BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS
2.1 Tinjauan Pustaka 2.1.1 Kinerja Perusahaan Hasil kinerja perusahaan bisa dilihat dari seberapa jauh perusahaan dapat mencapai tujuan yang telah dibuat. Perusahaan yang dapat mencapai hampir semua tujuan yang telah dibuat, biasanya sebagai keuntungan, dapat dikatakan sebagai perusahaan yang memiliki kinerja yang baik. Laporan keuangan pada dasarnya adalah hasil dari proses akuntansi yang dapat digunakan sebagai alat komunikasi antara data keuangan atau aktivitas perusahaan dengan pihak-pihak yang perhatian dan kepentingan dengan data dan kegiatan yang perusahaan. Berdasarkan evaluasi dan interpretasi dari data keuangan, analis bisa melihat atau mengevaluasi kinerja perusahaan dalam menciptakan nilai tambah ke dalam nilai dasar perusahaan. Kinerja perusahaan merupakan kemampuan perusahaan dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Nuraeni (2010) berpendapat bahwa kinerja merupakan
cerminan
dari
kemampuan
perusahaan
dalam
mengelola
mengalokasikan sumber daya yang dimiliki. Dengan demikian, kinerja merupakan kemampuan perusahaan dalam mengelola dan mengalokasikan sumber daya yang dimiliki untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Kinerja perusahaan dapat dilihat dari segi analisis laporan keuangan dan dari segi analisis perubahan harga saham (Nuraeni, 2010). Nuraeni (2010) juga menjelaskan bahwa tujuan dari
15
penilaian kinerja adalah untuk memotivasi karyawan dalam mencapai sasaran organisasi dan dalam memenuhi standar perilaku yang telah ditetapkan sebelumnya agar membedakan hasil dan tindakan yang diinginkan. Ada beberapa pihak yang berkepentingan terhadap penilaian kinerja suatu perusahaan. Pihak–pihak tersebut antara lain pemilik (investor), manajer, pemberi pinjaman atau kreditor, karyawan, organisasi pekerja, agen pemerintah dan masyarakat umum (publik). Dalam menilai hasil dan kinerja suatu perusahaan, pihak–pihak tersebut memiliki pandangan yang berbeda sesuai dengan tujuan mereka. Pihak pertama yang berkepentingan terhadap penilaian kinerja perusahaan adalah manajemen perusahaan. Hal ini dikarenakan manajemen perusahaan yang bertanggung jawab atas kinerja perusahaan. Mereka bertanggung jawab atas efisiensi operasi, profitabilitas jangka pendek dan jangka panjang, serta penggunaan yang efektif dan efisien atas sumber daya yang dikelola. Pihak selanjutnya yang berkepentingan terhadap penilaian kinerja perusahaan adalah pemilik perusahaan. Pemilik perusahaan secara khusus berkepentingan atas profitabilitas baik jangka pendek maupun jangka panjang dari modal yang telah ditanamkan. Pemilik mengharapkan laba perusahaan dan dividen yang dibagikan meningkat. Pihak selanjutnya ialah para pemberi pinjaman atau kreditor yang memberikan dana bagi perusahaan untuk berbagai jangka waktu. Mereka berkepentingan pada kemampuan perusahaan untuk membayar bunga pinjaman yang jatuh tempo serta kemampuan untuk membayar kembali pokok pinjaman.
16
Alat untuk mengukur kinerja dalam penelitian ini menggunakan return on equity dan return on asset. Return on equity adalah ukuran kemampuan perusahaan untuk menghasilkan tingkat kembalian perusahaan atau efektivitas perusahaan di dalam menghasilkan keuntungan dengan memanfaatkan ekuitas (shareholder’s equity) yang dimiliki oleh perusahaan. Penelitian yang dilakukan oleh Wira (2008) menyimpulkan bahwa return on equity berpengaruh positif dan signifikan terhadap kinerja. Wira (2008) menyebutkan bahwa return on equity merupakan salah satu alat utama investasi yang paling sering digunakan dalam menilai sebuah perusahaan. Return on equity yang tinggi mencerminkan kemampuan perusahaan dalam menghasilkan keuntungan yang tinggi pula bagi pemegang saham. Semakin mampu perusahaan memberikan keutungan bagi pemegang saham, maka saham tersebut diinginkan untuk dibeli. Alat untuk mengukur kinerja dalam penelitian ini selain menggunakan return on equity adalah return on asset. Hal ini dapat memberikan gambaran tingkat pengembalian keuntungan yang dapat diperoleh investor atas investasinya (Prasinta, 2012). Selain itu dengan ROA, investor dapat melihat bagaimana perusahaan mengoptimalkan penggunaan asetnya untuk dapat memaksimalkan laba yang juga menjadi tujuan GCG untuk menggunakan aset dengan efisien dan optimal (OECD, 2004). ROA merupakan rasio yang digunakan untuk mengukur kemampuan manajemen perusahaan dalam memperoleh keuntungan dengan memanfaatkan keseluruhan total aset yang dimiliki (Attar, Islahuddin, & Shabri, 2014). ROA mengukur seberapa efektif perusahaan dapat mengubah pendapatan dari pengembalian investasinya menjadi asset.
17
2.1.2 Pengaruh Koneksi Politik dan Kepemilikan Pemerintah Perusahaan dapat dikatakan memiliki hubungan politik apabila paling tidak salah satu dari pimpinan perusahaan, pemegang saham mayoritas atau kerabat mereka pernah atau sedang menjabat sebagai pejabat tinggi negara, anggota parlemen, atau pengurus partai yang berkuasa (Faccio, 2006).Koneksi politik bagaikan pedang bermata dua. Hal tersebut dapat meningkatkan atau justru membahayakan nilai perusahaan. Wahab (2011a) menyebutkan bahwa perusahaan yang mempunyai koneksi politik adalah perusahaan atau konglomerat yang mempunyai hubungan dekat dengan pemerintah. Perusahaan yang mempunyai hubungan dekat dengan pemerintah dapat diartikan sebagai perusahaan milik pemerintah, yaitu perusahaan yang berbentuk BUMN atau BUMD. Penelitian awal mengenai hubungan politik ialah mengenai hubungan kedekatan antara perusahaan dengan penguasa, salah satunya ialah oleh Fisman (2001) yang meneliti tentang nilai dari koneksi politik. Dalam penelitian tersebut subjek penelitiannya ialah perusahaan terbuka di Indonesia pada masa Suharto yang memiliki kedekatan politik dengan Suharto kala itu. Penelitian tersebut menunjukkan adanya pengaruh terhadap volatilitas harga saham perusahaan yang memiliki kedekatan politik ketika ada isu yang menggoyang Presiden Suharto. Carney dan Child (2013) menyatakan bahwa hubungan politik perusahaan dengan kroni Suharto telah menurun semenjak reformasi. Hubungan politik perusahaan di Indonesia pada tahun 2008 pun turun sampai 51% (dari tahun 1996). Contoh lain mengenai pengaruh hubungan politik antara perusahaan dengan partai penguasa
18
juga tercermin di Amerika. Perusahaan dengan hubungan politik memiliki nilai perusahaan yang lebih tinggi (Goldman, Rocholl, & So, 2009) Fan et al. (2004) melaporkan hasil penelitian bahwa perusahaan yang memiliki CEO berkoneksi politik memiliki kinerja lebih rendah sekitar 37% dibandingkan dengan perusahaan yang tidak memiliki koneksi politik apabila diukur dengan stock return perusahaan mereka tiga tahun pasca IPO. Selain itu, ukuran kinerja (seperti market-to-book value dan return on asset) bagi perusahaan yang dikuasai oleh negara berhubungan negatif dengan tingkat kepemilikan negara (Fan et. al., 2007). Hasil penelitian Faccio (2006) menunjukkan bahwa perusahaan yang berkoneksi politik memiliki kinerja lebih rendah dibandingkan dengan perusahaan yang tidak memiliki koneksi politik pada basis akuntansi. Hal ini dimungkinkan karena ketika politisi menyalurkan sumber daya ke perusahaan yang dituju dapat menimbulkan distorsi insentif, dan misalokasi investasi serta meningkatkan korupsi (Ang et al., 2010). Perusahaan yang terhubung secara politik dapat meminta bantuan tertentu dari
pemerintah
untuk perusahaan-perusahaan mereka. Sebagaimana
dicatat
sebelumnya, banyak dari perusahaan terdaftar di Cina yang diprivatisasi dari perusahaan
milik
pengendali. Sebagian
negara, besar
dan
pemerintah
penelitian
sebagai
menunjukkan
pemegang bahwa
saham
perusahaan-
perusahaan yang dimiliki negara memperoleh manfaat dengan hubungan tersebut. Bukti dari China menunjukkan sebaliknya, Fan et al.(2007) menyimpulkan bahwa kepemilikan
pemerintah
memiliki
efek
negatif
terhadap
kinerja
perusahaan. Kartikawati (2007) dan Fauziah (2011) juga menyatakan bahwa
19
konsen-trasi kepemilikan pemerintah berpengaruh negatif terhadap kinerja perusahaan. Pemerintah dapat memperlambat kinerja dari perusaahan tersebut dikarenakan pemerintah belum mampu untuk mengelola perusahaan dengan baik. Bahkan pe-merintah dapat mengintervensi kinerja perusahaan demi kepentingan pemerintah semata.Namun, hal menarik bahwa sebagian besar bukti empiris menunjukkan bahwa perusahaan milik pemerintah memiliki kinerja baik ( Ding et al., 2014) Shleifer
dan
Vishny
(1998)
memanfaatkan perusahaan-perusahaan yang
mendapati bahwa pemerintah dimiliki
untuk
dapat
kepentingannya,
apabila dibandingkan dengan kepemilikan swasta adalah lebih baik. Megginson dan
Netter
(2001) menggambarkan bahwa perusahaan
swasta
lebih efisien
daripada perusahaan milik negara. Berbeda dari temuan ini, Tian dan Estrin (2008) mendapati efek kepemilikan pemerintah terhadap nilai perusahaan akan berbentuk U, melampaui batas tertentu, kepemilikan tersebut benar-benar dapat meningkatkan nilai perusahaan.
2.1.3
Komisaris Independen Komisaris independen adalah anggota dewan komisaris yang tidak
terafiliasi dengan direksi, anggota dewan komisaris lainnya dan pemegang saham pengendali, serta bebas dari hubungan bisnis atau hubungan lainnya yang dapat mempengaruhi kemampuannya untuk bertindak independen atau bertindak semata-mata untuk kepentingan perseroan (Rifai, 2009). Keberadaan komisaris independen sangat diperlukan dalam rangka memberdayakan fungsi pengawasan
20
dewan komisaris. Secara langsung, keberadaan komisaris independen menjadi penting, karena didalam praktek sering ditemukan transaksi yang mengandung benturan kepentingan yang mengabaikan kepentingan pemegang saham publik (pemegang saham minoritas) serta stakeholder lainnya, terutama pada perusahaan di Indonesia yang menggunakan dana masyarakat didalam pembiayaan usahanya (Amri, 2011). Keberadaan komisaris independen dapat mendorong perusahaan untuk mengungkapkan informasi dengan lebih luaskepada investor. Komisaris independen lebih efektif dalammelakukan pengawasan terhadap perusahaan karena kepentingan mereka tidakterganggu oleh ketergantungan pada organisasi. Berdasar ketentuan Bursa Efek Indonesia tanggal 1 Juli 2000 komposisi komisaris independen minimal 30% dari seluruh anggota dewan komisaris. Kriteria komisaris independen secara rinci diatur dalam peraturan Bapepam LK IX.I.5 tahun 2004,yaitu berikut ini. 1. Berasal dari luar emiten atau perusahaan publik. 2. Tidak mempunyai saham emiten atau perusahaan publik langsung maupun tidak langsung. 3. Tidak mempunyai hubungan afiliasi dengan komisaris, direksi, dan pemegang saham utama emiten atau perusahaan publik. 4. Tidak mempunyai hubungan usaha dengan emitan atau perusahaan publik baik langsung maupun tidak langsung. Selain berfungsi untuk memantau manajemen, dewan komisaris diwajibkan untuk memberitahu manajemen tentang strategi bisnis perusahaan.
21
Beberapa penelitian empiris menunjukkan bahwa komposisi dewan perusahaan mempengaruhi nilai pemegang saham. Komposisi dewan komisaris adalah topik yang sangat sering diteliti diperusahaan swasta, tetapi masih sedikit penelitian dalam konteks perusahaan milik negara. Coles et al. (2008) menemukan hubungan berbentuk U antara ukuran dewan dan kinerja. Mereka berpendapat bahwa perusahaan yang kompleks membutuhkan jumlah dewan komisaris terutama dari pihak luar dibandingkan dengan perusahaan-perusahaan yang sederhana. Dalam penelitian Wu et al. (2012) mengenai efek koneksi politik pada kinerja BUMN dan perusahaan swasta dengan hasil menunjukkan bahwa adanya efek positif koneksi politikdewan komisaris maupun Chief Executive Officer (CEO) terhadap kinerja di perusahaan swasta. Akan tetapi, hal ini kontras dengan penelitian oleh Boubakri et al. (2008) dan Menozzi et al.(2010) yang menyatakan bahwa perusahaan dengan dewan yang terhubung secara politik tidak memiliki insentif manajerial untuk memaksimalkan kekayaan pemegang saham dan meningkatkan kinerja perusahaan secara keseluruhan setelah privatisasi.
2.2 Landasan Teori 2.2.1 Teori Keagenan Perspektif hubungan keagenan merupakan dasar yang digunakan untuk memahami koneksi politik, dimana pemerintah sebagai principal, sedangkan manajemen/eksekutif bertindak sebagai agen. Masalah konflik agensi dalam korporasi biasanya terjadi karena pemilik perusahaan (principal) tidak dapat
22
berperan aktif dalam manajemen perusahaan. Mereka mendelegasikan wewenang dan tanggung jawab pengelolaan perusahaan kepada para eksekutif (agen) untuk bekerja atas nama dan untuk kepentingannya. Delegasi otoritas ini menyebabkan para eksekutif memiliki insentif untuk membuat keputusan-keputusan strategik, taktikal dan operasional yang dapat menguntungkan mereka sendiri. Akibatnya, muncullah konflik agensi (agency conflict) yang sulit diselaraskan teori agensi (agency theory). Jensen dan Meckling (1976) menjelaskan bahwa hubungan keagenan sebagai suatu kontrak di mana ada satu atau lebih orang (yaitu principal atau pemegang saham atau pemilik) melibatkan atau menunjuk orang lain (yaitu agen atau manajemen) untuk bertindak atas nama pemilik. Tindakan tersebut meliputi pendelegasian
beberapa
wewenang
dari
pemilik
untuk
pengambilan
keputusan.Para pemilik perusahaan berharap bahwa manajemen bertindak sesuai dengan kepentingan mereka. Manajemen diharapkan mampu menggunakan sumber daya yang dipercayakan oleh pemilik seoptimal mungkin. Dengan demikian, para pemilik berharap manajemen dapat menyejahterakan mereka baik dalam jangka waktu pendek maupun panjang. Dalam teori keagenan dijelaskan hubungan antara pemegang saham dengan pihak manajer, pemerintah sebagai pemegang saham pengendali seharusnya bisa mengawasi atau mengkontrol kinerja dari manajer, tetapi seringkali pemerintah justru mempunyai tujuan lain selain meningkatkan kinerja. Selain itu, pengaruh negatif koneksi politik dalam persektif teori keagenan, bahwa perusahaan dengan kepemilikan pemerintah dengan manajemen atau dewan komisarisyang terhubung
23
politik tidak hanya mengurangi nilai berbasis sumber daya, tetapi juga dapat mengakibatkan hubungan negatif dengan kinerja perusahaan. Hal ini berlaku baik di kalangan BUMN pusat dan lokal, karena mereka akhirnya dikendalikan oleh pemerintah pusat dan daerah, yang memiliki kekuatan dan insentif untuk campur tangan dalam operasi perusahaan untuk mencapai tujuan sosial dan politik. Di BUMN lokal, beberapa insentif dengan adanya koneksi politik adalah desentralisasi, masalah karir dan prospek promosi (Jin et al. 2005). BUMN pusat dengan manajemen dan dewan komisaris terhubung politik dalam memiliki perusahaan lebih untuk menjamin keselamatan ekonomi nasional salah satunya untuk mengurangi pengangguran (Jin et al. 2005). Marciano (2008) menyatakan bahwa perusahaan pemerintah yang dikendalikan oleh para birokrat memiliki tujuan yang didasarkan pada kepentingan politis dan bukan untuk menyejahterakan masyarakat dan perusahaan itu sendiri. Shen dan Lin (2009) menemukan pemerintah atau birokrat mempunyai kepentingan sosial dan politis daripada memikirkan untuk meningkatkan kinerja perusahaan. Hal ini akan berdampak pada berkurangnya kontrol dari pihak pemerintah terhadap pihak manajer sebagai pengelola perusahaan. Koneksi politik manajer di perusahaan swasta umumnya memainkan peran berbeda dari rekan-rekan mereka di BUMN. Di perusahaan swasta tidak dikenakan beban kebijakan pemerintah. Hal ini dikarenakan sulit bagi pemerintah untuk campur tangan dalam operasi mereka. Selain itu, manajer terhubung politik di perusahaan swasta tampaknya tidak akan khawatir tentang tujuan sosial dan politik pemerintah.
24
2.2.2 Teori Berbasis Sumber Daya Teori berbasis sumber daya perusahaan dapat digunakan untuk menjelaskan efek positif dari koneksi politik. Menurut teori ini, keunggulan kompetitif suatu perusahaan berdasarkan kepemilikan sumber daya berwujud dan tidak berwujud yang sulit atau mahal bagi perusahaan lain untuk mendapatkan. Studi sebelumnya telah mendokumentasikan bahwa manajemen terhubung secara politik dapat membantu perusahaan mereka mendapatkan sumber daya kunci pemerintah dan dukungan (Adhikari et al., 2006; Claessens et al., 2008). Oleh karena itu, dampak positif dari koneksi politik terutama didorong oleh keuntungan memperoleh sumber kunci dari pemerintah. Perusahaan dikendalikan oleh nonpemerintah menempatkan mereka dalam posisi yang kurang menguntungkan dibandingkan dengan BUMN, terutama di negara-negara berkembang, dengan kurangnya perlindungan hak milik dan lembaga pendukung pasar yang dibutuhkan oleh perusahaan swasta (McMillan, 1995). Namun, mempekerjakan eksekutif terhubung secara politik adalah cara yang layak dan efektif untuk perusahaan-perusahaan swasta untuk mengatasi pasar dan mengurangi kerugian serta memperoleh perlakuan yang baik daripemerintah yang pada akhirnya meningkatkan nilai perusahaan (Li et al., 2008). Perusahaan BUMN dengan kepemilikan pemerintahmemiliki hubungan langsung dengan pemerintah, dan dengan demikian memiliki status yang istimewa dalam memperoleh pinjaman bank dan sumber kunci lainnya (Brandt dan Li, 2003). Selain itu, link kepemilikan pemerintah lebih eksplisit dan stabil dari
25
linkpribadi eksekutif yang terhubung secara politik. Oleh karena itu, perlu untuk BUMN memiliki eksekutif yang terhubung politik untuk mendapatkan perlakuan yang menguntungkan dari pemerintah. Dengan kata lain, kepemilikan pemerintah mencairkan efek dari hubungan politik pihak eksekutif yang meringankan pengaruh positif dari adanya hubungan politik tersebut terhadap nilai perusahaan dan kinerja (Wu et al. 2011)
2.3
Penelitian Terdahulu Fenomena koneksi politikdalam dunia bisnis telah banyak dipelajari baik
dari perspektif teoritis maupun empiris. Pada awalnya koneksi politikterjadi di negara-negara berkembang dengan perlindungan hak milik terbelakang (Fisman, 2001; Berkman, 2010). Akan tetapi dewasa ini, koneksi politiktelah terjadi di negara maju seperti Amerika Serikat, seperti dalam penelitian terbaru oleh Goldman dan Rocholl (2009) mengenai analisis respon terhadap kemenangan Partai Republik pada pemilihan Presiden AS tahun 2000 yang menunjukkan bahwa perusahaan yang terhubung dengan Partai Republik mengalami peningkatan nilai saham, sedangkan perusahaan yang terhubung dengan Partai Demokrat mengalami penurunan nilai saham serta pengumuman nominasi dewan terhubung politik mengarah pada abnormal return saham positif. Bertambahnya penelitian dampak koneksi politik memberikan bukti campuran dari efeknya pada nilai pasar dan kinerja perusahaan. Beberapa studi menemukan bahwa koneksi politik yang berharga, seperti hubungan dengan perusahaan bantuan pemerintah untuk memperoleh keunggulan komparatif, yang
26
meningkatkan kinerja perusahaan dan nilai perusahaan (Fisman, 2001; Goldman et al, 2009; Johnson dan Mitton, 2003; Li et al. 2008). Selain itu, keuntungan termasuk akses ke sumber daya utama, termasuk pinjaman bank, diberikan
dengan
syarat
yang
menguntungkan
(Claessens et
al.
2008.), perlakuan pajak yang menguntungkan (Adhikari et al. 2006;. Faccio, 2006), dan mempermudah mendapatkan dana talangan yang disponsori pemerintah (Faccio et al., 2006). Sebaliknya, penelitian lain menemukan bahwa hubungan politik memiliki efek negatif terhadap nilai perusahaan dan kinerja. Berdasarkan sampel dari 42 negara, Faccio (2007) melaporkan bahwa perusahaan terhubung secara politik memiliki kinerja yang lebih rendah dibanding perusahaan lain yang tidak terhubung politik, meskipun hubungan politik memberikan sejumlah manfaat. Penelitian lain di Indonesia terkait dengan hubungan politik perusahaan, dilakukan oleh Primasari (2013). Penelitiannya menemukan bahwa koneksi politik mempunyai pengaruh secara signifikan dan positif terhadap audit fee dan penerapan good corporate governance dapat mempengaruhi secara positif dan signifikan terhadap audit fee. Wulandari (2012) dalam penelitiannya membuktikan bahwa perusahaan yang memiliki hubungan politik memiliki kinerja yang lebih buruk dibandingkan dengan perusahaan yang tidak memiliki hubungan politik. Wirawan (2014) menyebutkan hubungan politik perusahaan tidak terbukti secara empiris dapat memberikan pengaruh negatif terhadap penerapan tata kelola perusahaan.
27
Penelitian mengenai hubungan politik dari manajemen dan dewan komisaris terhadap kinerja perusahaan masih sedikit, dan hasilnya tidak konsisten. Dalam penelitian Fan et al. (2007) menyediakan bukti efek negatif dari CEO terhubung politik pada kinerja perusahaan dan tata kelola perusahaan publik di Cina. Perusahaan China baru terdaftar dengan CEO terhubung secara politik lebih cenderung untuk memiliki dewan yang dihuni oleh birokrat pemerintah atau mantan birokrat, dan umumnya tidak memiliki kompetensi yang memadai, seperti yang ditunjukkan oleh sedikit direksi dengan latar belakang profesional yang relevan, sehingga gagal untuk bersaing dengan perusahaan lain yang tidak terhubung ditandai dengan turunnya kinerja operasi dan return saham dari perusahaan (Fan et al. 2007). Singkatnya, penelitian Fan et al. (2007) memberikan lebih banyak dukungan untuk argumen bahwa birokrat dan politisi mengekstrak sumber dari BUMN yang terdaftar di bawah kendali mereka untuk memenuhi tujuan yang tidak konsisten dalam memaksimalkan nilai perusahaan. Boubakri et al. (2008) mengatakan bahwa perusahaan dengan dewan yang terhubung
secara
politik
tidak
memiliki
insentif
manajerial
untuk
memaksimalkan kekayaan pemegang saham dan meningkatkan kinerja perusahaan secara keseluruhan setelah privatisasi. Menozzi et al. (2010) meneliti pengaruh dewan terhubung secara politik yang mewakili negara atau pemerintah daerah setempat di Italia dengan hasil penelitian bahwa komisaris terhubung politik mempunyai efek positif dan signifikan terhadap kesempatan kerja dan berdampak negatif pada kinerja yang diwakili oleh proksi return on asset. Zhang (2011) menemukan bahwa koneksi politik CEO dan ketua dewan memiliki efek
28
negatif pada tiga tahun kinerja saham pasca IPO perusahaan, namun efek negatif ini hanya ada di perusahaan yang dikendalikan oleh pemerintah daerah (BUMN lokal). Zhou (2014) menggunakan sampel perusahaan publik di Cina yang mengalami pergantian CEO antara tahun 2000 dan 2010, dengan hasil bahwa pergantian CEO yang terhubung politik berdampak positif terhadap return saham. Wu et al.(2012) melakukan penelitian mengenai efek koneksi politik pada kinerja BUMN dan perusahaan swasta. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa adanya efek positif koneksi politikdewan komisaris maupun CEO terhadap kinerja di perusahaan swasta. Bunkanwanicha dan Wiwattanakantang (2009) menemukan bahwa koneksi politik di Thailand menawarkan beberapa temuan menarik. Setelah perusahaan terhubung politik ada peningkatan market to book ratio mengungguli perusahaan lain yang tidak terkoneksi politis dan perusahaan diuntungkan melalui pembuatan kebijakan pemerintah secara langsung. Li et al. (2008) menyebutkan mempekerjakan eksekutif terhubung secara politik adalah cara yang layak dan efektif untuk perusahaan-perusahaan swasta untuk mengatasi pasar dan mengurangi kerugian serta memperoleh perlakuan yang baik dari pemerintah yang pada akhirnya meningkatkan nilai perusahaan. Penelitian mengenai hubungan politik dengan kontrol utama pemerintah masih sedikit dengan hasil yang tidak konsisten. perusahaan-perusahaan dengan kepemilikan publik (swasta) akan lebih baik dibanding BUMN karena mereka lebih efisien (La Porta, Lopez & Shleifer 2002; Wang et al. 2008). Orden dan Garmendia (2005) meneliti hubungan antara struktur kepemilikan dan kinerja
29
perusahaan pada perusahaan Spanyol dengan hasil bahwa perusahaan dengan struktur kepemilikan pemerintah menunjukkan dampak negatif terhadap kinerja. Namun, sejumlah penelitian lain menunjukkan bahwa kepemilikan pemerintah benar-benar dapat meningkatkan kinerja (Bai, & Zhang, 2004; Tian & Estrin, 2008; Wang, Xu, & Zhu, 2004). Ding et al. (2014) menyebutkan pengaruh politik dari aspek kepemilikan pemerintah memilikipengaruh positif terhadapkinerja perusahaan. Hal ini menunjukkan bahwa pengaruh politik dari aspek kepemilikan pemerintah menyediakan platform yang sangat diperlukan bagi para eksekutif yang terhubung secara politik untuk menerima manfaat yang menguntungkan dengan adanya kebijakan dari pemerintah. Berdasarkan uaian diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa masih terdapat ketidakkonsistenan hasil penelitian mengenai pengaruh politik terhadap kinerja perusahaan, baik dari aspek kepemilikan pemerintah maupun dari aspek dewan komisaris dan manajemen. Dari hasil penelitian yang masih tidak konsisten tersebut membuat peneliti tertarik untuk memasukan proksi komisaris independen. Keberadaan komisaris independen sangat diperlukan dalam rangka memberdayakan fungsi pengawasan dewan komisaris. Secara langsung, keberadaan komisaris independen menjadi penting, karena didalam praktek sering ditemukan transaksi yang mengandung benturan kepentingan yang mengabaikan kepentingan pemegang saham publik (pemegang saham minoritas), sehingga nantinya dapat mengawasi kinerja perusahaan. Selain itu, penelitian mengenai pengaruh koneksi politik terhadap kinerja masih jarang dilakukan di Indonesia. Penelitian ini menggunakan proksi/alat ukur kinerja perusahaan yaitu ROE dan
30
ROA, selain belum banyak digunakan dalam penelitian diatas, ROE dan ROA yang tinggi mencerminkan kemampuan perusahaan dalam menghasilkan keuntungan yang tinggi pula bagi pemegang saham (Widodo, 2007).
2.4
Pengembangan Hipotesis Martono (2011) mendefinisikan hipotesis sebagai jawaban sementara yang
kebenarannya masih harus diuji, atau rangkuman kesimpulan teoritis yang diperoleh dari tinjauan pustaka. Hipotesis juga merupakan jawaban sementara atas pertanyaan penelitian. Beberapa penelitian sebelumnya telah menunjukkan adanya hasil penelitian yang tidak konsisten antara pengaruh koneksi politik dari aspek kepemilikan pemerintah dan pengaruh koneksi politik dari aspek komisaris independen terhadap kinerja perusahaan. Dalam penelitian ini, hipotesis yang dirumuskan adalah adanya pengaruh koneksi politik dari aspek kepemilikan pemerintah dan pengaruh koneksi politik dari aspek komisaris independen terhadap kinerja perusahaan serta interaksi pengaruh koneksi politik dari aspek kepemilikan pemerintah dan pengaruh koneksi politik dari aspek komisaris independen terhadap kinerja perusahaan.
2.4.1 Variabel Independen 2.4.1.1 Koneksi Politik Variabel koneksi politik dalam penelitian ini menggunakan dua proksi yaitu pengaruh koneksi politik dari aspek kepemilikan pemerintah dan pengaruh koneksi politik dari aspek komisaris independen.
31
2.4.1.1.1 Pengaruh Koneksi Politik dari Aspek Kepemilikan Pemerintah Koneksi politikbagaikan pedang bermata dua. Hal tersebut dapat meningkatkan atau justru membahayakan nilai perusahaan. Perusahaanperusahaan dengan kontrol pemerintah memiliki efek negatif karena memiliki tanggung jawab politik dan sosial, daripada berusaha untuk memaksimalkan nilai pemegang saham. Fan et al. (2007) meneliti koneksi politik terhadap nilai perusahaan
di
Cina,
dan
menyimpulkan
bahwa
koneksi
politik
tidak menguntungkan karena mereka berpengaruh negatif terhadap kinerja penawaran umum baik sebelum dan sesudah IPO. Selain itu, birokrat dan politisi mengekstrak sumber dari BUMN yang terdaftar di bawah kendali mereka untuk memenuhi tujuan yang tidak konsisten dalam memaksimalkan nilai perusahaan. Menurut teori berbasis sumber daya, nilai koneksi politik terutama didorong oleh hubungan dengan pemerintah yang membantu perusahaan untuk mendapatkan sumber daya kunci yang dapat meningkatkan nilai mereka. Li et al. (2008)
menyebutkan
perusahaan
dengan
kepemilikanpemerintah
lebih
menguntungkan daripada memiliki eksekutif yang terhubung secara politik. Hal ini disebabkan adanya hubungan langsung dengan pemerintah menyebabkan perusahaan tersebut menerima manfaat langsung. Selain itu, perusahaan dengan kepemilikan pemerintah juga memperoleh banyak manfaat akibatnya adanya hubungan politik. Perusahaan yang terkoneksi politik akan mendapat kemudahan memperoleh pinjaman dari bank (Liu & Wong, 2009; Khwaja & Mian, 2005), akses yang lebih mudah untuk mendapatkan modal dari pemerintah (Claessens, 2008), mendapatkan tarif pajak yang lebih
32
rendah (Faccio,2010), preferensi
peraturan
yang
menguntungkan
bagi
perusahaan (Bunkanwanicha & Wiwattanakantang, 2009; Faccio, 2006). Ding et al. (2014) menemukan bahwa pengaruh politik dari aspek kepemilikan pemerintah meningkatkan kinerja akuntansi perusahaan. Hal ini menunjukkan bahwa perusahaan yang dikendalikan pemerintah menikmati keuntungan tertentu dari pemerintah yang dapat meningkatkan kinerja perusahaan. Berdasarkan uraian di atas, maka dapat dirumuskan hipotesis penelitian sebagai berikut. H1:
Pengaruh koneksi politik dari aspek kepemilikan pemerintah berpengaruh positif terhadap kinerja perusahaan
2.4.1.1.2 Pengaruh Koneksi Politik dari Aspek Komisaris Independen Suatu perusahaan yang memiliki koneksi politik pada dewan dan CEO mendapatkan beberapa manfaat. Berdasarkan teori agensi bahwa keberadaan komisaris independen sangat diperlukan dalam rangka memberdayakan fungsi pengawasan dewan komisaris. Secara langsung, keberadaan komisaris independen menjadi penting, karena didalam praktek sering ditemukan transaksi yang mengandung benturan kepentingan yang mengabaikan kepentingan pemegang saham publik (pemegang saham minoritas) serta stakeholder lainnya, terutama pada perusahaan di Indonesia yang menggunakan dana masyarakat didalam pembiayaan usahanya (Amri, 2011). Keberadaan komisaris independen dapat mendorong perusahaan untuk mengungkapkan informasi dengan lebih luas kepada investor. Komisaris
33
independen lebih efektif dalammelakukan pengawasan dan memberikan nasehat atau masukan yang diberikannya terhadap perusahaan karena kepentingan mereka tidakterganggu oleh ketergantungan pada organisasi. Menurut teori berbasis sumber daya, keunggulan kompetitif suatu perusahaan berdasarkan kepemilikan sumber daya berwujud dan tidak berwujud yang sulit atau mahal bagi perusahaan lain untuk mendapatkan. Studi sebelumnya telah mendokumentasikan bahwa manajemen dan dewan komisaris terhubung secara politik dapat membantu perusahaan mereka mendapatkan sumber daya kunci pemerintah (Adhikari et al. 2006; Claessens et al. 2008). Oleh karena itu, dampak positif dari koneksi politik terutama didorong oleh keuntungan memperoleh sumber kunci dari pemerintah. Wu et al. (2012) melakukan penelitian mengenai efek koneksi politik pada kinerja BUMN dan perusahaan swasta. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa adanya efek positif koneksi politik dewan komisaris maupun CEO terhadap kinerja di perusahaan swasta. Namun demikian, bukti empiris lainmenunjukkan hal yang berlawanan.Fan et al. (2007) menyimpulkan bahwa birokrat dan politisi mengekstrak sumber daya dari BUMN yang terdaftar di bawah kendali mereka untuk memenuhi tujuan yang tidak konsisten untuk memaksimalkan nilai perusahaan. Berdasarkan uraian di atas, maka dapat dirumuskan hipotesis penelitian sebagai berikut. H2: Pengaruh koneksi politik dari aspek komisaris independen berpengaruh positif terhadap kinerja perusahaan.
34
2.4.1.1.3 Interaksi Pengaruh Politik dari Aspek Kepemilikan Pemerintah, dengan Pengaruh Politik dari Aspek Komisaris Independen Pengaruh interaksi ini dirasa penting dikarenakan dari bukti empiris mengenai pengaruh koneksi politik dari aspek kepemilikan pemerintah terhadap kinerja perusahaan menunjukkan hasil
yang tidak konsisten, sehingga
dimungkinkan ada variabel lain yang mempengaruhi, yaitu komisaris independen. Dalam hal ini, peneliti berargumen bahwa komisaris independen memiliki pengaruh positif terhadap kinerja perusahaan melalui fungsi pengawasan yang efektif terhadap jalannya perusahaan. Pengaruh interaksi ini dirasa akan lebih kuat, karena menurut teori berbasis sumber daya nilai koneksi politik terutama didorong oleh hubungan dengan pemerintah, perusahaan yang memiliki hubungan langsung dengan pemerintahakan memiliki status yang istimewa dalam memperoleh pinjaman bank dan sumber kunci lainnya yang membantu perusahaan untuk mendapatkan sumber daya untuk meningkatkan nilai perusahaan dan komisaris independen yang terkoneksi politik akan menambah manfaat yang memudahkan dalam mendapat sumber daya kunci dari pemerintah tersebut. Keberadaan komisaris independen menjadi penting, karena didalam praktek sering ditemukan transaksi yang mengandung benturan kepentingan yang mengabaikan kepentingan pemegang saham publik (pemegang saham minoritas) serta stakeholder lainnya, terutama pada perusahaan di Indonesia yang menggunakan dana masyarakat didalam pembiayaan usahanya (Amri, 2011). Peneliti berpendapat bahwa pengaruh akan
35
lebih kuat. Adanya pengaruh interaksi ini diharapkan dapat diketahui seberapa banyak manfaat yang diterima oleh perusahaan tersebut dari pemerintah ketika suatu perusahaan dimiliki oleh pemerintah dengan komisaris independen yang terkoneksi politik. Hasil penelitian Ding (2014) mengenai interaksi antara pengaruh politik dari aspek kepemilikan pemerintah dengan pengaruh politik dari aspek manajemen terhadap kinerja perusahaan menunjukkan bahwa perusahaanyang dikendalikan olehnon pemerintah, dengan board chair terhubung politik tidak berpengaruh terhadap kinerja. Sebaliknya, ketika perusahaan dikendalikan oleh pemerintah, dengan board chair terhubung politik memiliki pengaruh dan mampu meningkatkan kinerja perusahaan. Dapat disimpulkan dalam kasus interaksi bahwa pengaruh politik terhadap kinerja perusahaan, tergantung dari jenis kepemilikan. Efek interaktif antara pengaruh koneksi politik dari kepemilikan pemerintah dan pengaruh politik dari manajemen terhadap kinerja tampaknyamenunjukkan bahwa kepemilikan pemerintah menyediakan platform yang sangat diperlukan bagi para eksekutif yang terhubung secara politik untuk menerima manfaat yang menguntungkan, dan dengan demikian mencapai kinerja yang lebih baik. Berdasarkan uraian di atas, maka dapat dirumuskan hipotesis penelitian sebagai berikut. H3:
Pengaruh koneksi politik dari aspek kepemilikan pemerintahterhadap kinerja perusahaan akan lebih kuat apabila komisaris independen mempunyai koneksi politik
36
2.4.2
Variabel Kontrol
2.4.2.1 Corporate Governance Perkembangan konsep corporate governance sesungguhnya telah dimulai jauh sebelum isu corporate governance menjadi kosakata paling sering dibicarakan di kalangan eksekutif bisnis. Banyak terdapat definisi yang digunakan untuk memberikan gambaran tentang corporate governance, yang diberikan baik oleh perorangan (individual) maupun institusi (institutional). Menurut Pratolo (2007),GCG adalah suatu sistem yang ada pada suatu organisasi yang memiliki tujuan untuk mencapai kinerja organisasi semaksimal mungkin dengan cara-cara yang tidak merugikan stakeholder organisasi tersebut. Corporate governance merupakan konsep untuk meningkatkan kinerja perusahaan melalui
supervisi
atau
monitoring kinerja manajemen dan
akuntabilitas manajemen jaminan kepada stakeholder berdasarkan kerangka aturan ini. Tujuan utama adalah untuk mencapai transparansi manajemen perusahaan bagi para pengguna laporan keuangan. Jika perusahaan bisa menerapkan konsep ini sehingga pertumbuhan ekonomi bisa terus berjalan dengan baik bersama-sama dengan manajemen perusahaan transparansi yang juga berjalan dengan baik dan memberikan manfaat bagi banyak pihak. Thomas (2006) menyebutkan bahwa GCG merupakan sistem yang mengatur dan mengendalikan perusahaan guna menciptakan nilai tambah (value added) untuk semua stakeholder. Konsep ini menekankan pada dua hal. Pertama, pentingnya hak pemegang saham untuk memperoleh informasi dengan benar dan tepat
pada waktunya.
Kedua, kewajiban
37
perusahaan untuk
melakukan
pengungkapan (disclosure) secara akurat, tepat waktu, transparan terhadap semua informasi kinerja perusahaan, kepemilikan, dan stakeholder. Menurut Dani dan Hasan (2005), faktoryang mempengaruhi kinerja keuangan antara lain GCG, karena prinsip-prinsip dasar dari GCG pada dasarnya memiliki tujuan untuk memberikan kemajuan terhadap kinerja keuangan pada suatu perusahaan. Semakin baik corporate governance yang dimiliki suatu perusahaan maka diharapkan semakin baik pula kinerja dari suatu perusahaan tersebut. GCGmerupakan salah satu elemen kunci dalam meningkatkan efisiensi ekonomis yang meliputi serangkaian hubungan antara manajemen perusahaan, dewan direksi, para pemegang saham, dan stakeholders lainnya. Esensi dari corporate governance adalah peningkatan kinerja perusahaan melalui pengawasan atau pemantauan kinerja manajemen dan adanya akuntabilitas manajemen terhadap stakeholders dan pemangku kepentingan lainnya, berdasarkan kerangka aturan dan peraturan yang berlaku (Rizqiasih, 2010).
2.4.2.2 Growth Dalam melihat pengaruh dari kebijakan yang diambil oleh perusahaan seperti kebijakan dividen dan hutang terhadap nilai perusahaan, baik investor maupun pelaku pasar juga akan mempertimbangkan potensi pertumbuhan yang dimiliki oleh perusahaan. Menurut Fama (1978), nilai suatu perusahaan sematamata dipengaruhi oleh peluang investasi. Oleh karena itu, investasi merupakan suatu keputusan yang sangat penting dalam perusahaan. Myers (1977) mengaitkan peluang investasi dengan pencapaian tujuan perusahaan (Adam dan Goyal, 2003).
38
Peluang investasi memberikan petunjuk yang lebih luas bahwa nilai perusahaan tergantung pada pengeluaran perusahaan di masa yang akan datang. Pemilihan opsi-opsi investasi adalah tergantung oleh kebijakan manajer untuk melakukan expenditure di masa mendatang. Manajer harus dapat melakukan kebijakan yang tepat terkait dengan investasi sehingga nilai perusahaan dapat meningkat. Keputusan investasi sangat penting, karena untuk mencapai tujuan perusahaan hanya akan dihasilkan melalui kegiatan investasi perusahaan. Perusahaan dengan kesempatan investasi yang besar mengindikasi bahwa perusahaan tersebut memiliki prospek ke depan yang cerah, sehingga akan berdampak positif pada harga saham.
2.4.2.3 Leverage Leverage dalam pengertian bisnis mengacu pada penggunaan asset dan sumber dana oleh perusahaan dengan tujuan penggunaan asset (aktiva) atau dana tersebut dimaksudkan untuk meningkatkan keuntungan potensial bagi para pemangku kepentingan (stakeholder) perusahaan (Mulyaniet al. 2013). Leverage juga didefinisikan sebagai rasio dari hutang jangka panjang terhadap total aktiva (Kim dan Zhang, 2013). Ketika perusahaan mengalami kekurangan dana untuk pembiayaan kegiatan operasional perusahaan, maka perusahaaan akan mencari pinjaman dari luar perusahaan. Dengan dana yang cukup, maka manajer termotivasi untuk bisa memanfaatkan dana tersebut untuk meningkatkan kinerja perusahaan melalui laba yang didapatkan di masa depan
39
Menurut Clarke et al. (2013), leverage merupakan rasio hutang terhadap total ekuitas menunjukkan proporsi atas penggunaan hutang untuk membiayai investasi perusahaan. Rasio utang sangat penting bagi kreditor dan calon kreditor potensial pemerintah daerah dalam membuat keputusan pemberian kredit. Rasiorasio ini digunakan oleh kreditor untuk mengukur kemampuan pemerintah daerah dalam membayar utangnya (Mahmudi, 2009). Penelitian mengenai hubungan leverage dengan kinerja dilakukan oleh Dogan (2013), Gwey et al. (2014) dan Ludjianto et al. (2014). Hasil penelitian mereka menyimpulkan bahwa leverage mempunyai pengaruh signifikan terhadap kinerja organisasi. Semakin tinggi tingkat leverage, maka perusahaan akan cenderung melaporkan profitabilitas yang tinggi dan semakin besar kemungkinan perusahaan melanggar perjanjian kredit, sehingga perusahaan akan berusaha untuk meningkatkan
laba
yang
tinggi
pula.
Namun,
investor
juga
perlu
mempertimbangkan risiko yang harus ditanggung saat berinvestasi ke dalam perusahaan yang nilai leverage tinggi. Semakin tinggi leverage, maka risiko keuangan yang harus ditanggung akan semakin tinggi pula.
2.4.2.4 Kualitas Audit Dalam penelitian tentang hubungan ukuran kantor audit dengan kualitas audit dan audit pricing, Choi et al. (2010) menemukan bahwa terdapat hubungan yang signifikan dan positif antara ukuran perusahaan audit (KAP) terhadap kualitas audit. Hasil analisis mereka mendukung pandangan yang menyatakan
40
bahwa kantor audit yang lebih besar menyediakan audit yang lebih berkualitas dibandingkan dengan kantor audit yang berukuran kecil. Secara teoritis, kantor akuntan publik yang besar dengan investasi yang lebih besar dalam modal reputasi akan lebih meminimalkan kesalahan dalam pemeriksaan laporan keuangan melalui “auditor reputation effect” (Haat et al., 2008). Selain itu, sebuah perusahaan audit besar juga akan memiliki tingkat independensi yang lebih tinggi dari manajemen (Haat et al., 2008) Akan tetapi Watkins et al. (2004) menyatakan hal yang tidak sependapat dengan pernyataan tersebut. Pertama, kepemilikan sumber daya tidak lebih penting daripada penggunaan sumber daya tersebut. Sebuah kantor akuntan besar tidak akan lebih berkualitas dibandingkan dengan kantor akuntan yang lebih kecil, jika sumber daya yang dimiliki tidak digunakan untuk memberikan pendapat secara independen.
2.4.2.5 Umur Perusahaan Umur perusahaan adalah lamanya perusahaan berdiri.Seiring waktu, perusahaan belajar untuk semakin baik dan lebih efisien serta memiliki keunggulan kompetitif dalam inti bisnisnya dan mendorong keberhasilan dan kemakmuran organisasi (Jovanovic, 1982). Martinez (2006) menyatakan bahwa proses pembelajaran mempengaruhi profitabilitas perusahaan dimana ketika perusahaan memiliki keahlian dalam proses bisnisnya maka menyebabkan efisiensi biaya dan meningkatkan profit margin yang kemudian berpengaruh positif terhadap profitabilitas perusahaan.
41
Dengan perusahaan yang telah lama berdiri maka investor sebagai penanam modal lebih percaya dibandingkan dengan perusahaan yang baru berdiri karena perusahaan yang telah lama berdiri diasumsikan akan menghasilkan laba yang lebih tinggi dibandingkan perusahaan baru, sehingga perusahaan yang lama berdiri lebih menarik perhatian investor (Zen dan Herman, 2007).Dengan demikian, umur perusahaan dapat dikaitkan dengan kinerja keuangan suatu perusahaan. Perusahaan yang berdiri lebih lama memiliki pengalaman lebih banyak dan mengetahui kebutuhan konstituennya atas informasi tentang perusahaan.
2.5
Kerangka Berfikir Penelitian ini bertujuan untuk menguji pengaruh politik dari aspek
kepemilikan dan dewan komisaris terhadap kinerja perusahaan. Penelitian ini menggunakan variabel independen pengaruh koneksi politik dari aspek kepemilikan pemerintah dan pengaruh koneksi politik dari aspek komisaris independen. Variabel kontrol merupakan pendukung variabel independen dalam penelitian ini menggunakan corporate governance, growth, leverage, kualitas audit dan umur perusahaan. Berikut ini merupakan kerangka pemikiran yang menggambarkan model penelitian dan hubungan antar variabel yang digunakan dalam penelitian.
42
Variabel Independen
Variabel Kontrol
Gambar 2.1 Kerangka Berfikir
43