Kok Aku Nakal? Oleh: A.Nur Mufidah Nayif “Gigit”, seperti itulah mereka memanggilku 10 tahun silam, saat aku masih mengenyam bangku pendidikan di SMA Kertasura di usia 17 tahun. Tepat di hari ulang tahunku yang ke‐27, kisah kelam 10 tahun silam mendorongku untuk menggoreskan tinta di beberapa carik kertas buram yang tersedia di hadapanku. Aku adalah seorang penulis dengan beberapa karya yang telah ku dedikasikan untuk membantu pendidikan di negara ini. Begitu pun dengan kisah yang akan ku tuliskan saat ini. *** Anggita Putri Kardani, gadis 17 tahun bertubuh mungil berpenampilan serampangan dan super bandel. Ya, itulah aku,”Gigit si preman sekolah”. Apa tak ada nama panggilan yang lebih menarik? Anggit? Atau Gita,mungkin? Baiklah, aku akan bercerita sedikit tentang “Gigit”. Di siang yang terik, suasana di kelas sangat gaduh. Teman‐teman kelasku tak henti‐hentinya berpekik. Pekikan mereka membuat kepalaku serasa ingin pecah. Walau suaraku juga mendominasi di ruangan berkapasitas 30 orang itu, tapi entah mengapa emosiku seketika membludak. “Eh,Lu!!! Diam, nggak!” (Duarrrrrrrr) hal yang tak terduga terjadi. Aku melayangkan tanganku ke pipi Reno, teman kelasku yang suaranya menggetarkan setiap sudut di ruangan ini. “Hey!!! Maksudmu apa? Ajak berantem?” Gertak Reno. “Sabar, Ren... cewek.” Sahut Niko yang sedang berusaha melerai kami. “Wahh Anggit gigit banget deh. Sikat, Nggit!” Kata Soetedjo “Gue gigit juga Lo, Joe!” Gertakku. “Eh... santai, Git. Aku mah bercanda doang. Besok‐besok aku panggil Gigit aja deh biar greget. Hahaha.” Saat itulah seisi sekolah memanggilku Gigit. Bukannya sombong, aku adalah artis di sekolah. Tak satu pun orang yang tidak mengenalku. Dari adik kelas, guru, bahkan kepala sekolah pun sudah mengenalku. Bagaimana tidak, setiap hari namaku tidak pernah absen dari daftar trending topic di ruang guru. Bukan prestasi, tapi karena ketekunanku membuat onar di setiap sudut di sekolah ini. Itu adalah rutinitasku. Aku cukup menikmatinya dan itu sudah menjadi gayaku.Jangan salah, aku bukan anak broken home atau berasal dari keluarga tidak berpendidikan. Ayahku adalah pegawai di salah satu perusahaan terkemuka di republik ini. Ia baru saja memperoleh gelar Doktor dari salah satu universitas di Belanda. Kedengarannya sangat hebat, bukan? Dia memang hebat. Tidak seperti orang hebat lainnya, walaupun ayah mempunyai posisi penting di perusahaannya, namun ia selalu memastikan kebutuhan anak dan istrinya selalu terpenuhi. Sebagai anak semata
wayang dari hasil pernikahannya 18 tahun silam, dia selalu menuruti segala keinginanku. Sedikit berbeda dengan ayah, ibu lebih mendisiplinkanku. Dia memang tak ingin dijuluki wanita sosialita, namun penampilannya cukup modis dan pantas disejajarkan dengan ibu‐ibu sosialita di luar sana. Namun, hal yang membuatnya berbeda adalah di balik kemewahannya dalam berpenampilan, ibuku mempunyai kepedulian yang sangat tinggi terhadap sesama. Hampir setiap bulan ibu mengundang puluhan anak panti asuhan untuk santap siang bersama kami dan memberikan sejumlah rupiah kepada mereka. Dibanding rutinitas bulanan ibu mengoleksi perabot rumah, ayah lebih mendukung kegiatan bulanan ibu yang satu ini. Aku tumbuh di dalam keluarga yang harmonis dan berpendidikan. Ayah dan ibu selalu memastikan diriku tidak pernah lepas dari perhatian dan kasih sayang mereka. Nakal tanpa sebab. Kedengarannya sedikit membingungkan, yah? Kamu adalah orang yang ke‐34567892766xx yang ikut bingung dengan hidupku. Di sekolah, aku memang brutal. Tapi, di rumah aku adalah anak manis. Rajin dan cukup penurut di hadapan orang tua, itulah aku. Sayangnya, itu hanya berlaku saat tanggal muda, ketika ayah telah menerima gaji bulanannya. Jika tanggal tua menghampiri, aku akan kembali menjadi gigit yang super bandel dan susah diatur. “Anggit, mau kemana, Sayang?” tegur ibu yang sedang menengokku dari celah pintu. “Mau kerja tugas, Bu.” “Tumben rajin... kerja tugas di rumah siapa, Sayang? Kan sudah magrib?” “Bukan di rumah,Bu. Diskotik.” “Lah... katanya pengen kerja tugas, kok ke...” “Nah iya kan, Bu... Ibu mau ikut? haha.” Tanyaku meledek sembari meraih tas dan melangkah keluar kamar. Ibu terus mengikuti hingga ke garasi. Sedikit pun aku tak gentar untuk mengabaikan ibu, yah... walau dia selalu menasehatiku dengan cara lembut, atau mungkin kelembutannya itu yang membuatku melunjak? Entahlah... lekas ku nyalakan mesin mobilku untuk meluncur ke diskotik. “Pulangnya jam sembilan, yah... jam setengah sepuluh Pak Ustaz mau ketemu sama kamu.” Jelas ibu saat menghadang mobilku. “Kok ketemunya sama aku, Bu? Aku pengen diruqiyah?” Jawabku di balik kaca mobil dengan gaya ketawa yang sedikit meledek. “Pokoknya Ibu nggak mau tahu, jam 9 malam kamu udah harus ada di rumah.” “Daaaaa Ibu...Anggit sayang Ibu! Salam sama Pak Ustaz yah, Bu.” Buru‐buru aku menutup kembali kaca mobilku dan meninggalkan ibu yang pastinya tak akan berhenti berkutip hingga aku benar‐benar berjanji untuk pulang tepat waktu.
Sepertinya, misi ibu kali ini gagal lagi. Ibuku itu selalu berusaha untuk membuatku berubah. Berbagai cara telah ditempuhnya untuk mengubahku menjadi anak manis bak putri raja, tapi selalu gagal. *** Bagaimana? Aku cukup bandel,bukan? Baiklah, sepertinya aku harus menceritakan hal yang lebih kacau lagi dari ini. Ummm... mungkin akan ku lanjutkan dari kejadin ini. *** Beberapa hari kemudian, aku membuat onar lagi di sekolah. Kali ini aku memukul adik kelasku hingga babak belur. Bagiku dia terlalu berlebihan, padahal hanya sedikit lebam di ujung lengkungan bibirnya. Karena itu, aku harus membiarkan ayah dan ibu berurusan lagi dengan kepala sekolah. Jangan khawatir, itu hanya masalah kecil yang akan dilupakan ayah dan ibu 3 hari kemudian. Maklum saja, berkunjung ke sekolahku adalah agenda bulanan ibu. Ya, aku tahu ada rasa malu dan kecewa yang terlukis di wajahnya saat mendampingiku duduk di hadapan kepala sekolah. Rasa itu akan menghilang saat ibu sampai di rumah dan merebahkan badan di sofa coklat kesayangannya. Namun, kali ini sedikit berbeda. Rupanya kepala sekolah sudah menyerah menghadapi sikapku dan bertekad untuk mengeluarkanku dari sekolah. Hal itu diutarakan ibu saat kami sedang bersantai di depan TV sambil menyeruput teh hangat dalam cangkir antik kesukaan ibu. “Anggit, Ibu tidak tahu lagi bagaimana cara menasehati kamu, Nak. Tadi kepala sekolahmu bilang sama Ibu kalau kamu akan dikeluarkan dari sekolah. Untung saja ayah sedang tugas ke luar kota, kalau dia sampai tahu, pasti ibu yang kena marah.” Kata ibu dengan tatapan nanar. “Haaa? Dikeluarin, Bu? Perasaan, di sekolah aku sering nakal deh, Bu. Ibu juga udah sering bolak‐balik sekolah karena aku,kan? Kok baru sekarang pihak sekolah mau ngeluarin aku?” “Nggit, kalau bukan karena ayah, kamu sudah tidak bisa sekolah di sana dari tahun lalu.” “Nah loh... maksud Ibu?” “Iya, setahun yang lalu, Ayah yang memenuhi surat panggilan dari kepala sekolahmu. Saat itu, kepala sekolah sudah menyerah menghadapi sikapmu dan bermaksud untuk mengeluarkanmu, Nak. Tentu saja, ayah tidak tinggal diam. Dia menyodorkan sejumlah uang ke hadapan kepala sekolah. Uang itulah yang memperpanjang masa hidupmu di sekolah hingga saat ini, Sayang.” *** Itu sedikit cuplikan dari hidupku yang berantakan di masa lalu, namun itu hanya awal dari segala musibah yang akan terjadi selanjutnya. Kalian masih tertarik untuk
mengikuti alur kehidupanku? Nah, izinkan aku untuk bercerita lebih dalam lagi, karena yang sebelumnya bukanlah inti dari hal yang ingin ku sampaikan. *** “Sayang.... Ayah pulang!!!” Sorak ayah yang baru saja membuka pintu dengan menenteng dua koper silver kesayangannya. “Ehh Ayah udah pulang. Ibu bikinin teh yah, Ayah.” Sahut ibu dengan wajah berseri‐seri. “Kok cepet, Yah? Aku kirain 5 hari lagi?” pertanyaanku sedikit menimbulkan kebingungan di wajah ayah. Walau dia tak mengutarakannya, tapi aku dapat membacanya dengan jelas. Mungkin ayah sangat lelah. “Pekerjaannya sudah selesai, Sayang.” Jawab ayah dengan nada lebih rendah “Wah... Ayah hebat, yah... kerjanya cepat.” “Jelas, dong. Ehh.. Ayah mau nunjukin sesuatu nih.” “Ayah, ini tehnya.” Tegur ibu yang sedang berjalan ke arah kami membawa secangkir teh hangat. “Bu... sini... Ayah mau memperlihatkan sesuatu sama Ibu dan Anggit.” Ajak ayah sembari mempersiapkan koper yang tadi ditentengnya untuk dibuka.” Dan.... alangkah terkejutnya aku dan ibu saat melihat isi koper itu, apa lagi ibu yang sudah tidak sanggup lagi berkedip. Kalian sudah bisa menebak apa isi koper itu? Tentu saja bukan keramik antik kesukaan ibu, atau pun gadget keluaran terbaru yang ku idam‐idamkan. Ribuan selembaran seratus ribu rupiah memenuhi koper silver itu. Hanya dalam dua hari, ayah pulang membawa Rp500.000.000 ke hadapan mata kami. Menakjubkan! “Ayah... uangnya kok banyak banget. Dapat dari mana?” Tanyaku secara gamblang. “Ya kerja dong, Sayang. Sudah, kamu nggak usah banyak tanya, toh Ayah juga kerja untuk kebutuhan kamu sama Ibu. Yang penting kalau kamu minta, Ayah selalu ada uang.” “Ayah...jadi,pekan depan kita buat acara syukuran lagi,kan? Panggil 100 anak yatim cukup,kan?” sahut ibu seketika memotong pembicaraan ayah. “Jadi dong,Bu... pokoknya, Ibu urus semua kelengkapanya, nanti Ayah kasih uangnya.” “Kok setiap ayah pulang dari tugas, kita selalu syukuran sih,Bu?” Tanyaku dengan raut wajah penasaran. “Sayang, rezeki harus dibagi‐bagi. Itu juga untuk membersihkankan harta. Beberapa persen harta kita kan ada hak orang lain juga.”
Melalui penjelasan ibu yang lugas, aku mulai mengerti maksud dari kegiatan bulanan ayah dan ibu yang satu ini. *** Saat itu, aku mulai mengagumi kebaikan hati orang tuaku. Senakal‐nakalnya aku, Tuhan masih menggetarkan hatiku saat menyaksikan kebaikan di depan mataku, salah satunya melalui orang tuaku. Namun percakapan di malam itu tidak serta merta dapat mengubahku. Pepatah “buah jatuh tidak jauh dari pohonnya” tidak berlaku dalam kamusku. Jangan tanya “kenapa” sebelum kalian membaca lanjutan dari tulisanku di bawah ini. *** Esoknya, aku berangkat sekolah tanpa mengendarai mobil. Kata ibu, itu hukuman bagiku karena terlalu sering pulang larut malam. Terpaksa aku harus membiarkan kakiku berjalan menyusuri bahu jalan yang penuh dengan sesak.Tidak terlalu jauh, namun jarak 1,5 km itu cukup menguras tenagaku. Di perjalanan pulang, rupanya lagit sangat suram dan hujan seketika mengguyur tubuhku yang masih berbalut seragam putih abu‐abu. Sebuah mesjid yang berdiri kokoh di seberang jalan menjadi tempat yang cocok untuk berteduh. “Assalamu’alaykum” dari belakang,seseorang mengucapkan salam kepadaku. “Wa’alaykumsalam” jawabku sembari membalikkan badan “Eneng, kok duduknya di luar. Yuk masuk ke mesjid!” “Di sini aja, Pak. Pakaian saya basah.” “Eneng baru pulang sekolah? Kok nggak dijemput?” “Emang nggak pernah dijemput,Pak. Biasanya sih saya bawa mobil sendiri, tapi kunci mobilnya lagi disita sama ibu, Pak.” “Loh... kok bisa, Neng? Belum punya SIM?” “Bukan, Pak. Saya lagi dihukum karena sering pulang larut malam.” “Memangnya kenapa Eneng begitu? Orang tuanya jarang di rumah,yah?” “Nah kan..... pasti Bapak mikirnya saya kurang perhatian,kan? Sama sekali nggak kok,Pak. Ibu selalu ada di rumah kok. Ayah kerja, tapi sibuknya masih wajar, masih ingat anak istri. Bapak heran,yah? Sama!!! Saya juga heran kok,Pak.” “Maaf, Eneng teman‐temannya bagaimana?” “Pak, saya nggak salah pergaulan, kok. Malahan saya yang ngajarin yang nggak bener ke anak orang. Hahaha” “Ayahnya kerja apa,Neng?” “Ayah saya kerja di perusahaan properti,Pak...tapi kerjasama dengan BUMN juga sih.”
“Neng, maaf yah... setahu Bapak, baik tidaknya seorang anak bukan hanya tergantung dari didikan orangtua dan pergaulannya, tapi dari uang yang digunakan orangtuanya untuk memberi makan anaknya juga.” *** Sederet kalimat yang baru saja dilontarkan oleh Pak Ustaz,sebut saja Pak Amir, saat itu sedikit menyinggungku. Aku tahu ayahku dan bagaimana kebaikan hatinya. Bagiku, Pak Amir hanya menduga‐duga sehingga aku tidak ingin menghiraukan perkataannya. *** Dua bulan setelah bertemu dengan Pak Amir, badai menerpa keluargaku menyebabkan kami terjerumus ke dalam jurang kesengsaraan. Ayahku terseret ke ranah hukum karena kasus korupsi yang dilakukannya terhadap proyek pengadaan fasilitas publik. Semua aset ayah disita. Aku dan ibu harus menerima kenyataan hidup di dalam belenggu kemiskinan, sementara ayah harus mendekam di balik dinginnya sel tahanan selama bertahun‐tahun. Di samping itu, kami harus menanggung malu karena perbuatan ayah yang tersiar di berbagai media dan menyebabkan orang‐orang seantero negeri ini menghujat ayah. Semua temanku menjauh. Dua pekan berturut‐turut aku menjadi buah bibir yang hangat diperbicangkan oleh berbagai lapisan warga sekolah.”Gigit si pembuat onar”, sekarang julukan itu sudah berubah menjadi “Gigit si anak koruptor”. Kejadian itu seketika mengubahku menjadi pribadi yang tertutup. Aku hanya bisa membisu mendengarkan desas‐desus dari bibir mereka. Aku masih belum percaya ayah melakukannya. Aku bertekad menemui ayah di penjara dan memintanya untuk menceritakan segala kronologi yang terjadi. Dari perbincangan kami selama setengah jam, aku berhasil mengaitkan beberapa peristiwa yang tetap sulit bagiku untuk menerimanya, namun harus tetap ku yakini. Dari cerita yang telah ku sampaikan, kalian masih ingat, dengan peristiwa saat ayah membawa 2 koper silver dan membuat acara syukuran satu minggu setelahnya? Nah, uang itu nyatanya adalah hasil korupsi ayah, bukan hanya itu, sebelumnya ayah sering melakukan penggelapan dana. Selanjutnya, kenapa ayah dan ibu selalu mengadakan syukuran selepas ayah pulang dari luar kota? Mungkin jawaban ini sedikit menggelitik. Ayahku bukanlah seseorang yang buta agama secara serta merta. Ia sadar,korupsi itu haram dan dosa. Karena itu, ia rajin bersedekah. Sepertinya, ayah memiliki pemahaman yang cukup unik dalam konteks ini, namun tetap saja itu salah! Sedekah diharapkan ayah untuk membersihkan harta. Jadi, semakin banyak dana yang dikorupsi ayah, semakin deras pula rupiah yang mengalir dari dompetnya untuk disedekahkan. Kalian pernah berpikiran seperti ayah? Semoga tidak! Jangan! Naas, sebulan setelah ayah mendekam dalam sel tahanan, ibu mengambil langkah yang sangat melukaiku. Di penghujung hari di bulan November, aku harus menerima kenyataan bahwa ibu telah meninggalkanku untuk selamanya. Ibu yang selalu murung dan terkena depresi berat karena kasus ayah, melakukan bunuh diri
dengan meminum pembasmi serangga. Itulah titik terendah dalam hidupku yang terus berlanjut hingga beberapa tahun. *** Namun, Tuhan berbaik hati dengan memberikan seberkas cahaya dalam hidupku. Seorang lelaki yang mau menerimaku dan segala kepahitan masa laluku. “Sayang, kok belum tidur?” katanya sambil mendekap mesra tubuhku. “Masih menulis, Sayang. Tunggu, sebentar lagi selesai.” Balasku dengan tutur lembut. Ya, dia adalah suamiku. Sosok yang berhasil membantuku bangkit untuk menata hidup yang baru hingga kini aku berhasil menjadi penulis fenomenal. Itulah sepenggal kisah masa laluku yang amat getir dan terkadang menghantui setiap langkahku saat ini. Sekarang, aku sangat jeli terhadap pendapatan suamiku, dari siapa dan di mana ia mendapatkan pundi‐pundi rupiah untuk hidupku dan si buah hatiku. Masa lalu itu menempaku untuk selalu berhati‐hati. Harapanku sederhana, namun sangat berarti. Aku tak ingin kalian mengalami hal yang sama dengan yang aku alami.