2
antara 15-20 cm. Ketika air telah mencapai kolam terakhir, konsentrasi sudah mencapai 25.7 oBe.
Gambar 1
Evolusi proses produksi garam (sumber: Korovessis dan Lekkas 2006)
Proses pembuatan garam harus diupayakan agar konsentrasi air garam dapat meningkat secara simultan dan tidak mengalami penurunan konsentrasi yang berarti (Korovessis dan Lekkas 2006; Mahdi 2009; DKP 2003). Konsentrasi air garam diukur setiap hari dengan menggunakan baumeter yang dapat menentukan kadar garam dalam larutan dalam satuan derajat baume (oBe). Konsentrasi 1 oBe, garam yang terbentuk adalah kurang lebih 10 gram per liter air garam. Mula-mula air laut dengan salinitas 1.5-3.5 oBe dimasukkan kolam peminihan. Kemudian pada konsentrasi 4.6 oBe garam kalsium karbonat mengkristal. Lalu pada 13.2 oBe kalsium sulfat mengkristal dan pada 25.7 oBe baru mengristalkan seluruh garam natrium klorida (NaCl) dan diikuti oleh garam magnesium pada 30oBe. Proses produksi garam yang disarankan adalah dengan metode kristalisasi bertingkat, yakni model pembaruan dari metode konvensional. Proses ini sudah dilakukan oleh PT Garam (Persero). Tahap pembuatan garam untuk memproduksi garam berkualitas sebagai berikut (DKP 2003): a. persiapan Persiapan dilakukan paling lambat 2 minggu sebelum musim kemarau dengan cara melakukan perbaikan kembali semua saluran, tanggul-tanggul kolam pegaraman, dan lain-lain. b. pengaliran air laut ke kolam pengumpul/pengendapan Air laut dialirkan ke kolam pengumpul jika musim kemarau tiba. Pada saat pengisian air laut dilakukan pembukaan pintu air ke kolam pengumpul, sedangkan pada saat air laut pasang pintu air ditutup rapat dan
diupayakan tidak ada kebocoran. Air laut didiamkan kurang lebih 14-15 hari sampai konsentrasi air garam mencapai 10 oBe. c. aliran larutan garam pada kolam-kolam pegaraman Larutan air garam (brine) dialirkan ke kolam-kolam setelah beberapa hari diendapkan dan mengalami peningkatan konsentrasi. Dengan demikian dibuat empat seri kolam penguapan dengan target konsentrasi berbeda-beda. Ketika konsentrasi air garam mencapai konsentrasi 24.5 oBe larutan garam dipindahkan ke kolam pemekatan (Penguapan IV) sehingga mencapai konsentrasi 29.5 oBe namun tidak boleh lebih dari 30.5 oBe sebab kualitas garam akan menurun pada konsentrasi tersebut. Pemindahan brine dari satu kolam ke kolam lain melewati pintu-pintu air. Pengukuran konsentrasi brine harus dilakukan dengan menggunakan alat yang disebut baumeter. Proses penguapan air garam di lahan peminihan umumnya berlangsung selama 70 hari. d. kolam kristalisasi dan pengambilan kristal garam Kolam kristalisasi telah dipersiapkan sebelum garam pekat dari kolam pemekatan dipindahkan ke kolam kristalisasi. e. pencucian garam f. pengeringan garam g. pergudangan Pergudangan didesain untuk menjaga garam agar tidak mengalami penurunan kualitas. Karena sifat garam yang higroskopis sehingga mudah menyerap air, maka kelembaban gudang harus dikontrol. Mahdi (2009) memaparkan bahwa pegaraman hendaknya memenuhi beberapa faktor yang menjadi variabel produksi pada proses produksi garam antara lain: a. peningkatan kecepatan penguapan air laut b. penurunan peresapan tanah c. pengaturan konsentrasi pengkristalan garam d. perbaikan cara pengolahan tanah e. penggunaan teknologi baru. Garam nasional dipasok oleh garam rakyat sebesar 70% dan 30% oleh PT. Garam (Persero). Lahan pegaraman di Indonesia paling banyak terpusat di Jawa Timur. Lahan pegaraman di Jawa Timur mencapai 14702 ha (Saputro et al. 2011). Jawa Timur mampu menyumbang 52.2% produksi garam nasional dengan proporsi 30.4% oleh pegaraman rakyat dan 21.8% oleh PT. Garam (Persero) (DKP 2003). Lahan garam banyak terdapat di Pulau Madura dan paling banyak terdapat di
3
Kabupaten Sumenep. Lahan milik PT. Garam (persero) terdapat di tiga kabupaten di Madura, yakni Sampang, Pamekasan, dan Sumenep. Selain di Jawa Timur, garam juga diproduksi di delapan provinsi lain di Indonesia, antara lain: Aceh, Jawa Barat, Jawa Tengah, Bali, NTB, NTT, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, dan Gorontalo. Pegaraman di Indonesia, terutama di Madura, dibagi menjai dua metode, yakni metode Maduris dan Portugis (Amaliya 2007; Saputro et al. 2011). Kedua metode tersebut pada dasarnya hampir sama. Perbedaan hanya terletak pada saat menjelang pemanenan garam. Metode Maduris memanen garam langsung pada meja kristalisasi ketika konsentrasinya telah mencapai 27-28 oBe dan diupayakan untuk tidak lebih dari 29 oBe. Oleh karena pemanenan langsung dilakukan dengan mengeruk garam dari alas tanah, seringkali garam yang dipanen tercampur tanah dan lebih kotor sehingga kualitasnya turun dan harganya murah. Metode Portugis dilakukan dengan memanen garam setelah proses kristalisasi yang kedua. Bunga garam yang dihasilkan pada kristalisasi kedua di meja kristalisasi berada di atas lapisan garam kristalisasi yang pertama. Pengerukan garam dilakukan secara perlahan sehingga garam di lapisan atas lebih bersih dan tidak terkontaminasi oleh tanah. Oleh sebab itu, harga dan kualitas garam metode Portugis lebih tinggi. Pegaraman rakyat umumnya menggunakan metode Maduris, sedangkan PT. Garam (Persero) menggunakan metode Portugis. PT. Garam (Persero) merupakan perusahaan garam milik pemerintah Indonesia dengan areal pembuatan garam berupa satu kesatuan lahan yang luas (minimal 1000 ha). Pegaraman rakyat maupun swasta hanya berupa petak-petak lahan yang relatif sempit, yakni sekitar 0.5-3 ha (DKP 2003). Sistem pembuatan garam yang dilakukan PT. Garam adalah sebagai berikut: a. tata letak berupa petakan komplek (komplek waduk, peminihan, meja, dan areal gudang) b. luas areal minimal 100 hektar c. pemungutan garam dilakukan di atas lantai garam yang telah berumur 30 hari d. garam dipungut pada umur 10 hari di atas lantai garam. Pegaraman di negara maju telah menerapkan teknologi untuk memaksimalkan produksi garam (Moinier 1999; Zhiling dan Guangyu 2008). Model komputer telah dikembangkan di kolam peminihan dan meja kristalisasi sebagai strategi operasi lahan
pegaraman sehingga salinitas air garam dapat dijaga. Laju evaporasi diatur sehingga dapat mengubah kondisi musim dan cuaca. Pegaraman di Dampier (Australia) yang memproduksi garam 3.5 juta ton per tahun, menghubungkan telemetri radio dengan komputer pusat untuk mengumpulkan data dan mengontrol status air garam di areal pegaraman yang lebih dari 100 km2. Komputerisasi aliran air garam juga dikembangkan di Salin de Giraud (Prancis) dimana lahan pegaraman memiliki kapasitas 800 ribu ton per tahun. Program disesuaikan dengan seluruh data harian yang diinput ke dalam database level konsentrasi air garam di dalam 87 kolam dimana air garam dipusatkan. Hal ini juga dilakukan dengan informasi yang sama untuk mengintegrasikan 70 meja kristalisasi selama musim produksi. Data-data meteorologi juga direkam untuk lahan garam lebih dari 10000 ha. 2.3. Pengaruh Unsur-Unsur Cuaca dalam Proses Produksi Garam Proses pembuatan garam bergantung pada laju evaporasi air garam. Berdasarkan pernyataan Dama-Fakir dan Toerien 2010; Hernanto dan Kwartatmono 2001; Moinier 1999; Kartikasari 2007, faktor-faktor iklim yang perlu diperhatikan pada saat produksi garam untuk meningkatkan laju evaporasi, antara lain: a. suhu yang berfungsi memanaskan molekul-molekul air yang dibutuhkan untuk penguapan b. kelembaban udara yang dapat meningkatkan laju evaporasi. Jika kelembaban tinggi, laju evaporasi menjadi rendah karena kejenuhan udara akan lebih cepat tercapai c. radiasi surya yang dapat meningkatkan energi panas untuk evaporasi d. angin yang berfungsi menggantikan udara jenuh dengan udara belum jenuh untuk mendukung terjadinya evaporasi. Curah hujan merupakan faktor pemberi dampak negatif (Hernanto dan Kwartatmono 2001; DKP 2003; Davis 2000; DCLM 2003). Kriteria musim yang harus dipenuhi pada saat produksi garam menurut Hernanto dan Kwartatmono (2001) adalah: curah hujan kecil (1000-1400 mm/tahun) musim kemarau panjang yang kering (minimal 4-5 bulan) tanpa hujan berturutturut. Pegaraman harus memenuhi kriteria iklim dengan laju evaporasi tinggi dan sedikit hujan sehingga mengharuskan produsen garam
4
menggunakan teknologi untuk merekayasa iklim serta menempatkan pegaraman pada lokasi yang tepat (Moinier 1999; Korovessis dan Lekkas 2006). Berdasarkan penelitian Kartikasari (2007), panjang musim kemarau dapat meningkatkan produksi garam. Salinitas air laut sebagai bahan dasar pembuatan garam dipengaruhi oleh kondisi iklim, seperti: curah hujan, evaporasi, limpasan, dan pembentukan es di laut (Talley 2002). Selain itu, tekanan dan suhu permukaan air laut juga mempengaruhi kadar garam terlarut. 2.4. Iklim Indonesia Wilayah tropis memperoleh radiasi surya lebih intensif. Hal ini disebabkan oleh posisi matahari terhadap bumi di antara 23.5 oLU dan 23.5 oLS. Gerak semu matahari membentuk pusat tekanan rendah yang disebut sebagai ITCZ (Inter Tropical Convergence Zone). ITCZ bersama dengan sistem monsun memiliki peran penting dalam penyebaran curah hujan di Indonesia. Daerah yang dilewati ITCZ akan mengalami hujan maksimum dan intensitas keawanan yang lebih tinggi karena kondisi atmosfer yang tidak stabil akibat pemanasan radiasi yang intensif (Trewartha dan Horn 1968; McBride 1983, Wheeler dan Kiladis 1999; Raymond et al. 2003). Hal ini terjadi karena semakin tinggi radiasi surya di daerah tropis, semakin tinggi pula evaporasi dan menyebabkan kandungan uap air semakin besar di atmosfer. Kondisi ini mendukung pembentukan awan dan hujan. Pita ITCZ paling utara terjadi pada bulan Juli, sedangkan paling selatan terjadi pada bulan Januari. Indonesia beriklim tropis memiliki ciri suhu dan kelembaban yang tinggi sepanjang
tahun. Suhu terendah pada bulan dingin hanya 18 oC. Iklim tropis dalam klasifikasi Koppen digolongkan ke dalam tipe A (Sanderson 1999; Tjasyono 2004). Tipe iklim A terbagi dalam beberapa bagian, antara lain Am, Af, dan Aw. Daerah bertipe iklim Af merupakan daerah dengan iklim hutan hujan tropis, terik, dan hujan sepanjang tahun. Daerah dengan tipe Am beriklim monsun tropis, terik, dan hujan berlebihan secara musiman, sedangkan daerah yang bertipe iklim Aw adalah savana tropis, terik, dan kering secara musiman pada musim dingin. Curah hujan di Indonesia dipengaruhi oleh monsun yang digerakkan oleh tekanan rendah dan tinggi di benua Asia dan Australia secara bergantian (Tjasyono 2004; Chang et al. 2004; Wheeler, McBride 2005). Belahan bumi utara mengalami musim dingin pada bulan Desember hingga Februari, sehingga sel tekanan tinggi terdapat di belahan bumi utara (BBU). Sementara itu belahan bumi selatan (BBS) mengalami musim panas sehingga terbentuk pusat tekanan rendah. Angin bergerak dari Asia (BBU) menuju Australia (BBS) sehingga disebut sebagai monsun barat atau barat laut. Pada bulan Juni hingga Agustus, angin bergerak dari Australia menuju Asia yang disebut sebagai monsun timur atau tenggara. Monsun barat laut umumnya lebih lembab daripada monsun tenggara karena massa udara bergerak di atas laut berjarak lebih panjang daripada monsun tenggara. Hal ini menyebabkan monsun barat lebih banyak mengandung uap air. Pada kondisi tersebut terjadi puncak musim hujan di Indonesia.
Gambar 2 Tipe curah hujan di Indonesia (Sumber: BMKG dalam Makmur 2009)
5
Tipe curah hujan di Indonesia dibedakan menjadi tiga tipe, yakni equatorial, monsun, dan lokal (Gambar 2). Pola monsun memiliki bentuk curah hujan satu tahun bersifat unimodal (satu puncak musim hujan pada sekitar bulan Desember). Musim kemarau secara umum berlangsung dari April hingga September, sedangkan bulan Oktober hingga Maret adalah musim hujan. Tipe ekuatorial memiliki pola hujan berbentuk bimodal (dua puncak hujan), yakni pada bulan Maret dan Oktober, ketika matahari berada pada garis ekuator. Sementara itu tipe lokal dicirikan oleh bentuk pola hujan unimodal dengan satu puncak yang berlawanan dengan tipe monsun. Schmidt dan Ferguson (1951) dalam Tjasyono (2004) menghitung jumlah bulan kering dan bulan basah dari tahun ke tahun kemudian dirata-ratakan. Bulan kering merupakan bulan dengan curah hujan kurang dari 60 mm. Musim kering dinyatakan telah dimulai apabila curah hujan dalam satu dasarian dan dasarian berikutnya kurang dari 50 mm. Musim hujan dimulai jika curah hujan dalam satu dasarian dan dasarian berikutnya lebih besar atau sama dengan 50 mm. 2.5. Pengaruh ENSO di Indonesia Selain dipengaruhi oleh sirkulasi Hadley, iklim Indonesia juga dipengaruhi oleh sirkulasi Walker. Aktivitas monsun serta sistem golakan lokal akibat kondisi topografi Indonesia yang beragam juga berperan dalam keragaman iklim di Indonesia. Curah hujan di daratan tropis, seperti Indonesia sangat dipengaruhi oleh ENSO (Diaz et al. 1989; Kirono et al. 1999; Peel, McMahon 2002). Fenomena ENSO (El Nino Southern Oscillation) dipengaruhi oleh siklus Walker. Kejadian ini terjadi di Samudra Pasifik ekuatorial karena terjadi perubahan suhu muka laut (SML) yang membentuk kolam air hangat (warm pool), konveksi massa udara dan keawanan di kawasan pasifik. Hal ini mengakibatkan peningkatan perbedaan tekanan antara Tahiti dan Darwin melebihi normal (nilai rata-rata jangka panjang). Kejadian El Nino dimulai ketika tekanan udara menurun di Tahiti sehingga tekanan udara di Darwin menjadi lebih besar dan Indeks Osilasi Selatan bernilai negatif. Hal ini mengakibatkan angin bertiup lebih kuat memperlemah angin pasat sehingga massa air panas di kawasan barat mengalir ke timur dengan bantuan arus ekuatorial. Kondisi ini mengakibatkan konvergensi di Pasifik Timur dan subsidensi massa udara di dekat Indonesia. Subsidensi
tersebut akan menghambat pembentukan awan di Indonesia sehingga beberapa daerah di Indonesia mengalami penurunan curah hujan. Kondisi sebaliknya akan menyebabkan gejala La Nina. DJF Normal
Eq 30oLS 90oBB
0o
90oBT
180o
90oBB
DJF El Nino
Eq 30oLS 90oBB
0o
90oBT
180o
90oBB
Gambar 3 Skematik dari sirkulasi Walker di bagian atas dan bawah atmosfer dalam keadaan normal dan El Nino (Nicholls 1987 dalam Boer 2003) Penyimpangan (anomali) musim kemarau dari kondisi rata-rata memiliki korelasi yang kuat dengan suhu muka laut (SML) yang berhubungan erat dengan variasi El Nino Southern Oscillation (ENSO) di Samudra Pasifik (Hendon 2003, Deser et al. 2010). Curah hujan di Indonesia juga memiliki korelasi kuat dengan suhu muka laut pada bulan-bulan kering (Mei-Oktober), tetapi tidak berkorelasi dengan suhu muka laut selama puncak musim hujan (Januari-Maret). Curah hujan selama musim kemarau umumnya terjadi ketika terjadi La Nina, sebaliknya kondisi kering ketika musim hujan didukung oleh adanya fenomena El Nino. Anomali suhu muka laut pada Nino 3.4 memiliki hubungan kuat dengan bulan hujan terutama pada musim kering (Boer et al. 2007). Terdapat korelasi yang signifikan antara anomali SML rata-rata bulanan pada bulan Juni-Juli-Agustus (JJA) dengan awal musim hujan (AMH) di Jawa (15 oLU-15 oLS dan 80 o BT-100 oBB) selama periode tahun 19782007 (Marjuki 2011). Rataan JJA digunakan karena awal Juni merupakan waktu transisi sirkulasi atmosfer dan lautan perairan Indonesia hingga Pasifik. Waktu transisi mengindikasikan adanya sirkulasi arus hangat dari pasifik sehingga meningkatkan uap air di sebagian besar Indonesia. Seiring dengan kejadian tersebut, terjadi transisi atmosfer
6
timuran menjadi baratan sehingga menambah jumlah uap air di Indonesia dari Samudra Hindia. Namun jika terjadi anomali suhu muka laut yang mengakibatkan terjadinya fenomena ENSO, awal musim hujan akan tertunda. El Nino menyebabkan anomali negatif suhu muka laut (SML) di utara Australia dapat menunda awal monsun hangat Australia (Nicholls 1981; Nicholls 1983; Joseph et al. 1990; Webster dan Yang 1992). Ketika terjadi El Nino, umumya awal musim hujan di wilayah bertipe iklim monsun mengalami keterlambatan antara satu sampai dua bulan, Sebaliknya pada saat fenomena La Nina, awal musim kemarau mundur sekitar satu bulan. Perubahan tekanan udara di atas permukaan laut (P) terjadi akibat adanya perubahan suhu muka laut (SML) dari kondisi rata-rata. Indeks tersebut digunakan untuk menentukan kondisi ENSO dengan membandingkan SOI bulan ini dengan bulan sebelumnya menggunakan persamaan yang ditetapkan oleh Stone et al. (1996) dalam Boer (2003). Berdasarkan gambar tersebut dapat ditentukan lima fase ENSO sebagai berikut:
( PTahiti PDarwin ) SOI x10 Stdev ( PTahiti PDarwin ) Keterangan: SOI : Southern Oscillation Index (Indeks Osilasi Selatan) P : tekanan udara di atas permukaan laut (milibar) Stdev : standar deviasi tekanan udara di atas permukaan laut didekat DarwinAustralia dan Tahiti Sistem prediksi iklim berdasarkan suhu muka laut (SML) dan South Oscillation Index (SOI) seringkali digunakan untuk manajemen industri. Hal ini dilakukan untuk mengetahui distribusi bulan kering dan basah yang berpengaruh pada produksi pertanian,misalnya pada industi gula. Everingham et al. (2002) menggunakan lima fase SOI berdasarkan Stone (1996) dalam manajemen industri gula dalam mempelajari prediksi satu tahun yang berpengaruh pada produksi. Biro Meteorologi Australia menyajikan rumus berikut untuk menentukan SOI. Fase-fase tersebut antara lain: 1. Fase 1 :konstan negatif (Constantly Negative) 2. Fase2 :konstan positive (Constantly Positive) 3. Fase 3 : menurun cepat (Rapidly falling) 4. Fase4 : meningkat cepat (Rapidly rising)
5. Fase 5 : mendekati nol (Near Zero)
Kondisi El Nino biasanya digambarkan oleh fase konstan negatif dan fase menurun cepat, sedangkan La Nina oleh fase konstan positif dan fase meningkat cepat, dan kondisi normal oleh fase mendekati nol.
Gambar 4 Fase SOI (Stone et al.. 1996 dalam Boer 2003) 2.6. Analisis Klaster Analisis klaster merupakan salah satu bagian dari analisis multivariat interdependensi yang berfungsi memberikan makna terhadap seperangkat variabel atau membuat kelompok-kelompok secara bersama-sama. Teknik ini dilakukan untuk menyederhanakan data sehingga pada saat dilakukan teknik analisi data, seperti regresi dan PCA, data yang akan dianalisis lebih sederhana dan hasilnya lebih akurat. Hasil analisis masing-masing klaster dapat dibandingkan satu sama lain. Pengelompokan pada analisis klaster dilakukan berdasarkan informasi data yang menggambarkan objek. Tujuan pengelompokan adalah membuat klasifikasi individu-individu atau obyek-obyek ke dalam kelompok-kelompok kecil dengan karakter sama dalam satu kelompok tetapi berbeda dengan kelompok lain. Metode yang ada pada analisis klaster antara lain hubungan antara kelompok (between-groups linkage), hubungan dalam kelompok (within-groups linkage), kelompok terdekat (nearest neighbor), kelompok berikutnya (furthest neighbor), klaster sentroid (centroid clustering), klaster median (median clustering), dan metode ward. Metode ward linkage digunakan untuk memperoleh klaster dengan varian internal sekecil mungkin (Juaeni et al. 2010).