Pemberdayaan Sekolah Dasar (SD) SebagaiFondasi Peningkatan Mutu Pendidikan Nasional (Pemberdayaan SDM yang Cerdas, Kompetitif, Produktif dan Berakhlak Mulia dengan Pendekatan Sistem) Oleh: Dr Hari Suderadjat, Drs, MPd. *) Sudah lama Indonesia menggunakan istilah Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas), karena memang pendidikan merupakan sebuah sistem yang terdiri dari komponen-komponen yang saling berhubungan (interrelated) dan saling tergantung (interdependence), sehingga berfungsi dalam mencapai tujuan pendidikan nasional, yaitu SDM (Sumber Daya Manusia) yang cerdas, kompetitif, produktif dan berakhlak mulia.SDM yang bermutu merupakan komponen strategis dalam pembangunan nasional, khususnya dalam millenium III yang berbasis teknologi informatika dan penuh dengan ketidakpastian. Sisdiknas terdiri dari subsistem Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD), Pendidikan Dasar (Sekolah Dasar/SD dan Sekolah Menengah Pertama/SMP), Pendidikan Menengah (Sekolah Menengah Atas/SMA dan Sekolah Menengah Kejuruan/SMK) dan Pendidikan Tinggi (S1, S2 dan S3). Keempat sub-sistem tersebut saling terhubung dan saling ketergantungan satu sama lain, sesuai dengan peran dan fungsinya masing-masing. Apa Peran dan Fungsi SD dalam Sisdiknas? Pada saat ini penamaan kelas pada jenjang pendidikan dasar dan menengah dinyatakan dalam tingkat yang berkelanjutan, dimulai dari kelas 1 s.d kelas 6 di SD (Sekolah Dasar), kelas 7 s.d kelas 9 di SMP (Sekolah Menengah Pertama) dan kelas 10 s.d kelas 12 di SMA (Sekolah Menengah Atas). Hal ini menunjukkan eratnya hubungan dan adanya saling ketergantungan antara SD sebagai komponen pendidikan dasar, SMP dan SMA sebagai komponen pendidikan menengah, yang keduanya merupakan sub sistem dari Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas). Bagaimana eratnya saling keterkaitan dan saling ketergantungan antar komponen pendidikan dalam sistem pendidikan nasional, dapat dianalogikan dengan saling keterkaitan antara komponen dalam suatu bangunan bertingkat 15 (lima belas) seperti yang diilustrasikan dalam gambar 1:1. Keseluruhan bangunan bertingkat tersebut, dari mulai lantai satu hingga lantai lima belas, dapat dianalogikan sebagai “struktur bangunan pendidikan” yang terdiri dari SMP tiga tahun, SMA/SMK tiga tahun, S1 empat tahun, S2 dua tahun dan S3
Pemberdayaan SD sebagai Fondasi Peningkatan Mutu Sidiknas HS Sept 13
Page 1
tiga tahun, yang berdiri diatas fondasinya yaitu SD enam tahun, yang secara keseluruhan berada diatas tanah atau lahan bangunan yaitu PAUD.
Bagan 1: StrukturBangunan Sistem Pendidikan
Bagan 1 tersebut memberikan gambaran bahwa: Pertama, bangunan tersebut terletak pada suatu lahan tanah, yang dapat dianalogikan sebagai PAUD. Untuk dapat menerima beban bangunan yang terdiri dari fondasi dan struktur bangunan 15 lantai, maka daya dukung tanah tersebut perlu diperkuat dengan menggunakan tiang-tiang pancang dari beton. Dalam hal ini terjadi upaya penguatan agar daya dukung tanah meningkat, yang identik dengan upaya peningkatan kemampuan siswa PAUD agar dapat memasuki pendidikan dasar (SD). Bagaimana bila tanahnya tidak kuat menahan beban fondasi dan struktur bangunan 15 lantai? Fondasi dan struktur bangunan 15 lantai bisa amblas, miring atau roboh. Demikian juga halnya pada dunia pendidikan, tanpa PAUD yang bermutu, dalam melakukan proses peningkatan kesiapan siswa untuk dapat memasuki jenjang pendidikan dasar, upaya peningkatan mutu pendidikan nasional sulit tercapai, bahkan terancam gagal. Oleh karena itu semua anak usia 2 tahun sampai dengan 6 tahun harus belajar di lembaga PAUD guna mengaktualisasikan semua potensinya dan meningkatkan kesiapan mereka memasuki Sekolah Dasar.
Pemberdayaan SD sebagai Fondasi Peningkatan Mutu Sidiknas HS Sept 13
Page 2
Kedua, fondasi bangunan harus dapat menyangga beban struktur bangunan 15 (lima belas) lantai. Bagaimana apabila fondasinya tidak kuat? Bangunan 15 lantai yang berada diatasnya akan amblas, miring atau roboh. Hal ini identik dengan Sekolah Dasar yang lulusannya harus memiliki “kecakapan dasar”, yaitu kecerdasan intelektual(proses berpikir ilmiah), kecerdasan emosional-spiritual (karakter/ahlak mulia) dan kecerdasan kinestetis (keterampilan fisik). Kecakapan ini menjadi kunci keberhasilan peserta didik dalam menempuh pendidikan menengah dan tinggi, bahkan keberhasilan mereka dalam mengarungi kehidupan dalam masyarakat millenium III yang merupakan masyarakat belajar (learning society) dan masyarakat ilmiah (scientific society) berbasis teknologi informatika dan komunikasi. Ketiga, membangun struktur bangunan 15 (lima belas) tingkat, yaitu SMP, SMA, dan PT (Pendidikan Tinggi) yang kokoh. Hal ini identik dengan penyelenggaraan pendidikan berbasis kompetensi agar dapat membangun SDM yang cerdas, kompetitif, produktif dan berakhlak mulia, yang dibutuhkan oleh Pembangunan Nasional (Nation Building). Bagan 1 tersebut memberikan gambaran tentang bagaimana keterkaitan dan ketergantungan komponen struktur bangunan 15 lantai (SMP, SMA dan PT) kepada fondasi (SD) dan tanah (PAUD), bahwa bila fondasinya lemah (SD), maka sekokoh apapun bangunan di atasnya (SMP, SMA dan PT) akan rapuh, mudah amblas, mudah goyah, dan bukan tidak mungkin runtuh. Demikian juga bila daya dukung tanah (PAUD)
tidak cukup kuat untuk menyangga beban fondasi dan seluruh
bangunan diatasnya, maka keseluruhan bangunan (SD, SMP, SMA dan PT) akan roboh. Analoginya adalah mutu sistem pendidikan nasional tidak dapat mencapai mutu yang diharapkan. Sebagai suatu sistem, pembangunan gedung 15 lantai tidak bisa dilakukan tanpa membangun fondasi yang kuat diatas tanah yang memiliki daya dukung yang cukup, demikian juga upaya peningkatan mutu pendidikan SMP, SMA/SMK dan PT yang identik dengan bangunan 15 lantai, tidak akan berhasil baik tanpa didahului dengan peningkatan mutu SD dan PAUD. Dengan kata lain peningkatan mutu Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) tidak dapat dilakukan secara parsial, melainkan harus dengan pendekatan pengembangan sistem (system development approach), layaknya suatu sistem bangunan bertingkat. Dengan demikian peningkatan mutu pendidikanharus dimulai dari PAUD dan SD, sebagai fondasi bagi peningkatan mutu pendidikan menengah dan tinggi dalam Pemberdayaan SD sebagai Fondasi Peningkatan Mutu Sidiknas HS Sept 13
Page 3
membangun SDM yang kompetitif, produktif dan berahlak mulia yang dibutuhkan bagi pembangunan nasional. Apa yang menjadikan SD sebagai fondasi? Jawabannya adalah kecakapan proses, yang harus dimiliki lulusan SD, yang meliputi kecakapanproses berpikir, kecakapan proses bersikap berlandaskan nilai personal, sosial dan spiritual (ketuhanan) yang merupakan kecakapan dasar, yangmerupakan kunci keberhasilan mereka pada pendidikan selanjutnya dan juga dalam kehidupan di masyarakat. Dengan kata lain kecakapan dasar yang harus dimiliki siswa SD adalah kecerdasan intelektual, kecerdasan emosional-spiritual dan kecerdasan kinestetis, yang akan kunci keberhasilan pemberdayaan SDM yang cerdas, kompetitif, produktif dan berakhlak mulai, yang dibutuhkan Indonesia saat ini, dalam menanggulangi krisis moral, krisis integritas dan krisis kepemimpinan.
Kecakapan Dasar Sebagai Fondasi yang Kokoh Bagi Peningkatan Mutu SDM Reformasi pendidikan dimulai dengan UU No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas 2003), mengubah kurikulum dan manajemen pendidikan. Pendidikan yang berbasis materi pelajaran (subject matter) pada Kurikulum 1994 diubah menjadi pendidikan berbasis kompetensi dengan Kurikulum 2004 (KBK) yang disempurnakan menjadi Kurikulum 2006 yaitu Kurikulum Tingkat SatuanPendidikan (KTSP), meskipun hasilnya belum memenuhi harapan seperti yang dikemukakan dalam dokumen Kurikulum 2013 sebagai berikut: Dengan berbagai kemajuan yang telah dicapai, mutu pendidikan Indonesia harus terus ditingkatkan.Hasil studi PISA (Program for International Student Assessment), yaitu studi yang memfokuskan pada literasi bacaan, matematika, dan IPA, menunjukkan peringkat Indonesia baru bisa menduduki 10 besar terbawah dari 65 negara. Hasil studi TIMSS (Trends In Internasional Mathematics and Science Study) menunjukan siswa Indonesia berada pada rangking amat rendah dalam kemampuan (1) memahami informasi yang komplek, (2) teori, analisis dan pemecahan masalah, (3) pemakaian alat, prosedur dan pemecahan masalah dan (4) melakukan investigasi. Hasil studi ini menunjukan perlu ada perubahan orientasi kurikulum dengan tidak membebani peserta didik dengan konten namun pada aspek kemampuan esensial yang diperlukan semua warga Negara untuk berperanserta dalam membangun Negara pada masa mendatang. Dalam uji kompetensi yang dilakukan PISA terhadap siswa Indonesia, hasilnya Indonesia berada pada 10 besar terbawah. Hal ini menimbulkan pertanyaan apakah pendidikan di Indonesia belum berbasis kompetensi? Ataukah kurikulumnya (KTSP) belum mengintegrasikan ketiga domain, sehingga pelaksanaannya masih
Pemberdayaan SD sebagai Fondasi Peningkatan Mutu Sidiknas HS Sept 13
Page 4
tetap padat materi? Mungkinkah KTSP masih merupakan “kurikulum mata pelajaran” yang “ dikemas ” dalam KBK? Menurut pengamatan Konsultan masih banyak rumusan SK (Standar Kompetensi) dan KD (Kompetensi Dasar) yang belum mengintegrasikan ketiga domain (Kognitif, Afektif dan Motorik), masih padat dengan materi (kognitif), sehingga pelaksanaannya masih berorientasi pada materi, maka pantaslah apabila siswa Indonesia mengikuti ujian PISA yang berbasis kecakapan merumuskan masalah, kecakapan menetapkan solusi dan merumuskan gagasan, siswa Indonesia belum terlatih.Inilah yang harus diteliti dan diperbaiki oleh guru professional yang sudah mendapat Sertifikat Kompetensi. Disisi lain Kurikulum 2013 menyatakan bahwa untuk SD harus diarahkan pada kemampuan baca tulis dan hitung serta pembentukan karakter seperti pernyataan berikut: Berbagai elemen masyarakat telah memberikan kritikan, komentar, dan saran berkaitan dengan beban belajar siswa, khususnya siswa Sekolah Dasar.Beban belajar ini bahkan secara kasatmata terwujud pada beratnya beban buku yang harus dibawa ke sekolah.Beban belajar ini salah satunya berhulu dari banyaknya mata pelajaran yang ada di tingkat sekolah dasar.Oleh karena itu kurikulum pada tingkat sekolah dasar perlu diarahkan kepada peningkatan 3 (tiga) kemampuan dasar, yakni baca, tulis, dan hitung serta pembentukan karakter. Artinya bahwa Pemerintah menekankan lulusan SD agar: mampu membaca (ca), menulis (lis) dan berhitung (tung), serta memiliki karakter ? Apa yang dimaksud dengan kemampuan membaca (ca), menulis (lis) dan berhitung (tung), yang zaman dahulu kala, bahkan sejak zaman penjajahan Belanda dikenal dengan istilah 3 R’s, yaitu reading, writing dan arithmatic. Apa tujuan pembelajaran ca-lis-tung zaman dahulu kala? Mari kita baca sejarah perkembangan pendidikan di Indonesia, khususnya pendidikan dasar.
Sekolah Dasar dalam Era Penjajahan Said (1987:61-62) mengmukakan bahwa pada tahun 1892 ada dua macam sekolah rendah untuk orang Indonesia sebagai masyarakat jajahan, yaitu: 1. Sekolah “Kelas Satu” untuk anak-anak orang Indonesia yang menjadi pegawai Pemerintah Hindia Belanda dan priyayi. Lama pendidikan pada mulanya 4 tahun, kemudian dijadikan 5 tahun dan akhirnya 7 tahun. Maksudnya ialah untuk mendidik pegawai-pegawai rendahan untuk kantorkantor pemerintahan maupun buat kantor-kantor dagang. Di sekolah itu diajarkan juga ilmu bumi, sejarah, ilmu hayat, menggambar dan ilmu mengukur tanah. Pelajaran diberikan dalam bahasa “Melayu dan bahasa Belanda. Sekolah inilah yang kemudian bernama HIS, kependekan dari Hollands Inlandse School, yang menghasilkan pegawai-pegawai
Pemberdayaan SD sebagai Fondasi Peningkatan Mutu Sidiknas HS Sept 13
Page 5
untukpemerintahan kolonial. Jenis sekolah ini pada umumnya baru dihapus dan dijadikan Sekolah Rakyat 6 tahun setelah Indonesia Merdeka. 2. Sekolah “Kelas Dua” untuk anak-anak rakyat biasa, bukan priyayi dan bukan orang Indonesia yang menjadi pegawai pemerintah Belanda. Denganlama pendidikan 3 tahun, pelajaran yang diberikan ialah membaca (ca), menulis (lis) dan berhitung (tung), dengan tujuan agar lulusannya dapat menjadi buruh kasar, tukang kayu dan tukang batu serta menjadi pedagang mikro. Inilah sekolah yang kemudian disebut sebagai Sekolah Desa yang baru dihapus dan dijadikan Sekolah Rakyat 6 tahun, setelah Indonesia Merdeka. Tahun 1921 Pemerintah Hindia Belanda membuka sekolah baru yang dinamakan Schakel School dengan lama pendidikan 5 tahun (Said, 1987:66).Lulusan SD (3 tahun) bisa melajutkan ke Schakel School, yang kemudian bisa melanjutkan ke MULO. Sedangkan untuk orang Belanda dan orang asing, disediakan Sekolah khusus untuk orang-orang Eropa/Belanda yaitu ELS (Europese Lagere School) dan BelandaCina atau Hollands Chinese School(HCS) yang sederadjat dengan ELS. Sedangkan HIS tetap sekolah bumi putra yang lebih rendah dari ELS atau HCS.Anak Belanda dan bangsa asing lainnya setelah tamat ELS atau HCS bisa melanjutkan ke HBS (Hogere Burger School), Gymnasium dan Lyceum.Lulusan HBS yang 5 tahun dapat melanjutkan ke Perguruan Tinggi. Diskriminasi layanan pendidikan zaman Belanda dulu, tidak hanya terlihat dari jenis sekolah, kurikulum dan mutu lulusannya melainkan juga pada lamanya belajar.Metoda ca-lis-tung hanya digunakan di SD (sekolah Desa) yang merupakan sekolah dasar yang paling rendah tingkatnya, untuk menyiapkan masyarakat jajahan, agar mereka tetap menjadi “kelas bawah”, tidak untuk membangun kecerdasan intelektual, emosional-spiritual dan kinestetis, hany sekedar bisa membaca dan menulis. Namun dapat diyakini bahwa ca-lis-tung dalam Kurikulum 2013, Pemerintah tidak bermaksud menjadikan lulusan SD hanya sekedar memiliki kecakapan membaca (ca), menulis (lis) dan berhitung agar mereka mampu menjadi tukang tembok, tukang kayu ataupun pedagang gendongan, tetapi kita harus berpikir, bagaimana membangun kecakapan dasar yang harus dimiliki siswa SD.UUD 1945 mengamanatkan agar pendidikan dapat membangun kecerdasan bangsa, yang meliputi:
Kecerdasan intelektual atau kecakapan proses berfikir ilmiah, Kecerdasan emosional-spiritual, atau kecakapan proses bersikap dengan nilai-nilai personal, sosial dan spiritual,serta Kecerdasan kinestetis atau kecakapan proses bertindak, yang secara keseluruhan akan membangun pribadi yang integral dan berkarakter.
Pemberdayaan SD sebagai Fondasi Peningkatan Mutu Sidiknas HS Sept 13
Page 6
Kecakapan Proses Berpikir sebagai Pembeda antara Manusia dengan Binatang Berdasarkan filsafat konstruktivisme, berpikir adalah proses membangun (mengkonstruksi) konsep-konsep keilmuan, dari data, fakta dan informasi yang diperoleh pancaindra. Atau proses berpikir ilmiah (scientific thinking) untuk meningkatkan konsep yang semula bersifat umum (konsep umum) menjadi konsep ilmiah (scientific concept), melalui memprosesan data, fakta dan informasi yang diperoleh pancaindra. Begitu pentingnya berpikir dengan metoda ilmiah (scientific method), maka Allah Swt memberikan wahyuNya yang pertama kepada Muhammad Saw dalam Al Qur’an Surat Al Alaq, sbb: 1) 2) 3) 4) 5)
Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan, Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah, Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha Pemurah, Yang mengajar (manusia) dengan perantaran kalam, Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya. [Qs. Al Alaq (96): 1-5]
Ayat 1, Allah memerintahkan rasulNya untuk mengamati alam semesta yang diciptakanNya. Ayat 2, dapat ditafsirkan bahwa Allah Swt juga memerintahkan rasulNya untuk mengamati manusia penghuni alam semesta. Ayat 1 dan 2 tersebut merupakan perintah Allah Swt kepada rasulNya untuk memikirkan alam dan seluruh penghuninya. Ayat 3, 4 dan 5 inilah yang oleh penulis ditafsirkan sebagai berpikir dengan metoda ilmiah, yang dimulai dengan proses meng “indra” alam semesta dan semua penghuninya, kemudian memikirkannya, membangun konsep sehingga mendapatkan ilmu pengetahuan dan kemudian digunakannya dalam kehidupan, inilah: landasan teologis kecakapan berpikir ilmiah yang harus dimiliki oleh umat muslim pengikut rasulullah Muhammad Saw. Bagaimana Proses Berpikir dengan Metoda Ilmiah? Dalam ayat 3, Allah Swt memerintahkan rasulNya (dan umatNya) untuk: mengamati (iqro) alam semesta dan isinya termasuk manusia.Hasil pengindraan (observasi) berupa data, fakta dan informasi masuk ke otak, dimana Allah yang Maha Mulia memberikan kemulianNya kepada manusia dalam bentuk akal. Ayat 4, dapat diterjemahkan sebagai: dan dengan akal itu, Allah Swt mengajari manusia berpikir, membangun konsep-konsep keilmuan, menetapkan solusi, mengambil kesimpulan, yang hasilnya dapat dituliskan (kalam). Pemberdayaan SD sebagai Fondasi Peningkatan Mutu Sidiknas HS Sept 13
Page 7
Ayat 3 dan 4 menggambarkan proses “berpikir induktif” karena apa yang diamati manusia adalah benda-benda yang bersifat spesifik dan kemudian dipikirkan, diabstraksi, sehingga menjadi konsep-konsep keilmuan yang bersifat umum (general). Proses berpikir ilmiah tersebut dapat juga disebut sebagai proses generalisasi, atau dengan menggunakan istilah Piaget disebut sebagai proses berpikir formal. Ayat 3 dan 4 tersebut ditujukan Allah Swt bagi semua manusia, dengan demikian sejak usia dini, anak sudah belajar berpikir ilmiah, yaitu melakukan proses abstraksi tingkat rendah dengan membangun konsep-konsep kongkrit. Ayat 5 menjelaskan tentang konsep-konsep keilmuan yang diaplikasikan dalam kehidupan untuk memecahkan masalah-masalah aktual dalam kehidupan yang bersifat spesifik. Proses berpikir pada ayat 5 ini menggambarkan proses deduktif ilmiahyaitu proses berpikir dari hal-hal yang bersifat umum menjadi hal-hal yang bersifat spesifik. Dengan demikian ayat 3, 4 dan 5 surat Al Alaq menggambarkan proses berpikir induktif dan deduktif, seperti yang digambarkan dalam bagan berikut. MetodaCa - Lis Berdasarkan Al Qur 'an yangdilaksanakan di SD Ar-Rafi’ Berfikir -
Ca
Inferensi Prediksi Membangun Konsep Menyimpulkan Abstraksi
lis
• Observasi
• Menuliskan
• Pengukuran
• Menggambarkan
• Klasifikasi
• Menjelaskan
• Pengumpulan data
• Mempresentasikan • Mengkomunikasikan
Gambar 3.1: Metoda Ca-Lis sebagai Proses Berpikir Induktif
Bandung, Juni 2016 *) Dr. Hari Suderadjat, Drs, M.Pd Ketua Umum Perkumpulan Pendidik Pembangun Karakter Bangsa (PPPKB) Ketua Umum Yayasan Pendidikan Kewiraswastaan Ar Rafi’ (YPKA) Direktur Ar Rafi’ Drajat Center (ADC)
Pemberdayaan SD sebagai Fondasi Peningkatan Mutu Sidiknas HS Sept 13
Page 8