PENYELESAIAN PERKARA ANTIDUMPING DI INDONESIA (Dalam Kasus Impor Terigu Asal Turki Oleh Asosiasi Produsen Tepung Terigu Indonesia)
ANTIDUMPING CASE SETTLEMENT IN INDONESIA (In Case wheat flour import form Turkish)
JURNAL
Oleh:
HERI SUGIHARTOKO NPK : 14101094
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SLAMET RIYADI SURAKARTA 2017
PENYELESAIAN PERKARA ANTIDUMPING DI INDONESIA (Dalam Kasus Impor Terigu Asal Turki Oleh Asosiasi Produsen Tepung Terigu Indonesia)
ANTIDUMPING CASE SETTLEMENT IN INDONESIA (In Case wheat flour import form Turkish) Heri Sugihartoko; Anggo Doyoharjo, SH.,MH; Puspaningrum, SH.,MH Jurusan Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Slamet Riyadi Surakarta
ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran sebenarnya penerapan hukum antidumping di Indonesia atas Terigu Impor Asal Turki dan mengetahui hambatan-hambatan dalam penerapan hukum antidumping di Indonesia dilihat dari tinjauan pustaka Metode penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif atau penelitian doktrinal. Pendekatan penelitian menggunakan jenis pendekatan perundangundangan dengan menggunakan legislasi dan regulasi Hasil penelitian dapat ditarik kesimpulan bahwa berlarutnya-larutnya kasus dumping tepung terigu Turki oleh pemerintah menunjukkan bahwa pemerintah belum maksimal dalam menerapkan undang-undang maupun peraturan pemerintah mengenai antidumping khususnya dalam Pasal 27 PP No. 34 Tahun 1996. Kebijakan dalam menghadapi praktik dumping beberapa hal yang dapat dilakukan yaitu memahami secara seksama ketentuan anti dumping di negara penuduh; melakukan kerjasama yang baik dengan penyidik negara pengimpor yang mencari fakta dilapangan; melakukan koordinasi dalam asosiasi produk yang bersangkutan dan mendapatkan berbagai informasi dari instansi terkait, serta selalu menggunakan tenaga konsultan hukum (lawyer) yang ahli di bidang antidumping; Penerapan hukum antidumping tersebut belum secara maksimal dilakukan oleh Pemerintah Indonesia karena sebenarnya masih terdapat kelemahan dalam pengaturan antidumping di Indonesia yaitu PP No. 34 Tahun 1996, baik mengenai jangka waktu yang dapat diberikan kepada Menteri Keuangan untuk dapat menerbitkan PMK sesuai dengan rekomendasi Menteri Perindustrian dan Perdagangan maupun mengenai kewenangan Menteri Keuangan. A. PENDAHULUAN Tingginya nilai impor terigu menjadikan Indonesia rentan terhadap impor terigu yang dijual dengan cara dumping. Bukti nyata adanya praktek dumping di Indonesia dapat dilihat dari putusan Mahkamah Agung No.
1
19/G/2012/PTUN-JKT, yang menunjukkan adanya keterlambatan penanganan pemerintah dalam penanganan praktek dumping sehingga Aptindo (Asosiasi Produsen Tepung Terigu Indonesia) harus melayangkan gugatan kepada pemerintah. Gugatan disebabkan rencana Kebijakan BAMD (Bea Masuk Anti Dumping) Terigu Turki sampai dengan tanggal 6 Nopember 2011 (4 bulan) dan juga Tergugat daslam hal ini Menteri Keuangan Republik Indonesia belum juga menerbitkan Keputusan tentang Bea Masuk Anti Dumping (BMAD) atas impor tepung terigu Turki. BMAD yang tidak diterbitkan terhadap produsen-produsen terigu tepung gandum Impor asal Turki, menjadikan Menteri Keuangan telah melanggar asas kepastian hukum, dengan munculnya ketidakpastian khususnya dalam penegakan aturan impor tepung gandum sebagaimana telah diatur oleh Undang-Undang No. 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan jo Peraturan Pemerintah No. 34 tahun 1996 tentang Bea masuk Anti Dumping dan Bea masuk Imbalan. Akhirnya keputusan Mahkamah Agung No. 19/G/2012/PTUN-JKT memenangkan Tergugat dengan dalih Menteri Keuangan dan Menteri Perdagangan dalam menjalankan proses penetapan Bea Masuk Anti Dumping (BMAD) telah didasarkan pada ketentuan Pasal 26 dan Pasal 27 Peraturan Pemerintah Nomor: 34 Tahun 1996 tentang Bea Masuk Anti Dumping dan Bea Masuk Imbalan (“PP No. 34/1996”) yaitu Menteri Keuangan hanya menetapkan keputusan penetapan BMAD yang diusulkan oleh Menteri Perdagangan berdasarkan rekomendasi Komite Anti Dumping Indonesia (KADI). Kasus dalam pemutusan dumping disini sangat berbelit-belit dan butuh bertahun-tahun dalam menetapkan dumping dilihat dari gugatan pada tahun 2012 sedangkan kejadiannya sudah 31 Desember 2009 (putusan Mahkamah Agung No. 19/G/2012/PTUN-JKT), dan tahun hal ini sangat-sangat merugikan bangsa Indonesia, bahkan putusan Mahkamah Agung No. 19/G/2012/PTUN-JKT justru membatalkan gugatan Aptindo (Asosiasi Produsen Tepung Terigu Indonesia)
2
Penulis tertarik untuk mengkaji lebih lanjut terkait antidumping di atas dalam penulisan skripsi yang berjudul “PRAKTEK ANTIDUMPING DI INDONESIA
(Kasus Impor Terigu Asal Turki Oleh Asosiasi Produsen
Tepung Terigu Indonesia) B. METODE PENELITIAN Jenis penelitian yang penulis gunakan adalah penelitian hukum normatif, dengan pendekatan perundang-undangan yang menurut Peter Mahmud Marzuki, pendekatan undang-undang (statute approach) dilakukan dengan menelaah semua undang-undang dan regulasi yang bersangkut paut dengan isu hukum yang sedang ditangani. Pendekatan perundang-undangan adalah pendekatan dengan menggunakan legislasi dan regulasi.1 Selain penelitian normatif, penelitian ini juga memakai jenis penelitian hukum empiris karena untuk mengidentifikasi praktek antidumping di Indonesia atas terigu impor asal Turki oleh Asosiasi Produsen Tepung Terigu Indonesia (APTINDO) (adanya praktik dumping bersumber dari Putusan MA No. 19/G/2012/PTUN-JKT) Bahan hukum primer dalam penelitian ini diperoleh dari perundangundangan, catatan-catatan resmi atau risalah dalam pembuatan perundangundangan dan putusan-putusan hakim. Penelitian hukum ini menggunakan bahan hukum dari Direktori Putusan Mahkamah Agung (Penetapan No : 19/G/2012/PTUN-JKT) dan Undang-undang lain yang mendukungnya. Data sekunder dikumpulkan melalui studi pustaka untuk mengkaji semua publikasi tentang hukum yang bukan merupakan dokumen-dokumen resmi, seperti buku-buku teks, kamus hukum, jurnal-jurnal hukum, termasuk eksplorasi atas karya tulis ilmiah yang berkaitan masalah hukum yang penulis teliti. Bahan hukum tersier, yaitu bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, dalam hal ini Kamus Besar Bahasa Indonesia, Kamus Umum Lengkap Inggris -Indonesia, Indonesia- Inggris serta Kamus Hukum.
1
Peter Mahmud Marzuki. 2010. Penelitian Hukum. Kencana, Jakarta, hal. 29.
3
Data yang didapatkan dari penelitian kualitatif adalah data deskriptif yang berwujud rangkaian kata-kata bukan angka-angka, oleh karena itu analisis data dilakukan dengan analisis kualitatif. Dalam analisis kualitatif tidak semata-mata mengungkap suatu gejala saja tetapi memahami gejala itu, tidak saja semata-mata bertujuan mengungkapkan kebenaran saja, tetapi memahami kebenaran itu. Artinya analisis kualitatif adalah usaha analisis berdasarkan kata-kata yang disusun ke dalam bentuk teks yang diperluas dan disusun secara sistematis. C. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 1. Penerapan Hukum Antidumping di Indonesia terhadap Kasus Dumping Tepung Terigu Turki Penerapan ketentuan anti dumping dalam tata hukum Indonesia sangat esensial, karena Indonesia merupakan salah satu negara yang sangat strategis sebagai market bagi produk impor, hal ini menjadi salah satu penyebab banyaknya produk impor yang beredar di Indonesia yang penjualannya dengan cara dumping.. a.
Prosedur Permohonan Penyelidikan Kasus Tepung Terigu menurut Hukum Anti Dumping Indonesia Sebagaimana dalam kasus ini yang menjadi pemohon adalah industri dalam negeri yaitu PT Sriboga Ratu Raya, PT Eastern Pearl dan PT Panganmas Inti Persada yang memproduksi barang sejenis berupa tepung terigu (gandum) dengan nomor HS 1101.00.10.00. Ketiga industri dalam negeri tersebut merasa dirugikan akibat praktik dumping tepung terigu impor asal Turki, Srilanka dan Australia dengan nomor HS 1101.00.10.00. Sehingga ketiga industri dalam negeri tersebut mengajukan permohonan penyelidikan antidumping kepada KADI melalui APTINDO (Asosiasi Produsen Tepung Terigu Indonesia). Hal ini sesuai dengan yang tercantum dalam Pasal 8 ayat (1) PP No. 34 Tahun 1996, Pasal 1 angka 1a dan Pasal 2 Keputusan
Menteri
Perindustrian
216/MPP/Kep/7/2001. 4
dan
Perdagangan
Nomor
Pemohon
menyampaikan
oleh
KADI
tidak
langsung
menyatakan permohonannya ditolak ataupun diterima. Pada tahap ini, KADI pertama-tama memeriksa kelengkapan data dan informasi yang tercantum pada formulir permohonan yang telah diisi pemohon berdasarkan Pasal 3, 4 dan 5 ayat (1) dan (2) Keputusan Menteri Perindustrian
dan
Perdagangan
Nomor
216/MPP/Kep/7/2001
sebagaimana yang telah diuraikan pada Bab sebelumnya. Informasi– informasi tersebut harus didukung oleh data yang berasal dari sumber yang dipercaya yang menunjukkan adanya dumping, kerugian dan hubungan kausal. Selanjutnya, Pasal 5 ayat (3) Keputusan Menteri Perindustrian
dan
Perdagangan
Nomor
216/MPP/Kep/7/2001
menyatakan bahwa dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja sejak permohonan diterima secara lengkap dan benar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) dan berdasarkan bukti yang diajukan. Berdasarkan PP No.34 tahun 1996 pasal 1 ayat 8 sesuai Article 5.4 Antidumping Code 1994, permohonan penyelidikan anti dumping yang diajukan oleh produsen industri dalam negeri harus memenuhi syarat sebagai permohonan yang diajukan oleh Industri Dalam Negeri atau mewakili Industri Dalam Negeri dan memenuhi syarat untuk dilakukan penyelidikan dalam hal-hal sebagaimana yang diatur dalam Pasal 6 ayat (1) Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor 216/MPP/Kep/7/2001. Sesuai ketentuan tersebut, dalam kasus ini KADI menemukan bahwa total produksi barang sejenis (tepung terigu) dari pemohon (industri dalam negeri) sebesar 27,03% dari
total
produksi nasional
dan pemohon
menunjukkan adanya kerugian yang disebabkan barang yang diduga dumping tersebut. Total produksi pemohon sebesar 27,03% telah memenuhi syarat untuk dapat diterimanya suatu permohonan penyelidikan karena permohonan pengajuan petisi dugaan dumping atas produk impor dapat dilakukan oleh satu perusahaan yang merasa dirugikan meski tidak mewakili hingga 50 persen industri domestik. Selanjutnya, 5
setelah permohonan memenuhi persyaratan dan data-data pemohon telah dinyatakan lengkap dan benar oleh KADI, maka pada tanggal 17 November 2008 tepatnya 30 hari sejak permohonan diterima secara lengkap dan benar, KADI memberi keputusan menerima permohonan dan mengumumkan untuk dimulainya penyelidikan kasus tersebut. 2 Tindakan yang dilakukan KADI ini sesuai dengan ketentuan pada Pasal 10 PP No. 34 Tahun 1996 yang menyatakan bahwa keputusan Komite untuk memulai penyelidikan terlebih dahulu diumumkan dan diberitahukan kepada Pihak yang Berkepentingan, ketentuan ini kemudian dijabarkan lebih lanjut dalam Pasal 7 Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor 261/MPP/Kep/9/1996. Tanggal inisiasi (pengumuman) tersebut menjadi titik awal dihitungnya lamanya penyelidikan yaitu 12 bulan atau bisa diperpanjang menjadi 18 bulan sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 11 PP No. 34 Tahun 1996. 3 b.
Penyelidikan oleh KADI Dalam penyelidikan KADI, untuk membuktikan ada atau tidak adanya barang dumping yang menyebabkan kerugian maka dapat mengacu pada Pasal 18 Undang-Undang No. 10 Tahun 1995 jo. Pasal 2 PP No. 34 Tahun 1996 yang menyatakan bahwa Bea masuk antidumping dikenakan terhadap barang impor dalam hal harga ekspor dari barang tersebut lebih rendah dari nilai normalnya dan impor barang tersebut menyebabkan kerugian terhadap industri dalam negeri yang memproduksi barang sejenis dengan barang tersebut. Jadi BMAD hanya dikenakan jika kriteria dalam pasal tersebut berhasil dibuktikan dalam penyelidikan. Dengan mengacu pada ketentuan Pasal 18 Undang-Undang No. 10 Tahun 1995 jo. Pasal 2 PP No. 34 Tahun 1996, KADI dalam hal ini melakukan penyelidikan terhadap pihak-pihak yang tertuduh yakni
2 3
Ibid., Hlm. 2, Irwan, “Mekanisme Penetapan BMAD,” Warta Bea Cukai, Edisi 418, September 2009, hlm. 9-10.
6
Australia, Srilanka, dan Turki. Dalam penyelidikannya, KADI berhasil membuktikan bahwa pihak Petisioner mengalami kerugian Selain membuktikan adanya kerugian, KADI juga membuktikan adanya hubungan kausalitas (causal link) yang menunjukkan bahwa kerugian yang dialami Petisioner tersebut di atas disebabkan oleh dumping dari Turki, yang dibuktikan dengan terjadinya volume effect dan price effect. Dari dampak volume impor (volume effect), yang harus dihitung dalam periode tiga tahun (Oktober 2005 hingga Oktober 2008), terbukti hanya terigu Turki yang mengalami lonjakan signifikan, bahkan pada tahun 2008, pangsa pasarnya mencapai 35 persen. Sebaliknya, angka impor dari Australia dan Srilanka mengalami penurunan. Akhirnya KADI menyatakan dalam hasil penyelidikannya bahwa dari ketiga negara yang dituduh melakukan praktik dumping, hanya tepung terigu dengan Nomor HS 1101.00.10.00 yang berasal dari negara Turki yang terbukti melakukan praktik dumping yang menyebabkan kerugian secara nyata bagi industri dalam negeri barang sejenis di Indonesia khususnya bagi pihak Petisioner. Berdasarkan
pemaparan
tersebut
di
atas,
KADI
telah
menerapkan ketentuan antidumping dalam PP No. 34 Tahun 1996 untuk melakukan proses penyelidikan dan membuktikan bahwa tepung terigu impor yang berasal dari beberapa eksportir terigu di atas terbukti sebagai barang dumping yang merugikan Petisioner sebagai industri dalam negeri. c. Rekomendasi Penerapan BMAD oleh KADI dan Menteri Perdagangan Hasil penyelidikannya KADI menemukan adanya margin dumping sekitar 19,67% hingga 21,98% pada terigu-terigu yang diimpor dari Turki. Dan untuk menerapkan ketentuan pada Pasal 12 ayat (1) dan (2) PP No. 34 Tahun 1996 pada tanggal 28 Desember 2009 akhirnya KADI menyampaikan hasil akhir penyelidikan kepada Menteri Perindustrian dan Perdagangan bahwa Tepung Terigu Impor asal Turki terbukti sebagai barang dumping yang menyebabkan
7
kerugian dan dari hasil akhir penyelidikan tersebut KADI juga menyampaikan besarnya Marjin Dumping tersebut serta mengusulkan (memberikan rekomendasi) pengenaan Bea Masuk Antidumping (BMAD) kepada Menteri Perindustrian dan Perdagangan. 4 Setelah mendapatkan hasil akhir penyelidikan dan rekomendasi dari KADI, Menteri Perindustrian dan Perdagangan memutuskan besarnya nilai tertentu untuk pengenaan BMAD yang besarnya bisa sama dengan atau lebih kecil dari marjin dumping. Atas dasar hasil akhir penyelidikan Komite yang membuktikan adanya Barang Dumping dan/atau Barang Mengandung Subsidi yang menyebabkan Kerugian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (2), Menteri Perindustrian dan Perdagangan memutuskan besarnya nilai tertentu untuk pengenaan Bea Masuk Antidumping atau Bea Masuk Imbalan yang besarnya sama dengan atau lebih kecil dari Marjin Dumping dan/atau Subsidi Neto. Menurut penulis, penerapan hukum antidumping tersebut belum secara maksimal dilakukan oleh Pemerintah Indonesia karena sebenarnya masih terdapat kelemahan dalam pengaturan antidumping di Indonesia yaitu PP No. 34 Tahun 1996. Dua hal yang menjadi penyebab berlarut-larutnya
kasus ini yang tidak diatur dalam
Peraturan Pemerintah tersebut adalah mengenai jangka waktu dan penerimaan atau penolakan rekomendasi. Dalam hal jangka waktu, seharusnya PP tersebut mengatur tentang lamanya jangka waktu yang dapat diberikan kepada Menteri Keuangan untuk dapat menerbitkan PMK sesuai dengan rekomendasi Menteri Perindustrian dan Perdagangan terhitung sejak tanggal diterimanya rekomendasi tersebut. Hal ini dimaksudkan agar penyelesaian terhadap suatu kasus dumping tidak dilakukan berlarut-larut karena ada batasan waktunya sehingga dapat memberikan kepastian hukum bagi para pihak yang berkepentingan dan kerugian yang diderita dapat segera teratasi.
4
Buyung, “Pemerintah Diminta Terapkan BMAD Kepada Terigu Turki”, http://agroindonesia.co.id/ 2010/01/28/pemerintah-diminta-terapkan-bmad-kepada-teriguturki/, diakses 15 Mei 2015 .
8
Dalam hal penerimaan ataupun penolakan rekomendasi, seharusnya PP tersebut mengatur secara tegas tentang menolak
suatu
rekomendasi
dari
Menteri
Menkeu
Perindustrian
dan
Perdagangan atau tidak. Hal ini perlu di atur secara tegas dalam ketentuan antidumping di Indonesia hanya untuk memperjelas mengenai
tindakan
yang
harus
dilakukan
Menkeu
setelah
mendapatkan rekomendasi dari Mendag sehingga tidak akan menimbulkan salah penafsiran kewenangan oleh Menkeu, karena dalam kasus ini, tindakan Menteri Keuangan yang belum menerapkan pengenaan BMAD sampai saat ini dapat diartikan sebagai sikap penolakan untuk menetapkan BMAD terhadap importir terigu Turki, padahal secara tersirat Pasal 27 dapat diartikan bahwa Menkeu tidak dapat
menolak
atau
menentukan
lain
daripada
keputusan
(rekomendasi) Mendag tersebut, karena Menkeu hanya menetapkan keputusan Menkeu sebagai otoritas fiskal di Indonesia apalagi rekomendasi pengenaan BMAD telah dikeluarkan oleh KADI dan Mendag. Harus disadari bahwa keberadaan perangkat hukum nasional khususnya Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 1996 dalam mengantisipasi masalah dumping pada masa itu memang masih lemah. Akibatnya, menimbulkan kesulitan bagi Pemerintah terhadap upaya perlindungan hukum bagi produk domestik dari praktik dumping di dalam negeri sebagai bentuk dari penerapan hukum antidumping di Indonesia terutama dalam kasus praktik dumping terigu Turki ini. Karena Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 1996 mempunyai
kelemahan
dalam
mengimplementasikan
peraturan,
akhirnya Pemerintah menggantikan PP No. 34 Tahun 1996 tersebut dengan Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2011. Di dalam PP No. 34 tahun 2011 ini sudah di atur mengenai pertimbangan dalam rangka kepentingan nasional dan lembaga yang mengkajinya dalam Pasal 25 ayat (1). Selanjutnya dalam Pasal 25 ayat (4) dan (5), menyatakan bahwa dalam jangka waktu 45 hari sejak rekomendasi KADI diterima, 9
Menteri
berhak
memutuskan
untuk
menolak
atau
menerima
rekomendasi KADI atas dasar pertimbangan kepentingan nasional. Selanjutnya, apabila rekomendasi diterima, maka dalam jangka waktu tersebut Menteri akan menyampaikan surat kepada Menteri Keuangan perihal pengenaan BMAD. Dengan adanya pengaturan national interest ini, diharapkan Menteri dapat mempertimbangkan kepentingan nasional di setiap pengambilan keputusannya tanpa mengesampingkan kepentingan industri dalam negeri yang dirugikan. Kemudian dalam pasal 27 ayat (1), Menteri Keuangan selanjutnya menetapkan besarnya tarif dan jangka waktu pengenaan BMAD sesuai dengan keputusan Menteri dalam jangka waktu paling lambat 30 hari sejak diterimanya surat Menteri. 5 Dalam PP yang baru tersebut sebenarnya masih ada sedikit kelemahan, yaitu perihal sanksi, bisa saja Menkeu dalam praktiknya terhadap penyelesaian kasus yang lain mengulangi hal yang sama dengan tidak mau mengeluarkan PMK seperti kasus Terigu Turki ini, sehingga tindakan Menkeu akan dibiarkan begitu saja sementara industri dalam negeri sudah menderita kerugian. Namun, terlepas dari hal tersebut, lahirnya Peraturan Pemerintah No. 34 tahun 2011 ini setidaknya diharapkan mampu memperbaiki kekurangan yang ada pada pelaksanaan peraturan sebelumnya. Mengantisipasi praktik dumping dan lebih memaksimalkan kinerja Pemerintah dalam menerapkan hukum antidumping di Indonesia serta demi melindungi industri dalam negeri, maka sudah seharusnya ketentuan antidumping di Indonesia juga diatur oleh undang-undang tersendiri secara khusus dan substansinya harus diatur secara detail seperti dalam Antidumping Code 1994 namun tetap harus disesuaikan dengan kondisi dan kepentingan bangsa Indonesia tanpa melanggar prinsip-prinsip yang harus berlaku secara universal. Hal ini perlu
dilakukan
agar
tindakan
Pemerintah
yang
terkesan
menggantungkan kasus dumping terigu Turki ini tidak akan terulang 5
Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2011, Pasal 25 dan 27 ayat (1).
10
kembali dalam menyelesaikan kasus- kasus praktik dumping produk impor lainnya yang merugikan industri dalam negeri barang sejenis di Indonesia. 2. Hambatan Penerapan Hukum Antidumping Di Indonesia a.
Dampak Apabila Kebijakan BMAD Terigu Turki Diterapkan atau Tidak Diterapkan Dampak apabila diterapkan kebijakan BMAD terigu Turki adalah sebagai berikut:6 1) Negara mendapatkan penerimaan negara hasil pungutan bea masuk tersebut. 2) Industri yang mengalami kerugian dapat diobati injurynya akibat praktek dumping tersebut. 3) Berdampak positif pada iklim investasi di Indonesia, dikarenakan adanya kepastian hukum. 4) Pemerintah
konsisten
dalam
memberikan
perlindungan
kepentingan industri dalam negerinya dari praktek curang pihak asing. 5) Pemerintah menjadi berwibawa di mata dunia Internasional karena menegakkan peraturan dengan sebenarnya. Dampak jika tidak diterapkan kebijakan BMAD terigu turki adalah sebagai berikut: 1) Praktek dumping adalah praktek predatory pricing, dimana bersifat sementara sampai pelaku dumping dapat membunuh pesaingnya dan dapat menguasai pasar, maka dia akan mengembalikan harganya
ke
harga normal
bahkan bisa
menentukan harga, apalagi dilakukan oleh pelaku asing. 2) Berdampak negatif kepada iklim investasi di Indonesia karena tidak ada kepastian hukum untuk berusaha. 3) Kolapsnya
industri
dalam
negeri
berdampak
kepada
pengangguran yang saat ini diklaim Bapenas kalau Indonesia 6
“Petisi Bea Masuk Antidumping Terigu Turki”, http://www.aptindo.or.id/pdfs/petisi% 20bmad%20terigu%20turki%20rangkuman.pdf, hlm. 3, diakses 15 Mei 2015 .
11
tertinggi angka penganggurannya di negara Asean. 4) Menurut data APTINDO, Pemerintah kehilangan potensi pemasukan negara yg diperkirakan telah mencapai 150 Milyar sejak belum diterapkan oleh Menkeu paska rekomendasi Mendag. 5) UKM sebagai penyerap terigu domestik akan menderita karena kolapsnya industri dalam negeri yang selama ini membina mereka. Sampai saat ini kebijakan BMAD terigu impor asal Turki belum juga diterapkan dan dampak yang paling nyata akibat hal tersebut adalah PT Panganmas telah melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) terhadap 37 karyawannya pada september 2010. Jika hal ini dibiarkan terus menerus maka akan semakin banyak orang yang kehilangan pekerjaannya dan lama kelamaan akan berdampak pada matinya pasar industri terigu dalam negeri khususnya industri terigu skala kecil. b.
Peningkatan Fungsi dan Peranan Pemerintah dalam Kebijakan Antidumping Dalam kasus dumping terigu Turki ini, produk terigu impor Turki sudah terbukti melakukan praktik dumping yang merugikan industri dalam negeri. Namun, pemerintah belum dapat mengeluarkan kebijakannya untuk dapat melindungi industri dalam negeri. Kebijakan pemerintah untuk melindungi industri dalam negeri harus dilakukan secara adil dan bijaksana sesuai dengan ketentuan antidumping yang berlaku di Indonesia. Meskipun Pemerintah dalam memutuskan pengenaan BMAD harus
mempertimbangkan
kepentingan
nasional,
pemerintah
khususnya Menkeu juga harus memperhatikan bahwa ada banyak industri terigu dalam negeri yang dapat menderita kerugian akibat praktik dumping terigu Turki. Bahkan jika pemerintah tidak mengambil kebijakannya untuk melindungi industri terigu dalam negeri, maka konsekuensinya perlahan-lahan akan mematikan pasar industri terigu dalam negeri karena pasar dalam negeri akhirnya 12
dikuasai oleh barang impor. Keputusan yang diambil pemerintah pasti mempunyai konsekuensi masing-masing. Jika pemerintah akhirnya mengeluarkan kebijakan pengenaan BMAD Terigu Turki hal ini dilakukan untuk melindungi industri dalam negeri dan bukan merupakan aksi proteksionisme, karena pada dasarnya ketentuan antidumping dibuat untuk melindungi industri dalam negeri dari adanya praktik dumping dan baik pemerintah maupun industri dalam negeri dapat menyambut baik kehadiran produk impor asalkan perdagangannya di Indonesia dilakukan dengan cara yang sehat. Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, disimpulkan : 1.
Pelaksanaan hukum antidumping di Indonesia atas Terigu Impor Asal Turki terkait Putusan MA No. 19/G/2012/PTUN-JKT) yang berlarutlarut dikarenakan Apindo kurang cermat baik secara prosedural dan substansi, dimana materi gugatan ditujukan kepada Menteri Keuangan, seharusnya
kepada
Menteri
Perindustrian
Dan
Perdagangan
(Menperindag), karena Menteri Keuangan hanya menetapkan sedang yang menentukan besar nominal adalah Menperindag, sehingga gugatan Apindo ditolak. Pemerintah belum maksimal dalam menerapkan UU maupun PP Mengenai Antidumping, padahal rekomendasi Menperindag melalui mekanisme yang dibenarkan WTO dan PP No. 34 tahun 1994 serta kinerja KADI dalam melakukan penyelidikan telah sesuai dengan ketentuan yang berlaku, untuk memperoleh bukti bahwa produk import tersebut berindikasi Dumping yang merugikan industri domestik sehingga BMAD dapat di bebankan kepada Importir. 2.
Penerapan hukum antidumping tersebut belum secara maksimal dilakukan oleh Pemerintah Indonesia karena sebenarnya masih terdapat kelemahan dalam pengaturan antidumping di Indonesia yaitu PP No. 34 Tahun 1996, baik mengenai jangka waktu yang dapat diberikan kepada Menteri Keuangan untuk dapat menerbitkan PMK sesuai dengan rekomendasi maupun mengenai kewenangan Menteri Keuangan perihal apakah Menkeu dapat menolak atau harus menerima rekomendasi Menperindag. 13
DAFTAR PUSTAKA
Barutu, Christhophorus. Ketentuan Antidumping, Subsidi, dan Tindakan Pengamanan (Safeguard) dalam GATT dan WTO. Bandung: Citra Aditya Bakti, 2007 Buyung, “Pemerintah Diminta Terapkan BMAD Kepada Terigu Turki”, http://agroindonesia.co.id/ 2010/01/28/pemerintah-diminta-terapkanbmad-kepada-terigu-turki/, diakses 15 Mei 2015 . Dewa Gede Pradnya Yustiawan, “Perlindungan Industri dalam Negeri dari Praktik Dumping”, (Tesis Pascasarjana Ilmu Hukum, Universitas Udayana, Denpasar 2011), Irwan, “Mekanisme Penetapan BMAD,” Warta Bea Cukai, Edisi 418, September 2009 Peter Mahmud Marzuki. 2010. Penelitian Hukum. Kencana, Jakarta Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2011, Pasal 25 dan 27 ayat (1). “Petisi Bea Masuk Antidumping Terigu Turki”, http://www.aptindo.or.id/ pdfs/petisi% 20bmad%20terigu%20turki%20rangkuman.pdf, hlm. 3, diakses 15 Mei 2015 .
14