vena sehingga pemberian penghangat tidak meningkatkan vein scores.
Manfaat yang didapat pada penggunaan penghangat kering, dan tourniquet adalah penghangat kering membuat vasodilatasi pembuluh darah, dan meningkatkan vein scores, kombinasi penggunaan tourniquet dan penghangat kering meningkatkan vein scores. Penggunaan penghangat kering pada anak usia toddler kurang maksimal, karena anak bergerak aktif, dan cenderung tidak tenang, sedangkan pada anak yang mengalami dehidrasi, penggunaan penghangat tidak meningkatkan vein scores.
Aplikasi model ..., Desak Putu Kristian Purnamiasih, FK UI, 2014
BAB 5 PENUTUP
5.1 Kesimpulan 1. Jurnal yang digunakan sebagai dasar pada proyek inovasi ini adalah jurnal penelitian dengan menggunakan desain single blind randomized controlled trial, dan two group randomized controlled clinical design tentang keefektifan penghangat kering dalam meningkatkan visibilitas vena. 2. Pelaksanaan proyek inovasi di ruang rawat infeksi dan non infeksi anak RSCM pada tanggal 21 Maret – 19 April 2014 pada 6 pasien anak didapatkan hasil 1 pasien anak usia 14 bulan dengan vein scores awal 1, setelah diberi penghangat kering vein scores tetap 1, terdapat 2 pasien anak usia 3 tahun, dan 14 tahun dengan vein scores awal 2, setelah diberi penghangat kering vein scores tetap 2, terdapat 2 pasien anak usia 14 tahun, dan 15 tahun dengan vein scores awal 3, dan setelah diberi penghangat kering vein scores menjadi 4, terdapat 1 pasien anak usia 10 tahun dengan vein scores awal 2, dan setelah diberi penghangat kering vein scores menjadi 3. 3. Kendala pada pelaksanaan proyek inovasi adalah pasien yang dirawat di ruang rawat infeksi anak lebih banyak usia toddler dan bayi. Pasien pada usia tersebut kurang kooperatif, karena aktif bergerak, sehingga proyek inovasi dilanjutkan dengan pasien anak di ruang non infeksi yang terdiri dari anak usia sekolah dan remaja. 4. Pelaksanaan proyek inovasi didukung oleh pasien usia sekolah, dan remaja sangat
kooperatif
dengan
penggunaan
penghangat
kering
sebelum
pemasangan akses vena. Keluarga juga dapat menerima penggunaan penghangat kering pada anaknya. Perawat di ruangan juga memberikan respon yang baik serta melaksanakan proyek inovasi ini di ruangan. Sarana prasarana di ruangan juga mendukung pada penggunaan penghangat kering ini, khususnya air hangat yang memang sudah tersedia di ruangan. 5. Pada pelaksanaan proyek inovasi, penggunaan penghangat pada pasien usia bayi dan toddler kurang maksimal untuk dilakukan karena anak bergerak aktif, bahkan cenderung tidak tenang. Pada anak yang mengalami dehidrasi,
15 Aplikasi model ..., Desak Putu Kristian Purnamiasih, FK UI, 2014
16
respon aliran darah terganggu, dan akhirnya mempengaruhi visibilitas vena sehingga pemberian penghangat tidak meningkatkan vein scores.
5.2 Saran 1. Pelayanan Asuhan Keperawatan Metode untuk memudahkan pemasangan akses vena dengan penggunaan penghangat kering digabungkan dengan penggunaan tourniquet perlu diperkenalkan kepada seluruh perawat ruang anak lantai 1 gedung A RSCM. 2. Penelitian Keperawatan Penelitian lebih lanjut perlu dilakukan tentang keefektifan penggunaan penghangat kering pada anak usia tertentu dengan kesamaan jenis diagnosa medis/penyakit yang dialami.
Aplikasi model ..., Desak Putu Kristian Purnamiasih, FK UI, 2014
17
DAFTAR REFERENSI
Crowley, M, et al. (2011). Clinical practice guideline: difficult intravenous access. Emergency Nurses Association. Fink, R.M, et al. (2009). The impact of dry versus moist heat on peripheral IV catheter insertion in a hematology-oncology outpatient population. Oncology Nursing Forum, 36(4), 199-204. Haas, N.A. (2004). Clinical review: Vascular access for fluid infusion in children. Critical Care, 8(6), 478-484. Hockenberry, M. J., & Wilson, D. (2009). Essentials of pediatric nursing. Mosby Elsevier. James, S. R., Nelson, K. A., & Ashwill, J. W. (2013). Nursing care of children. Fourth Edition. Missouri: Elsevier. Kaur, M., Kaur, S., & Patel, F.D. (2011). Effect of 'Moist Heat Therapy' on the visibility and palpability of peripheral veins before peripheral venous cannulation of patients undergoing chemotherapy. Nursing and Midwifery Research Journal, 7(3), 99-105. Kuensting, L.L., DeBoer, S., Holleran, R., Shultz, B.L., Steinmann, R.A., & Venella, J. (2009). Difficult venous access in children: taking control. Journal of Emergency Nursing, 35(5), 419-424. Lenhardt, R., Seybold, T., Kimberger, O., Stoiser, B., & Sessler, D.I. (2002). Local warming and insertion of peripheral venous cannulas: single blinded prospective randomised controlled trial and single blinded randomised crossover trial. BMJ, 325, 1-4. Negri, D.C., Avelar, A.F.M., Andreoni, S., & Pedreira, M.G. Predisposing factors for peripheral intravenous puncture failure in children. Rev.Latino-Am. Enfermagem, 20(6), 1-9. Petrofsky, J, et al. (2009). Does skin moisture influence the blood flow response to local heat ? A re-evaluation of the Pennes model. Journal of Medical Engineering & Technology, 33(7), 532-537. Rauch, D., Dowd, D., Eldridge, D., Mace., Schears, C., & Yen, K. Peripheral difficult venous access in children. Clinical Pediatrics, 48(9), 895-901. Wong, L. D. (2009). Buku ajar keperawatan pediatrik (Agus Sutarna, Eni Juniarti & H.Y Kuncara, Penerjemah). Jakarta: EGC.
Aplikasi model ..., Desak Putu Kristian Purnamiasih, FK UI, 2014
Lampiran 2
UNIVERSITAS INDONESIA
KONTRAK BELAJAR MATA AJAR RESIDENSI KEPERAWATAN ANAK I
DESAK PUTU KRISTIAN PURNAMIASIH 1106122386
PROGRAM NERS SPESIALIS KEPERAWATAN ANAK FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN UNIVERSITAS INDONESIA SEPTEMBER 2013
Aplikasi model ..., Desak Putu Kristian Purnamiasih, FK UI, 2014
NO
TUJUAN PEMBELAJARAN
KEGIATAN
1
Mahasiswa mampu memberikan
METODE Praktik
TEMPAT/WAKTU Ruang Perina
asuhan keperawatan pada neonatus
RSCM/16
dengan kasus – kasus sebagai
September – 13
berikut:
Oktober 2013
a. Masalah respirasi
1. Mahasiswa mampu melakukan pengkajian pada neonatus dengan cara: a. Anamnesa keluarga,
tentang riwayat
riwayat
kesehatan
kehamilan,
riwayat
persalinan, riwayat alergi, dan riwayat obat – obatan yang pernah diterima. b. Pemeriksaan fisik pada neonatus meliputi pemeriksaan hidung, dada (paru – paru). c. Melihat hasil pemeriksaan penunjang yang sudah dilakukan: foto thorax, BGA. 2. Menentukan diagnosa keperawatan berdasarkan hasil analisa data. 3. Menentukan
rencana
asuhan
keperawatan
berdasarkan rumusan diagnosa keperawatan yang telah ditentukan, meliputi: a. Berikan bantuan hemodinamik dasar.
Aplikasi model ..., Desak Putu Kristian Purnamiasih, FK UI, 2014
b. Lakukan tindakan resusitasi neonatus pada kondisi kegawatan.. c. Lakukan monitoring kondisi pernapasan: frekuensi napas, suara paru – paru, saturasi oksigen, warna kulit, hasil pemeriksaan lab BGA. d. Lakukan metode PMK. e. Lakukan
tindakan
kolaborasi
dalam
pemberian obat – obatan dan alat bantu pernapasan jika diperlukan. 4.
Melaksanakan
tindakan
keperawatan/implementasi. 5.
Mengevaluasi tindakan yang sudah dilakukan.
6.
Menganalisis tindakan yang sudah dilakukan serta
kejadian
memberikan
yang
asuhan
dialami
selama
keperawatan
melalui
pembuatan jurnal reflektif.
b. Masalah termoregulasi
1.
Mahasiswa mampu melakukan pengkajian meliputi: a. Anamnesa tentang riwayat persalinan
Aplikasi model ..., Desak Putu Kristian Purnamiasih, FK UI, 2014
b. Pemeriksaan fisik: pemeriksaan suhu tubuh menggunakan termometer 2.
Menentukan
diagnosa
keperawatan
berdasarkan hasil analisa data. 3.
Menentukan
rencana
asuhan
keperawatan
berdasarkan rumusan diagnosa keperawatan yang telah ditentukan, meliputi: a. Ciptakan lingkungan yang hangat. b. Lakukan metode PMK untuk menstabilkan kondisi suhu tubuh bayi. c. Bila bayi terdapat kontraindikasi untuk pelaksanaan
PMK,
gunakan
inkubator
untuk mestabilkan suhu tubuh bayi. d. Lakukan monitoring suhu tubuh (suhu normal 36,5°C – 37,5°C). e. Berikan
pendidikan
kesehatan
pada
keluarga tentang perawatan dengan metode PMK, bimbingan pemberian ASI bagi ibu. 4.
Implementasi keperawatan.
5.
Mengevaluasi tindakan yang sudah dilakukan.
6.
Menganalisis tindakan yang sudah dilakukan
Aplikasi model ..., Desak Putu Kristian Purnamiasih, FK UI, 2014
serta
kejadian
memberikan
yang
asuhan
dialami
selama
keperawatan
melalui
pembuatan jurnal reflektif.
c. Masalah infeksi
1.
Mahasiswa mampu melakukan pengkajian meliputi: a. Anamnesa tentang riwayat kehamilan, dan riwayat persalinan. b. Pemeriksaan fisik, meliputi: pemeriksaan fisik secara umum, pemeriksaan fungsi pernapasan, pemeriksaan kardiovaskuler, pemeriksaan
sistem
gastrointestinal,
pemeriksaan
fisik
genitourinaria,
neurologis – muskuloskeletal, pemeriksaan suhu tubuh, pemeriksaan kulit. c. Pengkajian tentang hasil lab darah, urine, termasuk hasil lab ibu. 2.
Menentukan
diagnosa
keperawatan
berdasarkan hasil analisa data. 3.
Menentukan
rencana
asuhan
keperawatan
berdasarkan rumusan diagnosa keperawatan
Aplikasi model ..., Desak Putu Kristian Purnamiasih, FK UI, 2014
yang telah ditentukan, meliputi: a. Minimalkan mikroorgansisme
pemajanan
pada
infektif
cara
dengan
mencuci tangan sebelum dan setelah merawat bayi, serta menggunakan alat – alat pelindung (masker, sarung tangan, penutup rambut). b. Instruksikan orang tua untuk melaksanakan prosedur kontrol infeksi. c. Pastikan bahwa semua alat yang kontak dengan bayi sudah bersih dan steril. d. Tempatkan bayi di ruang isolasi bila sudah teridentifikasi mengalami infeksi (sesuai kebijakan institusi). e. Monitor TTV. f. Kolaborasi dalam pemberian antibiotik. g. Pastikan asepsis ketat pada terapi IV, pemasangan kateter arteri/intravena, pungsi lumbal. 4.
Implementasi keperawatan.
5.
Mengevaluasi tindakan yang sudah dilakukan.
Aplikasi model ..., Desak Putu Kristian Purnamiasih, FK UI, 2014
6.
Menganalisis tindakan yang sudah dilakukan serta
kejadian
memberikan
yang
asuhan
dialami
selama
keperawatan
melalui
pembuatan jurnal reflektif.
d. Gangguan metabolisme
1.
Mahasiswa mampu melakukan pengkajian meliputi: a.
Anamnesa tentang riwayat persalinan.
b.
Observasi adanya manifestasi klinis untuk tanda hipoglikemia, antara lain: rewel, tremor,
menangis
lemah/nada
tinggi,
koma, apnea, berkeringat. Observasi adanya manifestasi klinis untuk tanda hipokalsemia, antara lain: rewel, apnea, sianotik, edema, menangis nada tinggi, distensi abdomen, tremor, kejang. c.
Pengkajian
tentang
hasil
lab
darah:
hipoglikemia (bila glukosa plasma < 50 mg/dl), hipokalsemia (bila kalsium serum < 7 mg/dl). 2.
Menentukan
diagnosa
keperawatan
Aplikasi model ..., Desak Putu Kristian Purnamiasih, FK UI, 2014
berdasarkan hasil analisa data. 3.
Menentukan
rencana
asuhan
keperawatan
berdasarkan rumusan diagnosa keperawatan yang telah ditentukan, meliputi: a.
Kolaborasi
dalam
pemberian
glukosa
intravena, dan glukonat kalsium secara oral atau intravena. b.
Anjurkan
ibu
untuk
meningkatkan
frekuensi menyusui. c.
Kurangi faktor lingkungan yang menjadi faktor resiko hipoglikemia (stress dingin, gawat napas).
d.
Observasi
adanya
tanda
–
tanda
hiperglikemia setelah pemberian glukosa intravena, dan tanda – tanda hiperglikemia setelah pemberian glukonat kalsium. e.
Manipulasi lingkungan untuk mengurangi rangsang yang dapat mencetuskan kejang, dan tremor.
4.
Implementasi keperawatan.
5.
Mengevaluasi tindakan yang sudah dilakukan.
Aplikasi model ..., Desak Putu Kristian Purnamiasih, FK UI, 2014
6.
Menganalisis tindakan yang sudah dilakukan serta
kejadian
memberikan
yang
asuhan
dialami
selama
keperawatan
melalui
pembuatan jurnal reflektif.
e. Kelainan kongenital
1.
Mahasiswa mampu melakukan pengkajian meliputi: a.
Anamnesa tentang riwayat kehamilan ibu.
b.
Pemeriksaan
fisik
terkait
kelainan
kongenital yang dialami, misalnya: ASD, VSD
(pemeriksaan
hirschsprung
fisik
jantung),
(pemeriksaan
sistem
gastrointestinal). c.
Hasil
pemeriksaan
penunjang:
foto
abdomen, EKG, Echocardiografi. 2.
Menentukan
diagnosa
keperawatan
berdasarkan hasil analisa data. 3.
Menentukan
rencana
asuhan
keperawatan
berdasarkan rumusan diagnosa keperawatan yang telah ditentukan, meliputi: a.
Observasi sistem tubuh yang memberi
Aplikasi model ..., Desak Putu Kristian Purnamiasih, FK UI, 2014
tanda adanya kelainan kongenital. b.
Beri dukungan pada keluarga dalam merawat bayi.
c.
Ajarkan keluarga cara merawat bayi dengan kelainan kongenital.
d.
Kolaborasi dalam tindakan operasi elektif sesuai dengan bentuk kelainan.
4.
Implementasi keperawatan.
5.
Mengevaluasi tindakan yang sudah dilakukan.
6.
Menganalisis tindakan yang sudah dilakukan serta
kejadian
memberikan
yang
asuhan
dialami
selama
keperawatan
melalui
pembuatan jurnal reflektif. 2
Mahasiswa
mampu
membuat
proyek inovasi dalam kelompok di ruang Bedah Anak
1. Persiapan a. Melakukan FGD dengan perawat di ruangan untuk
menanyakan
tentang
kebutuhan
ruangan yang bisa diberikan dalam proyek inovasi. b. Menyusun proposal, melakukan konsultasi dengan
supervisor,
dan
berkoordinasi
dengan pihak ruangan.
Aplikasi model ..., Desak Putu Kristian Purnamiasih, FK UI, 2014
Praktik
Ruang Bedah
berkelompok,
Anak RSCM/28
diskusi,
Oktober – 8
presentasi
dan
Desember 2013
2. Pelaksanaan a. Melakukan
presentasi
rencana
proyek
inovasi di lahan praktik. b. Melaksanakan kegiatan setelah konsultasi dengan supervisor. 3. Evaluasi a. Membandingkan kondisi ruangan sebelum dan setelah dilakukan proyek inovasi. b. Menyusun
laporan
proyek
inovasi
didasarkan pada perubahan yang terjadi di ruangan. 3
Mahasiswa mampu memberikan
Praktik
Ruang Bedah
asuhan keperawatan pada anak
Anak RSCM/28
dengan kasus bedah antara lain:
Oktober – 8
a. Pembedahan respirasi
pada (bedah
tonsilektomi)
sistem thorak,
1. Mahasiswa
mampu
melakukan
pengkajian
perioperatif meliputi: a. Pengkajian tentang riwayat kesehatan anak sebelumnya,
pembedahan
sebelumnya,
riwayat alergi, riwayat penyakit lainnya, pemahaman anak dan keluarga tentang pembedahan, tanda – tanda infeksi sebelum
Aplikasi model ..., Desak Putu Kristian Purnamiasih, FK UI, 2014
Desember 2013
dan setelah pembedahan, tanda – tanda perdarahan. b. Pemeriksaan fisik dada, serta TTV sebelum dan setelah pembedahan. c. Hasil – hasil lab AGD, leukosit, eritrosit, hemoglobin. 2. Menentukan diagnosa keperawatan perioperatif. 3. Membuat rencana keperawatan perioperatif: a. Persiapkan untuk tindakan pre operatif (cairan, obat – obatan) b. Pantau kondisi sistem pernapasan (suara paru, saturasi oksigen, jalan napas, warna kulit) c. Monitor adanya bukti – bukti perdarahan. d. Sediakan alat suction jika sewaktu – waktu diperlukan. e. Monitor penggunaan oksigen dan alat – alat post pembedahan seperti WSD. f. Atur jadwal istirahat dan bermain anak. g. Kolaborasi dalam pemberian antibiotik, antiinflamasi.
Aplikasi model ..., Desak Putu Kristian Purnamiasih, FK UI, 2014
h. Monitor hasil lab darah: AGD, leukosit. 4. Implementasi keperawatan. 5.
Melakukan evaluasi tindakan keperawatan.
6.
Menganalisis tindakan yang sudah dilakukan serta
kejadian
memberikan
yang
asuhan
dialami
selama
keperawatan
melalui
pembuatan jurnal reflektif.
b. Pembedahan kardiovaskuler
pada
sistem
1.
(kateterisasi
Mahasiswa mampu melakukan pengkajian meliputi:
jantung)
a. Pengkajian
tentang
sebelumnya,
riwayat
riwayat
kesehatan
alergi,
riwayat
kelahiran b. Pemeriksaan fisik fungsi kardiovaskuler, TB dan BB, adanya ruam popok. c. Hasil pemeriksaan EKG, Echocardiografi, pemeriksaan
darah
lengkap,
saturasi
oksiegn, BGA. 2.
Menentukan
diagnosa
keperawatan
berdasarkan anlisa data 3.
Membuat rencana keperawatan:
Aplikasi model ..., Desak Putu Kristian Purnamiasih, FK UI, 2014
a. Persiapkan untuk tindakan pre operatif (cairan, obat – obatan) b. Pantau kondisi sistem kardiovaskuler (TTV, suhu dan warna ekstremitas, warna kulit). c. Motivasi keluarga untuk memberi dukungan pada anak. d. Alihkan perhatian anak selama prosedur dengan musik atau film kartun. e. Monitor tanda – tanda perdarahan. f. Monitor intake dan output cairan. g. Kolaborasi dalam pemberian digitalis 4.
Implementasi keperawatan.
5.
Melakukan evaluasi tindakan keperawatan.
6.
Menganalisis tindakan yang sudah dilakukan serta
kejadian
memberikan
yang
asuhan
dialami
selama
keperawatan
melalui
pembuatan jurnal reflektif.
c. Pembedahan
pada
gastro – hepatologi
sistem
1.
Mahasiswa mampu melakukan pengkajian meliputi: a. Pengkajian
tentang
riwayat
kesehatan
Aplikasi model ..., Desak Putu Kristian Purnamiasih, FK UI, 2014
sebelumnya (pola defekasi), riwayat alergi, riwayat kelahiran b. Pemeriksaan fisik fungsi abdomen, lingkar abdomen, postur tubuh, peka rangsang. c. Hasil pemeriksaan foto abdomen, leukosit. 2.
Menentukan
diagnosa
keperawatan
berdasarkan anlisa data 3.
Membuat rencana keperawatan: a. Kaji skala nyeri pada anak. b. Kaji status hidrasi dan nutrisi secara umum c. Observasi
adanya
distensi
abdomen,
kekakuan abdomen, diare, muntah, pucat, menggigil, peka rangsang, demam. d. Beri posisi nyaman untuk mengurangi nyeri e. Berikan enema/irigasi kolon. f. Observasi adanya perdarahan. g. Ajarkan
keluarga
untuk
perawatan
kolostomi. h. Kolaborasi dalam pemberian antibiotik. 4.
Implementasi keperawatan.
5.
Melakukan evaluasi tindakan keperawatan.
Aplikasi model ..., Desak Putu Kristian Purnamiasih, FK UI, 2014
6.
Menganalisis tindakan yang sudah dilakukan serta
kejadian
memberikan
yang
asuhan
dialami
selama
keperawatan
melalui
pembuatan jurnal reflektif. 4
Mahasiswa mampu memberikan
Praktik
Ruang Rawat Infeksi
asuhan keperawatan pada klien
Anak RSCM/9
anak
Desember 2013 – 17
dengan
masalah
infeksi,
antara lain: a. Infeksi sistem pernapasan
Januari 2014 1.
Mahasiswa
melakukan
pengkajian
keperawatan, meliputi: a. Riwayat
kesehatan
keluarga,
keadaan
lingkungan rumah dan di luar rumah, sosial ekonomi keluarga, riwayat penyakit anak sebelumnya. b. Pemeriksaan fisik dada (paru – paru), frekuensi pernapasan, pola napas, adanya retraksi. c. Pemeriksaan penunjang antara lain foto thorak, AGD. 2.
Menentukan
diagnosa
keperawatan
berdasarkan analisa data.
Aplikasi model ..., Desak Putu Kristian Purnamiasih, FK UI, 2014
3.
Membuat rencana keperawatan: a. Monitor status pernapasan b. Beri posisi nyaman/tinggikan kepala 30°. c. Hindari pemakaian pakaian yang terlalu ketat pada bayi/anak. d. Jadwalkan waktu istirahat, dan bermain anak. e. Berikan oksigen sesuai dengan indikasi, dengan jumlah yang tepat. f. Kolaborasi dalam pemberian ekspektoran, dan antibiotik. g. Kolaborasi untuk fisioterapi dada.
4.
Implementasi keperawatan.
5.
Melakukan evaluasi tindakan keperawatan.
6.
Menganalisis tindakan yang sudah dilakukan serta
kejadian
memberikan
yang
asuhan
dialami
selama
keperawatan
melalui
pembuatan jurnal reflektif.
b. Infeksi sistem kardiovaskuler
1.
Mahasiswa
melakukan
pengkajian
keperawatan, meliputi:
Aplikasi model ..., Desak Putu Kristian Purnamiasih, FK UI, 2014
a. Riwayat
kesehatan
keluarga,
keadaan
lingkungan rumah dan di luar rumah, sosial ekonomi keluarga, riwayat kesehatan anak sebelumnya, khususnya mengenai bukti – bukti infeksi streptokokus d. Pemeriksaan fisik dada (jantung), frekuensi nadi, pemeriksaan sendi – sendi besar (lutut, siku, panggul, bahu, pergelangan tangan), ekstremitas, dan wajah. e. Pemeriksaan
penunjang
antara
lain
elektrokardiografi, kultur tenggorok, LED. 2.
Menentukan
diagnosa
keperawatan
berdasarkan analisa data. 3.
Membuat rencana keperawatan: a. Monitor fungsi kardiovaskuler (denyut nadi, suara jantung). b. Tanyakan pada keluarga, apakah anak pernah mengalami reaksi alergi terhadap penisilin. c. Beri kesempatan pada anak dan keluarga untuk mengungkapkan perasaan.
Aplikasi model ..., Desak Putu Kristian Purnamiasih, FK UI, 2014
d. Jadwalkan waktu istirahat, dan bermain untuk anak. e. Kolaborasi dalam pemberian antibiotik, antiinflamasi, dan antipiretik. 4.
Implementasi keperawatan.
5.
Melakukan evaluasi tindakan keperawatan.
6.
Menganalisis tindakan yang sudah dilakukan serta
kejadian
memberikan
yang
asuhan
dialami
selama
keperawatan
melalui
pembuatan jurnal reflektif.
c. Infeksi
sistem
hepatologi
gastro
–
1.
Mahasiswa
melakukan
pengkajian
keperawatan, meliputi: a. Riwayat
kesehatan
keluarga,
keadaan
lingkungan rumah dan di luar rumah, sosial ekonomi keluarga, riwayat kesehatan anak sebelumnya, riwayat pemberian makanan, dan minuman, riwayat penggunaan obat – obat terlarang, transfusi darah. b. Pemeriksaan fisik abdomen, warna kulit, warna sklera, turgor kulit.
Aplikasi model ..., Desak Putu Kristian Purnamiasih, FK UI, 2014
f. Pemeriksaan
penunjang
antara
lain
pemeriksaan darah lengkap, pemeriksaan feces. 2.
Menentukan
diagnosa
keperawatan
berdasarkan analisa data. 3.
Membuat rencana keperawatan: a. Observasi adanya nyeri abdomen, toleransi pemberian makanan, frekuensi BAB,warna dan konsistensi feces dan urine, muntah darah, BAB darah. b. Beritahu ibu untuk tetap melanjutkan pemberian ASI. c. Berikan diet yang sesuai dengan toleransi anak. d. Jelaskan pada keluarga tentang resiko penyebaran infeksi e. Lakukan tindakan kewaspadaan umum. f. Monitor intake, dan output nutrisi serta cairan untuk mencegah dehidrasi g. Kolaborasi dalam pemberian nutrisi dan cairan parenteral, enema/laksatif bila ada
Aplikasi model ..., Desak Putu Kristian Purnamiasih, FK UI, 2014
konstipasi,
anntibiotik,
imunoglobulin,
immunisasi. 4.
Implementasi keperawatan.
5.
Melakukan evaluasi tindakan keperawatan.
6.
Menganalisis tindakan yang sudah dilakukan serta
kejadian
memberikan
yang
asuhan
dialami
selama
keperawatan
melalui
pembuatan jurnal reflektif.
d. Infeksi sistem persarafan
1.
Mahasiswa
melakukan
pengkajian
keperawatan, meliputi: a. Anamnesa riwayat kesehatan , terutama berkaitan cedera
dengan
atau
infeksi
sebelumnya,
paparan
infeksi,
riwayat
fisik
refleks
saraf,
kejang. b. Pemeriksaan
pemeriksaan fontanel c. Pemeriksaan penunjang: hasil CT scan kepala, hasil pemeriksaan cairan spinal, hasil leukosit. 2.
Menentukan
diagnosa
keperawatan
Aplikasi model ..., Desak Putu Kristian Purnamiasih, FK UI, 2014
berdasarkan analisa data. 3.
Membuat rencana keperawatan: a.
Kolaborasi
dalam
mendapatkan
kultur
tindakan
untuk
cairan
untuk
mengidentifikasi mikroorganisme. b.
Observasi peningkatan
adanya TIK,
tanda
–
syok,
tanda distress
pernapasan. c.
Implementasikan
pengendalian
infeksi
yang tepat. d.
Biarkan anak mengambil posisi yang nyaman.
e.
Lakukan tehnik distraksi pada anak saat dilakukan prosedur yang menyakitkan.
f.
Kurangi stimulus lingkungan yang dapat memicu kejang dan ketidaknyamanan pada anak.
g.
Pantau intake dan output cairan untuk memepertahankan hidrasi optimal.
h.
Jelaskan pentingnya perawatan tindak lanjut pada orang tua.
Aplikasi model ..., Desak Putu Kristian Purnamiasih, FK UI, 2014
i.
Kolaborasi dalam pemberian vaksinasi yang tepat, analgetik, serta antibiotik
4.
Implementasi keperawatan.
5.
Melakukan evaluasi tindakan keperawatan.
6.
Menganalisis tindakan yang sudah dilakukan serta
kejadian
memberikan
yang
asuhan
dialami
selama
keperawatan
melalui
pembuatan jurnal reflektif.
Depok, September 2013 Mahasiswa
Desak Putu Kristian Purnamiasih
Aplikasi model ..., Desak Putu Kristian Purnamiasih, FK UI, 2014
UNIVERSITAS INDONESIA
KONTRAK BELAJAR PRAKTIK RESIDENSI KEPERAWATAN ANAK II
DESAK PUTU KRISTIAN PURNAMIASIH 1106122386
PROGRAM SPESIALIS KEPERAWATAN ANAK FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN UNIVERSITAS INDONESIA FEBRUARI 2014
Aplikasi model ..., Desak Putu Kristian Purnamiasih, FK UI, 2014
Lampiran 3
NO 1
TUJUAN
KEGIATAN
PEMBELAJARAN Mahasiswa
mampu Mahasiswa dapat melakukan asuhan keperawatan pada anak dengan
memberikan
asuhan masalah infeksi respirasi menggunakan aplikasi Roy’s Adapatation
keperawatan klien
anak
masalah
infeksi
respirasi, antara lain:
1.
Mahasiswa melakukan pengkajian keperawatan:
1) Model adaptasi fisiologis: Infeksi bakteri/virus pada saluran
a. Pneumonia
pernapasan
b. TBC
(stimulus fokal), bakteri/virus menimbulkan peningkatan reaksi
inflamasi,
produksi
peningkatan
sekret
meningkat
metabolisme
(stimulus
kontekstual). 2) Model
adaptasi
Praktik
Ruang Rawat Infeksi Anak RSCM/17
2014
a. Pengkajian stimulus pada:
menimbulkan
TEMPAT/WAKTU
Februari – 2 Maret
pada Model, dengan tahapan sebagai berikut: dengan
METODE
interdependensi:
mengalami
infeksi
pernapasan (stimulus fokal), berpisah dengan anggota keluarga yang lain (stimulus kontekstual), merasa sedih (stimulus residual) 3) Model adaptasi konsep diri: mengalami infeksi pernapasan (stimulus fokal), dirawat di rumah sakit (stimulus kontekstual), prosedur di rumah sakit membuat distress dan nyeri pada anak (stimulus residual).
1 Aplikasi model ..., Desak Putu Kristian Purnamiasih, FK UI, 2014
4) Model adaptasi fungsi peran: mengalami infeksi pernapasan (stimulus fokal), mengalami kelemahan fisik, dirawat di rumah sakit (stimulus kontekstual), tidak dapat beraktifitas sesuai dengan usia anak, stimulasi berkurang (stimulus residual) b. Pengkajian perilaku pada: 1) Model adaptasi fisiologis: frekuensi abnormal, irama tidak teratur, pernapasan dangkal, dan cepat/dalam, dan cepat, batuk produktif/tidak produktif, vibrasi asimetris, adanya bunyi crackles, wheezing, friction rub pleural, demam menetap/tidak,
menggigil,
sakit
kepala,
batuk
produktif/tidak produktif, pernapasan cepat, dan dangkal, nyeri dada, anak mengalami penurunan berat badan, pucat, dan kelemahan. 2) Model adaptasi interdependensi: stressor pada anak meningkat, orang tua cemas karena sakit yang dialami anak. 3) Model adaptasi konsep diri: menangis, tidak kooperatif saat dilakukan tindakan. 4) Model adaptasi fungsi peran: anak lebih banyak diam, tidak mau melakukan aktifitas yang masih bisa ditoleransi.
2 Aplikasi model ..., Desak Putu Kristian Purnamiasih, FK UI, 2014
2.
Menentukan diagnosa keperawatan: a. Model adaptasi fisiologis 1) Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan peningkatan produksi sekret. 2) Pola napas tidak efektif berhubungan dengan obstruksi trakeobronkial. 3) Demam berhubungan dengan reaksi inflamasi. 4) Nyeri akut berhubungan dengan reaksi inflamasi. 5) Kelemahan berhubungan dengan peningkatan metabolisme b. Model adaptasi interdependensi: 1) Kecemasan pada orang tua berhubungan dengan penyakit dan hospitalisasi anak. 2) Kecemasan pada anak berhubungan dengan kurangnya support system. c. Model adaptasi konsep diri: 1) Cemas berhubungan dengan penyakit, dan tindakan pengobatan di rumah sakit. d. Model adaptasi fungsi peran: 1) Resiko gangguan tumbuh kembang: faktor resiko: kurangnya stimulasi.
3 Aplikasi model ..., Desak Putu Kristian Purnamiasih, FK UI, 2014
3.
Mengatur pencapaian tujuan: a. Model adaptasi fisiologis: 1) Klien
mempertahankan
jalan
napas
paten,
dan
mengeluarkan sekresi adekuat. 2) Klien menunjukkan fungsi pernapasan normal, dan mendapat suplai oksigen yang optimal. 3) Thermoregulasi baik. 4) Nyeri berkurang sampai dengan hilang. 5) Klien mempertahankan tingkat energi yang adekuat. b. Model adaptasi interdependensi: 1) Keluarga
mengalami
penurunan
kecemasan
dan
peningkatan kemampuan koping. 2) Klien mengalami penurunan kecemasan. c. Model adaptasi konsep diri: 1) Klien mengalami penurunan kecemasan, dan kooperatif dalam menjalani pengobatan, dan pemeriksaan. d. Model adaptasi fungsi peran: 1) Anak dapat tumbuh dan berkembang sesuai usia. 4.
Membuat intervensi keperawatan: a. Lakukan suction jika diperlukan. b. Monitor status pernapasan. 4 Aplikasi model ..., Desak Putu Kristian Purnamiasih, FK UI, 2014
c. Beri posisi nyaman/tinggikan kepala 30°. d. Hindari pemakaian pakaian yang terlalu ketat pada bayi/anak. e. Jadwalkan waktu istirahat, dan bermain anak. f. Berikan oksigen sesuai dengan indikasi, dengan jumlah yang tepat. g. Kolaborasi dalam pemberian ekspektoran, analgetik, dan antibiotik. h. Kolaborasi untuk fisioterapi dada. i. Berikan bermain terapeutik pada anak selama di rumah sakit. j. Berikan informasi pada orang tua tentang kondisi anak, dan informasi pada anak pada setiap tindakan yang dilakukan. k. Lakukan tehnik distraksi pada saat anak menjalani prosedur yang bisa menimbulkan stress, dan nyeri. 5.
Melakukan evaluasi tindakan keperawatan.
6.
Menganalisis tindakan yang sudah dilakukan serta kejadian yang dialami
selama
memberikan
asuhan
keperawatan
melalui
pembuatan jurnal reflektif. 2
Mahasiswa
mampu 1.
Melakukan pengkajian terkait melalui wawancara, observasi, Presentasi,
Ruang Rawat Infeksi
membuat
proyek
pengisian kuisioner.
diskusi,
Anak RSCM/17
inovasi di ruang rawat 2.
Merumuskan dan menganalisa data yang sudah didapat.
praktik
Februari – 9 Mei
infeksi
Menyusun dan memperbaiki proposal yang sudah dikonsultasikan individu
3.
5 Aplikasi model ..., Desak Putu Kristian Purnamiasih, FK UI, 2014
2014.
dengan supervisor utama, dan melakukan koordinasi dengan pihak terkait di lahan praktik. 4.
Melakukan presentasi rencana proyek inovasi di lahan praktik.
5.
Melaksanakan proyek inovasi.
6.
Mengevaluasi pelaksanaan proyek inovasi, dan melakukan evaluasi.
7. 3
Mempresentasikan laporan hasil proyek inovasi di lahan praktik.
Mahasiswa
mampu Mahasiswa dapat melakukan asuhan keperawatan pada anak dengan
memberikan
asuhan masalah infeksi persyarafan menggunakan aplikasi Roy’s Adapatation
keperawatan klien
anak
pada Model, dengan tahapan sebagai berikut: dengan
masalah
infeksi
persyarafan,
antara
1.
a. Pengkajian stimulus pada: 1) Model adaptasi fisiologis: infeksi sebelumnya (infeksi
lain:
telinga, pernapasan) masuk pembuluh darah serebral,
a. Meningitis
cedera atau paparan infeksi langsung ke pembuluh darah
b. Encephalitis
serebral, menimbulkan reaksi inflamasi dan edema otak (stimulus fokal), aliran darah otak terhambat, elektrolit otak tidak seimbang (stimulus kontekstual). adaptasi
interdependensi:
Ruang Rawat Infeksi Anak RSCM/3 – 16 Maret 2014
Mahasiswa melakukan pengkajian keperawatan:
2) Model
Praktik
mengalami
infeksi
persyarafan (stimulus fokal), berpisah dengan anggota keluarga yang lain (stimulus kontekstual), merasa sedih 6 Aplikasi model ..., Desak Putu Kristian Purnamiasih, FK UI, 2014
(stimulus residual) 3) Model adaptasi konsep diri: mengalami infeksi persyarafan (stimulus fokal), dirawat di rumah sakit (stimulus kontekstual), prosedur di rumah sakit membuat distress dan nyeri pada anak (stimulus residual). 4) Model
adaptasi
fungsi
peran:
mengalami
infeksi
persyarafan (stimulus fokal), mengalami kelemahan fisik, dirawat di rumah sakit (stimulus kontekstual), tidak dapat beraktifitas sesuai dengan usia anak, stimulasi berkurang (stimulus residual) b. Pengkajian perilaku pada: 1) Model adaptasi fisiologis: demam, sakit kepala, mual, muntah, penurunan kesadaran, kejang, paresis, afasia, adanya kaku kuduk, tanda kernig dan brudzinski positif, opistotonus, hipotonia, ataksia, spastisitas. 2) Model adaptasi interdependensi: stressor pada anak meningkat, orang tua cemas karena sakit yang dialami anak. 3) Model adaptasi konsep diri: menangis, tidak kooperatif saat dilakukan tindakan. 4) Model adaptasi fungsi peran: anak lebih banyak diam, 7 Aplikasi model ..., Desak Putu Kristian Purnamiasih, FK UI, 2014
tidak mau melakukan aktifitas yang masih bisa ditoleransi. 2.
Menentukan diagnosa keperawatan: a. Model adaptasi fisiologis 1) Gangguan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan gangguan aliran darah otak 2) Nyeri akut berhubungan dengan reaksi inflamasi. 3) Demam berhubungan dengan reaksi inflamasi. 4) Resiko cedera; faktor resiko: kejang. b. Model adaptasi interdependensi: 1) Kecemasan pada orang tua berhubungan dengan penyakit dan hospitalisasi anak. 2) Kecemasan pada anak berhubungan dengan kurangnya support system. c. Model adaptasi konsep diri: 1) Cemas berhubungan dengan penyakit, dan tindakan pengobatan di rumah sakit. d. Model adaptasi fungsi peran: 1) Resiko gangguan tumbuh kembang: faktor resiko: gangguan fungsi neurologis, kurangnya stimulasi.
3.
Mengatur pencapaian tujuan: a. Model adaptasi fisiologis: 8 Aplikasi model ..., Desak Putu Kristian Purnamiasih, FK UI, 2014
1) Klien mampu menerima, memproses, dan merespon stimulus internal dan eksternal yabg dilakukan oleh ssistem saraf pusat. 2) Klien mengalami penurunan tingkat nyeri. 3) Thermoregulasi baik. 4) Klien tidak mengalami kejang. b. Model adaptasi interdependensi: 1) Keluarga
mengalami
penurunan
kecemasan
dan
peningkatan kemampuan koping. 2) Klien mengalami penurunan kecemasan. c. Model adaptasi konsep diri: 1) Klien mengalami penurunan kecemasan, dan kooperatif dalam menjalani pengobatan, dan pemeriksaan. d. Model adaptasi fungsi peran: 1) Anak dapat tumbuh dan berkembang sesuai usia. 4.
Membuat intervensi keperawatan: a.
Kolaborasi dalam tindakan untuk mendapatkan kultur cairan untuk mengidentifikasi mikroorganisme.
b.
Observasi adanya tanda – tanda peningkatan TIK, syok, distress pernapasan.
c.
Implementasikan pengendalian infeksi yang tepat. 9 Aplikasi model ..., Desak Putu Kristian Purnamiasih, FK UI, 2014
d.
Biarkan anak mengambil posisi yang nyaman.
e.
Lakukan tehnik distraksi pada anak saat dilakukan prosedur yang menyakitkan.
f.
Kurangi stimulus lingkungan yang dapat memicu kejang dan ketidaknyamanan pada anak.
g.
Pantau intake dan output cairan untuk mempertahankan hidrasi optimal.
h.
Jelaskan pentingnya perawatan tindak lanjut pada orang tua.
i.
Kolaborasi dalam pemberian vaksinasi yang tepat, analgetik, antibiotik, antikonvulsi, deksametason, manitol (bila ada edema otak).
5.
Melakukan evaluasi keperawatan.
6.
Menganalisis tindakan yang sudah dilakukan serta kejadian yang dialami
selama
memberikan
asuhan
keperawatan
melalui
pembuatan jurnal reflektif.
4
Mahasiswa
mampu Mahasiswa dapat melakukan asuhan keperawatan pada anak dengan
memberikan
asuhan masalah infeksi persyarafan menggunakan aplikasi Roy’s Adapatation
keperawatan klien masalah
anak
pada Model, dengan tahapan sebagai berikut: dengan infeksi
1.
Mahasiswa melakukan pengkajian keperawatan: a. Pengkajian stimulus pada: 10 Aplikasi model ..., Desak Putu Kristian Purnamiasih, FK UI, 2014
Praktik
Ruang Rawat Infeksi Anak RSCM/17 Maret – 13 April 2014
saluran
cerna
dan
1) Model adaptasi fisiologis: pemberian makanan, dan
gangguan
minuman yang terkontaminasi,
keseimbangan cairan,
kontak
antara lain:
penggunaan obat – obat terlarang infeksi virus/bakteri
a. Hepatitis akut
(stimulus fokal), inflamasi hepar, peningkatan motilitas
b. Diare akut
usus (stimulus kontekstual), keadaan lingkungan rumah
dengan
individu
infeksi di tempat lain,
yang
terinfeksi,
riwayat
dan di luar rumah, sosial ekonomi keluarga, riwayat kesehatan anak sebelumnya (stimulus residual) 2) Model
adaptasi
interdependensi:
mengalami
infeksi
saluran cerna (stimulus fokal), berpisah dengan anggota keluarga yang lain (stimulus kontekstual), merasa sedih (stimulus residual) 3) Model adaptasi konsep diri: mengalami infeksi saluran cerna (stimulus fokal), dirawat di rumah sakit (stimulus kontekstual), prosedur di rumah sakit membuat distress dan nyeri pada anak (stimulus residual). 4) Model
adaptasi
fungsi
peran:
mengalami
infeksi
persyarafan (stimulus fokal), mengalami kelemahan fisik, dirawat di rumah sakit (stimulus kontekstual), tidak dapat beraktifitas sesuai dengan usia anak, stimulasi berkurang (stimulus residual) 11 Aplikasi model ..., Desak Putu Kristian Purnamiasih, FK UI, 2014
b. Pengkajian perilaku pada: 1) Model adaptasi fisiologis: rasa haus, demam, nyeri abdomen, diare menetap, mual, muntah, anoreksia, feses cair dan berwarna hijau, feses bercampur darah, ikterik pada kulit dan sklera, penurunan BB, mata cekung, mukosa bibir kering, turgor kulit abdomen, hiperperistaltik, nyeri tekan pada hepar, hepatomegali, ditemukan eritrosit, leukosit, parasit pada feses, pansitopenia, leukositosis, bilirubin direk/indirek meningkat, IgM anti HAV positif, HbsAg positif. 2) Model adaptasi interdependensi: stressor pada anak meningkat, orang tua cemas karena sakit yang dialami anak. 3) Model adaptasi konsep diri: menangis, tidak kooperatif saat dilakukan tindakan. 4) Model adaptasi fungsi peran: anak lebih banyak diam, tidak mau melakukan aktifitas yang masih bisa ditoleransi. 2.
Menentukan diagnosa keperawatan: a. Model adaptasi fisiologis 1) Kurang volume cairan dan elektrolit berhubungan dengan kehilangan cairan melalui muntah, dan peningkatan 12 Aplikasi model ..., Desak Putu Kristian Purnamiasih, FK UI, 2014
frekuensi BAB cair. 2) Nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan masukan yang tidak adekuat. 3) Nyeri akut berhubungan dengan reaksi inflamasi pada saluran cerna. 4) Hipertermia berhubungan dengan proses infeksi. 5) Keletihan berhubungan dengan gangguan metabolisme karbohidrat, protein, lemak. 6) Resiko Penyebaran infeksi; faktor resiko: infeksi virus, bakteri secara hematogen. b. Model adaptasi interdependensi: 1) Kecemasan pada orang tua berhubungan dengan penyakit dan hospitalisasi anak. 2) Kecemasan pada anak berhubungan dengan kurangnya support system. c. Model adaptasi konsep diri: 1) Cemas berhubungan dengan penyakit, dan tindakan pengobatan di rumah sakit. d. Model adaptasi fungsi peran: 1) Resiko gangguan tumbuh kembang: faktor resiko: proses penyakit, kurangnya stimulasi. 13 Aplikasi model ..., Desak Putu Kristian Purnamiasih, FK UI, 2014
3.
Mengatur pencapaian tujuan: a. Model adaptasi fisiologis: 1) Klien menunjukkan tanda – tanda rehidrasi. 2) Klien
mengkonsumsi
nutrisi
yang
adekuat
untuk
mempertahankan BB yang sesuai dengan usia. 3) Klien mengalami penurunan tingkat nyeri. 4) Thermoregulasi baik. 5) Klien dapat menghemat energi untuk beraktifitas. 6) Klien/tidak mengalami infeksi pada organ lainnya
b. Model adaptasi interdependensi: 1) Keluarga
mengalami
penurunan
kecemasan
dan
peningkatan kemampuan koping. 2) Klien mengalami penurunan kecemasan. c. Model adaptasi konsep diri: 1) Klien mengalami penurunan kecemasan, dan kooperatif dalam menjalani pengobatan, dan pemeriksaan. d. Model adaptasi fungsi peran: 1) Anak dapat tumbuh dan berkembang sesuai usia. 4.
Membuat intervensi keperawatan: a. Monitor tingkat kesadaran, tanda – tanda dehidrasi, TTV. 14 Aplikasi model ..., Desak Putu Kristian Purnamiasih, FK UI, 2014
b. Observasi adanya nyeri abdomen, toleransi pemberian makanan, frekuensi BAB,warna dan konsistensi feces dan urine, muntah darah, BAB darah. c. Beritahu ibu untuk tetap melanjutkan pemberian ASI. d. Berikan diet yang sesuai dengan toleransi anak. e. Jelaskan pada keluarga tentang resiko penyebaran infeksi f. Lakukan tindakan kewaspadaan umum. g. Monitor intake, dan output nutrisi serta cairan untuk mencegah dehidrasi h. Kolaborasi dalam pemberian nutrisi dan cairan parenteral, enema/laksatif bila ada konstipasi, anntibiotik, imunoglobulin, immunisasi. 5.
Melakukan evaluasi tindakan keperawatan.
6.
Menganalisis tindakan yang sudah dilakukan serta kejadian yang dialami
selama
memberikan
asuhan
keperawatan
melalui
pembuatan jurnal reflektif. 5
Mahasiswa
mampu Mahasiswa dapat melakukan asuhan keperawatan pada anak dengan
memberikan
asuhan masalah infeksi persyarafan menggunakan aplikasi Roy’s Adapatation
keperawatan klien
anak
masalah:
pada Model, dengan tahapan sebagai berikut: dengan
1.
Mahasiswa melakukan pengkajian keperawatan: a. Pengkajian stimulus pada: 15 Aplikasi model ..., Desak Putu Kristian Purnamiasih, FK UI, 2014
Praktik
Ruang Rawat Infeksi Anak RSCM/14 April – 9 Mei 2014
a. HIV/AIDS b. Demam Dengue
1) Model adaptasi fisiologis: Infeksi HIV, virus dengue Berdarah
(stimulus fokal), penurunan rasa terhadap makanan, pilihan makanan yang terbatas, infeksi sistemik (stimulus kontekstual). 2) Model adaptasi interdependensi: mengalami infeksi HIV, virus dengue (stimulus fokal), berpisah dengan anggota keluarga yang lain, stigma tentang HIV (stimulus kontekstual). 3) Model adaptasi konsep diri: mengalami infeksi HIV, virus Dengue (stimulus fokal), dirawat di rumah sakit, stigma tentang HIV (stimulus kontekstual), prosedur di rumah sakit membuat distress dan nyeri pada anak (stimulus residual). 4) Model adaptasi fungsi peran: mengalami infeksi HIV (stimulus fokal), mengalami kelemahan fisik, dirawat di rumah sakit, tidak dapat bermain dengan teman (stimulus kontekstual), tidak dapat beraktifitas sesuai dengan usia anak, stimulasi berkurang (stimulus residual) b. Pengkajian perilaku pada: 1) Model
adaptasi
fisiologis:
limfadenopati,
hepatosplenomegali, penyakit paru, diare, demam, nyeri 16 Aplikasi model ..., Desak Putu Kristian Purnamiasih, FK UI, 2014
abdomen, anoreksia, nyeri kepala, nyeri sendi, syok hipovolemik. 2) Model adaptasi interdependensi: stressor pada anak meningkat, anak rewel, gelisah, orang tua cemas karena sakit yang dialami anak. 3) Model adaptasi konsep diri: menangis, tidak kooperatif saat dilakukan tindakan. 4) Model adaptasi fungsi peran: anak lebih banyak diam, tidak mau melakukan aktifitas yang masih bisa ditoleransi. 2.
Menentukan diagnosa keperawatan: a. Model adaptasi fisiologis 1) Nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan masukan yang tidak adekuat. 2) Nyeri akut berhubungan dengan reaksi inflamasi. 3) Hipertermia berhubungan dengan proses infeksi. 4) Resiko Penyebaran infeksi; faktor resiko: infeksi virus secara hematogen. b. Model adaptasi interdependensi: 1) Kecemasan pada orang tua berhubungan dengan penyakit dan hospitalisasi anak. 2) Kecemasan pada anak berhubungan dengan kurangnya 17 Aplikasi model ..., Desak Putu Kristian Purnamiasih, FK UI, 2014
support system. 3) Hambatan interaksi sosial berhubungan dengan ketiadaan teman seusia. c. Model adaptasi konsep diri: 1) Cemas berhubungan dengan penyakit, dan tindakan pengobatan di rumah sakit. d. Model adaptasi fungsi peran: 1) Resiko gangguan tumbuh kembang: faktor resiko: proses penyakit, kurangnya stimulasi. 2) Perubahan
penampilan
peran
berhubungan
dengan
penyakit, tingkat usia perkembangan. 3.
Mengatur pencapaian tujuan: a. Model adaptasi fisiologis: 1) Klien
mengkonsumsi
nutrisi
yang
adekuat
untuk
mempertahankan BB yang sesuai dengan usia. 2) Klien mengalami penurunan tingkat nyeri. 3) Thermoregulasi baik. 4) Klien/tidak mengalami infeksi pada organ lainnya b. Model adaptasi interdependensi: 1) Keluarga
mengalami
penurunan
kecemasan
dan
peningkatan kemampuan koping. 18 Aplikasi model ..., Desak Putu Kristian Purnamiasih, FK UI, 2014
2) Klien mengalami penurunan kecemasan. 3) Penggunsaan perilaku interaksi sosial yang efektif. c. Model adaptasi konsep diri: 1) Klien mengalami penurunan kecemasan, dan kooperatif dalam menjalani pengobatan, dan pemeriksaan. d. Model adaptasi fungsi peran: 1) Anak dapat tumbuh dan berkembang sesuai usia. 2) Mengungkapkan secara verbal perasaan berguna dan produktif. 4.
Membuat intervensi keperawatan: a. Beri makanan tinggi kalori tinggi protein, dan yang disukai anak. b. Lakukan kreativitas agar anak mau makan. c. Pantau BB tiap hari. d. Kaji tingkat nyeri, area nyeri. e. Berikan analgetik jika diperlukan f. Ajarkan anak tehnik relaksasi/berikan distraksi pada anak untuk mengurangi nyeri. g. Berikan kompres hangat. h. Berikan antipiretik, antiretroviral sesuai ketentuan. i. Jelaskan pada keluarga tentang resiko penyebaran infeksi 19 Aplikasi model ..., Desak Putu Kristian Purnamiasih, FK UI, 2014
j. Lakukan tindakan kewaspadaan umum. k. Berikan antibiotik (bila ada infeksi organ lain) sesuai ketentuan. 5.
Melakukan evaluasi tindakan keperawatan.
6.
Menganalisis tindakan yang sudah dilakukan serta kejadian yang dialami
selama
memberikan
asuhan
keperawatan
melalui
pembuatan jurnal reflektif.
Supervisor Utama
Supervisor
(Dr. Nani Nurhaeni, SKp., MN)
(Siti Chodidjah, S.Kp., MN)
20 Aplikasi model ..., Desak Putu Kristian Purnamiasih, FK UI, 2014
REFERENSI
Ball, J., & Bindler, R. (2003). Pediatric nursing: caring for children. Ed 3rd. New Jersey: Prentice Hall. Hockenberry, M., Wilson, D. (2009). Wong’s essential of pediatric nursing. Ed 8th. USA:Mosby Elsevier. Silbernagl, S., & Lang, F. (2013). Teks & atlas berwarna patofisiologi. Jakarta: EGC. Rahajoe, et.al. (2013). Buku ajar respirologi anak. Jakarta: Ikatan Dokter Anak Indonesia. Sudoyo, A.W., Setiyohadi, B., Alwi,I., Simadibrata, M., & Setiati, S. (2006). Buku ajar ilmu penyakit dalam. Edisi IV. Jakarta: Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam FKUI. Wong, L.D., Hockenberry, M., Willson, D., Winkelstein, M., & Schwartz, P. (2009). Buku ajar keperawatan pediatrik. Vol 2. Jakarta:EGC. Wong,L.D. (2003). Pedoman klinis keperawatan pediatrik. Edisi 4. Jakarta: EGC.
21 Aplikasi model ..., Desak Putu Kristian Purnamiasih, FK UI, 2014