KARYA ILMIAH APLIKASI ASUHAN KEPERAWATAN PADA GANGGUAN SISTEM KARDIOVASKULER DENGAN PENDEKATAN TEORI MODEL ADAPTASI ROY DI PJN HARAPAN KITA Priyanto STIKES Ngudi Waluyo Ungaran Telp/Fax (024) 6925408, e-mail:
[email protected] Gambaran Kasus Berdasarkan data karakteristik 30 kasus pada asuhan keperawatan gangguan sistem kardiovaskuler menunjukkan bahwa rata-rata usia klien 51 tahun. Insiden penyakit jantung terjadi pada usia dewasa di atas usia 45 tahun. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Ignatacivicius & Workman (2006) bahwa penyakit kardiovaskuler merupakan trend penyakit degeneratif yang dipengaruhi oleh gaya hidup dan faktor resiko. Adapun faktor resiko yang ditemukan pada 30 kasus kelolaan meliputi: merokok, hipertensi, DM, dislipidemia, riwayat penyakit jantung keturunan, riwayat penyakit jantung kongenital, riwayat infeksi seperti DHF dan tipus, asma dan kebiasaan minum kopi. Hal tersebut didukung pendapat Lewis, et al (2007) bahwa faktor resiko penyakit jantung meliputi: kebiasaan merokok, hipertensi, DM dan penyakit riwayat keluarga. Sebagian besar klien berjenis kelamin laki-laki mencapai 83.7%, menunjukkan bahwa sebagian besar penyakit jantung menyerang pada laki-laki, sedangkan angka mortalitas penyakit jantung lebih banyak terjadi pada wanita. Hal tersebut didukung oleh Smelzer, et al (2008) bahwa insiden penyakit jantung pada laki-laki lebih besar dibandingkan wanita. Sebagian besar klien berpendidikan tinggi menunjukkan bahwa trend penyakit jantung terjadi pada kelompok klien berpendidikan tinggi searah dengan kemampuan ekonomi dan gaya hidup seperti pola makan. Sebagian besar pekerjaan swasta dan PNS mendominasi, menunjukkan pada faktor stres pekerjaan dimungkinkan terkait kejadian serangan jantung. Hal tersebut sesuai pendapat Le Mone & Burke (2006) bahwa pola makan tinggi lemak dan faktor stres berkonstribusi terhadapterjadinya insiden penyakit jantung. Klasifikasi penyakit pada 30 kasus pada asuhan keperawatan ini didasarkan pada manifestasi klinik dan proses terjadinya penyakit dan letak gangguan secara anatomi fisiologi jantung. Jumlah kasus bedah jantung yang dikelola paling tinggi mencapai 10 kasus, dilaksanakan di ICU dan IW. 9 kasus penyakit jantung koroner sebagian besar sebagai bentuk ACS (acut coronary syndrome) yaitu STEMI dan Non STEMI yang dapat mengancam jiwa, sesungguhnya sebagai insiden tertinggi penyakit jantung, yang dikelola di ICVCU, ICCU dan Unit Emergency, demikian juga kasus aritmia berjumlah 4 kasus, yang mengancam jiwa seperti VT, VF dan SVT paling banyak ditemukan dan dikelola di Unit Emergency. 2 kasus penyakit jantung rematik dan 5 kasus gagal jantung sebagai kasus kegagalan fungsi pompa jantung yang terjadi secara degeneratif dan kronik dikelola pada perawatan biasa.
Karya Ilmiah: Askep Ganggan Kardiovaskuler dgn Pendekatan Model C. Roy/Priyanto
Page 1
Analisis Penerapan Teori Model Adaptasi Roy dalam Asuhan Keperawatan dengan Gangguan Sistem Kardiovaskuler Analisis penerapan teori model adaptasi Roy pada 30 asuhan keperawatan dengan gangguan sistem kardiovaskuler sebagai berikut: 1. Pengkajian Model adaptasi Roy menggunakan pendekatan 2 tahap pengkajian yang meliputi pengkajian perilaku dan stimulus. Pada 30 kasus kelolaan, hampir seluruh pengkajian mode oksigenasi, ditemukan perilaku tidak efektif, diantaranya: adanya keluhan nyeri dada, sesak napas, berdebar-debar, batuk, sekresi berlebihan, RR meningkat dan tidak teratur. Perilaku tidak efektif seperti adanya sesak napas terjadi pada kasus gagal jantung dan penyakit jantung rematik, adanya nyeri dada terjadi pada kasus gangguan jantung koroner, sedangkan keluhan berdebar-debar terjadi pada kasus aritmia. Klien paska bedah jantung menampilkan perilaku oksigenasi yang masih adaptif seperti respon pernapasan terhadap bantuan ventilator, reflek batuk melemah, sekresi berlebihan, kesadaran menurun karena efek anestesi dan pembedahan, yang mempunyai resiko tinggi terjadi penurunan kondisi dan timbulnya respon perilaku inefektif seperti gangguan pola pernapasan, sesak napas karena ventilasi tidak adequat, perubahan perfusi perifer seperti akral dingin, CRT >3 detik dan nilai saturasi oksigen yang fluktuatif menurun. Klien gagal jantung dan penyakit jantung rematik, menampilkan perilaku yang inefektif terkait aspek oksigenasi antara lain: adanya keluhan sesak napas yang disertai batuk, sesak napas yang meningkat pada malam hari, sesak napas disertai batuk berdahak, sedangkan pada aritmia menunjukkan perilaku oksigenasi antara lain: keluhan dada/jantung berdebar-debar, kadang disertai sesak napas maupun nyeri dada. Smelzer, et al (2008) menyatakan bahwa manifestasi klinis tersering pada penyakit jantung meliputi: sesak napas, nyeri dada, berdebar-debar, fatique disertai keluar keringat dingin. Adanya sesak napas distimulasi adanya penumpukan cairan di paru karena edema pulmonal, bendungan aliran pembuluh darah paru karena pompa jantung menurun. Hal lain mungkin dapat dipengaruhi karena adanya penyakit hipertensi dan jantung sebelumnya. Mekanisme kegagalan pompa jantung pada CHF akibat adanya bendungan aliran yang mengakibatkan beban preload, sehingga beban pompa meningkat. Kematian miokard pada cardiomiopathy mengakibatkan kelemahan miokard untuk berkontraksi, sehingga pompa jantung menurun, demikian juga pada penyakit jantung rematik yang mengakibatkan gangguan katub, berdampak pada beban afterload dan jumlah darah yang dipompakan menurun. Hal tersebut dapat mengakibatkan peningkatan tekanan hidrostatik, sehingga terjadi ekstravasasi cairan (edema) yang ditandai adanya ronkhi (Smeltzer, et al, 2008). Adanya yang cairan mengisi ruang interstitial di paru, akan mengakibatkan gangguan ventilasi/pertukaran gas. Berbeda dengan keluhan sesak napas pada penyakit jantung koroner dan aritmia sebagai bentuk kompensasi paru untuk memenuhi ketidakseimbangan suplai oksigen dengan kebutuhan, sehingga terjadi perubahan pola napas tidak efektif. Karya Ilmiah: Askep Ganggan Kardiovaskuler dgn Pendekatan Model C. Roy/Priyanto
Page 2
Peningkatan beban preload dan afterload serta penurunan kontraktilitas, akan terjadi dekompensasi kontraksi otot jantung sehingga otot jantung membesar dan menebal. Pompa jantung ditentukan beban preload, afterload dan kemampuan kontraktilitas (Price & Wilson, 2006). Hal tersebut dapat diidentifikasi adanya cardiomegali dari rongent dada. Takikardia, akral dingin, adanya cyanosis dan nilai SpO2 rendah sebagai gangguan perfusi perifer akibat curah jantung yang menurun. Cardiomegali sebagian besar terjadi pada gagal jantung dan penyakit jantung rematik. Pada klien paska bedah jantung respon pernapasan masih tergantung pada bantuan ventilator, sehingga program weaning menjadi prioritas untuk mencapai perilaku yang lebih adaptif. Klien dengan penyakit jantung koroner menampilkan perilaku inefektif seperti nyeri dada khas yang menjalar pada kedua lengan, dada terasa berat, nyeri ulu hati maupun nyeri dada yang athypical, perasaan mual, muntah yang dapat diidentifikasi dari diagnostik EKG, enzim jantung dan pemeriksaan coronary angiography. Perilaku tersebut dapat distimuli karena adanya sumbatan koroner sehingga kontraktilitas miokard menurun, adanya riwayat penyakit sebelumnya seperti hiperlipidemia, merokok, hipertensi, DM dan alkohol, serta beberapa hal yang mungkin berpengaruh seperti peningkatan usia, riwayat stres pekerjaan, kurang olahraga dan pola makan; Atherosklerosis sebagai faktor utama terjadinya respon perilaku tersebut, membuat lumen pembuluh darah menyempit termasuk koroner, berakibat terjadinya sumbatan dan penurunan suplai oksigen ke miokard. Gangguan metabolisme menjadi anaerob akan menghasilkan banyak asam laktat yang dapat meningkatkan produksi mediator tubuh, yang dapat menstimulasi terjadinya nyeri dada. Nyeri dada akan dapat berkembang menjadi keluhan yang berat, mengakibatkan resiko terjadinya aritmia dan cardiac arest yang mengancam nyawa. Aritmia yang mengancam jiwa diantaranya VF, VT, SVT, AF aberan & VES konsekutif termasuk sebagian dari 30 kasus yang dikelola saat ini. Ketidakadequatan pembentukan dan konduksi impuls jantung akan mengakibatkan kontraktilitas tidak terarah sehingga pompa jantung tidak adequat. Perasaan tidak nyaman, jantung berdebar-debar, pusing, mual, muntah sebagai bentuk perilaku inefektif pada kasus aritmia. Perilaku inefektif pada aritmia dapat distimulasi secara langsung karena gangguan aktivitas listrik jantung dan secara tidak langsung karena adanya infark miokard, disritmia sebelumnya. Ignatavicius & Workman (2006) menjelaskan bahwa sesak napas, nyeri dada, jantung berdebar-debar sebagai bentuk kompensasi dari sistem pernapasan dan kardiovaskuler untuk memenuhi kebutuhan oksigenisasi/perfusi jaringan tubuh. Keluhan lain dapat berupa mual, muntah, pusing dan penurunan kesadaran. Roy & Andrews (1991) dalam Alligood (2010), menyatakan bahwa kelemahan mekanisme koping dalam kemampuan adaptasi terhadap kompensasi perubahan lingkungan pada proses oksigenasi karena adanya stimulasi perubahan dari dalam tubuh. Ketidakefektifan kompensasi dari fungsi ventilasi dan berkurangnya penyediaan oksigen dan nutrisi ke miokard dan seluruh tubuh. Roy & Andrews (1991) dalam Alligood (2010), menyebutkan bahwa mekanisme koping terhadap tekanan hidrostatik vaskuler dan pulmonal tercapai maka terbentuklah perilaku yang adaptif seperti tidak adanya keluhan sesak napas, nyeri dada dan manifestasi lainnya. Karya Ilmiah: Askep Ganggan Kardiovaskuler dgn Pendekatan Model C. Roy/Priyanto
Page 3
Pengkajian perilaku nutrisi untuk mengidentifikasi kemampuan adaptif pada nutrisi melalui proses metabolisme. Kegagalan pada hal tersebut menyebabkan adanya perilaku inefektif dalam kebutuhan nutrisi manusia. Beberapa kasus menampilkan perilaku inefektif berkaitan dengan nutrisi pada klien dengan komplikasi gangguan metabolisme pada maupun pada klien paska bedah jantung yang masih mengalami efek akibat pembedahan dan anestesi. Perilaku yang ditampilkan diantaranya: nafsu makan menurun, porsi makanan tidak pernah habis dan keluhan mual bahkan muntah. Perilaku tersebut distimulasi oleh adanya keluhan sesak napas, nyeri dada, dirawat di rumah sakit dan proses dan perkembangan penyakit yang dialami. Ignatavicius & Workman (2006) menyatakan tanda tersebut menunjukkan adanya perubahan pada pemenuhan nutrisi seseorang yang dapat mempengaruhi kondisi kesehatan seseorang. Perilaku nutrisi yang inefektif secara aktual pada 30 kasus tidak banyak terjadi dan lebih pada masalah resiko tinggi gangguan pada klien gagal jantung, penyakit jantung rematik dan paska bedah jantung karena adanya rasa tidak nyaman seperti sesak napas, nyeri luka post op, pusing, mual dan muntah. Roy & Andrews (1991) juga menyimpulkan bahwa seseorang harus berupaya untuk memenuhi kebutuhan nutrisinya agar seseorang terhindar dari sakit dan tetap hidup sehat sehingga mampu beradaptasi dengan lingkungannya (Alligood, 2010). Resiko gangguan nutrisi dapat distimulasi karena kurangnya intake nutrisi faktor mual dan muntah; ketidakmampuan tubuh menggunakan glukosa, defisiensi insulin dan atau resistensi insulin, adanya peningkatan usia, riwayat gangguan endokrin seperti DM. Sebagian besar perilaku aktifitas dan istirahat inefektif, seperti adanya kelemahan dan kelelahan, badan lemas, sulit tidur, bedrest dapat distimulasi karena adanya sesak napas atau nyeri dada. Roy & Andrews (1991) menyatakan bahwa perilaku inefektif terkait dengan aktifitas dan istirahat dapat disebabkan oleh stimulus lingkungan, perubahan pola aktifitas dan istirahat (Alligood, 2010). Perilaku aktifitas dan istirahat dapat distimulasi oleh keluhan nyeri dada, penurunan pompa jantung, kelemahan umum, perfusi jaringan tidak adequat. Hasil pengkajian perilaku mode eliminasi pada 30 kasus kelolaan, menunjukkan perilaku adaptif. Ada beberapa klien terpasang kateter urin masih mampu menunjukkan batas perilaku adaptif dan masih merasa nyaman. Roy & Andrews (1991) menyatakan bahwa apabila seseorang sudah memiliki perilaku adaptif maka itu harus dipertahankan dalam kehidupannya (Alligood, 2010). Sebagian besar klien menunjukkan perilaku yang inefektif pada mode sensasi dengan ditemukan adanya berbagai keluhan yang dirasakan berupa adanya nyeri dada pada penyakit jantung koroner, dada berdebar-debar pada kasus aritmia, sesak napas yang ringan sampai berat pada kasus gagal jantung dan penyakit jantung rematik serta adanya nyeri luka post op pada kasus paska bedah jantung. Semua perilaku tersebut dapat berkontribusi langsung pada perubahan perilaku aktifitas dan istirahat, maupun tidak langsung pada mode lainnya seperti: konsep diri. Pada proteksi, hanya pada kasus bedah jantung punya kecenderungan tinggi terjadinya infeksi. Beberapa kasus dengan tindakan invasif pada kasus lainnya masih menunjukkan perilaku yang adaptif. Perilaku tersebut ditunjukkan tidak adanya respon inflamasi dan infeksi pada luka insersi, tidak ada demam, peningkatan leukosit dan LED masih dalam batas normal. Upaya pencegahan Karya Ilmiah: Askep Ganggan Kardiovaskuler dgn Pendekatan Model C. Roy/Priyanto
Page 4
komplikasi terhadap ketidakmampuan adaptasi dalam aspek proteksi menjadi kewaspadaan dalam perawatan, sehingga pada kondisi ini ditingkatkan agar lebih adaptif. Beberapa klien menunjukkan perilaku inefektif terkait aspek cairan dan elektrolit, terutama pada klien gagal jantung, penyakit jantung rematik dan paska bedah jantung yang ditampilkan antara lain: edema, produksi urin sedikit, balans cairan berlebihan. Perilaku ini distimulasi oleh adanya penurunan pompa jantung dan penurunan fungsi ginjal yang tentu berkaitan dengan permasalahan kontraktilitas miokard. Ignatavicius & Workman (2006) menyatakan bahwa penurunan curah jantung dan penurunan fungsi ginjal akan menyebabkan gangguan keseimbangan cairan tubuh dengan manifestasi kurangnya produksi urin dan adanya edema. Kondisi ini menurut Roy & Andrews (1991) dalam Alligood (2010) sebagai kegagalan dalam proses adaptasi terhadap keseimbangan cairan dan elektrolit tubuh yang dapat distimulasi adanya penurunan pompa jantung, gangguan pengaturan cairan di ginjal, hipoalbuminemia. Neurologis dan endokrin tidak menunjukkan adanya perilaku inefektif, kecuali pada klien dengan latar belakang penyakit DM yang tidak terkontrol cenderung terjadi perubahan perilaku yang berkaitan erat dengan perilaku inefektif pada mode nutrisi yang telah dibahas sebelumnya, sehingga perilaku adaptif yang telah ada harus dipertahankan. Klien paska bedah jantung terjadi penurunan kesadaran karena efek anestesi dan beberapa terapi tidak diikuti perilaku inefektif berupa gangguan fungsi neurologis secara permanen seperti fungsi sensorik dan motorik. Hal ini tetap menjadi hal penting dalam mempertahankan perilaku tetap adaptif melalui perawatan intensive untuk pemulihan segera. Pengkajian perilaku pada dimensi psikis, sebagian besar dari 30 kasus kelolaan ditemukan perilaku inefektif pada mode konsep diri, diantaranya adanya perilaku gelisah, ketakutan, keraguan, kekhwatiran, kebingungan selama perawatan. Perilaku kecemasan mendominasi sebagai perilaku inefektif karena berkaitan dengan beberapa hal tentang faktor pencetus kecemasan terutama harapan dan prognosis dan perkembaqngan penyakit. Perilaku tersebut dapat distimulasi karena kurangnya support system, efek hospitalisasi, harapan dan ancaman kondisi tubuh serta kurangnya pengetahuan tentang penyakit dan pengalaman perawatan sebelumnya. Ada sebagian kecil pada kasus kelolaan, terjadi perilaku inefektif pada mode peran dan interdepensi, seperti gangguan fungsi peran karena efek hospitalisasi, kondisi dan prognosis penyakit yang dideritanya. Pengkajian secara bertahap akan lebih memudahkan dalam eksplorasi data, sehingga informasi/data yang diperoleh lebih lengkap dan akurat merupakan salah satu kelebihan dalam penerapan model adaptasi Roy. Seluruh permasalahan akan mudah teridentifikasi melalui pengkajian perilaku dengan faktor stimulusnya. Pengkajian secara komprehensif lebih tergambarkan pada penerapan model adaptasi Roy yang mencakup seluruh dimensi kehidupan dalam 4 mode perilaku. Hal ini juga merupakan kelebihan dalam penerapan model adaptasi Roy, sehingga asuhan keperawatan dapat diberikan secara komprehensif. Lengkapnya tahapan dan cakupan dimensi dalam pengkajian perilaku dan stimulus, berakibat pada tertumpuk banyak informasi/data, yang mungkin tak terhindarkan terjadinya duplikasi dan tumpang tindih data, sehingga menjadi hal yang menjadi kelemahan pada penerapan model adaptasi Roy. Karya Ilmiah: Askep Ganggan Kardiovaskuler dgn Pendekatan Model C. Roy/Priyanto
Page 5
Hal tersebut dibuktikan pada 30 kasus kelolaan dengan adanya informasi/data tumpang tindih karena ada 2 pengkajian yang diulang secara bertahap walaupun pada fokus yang berbeda yaitu pada tampilan perilaku dan faktor stimulusnya. Adanya data yang sama pada mode yang berbeda seperti nutrisi dan endokrin, aktifitas istirahat dengan sensasi, akan menyulitkan dalam menentukan fokus masalah, seperti contohnya perilaku nyeri yang mengkin muncul pada aspek oksigenasi, sensasi eliminasi dan neurologis. Hal tersebut menjadi kelemahan dalam penerapan teori ini.. Hal lain yang menjadi kelemahan diantaranyaa ada beberapa komponen lain tidak tergali seperti perilaku inefektif berkaitan dengan fungsi integumen, muskuloskletal dan reproduksi. Pengkajian mode oksigenasi terlalu luas untuk menggali perilaku yang berkaitan banyak hal dan organ tubuh yang terlibat diantaranya, sistem pernapasan, jantung, vaskuler dan faktor hematologi dan faktor lainnya, sehingga kecenderungan data yang diperoleh belum terpilah-pilah, walaupun Roy dalam mode ini telah membedakan substansi oksigenasi menjadi ventilasi, transportasi dan perfusi. 2. Diagnosa Keperawatan Sesungguhnya pilihan penetapan diagnosa keperawatan telah dikemukakan oleh Roy & Andrews (1991) secara jelas dengan berbagi alternatifnya, akan tetapi formulasi penulisan tetap mengacu pada identifikasi kemampuan adaptasi individu yang bersifat spesifik. Penegakan diagnosa keperawatan tetap harus memenuhi standar yang berlaku (Alligood, 2010). Model adaptasi Roy memberikan kebebasan untuk memilih standar acuan dalam penegakan diagnosis keperawatan, sehingga identifikasi masalah tetap dilakukan secara spesifik dan memilih penetapan diagnosa keperawatan berdasarkan NANDA International (2009-2011) dan beberapa standar baku diagnosis lainnya. Roy & Andrews (1991) menyatakan bahwa penetapan diagnosa keperawatan dilakukan dengan cara menghubungkan antara perilaku (behavior) dengan stimulus yang telah dilaksanakan pada tahap pengkajian (Alligood, 2010). Penetapan diagnosa berdasarkan analisis adanya perilaku inefektif dari hasil pengkajian perilaku dan adanya stimulus yang dapat mencetuskan mekanisme koping inefektif. Sebagian besar dari 30 kasus kelolaan muncul diagnosa keperawatan: penurunan curah jantung berhubungan dengan penurunan kontraktilitas miokard. Ini menunjukkan bahwa diagnosa tersebut merupakan diagnosa utama pada pengelolaan klien dengan gangguan sistem kardiovaskuler. Pada hakekatnya seluruh gangguan koroner, adanya aritmia, jantung rematik, paska bedah jantung dan gagal jantung terfokus pada masalah utama adanya perubahan fungsi pompa jantung. Mekanisme perubahan fungsi kontraktilitas yang tidak adequat mengakibatkan beban pompa jantung meningkat, yang berdampak pada turunnya curah jantung (Ignatavicivius & Workman, 2006). Dampak sistemik selanjutnya terhadap penurunan curah jantung dapat berakibat terjadinya penurunan perfusi ke semua jaringan termasuk ke ginjal, sedangkan dampak beban berat terhadap preload akan meningkatkan tekanan hidrostatik dam terjadi gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit. Kecenderungan gangguan keseimbangan cairan berefek terhadap gangguan ion dan mineral yang ada di dalamnya (Smeltzer, et al, 2008).
Karya Ilmiah: Askep Ganggan Kardiovaskuler dgn Pendekatan Model C. Roy/Priyanto
Page 6
Diagnosa gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit berhubungan dengan gangguan mekanisme pengaturan cairan tubuh sekunder terhadap penurunan fungsi ginjal dan kekuatan pompa jantung, secara aktual terjadi pada gagal jantung dan penyakit jantung rematik, tetapi masalah resiko/potensial lebih banyak terjadi pada kasus paska bedah jantung yang rawan mengalami perubahan hemodinamik, sedangkan aritmia dan penyakit jantung koroner tidak ditegakkan karena dampak secara sistemik belum terjadi. Diagnosa keperawatan nyeri dada akut berhubungan dengan sumbatan pembuluh darah koroner, secara aktual ditegakkan pada penyakit jantung koroner. Mekanisme patofisiologi terjadinya keluhan nyeri dada diakibatkan karena adanya sumbatan koroner, yang mengakibatkan perfusi O2 ke miokard menjadi tergganggu dan berkurang, akibatnya terjadi metabolisme anaerob yang akan memproduksi asam laktat yang berlebihan sehingga menstimulasi produksi mediator tubuh yang berespon terhadap sensasi nyeri (Price & Wilson, 2006). Nyeri dada sebagai keluhan penyerta pada gagal jantung dan aritmia karena perfusi ke miokard yang tidak adequat, maka masalah nyeri dada menjadi hal penting untuk ditangani selain sesak napas. Kesinambungan masalah nyeri dada dengan sesak napas seringkali berkaitan karena adanya ketidakseimbangan suplai oksigen dengan kebutuhan tubuh akibat dekompensasi pompa jantung. Diagnosa keperawatan pola napas tidak efektif berhubungan dengan ketidakseimbangan suplai oksigen, ditegakkan penyakit jantung koroner dan aritmia, sedangkan pada gagal jantung dan penyakit jantung rematik terjadi gangguan pertukaran gas tidak efektif seperti pembahasan pada kasus utama. Berbeda pada kasus bedah jantung, respon pernapasan mengalami masalah karena tindakan pembedahan dan anestesi, sehingga lebih berfokus pada masalah resiko terjadi komplikasi fungsi pernapasan. Beberapa kasus bedah jantung masalah resiko komplikasi fungsi pernapasan ditegakkan ((Ignatavicivius & Workman, 2006). Diagnosa intoleransi aktifitas, gangguan pola tidur sering kali berkaitan dengan adanya keluhan nyeri dada, sesak napas maupun kelemahan umum, ditegakkan pada kasus gagal jantung, aritmia dan gangguan koroner. Keluhan sesak napas terjadi akibat ketidakcukupan suplai O2 dengan kebutuhan tubuh akibat ventilasi tidak adequat karena penurunan pompa jantung. Dada berdebar lebih banyak dirasakan pada aritmia karena impuls terbentuk tidak sempurna maupun terjadi blokade konduksi implus. Keluhan penyerta melengkapi respon tubuh terhadap mekanisme sistem tubuh yang saling berkaitan seperti adanya mual, muntah, pusing, keluar keringat dingin maupun sampai penurunan kesadaran. Perhatian terhadap aspek kehidupan yang menyangkut masalah psikis lebih banyak terjadi adanya masalah kecemasan berhubungan dengan krisis situasional sekunder terhadap hospitalisasi maupun pengalaman penatalaksanaan emergency maupun pembedahan. Model adaptasi Roy mengakomodir seluruh kemungkinan masalah terkait dengan masalah perilaku inefektif tetapi tidak membuat diagnosis baku terhadap berbagai masalah yang mungkin terjadi. Hal tersebut dapat menjadi kelebihan sekaligus kelemahan, karena fleksibel dan tidak mengikat terhadap satu acuan standar baku dalam penetapan diagnosis. 3. Penetapan Tujuan Keperawatan Rumusan tujuan keperawatan disesuaikan dengan diagnosa keperawatan yang telah ditetapkan. Tujuan keperawatan merupakan pernyataan yang jelas dari Karya Ilmiah: Askep Ganggan Kardiovaskuler dgn Pendekatan Model C. Roy/Priyanto
Page 7
keluaran perilaku (behavior outcomes) yang diharapkan setelah diberikan asuhan keperawatan. Tujuan keperawatan menurut Roy & Andrews (1991) adalah mempertahankan dan mempertinggi perilaku adaptif serta merubah perilaku tidak efektif menjadi perilaku adaptif (Alligood, 2010). Pengelolaan 30 kasus secara rinci pencapaian perilaku yang adaptif menjadi harapan utama. Dalam memudahkan tahapan evaluasi, formulasi tujuan dibagi menjadi tujuan jangka panjang dan pendek yang keduanya berorientasi pada pencapaian perilaku yang adaptif. Model adaptasi Roy menjelaskan secara rinci tentang target sebagai acuan dalam penetapan intervensi dan pencapaian hasil evaluasi, sehingga akan memperjelas dan memudahkan menetapkan intervensi sekaligus menganalisis dengan memperbandingkan harapan dan perilaku adaptif yang akan dicapai. Model adaptasi Roy mempertimbangkan penetapan tujuan secara jelas dan terukur lebih mempernudah dalam pengaturan strategi asuhan keperawatan terutama dalam hal penetapan intervensi dan evaluasi yang lebih terstruktur (Alligood, 2010). Hal ini menjadi kelebihan dalam penerapan asuhan keperawatan dengan orientasi dan harapan pencapaian tujuan yang jelas 4. Intervensi dan Implementasi Keperawatan. Sebagian besar intervensi telah diimplementasikan dengan baik dan dilaksanakan bersama tim kesehatan. Intervensi keperawatan sebagai rencana yang disusun dan dirumuskan untuk mencapai perilaku adaptif melalui upaya merubah stimulus agar mempengaruhi perilaku. Intervensi difokuskan pada cara pencapaian tujuan dan dilaksanakan untuk meningkatkan perilaku adaptif. Intervensi keperawatan diarahkan pada stimulus fokal melalui pendekatan perawatan yang ditujukan untuk meningkatkan adaptasi dengan merubah stimulus atau memperkuat proses adaptasi (Alligood, 2010). Intervensi keperawatan yang dipilih dan dilaksanakan untuk meningkatkan perilaku adaptif serta memperbaiki perilaku yang tidak efekif. Pelaksanaan implementasi merupakan penjelasan luas dan nyata tentang bentuk aplikasi intervensi keperawatan yang diberikan. Implementasi difokuskan kepada kemampuan manajemen koping seseorang terhadap perubahan keseimbangan dalam adaptasi. Hal tersebut sesuai dengan pendapat dari Roy & Andrews (1991) dalam Alligood (2010) bahwa intervensi keperawatan memfokuskan pada cara untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Model adaptasi Roy tidak menjelaskan tentang rangkaian intervensi secara rinci untuk mencapai perilaku adaptif di setiap perubahan mode. Pilihan modifikasi intervensi keperawatan dilakukan untuk menyesuaikan pencapaian tujuan yang telah ditetapkan. Orientasi pada upaya memanajemen koping agar tercapai perilaku adaptif, maka penetapan intervensi menggunakan pendekatan mekanisme koping secara regulator dan kognator. Tindakan regulator sebagai pilihan tindakan terhadap upaya memanejen secara langsung terhadap proses koping berkenaan dengan fisik maupun biokimiawi dalam tubuh, sedangkan kognator sebagai pendekatan intervensi melalui pendekatan persepsi dan proses pikir untuk mencapai koping yang adaptif pula (Alligood, 2010). Pada pengelolan 30 kasus intervensi dan implemetasi diarahkan untuk memperbaiki fungsi pompa jantung dan oksigenasi, fungsi keseimbangan cairan dan elektrolit, fungsi aktivitas dan istirahat, fungsi proteksi atau perlindungan,
Karya Ilmiah: Askep Ganggan Kardiovaskuler dgn Pendekatan Model C. Roy/Priyanto
Page 8
serta memperbaiki konsep diri dan memperbaiki fungsi peran ke arah perilaku adaptif. Model Adaptasi Roy, belum menjelaskan secara terbuka tentang pilihan intervensi secara khusus yang lebih applicable dan nyata dalam upaya mencapai perilaku yang adaptif, meskipun Roy dan Andrews (1991), menyatakan bahwa intervensi keperawatan direncanakan untuk merubah atau memanage stimulus fokal dan kontekstual (George, 1995). Hal tersebut menjadi salah satu kesulitan dalam aplikasi penyusunan intervensi dalam penerapan teori ini. 5. Evaluasi Keperawatan. Evaluasi sebagai tahap akhir proses keperawatan menurut model adaptasi Roy untuk menilai efektifitas intervensi keperawatan yang diberikan untuk meningkatkan kemampuan adaptasi. Sebagian besar dari hasil evaluasi tercapai perilaku adaptif setelah diberikan intervensi keperawatan selama rata-rata 3 hari perawatan. Perilaku adaptif tercapai pada beberapa mode termasuk aspek oksigenasi, keseimbangan cairan dan elektrolit, aktivitas dan istirahat, proteksi atau perlindungan dan konsep diri. Beberapa belum tercapainya perilaku adaptif lebih banyak dipengaruhi karena agresifitas perkembangan penyakit dan keutuhan intervensi untuk dapat diimplementasi secara rinci. Apabila perilaku adaptif belum tercapai maka perlu adanya modifikasi intervensi keperawatan yang diarahkan pada pencapaian kemampuan adaptasi dan bila telah tercapai perilaku adaptif maka intervensi harus dipertahankan. Roy & Andrews (1991) menyatakan bahwa apabila masih ada perilaku yang masih tidak efektif, maka perlu adanya modifikasi ke arah yang lebih adaptif (Alligood, 2010). Evaluasi keperawatan mengacu pada pencapaian perilaku adaptif, yang didukung oleh bahwa evaluasi merupakan upaya penetapan keefektifan dari intervensi keperawatan sebagai refleksi dari tujuan keperawatan. Roy & Andrews (1991) menyatakan bahwa apabila tujuan tidak tercapai maka perlu memproses kembali tentang intervensi yang diberikan ataupun tujuan yang tidak realistik sehingga sulit untuk dicapai (Alligood, 2010). Pendekatan teori model adaptasi Roy memungkinkan diterapkan pada asuhan keperawatan pada klien dengan gangguan sistem kardiovaskuler. Beberapa alasan diantaranya: 1) Model ini menguraikan rangkaian tahapan proses keperawatan, adanya komponen pengkajian sampai dengan evaluasi; 2) Model pengkajian bertahap, memudahkan untuk eksplorasi data lebih lengkap; 3) Cakupan pengkajian meliputi semua aspek dimensi kehidupan baik fisik maupun psikis; 4) Formulasi tujuan dan diagnosa keperawatan dinyatakan dengan jelas pada masalah perilaku inefektif; 6) Implementasi lebih flexibel sebagai pernyataan rinci dari intervensi, memudahkan dalam pelaksanaan. Beberapa kelemahan diantaranya: 1) Mudahnya eksplorasi data, cenderung mengalami duplikasi data; 2) Pendekatan asuhan keperawatan gangguan sistem kardiovaskuler masih menjadi bagian dari mode oksigenasi secara umum, sehingga penggalian masalah fungsi pernapasan dan kardiovaskuler kurang ada sekat untuk menghasilkan spesifisitas dalam asuhan keperawatan; 3) Strategi intervensi belum diuraikan secara jelas, berakibat pada munculnya persepsi yang berbeda tentang manajemen koping.
Karya Ilmiah: Askep Ganggan Kardiovaskuler dgn Pendekatan Model C. Roy/Priyanto
Page 9
Daftar Pustaka Alligood, M.R. (2010). Nursing theory: utilization & application. 4th edition, Mosby Elsevier Inc. Maryland, Missouri 63043. American Heart Associations, (2005), Acute coronary syndrome stabilization, diperoleh 14 April 2011, dari http://americanheart.org. Araich.M.A. (2001). Roy adaptation model: demonstration of theory integration into process of care in coronary care unit. diperoleh 14 Pebruari 2011, dari ICU Nurse Web Journal, http:/www. ICUs.Nusing.Jurnal.com. Black, J.M. & Hawks, J.H. (2009). Medical surgical nursing: clinical management for positive outcomes. 8th edition, Elsevier Saunders 11830, Westline Industrial Drive, St. Louis Missouri 63146. Chulay, M. C., Burns, S. M. (2006). AACN : Essentials of crtitical care nursing, International Edition, San Fransisco: McGraw-Hill. Corwin, E,J. (2001). Hand book of pathophysiology. Philadelphia: Lippincott, Raven Publisher. Creswell, J.W. (2002). Research design; qualitative & quantitative approaches, Sage Publications, Inc. Cunningham, Seán, et al. (2002). Guidelines on the use of biochemical cardiac markers and risk factors. diperoleh 15 April 2011, dari http://www.acbi.ie/Downloads/Guidelines-on-the-Use-of-BiochemicalCardiac-Markers-and-Risk-Factors-2002.pdf Dochterman J.M., Bulechek G.M. (2004). Nursing interventions classivication (NIC). 4th Ed, St. Louis Missouri: Mosby Inc. Doenges, M.E., Moorhouse, M.F., & Geissler, A.C. (2000), Rencana asuhan keperawatan. Alih bahasa: Kariasa & Sumarwati. EGC. Jakarta. Fawcett, J. (2002), Sister callista roy's adaptation model. diperoleh 18 Juni 2011, dari http://www4.desales.edu/~sey0/roy.html George, J.B. (1995). Nursing theories: The base for professional nursing practice. 4th Ed, USA: Appleton & Lange: Guyton, A.C. & Hall, J.E,. (2006). Textbook of medical physiology. 11 th edition, Philadelphia:WB. Saunders Company, Misissipi. Hector D.S.(2010) A Retrospective analysis of Nursing Documentation in The Intensive Care Unit of Academic Hospital in The Western Cape Jarvis, C. (2004). Physical examination and health assessment. 4th edition, Elsevier Saunders 11830, Westline Industrial Drive. St. Louis Missouri 63146. Johnson, et al (2008). Fluids and electrolytes demystifed. The McGraw-Hill Companies, USA. Kalim.H., Idham. I., & Irmalita, (2004), Tata laksana sindroma koroner akut dengan ST-elevasi. Jakarta: PERKI Kozier, E., & Blains, W., (1995), Fundamental of Nursing. St Louis : AddisonWesley Publishing Company, Inc. LeMone, P. & Burke, K. (2008), Medical surgical nursing: critical thingking in client care, 4th-edition, USA: Pearson Prentice Hall. Lewis, S.M, Heitkemper, M.M., Dirken, S.R., O‘Brien, P.G., Bucher, L. (2007). Medical surgical nursing; assessment and management of clinical problems. 7th edition. volume 2, Elsevier Saunders 11830, Westline Industrial Drive. St. Louis Missouri 63146.
Karya Ilmiah: Askep Ganggan Kardiovaskuler dgn Pendekatan Model C. Roy/Priyanto
Page 10
Marino, P.L. & Sutin, K.M. (2009). The little intensive care unit book of facts and formulas. Lippincott Williams & Wilkins, A Wolters Kluwer Businness, Philadelpia. Marriner & Tomey, A.(2006). Nursing theorists and their work. third edition. Philadelphia : Mosby Year –Book, Inc. Mehta NJ, Khan IA (2002). "Cardiology's 10 greatest discoveries of the 20th century". Tex Heart Inst J 29 (3): 164–71. PMC 124754. PMID 12224718. Meyers, K. (2008) The roy adaptation model. diperoleh 14 Pebruari 2011, http://www2.bc.edu/~royca/htm/ram.htm. McCann, et all., (2006). Manual of nursing practice. (8th Ed). Lippicott William & Wilkins : Philadelphia. Moser. D.K., Riegel. B. (2008). Cardiac nursing. a companion to brown walld’s heart desease. Philadelphia: Elsevier-Saunders. Nigam, P.K.(2007). Biochemical Markers of Myocardial Injury. http://medind.nic.in/iaf/t07/i1/iaft07i1p10.pdf diperoleh tanggal 15 April 2011. Parker, M. E (2001), Nursing Theories And Nursing Practice, Philadelphia : F.A Davis Company. Payen, M.R. Pinsky.(2005). Functional haemodynamic monitoring. Springer, Jerman Philcher, et al. (2005). Outcomes, cost and long term survival of patients referred to a regional weaning centre. diperoleh 22 Pebruari 2011, dari http://thorax.bmj.com Pollit, D.F & Beck, C.T. (2004). Nursing research : principles and methods, 7th edition, Lippincott William & Wilkins, A Wolters Kluwer Company. Philadelpia. Potter, A.P., & Perry, A. (2006), Clinical Nursing Skill & Techniques, 6th-edition, St Louis Missourin, Mosby Elsevier Price, S.A. & Wilson, L.M. (2006). Pathophysiology: clinical concepts of disease process. 6 edition, Elsevier Science. Ralph, S. S, et.al, (2010), NANDA International 2009-2011, Philadelphia : NANDA. Roy, S. C. & Andrews, H. A, (1991), The Roy Adaptation Model : The Defenitive Statement, California : Appleton & Lange. Smeltzer, S.C., Bare, B.G., Hincle, J.I., Cheever, K.H. (2008). Textbook of medical surgical nursing; brunner & suddart. eleventh edition, Lipincott Williams & Wilkins, a Wolter Kluwer Business. Philadelpia Sudoyo, A.W., Setiyohadi, B., Alwi I., Simadibrata, M., & Setiati, S., et al. (2006). Buku ajar ilmu penyakit dalam. Edisi 4, Jakarta : FKUI. 148 Tomey, A.M. & Alligood, M. R. & (2006). Nursing theory: utilization & application, 3 rd edition, Mosby Elsevier Inc. Maryland, Missouri 63043. Wiegand, D.J.L.M. & Carlson, K.K. (2005). Procedure manual for critical care. Fifth Edition. Elsevier Saunders. 11830 Westline Industrial Drive, St. Louis Missouri 63146. Wilkinson, J.M. (2005). Nursing diagnosis handbook: with NIC intervention and NOC outcomes. 8 th. Edition, New Jersey: Prentice Hall. Woods, S. L, Froelicher, E. S, Motzer, S. A, Bridges, E. J, (2005), Cardiac nursing, 5th. edition, Philadelphia : Lippincott Williams & Wilkins. Karya Ilmiah: Askep Ganggan Kardiovaskuler dgn Pendekatan Model C. Roy/Priyanto
Page 11