Kajian Hadits Tentang Persetujuan Nikah Anak Perempuan ...
KAJIAN HADITS TENTANG PERSETUJUAN NIKAH ANAK PEREMPUAN DALAM PERSPEKTIF PSIKOLOGI REMAJA DAN KELUARGA Syaiful Muda’i1 Abstract: The understanding effort of hadits which is a new fresh and contemporary is needed. This article talks about marriage approval of girls based on youth and family psychology’s view. This view is used to find out the ideal form in understanding hadits in the social context. This needs not only text approach but also other disciplines. With regard to youth and family psychology, so there is no relavance when the guardians are forcing their girls to get married, because approval is the form of willingness. It is the first foundation in creating happy family bring forth the next generation. Keywords: marriage approval, hadits, youth and family psychology Pendahuluan Naluri kasih sayang dan cinta mencintai, yang kemudian berlanjut kepada pernikahan, merupakan naluri alamiyah bagi manusia (gharīzat al-insāniyat). Dari generasi ke generasi pernikahan diyakini sebagai hal yang sangat sakral. Namun demikian, dalam tradisi pernikahan sebelum Islam datang (jahiliyah) terdapat nilai-nilai yang mendiskreditkan kaum perempuan. Di antara beberapa tradisi pernikahan masyarakat jahiliyyah yang jelas-jelas mendiskreditkan 1
192
Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Darussalam Krempyang Nganjuk.
Syaiful Muda’i
wanita adalah nikāh al-dlayzan atau juga disebut dengan nikāh almaqt.2 Dalam nikah model ini, jika suami meninggal, maka anak laki-lakinya (atau kerabatnya) lebih berhak untuk menikahi ibunya atau juga melarang ibunya untuk tidak menikah sampai akhir hayatnya. Jika sang anak berkeinginan untuk menikahinya, maka anak cukup melemparkan sehelai kain kepada ibunya dan secara otomatis dia mewarisi ibunya sebagai isteri. Kedua adalah nikāh al-badal, yaitu kesepakatan untuk tukar menukar istri dari dua orang suami tanpa perlu adanya mahar.3 Ketiga adalah nikāh alshighār, yaitu seorang laki-laki menikahkan anak perempuannya kepada laki-laki lain dengan syarat dia juga menikahkan dirinya kepada anak perempuan laki-laki tersebut dengan tanpa mahar. Keempat adalah nikāh al-istibdhā’, yaitu seorang suami menyuruh isterinya untuk tidur dengan lelaki lain sampai hamil dan setelah hamil isteri dipaksa untuk kembali lagi kepada suami semula. Dengan harapan sepasang suami isteri memperoleh keturunan yang berkualitas (najābat al-walad) dari orang lain yang dipandang memiliki kelebihan.4 Berdasarkan tradisi masyarakat jahiliyah dalam memperlakukan perempuan di atas, dapat dipahami bahwa perempuan sebelum Islam sangat dipandang rendah dan bahkan seperti tidak dianggap sebagai manusia. Perempuan lebih dipandang sebagai barang atau harta benda yang lainnya. Salah satu misi dari kedatangan Islam adalah mengangkat harkat dan martabat perempuan dalam berbagai dimensi, sehingga tradisi-tradisi jahiliyah tersebut akan terhapus. Ayat-ayat al-Qur’an yang membahas kedudukan perempuan banyak ditemukan, bahkan al-nisā’ (perempuan) dibakukan menjadi salah satu dari nama surat dalam al-Qur’an. Peranan perempuan sebagai anak, isteri dan ibu dalam Islam cukup diperhatikan, bahkan kedudukan perempuan sebagai isteri pun sangat dihargai. Al-Qur’an dengan jelas menekankan bahwa pernikahan dalam Islam adalah love sharing antara dua insan yang berbeda jenis dalam masyarakat dengan tujuan mempertahankan 2 Jawad ‘Ali, al-Mufashshal fi Tārikh al-‘Arab Qabl al-Islām, Juz X (tt.: Dār al-Sāqi, 2001), 206. 3 Ibid, 209. 4 Ibid, 212
193
Kajian Hadits Tentang Persetujuan Nikah Anak Perempuan ...
keturunan dan menciptakan spiritual harmony.5 Hal ini sebagaimana difirmankan Allah Swt dalam QS. ar-Rum: 21. Untuk mencapai tujuan pernikahan seperti itu, memperhatikan hati anak perempuan sebelum menikahkan adalah sebuah keniscayaan bagi seorang wali. Berdasarkan kerangka berpikir tersebut, tulisan ini bertujuan untuk mengkaji hadits-hadits tentang persetujuan nikah dari anak perempuan melalui pendekatan psikologi remaja dan keluarga. Sehingga nilai-nilai dari tujuan syarī’ah tidak terreduksi. Pembahasan A. Psikologi Remaja Pada masa Yunani awal, filsuf Plato dan Aristoteles berkomentar tentang sifat dasar anak muda. Menurut Plato, kemampuan bernalar tidak terdapat di masa anak-anak. Kemampuan bernalar muncul pertama kali di masa remaja. Aspek terpenting dari remaja menurut Aristoteles adalah kemampuan untuk memilih.6 Seperti halnya Plato, Rousseau berpendapat bahwa panalaran berkembang di masa remaja dan dari usia 15 hingga 20 tahun, individu mulai matang secara emosional dan sifat memikirkan diri sendiri (selfishness) digantikan dengan minat terhadap orang lain. Sedangkan menurut Erikson, pada usia 10-20 tahun individu mulai memasuki tahap keenam (masa remaja),7 sehingga individu dihadapkan kepada sebuah krisis antara identitas dan kebimbangan identitas (identity versus identity confusion). Pada masa ini, individu dihadapkan pada tantangan untuk menemukan siapakah mereka, bagaimana mereka nantinya dan arah mana yang hendak mereka tempuh dalam hidupnya. Remaja dihadapkan dengan peran-peran 5 Sebagaimana dipaparkan Olson, manfaat dari perkawinan antara lain, (1) memiliki gaya hidup, orang yang menikah cenderung menghindari perilaku yang berbahaya, (2) hidup lebih lama, hal ini karena mereka memiliki dukungan emosi dari pasangan dan akses terhadap sumber daya ekonomi, (3) memiliki kepuasan relasi seksual yang lebih baik, (4) lebih sejahtera secara ekonomi, (5) anak-anak pada umumnya tumbuh lebih baik jika diasuh oleh orang tua lengkap. Baca David H. Olson dan Olson AK, Empowering Couples, Building On You Strengths (Minneapolis, MN: Life Innovations Inc, 2000), 23. 6 John W. Santrock, Remaja (Jakarta: Erlangga, 2007), 5. 7 Menurut teori Erikson, kemajuan manusia dicapai melalui delapan tahap perkembangan. Di dalam setiap tahap individu dihadapkan kepada sebuah krisis yang merupakan suatu tugas perkembangan unik yang harus diselesaikan. Semakin individu berhasil menyelesaikan krisis yang dihadapi, semakin sehat perkembangan individu tersebut. Ibid, 11.
194
Syaiful Muda’i
baru dan status orang dewasa, pekerjaan dan romantika. Kemudian tahap berikutnya adalah masa dewasa awal (20-30 tahun), saat individu dihadapkan pada sebuah krisis antara keintiman dan keterkucilan (intimacy versus isolation). Pada masa ini, individu menghadapi tugas perkembangan yang berkaitan dengan pembentukan relasi intim dengan orang lain. Jika seorang dewasa muda membentuk persahabatan yang sehat dan sebuah relasi yang intim dengan orang lain, keintiman akan tercapai. Namun jika tidak, inidividu itu akan merasa terkucil.8 B. Psikologi Keluarga Pada berbagai belahan dunia dengan beragam budaya dan sistem sosial, keluarga merupakan unit sosial penting dalam bangunan masyarakat. Keluarga merupakan warisan umat manusia yang terus dipertahankan keberadaannya dan tidak lekang oleh perubahan jaman. Berbagai perubahan oleh faktor perkembangan jaman tentu saja mempengaruhi corak dan karakteristik keluarga, namun substansi keluarga tidak terhapuskan.9 Keluarga merupakan unit sosial terkecil dalam masyarakat, akan tetapi memiliki pengaruh besar bagi bangsa dan negara. Dari keluarga akan terlahir generasi penerus yang akan menentukan nasib bangsa. Jika keluarga mampu melaksanakan fungsinya dengan baik, maka dimungkinkan tumbuh generasi berkualitas yang dapat diandalkan menjadi pilar-pilar kemajuan bangsa. Sebaliknya jika keluarga tidak mampu berfungsi dengan baik, bukan tidak mungkin akan menghasilkan generasi bermasalah yang dapat menjadi beban sosial masyarakat. Keberfungsian keluarga sangat ditentukan oleh proses-proses yang berlangsung di dalamnya. Keluarga yang tenteram, bahagia dan sejahtera merupakan dambaan bagi setiap orang. Untuk mewujudkan keluarga seperti itu merupakan usaha yang tidak mudah, mengingat keluarga terbentuk dari dua pribadi yang berasal dari keluarga berbeda, memiliki latar belakang dan pengalaman hidup yang berbeda pula. Perbedaan-perbedaan tersebut sering kali menjadi pemicu terjadinya kesalahpahaman dan keributan antar pasangan.10 8
Ibid, 50-51. Sri Lestari, Psikologi Keluarga, Penanaman Nilai dan Penanganan Konflik dalam Keluarga (Jakarta: Kencana, 2013), 1. 10 Ibid, vi. 9
195
Kajian Hadits Tentang Persetujuan Nikah Anak Perempuan ...
Pada beberapa negara, isu tentang kemerosotan nilai-nilai keluarga cukup mengemuka. Meningkatnya angka perceraian dianggap sebagai salah satu indikasi dari merosotnya nilai-nilai keluarga. Meningkatnya angka perceraian telah memunculkan isu mengenai kemerosotan nilai perkawinan. 1. Definisi Keluarga Keluarga merupakan konsep yang bersifat multidimensi. Belum terdapat kesepakatan dari para ilmuwan sosial mengenai rumusan definisi keluarga yang bersifat universal.11 Menurut Koerner dan Fitzpatrick, definisi keluarga setidaknya dapat ditinjau berdasarkan tiga sudut pandang, yaitu definisi struktural, fungsional dan interaksional.12 Menurut definisi struktural, keluarga didefinisikan berdasarkan kehadiran atau ketidakhadiran anggota keluarga, seperti orang tua, anak dan kerabat lainnya. Definisi ini memfokuskan pada siapa yang menjadi bagian dari keluarga. Berdasarkan perspektif ini, dapat muncul pengertian tentang keluarga sebagai asal-usul (families of origin), keluarga sebagai wahana melahirkan keturunan (families of procreation) dan keluarga batih (extended family). Sedangkan menurut definisi fungsional, keluarga didefinisikan dengan penekanan pada terpenuhinya tugas-tugas dan fungsifungsi psikososial, yang mencakup perawatan, sosialisasi pada anak, dukungan emosi dan materi, dan pemenuhan peran-peran tertentu. Definisi ini memfokuskan pada tugas-tugas yang dilakukan oleh keluarga. Pada definisi interaksional, keluarga didefinisikan sebagai kelompok yang mengembangkan keintiman melalui perilakuperilaku yang memunculkan rasa identitas sebagai keluarga (family identity), berupa ikatan emosi, pengalaman historis maupun citacita masa depan. Definisi ini memfokuskan pada bagaimana keluarga melaksanakan fungsinya. 2. Relasi dalam Keluarga Pada umumnya keluarga dimulai dari sebuah perkawinan. Pada tahap ini relasi yang terjadi adalah berupa relasi pasangan 11 12
196
Ibid, 3. Ibid, 5.
Syaiful Muda’i
suami istri. Ketika anak pertama lahir, muncul bentuk relasi baru, yaitu orang tua-anak dan seterusnya. Pada setiap relasi yang terjadi dalam keluarga biasanya memiliki karakteristik berbeda-beda, di antaranya adalah sebagaimana berikut: a) Relasi Pasangan Suami-Istri Relasi suami-istri merupakan permulaan bagi relasi lain. Relasi suami-istri memberi landasan dan menentukan warna bagi keseluruhan relasi di dalam keluarga. Banyak keluarga yang berantakan ketika terjadi kegagalan dalam relasi suami-istri.13 Kunci dari kelanggengan perkawinan adalah keberhasilan melakukan penyesuaian di antara pasangan. Penyesuaian ini bersifat dinamis dan memerlukan sikap dan cara berpikir yang luwes. Penyesuaian adalah interaksi yang kontinyu dengan diri sendiri, orang lain dan lingkungan. Terdapat lima aspek menonjol dalam hal yang membedakan antara pasangan bahagia dan tidak bahagia, yaitu komunikasi, fleksibilitas, kedekatan, kecocokan kepribadian dan resolusi konflik.14 Komunikasi merupakan aspek yang paling penting, karena berkaitan dengan hampir semua aspek dalam hubungan pasangan. Fleksibilitas pasangan merefleksikan kemampuan pasangan untuk berubah dan beradaptasi saat diperlukan. Hal ini terkait dengan tugas dan peran yang muncul dalam relasi suami-istri (role relationship). Misalnya dalam kepemimpinan dan kekuasaan serta kemampuan bertukar tanggung jawab dan mengubah peran.15 Kedekatan pasangan menggambarkan tingkat kedekatan emosi yang dirasakan pasangan dan kemampuan menyeimbangkan antara keterpisahan dan kebersamaan. Hal ini mencakup kesediaan untuk saling membantu, pemanfaatan waktu luang bersama dan pengungkapan perasaan dekat secara emosi.16 Kecocokan kepribadian berarti bahwa sifat atau perilaku tidak berdampak 13
Ibid, 9. Menurut David H. Olson dan Amy K. Olson, terdapat sepuluh aspek yang membedakan antara pasangan yang bahagia dan tidak bahagia, yaitu komunikasi, fleksibilitas, kedekatan, kecocokan kepribadian, resolusi konflik, relasi seksual, kegiatan di waktu luang, keluarga dan teman, pengelolaan keuangan dan keyakinan spiritual. Baca Ibid, 11. 15 Ibid, 12. 16 Ibid, 13. 14
197
Kajian Hadits Tentang Persetujuan Nikah Anak Perempuan ...
atau dipersepsi secara negatif oleh lainnya. Sedangkan aspek resolusi konflik berkaitan dengan sikap, perasaan dan keyakinan individu terhadap keberadaan dan penyelesaian konflik dalam relasi berpasangan. Hal ini mencakup keterbukaan pasangan untuk mengenali dan menyelesaikan masalah, strategi dan proses yang dilakukan untuk mengakhiri pertengkaran. Kualitas perkawinan dapat mempengaruhi keberlangsungan proses-proses yang lain dalam keluarga, misalnya pengasuhan dan performa individu. Pasangan yang memiliki derajat kepuasan perkawinan tinggi akan memberikan perhatian secara lebih positif pada anak.17 b) Relasi Orang Tua-Anak Kualitas hubungan orang tua-anak merefleksikan tingkatan dalam hal kehangatan (warmth), rasa aman (security), kepercayaan (trust), afeksi positif (positive affect) dan ketanggapan (responssiveness) dalam hubungan mereka. Kehangatan menjadi komponen mendasar dalam hubungan orang-tua anak yang mampu membuat mereka merasa dicintai dan mengembangkan rasa percaya diri.18 C. Hadits-hadits tentang Persetujuan Nikah Anak Perempuan Terdapat tiga hal yang berhubungan dengan obyek kajian dari persetujuan nikah, yaitu anak gadis di bawah umur baligh (al-shāghirah), anak gadis dewasa (al-bikr al-bālighah) dan janda (al-tsayyib). Di antara hadits-hadits yang berkaitan dengan masalah tersebut adalah sebagai berikut:19
17 Rickard KM etc, “An Examination of The Relationship of Marital Satisfactilon and Dilvorce with Parent-child Interaction,” Journal of Clinical Child Psycology, 1982, Vol. 11 (1), 61-65. 18 Sri Lestari, Psikologi Keluarga, 18. 19 Abi Abd al-Rahman Ahmad bin Syu’aib al-Nasāi, al-Sunān al-Kubrā, Juz V (Beirut: Muassasah al-Risalah, 2001), 171. Hadits Nomer: 5351, Bab Isti’dzān al-Bikr fī Nafsihā. Hadits ini juga diriwayatkan Imam Muslim Nomer 1421, Abu Dawud Nomer 2098, 2099 dan 2100, Ibnu Majah Nomer 1870, al-Turmudzi Nomer 1108.
198
Syaiful Muda’i
Artinya: Dari Ibn Abbas ra. bahwa Rasulullah Saw bersabda: seorang janda itu lebih berhak terhadap dirinya dari pada walinya dan seorang gadis dimintai ijin terhadap dirinya, sedangkan ijinnya adalah diamnya. (Hadits Nomer 5351) Hadits-hadits yang semakna dengan hadits di atas adalah sebagai berikut:20
Artinya: Dari Ibn Abbas ra. Rasulullah Saw bersabda: seorang janda lebih berhak terhadap dirinya dan ayah minta ijin terhadap anak gadisnya, sedangkan ijinnya adalah diamnya. (Hadits Nomer 5355)
Artinya: bahwa Rasulullah Saw bersabda: seorang janda tidak boleh dinikahkan sehingga diminta persetujuannya (diajak musyawarah) dan seorang gadis tidak boleh dinikahkan sehingga dimintai ijin. Sahabat bertanya: wahai Rasulullah, bagaimana ijinnya? Rasulullah bersabda: yaitu diamnya. (Hadits Nomer 5357)21
20
Ibid, 172, Hadits Nomer 5355. Bab Isti’mār al-Bikr fī Nafsihā. Ibid, 173. Bab al-Nahy ‘an Tunkah al-Bikr Hattā Tusta’dzan wa Tsayyib Hatta Tusta’mar. 21
199
Kajian Hadits Tentang Persetujuan Nikah Anak Perempuan ...
Artinya: bahwa Rasulullah Saw bersabda: seorang janda tidak boleh dinikahkan sehingga diminta persetujuannya (diajak musyawarah) dan seorang gadis tidak boleh dinikahkan sehingga dimintai ijin. Sahabat bertanya: wahai Rasulullah, bagaimana ijinnya? Rasulullah bersabda: yaitu diamnya. (Hadits Nomer 5358)22 1. I’tibâr al-Sanad Dalam hadits al-Nasa’i nomer 5351 di atas, terdapat lima rijāl al-hadīts yaitu Qutaibah bin Sa’id al-Baghlani (tsiqqah tsabat), Malik bin Anas (ra’s al-mutqinīn wa kabīr al-mutsabbitīn), Abdullah bin Fadhl bin al-Abbas bin Rabi’ah bin Harits bin Abd al-Muthalib al-Hasyimiy al-Madaniy (tsiqqah), Nafi’ bin Jubair bin Muth’im al-Naufaliy (tsiqqah) dan Ibn Abbas (shahābiy). Hadits ini juga diriwayatkan Imam Muslim dalam Bab Nikah nomer 1421, Imam Abu Daud dalam Bab Nikah nomer 2098 dan 2100, Imam Turmuzi dalam Bab Nikah nomer 1108, Imam Daraquthniy dalam Bab Nikah nomer 1870, Imam Ahmad dalam Musanad Bani Hāshim nomer 1891, 2164, 2361, 3212, 3333, 3411, 1114, 2188 dan 2189 dan Imam al-Dārimiy dalam Bab Nikah nomer 2188, 2189 dan 2190. 2. Syarh al-Hadīts a) Makna Mufradat Lafadz al-ayyim ( ) pada dasarnya berarti orang yang tidak bersuami. Lafadz tersebut berlaku untuk perempuan yang masih gadis maupun janda.23 Dengan melihat riwayat-riwayat yang semakna dengan hadits ini dan pembandingya ( ), maka yang 22
Ibid, 174. Abi Abdillah Muhammad bin Ahmad bin Abi Bakr al-Qurthubi, al-Jāmi’ li Ahkām al-Qur’an, Juz XV (Beirut: Muassasah al-Risalah, 2006), 229. 23
200
Syaiful Muda’i
dimaksud dengan al-ayyim di sini adalah perempuan janda. Lafadz al-ayyim bermakna janda ini adalah yang banyak berlaku dalam bahasa Arab (katsrah al-isti’māl).24 b) Pendapat Ulama Dalam matan hadits di atas terdapat kalimat yang berarti seorang janda lebih berhak terhadap dirinya dari pada walinya. Kalimat ini memiliki kemungkinan-kemungkinan arti seputar apakah seorang janda lebih berhak dalam hal memberi ijin untuk nikah saja ataukah juga termasuk meng-akad-kan nikah untuk dirinya sendiri? Kemungkinan-kemungkinan ini mengantarkan kepada perbedaan pendapat para ulama atas cakupan makna kalimat tersebut. Perbedaan pendapat ini antara lain berawal dari kandungan makna lafadz ahaqq. Karena lafadz ini berfaidah musyārakah, sehingga bagi perempuan janda memiliki hak dan bagi wali juga punya hak. Sementara hak perempuan janda lebih kuat dari pada hak wali. Konsekuensi dari makna tersebut adalah jika anak perempuan janda menolak rencana walinya untuk dinikahkan dengan laki-laki yang kufu’ maka dia tidak bisa dipaksa. Sebaliknya jika anak perempuan janda menginginkan untuk menikah dengan lakilaki kufu’ pilihannya sendiri, maka wali harus mengijinkannya.25 Mayoritas ulama (jumhūr al-ulāma) berpendapat bahwa maksud dari “janda lebih berhak terhadap dirinya sendiri” tersebut adalah hanya terbatas pada memberikan ijin untuk dinikahkan, bukan untuk menikahkan dirinya sendiri. Ini karena adanya wali adalah bagian dari syarat sahnya akad nikah. Menurut al-Nawawi, makna kalimat ahaqq min waliyyihā memang memungkinkan dimaknai berhak atas segala hal, termasuk akad maupun yang lainnya, sebagaimana pendapat Abu Hanifah dan Abu Daud. Akan tetapi ketika ada hadits lā nikāh illā bi waliyy, maka makna yang dimaksud adalah hanya berhak dalam hal perijinannya saja. Matan hadits yang berbunyi memberikan pengertian bahwa untuk menikahkan anak perem24 Muhammad Ibn Aliy al-Ityuūbī al-Wallawiy, Dzakhīrat al-‘Uqbā fī Sharh al-Mujtabā, Juz XXIV (Saudi Arabia: Dār al-Mi’rāj al-Dawliyah li al9-Nasyr, 2003), 203. 25 Muhyiddīn Yahya bin Syarf al-Nawawiy, Syarh Shahīh Muslim, Juz IX (Mesir: alMathba’ah al-Mishriyah bi al-Azhār, 1929), 204.
201
Kajian Hadits Tentang Persetujuan Nikah Anak Perempuan ...
puan yang masih gadis, wali cukup untuk meminta ijin kepadanya. Sedangkan salah satu dari bentuk perijinannya adalah cukup dengan diam.26 Hukum dari minta ijin tersebut terdapat perbedaan pendapat. Menurut Ibn Mundzir, sebelum menyampaikan maksud wali untuk menikahkan anak gadisnya, disunahkan untuk memberitahukan bahwa salah satu dari bentuk ijin dari anak gadis adalah sikap diam. Hal ini dimaksudkan agar terdapat kesepahaman antara keputusan yang diambil wali dengan sikap dari anak gadisnya. Ibn Syu’ban dari madzhab Malikiyah menambahkan bahwa sebaiknya wali menegaskan kepada anak gadisnya, misalnya dengan kata-kata in radlīti fa uskutiy wa in karihti fa inthaliqiy, termasuk di antaranya yaitu memberikan kesempatan beberapa waktu agar anak gadis tidak malu untuk memberikan jawaban sesuai dengan nuraninya. Maksud dari adanya pemberitahuan dan ijin ini adalah supaya tidak menimbulkan perdebatan ketika telah terjadi pernikahan. Jika kasus penolakan anak gadis pasca dinikahkan karena merasa tidak tahu bahwa diam adalah salah satu bentuk dari perijinannya, maka menurut jumhūr al-ulāma nikahnya tetap sah. Akan tetapi menurut pendapat Malikiyah nikahnya batal.27 Perbedaan pendapat juga terjadi ketika anak gadis yang diminta ijinnya tersebut tidak memberikan jawaban dengan kata-kata, tetapi dengan menunjukkan perubahan sikap yang mengindikasikan menerima atau menolak. Misalnya tersenyum, menggerutu atau bahkan menangis. Menurut pendapat Malikiyah, ketika anak gadis tampak berpaling, menangis atau sikap yang menunjukkan tidak suka, maka tidak boleh untuk dinikahkan. Sedangkan menurut Syafi’iyah, keadaan tersebut tidak menimbulkan adanya larangan, kecuali jika memang disertai dengan meronta-ronta dan tangisan yang keras. Dalam hadits nomer 5357 dan 5358, terdapat dua kalimat yang perlu dicermati artinya, yaitu untuk perempuan janda dan untuk perempuan yang masih gadis. Lafadz adalah musytaq dari yang asal maknanya adalah 26 Ahmad bin Muhammad al-Fayyūmiy, al-Mishbāh al-Munīr, Juz V (Maktabah Shamela, 3.51), 255. 27 Muhammad Ibn Aliy, Dzakhīrat al-‘Uqbā, Juz XXIV, 205.
202
Syaiful Muda’i
yang artinya meminta perintah. Lafadz ini memberikan pengertian bahwa wali tidak boleh menikahkan anak perempuan yang sudah janda kecuali anak perempuan memohon untuk dinikahkan. Sedangkan lafadz adalah musytaq dari yang artinya (minta izin). Tuntutan minimal dari kata ini adalah wujudnya sikap menerima (ridhā) atau menolak, meskipun hanya berupa indikasi-indikasi (qarīnah) tertentu, seperti diam, tersenyum atau memperlihatkan wajah yang ceria. Kandungan maksud dari dua kata tersebut pada prinsipnya adalah sama, yaitu untuk memulai kehidupan baru dalam rumah tangga yang didasari dengan kerelaan (ridhā). Akan tetapi, menurut disiplin bahasa, dalam satu sisi, kedua kata tersebut terdapat perbedaan dalam penerapannya, sebagaimana dalam matan hadits yang membedakan antara keduanya, yaitu isti’mār untuk janda dan isti’dzān untuk gadis. Kata isti’mār menunjukkan bahwa wali harus betul-betul mengajak musyawarah kepada anak perempuannya yang sudah janda sehingga memberikan persetujuan dengan jawaban yang berupa bahasa dan kata-kata yang jelas. Lain halnya dengan isti’dzān, yang mencakup ijin dengan kata-kata maupun dengan sikap yang mengindikasikan telah rela atau tidak menolak terhadap kemauan walinya.28 Sayyid Sabiq juga ikut memberikan kontribusi pemikiran terhadap permasalahan persetujuan nikah ini. Sabiq berpendapat bahwa meminta persetujuan adalah wajib dilakukan oleh para wali ketika akan menikahkan anak di bawah perwaliannya. Pendapatnya tersebut selain berlandaskan terhadap sunnah yang sahih, juga mempertimbangkan nilai-nilai yang dibangun dalam pernikahan itu sendiri. Hal ini oleh Sayyid Sabiq telah dituangkan dalam karyanya Fiqh al-Sunnah sebagai berikut:29
28 Ibn Hajar al-‘Asqalāniy, Fath al-Bāriy bi Syarh Shahīh al-Bukhāriy, Juz IX (Riyad: Maktabat al-Malik al-Fahd, 2001), 99. 29 Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, Juz II (Beirut: Dar al-Fikr, 1983), 115.
203
Kajian Hadits Tentang Persetujuan Nikah Anak Perempuan ...
Artinya: Bilamana terjadi perbedaan pendapat dalam masalah hak perwalian anak perempuan, maka wajib bagi wali minta pendapat kepada anak perempuannya dan mengetahui kerelaannya (ridhā) sebelum menikahkan. Karena perkawinan merupakan pergaulan yang langgeng, kebersamaan yang kokoh antara laki-laki dan perempuan, keramahan, kasih sayang dan keharmonisan tidak akan bisa berlangsung jika tidak diketahui kerelaannya. Dari situlah kemudian syar’i melarang memaksa anak perempuan, baik janda maupun gadis, untuk menikah dan memaksanya menikah dengan orang yang tidak disukainya. Melaksanakan akad sebelum minta persetujuan adalah tidak sah dan bagi anak perempuan berhak meminta fasakh untuk membatalkan tindakan wali. Kewajiban meminta persetujuan ini menurut Sayyid Sabiq berlaku untuk semua anak perempuan dengan tidak memandang status gadis maupun janda. Sabiq hanya membedakan antara anak perempuan yang sudah dewasa (bālighah) dan yang masih kecil (shaghīrah). Dengan demikian, menurut Sabiq, anak perempuan yang sudah dewasa, baik gadis maupun janda, memiliki hak untuk memilih calon suaminya. Dengan kata lain, tidak seorang pun yang bisa memaksanya untuk menikah. Untuk anak perempuan yang masih kecil (shaghīrah), pada dasarnya Sabiq memperbolehkan bagi ayah dan kakek untuk menikahkannya, meskipun tanpa persetujuan (ijbār).30 Illat yang
204
30 Hak wali untuk menikahkan orang yang ada di bawah perwaliannya dengan tanpa merujuk dan minta persetuannya (wilāyah al-ijbār) ini menurut Sayyid Sabiq
Syaiful Muda’i
digunakan pijakan hukum dalam permasalahan ini adalah karena persetujaun atau ijin dari anak yang masih kecil belum bisa digunakan untuk landasan dalam mengambil keputusan dan mengambil tindakan (ghayr al-mu’tabar). Perbedaan pendapat yang timbul dari hadits tersebut sebenarnya mengerucut kepada masalah anak gadis yang sudah baligh (al-bikr al-bālighah). Secara garis besar, perbedaan pendapat tersebut terbagi menjadi dua kelompok. Kelompok pertama adalah kelompok yang berpendapat bahwa wali menikahkan anak gadisnya tanpa melalui ijin atau persetujuannya meskipun sudah bālighah. Pendapat ini didukung oleh Ibn Abi Laila, Malik, al-Layts, al-Syāfi’iy, Ahmad dan Ishāq. Di antara hujjah yang digunakan adalah mafhum dari hadits-hadits yang menyatakan bahwa “janda lebih berhak atas dirinya dari pada walinya” ( ). Menurut kelompok ini, mafhum dari pernyataan tersebut berarti wali dari anak yang masih gadis adalah lebih berhak dari pada dirinya.31 Kelompok kedua adalah kelompok yang menyatakan bahwa ijin dari gadis yang sudah baligh merupakan syarat sah. Sebuah pernikahan yang terjadi karena paksaan atau tanpa persetujuan anak gadis yang sudah baligh adalah tidak sah. Pedapat ini didukung oleh al-Auzā’iy, al-Tsawriy dan madzhab Hanafi. Di antara hujjah dari kelompok kedua ini adalah hadits-hadits sebagai berikut:
Artinya: Dari Ibn Abbas: bahwa seorang gadis muda datang kepada Nabi Muhammad Saw kemudian menyampaikan bahwa ayahnya telah diberlakukan kepada orang yang tidak memiliki kelayakan atau kemampuan untuk melakukan akad, seperti orang gila dan anak yang belum tamyīz. Menurutnya, Syari’ menjadikan wilāyah al-ijbār ini adalah untuk memperhatikan kemaslahatan dari orang yang ada di bawah perwaliannya, karena orang yang tidak memiliki atau kurang dalam hal kelayakan akan lemah, bahkan tidak mampu melihat kemaslahatan dirinya sendiri. Ibid., 116. 31 Muhammad Ibn Aliy, Dzakhīrat al-‘Uqbā, Juz XXIV, 207.
205
Kajian Hadits Tentang Persetujuan Nikah Anak Perempuan ...
menikahkannya sementara dia tidak menyukainya, kemudian Nabi Saw memberikan pilihan kepadanya, untuk melanjutkan atau membatalkannya. (HR. Ibn Majah. Hadits Nomer 1875). Jawaban Nabi Saw atas pengaduan gadis muda tersebut, dalam Sunan Daraquthni hadits nomer 3612, dinyatakan dengan kata yang berarti Nabi Saw menceraikannya, sebagai bentuk lain dari kata . Lebih lengkapnya hadits tersebut adalah sebagai berikut:
Artinya: Dari Jabir ra berkata bahwa ada seorang laki-laki menikahkan anak gadisnya tanpa persetujuan, kemudian dia (anak gadis tersebut) datang kepada Nabi Saw, kemudian Nabi Saw menceraikan keduanya. (HR. al-Nasa’i. Hadits Nomer 5363)
Artinya: bahwa seorang laki-laki menikahkan anak perempuannya sementara dia tidak suka. Anak perempuan berkata: ayahku telah menikahkan aku dengan seorang laki-laki yang aku tidak suka, sedangkan sepupuku 206
Syaiful Muda’i
telah melamar aku. Nabi Saw lalu menjawab: tiada nikah baginya, nikahlah dengan orang yang kamu mau. (HR. al-Nasa’i. Hadits Nomer 5359)
Artinya: Diceritakan dari Khansā binti Khidzām bahwa ayahnya telah mengawinkannya, padahal ia sudah janda. Dia tidak suka dengan hal itu. Kemudian dia datang kepada Rasulullah Saw, maka Rasulullah Saw menolak (membatalkan) nikahnya. (HR. al-Nasa’i. Hadits Nomer 5362) Hadits-hadits tersebut di atas menguatkan adanya persyaratan ridhā dari perempuan yang akan dinikahkan, baik masih gadis atau sudah janda. Pernyataan ini dikuatkan dengan hadis Nabi Saw:32
Artinya: Musyawarahlah kepada para wanita dalam urusan penikahannya. D. Analisis Hadits Hadits-hadits yang mengkaji tentang persetujan nikah di atas adalah hanya sebagian dari beberapa hadits sejenis yang banyak diriwayatkan oleh perawi hadits melalui jalurnya masing-masing. Berdasarkan makna dari beberapa hadits tersebut, setidaknya bisa digunakan sebagai bahan analisis dan cukup mewakili untuk menggali terhadap pesan-pesan dan nilai-nilai yang ada di dalamnya. Berdasarkan berbagai ijtihad ulama terhadap kandungan makna hadits tersebut, tampaknya pendapat yang menyatakan bahwa anak perempuan yang masih gadis dan sudah bālighah tidak bisa dipaksa menikah dan tidak boleh dinikahkan kecuali atas keridhā-annya adalah pendapat yang paling kuat. Kesimpulan pendapat ini setidaknya karena didasarkan atas tiga hal. Pertama adalah 32 Ahmad bin Hanbal, Musnad Ahmad bin Hanbal, Juz VI (Beirut: ‘Âlam al-Kutub, 1998), 45. Hadits Nomer 24689.
207
Kajian Hadits Tentang Persetujuan Nikah Anak Perempuan ...
karena sesuai dengan hukum-hukum yang terkandung dalam redaksi hadits, baik terkait dengan perintah maupun larangannya. Hadits yang menyatakan takhyīr al-bikr al-kārihar (hak untuk memilih antara meneruskan dan membatalkan bagi gadis yang tidak setuju untuk dinikahkan) adalah maqbūl dan bisa diamalkan. Di samping itu, juga masih banyak hadits semakna yang menjadi pendukungnya. Sedangkan dari sisi makna hadits, dalam kalimat tersimpan makna perintah (amr). Dalam kaidah bahasa Arab, makna amar yang terkandung dalam kalimat berita (khabar) memiliki nilai yang kuat karena menunjukkan tahaqquq al-mukhbar bih wa tsubūtih wa luzūmih. Pemaknaan ini dikuatkan juga dengan adanya kaidah ushūliyah tentang amar, yaitu hukum asal dari fi’il amar menunjukkan sebuah kewajiban (al-ashlu fil amri lil wujub). Di sisi lain, Nabi Muhammad Saw juga menegaskannya dengan kalimat larangan (nahiy) di antaranya adalah . Kedua adalah sesuai dengan kaidah-kaidah syar’iyyah. Menurut sebagian pendapat ulama, orang tua atau wali tidak boleh untuk menggunakan harta anak kecuali setelah mendapatkan ridhā-nya. Sementara “ ” adalah harta yang tidak ternilai harganya, maka orang tua atau wali lebih tidak diperbolehkan memaksa untuk memberikannya kepada orang yang tidak disetujui, kecuali atas dasar ridhā. Ketiga adalah sesuai dengan kemasalahatan bagi umat (mashālih al-ummah). Kemaslahatan yang diwujudkan dari pernikahan atas dasar saling ridhâ, baik dari pihak calon mempelai perempuan maupun keluarganya, akan lebih tampak dibandingkan dengan pernikahan yang berangkat dari paksaan. Begitu juga dengan tujuan dari pernikahan (maqāshid al-nikāh) akan mudah terealisasikan. Di antara kemaslahatan yang sangat didambakan dari terbentuknya keluarga adalah wujudnya ketenteraman, kebahagiaan dan kesejahteraan. Kemungkinan terwujudnya kemaslahatan ini akan lebih besar ketika perbedaan-perbedaan yang muncul diantisipasi sejak dini, mengingat keluarga dibentuk dari pribadi dan latar belakang yang berbeda pula. Alasan ketiga ini dikuatkan juga oleh sains modern yang terkait dengan psikologi remaja maupun keluarga. Menurut teori psikologi keluarga, keluarga merupakan unit sosial dalam 208
Syaiful Muda’i
masyarakat yang memiliki pengaruh besar bagi bangsa dan negara. Generasi penerus yang akan menentukan nasib bangsa terlahir dari keluarga. Keluarga yang mampu melaksanakan fungsinya dengan baik akan menumbuhkan generasi berkualitas dan mampu diandalkan dalam menegakkan pilar-pilar kemajuan bangsa. Sementara keluarga yang tidak mampu berfungsi dengan baik sangat mungkin akan menghasilkan generasi-generasi yang bermasalah dan dapat menjadi beban sosial masyarakat. Keberfungsian keluarga ini sangat ditentukan oleh proses-proses yang berlangsung di dalamnya, termasuk juga bangunan relasi keluarga yang kuat. Khususnya relasi suami-istri, mengingat relasi ini merupakan permulaan bagi relasi lain. Relasi suami-istri memberikan landasan dan menentukan warna bagi keseluruhan relasi di dalam keluarga. Penutup Berdasarkan kajian mendalam yang dilakukan di atas, dapat disimpulkan bahwa nilai-nilai pernikahan dalam Islam mengedepankan relasi keluarga yang berdampak kepada terwujudnya keluarga yang sakīnah, mawaddah wa rahmah. Pembetukan keluarga yang dimulai dengan saling ridhā, tidak memaksa dan dipaksa adalah cikal bakal dari terbentuknya keluarga yang sakīnah. Komunikasi yang intens antara orang-tua dengan anak merupakan pilar awal dari pembentukan keluarga yang dengan penuh kedamaian. Dengan mempertimbangkan nilia-nilai hukum, kaidah syar’iyyah, mashālīh al-ummah dan memperhatikan psikologi remaja serta keluarga, maka petunjuk yang paling tepat dari hadits-hadits tersebut di atas adalah orang tua atau wali dari perempuan yang masih gadis maupun janda tidak boleh menikahkan secara paksa kepada laki-laki sebelum memperoleh persetujuannya.* DAFTAR PUSTAKA ‘Ali, Jawad. al-Mufashshal fi Tārikh al-‘Arab Qabl al-Islām, Juz X. tt.: Dār al-Sāqi, 2001. al-Fayyūmiy, Ahmad bin Muhammad. al-Mishbāh al-Munīr, Juz V. Maktabah Shamela, 3.51. al-‘Asqalāniy, Ibn Hajar. Fath alBāriy bi Syarh Shahīh al-Bukhāriy, Juz IX. Riyad: Maktabat alMalik al-Fahd, 2001. 209
Kajian Hadits Tentang Persetujuan Nikah Anak Perempuan ...
Hanbal, Ahmad bin. Musnad Ahmad bin Hanbal, Juz VI. Beirut: ‘Ālam al-Kutub, 1998. Lestari, Sri. Psikologi Keluarga, Penanaman Nilai dan Penanganan Konflik dalam Keluarga. Jakarta: Kencana, 2013. al-Nasāi, Abi Abd al-Rahman Ahmad bin Syu’aib. al-Sunān al-Kubrā, Juz V. Beirut: Muassasah al-Risalah, 2001. al-Nawawiy, Muhyiddīn Yahya bin Syarf. Syarh Shahīh Muslim, Juz IX. Mesir: al-Mathba’ah al-Mishriyah bi al-Azhâr, 1929. Olson, David H. Olson dan Olson AK. Empowering Couples, Building On You Strengths. Minneapolis, MN: Life Innovations Inc, 2000. al-Qurthubi, Abi Abdillah Muhammad bin Ahmad bin Abi Bakr. al-Jāmi’ li Ahkām al-Qur’an, Juz XV. Beirut: Muassasah alRisalah, 2006. Rickard KM etc. “An Examination of The Relationship of Marital Satisfactilon and Dilvorce with Parent-child Interaction.” Journal of Clinical Child Psycology. 1982. Vol. 11 (1), 61-65. Santrock, John W. Remaja. Jakarta: Erlangga, 2007. al-Wallawiy, Muhammad Ibn Aliy al-Ityuūbī. Dzakhīrat al-‘Uqbā fī Sharh al-Mujtabā, Juz XXIV. Saudi Arabia: Dār al-Mi’rāj alDawliyah li al-Nasyr, 2003.
210
Syaiful Muda’i
PEDOMAN TEKNIS PENULISAN 1. Artikel merupakan tulisan konsepsional (library research) atau hasil penelitian studi keislaman dari lapangan (field research) yang belum pernah diterbitkan oleh media lain. 2. Topik kajian meliputi pendidikan atau hukum Islam dari berbagai perspektif. 3. Artikel ditulis dalam bahasa Indonesia, bahasa Arab atau bahasa Inggris baku dengan jarak 1,5 spasi pada kertas HVS ukuran A4 dan dikirim ke redaksi dalam bentuk cetak (print out) sebanyak satu eksemplar beserta file dalam CD, flashdisk atau dikirim ke alamat e-mail:
[email protected]. 4. Panjang tulisan antara 15-25 halaman, tidak termasuk Daftar Pustaka. 5. Artikel yang memenuhi syarat akan diseleksi dan diedit dewan redaksi untuk penyeragaman format dan gaya penulisan, tanpa merubah isi substansinya. 6. Nama penulis artikel (tanpa gelar akademik, jabatan atau kepangkatan) harus dicantumkan disertai alamat korespondensi, alamat e-mail dan atau nomor telepon kantor, rumah atau telepon seluler (hand phone). 7. Artikel berupa library research meliputi judul, nama dan identitas penulis, abstrak (sekitar 200 kata), keywords, pendahuluan, isi atau pembahasan, penutup dan daftar pustaka. 8. Artikel berupa field research meliputi judul, nama dan identitas penulis, abstrak (sekitar 200 kata), key words, pendahuluan (masalah, tujuan dan manfaat penelitian), metode penelitian, hasil penelitian, pembahasan atau analisis, penutup dan daftar pustaka. 9. Key words dapat berbentuk kata atau frase. 10. Istilah-istilah asing (non-Indonesia) harus dicetak miring atau Italics. 11. Penulisan catatan kaki (foot note) dan daftar pustaka berbeda. Perbedaannya dapat diketahui pada contoh berikut: 211
Kajian Hadits Tentang Persetujuan Nikah Anak Perempuan ...
a. Catatan Kaki 1 Bernard Lewis, Islam and The West (New York: Oxford University Press, 1994), 212. 2 Crane Brinton, “Enlightenment,” dalam Encyclopedia of Philosophy, Vol. 2 (New York: Macmillan and the Free Press, 1967), 522. 3 M. Syamsul Huda, “Rasionalisme Telaah Pemikiran Imre Lakatos,” dalam www.geocities.com/HotSprings/6774/j-40. 4 M. Amin Abdullah, “Dialektika Agama antara Profanitas dan Sakralitas,” dalam Moh. Shofan, Jalan Ketiga Pemikiran Islam Mencari Solusi Perdebatan Tradisionalisme dan Liberalisme (Yogyakarta: IRCiSoD, 2006), 12. 5 Mukani, “Character Education in Indonesia,” dalam Jurnal Islamica, Vol. 1, No. 2 (Surabaya: Program Pascasarjana IAIN Sunan Ampel, 2007), 146-161.
b. Daftar Pustaka Abdullah, M. Amin. “Dialektika Agama antara Profanitas dan Sakralitas” dalam Moh. Shofan. Jalan Ketiga Pemikiran Islam Mencari Solusi Perdebatan Tradisionalisme dan Liberalisme. Yogyakarta: IRCiSoD, 2006. Brinton, Crane. “Enlightenment” dalam Encyclopedia of Philosophy, Vol. 2. New York: Macmillan and the Free Press, 1967. Huda, M. Syamsul. “Rasionalisme Telaah Pemikiran Imre Lakatos,” dalam www.geocities.com/HotSprings/6774/j-40. Lewis, Bernard. Islam and The West. New York: Oxford University Press, 1994. Mukani. “Character Education in Indonesia” dalam Jurnal Islamica, Vol. 1, No. 2. Surabaya: Program Pascasarjana IAIN Sunan Ampel, 2007. 12. Penulisan artikel menggunakan pedoman transliterasi ArabIndonesia sebagaimana berikut:
212
Syaiful Muda’i
13. Penulis berhak memperoleh hard copy sebanyak 3 (tiga) eksemplar. 14. Artikel diserahkan ke Dewan Redaksi paling lambat tanggal 31 Mei dan 30 Nopember setiap tahunnya.
213
Kajian Hadits Tentang Persetujuan Nikah Anak Perempuan ...
214