Pendidikan pranikah dan pengasuhan Islam bagi calon pasangan suami istri: Respon psikologi keluarga terhadap siklus tahunan perceraian dan kekerasan terhadap anak di Indonesia Oleh Irwan Nuryana Kurniawan Staf Pengajar Prodi Psikologi UII/Anggota Staf Ahli Pusat Kajian Anak dan Keluarga (PUSKAGA) Prodi Psikologi UII
[email protected] Dampak buruk perceraian dan kekerasan terhadap anak membutuhkan sebuah intervensi berupa pendidikan pranikah dan pengasuhan bagi calon pasangan suami istri untuk meningkatkan kualitas pernikahan dan pengasuhan anak. Peningkatan kualitas perkawinan dan pengasuhan anak tersebut pada gilirannya diprediksikan dapat menjadi solusi efektif dalam mencegah siklus tahunan perceraian dan kekerasan terhadap anak. Artikel ini bertujuan untuk menjelaskan argumentasiargumentasi ilmiah dibalik usulan solusi pendidikan pranikah dan pengasuhan Islam. Secara spesifik, tulisan ini akan menjelaskan (a) temuan-temuan ilmiah terkini dalam bidang psikologi terkait program-program pendidikan pranikah dan pengasuhan; (b) komponen-komponen penting apa yang harus ada dalam program pendidikan pranikah dan pengasuhan yang sukses; (c) mengapa pendidikan pranikah dan pengasuhan Islam diyakini lebih solutif,proaktif, adaptif, dan preventif dibandingkan pendidikan pranikah dan pengasuhan berbasis psikologi dalam mensikapi siklus tahunan perceraian dan kekerasan terhadap anak di Indonesia. Kata Kunci: Pendidikan Pranikah dan Pengasuhan, Calon Pasangan Suami Istri, Perceraian dan Kekerasan terhadap Anak 1.
Pendahuluan
Meningkatnya jumlah perceraian (Badan Peradilan Agama MA, 2014) dan kekerasan terhadap anak di Indonesia (Komnas Perlindungan Anak,2014) sangat memprihatinkan. Ada berbagai potensi permasalahan yang muncul akibat perceraian, baik bagi pasangan yang bercerai maupun bagi anak-anak mereka. Meskipun tidak semua perceraian berdampak akhir negatif terhadap orangtua maupun anak-anak1, Amato (2007) mencatat ada sejumlah permasalahan yang muncul, misalnya siapa yang memiliki tanggung jawab utama dalam mengasuh anak, berkurangnya kontak dengan anak bagi orangtua yang tidak memiliki hak pengasuhan, munculnya sejumlah kesulitan akibat 1
Hetherington dan Kelly (2002) dalam penelitian longitudinal selama 30 tahun terhadap 1400 orang dewasa yang orangtuanya mengalami perceraian mengidentifikasi ada 6 gaya penyesuaian yang berbeda terhadap perceraian. Orang-orang yang termasuk the enhanced type (20%) merasa bahwa perceraian telah membantu mereka lebih fokus pada kekuatan yang mereka miliki dan mengembangkan diri mereka lebih penuh. Orang-orang yang termasuk the competent loner (10%) menyatakan tidak pernah menikah kembali dan memiliki dorongan yang kuat untuk memiliki kehidupan sendiri yang penuh dan bahagia. Orang-orang yang termasuk the good enough (40%) merasa perceraian seperti sebuah benturan yang terjadi dengan sangat cepat, tetapi mereka tetap bertahan dan perceraian tidak berdampak negatif terhadap kehidupan mereka. Orang-orang yang termasuk the seekers (13%) merasa bahwa pernikahan kembali paska perceraian membawa mereka kepada rasa aman dan bermakna sebagaimana kehidupan yang mereka inginkan. Orangorang yang termasuk the libertines (6%) tidak fokus pada masa lampau tapi lebih pada menikmati masa sekarang. Orang-orang yang termasuk the defeated (11%) merasa perceraian berdampak negatif terhadap kehidupan mereka, menjadi miskin, depresi, penyalahgunaan NAPZA.
pendapatan berkurang, menurunnya dukungan sosial, dan potensi konflik berkepanjangan dengan mantan pasangan menyangkut tunjangan anak atau hak pengasuhan. Kebanyakan studi memperlihatkan bahwa anak-anak yang orangtuanya bercerai memiliki tingkat permasalahan emosi dan sosial yang lebih tinggi dibandingkan anakanak dari keluarga yang utuh. Wallerstein & Blakeslee (2003), Wallerstein & Lewis (2004) melakukan penelitian longitudinal terhadap anak-anak yang orangtuanya bercerai dan menyimpulkan bahwa perceraian memiliki pengaruh negatif jangka panjang bagi anak-anak. Setelah 5 tahun perceraian, mereka menemukan lebih dari 33% anak-anak tersebut menunjukkan tanda-tanda depresi moderat sampai berat. Setelah 10 tahun, sejumlah anak yang beranjak dewasa menjadi orang-orang yang berprestasi rendah dan memiliki permasalahan-permasalahan emosional, dan setelah 15 tahun, beberapa di antara mereka memiliki permasalahan dalam hubungan cinta mereka. Bahkan, dalam studi Ahrons (2007)—studi longitudinal selama lebih dari 20 tahun terhadap 173 anak-anak yang orangtuanya bercerai—ditemukan bahwa perceraian membuat anak-anak merasa terjebak di antara kedua orangtuanya ketika kedua orangtua mereka tidak memiliki hubungan baik satu sama lain paska perceraian. Mereka merasa tidak bisa berbicara leluasa dengan salah satu orangtuanya ketika orangtua yang lainnya hadir. Bahkan ketika mereka memasuki masa dewasa, mereka merasa harus mengelola acara keluarga sedemikian rupa agar kedua orangtua mereka tidak membuat masalah. Demikian juga halnya masalah yang ditimbulkan oleh kekerasan terhadap anak. Kekerasan yang dilakukan orangtua terhadap anak, baik kekerasan fisik seperti pemukulan, kekerasan seksual, maupun kekerasan psikologis, berdampak buruk terhadap perkembangan kesejahteraan anak, seperti agresi, menarik diri dari lingkungan sosial, harga diri yang rendah, ketidakmampuan untuk mengalami perasaan senang, sampai apatis dalam menghadapi masa depan. Bahkan Sroufe, Cooper dan DeHart (1996) mencatat dampak buruk kekerasan terhadap anak ini bersifat menetap dan pada saat memasuki masa dewasa dan menjadi orangtua, mereka menjadi orangtua agresif dan cenderung memiliki problem-problem pengasuhan. Ziegler dan Hall (1989), Critenden, Partridge, dan Claussen (1991) menemukan mayoritas orangtua yang melakukan perlakuan menyimpang pada anakanaknya umumnya semasa anak-anak mereka juga mengalami perlakuan menyimpang dari orangtuanya. Hasil yang sama juga ditemukan pada penelitian Simons, Whitbeck, Conger, dan Wu (1991): ketika para orangtua dari satu generasi mempraktekan kekerasan dalam pengasuhannya, anak-anak mereka juga cenderung melakukan kekerasan dalam pengasuhan ketika mereka menjadi orangtua. Mereka menyebutnya sebagai intergenerational transmission of harsh parenting practices. Melihat uraian singkat tentang siklus tahunan perceraian dan kekerasan terhadap anak serta mempertimbangkan dampak buruk sesaat maupun jangka panjang yang ditimbulkannya, maka dibutuhan langkah-langkah strategis yang bukan hanya bersifat kuratif dan rehabilitatif, tapi juga bersifat preventif dan prediktif—langkah strategis terakhir ini yang akan menjadi fokus tulisan sekarang. Langkah-langkah strategik tersebut akan efektif dan produktif jika didasarkan kajian komprehensif tentang pernikahan dan pengasuhan yang sukses maupun gagal. Kedua kutub pernikahan dan pengasuhan tersebut akan memberikan informasi-informasi yang lengkap dan prediktif dalam merumuskan usulan-usulan pencegahan masalah perceraian dan kekerasan dalam pengasuhan anak. Sebagai contoh, kita bisa belajar dari laporan Badan Peradilan Umum Agama, Mahkamah Agung Republik Indonesia tahun 2010 tentang penyebab perceraian. Badilag MA mencatat dari 285 184 kasus perceraian yang terjadi pada tahun 2010, faktor ketidakharmonisan menempati urutan pertama sebanyak 91.841 perkara sebagai penyebab perceraian, diikuti faktor ketiadaan tanggungjawab sebanyak 78.407 perkara,
dan faktor ekonomi sebanyak 67.891 perkara. Pola yang sama juga terjadi pada tahun sebelumnya, yaitu tahun 2009. Informasi empirik tersebut memberikan sejumlah “lesson learned” yang dapat menjadi rujukan dalam memprioritaskan komponen-komponen penting apa saja yang perlu diberikan lebih dahulu dalam program pendidikan pranikah dan pengasuhan kepada calon pasangan suami istri agar mereka tercegah dari perceraian dan melakukan kekerasan pengasuhan erhadap anak. Pelajaran penting pertama dari data di atas adalah penyebab utama perceraian bukanlah faktor ekonomi—faktor ekonomi menempati urutan ketiga (23,8%). Selama ini yang terjadi di lapangan adalah ketika orang akan menikah, faktor ekonomi mendapatkan penekanan yang lebih besar dibandingkan faktor-faktor non. Para orangtua umumnya akan menanyakan kepada orang yang mau melamar anaknya apakah mereka sudah punya pekerjaan, apa pekerjaannya, berapa penghasilannya, dan seterusnya—pertanyaanpertanyaan yang menginformasikan kesiapan finansial seseorang dalam menjalani kehidupan berkeluarga. Padahal dalam realitas kehidupan berumahtangga sehari-hari dibutuhkan lebih dari sekedar kemampuan finansial untuk menjamin kelangsungan dan keberlanjutan sebuah hubungan pernikahan dan keluarga. Bahkan ketika ditelaah lebih lanjut terhadap hasil-hasil penelitian tentang permasalahan keluarga yang berkaitan faktor finansial, yang muncul ternyata bukan semata pada ketersediaan sumberdaya ekonomi, tetapi lebih kepada faktor psikologis yaitu bagaimana mereka memandang dan mengelola uang. Olson, Olson-Sigg, dan Larson (2008) menemukan perbedaan yang sangat signifikan antara pasangan yang bahagia dengan pasangan yang tidak bahagia terletak dalam manajemen finansial terutama sejauhmana pasangan suami istri sepakat dalam hal membelanjakan uang. Pelajaran penting kedua dari fakta di atas adalah faktor spiritual psikologis menempati dua urutan teratas penyebab perceraian—sebanyak 32,2% oleh ketidakharmonisan dan 27,5% oleh ketiadaan tanggung jawab. Saya menyebutnya sebagai faktor spiritual psikologis—bukan faktor psikologis semata—didasarkan pada realitas empirik dan bukti-bukti ilmiah yang terus bermunculan tentang pengaruh mendasar dari agama terhadap kehidupan manusia, termasukan kehidupan pernikahan (McCullough & Willoughby, 2009). Dalam konteks kehidupan pernikahan dan pengasuhan, konsep-konsep seperti sanctification of marriage dan sanctification of parenting (Mahoney, Pargament, Murray-Swank, & Murray-Swank, 2003) mendemonstrasikan bahwa pernikahan dan pengasuhan bukan hanya peristiwa yang bermakna biologis, sosial, dan psikologis, tetapi juga memiliki signifikansi spiritual. Stafford, David, dan McPherson (2014) menemukan sanctification of marriage sebagai prediktor paling kuat untuk pernikahan yang berkualitas, bahkan setelah mengendalikan faktor pemaafan dan pengorbanan. Berbicara tentang ketidakharmonisan pernikahan, buruknya komunikasi (Whisman, Dixon, & Johnson, 1997), dan harapan pernikahan yang tidak realistis (Olson, DeFrain, & Skogrand, 2011), berada dalam daftar teratas penyebab ketidakharmonisan dalam pernikahan. Komunikasi yang tidak efektif seringkali memperkecil kemungkinan terbangunnya hubungan akrab suami istri. Harapan yang tidak realistis terhadap pernikahan, ditambah dengan buruknya keterampilan pengambilan keputusan, menempatkan pasangan suami istri rentan mengalami konflik pernikahan. Olson dkk (2011) juga menyebutkan sedikitnya waktu atau usaha yang diberikan untuk mengembangkan keterampilan-keterampilan yang dibutuhkan untuk menciptakan dan memelihara sebuah pernikahan yang kokoh sebagai faktor yang bertanggung jawab atas tingginya prevalensi perceraian.
Amato dan Previti (2003) juga melaporkan ketidakcocokan sebagai penyebab perceraian paling kuat setelah ketidaksetiaan—Olson dkk (2011) menyebutnya sebagai menikahi orang yang salah untuk alasan yang salah. Menjadi tanda tanya besar bagi penulis ketika suami istri zaman sekarang masih mengalami ketidakcocokan antar pasangan dan kemudian mereka memutuskan bercerai. Mengapa demikian? Karena sekarang ini, sepanjang pengamatan penulis, sebagian besar pasangan yang menikah senantiasa didahului oleh proses pengenalan pribadi melalui mekanisme pacaran. Bahkan tidak jarang kegiatan berpacaran ini bisa berlangsung bertahun-tahun. Pacaran diyakini oleh kebanyakan orang Indonesia jaman sekarang sebagai metode utama—bahkan mungkin satu-satunya metode—di dalam menemukan calon pasangan sebelum mereka berlanjut ke jenjang pernikahan. Mereka meyakini bahwa pacaran akan memberikan kesempatan yang banyak untuk mengenal lebih baik kebiasaan-kebiasaan dan karakter-karakter satu sama lain sebelum mereka memutuskan menikah. Mereka percaya bahwa pengalaman pacaran yang diperoleh kelak akan banyak membantu mereka dalammelakukan penyesuaian pernikahan dengan baik dan pada akhirnya kebahagiaan pernikahan mereka akan lebih mudah diraih. Mereka meyakini dengan sangat kuat bahwa ada hubungan positif antara pacaran dengan kebahagiaan pernikahan. Tapi, apa yang terjadi? Mengapa ketidakcocokan masih terjadi? Bukankah mereka sudah berpacaran lama dan memutuskan untuk menikah karena mereka merasa cocok satu sama lain? Mengapa dengan mudah mereka mengatakan bercerai sebagai jalan terbaik, mereka sudah tidak cocok dan tidak bisa dipersatukan lagi? Ataukah ini indikator yang kuat untuk tidak lagi mengandalkan pacaran—bahkan mungkin lebih baik untuk meninggalkannya dan mencari metode lain yang lebih akurat dan dapat diapercaya— sebagai cara untuk mencari pasangan yang memiliki lebih banyak kecocokan dengan dirinya? Telaah penulis terhadap sejumlah literatur ilmiah dan temuan riset psikologi menunjukkan bukti yang konsisten bahwa pacaran ternyata memang bukan prediktor yang signifikan (baca: mampu meramalkan dengan akurat) bagi sebuah pernikahan yang bahagia. Sebagai contoh, National Marriage Project (2000) menyimpulkan bahwa kohabitasi—salah satu bentuk pacaran dimana laki-laki dan perempuan hidup bersama layaknya suami istri meskipun mereka belum menikah—memiliki pengaruh negatif terhadap masa depan pernikahan. Penjelasannya adalah sebagai berikut: dasar pernikahan yang kokoh dan bahagia adalah komitmen etik yang kuat—dalam Islam dikenal sebagai ً غلِي mitsqan ghalizhan-ظا َ – مِ يثَاقًا-sementara hubungan kohabitasi jatuh dalam komitmen jangka pendek. Pasangan kohabitasi lebih banyak berorientasi pada kebutuhan otonomi diri sendiri (baca: mementingkan kebutuhan diri sendiri) dan mereka kemungkinan besar akan mengakhiri hubungannya jika hubungan tersebut mereka nilai sudah tidak mampu lagi memenuhi kebutuhan-kebutuhan mereka. Semakin lama pasangan ini hidup bersama, maka semakin besar kemungkinan mereka untuk memiliki sikap komitmen yang rendah. Jadi, bisa dipahami dan sangat mudah diramalkan bahwa sekali komitmen rendah ini terbentuk dan pola hubungan otonomi tinggi tadi diadopsi, maka menjadi sangat sulit bagi mereka untuk berubah. Dalam sebuah ulasan kohabitasi yang komprehensif, Popenoe & Whitehead (1999) menyimpulkan bahwa kohabitasi merusak pernikahan dan meningkatkan probabilitas terjadinya perceraian. Hidup bersama meningkatkan resiko kekerasan domestik pada wanita dan resiko yang tinggi untuk terjadinya perlakuan fisik dan seksual menyimpang terhadap anak-anak. Kohabitasi juga berpotensi tinggi merusak anak-anak karena tingginya kemungkinan pasangan tersebut berpisah, sehingga menyulitkan bagi
anak-anak untuk membangun hubungan yang dekat dan stabil dengan orang dewasa lainnya. Demikian juga, wanita yang hidup bersama dan memiliki anak menunjukkan tingkat depresi yang lebih tinggi. Lebih lanjut ditemukan bahwa pasangan-pasangan yang hidup bersama memiliki tingkat kebahagian dan kesejahteraan yang lebih rendah dibandingkan pasangan-pasangan yang menikah. Secara lugas Harris (Olson dkk, 2011) menyimpulkan bahwa satu alasan utama mengapa banyak pernikahan yang gagal karena secara fundamental fungsi yang disediakan oleh pacar dan jodoh adalah berbeda—seseorang biasanya dipilih sebagai pacar karena secara fisik dia menarik sementara seseorang dipilih sebagai jodoh dipilih karena secara psikologis dia bertanggung jawab. Sayangnya, lanjut Harris, kebanyakan individu-individu yang menarik seringkali tidak cukup bertanggung jawab, sedangkan kebanyakan individu-individu yang bertanggung jawab seringkali secara fisik kurang menarik. Terkait masalah kekerasan orangtua dan atau orang dewasa terhadap anak yang sudah cukup endemik di Indonesia, menurut Irwanto (2006), pasti tidak cukup dengan menghukum para pelakunya saja. Segala bentuk hukuman tidak akan membuat para pelaku jera untuk melakukannya lagi karena tindak kekerasaan terhadap anak merupakan masalah kognitif (cara berfikir), masalah perilaku (terbentuknya kebiasaan untuk bereaksi terhadap perilaku anak), dan masalah sosial kultural (adanya keyakinan dan praktikpraktik yang memperoleh legitimasi dan restu masyarakat). Agar tindakan kekerasaan itu tidak berulang kembali, maka para pelaku harus dibantu untuk mengatasi berbagai persoalan dalam ranah-ranah tersebut. Diperlukan serangkaian kegiatan terencana, sistematis, dan berkelanjutan yang memberikan pengetahuan-pengetahuan, sikap-sikap, dan keterampilan-keterampilan dasar pengasuhan yang memungkinkan orangtua mengembangkan intervensi-intervensi pengasuhan yang efektif untuk anaknya, termasuk bagaimana melakukan intervensi terhadap anak dengan kebutuhan khusus dan problem para remaja seperti anak-anak yang memiliki gangguan hiperaktif dan pemusatan perhatian, anak-anak yang orangtuanya mengalami perceraian. Belsky (2005) menemukan dari berbagai studi pengasuhan (kebanyakan studi korelasional, beberapa di antaranya studi eksperimental) bahwa praktek-praktek pengasuhan orangtua berhubungan dengan kesejahteraan psikologis anak. Sebagai contoh, pengasuhan yang sensitif dan responsif terhadap kebutuhan anak selama masa batita berhubungan dengan kerjasama, kepatuhan, dan perkembangan hati nurani anak. Selama periode prasekolah, pengasuhan autoritatif mendorong orientasi prososial, kesungguhan berprestasi, dan hubungan positif dengan teman sebaya. Selama periode usia sekolah dan remaja, pengasuhan yang memperlakukan dan menghargai anak sebagai individu yang memiliki kebutuhan perkembangan otonomi, memberikan kontribusi terhadap capaian psikologis dan perilaku yang dianggap berharga/penting di dunia barat. Ada semakin banyak bukti empirik ilmiah yang mengemuka bahwa program pendidikan pasangan dan pranikah berbasis keterampilan dapat meningkatkan kepuasan dan memperbaiki komitmen memelihara hubungan yang sehat (Halford, Markman, & Scott, 2008; Murray, 2006; Knutson & Olson, 2003). Studi-studi tentang evaluasi pendidikan pernikahan memperlihatkan bahwa peserta dari beragam kelompok etnis/kultur, beragaman tingkat pendapatan keluarga, dan beragam bentuk struktur keluarga mendapatkan beragam keuntungan dari keterlibatan mereka dalam program tersebut. Keuntungan-keuntungan tersebut antara lain meningkatknya pengetahuan tentang hubungan, termasuk kemampuan mereka dalam mengenali pola-pola hubungan yang tidak sehat dalam sebuah pernikahan. Para peserta juga dapat mengembangan keyakinan yang lebih realistis tentang hubungan pernikahan dan menurunnya tingkat
agresi verbal mereka (Adler-Baeder, Kerpelman, Schramm, Higginbotham, & Paulk, 2007). Okagaki and Luster (2005) menegaskan bahwa bukti paling kuat tentang pengaruh pengasuhan berasal dari studi-studi intervensi yang didesain untuk mengubah praktek-praktek pengasuhan dan untuk menguji pengaruh perubahan tersebut terhadap anak-anak. Sejumlah studi misalnya van de Boom (1995), Whitehurst, Falco, Lonigan, Fischel, DeBaryshe,Valdez-Menchacha, dan Caufield (1988), Olds dkk (1998), dan Cowan & Cowan (2002) pernah dilakukan untuk mengevaluasi sejauh mana usaha-usaha intervensi dapat memperbaiki kesejahteraan anak melalui modifikasi pengetahuan, sikapsikap, dan keterampilan-keterampilan orangtua yang berhubungan dengan tugas-tugas pengasuhan. Secara keseluruhan hasil-hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa perbaikan dalam praktek-praktek pengasuhan secara fundamental mampu mereduksi permasalahan-permasalahan perilaku pada anak-anak. Program pendidikan keluarga secara signifikan efektif dalam mengubah sikapsikap dan praktek-praktek pengasuhan, dinamika keluarga, dan mengurangi permasalahan perilaku anak-anak (Dembo, Sweitzer, & Lauritzen, 1985; Todres & Bunston, 1993; Wolfe, 1999; Cowen, 2001). Temuan yang sama diperoleh dalam penelitian penulis (Kurniawan & Utami, 2007; Wijayanti & Kurniawan, 2008a; Aulianingtyas & Kurniawan, 2008b; Widyawati & Kurniawan, 2008c) bahwa memperbaiki keterampilan pengasuhan secara signifikan efektif mengurangi perilaku pengabaian orangtua terhadap anak dan stress pengasuhan, dan meningkatkan efikasi diri pengasuhan dan pemahaman orangtua tentang anak. Uraian singkat di atas menggambarkan kepada kita semua bahwa kedua persoalan tersebut—perceraian dan kekerasan dalam pengasuhan anak—dapat diatasi dan dicegah sedini mungkin dengan memberikan pendidikan pernikahan dan pengasuhan kepada calon suami istri yang akan menikah. Pendidikan pernikahan dan pengasuhan tersebut membekali mereka dengan pengetahuan-pengetahuan, sikap-sikap, dan keterampilan-keterampilan spiritual psikologis yang secara empirik ilmiah terbukti penting dan mencukupi dalam membangun pernikahan yang bahagia dan pengasuhan anak yang efektif. Sroufe dkk (1996) menegaskan bahwa hubungan pernikahan yang solid dan suportif dapat memutus siklus praktek kekerasan dalam pengasuhan anak yang diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya. 2. Pendidikan Pranikah dan Pengasuhan Calon Suami Istri 2.1. Temuan-temuan penelitian pendidikan pranikah dan pengasuhan 2.1.1. Pendidikan Pranikah Pendidikan pranikah—sebagian ahli menyebutnya dengan premarital prevention, premarital counseling, premarital therapy, premarital educative counseling, dan marriage preparation—merupakan sebuah pendekatan formal terstandar untuk mempersiapkan calon pasangan suami istri menuju jenjang pernikahan. Dalam bahasa Senediak (1990), pendidikan pranikah adalah pelatihan yang memungkinkan calon pasangan suami istri memiliki pengetahuan-pengetahuan dan keterampilan-keterampilan penting untuk mempertahankan dan memperbaiki hubungan mereka ketika mereka menikah. Program-program pranikah, menurut Markman dan Hahlweg (1993), didesain berdasarkan perspektif pencegahan dengan tujuan membantu calon pasangan suami istri mempertahankan hubungan antara mereka dalam level keberfungsian yang tinggi ketika mereka menikah. Dengan orientasi preventif, pendidikan pranikah didesain untuk membekali calon pasangan suami istri memiliki kesadaran tentang potensi-potensi permasalahan yang mungkin muncul setelah mereka menikah (a), dan memiliki informasi
serta sumberdaya yang memungkinkan mereka secara efektif mampu mencegah berkembangnya permasalah-permasalahan tersebut. Pendidikan pranikah, menurut Stahmann (2000) ditawarkan dengan tujuan untuk menciptakan pernikahan yang lebih stabil dan lebih memuaskan dan konsekuensi logisnya dapat mencegah perceraian Pendidikan pranikah biasanya diselenggarakan dalam setting alamiah, dalam jangka waktu tertentu, dan isi materi tertentu. Sejumlah program pendidikan pranikah, menurut Larson, Newell, Topham, dan Nichols (2002), menyertakan kuesioner asesmen pasangan, misalnya Premarital Personal and Relationship Evaluation (PREPARE; Olsen, Fournier, & Druckman, 1996); Facilitating Open Communication, Understanding, and Study (FOCCUS; Markey & Micheletto, 1997); and Relationship Evaluation (RELATE; Holman, Busby, Doxey, Loyer-Carlson, & Klein, 1997), sebagai bagian dari proses pendidikan untuk membantu calon pasangan suami istri belajar tentang dan mengevaluasi hubungan di antara mereka atau menurut Bruun (2010) untuk mengeksplorasi sistem keyakinan dan sikap pasangan. Stahmann dan Salts (1993), berdasarkan ulasan terhadap lebih dari 20 program pranikah, menemukan konsistensi dalam hal topik yang diberikan kepada peserta calon pasangan suami istri, di antaranya komunikasi, resolusi konflik, hubungan peran dalam pernikahan, komitmen, manajemen finansial, seksualitas, ekspektasi pengasuhan, dan hubungan menantu-mertua. Carroll dan Doherty (2003) dalam studi meta-analisis tentang efektivitas 26 program pendidikan pranikah menyimpulkan bahwa secara umum program pendidikan pranikah efektif dalam menghasilkan perubahan yang signifikan terkait proses komunikasi, keterampilan-keterampilan manajemen konflik, dan kualitas hubungan secara keseluruhan dan perubahan ini bertahan paling tidak selama 6 bulan sampai 3 tahun. Karena kurangnya studi follow-up, kecuali studi Markman dkk (1993), maka tidak dapat disimpulkan pengaruh jangka panjang (lebih dari 3 tahun) pendidikan pranikah terhadap perceraian pernikahan. Dalam bahasa yang lebih teknis, Carroll dan Doherty (2003) menemukan ratarata effect size program pranikah sebesar 0.8 yang berarti rata-rata orang yang berpartisipasi dalam program pranikah kondisinya lebih baik setelah mengikuti program dibandingkan 79% orang yang tidak berpartisipasi. Berdasarkan kapan pengukuran dilakukan (segera setelah intervensi selesai diberikan/paska intervensi, tindak lanjut beberapa bulan berikutnya), rata-rata effect size sebesar 0.99 paska intervensi, dan ratarata effect size 0.64 untuk tindak lanjut. Menggunakan pendekatan the Binomial Effect Size Display dalam memahami dan menginterpretasikan effect size, hasil penelitian menunjukkan kesempatan perbaikan untuk partisipan kelompok kontrol hanya 31% sedangkan kesempatan perbaikan untukpartisipan kelompok eksperimen sebesar 69%. Green dan Miller (2013) menemukan bahwa persiapan pernikahan memperbaiki kualitas hubungan dan mencegah perceraian. Pendikan pranikah memperbaiki komunikasi dan keterampilan-keterampilan manajemen konflik. Markman,Renick, Floyd, Stanley, dan Clement (1993) menemukan dalam studi longitudinalnya bahwa pasangan yang mengikuti program PREP (kelompok eksperimen) memperlihatkan lebih banyak interaksi yang positif setelah 4 tahun berjalan dibandingkan pasangan yang tidak mengikuti persiapan pernikahan (kelompok kontrol). Setelah 5 tahun, pasangan kelompok eksperimen terus menunjukkan peningkatan dalam hak keterampilan-keterampilan komunikasi. Pendidikan pranikah, menurut Green dan Miller (2013), juga memberikan kemanfaatan bagi peserta program dengan latar belakang sosial ekonomi dan SARA yang beragam, menguntungkan kedua gender pasangan, termasuk mereka yang termasuk kelompok beresiko. Futris, Barton, Aholou, dan Seponski (2011) menyimpulkan bahwa program pendidikan pranikah dapat disajikan secara efektif dalam beragam format. Mereka
membandingkan pasangan-pasangan yang sudah bertunangan (n = 53) yang berpartisipasi dalam enam sesi terpisah (n = 25 couples) atau berpartisipasi dalam workshop kelompok seharian (n = 28 couples) program PREPARE dan menemukan bahwa peserta laki-laki maupun perempuan memperlihatkan peningkatan yang sama dalam hal pemahaman dan aplikasi strategi-strategi untuk memperbaiki hubungan di antara mereka. Selain itu, pasangan-pasangan yang berpartisipasi dalam kedua format penyajian melaporkan peningkatan keyakinan mereka dalam menangani konflik dan kemampuan merekan untuk tetap bersama di masa datang. Beragam format penyajian yang menjanjikan tersebut menunjukkan sesi kelompok cenderung lebih efisien dan efektif dibanding konseling pasangan secara individual. Selain itu, Duncan, Childs, dan Larson (2010) menemukan empat jenis penyajian pendidikan pranikah (class, workshop, counselling, and self-directed) dianggap berguna dimana hanya terdapat sedikit perbedaan dalam hal pengaruhnya terhadap perubahan positif Pendidikan Pengasuhan 2.1.2. Pendidikan Pengasuhan Pendidikan pengasuhan, menurut Harman and Brim (1980), merupakan sebuah usaha yang terorganisasi dengan isi, target populasi, dan tujuan yang jelas yaitu meningkatkan atau mengubah performansi pengasuhan. Pendidikan pengasuhan merupakan usaha-usaha pendidikan yang bertujuan meningkatkan atau memfasilitasi perilaku-perilaku orangtua yang pada akhirnya berpengaruh positif terhadap perkembangan anak-anak mereka. Pendidikan pengasuhan didasarkan pada prinsip bahwa pengasuhan merupakan pekerjaan yang kompleks, sulit sekaligus menjanjikan kepuasan, dan karenanya pendidikan dapat membantu para orangtua melakukan tugas-tugas pengasuhannya dengan lebih efektif Dalam bahasa Einzig (1996), pendidikan pengasuhan bertujuan untuk meningkatkan konfidensi para orangtua dalam peran-peran mereka sebagai orangtua, mengakui keunikan-keunikan atau temperamen setiap anak, mengijinkan para orangtua untuk mengeksplorasi pengasuhan yang mereka miliki dengan para orangtua lainnya, dan mendorong para orangtua untuk mempertimbangkan praktek-praktek pengasuhan yang berbeda yang mungkin dapat meningkatkan efektivitas pengasuhan mereka. Pendidikan pengasuhan, menurut Hammer and Turner (1985) dapat mempengaruhi secara positif kepuasan dan keberfungsian keluarga dengan mengkomunikasikan pengetahuan tentang perkembangan anak dan hubungan-hubungan yang meningkatkan kesepahaman, menyediakan alternatif model-model pengasuhan sehingga orangtua memiliki pilihanpilihan luas, mengajari keterampilan-keterampilan pengasuhan yang baru, dan memfasilitasi akses terhadap layanan-layanan komunitas . Bunting (2004) menemukan bahwa program pengasuhan memiliki dampak positif yang luas, termasuk memperbaiki perilaku anak, meningkatkan harga diri dan penyesuaian hubungan ibu, memperbaiki pengetahuan dan interaksi ibu-anak, dan menurunkan stress dan depresi ibu. Meskipun dampak jangka panjang program belum diketahui, bukti awal mengindikasikan dampak positif program tetap bertahan dalam jangka waktu relative lama, terutama program pendidikan pengasuhan yangberbasis kelompok dan berorientasi perilaku. Temuan yang sama juga diperoleh dalam studi Duncombe,Havighurst, Kohe, Holland, Frankling, dan Stargatt (2014) bahwa program pendidikan pengasuhan berbasis emosi maupun perilaku yang menjadi bagian dari intervensi dini multisystem sama-sama efektif dalam mereduksi conduct problems anakanak. Program pengasuhan yang berfokus pada perbaikan kesadaran/regulasi emosi orangtua, Tuning in to Kids (Havighurst & Harley, 2007), ditemukan menghasilkan perubahan signifikan dalam sosialisasi emosi orangtua maupun perbaikan pengetahuan emosi anak, baik pada sampel anak-anak prasekolah (Havighurst, Wilson, Harley, Prior,
& Kehoe., 2010; Wilson, Havighurst, & Harley, 2012), anak praremaja (Kehoe, Havighurst, & Harley, 2014), dan anak-anak prasekolah dengan permasalahanpermasalahan perilaku (Havighurst, Wilson, Harley, Kehoe, Efron, & Prior., 2013). Tidak seperti program pengasuhan berfokus perilaku, permasalahan perilaku sulit anak dipandang sebagai sebuah kesempatan untuk melatih anak dalam memahami dan meregulasi emosi mereka. Bohr, Halpert, Chan, Lishak, dan Brightling (2010) menemukan program pendidikan pengasuhan berbasis komunitas yang diadaptasi mampu mereduksi stress pengasuhan, memperbaiki konfidensi pengasuhan, dan meningkatkan keterampilan kognitif pengasuh. Hasil penelitian tersebut sejalan dengan temuan penelitian sebelumnya (Brenner, Nicholson, dan Fox, 1999) di mana terjadi penurunan yang signifikan dalam hal penggunaan hukuman verbal dan fisik kepada anak, peningkatan yang signifikan pada nurturing behavior, dan permasalahan perilaku anak berkurang. Burke, Soltys, dan Trinder (2008) menemukan program pendidikan pengasuhan mampu secara signifikan membantu orangtua mereduksi permasalahan emosi-perilaku anak, memperbaiki praktekpraktek pengasuhan, dan meningkatkan kepuasan pengasuhan. 2.2. Komponen-komponen penting program pendidikan pranikah dan pengasuhan Olson dkk (2011) menjelaskan program pendidikan pranikah yang efektif memiliki paling tidak 5 komponen esensial berikut ini: 1. Calon pasangan suami istri seharusnya mengisi semacam kuesioner pranikah dan mereka seharusnya menerima umpan balik dari hasil pengisian kuesioner tersebut. Kuesioner pranikah meningkatkan kesadasaran calon pasangan suami istri tentang kekuatan-kekuatan masing-masing dan potensi-potensi permasalahan yang mungkin terjadi dalam hubungan mereka. Kuesioner juga membantu mereka untuk mendiskusikan hubungan di antara mereka. Selain itu, proses membangun hubungan dengan konselor atau pasangan yang sudah menikah akan dapat memudahkan calon pasangan untuk berkonsultasi ketika mereka membutuhkan konsultasi serius. Kuesioner juga memudahkan mereka dalam mempersiapkan diri untuk mengikuti program pengayaan paska menikah 2. Calon pasangan suami sitri seharusnya menerima pelatihan dalam hal keterampilanketerampilan komunikasi dan pemecahan masalah. Keterampilan-keterampilan tersebut membantu mereka mengatasi permasalahan dengan cara empati, membuka diri, dan resolusi konflik. 3. Calon pasangan suami istri harus terlibat dalam sebuah diskusi kelompok kecil di mana mereka dapat berbagi perasaaan-perasaan dan pengalaman-pengalaman mereka. Hal ini akan meningkatkan kemampuan dan keinginan mereka untuk berbagi dengan pasangan yang lain, sehingga mereka bisa belajar dari pasangan lain bagaimana berhubungan satu sama lain dan menyelesaikan permasalahan, dan memungkinkan mereka untuk mengembangkan persahabatan dengan pasangan lain tersebut 4. Program pranikah seharusnya diselenggarakan 1 tahun sebelum calon pasangan suami istri menikah dan berlangsung selama kurang lebih 6-8 minggu. Ketika mereka tidak menyelesaikan program secara keseluruhan, mereka harus mengikuti program sejenis paska mereka melangsungkan pernikahan. 5. Program pranikah seharusnya memotivasi calon pasangan suami istri untuk mengikuti lanjutan program pengayaan pernikahan paska mereka menikah. Pernikahan merupakan sebuah proses dan membutuhkan usaha terus menerus dari pasangan agar pernikahan mereka tumbuh dan mampu mengatasi permasalahan dan perubahan yang terus menerus terjadi. Pasangan suami istri idealnya mengikuti program pengayaan setelah menikah untuk mempertahankan hubungan pernikahaan mereka..
Sementara itu Gottman dan Gottman (2006) menyarankan 2 prinsip dasar yang harus dalam program pendidikan pernikahan: 1. Pasangan menikah yang bahagia berperilaku seperti teman-teman yang baik. Dengan kata lain, hubungan di antara pasangan ditandai dengan penghargaan, afeksi, dan empati. Mereka menaruh perhatian dengan sungguh-sungguh terhadap apa yang sedang terjadi/berlangsung/dialami oleh pasangannya dan mereka merasa terhubung secara emosi. Pasangan yang bahagia dan stabil membuat 5 respon positif untuk setiap 1 hal yang negatif. Sebaliknya, pasangan yang akan bercerai melakukan kurang dari 1 respond positif (0,8) untuk setiap 1 hal yang negatif. 2. Pasangan menikah yang bahagia menangani konflik-konflik yang terjadi di antara mereka dengan cara-cara yang positif. Mereka mengakui bahwa konflik merupakan sesuatu yang tidak terhindarkan dalam sebuah pernikahan dan sejumlah permasalahan tidak pernah terselesaikan. Akan tetapi pasangan yang bahagia tidak terjebak dalam posisi mereka masing-masing. Mereka tetap berkomunikasi satu sama lain tentang konflik, mendengarkan dengan seksama setiap perspektif pasangannya, dan menemukan kompromi-kompromi yang disepakati kedua belah pihak. Hasil penelitian selama lebih dari 30 tahun terhadap lebih dari 24.000 anggota keluarga di seluruh negara bagian AS dan 27 negara di seluruh dunia (DeFrain, 2006, DeFrain & Asay, 2007) menunjukkan ada enam kualitas psikologis yang membuat keluarga yang kokoh, yaitu: Apresiasi dan afeksi (1), Komunikasi positif (2), Komitmen terhadap keluarga (3), Menikmati kebersamaan (4), Kesejahteraan spiritual (5), resolusi konflik (6). Keenam kualitas keluarga kokoh tersebut berhubungan dan berinteraksi satu sama lain. Apresiasi dan afeksi satu sama lain membuat anggota keluarga kemungkinan besar menghabiskan waktu bersama-sama dan waktu kebersamaan ini ditingkatkan melalui komunikasi positif. Komunikasi positif meningkatkan komitmen terhadap keluarga dan komitmen terhadap keluarga mendorong untuk lebih sering menghabiskan waktu bersama-sama. Perasaan sejahtera secara spiritual memberi anggota keluarga kepercayaan diri untuk mengatasi krisis dan kemampuan mengelola krisis membuat anggota keluarga lebih sering saling mengapresiasi satu sama lain. Dalam tataran yang lebih operasional temuan berikut dapat menjadi rujukan komponen terpenting apa yang harus ada dalam program pendidikan pranikah. Olson dan Olson (2000) melalui analisis mendalam menggunakan inventori pernikahan yang dinamakan “ENRICH”, menemukan perbedaan nyata antara pasangan menikah yang bahagia dan pasangan menikah tidak bahagia. Sepuluh kategori dari ENRICH yang mampu membedakan dengan sangat baik antara pasangan suami istri yang bahagia dan pasangan suami yang tidak bahagia secara berurutan adalah komunikasi, fleksibilitas pasangan, hubungan seksual, aktivitas waktu luang, keluarga dan teman, managemen finansial, dan keyakinan spiritual. Komponen terpenting pertama yang membedakan pasangan bahagia dan tidak bahagia adalah komunikasi. Komunikasi merujuk keyakinan-keyakinan dan sikap-sikap setiap pasangan secara individual terkait peran komunikasi dalam memelihara hubungan. Komunikasi difokuskan pada level kenyamanan yang dirasakan oleh setiap pasangan dalam berbagi emosi-emosi dan keyakinan-keyakinan penting, persepsi individu pasangan tentang keterampilan pasangan dalam hal mendengarkan dan berbicara, dan persepsi individu menyangkut kemampuannya sendiri untuk berkomunikasi dengan pasangannya. Pasangan bahagia memiliki tingkat persetujuan positif yang tinggi (75%) tentang kualitas komunikasi mereka, sedangkan pasangan tidak bahagia memiliki tingkat persetujuan yang rendah (11%). Indikator komunikasi yang ditemukan paling dapat memprediksi pasangan menikah yang bahagia adalah apakah pasangan setuju bahwa mereka puas dengan bagaimana mereka berbicara satu sama lain. Hampir semua
pasangan menikah yang bahagia (90%) setuju dengan penyataan tersebut, sementara hanya 15% pasangan menikah yang tidak bahagia yang setuju terhadap pertanyaan tersebut. Tabel 1. 10 Karakteristik Utama Pembeda Pasangan Suami Istri Bahagia dan Tidak Bahagia Aitem Saya sangat puas dengan bagaimana kami berbicara satu sama lain Kami kreatif dalam hal bagaimana kami menangani perbedaan-perbedaan di antara kami Kami merasa sangat dekat satu sama lain Pasangan saya jarang sekali terlalu mengendalikan Ketika mendiskusikan permasalahan, pasangan memahami pendapat-pendapat dan gagasangagagan saya Saya sungguh sangat puas dengan jumlah kasing sayang dari pasangan saya Kami memiliki sebuah keseimbangan waktu luang yang baik antara bersama-sama dan sendirian Teman atau keluarga pasangan saya jarang mencampuri urusan hubungan kami Kami sepakat tentang bagaimana kami membelanjakan uang Saya puas tentang bagaimana kami mengungkapkan nilai-nilai dan keyakinankeyakinan spiritual.
Pasangan Bahagia PCA* 90%
Pasangan Tidak Bahagia PCA* 15%
78%
15%
98% 78%
27% 20%
87%
19%
72%
28%
71%
17%
81%
38%
89%
41%
89%
36%
Keterangan: PCA = positive couple agreement Komponen terpenting kedua yang dapat membedakan pasangan bahagia dan tidak bahagia adalah fleksibilitas pasangan. Fleksibilitas pasangan merefleksikan kapasitas pasangan untuk berubah dan beradaptasi ketika diperlukan. Fleksibilitas pasngan difokuskan dalam isu-isu kepemimpinan dan kemampuan untuk berganti tanggung jawab dan mengubah aturan-aturan. Sebanyak 75% pasangan yang bahagia setuju fleksibilitas pasangan sebagai sebuah kekuatan, sedangkan pasangan tidak bahagia hanya 20% yang setujua. Indikator fleksibilitas pasangan yang secara spesifik dapat membedakan dengan sangat bagus antara pasangan menikah yang bahagia dan pasangan menikah yang tidak bahagia adalah bagaimana mereka menangani perbedaan yang ada di antara mereka seca kreatif. Sebanyak 78% pasangan menikah yang bahagia setuju untuk kreatif dalam hal menangani perbedaan yang ada di antara mereka sebagai pasangan, sementara hanya 15% dari pasangan menikah tidak bahagia yang setuju akan hal tersebut. Komponen penting ketiga, kedekatan pasangan, mengukur level pengalaman kedekatan emosional antar pasangan dan sejauhmana mereka merasa seimbang antara keterpisahan dan kebersamaan. Kedekatan pasangan menyangkut sejauhmana setiap pasangan membantu satu sama lain, menghabiskan waktu bersama-sama, dan mengekspresikan perasaan-perasaan kedekatan emosional mereka. Pasangan menikah yang bahagia merasa lebih dekat satu sama lain daripada yang dimiliki pasangan menikah tidak bahagia (91% versus 35%). Indikator kedekatan yang paling dapat membedakan antara pasangan yang bahagia dan tidak bahagia adalah persetujuan dalam perasaan dekat satu sama lain (pasangan bahagia 98%; pasangan tidak bahagia 27%).
Perbedaan penting keempat antara pasangan bahagia dan tidak bahagia terletak pada kompatibilitas kepribadian. Kompatibilitas kepribadian difokuskan dalam isu-isu seperti kelambanan, tabiat marah, suasana hati, keras kepala, kecemburuan, dan kepemilikan. Selain itu, komponen ini juga mengevaluasi apakah pasangan mempertimbangan pandangan-pandangan umum pasangan, ketergantungan, dan kecenderungan untuk mendominasi. Pasangan yang bahagia lebih banyak (63%) daripada pasangan yang tidak bahagia (11%) dalam hal merasakan kecocokan dengan kepribadian pasangannya. Indikator kepribadian yang spesifik dan paling mampu membedakan antara pasangan bahagia dan pasangan tidak bahagia adalah apakah sebagai pasangan ia setuju bahwa pasangan mereka tidak terlalu mengendalikan. Pasangan yang bahagia lebih banyak setuju terhadap aitem ini daripada pasangan yang tidak bahagia (pasangan bahagia 78%; pasangan tidak bahagia 20%) Komponen penting kelima yang paling mampu membedakan antara pasangan bahagia dan pasangan tidak bahagia adalah resolusi konflik. Resolusi konflik memfokuskan pada sikap-sikap, perasaan-perasaan, dan keyakinan-keyakinan individu tentang eksistensi dan resolusi konflik yang terjadi dalam hubungan mereka. Resolusi konflik menyangkut keterbukaan pasangan untuk mengakui dan menyelesaikan permasalahan, strategi-strategi dan proses-proses yang digunakan untuk mengakhiri pertengkaran, dan tingkat kepuasaan terhadap cara-cara di mana sebuah masalah dipecahkan. Kebanyakan pasangan menikah yang bahagia (61%) suka terhadap bagaimana cara mereka mengatasi konflki, sementara pasangan tidak bahagia hanya 12% yang melakukan hal tersebut. Secara lebih spesifik, pasangan menikah yang bahagia merasa dipahami ketika mendiskusikan permasalahan-permasalahannya daripada pasangan menikah tidak bahagia (pasangan bahagia 87%; pasangan tidak bahagia 19%). Hubungan seksual, aktivitas waktu luang, keluarga dan teman, manajemen finansial, dan keyakinan spiritual merupakan komponen utama lainnya dalam membedakan pasangan bahagia dan pasangan tidak bahagia. Kebanyakan pasangan bahagia memiliki tingkat persetujuan yang tinggi terhadap pertanyaan-pertanyaan menyangkut hubungan seksual mereka (pasangan bahagia 81%; pasangan bahagia 26%). Mayoritas pasangan bahagia memiliki tingkat persetujuan yang tinggi terhadap isu-isu seputar waktu luang (pasangan bahagia 66%; pasangan tidak bahagia 25%). Pasangan bahagia juga cenderung memiliki tingkat persetujuan yang lebih tinggi daripada pasangan yang tidak bahagia dalam isu-isu menyangkut keluarga dan teman (pasangan bahagia 82%; pasangan tidak bahagia 40%), manajemen finansial (pasangan bahagia 69%; pasangan tidak bahagia 25%) dan keyakinan-keyakinan spiritual (pasangan bahagia 81%; pasangan tidak bahagia 46%). Sementara itu, terkait pendidikan pengasuhan, Shaw (2014) menjelaskan beberapa karakteristik program pendidikan pengasuhan yang sukses, yaitu 1. Spesifikasi. Program pengasuhan yang menentukan secara spesifik targetnya, baik jenis perilaku anak (misalnya disabilitas perkembangan, masalah-masalah perilaku anak) maupun transisi perkembangan tertentu (misalnya menjadi orangtua, “dua tahun yang menakutkan” ) lebih sukses dibandingkan program pengasuhan yang cakupan target perilaku atau rentang usia anaknya cukup luas (lihat Webster-Straton & Hammond, 1997; Olds, 2002; Shaw, Dishion, Supplee, Gardner, & Arnds, 2006). 2. Meliputi beragam domain. Program pengasuhan yang sukses cenderung menekankan pengasuhan dan faktor-faktor yang secara bersama-sama mungkin mempengaruhi keberfungsian pengasuhan, termasuk pengasuhan yang konsisten pada konteks seperti prasekolah, daycare, kesejahteraan ibu, independensi ekonomi keluarga, dan kualitas pernikahan (lihat Webster-Straton & Hammond, 1997; Olds, 2002; Shaw, Dishion, Supplee, Gardner, & Arnds, 2006)
3. Pelatihan secara seksama orang yang akan memberikan intervensi. Program pengasuhan yang sukses cenderung memaksimal usaha pelatihan bagi staf pelatihan dan menjaga intervention fidelity sepanjang program dilaksanakan (lihat lihat Webster-Straton & Hammond, 1997; Olds, 2002). Selain itu juga terdapat dukungan untuk menggunakan staff profesional (lihat Layjer, Goodson, Bernstein, & Price, 2001), meskipun hal tersebut juga dipengaruhi oleh kualitas staf penelitian internal (misalnya studi-studi yang menggunakan staf profesional cenderung membutuhkan pelatihan lebih intensif dan tindak lanjut) 4. Kemampuan trainer/pemberi intervensi untuk membuat orangtua mau terlibat. Program pengasuhan yang sukses telah mengembangkan cara-cara untuk memaksimalkan keterlibatan orangtua dengan menekankan pentingnya perkembangan anak-anak dan menghubungkannya dengan keterampilanketerampilan pengasuhan dan keputusan-keputusan orangtua yang sangat berguna untuk kesejahteraan/kebahagiaan orangtua itu sendiri. Selain r beragam domain kehidupan keluarga, program pengasuhan yang sukses juga melakukan kontak yang intensif dan berulang dengan para orangtua, mulai dari beberapa bulan sampai satu atau dua tahun. Sementara itu Sanders (Briesmeister & Schaefer, 2007) menyarankan lima prinsip program pendidikan pengasuhan yang sukses, yaitu 1. Lingkungan yang aman, menyenangkan, menarik, dan ramah. Anak-anak dari semua kelompok usia membutuhkan lingkungan yang aman, terawasi, dan protektif yang menyediakan mereka kesempatan-kesempatan untuk melakukan eksplorasi, eksperimen, dan bermain. Prinsip ini sangat mendasar untuk tumbuhnya perkembangan yang sehat dan untuk mencegah kecelakaan dan cidera di rumah. Lingkungan yang demikian juga relevan untuk anak-anak yang lebih tua usianya dan remaja yang membutuhkan pengawasan memadai terkait konteks perkembangan yang tepat. 2. Lingkungan belajar yang positif. Meskipun hal melibatkan pengajaran orangtua dalam peran mereka sebagai guru pertama anak, program secara spesifik mentargetkan bagaimana para orangtua menanggapi secara positif dan konstruktif terhadap interaksi yang diinisiasi oleh anak (misalnya permintaan bantuan, informasi, nasihat, perhatian) melalui pengajaran insidental dan teknik-teknik lainnya untuk membantu anak-anak belajar memecahkan sendiri permasalahan yang mereka miliki. Pengajaran insidental melibatkan usaha-usaha yang bertujuan agar orangtua bersikap menerima interaksi-interaksi yang diinisasi anak-anak ketika mereka berusaha untuk mengkomunikasikannya dengan orangtua mereka. 3. Disiplin asertif. Alih-alih menggunakan praktek disiplin yang tidak efektif dan bersifat memaksa, misalnya berteriak, mengancam, atau menggunakan hukuman fisik, ajarkan orangtua strategi tertentu tentang manajemen anak dan perubahan perilaku. Strategi-strategi tersebut antara lain memilih aturan-aturan dasar untuk situasi-situasi spesifik, mendiskusikan aturan-aturan bersama anak, memberikan instruksi dan permintaan yang jelas, tenang, dan sesuai usia anak, konsekuensikonsekuensi logis, waktu tenang, dan pengabaian yang terencana. Orangtua dilatih untuk menggunakan keterampilan-keterampilan tersebut di dalam setting rumah dan komunitas yang beragam (misalnya membuat anak-anak siap untuk pergi, menerima kunjungan, dan pergi berbelanja) untuk mempromosikan generalisasi keterampilanketerampilan pengasuhan di beragam setting pengasuhan. 4. Ekspektasi-ekspektasi yang realistik. Kegiatan ini melibatkan eksplorasi orangtua terkait ekspektasi-ekspektasi, asumsi-asumsi, dan keyakinan-keyakinan mereka tentang sebab-sebab perilaku anak, dan memilih tujuan-tujuan yang tepat menurut
tahapan perkembangan anak dan realistik untuk orangtua. Ada bukti bahwa para orangtua yang beresiko tinggi melakukan kekerasan terhadap anak memiliki harapan yang tidak realistik terhadap kapabilitas-kapabilitas anak mereka. Ekspektasiekspektasi yang tepat menurut tahapan perkembangan anak diajarkan dalam konteks spesifik berupa keprihatinan-keprihatinan orangtua atas perilaku-perilaku sulit dan prososial daripada melalui pendekatan tradsional terkait usia dan tahapan-tahapan perkembangan anak 5. Perduli terhadap diri sendiri sebagai orangtua. Pengasuhan dipengaruhi oleh beragam faktor yang berpengaruh terhadap harga diri dan orangtua. Hal tersebut dilakukan dengan cara mendorong para orangtua untuk memandang pengasuhan sebagai bagian dari sebuah konteks yang lebih luas/besar yaitu perlindungan diri, kemampuan untuk mengambil keputusan dan bertindak secara mandiri, dan kebahagiaan, dan dengan mengajarkan para orangtua keterampilan-keterampilan pengasuhan praktis yang dapat diimplementasikan oleh kedua pihak orangtua. Para orangtua juga dapat diajarkan keterampilan-keterampilan komunikasi pernikahan yang efektif dan didorong untuk mengekplorasi bagaimana kondisi emosi yang dialami mempengaruhi pengasuhan yang mereka lakukan dan konsekuensinya terhadap perilaku anak-anak mereka. Para orangtua dilatih untuk mengembangkan strategi-strategi coping spesifik untuk menangani emosi-emosi sulit, termasuk depresi, marah, kecemasan, dan tingkat stres pengasuhan yang tinggi. Untuk memahami dan melakukan intervensi yang efektif terhadap para orangtua yang mengidentifikasikan dirinya sebagai orang religius-sebagaimana halnya realitas orang Indonesia mayoritas beragama Islam, penulis memandang penting model pengasuhan yang diinspirasi oleh keyakinan agama, a faith-inspired parenting model, yang diajukan oleh Husain (2013) dalam menyusun program pendidikan pengasuhan. Kekuatan utama model ini adalah model ini, dalam terma ekosistemik, mengijinkan komunikasi dua arah dan menjamin umpan balik berlangsung dalam real time dan ini menguntungkan kedua belah pihak, orangtua dan anak. Ketika menuntut dan menanggapi dengan penuh perhatian terjadi secara simultan, bersungguh-sungguh dalam memberikan penjelasan dan rasionalisasi, terus menerus mendorong komunikasi dua arah dan meyakinkan anak-anak mereka dalam cara penuh kasih sayang, model ini sangat membantu para orangtua untuk mendemontsrasikan secara nyata nilai-nilai religius yang selama ini ingin mereka wariskan kepada anak-anaknya. Anak-anak melihat, merasakan, dan mengalami sendiri secara langsung aplikasi sehari-hari dari nilai-nilai religius yang selama ini terus menerus dikomunikasikan oleh orangtua mereka Kekuatan lain dari model ini, lanjut Husain (2013) adalah orangtua religius akan semakin meyakini bahwa apa yang dilakukannya selama ini dalam pengasuhan anak adalah benar dengan cara mengkontektualisasikan penjelasan-penjelasan gaya pengasuhan dan pendekatan pendisiplinan yang mereka lakukan dalam doktrin-doktrin agama. Mereka mungkin menggunakan kisah-kisah yang ada dalam Kitab Suci mereka untuk mengorientasikan anak-anak mereka ke dalam nilai-nilai yang dijunjung tinggi dalam tradisi agama mereka. Bagi para orangtua yang mengaku religius tetapi memiliki pemahaman yang kurang tentang hal-hal penting dalam tradisi agamanya, institusi religius menyediakan bukan nya sumberdaya-sumberdaya belajar, tapi juga memberikan dukungan kelompok dan jaringan. Model pengasuhan ini juga memungkinkan para orangtua demikian tetap mendapatkan keuntungan karena anak-anak mereka akan tetap terpapar dan tetap mengenal keyakinan-keyakinan dan nilai-nilai penting dalam tradisi agama mereka. Pada level yang lebih personal, pentingnya memasukan pendekatan religius dalam penyusunan program pendidikan pengasuhan didasarkan pada konsep yang
dinamakan sanctification of parenting (Mahoney dkk., 2003). Santification of parenting, menurut Mahoney dkk (2003) merupakan konsep yang merujuk pada sejauhmana orangtua memandang dan meyakini pengasuhan sebagai manifestasi ketuhanan—dalam bahasa penulis, pengasuhan sebagai ibadah, manifestasi penghambaan kepada Allah Ta’ala. Para ayah dan ibu yang menganggap pengasuhan sebagai ibadah, menurut Mahoney dkk., 2003; Pargament & Mahoney, 2005) akan lebih banyak menginvestasikan usahanya dan lebih berkomitmen untuk menggunakan teknik-teknik yang memunculkan perilaku moral anak-anak mereka. Orangtua yang percaya dirinya memiliki kewajiban spiritual untuk mencontohkan/ menjadi model kesabaran dan kasih sayang, menurut Volling, Mahoney dan Rauer (2009) kemungkinan besar akan mengungkapkan persetujuan untuk perilaku-perilaku pantas dan akan konsisten memberikan semacam pujian terkait perilaku yang dikendaki dari anak. Sebaliknya, untuk menjadi contoh otoritatif yang tegas namun hangat, kecil kemungkinan mereka untuk melakukan hal-hal seperti mempermalukan, merendahkan, atau mengancam tidak akan menyayangi lagi untuk memaksa anak melakukan segala sesuatu yang berharga secara moral. Fagan (2006) menyimpulkan—dari penelitian-penelitian penting selama lebih dari sepuluh tahun—bahwa praktek-praktek religius mempromosikan kesejahteraan individu, keluarga, dan komunitas. Pearce & Axinn (1998) menemukan partisipasi religius mendorong orangtua mengembangkan gaya pengasuhan autoritatif, hangat, dan aktif. Orangtua yang menghadiri layanan religius lebih besar kemungkinannya menikmati sebuah hubungan yang lebih baik dengan anak-anaknya dan lebih terlibat dengan pendidikan anak-anaknya. Wilcox (2002) juga menemukan, dibandingkan dengan ayah yang tidak memiliki afiliasi religius, ayah yang sering menghadiri layanan religius kemungkinan besar memonitor anak-anaknya, memuji dan memeluk anak-anaknya, dan menghabiskan waktu bersama anak-anaknya. Perlunya program pendidikan pengasuhan yang adaptif dengan sosio-kultural orangtua Indonesia, yang mayoritas beragama Islam, mendapatkan dukungan empirik dari penelitian French, Eisenberg, Vaughan, Purwono, & Suryanti (2008). Mereka menemukan adanya konsistensi antara keterlibatan religius dan kompetensi remaja Muslim Indonesia. Mereka menjelaskan temuan penelitian mereka ke dalam konteks kolektivis religi di Jawa Barat, Indonesia di mana remaja Muslim Indonesia memperlihatkan keyakinan yang kuat dalam Islam dan religi memandu/ mengarahkan kehidupan mereka sehari-hari. Kurniawan dan Uyun (2013) menemukan program pendidikan pengasuhan versi pendekatan spiritual dalam pengasuhan menurut perspektif Islam (PP-VPS; Kurniawan & Scheithauer, 2011) memiliki pengaruh dalam kategori a large and substantive effect dalam mereduksi stres pengasuhan (t (18)= 2.53, sig <0.01; r=0.512) maupun disfungsi interaksi orangtua-anak (t (18)=2.79, sig <0.01; r=0.550) dibandingkan program pendidikan pengasuhan tanpa pendidikan spiritual (PP; Kurniawan & Utami, 2007). Program pendidikan pengasuhan versi pendekatan Islam mampu menjelaskan varian stres pengasuhan dan varian disfungsi interaksi orangtua-anak masing-masing sebesar 26,21% dan 30,25%. 2.3. Program pendikan pranikah dan pernikahan Islam Islam adalah agama yang sempurna. Agama yang memberikan kebahagiaan, kedamaian, dan ketenangan. Agama yang diridhai oleh Allah Ta’ala untuk umatnya, agama yang telah disempurnakan oleh Allah Ta’ala kepada kekasih dan sebaik-baik ciptaan-Nya yaitu Muhammad Shallallahu Alaihi wa Sallam, sebagaimana firman-Nya,
Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu Jadi agama bagimu (QS Al Maidah (5):3)
Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, Maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan Dia di akhirat Termasuk orang-orang yang rugi (QS Ali Imran (3):85)
Berangkat dari pijakan di atas, maka penulis meyakini bahwa program pendidikan pranikah dan pengasuhan yang dilandasi syariat Islam akan menyempurnakan kemanfaatan yang diperoleh dari program pendidikan pranikah dan pengasuhan yang sudah ada. Bukan hanya mampu mencegah terjadinya perceraian dan kekerasan terhadap anak, tapi Insya Allah juga membantu mengantarkan pasangan suami istri meraih kehidupan pernikahan dan pengasuhan yang diberkahi dan diridhai Allah Ta’ala, di dunia maupun di akhirat. Mari kita diskusikan mengapa penulis meyakini pendidikan pranikah dan pengasuhan dengan kerangka konseptual dan motivasional Islam akan mampu memaksimalkan efektivitas dan efisiensi hasil yang dikehendaki. Sebagai rujukan diskusi, penulis gunakan kerangka konseptual enam kualitas psikologis yang membuat sebuah pernikahan dan keluarga yang kokoh (DeFrain, 2006, DeFrain & Asay, 2007), yaitu: apresiasi dan afeksi (1), komunikasi positif (2), komitmen terhadap keluarga (3), menikmati kebersamaan yang menyenangkan (4), kesejahteraan spiritual (5), dan resolusi konflik (6). Kita imajinasikan ada dua kelompok orang yang menikah: kelompok pertama mendapatkan program pranikah dengan materi pokok ke-6 kualitas psikologis, dan kelompok kedua juga mendapatkan program pranikah dengan materi yang sama tapi mendapatkan kerangka konseptual dan motivasional Islam. Ketika kedua kelompok orang menikah tersebut kita bandingkan, misalkan kebahagiaan pernikahannya—dengan catatan kedua kelompok mampu mengimplementasikan semua hal yang mereka dapat di program dan tidak ada faktor eksternal yang mengganggu atau kedua kelompok jika mendapatkan hambatan eksternal, intensitas permasalahannya relatif sama—maka Anda mungkin akan berkesimpulan tidak akan ada perbedaan kebahagiaan pernikahan di antara kedua kelompok tersebut. Sampai tingkatan tertentu penulis sepakat dengan kesimpulan Anda tersebut. Tapi tahukah Anda bahwa kebahagiaan kedua kelompok tersebut sejatinya tetap akan berbeda. Kenapa? Mari kita lihat pada definisi pernikahan yang ditawarkan oleh kedua kelompok program pranikah tadi. Ketika para ahli psikologi keluarga, sosiologi keluarga, dan antropologi keluarga mendefinisikan pernikahan sebagai komitmen emosional dan legal antara seorang laki-laki dan seorang perempuan untuk berbagi intimasi fisik dan emosi, beragam tugas, dan sumberdaya ekonomi (Olson & DeFrain, 2003), maka Islam menawarkan konsep yang lebih paripurna. Islam memandang pernikahan bukan hanya komitmen pada level personal (terikat secara emosi) dan level sosial (terikat secara hukum negara), tapi juga level spiritual (terikat perjanjian dengan Allah Ta’ala— ً غلِي komitmen etik yang kuat—dalam Islam dikenal sebagai mitsqan ghalizhan-ظا َ )مِ يثَاقًا.
ً غ ِلي َ َوأ َ َخ ْذنَ ِم ْن ُك ْم ِميثَاقًا ظا
“Dan mereka (para istri) telah mengambil dari kalian (para suami) perjanjian yang kuat.” (AnNisa`: 21)
Akad ini mengharuskan masing-masing dari suami dan istri memenuhi apa yang dikandung dalam perjanjian tersebut, karena Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
يَاأَيُّ َها الَّ ِذينَ َءا َمنُوا أ َ ْوفُوا ِبا ْلعُقُو ِد
“Wahai orang-orang yang beriman, penuhilah akad-akad (perjanjian-perjanjian) kalian.” (AlMa`idah: 1)
عن جابر ابن عبد هللا قال قال رسول هللا صلي هللا عليه وسلم اتقوا هللا في النساء فانكم اخذتموهن بامان هللا واستحللتم فروجهن بكلمة..…………: هللا ولكم عليهن ان ال يوطئن فرشكم احدا تكرهونه فان فعلن ذلك فاضربوهن غير مبرج الحديث رواه البخاري ومسلم واللفظ- ولهن عليكم رزقهن وكسوتهن بالمعروف لمسلم Dari Jabir bin Abdillah, ia berkata, berabda Rasulullah saw : ……..Takut lah kamu sekalian kepada Allah sw dalam hal kaum perempuan, karena mereka adalah amanat Allah sw yang kamu sekalian ambil, kamu sekalian mendapatkan kehalalan farji mereka dengan kalimat Allah. Kamu sekalian harus menjaga mereka untuk kehormatan kamu sekalian dari seseorang yang kamu sekalian tidak sukai. Jika mereka melakukan hal itu, pukullah mereka dengan pukulan yang tidak melukai. Disamping itu kamu sekalian harus memberi mereka nafkah dan pakaian yang baik (HR Bukhari dan HR Muslim)
Anda lihat konsekuensi logis dari konsep pernikahan di atas? Orang-orang yang menikah dalam kelompok pertama secara logis akan mendapatkan kepuasan pernikahan pada level biologis (kepuasan seksual) sampai level psikologis (rasa cinta, harga diri), sedangkan orang-orang yang menikah kelompok kedua kepuasan pernikahannya sampai level spiritual (melakukan sesuatu yang sangat disukai, sangat penting, dan sangat berharga di sisi Tuhan-Nya). Kenapa bisa demikian? Coba Anda perhatikan keterangan berikut ini: “Sesungguhnya, apabila seorang suami memandang isterinya (dengan kasih & sayang) dan isterinya juga memandang suaminya (dengan kasih & sayang), maka Allah akan memandang keduanya dengan pandangan kasih & sayang. Dan apabila seorang suami memegangi jemari isterinya (dengan kasih & sayang) maka berjatuhanlah dosadosa dari segala jemari keduanya” (HR. Abu Sa’id) “Pada kemaluan seseorang dari kamu itu ada sedekahnya.” Para sahabat bertanya, “Ya Rasulullah, apakah seseorang dari kami yang melampiaskan syahwatnya mendapatkan pahala?” Beliau menjawab,” Bagaimanakah pandanganmu jika ia melampiaskan syahwatnya pada sesuatu yang haram, bukankah ia berdosa? Maka demikian pulalah, jika ia melampiaskannya pada yang halal, maka ia mendapatkan pahala” (HR Muslim) “Sesungguhnya jika engkau menafkahkan suatu nafkah, maka ia adalah sedekah, hingga sesuap nasi yang engkau angkat ke mulut istrimu” (HR Bukhari Muslim) Jadi pada kepuasan pernikahan level biologis pun, suami istri dengan kerangka konseptual dan motivasional Islam akan sekaligus memiliki kebahagiaan level spiritual (dalam istilah Syuqqah (1998) disebut dengan ketinggian ruhani) karena dalam dalam pandangan Islam, ketinggian dan kerendahan ruhani berhubungan erat dengan aktivitas manusia, baik aktivitas yang bersifat ‘ruhiyah’ ruhani maupun aktivitas yang bersifat ‘maaddiyah’ kebendaan/materi. Kegiatan-kegiatan bisa berupa syiar seperti shalat, puasa, dan haji, kegiatan-kegiatan kebajikan yang dilakukan kebanyakan manusia seperti menjenguk orang sakit, memberi nasihat, dan membantu menghilangkan kesusahan orang lain, ataupun kegiatan-kegiatan yang biasa dilakukan untuk mendapatkan kesenangan hidup duniawi, misalnya makan, minum, dan melakukan hubungan seksual. Islam menetapkan adanya interaksi, saling melengkapi, dan saling mengimbangi antara menaati Allah Azza wa Jalla dalam menunaikan syiar-syiar ibadah, dalam melakukan kebajikan dan amal kebajikan, serta dalam mengusahakan yang halal di dalam mencari kesenangan hidup (Syuqqah, 1998).
Siapa pun, lanjut Syuqqah (1998) bisa mencapai ketinggian ruhani apabila dalam melakukan amalan dan aktivitas-aktivitas tersebut memenuhi dua faktor berikut ini, yaitu: 1. Niat yang baik ketika menghadapi pekerjaan tersebut 2. Memilih mana yang disyariatkan (dibenarkan syariat) dalam menunaikannya. Kedua faktor tersebut merupakan syarat pokok disyariatkannya semua bentuk ibadah dan diperkenankannya orang menggapai kesenangan. Apabila kedua faktor tersebut tidak ada, maka akan terjadi kejatuhan ruhani, meskipun aktivitas tersebut merupakan aktivitas yang bersifat ruhiyah spiritual. Allah tidak menerima suatu ibadah yang dilakukan oleh orang-orang mukmin dan tidak memberinya pahala jika kedua syarat ini tidak terpenuhi. Allah tidak meridhai dan tidak memberi pahala atas pelampiasan syahwat atau kesenangan yang dilakukan orang-orang mukmin jika kedua syarat tersebut tidak terpenuhi. Setiap aktivitas tidak menjadi lebih utama karena simbol luarnya, baik aktvitas yang bersifat ruhiyah spiritual maupun aktivitas yang bersifat maaddiyah materi/ kebendaan. Mereka menjadi lebih utama karena disertai niat yang saleh (baik) dan ditunaikan sesuai dengan tuntunan syar‘i. Dengan perspektif seperti ini, maka semua aktivitas yang bersifat ruhiyah spiritual maupun semua aktivitas yang bersifat maaddiyah materi sama kedudukannnya dalam pandangan Pembuat Syariat, Allah Subhanahu wa Ta’ala. Keduanya saling melengkapi, yang dengannya dibangun kehidupan yang utama. Mukmin dan mukminah mendapatkan pahala karena menunaikannya, sebagaimana mereka mendapatkan pahala dalam melakukan semua akitivitas qurbah (pendekatan diri kepada Allah Ta’ala). Islam—dengan antuasiasme dan penekanannya pada keseimbangan dan saling melengkapi antara aspek materi kebendaan dan ruhani kejiwaan terhadap semua persoalan hidup—senantiasa mengatur setiap Muslim untuk memenuhi unsur-unsur ruhani dan unsur-unsur materi di celah-celah setiap urusan kehidupan, baik persoalan spiritual maupun materi. Semua unsur spiritual akan menghasilkan buah materi yang bagus, dan semua urusan materi juga menghasilkan buah spiritual yang bagus. Sebagai contoh, di antara amalan maadiyah’kebendaan/materi‘ adalah hubungan biologis seksual, disertai dengan memilih yang halal di dalam memilih teman hidup, kemudian melaksanakan adab-adabnya dengan disertai keinginan agar istri mendapatkan kepuasan sebagaimana suami mendapatkan kepuasan. Istri memandang suami dengan penuh kasih sayang, suami memasukan sesuap nasi ke dalam mulut istrinya, dan memegang jemari istrinya dengan kasih sayang. Buah ruhani dari hubungan biologis ini adalah dapat membantu dalam menundukkan pandangan, memelihara jiwa, dan mendapatkan ketenangan. Pandangan yang integral terhadap perjalanan hidup manusia—yang tidak membagi-bagi kehidupan kepada aspek-aspek materi yang harus dijauhi sedapat mungkin dan aspek-aspek ruhiyah yang harus ditekuni semampu mungkin—memberikan semangat hidup dan makna baru dalam usaha membangun peradaban. Apa saja yang dituntut untuk ditunaikan oleh seorang muslim dalam perjalanan hidupnya haruslah jalan yang lurus, yakni dengan niat yang ikhlas dan pelaksanaan yang baik (sesuai dengan tuntunan syar’i). Maka, menyingkirkan kotoran dari tengah jalan, membangun dinding asrama anak yatim, membangun perindustrian dengan baik termasuk ke dalam kategori ibadah, sebagaimana halnya melakukan ruku dengan khusyu di tengah malam, dan menangis karena takut kepada Allah Ta’ala. Itu ketika secara teoritis semuanya berjalan normal. Maksudnya keenam kualitas psikologis tadi berfungsi sebagaimana seharusnya dalam kehidupan sehari-hari. Nah apa yang terjadi pada kedua kelompok pernikahan ketika keenam kualitas psikologis yang dipersyaratka untuk terbangunnya pernikahan dan keluarga kokok tidak berjalan.
Misalanya komitmen psikologis (rasa cinta, harga diri) terciderai karena pasangan selingkuh? Mana yang Anda prediksikan rentan untuk segera mengambil keputusan bercerai? Penulis percaya Anda akan sepakat dengan penulis bahwa kelompok pertama yang rentan untuk bercerai. Kenapa? Karena komitmen awal yang mendasari keputusan n untuk sepakat menikah yaitu rasa saling mencintai, sudah diciderai. Alasan apa alagi yang menghalangi mereka untuk tidak bercerai? Coba tanyakan pertanyaan yang sama kepada kelompok kedua, maka responnya akan jauh berbeda. Kerangka konseptual dan motivasional Islam akan mengarahkan pasangan suami istri untuk memiliki sudut pandang yang lebih komprehensif dan pada akhirnya melahirkan motivasi yang sangat kuat untuk mempertahankan pernikahannya. Selain itu, ada beberapa alasan lain mengapa pendidikan pernikahan dan pengasuhan dipandang perlu diberikan kepada calong pasangan yang akan menikah. Pertama, pernikahan merupalkan sebuah perkara yang dengannya Allah SWT menjaminkan KETENANGAN, KELAPANGAN, DAN KASIH SAYANG (QS ArRum (3o): 21)2, sebuah perkara yang dengannya seseorang dikatakan TELAH MENYEMPURNAKAN SEPARUH AGAMA/IMAN (HR Thabarani, HR Baihaqi), dan sebuah perkara yang dengannya Allah SWT PASTI MENOLONG kepada seseorang yang menikah karena hendak menjaga kesucian dirinya (HR Ahmad). Begitu juga dengan pengasuhan anak. Pengasuhan anak merupakan sebuah perkara yang dengannya Allah Ta’ala mencatatnya sebagai amal kebaikan yang tidak pernah terputus meskipun yang bersangkutan telah meninggal dunia yaitu amal jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak yang shaleh yang selalu mendo’akan (HR Muslim), dan sebuah perkara yang “Apabila Allah menghendaki kebaikan pada suatu keluarga, Dia memperdalamkan pengetahuan agama kepada mereka, menjadikan anak-anak mereka menghormati orangtua mereka, memberikan kemudahan pada kehidupan mereka, kesederhanaan dalam nafkah mereka, dan memperlihatkan aib mereka sehingga mereka menyadarinya, lalu menghentikan perbuatannya. Namun apabila menghendaki sebaliknya, Dia meningalkan dan menelantarkan mereka (HR Daru Quthni)”. Kedua, ilmu merupakan kunci kesuksesan dunia dan akhirat (HR Tirmidzi). Memperhatikan penjelasan alasan pertama di atas dapat kita simpulkan bahwa pernikahan dan pengasuhan merupakan perkara yang sangat-sangat penting bagi kesuksesan seseorang di dunia sekaligus terutama di akhirat. Dengan ilmu yang dimiliki, pasangan suami istri akan dimampukan Allah Ta’ala untuk mengambil hikmah-pelajaran dari teladan terbaik dalam kehidupan berumah tangga dan pengasuhan anak yang pernah Allah Ta’ala perjalankan dalam kehidupan umat manusia. Dengan ilmu yang dikaruniakan Allah Ta’ala kepadanya, pasangan suami istri akan senantiasa berhati-hati dalam memilih dan melakukan setiap aktivitas yang berhubungan dengan kehidupan
21. Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.
pernikahan dan pengasuhan anak mereka agar tidak melampaui batas dan menyesatkan keluarganya dan orang lain. Ilmu yang dimiliki akan mencegah mereka dari mengikuti sesuatu yang mereka tidak memiliki pengetahuan tentangnya3 karena mereka menyadari sepenuhnya bahwa semua yang mereka lakukan akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah Ta’ala.
3. Penutup Alhamdulillaahirabbil’aalamiin, berkat rahmat dan karunia Allah Ta’ala, tulisan ini mudah-mudah memberikan gambaran sekaligus alternatif solusi atas masalah tahunan perceraian dan kekerasan pengasuhan di Indonesia. Akhirnya hanya kepada Allah Ta’ala saya memohon agar Dia memberikan manfaat atas apa yang telah Dia ajarkan, mengajarkan apa-apa yang bermanfaat bagi kita, menambahkan ketakwaan dan hidayah serta ilmu yang bermanfaat, memberikan kekuatan untuk beramal shalih, dan menjadikan ini sebagai tabungan amal penulis di akhirat. Semoga Allah Ta’ala memaafkan segala kesalahan dan kekurangan penulis. Mahasuci Engkau Ya Allah, dengan memujiMu, saya bersaksi bahwa tidak ada tuhan yang berhak disembah kecuali Engkau. Saya memohon ampunan dan bertaubat kepadaMu. Shalawat dan salam semoga senantiasa tetap tercurah kepada haribaan Muhammad Shallallahu “Alaihi wa Sallam, beserta keluarga, dan para sahabatnya. Ditulis oleh orang yang sangat membutuhkan ampunan Rabbnya Referensi Adler-Baeder, F., Kerpelman, J. L., Schramm, D. G., Higginbotham, B., & Paulk, A. (2007). The impact of relationship education on adolescents of diverse backgrounds. Family Relations, 56 (July), 291–303. Ahrons, C. (2007). Family ties after divorce: Long-term implications for children. Family Process, 46, 53-56. Amato, P (2007). Divorce and the well-being of adults and children. Amato, P. R., & Previti, D. (2003). People’s reasons for divorcing: Gender, social class, the life course, and adjustment. Journal of Family Issues, 24(5), 602–626. Aulianingtias, G., dan Kurniawan, I. N. (2008b). Efektivitas pelatihan keterampilan pengasuhan untuk meningkatkan pemahaman orangtua tentang anak. Yogyakarta: Laporan Penelitian (Unpublished). Belsky, J. (2005). Social-contextual determinants of parenting. In: Tremblay, R.E., Barr, R.G., and Peters, R.DeV. Eds. Encyclopedia on Early Childhood Development [online]. Montreal, Quebec: Centre of Excellence for Early Childhood Development. Bohr, Y., Halpert, B., Chan, J., Lishak, V., & Brightling, L. (2010) Community‐based parenting training: Do adapted evidence‐based programmes improve parent–
3 36. Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya.
infant interactions? Journal of Reproductive and Infant Psychology, 28:1, 55-68, DOI:10.1080/02646830903294961 Bostrom, M. (2003). Discipline and development: A meta-analysis of public perceptions of parents, Parenting, Child Development and Child Abuse. Brenner, V., Nicholson, B.C., & Fox, R.A. (1999). Evaluation of a community-based parenting program with the parents of young children. Early Child Development and Care, 148, 1-9. Bunting, L. (2004). Parenting programs: The best available evidence. Child Care in Practice, 10:4, 327-343, DOI: 10.1080/1357527042000285510 Carroll, J. S., & Doherty, W. J. (2003). Evaluating the effectiveness of premarital prevention programs: A meta-analytic review of outcome research. Family Relations, 52, 105–118. doi:10.1111/j.1741-3729.2003.00105.x Cowan, P. A., & Cowan, C. P. (2002). What an intervention design reveals about how parents affect their children’s academic achievement and behavior problems. In J. G. Borkowski, S. L. Ramey, & M. Bristol-Power (Eds.), Parenting and the child’s world: Influences on academic, intellectual, and social-emotional development (pp. 75–98). Mahwah, NJ: Lawrence Erlbaum Associates. Cowen, P.S. (2001). Effectiveness of a parent education intervention for at-risk families. Journal for Specialists in Pediatric Nursing, 6, 73–82. doi: 10.1111/j.17446155.2001.tb00124.x. Crittenden, P.M., Partridge, M.F., & Claussen, A.H. (1991). Family patterns of relationship in normative and dysfunctional families. Development and Psychopathology, 3,491-512. DeFrain, J. (2006). Family treasures: Creating strong families. Lincoln, NE: University of Nebraska Press. DeFrain, J., & Asay, S. (Eds.). (2007). Strong families around the world: The family strengths perspective. New York: Haworth. Dembo, M.H., Sweitzer, M., & Lauritzen, P. (1985). An evaluation of group parent education: Behavioral, P.E.T., and Adlerian programs. Review of Educational Research, 55, 155-200. Duncan, S. F., Childs, G. R., & Larson, J. H. (2010). Perceived helpfulness of four different types of marriage preparation interventions. Family Relations, 59, 623– 636. doi:10.1111/j.1741- 3729.2010.00628.x Duncombe,M.E., Havighurst, S.S., Kehoe, C. E., Holland, K.A.., Frankling, E. J., & Stargatt, R. (2014): Comparing an emotion- and a behavior-focused parenting program as part of a multisystemic intervention for child conduct problems. Journal of Clinical Child & Adolescent Psychology,0,1-15 DOI: 10.1080/15374416.2014.963855 Einzig, H. (1996). Parenting education and support. In R. Bayne and I. Horton (Eds.), New directions in counseling (pp. 220–234); London: Routledge. Fagan, P. F. (2006). Why religion matters even more: The impact of religious practice on social stability. Backgrounder, 1992, 1-23. Fench, D.C., Eisenberg, N., Vaughan, J., Purwono, U., & Suryanti, T.A. (2008). Religious involvement and the social competence and adjustment of Indonesian Muslim adolescents. Developmental Psychology, 44, 597-611. Futris, T. G., Barton, A. W., Aholou, T. M., & Seponski, D. M. (2011). The impact of PREPARE on engaged couples: Variations by delivery format. Journal of Couple & Relationship Therapy, 10(1), 69–86. doi:10.1080/15332691.2011.539175 Gottman, J.M., & Gottman, J.S. (2006). From predicting divorce to preventing it: An introductory message from John and Julie Gottman. In J.M. Gottman, J.S.
Gottman, and J. Declaire (Eds). 10 lessons to transform your marriage. New York: Three rivers press Halford, W. K., Markman, H. J., & Scott, S. (2008). Strengthening couples’ relationships with education: Social policy and public health perspectives. Journal of Family Psychology, 22(4), 497–505. Harman, D., and Brim, O. G., Jr. (1980). Learning to be parents: Principles, programs and methods. Beverly Hills, CA: Sage. Havighurst, S. S., & Harley, A. (2007). Tuning in to kids: Emotionally intelligent parenting program manual. Melbourne, Australia: University of Melbourne. Havighurst, S. S., Wilson, K. R., Harley, A. E., Kehoe, C., Efron, D., & Prior, M. R. (2013). ‘‘Tuning in to Kids’’: Reducing young children’s behavior problems using an emotion coaching parenting program. Child Psychiatry and Human Development, 44, 247–265. Havighurst, S. S., Wilson, K. R., Harley, A., Prior, M., & Kehoe, C. (2010). Tuning in to Kids: Improving emotion socialization practices in parents of preschool children—Findings from a community trial. Journal of Child Psychology and Psychiatry, 51, 1342–1350. Hetherington, E. M., & Kelly, J. (2002). For better or worse: Divorce reconsidered. New York: Norton. Holman, T. B., Busby, D. M., Doxey, C., Loyer-Carlson, V., & Klein, D. M. (1997). The RELATionship Evaluation. Provo, UT: Marriage Study Consortium. Husain, A. (2013). An ecosystem-based model for faith-inspired parenting. Journal of Human Behavior in the Social Environment, 23,159-170. Irwanto. 2006. Perilaku kekerasan pada anak: Apakah hukuman saja cukup? Jakarta: Himpsi Jaya. Kehoe, C. E., Havighurst, S. S., & Harley, A. E. (2014). Tuning in to teens: Improving parent emotion socialization to reduce youth internalizing difficulties. Social Development, 23, 413–431. Knutson, L., & Olson, D. H. (2003). Effectiveness of PREPARE Program with premarital couples in a community setting. Marriage and Family, 6(4), 529–546. Kurniawan, I. N. & Utami, D. S. (2007). Efektivitas pelatihan keterampilan pengasuhan sebagai upaya mengatasi kekerasan pada anak dalam keluarga : Studi Preliminer. Jakarta : Laporan Penelitian Dikti. Kurniawan, I. N. & Scheithauer, H. (2011). The effect of parenting education program on parenting stress and parenting self-efficacy of Indonesian parents. FU-Berlin: Research reports. Kurniawan, I. N., & Uyun, Q. (2013). Penurunan stres pengasuhan orangtua dan disfungsi interaksi orangtua-anak melalui pendidikan pengasuhan versi pendekatan spiritual. Jurnal Intervensi Psikologi, 5,111-130. Larson, J. H., Newell, K., Topham, G., & Nichols, S. (2002). A review of three comprehensive premarital assessment questionnaires. Journal of Marriage and Family Therapy, 28, 233–239 Mahoney, A., Pargament, K.I., Murray-Swank, A., & Murray-Swank, N. (2003). Religion and the sanctification of family relationships. Review of Religious Research, 40,220-236. Markman, H. J., & Hahlweg, K. (1993). The prediction and prevention of marital distress: An international perspective. Clinical Psychology Review, 13, 29– 43. Markman, H. J., Renick, M., Floyd, F. J., Stanley, S. M., & Clements, M. (1993). Preventing marital distress through communication and conflict management
training: A 4- and 5-year followup. Journal of Consulting and Clinical Psychology, 61, 70–77. doi:10.1037/0022-006X.61.1.70 Markey, B., & Micheletto, M. (1997). Instructor manual for FOCCUS. Minneapolis, MN: Life Innovations. McCullough, M.E., & Willoughby, B.L.B. (2009). Regulation, self-regulation, and selfcontrol: Associations, explanations, and implications. Pyschological Bulletin, 135,69-93. Murray, C. E. (2006). Professional responses to governmentendorsed premarital counseling. Marriage & Family Review, 40(1), 53–67. Okagaki, L & Luster, T. (2005). Research on parental socialization of child outcomes: Current controversies and future direction. In L. Okagaki & T. Luster (Eds.), Parenting: An Ecological Perspective (2nd ed., pp 377-401), Mahwah, NJ: Lawrence Erlbaum Associates. Olds, D., Henderson, C. R., Jr., Cole, R., Eckenrode, J., Kitzman, H., Luckey, D., Pettitt, L., Sidora, K., Morris, P., & Powers, J. (1998). Long-term effects of nurse home visitation on children’s criminal and antisocial behavior: 15-year follow-up of a randomized controlled trial. Journal of the American Medical Association, 280(14), 1238–1244. Olds, D.L. (2002). Prenatal and infancy home visiting by nurses: From randomized trials to community replication. Prevention Science, 3,153-172 Olsen, D. H., Fournier, D. H., & Druckman, J. M. (1996). PREPARE. Minneapolis, MN: Life Innovations. Olson, D. H., Olson-Sigg, A., & Larson, P. J. (2008). The couple checkup: Finding your relationship strengths. Nashville: Thomas Nelson. Olson, D. H., DeFrain, J., & Skogrand, L. (2011). Marriages and families: Intimacy, diversity, and strengths (7th Ed). New York: The McGraw-Hill Companies. Olson, D.H., & Olson, A.K. (2000). The path of the strong. In D.H. Olson & A.K. Olson (Eds), Empowering couples. Minneapolis, Minnesota: Life Innovation, Inc Pargament, K.I., & Mahoney, A. (2005). Sacred matters: Sanctification as vital topic for the psychology of religion. The International Journal of the Psychology of Religion, 15,179–198. Pearce, L. D. & Axinn, W. G. (1998). The impact of family religious life on the quality of mother–child relations. American Sociological Review, 63, 810–828. Popenoe, D., & Whitehead, B. D. (1999). Should we live together? What young adults need to know about cohabitationbefore marriage. New Brunswick, NJ: Rutgers University. Sanders, M. R. (2007). The triple-p—positive parenting program: A public health approach to parenting support. In J.M. Briesmeister & C.E. Schaefer (Eds), Handbook of Parent Training (3rd Ed). Hoboken, New Jersey: John Wiley & Sons Senediak, C. (1990). The value of premarital education. The Australian and New Zealand Journal of Family Therapy, 11, 26–31. Shaw, D.S., Dishion, T.J., Supplee, L.H., Gardner, F., & Arnds, K. (2006). Randomized trial of a family-centered approach to the prevention of early conduct problems: 2-year effects of the family check-up in early childhood. Journal of Consulting and Clinical Psychology, 74, 1-9 Shaw, D.S. (2006) Parenting programs and their impact on the social and emotional development of young children. In R.E.Tremblay, R.G. Barr RG, & R.DeV. Peters, (Eds). Encyclopedia on Early Childhood Development [online]. Montreal, Quebec: Centre of Excellence for Early Childhood Development; 2006:1-7.
Available at: http://www.excellenceearlychildhood.ca/documents/ShawANGxp.pdf. Simmons, R. L., Whitbeck, L. B., Conger, R. D., and Wu, C. (1991). Intergenerational transmission of harsh parenting. Developmental Psychology Journal, 27, 159-171 Sroufe, L. A., Cooper, R. G., & DeHart, G. B. (1996). Child development: Its Nature and Course. Boston: McGraw Hill College. Stafford, L., David, P., & McPherson, S. (2014). Sanctify of marriage and marital quality. Journal of Social and Personal Relationships, 31,54-70. Stahmann, R. F. (2000). Premarital counselling: A focus for family therapy. Journal of Family Therapy, 22, 104–116. doi:10.1111/1467-6427.00140 Todres, R., & Bunston, T. (1993). Parent education program evaluation: A review of the literature. Canadian Journal of Community Mental Health, 12, 225-257. van den Boom, D. C. (1995). Do first-year intervention effects endure? Follow-up during toddlerhood of a sample of Dutch irritable infants. Child Development, 66, 1798– 1816. Wallerstein, J., & Blakeslee, S (2003). What about the kids? Raising your children before, during, and after divorce. New York: Hyperion Wallerstein, J., & Lewis, J. M. (2004). The unexpected legacy of divorce: Report of a 25year study. Psychoanalytic Psychology, 21, 353-370 Webster-Stratton, C., & Hammond, M. (1997). Treating children with early-onset conduct problems: A comparison of child and parent training interventions. Journal of Consulting and Clinical Psychology, 65:93-109 Whisman, M. A., Dixon, A. E., & Johnson, B. (1997). Therapists’ perspectives of couple problems and treatment issues in couple therapy. Journal of Family Psychology, 11(3), 361–366. Whitehurst, G. J., Falco, F. L., Lonigan, C. J., Fischel, J. E., DeBaryshe, B. D., ValdezMenchaca,M. C., & Caufield, M. (1988). Accelerating language development through picture book reading. Developmental Psychology, 24(4), 552–558. Widyawati, L., dan Kurniawan, I.N. (2008c). Efektivitas pelatihan keterampilan pengasuhan untuk meningkatkan efikasi diri pengasuhan orangtua. Yogyakarta: Laporan Penelitian (Unpublished). Wijayanti, S., dan Kurniawan, I. N. (2008a). Efektivitas pelatihan keterampilan pengasuhan untuk menurunkan stress pengasuhan orangtua. Yogyakarta: Laporan Penelitian (Unpublished). Wilcox, W. B. (2002). Religion, convention, and parental involvement. Journal of Marriage and Family, 64, 780–792. Wilson, K. R., Havighurst, S. S., & Harley, A. E. (2012). Tuning in to Kids: An effectiveness trial of a parenting program targeting emotion socialization of preschoolers. Journal of Family Psychology, 26, 56–65. Wolfe, R. B. (1999). Listening to children: A new approach to parent support, education, and empowerment. Family Science Review, 12, 275-293. Ziegler, E., & Hall, N. W. (1989). Physical Abuse in America: Past, Present, and Future. In D Ciccheti & V.Carlson (Eds), Child Maltreatment. Cambridge, England: Cambridge University Press. http://www.republika.co.id/berita/nasional/umum/12/01/24/lya2yg-angka-perceraianpasangan-indonesia-naik-drastis-70-persen.