ELASTISITAS PERMINTAAN PANGAN STRATEGIS BERDASAR ANALISIS DATA SUSENAS 2005 DAN IMPLIKASINYA TERHADAP KONSUMSI DAN UPAYA PERBAIKAN KONSUMSI PANGAN MASYARAKAT INDONESIA
ANNA VIPTA RESTI MAULUDYANI
PROGRAM STUDI GIZI MASYARAKAT DAN SUMBERDAYA KELUARGA FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008
RINGKASAN ANNA VIPTA RESTI MAULUDYANI. Elastisitas Permintaan Pangan Strategis berdasar Analisis Data Susenas 2005 dan Implikasinya terhadap Konsumsi dan Upaya Perbaikan Konsumsi Pangan Masyarakat Indonesia (Di bawah bimbingan DRAJAT MARTIANTO dan YAYUK F. BALIWATI) Pemerintah terus berupaya untuk memenuhi permintaan pangan masyarakat, terutama pangan strategis. Permintaan pangan bersifat dinamis, antara lain dapat berubah akibat perubahan harga pangan tersebut, harga pangan lain, dan pendapatan. Seberapa besar pengaruh perubahan tersebut terhadap konsumsi pangan masyarakat merupakan informasi penting sebagai dasar pertimbangan pemerintah dalam menetapkan kebijakan berkaitan dengan perbaikan konsumsi pangan masyarakat Indonesia. Secara umum, penelitian ini bertujuan untuk menganalisis elastisitas permintaan pangan strategis pada rumah tangga di Indonesia. Tujuan khusus penelitian ini adalah menganalisis: 1) konsumsi pangan strategis menurut wilayah dan kelas pendapatan, 2) elastisitas permintaan pangan strategis menurut wilayah dan kelas pendapatan, dan 3) implikasi elastisitas permintaan pangan strategis terhadap konsumsi dan upaya perbaikan konsumsi pangan masyarakat. Penelitian dilakukan di Bogor, pada bulan Maret hingga Juni 2008, dengan menggunakan desain survei. Penelitian ini menggunakan data sekunder Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) tahun 2005 dengan sampel sebanyak 64.709 rumah tangga. Data diolah menggunakan program SAS versi 6.12 dan model ekonometrika regresi Log-Ganda. Data dianalisis secara deskriptif. Secara nasional, jumlah konsumsi beras, jagung, ubi kayu, ubi jalar, terigu dan turunannya, mi instan dan mi basah adalah 100.52 kg/kap/th, 3.36 kg/kap/th, 11.67 kg/kap/th, 4.10 kg/kap/th, 5.09 kg/kap/th, 3.39 kg/kap/th, 0.22 kg/kap/th. Sementara itu, jumlah konsumsi kedelai dan turunannya, gula pasir, daging sapi, dan minyak goreng adalah 7.29 kg/kap/th, 9.64 kg/kap/th, 0.51 kg/kap/th, dan 9.00 kg/kap/th. Tingkat partisipasi konsumsi pangan strategis secara nasional dalam berbagai bentuk adalah sebagai berikut: beras 97.05%; beras ketan 1.89%; tepung beras 6.33%; bihun 2.28%; jagung basah dengan kulit 3.95%; jagung pipilan 5.59%; tepung jagung 0.52%; ketela pohon/singkong 29.04%; gaplek 0.54%; tepung gaplek (tiwul) 0.90%; tepung ketela pohon (tapioka/kanji) 0.49%; ubi jalar 11.12%; mi instan 60.95%; mi basah 1.67%; tepung terigu 17.66%; kedelai 1.68%; tahu 60.47%; tempe 65.17%; tauco 1.83%; kecap 42.82%; gula pasir 92.22%; daging sapi 7.36%; minyak kelapa 41.27%; minyak jagung 0.13%; minyak sawit 54.46%. Kontribusi energi dari beras, jagung, ubi kayu, ubi jalar, terigu dan turunannya, mi instan, mi basah, gula pasir, dan minyak goreng secara nasional adalah 46.56%, 1.23%, 1.88%, 0.66%, 2.58%, 1.93%, 0.02%, 4.49%, dan 10.21%. Kontribusi protein dari kedelai dan daging sapi adalah 8.52% dan 0.43%. Secara nasional, konsumsi melalui pembelian untuk beras, jagung, ubi kayu, ubi jalar, terigu dan turunannya, mi instan, mi basah, kedelai dan turunannya, gula pasir, daging sapi, dan minyak goreng adalah 82.01%, 32.89%, 39.09%, 40.21%, 99.02%, 98.93%, 98.94%, 98.55%, 99.43%, 95.25%, dan 97.30%. Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara nasional, pangsa pengeluaran beras, jagung, ubi kayu, ubi jalar, terigu dan turunannya, mi instan, mi basah, kedelai dan turunannya, gula pasir, daging sapi, dan minyak goreng adalah 14.99%, 0.34%, 0.47%, 2.23%, 1.90%, 0.03%, 2.94%, 2.82%, 0.84%, dan
3.07%. Skor Pola Pangan Harapan (PPH) nasional, perkotaan, dan pedesaan adalah berturut-turut 78.6, 81.9, dan 76.1. Secara nasional, elastisitas harga sendiri untuk beras, jagung, ubi kayu, ubi jalar, terigu dan turunannya, mi instan, mi basah, kedelai dan turunannya, gula pasir, daging sapi, dan minyak goreng adalah -0.88, -1.36, -0.61, -0.20, 1.07, -0.86, -0.80, -1.03, -0.79, -0.54, dan -0.69. Secara nasional, elastisitas silang jagung, ubi kayu, ubi jalar, dan mi instan terhadap beras adalah -0.15, 0.09, 0.02, dan -0.05; elastisitas silang ikan segar, ikan asin, daging sapi, daging ayam, dan telur terhadap kedelai dan turunannya adalah -0.06, -0.06, 0.05, -0.09, dan -0.13; elastisitas silang gula merah terhadap gula pasir adalah 0.02; elastisitas silang daging ayam dan telur terhadap daging sapi adalah 0.09 dan 0.15. Secara nasional, elastisitas pendapatan dari beras, jagung, ubi kayu, ubi jalar, terigu dan turunannya, mi instan, mi basah, kedelai dan turunannya, gula pasir, daging sapi, dan minyak goreng adalah 0.42, 0.09, 0.16, 0.12, 0.50, 0.52, 0.08, 0.33, 0.38, 0.55, dan 0.43. Beberapa implikasi elastisitas permintaan pangan strategis terhadap konsumsi dan upaya perbaikan konsumsi pangan masyarakat adalah 1) kenaikan harga pangan strategis akan menurunkan konsumsinya sehingga kestabilan harga sangat penting, 2) hampir seluruh pangan strategis memiliki elastisitas pendapatan yang kurang elastis sehingga perbaikan konsumsi pangan memerlukan stimulus peningkatan pendapatan yang cukup tinggi, 3) kuantitas dan kualitas konsumsi pangan rumah tangga berpendapatan rendah masih belum sesuai dengan AKG dan PPH sehingga perlu dilakukan perbaikan konsumsi pangan masyarakat miskin melalui berbagai program yang relevan, 4) target penurunan konsumsi beras dan peningkatan kualitas konsumsi pangan masih belum tercapai sehingga program diversifikasi pangan pokok selain beras perlu terus ditingkatkan, 5) untuk meningkatkan konsumsi pangan lokal, seperti jagung, ubi kayu, dan ubi jalar, perlu dilakukan peningkatan pengembangan agro industri berbasis pangan lokal dan Komunikasi Informasi Edukasi (KIE) mengenai diversifikasi konsumsi pangan kepada masyarakat melalui berbagai media, terutama televisi, secara terus-menerus.
ELASTISITAS PERMINTAAN PANGAN STRATEGIS BERDASAR ANALISIS DATA SUSENAS 2005 DAN IMPLIKASINYA TERHADAP KONSUMSI DAN UPAYA PERBAIKAN KONSUMSI PANGAN MASYARAKAT INDONESIA
Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor
ANNA VIPTA RESTI MAULUDYANI
PROGRAM STUDI GIZI MASYARAKAT DAN SUMBERDAYA KELUARGA FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008
Judul
: Elastisitas
Permintaan Pangan Strategis berdasar Analisis Data Susenas 2005 dan Implikasinya terhadap Konsumsi dan Upaya Perbaikan Konsumsi Pangan Masyarakat Indonesia
Nama Mahasiswa
: Anna Vipta Resti Mauludyani
NRP
: A54103036
Disetujui Dosen Pembimbing I
Dosen Pembimbing II
Dr. Ir. Drajat Martianto, MSi NIP. 131 861 464
Dr. Ir. Yayuk F. Baliwati, MS NIP. 131 669 944
Diketahui Dekan Fakultas Pertanian
Prof. Dr. Ir. Didy Sopandie, M.Agr NIP. 131 124 019
Tanggal Lulus :
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Bogor pada tanggal 11 Oktober 1985 sebagai anak pertama dari 2 bersaudara dari keluarga Fatkul Arifin (Alm) dan Mewa Ariani. Pendidikan dasar ditempuh dari tahun 1991 sampai dengan tahun 1997 di SD Pertiwi Bogor. Pada tahun yang sama, penulis melanjutkan pendidikan pertama di SLTP Negeri 1 Bogor dan lulus pada tahun 2000. Selanjutnya, penulis melanjutkan pendidikannya di SMU Negeri 1 Bogor dan lulus pada tahun 2003. Penulis diterima menjadi mahasiswa di Program Studi Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor, melalui jalur USMI. Pada tahun 2006, penulis berkesempatan belajar di Universitas Utsunomiya, Jepang, selama 1 tahun. Setelah kembali ke Indonesia, pada tahun 2007, penulis melanjutkan studi kembali di Program Studi Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Selama menempuh pendidikan di IPB, penulis aktif mengikuti organisasi Himpunan Mahasiswa Peminat Ilmu Gizi Pertanian (HIMAGITA), Bina Desa (Bindes), Badan Konsultasi Gizi (BKG), dan GMSK English Club (GEC).
PRAKATA Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah memberikan rahmat berupa kesehatan, kesempatan, dan kemampuan sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Dalam penulisan skripsi ini, penulis banyak menerima bantuan, petunjuk, dorongan, doa dan saran-saran dari berbagai pihak sehingga skripsi ini dapat terselesaikan. Oleh karena itu, penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang tak terhingga kepada : 1. Dr. Ir. Drajat Martianto, MSi dan Dr. Ir. Yayuk Farida Baliwati, MS selaku dosen pembimbing atas waktu, petunjuk, dan dorongannya dalam menyelesaikan skripsi ini. 2. Dr. Ir. Ikeu Tanziha, MS selaku dosen penguji atas saran dan kritik demi kesempurnaan skripsi ini. 3. Ibu Nina dan staf Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, Departemen Pertanian, atas bantuannya dalam pengolahan data, dan pencarian literatur. 4. Omme Gatoet Sroe Hardono yang selalu menjawab pertanyaan penulis bila penulis menemui kesulitan dalam penyelesaian skripsi, yang memberi dorongan, nasehat, dan bantuan selama penyusunan skripsi ini. 5. Papa yang selalu mendoakan dan memberi kasih sayang kepada penulis. Papa tidak sempat melihat anaknya memakai Toga. Semoga Allah SWT menempatkan di Surga, Amiin. Kepada Mama, yang berperan sebagai mama dan dosen pembimbing tambahan; Amoy, Mbah Ni, Om Anang, Tante Ike, Rahma, Adit, Mbah Kung dan Keluarga Besar atas bantuan, doa dan kasih sayangnya. 6. Ahmad, Indy, Juli, Udin, Adhi, teman suka-duka bimbingan (Aris, Aqsa, Daru, Ratna, dan Merry), GMSK 40 atas motivasi dan perhatiannya, serta GMSK 41 atas semangatnya yang tak kunjung pudar. 7. Pak Ugan dan staf administrasi lain atas kerja kerasnya dalam mengurus keperluan seminar, sidang, dan SKL. 8. Semua pihak yang tidak dapat dituliskan satu persatu atas bantuannya hingga selesainya skripsi ini.
Agustus 2008, Penulis
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL........................................................................................... vi DAFTAR GAMBAR....................................................................................... viii DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................... ix PENDAHULUAN........................................................................................... Latar Belakang.................................................................................. Perumusan Masalah ......................................................................... Tujuan Penelitian .............................................................................. Kegunaan Penelitian .........................................................................
1 1 4 4 4
TINJAUAN PUSTAKA................................................................................... 5 Permintaan Pangan........................................................................... 5 Konsumsi Pangan ............................................................................. 8 KERANGKA PEMIKIRAN ............................................................................. 15 METODE PENELITIAN................................................................................. Tempat dan Waktu Penelitian ........................................................... Sumber dan Jenis Data..................................................................... Pengolahan dan Analisis Data .......................................................... Definisi Operasional ..........................................................................
17 17 17 18 23
HASIL DAN PEMBAHASAN ......................................................................... Konsumsi Pangan Strategis .............................................................. Jumlah Konsumsi Pangan Strategis ......................................... Tingkat Partisipasi Konsumsi Pangan Strategis........................ Konsumsi Pangan Strategis berdasarkan Sumber Perolehan... Kontribusi Energi dan Protein Pangan Strategis ....................... Pangsa Pengeluaran Pangan Strategis .................................... Skor Pola Pangan Harapan ...................................................... Elastisitas Permintaan Pangan Strategis........................................... Elastisitas Permintaan Beras.................................................... Elastisitas Permintaan Jagung.................................................. Elastisitas Permintaan Ubi Kayu............................................... Elastisitas Permintaan Ubi Jalar ............................................... Elastisitas Permintaan Terigu dan Turunannya......................... Elastisitas Permintaan Mi Instan............................................... Elastisitas Permintaan Mi Basah .............................................. Elastisitas Permintaan Kedelai dan Turunannya....................... Elastisitas Permintaan Gula Pasir............................................. Elastisitas Permintaan Daging sapi........................................... Elastisitas Permintaan Minyak Goreng ..................................... Implikasi Elastisitas Permintaan Pangan Strategis terhadap Konsumsi dan Upaya Perbaikan Konsumsi Pangan Masyarakat.......
25 25 25 28 31 34 39 43 44 44 45 46 47 48 48 49 50 50 51 51 52
KESIMPULAN DAN SARAN ......................................................................... 56 Kesimpulan ............................................................................................. 56 Saran ...................................................................................................... 57 DAFTAR PUSTAKA...................................................................................... 58 LAMPIRAN ................................................................................................... 63
vi
DAFTAR TABEL Nomor
Halaman
1
Ringkasan hasil studi permintaan pangan terdahulu mengenai elastisitas pendapatan dengan menggunakan metode analisis AIDS...... 7
2
Ringkasan hasil studi permintaan pangan terdahulu mengenai elastisitas harga sendiri dengan menggunakan metode analisis AIDS.... 7
3
Ketahanan pangan: kecukupan energi dan pangsa pengeluaran pangan.................................................................................................... 11
4
Perbandingan PPH FAO-RAPA, Meneg Pangan 1994, dan Deptan 2001........................................................................................................ 14
5
Pengelompokan dan jumlah jenis pangan dalam SUSENAS 2005.......... 18
6
Jenis pangan strategis yang dianalisis dan karakteristiknya dalam SUSENAS 2005...................................................................................... 19
7
Daftar konversi pangan ........................................................................... 19
8
Perhitungan Pola Pangan Harapan (PPH) .............................................. 20
9
Jumlah konsumsi pangan strategis menurut wilayah (kg/kap/th) ............. 25
10
Jumlah konsumsi pangan strategis menurut kelas pendapatan (kg/kap/th)............................................................................................... 27
11
Tingkat partisipasi konsumsi pangan strategis menurut wilayah (%) ....... 28
12
Tingkat partisipasi konsumsi pangan strategis menurut kelas pendapatan (%) ...................................................................................... 31
13
Konsumsi pangan strategis berdasarkan sumber perolehan menurut wilayah (%) ............................................................................................. 32
14
Konsumsi pangan strategis berdasarkan sumber perolehan menurut kelas pendapatan (%) ............................................................................. 33
15
Kontribusi energi dari beras, jagung, gula pasir, dan minyak goreng menurut wilayah dan kelas pendapatan (%)............................................ 36
16
Kontribusi protein dari kedelai dan daging sapi menurut wilayah dan kelas pendapatan (%) ............................................................................. 38
17
Pangsa pengeluaran pangan dan total pengeluaran menurut wilayah dan kelas pendapatan (%).......................................................... 39
18
Pangsa pengeluaran pangan menurut kelompok pangan dan wilayah (%) ............................................................................................. 41
19
Pangsa pengeluaran pangan menurut kelompok pangan dan kelas pendapatan (%) ............................................................................. 42
20
Pangsa pengeluaran pangan strategis terhadap pengeluaran pangan menurut wilayah dan kelas pendapatan (%) ............................... 43
21
Skor Pola Pangan Harapan (PPH) .......................................................... 44
22
Elastisitas permintaan beras ................................................................... 44
23
Elastisitas permintaan jagung ................................................................. 46
vii
24
Elastisitas permintaan ubi kayu ............................................................... 46
25
Elastisitas permintaan ubi jalar................................................................ 47
26
Elastisitas permintaan terigu dan turunannya.......................................... 48
27
Elastisitas permintaan mi instan .............................................................. 48
28
Elastisitas permintaan mi basah.............................................................. 49
29
Elastisitas permintaan kedelai dan turunannya ....................................... 50
30
Elastisitas permintaan gula pasir............................................................. 51
31
Elastisitas permintaan daging sapi .......................................................... 51
32
Elastisitas permintaan minyak goreng..................................................... 52
33
Simulasi kenaikan harga pangan strategis sebesar 20%, 30%, dan 50% terhadap konsumsi pangan strategis (kg/kap/th) ...................... 53
viii
DAFTAR GAMBAR Nomor
Halaman
1
Kerangka pemikiran elastisitas permintaan pangan strategis .................. 16
2
Tingkat konsumsi energi dan protein menurut wilayah ............................ 34
3
Tingkat konsumsi energi dan protein menurut kelas pendapatan............ 35
ix
DAFTAR LAMPIRAN Nomor
Halaman
1
Perhitungan Pola Pangan Harapan (PPH) Nasional ............................... 63
2
Perhitungan Pola Pangan Harapan (PPH) Perkotaan ............................. 63
3
Perhitungan Pola Pangan Harapan (PPH) Pedesaan ............................. 63
4
Hasil uji regresi elastisitas permintaan pangan strategis ......................... 64
PENDAHULUAN Latar Belakang Pangan adalah salah satu kebutuhan dasar manusia yang merupakan bagian dari Hak Asasi Manusia (HAM) yang dituangkan dalam Universal Declaration of Human Rights tahun 1948 dan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 7 tahun 1996 mengenai pangan. Berdasarkan kesepakatan tersebut, pemerintah berkewajiban untuk menciptakan iklim yang kondusif sehingga masyarakat dapat memenuhi kebutuhan pangannya dan mampu menjangkau pangan secara cukup (DKP 2006). Menurut Suryana (2004), pemenuhan kebutuhan pangan baik dari segi jumlah, mutu, gizi dan keamanannya dalam konteks ketahanan pangan merupakan pilar
bagi
pembentukan sumberdaya manusia berkualitas untuk meningkatkan daya saing bangsa Indonesia di tataran global. DKP (2006) lebih lanjut menyatakan bahwa salah satu indikator ketahanan pangan adalah terjaminnya konsumsi pangan, sesuai dengan kaidah gizi dan kesehatan serta preferensinya. Pemahaman dan perumusan kebijakan ketahanan pangan akan semakin mantap bila ditopang dengan hasil analisis konsumsi secara komprehensif. Analisis konsumsi merupakan bagian yang tidak terpisahkan dengan upaya mencapai sasaran ketahanan pangan karena analisis konsumsi pangan adalah ”entry point” analisis dan pengembangan ketahanan pangan, khususnya tingkat rumah tangga (Maxwell 1996). Departemen Pertanian telah menetapkan program prioritas pencapaian swasembada komoditas pangan strategis yang difokuskan pada 5 (lima) komoditas pangan, yaitu beras, jagung, kedelai, gula pasir, dan daging sapi (DKP 2006). Pangan-pangan tersebut termasuk dalam kelompok ”Sembilan Bahan Pokok/Sembako” yang kini dikenal dengan istilah ”Bahan Pangan Pokok”. Amang dan Sawit (2001) menyatakan bahwa beras menjadi komoditas unik, tidak saja dilihat dari sisi produsen dan konsumen, tetapi juga dari sisi pemanfaatan investasi yang dikeluarkan oleh pemerintah. Dari sisi produsen, beras dihasilkan oleh 18 juta rumah tangga petani dan 49% diantaranya adalah petani sempit yang menguasai lahan kurang dari 0.24 hektar per keluarga. Dari sisi konsumen, beras sebagai makanan pokok utama masyarakat dengan partisipasi konsumsi mencapai 95% dan kontribusi energi sebesar 51.42%. Komoditas beras juga penyumbang utama lapangan kerja sektor pertanian dengan pangsa 30% serta terkait dengan peningkatan pendapatan masyarakat
2
(Syafa’at, Ariani, Mardiyanto, Kristyantoadi & Sayaka 2003). Sementara itu, Sambutan Menteri Pertanian dalam Sastraatmadja (2007) mengemukakan bahwa beras, selain sering digambarkan sebagai komoditas pangan yang memiliki nilai ekonomis tinggi bagi masyarakat, beras juga merupakan komoditas politis dan strategis, mengingat untuk memenuhi kebutuhan pangan pokok masyarakat, tidak kurang dari 2.5 juta ton beras harus disediakan setiap bulannya. Komoditas jagung dapat memiliki peranan yang ganda, tidak hanya sebagai bahan makanan pokok, tetapi juga sebagai bahan baku industri (Pasandaran & Kasryno 2005). Jagung dapat berfungsi seperti beras bila dinilai dari kandungan nilai gizinya. Kandungan energi antara beras dan jagung relatif sama dalam setiap seratus gramnya, bahkan protein jagung lebih tinggi daripada beras (Ariani & Pasandaran 2005). Jagung juga merupakan bahan baku utama pakan unggas (sekitar 50% dari ransum) sehingga harga jagung akan sangat mempengaruhi biaya produksi unggas dan pada akhirnya juga berpengaruh pada harga daging unggas (Tangendjaya, Yusdja & Ilham 2005). Ketergantungan impor yang cukup tinggi menyebabkan jagung rentan dengan gejolak pasar luar negeri (Syafa’at et al. 2003). Kedelai merupakan komoditas pangan terpenting ketiga setelah beras dan jagung. Kedelai adalah tanaman yang kaya protein, sehingga mempunyai peranan yang sangat penting dalam industri pangan dan pakan. Kedelai merupakan salah satu sumber protein nabati yang paling banyak dikonsumsi oleh masyarakat karena harganya yang relatif terjangkau (Balitbangtan 2005). Rata-rata konsumsi kedelai nasional mencapai 1.803 juta ton per tahun tidak diimbangi dengan produksi dalam negeri sehingga 60% ketersediaan harus dipenuhi dari impor (Anonymous 2008a). Gula pasir merupakan pangan yang banyak digunakan oleh masyarakat untuk
kebutuhan
makanan
dan
minuman.
Hampir
semua
masyarakat
mengkonsumsi gula, terutama gula pasir. Pada tahun 2002, tingkat konsumsinya mencapai 9.18 kg/kap/th (Ariani 2003). Walaupun kebutuhan gula tidak sebesar pangan lain, seperti beras, namun karena proporsi rumah tangga yang mengkonsumsinya
sangat
tinggi,
gula
termasuk
komoditas
strategis.
Ketergantungan impor yang tinggi (42.05%) menyebabkan gula rawan terhadap gejolak pasar internasional sehingga membutuhkan campur tangan pemerintah
3
berupa penetapan harga dasar, izin impor dan penerapan bea masuk impor (Pakpahan 2003). Daging sapi termasuk salah satu jenis pangan yang perlu mendapat perhatian dalam hal penyediaannya. Konsumen daging sapi adalah masyarakat berpendapatan menengah ke atas dan para wisatawan atau pekerja asing. Walaupun rata-rata impor daging sapi masih rendah, namun dalam dasawarsa terakhir terdapat kecenderungan peningkatan nilai impor daging sapi dan sapi hidup. Hal ini disebabkan produksi dalam negeri baru dapat memenuhi sekitar 70% dari kebutuhan domestik (Balitbangtan 2005). Selain kelima komoditas yang termasuk dalam program prioritas pencapaian swasembada komoditas pangan strategis, ubi kayu, ubi jalar, terigu dan turunannya (mi instan dan mi basah), dan minyak goreng juga termasuk komoditas penting yang perlu menjadi perhatian pemerintah. Ubi kayu dan ubi jalar
merupakan komoditas
penting dalam program penganekaragaman
(diversifikasi) pangan pokok. Program ini mendorong konsumsi umbi-umbian, khususnya ubi kayu dan ubi jalar serta produk olahannya sebagai substitusi sebagian dari beras dan terigu (Syafa’at et al. 2003). Minyak goreng banyak dikonsumsi oleh masyarakat dan industri makanan. Pernyataan ini diperkuat dengan hasil analisis Survei Konsumsi Gizi (SKG) oleh Depkes yang menyatakan bahwa minyak goreng merupakan bahan pangan yang sering dikonsumsi masyarakat di wilayah perkotaan dan pedesaan (Hardinsyah, Amalia & Setiawan (2002). Martianto, Soekatri, Komari, Mujayanto dan Soekirman (2004) menyatakan bahwa minyak goreng merupakan komoditas strategis yang dikonsumsi oleh hampir 100% rumah tangga di Indonesia dan berpotensi besar difortifikasi dengan vitamin A untuk menanggulangi Kurang Vitamin A (KVA) di Indonesia. Minyak goreng digunakan sebagai bahan pembantu untuk menciptakan aroma, rasa, warna, daya simpan dan peningkatan nilai gizi (Sumaryanto & Rantetana 1996). Kenaikan harga minyak goreng dalam negeri sangat membebani masyarakat sehingga pemerintah menetapkan kebijakan terkait dengan minyak goreng, antara lain peningkatan pajak ekspor kelapa sawit (Crude Palm Oil/CPO) dan turunannya, yaitu dari 10% menjadi 15% jika harga di pasar dunia diatas 1100 dollar AS per ton (Anonymous 2008b).
4
Perumusan Masalah Permintaan pangan bersifat dinamis, antara lain dapat berubah akibat perubahan pengetahuan gizi, pendapatan, harga pangan (harga pangan tersebut dan harga pangan lain), preferensi, dan karakteristik pangan. Seberapa besar pengaruh perubahan harga pangan dan pendapatan terhadap kuantitas dan kualitas konsumsi pangan masyarakat perlu dikaji karena merupakan informasi penting bagi pemerintah dalam menetapkan kebijakan berkaitan dengan perbaikan konsumsi pangan masyarakat. Di tengah kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM), perubahan iklim dunia yang berpengaruh terhadap produksi pangan dan kompetisi penggunaan pangan, pakan, dan bahan bakar (biofuel) yang berakibat pada kenaikan harga pangan serta peningkatan jumlah penduduk miskin, maka analisis terhadap pengaruh harga dan pendapatan terhadap konsumsi pangan tersebut perlu untuk dilakukan. Berdasarkan pertimbangan ini, penulis tertarik untuk menganalisis secara lebih mendalam mengenai permintaan pangan strategis dalam kaitannya dengan faktor harga dan pendapatan. Tujuan Penelitian Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk menganalisis elastisitas permintaan pangan strategis pada rumah tangga di Indonesia. Adapun tujuan khusus penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Menganalisis konsumsi pangan strategis menurut wilayah dan kelas pendapatan 2. Menganalisis elastisitas permintaan pangan strategis menurut wilayah dan kelas pendapatan 3. Menganalisis implikasi elastisitas permintaan pangan strategis terhadap konsumsi dan upaya perbaikan konsumsi pangan masyarakat Kegunaan Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai salah satu masukan dalam perumusan kebijakan di bidang pangan dan gizi, khususnya untuk meningkatkan kualitas konsumsi pangan dan dukungan kebijakan produksinya. Di samping itu, hasil penelitian ini juga memperkaya khasanah ilmu ekonomi pangan dan gizi, terutama yang berkaitan dengan permintaan pangan.
TINJAUAN PUSTAKA Permintaan Pangan Permintaan adalah jumlah barang yang sanggup dibeli oleh para pembeli pada tempat dan waktu tertentu dengan harga yang berlaku saat itu. Pengertian permintaan digunakan untuk mengetahui hubungan antara harga dengan jumlah barang yang dibeli konsumen dengan anggapan bahwa faktor-faktor lainnya tetap (cateris paribus). Hal ini dapat dijelaskan dengan kurva permintaan, yaitu kurva yang menunjukkan hubungan antara jumlah maksimum dari barang yang dibeli konsumen dengan harga alternatif pada waktu tertentu (Purba 2004). Besarnya
permintaan
dapat
diketahui
dengan
pendekatan
teori
permintaan. Menurut teori tersebut, besarnya permintaan terhadap suatu komoditi bergantung pada harga komoditi yang bersangkutan, harga komoditi lainnya, tingkat pendapatan, besarnya rumah tangga, susunan umur, selera atau preferensi, dan letak geografis (Azahari 1984). Keragaan permintaan pangan dilihat melalui variabel elastisitas permintaan pangan dan konsumsi pangan. Elastisitas
permintaan
merupakan
suatu
ukuran
kuantitatif
yang
menunjukkan besarnya pengaruh perubahan harga atau faktor-faktor lainnya terhadap perubahan permintaan suatu komoditas. Elastisitas permintaan dapat dibedakan menjadi 1) elastisitas permintaan terhadap harga (elastisitas harga), 2) elastisitas permintaan terhadap pendapatan (elastisitas pendapatan), dan 3) elastisitas permintaan silang (elastisitas silang) (Sugiarto, Herlambang, Brastoro, Sudjana & Kelana 2005). Nilai elastisitas harga antara 0 - 1 disebut inelastis, merupakan barangbarang kebutuhan pokok dan antara 1 - ∞ disebut elastis merupakan barang mewah. Elastisitas pendapatan bernilai positif untuk barang normal, bernilai nol untuk barang netral, dan bernilai negatif untuk barang inferior. Apabila nilai elastisitas pendapatan lebih besar dari satu, barang tersebut disebut barang mewah, dan lebih kecil dari satu termasuk barang kebutuhan pokok. Nilai elastisitas silang dapat mengklasifikasikan apakah suatu barang berhubungan sebagai barang subtitusi atau komplemen. Apabila tanda elastisitas silang negatif, maka barang X komplemen terhadap barang Y. Sebaliknya, bila bertanda positif, maka barang X merupakan barang subtitusi terhadap barang Y (Suhartini 2001). Hasil penelitian Darmawan, Rusastra dan Sjafa’at (1984) menunjukkan bahwa
permintaan minyak
bersifat
kurang
elastis
terhadap
perubahan
pendapatan. Sementara itu, elastisitas pendapatannya lebih tinggi di perkotaan
6
dibandingkan di pedesaan. Pada penduduk golongan pendapatan tinggi, minyak goreng dianggap sebagai komoditi inferior yang berarti permintaan terhadap pangan tersebut akan menurun dengan meningkatnya pendapatan. Kuntjoro (1984) menyatakan bahwa rumah tangga yang berpendapatan lebih tinggi memperlihatkan daya konsumsi yang inelastis dengan pangan nabati, tetapi elastis terhadap pangan hewani dan sebaliknya bagi tingkat pendapatan rendah. Sementara itu, umumnya pangan bersifat kurang elastis baik di kota maupun di desa. Tabor (1988) diacu dalam Daris (1993) menyatakan bahwa elastisitas pendapatan dan elastisitas harga dari komoditi kedelai cukup tinggi dibandingkan dengan bahan pokok yang mengandung energi yang tinggi. Permintaan menjadi sangat sensitif terhadap perubahan harga kedelai bagi bahan makanan pokok yang berprotein tinggi. Rosegrant (1987) diacu dalam Daris (1993) menyatakan bahwa elastisitas permintaan terhadap harga kedelai bersifat inelastis yang bertanda negatif dan terhadap pendapatan juga bersifat inelastis namun dengan tanda positif. Hasil penelitian Utari (1996) dengan menggunakan AIDS menemukan bahwa elastisitas harga daging menunjukkan tanda negatif, sejalan dengan fungsi permintaan yang mempunyai arah yang negatif. Elastisitas harga daging mempunyai nilai yang lebih kecil dari satu, yaitu masing-masing -0.65 dan -0.41 untuk daerah desa dan kota. Berdasarkan kelas pendapatan, walaupun tidak konsisten, elastisitas harga semakin tinggi dengan semakin tingginya tingkat pendapatan. Hal ini menunjukkan bahwa bagi rumah tangga berpendapatan tinggi, harga bukan merupakan kendala untuk mengkonsumsi daging. Koefisien elastisitas silang yang bertanda negatif menunjukkan adanya hubungan yang bersifat komplementer antara daging dengan ikan, telur, dan susu. Hal ini diduga karena terbatasnya pengeluaran pangan yang dialokasikan untuk pangan hewani sehingga kenaikan harga salah satu pangan hewani akan menurunkan permintaan terhadap pangan hewani lainnya. Hasil penelitian Martianto (1995) menyebutkan bahwa daging ternak umunya responsif terhadap perubahan harga. Angka elastisitas harga sendiri bernilai negatif di seluruh wilayah. Dalam kaitannya dengan perubahan pendapatan, permintaan pangan hewani umumnya sangat responsif terhadap perubahan pendapatan karena komoditas pangan hewani, khususnya pangan hewani asal ternak, bersifat superior. Elastisitas harga silang daging ternak besar
7
menunjukkan hasil yang negatif terhadap pangan hewani yang lain. Nilainya lebih besar di daerah pedesaan dibandingkan dengan perkotaan. Mayrowani (1991) menggunakan model Log-Ganda dalam mencari nilai elastisitas pendapatan. Hasilnya adalah elastisitas pendapatan komoditas beras, tempe dan gula pasir yang masing-masing sebesar 0.4, 0.5, dan 0.6. Selain hasil-hasil penelitian di atas, terdapat beberapa hasil studi permintaan pangan lain yang menggunakan metode analisis AIDS. Hasil tersebut ditampilkan dalam Tabel 1 dan 2. Tabel 1 Ringkasan hasil studi permintaan pangan terdahulu mengenai elastisitas pendapatan dengan menggunakan metode analisis AIDS Peneliti Komoditas Wilayah Kelas Pendapatan I K D R S T 0.46K Daging Hermanto 1.23K 0.43K sapi+kerbau (1996) 2.10D 0.90D 0.45D K K Utari (1996) Daging 0.99 0.95 0.99 0.97 0.99K D D 0.94 1.07 0.97D 0.40 0.51 0.64 0.50 0.74 0.93 Beras Dianarafah 0.67 -0.19 0.07 0.46 -2.07 0.29 Jagung (1999) 0.35 0.53 0.24 0.67 0.05 0.49 Kedelai 0.57 0.44 1.24 1.30 1.47 1.91 Daging Kemalawaty Daging ternak 1.86 (1999) 0.48 0.75 0.95 0.62 0.78 0.51 Beras Rachman 0.83 1.26 1.75 1.04 1.11 0.96 Umbi-umbian (2001) 0.76 0.96 1.13 1.12 1.23 1.08 Mi/terigu 0.35 -0.05 0.00 0.70 0.71 0.74 Daging Keterangan: K=Kota; D=Desa; R=Rendah; S=Sedang; T=Tinggi
Tabel 2 Ringkasan hasil studi permintaan pangan terdahulu mengenai elastisitas harga sendiri dengan menggunakan metode analisis AIDS Peneliti Komoditas Wilayah Kelas Pendapatan I K D R S T -1.00K -0.91K -0.58K Daging Hermanto sapi+kerbau (1996) -1.69D -1.30D -0.61D Utari (1996) Daging -0.41 -0.65 -0.38K -0.40K -0.35K -0.54D -0.67D -0.63D -0.26 -0.48 -0.24 -0.62 -0.81 -0.55 Beras Dianarafah -0.92 Jagung (1999) -1.43 -1.20 -1.32 -1.50 -0.76 -2.08 Kedelai -1.70 -1.11 -2.41 -1.52 -1.61 -0.34 Daging -0.09 -0.11 -0.07 -0.02 -0.08 Kemalawaty Daging ternak -1.27 (1999) -0.51 -0.64 -0.74 -0.55 -0.98 -0.70 Beras Rachman -0.70 -1.15 Umbi-umbian -1.19 -1.11 -1.35 -1.38 (2001) -1.07 -1.14 Mi/terigu -1.15 -1.20 -1.11 -1.27 -8.77 -1.18 Daging -1.39 -1.56 -1.34 -2.74 Keterangan: K=Kota; D=Desa; R=Rendah; S=Sedang; T=Tinggi
8
Konsumsi Pangan Enoch (1979) diacu dalam Husefra (1996) menyatakan bahwa konsumsi pangan seseorang dipengaruhi oleh 2 hal, yaitu faktor internal dan faktor eksternal.
Salah
satu
yang
termasuk
dalam
faktor
eksternal
adalah
pendapatan/pengeluaran. Pola konsumsi protein asal ternak antar wilayah dipengaruhi oleh komposisi pendidikan dan umur penduduk untuk pedesaan, sedangkan untuk perkotaan dipengaruhi oleh komposisi pendidikan dan tingkat pendapatan (Iwantoro 1987). Suhardjo
(1993)
menyatakan
bahwa
peningkatan
pendapatan
mempunyai hubungan erat dengan perubahan dan perbaikan konsumsi pangan. Lebih lanjut, Sanjur (1982) mengemukakan bahwa pendapatan merupakan penentu utama yang berhubungan dengan kualitas makanan, yang berarti apabila pendapatan keluarga meningkat, mutu konsumsi keluarga akan meningkat. Caleindo (1979) diacu dalam Hardinsyah (1988) mengemukakan 2 hubungan pendapatan dengan konsumsi pangan, yaitu 1) peningkatan pendapatan akan berimplikasi pada peningkatan pengeluaran pangan secara absolut tetapi persentasenya cenderung menurun secara relatif sesuai dengan Hukum Engel dan 2) peningkatan pendapatan akan berimplikasi pada perubahan pola konsumsi pangan dan mengurangi konsumsi pangan inferior. Pendapatan yang meningkat akan memungkinkan keluarga untuk membeli dan mengkonsumsi pangan yang lebih mahal. Selain itu, peluang untuk mengkonsumsi beragam jenis pangan menjadi semakin tinggi. Tingkat pendapatan yang terbatas pada rumah tangga miskin menyebabkan perubahan pola makanan pokok ke barang-barang paling murah dengan jumlah yang berkurang (Irawan & Romdiati 2000). Hasil studi yang dilakukan Irawan (1999) menemukan bahwa mayoritas penduduk pedesaan cenderung merubah pola konsumsi makanan, baik kualitas (dari nasi ke jagung atau umbi-umbian) maupun kuantitas (dari 3 kali sehari menjadi 1 atau 2 kali sehari). Hasil penelitian Fachrina (2005) menggunakan data Susenas 2002 menunjukkan bahwa secara umum, tingkat konsumsi energi rumah tangga di pedesaan lebih tinggi daripada di perkotaan. Konsumsi beras cenderung mengalami penurunan dari tahun ke tahun (Martianto & Ariani 2004). Konsumsi beras dan daging sapi per kapita di wilayah perkotaan lebih tinggi daripada wilayah pedesaan, lain halnya dengan konsumsi jagung yang lebih tinggi di pedesaan dibandingkan dengan di perkotaan. Pada tingkat nasional, konsumsi
9
daging sapi menunjukkan penurunan karena merupakan pangan hewani yang harganya lebih mahal dibandingkan dengan bahan makanan lainnya. Rata-rata konsumsi pangan hasil peternakan tertinggi terdapat di daerah perkotaan. Konsumsi protein hewani masih rendah, terutama bagi kelompok masyarakat berpendapatan rendah. Hal ini karena pada umumnya pangan hewani harganya mahal dan bahkan sebagian orang berpendapat bahwa jenis pangan ini dianggap barang mewah. Meskipun memiliki bahan pangan hewani, kelompok masyarakat berpendapatan rendah akan menukarnya dengan jenis pangan yang lain (Atmojo & Rustiawan 1990). Konsumsi daging ternak berkisar antara 0.8 kg/kap/th hingga 10.6 kg/kap/th (Martianto 1995). Di wilayah perkotaan rata-rata konsumsi daging menurun dari 24 gr/kap/hr pada tahun 1997 menjadi 12 gr/kap/hr pada tahun 1998, sementara di wilayah pedesaan menurun dari 20 gr/kap/hr (1997) menjadi 10 gr/kap/hr (1998) (Latief, Atmarita, Minarto, Basuni & Tilden 2000). Hapsari (2005) menemukan bahwa konsumsi minyak goreng cenderung meningkat seiring dengan meningkatnya pendapatan dan konsumsinya lebih tinggi di perkotaan dibandingkan pedesaan. Perpaduan antara peningkatan konsumsi per kapita dan pertambahan jumlah penduduk mengakibatkan permintaan minyak goreng untuk pangan rumah tangga semakin meningkat. Laju pertumbuhan total konsumsi minyak goreng sekitar 3,31 per tahun (Amang, Simatupang & Sjafa’at 1996). Hasil analisis Susenas 1999 menunjukkan bahwa konsumsi tahu pada rumah tangga rawan pangan adalah sebesar 22.41 kg/kap/th di perkotaan dan 15.80 kg/kap/th di pedesaan. Adapun konsumsi tempe pada rumah tangga tersebut adalah sebesar 2.99 kg/kap/th di perkotaan dan 2.38 kg/kap/th di pedesaan (Saliem, Lokollo, Purwantini, Ariani dan Marisa 2001). Konsumsi tahu dan tempe di perkotaan lebih tinggi dibandingkan dengan pedesaan. Pada rumah tangga berpendapatan rendah maupun tinggi, pada sebelum, masa dan pasca krisis ekonomi, konsumsi tahu dan tempe menunjukkan tren yang selalu meningkat dengan nilai yang cukup besar hingga 34% (Martianto & Ariani 2004). Tingkat partisipasi konsumsi pangan didefinisikan sebagai persentase rumah tangga contoh yang dilaporkan mengkonsumsi jenis pangan tertentu (Suyanto 1992 diacu dalam Purba 2004). Kegunaannya adalah untuk mengetahui mana di antara komoditas yang merupakan sumber utama zat gizi
10
dan melihat bagaimana pergeseran peringkat kontribusi di antara komoditas tersebut (Purba 2004). Erwidodo, Santoso, Ariani, Ariningsih dan Siagian (1998) menyatakan bahwa tingkat partisipasi konsumsi protein hewani cenderung meningkat dari tahun 1987 sampai tahun 1993, kecuali daging kambing dan ayam kampung untuk wilayah perkotaan. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Erwidodo, Saliem, Ariani dan Ariningsih (1999) di Kabupaten Padang Pariaman, Sumatera Barat, menunjukkan bahwa proporsi rumah tangga yang membeli beras, jagung dan daging sapi untuk keperluan konsumsinya adalah masing-masing sebesar 60.8%, 50.0%, dan 91.7%, sementara untuk rumah tangga di Kabupaten Tanah datar berturut-turut sebesar 32.9%, 12.5% dan 100.0%. Martianto (1995) menemukan bahwa proporsi rumah tangga yang mengkonsumsi hasil ternak lebih tinggi di wilayah kota dibanding desa. Pangan yang memiliki kontribusi energi ≥ 5 persen dapat dinyatakan sebagai pola konsumsi pangan pokok. Dengan analog yang sama, pangan yang memiliki kontribusi protein ≥ 5 persen dapat dinyatakan sebagai pola konsumsi pangan sumber protein (BPS 1984 diacu dalam Martianto 1995). Kontribusi energi konsumsi minyak goreng di perkotaan lebih tinggi dibandingkan pedesaan (Hapsari 2005). Mayrowani
(1991)
menemukan bahwa
pangan
yang dikonsumsi
masyarakat diperoleh sebagian besar dari pembelian (59.8%). Selain itu, pangan juga dapat diperoleh dari produksi sendiri (25.3%), dan pemberian dari orang lain (9.6%). Pangsa pengeluaran pangan sering
digunakan sebagai indikator
kesejahteraan rumah tangga (Rachman & Erwidodo 1994; Ariani, Saliem, Hastuti, Wahida & Sawit 2000). Ariani et al. (2000) juga mengungkapkan bahwa pangsa pengeluaran juga sering digunakan sebagai indikator tingkat ketahanan pangan rumah tangga. Secara lebih jelas, Tabel 3 menunjukkan bahwa ketahanan pangan dapat dicerminkan oleh kecukupan energi dan pangsa pengeluaran pangan. Semakin tinggi pangsa pengeluaran pangan, semakin rendah tingkat kesejahteraan dan ketahanan pangannya. Rumah tangga dapat dinyatakan miskin jika memiliki pangsa pengeluaran pangan ≥ 70% (BPS 1992). Menurut Soekirman (2000), rumah tangga miskin memiliki pangsa pengeluaran pangan antara 60-80%, sedangkan rumah tangga mampu memiliki pangsa pengeluaran pangan antara 20-59%.
11
Tabel 3 Ketahanan pangan: kecukupan energi dan pangsa pengeluaran pangan Konsumsi energi per unit ekuivalen dewasa Cukup (> 80% syarat kecukupan energi) Kurang (≤ 80% syarat kecukupan energi)
Pangsa pengeluaran pangan Rendah Tinggi (≤ 60% pengeluaran total) (>60% pengeluaran total) Rentan pangan Tahan pangan Kurang pangan
Rawan pangan
Sumber: Jonsson dan Toole (1991) diacu dalam Maxwell et al. (2000) diacu dalam Saliem et al. (2001)
Rachman dan Erwidodo (1994) menyatakan mengenai Hukum Working, yaitu pangsa pengeluaran pangan memiliki hubungan yang negatif dengan pengeluaran rumah tangga. Mayrowani (1991) menemukan bahwa di Jawa Barat, pengeluaran pangan masih mendominasi pengeluaran rumah tangga, yaitu sebesar 53.1%. Suhardjo (1989) berpendapat bahwa pengeluaran pangan rumah tangga dipengaruhi salah satunya oleh pendapatan rumah tangga (semua sumber). Pendapatan rumah tangga dapat dilihat dari tingkat pengeluaran rumah tangga untuk kebutuhan pangan dan non pangan. Pada kondisi tidak tersedianya data pendapatan, pendapatan dapat didekati dari pengeluaran total (Fachrina 2005). Bila tingkat pendapatan rendah, maka kebutuhan pangan cenderung lebih dominan dibandingkan dengan kebutuhan non pangan. Sebaliknya, bila pendapatan semakin baik, maka pengeluaran untuk non pangan akan semakin besar, mengingat semua kebutuhan pokok untuk makan sudah terpenuhi. Dengan kata lain, pendapatan yang meningkat akan mendorong terjadinya pergeseran pola konsumsi (Husaini, Widodo, Triwinarto & Saliman 2000; Hapsari 2005). Hal ini sesuai dengan Hukum Engel, pada saat terjadi peningkatan pendapatan, konsumen akan membelanjakan pendapatannya untuk pangan dengan persentase yang semakin kecil. Sebaliknya, bila pendapatan menurun, persentase yang dibelanjakan untuk pangan semakin meningkat (Soekirman 2000). Berg (1986) menyatakan bahwa pendapatan merupakan salah satu faktor yang menentukan kualitas dan kuantitas pangan yang dibeli. Keluarga dengan tingkat pendapatan tinggi dapat membeli pangan dengan lebih beragam dan jumlah yang lebih banyak dibandingkan dengan keluarga yang pendapatannya rendah. Pernyataan ini senada dengan hasil penelitian Martianto, Briawan dan Dwiriani (1993) di Propinsi Maluku, bahwa peningkatan pendapatan bagi kelompok berpendapatan rendah akan meningkatkan pengeluaran untuk pangan pokok. Sebaliknya, bagi kelompok berpendapatan tinggi, pengeluaran untuk
12
makanan pokok menurun tetapi pengeluaran untuk pangan hewani, sayur, dan buah
meningkat.
Selain
bertambah
beragam
antar
kelompok
pangan,
peningkatan pendapatan juga meningkatkan keragaman dalam masing-masing kelompok komoditas pangan. Daud (1986) menyatakan bahwa pola konsumsi dapat dicerminkan oleh pangsa pengeluaran pangan yang berbeda antara kota dan desa. Selanjutnya, besar kecilnya pengeluaran pangan dapat dipakai sebagai acuan untuk melihat tingkat konsumsi zat gizi, walaupun tidak akurat. Hal ini karena semakin besar pengeluaran pangan belum tentu diikuti oleh peningkatan tingkat konsumsi zat gizi apabila harga dari pangan tersebut mengalami kenaikan (Ariani & Saliem 1992). Hasil studi yang dilakukan Irawan (1998) menemukan bahwa penurunan tajam pada pendapatan menyebabkan banyak rumah tangga mengalami kesulitan untuk membeli makan yang selanjutnya berakibat pada berubahnya pola pengeluaran konsumsi. Proporsi untuk kebutuhan pangan lebih besar dibandingkan untuk kebutuhan non pangan, seperti kebutuhan pendidikan dan kesehatan.
Irawan
dan
Romdiati
(2000)
menjelaskan
bahwa
proporsi
pengeluaran untuk pangan yang lebih besar daripada non pangan dapat dijelaskan atas dua alasan. Pertama, meningkatnya porsi konsumsi pangan tidak selalu mengindikasikan perbaikan pada kandungan energi dan protein yang dikonsumsi oleh setiap individu dalam suatu rumah tangga. Kedua, semakin kecilnya porsi konsumsi non pangan juga berarti berkurangnya pengeluaran untuk kebutuhan-kebutuhan non pangan yang paling esensial, khususnya kebutuhan dasar untuk kesehatan dan pendidikan anak. Hasil penelitian Saliem et al. (2001) menunjukkan bahwa rata-rata (kota dan desa) kelompok rumah tangga tahan pangan di Indonesia pada tahun 1999 mengalokasikan 45 persen pengeluarannya untuk kebutuhan pangan dengan total pengeluaran rata-rata lebih dari satu juta rupiah per kapita per bulan. Pada kondisi ekstrim, kelompok rumah tangga rawan pangan dengan rata-rata total pengeluaran sekitar Rp 506.000 per kapita per bulan mengalokasikan lebih dari 70 persennya untuk kebutuhan pangan. Keragaan pangsa pengeluaran rumah tangga tersebut secara tidak langsung dapat mengungkap mutu pangan yang dikonsumsi
oleh
masing-masing
kelompok
rumah
tangga.
Dengan
mengasumsikan harga-harga pangan yang dihadapi oleh masing-masing
13
kelompok sama, maka kelompok rumah tangga rawan pangan dan rentan pangan mengkonsumsi pangan lebih sedikit baik dari jumlah maupun mutunya. Secara umum, pengeluaran pangan di tiap propinsi lebih besar di wilayah pedesaan daripada wilayah perkotaan, sedangkan pengeluaran non pangan di wilayah perkotaan lebih tinggi dibandingkan dengan wilayah pedesaan. Hal ini terjadi karena kehidupan di perkotaan memerlukan pengeluaran yang lebih beragam dibandingkan di wilayah pedesaan (Irawan 2002; Hapsari 2005). Menurut Ariani et al. (2000), secara absolut, pedesaan memiliki tingkat pendapatan yang lebih rendah dibandingkan perkotaan. Hasil penelitian Hapsari (2005) menemukan bahwa pangsa pengeluaran minyak goreng di pedesaan lebih tinggi dibanding perkotaan. Lebih lanjut, Ariani et al. (2000) menunjukkan bahwa pangsa pengeluaran minyak goreng terhadap pengeluaran pangan untuk golongan pendapatan rendah cenderung lebih tinggi dibandingkan menyatakan
dengan bahwa
golongan secara
pendapatan
rata-rata,
rumah
lainnya. tangga
Martianto di
wilayah
(1995) kota
mengalokasikan pengeluaran untuk pangan hewani dua kali lebih besar dibandingkan rumah tangga di wilayah desa. Salah satu parameter untuk menilai tingkat keanekaragaman pangan adalah Pola Pangan Harapan (PPH). PPH juga notabene dapat menjadi cermin kualitas konsumsi pangan masyarakat. Prinsip PPH tidak hanya memenuhi kecukupan gizi tetapi sekaligus juga mempertimbangkan keseimbangan gizi yang didukung oleh cita rasa, daya terima masyarakat, kuantitas, dan daya beli. Badan Urusan Ketahanan Pangan Departemen Pertanian, pada tahun 2000, melakukan diskusi lintas subsektor yang terkait dengan pangan dan gizi tentang harmonisasi PPH dengan Pedoman Umum Gizi Seimbang (PUGS). Penyempurnaan tersebut mempertimbangkan beberapa hal, yaitu: 1) persentase energi untuk PPH dihitung terhadap Angka Kecukupan Energi (AKG), 2) rating/bobor disempurnakan sesuai teori rating, 3) skor maksimum PPH adalah 100, 4) peran pangan hewani, gula, serta sayur dan buah disesuaikan dengan PUGS, 5) peran umbi-umbian ditingkatkan sejalan dengan kebijakan diversifikasi pangan pokok dan pengembangan pangan lokal, dan 7) peran makanan lainnya, terutama bumbu dan minuman lainnya, tidak dinihilkan. Tabel 2 menunjukkan perbandingan PPH FAO-RAPA, Menteri Negeri Pangan 1994, dan Departemen Pertanian 2001 (Hardinsyah, Baliwati, Martianto, Rachman, Widodo & Subiyakto 2001).
14
Tabel 4 Perbandingan PPH FAO-RAPA, Meneg Pangan 1994, dan Deptan 2001 No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Kelompok Pangan Padi-padian Umbiumbian Pangan hewani Minyak dan lemak Buah/biji berminyak Kacangkacangan Gula Sayur dan buah Lain-lain
FAO-RAPA % Min-Max 40.0 40.0-60.0
Meneg Pangan (1994) % Bobot Skor 50.0 0.5 25.0
Deptan (2001) % Bobot Skor 50.0 0.5 25.0
5.0
0.0-8.0
5.0
0.5
2.5
6.0
0.5
2.5
20.0
5.0-20.0
15.3
2.0
30.6
12.0
2.0
24.0
10.0
5.0-15.0
10.0
1.0
10.0
10.0
0.5
5.0
3.0
0.0-3.0
3.0
0.5
1.5
3.0
0.5
1.0
6.0
2.0-10.0
5.0
2.0
10.0
5.0
2.0
10.0
8.0
2.0-15.0
6.7
0.5
3.4
5.0
0.5
2.5
5.0
3.0-8.0
5.0
2.0
10.0
6.0
5.0
30.0
3.0 100.0
0.0-5.0
0.0 100.0
0.0
0.0 93.0
3.0
0.0
0.0 100.0
KERANGKA PEMIKIRAN Permintaan pangan bersifat dinamis, antara lain dapat berubah akibat perubahan pengetahuan gizi, pendapatan, harga pangan (harga pangan tersebut dan harga pangan lain), preferensi, dan karakteristik pangan. Keragaan permintaan pangan strategis dilihat melalui variabel konsumsi pangan strategis dan elastisitas permintaan pangan strategis. Variabel yang termasuk ke dalam komponen konsumsi pangan strategis secara kuantitas adalah jumlah konsumsi pangan strategis, tingkat partisipasi konsumsi pangan strategis, konsumsi pangan strategis berdasarkan sumber perolehan, kontribusi energi dan protein pangan strategis, dan pangsa pengeluaran pangan strategis. Secara kualitas, konsumsi pangan strategis dicerminkan dengan skor PPH. Ukuran kuantitatif yang dapat menunjukkan besarnya pengaruh perubahan harga atau faktor-faktor lainnya terhadap perubahan permintaan pangan strategis merupakan elastisitas permintaan pangan strategis. Elastisitas permintaan dapat dibedakan menjadi elastisitas harga sendiri, elastisitas silang, dan elastisitas pendapatan. Seberapa besar pengaruh perubahan harga pangan dan pendapatan terhadap permintaan pangan oleh masyarakat memberikan implikasi. Hal ini perlu dikaji karena merupakan informasi penting bagi pemerintah dalam menetapkan kebijakan perbaikan konsumsi pangan masyarakat. Di tengah kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM), perubahan iklim dunia yang berpengaruh terhadap produksi pangan dan kompetisi penggunaan pangan, pakan, dan bahan bakar (biofuel) yang berakibat pada kenaikan harga pangan serta peningkatan jumlah penduduk miskin, maka analisis terhadap pengaruh harga dan pendapatan terhadap konsumsi pangan tersebut perlu untuk dilakukan. Analisis yang dilakukan dalam penelitian ini digolongkan menurut wilayah (nasional, pedesaan, dan perkotaan) dan kelas pendapatan (rendah, sedang, dan tinggi).
16
Pengetahuan Gizi
Harga Pangan Pendapatan
Karakteristik Pangan Preferensi
PERMINTAAN PANGAN STRATEGIS KONSUMSI PANGAN STRATEGIS Jumlah Konsumsi Pangan Strategis Tingkat Partisipasi Konsumsi Pangan Strategis Konsumsi Pangan Strategis berdasarkan Sumber Perolehan Kontribusi Energi dan Protein Pangan Strategis Energi: beras, jagung, ubi kayu, ubi jalar, terigu dan turunannya (mi instan dan mi basah), gula pasir, minyak goreng Protein: kedelai dan daging sapi Pangsa Pengeluaran Pangan Strategis Kualitas Konsumsi Pangan (Skor PPH) ELASTISITAS PERMINTAAN PANGAN STRATEGIS Elastisitas Harga Sendiri Elastisitas Silang Elastisitas Pendapatan
Implikasi untuk Kebijakan Perbaikan Konsumsi Pangan Masyarakat
Gambar 1 Kerangka Pemikiran Elastisitas Permintaan Pangan Strategis
Keterangan: Variabel yang diteliti Variabel yang tidak diteliti
METODE PENELITIAN Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Bogor pada bulan Maret hingga Juni 2008. Pengolahan data dilakukan di Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, Departemen Pertanian yang bertempat di Jalan Jend. A. Yani No. 70 Bogor. Pengolahan data dilakukan selama dua bulan, yaitu bulan Maret hingga April 2008. Sumber dan Jenis Data Jenis data yang digunakan adalah data sekunder Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) tahun 2005 yang dikumpulkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS). Data tersebut berupa data dasar (raw data) dalam bentuk CD sehingga dapat diolah sesuai dengan keperluan analisis. Susenas merupakan survei rumah tangga yang dirancang untuk mengumpulkan data sosial ekonomi yang sangat luas dengan lingkup nasional. Kerangka sampel yang digunakan adalah blok sensus. Suatu blok sensus harus memenuhi kriteria seperti berikut: (1) setiap wilayah desa/kelurahan dibagi habis menjadi beberapa blok sensus, (2) blok sensus harus mempunyai batas-batas yang jelas/mudah dikenali baik batas alam maupun buatan (RT, RW, dan sebagainya), dan (3) satu blok sensus harus terletak dalam satu hamparan. Kategori data kategori data yang terdapat dalam Susenas terdiri dari 2 set, yaitu: (1) variabel pokok yang disebut dengan Kor, yang terdiri dari data karakteristik sosial ekonomi rumah tangga dan kelompok pangan serta pendapatan; dan (2) variabel sasaran yang disebut dengan Modul, yang terdiri dari data konsumsi pangan rumah tangga secara terperinci dan lengkap. Data Kor dikumpulkan setiap tahun sekali, sedangkan data Modul dikumpulkan setiap tiga tahun sekali. Data konsumsi pangan yang disajikan dalam Modul Susenas mencakup 214 jenis pangan dan 104 jenis bukan pangan. Data konsumsi pangan terdapat dalam bentuk data kuantitas dan nilainya. Selain itu, dari Modul Susenas juga dapat diperoleh data harga pangan. Data bukan pangan umumnya hanya berupa besar pengeluarannya kecuali untuk beberapa jenis pengeluaran tertentu, seperti listrik, air, gas, arang dan bahan bakar minyak (BBM) yang dikumpulkan kuantitasnya (BPS 2004). Pengelompokan dan jumlah jenis pangan Susenas 2005 yang digunakan dalam penelitian ini terdapat pada Tabel 5.
18
Tabel 5 Pengelompokan dan jumlah jenis pangan dalam data Susenas 2005 No Kelompok Pangan Jumlah Jenis Pangan 1 Padi-padian 8 2 Umbi-umbian 9 3 Ikan/udang segar 19 4 Ikan/udang diawetkan 13 5 Daging segar 8 6 Daging diawetkan dan lainnya 9 7 Telur dan susu 13 8 Sayur-sayuran 29 9 Kacang-kacangan 11 10 Buah-buahan 23 11 Minyak dan lemak 6 12 Bahan minuman 8 13 Bumbu-bumbuan 13 14 Konsumsi lainnya 9 15 Makanan dan minuman jadi 30 16 Tembakau dan sirih 6 Total 214 Pengumpulan data Susenas umumnya dilakukan pada bulan Februari melalui wawancara langsung kepada rumah tangga sampel atau anggota rumah tangga yang paling mengetahui keadaan di rumah tangga yang bersangkutan. Pengumpulan data dengan menggunakan kuesioner yang sudah dipersiapkan dengan metode ”recall” (mengingat kembali). Referensi waktu survei yang digunakan adalah selama seminggu yang lalu untuk konsumsi pangan serta sebulan atau setahun yang lalu untuk konsumsi bukan pangan. Data konsumsi pangan pada dasarnya merupakan turunan dari data pengeluaran rumah tangga untuk semua jenis pangan. Data yang digunakan dalam penelitian ini merupakan data Susenas tahun 2005 dengan jumlah sampel sebanyak 64.709 rumah tangga yang tersebar di seluruh propinsi di Indonesia. Dari seluruh sampel, 26.376 rumah tangga berada di perkotaan dan 38.333 rumah tangga berada di pedesaan. Berdasarkan kelas pendapatan, sampel dapat diklasifikasikan dalam 3 kategori, yaitu rendah, sedang, dan tinggi dengan jumlah sampel masing-masing sebanyak 25.883, 25.883, dan 12.943 rumah tangga. Pengolahan dan Analisis Data Data yang diolah dalam penelitian ini meliputi: (1) pengeluaran pangan dan non pangan rumah tangga, (3) sumber perolehan pangan, (2) kontribusi energi dan protein, 4) jumlah konsumsi dan tingkat partisipasi konsumsi pangan, (5) harga berbagai jenis pangan. Pangan yang dianalisis dalam penelitian ini berjumlah 11 jenis, yaitu beras, jagung, ubi kayu, ubi jalar, terigu dan turunannya,
19
mi instan, mi basah, kedelai dan turunannya, gula, daging sapi dan minyak goreng. Karakteristik pangan-pangan tersebut disajikan pada Tabel 6 berikut. Tabel 6 Jenis pangan strategis yang dianalisis dan karakteristiknya dalam Susenas 2005 No
Jenis Pangan dalam Susenas
1 2
Jenis Pangan Beras Jagung
3
Ubi kayu
4 5
Ubi jalar Terigu dan turunannya Mi instan Mi basah Kedelai dan turunannya Gula Daging sapi
Beras, beras ketan, tepung beras, bihun Jagung basah dengan kulit, jagung pipilan, tepung jagung (maizena) Ketela pohon/singkong, gaplek, tepung gaplek (tiwul), tepung ketela pohon (tapioka/kanji) Ketela rambat/ubi jalar Tepung terigu Mi instan, mi basah Mi instan Mi basah Kacang kedelai, tahu, tempe, tauco Kecap Gula pasir Daging sapi
Minyak goreng
Minyak kelapa, minyak jagung, minyak sawit
6 7 8 9 10 11
Kelompok Pangan dalam Susenas Padi-padian Padi-padian
Umbi-umbian Umbi-umbian Padi-padian Konsumsi lainnya Konsumsi lainnya Konsumsi lainnya Kacang-kacangan Bumbu-bumbuan Bahan minuman Daging (Daging segar) Minyak dan Lemak
Jenis pangan dalam Susenas dikonversi setara dengan jenis pangan strategis yang dianalisis untuk mendapatkan analisis komoditas secara utuh. Faktor konversi diperoleh dari daftar konversi yang telah dipublikasikan dan hasil perhitungan menggunakan referensi hasil penelitian suatu lembaga. Daftar konversi pangan yang digunakan dalam penelitian ini terdapat pada Tabel 7. Tabel 7 Daftar konversi pangan No
Jenis Pangan
1
Beras
2
Jagung
3
Ubi kayu
4
Tepung terigu
5
Kedelai
Bentuk Semula Tepung beras Bihun Jagung basah dengan kulit Jagung kering dengan kulit Tepung jagung Gaplek Tapioka Tepung gaplek Mi instan Mi basah Tahu Tempe Tauco Saridele Kecap
Sumber: Hardinsyah, Madanijah & Baliwati (2002) * BPK Manado (1978) diolah
Bentuk Sekarang Beras Beras Jagung pipilan Jagung pipilan Jagung pipilan Ubi kayu Ubi kayu Ubi kayu Tepung terigu Tepung terigu Kacang kedelai Kacang kedelai Kacang kedelai Kacang kedelai Kacang kedelai
Faktor Konversi 1.01 1.00 0.39 0.60 2.53 2.76 3.57 4.35 0.08 0.08 0.35 0.50 3.00 8.00 0.80*
20
Pengolahan data untuk menjawab tujuan penelitian 1 dilakukan dengan menggunakan program SAS versi 6.12 dan Program Aplikasi Perencanaan Pangan dan Gizi Wilayah yang dikembangkan Heryatno, Baliwati & Tanziha (2004) dari Departemen Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga, Fakultas Pertanian IPB. Angka Kecukupan Gizi (AKG) 2004 digunakan dalam perhitungan tingkat konsumsi energi dan protein, yaitu 2000 Kal/kap/hari dan 52 gram/kap/hari. Skor PPH diukur berdasarkan kriteria PPH Deptan 2001. dengan keluaran berupa tabel Skor PPH (Tabel 8). Hasil pengolahan dipresentasikan dalam bentuk tabel dan gambar dan selanjutnya dianalisis secara deskriptif. Tabel 8 Perhitungan Pola Pangan Harapan (PPH) N o
Kelompok Pangan
1
Padi-padian Umbiumbian Pangan Hewani Minyak dan Lemak Buah/Biji Berminyak Kacangkacangan Gula Sayur dan Buah Lain-lain
2 3 4 5 6 7 8 9
Skor Pola Pangan Harapan (PPH)
Gram/ Kap/ Hari
Energi
%
% AKE*)
Bobot
Skor Aktual
Skor AKE
Skor Maks
Skor PPH
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
(7)
(8)
(9)
Total Keterangan: (9) = (7); jika (7) > (8) maka (9) = (8)
0.5
25.0
0.5
2.5
2.0
24.0
0.5
5.0
0.5
1.0
2.0
10.0
0.5
2.5
5.0
30.0
0.0
0.0 100.0
Pengolahan data untuk menjawab tujuan penelitian 2 dilakukan menggunakan model ekonometrika regresi Log-Ganda. Turunan dari model yang bernama lain model Log-Linear ini dapat secara langsung menunjukkan nilai elastisitas permintaan secara konstan sehingga sering juga disebut model Elastisitas Konstan (Gujarati 1997). Satu ciri dari model log-ganda adalah koefisien kemiringan β mengukur elastisitas Y terhadap X, yaitu persentase perubahan dalam Y untuk persentase perubahan tertentu dalam X. Koefisien β merupakan koefisien elastisitas. Dalam ilmu kalkulus, koefisien elastisitas didefinisikan sebagai (dY/Y)/(dX/X) = (dY/dX)(X/Y) (Johnston 1972). Model empirik yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
21
Ln Y1 = α + β11LnX11 + β12LnX12 + β 13LnX13 + β14LnX14 + β 15LnX15 + γLnP + e...(1) Dimana Y1 = Permintaan beras; X11 = Harga beras; X12 = Harga jagung; X13 = Harga ubi kayu; X14 = Harga ubi jalar; X15 = Harga mi instan; P = Pendapatan Ln Y2 = α + β21LnX21 + β22LnX22 + β 23LnX23 + β24LnX24 + β 25LnX25 + γLnP + e...(2) Dimana Y2 = Permintaan jagung; X21 = Harga jagung; X22 = Harga beras; X23 = Harga ubi kayu; X24 = Harga ubi jalar; X25 = Harga mi instan; P = Pendapatan Ln Y3 = α + β31LnX31 + β32LnX32 + β 33LnX33 + β34LnX34 + β 35LnX35 + γLnP + e...(3) Dimana Y3 = Permintaan ubi kayu; X31 = Harga ubi kayu; X32 = Harga beras; X33 = Harga jagung; X34 = Harga ubi jalar; X35 = Harga mi instan; P = Pendapatan Ln Y4 = α + β41LnX41 + β42LnX42 + β 43LnX43 + β44LnX44 + β 45LnX45 + γLnP + e...(4) Dimana Y4 = Permintaan ubi jalar; X41 = Harga ubi jalar; X42 = Harga beras; X43 = Harga jagung; X44 = Harga ubi kayu; X45 = Harga mi instan; P = Pendapatan Ln Y5 = α + β51LnX51 + β52LnX52 + β 53LnX53 + β54LnX54 + β 55LnX55 + γLnP + e...(5) Dimana Y5 = Permintaan terigu dan turunannya; X51 = Harga terigu dan turunannya; X52 = Harga beras; X53 = Harga jagung; X54 = Harga ubi kayu; X55 = Harga ubi jalar; P = Pendapatan Ln Y6 = α + β61LnX61 + β62LnX62 + β 63LnX63 + β64LnX64 + β 65LnX65 + γLnP + e...(6) Dimana Y6 = Permintaan mi instan; X61 = Harga mi instan; X62 = Harga beras; X63 = Harga jagung; X64 = Harga ubi kayu; X65 = Harga ubi jalar; P = Pendapatan Ln Y7 = α + β71LnX71 + β72LnX72 + β73LnX73 + β74LnX74 + β75LnX75 + β 76LnX76 + γLnP + e...(7) Dimana Y7 = Permintaan mi basah; X71 = Harga mi basah; X72 = Harga beras; X73 = Harga jagung; X74 = Harga ubi kayu; X75 = Harga ubi jalar; X76 = Harga terigu dan turunannya; P = Pendapatan
22
Ln Y8 = α + β81LnX81 + β82LnX82 + β83LnX83 + β84LnX84 + β85LnX85 + β 86LnX86 + γLnP + e.... (8) Dimana Y8 = Permintaan kedelai; X81 = Harga kedelai; X82 = Harga ikan segar; X83 = Harga ikan asin; X84 = Harga daging sapi; X85 = Harga daging ayam; X86 = Harga telur; P = Pendapatan Ln Y9 = α + β91LnX91 + β92LnX92 + γLnP + e....(9) Dimana Y9 = Permintaan gula; X91 = Harga gula; X92 = Harga gula merah; P = Pendapatan Ln Y10 = α + β101LnX101 + β102LnX102 + β 103LnX103 + γLnP + e....(10) Dimana Y10 = Permintaan daging sapi; X101 = Harga daging sapi; X102 = Harga daging ayam; X103 = Harga telur; P = Pendapatan Ln Y11 = α + β111LnX111 + γLnP + e....(11) Dimana Y11 = Permintaan minyak goreng; X111 = Harga minyak goreng; P
= Pendapatan
Harga setiap pangan yang akan dimasukkan ke dalam rumus empirik perlu disesuaikan terlebih dahulu jika pangan tersebut memiliki produk olahan. Harga pangan tersebut didapatkan melalui perhitungan harga rata-rata dengan bobot tertimbang dari bentuk asal dan semua produk olahannya. Sebagai contoh, harga beras diperoleh dari rata-rata bobot tertimbang dari harga beras, beras ketan, tepung beras, dan bihun. Setelah semua harga pangan yang dibutuhkan diperoleh, data diolah dengan menggunakan program SAS versi 6.12. Selanjutnya, dilakukan analisis secara deskriptif. Analisis untuk menjawab tujuan penelitian 1 dan 2 tersebut dibedakan menurut wilayah dan kelas pendapatan agar didapat analisis yang lengkap. Wilayah dibedakan menjadi kota, desa, dan nasional, sedangkan kelas pendapatan dibedakan menjadi rendah, sedang, dan tinggi. Pengelompokan kelas pendapatan mengacu pada kriteria yang digunakan oleh Bank Dunia (BPS 2004) dalam menggolongkan penduduk yaitu: (1) kelas berpendapatan rendah (40%), (2) kelas berpendapatan sedang (40 %) dan (3) kelas berpendapatan tinggi (20%).
23
Definisi Operasional Pangan strategis adalah 11 komoditas pangan yang berdasarkan pertimbangan tertentu dianggap penting, yaitu dikonsumsi sebagian besar masyarakat, dan atau
memiliki
nilai
ekonomi, sosial,
dan
politik
yang
tinggi,
memiliki
ketergantungan impor yang cukup tinggi, atau memiliki berbagai masalah lain yang menuntut adanya campur tangan pemerintah, mencakup beras, jagung, ubi kayu, ubi jalar, terigu dan turunannya (mi instan dan mi basah), kedelai dan turunannya, gula, daging sapi, dan minyak goreng. Rumah tangga adalah sekelompok orang yang mendiami sebagian atau seluruh bangunan fisik dan tinggal bersama serta makan dari satu dapur, sesuai dengan definisi rumah tangga yang ditetapkan oleh BPS dalam Susenas. Wilayah adalah pengelompokan domisili rumah tangga berdasarkan tempat tinggal menurut kategori BPS, diklasifikasikan atas desa, kota, dan kota+desa (nasional). Kelas pendapatan adalah pengelompokan rumah tangga berdasarkan besar pendapatan, dikategorikan menurut Bank Dunia, yaitu rendah (40% rumah tangga
berpendapatan
paling
rendah),
sedang
(40%
rumah
tangga
berpendapatan lebih tinggi), dan tinggi (20% kelas berpendapatan paling tinggi). Permintaan pangan strategis adalah jumlah pangan yang diminta untuk dikonsumsi konsumen pada tingkat harga tertentu, terdiri dari variabel konsumsi pangan strategis dan elastisitas permintaan pangan strategis. Konsumsi pangan strategis adalah variabel yang terdiri dari jumlah konsumsi pangan strategis, tingkat partisipasi konsumsi pangan strategis, konsumsi pangan strategis berdasarkan sumber perolehan, kontribusi energi dan protein pangan strategis, pangsa pengeluaran pangan strategis, dan kualitas konsumsi pangan (skor PPH). Jumlah konsumsi pangan strategis adalah jumlah pangan strategis yang dikonsumsi seseorang dalam jangka waktu 1 tahun, dinyatakan dalam kg/kap/th. Tingkat partisipasi konsumsi pangan strategis adalah persentase rumah tangga contoh yang mengkonsumsi pangan strategis terhadap total rumah tangga, dinyatakan dalam satuan persen (%). Konsumsi
pangan
strategis
berdasarkan
sumber
perolehan
adalah
persentase asal pangan strategis yang dikategorikan menurut BPS menjadi 1)
24
pembelian dan 2) produksi sendiri/pemberian terhadap total sumber perolehan pangan, dinyatakan dalam satuan persen (%). Konsumsi energi dan protein adalah jumlah energi dan protein yang dikonsumsi seseorang dalam jangka waktu 1 hari, dinyatakan dalam Kal/kap/hari untuk energi dan gram/kap/hari untuk protein. Tingkat konsumsi energi dan protein adalah persentase konsumsi energi atau protein terhadap Angka Kecukupan Energi dan Protein, dinyatakan dalam satuan persen (%). Kontribusi energi dan protein pangan strategis adalah perbandingan kontribusi energi dari beras, jagung, gula pasir dan minyak goreng terhadap total konsumsi energi; perbandingan kontribusi protein dari kedelai dan daging sapi terhadap total konsumsi protein; dinyatakan dalam satuan persen (%). Pengeluaran pangan adalah jumlah uang yang dikeluarkan seseorang untuk memenuhi kebutuhan pangan dalam jangka waktu 1 bulan, dinyatakan dalam Rp/kapita/bulan. Pangsa pengeluaran pangan strategis adalah persentase pengeluaran setiap pangan strategis terhadap total pengeluaran pangan, dinyatakan dalam satuan persen (%). Skor Pola Pangan Harapan adalah nilai yang menunjukkan kualitas/keragaman pangan yang dikonsumsi yang ditunjukkan dengan skor 100 dengan komposisi sebagai berikut: padi-padian (25), umbi-umbian (2.5), pangan hewani (24), minyak dan lemak (5), buah dan biji berminyak (1), kacang-kacangan (10), gula (2.5), sayur dan buah (30), dan lain-lain (0). Elastisitas permintaan pangan strategis adalah respons permintaan pangan strategis akibat perubahan satu satuan harga atau pendapatan, meliputi elastisitas harga sendiri, elastisitas silang, dan elastisitas pendapatan. Elastisitas harga sendiri adalah respon permintaan suatu jenis pangan akibat perubahan satu satuan harga komoditas pangan tersebut. Elastisitas silang adalah respon permintaan suatu jenis pangan akibat perubahan satu satuan harga komoditas pangan lain. Elastisitas pendapatan adalah respon permintaan pangan akibat perubahan satu satuan pendapatan.
HASIL DAN PEMBAHASAN Konsumsi Pangan Strategis Jumlah Konsumsi Pangan Strategis Tabel 9 menunjukkan bahwa jumlah konsumsi beras lebih tinggi dibandingkan dengan pangan pokok lain. Menurut Ariani (1993) diacu dalam Martianto dan Ariani (2004), terdapat beberapa alasan yang mendasari dipilihnya beras sebagai pangan pokok, yaitu cita rasa yang lebih enak, lebih cepat dan lebih praktis diolah, dan mempunyai komposisi gizi relatif lebih baik dibandingkan pangan pokok yang lain. Selain itu, beras sering diidentikkan dengan pangan pokok yang mempunyai status sosial tinggi. Jumlah konsumsi beras lebih tinggi di pedesaan daripada di perkotaan. Masyarakat kota menggunakan beragam pangan sumber energi untuk memenuhi kebutuhannya, tidak hanya dari beras. Hasil ini berbeda dengan hasil penelitian Fachrina (2005) yang menemukan bahwa konsumsi beras per kapita di wilayah perkotaan lebih tinggi daripada wilayah pedesaan. Pangan lain yang dikonsumsi dalam jumlah lebih besar di pedesaan dibanding di perkotaan adalah jagung, ubi kayu, ubi jalar, dan gula pasir. Hal ini menunjukkan bahwa pangan-pangan tersebut masih dikonsumsi sebagai makanan pokok oleh masyarakat pedesaan. Jumlah konsumsi ubi kayu mencapai angka yang cukup besar, yaitu 11.67 kg/kap/th (nasional). Hal ini karena ubi kayu masih cukup diminati sebagai pangan untuk dikonsumsi masyarakat dalam bentuk olahan yang beragam. Tingginya jumlah konsumsi ubi kayu ini tidak diikuti oleh jagung dan ubi jalar yang menunjukkan jumlah konsumsi nasional per kapita masing-masing 3.36 kg/th dan 4.10 kg/th. Tabel 9 Jumlah konsumsi pangan strategis menurut wilayah (kg/kap/th) No. Jenis pangan Nasional Kota Desa 100.52 1 Beras 85.97 110.53 3.36 2 Jagung 0.82 5.11 11.67 3 Ubi kayu 5.49 15.93 4.10 4 Ubi jalar 1.70 5.76 5.09 5 Terigu dan turunannya 5.77 4.63 3.39 6 Mi instan 4.11 2.90 0.22 7 Mi basah 0.26 0.19 7.29 8 Kedelai dan turunannya 8.56 6.41 9.64 9 Gula pasir 9.52 9.72 0.51 10 Daging sapi 0.87 0.26 9.00 11 Minyak goreng 9.23 8.83
26
Terigu dan turunannya, mi instan, dan mi basah, dikonsumsi dalam jumlah masing-masing sebesar 5.09 kg/kap/th, 3.39 kg/kap/th, dan 0.22 kg/kap/th. Jumlah konsumsi pangan-pangan tersebut lebih tinggi di perkotaan dibandingkan di pedesaan. Hal ini karena masyarakat perkotaan mengkonsumsi produk terigu yang dikenal praktis dan mudah diolah menjadi berbagai macam bentuk olahan (Ariani et al. 2000). Hasil penelitian menunjukkan bahwa jumlah konsumsi kedelai dan turunannya adalah sebesar 7.29 kg/kap/th. Jumlah konsumsinya yang lebih tinggi di perkotaan dibanding di pedesaan menunjukkan bahwa pangan berbahan baku kedelai dijumpai di perkotaan dalam jumlah yang banyak dan bentuk yang beragam. Jumlah konsumsi kedelai dan turunannya yang diperoleh dalam penelitian ini lebih kecil dibandingkan dengan hasil penelitian Saliem et al. (2001) menggunakan data Susenas 1999 yang menunjukkan bahwa konsumsi tahu sebagai produk turunan kedelai pada rumah tangga rawan pangan adalah sebesar 22.41 kg/kap/th di perkotaan dan 15.80 kg/kap/th di pedesaan. Sementara itu, konsumsi tempe pada penelitian tersebut adalah sebesar 2.99 kg/kap/th di perkotaan dan 2.38 kg/kap/th di pedesaan. Jumlah konsumsi gula pasir adalah sebesar 9.64 kg/kap/th, lebih tinggi di pedesaan dibandingkan dengan perkotaan. Masyarakat kota yang memiliki kesadaran akan kesehatan yang lebih tinggi cenderung mengurangi konsumsi gula pasir agar terhindar dari penyakit degeneratif, terutama diabetes. Selain karena termasuk bahan minuman yang sering dikonsumsi bersamaan dengan teh dan kopi, gula pasir juga termasuk bahan campuran yang digunakan dalam pengolahan berbagai jenis masakan. Selain itu, gula pasir juga sering digunakan sebagai bahan pembuatan makanan ringan atau selingan, seperti kue, roti, dan agar-agar (Syafaat et al. 2003). Latief et al. (2000) menyatakan bahwa rata-rata konsumsi daging menurun dari 24 gr/kap/hr pada tahun 1997 menjadi 12 gr/kap/hr pada tahun 1998 di wilayah perkotaan. Di wilayah pedesaan, angka tersebut menurun dari 20 gr/kap/hr (1997) menjadi 10 gr/kap/hr (1998). Sementara itu, menurut Martianto (1995), konsumsi daging ternak berkisar antara 0.8 kg/kap/th hingga 10.6 kg/kap/th. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa jumlah konsumsi daging sapi adalah sebesar 0.51 kg/kap/hr sehingga dapat disimpulkan bahwa konsumsi daging sapi meningkat dibandingkan pada tahun 1998. Sesuai dengan hasil penelitian Fachrina (2005), konsumsi daging sapi per kapita di wilayah perkotaan
27
lebih tinggi daripada wilayah pedesaan. Hal ini disebabkan karena daging sapi banyak dikonsumsi rumah tangga perkotaan yang memiliki pendapatan lebih tinggi dibandingkan rumah tangga pedesaan. Jumlah konsumsi yang tidak jauh berbeda antara daerah perkotaan dan pedesaan, seperti yang terjadi pada komoditas gula pasir dan daging sapi, mengindikasikan bahwa kedua komoditas tersebut sudah teralokasikan dengan terdistribusikan dengan baik sehingga dapat terjangkau oleh masyarakat sampai ke daerah pedesaan. Tabel 10 Jumlah konsumsi pangan strategis menurut kelas pendapatan (kg/kap/th) No. Jenis pangan Rendah Sedang Tinggi 94.01 1 Beras 103.73 107.11 2 Jagung 5.24 2.31 1.68 3 Ubi kayu 12.11 11.6 10.96 4 Ubi jalar 4.81 3.35 4.21 5 Mi instan 2.09 3.62 5.54 6 Mi basah 0.11 0.23 0.44 7 Terigu dan turunannya 2.99 5.45 8.59 8 Kedelai dan turunannya 5.78 7.66 9.56 9 Gula pasir 7.24 10.21 13.30 10 Daging sapi 0.11 0.40 1.53 11 Minyak goreng 6.70 9.56 12.45 Hampir seluruh pangan strategis memiliki jumlah konsumsi yang cenderung meningkat sejalan dengan meningkatnya pendapatan, kecuali jagung, ubi kayu, dan ubi jalar (Tabel 10). Hal ini dapat dijelaskan dengan pernyataan Caleindo (1979) diacu dalam Hardinsyah (1988) bahwa peningkatan pendapatan akan berimplikasi pada perubahan pola konsumsi pangan dan mengurangi konsumsi pangan inferior. Berdasarkan hal ini, dapat disimpulkan bahwa jagung, ubi kayu, dan ubi jalar termasuk pangan inferior. Pangan strategis yang memiliki kenaikan yang mencolok dengan peningkatan pendapatan adalah daging sapi, mi basah, terigu dan turunannya, dan mi instan. Jumlah konsumsi ubi jalar pada rumah tangga berpendapatan tinggi lebih besar dibandingkan yang berpendapatan sedang. Hal ini diduga karena masyarakat berpendapatan tinggi memiliki ketertarikan yang tinggi untuk mencoba jenis makanan baru yang banyak diolah dari ubi jalar (Zuraida & Supriati 2001). Jumlah konsumsi daging sapi masih rendah, terutama bagi kelompok masyarakat berpendapatan rendah. Hal ini karena pada umumnya pangan hewani harganya mahal dan bahkan sebagian orang berpendapat bahwa jenis pangan ini dianggap barang mewah. Kelompok masyarakat ini meskipun memiliki
28
bahan pangan hewani, cenderung akan menukarnya dengan jenis pangan yang lain (Atmojo & Rustiawan 1990). Tingkat Partisipasi Konsumsi Pangan Strategis Tingkat partisipasi konsumsi pangan didefinisikan sebagai persentase rumah tangga contoh yang dilaporkan mengkonsumsi jenis pangan tertentu (Suyanto 1992 diacu dalam Purba 2004). Kegunaannya adalah untuk mengetahui diantara pangan sumber suatu zat gizi, pangan apa yang merupakan sumber utama zat gizi tersebut dan untuk melihat bagaimana pergeseran peringkat kontribusi diantara pangan tersebut (Purba 2004). Tabel 11 Tingkat partisipasi konsumsi pangan strategis menurut wilayah (%) No. Jenis pangan Nasional Kota Desa 97.05 1 Beras 95.51 98.11 1.89 Beras ketan 2.48 1.04 6.33 Tepung beras 6.46 6.12 2.28 Bihun 1.85 2.91 3.95 2 Jagung basah dengan kulit 4.29 3.71 5.59 Jagung pipilan 8.23 1.75 0.52 Tepung jagung 0.43 0.67 29.04 3 Ketela pohon/singkong 20.14 35.16 0.54 Gaplek 0.74 0.26 0.90 Tepung gaplek (tiwul) 1.45 0.09 0.49 Tepung ketela pohon (tapioka/kanji) 0.51 0.48 4 Ubi jalar 11.12 9.11 12.50 5 Mi instan 60.95 65.81 57.60 6 Mi basah 1.67 2.08 1.39 7 Tepung Terigu 17.66 19.12 16.65 8 Kedelai 1.68 1.35 1.91 Tahu 60.47 53.73 70.27 65.17 58.98 74.15 Tempe 1.83 1.36 2.50 Tauco 42.82 35.93 52.84 Kecap 9 Gula pasir 92.22 93.46 91.37 10 Daging sapi 7.36 12.47 3.85 41.27 11 Minyak kelapa 36.32 44.67 0.13 Minyak jagung 0.10 0.17 54.46 Minyak sawit 52.06 57.94 Hasil penelitian (Tabel 11) menunjukkan bahwa beras dan gula pasir merupakan sumber utama energi, serta produk olahan kedelai sebagai sumber utama protein. Beras telah menjadi pangan pokok utama. Hampir semua penduduk mengkonsumsi beras, ditunjukkan oleh tingkat partisipasinya yang mendekati 100%, yaitu 97.05%. Terciptanya kondisi ini disebabkan oleh berbagai hal, antara lain adanya kebijakan ”beras-isasi” melalui revolusi hijau yang dicanangkan pemerintah. Pemerintah juga menetapkan kebijakan beras murah
29
sehingga harga beras dapat dijangkau oleh masyarakat luas. Tingginya tingkat partisipasi konsumsi tidak dialami produk turunan beras, seperti beras ketan, tepung beras, dan bihun. Tingginya tingkat partisipasi konsumsi beras tidak hanya terjadi di perkotaan (95.51%), melainkan juga di pedesaan (98.11%). Lebih rendahnya tingkat partisipasi konsumsi beras di perkotaan dibandingkan di pedesaan disebabkan sebagian masyarakat perkotaan mengkonsumsi pangan sumber energi selain beras sebagai pangan pokok. Tingkat partisipasi konsumsi jagung sangat rendah, yaitu 3.95% untuk jagung basah dengan kulit, 5.59% untuk jagung pipilan, dan 0.52% untuk tepung jagung/maizena. Hal ini dapat disebabkan kurang beragamnya produk olahan jagung untuk dikonsumsi masyarakat. Sebanyak 4.29% masyarakat perkotaan mengkonsumsi jagung dalam bentuk jagung basah dengan kulit dan sebanyak 8.23% masyarakat pedesaan mengkonsumsi jagung dalam bentuk jagung pipilan. Tingkat partisipasi konsumsi ubi kayu yang masih cukup tinggi adalah ubi kayu dalam bentuk aslinya, yaitu 29.04%. Angka ini cukup jauh melampaui tingkat partisipasi konsumsi ubi jalar, sebesar 11.12%. Baik ubi kayu maupun ubi jalar lebih banyak dikonsumsi di pedesaan dibandingkan di perkotaan, ditunjukkan dengan tingkat partisipasi konsumsinya yang lebih tinggi di pedesaan. Tepung terigu paling banyak dikonsumsi masyarakat dalam bentuk mi instan, terlihat dari tingkat partisipasi konsumsinya yang mencapai 60.95%. Mi sudah menjadi bagian dari pola makan rumah tangga, baik di desa maupun di kota. Kebiasaan ini muncul karena produk mi dapat ditemui dalam merek bermacam-macam, dikemas rapi dan menarik, mudah disajikan, serta gencarnya promosi di berbagai media elektronik dan media lain (Ariani et al. 2000). Tingkat partisipasi konsumsi terigu dan turunannya lebih tinggi di perkotaan dibandingkan dengan di pedesaan. Pangan sumber protein terdiri dari pangan nabati, khususnya dari kacang-kacangan, dan pangan hewani dari ikan dan ternak. Masyarakat banyak yang memilih produk olahan kedelai untuk memenuhi kebutuhan protein. Sumber protein nabati yang banyak dikonsumsi masyarakat adalah tahu, tempe, dan kecap yang berbahan baku kedelai. Hal ini ditegaskan oleh hasil penelitian yang menunjukkan bahwa tingkat partisipasi tahu, tempe, dan kecap adalah masingmasing sebesar 60.47%, 65.17%, dan 42.82%. Kondisi nasional mencerminkan kondisi di pedesaan (53.73% untuk tahu, 58.98% untuk tempe, dan 35.93% untuk kecap) dan di perkotaan (70.27% untuk tahu, 74.15% untuk tempe, dan
30
52.84% untuk kecap). Selain produk olahannya yang beranekaragam dan menarik, harga produk kedelai masih dianggap lebih murah dibandingkan dengan pangan penghasil protein lainnya, khususnya pangan hewani. Tingkat partisipasi konsumsi kedelai dan turunannya di kota lebih besar daripada di desa walaupun harga produk olahan kedelai tersebut lebih murah di pedesaan. Gula pasir merupakan bahan campuran yang digunakan dalam pengolahan berbagai jenis masakan selain digunakan sebagai bahan minuman yang sering dikonsumsi bersamaan dengan teh dan kopi. Selain itu, gula pasir juga sering digunakan sebagai bahan pembuatan makanan ringan atau selingan, seperti kue, roti, dan agar-agar (Syafaat et al. 2003). Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat partisipasi konsumsi gula pasir mencapai 92.22%. Tingginya tingkat partisipasi konsumsi gula pasir juga terjadi di perkotaan (93.46%) dan di pedesaan (91.37%). Tingkat partisipasi konsumsi daging sapi masih rendah, yaitu sebesar 7.36%. Rumah tangga perkotaan lebih banyak yang mengkonsumsi daging sapi dibandingkan rumah tangga pedesaan. Hasil ini sejalan dengan Martianto (1995) yang menemukan bahwa proporsi rumah tangga yang mengkonsumsi hasil ternak lebih tinggi di wilayah kota dibanding desa. Daging sapi merupakan pangan hewani yang harganya lebih mahal dibandingkan dengan bahan makanan lainnya sehingga masyarakat perkotaan yang pendapatannya lebih tinggi dapat mengkonsumsinya (Fachrina 2005). Umumnya, pangan hewani harganya mahal dan bahkan dianggap barang mewah oleh sebagian orang (Atmojo & Rustiawan 1990). Minyak goreng dalam bentuk minyak sawit dan minyak kelapa dikonsumsi sekitar separuh jumlah rumah tangga. Pernyataan ini diperkuat dengan hasil analisis Survei Konsumsi Gizi (SKG) oleh Depkes yang menyatakan bahwa minyak goreng merupakan bahan pangan yang sering dikonsumsi masyarakat di wilayah perkotaan dan pedesaan (Hardinsyah, Amalia & Setiawan 2002). Masyarakat,
baik
perkotaan
maupun
pedesaan,
lebih
banyak
yang
mengkonsumsi minyak sawit dibandingkan dengan minyak kelapa. Tabel 12 menunjukkan bahwa secara umum, semakin tinggi pendapatan, tingkat partisipasi konsumsinya cenderung semakin tinggi. Walaupun demikian, beberapa jenis pangan menunjukkan hasil yang berbeda, antara lain beras, jagung dalam bentuk jagung pipilan, ubi kayu dalam semua bentuk, ubi jalar, mi instan, kedelai, tahu, tempe, gula pasir, minyak kelapa, dan minyak sawit.
31
Semakin tinggi pendapatan, tingkat partisipasi jagung pipilan, ubi kayu dalam bentuk aslinya, tepung gaplek, gaplek, dan kedelai cenderung semakin menurun. Hal ini dapat disebabkan oleh anggapan bahwa pangan-pangan tersebut merupakan pangan inferior. Beras, ubi jalar, tapioka, mi instan, tahu, tempe, gula pasir, minyak kelapa, dan minyak sawit memiliki tingkat partisipasi tertinggi pada rumah tangga berkelas pendapatan sedang. Rumah tangga berkelas pendapatan tinggi cenderung lebih memilih pangan hewani untuk dikonsumsi. Pangan hewani, khususnya daging sapi, merupakan pangan yang memiliki prestise tinggi sehingga digemari konsumen berpendapatan tinggi. Hal ini tentunya menjadi alasan bagi masyarakat tersebut untuk mengurangi konsumsi pangan nabati, seperti tahu dan tempe, agar asupan protein yang diperoleh lebih tinggi. Tabel 12 Tingkat partisipasi konsumsi pangan strategis menurut kelas pendapatan (%) No. Jenis pangan Rendah Sedang Tinggi 97.92 1 Beras 98.14 93.12 1.34 Beras ketan 2.86 1.95 5.24 Tepung beras 7.51 6.82 1.63 Bihun 3.31 2.43 3.42 2 Jagung basah dengan kulit 3.89 5.11 8.88 Jagung pipilan 2.06 4.05 0.46 Tepung jagung 0.73 0.48 32.83 3 Ketela pohon/singkong 28.99 21.54 0.76 Gaplek 0.31 0.44 1.33 Tepung gaplek (tiwul) 0.44 0.69 0.41 Tepung ketela pohon (tapioka/kanji) 0.52 0.57 4 Ubi jalar 11.21 11.64 9.88 5 Mi instan 55.18 64.83 64.73 6 Mi basah 1.17 1.83 2.35 7 Tepung Terigu 13.59 19.67 21.76 8 Kedelai 1.86 1.68 1.32 Tahu 57.18 60.84 63.58 62.84 64.03 68.06 Tempe 1.31 2.40 2.06 Tauco 35.97 50.79 45.69 Kecap 9 Gula pasir 90.17 94.34 92.07 10 Daging sapi 2.84 7.51 16.10 41.90 11 Minyak kelapa 41.91 38.74 0.09 Minyak jagung 0.25 0.11 54.18 Minyak sawit 53.20 55.36 Konsumsi Pangan Strategis berdasarkan Sumber Perolehan Beras, kedelai dan turunannya, terigu dan turunannya (mi instan dan mi basah), gula pasir, daging sapi, dan minyak goreng hampir seluruhnya diperoleh melalui pembelian. Nilainya yang hampir mendekati 100% (kecuali beras)
32
menunjukkan bahwa masyarakat lebih memilih membeli pangan yang akan dikonsumsi. Hal ini didorong karena membeli memiliki sifat mudah, cepat, dan praktis serta memiliki prestise yang lebih tinggi. Hasil ini senada dengan penelitian Mayrowani (1991), bahwa di Jawa Barat, pangan yang dikonsumsi masyarakat diperoleh sebagian besar dari pembelian. Jagung, ubi kayu, dan ubi jalar memiliki persentase perolehan pangan melalui produksi sendiri/pemberian yang cukup besar. Konsumsi mi instan dan mi basah melalui produksi/pemberian adalah masing-masing 1.07% dan 1.06%. Karena mi instan dan mi basah diasumsikan
tidak
dapat
diproduksi
sendiri,
angka
pada
kolom
produksi/pemberian tersebut merupakan pangan yang diperoleh dari pemberian. Tabel 13
Konsumsi pangan strategis berdasarkan sumber perolehan menurut wilayah (%) No. Jenis pangan Nasional Kota Desa 1 Beras -Pembelian 82.01 94.46 75.60 -Produksi sendiri/pemberian 17.99 5.54 24.40 2 Jagung -Pembelian 32.89 85.83 27.05 -Produksi sendiri/pemberian 67.11 14.17 72.95 3 Ubi kayu -Pembelian 39.09 71.62 31.75 -Produksi sendiri/pemberian 60.91 28.38 68.25 4 Ubi jalar -Pembelian 40.21 85.92 31.08 -Produksi sendiri/pemberian 59.79 14.08 68.92 5 Terigu dan turunannya -Pembelian 99.02 99.11 98.07 -Produksi sendiri/pemberian 0.98 0.89 1.93 6 Mi instan -Pembelian 98.93 99.02 98.86 -Produksi sendiri/pemberian 1.07 0.98 1.14 7 Mi basah -Pembelian 98.94 99.92 98.07 -Produksi sendiri/pemberian 1.06 0.08 1.93 8 Kedelai dan turunannya -Pembelian 98.55 99.25 97.94 -Produksi sendiri/pemberian 1.45 0.75 2.06 9 Gula pasir -Pembelian 99.43 99.27 99.53 -Produksi sendiripemberian 0.57 0.73 0.47 10 Daging sapi -Pembelian 95.25 97.91 89.17 -Produksi sendiripemberian 4.75 2.09 10.83 11 Minyak goreng -Pembelian 97.30 99.21 95.99 -Produksi sendiri/pemberian 2.70 0.79 4.01
33
Tabel 13 menunjukkan bahwa secara umum, persentase pembelian pangan strategis di kota dan di desa tidak terlalu banyak berbeda. Hal ini menunjukkan bahwa distribusi pasar, baik secara grosir hingga eceran, sudah cukup baik sehingga dapat terjangkau oleh masyarakat sampai ke daerah pedesaan. Tentunya hal ini merupakan daya tarik tersendiri untuk masyarakat, baik di kota dan di desa, untuk memperoleh pangan melalui pembelian. Tabel 14
Konsumsi pangan strategis berdasarkan sumber perolehan menurut kelas pendapatan (%) No. Jenis pangan Rendah Sedang Tinggi 1 Beras -Pembelian 79.60 82.28 86.24 -Produksi sendiri/pemberian 20.40 17.72 13.76 2 Jagung -Pembelian 26.62 38.01 60.38 -Produksi sendiri/pemberian 73.38 61.99 39.62 3 Ubi kayu -Pembelian 32.85 39.99 51.30 -Produksi sendiri/pemberian 67.15 60.01 48.70 4 Ubi jalar -Pembelian 25.65 52.37 54.00 -Produksi sendiri/pemberian 74.35 47.63 46.00 5 Terigu dan turunannya -Pembelian 98.92 99.01 99.11 -Produksi sendiri/pemberian 1.08 0.99 0.89 6 Mi instan -Pembelian 98.85 98.89 99.06 -Produksi sendiri/pemberian 1.15 1.11 0.94 7 Mi basah -Pembelian 100.00 97.92 99.46 -Produksi sendiri/pemberian 0.00 2.08 0.54 8 Kedelai dan turunannya -Pembelian 98.15 99.00 98.50 -Produksi sendiri/pemberian 1.85 1.00 1.50 9 Gula pasir -Pembelian 98.92 99.73 99.74 -Produksi sendiripemberian 1.08 0.27 0.26 10 Daging sapi -Pembelian 84.59 94.12 97.85 -Produksi sendiripemberian 15.41 5.88 2.15 11 Minyak goreng -Pembelian 96.44 97.67 98.08 -Produksi sendiri/pemberian 3.56 2.33 1.92 Seluruh komoditas, kecuali gula pasir, secara konsisten, memiliki
konsumsi pangan melalui pembelian lebih tinggi di perkotaan dibandingkan di pedesaan. Hal ini karena gaya hidup di kota serba cepat dan praktis sehingga terbiasa memperoleh pangan melalui pembelian. Selain itu, masyarakat kota terkendala ketersediaan lahan untuk produksi. Persentase pembelian beras di
34
pedesaan cukup tinggi, mencapai 75.60%. Hal ini terjadi karena distribusi beras yang sudah baik di pedesaan, perubahan gaya hidup, dan kebiasaan petani untuk menjual beras langsung setelah penen karena keinginan untuk memiliki uang cash. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa secara umum terdapat pola yang sama pada seluruh jenis pangan, yaitu semakin tinggi pendapatan, persentase konsumsi pangan melalui pembelian cenderung semakin tinggi. Hal ini diduga disebabkan tingginya prestise membeli dibandingkan dengan produksi sendiri/pemberian. Selain itu, masyarakat berpendapatan tinggi cenderung memiliki pola pemenuhan kebutuhan, termasuk dalam pemenuhan pangan, yang mudah, cepat, dan praktis. Mi basah memiliki pangsa pembelian tertinggi di rumah tangga berpendapatan rendah, yaitu 100.00%. Hal ini diduga karena masyarakat berpendapatan rendah tentunya tidak memiliki sarana dan prasarana untuk produksi sama sekali untuk memperoleh mi basah untuk dikonsumsi. Kontribusi Energi dan Protein Pangan Strategis Besar kecilnya pengeluaran pangan dapat dipakai sebagai acuan untuk melihat tingkat konsumsi zat gizi walaupun tidak akurat. Hal ini disebabkan semakin besar pengeluaran pangan belum tentu diikuti oleh peningkatan tingkat konsumsi zat gizi, apabila harga dari pangan tersebut mengalami kenaikan (Arifin & Saliem 1992). Data menunjukkan bahwa secara nasional, tingkat konsumsi energi dan protein sudah melebihi angka kecukupan yang ditetapkan oleh WNPG VIII tahun 2004, yaitu masing-masing sebesar 107.40% (2148 Kal/kap/hari) dan 116.83% (60.75 gram/kap/hari). Gambar 2 Tingkat konsumsi energi dan protein menurut wilayah (% )
125 120 115 Energi
% 110
Protein
105 100 95 Nasional
Kota Wilayah
Desa
35
Gambar 2 memberikan gambaran bahwa tingkat konsumsi energi di desa lebih tinggi dibandingkan di kota. Hasil penelitian Fachrina (2005) menggunakan data Susenas 2002 menunjukkan hal yang sama, bahwa secara umum, tingkat konsumsi energi rumah tangga di pedesaan lebih tinggi daripada di perkotaan. Di sisi lain, tingkat konsumsi protein di kota lebih tinggi dibandingkan pedesaan. Hal ini disebabkan tingginya ketersediaan pangan sumber energi, namun rendah ketersediaan protein di pedesaan. Selain itu, masyarakat pedesaan memiliki aktivitas yang lebih banyak membutuhkan energi (BPS 2006). Gambar 3 Tingkat konsumsi energi dan protein menurut kelas pendapatan (% )
180 160 140 120 100 % 80 60 40 20 0
Energi Protein
Rendah
Sedang
Tinggi
Kelas pendapatan
Enoch (1979) diacu dalam Husefra (1996) menyatakan bahwa konsumsi pangan seseorang dipengaruhi oleh 2 hal, yaitu faktor internal dan faktor eksternal.
Salah
satu
yang
termasuk
dalam
faktor
eksternal
adalah
pendapatan/pengeluaran. Gambar 3 menunjukkan bahwa rumah tangga yang berkelas pendapatan rendah masih menemui kesulitan untuk memenuhi kebutuhan energi dan proteinnya, ditunjukkan dengan tingkat konsumsi yang masih di bawah anjuran, yaitu 87.45% untuk energi dan 89.69% untuk protein. Rendahnya pendapatan menyebabkan jumlah pangan yang dikonsumsi juga rendah sehingga tidak dapat memenuhi kebutuhan gizi. Irawan et al. (2000) menyatakan bahwa tingkat pendapatan yang terbatas pada rumah tangga miskin menyebabkan perubahan pola makanan pokok ke barang-barang paling murah dengan jumlah yang berkurang. Suhardjo
(1993)
menyatakan
bahwa
peningkatan
pendapatan
mempunyai hubungan erat dengan perubahan dan perbaikan konsumsi pangan.
36
Lebih lanjut Sanjur (1982) mengemukakan bahwa pendapatan merupakan penentu utama yang berhubungan dengan kualitas makanan, yang berarti apabila pendapatan keluarga meningkat, mutu konsumsi keluarga akan meningkat. Hasil penelitian menemukan bahwa semakin tinggi pendapatan, tingkat konsumsi energi dan protein cenderung meningkat. Hal ini dapat dijelaskan dengan pernyataan Windyastuti (2003) bahwa pendapatan yang meningkat akan memungkinkan keluarga untuk membeli dan mengkonsumsi pangan yang lebih banyak, lebih mahal serta peluang untuk mengkonsumsi beragam jenis pangan semakin tinggi. Peningkatan pendapatan juga diharapkan sejalan dengan konsumsi pangan yang lebih bergizi (Irawan & Romdiati 2000). Tingkat konsumsi energi dan protein pada rumah tangga berpendapatan tinggi jauh melebihi Angka Kecukupan Energi dan Protein. Kondisi ini perlu mendapat perhatian khusus karena kelebihan energi dan protein dapat menyebabkan berbagai masalah kesehatan (penyakit). Tabel 15 Kontribusi energi dari beras, jagung, ubi kayu, ubi jalar, terigu dan turunannya, mi instan, mi basah, gula pasir dan minyak goreng menurut wilayah dan kelas pendapatan (%) Wil/Kls B J UK UJ TER MIN MIB G M pdpt Wil Nas 46.56 1.23 1.88 0.66 2.58 1.93 0.02 4.49 10.21 K 41.03 0.25 0.93 0.28 3.05 2.41 0.03 4.57 10.81 D 50.18 1.87 2.50 0.90 2.28 1.61 0.02 4.44 9.81 Kls pdpt R 53.50 2.46 2.37 0.95 1.89 1.46 0.01 4.14 9.35 S 46.68 0.80 1.83 0.52 2.69 2.00 0.02 4.62 10.54 T 37.76 0.39 1.35 0.51 3.28 2.40 0.04 4.71 10.76 Keterangan: Wil=Wilayah; Kls pdpt=Kelas pendapatan; Nas=Nasional; K=Kota; D=Desa; R=Rendah; S=Sedang; T=Tinggi; B=Beras; J=Jagung; UK=Ubi kayu; UJ=Ubi jalar; TER=Terigu dan turunannya; MIN=Mi instan; MIB=Mi basah; G=Gula pasir; M=Minyak goreng
Tabel 15 menunjukkan bahwa pangsa energi dari beras secara nasional cukup besar, yaitu hampir separuh (46.56%) dari total konsumsi energi. Angka ini jauh lebih besar dibandingkan pangan-pangan penghasil energi yang lain. Hal ini menjadi bukti bahwa beras masih merupakan pangan sumber energi utama masyarakat Indonesia yang dikonsumsi dalam jumlah besar. Beras juga merupakan pangan pokok yang mengandung energi cukup tinggi. Berdasarkan BPS (1984) diacu dalam Martianto (1995), pola konsumsi pangan pokok masyarakat dalam penelitian ini adalah beras karena memiliki kontribusi energi ≥ 5 persen. Di perkotaan, beras memiliki kontribusi energi yang lebih kecil
37
dibandingkan di pedesaan. Masyarakat perkotaan menggunakan beragam pangan sumber energi untuk memenuhi kebutuhannya, tidak hanya dari beras. Kontribusi energi dari beras cenderung mengalami penurunan sejalan dengan peningkatan pendapatan. Hal ini karena konsumsi beras mengalami penurunan dan masyarakat cenderung mencari variasi pangan sumber energi selain beras jika pendapatan meningkat. Berg (1986) menyatakan bahwa pendapatan merupakan salah satu faktor yang menentukan kualitas dan kuantitas pangan yang dibeli. Keluarga dengan tingkat pendapatan tinggi dapat membeli pangan dengan lebih beragam. Senada dengan hal tersebut, Martianto et al. (1993) menyatakan bahwa peningkatan pendapatan dapat meningkatkan keragaman dalam masing-masing kelompok komoditas pangan. Kontribusi energi dari jagung, ubi kayu, dan ubi jalar adalah masingmasing sebesar 1.23%, 1.88%, dan 0.66% dengan angka yang lebih tinggi di pedesaan dibandingkan dengan perkotaan. Kontribusi energi yang rendah dari pangan-pangan ini disebabkan oleh tingkat konsumsinya yang rendah. Berdasarkan hasil penelitian, terlihat bahwa masyarakat pedesaan masih lebih banyak yang mengkonsumsi jagung, ubi kayu, dan ubi jalar sebagai sumber energi selain beras. Semakin tinggi pendapatan, kontribusi energi dari jagung, ubi kayu, ubi jalar cenderung mengalami penurunan. Rendahnya hasil tersebut disebabkan semakin rendahnya tingkat konsumsi jagung, ubi kayu, dan ubi jalar di Indonesia sejalan dengan peningkatan pendapatan. Selain itu, pangan-pangan tersebut dianggap sebagai pangan inferior yang konsumsinya menurun sejalan dengan meningkatnya pendapatan. Kontribusi energi dari terigu dan turunannya, mi instan, dan mi basah adalah masing-masing sebesar 2.23%, 1.9%, dan 0.03%. Berbeda dengan beras dan umbi-umbian, terigu dan turunannya, mi instan, dan mi basah memiliki kontribusi energi yang lebih tinggi di perkotaan dibandingkan dengan di pedesaan. Semakin tinggi pendapatan, kontribusi energi dari terigu dan turunannya, mi instan, dan mi basah cenderung semakin tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat perkotaan dan rumah tangga berpendapatan tinggi lebih memilih produk terigu untuk memenuhi kebutuhan energinya. Gula merupakan bahan pemanis dominan dan sekaligus dapat digunakan sebagai bahan pengawet yang tidak membahayakan kesehatan manusia selain sebagai sumber energi,. Kontribusi energi gula pasir menunjukkan angka 4.49%
38
dengan angka di kota lebih besar dibandingkan di desa. Semakin tinggi pendapatan, kontribusi energi dari gula pasir cenderung semakin tinggi. Minyak goreng dapat dikatakan sebagai bahan pokok penduduk Indonesia karena memiliki pangsa energi yang cukup tinggi, yaitu 10.21%. Hal ini disebabkan pangan yang diolah menggunakan minyak goreng memiliki rasa, tekstur, dan bau yang disukai masyarakat (Sumaryanto dan Rantetana 1996). Pengolahan menggunakan minyak goreng juga dapat meningkatkan napsu makan. Sesuai dengan hasil penelitian Hapsari (2005), kontribusi energi minyak goreng di perkotaan lebih tinggi dibandingkan pedesaan. Sejalan dengan peningkatan pendapatan, kontribusi energi dari minyak goreng cenderung semakin meningkat. Tabel 16 Kontribusi protein dari kedelai dan daging sapi menurut wilayah dan kelas pendapatan (%) Daging sapi Kedelai dan Wilayah/Kelas turunannya Pendapatan Wilayah 0.43 8.52 Nasional 0.72 9.64 Kota 0.22 7.71 Desa Kelas pendapatan 0.12 8.89 Rendah 0.33 8.71 Sedang 0.92 7.85 Tinggi Protein terdiri dari dua kelompok, yaitu protein nabati (berasal dari pangan nabati/tumbuhan) dan protein hewani (berasal dari pangan hewani. Pangan hewani memiliki kualitas yang relatif lebih baik dibandingkan pangan nabati. Kontribusi protein kedelai dan turunannya menunjukkan angka sebesar 8.52% (Tabel 16). Hasil ini berarti bahwa produk kedelai banyak dipilih masyarakat sebagai sumber protein yang harganya dapat terjangkau masyarakat. Berdasarkan BPS (1984) diacu dalam Martianto (1995), kedelai dan turunannya termasuk ke dalam pola konsumsi pangan sumber protein masyarakat Indonesia karena memiliki kontribusi protein ≥ 5 persen. Kontribusi
protein
kedelai
dan
turunannya
lebih
tinggi
di
kota
dibandingkan dengan di desa. Hal ini diduga karena di kota, produk olahan kedelai dan turunannya lebih banyak dan beragam. Cenderung menurunnya kontribusi protein
kedelai dan turunannya sejalan dengan peningkatan
pendapatan menunjukkan bahwa kedelai merupakan pangan inferior yang kurang memiliki prestise yang tinggi.
39
Daging sapi memberikan kontribusi protein dalam jumlah kecil, yaitu 0.43% dari total asupan protein. Lebih tingginya kontribusi protein daging sapi di kota (0.72%) dibandingkan di desa (0.22) menunjukkan bahwa daging sapi merupakan pangan superior yang lebih dipilih masyarakat kota yang memiliki pendapatan lebih tinggi dibandingkan masyarakat desa (Ariani et al. 2000). Semakin tinggi pendapatan, kontribusi protein dari daging sapi cenderung semakin tinggi. Masyarakat berpendapatan tinggi lebih memilih daging sapi untuk memenuhi kebutuhan proteinnya karena pertimbangan prestise. Pangsa Pengeluaran Pangan Strategis Tabel 17 menunjukkan bahwa secara nasional, pangsa pengeluaran pangan masih mendominasi pengeluaran rumah tangga (51.92%). Hasil yang tidak jauh berbeda diperoleh Mayrowani (1991) bahwa di Jawa Barat, pengeluaran pangan masih sebesar 53.1% dari total pengeluaran. Menurut Soekirman (2000), rumah tangga nasional dan perkotaan dalam hasil penelitian ini termasuk ke dalam rumah tangga mampu karena pangsa pengeluaran pangannya berada pada interval 20-59%. Selain itu, karena pangsa pengeluaran pangan ≤ 60% pengeluaran total dan tingkat konsumsi energi > 80% syarat kecukupan gizi, maka rumah tangga tersebut masih termasuk ke dalam kelompok rumah tangga tahan pangan (Jonsson dan Toole 1991 diacu dalam Maxwell et al. 2000 diacu dalam Saliem et al. 2001). Berdasarkan BPS (1992), rumah tangga tersebut juga tidak dinyatakan miskin karena pangsa pengeluaran pangannya lebih kecil dari 70%. Kondisi rumah tangga nasional dan perkotaan berbeda dengan rumah tangga pedesaan. Berdasarkan Soekirman (2000), rumah tangga pedesaan termasuk ke dalam rumah tangga miskin. Rumah tangga tersebut juga termasuk ke dalam rumah tangga rentan pangan (Jonsson dan Toole 1991 diacu dalam Maxwell et al. 2000 diacu dalam Saliem et al. 2001). Tabel 17
Pangsa pengeluaran pangan dan total pengeluaran menurut wilayah dan kelas pendapatan Total pengeluaran Pangsa pengeluaran Wilayah/Kelas (Rp/kap/bulan) pangan (%) Pendapatan Wilayah 321,408 51.92 Nasional 461,548 44.82 Kota 224,981 61.94 Desa Kelas pendapatan 150,885 63.94 Rendah 292,000 57.22 Sedang 721,224 42.60 Tinggi
40
Pangsa pengeluaran pangan di desa lebih tinggi dibandingkan di kota. Hasil ini sesuai dengan pernyataan Irawan (2002); Hapsari (2005) bahwa secara umum, pengeluaran pangan lebih besar di wilayah pedesaan daripada wilayah perkotaan. Hal ini terjadi karena kehidupan di perkotaan yang tingkat kesejahteraannya lebih tinggi memiliki pilihan pengeluaran rumah tangga non pangan yang lebih beragam. Walaupun pangsa pengeluaran pangan di desa lebih tinggi dibandingkan di kota, secara nominal, total pengeluaran di kota lebih tinggi dibandingkan di desa. Hasil ini dapat dijelaskan dengan pernyataan Ariani et al. (2000) bahwa secara absolut, pedesaan memiliki tingkat pendapatan yang lebih rendah dibandingkan perkotaan. Pada
kondisi
terjadi
peningkatan
pendapatan,
konsumen
akan
membelanjakan pendapatannya untuk pangan dengan persentase yang semakin kecil (Soekirman 2000). Hal yang sama juga diungkapkan Husaini et al. (2000); Hapsari (2005), yaitu bila pendapatan semakin baik, maka pengeluaran untuk non pangan akan semakin besar, mengingat semua kebutuhan pokok untuk makan sudah terpenuhi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pangsa pengeluaran pangan cenderung semakin menurun sejalan dengan meningkatnya pendapatan walaupun total pengeluaran semakin meningkat. Hal ini sesuai dengan pernyataan Rachman et al. (1994) mengenai Hukum Working, yaitu pangsa pengeluaran pangan memiliki hubungan yang negatif dengan pengeluaran rumah tangga. Masyarakat akan terdorong memilih pangan dengan nilai prestise yang lebih tinggi sesuai dengan pendapatannya yang meningkat. Tabel 18 menunjukkan bahwa pangsa pengeluaran pangan menurut kelompok pangan yang paling besar terdapat pada kelompok makanan/minuman jadi (21.17%), pangan hewani (19.57%), dan padi-padian (16.49%). Pangsa pengeluaran padi-padian lebih rendah dibandingkan dengan makanan/minuman jadi. Hasil ini dapat dijelaskan dengan realita berkembangnya industri makanan/minuman jadi dewasa ini sehingga secara langsung meningkatkan ketersediaannya. Selain itu, berkembangnya teknologi industri periklanan makanan/minuman jadi yang ada di berbagai media, khususnya televisi, menarik masyarakat untuk mengkonsumsinya. Beras dapat dinyatakan sebagai single comodity dari padi-padian, terlihat dari pangsa pengeluarannya (14.99%) yang mendominasi pangsa pengeluaran padi-padian. Pada kelompok umbi-umbian, pangsa pengeluaran ubi kayu lebih
41
tinggi dibandingkan dengan pangsa pengeluaran ubi jalar. Sementara itu, pada kelompok pangan hewani, pangan yang memiliki pangsa pengeluaran terbesar adalah telur dan susu. Sebagian besar kelompok pangan di pedesaan memiliki pangsa pengeluaran yang lebih besar daripada perkotaan. Pengecualian terdapat pada beberapa kelompok pangan, seperti pangan hewani, buah-buahan, konsumsi lainnya, dan makanan/minuman jadi. Hal ini diduga karena konsumsi pangan tersebut lebih tinggi di perkotaan dibandingkan dengan pedesaan. Tabel 18 No 1
2
3
4 5 6 7 8 9 10 11 12
Pangsa pengeluaran pangan menurut kelompok pangan dan wilayah (%) Kelompok pangan Nasional Kota Desa Padi-padian 16.49 11.10 20.20 -Beras 14.99 10.79 19.28 -Jagung 0.34 0.11 0.57 -Terigu dan turunannya 2.23 2.15 2.31 Umbi-umbian 1.41 0.75 1.87 -Ubi kayu 0.47 0.21 0.73 -Ubi jalar 0.31 0.10 0.53 Pangan hewani 19.57 20.38 19.02 -Ikan 9.60 8.49 10.37 -Daging 4.46 5.21 3.95 -Telur dan susu 5.51 6.68 4.70 Sayuran 8.26 6.98 9.14 Kacang-kacangan 3.11 2.78 3.34 Buah-buahan 4.09 4.60 3.74 Minyak dan lemak 3.93 3.17 4.45 Bahan minuman 5.12 4.17 5.77 Bumbu-bumbuan 2.66 2.29 2.91 Konsumsi lainnya1 0.68 0.77 0.61 2 Makanan/minuman jadi 21.17 30.42 14.81 Tembakau dan sirih 11.55 10.66 12.17 Total 100 100 100 Tabel 19 menunjukkan bahwa semakin tinggi pendapatan, pangsa
pengeluaran masing-masing kelompok pangan cenderung akan semakin
1
Konsumsi lainnya: bihun, makaroni, kerupuk, emping, bahan agar-agar, bubur bayi kemasan, dan lainnya 2 Roti tawar, roti manis/roti lainnya, kue kering/biskuit/semprong, kue basah, makanan gorengan, bubur kacang hijau, gado-gado/ketoprak/pecel, nasi campur/rames, nasi goreng, nasi putih, lontong/ketupat sayur, soto/gule/soprawon/cincang, sate/tongseng, mi bakso/mi rebus/mi goreng, mi instan, makanan ringan anak-anak/krupuk/kripik, ikan (goreng, bakar, presto, pindang, pepes, dsb), ayam/daging (goreng, bakar, dsb), makanan jadi lainnya, air kemasan, air kemasan galon, air teh kemasan, sari buah kemasan, minuman ringan mengandung CO2 (soda), minuman kesehatan, minuman lainnya (kopi, kopi susu, teh, susu coklat, dsb), es krim, dan es lainnya
42
menurun sejalan dengan menurunnya pangsa pengeluaran pangan secara keseluruhan. Hasil yang berbeda terdapat pada kelompok pangan hewani, buahbuahan, dan makanan/minuman jadi yang mengalami kenaikan. Pangan hewani termasuk pangan superior sehingga pangsa pengeluarannya akan meningkat sejalan dengan peningkatan pendapatan (Martianto 1995). Seperti pangan hewani,
hasil
penelitian menunjukkan bahwa
buah-buahan juga dapat
dikategorikan ke dalam pangan superior. Masyarakat dengan pendapatan tinggi cenderung memilih pangan yang lebih praktis untuk dikonsumsi. Hal ini diduga menyebabkan pangsa pengeluaran makanan/minuman jadi cenderung naik sejalan dengan peningkatan pendapatan. Tabel 19 No 1
2
3
4 5 6 7 8 9 10 11 12
Pangsa pengeluaran pangan menurut kelompok pangan dan kelas pendapatan (%) Kelompok pangan Rendah Sedang Tinggi Padi-padian 23.89 15.98 9.99 -Beras 22.84 15.44 9.58 -Jagung 0.80 0.25 0.14 -Terigu dan turunannya 2.23 2.37 2.08 Umbi-umbian 1.81 1.22 1.08 -Ubi kayu 0.75 0.48 0.28 -Ubi jalar 0.54 0.22 0.27 Pangan hewani 16.10 20.08 21.59 -Ikan 9.14 9.97 9.01 -Daging 2.58 4.28 6.19 -Telur dan susu 4.38 5.83 6.39 Sayuran 9.39 8.36 6.87 Kacang-kacangan 3.87 3.17 2.43 Buah-buahan 3.14 3.96 5.06 Minyak dan lemak 4.67 3.97 3.08 Bahan minuman 5.96 5.08 4.20 Bumbu-bumbuan 2.92 2.69 2.30 Konsumsi lainnya 0.61 0.66 0.77 Makanan/minuman jadi 14.95 20.80 29.61 Tembakau dan sirih 10.73 11.97 11.23 Total 100 100 100 Tabel 20 menunjukkan bahwa pangsa pengeluaran beras menunjukkan
angka yang paling besar di antara pangan strategis yang lain, yaitu sebesar 14.99%. Hal ini diduga karena fungsi beras sebagai pangan pokok sumber energi. Sebagai pangan sumber energi, jagung, ubi kayu, dan ubi jalar memiliki pangsa pengeluaran yang masih rendah. Hal ini menjadi bukti bahwa pangan-pangan tersebut belum bisa menggantikan nasi sebagai makanan pokok.
43
Pangsa pengeluaran terigu dan turunannya didominasi oleh mi instan. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat memilih mi instan karena praktis untuk dikonsumsi dan memiliki rasa yang enak. Pangsa pengeluaran kedelai dan turunannya, gula pasir, dan minyak goreng menunjukkan angka yang tidak berbeda jauh. Sementara itu, pangsa pengeluaran daging sapi masih sangat rendah, yaitu 0.84%. Hampir seluruh pangan strategis menunjukkan pangsa pengeluaran yang lebih tinggi di pedesaan dibandingkan dengan di perkotaan. Pengecualian terdapat pada komoditas daging sapi. Hal ini dikarenakan konsumsi daging sapi lebih tinggi di perkotaan daripada di pedesaan. Secara konsisten, seluruh pangan strategis, kecuali terigu dan turunannya serta daging sapi, memiliki pangsa pengeluaran yang cenderung semakin menurun sejalan dengan peningkatan pendapatan. Karena sifatnya sebagai pangan superior, daging sapi memiliki pangsa pengeluaran yang meningkat dengan naiknya pendapatan. Tabel 20 Pangsa pengeluaran pangan strategis terhadap pengeluaran pangan menurut wilayah dan kelas pendapatan (%) Wil/ Kls B J UK UJ TER MIN MIB K G D M pdpt Wil Nas 14.99 0.34 0.47 0.31 2.23 1.90 0.03 2.94 2.82 0.84 3.07 K 10.79 0.11 0.21 0.10 2.15 1.89 0.03 2.84 2.20 1.20 2.59 D 19.28 0.57 0.73 0.53 2.31 1.91 0.04 3.05 3.45 0.48 3.57 Kls pdpt R 22.84 0.80 0.75 0.54 2.23 1.93 0.03 3.77 3.61 0.27 3.82 S 15.44 0.25 0.48 0.22 2.37 2.01 0.04 3.08 2.97 0.64 3.23 T 9.58 0.14 0.28 0.27 2.08 1.76 0.04 2.28 2.16 1.41 2.43 Keterangan: Wil=Wilayah; Kls pdpt=Kelas pendapatan; Nas=Nasional; K=Kota; D=Desa; R=Rendah; S=Sedang; T=Tinggi; B=Beras; J=Jagung; UK=Ubi kayu; UJ=Ubi jalar; TER=Terigu dan turunannya; MIN=Mi instan; MIB=Mi basah; K=Kedelai dan turunannya; G=Gula pasir; D=Daging sapi; M=Minyak goreng
Skor Pola Pangan Harapan Skor PPH sebesar 78.6 menunjukkan bahwa secara umum, Indonesia memiliki kualitas konsumsi pangan yang masih relatif rendah sehingga masih perlu ditingkatkan. Kelompok pangan yang telah memenuhi skor maksimal adalah padi-padian dan buah/biji berminyak. Kualitas konsumsi pangan di kota lebih tinggi dibandingkan di desa, tercermin dari skor PPH kota (81.9) yang lebih tinggi daripada di desa (76.1).
44
Tabel 21 Skor Pola Pangan Harapan (PPH) No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Kelompok Pangan Padi-padian Umbi-umbian Pangan Hewani Minyak dan Lemak Buah/Biji Berminyak Kacang-kacangan Gula Sayur dan Buah Lain-lain Total
Nasional 25.0 2.0 14.6 4.8 1.0 7.8 0.3 23.1 0.0 78.6
Skor PPH Kota 25.0 1.0 19.6 4.9 0.9 8.3 0.3 21.8 0.0 81.9
Desa 25.0 2.5 11.1 4.7 1.0 7.6 0.3 23.9 0.0 76.1
Skor PPH dapat pula mencerminkan tingkat keragaman pangan yang dikonsumsi sehingga lebih tingginya skor tersebut di perkotaan dapat menjadi indikator lebih beragamnya pangan yang dikonsumsi. Beraneka ragam pola makan di kota disebabkan berbagai hal, seperti tersedianya jenis makanan jadi yang tersedia di berbagai tempat. Skor maksimal kelompok pangan padi-padian telah sama-sama terpenuhi di kota dan di desa. Masyarakat perkotaan sudah lebih baik dalam pemenuhan pangan kelompok pangan hewani, minyak dan lemak, serta kacang-kacangan dibandingkan dengan masyarakat pedesaan. Elastisitas Permintaan Pangan Strategis Elastisitas Permintaan Beras Tabel 22 menunjukkan bahwa permintaan beras kurang elastis terhadap harga. Makanan bersifat kurang elastis karena termasuk kebutuhan pokok (Kuntjoro 1984). Nilai elastisitas harga beras sebesar -0.88 ini lebih besar dari penelitian Dianarafah (1999) dan Rachman (2001) yang mendapatkan hasil elastisitas harga beras, masing-masing sebesar -0.48 dan -0.64. Tabel 22 Elastisitas permintaan beras Wilayah Variabel Nas Kota Harga beras -0.88A -0.87A Harga jagung -0.15A -0.20B Harga ubi kayu -0.09 -0.11 Harga ubi jalar 0.02 0.11 Harga mi instan -0.05 0.05 Pendapatan 0.42A 0.20B Keterangan: Nas=Nasional; taraf 10%
A
Desa -0.98A -0.13B -0.09 0.02 -0.10 0.64A
Kelas Pendapatan Rendah Sedang Tinggi -1.04A -0.86A -0.32 B -0.18 -0.21A -0.17B -0.13 -0.25B 0.13 0.01 0.17 -0.17 -0.24B -0.03 0.29 0.77A 0.52B -0.19
Pengaruh nyata pada taraf 1%;
B
Pengaruh nyata pada
Nilai elastisitas harga beras di desa lebih tinggi daripada di kota. Hasil ini sesuai dengan hasil penelitian Dianarafah (1999) dengan hasil elastisitas harga
45
beras lebih tinggi di desa (-0.62) daripada di kota (-0.24). Penelitian Rachman (2001) menunjukkan hasil yang berbeda dengan nilai elastisitas harga beras lebih tinggi di kota (-0.74) dibandingkan dengan di desa (-0.55). Pada kelompok pendapatan rendah, beras bersifat elastis. Hal ini menunjukkan bahwa rumah tangga tersebut merupakan pihak yang paling terpengaruh dengan perubahan harga. Kenaikan kecil harga beras akan menurunkan permintaan beras rumah tangga miskin dalam jumlah besar. Semakin tinggi pendapatan, permintaan beras cenderung semakin kurang elastis terhadap harga beras. Hasil ini juga diperoleh Dianarafah (1999) dan Rachman (2001). Harga jagung yang meningkat menurunkan permintaan beras. Dengan hasil tersebut, jagung dapat bersifat komplementer terhadap beras. Beras dalam bentuk nasi dikonsumsi bersamaan dengan olahan jagung sebagai pelengkap atau lauk. Elastisitas silang jagung terhadap beras lebih besar di kota dibandingkan di desa. Nilai elastisitas pendapatan di desa lebih tinggi dibandingkan di kota. Hasil yang sama didapatkan Dianarafah (1999) dengan nilai 0.74 di desa dan 0.50 di kota, namun berbeda dengan hasil Rachman (2001) dengan nilai 0.51 di desa dan 0.78 di kota. Di desa, peningkatan pendapatan akan meningkatkan permintaan beras dalam jumlah besar. Hal ini berkaitan pula dengan nilai sosial yang lebih tinggi di desa dibandingkan di kota. Kenaikan pendapatan pada rumah tangga berpendapatan tinggi akan menurunkan permintaan beras. Dengan kata lain, pada rumah tangga berpendapatan tinggi, beras dianggap pangan inferior. Elastisitas Permintaan Jagung Jagung memiliki elastisitas harga yang elastis di seluruh kategori wilayah dan kelas pendapatan. Hal ini menunjukkan bahwa jagung (bentuk olahan tertentu) merupakan pangan mewah bagi rumah tangga di berbagai wilayah dan kelas pendapatan. Berdasarkan hasil, seluruh pangan lain yang dianalisis memiliki
sifat
subtitusi,
kenaikan
harga
pangan-pangan
tersebut
akan
meningkatkan permintaan jagung. Nilai elastisitas pendapatan jagung secara nasional sangat kecil, bahkan mencapai angka 0.00 pada kelompok pendapatan rendah. Hal ini menunjukkan tidak ada kenaikan permintaan jagung walaupun pendapatan meningkat. Pada kelompok pendapatan sedang, kenaikan harga jagung akan menurunkan permintaannya. Hal ini diduga karena bagi rumah tangga tersebut, jagung merupakan pangan inferior.
46
Tabel 23 Elastisitas permintaan jagung Wilayah Variabel Nas Kota Harga jagung -1.36A -1.16A Harga beras 0.26B 0.32 Harga ubi kayu 0.09 -0.13 Harga ubi jalar 0.29A 0.28 Harga mi instan 0.23B 0.03 Pendapatan 0.09 0.28B
Desa -1.43A 0.12 0.16 0.36A 0.20 0.27A
Kelas Pendapatan Rendah Sedang Tinggi -1.45A -1.49A -1.04A 0.07 -0.09 0.58B B 0.30 0.20 -0.54B B 0.18 0.30 0.34B 0.29 0.07 0.24 0.00 -0.24 0.11
Keterangan: Nas=Nasional; A Pengaruh nyata pada taraf 1%; taraf 10%
B
Pengaruh nyata pada
Elastisitas Permintaan Ubi Kayu Permintaan ubi kayu kurang elastis terhadap harganya, kecuali pada rumah tangga berpendapatan tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa ubi kayu (bentuk olahan tertentu) merupakan pangan mewah bagi rumah tangga tersebut. Perubahan permintaan ubi kayu akibat perubahan harganya lebih elastis di kota dibandingkan dengan di desa, ditunjukkan dengan nilai elastisitas masing-masing -0.89 dan -0.54. kenaikan harga jagung akan menurunkan permintaan ubi kayu, berkaitan dengan sifat jagung sebagai komplementer dari ubi kayu. Masingmasing daerah di Indonesia memiliki bentuk campuran jagung dan ubi kayu yang khas. Kenaikan harga mi instan secara elastis, akan meningkatkan permintaan ubi kayu pada kelompok pendapatan tinggi. Tabel 24 Elastisitas permintaan ubi kayu Wilayah Variabel Nas Kota Desa Harga ubi kayu -0.61A -0.89A -0.54A Harga beras 0.18 -0.15 0.04 Harga jagung -0.28A -0.30A -0.25A Harga ubi jalar 0.51A 0.63A 0.50A B Harga mi instan 0.28 0.18 0.23B B Pendapatan 0.16 0.05 0.46A Keterangan: Nas=Nasional; taraf 10%
A
Kelas Pendapatan Rendah Sedang Tinggi -0.43A -0.61A -1.13A 0.08 0.02 0.38 -0.20 -0.35A -0.32A 0.38B 0.53A 0.53A B 0.40 -0.05 1.44A B 0.53 0.09 -0.18
Pengaruh nyata pada taraf 1%;
B
Pengaruh nyata pada
Elastisitas pendapatan ubi kayu di desa jauh lebih tinggi dibandingkan di desa. Hal ini diduga karena masyarakat pedesaan masih mengkonsumsi ubi kayu sebagai pangan sumber energi. Elastisitas pendapatan paling elastis pada rumah tangga berpendapatan rendah. Rumah tangga tersebut masih memilih ubi kayu untuk dikonsumsi agar dapat memenuhi kebutuhan gizi. Hasil ini sesuai pula dengan penelitian Rachman (2001). Elastisitas pendapatan yang bernilai negatif pada kelompok pendapatan tinggi menunjukkan bahwa ubi kayu tidak dipilih kelompok tersebut untuk dikonsumsi.
47
Elastisitas Permintaan Ubi Jalar Permintaan ubi jalar tidak elastis terhadap harganya, berlawanan dengan hasil yang didapat Rachman (2001) bahwa umbi-umbian bersifat elastis. Elastisitas harga ubi jalar di kota bernilai positif walaupun angkanya sangat kecil. Hal ini berarti kenaikan harga ubi jalar justru akan meningkatkan permintaannya. Perubahan permintaan jalar akibat perubahan harga ubi kayu lebih elastis pada kelompok berpendapatan rendah, sesuai dengan penelitian Rachman (2001). Kelompok ini merupakan kelompok yang paling sengsara dengan adanya kenaikan harga ubi jalar. Tabel 25 Elastisitas permintaan ubi jalar Wilayah Variabel Nas Kota Desa B Harga ubi jalar -0.20 0.03 -0.28A B Harga beras 0.24 -0.23 0.16 Harga jagung -0.20A -0.31A -0.12B Harga ubi kayu 0.01 -0.26B 0.08 A Harga mi instan 0.31 0.21 0.29A Pendapatan 0.12B -0.01 0.34A
Kelas Pendapatan Rendah Sedang Tinggi A -0.42 -0.10 -0.18 0.11 0.21 0.47B -0.02 -0.32A -0.26A 0.18 -0.01 -0.28B B 0.37 0.10 1.02A 0.37 0.25 -0.11
Keterangan: Nas=Nasional; A Pengaruh nyata pada taraf 1%; taraf 10%
B
Pengaruh nyata pada
Kenaikan harga beras dan mi instan akan meningkatkan permintaan ubi jalar sehingga pangan-pangan tersebut dapat disebut sebagai pangan subtitusi ubi kayu. Jagung merupakan pangan komplementer dari ubi jalar karena kenaikan harga jagung akan menurunkan permintaan ubi jalar. Secara umum, pengaruh harga pangan lain terhadap permintaan ubi jalar lebih terlihat di kota dibandingkan dengan di desa dan pada kelompok pendapatan tinggi. Pendapatan yang meningkat akan meningkatkan permintaan ubi kayu walaupun dalam jumlah kecil. Hasil ini berlawanan dengan hasil Rachman (2001) bahwa elastisitas pendapatan ubi jalar bersifat elastis. Permintaan ubi jalar terhadap pendapatan lebih elastis di desa dibandingkan di kota dan pada kelompok pendapatan rendah, sesuai dengan hasil penelitian Rachman (2001). Hal ini karena ubi jalar banyak dikonsumsi rumah tangga pedesaan dan rumah tangga berpendapatan rendah. Elastisitas Permintaan Terigu dan Turunannya Permintaan terigu dan turunannya elastis terhadap harganya, kecuali di kota. Hal ini diduga karena di kota, terigu dan turunannya termasuk kebutuhan pokok untuk dikonsumsi. Pada kelompok pendapatan sedang, terigu dan turunannya bersifat unitary elastis, perubahan permintaannya tepat sama dengan
48
perubahan harganya (proporsional). Hasil ini tidak berbeda jauh dengan hasil penelitian Rachman (2001) yang menemukan bahwa elastisitas harga mi/terigu sebesar -1.15. Pengaruh perubahan harga terigu dan turunannya terhadap permintaannya paling terlihat pada kelompok pendapatan tinggi. Hal ini berarti terigu dan turunannya termasuk pangan mewah bagi kelompok tersebut. Secara konsisten pada seluruh kategori wilayah dan kelas pendapatan, beras bersifat subtitusi terhadap terigu dan turunannya. Perubahan permintaan terigu dan turunannya akibat perubahan harga pangan lain secara umum lebih elastis di kota dan pada kelompok berpendapatan tinggi. Pendapatan yang meningkat cenderung akan meningkatkan permintaan terigu dan turunannya. Elastisitas pendapatan paling tidak elastis pada kelompok pendapatan tinggi. Tabel 26 Elastisitas permintaan terigu dan turunannya Wilayah Kelas Pendapatan Variabel Nas Kota Desa Rendah Sedang Tinggi Harga terigu dan -1.07A -0.98A -1.08A -1.04A -1.00A -1.32A turunannya Harga beras 0.15 0.72B 0.11 -0.02 0.26 0.49B B Harga jagung 0.05 0.09 0.05 0.22 -0.03 0.01 Harga ubi kayu 0.17B -0.12 0.23A 0.22B 0.28B -0.08 Harga ubi jalar 0.03 0.41B -0.08 -0.05 -0.13 0.35B A B A B A Pendapatan 0.50 0.22 0.56 0.38 0.72 0.17 A
Keterangan: Nas=Nasional; Pengaruh nyata pada taraf 1%; taraf 10%
B
Pengaruh nyata pada
Elastisitas Permintaan Mi Instan Permintaan mi instan kurang elastis terhadap perubahan harganya. Elastisitas harga mi instan paling tidak elastis pada kelompok pendapatan tinggi. Hal ini karena kelompok pendapatan tinggi paling banyak mengkonsumsi mi instan. Nilai elastisitas harga yang sama antara kota dan desa menunjukkan bahwa perubahan harga mi instan memberikan pengaruh dalam jumlah yang sama terhadap permintaannya di kedua wilayah tersebut. Tabel 27 Elastisitas permintaan mi instan Wilayah Variabel Nas Kota Desa Harga mi instan -0.86A -0.85A -0.85A Harga beras -0.01 0.51 -0.03 Harga jagung -0.03 -0.03 -0.03 Harga ubi kayu 0.05 -0.28B 0.12 Harga ubi jalar 0.06 0.41A -0.04 Pendapatan 0.52A 0.23B 0.56A A
Kelas Pendapatan Rendah Sedang Tinggi -0.91A -0.95A -0.59B -0.33 0.13 0.03 0.01 -0.14B 0.04 0.01 0.17B -0.20 -0.04 -0.04 0.28 0.19 0.79A 0.31
Keterangan: Nas=Nasional; Pengaruh nyata pada taraf 1%; taraf 10%
B
Pengaruh nyata pada
49
Elastisitas pendapatan mi instan lebih tinggi di desa dibandingkan di kota. Hal ini diduga karena mi instan banyak dikonsumsi masyarakat pedesaan untuk memenuhi kebutuhan gizinya. Nilai elastisitas pendapatan paling tidak elastis pada kelompok pendapatan rendah. Kelompok tersebut tidak banyak yang memilih mi instan untuk dikonsumsi. Elastisitas Permintaan Mi Basah Permintaan mi basah bersifat kurang elastis terhadap harganya. Hasil ini berbeda dengan yang didapatkan Rachman (2001) bahwa mi/terigu bersifat elastis. Tidak tersedianya nilai elastisitas bagi kelas pedapatan rendah disebabkan oleh ketidaklengkapan data yang tersedia dan terlampau kecilnya sampel yang dianalisis. Tabel 28 Elastisitas permintaan mi basah Wilayah Variabel Nas Kota Desa Harga mi basah -0.80A -0.76 -0.82A Harga beras 0.69 -0.13 0.47 Harga jagung -0.11 -0.15 0.15 Harga ubi kayu -0.35B -1.33 -0.29B Harga ubi jalar 0.57B 1.51 0.30 Harga mi instan 0.95B 0.54 0.30 Pendapatan 0.08 -0.10 0.48 A
Kelas Pendapatan Rendah Sedang Tinggi na -0.93B -0.82A na 0.19 1.13 na 0.23 -0.11 na -0.22 -0.50 na 0.05 0.43 na 0.84 1.06B na 0.87 -0.55
Keterangan: Nas=Nasional; Pengaruh nyata pada taraf 1%; taraf 10%; na=not available (tidak tersedia)
B
Pengaruh nyata pada
Beras dan mi instan memiliki elastisitas silang terhadap mi basah yang elastis pada kelompok pendapatan tinggi. Kenaikan harga ubi kayu akan menurunkan permintaan mi basah secara elastis di kota. Di sisi lain, kenaikan harga ubi jalar akan meningkatkan permintaan mi basah secara elastis di kota. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat perkotaan memilih mi basah dibanding ubi jalar untuk memenuhi konsumsinya. Secara umum, pengaruh perubahan harga pangan lain terhadap permintaan mi basah lebih terlihat di perkotaan. Pendapatan yang meningkat akan meningkatkan permintaan mi basah walaupun dalam jumlah yang sangat kecil. Hasil ini berbeda dengan hasil penelitian Rachman (2001) bahwa mi basah memiliki elastisitas pendapatan elastis. Pada rumah tangga di kota dan berpendapatan tinggi, peningkatan pendapatan justru akan menurunkan konsumsi mi basah. Hal ini diduga karena mi basah kurang praktis untuk dikonsumsi. Tabel 27 dan 28 menunjukkan bahwa rumah tangga berpendapatan tinggi mengurangi permintaan mi basah, namun tidak mengurangi permintaan mi instan.
50
Sesuai dengan hasil penelitian Ariani et al. (2000), rumah tangga berpendapatan tinggi cenderung memilih untuk mengkonsumsi pangan yang lebih praktis, seperti mi instan, sehingga konsumsinya meningkat. Konsumsi mi basah yang menurun merupakan konsumsi di dalam rumah. Rumah tangga berpendapatan tinggi lebih banyak mengkonsumsi mi basah sebagai makanan jadi yang dibeli di luar rumah karena prinsip kepraktisan. Elastisitas Permintaan Kedelai dan Turunannya Elastisitas harga kedelai dan turunannya bersifat elastis, kecuali di desa dan pada kelompok pendapatan sedang. Permintaan menjadi sangat sensitif terhadap perubahan harga kedelai bagi bahan makanan pokok yang berprotein tinggi (Tabor 1988 diacu dalam Daris 1993). Pengaruh perubahan harga kedelai dan turunannya paling elastis terdapat pada kelompok pendapatan rendah, sesuai dengan pernyataan Kuntjoro (1984) bahwa rumah tangga yang berpendapatan rendah memperlihatkan daya konsumsi yang elastis dengan pangan nabati. Tabel 29 Elastisitas permintaan kedelai dan turunannya Wilayah Kelas Pendapatan Variabel Nas Kota Desa Rendah Sedang Tinggi Harga kedelai dan -1.03A -1.06A -0.87A -1.10A -0.94 A -1.05A turunannya Harga ikan segar -0.06 -0.06 -0.07 0.02 0.07 -0.12B B B Harga ikan asin -0.06 -0.09 0.00 -0.03 -0.08 -0.05 Harga daging sapi 0.05 0.01 0.14 0.56B -0.07 0.08 Harga daging ayam -0.09 -0.14 0.04 -0.43 -0.07 -0.08 Harga telur -0.13B -0.08 -0.20 -0.77B -0.29B -0.05 A A A Pendapatan 0.33 0.32 0.24 0.51 0.47A 0.33A A
Keterangan: Nas=Nasional; Pengaruh nyata pada taraf 1%; taraf 10%
Kenaikan
harga
kedelai
dan
turunannya
B
Pengaruh nyata pada
akan
meningkatkan
permintaannya dalam jumlah besar pada kelompok berpendapatan rendah. Selain itu, permintaan kedelai dan turunannya paling elastis pada kelompok pendapatan rendah. Kedua hal ini menunjukkan bahwa kelompok tersebut lebih memilih kedelai dan turunannya untuk dikonsumsi sebagai sumber protein yang harganya lebih terjangkau. Elastisitas Permintaan Gula Pasir Permintaan gula pasir kurang elastis terhadap harganya. Elastisitas harga gula pasir lebih tinggi di kota dibandingkan di desa. Hal ini diduga karena masyarakat perkotaan banyak yang mengkonsumsi gula pasir. Pengaruh
51
perubahan harga kedelai paling elastis pada kelompok pendapatan rendah. Selain itu, permintaan gula pasir terhadap pendapatan juga paling elastis pada rumah tangga berpendapatan rendah. Kelompok tersebut paling terpengaruh dengan kenaikan harga gula pasir sehingga menurunkan permintaannya dalam jumlah besar. Harga gula merah yang meningkat dapat mendorong masyarakat menggunakan gula pasir. Tabel 30 Elastisitas permintaan gula pasir Wilayah Variabel Nas Kota Harga gula pasir -0.79A -0.94A Harga gula merah 0.02B 0.02 Pendapatan 0.38A 0.34A
Desa -0.75A 0.05B 0.55A
Kelas Pendapatan Rendah Sedang Tinggi -0.87A -0.76A -0.79A -0.01 0.01 0.08A A A 0.54 0.43 0.13A
A
Keterangan: Nas=Nasional; Pengaruh nyata pada taraf 1%; taraf 10%
B
Pengaruh nyata pada
Elastisitas Permintaan Daging sapi Elastisitas harga daging menunjukkan tanda negatif, sejalan dengan fungsi permintaan yang mempunyai arah yang negatif (Utari 1996). Permintaan daging sapi tidak elastis terhadap harganya. Hal ini berbeda dengan hasil penelitian Martianto (1995) yang menyebutkan bahwa daging ternak umumnya responsif terhadap perubahan harga. Tabel 31 Elastisitas permintaan daging sapi Wilayah Variabel Nas Kota Desa Harga daging sapi -0.54A -0.55A -0.47A Harga daging ayam 0.09B 0.04 0.26B A B Harga telur 0.15 0.12 0.16 Pendapatan 0.55A 0.56A 0.74A A
Kelas Pendapatan Rendah Sedang Tinggi -0.43B -0.67A -0.48A A -0.38 0.28 0.07 0.30 0.26A 0.09 0.50 0.85A 0.51A
Keterangan: Nas=Nasional; Pengaruh nyata pada taraf 1%; taraf 10%
B
Pengaruh nyata pada
Secara konsisten, kenaikan harga telur akan meningkatkan permintaan daging sapi di seluruh kategori wilayah dan kelas pendapatan. Hal ini menunjukkan bahwa telur dapat dijadikan pangan subtitusi dari daging sapi sebagai pangan hewani. Elastisitas pendapatan daging sapi lebih elastis di desa dibanding di kota. Hal ini menjadi bukti bahwa nilai sosial pangan hewani di desa masih sangat tinggi (Martianto 1995). Elastisitas Permintaan Minyak goreng Tabel 32 menunjukkan bahwa permintaan minyak bersifat kurang elastis terhadap perubahan harga. Sesuai dengan hasil yang diperoleh Darmawan, Rusastra dan Sjafa’at (1984), permintaan minyak juga bersifat kurang elastis
52
terhadap perubahan pendapatan. Elastisitas harga minyak goreng di kota lebih tinggi dibandingkan dengan di desa. Hal yang berlawananan terjadi pada elastisitas pendapatan. Minyak goreng merupakan bahan kebutuhan pokok masyarakat di seluruh kelas pendapatan. Pangan yang diolah menggunakan minyak goreng memiliki rasa, tekstur, dan bau yang disukai masyarakat. Pengolahan menggunakan minyak goreng juga dapat meningkatkan napsu makan (Sumaryanto & Rantetana 1996). Semakin tinggi pendapatan, permintaan minyak goreng secara konsisten cenderung semakin kurang elastis. Tabel 32 Elastisitas permintaan minyak goreng Wilayah Variabel Nas Kota Desa Harga minyak A A -0.69 -0.71 -0.68A goreng Pendapatan 0.43A 0.41A 0.54A
Kelas Pendapatan Rendah Sedang Tinggi -0.73A
-0.70A
-0.57A
0.65A
0.41A
0.23A
A
Keterangan: Nas=Nasional; Pengaruh nyata pada taraf 1%
Implikasi Elastisitas Permintaan Pangan Strategis terhadap Konsumsi dan Upaya Perbaikan Konsumsi Pangan Masyarakat Perubahan harga dan pendapatan pangan strategis memiliki implikasi terhadap konsumsi pangan. Secara khusus, perubahan harga pangan berupa kenaikan harga dapat memberikan pengaruh langsung terhadap kuantitas konsumsi pangan (cateris paribus). Salah satu contoh bentuk simulasi tersebut dapat dilihat pada Tabel 33. Konsumsi awal merupakan konsumsi aktual masyarakat, sebelum terjadi kenaikan harga. Melalui Tabel 33, terlihat jelas bahwa penurunan konsumsi lebih rendah dibandingkan persentase kenaikan harga. Dengan persentase kenaikan harga yang sama, penurunan konsumsi di desa lebih tinggi dibandingkan di kota. Hal ini terkait dengan tingkat kesejahteraan yang lebih rendah di desa sehingga pengaruh kenaikan harga akan lebih terlihat pada rumah tangga pedesaan. Dengan persentase kenaikan harga yang sama, penurunan konsumsi paling besar terdapat pada rumah tangga dengan pendapatan rendah. Hal ini menunjukkan bahwa rumah tangga tersebut merupakan rumah tangga yang paling merasakan dampak kenaikan harga. Konsumsi rumah tangga tersebut akan mengalami penurunan dalam jumlah besar saat terjadi kenaikan harga sehingga AKG semakin sulit untuk dipenuhi.
53
Tabel 33 Simulasi kenaikan harga pangan strategis terhadap konsumsi pangan strategis sebesar 20%, 30%, dan 50% (kg/kap/th) Harga Jenis Wilayah Kelas Pendapatan Naik Pangan Nas Kota Desa Rendah Sedang Tinggi Awal 100.52 85.97 110.53 94.01 103.73 107.11 20% 82.83 71.01 88.87 74.46 85.89 100.25 Beras 30% 73.98 63.53 78.03 64.68 76.97 96.83 50% 56.29 48.57 56.37 45.12 59.13 89.97 Awal 3.36 0.82 5.11 5.24 2.31 1.68 20% 2.45 0.63 3.65 3.72 1.62 1.33 Jagung 30% 1.99 0.53 2.92 2.96 1.28 1.16 50% 1.08 0.34 1.46 1.44 0.59 0.81 Awal 11.67 5.49 15.93 12.11 11.60 10.96 20% 10.25 4.51 14.21 11.07 10.18 8.48 Ubi kayu 30% 9.53 4.02 13.35 10.55 9.48 7.24 50% 8.11 3.05 11.63 9.51 8.06 4.77 Awal 4.10 1.70 5.76 4.81 3.35 4.21 20% 3.94 1.71 5.44 4.41 3.28 4.06 Ubi jalar 30% 3.85 1.72 5.28 4.20 3.25 3.98 50% 3.69 1.73 4.95 3.80 3.18 3.83 Awal 5.09 5.77 4.63 2.99 5.45 8.59 Terigu dan 20% 4.00 4.64 3.63 2.37 4.36 6.32 turunan 30% 3.46 4.07 3.13 2.06 3.82 5.19 nya 50% 2.37 2.94 2.13 1.44 2.73 2.92 Awal 3.39 4.11 2.90 2.09 3.62 5.54 Mi 20% 2.81 3.41 2.41 1.71 2.93 4.89 instan 30% 2.52 3.06 2.16 1.52 2.59 4.56 50% 1.93 2.36 1.67 1.14 1.90 3.91 Awal 0.22 0.26 0.19 0.11 0.23 0.44 Mi 20% 0.18 0.22 0.16 0.11 0.19 0.37 basah 30% 0.17 0.20 0.14 0.11 0.17 0.33 50% 0.13 0.16 0.11 0.11 0.12 0.26 Awal 7.29 8.56 6.41 5.78 7.66 9.56 Kedelai dan 20% 5.79 6.75 5.29 4.51 6.22 7.55 turunan 30% 5.04 5.84 4.74 3.87 5.50 6.55 nya 50% 3.54 4.02 3.62 2.60 4.06 4.54 Awal 9.64 9.52 9.72 7.24 10.21 13.30 Gula 20% 8.12 7.73 8.26 5.98 8.66 11.20 pasir 30% 7.36 6.84 7.53 5.35 7.88 10.15 50% 5.83 5.05 6.08 4.09 6.33 8.05 Awal 0.51 0.87 0.26 0.11 0.40 1.53 Daging 20% 0.45 0.77 0.24 0.10 0.35 1.38 sapi 30% 0.43 0.73 0.22 0.10 0.32 1.31 50% 0.37 0.63 0.20 0.09 0.27 1.16 Awal 9.00 9.23 8.83 6.70 9.56 12.45 Minyak 20% 7.76 7.92 7.63 5.72 8.22 11.03 goreng 30% 7.14 7.26 7.03 5.23 7.55 10.32 50% 5.90 5.95 5.83 4.25 6.21 8.90
54
Elastisitas permintaan pangan strategis memberikan implikasi terhadap konsumsi dan upaya perbaikan konsumsi pangan masyarakat. Adapun beberapa implikasi tersebut adalah sebagai berikut: 1. Kenaikan harga pangan strategis akan menurunkan konsumsinya, walaupun umumnya tidak elastis. Oleh karena itu, upaya menstabilkan harga pangan sangat penting agar perbaikan konsumsi masyarakat dapat tercapai. 2. Hampir seluruh pangan strategis memiliki elastisitas pendapatan yang kurang elastis. Dengan kata lain, peningkatan pendapatan tidak meningkatkan konsumsi pangan dalam jumlah besar. Oleh karena itu, perbaikan konsumsi pangan memerlukan stimulus peningkatan pendapatan yang cukup tinggi. 3. Beras memiliki sifat elastis pada rumah tangga berpendapatan rendah (miskin). Rumah tangga tersebut juga merupakan rumah tangga yang paling sedikit mengkonsumsi pangan hewani dan memiliki kualitas konsumsi yang masih rendah, sementara AKG juga belum dapat dicapai. Rumah tangga tersebut paling besar menurunkan konsumsinya saat terjadi kenaikan harga. Oleh karena itu, perbaikan konsumsi pangan masyarakat miskin harus dilakukan dengan berbagai program yang relevan, misalnya program bantuan langsung, baik dalam bentuk dana seperti Bantuan Langsung Tunai (BLT), pangan seperti Raskin, maupun subsidi pangan, serta program perluasan kesempatan kerja. Peningkatan jumlah anggaran penanggulangan kemiskinan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang mencapai hampir 2 kali lipat dari 23 trilyun rupiah pada tahun 2005 menjadi 42 trilyun rupiah pada tahun 2006 ternyata tidak dapat menurunkan jumlah penduduk miskin di Indonesia. Kenyataannya, persentase penduduk miskin justru mengalami peningkatan dari 35.10% pada tahun 2005 menjadi 39.00% pada tahun 2006. Hal ini menunjukkan bahwa program bantuan langsung, baik berupa dana, pangan, maupun subsidi, bagi masyarakat miskin kurang efektif untuk menanggulangi kemiskinan.
Oleh karena
itu,
program penanggulangan perlu lebih
dititikberatkan pada perluasan kesempatan kerja bagi masyarakat miskin dalam upaya memperbaiki konsumsi pangannya. 4. Konsumsi beras aktual rumah tangga di pedesaan adalah 303 g/kap/hr, lebih besar dibandingkan harapan pemerintah, yaitu sebesar 275 g/kap/hr. Oleh karena itu, perlu dilakukan berbagai upaya yang mendukung penurunan
55
konsumsi beras melalui percepatan implementasi program diversifikasi pangan pokok selain beras secara berkelanjutan. 5. Dalam upaya peningkatan konsumsi pangan lokal, seperti jagung, ubi kayu, dan ubi jalar, perlu dilakukan beberapa strategi kebijakan. Adapun strategi tersebut antara lain: 1) peningkatan pengembangan agro industri berbasis pangan lokal sehingga diperoleh berbagai jenis hasil olahan pangan lokal yang sesuai dengan preferensi dan daya beli masyarakat, 2) Komunikasi Informasi Edukasi (KIE) mengenai diversifikasi konsumsi pangan, khususnya pangan lokal, kepada masyarakat dilakukan melalui berbagai media, terutama televisi, secara terus-menerus. Selain itu, upaya lain yang perlu dilakukan adalah mempromosikan hasil-hasil olahan pangan lokal pada acara-acara formal dan informal, seperti rapat, pesta, dan lain-lain.
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan 1. Secara nasional, jumlah konsumsi beras, jagung, ubi kayu, ubi jalar, terigu dan turunannya, mi instan dan mi basah adalah 100.52 kg/kap/th, 3.36 kg/kap/th, 11.67 kg/kap/th, 4.10 kg/kap/th, 5.09 kg/kap/th, 3.39 kg/kap/th, 0.22 kg/kap/th. Sementara itu, jumlah konsumsi kedelai dan turunannya, gula pasir, daging sapi, dan minyak goreng adalah 7.29 kg/kap/th, 9.64 kg/kap/th, 0.51 kg/kap/th, dan 9.00 kg/kap/th. Pangan yang memiliki tingkat partisipasi konsumsi hampir mencapai 100% adalah beras dan gula pasir. Tingkat partisipasi konsumsi minyak goreng berupa minyak sawit lebih tinggi dibandingkan minyak kelapa. Secara nasional, hampir seluruh pangan strategis diperoleh melalui pembelian, kecuali jagung, ubi kayu, dan ubi jalar. Kontribusi energi dari beras mencapai separuh dari total konsumsi energi. Kontribusi protein dari kedelai dan turunannya lebih tinggi dibandingkan dengan daging sapi. Beras memiliki pangsa pengeluaran terbesar diantara pangan strategis
(14.99%). Kualitas konsumsi pangan
yang diukur
berdasarkan PPH menghasilkan skor 78.6 yang mengindikasikan masih relatif rendahnya mutu konsumsi pangan. 2. Secara umum, elastisitas harga pangan strategis nasional tidak elastis, kecuali jagung, terigu dan turunannya, serta kedelai dan turunannya. Elastisitas pendapatan seluruh pangan strategis tidak elastis pada setiap kategori wilayah dan kelas pendapatan. 3. Beberapa implikasi elastisitas permintaan pangan strategis terhadap konsumsi dan upaya perbaikan konsumsi pangan masyarakat adalah 1) kenaikan harga pangan strategis akan menurunkan konsumsinya sehingga kestabilan harga sangat penting, 2) hampir seluruh pangan strategis memiliki elastisitas pendapatan yang kurang elastis sehingga perbaikan konsumsi pangan memerlukan stimulus peningkatan pendapatan yang cukup tinggi, 3) kuantitas dan kualitas konsumsi pangan rumah tangga berpendapatan rendah masih belum sesuai dengan AKG dan PPH sehingga perlu dilakukan perbaikan konsumsi pangan masyarakat miskin melalui berbagai program yang relevan, 4) target penurunan konsumsi beras dan peningkatan kualitas konsumsi pangan masih belum tercapai sehingga program diversifikasi pangan pokok selain beras perlu terus ditingkatkan, 5) untuk meningkatkan konsumsi pangan lokal, seperti jagung, ubi kayu, dan ubi jalar, perlu
57
dilakukan peningkatan pengembangan agro industri berbasis pangan lokal dan Komunikasi Informasi Edukasi (KIE) mengenai diversifikasi konsumsi pangan kepada masyarakat melalui berbagai media, terutama televisi, secara terus-menerus. Saran Analisis permintaan pangan perlu dilakukan secara simultan, seperti Almost Ideal Demand System (AIDS) dan ditambahkan variabel yang lebih lengkap, seperti karakteristik demografi. Program
penanggulangan
kemiskinan
pada
tahun
2006
dengan
memberikan bantuan dana, pangan, dan subsidi bagi masyarakat miskin ternyata kurang efektif walaupun anggaran penanggulangan kemiskinan meningkat. Oleh karena itu, penanggulangan kemiskinan perlu dibarengi dengan program perluasan kesempatan kerja bagi masyarakat miskin. Skor PPH menunjukkan bahwa kualitas konsumsi pangan masih relatif rendah. Oleh karena itu, program peningkatan kualitas konsumsi pangan perlu terus dilakukan secara berkesinambungan. Program penurunan konsumsi beras menjadi 275 g/kap/hr belum sepenuhnya
berhasil.
Upaya
yang dapat dilakukan adalah mendorong
terlaksananya program diversifikasi pangan pokok.
DAFTAR PUSTAKA Amang, B, Simatupang P dan Sjafa’at N. Bogor: IPB Press.
1996.
Ekonomi Minyak Goreng.
_______ & Sawit MH. 2001. Kebijakan Beras dan Pangan Nasional: Pelajaran dari Orde Baru dan Orde Reformasi. Bogor: IPB Press. Anonymous. 2008a. Ketahanan Pangan: Produksi Kedelai Belum Akan Menolong. Harian Umum Kompas, 26 Januari 2008. Anonymous. 2008b. Stabilisasi Pangan: Disiapkan Stimulus Fiskal Rp 13,7 Triliun. Harian Umum Kompas, 2 Februari 2008. Ariani, M dan Saliem HP. 1992. Pola konsumsi pangan pokok di beberapa propinsi di Indonesia. Dalam: Forum Penelitian Agro Ekonomi, 9 & 10 (1 & 2), 86-65. Pusat Penelitian Agro Ekonomi, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian, Bogor. _______, Saliem HP, Hastuti S, Wahida dan Sawit MH. 2000. Dampak Krisis Ekonomi Terhadap Konsumsi Pangan Rumah Tangga. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian, Bogor. _______. 2003. Perkembangan konsumsi gula pasir rumahtangga. Dalam: Simatupang, Editor. Isu Kontemporer Kebijakan Pembangunan Pertanian 2000-2004: Pandangan Peneliti. Sugar Observer. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian, Bogor. _______ dan Pasandaran E. 2005. Pola konsumsi dan permintaan jagung untuk pangan. Dalam: Ekonomi Jagung Indonesia. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian, Bogor. Atmojo, SM dan Rustiawan A. 1990. Sumberdaya gizi hewani. Diktat Jurusan Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga, Fakultas Pertanian, IPB, Bogor. Azahari, DH. 1984. Kajian permintaan minyak goreng pada berbagai golongan pendapatan dan segmen pasar di Indonesia. Dalam: Forum Penelitian Agro Ekonomi. Pusat Penelitian Agro Ekonomi, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian, Bogor. [Balitbangtan] Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. 2005. Rencana Aksi Pemantapan Ketahanan Pangan 2005-2010. Departemen Pertanian, Bogor. Berg, A. 1986. Peranan Gizi dalam Pembangunan Nasional. Terjemahan. Jakarta: CV Rajawali. [BPK Manado] Badan Penelitian Kimia Manado. 1978. Penelitian mutu dan pembuatan kecap. Dalam: BPK Manado-Komunikasi No. 15. Departemen Perindustrian, Jakarta.
59
[BPS] Badan Pusat Statistik. 1992. Bahan-bahan penyusunan indikator kesehatan masyarakat. Jakarta: PT Swaka Manunggal. _______. 2004. Jakarta.
Pengeluaran untuk Konsumsi Penduduk Indonesia 2004.
_______. 2006. Jakarta.
Pengeluaran untuk Konsumsi Penduduk Indonesia 2006.
Daris, E. 1993. Analisis Penawaran dan Permintaan Kedele di Indonesia. Tesis Magister Sains. Sekolah Pascasarjana, IPB, Bogor. Darmawan, DAH, Rusastra IW dan Sjafa’at N. 1984. Kajian permintaan minyak goreng pada berbagai golongan pendapatan dan segmen pasar di Indonesia. Dalam: Forum Penelitian Agro Ekonomi. Pusat Penelitian Agro Ekonomi, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian, Bogor. Daud, LA. 1986. Kajian Sistem Permintaan Makanan Penting di Indonesia: Suatu Penerapan Model Almost Ideal Demand System (AIDS) Dengan Data Susenas 1981. Tesis Magister Sains. Program Pascasarjana, IPB, Bogor. DKP [Dewan Ketahanan Pangan]. 2006. Kebijakan Umum Ketahanan Pangan 2006-2009. Jakarta. Erwidodo, Santoso B, Ariani M, Ariningsih E dan Siagian V. 1998. Perubahan Pola Konsumsi Sumber Protein Hewani di Indonesia: Analisis Data Susenas. Laporan Hasil Penelitian. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian, Bogor. _______, Saliem HP, Ariani M dan Ariningsih E. 1999. Pengkajian Diversifikasi Konsumsi Pangan Utama di Indonesia. Laporan Penelitian. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian, Departemen Pertanian, Bogor. Fachrina, A. 2005. Pola Konsumsi Pangan pada Rumah Tangga Miskin di Pedesaan dan Perkotaan di Lima Propinsi Pulau Jawa. Skripsi Departemen Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga, Fakultas Pertanian, IPB. Gie, KK. 2004. Sambutan Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional. Dalam: Prosiding Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VIII. Jakarta: LIPI. Gujarati, D. 1997. Erlangga.
Ekonometrika Dasar.
Zain, S, Penerjemah.
Jakarta:
Hapsari, MR. 2005. Konsumsi Minyak Goreng pada Rumah Tangga Dengan Karakteristik Sosial Ekonomi Berbeda di Sumatera Utara, DKI Jakarta, Jawa Timur dan Sulawesi Utara. Skripsi Departemen Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga. Fakultas Pertanian, IPB, Bogor.
60
Hardinsyah. 1988. Kuantitas dan kualitas konsumsi pangan penduduk menurut strata ekonomi dan wilayah di Indonesia. Tesis Magister Sains. Program Pascasarjana IPB, Bogor. _______, Baliwati YF, Martianto D, Rachman HS, Widodo 2001. Pengembangan Konsumsi Pangan dengan Pangan Harapan. Pusat Studi Kebijakan Pangan dan dan Pusat Pengembangan Konsumsi Pangan, Badan Pangan (BBKP), Departemen Pertanian, Jakarta.
A dan Subiyakto. Pendekatan Pola Gizi (PSKPG) IPB Bimas Ketahanan
_______, Madanijah S dan Baliwati YF. 2002. Analisis Neraca Bahan Makanan dan Pola Pangan Harapan Untuk Perencanaan Ketersediaan Pangan. Pusat Studi Kebijakan Pangan dan Gizi (PSKPG) dan Pusat Pengembangan Ketersediaan Pangan, Departemen Pertanian, Jakarta. _______, Amalia L dan Setiawan B. 2002. Fortifikasi Tepung Terigu dan Minyak Goreng. Pusat Studi Kebijakan Pangan dan Gizi (PSKPG), Komisi Fortifikasi Nasional (KFN), ADB Manila dan Keystone Center USA. Husaini, YK, Widodo Y, Triwinarto A dan Saliman. 2000. Perubahan pola konsumsi pangan keluarga pada sebelum dan sewaktu krisis ekonomi. Penelitian Gizi dan Makanan, (23), 8-17. Husefra. 1996. Konsumsi Pangan dan Status Gizi Kaitannya Dengan Produktifitas Kerja. Skripsi Sarjana Jurusan Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga, Fakultas Pertanian, IPB, Bogor. Irawan, B. 2002. Elastisitas konsumsi kalori dan protein di tingkat rumah tangga. Dalam: Jurnal Agro Ekonomi, 20 (1), 25-47. Irawan, PB. 1998. Analisis Studi Data Kualitatif: Hasil Survey Dampak Krisis Terhadap Ketahanan Ekonomi Rumah Tangga di Pedesaan. Jakarta: BPS-UNDP. _______. 1999. Analisis Perkembangan dan Dimensi Kemiskinan. Jakarta: BPS-UNDP. _______ dan Romdiati H. 2000. Dampak krisis ekonomi terhadap kemiskinan dan beberapa implikasinya. Dalam: Prosiding Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VII. Jakarta: LIPI. Iwantoro, S. 1987. Analisis Konsumsi Protein Asal Ternak Antar Wilayah di Indonesia. Tesis Magister Sains. Program Pascasarjana, IPB, Bogor. Johnston, J. 1972. Econometric Methods. International Student Edition. New York: McGraw-Hill. Kuntjoro, SU. 1984. Permintaan Bahan Pangan Penting di Indonesia. Disertasi Doktor. Fakultas Pascasarjana, IPB, Bogor. Latief, D, Atmarita, Minarto, Basuni A dan Tilden R. 2000. Konsumsi Pangan Tingkat Rumah Tangga Sebelum dan Selama Krisis Ekonomi. Dalam: Prosiding Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VII. Jakarta: LIPI.
61
Martianto, D, Briawan D dan Dwiriani CM. 1993. Analisis Keanekaragaman Konsumsi Pangan di Propinsi Maluku. Laporan Hasil Penelitian. Pusat Studi Kebijakan Pangan dan Gizi, IPB, Bogor. _______. 1995. Konsumsi dan Permintaan Pangan Hewani di Berbagai Propinsi di Indonesia. Tesis Magister Sains. Program Pascasarjana, IPB, Bogor. _______dan Ariani M. 2004. Analisis perubahan konsumsi dan pola konsumsi pangan masyarakat dalam dekade terakhir. Dalam: Prosiding Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VIII. Jakarta: LIPI. _______, Soekatri, Komari, Mujayanto and Soekirman. 2004. Possibility of Cooking Oil Fortification with Vitamin A: Feasibility Analysis. MI and KFI. Jakarta. Maxwell, DC. 1996. Measuring food insecurity: The frequency and severity of coping strategy. Dalam: Food Policy, 21 (3): 291-303. Mayrowani, H. 1991. Economic Study on Food Consumption in Upland Farms, West Java, Indonesia. Doctoral Dissertation. Division of Agriculture and Forestry, Doctoral Program in Agricultural Sciences, University of Tsukuba, Tsukuba. Pakpahan, A. 2003. Mengharap “Tangan Dingin” Dewan Gula Indonesia. Dalam: Simatupang, Editor. Isu Kontemporer Kebijakan Pembangunan Pertanian 2000-2004: Pandangan Peneliti. Sugar Observer. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian, Bogor. Pasandaran, E dan Kasryno F. 2005. Sekilas ekonomi jagung indonesia: Suatu studi di sentra utama produksi jagung. Dalam: Ekonomi Jagung Indonesia. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian, Bogor. Purba, RP. 2004. Analisis Perubahan Pola Konsumsi Daging di Indonesia. Tesis Magister Sains. Sekolah Pascasarjana, IPB, Bogor. Rachman, HPS dan Erwidodo. 1994. Kajian Sistem Permintaan Pangan di Indonesia. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian, Bogor. Saliem, HP, Lokollo EM, Purwantini TB, Ariani M dan Marisa Y. 2001. Analisis Ketahanan Pangan Tingkat Rumah Tangga dan Regional. Laporan Hasil Penelitian. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian, Bogor. Sanjur, D. 1982. Social and Cultural Perspective in Nutrition. Prentice Hall. Sastraatmadja, E. Indonesia.
2007.
Kharisma Beras.
New York:
Bandung: Masyarakat Geografi
62
Soekirman. 2000. Ilmu Gizi dan Aplikasinya Untuk Keluarga dan Masyarakat. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan Nasional, Jakarta. Sugiarto, Herlambang T, Brastoro, Sudjana R dan Kelana S. 2005. Ekonomi Mikro: Sebuah Kajian Komprehensif. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Suhardjo. 1989. Sosio Budaya Gizi. Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi, IPB, Bogor. _______. 1993. Pola konsumsi ikan di Indonesia. Dalam: Makalah Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi V. Jakarta: LIPI. Suhartini, SH. 2001. Dampak Kebijakan Pemerintah terhadap Keragaan Industri Persusuan di Indonesia. Tesis Magister Sains. Sekolah Pascasarjana, IPB, Bogor. Sumaryanto dan Rantetana M. 1996. Sistim Agribisnis dan Peranan Minyak Goreng dalam Prekonomian Nasional. Bogor: IPB Press. Suryana, A. 2004. Ketahanan Pangan di Indonesia. Dalam: Prosiding Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VIII. Jakarta: LIPI. Syafa’at, N, Ariani M, Mardiyanto S, Kristyantoadi S dan Sayaka B. 2003. Analisis Ketahanan Pangan dalam Era Globalisasi dan Otonomi Daerah. Badan Bimas Ketahanan Pangan dan Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian, Departemen Pertanian, Bogor. Tangendjaya, B, Yusdja Y dan Ilham N. 2005. Analisis ekonomi permintaan jagung untuk pakan. Dalam: Ekonomi Jagung Indonesia. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian, Bogor. Utari, IAP. 1996. Analisis Konsumsi Pangan Sumber Protein Hewani Rumahtangga di Propinsi Bali. Tesis Magister Sains. Sekolah Pascasarjana, IPB, Bogor. Zuraida, N dan Supriati Y. 2001. Usahatani ubi jalar sebagai bahan pangan alternatif dan diversifikasi sumber karbohidrat. Buletin AgroBio 4(1):13-23. Balai Penelitian Bioteknologi Tanaman Pangan, Bogor.
63
Lampiran 1 Perhitungan Pola Pangan Harapan (PPH) Nasional Gram/ Kap/ Hari
Perhitungan Skor Pola Pangan Harapan (PPH)
N o
Kelompok Pangan
1
Padi-padian
343.6
1303.8
66.8
65.2
0.5
33.4
32.6
25.0
2
Umbi-umbian Pangan Hewani Minyak dan Lemak Buah/Biji Berminyak Kacangkacangan Gula Sayur dan Buah Lain-lain
63.7
80.1
4.1
4.0
0.5
2.1
2.0
2.5
2.0
87.8
146.4
7.5
7.3
2.0
15.0
14.6
24.0
14.6
21.5
190.6
9.8
9.5
0.5
4.9
4.8
5.0
4.8
6.4
38.6
2.0
1.9
0.5
1.0
1.0
1.0
1.0
25.4
78.0
4.0
3.9
2.0
8.0
7.8
10.0
7.8
3.9
12.1
0.6
0.6
0.5
0.3
0.3
2.5
0.3
225.4
92.5
4.7
4.6
5.0
23.7
23.1
30.0
23.1
0.0
3 4 5 6 7 8 9
18.1
Total
Energi
%
% AKE*)
10.6
0.5
0.5
1,953
100.0
97.6
Bobot
Skor Aktual
Skor AKE
Skor Maks
Skor PPH 25.0
0.0
0.0
0.0
0.0
88.3
86.2
100.0
78.6
Lampiran 2 Perhitungan Pola Pangan Harapan (PPH) Perkotaan Gram/ Kap/ Hari
Perhitungan Skor Pola Pangan Harapan (PPH)
N o
Kelompok Pangan
1
Padi-padian
319.1
1202.4
64.3
60.1
0.5
32.2
30.1
25.0
25.0
2
Umbi-umbian Pangan Hewani Minyak dan Lemak Buah/Biji Berminyak Kacangkacangan Gula Sayur dan Buah Lain-lain
35.9
41.0
2.2
2.0
0.5
1.1
1.0
2.5
1.0
104.8
196.1
10.5
9.8
2.0
21.0
19.6
24.0
19.6
22.0
196.0
10.5
9.8
0.5
5.2
4.9
5.0
4.9
5.7
37.0
2.0
1.9
0.5
1.0
0.9
1.0
0.9
28.6
83.3
4.5
4.2
2.0
8.9
8.3
10.0
8.3
4.3
12.3
0.7
0.6
0.5
0.3
0.3
2.5
0.3
229.8
87.0
4.7
4.4
5.0
23.3
21.8
30.0
21.8
27.1
14.8
0.8
0.7
0.0
0.0
0.0
0.0
0.0
1,870
100.0
93.5
93.0
86.9
100.0
81.9
3 4 5 6 7 8 9
Total
Energi
%
% AKE*)
Bobot
Skor Aktual
Skor AKE
Skor Maks
Skor PPH
Lampiran 3 Perhitungan Pola Pangan Harapan (PPH) Pedesaan Gram/ Kap/ Hari
Perhitungan Skor Pola Pangan Harapan (PPH)
N o
Kelompok Pangan
1
Padi-padian
360.5
1372.7
68.3
68.6
0.5
34.1
34.3
25.0
2
Umbi-umbian Pangan Hewani Minyak dan Lemak Buah/Biji Berminyak Kacangkacangan Gula Sayur dan Buah Lain-lain
82.4
107.4
5.3
5.4
0.5
2.7
2.7
2.5
2.5
77.1
111.5
5.5
5.6
2.0
11.1
11.1
24.0
11.1
21.1
187.5
9.3
9.4
0.5
4.7
4.7
5.0
4.7
7.0
40.1
2.0
2.0
0.5
1.0
1.0
1.0
1.0
23.4
75.8
3.8
3.8
2.0
7.5
7.6
10.0
7.6
0.5
0.3
0.3
2.5
0.3 23.9
3 4 5 6 7 8 9
Total
Energi
%
% AKE*)
Bobot
Skor Aktual
Skor AKE
Skor Maks
Skor PPH 25.0
3.6
12.0
0.6
0.6
221.8
95.4
4.7
4.8
5.0
23.7
23.9
30.0
11.9
8.0
0.4
0.4
0.0
0.0
0.0
0.0
0.0
2,010
100.0
100.5
85.1
85.6
100.0
76.1
64
Lampiran 4 Hasil uji regresi elastisitas permintaan pangan strategis Nasional Variable qbrs qjag hbrs hjag huky hujl hmie qkdl hkdl hisg hasn hspi haym htlr hmny qmny qgla hgla hglm qspi EXP
N 64684 64684 64684 64684 64684 64684 64684 64684 64684 64684 64684 64684 64684 64684 61472 61472 64684 64684 64684 64684 64684
Mean 8.285999 0.276804 901.3108 92.12783 80.4973 48.12452 2053.23 0.58582 2935.98 1933.43 2990.61 238.9304 1322.22 1911.07 7183.31 2.857298 0.794447 1687.25 381.2008 0.041919 319470.8
Std Dev 4.133132 1.367426 642.949 414.1627 174.109 192.8561 2404.78 0.793972 3947.11 2078.73 4659.3 1555.34 2266.18 2083.92 2405.89 1.887523 0.626018 1259.66 888.091 0.230508 396911.2
Minimum 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1875 0.068571 0 0 0 0 561.8254
Maximum 53.57143 30 10000 12820.51 2000 6000 37500 34.28571 71428.57 30666.67 80000 50000 30000 50000 35000 37.71429 4.714286 10000 10000 18.21429 26663971
N 26364 26364 26364 26364 26364 26364 26364 26364 26364 26364 26364 26364 26364 26364 24694 24694 26364 26364 26364 26364 26364
Mean 7.086538 0.067738 909.2295 93.10707 59.92536 40.57598 2280.54 0.687067 3167.26 2167.11 2919.07 389.0606 1787.47 2009.7 7264.62 3.060135 0.784686 1677.11 400.6699 0.072026 459078.1
Std Dev 3.609855 0.46082 683.4587 474.7061 153.3553 175.8928 2543.72 0.838957 4036.13 2138.21 4700.8 1891.77 2390.73 1887.02 2304.82 2.053711 0.608459 1258.39 885.7156 0.31262 560487.6
Minimum 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1875 0.068571 0 0 0 0 14369.97
Maximum 34.32857 23.35714 10000 12820.51 2000 6000 37500 17.25 71428.57 28000 80000 50000 28000 25000 34957.63 37.71429 4.5 10000 10000 18.21429 26663971
Kota Variable qbrs qjag hbrs hjag huky hujl hmie qkdl hkdl hisg hasn hspi haym htlr hmny qmny qgla hgla hglm qspi EXP
65
Desa Variable qbrs qjag hbrs hjag huky hujl hmie qkdl hkdl hisg hasn hspi haym htlr hmny qmny qgla hgla hglm qspi EXP
N 38320 38320 38320 38320 38320 38320 38320 38320 38320 38320 38320 38320 38320 38320 36778 36778 38320 38320 38320 38320 38320
Mean 9.111223 0.42064 895.8628 91.45412 94.65071 53.31789 1896.84 0.516163 2776.87 1772.67 3039.84 135.6415 1002.13 1843.21 7128.72 2.721106 0.801163 1694.22 367.8061 0.021205 223421.6
Std Dev 4.266135 1.720313 613.4771 366.756 185.7387 203.5479 2291.31 0.753634 3876.72 2021.21 4629.95 1262.99 2117.85 2206.68 2469.97 1.754107 0.63774 1260.49 889.4857 0.146289 164812.4
Minimum 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1875 0.068571 0 0 0 0 561.8254
Maximum 53.57143 30 10000 12820.51 2000 6000 37500 34.28571 71428.57 30666.67 80000 50000 30000 50000 35000 34.28571 4.714286 10000 10000 4.821429 3966027
Dependent Variable: lqbrs Analysis of Variance
Source Model Error Corrected Total Root MSE Dependent Mean Coeff Var
DF 6 361 367 0.51854 3.38179 15.33339
Sum of Squares 42.64956 97.06797 139.7175 R-Square Adj R-Sq
Mean Square 7.10826 0.26889
F Value 26.44
0.3053 0.2937
Parameter Estimates
Variable Intercept lhbrs lhjag lhuky lhujl lhmie lexp
DF 1 1 1 1 1 1 1
Parameter Estimate 6.69184 -0.87939 -0.15351 -0.08748 0.02371 -0.04596 0.42089
Standard Error 0.91243 0.09066 0.04186 0.06631 0.06738 0.07582 0.04763
t Value 7.33 -9.7 -3.67 -1.32 0.35 -0.61 8.84
Pr > |t| <.0001 <.0001 0.0003 0.1879 0.7251 0.5448 <.0001
Pr > F <.0001
66
Dependent Variable: lqjag Analysis of Variance
Source Model Error Corrected Total Root MSE Dependent Mean Coeff Var
DF 6 361 367 0.77024 1.60696 47.93155
Sum of Squares 292.2496 214.1714 506.421 R-Square Adj R-Sq
Mean Square 48.70826 0.59327
F Value 82.10
Pr > F <.0001
0.5771 0.5701
Parameter Estimates
Variable Intercept lhbrs lhjag lhuky lhujl lhmie lexp
DF 1 1 1 1 1 1 1
Parameter Estimate 4.32564 0.25696 -1.35737 0.08561 0.28672 0.23054 0.0932
Standard Error 1.35533 0.13466 0.06219 0.09849 0.10009 0.11262 0.07074
t Value 3.19 1.91 -21.83 0.87 2.86 2.05 1.32
Pr > |t| 0.0015 0.0572 <.0001 0.3853 0.0044 0.0414 0.1885
Mean Square 65.09713 0.37048
F Value 175.71
Dependent Variable: lqkdl Analysis of Variance
Source Model Error Corrected Total Root MSE Dependent Mean Coeff Var
DF 7 1171 1178 0.60867 0.96582 63.02089
Sum of Squares 455.6799 433.832 889.5119 R-Square Adj R-Sq
0.5123 0.5094
Parameter Estimates
Variable Intercept lhkdl lhisg lhasn lhspi lhaym lhtlr lexp
DF 1 1 1 1 1 1 1 1
Parameter Estimate 8.27607 -1.0252 -0.05877 -0.05556 0.04893 -0.08972 -0.13181 0.3275
Standard Error 1.06243 0.03153 0.05262 0.0307 0.05879 0.07589 0.07584 0.02712
t Value 7.79 -32.52 -1.12 -1.81 0.83 -1.18 -1.74 12.08
Pr > |t| <.0001 <.0001 0.2643 0.0706 0.4054 0.2373 0.0825 <.0001
Pr > F <.0001
67
Dependent Variable: lqgla Analysis of Variance
Source Model Error Corrected Total Root MSE Dependent Mean Coeff Var
DF 3 13738 13741 0.62792 0.86883 72.27165
Sum of Squares 1316.963 5416.654 6733.617 R-Square Adj R-Sq
Mean Square 438.9877 0.39428
F Value 1113.38
Pr > F <.0001
0.1956 0.1954
Parameter Estimates
Variable Intercept lhgla lhglm lexp
DF 1 1 1 1
Parameter Estimate 2.32437 -0.79434 0.02446 0.37705
Standard Error 0.25414 0.02797 0.0148 0.00761
t Value 9.15 -28.4 1.65 49.58
Pr > |t| <.0001 <.0001 0.0985 <.0001
Dependent Variable: lqspi Analysis of Variance
Source Model Error Corrected Total Root MSE Dependent Mean Coeff Var
DF 4 2464 2468 0.58813 0.50997 115.3259
Sum of Squares 459.9891 852.2866 1312.276 R-Square Adj R-Sq
Mean Square 114.9973 0.3459
F Value 332.46
0.3505 0.3495
Parameter Estimates
Variable Intercept lhspi lhaym lhtlr lexp
DF 1 1 1 1 1
Parameter Estimate -4.19546 -0.53518 0.09427 0.14764 0.54966
Standard Error 0.67573 0.0373 0.05037 0.04875 0.01562
t Value -6.21 -14.35 1.87 3.03 35.19
Pr > |t| <.0001 <.0001 0.0614 0.0025 <.0001
Pr > F <.0001
68
Dependent Variable: lqmny Analysis of Variance
Source Model Error Corrected Total Root MSE Dependent Mean Coeff Var
DF 2 61469 61471 0.49842 0.87297 57.0945
Sum of Squares 7105.629 15270 22376 R-Square Adj R-Sq
Mean Square 3552.814 0.24842
F Value 14301.7
Pr > F <.0001
0.3176 0.3175
Parameter Estimates
Variable Intercept lhmny lexp
DF 1 1 1
Parameter Estimate 1.11464 -0.69156 0.42834
Standard Error 0.06983 0.00698 0.00292
t Value 15.96 -99.07 146.9
Pr > |t| <.0001 <.0001 <.0001
DAER=1 Dependent Variable: LQBRS Analysis of Variance
Source Model Error C Total Root MSE Dep Mean C.V.
Sum of Mean Squares Square 4.72325 0.78721 19.75506 0.20795 24.47831 0.45601 R-square 3.34128 Adj R-sq 13.64785
DF 6 95 101
F Value 3.786
Prob>F 0.002
0.193 0.142
Parameter Estimates
Variable INTERCEP LHBRS LHJAG LHUKY LHUJL LHMIE LEXP
DF 1 1 1 1 1 1 1
Parameter Estimate 8.559588 -0.866054 -0.198331 -0.113198 0.106602 0.053769 0.200934
Standard Error 2.28540173 0.24647976 0.06339152 0.14697222 0.12904639 0.15366871 0.09560342
T for H0: Parameter=0 3.745 -3.514 -3.129 -0.77 0.826 0.35 2.102
Prob >|T| 0.0003 0.0007 0.0023 0.4431 0.4108 0.7272 0.0382
69
DAER=2 Dependent Variable: LQBRS Analysis of Variance
Source Model Error C Total Root MSE Dep Mean C.V.
Sum of Squares 48.39177 66.61594 115.00771 0.50715 3.39732 14.92805
DF 6 259 265
Mean Square 8.06529 0.25720 R-square Adj R-sq
F Value 31.358
Prob>F 0.0001
0.4208 0.4074
Parameter Estimates
Variable INTERCEP LHBRS LHJAG LHUKY LHUJL LHMIE LEXP
DF 1 1 1 1 1 1 1
Parameter Estimate 4.978827 -0.974617 -0.129737 -0.092544 0.019985 -0.101566 0.636071
Standard Error 0.98845575 0.09616071 0.05258255 0.07101365 0.07662275 0.08324929 0.05957011
T for H0: Parameter=0 5.037 -10.135 -2.467 -1.303 0.261 -1.22 10.678
Prob > |T| 0.0001 0.0001 0.0143 0.1937 0.7944 0.2236 0.0001
F Value 29.577
Prob>F 0.0001
DAER=1 Dependent Variable: LQJAG Analysis of Variance
Source Model Error C Total Root MSE Dep Mean C.V.
Sum of Squares 77.41219 41.44057 118.85276 0.66047 1.09027 60.57852
DF 6 95 101
Mean Square 12.90203 0.43622 R-square Adj R-sq
0.6513 0.6293
Parameter Estimates
Variable INTERCEP LHBRS LHJAG LHUKY LHUJL LHMIE LEXP
DF 1 1 1 1 1 1 1
Parameter Estimate 2.754056 0.323383 -1.162497 -0.133764 0.276214 0.030055 0.277211
Standard Error 3.31006284 0.35698910 0.09181315 0.21286730 0.18690440 0.22256616 0.13846727
T for H0: Parameter=0 0.832 0.906 -12.662 -0.628 1.478 0.135 2.002
Prob > |T| 0.4075 0.3673 0.0001 0.5313 0.1428 0.8929 0.0481
70
DAER=2 Dependent Variable: LQJAG Analysis of Variance
Source Model Error C Total Root MSE Dep Mean C.V.
Sum of Squares 197.31383 152.58078 349.89461 0.76754 1.80509 42.52069
DF 6 259 265
Mean Square 32.88564 0.58911 R-square Adj R-sq
F Value 55.822
Prob>F 0.0001
0.5639 0.5538
Parameter Estimates
Variable INTERCEP LHBRS LHJAG LHUKY LHUJL LHMIE LEXP
DF 1 1 1 1 1 1 1
Parameter Estimate 3.030058 0.119733 -1.432555 0.159303 0.356485 0.203855 0.265568
Standard Error 1.49595342 0.14553200 0.07957974 0.10747382 0.11596276 0.12599153 0.09015489
T for H0: Parameter=0 2.026 0.823 -18.002 1.482 3.074 1.618 2.946
Prob > |T| 0.0438 0.4114 0.0001 0.1395 0.0023 0.1069 0.0035
F Value 156.867
Prob>F 0.0001
DAER=1 Dependent Variable: LQKDL Analysis of Variance
Source Model Error C Total Root MSE Dep Mean C.V.
Sum of Squares 380.90044 314.96931 695.86974 0.58897 1.02762 57.31358
DF 7 908 915
Mean Square 54.41435 0.34688 R-square Adj R-sq
0.5474 0.5439
Parameter Estimates
Variable INTERCEP LHKDL LHISG LHASN LHSPI LHAYM LHTLR LEXP
DF 1 1 1 1 1 1 1 1
Parameter Estimate 9.525806 -1.057874 -0.062294 -0.086280 0.006040 -0.137706 -0.076105 0.315313
Standard Error 1.18421957 0.03433189 0.05641478 0.03389825 0.06782854 0.08634179 0.08826173 0.03017859
T for H0: Parameter=0 8.044 -30.813 -1.104 -2.545 0.089 -1.595 -0.862 10.448
Prob > |T| 0.0001 0.0001 0.2698 0.0111 0.9291 0.1111 0.3888 0.0001
71
DAER=2 Dependent Variable: LQKDL Analysis of Variance
Source Model Error C Total Root MSE Dep Mean C.V.
Sum of Squares 67.70142 110.25812 177.95954 0.65756 0.75058 87.60642
DF 7 255 262
Mean Square 9.67163 0.43238
F Value 22.368
R-square Adj R-sq
Prob>F 0.0001
0.3804 0.3634
Parameter Estimates
Variable INTERCEP LHKDL LHISG LHASN LHSPI LHAYM LHTLR LEXP
DF 1 1 1 1 1 1 1 1
Parameter Estimate 6.117360 -0.873837 -0.069989 -0.002973 0.134470 0.039863 -0.196030 0.237316
Standard Error 2.42345457 0.07602014 0.13486093 0.07053385 0.11831648 0.15870400 0.15568344 0.07395315
T for H0: Parameter=0 2.524 -11.495 -0.519 -0.042 1.137 0.251 -1.259 3.209
Prob >|T| 0.0122 0.0001 0.6042 0.9664 0.2568 0.8019 0.2091 0.0015
DAER=1 Dependent Variable: LQGLA Analysis of
Source Model Error C Total Root MSE Dep Mean C.V.
Variance
Sum of Mean Squares Square 600.70981 200.23660 2420.66619 0.38509 3021.37600 0.62055 R-square 0.91221 Adj R-sq 68.02797
DF 3 6286 6289
F Value 519.976
Prob>F 0.0001
0.1988 0.1984
Parameter Estimates
Variable INTERCEP LHGLA LHGLM LEXP
DF 1 1 1 1
Parameter Estimate 4.104434 -0.944352 0.014575 0.343060
Standard Error 0.37834695 0.04219123 0.02267573 0.01068150
T for H0: Parameter=0 10.848 -22.383 0.643 32.117
Prob > |T| 0.0001 0.0001 0.5204 0.0001
72
DAER=2 Dependent Variable: LQGLA Analysis of Variance
Source Model Error C Total Root MSE Dep Mean C.V.
Sum of Mean Squares Square 864.37029 288.12343 2826.04908 0.37944 3690.41937 0.61598 R-square 0.83222 Adj R-sq 74.01691
DF 3 7448 7451
F Value 759.344
Prob>F 0.0001
0.2342 0.2339
Parameter Estimates
Variable INTERCEP LHGLA LHGLM LEXP
DF 1 1 1 1
Parameter Estimate -0.589489 -0.746335 0.046286 0.552683
Standard Error 0.34181038 0.03648160 0.01902566 0.01267074
T for H0: Parameter=0 -1.725 -20.458 2.433 43.619
Prob > |T| 0.0846 0.0001 0.015 0.0001
F Value 293.292
Prob>F 0.0001
DAER=1 Dependent Variable: LQSPI Analysis of Variance
Source Model Error C Total Root MSE Dep Mean C.V.
Sum of Squares 367.30774 617.72779 985.03553 0.55955 0.54484 102.6984
DF 4 1973 1977
Mean Square 91.82694 0.31309 R-square Adj R-sq
0.3729 0.3716
Parameter Estimates
Variable INTERCEP LHSPI LHAYM LHTLR LEXP
DF 1 1 1 1 1
Parameter Estimate -3.322200 -0.551850 0.036222 0.116076 0.557106
Standard Error 0.73488323 0.04140175 0.05548848 0.05460886 0.01693910
T for H0: Parameter=0 -4.521 -13.329 0.653 2.126 32.889
Prob > |T| 0.0001 0.0001 0.514 0.0337 0.0001
73
DAER=2 Dependent Variable: LQSPI Analysis of Variance
Source Model Error C Total Root MSE Dep Mean C.V.
Sum of Squares 97.90678 217.23831 315.14509 0.66857 0.36949 180.94501
DF 4 486 490
Mean Square 24.47669 0.44699 R-square Adj R-sq
F Value 54.759
Prob>F 0.0001
0.3107 0.305
Parameter Estimates
Variable INTERCEP LHSPI LHAYM LHTLR LEXP
DF 1 1 1 1 1
Parameter Estimate -9.185708 -0.469294 0.257282 0.162892 0.743190
Standard Error 1.63201733 0.08343340 0.11407435 0.10681293 0.05274449
T for H0: Parameter=0 -5.628 -5.625 2.255 1.525 14.09
Prob > |T| 0.0001 0.0001 0.0246 0.1279 0.0001
DAER=1 Dependent Variable: LQMNY Analysis of Variance
Source Model Error C Total Root MSE Dep Mean C.V.
Sum of Mean Squares Square 2705.44875 1352.72437 6272.38740 0.25404 8977.83614 0.50402 R-square 0.94136 Adj R-sq 53.54154
DF 2 24691 24693
F Value 5324.945
Prob>F 0.0001
0.3013 0.3013
Parameter Estimates
Variable INTERCEP LHMNY LEXP
DF 1 1 1
Parameter Standard Estimate Error 1.406556 0.11089190 -0.706924 0.01134815 0.412010 0.00455076
T for H0: Parameter=0 12.684 -62.294 90.537
Prob > |T| 0.0001 0.0001 0.0001
74
DAER=2 Dependent Variable: LQMNY Analysis of Variance
Source Model Error C Total Root MSE Dep Mean C.V.
Sum of Mean Squares Square 4575.33184 2287.66592 8629.51712 0.23466 3204.84896 0.48441 R-square 0.82705 Adj R-sq 58.57146
DF 2 36775 36777
F Value 9748.971
Prob>F 0.0001
0.3465 0.3465
Parameter Estimates
Variable INTERCEP LHMNY LEXP
DF 1 1 1
Parameter Standard Estimate Error -0.407876 0.09420201 -0.678345 0.00867092 0.536435 0.00445448
T for H0: Parameter=0 -4.33 -78.232 120.426
Prob > |T| 0.0001 0.0001 0.0001
KLS=1 Dependent Variable: LQBRS Analysis of Variance
Source Model Error C Total Root MSE Dep Mean C.V.
Sum of Mean Squares Square 20.30862 3.38477 21.54114 0.20322 41.84976 0.45080 R-square 3.17105 Adj R-sq 14.21604
DF 6 106 112
F Value 16.656
Prob>F 0.0001
0.4853 0.4561
Parameter Estimates
Variable INTERCEP LHBRS LHJAG LHUKY LHUJL LHMIE LEXP
DF 1 1 1 1 1 1 1
Parameter Estimate 5.721007 -1.042639 -0.181071 -0.130308 0.012141 -0.242070 0.772039
Standard Error 2.96892401 0.15814439 0.07507469 0.09749423 0.10424180 0.13562660 0.16266917
T for H0: Parameter=0 1.927 -6.593 -2.412 -1.337 0.116 -1.785 4.746
Prob > |T| 0.0567 0.0001 0.0176 0.1842 0.9075 0.0771 0.0001
75
KLS=2 Dependent Variable: LQBRS Analysis of Variance
Source Model Error C Total Root MSE Dep Mean C.V.
Sum of Mean Squares Square 18.40650 3.06775 39.37097 0.24918 57.77747 0.49918 R-square 3.44301 Adj R-sq 14.49845
DF 6 158 164
F Value 12.311
Prob>F 0.0001
0.3186 0.2927
Parameter Estimates
Variable INTERCEP LHBRS LHJAG LHUKY LHUJL LHMIE LEXP
DF 1 1 1 1 1 1 1
Parameter Estimate 5.674189 -0.862017 -0.207081 -0.245883 0.165948 -0.030712 0.515131
Standard Error 2.99252768 0.13657274 0.06111378 0.10111918 0.10557378 0.09449219 0.18383291
T for H0: Parameter=0 1.896 -6.312 -3.388 -2.432 1.572 -0.325 2.802
Prob > |T| 0.0598 0.0001 0.0009 0.0161 0.118 0.7456 0.0057
KLS=3 Dependent Variable: LQBRS Analysis of Variance
Source Model Error C Total Root MSE Dep Mean C.V.
Sum of Mean Squares Square 6.23433 1.03905 26.13001 0.31482 32.36434 0.56109 R-square 3.53414 Adj R-sq 15.87621
DF 6 83 89
F Value 3.3
Prob>F 0.0058
0.1926 0.1343
Parameter Estimates
Variable INTERCEP LHBRS LHJAG LHUKY LHUJL LHMIE LEXP
DF 1 1 1 1 1 1 1
Parameter Estimate 8.060308 -0.320491 -0.173129 0.131830 -0.169518 0.286010 -0.193605
Standard Error 2.18246859 0.25149943 0.08867907 0.16525048 0.14286636 0.26765621 0.16574069
T for H0: Parameter=0 3.693 -1.274 -1.952 0.798 -1.187 1.069 -1.168
Prob > |T| 0.0004 0.2061 0.0543 0.4273 0.2388 0.2884 0.2461
76
KLS=1 Dependent Variable: LQJAG Analysis of Variance
Source Model Error C Total Root MSE Dep Mean C.V.
Sum of Squares 92.98541 64.46414 157.44955 0.77984 1.71027 45.59758
DF 6 106 112
Mean Square 15.49757 0.60815 R-square Adj R-sq
F Value 25.483
Prob>F 0.0001
0.5906 0.5674
Parameter Estimates
Variable INTERCEP LHBRS LHJAG LHUKY LHUJL LHMIE LEXP
DF 1 1 1 1 1 1 1
Parameter Estimate 6.550229 0.070718 -1.452296 0.301256 0.178163 0.286150 0.000703
Standard Error 5.13598626 0.27357635 0.12987283 0.16865674 0.18032945 0.23462250 0.28140384
T for H0: Parameter=0 1.275 0.258 -11.182 1.786 0.988 1.22 0.002
Prob > |T| 0.205 0.7965 0.0001 0.0769 0.3254 0.2253 0.998
F Value 49.286
Prob>F 0.0001
KLS=2 Dependent Variable: LQJAG Analysis of Variance
Source Model Error C Total Root MSE Dep Mean C.V.
Sum of Squares 161.52016 86.29882 247.81898 0.73905 1.63151 45.29862
DF 6 158 164
Mean Square 26.92003 0.54620 R-square Adj R-sq
0.6518 0.6385
Parameter Estimates
Variable INTERCEP LHBRS LHJAG LHUKY LHUJL LHMIE LEXP
DF 1 1 1 1 1 1 1
Parameter Estimate 13.474557 -0.093353 -1.486880 0.199340 0.294785 0.072975 -0.243800
Standard Error 4.43049820 0.20219872 0.09048020 0.14970900 0.15630413 0.13989762 0.27216837
T for H0: Parameter=0 3.041 -0.462 -16.433 1.332 1.886 0.522 -0.896
Prob > |T| 0.0028 0.6449 0.0001 0.1849 0.0611 0.6027 0.3717
77
KLS=3 Dependent Variable: LQJAG Analysis of Variance
Source Model Error C Total Root MSE Dep Mean C.V.
Sum of Mean Squares Square 52.94105 8.82351 44.15903 0.53204 97.10008 0.72941 R-square 1.43226 Adj R-sq 50.92722
DF 6 83 89
F Value 16.584
Prob>F 0.0001
0.5452 0.5123
Parameter Estimates
Variable INTERCEP LHBRS LHJAG LHUKY LHUJL LHMIE LEXP
DF 1 1 1 1 1 1 1
Parameter Estimate 2.736405 0.583929 -1.043654 -0.542565 0.339819 0.240175 0.110607
Standard Error 2.83718697 0.32694669 0.11528188 0.21482394 0.18572482 0.34795035 0.21546122
T for H0: Parameter=0 0.964 1.786 -9.053 -2.526 1.83 0.69 0.513
Prob > |T| 0.3376 0.0778 0.0001 0.0135 0.0709 0.492 0.6091
F Value 10.293
Prob>F 0.0001
KLS=1 Dependent Variable: LQKDL Analysis of Variance
Source Model Error C Total Root MSE Dep Mean C.V.
Sum of Mean Squares Square 17.87194 2.55313 7.93729 0.24804 25.80923 0.49804 R-square 0.72057 Adj R-sq 69.11654
DF 7 32 39
0.6925 0.6252
Parameter Estimates
Variable INTERCEP LHKDL LHISG LHASN LHSPI LHAYM LHTLR LEXP
DF 1 1 1 1 1 1 1 1
Parameter Estimate 9.523265 -1.100094 0.016922 -0.033376 0.563226 -0.424656 -0.770265 0.500196
Standard Error 9.30536708 0.21033359 0.30650563 0.14594616 0.24002699 0.34708761 0.41077508 0.52924301
T for H0: Parameter=0 1.023 -5.23 0.055 -0.229 2.347 -1.223 -1.875 0.945
Prob > |T| 0.3138 0.0001 0.9563 0.8206 0.0253 0.2301 0.0699 0.3517
78
KLS=2 Dependent Variable: LQKDL Analysis of Variance
Source Model Error C Total Root MSE Dep Mean C.V.
Sum of Squares 96.69571 110.04890 206.74461 0.56479 0.86274 65.46381
DF 7 345 352
Mean Square 13.81367 0.31898 R-square Adj R-sq
F Value 43.305
Prob>F 0.0001
0.4677 0.4569
Parameter Estimates
Variable INTERCEP LHKDL LHISG LHASN LHSPI LHAYM LHTLR LEXP
DF 1 1 1 1 1 1 1 1
Parameter Estimate 6.862609 -0.937020 0.086511 -0.084167 -0.069882 -0.070265 -0.287803 0.472531
Standard Error 2.78961022 0.05885329 0.09193554 0.05519342 0.08953823 0.12883461 0.12639771 0.14992028
T for H0: Parameter=0 2.46 -15.921 0.941 -1.525 -0.78 -0.545 -2.277 3.152
Prob > |T| 0.0144 0.0001 0.3474 0.1282 0.4356 0.5858 0.0234 0.0018
F Value 121.22
Prob>F 0.0001
KLS=3 Dependent Variable: LQKDL Analysis of Variance
Source Model Error C Total Root MSE Dep Mean C.V.
Sum of Squares 338.09583 309.99038 648.08622 0.63123 1.02460 61.60709
DF 7 778 785
Mean Square 48.29940 0.39845 R-square Adj R-sq
0.5217 0.5174
Parameter Estimates
Variable INTERCEP LHKDL LHISG LHASN LHSPI LHAYM LHTLR LEXP
KLS=1
DF 1 1 1 1 1 1 1 1
Parameter Estimate 7.660755 -1.048099 -0.116208 -0.049558 0.078822 -0.077228 -0.044653 0.332952
Standard Error 1.40245236 0.03840150 0.06611308 0.03850573 0.08059060 0.09877093 0.09813047 0.04007715
T for H0: Parameter=0 5.462 -27.293 -1.758 -1.287 0.978 -0.782 -0.455 8.308
Prob > |T| 0.0001 0.0001 0.0792 0.1985 0.3284 0.4345 0.6492 0.0001
79
Dependent Variable: LQGLA Analysis of Variance
Source Model Error C Total Root MSE Dep Mean C.V.
Sum of Mean Squares Square 266.40343 88.80114 1509.75992 0.32835 1776.16335 0.57302 R-square 0.55672 Adj R-sq 102.9273
DF 3 4598 4601
F Value 270.445
Prob>F 0.0001
0.15 0.1494
Parameter Estimates
Variable INTERCEP LHGLA LHGLM LEXP
DF 1 1 1 1
Parameter Estimate 1.060956 -0.872300 -0.010700 0.543907
Standard Error 0.51667965 0.04447056 0.02335879 0.02724843
T for H0: Parameter=0 2.053 -19.615 -0.458 19.961
Prob > |T| 0.0401 0.0001 0.6469 0.0001
F Value 139.328
Prob>F 0.0001
KLS=2 Dependent Variable: LQGLA Analysis of Variance
Source Model Error C Total Root MSE Dep Mean C.V.
Sum of Mean Squares Square 170.10877 56.70292 2282.71226 0.40697 2452.82103 0.63794 R-square 0.90776 Adj R-sq 70.27677
DF 3 5609 5612
0.0694 0.0689
Parameter Estimates
Variable INTERCEP LHGLA LHGLM LEXP
DF 1 1 1 1
Parameter Estimate 1.383380 -0.755819 0.013994 0.430713
Standard Error 0.65560549 0.04407306 0.02344314 0.04030575
T for H0: Parameter=0 2.11 -17.149 0.597 10.686
Prob > |T| 0.0349 0.0001 0.5506 0.0001
80
KLS=3 Dependent Variable: LQGLA Analysis of Variance
Source Model Error C Total Root MSE Dep Mean C.V.
Sum of Mean Squares Square 95.57011 31.85670 1531.76711 0.43479 1627.33722 0.65939 R-square 1.21412 Adj R-sq 54.30991
DF 3 3523 3526
F Value 73.269
Prob>F 0.0001
0.0587 0.0579
Parameter Estimates
Variable INTERCEP LHGLA LHGLM LEXP
DF 1 1 1 1
Parameter Estimate 5.413907 -0.786753 0.080387 0.129995
Standard Error 0.59429038 0.05834509 0.03093657 0.02214705
T for H0: Parameter=0 9.11 -13.484 2.598 5.87
Prob > |T| 0.0001 0.0001 0.0094 0.0001
F Value 2.014
Prob>F 0.0998
KLS=1 Dependent Variable: LQSPI Analysis of Variance
Source Model Error C Total Root MSE Dep Mean C.V.
Sum of Mean Squares Square 4.11950 1.02987 43.47266 0.51144 47.59216 0.71515 R-square -0.37716 Adj R-sq -189.61443
DF 4 85 89
0.0866 0.0436
Parameter Estimates
Variable INTERCEP LHSPI LHAYM LHTLR LEXP
DF 1 1 1 1 1
Parameter Estimate -1.711606 -0.427353 -0.377941 0.299268 0.499619
Standard Error 6.65579529 0.20417058 0.31748534 0.31609821 0.34102004
T for H0: Parameter=0 -0.257 -2.093 -1.19 0.947 1.465
Prob > |T| 0.7977 0.0393 0.2372 0.3464 0.1466
81
KLS=2 Dependent Variable: LQSPI Analysis of Variance
Source Model Error C Total Root MSE Dep Mean C.V.
Sum of Squares 60.00981 211.61494 271.62475 0.56496 0.16079 351.3625
DF 4 663 667
Mean Square 15.00245 0.31918 R-square Adj R-sq
F Value 47.003
Prob>F 0.0001
0.2209 0.2162
Parameter Estimates
Variable INTERCEP LHSPI LHAYM LHTLR LEXP
DF 1 1 1 1 1
Parameter Estimate -9.707492 -0.674229 0.278631 0.259534 0.852198
Standard Error 1.96948122 0.06206956 0.08999125 0.09036590 0.10829369
T for H0: Parameter=0 -4.929 -10.862 3.096 2.872 7.869
Prob > |T| 0.0001 0.0001 0.002 0.0042 0.0001
F Value 145.048
Prob>F 0.0001
KLS=3 Dependent Variable: LQSPI Analysis of Variance
Source Model Error C Total Root MSE Dep Mean C.V.
Sum of Squares 198.83459 584.65362 783.48821 0.58541 0.69296 84.4795
DF 4 1706 1710
Mean Square 49.70865 0.34270 R-square Adj R-sq
0.2538 0.252
Parameter Estimates
Variable INTERCEP LHSPI LHAYM LHTLR LEXP
DF 1 1 1 1 1
Parameter Estimate -3.431536 -0.479918 0.070057 0.088739 0.511251
Standard Error 0.83341399 0.04757564 0.06164865 0.05846631 0.02254087
T for H0: Parameter=0 -4.117 -10.087 1.136 1.518 22.681
Prob > |T| 0.0001 0.0001 0.256 0.1293 0.0001
82
KLS=1 Dependent Variable: LQMNY Analysis of Variance
Source Model Error C Total Root MSE Dep Mean C.V.
Sum of Mean Squares Square 2217.14456 1108.57228 5596.58107 0.23175 7813.72563 0.48141 R-square 0.58844 Adj R-sq 81.81055
DF 2 24149 24151
F Value 4783.44
Prob>F 0.0001
0.2837 0.2837
Parameter Estimates
Variable INTERCEP LHMNY LEXP
DF 1 1 1
Parameter Standard Estimate Error -1.458163 0.14757893 -0.724684 0.01063068 0.645803 0.00894871
T for H0: Parameter=0 -9.881 -68.169 72.167
Prob > |T| 0.0001 0.0001 0.0001
KLS=2 Dependent Variable: LQMNY Analysis of Variance
Source Model Error C Total Root MSE Dep Mean C.V.
Sum of Mean Squares Square 1091.24002 545.62001 5905.56708 0.23763 6996.80710 0.48747 R-square 0.97708 Adj R-sq 49.89091
DF 2 24852 24854
F Value 2296.096
Prob>F 0.0001
0.156 0.1559
Parameter Estimates
Variable INTERCEP LHMNY LEXP
DF 1 1 1
Parameter Standard Estimate Error 1.477086 0.22247823 -0.702352 0.01122465 0.412667 0.01465598
T for H0: Parameter=0 6.639 -62.572 28.157
Prob > |T| 0.0001 0.0001 0.0001
83
KLS=3 Dependent Variable: LQMNY Analysis of Variance
Source Model Error C Total Root MSE Dep Mean C.V.
Sum of Mean Squares Square 462.62124 231.31062 3405.37256 0.27326 3867.99380 0.52274 R-square 1.21668 Adj R-sq 42.96478
DF 2 12462 12464
F Value 846.484
Prob>F 0.0001
0.1196 0.1195
Parameter Estimates
Variable INTERCEP LHMNY LEXP
DF 1 1 1
Parameter Standard Estimate Error 2.935933 0.18930979 -0.572052 0.01539483 0.228739 0.01020583
T for H0: Parameter=0 15.509 -37.159 22.413
Prob > |T| 0.0001 0.0001 0.0001