19
PENDAHULUAN
Latar Belakang Kandungan bahan organik tanah pada sebagian besar lahan pertanian di Indonesia dalam tiga dasawarsa terakhir telah mencapai tingkat rendah bahkan sangat rendah. Menurut Karama, Marzuki dan Manwan ( 1990), sebagian besar (73%) lahan-lahan tersebut, baik lahan sawah maupun lahan kering mempunyai kandungan bahan organik yang rendah (>2%) (Setyorini, 2005; Djakakirana dan Sabihan, 2007). Terabaikannya pengembalian bahan organik kedalam tanah dan intensifnya penggunaan pupuk kimia pada lahan pertanian telah menyebabkan mutu fisik dan kimia tanah menurun atau sering disebut kelelahan lahan (land fatigue) (Sisworo, 2006). Kondisi tanah yang demikian menyebabkan biota tanah yang berpengaruh terhadap fiksasi nitrogen dan kelarutan fosfat menurun, miskin hara mikro, perlindungan terhadap penyakit rendah, boros terhadap penggunaan pupuk dan air, serta tanaman peka terhadap kekeringan. Produktivitas tanah dan keberlanjutan produksi pertanian baik tanaman pangan, hortikultura
dan perkebunan
ditentukan oleh kecukupan kandungan bahan organik tanah. Bahan organik tanah merupakan komponen penting penentu kesuburan tanah, terutama di daerah tropika seperti di Indonesia dengan suhu udara dan curah hujan yang tinggi. Kandungan bahan organik yang rendah menyebabkan partikel tanah mudah pecah oleh curah hujan dan terbawa oleh aliran permukaan sebagai erosi, yang pada kondisi ekstrim mengakibatkan terjadinya
Universitas Sumatera Utara
20
desertitifikasi.
Rendahnya
kandungan
bahan
organik
tanah
disebabkan
oleh
ketidakseimbangan antara peran bahan dan hilangnya bahan organik dari tanah utamanya melalui proses oksidasi biologis dalam tanah. Erosi tanah lapisan atas yang kaya akan bahan organik juga berperan dalam berkurangnya kandungan bahan organik tanah tersebut. Bahan organik tanah merupakan cadangan (pool) bahan organik yang dinamis, sehingga perubahan bersih (net change) dalam cadangan tersebut lebih informatif dari pada jumlah mutlaknya (Ellert, 2004). Sebagian besar residu tanaman seperti kulit buah kakao, kulit kopi, sabut kelapa, jerami padi, tongkol jagung, eceng gondok dan lain-lain sangat berpotensi untuk diolah menjadi bahan yang bermanfaat untuk meningkatkan kesuburan tanah secara alami sebagai pupuk organik/kompos . Kulit buah kakao merupakan komponen terbesar dari buah kakao yaitu sebesar 70% berat buah masak. Menurut Widyotomo (2007), pada areal 1 ha pertanaman kakao akan manghasilkan produk samping segar kulit buah sekitar 5,8 ton. Berdasarkan Data Statistik Perkebunan tahun 2008, luas areal kakao di Indonesia tercatat 992.448 ha, produksi 560.880 ton dan tingkat produktivitas 657 kg/kg/ha. Bobot buah kakao yang dipanen dari 1 ha akan diperoleh 6200 kg kulit buah. Produksi yang tinggi tersebut menghasilkan kulit buah kakao sebagai produk samping pertanian meningkat. Menurut Darmono dan Panji (1999), produk samping kulit buah kakao yang dihasilkan dalam jumlah banyak akan menjadi masalah jika tidak ditangani dengan baik .
Universitas Sumatera Utara
21
Kandungan hara mineral kulit buah kakao cukup tinggi, khususnya hara kalium dan nitrogen. Penelitian yang dilakukan oleh Goenadi dan Away (2004) menemukan bahwa kandungan hara kompos yang dibuat dari kulit buah kakao adalah 1,81% N, 26,61% Corganik, 0,31% P2O5, 6,8% K2O, 1,22% CaO, 1,37% MgO dan 44,85 cmol/kg KTK. Residu tanaman kopi terdiri dari kulit buah kopi (pulpa) dan kulit tanduk kopi (Adam and Dougan, 1982). Produksi kopi pada tahun 2008 mencapai 460.000 ton biji kopi, maka pulpa kopi yang berupa produk samping tersebut mencapai 120.000 ton, sedangkan produk kulit tanduk
sebesar 220.000 ton (BPS,2008). Produk samping kulit biji ini
menumpuk sehingga menyebabkan gangguan baik berupa bau maupun lalat. Kulit kopi berpotensi untuk digunakan sebagai sumber bahan organik dengan syarat sudah mengalami pengomposan terlebih dahulu. Produksi jerami di Indonesia pada tahun 2009 mencapai 84 juta ton. Jerami padi tersebut belum dinilai sebagai produk yang memiliki nilai ekonomis. Pada sistem usaha tani yang intensif jerami sering dianggap sebagai sisa tanaman yang mengganggu pengolahan tanah dan penanaman padi. Oleh karena itu 75-80% petani membakar jerami beberapa hari setelah panen padi. Penggunaan jerami sebagai bahan organik dapat meningkatkan efisiensi penggunaan pupuk N, memperbaiki kesuburan tanah dengan menyediakan unsur hara terutama K, selain itu dapat memperbaiki sifat fisik tanah (Adiningsih et al. 1999). Ratarata kadar hara jerami padi adalah 0,4% N, 0,02% P, 1,4% K dan 5,0% Si.
Universitas Sumatera Utara
22
Eceng gondok (Eichornia crassipes (Mart) Solm) merupakan gulma yang sangat cepat berkembang. Apabila tidak dikendalikan akan mengakibatkan masalah lingkungan. Selain memberikan dampak negatif, eceng gondok juga memberikan dampak positif antara lain sebagai bahan baku pupuk organik. Kandungan N, P, K dalam kompos eceng gondok masing-masing hádala 0,4% N, 0,114% P dan 7,53% K sedangkan C-organik adalah 47,61% bahan kering (Wahyu, 2008) . Pada umumnya residu tanaman merupakan sumber bahan organik yang potensial. Namun tingginya rasio C/N bahan organik tersebut merupakan kendala utama (rasio C/N kulit kopi 140, jerami padi 80) akibatnya proses dekomposisi secara alami akan berjalan lebih lama. Pengomposan residu tanaman mesti dilakukan untuk menghindari pengaruh negatifnya terhadap tanaman, akibat dari rasio C/N bahan yang cukup tinggi, disamping untuk mengurangi volume bahan agar memudahkan dalam aplikasi serta menghindari terjadinya pencemaran lingkungan. Laju pengomposan tergantung pada ukuran partikel, kekuatan struktur bahan, aerasi, komposisi bahan, ketersediaan mikro organisme (dekomposer), kelembaban, pengadukan dan volume tumpukan (Gray and Bidlestone, 1984). Makin tinggi nisbah C/N bahan baku, makin lama laju pengomposannya. Sehubungan dengan permasalahan diatas, maka salah satu cara yang dapat dilakukan adalah dengan pemberian mikroorganisme (dekomposer).
Perumusan Masalah
Universitas Sumatera Utara
23
Beberapa residu tanaman seperti kulit kopi, kulit kakao, jerami padi dan eceng gondok cukup banyak tersedia, akan tetapi belum dimanfaatkan secara optimal sehingga dapat menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan. Produk samping Residu tanaman tersebut berpotensi digunakan sebagai sumber bahan organik. Akan tetapi rasio C/N, kandungan selulosa dan lignin yang tinggi menyebabkan produk residu tanaman tersebut lambat mengalami dekomposisi secara alami. Salah satu upaya untuk mempercepat proses pengomposan dapat dilakukan dengan memberikan dekomposer. Berbagai jenis dekomposer seperti EM-4, Trichoderma sp telah sering digunakan. Sedangkan urine domba dan darah RPH belum banyak digunakan sebagai dekomposer. Berdasarkan alasan tersebut, maka perlu dilakukan penelitian untuk memanfaatkan residu tanaman menjadi kompos dengan menggunakan dekomposer yang dapat diperoleh dengan mudah oleh pengguna.
Tujuan Penelitian Untuk mengetahui pengaruh beberapa dekomposer terhadap laju dekomposisi secara aerobik dan kualitas kompos yang dihasilkan dari berbagai produk samping Hipotesis Penelitian 1. Pemberian dekomposer meningkatkan laju dekomposisi secara aerobik dan kualitas kompos. 2. Residu tanaman yang berbeda mempunyai laju dekomposisi serta kualitas kompos yang berbeda.
Universitas Sumatera Utara
24
3. Pemberian dekomposer pada tiap residu tanaman yang berbeda akan mempengaruhi laju dekomposisi serta kualitas kompos.
Kegunaan Penelitian Dari hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan yang bermanfaat dalam pemanfaatan residu tanaman sebagai kompos dan peranan dekomposer dalam mempercepat dan meningkatkan kualitas kompos sehingga dapat memberikan kontribusi peningkatan kandungan bahan organik pada lahan pertanian.
Universitas Sumatera Utara