ANALISIS TINGKAT RISIKO ERGONOMI BERDASARKAN ASPEK PEKERJAAN PADA PEKERJA LAUNDRY SEKTOR USAHA INFORMAL DI KECAMATAN CIPUTAT TIMUR KOTA TANGERANG SELATAN TAHUN 2012
SKRIPSI
OLEH : GIRI CARAKAN ROJO ANGKOSO NIM : 105101003230
PEMINATAN KESELAMATAN DAN KESEHATAN KERJA PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1434 H/2013 M
ANALISIS TINGKAT RISIKO ERGONOMI BERDASARKAN ASPEK PEKERJAAN PADA PEKERJA LAUNDRY SEKTOR USAHA INFORMAL DI KECAMATAN CIPUTAT TIMUR KOTA TANGERANG SELATAN TAHUN 2012
SKRIPSI Diajukan Sebagai Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat
Disusun Oleh : GIRI CARAKAN ROJO ANGKOSO NIM : 105101003230
PEMINATAN KESELAMATAN DAN KESEHATAN KERJA PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1434 H/2013 M
i
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT KESELAMATAN DAN KESEHATAN KERJA Skripsi, Juni 2012 Giri Carakan Rojo Angkoso, NIM : 105101003230 Analisis Tingkat Risiko Ergonomi Berdasarkan Aspek Pekerjaan Pada Pekerja Laundry Sektor Usaha Informal di Kecamatan Ciputat Timur Kota Tangerang Selatan Tahun 2012 xvii + 204 halaman, 37 tabel, 43 gambar
ABSTRAK Gerakan tubuh yang berlebihan (overexertion), gerakan yang berulang – ulang (repetitive motions) dan postur janggal pada pekerjaan laundry memiliki risiko yang dapat mengakibatkan gangguan muskuloskeletal pada pekerja. Hal ini dapat mempengaruhi produktifitas, efisiensi dan efektifitas pekerja dalam menyelesaikan pekerjaannya. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan menggunakan alat penilaian observasi postur Rapid Entire Body Assessment (REBA) untuk mengetahui tingkat risiko ergonomi melalui penilaian terhadap postur janggal (leher, tulang punggung, kaki, lengan atas, lengan bawah, pergelangan tangan), beban, genggaman tangan dan aktifitas pada pekerja laundry sektor informal. Penelitian ini dilaksanakan di wilayah Kecamatan Ciputat Timur Kota Tangerang Selatan pada bulan Mei – Juni 2012. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tingkat risiko pada proses penimbangan, pencucian dan pemerasan serta pengemasan dengan posisi berdiri dalam kategori risiko menengah. Sedangkan, pada proses pengeringan dan penyetrikaan dalam kategori risiko tinggi. Pada proses pengemasan dengan posisi duduk dalam kategori risiko rendah. Saran untuk penelitian ini adalah alat timbangan diletakkan diatas meja, dimana tinggi meja harus disesuaikan tinggi dan jangkauan pekerja saat dilakukan penimbangan, mesin pengering pakaian yang digunakan diberikan dudukan pada kaki mesin, menggunakan wadah pakaian yang memiliki desain pegangan yang baik, mendesain tempat duduk yang dapat disesuaikan dengan ketinggian meja setrika dan antropometri pekerja. Daftar Bacaan : 30 (1989 – 2010)
ii
FACULTY OF MEDICINE AND HEALTH SCIENCES COMMUNITY HEALTH STUDY SAFETY AND HEALTH Thesis, June 2012 Giri Carakan Angkoso Rojo, NIM: 105101003230 Ergonomics Risk Level Analysis Based on Aspect Work In Laundry Workers in the Informal Sector in Ciputat Timur District, South Tangerang City in 2012 xvii + 204 pages, 37 tables, 43 pictures ABSTRACT Excessive body movement (overexertion), repetitive movements and awkward posture at work laundry has risks that can lead to musculoskeletal disorders in workers. This can affect the productivity, efficiency and effectiveness of workers in completing the work. This research is a qualitative study using observation assessment tool posture Rapid Entire Body Assessment (REBA) to determine the level of ergonomic risk assessment through awkward posture (neck, spine, leg, upper arm, forearm, wrist), weight, hand grip and activities in the informal sector laundry workers. This research was conducted in Ciputat Timur District, South Tangerang City in May-June 2012. The results of this study indicate that the level of risk in the process of weighing, washing and packing in a standing position, in the medium risk category. Meanwhile, the process of drying and ironing in the high risk category. In the packaging process in a sitting position in the low risk category. Suggestions for this study is a tool weight placed on the table where the high table should be adjustable in height and outreach workers currently weighing is done, clothes dryers were used given the stand on the feet, use a container that has a design clothes a good grip, designed seat that can be adjusted the height of the ironing board and anthropometry workers. References: 30 (1989 - 2010)
iii
iv
v
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
A. Data Pribadi Nama
: Giri Carakan Rojo Angkoso
TTL
: Tangerang, 08 Oktober 1987
Alamat
: Jl. H. Jaung No. 06 RT. 04/01 Kelurahan Jurumudi Kecamatan Benda Kota Tangerang Banten 15124
Agama
: Islam
Status
: Belum Menikah
Telepon / HP : (021) 5415495 / 085691344921 Email
:
[email protected]
B. Riwayat Pendidikan 1993 – 1999
: SD Negeri Pegadungan 01 Pagi
1999 – 2002
: SMP Negeri 45 Jakarta
2003 – 2005
: SMA Negeri 84 Jakarta
2005 – 2012
: Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Jurusan Kesehatan Masyarakat Peminatan Keselamatan dan Kesehatan Kerja
vi
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah. Segala Puji bagi Allah SWT yang telah memberikan begitu banyak nikmat, hidayah dan kesempatan kepada saya sehingga saya masih diberikan amanah untuk dapat menyelesaikan studi ini. Shalawat serta salam, saya haturkan kepada Rasulullah Nabi Muhammad SAW, semoga kita semua bisa bertemu dengan Beliau di JannahNya. Amin. Saya bersyukur kepada Allah SWT atas semua kemudahan-kemudahan, pertolongan dan kekuatan sampai hari ini. Saya ucapkan terima kasih yang sebesarbesarnya kepada kedua orang tua saya tercinta (Bapak Tukiman dan Ibu Asiyah) atas doa, semangat, dukungan, kesabaran yang tiada pernah putus kepada saya sehingga saya akhirnya bisa menyelesaikan studi ini selama 7 tahun. Selanjutnya kepada adik saya, Fitrah All Burman, SE yang selalu memberikan doa dan semangat kepada saya. Bidadari kecil saya “My Little Mujahidah” Anniza Hazzanova Corie yang memotivasi saya untuk menjadi ayah yang baik. Selama proses pengerjaan skripsi ini, saya berterima kasih kepada semua pihak yang telah membantu saya karena saya tidak mampu berjuang sendiri tanpa motivasi dari semua pihak. Dengan segala kerendahan hati dan rasa syukur yang terdalam, saya mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :
vii
1. Ibu Ir. Febrianti M.Si, selaku Kepala Program Studi Kesehatan Masyarakat FKIK UINSH Jakarta yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk bisa menyelesaikan studi ini. 2. Ibu Riastuti Kusumawardani, MKM, selaku Pembimbing Skripsi I, yang telah memberikan ilmu, kesempatan dan kesabaran untuk membimbing saya sehingga saya bisa menyelesaikan studi ini. 3. Ibu Minsarnawati, M.Kes, selaku Pembimbing Skripsi II, yang telah banyak memotivasi, membimbing dan meluangkan waktu, pikiran dan kesabaran serta doanya kepada saya sehingga saya dapat menyelesaikan studi ini. 4. Ibu Raihana N. Alkaff, M.MA, Ibu Yuli Amran, MKM, dan Ibu Dewi Utami Iriani, PhD selaku Penguji Sidang Skripsi yang telah memberikan saran dan masukan dalam penyempurnaan skripsi saya. 5. Seluruh dosen Program Studi Kesehatan Masyarakat mulai dari tahun 2005 hingga kini, (Pak Baequni, Bu Narila Mutia, Bu Hoirun Nisa, Bu Fajar Ariyanti, Bu Febrianti, Bu Catur Rosidati, Bu Iting Shofwati, Bu Ella, Pak Farid Hamzens, Pak Yuli Prapanca Satar), yang telah membantu saya menggali khazanah ilmu kesehatan masyarakat di FKIK UINSH Jakarta. Semoga saya dapat mengamalkan ilmu untuk kemaslahatan umat. 6. Pak Ahmad Gozali yang banyak membantu saya dalam administrasi kuliah. 7. Seluruh teman-teman yang banyak membantu saya selama studi di FKIK mulai dari angkatan 2004 hingga 2010 yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu, yang telah memotivasi, mendukung dan mendoakan saya untuk menjadi insan yang lebih baik. viii
8. Segenap keluarga besar Komda FKIK, KADAFI FKIK, LDK Syahid, BEMJ Kesmas, BEM FKIK, DPMU, ISMKMI, dll. Terima Kasih atas Idealismenya. 9. Saudaraku yang senantiasa saling mengingatkan dalam kebaikan dan kesabaran. Sang Murobbi Ka Hafidz, Salman, Syahru, Indra, Musoffa, Furqon, Terima kasih atas ukhuwahnya. 10. Sahabat-sahabatku yang senantiasa membantu selama proses skripsi, Nurul, Hari, Retno, Eka, Endah, Jeje, Jalil, Arif, dll. Terima kasih atas semangatnya. 11. Untuk Sahabatku Ka Umar Al Faruq dan Latifah Hariri (Ka Ipun) dan adikadik mujahidah di Alqur’an Center Ummu Habibah. Terima kasih atas doa dan tilawahnya selama saya disana. 12. Serta semua pihak yang mungkin belum saya sebutkan dan tidak dapat saya sebutkan satu persatu. Terima kasih atas doanya. 13. Semoga Allah SWT mempertemukan kita semua di dalam naungan Ridho dan JannahNya. Amin. Saya menyadari bahwa pembuatan skripsi ini masih sangat jauh dari sempurna. Dengan segala kekurangan yang ada pada skripsi ini, saya dengan senang hati menanti saran, kritik dan rekomendasi yang membangun dari Bapak, Ibu dan rekan-rekan serta pembaca untuk memperbaiki dan melengkapi skripsi ini agar skripsi ini bisa memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi kehidupan ini. Jakarta, Januari 2013 Hormat Saya, Giri Carakan Rojo Angkoso ix
DAFTAR ISI
Halaman LEMBAR PERNYATAAN ............................................................................ i ABSTRAK ....................................................................................................... ii LEMBAR PENGESAHAN ............................................................................ iv DAFTAR RIWAYAT HIDUP ....................................................................... vi KATA PENGANTAR ..................................................................................... vii DAFTAR ISI .................................................................................................... x DAFTAR TABEL............................................................................................ xiv DAFTAR GAMBAR ....................................................................................... xvi BAB I PENDAHULUAN ................................................................................ 1 1.1.Latar Belakang ................................................................................ 1 1.2.Rumusan Masalah ........................................................................... 6 1.3.Pertanyaan Penelitian ...................................................................... 6 1.4.Tujuan Penelitian ............................................................................. 7 1.4.1.Tujuan Umum........................................................................ 7 1.4.2.Tujuan Khusus ....................................................................... 7 1.5.Manfaat Penelitian ........................................................................... 8 1.5.1. Bagi Peneliti ......................................................................... 8 1.5.2. Bagi Tempat Penelitian ........................................................ 9 1.5.3. Bagi Institusi......................................................................... 9 1.6.Ruang Lingkup Penelitian ............................................................... 9 BAB II TINJAUAN PUSTAKA ..................................................................... 11 2.1. Ergonomi ........................................................................................ 11 2.1.1. Definisi Ergonomi ................................................................ 11 2.1.2. Ruang Lingkup Ergonomi .................................................... 14 2.1.3. Tujuan Ergonomi .................................................................. 18 2.1.4. Konsep Keseimbangan Dalam Ergonomi ............................ 19
x
2.2. Faktor – Faktor Risiko Ergonomi ................................................... 22 2.2.1 Berdasarkan Pekerjaan .......................................................... 22 2.2.1.1. Postur ....................................................................... 22 2.2.1.2. Frekuensi .................................................................. 34 2.2.1.3. Durasi ....................................................................... 35 2.2.1.4. Beban ....................................................................... 35 2.2.1.5. Peregangan Otot Yang Berlebihan........................... 36 2.2.2. Faktor Lingkungan ................................................................ 37 2.2.2.1. Getaran ..................................................................... 37 2.2.2.2. Mikroklimat ............................................................. 37 2.2.3. Faktor Perorangan ................................................................. 38 2.2.3.1. Umur ........................................................................ 38 2.2.3.2. Jenis Kelamin ........................................................... 39 2.2.3.3. Kebiasaan Merokok ................................................. 39 2.2.3.4. Kesegaran Jasmani ................................................... 40 2.3. Musculoskeletal Disorders (MSDs) ............................................... 40 2.3.1. Gangguan Kesehatan Pada Muskuloskeletal Tiap Bagian Tubuh ......................................................................... 41 2.4. Pengendalian Risiko Ergonomi ...................................................... 45 2.5. Metode Penilaian Risiko Ergonomi ............................................... 48 2.5.1. Rapid Upper Limb Assessment (RULA) ............................. 48 2.5.2. The Ovako Working Analysis System (OWAS).................. 50 2.5.3. Ergonomic Assessment Survey (EASY) .............................. 52 2.5.4. Base Risk Identification of Ergonomic Factor (BRIEF) ...... 52 2.5.5. Rapid Entire Body Assessment (REBA) .............................. 53 2.5.6 Alasan Pemilihan Metode REBA ......................................... 67 2.6. Kerangka Teori ............................................................................... 69 BAB III KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL ........ 71 3.1. Kerangka Konsep ........................................................................... 71 3.2. Definisi Operasional ....................................................................... 73
xi
BAB IV METODOLOGI PENELITIAN...................................................... 76 4.1. Jenis Penelitian ............................................................................... 76 4.2. Tempat dan Waktu Penelitian ........................................................ 76 4.3. Objek Penelitian ............................................................................. 76 4.4. Pengumpulan dan Pengolahan Data ............................................... 77 4.4.1. Pengumpulan Data ............................................................... 77 4.4.2. Alat Pengumpulan Data........................................................ 78 4.4.3. Pengolahan Data ................................................................... 78 4.4.4. Analisis Data ........................................................................ 84 BAB V HASIL ................................................................................................. 86 5.1. Karakteristik Lingkungan Kerja ..................................................... 86 5.2. Gambaran Proses Kerja .................................................................. 87 5.2.1.Penimbangan ......................................................................... 87 5.2.2.Pencucian dan Pemerasan ..................................................... 87 5.2.3.Pengeringan ........................................................................... 88 5.2.4.Setrika dan Pelipatan ............................................................ 88 5.2.5.Pengemasan ........................................................................... 89 5.3. Gambaran Postur Tubuh Pekerja Laundry .................................... 89 5.3.1. Penimbangan ........................................................................ 90 5.3.2. Pencucian dan Pemerasan .................................................... 92 5.3.3. Pengeringan .......................................................................... 96 5.3.4. Setrika dan Pelipatan ............................................................ 100 5.3.5. Pengemasan .......................................................................... 104 5.4. Gambaran Beban Kerja, Coupling dan Nilai Aktifitas Pekerja Laundry ......................................................................................... 106 5.5. Analisis REBA Terhadap Keseluruhan Tubuh Yang Digunakan Pekerja ........................................................................................... 111 5.5.1. Penimbangan ........................................................................ 111 5.5.2. Pencucian dan Pemerasan .................................................... 115 5.5.3. Pengeringan .......................................................................... 122
xii
5.5.4. Setrika dan Pelipatan ............................................................ 130 5.5.5. Pengemasan .......................................................................... 137 BAB VI PEMBAHASAN .............................................................................. 142 6.1. Keterbatasan Penelitian .................................................................. 142 6.2. Pembahasan Langkah Kerja ........................................................... 142 6.2.1.Penimbangan ........................................................................ 142 6.2.2. Pencucian dan Pemerasan .................................................... 149 6.2.3.Pengeringan ........................................................................... 161 6.2.4.Setrika dan Pelipatan ............................................................. 173 6.2.5.Pengemasan ........................................................................... 185 BAB VII SIMPULAN DAN SARAN ............................................................ 191 7.1. Simpulan ......................................................................................... 191 7.2. Saran ............................................................................................... 192 DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 194
xiii
DAFTAR TABEL
Halaman Tabel 2.1. Tabel REBA Kelompok A ................................................................. 63 Tabel 2.2. Tabel REBA Kelompok B ................................................................. 64 Tabel 2.3. Tabel REBA Kelompok C ................................................................. 65 Tabel 4.1. Tabel REBA Kelompok A ................................................................. 80 Tabel 4.2. Tabel REBA Kelompok B ................................................................. 82 Tabel 4.3. Tabel REBA Kelompok C ................................................................. 83 Tabel 5.1. Gambaran Beban Kerja, Coupling dan Nilai Aktifitas Pekerja Laundry Sektor Usaha Informal Kecamatan Ciputat Timur Kota Tangerang Selatan .............................................................................. 106 Tabel 5.2. Analisis REBA Pada Proses Penimbangan Menggunakan Timbangan Pegas di Laundry Sektor Usaha Informal Kecamatan Ciputat Timur Kota Tangerang Selatan ............................................. 111 Tabel 5.3. Analisis REBA Pada Proses Penimbangan Menggunakan Timbangan Biasa di Laundry Sektor Usaha Informal Kecamatan Ciputat Timur Kota Tangerang Selatan ............................................. 113 Tabel 5.4. Analisis REBA Pada Proses Memasukkan Pakaian ke Dalam Mesin Cuci di Laundry Sektor Usaha Informal Kecamatan Ciputat Timur Kota Tangerang Selatan ............................................. 115 Tabel 5.5. Analisis REBA Pada Proses Mengeluarkan Pakaian Dari Mesin Cuci di Laundry Sektor Usaha Informal Kecamatan Ciputat Timur Kota Tangerang Selatan .......................................................... 117 Tabel 5.6. Analisis REBA Pada Proses Membilas di Laundry Sektor Usaha Informal Kecamatan Ciputat Timur Kota Tangerang Selatan ........... 119 Tabel 5.7. Analisis REBA Pada Proses Memasukkan Pakaian Kedalam Wadah Di Laundry Sektor Usaha Informal Kecamatan Ciputat Timur Kota Tangerang Selatan .......................................................... 120
xiv
Tabel 5.8. Analisis REBA Pada Proses Mengangkat Wadah Pakaian di Laundry Sektor Usaha Informal Kecamatan Ciputat Timur Kota Tangerang Selatan .............................................................................. 123 Tabel 5.9. Analisis REBA Pada Proses Memasukkan Pakaian Kedalam Mesin Pengering di Laundry Sektor Usaha Informal Kecamatan Ciputat Timur Kota Tangerang Selatan ............................................. 125 Tabel 5.10. Analisis REBA Pada Proses Mengeluarkan Pakaian Dari Mesin Pengering di Laundry Sektor Usaha Informal Kecamatan Ciputat Timur Kota Tangerang Selatan .......................................................... 126 Tabel 5.11. Analisis REBA Pada Proses Penjemuran Pakaian di Laundry Sektor Usaha Informal Kecamatan Ciputat Timur Kota Tangerang Selatan ................................................................................................ 128 Tabel 5.12. Analisis REBA Pada Proses Setrika Dan Pelipatan Dengan Posisi Berdiri Menggunakan Meja Setrika Tanpa Kursi di Laundry Sektor Usaha Informal Kecamatan Ciputat Timur Kota Tangerang Selatan ................................................................................................ 130 Tabel 5.13. Analisis REBA Pada Proses Setrika dan Pelipatan Dengan Posisi Duduk Menggunakan Meja Setrika dan Kursi Dengan Sandaran Punggung di Laundry Sektor Usaha Informal Kecamatan Ciputat Timur Kota Tangerang Selatan .......................................................... 133 Tabel 5.14. Analisis REBA Pada Proses Setrika dan Pelipatan Dengan Posisi Duduk Menggunakan Meja Setrika dan Kursi Tanpa Sandaran Punggung di Laundry Sektor Usaha Informal Kecamatan Ciputat Timur Kota Tangerang Selatan .......................................................... 135 Tabel 5.15. Analisis REBA Pada Proses Pengemasan Dengan Posisi Berdiri di Laundry Sektor Usaha Informal Kecamatan Ciputat Timur Kota Tangerang Selatan ..................................................................... 137 Tabel 5.16. Analisis REBA Pada Proses Pengemasan Dengan Posisi Duduk Dilantai di Laundry Sektor Usaha Informal Kecamatan Ciputat Timur Kota Tangerang Selatan .......................................................... 140
xv
DAFTAR GAMBAR
Halaman Gambar 2.1. Ruang Lingkup Ergonomi dan Keterkaitan dengan Ilmu Lainnya 15 Gambar 2.2. Konsep Dasar Dalam Ergonomi .................................................... 20 Gambar 2.3. Postur Pinch Grip Pada Jari-jari Tangan ....................................... 25 Gambar 2.4. Postur Janggal Tangan, Finger Press ............................................ 25 Gambar 2.5. Posisi Deviasi Ulnar (a) dan Posisi Deviasi Radial (b) Pada Pergelangan Tangan.............................................................. 25 Gambar 2.6. Posisi Fleksi (a) dan Posisi Ekstensi (b) Pada Pergelangan Tangan ........................................................................................... 26 Gambar 2.7. Postur Power Grip ........................................................................ 26 Gambar 2.8. Pergerakan Siku yang Janggal, Posisi Lengan Bawah Rotasi (a) dan Siku Ekstensi Penuh (b) ................................................... 27 Gambar 2.9
Posisi Janggal Pada Bahu, Bahu Diangkat Sebesar ≥ 45° (a) dan Posisi Bahu ke Arah Belakang (b) .......................................... 28
Gambar 2.10. Posisi Leher Menunduk ≥ 20° ....................................................... 28 Gambar 2.11. Posisi Leher Miring ....................................................................... 29 Gambar 2.12. Posisi Leher ke ke Arah Belakang/Mendongak ke Atas ............... 30 Gambar 2.13. Posisi Leher Memutar ke Samping................................................ 30 Gambar 2.14. Gerakan Punggung Membungkuk ≥ 20° ke Depan ....................... 31 Gambar 2.15. Punggung Deviasi ke Samping...................................................... 32 Gambar 2.16 Posisi Punggung Deviasi ke Samping ........................................... 32 Gambar 2.17. Postur Kaki Janggal, Posisi Berjongkok (a); Posisi Berdiri dengan Bertumpu Pada Satu Kaki (b); dan Posisi Berlutut (c) ..... 33
xvi
Gambar 2.18. Postur Leher................................................................................... 58 Gambar 2.19. Postur Punggung ............................................................................ 60 Gambar 2.20. Postur Kaki .................................................................................... 60 Gambar 2.21. Postur Lengan Bagian Atas ........................................................... 61 Gambar 2.22. Postur Lengan Bagian Bawah ....................................................... 62 Gambar 2.23. Postur Pergelangan Tangan ........................................................... 62 Gambar 2.24. Skor REBA .................................................................................... 66 Gambar 2.25. REBA Decision ............................................................................. 66 Gambar 2.26. Kerangka Teori .............................................................................. 70 Gambar 3.1. Kerangka Konsep .......................................................................... 72 Gambar 4.1. Skor REBA ................................................................................... 80 Gambar 5.1. Postur Tubuh Pekerja Pada Proses Penimbangan Menggunakan Timbangan Pegas di Laundry Sektor Usaha Informal Kecamatan Ciputat Timur Kota Tangerang Selatan ....... 90 Gambar 5.2. Postur Tubuh Pekerja Pada Proses Penimbangan Menggunakan Timbangan Biasa di Laundry Sektor Usaha Informal Kecamatan Ciputat Timur Kota Tangerang Selatan ....... 91 Gambar 5.3. Postur Tubuh Pekerja Pada Proses Memasukkan Pakaian ke Dalam Mesin Cuci di Laundry Sektor Usaha Informal Kecamatan Ciputat Timur Kota Tangerang Selatan ...................... 92 Gambar 5.4. Postur Tubuh Pekerja Pada Proses Mengeluarkan Pakaian Dari Mesin Cuci di Laundry Sektor Usaha Informal Kecamatan Ciputat Timur Kota Tangerang Selatan ...................... 93 Gambar 5.5. Postur Tubuh Pekerja Pada Proses Pembilasan di Laundry Sektor Usaha Informal Kecamatan Ciputat Timur Kota Tangerang Selatan ......................................................................... 94 Gambar 5.6. Postur Tubuh Pekerja Pada Proses Memasukkan Pakaian ke Dalam Wadah di Laundry Sektor Usaha Informal Kecamatan Ciputat Timur Kota Tangerang Selatan ......................................... 95 xvii
Gambar 5.7. Postur Tubuh Pekerja Pada Proses Mengangkat Wadah Pakaian Untuk Dibawa ke Mesin Pengering di Laundry Sektor Usaha Informal Kecamatan Ciputat Timur Kota Tangerang Selatan ......................................................................... 96 Gambar 5.8. Postur Tubuh Pekerja Pada Proses Memasukkan Pakaian ke Dalam Mesin Pengering di Laundry Sektor Usaha Informal Kecamatan Ciputat Timur Kota Tangerang Selatan ...................... 97 Gambar 5.9. Postur Tubuh Pekerja Pada Proses Mengeluarkan Pakaian Dari Mesin Pengering di Laundry Sektor Usaha Informal Kecamatan Ciputat Timur Kota Tangerang Selatan ...................... 98 Gambar 5.10. Postur Tubuh Pekerja Pada Proses Penjemuran Pakaian di Laundry Sektor Usaha Informal Kecamatan Ciputat Timur Kota Tangerang Selatan ................................................................ 99 Gambar 5.11. Postur Tubuh Pekerja Pada Proses Setrika dan Pelipatan Dengan Posisi Berdiri Menggunakan Meja Setrika Tanpa Kursi di Laundry Sektor Usaha Informal Kecamatan Ciputat Timur Kota Tangerang Selatan ..................................................... 100 Gambar 5.12. Postur Tubuh Pekerja Pada Proses Setrika dan Pelipatan Dengan Posisi Duduk Menggunakan Meja Setrika dan Kursi Dengan Sandaran Punggung di Laundry Sektor Usaha Informal Kecamatan Ciputat Timur Kota Tangerang Selatan ....... 102 Gambar 5.13. Postur Tubuh Pekerja Pada Proses Setrika dan Pelipatan Dengan Posisi Duduk Menggunakan Meja Setrika dan Kursi Tanpa Sandaran Punggung di Laundry Sektor Usaha Informal Kecamatan Ciputat Timur Kota Tangerang Selatan ....... 103 Gambar 5.14. Postur Tubuh Pekerja Pada Proses Pengemasan Dengan Posisi Berdiri di Laundry Sektor Usaha Informal Kecamatan Ciputat Timur Kota Tangerang Selatan ......................................... 104 Gambar 5.15. Postur Tubuh Pekerja Pada Proses Pengemasan Dengan Posisi Duduk di Laundry Sektor Usaha Informal Kecamatan Ciputat Timur Kota Tangerang Selatan ......................................... 105
xviii
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Industrialisasi menuntut dukungan penggunaan teknologi maju dan canggih, yang di satu pihak akan memberi kemudahan dalam proses produksi dan meningkatkan produktivitas. Di lain pihak cenderung meningkatkan risiko kecelakaan dan penyakit yang timbul sehubungan dengan pekerjaan. Selain itu, di tempat kerja terdapat banyak potensi bahaya, yaitu bahaya fisik, kimia, biologi, ergonomi dan psikososial yang berdampak pada kesehatan pekerja (Kurniawati, 2009). Bahaya tersebut merupakan hasil interaksi antar elemen-elemen yang terlibat yaitu pekerja, alat/mesin yang digunakan dalam melakukan pekerjaan maupun lingkungan kerja. Interaksi antara ketiga elemen ini menghasilkan dampak langsung maupun tidak langsung terhadap pekerja yang meliputi bahaya terhadap keselamatan kerja maupun kesehatan kerja. Salah satu masalah kesehatan kerja yang jarang diperhatikan adalah masalah ergonomi. Ergonomi adalah studi ilmiah terapan mengenai manusia terhadap desain objek, sistem, lingkungan untuk aplikasi kerja manusia (Pheasant, 1991). Sistem kerja yang tidak ergonomi seringkali kurang mendapat perhatian atau dianggap
1
2
sepele. Sebagai contoh adalah pada cara, sikap dan posisi kerja yang tidak benar, fasilitas kerja yang tidak sesuai, dan faktor lingkungan kerja yang kurang mendukung. Hal ini secara sadar maupun tidak akan berpengaruh terhadap produktifitas, efisiensi dan efektifitas pekerja dalam menyelesaikan pekerjaannya (Budiono, 2003). Penerapan ergonomi yang kurang diperhatikan dapat menyebabkan timbulnya masalah-masalah yang ergonomi. Salah satu gejala umum yang timbul akibat kerja adalah gangguan musculoskeletal. Gangguan musculoskeletal adalah keluhan pada bagian-bagian otot skeletal yang dirasakan oleh seseorang mulai dari keluhan sangat ringan sampai sangat sakit. Apabila otot menerima beban statis secara berulang-ulang dan dalam waktu yang lama, akan dapat menyebabkan keluhan berupa kerusakan pada sendi, ligamen dan tendon. Keluhan hingga kerusakan inilah yang biasanya diistilahkan dengan gangguan musculoskeletal disorders (MSDs) atau cidera pada sistem musculoskeletal (Grandjean, 1993; Lemasters, 1996 dalam Tarwaka 2004). Menurut Tarwaka (2004), studi tentang MSDs pada beberapa jenis industri telah banyak dilakukan dan hasil studi menunjukkan bahwa bagian otot yang sering dikeluhkan adalah otot rangka (skeletal) yang meliputi otot leher, bahu, lengan, tangan, jari, punggung, pinggang dan otot-otot bagian bawah. Berdasarkan laporan the Bureau of Labur Statistics (LBS) tahun 1994, terdapat sekitar 32 % (705.800 kasus) merupakan penyakit akibat kerja yang
3
berasal dari pekerjaan berat (overexertion) dan pergerakan kerja yang berulangulang (repetitive motion) dalam pekerjaan manual handling. (NIOSH, 1997). Besarnya biaya kompensasi yang harus dikeluarkan oleh perusahaan secara pasti belum dapat diketahui. Namun demikian, hasil estimasi yang dipublikasikan oleh NIOSH menunjukkan bahwa biaya kompensasi untuk keluhan otot skeletal sudah mencapai 13 milyar US dollar setiap tahun (Tarwaka, 2004). Salah satu sektor industri yang memiliki potensi menimbulkan gangguan musculoskeletal pada pekerja yaitu industri laundry. Perkembangan industri ini meningkat pesat setiap tahunnya, khususnya di wilayah perkotaan. Industri ini awalnya hanya dikelola oleh hotel, rumah sakit, dll. Namun seiring dengan tingginya kebutuhan akan jasa laundry ini, maka industri ini mulai dikelola oleh masyarakat umum khususnya sektor informal. Menurut laporan data OHSAH (1999) selama tahun 1995 hingga 1999, terdapat 577 kasus gangguan musculoskeletal pada pekerja di sektor industri jasa laundry, dimana 491 kasus tersebut disebabkan gerakan tubuh yang berlebihan (overexertion), gerakan yang berulang – ulang (repetitive motions) dan postur janggal. Selain itu, biaya kompensasi untuk keluhan musculoskeletal tersebut mencapai 3.666.260 dollar. Hasil studi Departemen Kesehatan tentang profil masalah kesehatan di Indonesia tahun 2005 menunjukkan bahwa sekitar 40,5 persen penyakit yang diderita pekerja berhubungan dengan pekerjaannya, gangguan kesehatan yang
4
dialami pekerja, menurut studi yang dilakukan terhadap 9.482 pekerja di 12 kabupaten/kota di Indonesia, umumnya berupa penyakit musculoskeletal (16%), kardiovaskuler (8%), gangguan syaraf (6%), gangguan pernafasan (3%) dan gangguan THT (1,5%) (Triawan, 2007). Selain itu, hasil Pusat Studi Kesehatan dan Ergonomi ITB tahun 2006 – 2007 diperoleh data sebanyak 40%-80% pekerja melaporkan keluhan pada bagian musculoskeletal sesudah bekerja (Yassierli, 2008). Menurut Bird (2005), untuk mengatasi masalah gangguan musculoskeletal (MSDs) dapat dilakukan dengan melakukan intervensi ergonomi secara proaktif dan reaktif. Intervensi secara proaktif melibatkan penilaian ergonomi terhadap stasiun kerja atau proses kerja dengan menilai lingkungan dan proses kerja untuk mengidentifikasi faktor-faktor risiko ergonomi. Selain itu, intervensi secara reaktif melibatkan penilaian dalam merespon keluhan pekerja (misalnya rasa sakit dan kelelahan) atau bukti efisiensi kerja yang buruk (misalnya kerusakan peralatan). Tahun 1994, NOHSC menghasilkan National Code of Practice for the Prevention of Occupational Overuse Syndrome untuk memberikan pedoman praktis dalam mencegah risiko, mengidentifikasi, penilaian (assessment) dan pengendalian risiko yang berasal dari pekerjaan yang dilakukan dilingkungan kerja.
5
Identifikasi risiko ergonomi yang meliputi analisis penyakit akibat kerja dan dokumen kecelakaan, konsultasi dengan pekerja dan observasi langsung terhadap pekerja, pekerjaan dan lingkungan kerja. Penilaian risiko ergonomi meliputi penilaian terhadap lingkungan kerja dan desain kerja, postur kerja, durasi dan frekuensi aktifitas kerja, tekanan yang diterima, organisasi kerja, tingkat kemampuan dan pengalaman pekerja serta faktor individu (Lingard dan Rowlinson, 2005). Sumber gangguan musculoskeletal di sektor industri jasa laundry, dapat disebabkan dari desain kerja, desain lingkungan kerja, peralatan kerja, mesin maupun peralatan lainnya yang seringkali didesain tanpa mempertimbangkan faktor ergonomi khususnya pada pekerja yang akan mengoperasikannya. Hal ini dapat menimbulkan masalah seperti masalah ketinggian permukaan yang tidak sesuai, postur kerja yang janggal. Beberapa problem tersebut dapat menyebabkan masalah ergonomi
seperti gangguan musculoskeletal. Pekerjaan laundry
umumnya meliputi mendorong, menarik, melipat, mengangkat dan membawa material (manual handling) dapat menimbulkan efek pada kesehatan, baik untuk jangka pendek maupun jangka panjang (OHSAH, 1999). Berdasarkan penelitian pendahuluan yang dilakukan pada 5 pekerja laundry yang terdapat di wilayah Kecamatan Ciputat Timur, diketahui bahwa seluruh pekerja laundry mengeluhkan sakit dan pegal-pegal pada bagian tubuh seperti leher, punggung dan tangan pada saat bekerja maupun setelah bekerja. Oleh karena itu, perlu adanya upaya penilaian risiko ergonomi terhadap proses
6
pekerjaan di industri jasa laundry khususnya di sektor usaha informal dengan melihat aktifitas kerja yang dilakukan para pekerja. Penilaian dilakukan berdasarkan aspek pekerjaan yang dinilai sebagai parameter risiko ergonomi berdasarkan postur tubuh, tekanan beban yang digunakan, jenis pergerakan atau aksi, pengulangan posisi tangan saat bersentuhan dengan objek. Berdasarkan hal tersebut diatas, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian tentang analisis tingkat risiko ergonomi berdasarkan aspek pekerjaan pada pekerja laundry sektor usaha informal di Kecamatan Ciputat Timur Kota Tangerang Selatan tahun 2012.
1.2. Rumusan Masalah Pekerjaan pada industri laundry memiliki risiko ergonomi yang dapat berisiko terjadinya gangguan musculoskeletal yang terkait dengan postur tubuh pekerja pada saat melakukan aktifitas kerjanya. (Laraswati, 2009). Berdasarkan penelitian pendahuluan yang dilakukan pada 5 pekerja laundry yang terdapat di wilayah Kecamatan Ciputat Timur, diketahui bahwa seluruh pekerja laundry mengeluhkan sakit dan pegal-pegal pada bagian tubuh seperti leher, punggung dan tangan pada saat bekerja maupun setelah bekerja. Oleh karena itu, sebagai langkah pengendalian risiko gangguan musculoskeletal, maka dilakukan penilaian terhadap risiko ergonomi khususnya pada pekerja laundry sektor informal di Kecamatan Ciputat Timur Kota Tangerang Selatan menggunakan metode REBA (Rapid Entire Body Assesment).
7
1.3. Pertanyaan Penelitian 1. Bagaimana gambaran identifikasi proses kerja laundry sektor informal di Kecamatan Ciputat Timur Kota Tangerang Selatan Tahun 2012? 2. Bagaimana skor penilaian postur yang meliputi leher, punggung, kaki lengan atas, lengan bawah, dan pergelangan tangan pada pekerja laundry sektor informal di Kecamatan Ciputat Timur Kota Tangerang Selatan Tahun 2012? 3. Bagaimana skor penilaian berat beban, coupling, dan nilai aktifitas pada pekerja laundry sektor informal di Kecamatan Ciputat Timur Kota Tangerang Selatan Tahun 2012? 4. Bagaimana tingkat risiko ergonomi berdasarkan penilaian Rapid Entire Body Assement (REBA) pada pekerjaan laundry sektor informal di Kecamatan Ciputat Timur Kota Tangerang Selatan Tahun 2012?
1.4. Tujuan Penelitian 1.4.1. Tujuan Umum Diketahuinya tingkat risiko ergonomi berdasarkan aspek pekerjaan pada pekerja laundry sektor informal di Kecamatan Ciputat Timur Kota Tangerang Selatan Tahun 2012. 1.4.2. Tujuan Khusus 1. Diketahuinya gambaran identifikasi proses kerja laundry sektor informal di Kecamatan Ciputat Timur Kota Tangerang Selatan Tahun 2012.
8
2. Diketahuinya skor penilaian postur yang meliputi leher, punggung, kaki lengan atas, lengan bawah, dan
pergelangan tangan pada pekerja
laundry sektor informal di Kecamatan Ciputat Timur Kota Tangerang Selatan Tahun 2012. 3. Diketahuinya skor penilaian berat beban, coupling, dan nilai aktifitas pada pekerja laundry sektor informal di Kecamatan Ciputat Timur Kota Tangerang Selatan Tahun 2012. 4. Diketahuinya tingkat risiko ergonomi berdasarkan penilaian Rapid Entire Body Assement (REBA) pada pekerjaan laundry sektor informal di Kecamatan Ciputat Timur Kota Tangerang Selatan Tahun 2012.
1.5. Manfaat Penelitian 1.5.1. Bagi Peneliti 1. Dapat mengaplikasikan ilmu pengetahuan dan keterampilan di bidang keselamatan dan kesehatan kerja, baik
yang telah dipelajari di
perkuliahan dan pengalaman serta kemampuan
khususnya dalam
mengenali faktor risiko ergonomi. 2. Dapat mengidentifikasi dan menganalisa tingkat risiko ergonomi khususnya pada aspek pekerjaan dengan menggunakan metode Rapid Entire Body Assessment (REBA) pada pekerja laundry sektor informal di Kecamatan Ciputat Timur Kota Tangerang Selatan.
9
1.5.2. Bagi Tempat Penelitian 1. Mengetahui informasi mengenai adanya dan besaran mengenai faktor risiko ergonomi yang dialami pekerja laundry yang memiliki kemungkinan adanya masalah risiko ergonomi pada pekerja akibat pekerjaan. 2. Memberikan gambaran mengenai penilaian risiko khususnya risiko ergonomi,
sehingga
pemilik
usaha
dapat
melakukan
tindakan
pengendalian dan pencegahan terkait risiko ergonomi dalam rangka meningkatkan produktifitas kerja, efisiensi serta kenyamanan pekerja. 1.5.3. Bagi Institusi Menjadi bahan referensi dalam pengembangan keilmuan bagi program studi kesehatan masyarakat khususnya peminatan keselamatan dan kesehatan kerja.
1.6. Ruang Lingkup Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis tingkat risiko ergonomi berdasarkan aspek pekerjaan pada pekerja laundry sektor informal di Kecamatan Ciputat Timur Kota Tangerang Selatan Tahun 2012. Penelitian ini dilaksanakan oleh mahasiswa Program Studi Kesehatan Masyarakat Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Mei - Juni 2012. Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif dengan desain
10
studi kasus pada pekerja laundry sektor informal di Kecamatan Timur Kota Tangerang Selatan terkait dengan pekerjaannya dimana peneliti melakukan pengamatan pada setiap pekerjaan yang dilakukan pekerja untuk melihat besaran potensi risiko ergonomi dengan penilaian observasi postur menggunakan metode Rapid Entire Body Assesment (REBA). Metode ini digunakan untuk mendapatkan tingkat risiko ergonomi terkait postur janggal, beban, genggaman dan aktifitas yang dibantu dengan kamera digital dan handycam, sehingga didapatkan hasil tingkat risiko ergonomi dari masing-masing pekerjaan.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Ergonomi Istilah ergonomi diperkenalkan oleh W.B. Jastrzebowski tahun 1857, dimana terminologi dari kata ergonomi berasal dari bahasa Yunani yaitu “Ergon” yang artinya kerja dan “nomos” yang berarti peraturan / hukum. Secara harfiah, ergonomi diartikan sebagai ilmu tentang kerja (Budiono, 2003). Studi terhadap aspek pekerjaan dimulai sejak peralihan menuju abad 20 dimana pengembangan terhadap pengukuran ini dikembangkan oleh Frank dan Lilian Gilbreth serta Frederick Taylor. Dalam ruang lingkup yang luas, ergonomi adalah sebuah studi multidisiplin mengenai hukum yang mengatur interaksi antara manusia, mesin, dan lingkungan. Menurut International Ergonomics Association (IEA), seorang ahli ergonomi berkontribusi dalam mendesain dan mengevaluasi tugas, pekerjaan, produk, lingkungan dan sistem untuk menciptakan keserasian terhadap kebutuhan, kemampuan dan keterbatasan manusia (Rom, 2007). 2.1.1. Definisi Ergonomi Definisi mengenai ergonomi telah banyak dijabarkan oleh peneliti maupun lembaga. Oleh karena itu, untuk lebih memahami pengertian
11
12
mengenai ergonomi, maka penulis akan menjelaskan berbagai macam definisi ergonomi yang berasal dari dari beberapa literatur, antara lain : a) Ergonomi
adalah
ilmu
yang
penerapannya
berusaha
untuk
menyerasikan pekerjaan dan lingkungan terhadap orang atau yang setinggi-tingginya melalui pemanfaatan faktor manusia seoptimaloptimalnya, hal ini meliputi penyerasian pekerjaan terhadap tenaga kerja secara timbal balik untuk efisiensi dan kenyamanan kerja (Suma’mur, 1989). b) Ergonomi adalah studi ilmiah terapan mengenai manusia terhadap desain objek, sistem, lingkungan untuk aplikasi kerja manusia (Pheasant, 1991). c) Ergonomi adalah ilmu pengetahuan untuk menganalisa efek dari proses kerja, desain kerja, dan lingkungan kerja terhadap kinerja atau performa dan kesehatan manusia (Bird, 2005). d) Ergonomi adalah sudut pandang keilmuan, berpikir tentang manusia dan bagaimana interaksinya dengan seluruh aspek di dalam lingkungan, peralatan dan situasi kerja (Oborne, 1995). e) Ergonomi adalah ilmu yang mempelajari mengenai interaksi antara manusia dan objek yang mereka pergunakan serta lingkungan kerjanya (Pulat, 1997). f) Ergonomi
adalah
ilmu
serta
penerapannya
yang
berusahan
menyerasikan pekerja dan lingkungan terhadap orang atau sebaliknya
13
dengan tujuan tercapainya produktifitas dan efisiensi yang setinggitingginya melalui pemanfaatan manusia seoptimal mungkin (Budiono, 2003). g) Ergonomi adalah ilmu yang mempelajari interaksi antara manusia dengan mesin serta faktor – faktor yang mempengaruhi interaksi tersebut (Bridger, 2003). h) Ergonomi adalah
ilmu, seni dan penerapan teknologi untuk
menyerasikan atau menyeimbangkan antara segala fasilitas yang digunakan
baik
dalam
beraktifitas
maupun
istirahat
dengan
kemampuan dan keterbatasan manusia baik fisik maupun mental sehingga kualitas hidup secara keseluruhan menjadi lebih baik (Tarwaka, 2004). i) Ergonomi adalah istilah yang digunakan sebagai dasar studi dan desain hubungan antara manusia dan mesin untuk mencegah penyakit dan cidera serta meningkatkan prestasi atau kinerja (ACGIH, 2007). j) Ergonomi didefinisikan sebagai penerapan ilmu biologi yang sejalan dengan ilmu rekayasa yang bertujuan agar didapatkan penyesuaian yang saling menguntungkan antara pekerja dengan pekerjaannya secara optimal dengan tujuan agar bermanfaat untuk efisiensi dan kesejahteraan (ILO, 1998). Berdasarkan definisi-definisi diatas, maka dapat disimpulkan bahwa ergonomi adalah suatu konsep keilmuan dimana pusat kajiannya adalah
14
manusia yang didasarkan pada keterbatasan terhadap kemampuan maupun kapasitas manusia sehingga dibutuhkan penyerasian antara lingkungan kerja dan pekerjaan, dengan manusia yang berinteraksi dengan elemen tersebut sebagai upaya untuk mencegah cidera maupun gangguan, meningkatkan produktifitas dan upaya efisiensi serta efektifitas pada aspek manusia. 2.1.2. Ruang Lingkup Ergonomi Ergonomi merupakan bidang antar cabang ilmu pengetahuan yang melibatkan konsep-konsep yang terkait dengan biomekanik, rekayasa faktor manusia, kinesiologi, keselamatan dan kedokteran (Bird, 2005). Ergonomi merupakan perpaduan antara beberapa bidang ilmu, antara lain; ilmu faal, anatomi dan kedokteran, psikologi faal, ilmu fisika dan teknik. Ilmu faal dan anatomi memberikan gambaran bentuk tubuh manusia, kemampuan tubuh/anggota gerak untuk mengangkat atau ketahanan terhadap suatu gaya yang diterimanya, satuan ukuran besaran panjangnya suatu anggota tubuh. Psikologi faal memberikan gambaran terhadap fungsi otak dan sistem persyarafan dalam kaitannya dengan tingkah laku, sementara eksperimental mencoba memahami suatu cara bagaimana mengambil sikap, memahami, mempelajari, mengingat serta mengendalikan proses motorik. Sedangkan ilmu fisika dan teknik memberikan informasi yang
15
sama untuk disain dan lingkungan dimana pekerja melakukan pekerjaannya (Oborne, 1995).
Gambar 2.1. Ruang Lingkup Ergonomi dan Keterkaitan dengan Ilmu Lainnya Sumber : Budiono (2003)
Menurut International Ergonomist Association (IEA), dalam Rom (2007), disipin keilmuan ergonomi terdiri dari 3 (tiga) bidang spesialisasi, antara lain : 1. Physical Ergonomics Physical ergonomics lebih menekankan pada anatomi manusia, antropometri, fisiologi, dan karakteristrik biomekanik yang berkaitan dengan aktifitas fisik. Bahasan yang terkait meliputi postur kerja, material handling, pergerakan pekerjaan repetitif (berulang), gangguan muskuloskeletal akibat kerja, layout kerja, keselamatan dan kesehatan kerja.
16
2. Cognitive ergonomics Cognitive ergonomics lebih menekankan pada proses-proses mental seperti
persepsi,
memori,
alasan,
dan
respon motorik
yang
berhubungan dengan manusia lain dan elemen-elemen lain di dalam sistem. Bahasan yang terkait meliputi beban kerja, pengambilan keputusan, kinerja kerja, interaksi manusia-komputer,
reliabilitas,
stress kerja, dan training. 3. Organizational ergonomics Organizational ergonomics lebih menekankan pada optimalisasi sistem sosioteknikal, termasuk struktur organisasi, kebijakan dan proses mereka. Studi mengenai ergonomi fisik (physical ergonomics) disusun dalam ke dalam tiga area bahasan utama : 1. Antropometri Antropometri adalah ilmu pengetahuan mengenai pengukuran dan ilmu terapan yang membentuk geometri fisika, keterangan massa, dan kemampuan kekuatan dari tubuh manusia. Hal ini merupakan informasi penting yang tersedia untuk mendesain furnitur, mesin, peralatan dan pakaian.
17
2. Fisiologi Fisiologi kerja lebih menekankan pada respons tubuh terhadap kebutuhan metabolism saat bekerja, Dengan mengukur aktifitas kardiovaskuler, respirasi dan sistem otot saat bekerja, informasi ini berguna untuk mencegah kelelahan pada beberapa bagian maupun seluruh tubuh. 3. Biomekanik Biomekanik mempertimbangkan penerapan mekanisme normal dalam menganalisis sistem biologi. Aspek berbeda dari biomekanik adalah menggunakan beberapa bagian yang berbeda dari penerapan mekanika. Kebutuhan tersebut digunakan untuk meningkatkan kinerja pekerja dalam meminimalisir dampak gangguan muskuloskeletal yang terjadi dalam disiplin ilmu terapan, biomekanika pekerjaan.
Hal
tersebut merupakan penerapan pada bidang prinsip fisika dan konsep teknikal dalam meneliti interaksi fisik pekerja dengan peralatan, mesin, dan material. Dengan mengukur faktor tekanan kerja terhadap tubuh, maka dihasilkan informasi mengenai nilai toleransi dari sistem muskuloskeletal dan risiko kecelakaan.
18
2.1.3. Tujuan Ergonomi Menurut Tarwaka (2004), secara umum tujuan dari penerapan ergonomi adalah : 1. Meningkatkan kesejahteraan fisik dan mental melalui upaya pencegahan cedera dan penyakit akibat kerja, menurunkan beban kerja fisik dan mental, mengupayakan promosi dan dan kepuasan kerja. 2. Meningkatkan kesejahteraan sosial melalui peningkatan kualitas kontak sosial, mengelola dan mengkoordinir kerja secara tepat guna dan meningkatkan jaminan sosial baik selama kurun waktu usia produktif maupun setelah tidak produkif. 3. Menciptakan keseimbangan rasional antara berbagai aspek yaitu aspek teknis, ekonomis, antropologis dan budaya dari setiap sistem kerja yang dilakukan sehingga tercipta kualitas kerja dan kualitas hidup yang tinggi. Selain itu, menurut Bird (2005), tujuan dari ergonomi terapan adalah untuk mengurangi stressor pada tubuh manusia yang disebabkan oleh tugas-tugas kerja dan atau lingkungan kerja untuk mencegah masalah-masalah produktifitas kerja.
kesehatan
dan
meningkatkan
efisiensi
maupun
19
Tujuan ergonomi menurut Budiono (2003), adalah bagaimana mengatur kerja agar tenaga kerja dapat melakukan pekerjaannya dengan rasa aman, selamat, efisien, efektif dan produktif, disamping juga rasa nyaman serta terhindar dari bahaya yang mungkin timbul ditempat kerja. 2.1.4. Konsep Keseimbangan Dalam Ergonomi Ergonomi merupakan suatu ilmu, seni dan teknologi yang berupaya untuk menyerasikan alat, cara dan lingkungan kerja terhadap kemampuan, kebolehan dan segala keterbatasan manusia, sehingga manusia dapat berkarya secara optimal tanpa pengaruh buruk dari pekerjaannya. Dari sudut pandang ergonomi, antara tuntutan tugas dengan kapasitas kerja harus selalu dalam garis keseimbangan sehingga dicapai performa kerja yang tinggi. Dalam kata lain, tuntutan tugas pekerjaan tidak boleh terlalu rendah (underload) dan juga tidak boleh terlalu berlebihan (overload). Karena keduanya, baik underload maupun overload akan menyebabkan stress. Konsep keseimbangan antara kapasitas kerja dengan tuntutan tugas tersebut dapat diilustrasikan seperti gambar dibawah :
20
Gambar 2.2. Konsep Dasar Dalam Ergonomi Sumber : Tarwaka (2004)
1. Kemampuan kerja Kemampuan kerja seseorang sangat ditentukan oleh : a) Personal capacity (karakteristik pribadi) : meliputi faktor usia, jenis kelamin, antropometri, pendidikan, pengalaman, status sosial, agama, dan kepercayaan, status kesehatan, kesegaran tubuh. b) Physiological capacity (kemampuan fisiologis) : meliputi kemampuan dan daya tahan kardio-vaskuler, syaraf, otot, panca indera.
21
c) Psycological capacity (kemampuan psikologis) : berhubungan dengan kemampuan mental, waktu reaksi, kemampuan adaptasi, stabilitas emosi. d) Biomechanical capacity (kemampuan bio-mekanik) berkaitan dengan kemampuan dan daya tahan sendi dan persendian, tendon, dan jalinan tulang.
2. Tuntutan Tugas Tuntutan tugas pekerjaan / aktifitas tergantung pada : a) Task and material characteristic (karakteristik tugas dan material) : ditentukan oleh karakteristik peralatan dan mesin, tipe, kecepatan dan irama kerja. b) Organization characteristics ; berhubungan dengan jam kerja dan jam istirahat, kerja malam, dan bergilir, cuti dan libur, manajemen. c) Environmental characteristic ; berkaitan dengan manusia teman setugas, suhu dan kelembaban, bising dan getaran, penerangan, sosio-budaya, tabu, norma, adat dan kebiasaan, bahan-bahan pencemar.
22
3. Performa Performa atau tampilan seseorang sangat tergantung kepada rasio dari besarnya tuntutan tugas dengan besarnya kemampuan yang bersangkutan. Dengan demikian, apabila : a) Bila rasio tuntutan tugas lebih besar daripada kemampuan seseorang atau kapasitas kerjanya, maka akan terjadi penampilan akhir
berupa
ketidaknyamanan,
overstress,
kelelahan,
kecelakaan, cedera, rasa sakit, penyakit dan tidak produktif. b) Sebaliknya,
bila
tuntutan
tugas
lebih
rendah
daripada
kemampuan seseorang atau kapasitas kerjanya, maka akan terjadi penampilan akhir berupa understress, kebosanan, kejemuan, kelesuan, sakit dan tidak produktif. c) Agar
penampilan
menjadi
optimal
maka
perlu
adanya
keseimbangan dinamis antara tuntutan tugas dengan kemampuan yang dimiliki sehingga tercapai kondisi dan lingkungan yang sehat, aman, nyaman dan produktif. 2.2. Faktor - Faktor Risiko Ergonomi 2.2.1. Berdasarkan Pekerjaan 2.2.1.1. Postur Postur adalah pergerakan aktif dan merupakan hasil dari banyak pergerakan tubuh , yang sebagian besar memiliki karakter
23
yang saling menguatkan (Bridger, 2003). Postur adalah istilah lain dari berbagai macam posisi anggota tubuh dalam beberapa aktifitas (OHSCO, 2007). Pembagian postur kerja dalam ergonomi didasarkan atas posisi tubuh dan pergerakan. Berdasarkan posisi tubuh, postur kerja dalam ergonomi terdiri dari : 1. Posisi netral (Neutral posture), yaitu postur dimana seluruh anggota tubuh berada pada posisi yang wajar dan kontraksi pada otot tidak berlebihan sehingga anggota tubuh, jaringan syaraf lunak dan tulang tidak mengalami pergeseran, pembebanan dan kontraksi yang berlebihan. 2. Postur Janggal (awkward posture) yaitu postur dimana posisi tubuh (lutut, sendi dan punggung) secara signifikan menyimpang dari posisi netral pada saat melakukan aktifitas yang disebabkan oleh keterbatasan tubuh manusia dalam menghadapi beban dalam waktu yang lama. Selain itu, postur janggal membutuhkan energi yang lebih besar, oleh karena itu, semakin banyak energi yang dibutuhkan untuk mempertahankan kondisi janggal tersebut, sehingga dampak pada kerusakan otot rangka semakin besar (Bridger, 1995).
Hal-hal yang berkaitan dengan peningkatan risiko terhadap postur janggal antara lain :
24
1.
Persendian yang bergerak melebihi posisi netral.
2.
Otot berkontraksi pada level tekanan tinggi.
3.
Banyaknya gerakan postur tersebut.
4.
Lamanya waktu terhadap postur janggal (OHSCO, 2007).
Berikut ini adalah yang termasuk postur berisiko dalam bekerja berdasarkan BRIEF Survey dari Humantech Inc. (1995) : 1) Postur tangan dan pergelangan tangan Postur normal atau netral pada tangan dan pergelangan tangan dalam melakukan proses kerja adalah dengan posisi sumbu lengan terletak satu garis lurus dengan jari tengah. Apabila sumbu tangan tidak lurus tetapi mengarah ke berbagai posisi, maka dapat dikatakan posisi tersebut janggal atau tidak netral.
Beberapa contoh posisi tangan yang berisiko adalah: a) Pinch grip, posisi menggenggam menggunakan jari-jari tangan dengan penekanan yang kuat pada jari-jari tangan ketika melakukan posisi ini. Posisi ini dilakukan pekerja seperti menjepit benda-benda seperti jarum, kertas, obeng dan sebagainya.
25
Gambar 2.3. Postur Pinch Grip Pada Jari-jari Tangan Sumber: Humantech, 1995 b) Finger press, posisi jari-jari tangan menekan benda/obyek.
Gambar 2.4. Postur Janggal Tangan, Finger Press Sumber: Humantech, 1995
c) Deviasi ulnar dan radial. deviasi ulnar yaitu posisi tangan yang miring menjauhi ibu jari dan deviasi radial adalah posisi tangan yang miring mendekati ibu jari.
(a)
(b)
Gambar 2.5. Posisi Deviasi Ulnar (a) dan Posisi Deviasi Radial (b) Pada Pergelangan Tangan Sumber: Humantech, 1995
26
d) Fleksi dan Ekstensi, fleksi yaitu posisi pergelangan tangan yang menekuk kearah dalam dan membentuk sudut ≥ 45°. Sedangkan ekstensi berlawanan dari fleksi yaitu posisi pergelangan tangan yang menekuk kearah luar/punggung tangan dengan membentuk sudut ≥45°.
(a)
(b)
Gambar 2.6. Posisi Fleksi (a) dan Posisi Ekstensi (b) Pada Pergelangan Tangan Sumber: Humantech, 1995 e) Power grip, posisi tangan menggenggam benda dengan melingkarkan seluruh jari-jari pada benda yang dipegang. Posisi ini termasuk janggal apabila benda yang digenggam memiliki beban ≥ 10 lbs (4,5 kg) (Humantech, 1995).
Gambar 2.7. Postur Power Grip Sumber: Humantech, 1995
27
2) Postur Siku Posisi janggal pada siku tangan terjadi jika bagian tangan bawah
(dari
siku
sampai
jari-jari)
melakukan
gerakan
memutar/rotasi. Pergerakan ini dapat ditemukan pada pekerja yang menggunakan obeng (screwdriver) untuk memutar mur atau benda lainnya. Gerakan lainnya pada siku adalah gerakan ekstensi penuh (full extension) dimana siku digerakkan secara berulang kali ke arah atas dan bawah, contoh dari postur ini adalah gerakan ketika memalu (hammering) atau mencangkul.
(a)
(b)
Gambar 2.8. Pergerakan Siku yang Janggal, Posisi Lengan Bawah Rotasi (a) dan Siku Ekstensi Penuh (b) Sumber: Humantech, 1995
3) Postur bahu Bahu termasuk posisi berisiko apabila posisi mengangkat pada bahu memebentuk sudut sebesar ≥ 45° dari arah vertikal sumbu tubuh, baik ke samping tubuh maupun ke arah depan tubuh. Posisi ini biasanya dilakukan pekerja jika obyek pekerjaannya berada jauh di depan atau samping dari tubuh pekerja. Selain itu, postur bahu yang janggal apabila bahu
28
melewati garis vertical sumbu tubuh. Pekerja melakukan posisi ini apabila obyek berada di belakang tubuhnya seperti menarik benda yang berada di belakang.
(a)
(b)
Gambar 2.9 Posisi Janggal Pada Bahu, Bahu Diangkat Sebesar ≥ 45° (a)dan Posisi Bahu ke Arah Belakang (b) Sumber: Humantech, 1995
4) Postur Leher a) Menunduk, postur janggal pada leher jika leher menunduk memebentuk sudut ≥20° dari garis vertikal dengan ruas tulang leher. Posisi menunduk dilakukan pekerja jika obyek yang sedang dikerjakannya berada lebih dari 20° di bawah pandangan mata, sehingga pekerja harus menundukkan kepala untuk melihat obyek tersebut.
Gambar 2.10. Posisi Leher Menunduk ≥ 20° Sumber: Humantech, 1995
29
b) Miring (sideways), setiap gerakan dari leher yang miring, baik ke kanan maupun ke kiri, tanpa melihat besarnya sudut yang dibentuk oleh garis vertikal dengan sumbu dari ruas tulang leher. Posisi miring biasanya dilakukan jika benda/obyek yang dikerjakannya tidak tepat berada di depan pekerja, melainkan berada di samping kanan atau kiri atau berada di atas maupun bawah.
Gambar 2.11. Posisi Leher Miring Sumber: Humantech, 1995
c) Ke arah belakang/mendongak (backwards), posisi leher deviasi ke arah belakang yang nyata pada postur leher. Setiap postur dari leher yang tengadah (mendongak) ke atas tanpa melihat besar sudut yang dibentuk oleh garis vertikal dengan sumbu dari ruas tulang leher. Postur seperti ini biasanya ditemukan pada pekerjaan dimana obyek kerjanya berada di atas pandangan mata pekerja atau di atas kepala.
30
Gambar 2.12. Posisi Leher ke ke Arah Belakang/Mendongak ke Atas Sumber: Humantech, 1995
d) Memutar (twisted), postur leher yang berputar, baik ke arah kanan maupun kiri, tanpa menilai besarnya sudut rotasi yang dilakukan. Biasanya pekerja melakukan posisi leher memutar jika obyek jauh berada di samping kanan atau kiri pekerja atau di belakang tubuh pekerja.
Gambar 2.13. Posisi Leher Memutar ke Samping Sumber: Humantech, 1995
5) Postur punggung a) Membungkuk, merupakan gerakan atau posisi tubuh ke arah depan sehingga antara sumbu badan bagian atas akan membentuk sudut ≥ 20° dengan garis vertikal. Posisi ini terjadi apabila benda berada jauh di depan tubuh atau dibawah
31
garis horizontal tubuh sehingga pekerja membungkuk untuk dapat meraih benda tersebut.
Gambar 2.14. Gerakan Punggung Membungkuk ≥ 20° ke Depan Sumber: Humantech, 1995
b) Miring (sideways), yaitu deviasi bidang median tubuh dari garis vertikal pada punggung tanpa memperhitungkan besarnya sudut yang dibentuk. Postur ini terjadi jika obyek yang sedang dikerjakan berada di samping kanan atau kiri tubuh pekerja.
Gambar 2.15. Punggung Deviasi ke Samping Sumber: Humantech, 1995
c) Memutar (twisted), yaitu postur punggung yang berputar baik ke kanan maupun ke kiri dimana garis vertikal menjadi sumbu tanpa memperhitungkan besarnya o rotasi yang dibentuk. Gerakan seperti ini dapat ditemukan pada
32
pekerjaan memindahkan barang dari satu sisi ke sisi lainnya dari tubuh pekerja.
Gambar 2.16 Posisi Punggung Deviasi ke Samping Sumber: Humantech, 1995
6) Postur kaki Postur janggal pada kaki antara lain posisi jongkok. Pekerja melakukan pekerjaannya sambil berjongkok, biasanya obyek yang dikerjakannya berada di bawah horizontal tubuh. Posisi lainnya yaitu berdiri dengan bertumpu pada satu kaki dan kaki lainnya tidak dibebankan. Pekerja melakukan gerakan ini untuk meraih obyek yang berada melebihi jangkauan tangannya misalnya jauh di atas kepalanya. Contoh dari gerakan ini adalah pekerja yang mengambil atau meletakkan benda di rak yang letaknya tinggi. Kaki juga dapat dikatakan janggal apabila posisinya berlutut atau salah satu atau kedua lutut dijadikan tumpuan ketika sedang bekerja.
33
(a)
(b)
(c)
Gambar 2.17. Postur Kaki Janggal, Posisi Berjongkok (a); Posisi Berdiri denganBertumpu Pada Satu Kaki (b); dan Posisi Berlutut (c) Sumber: Humantech, 1995
Sedangkan berdasarkan pergerakan, postur kerja dalam ergonomi terdiri dari : 1) Postur statis yaitu postur yang terjadi dimana sebagian besar tubuh tidak aktif atau hanya sedikit sekali terjadi pergerakan. Postur statis dalam jangka waktu lama menyebabkan otot berkontraksi secara terus menerut dan dapat menyebabkan tekanan pada anggota tubuh. (Bridger, 2003) dan dapat menyebabkan pekerjaan yang tidak efektif, kesakitan dan gangguan terhadap pekerja di akhir pekerjaan dan masalah kesehatan dalam jangka panjang. 2) Postur dinamis yaitu postur yang terjadi dimana sebagian besar anggota tubuh bergerak. Walaupun pergerakan tubuh yang wajar membantu dalam mencegah masalah yang ditimbulkan postur statis, pergerakan yang berlebihan khususnya dalam mengangkat
34
beban berat dapat menyebabkan masalah kesehatan dan performa (Corlett, 1998).
2.2.1.2. Frekuensi Frekuensi dapat diartikan sebagai banyaknya gerakan yang dilakukan dalam suatu periode waktu. Jika aktivitas pekerjaan dilakukan secara berulang, maka dapat disebut sebagai repetitif. Gerakan repetitif dalam pekerjaan, dapat dikarakteristikan baik sebagai kecepatan pergerakan tubuh, atau dapat di perluas sebagai gerakan yang dilakukan secara berulang tanpa adanya variasi gerakan. Posisi/postur yang salah dengan frekuensi pekerjaan yang sering dapat menyebabkan suplai darah berkurang, akumulasi asam laktat, inflamasi, tekanan pada otot, dan
trauma mekanis. Frekuensi
terjadinya sikap tubuh yang salah terkait dengan berapa kali terjadi pergerakan pengulangan dalam melakukan suatu pekerjaan. Keluhan otot terjadi karena otot menerima tekanan akibat beban kerja terusmenerus tanpa memperoleh kesempatan untuk relaksasi (Bridger, 1995). Faktor-faktor risiko
yang berkaitan dengan pengulangan
pergerakan (frekuensi pergerakan) antara lain : 1.
Jumlah dan kecepatan pergerakan.
2.
Otot yang digunakan untuk menangani tekanan pergerakan.
35
3.
Persendian yang bergerak jauh dari posisi netral (OHSCO, 2007).
2.2.1.3. Durasi Durasi merupakan jumlah waktu dimana pekerja terpajan oleh faktor risiko. Durasi dapat dilihat sebagai menit-menit dari jam kerja / hari pekerja terpajan risiko. Durasi juga dapat dilihat sebagai pajanan/tahun faktor risiko atau karakteristik pekerjaan berdasarkan faktor risikonya. Secara umum, semakin besar pajanan durasi pada faktor risiko, semakin besar pula tingkat risikonya (Kurniawati, 2009). Menurut Bird (2005), durasi didefinisikan sebagai berikut : a) Durasi singkat
: < 1 jam / hari.
b) Durasi sedang
: 1-2 jam / hari.
c) Durasi lama
: > 2 jam / hari.
Beberapa penelitian menemukan dugaan adanya hubungan antara meningkatnya level atau durasi pajanan dan jumlah kasus MSDs pada bagian leher (NIOSH, 1997).
2.2.1.4. Beban Beban dapat diartikan sebagai beban muatan (berat) dan kekuatan pada struktur tubuh. Satuan beban dinyatakan dalam newton atau pounds, atau dinyatakan sebagai sebuah proporsi dari kapasitas kekuatan individu (NIOSH, 1997). Pembebanan fisik pada
36
pekerjaan
dapat
mempengaruhi
terjadinya
kesakitan
pada
musculoskeletal tubuh. Pembebanan fisik yang dibenarkan adalah pembebanan yang tidak melebihi 30-40% dari kemampuan kerja maksimum yenaga kerja dalam 8 jam sehari dengan memperhatikan peraturan jam kerja yang berlaku. Semakin berat beban maka semakin singkat waktu pekerjaan (Suma’mur, 1989). Menurut ILO, beban maksimum yang diperbolehkan untuk diangkat oleh seseorang adalah 23 – 25 kg. Bentuk dan ukuran objek juga mempengaruhi hal tersebut. Ukuran objek harus cukup kecil agar dapat diletakkan sedekat mungkin dari tubuh. Lebar objek yang besar dapat membebani otot pundak/ bahu adalah lebih dari 300 – 400 mm, panjang lebih dari 350 mm dengan ketinggian lebih dari 450 mm (Kurniawati, 2009).
2.2.1.5. Peregangan Otot Yang Berlebihan Peregangan otot yang berlebihan (over exertion) pada umumnya sering dikeluhkan oleh pekerja dimana aktifitas kerjanya menuntut pengerahan tenaga yang besar seperti mengangkat, mendorong, menarik dan menahan beban yang berat. Peregangan otot yang berlebihan ini terjadi karena pengerahan tenaga yang diperlukan melampaui kekuatan optimum otot. Apabila hal serupa sering dilakukan, maka dapat mempertinggi risiko terjadinya keluhan otot,
37
bahkan dapat menyebabkan terjadinya cedera otot skeletal (Tarwaka, 2004).
2.2.2. Faktor Lingkungan 2.2.2.1. Getaran Bahaya getaran secara potensial ada jika menggunakan alat-alat listrik (getaran ekstrimitas) dan ketika berdiri atau duduk diatas sebuah mesin yang bergetar (getaran tubuh yang menyeluruh). Getaran meningkatkan gerakan otot, menarik pembuluh darah dan mengganggu ujung syaraf. Keterpaparan manusia oleh alat-alat atau peralatan
yang
bergetar
harus
dikurangi
bilamanapun
memungkinkan. Getaran ekstrimitas dapat menyebabkan kerusakan pembuluh darah dan jaringan pada jari-jari (misalnya sindrom jari putih) dan dapat mengakibatkan kondisi – kondisi seperti Carpal Tunnel Syndrome. Keterpaparan tubuh secara menyeluruh, khususnya ketika sedang duduk, dapat mengakselerasikan pemburukan piringan sendi di tulang belakang (Bird, 2005).
2.2.2.2. Mikroklimat Paparan suhu dingin yang berlebihan dapat menurunkan kelincahan, kepekaan
dan kekuatan pekerja sehingga gerakan
pekerja menjadi lamban, sulit bergerak yang disertai dengan
38
menurunnya kekuatan otot (Astrand & Rodhl, 1977; Pulat, 1992; Wilson & Corlett, 1992 dalam Tarwaka, 2004). Demikian juga dengan paparan udara yang panas. Beda suhu lingkungan dengan suhu tubuh yang terlampau besar menyebabkan sebagian energi yang ada dalam tubuh akan termanfaatkan oleh tubuh untuk beradaptasi dengan lingkungan tersebut. Apabila hal ini tidak diimbangi dengan pasokan energi yang cukup, maka akan terjadi kekurangan suplai energi ke otot. Sebagai akibatnya, peredaran darah kurang lancar, suplai oksigen ke otot menurun, proses metabolisme karbohidrat terhambat dan terjadi penimbunan asam laktat yang dapat menyebabkan rasa nyeri otot (Suma’mur, 1982; Grandjean, 1993 dalam Tarwaka, 2004).
2.2.3. Faktor Perorangan 2.2.3.1. Umur Chaffin (1979) dan Guo et al. (1995) menyatakan bahwa pada umumnya keluhan otot skeletal mulai dirasakan pada usia kerja yaitu 25 – 65 tahun. Keluhan pertama biasanya dirasakan pada umur 35 tahun dan tingkat keluhan akan terus meningkat sejalan dengan bertambahnya umur (Tarwaka, 2004). Riihimaki (1989) menjelaskan bahwa umur mempunyai hubungan yang sangat kuat dengan keluhan otot terutama untuk otot leher dan bahu, bahkan ada beberapa ahli
39
lainnya yang menyatakan bahwa umur merupakan penyebab utama terjadinya keluhan otot (Tarwaka 2004).
2.2.3.2. Jenis Kelamin Walaupun masih ada perbedaan pendapat dari beberapa ahli tentang pengaruh jenis kelamin terhadap risiko keluhan otot skeletal, namun beberapa hasil penelitian secara signifikan menunjukkan bahwa jenis kelamin sangat mempengaruhi tingkat risiko keluhan otot. Hal ini terjadi karena secara fisiologis, kemampuan otot wanita memang lebih rendah daripada pria. Astrand &Rodahl (1977) menjelaskan bahwa kekuatan otot wanita hanya sekitar dua pertiga kekuatan otot pria, sehingga daya tahan otot pria pun lebih tinggi dibandingkan dengan wanita (Tarwaka, 2004).
2.2.3.3. Kebiasaan Merokok Sama halnya dengan faktor jenis kelamin, pengaruh kebiasaan merokok terhadap risiko keluhan otot juga masih diperdebatkan dengan para ahli, namun demikian, beberapa penelitian telah membuktikan bahwa meningkatnya keluhan otot sangat erat kaitannya dengan lama dan tingkat kebiasaan merokok. Semakin lama dan semakin tinggi frekuensi merokok, semakin tinggi pula tingkat keluhan otot yang dirasakan (Tarwaka, 2004).
40
2.2.3.4. Kesegaran Jasmani Pada umumnya, keluhan otot lebih jarang ditemukan pada seseorang yang dalam aktifitas kesehariannya mempunyai cukup waktu untuk istirahat. Sebaliknya, bagi yang kesehariannya melakukan pekerjaan yang cukup istirahat, hampir dapat dipastikan akan terjadi keluhan otot. Tingkat kesegaran tubuh yang rendah akan mempertinggi risiko terjadinya keluhan otot. Keluhan otot akan meningkat sejalan dengan bertambahnya aktifitas fisik (Tarwaka, 2004).
2.3. Musculoskeletal Disorders (MSDs) Menurut NIOSH (1997) yang dimaksud dengan musculoskeletal disorders adalah sekelompok kondisi patologis yang mempengaruhi fungsi normal dari jaringan halus sistem muskuloskeletal yang mencakup sistem syaraf, tendon, otot dan struktur penunjang seperti discus intervertebral. MSDs dapat berupa peradangan dan penyakit degeneratif yang meyebabkan melemahnya fungsi tubuh. MSDs mempunyai nama lain seperti repetitive strain injury, repetitive motion injury, cumulative trauma disorders, occupational cervicoskeletal disorders, overuse syndrome, dan lainnya (Canada OH&S, 2005 dalam Kurniawati, 2009). MSDs adalah cidera pada otot, syaraf, tendon, ligamen, sendi,kartilago atau spinal disc. MSDs muncul tidak secara spontan atau langsung melainkan butuh waktu yang lama dan bertahap sampai gangguan musculoskeletal mengurangi
41
kemampuan tubuh manusia dengan menimbulkan rasa sakit. MSDs menjadi suatu masalah disebabkan karena (Bird, 2005) : a) Waktu kerja yang hilang karena sakit umumnya disebabkan penyakit otot rangka. b) MSDs terutama yang berhubungan dengan punggung merupakan masalah penyakit akibat kerja yang penanganannya membutuhkan biaya yang tinggi c) MSDs menimbulkan rasa sakit yang amat sangat sehingga membuat pekerja menderita dan menurunkan produktivitas kerja. d) Penyakit MSDs bersifat multikausal sehingga sulit untuk menentukan proporsi yang semata-mata akibat hubungan kerja.
2.3.1. Gangguan Kesehatan Pada Muskuloskeletal Tiap Bagian Tubuh Macam-macam gejala kesehatan dirasakan pekerja disebabkan faktor risiko MSDs yang memajan tubuhnya. Tiap bagian tubuh memilki risiko ergonomi dan gangguan kesehatan yang dapat mengakibatkan melemahkan fungsi tubuh dan penurunan kinerja pekerja. Bagian-bagian tubuh seperti tangan, leher, bahu, punggung dan kaki merupakan bagian tubuh yang sering digunakan pekerja dalam melakukan pekerjaannya. Berikut ini adalah beberapa jenis cidera yang mungkin dialami pekerja disebabkan pekerjaannya (NIOSH, 2007): a) Cidera Pada Tangan Cidera pada bagian tangan, pergelangan tangan dan siku bisa disebabkan
dari
pekerjaan
tangan
yang
intensif
sehingga
42
memungkinkan terjadinya postur janggal pada tangan dengan durasi yang lama, pergerakan yang berulang/repetitif, dan tekanan dari peralatan/ material kerja. Sembilan belas studi menyatakan bahwa pekerjaan repetitif berpengaruh pada cidera pada tangan dan pergelangan tangan misalnya CTS (Bernard et al, 1997). 1. Tendinitis. Peradangan (pembengkakan) atau iritasi pada tendon, biasanya terjadi pada titik dimana otot melekat pada tulang. Keadaan tersebut akan semakin berkembang ketika tendon terus menerus digunakan untuk mengerjakan hal-hal yang tidak biasa seperti tekanan yang kuat pada tangan, membengkokkan pergelangan
tangan
selama
bekerja,
atau
menggerakkan
pergelangan tangan secara berulang. Jika ketegangan otot tangan ini terus berlangsung, akan menyebabkan tendinitis. 2. Carpal Tunnel Syndrome (CTS). Penekanan yang terjadi pada syaraf tengah yang terletak pada pergelangan tangan yang dikelilingi jaringan dan tulang. Penekanan tersebut disebabkan oleh pembengkakan dan iritasi dari tendon dan lapisan penyelubung tendon. CTS biasanya ditandai dengan gejala seperti rasa sakit pada pergelangan tangan, perasaan tidak nyaman pada jari-jari, dan mati rasa/kebas. CTS dapat menyebabkan sulitnya seseorang menggenggam sesuatu pada tangannya.
43
3. Trigger finger. Tekanan yang berulang pada jari-jari (pada saat menggunakan alat kerja yang memiliki pelatuk) dimana menekan tendon
secara
terus
menerus
hingga
ke
jari-jari
dan
mengakibtakan rasa sakit dan tidak nyaman pada bagian jari-jari. 4. Epicondylitis. Merupakan rasa nyeri atau sakit pada bagian siku. Rasa sakit ini berhubungan dengan perputaran ekstrim pada lengan bawah dan pembengkokan pada pergelangan tangan. Kondisi ini juga biasa disebut tennis elbow atau golfer’s elbbow. 5. Hand-Arm
Vibration
Syndrome
(HAVS).
Cidera
akibat
penggunaan tangan, pergelangan tangan, dan lengan pada peralatan kerja yang memiliki getaran.vibrasi. Menggunakan peralatan yang memilki vibrasi secara terus menerus dapat mengekibatkan timbulnya gejala-gejala antar lain jari-jari pucat, perasaan geli, dan mati rasa/kebas.
b) Cidera Pada Bahu dan Leher Pekerjaan dengan melibatkan bahu memiliki kemungkinan yang besar dalam menyebabkan cidera pada bagian tubuh tersebut. Beberapa postur bahu seperti merentang lebih dari 45° atau mengangkat bahu ke atas melebihi tinggi kepala. Durasi yang lama dan gerakan yang berulang juga mempengaruhi kesakitan pada bahu. Terdapat hubungan yang positif antara pekerjaan repetitif dan MSDs pada bahu dan leher, studi lainnya menyatakan bahwa kejadian cidera
44
bahu juga disebabkan karena eksposur dengan postur janggal dan beban yang diangkat (Bernard et al, 1997). 1. Bursitis. Peradangan (pembengkakan) atau iritasi yang terjadi pada jaringan ikat yang berada pada sekitar persendian. Penyakit ini akibat posisi bahu yang janggal seperti mengangkat bahu di atas kepala dan bekerja dalam waktu yang lama. 2. Tension Neck Syndrome. Gejala ini terjadi pada leher yang mengalami ketegangan pada otot-ototnya disebabkan postur leher menengadah ke atas dalam waktu yang lama. Sindroma ini mengakibatkan kekakuan pada otot leher, kejang otot, dan rasa sakit yang menyebar ke bagian leher.
c) Cidera Pada Punggung dan Lutut Di beberapa jenis pekerjaan, dibutuhkan pekerjaan lantai atau mengangkat beban yang menyebabkan postur punggung tidak netral. Posisi berlutut, membungkuk, atau jongkok bisa menyebabkan sakit pada punggung bagian bawah atau pada lutut, jika dilakukan dalam waktu yang lama dan kontinyu mengakibatkan masalah yang serius pada otot dan sendi (NIOSH, 2007). 1. Low Back Pain. Cidera pada punggung dikarenakan otot-otot tulang belakang mengalami peregangan jika postur punggung membungkuk. Diskus (discs) mengalami tekanan yang kuat dan menekan juga bagian dari tulang belakang termasuk syaraf.
45
Apabila postur membungkuk ini berlangsung terus menerus, maka diskus akan melemah yang pada akhirnya menyebabkan putusnya diskus (disc rupture) atau biasa disebut herniation. 2. Penyakit muskuloskeletal yang terdapat di bagian lutut berkaitan dengan tekanan pada cairan di antara tulang dan tendon. Tekanan yang berlangsung terus menerus akan mengakibatkan cairan tersebut (bursa) tertekan, membengkak, kaku, dan meradang atau biasa disebut bursitis. Tekanan dari luar ini juga menyebabkan tendon pada lutut meradang yang akhirnya menyebabkan sakit (tendinitis).
2.4. Pengendalian Risiko Ergonomi Berdasarkan
rekomendasi
dari
Occupational
Safety
and
Health
Administration (OSHA), tindakan ergonomi untuk mencegah adanya sumber penyakit adalah melalui dua cara, yaitu rekayasa teknik (desain stasiun dan alat kerja) dan rekayasa manajemen (kriteria dan organisasi kerja) (Grandjean, 1993; Anis & McConville, 1996; Waters & Anderson, 1996; Manuaba, 2000; Peter Vi, 2000 dalam Tarwaka, 2004). Langkah preventif ini dimaksudkan untuk mengeliminir overexertion dan mencegah adanya sikap kerja yang tidak alamiah. 1. Rekayasa Teknik Rekayasa teknik pada umumnya dilakukan melalui pemilihan beberapa alternatif sebagai berikut :
46
a) Eliminasi, yaitu dengan menghilangkan sumber bahaya yang ada. Hal ini jarang bisa dilakukan mengingat kondisi dan tuntutan pekerjaan yang mengharuskan untuk menggunakan peralatan yang ada. b) Substitusi, yaitu mengganti alat/bahan lama dengan alat/bahan baru yang aman, menyempurnakan proses produksi dan menyempurnakan prosedur penggunaan peralatan. c) Partisi, yaitu melakukan pemisahan antara sumber bahaya dengan pekerja, sebagai contoh, memisahkan ruang mesin yang bergetar dengan ruang kerja lainnya, pemasangan alat peredam getaran. d) Ventilasi yaitu dengan menambah ventilasi untuk mengurangi risiko sakit, misalnya akibat suhu udara yang terlalu panas.
2. Rekayasa manajemen Rekayasa manajemen dapat dilakukan melalui tindakan-tindakan sebagai berikut : a) Pendidikan dan pelatihan Melalui pendidikan dan pelatihan, pekerja menjadi lebih memahami lingkungan dan alat kerja sehingga diharapkan dapat melakukan penyesuaian dan inovatif dalam melakukan upaya – upaya pencegahan terhadap risiko sakit akibat kerja. b) Pengaturan waktu kerja dan istirahat yang seimbang Pengaturan waktu kerja dan istirahat yang seimbang, dalam arti disesuaikan dengan kondisi lingkungan kerja dan karakteristik
47
pekerjaan, sehingga dapat mencegah paparan yang berlebihan terhadap sumber bahaya. c) Pengawasan yang intensif Melalui pengawasan yang intensif
dapat
dilakukan
pencegahan secara lebih dini terhadap kemungkinan terjadinya risiko sakit akibat kerja. Sebagai gambaran, berikut ini diberikan contoh tindakan untuk mencegah / mengatasi terjadinya keluhan otot skeletal pada berbagai kondisi / aktifitas seperti yang dijabarkan berikut ini : 1. Aktifitas angkat-angkut material secara manual a. Usahakan meminimalkan aktifitas angkat-angkut secara manual. b. Upayakan agar lantai kerja tidak licin. c. Upayakan menggunakan alat bantu kerja yang memadai seperti crane, kereta dorong, pengungkit. d. Gunakan alas apabila harus mengangkat diatas kepala atau bahu. e. Upayakan agar beban angkat tidak melebihi kapasitas angkat pekerja. 2. Berat bahan dan alat a. Upayakan untuk menggunakan bahan dan alat yang ringan. b. Upayakan menggunakan wadah / alat angkut dengan kapasitas < 50 kg.
48
3. Alat tangan a. Upayakan agar ukuran pegangan tangan sesuai dengan lingkar genggam pekerja dan karakteristik pekerjaan (pekerjaan berat atau ringan). b. Pasang lapisan peredam getaran pada pegangan tangan. c. Upayakan pemeliharaan yang rutin sehingga alat selalu dalam kondisi layak pakai. d. Berikan
pelatihan
sehinga
pekerja
terampil
dalam
mengoperasikan alat. 4. Melakukan pekerjaan pada ketinggian a. Gunakan alat bantu kerja yang memadai seperti : tangga kerja dan lift. b. Upayakan untuk mencegah terjadinya sikap kerja tidak alamiah dengan menyediakan alat-alat yang dapat distel/disesuaikan dengan ukuran tubuh pekerja.
2.5. Metode Penilaian Risiko Ergonomi 2.5.1. Rapid Upper Limb Assesment (RULA) Rapid Upper Limb Assesment (RULA) adalah suatu cara yang digunakan untuk menilai postur, besarnya gaya dan pergerakan yang menghubungkan dengan jenis pekerjaan yang memerlukan perpindahan pergerakan. Seperti bekerja dengan komputer, manufaktur, atau pekerjaan
49
lainnya dimana pekerja bekerja dalam posisi duduk atau berdiri tanpa berpindah tempat. RULA memberikan sebuah kemudahan dalam menghitung rating dari beban kerja otot dalam bekerja dimana orang yang mempunyai risiko pada bagian leher dan beban kerja pada anggota tubuh bagian atas. Tool ini memasukkan skor tunggal sebagai “gambaran/foto” dari sebuah pekerjaan yang mana rating dari postur, besarnya gaya/beban dan pergerakan yang diharuskan. Risiko adalah hasil perhitungan menjadi suatu nilai /skor 1 (rendah) sampai skor 7 (tinggi). Skor tersebut adalah dengan menggolongkan menjadi 4 level gerakan/aksi itu memberikan sebuah indikasi dari kerangka waktu yang mana layak untuk mengekspektasi pengendalian risiko yang akan diajukan. Terdapat 4 pokok utama penerapan RULA yaitu untuk ; 1) Mengukur risiko muskuloskeletal/otot, biasanya sebagai bagian dari investigasi ergonomis secara luas. 2) Membandingkan beban otot dari disain saat ini dan modifikasi disain tempat kerja. 3) Evaluasi hasil seperti produktifitas atau keserasian peralatan. 4) Pendidikan bagi pekerja tentang risiko muskuloskeletal yang ditimbulkan oleh perbedaan postur dalam bekerja.
50
RULA menilai postur sebuah pekerjaan dan menghubungkan tingkat risiko dalam kerangka waktu pendek dan dengan tidak membutuhkan peralatan yang rumit. RULA tidak didisain untuk menyediakan informasi postur secara detail, seperti posisi jari, yang mana memungkinkan relevan untuk melihat semua risiko kepada pekerja. Rula dapat digunakan untuk menilai secara teliti pekerjaan atau postur untuk satu orang pekerja maupun kelompok, itu mungkin dibutuhkan untuk menilai sebuah angka perbedaan postur selama putaran dalam bekerja untuk menetapkan sebuah profil dari beban otot. Prosedur dalam penggunaan RULA menjelaskan tiga tahapan yaitu : a) Postur tubuh untuk dilakukan penilaian telah diseleksi/ ditentukan. b) Postur tubuh adalah hasil skor dari lembar penilaian, diagram bagian tubuh dan tabel. c) Skor tersebut adalah konversi untuk satu dari empat level gerakan/aksi.
2.5.2. OWAS (The Ovako Working Analysis System) OWAS adalah suatu metode yang digunakan dalam mengevaluasi postur tubuh pekerja selama bekerja, dengan menganalisa berdasarkan klarifikasi sederhana dan sistematik dari postur saat bekerja yang dikombinasikan dengan observasi dari kegiatan pekerjaan. OWAS
51
mengizinkan pengguna OWAS untuk mengestimasi berdasarkan berat objek maupun kekuatan yang digunakan saat bekerja. Dalam perhitungan metode ini juga mengikutsertakan waktu observasi dan kaitannya dengan pekerjaan yang memungkinkan menghubungkan setiap postur yang dilakukan dengan kegiatan pekerjaan yang mempengaruhinya. OWAS dapat diaplikasikan pada beberapa kerja akan akan melakukan beberapa hari seperti dibawah ini: a) Mengembangkan sebuah tempat kerja atau metode kerja untuk mengurangi beban pada musculoskeletal dan membuatnya menjadi aman dan produktif. b) Merencanakan tempat kerja yang baru atau metode kerja yang baru. c) Melakukan survey ergonomi. d) Melakukan survey kesehatan kerja. e) Penelitian dan pengembangan. Penggambaran OWAS berfokus kepada postur dan pergerakan pada bekerja, frekuensi dan sruktur kegiatan kerja dalam tahapan pekerjaan dan lingkungan kerja, distribusi pergerakan tubuh, penanganan beban (objek kerja) dan tenaga yang dikeluarkan saat bekerja. Adapun tujuan dari penganalisaan postur dengan metode OWAS ini adalah sangat sederhana dan bermanfaat yaitu untuk mencegah dan melindungi pekerja dari terjadinya penyakit akibat kerja dan cidera karena pekerjaan.
52
2.5.3. EASY (Ergonomic Assessment Survey) EASY adalah suatu cara yang dapat digunakan untuk menilai besarnya tingkat risiko ergonomi terhadap suatu kegiatan kerja. Metode ini terdiri dari tiga jenis survey yang masing-masing memiliki skor yang berbeda. Ketiga skor tersebut yaitu ; BRIEF Survey 4 skor, Employee Survey 1 skor dan Medical Survey 2 skor. Hasil akhir dari metode EASY berupa rating yang diperoleh dari penjumlahan skor yang didapatkan dari ketiga survey diatas (maksimal 7 skor). Rating tersebut akan menunjukan prioritas pengendalian yang perlu dilakukan. Semakin besar skornya, maka tindakan pengendaliannya pun semakin diutamakan. 2.5.4. BRIEF (Base Risk Identification Of Ergonomic Factor) BRIEF adalah suatu alat yang digunakan untuk skrining awal (initial
screening)
dengan
menggunakan
sistem
rating
untuk
mengidentifikasi bahaya ergonomik yang diterima oleh pekerja dalam kegiatannya sehari-hari. Dalam BRIEF Survey, terdapat 4 faktor risiko ergonomik yang perlu diketahui yaitu : a) Postur (posture) yaitu sikap anggota tubuh yang janggal sewaktu menjalankan pekerjaan. b) Gaya (force) yaitu beban yang harus ditanggung oleh anggota tubuh pada saat melakukan postur janggal dan melampaui batas kemampuan tubuh.
53
c) Lama (duration) yaitu lamanya waktu yang digunakan dalam melakukan gerakan pekerjaan dengan postur janggal. d) Frekuensi (frequency) yaitu jumlah postur janggal yang berulang dalam satuan waktu (menit). Dalam survey ini, setiap faktor yang melanggar kriteria standar (Humantech, 1995) maka akan mendapatkan skor 1, semakin banyak skor yang didapatkan dalam suatu pekerjaan, maka pekerjaan tersebut semakin berisiko dan memerlukan penanggulangan segera. Skor maksimal yang bisa didapatkan survey ini yaitu sebesar 4 skor.
2.5.5. Rapid Entire Body Assesment (REBA) REBA (Hignett and Mc Attamney, 2000) dikembangkan untuk mengkaji postur bekerja yang dapat ditemukan pada industri pelayanan kesehatan dan industri pelayanan lainnya. Data yang dikumpulkan termasuk postur badan, kekuatan yang digunakan, tipe pergerakan, gerakan berulang, dan gerakan berangkai. Hasil dari skor REBA berupa nilai yang berfungsi untuk memberi sebuah indikasi pada tingkat risiko mana dan pada bagian mana
yang harus dilakukan tindakan
penanggulangan. Metode REBA digunakan untuk menilai postur pekerjaan
berisiko
yang
berhubungan
dengan
Musculoskeletal
Disorders/Work Related Musculoskeletal Disorders (WMSDs).
54
Perkembangan awal disadari oleh range dari posisi anggota badan menggunakan konsep dari RULA (Rapid Upper Limb Position) (Mc Attamney dan Corlett 1993) OWAS (Karhu etal 1977) dan NIOSH (Waters et al. 1993). Garis dasar dari tubuh ini adalah fungsi anatomi pada posisi netral. Apabila postur bergerak dari posisi netral maka nilai risiko akan meningkat. Tabel tersedia untuk 144 kombinasi perubahan postur yang dimasukkan ke dalam skor tunggal yang mewakili tingkat risiko muskuloskeletal. Skor ini kemudian dimasukkan ke dalam lima tingkat tindakan seperti apa yang penting untuk dicegah atau dikurangi untuk mengkaji postur. 1. Pengaplikasian Menetapkan skor REBA menampilkan tingkat tindakan dengan mengutamakan yang paling penting untuk control pengendalian. REBA dapat digunakan ketika mengkaji faktor ergonomik ditempat kerja, penggunaan REBA dapat dilakukan dalam kondisi : a. Seluruh tubuh yang sedang digunakan untuk bekerja. b. Pada postur yang statis, dinamis, kecepatan perubahan, atau postur yang tidak stabil. c. Beban atau tekanan secara rutin maupun tidak didapatkan oleh pekerja.
55
d. Modifikasi pada tempat kerja, peralatan, pelatihan, atau perilaku pekerja yang berisiko sesudah dan sebelum adanya perubahan.
2. Prosedur Metode REBA dapat digunakan ketika mengidentifikasi penilaian ergonomi ditempat kerja yang membutuhkan analisa postural lebih lanjut ada dalam prosedur penilaian metode REBA ada 6 tahap yaitu : a. Melakukan Observasi Aktifitas Pekerjaan Didalam proses observasi dilakukan pengamatan ergonomi yang meliputi penilaian tempat kerja, dampak dari tempat kerja serta posisi kerja, penggunaan alat-alat bekerja dan perilaku pekerja yang berhubungan dengan risiko ergonomi. Jika memungkinkan di dalam observasi ini setiap data yang ada dikumpulkan dengan kamera atau video. Bagaimanapun juga, dengan menggunakan banyak peralatan observasi sangat dianjurkan untuk mencegah kesalahan. b. Memilih Postur Yang Akan Dinilai Ada beberapa kriteria yang bisa digunakan untuk memilih postur kerja mana yang sebaiknya dinilai, kriterianya adalah :
56
1. Postur kerja yang paling sering dilakukan dalam jangka waktu yang lama. 2. Postur kerja yang sering kali diulang. 3. Postur kerja yang membutuhkan aktifitas dan tenaga yang besar. 4. Postur kerja yang diketahui menimbulkan ketidaknyamanan bagi pekerja. 5. Postur kerja yang ekstrem, tidak stabil, janggal serta membutuhkan energi. 6. Postur kerja yang telah diketahui bahwa diperlukan sebuah intervensi, kontrol dan perubahan pada postur kerja tersebut. Keputusan dapat didasari pada satu atau lebih kriteria diatas. Kriteria dalam memutuskan postur mana yang akan dianalisa
harus
dilaporkan
dengan
disertai
hasil
atau
rekomendasi. c. Melakukan Penilaian Postur Kerja Dalam menggunakan REBA, lembar penilaian telah tersedia dan teruji validitasnya. Secara garis besar penilaian dibagi menjadi dua grup besar yaitu grup A untuk penilaian punggung, leher dan kaki dan grup B untuk penilaian lengan bagian atas, lengan bagian bawah dan pergelangan tangan.
57
Pertimbangan mengenai tugas/ pekerjaan kritis dari pekerjaan. Untuk masing-masing tugas, menilai faktor postur untuk menetapkan skor kepada masing-masing bagian tubuh. Lembar data telah menyediakan sebuah format untuk proses penilaian ini. Skor grup A terdiri dari postur (tubuh, leher dan kaki) dan grup B terdiri dari postur (lengan atas, lengan bawah dan pergelangan tangan) untuk bagian kanan dan kiri. Untuk masingmasing bagian mempunyai skala penilaian postur ditambah dengan catatan tambahan untuk pertimbangan tambahan. Kemudian
skor
beban/besarnya
gaya
dan
faktor
perangkai/coupling. Hasil akhirnya adalah skor aktifitas. Melihat skor dari tabel A untuk grup A skor postur dan dari tabel untuk grup B skor postur. Tabel mengikuti lembar kumpulan data. Skor A adalah penjumlahan dari skor tabel A dan skor beban/besarnya gaya. Skor B adalah penjumlahan dari skor tabel B dan skor perangkai/coupling dari setiap masing-masing bagian tangan. Skor C adalah dengan melihat tabel C, yaitu memasukkan skor tersebut dengan skor A dan skor B. Skor REBA adalah penjumlahan dari skor C dan skor aktifitas. Tingkat risiko didapat pada tabel keputusan REBA.
58
d. Melakukan Proses Pada Nilai/Skor Yang Didapat Penilaian postur bagian tubuh, pada saat melakukan penilaian risiko ergonomi menggunakan REBA telah disediakan sebuah lembar kerja yang berisi gambar dan penjelasan mengenai tahapan penilaian atau pemberian skor terhadap setiap jenis postur tubuh yang dianalisis pada postur leher, punggung, dan kaki yang dikelompokkan pada kelompok A dan analisis pada lengan bagian atas, lengan bagian bawah dan pergelangan tangan. 1. Analisis Pada Postur Leher Didalam analisis postur leher yang akan diukur adalah besarnya sudut yang dibentuk dari posisi leher sesuai dengan yang dilakukan pada saat postur bekerja.
Gambar 2.18. Postur Leher Sumber : Hignett S, McAtamney, 2000
Pada penilaian kriteria postur leher ini terdiri dari tiga kategori posisi leher bergerak menunduk (flexi) sebesar 1020o yang diberi skor +1, posisi leher bergerak menunduk
59
flexi sebesar >20o yang diberi skor +2 dan posisi leher bergerak kebelakang atau mendongak (ekstensi) yang diberi skor +2 . jika posisi leher bergerak menunduk atau mendongak lalu ditambah dengan posisi miring (side bending) atau memutar (twisting) maka ditambah +1. 2. Analisis Pada Postur Punggung Pada penilaian kriteria postur punggung ini terdiri dari lima kategori posisi punggung dalam posisi netral 0o yang diberii skor +1, posisi punggung bergerak ke belakang atau mendengak diberi skor +2 dan posisi punggung bergerak menunduk (fleksi) sebesar >20o yang diberi skor +2, posisi punggung bergerak menunduk (fleksi) sebesar 20-60o yang diberi skor +3 dan posisi punggung bergerak menunduk (fleksi) sebesar > 60o yang diberi skor +4 . jika posisi punggung bergerak menunduk atau mendongak lalu ditambah dengan posisi miring (side bending) atau memutar (twisted) maka ditambahkan +1.
60
Gambar 2.19. Postur Punggung Sumber : Hignett S, McAtamney, 2000
3. Analisis Pada Postur Kaki Pada penilaian postur kaki ini terdiri dari dua kategori. Berat badan bertumpu dengan dua tumpuan kaki diberi skor +1. Berat badan bertumpu dengan 1 tumpuan kaki diberi skor +2. Bila posisi kaki ditemukan terdapat lutut menekuk sebesar 30 – 60o maka ditambahkan +1 dan bila posisi kaki ditemukan terdapat lutut menekuk sebesar >60o maka ditambahkan +2.
Gambar 2.20. Postur Kaki Sumber : Hignett S, McAtamney, 2000
61
4. Analisis Pada Postur Lengan Bagian Atas Pada penilaian kriteria postur lengan bagian atas ini terdiri dari lima kategori posisi lengan bagian atas dalam posisi bergerak ke depan (fleksi) 0-20o atau posisi bergerak ke belakang (ekstensi) 0-20o diberi skor +1, posisi lengan bagian atas dalam posisi bergerak ke depan (fleksi) 20-45o atau posisi bergerak ke belakang (ekstensi) >20o diberi skor +2 dan posisi lengan bagian atas bergerak ke depan (fleksi) 45-90o diberi skor +3 dan posisi lengan bagian atas dalam posisi bergerak ke depan (fleksi) 90o yang diberi skor +4. Jika posisi lengan bagian atas bergerak menjauhi tubuh ditambahkan +1, Jika bahu terangkat ditambah +1. Apabila terdapat penopang lengan dikurangi -1.
Gambar 2.21. Postur Lengan Bagian Atas Sumber : Hignett S, McAtamney, 2000
5. Analisis Pada Postur Lengan Bagian Bawah Analisis pada postur lengan bagian bawah ini terdiri dari dua kategori posisi lengan bagian bawah menekuk
62
(fleksi) dalam posisi bergerak sebesar 50-100o yang diberi skor +1 dan posisi lengan bagian bawah menekuk (fleksi) dalam posisi bergerak sebesar 0-60o dan menekuk >100o yang diberi skor +2.
Gambar 2.22. Postur Lengan Bagian Bawah Sumber : Hignett S, McAtamney, 2000
6. Analisis Pada Postur Pergelangan Tangan Pada penilaian kriteria postur pergelangan tangan ini terdiri dari dua kategori posisi pergelangan tangan bergerak ke bawah (fleksi) ataupun bergerak ke atas (ekstensi) dalam posisi bergerak sebesar 0-15o maka diberi skor +1. Dan posisi pergelangan tangan bergerak ke bawah (fleksi) maupun bergerak ke atas (ekstensi) dalam posisi bergerak sebesar >15o maka diberi skor +2. Dan ditambahkan +1 jika posisi pergelangan tangan miring atau berputar (twisted).
Gambar 2.23. Postur Pergelangan Tangan Sumber : Hignett S, McAtamney, 2000
63
Setelah melakukan penilaian atas postur tubuh tersebut, kemudian postur tubuh dikelompokkan menjadi dua kelompok. Kelompok A untuk leher , punggung, dan kaki. Kelompok B untuk lengan bagian atas, lengan bagian bawah, dan pergelangan tangan. Untuk bagian tubuh yang termasuk ke dalam kelompok A, nilai yang telah didapatkan pada pergerakan sebelumnya dimasukkan ke dalam nilai A agar didapatkan nilai postur kelompok A pada tabel berikut : Tabel 2.1. Tabel REBA Kelompok A
Sumber : Hignett S, McAtamney, 2000
Setelah didapatkan nilai dari tabel tersebut, penilaian diberikan tambahan nilai, melalui kategori beban atau energi yang dikeluarkan. Apabila beban lebih kecil dari 11 lbs maka nilai yang ditambahkan adalah nol (0) apabila beban 11-22 lbs maka ditambahkan +1, apabila beban lebih dari 22 lbs, maka nilai ditambahkan +2 dan apabila kondisi energi tersebut dikeluarkan secara cepat dan mendadak ditambahkan +1.
64
Selanjutnya skor postur A ditambahkan dengan nilai beban dan energi sehingga didapatkan nilai kelompok A. Setelah menilai kelompok A selanjutnya
menilai
kelompok B yaitu terdiri dari nilai postur lengan bagian atas, lengan bagian bawah, dan pergelangan tangan. Nilai tersebut dimasukkan ke dalam tabel B untuk mendapatkan nilai postur kelompok B. berikut tabel yang dimaksud : Tabel 2.2. Tabel REBA Kelompok B
Sumber : Hignett S, McAtamney, 2000 Setelah didapatkan nilai tabel B, dilakukan penjumlahan nilai posisi pegangan tangan (coupling) saat aktifitas kerja yaitu ketika tangan berpegangan dengan baik maka nilai +1, ketika kondisi pergelangan tangan buruk diberikan nilai +2 ketika pegangan tidak aman dan membahayakan diberikan nilai +3. Kemudian hasil nilai postur B dijumlahkan dengan nilai posisi pegangan tangan (coupling) menghasilkan nilai atau skor
65
B. Setelah didapatkan nilai A dan nilai B, kedua nilai tersebut digabungkan pada tabel C untuk mendapatkan nilai C. Tabel 2.3. Tabel REBA Kelompok C
Sumber : Hignett S, McAtamney, 2000 Nilai tabel C kemudian ditambahkan dengan nilai aktifitas untuk mendapatkan hasil akhir nilai REBA. Pengkategorian nilai aktifitas adalah apabila satu atau lebih bagian tubuh bekerja lebih dari 1 menit maka ditambahkan +1, apabila ada pengulangan lebih dari 4 kali dalam satu menit maka diberikan nilai +1 dan apabila mengakibatkan perubahan postur secara ekstrem pada tubuh maka diberikan nilai tambahan +1. Gambaran secara lengkap perhitungan REBA dapat dilihat dalam gambar :
66
Gambar 2.24. Skor REBA Sumber : Hignett S, McAtamney, 2000
e. Menetapkan Nilai/Skor Akhir REBA Hasil akhir dari penilaian adalah REBA decision, yaitu tingkat risiko berupa skoring dengan kriteria : 1. Skor 1 mempunyai tingkat risiko yang masih dapat diterima. 2. Skor 2-3 mempunyai tingkat risiko MSDs rendah. 3. Skor 4-7 mempunyai tingkat risiko MSDs sedang. 4. Skor 8-10 mempunyai tingkat risiko MSDs tinggi. 5. Skor 11-15 mempunyai tingkat risiko MSDs sangat tinggi.
Gambar 2.25. REBA Decision Sumber : Hignett S, McAtamney, 2000
f. Menentukan Tindakan Sesuai Skor Akhir REBA 1. Skor 1 risiko pekerjaan dapat dikesampingkan.
67
2. Skor 2-3 diberikan perubahan postur kerja. 3. Skor 4-7 dibutuhkan investigasi yang lebih jauh dan perubahan postur kerja secepatnya. 4. Skor
8-10
harus
dilakukan
investigasi
dan
adanya
implementasi berupa perubahan postur kerja dan lingkungan kerja. 5. Skor
11-15
harus
segera
diganti
dalam
aplikasi
pekerjaannya. 2.5.7. Alasan Pemilihan Metode REBA Metode REBA dipilih sebagai tools atau metode yang digunakan dikarenakan metode ini dapat digunakan untuk mengukur seluruh tubuh. Hal ini sesuai dengan pekerjaan laundry yang menggunakan seluruh tubuhnya baik dari bagian tubuh atas maupun bawah saat melakukan aktifitas pekerjaannya. Metode REBA sendiri dapat menilai kegiatan maupun pekerjaan yang dilakukan dirasa metode REBA cocok untuk digunakan. Metode REBA merupakan metode yang dikembangkan dari metode RULA dan OWAS sehingga hal yang terdapat didalam metode RULA maupun OWAS juga tercakup didalam metode REBA. Validitas dan realibilitas metode REBA sudah teruji, juga menjadi pertimbangan sehingga hasil penelitian dapat diterima secara ilmiah.
68
Disamping pengukuran risiko ergonomi dengan menggunakan metode ini tidak memerlukan waktu yang lama dan mudah dipahami. Penggunan metode ini bukan berarti metode ini lebih unggul dari metode lainnya, tetapi metode ini cocok untuk digunakan dalam penelitian ini, karena setiap metode memiliki keunggulan dan kelebihan masing-masing: Beberapa kelebihan dari metode REBA antara lain : 1. Validitas dan reliabilitas metode REBA yang telah teruji. 2. Penggunaan yang mudah dan cepat. 3. Postur tubuh yang dinilai melingkupi seluruh bagian tubuh. 4. Dapat menilai besarnya berat beban benda yang diangkat. 5. Dapat menilai jenis aktifitas kerja yang dinilai statis, dinamis maupun repetitif. 6. Dapat menilai jenis pegangan tangan (coupling) saat melakukan aktifitas kerja. Beberapa kelemahan metode REBA antara lain : 1. Hanya melakukan perhitungan terhadap postur tubuh yang terbentuk ketika melakukan aktifitas kerja. 2. Tidak memperhitungkan antropometri dan setiap yang melakukan aktifitas kerja.
69
3. Tidak melakukan penilaian terhadap lingkungan kerja, antara lain temperature, getaran otot, ukuran stasiun kerja dan tipe peralatan kerja.
2.6. Kerangka Teori Manajemen risiko adalah istilah yang digunakan dalam penilaian risiko secara logis dan sistematis. Proses ini meliputi metode terhadap penentuan konteks/kriteria risiko, identifikasi risiko, analisis risiko, evaluasi risiko, pengendalian risiko
serta komunikasi dan pemantauan risiko yang terkait
dengan kegiatan-kegiatan, fungsi atau proses dengan cara yang memungkinkan organisasi untuk meminimalkan kerugian dan memaksimalkan peluang. Manajemen risiko mengidentifikasi kesempatan sebagai mitigasi ataiu menghindari kerugian. (AS/NZS 4360:1999)
70
Menentukan Konteks/
Komunikasi dan Konsultasi
Identifikasi Risiko
Analisis Risiko
Evaluasi Risiko Penilaian Risiko
Pengendalian Risiko
Gambar 2.26. Kerangka Teori Sumber : AS/NZS 4360, 1999
Pemantauan dan Tinjau Ulang
Kriteria Risiko
BAB III KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL
3.2. Kerangka Konsep Penelitian ini bertujuan menilai dan analisis tingkat risiko ergonomi berdasarkan aspek pekerjaan pada pekerja laundry sektor informal di Kecamatan Ciputat Timur Kota Tangerang Selatan, dengan menggunakan metode REBA (Rapid Entire Body Assesment) (Mc.Attamney). REBA merupakan salah satu metode yang digunakan untuk menilai besarnya tingkat Musculoskeletal Disorders (MSDs) pada suatu pekerjaan berdasarkan aspek pekerjaan. Penelitian ini hanya menilai faktor pekerjaan tiap aktifitas kerja pada proses pekerjaan laundry pada sektor informal, tanpa melihat faktor individu atau personal, faktor lingkungan dan faktor psikososial. Penilaian ini diawali dengan proses identifikasi proses pekerjaan lalu dilakukan penilaian postur pekerjaan berupa skor yang meliputi skor postur grup A (leher, tulang punggung dan kaki), skor postur grup B (lengan atas, lengan bawah, dan pergelangan tangan), skor beban yang diangkat pekerja, skor genggaman tangan, dan skor aktifitas dari seluruh pekerjaan yang dilakukan pekerja. Lalu setelah itu, diperoleh skor akhir REBA yang merupakan indikator tingkat risiko ergonomi yang terjadi pada setiap langkah kerja yang dilakukan pekerja. Hal ini dapat digambarkan dalam kerangka konsep sebagai berikut :
71
72
RUANG LINGKUP Identifikasi proses pekerjaan laundry sektor informal di Kecamatan Ciputat Timur Kota Tangerang Selatan
IDENTIFIKASI RISIKO Menggunakan Metode REBA (Rapid Entire Body Assessment) Pada Aktifitas Pekerja Laundry sektor informal di Kecamatan Ciputat Timur Kota Tangerang Selatan
ANALISIS RISIKO Melakukan penilaian terhadap postur kerja dengan metode Rapid Entire Body Assessment (REBA) : 1. Postur Grup A saat bekerja pada : a. Leher (Neck) b. Tulang Punggung (Trunk) c. Kaki (Legs) 2. Postur Grup B saat bekerja pada : a. Lengan Atas (Upper Arms) b. Lengan Bawah (Lower Arms) c. Pergelangan Tangan (Wrist) 3. Beban (Force/load) 4. Genggaman Tangan (Coupling) 5. Skor Aktifitas Menentukan tingkat risiko ergonomi berdasarkan aspek pekerjaan pada pekerja laundry sektor informal di Kecamatan Ciputat Timur Kota Tangerang Selatan
Keterangan : Dimodifikasi dari AS/NZS 4360 : 1999
Gambar 3.1. Kerangka Konsep
73
3.4. Definisi Operasional No Variabel 1. Identifikasi Proses Pekerjaan 2. Penilaian Skor REBA
Leher
Punggung
Kaki
Definisi Aktifitas kerja yang dimulai dari awal hingga akhir pekerjaan Pemberian angka untuk postur tubuh pekerja berdasarkan kriteria penilaian REBA Gerakan menunduk, menengadah, miring, rotasi leher yang terjadi ketika pekerja melakukan pekerjaan Gerakan fleksi atau rotasi punggung yang terjadi ketika pekerja melakukan pekerjaan
Cara Ukur Observasi dan wawancara
Observasi
Kamera digital, timbangan, stopwatch, form penilaian REBA
Gerakan tumpuan kaki yang terjadi ketika pekerja melakukan pekerjaan
Observasi
Kamera digital, timbangan, stopwatch, form penilaian REBA
Observasi
Observasi
Alat Ukur Form Observasi dan Pedoman Wawancara Kamera digital, timbangan, stopwatch, form penilaian REBA Kamera digital, timbangan, stopwatch, form penilaian REBA
Hasil Ukur Langkah kerja pada pekerja dari awal pekerjaan dimulai hingga akhir pekerjaan Postur A (leher, punggung dan kaki) Postur B (lengan atas, lengan bawah dan pergelangan tangan), beban genggaman dan aktifitas (Hignett, McAtamney, 2000) 1 : 0o-20o ke depan 2 : > 20o ke depan dan ke belakang + 1 : jika berputar atau miring ke kanan dan atau ke kiri, serta ke atas dan atau ke bawah(Hignett, McAtamney, 2000) 1 : lurus atau 0o 2 : 0o – 20o ke depan dan ke belakang 3 : 20o-60o ke depan dan > 20o ke belakang 4 : > 60o ke depan +1 : jika punggung berputar atau miring ke kanan dan atau ke kiri, serta ke atas dan atau ke bawah(Hignett, McAtamney, 2000) 1 : tubuh bertumpu pada kedua kaki, berjalan, duduk 2 : berdiri dengan satu kaki, tidak stabil +1 : jika lutut ditekuk 30o-60o ke depan +2 : jika lutut ditekuk >60o ke depan (Hignett, McAtamney, 2000)
74 No
Variabel Lengan atas
Definisi Cara Ukur Gerakan aduksi, abduksi, Observasi fleksi, ekstensi bahu yang terjadi ketika pekerja melakukan pekerjaan
Alat Ukur Kamera digital, timbangan, stopwatch, form penilaian REBA
Lengan bawah
Gerakan fleksi, ekstensi lengan yang terjadi ketika pekerja melakukan pekerjaan Gerakan deviasi radial, deviasi ulnar, ekstensi, fleksi, rotasi pergelangan tangan yang terjadi ketika pekerja melakukan pekerjaan Berat beban yang ditangani oleh pekerja
Observasi
Kamera digital, timbangan, stopwatch, form penilaian REBA Kamera digital, timbangan, stopwatch, form penilaian REBA
Pengukuran langsung berat beban
Timbangan
Besarnya faktor risiko ergonomi dilihat dari cara pekerja memegang atau mengangkat beban
Observasi
Kamera digital dan form penilaian REBA
Pergelangan Tangan
Beban
Genggaman Tangan
Observasi
Hasil Ukur 1 : 0o-20o ke depan dan ke belakang 2 : >20o ke belakang, dan 20o-40o ke depan 3 : antara 45o-90o 4 : >90o ke atas +1 : jika lengan berputar atau bahu dinaikkan atau diberi penahan -1 : jika lengan dibantu oleh alat penopang atau terdapat orang yang membantu. (Hignett, McAtamney, 2000) 1 : 60o-100o ke depan 2 : antara 0o-60o ke bawah, dan > 100o ke atas. (Hignett, McAtamney, 2000) 1 : 0o-15o ke depan dan ke belakang 2 : > 15o ke depan dan ke belakang +1 : jika terdapat penyimpangan pada pergelangan tangan. (Hignett, McAtamney, 2000) 0 : < 5 kg 1 : 5-10 kg 2 : > 10 kg +1 : jika disertai dengan pergerakan yang cepat. (Hignett, McAtamney, 2000) 0 : memegang beban dengan dibantu oleh alat bantu 1 : memegang beban dengan mendekatkan beban ke anggota tubuh yang dapat menopang 2 : memegang beban hanya dengan tangan tanpa mendekatkan beban ke anggota tubuh yang dapat menopang 3 : memegang beban tidak pada tempat
75
No
Variabel Aktifitas
Definisi Kegiatan postur tubuh pekerja pada saat bekerja
Cara Ukur Observasi
Alat Ukur Stopwatch
3.
Tingkat risiko ergonomi
Besarnya risiko suatu pekerjaan yang dilakukan pekerja
Perhitungan hasil REBA
Form penilaian REBA
pegangan yang disediakan. (Hignett, McAtamney, 2000) Hasil Ukur +0 : jika tidak terdapat aktifitas dimana satu atau lebih dari anggota tubuh statis >1 menit, gerakan berulang >4 kali dalam waktu 1 menit dan perubahan postur dengan cepat atau tidak stabil +1 : jika satu atau lebih dari anggota tubuh statis >1 menit +1 : jika melakukan gerakan berulang >4 kali dalam waktu 1 menit +1 : jika perubahan postur dengan cepat atau tidak stabil 1 : risiko masih dapat diterima dan tidak perlu diubah 2 dan 3 : tingkat risiko rendah, mungkin diperlukan perubahan-perubahan 4-7 : tingkat risiko sedang, dibutuhkan pemeriksaan dan perubahan 8-10 : tingkat risiko tinggi, oleh karena itu perlu dilakukan pemeriksaan dan perubahan dengan segera 11-15 : tingkat risiko sangat tinggi, perubahan dilakukan saat itu juga. (Hignett, McAtamney, 2000)
BAB IV METODE PENELITIAN
4.1. Jenis Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan pendekatan studi kasus pada pekerja laundry sektor informal di Kecamatan Timur Kota Tangerang Selatan terkait dengan pekerjaannya untuk mengetahui tingkat risiko ergonomi melalui penilaian terhadap postur janggal (leher, tulang punggung, kaki, lengan atas, lengan bawah, pergelangan tangan), beban, genggaman tangan dan aktifitas. Peneliti melakukan pengamatan pada setiap proses pekerjaan yang dilakukan pekerja laundry sektor informal di Kecamatan Ciputat Timur Kota Tangerang Selatan menggunakan metode Rapid Entire Body Assesment (REBA). 4.2. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di wilayah Kecamatan Ciputat Timur Kota Tangerang Selatan Provinsi Banten. Waktu penelitian dilaksanakan pada bulan Mei – Juni 2012. 4.3. Objek Penelitian Objek penelitian ini adalah seluruh proses kerja yang dilakukan pekerja laundry sektor informal yang meliputi penyortiran, penimbangan, pencucian dan pengeringan dengan mesin, penyetrikaan serta pembungkusan. Karakteristik 76
77
pekerja yang diteliti adalah pekerja yang mempunyai keluhan saat bekerja maupun setelah pekerja dan memiliki tinggi badan 165 cm. Jumlah pekerja yang diamati berjumlah 12 orang yang berada di 5 lokasi laundry di Kecamatan Ciputat Timur Kota Tangerang Selatan. Seluruhnya diamati dan dinilai tingkat risiko ergonominya dari setiap langkah pekerjaan yang dilakukan. Proses penilaian dititikberatkan pada faktor pekerjaan, bukan pada faktor lingkungan, perorangan maupun psikososial. 4.4. Pengumpulan dan Pengolahan Data 4.4.1. Pengumpulan Data Pengumpulan data dilakukan yaitu dengan cara mengumpulkan data primer dan data sekunder : 1. Data Primer Pengumpulan data primer dilakukan dengan cara : a. Observasi atau pengamatan langsung saat pekerja melakukan proses pekerjaan laundry untuk mendapatkan tahapan pekerjaan tersebut hingga postur janggal saat bekerja (leher, tulang punggung, kaki, lengan atas, lengan bawah dan pergelangan kaki), skor beban, skor genggaman tangan, dan skor aktifitas dapat diketahui dan selanjutnya dianalisis dengan formulir REBA.
78
b. Pengukuran terhadap indikator berat beban yang diangkat oleh pekerja dilakukan secara langsung menggunakan timbangan.
2. Data sekunder Pengumpulan data sekunder terdiri dari : a. Gambaran umum usaha laundry b. Lembaran instruksi kerja/SOP 4.4.2. Alat Pengumpulan Data Dalam pengumpulan data, alat yang digunakan adalah : a. Kamera digital digunakan untuk mendokumentasikan proses kerja dan memotret postur kerja. b. Alat pengukur waktu (stopwatch) digunakan untuk mengetahui frekuensi gerakan yang dilakukan pekerja dalam 1 menit dan mengukur lama postur janggal dipertahankan selama bekerja. c. Pengukuran terhadap indikator berat beban yang diangkat oleh pekerja dilakukan dengan mengukur beban secara langsung menggunakan timbangan. d. Busur derajat digunakan untuk mengetahui sudut pada postur kerja/posisi janggal. e. Formulir penilaian skor Rapid Entire Body Assesment (REBA) digunakan untuk mengetahui tingkat risiko ergonomi.
79
4.4.3. Pengolahan Data Pengolahan data dilakukan dengan menggunakan formulir Rapid Entire Body Assesment (REBA). Pada tahap awal pengambilan data terkait dengan merekam kegiatan para pekerja kemudian diambil foto saat bekerja sesuai dengan jenis pekerjaan. Kemudian setelah foto diperoleh, dilakukan pengolahan data yaitu pengukuran dengan busur derajat untuk mengetahui sudut pada posisi janggal dan melakukan pengisian formulir REBA. Penulis memperoleh formulir REBA dari Lynn Mc Attamney dan Sue Hignett dengan langkah pengolahan data : 1. Memberi nilai pada postur grup A yang terdiri atas leher, tulang punggung, dan kaki. Nilai tersebut dimasukkan ke dalam tabel A. Kriteria penilaian postur grup A adalah : a. Kriteria penilaian area leher : 1) skor 1 yaitu posisi leher 0o-20o ke depan. 2) skor 2 yaitu posisi leher >20o kedepan dan kebelakang. 3) skor pertimbangan (adjustment) yaitu skor +1 jika leher berputar atau miring ke kanan dan atau ke kiri serta keatas dan atau ke bawah. b. Kriteria penilaian area punggung : 1) skor 1 yaitu posisi punggung lurus atau 0o. 2) skor 2 yaitu posisi 0o-20o kedepan dan kebelakang. 3) skor 3 yaitu posisi 20o-60o ke depan dan >20 o ke belakang.
80
4) skor 4 yaitu posisi >60o ke depan. 5) skor pertimbangan (adjustment) yaitu skor +1 jika punggung berputar atau miring ke kanan dan atau ke kiri serta keatas dan atau ke bawah. c. Kriteria penilaian area kaki 1) skor 1 yaitu tubuh bertumpu pada kedua kaki, jalan atau duduk. 2) skor 2 yaitu berdiri dengan satu kaki, tidak stabil. 3) skor pertimbangan (adjustment) yaitu skor +1 jika lutut ditekuk 30o-60o ke depan dan skor +2 jika lutut ditekuk >60o ke depan. Setelah didapat skor postur leher, punggung, dan kaki diperoleh skor tabel A. Tabel 4.1. Tabel REBA Kelompok A
Sumber : Hignett S, McAtamney, 2000 Nilai dari tabel A kemudian dijumlahkan dengan berat beban yang diangkat. Pengukuran terhadap indikator berat beban yang
81
diangkat oleh pekerja dilakukan dengan mengukur beban secara langsung menggunakan timbangan. Kriteria penilaian beban : 1) skor 0 yaitu berat beban <5 kg. 2) skor 1 yaitu berat beban 5-10 kg. 3) skor 2 yaitu berat beban >10 kg. 4) skor pertimbangan (adjustment) yaitu skor +1 jika disertai dengan pergerakan yang cepat.
2. Memberi nilai dari grup B yang terdiri dari bagian lengan atas, lengan bawah, dan pergelangan tangan untuk bagian kanan dan kiri tubuh. Kriteria penilaian postur grup B adalah : a. Kriteria penilaian area lengan atas : 1) skor 1 yaitu posisi bahu 0o-20o ke depan dan kebelakang. 2) skor 2 yaitu posisi bahu >20o ke belakang dan 20o-40o ke depan. 3) skor 3 yaitu posisi bahu antara 45o-90o. 4) skor 4 yaitu posisi bahu >90o keatas. 5) skor pertimbangan (adjustment) yaitu skor ditambah (+) 1 jika lengan berputar atau bahu dinaikkan atau diberi penahan, dan skor dikurangi (-) 1 jika lengan dibantu oleh alat penopang atau terdapat orang yang membantu.
b. Kriteria penilaian area lengan bawah :
82
1) skor 1 yaitu posisi lengan 60o-100o ke depan. 2) skor 2 yaitu posisi lengan antara 0o-60o kebawah dan >100o keatas.
c. Kriteria penilaian area pergelangan tangan : 1) skor 1 yaitu posisi pergelangan tangan 0o-15o ke depan dan ke belakang. 2) skor 2 yaitu posisi pergelangan tangan >15o ke depan dan kebelakang. 3) skor pertimbangan (adjustment) yaitu skor +1 jika terdapat penyimpangan pada pergelangan tangan. Setelah skor tulang punggung, leher dan kaki didapat maka dimasukkan ke tabel skor B. Tabel 4.2. Tabel REBA Kelompok B
Sumber : Hignett S, McAtamney, 2000 Tahap selanjutnya dijumlahkan dengan nilai genggaman tangan. Kriteria penilaian cara memegang :
83
1) skor 0 yaitu memegang beban dengan dibantu dengan alat atau power grip. 2) skor 1 yaitu memegang beban dengan mendekatkan beban ke anggota tubuh yang dapat menopang atau dengan finger grip dan press grip. 3) skor 2 yaitu memegang beban hanya dengan tangan tanpa mendekatkan beban ke anggota tubuh yang dapat menopang. 4) skor 3 yaitu memegang beban tidak pada tempat pegangan yang disediakan. Setelah nilai dari grup A dan grup B di dapat maka dimasukkan ke tabel C. Tabel 4.3. Tabel REBA Kelompok C
Sumber : Hignett S, McAtamney, 2000
84
Kemudian diperoleh nilai C dan dijumlahkan dengan nilai aktifitas. Kriteria nilai aktifitas yaitu : 1) Skor +0 jika tidak terdapat aktifitas dimana satu atau lebih dari anggota tubuh statis >1 menit, gerakan berulang >4 kali dalam waktu 1 menit dan perubahan postur dengan cepat atau tidak stabil
2) Skor +1 jika salah satu atau lebih dari anggota tubuh statis >1 menit. 3) Skor +1 jika melakukan gerakan berulang >4 kali dalam 1 menit. 4) Skor +1 jika perubahan postur dengan cepat atau tidak stabil. Setelah nilai C dijumlahkan dengan nilai aktifitas, maka diperoleh nilai REBA atau skor akhir REBA serta level perubahan yang harus dilakukan.
Gambar 4.1. Skor REBA Sumber : Hignett S, McAtamney, 2000
4.4.4.
Analisis Data Setelah dilakukan pengolahan data, tahap selanjutnya analisis data. Dari hasil pengamatan langsung, data yang diperoleh, diolah secara manual dengan memberikan nilai sebagai penilaian tingkat risiko untuk masing-masing postur A (leher, punggung, dan kaki), postur B (bahu, lengan, dan pergelangan tangan), beban, genggaman tangan (coupling)
85
dan nilai aktifitas. Hasil kemudian diinterpretasikan untuk menilai besarnya tingkat risiko ergonomi yang ada pada tiap-tiap tahapan kegiatan kerja pada pekerjaan laundry. Dari skoring yang telah didapatkan (nilai REBA), maka dapat dilakukan penetapan prioritas penanggulangan risiko. Tahapan kegiatan yang memiliki risiko ergonomi dilakukan
pembahasan
pengendaliannya.
untuk
mendapatkan
saran
tindakan
BAB V HASIL
5.1. Karakteristik Lingkungan Kerja Penulis melakukan penelitian di beberapa lokasi usaha laundry sektor usaha informal di Kecamatan Ciputat Timur, Kota Tangerang Selatan. Tempat usaha laundry yang diobservasi berjumlah 5 tempat dan total pekerja tersebut 12 orang. Pada setiap lokasi usaha terdapat paling sedikit 2 orang pekerja dan paling banyak 3 orang pekerja. Ukuran luas ruangan yang digunakan dalam usaha laundry tersebut berbeda-beda. Hal ini disesuaikan dengan jumlah pekerja dan kapasitas barang-barang yang berada di ruangan tersebut. Karakteristik kompetensi pekerja laundry disesuaikan dengan kebutuhan dimana pekerja tersebut diharuskan dapat melaksanakan seluruh proses di usaha laundry mulai dari penimbangan hingga pengemasan. Tidak ada pembagian kerja yang khusus diantara sesama pekerja. Jenis peralatan yang digunakan pada setiap tempat memiliki persamaan dan perbedaan. Peralatan yang sebagian besar digunakan meliputi mesin cuci, mesin pengering, setrika, meja setrika dan plastik pembungkus pakaian. Perbedaan peralatan yang ada hanya perbedaan jenis timbangan yang digunakan.
86
87
5.2. Gambaran Proses Kerja Proses kerja pada laundry sektor usaha informal terdiri dari 5 tahapan kegiatan yaitu : 5.2.1. Penimbangan Pakaian yang diterima oleh pekerja laundry dari pelanggan dilakukan penimbangan terlebih dahulu. Setiap jenis pakaian yang dibawa oleh pelanggan ditimbang kemudian hasilnya dicatat dalam pembukuan harian laundry tersebut. Selama melakukan proses penimbangan, pakaian yang diterima pekerja laundry dilakukan pada posisi berdiri yang disesuaikan dengan jenis timbangan yang digunakan di masing-masing tempat laundry. 5.2.2. Pencucian dan Pemerasan Setelah
dilakukan
penimbangan,
pakaian
tersebut
dicuci
menggunakan mesin cuci. Dalam proses pencucian, setiap pakaian diklasifikasikan menurut jenis dan karakteristik bahan pakaian. Proses selanjutnya, pekerja memasukkan air dan cairan pembersih serta pewangi kedalam mesin cuci hingga pakaian tersebut terlihat bersih dan wangi. Pakaian yang telah dicuci kemudian dimasukkan ke dalam mesin pemeras otomatis. Selain itu, beberapa laundry membilas kembali pakaian tersebut dengan cara manual. Dalam proses ini, pekerja melakukan pekerjaannya dengan postur berdiri dan melakukan aktifitasnya dengan kedua tangan. Waktu yang dibutuhkan dalam proses ini berlangsung sekitar 45 menit
88
yang dilanjutkan dengan memindahkan pakaian yang telah diperas ke dalam wadah pakaian. 5.2.3. Pengeringan Pada proses ini dilakukan menggunakan mesin pengering yang terpisah dengan mesin cuci. Pakaian yang telah diperas kemudian dimasukkan kedalam mesin pengering dengan durasi waktu selama 1 jam. Postur kerja selama melakukan proses ini dilakukan dengan berdiri, berjalan serta menggunakan kedua tangan. Setelah kering, pakaian tersebut dimasukkan ke dalam wadah untuk selanjutnya dilakuan proses setrika dan pelipatan. Pada beberapa lokasi laundry yang diteliti, terdapat beberapa perbedaan proses pengeringan. Selain menggunakan mesin pengering, ada juga yang menggunakan tenaga panas matahari untuk proses pengeringan pakaian. 5.2.4. Setrika dan Pelipatan Pakaian yang sudah kering kemudian disetrikan menggunakan alat setrika listrik. Pada saat proses tersebut, pakaian diberikan pewangi dan pelembut dengan cara menyemprotkan kearah pakaian. Pakaian tersebut lalu di lipat agar mudah dikemas. Untuk proses setrika dan pelipatan, terdapat perbedaan antara posisi kerja dan alat bantu kerja. a. Posisi berdiri menggunakan meja setrika tanpa kursi
89
b. Posisi duduk menggunakan meja setrika dan kursi dengan sandaran punggung c. Posisi duduk menggunakan meja setrika dan kursi tanpa sandaran punggung 5.2.5. Pengemasan Pakaian yang telah disetrika dan dilipat, kemudian diatur kembali agar mudah dikemas dalam wadah plastik bening dan diberi label. Untuk proses pengemasan, terdapat perbedaan posisi kerja. a. Pengemasan dilakukan dengan posisi berdiri, pakaian yang akan dikemas diletakkan diatas meja setrika b. Pengemasan dilakukan dengan posisi duduk, barang yang akan dikemas diletakkan dilantai
5.3. Gambaran Postur Tubuh Pekerja Laundry Dalam melakukan setiap tahapan
proses laundry, postur tubuh yang
dilakukan pekerja laundry sektor informal berbeda-beda. Postur kerja yang dinilai ini merupakan posisi postur aktifitas utama yang dilakukan pekerja. Setiap postur kerja ini disesuaikan juga dengan digunakan di masing-masing lokasi.
perbedaan peralatan kerja yang
90
5.3.1. Penimbangan Proses penimbangan yang dilakukan oleh pekerja laundry sektor usaha informal meliputi 2 (dua) cara yaitu penimbangan dengan timbangan pegas serta penimbangan dengan timbangan biasa. 1. Penimbangan Dengan Timbangan Pegas Postur tubuh yang dilakukan oleh pekerja laundry sektor usaha informal saat proses penimbangan menggunakan timbangan pegas adalah seperti terlihat pada gambar dan tabel dibawah ini :
Gambar 5.1 Postur Tubuh Pekerja Pada Proses Penimbangan Menggunakan Timbangan Pegas di Laundry Sektor Usaha Informal Kecamatan Ciputat Timur Kota Tangerang Selatan Tahapan
pertama
proses
laundry
ini
meliputi
proses
penimbangan. Pada proses ini, pekerja melakukan penimbangan dengan menggunakan timbangan pegas. Posisi yang dilakukan pada proses ini adalah posisi leher membentuk sudut 20o. postur punggung pekerja lurus dengan posisi berdiri dengan bertumpu pada kedua kaki.
91
Posisi lengan kanan atas membentuk sudut fleksi 50o serta terdapat abduksi dimana lengan atas tersebut dijauhkan dari pusat tubuh. Sedangkan lengan kanan bawah membentuk fleksi 50o dan pergelangan tangan kanan membentuk fleksi sebesar 10o. 2. Penimbangan Dengan Timbangan Biasa Postur tubuh yang dilakukan oleh pekerja laundry sektor usaha informal saat proses penimbangan menggunakan timbangan biasa adalah seperti terlihat pada gambar dan tabel dibawah ini :
Gambar 5.2 Postur Tubuh Pekerja Pada Proses Penimbangan Menggunakan Timbangan Biasa di Laundry Sektor Usaha Informal Kecamatan Ciputat Timur Kota Tangerang Selatan Selain
menggunakan
timbangan
pegas,
pekerja
juga
menggunakan timbangan biasa. Posisi yang dilakukan pada proses ini adalah posisi leher membentuk sudut fleksi 25o. Postur punggung pekerja lurus disertai dengan posisi punggung yang berputar. Posisi tubuh berdiri dengan bertumpu pada kedua kaki. Posisi lengan kiri atas membentuk sudut fleksi 70o. Sedangkan lengan kiri bawah membentuk
92
fleksi 30o dan pergelangan tangan kiri membentuk fleksi sebesar 10o. untuk postur tubuh lengan kanan atas terbentuk sudut fleksi sebesar 75o sedangkan posisi lengan bawah kanan membentuk sudut fleksi 35 o dan pergelangan tangan kanan membentuk sudut 20o yang disertai dengan posisi pergelangan tangan miring ke samping. 5.3.2. Pencucian dan Pemerasan 1. Memasukkan Pakaian ke Dalam Mesin Cuci Postur tubuh yang dilakukan oleh pekerja laundry sektor usaha informal saat proses memasukkan pakaian ke dalam mesin cuci adalah seperti terlihat pada gambar dan tabel dibawah ini :
Gambar 5.3 Postur Tubuh Pekerja Pada Proses Memasukkan Pakaian ke Dalam Mesin Cuci di Laundry Sektor Usaha Informal Kecamatan Ciputat Timur Kota Tangerang Selatan Setelah pakaian tersebut ditimbang, langkah selanjutnya adalah memasukkan pakaian tersebut kedalam mesin cuci. Pada proses ini, posisi leher membentuk fleksi 35o dan posisi punggung lurus namun
93
punggung dalam keadaan miring ke samping. Tahapan ini dilakukan dalam posisi berdiri dengan bertumpu pada kedua kaki. Posisi lengan kiri atas membentuk sudut fleksi 10o serta terdapat abduksi dimana lengan atas tersebut dijauhkan dari pusat tubuh. Sedangkan lengan kiri bawah membentuk sudut fleksi 135o dan pergelangan tangan kiri membentuk fleksi sebesar 10o. 2. Mengeluarkan Pakaian Dari Mesin Cuci Postur tubuh yang dilakukan oleh pekerja laundry sektor usaha informal saat proses mengeluarkan pakaian dari mesin cuci adalah seperti terlihat pada gambar dan tabel dibawah ini :
Gambar 5.4 Postur Tubuh Pekerja Pada Proses Mengeluarkan Pakaian Dari Mesin Cuci di Laundry Sektor Usaha Informal Kecamatan Ciputat Timur Kota Tangerang Selatan Pada tahapan mengeluarkan pakaian dari mesin cuci, posisi leher pekerja membentuk fleksi sebesar 18o yang disertai dengan posisi leher miring dan berputar. Posisi punggung lurus namun punggung dalam keadaan miring ke samping. Tahapan ini dilakukan dalam posisi
94
berdiri dengan bertumpu pada kedua kaki. Posisi lengan kiri atas membentuk sudut fleksi 25o. Sedangkan lengan kiri bawah membentuk sudut fleksi sebesar 110o dan pergelangan tangan kiri membentuk fleksi sebesar 30o yang disertai dengan deviasi ulnar . 3. Pembilasan Postur tubuh yang dilakukan oleh pekerja laundry sektor usaha informal saat proses pembilasan adalah seperti terlihat pada gambar dan tabel dibawah ini :
Gambar 5.5 Postur Tubuh Pekerja Pada Proses Pembilasan di Laundry Sektor Usaha Informal Kecamatan Ciputat Timur Kota Tangerang Selatan Pada proses pembilasan, posisi leher pekerja membentuk fleksi sebesar 15o yang disertai dengan posisi leher miring. Posisi punggung membentuk fleksi 10o yang disertai posisi punggung yang miring dan berputar. Tahapan ini dilakukan dalam posisi berdiri dengan bertumpu pada kedua kaki. Posisi lengan kiri atas membentuk sudut fleksi 30o
95
yang disertai abduksi yaitu posisi lengan atas menjauhi pusat tubuh. Sedangkan lengan kiri bawah membentuk sudut fleksi sebesar 75o dan pergelangan tangan kiri membentuk fleksi sebesar 10o yang disertai gerakan berputar. 4. Memasukkan Pakaian ke Dalam Wadah Setelah pakaian tersebut dicuci, proses selanjutnya adalah memasukkan ke dalam wadah. Postur tubuh yang dilakukan oleh pekerja laundry sektor usaha
informal saat proses memasukkan
pakaian ke dalam wadah adalah seperti terlihat pada gambar dan tabel dibawah ini :
Gambar 5.6 Postur Tubuh Pekerja Pada Proses Memasukkan Pakaian ke Dalam Wadah di Laundry Sektor Usaha Informal Kecamatan Ciputat Timur Kota Tangerang Selatan Pada proses memasukkan pakaian kedalam wadah, posisi leher membentuk sudut fleksi 20o yang disertai leher berputar. Postur punggung pekerja membentuk fleksi 40o dan disertai dengan posisi
96
punggung yang berputar. Posisi tubuh berdiri dengan bertumpu pada kedua kaki. Posisi lengan kiri atas membentuk sudut fleksi 20o. Sedangkan lengan kiri bawah membentuk fleksi 20o dan pergelangan tangan kiri membentuk fleksi sebesar 10o. Postur tubuh lengan kanan atas membentuk sudut fleksi sebesar 20o sedangkan posisi lengan bawah kanan membentuk sudut fleksi 20o dan pergelangan tangan kanan membentuk sudut fleksi10o. 5.3.3. Pengeringan 1. Mengangkat Wadah Pakaian Postur tubuh yang dilakukan oleh pekerja laundry sektor usaha informal saat proses mengangkat wadah pakaian untuk dibawa ke mesin pengering adalah seperti terlihat
pada gambar dan tabel
dibawah ini :
Gambar 5.7 Postur Tubuh Pekerja Pada Proses Mengangkat Wadah Pakaian Untuk Dibawa ke Mesin Pengering di Laundry Sektor Usaha Informal Kecamatan Ciputat Timur Kota Tangerang Selatan
97
Pada proses mengangkat wadah pakaian, posisi leher membentuk ektensi 10o. Postur punggung pekerja membentuk fleksi 25o. Posisi tubuh berdiri dengan bertumpu pada kedua kaki. Posisi lengan kiri atas membentuk sudut fleksi 70o. Sedangkan lengan kiri bawah membentuk fleksi 5o dan pergelangan tangan kiri membentuk fleksi sebesar 5o. Postur tubuh lengan kanan atas membentuk sudut fleksi sebesar 70o sedangkan posisi lengan bawah kanan membentuk sudut fleksi 5o dan pergelangan tangan kanan membentuk sudut fleksi 5o. 2. Memasukkan Pakaian ke Dalam Mesin Pengering Postur tubuh yang dilakukan oleh pekerja laundry sektor usaha informal saat proses memasukkan pakaian ke dalam mesin pengering adalah seperti terlihat pada gambar dan tabel dibawah ini :
Gambar 5.8 Postur Tubuh Pekerja Pada Proses Memasukkan Pakaian ke Dalam Mesin Pengering di Laundry Sektor Usaha Informal Kecamatan Ciputat Timur Kota Tangerang Selatan
98
Dalam proses ini, posisi tubuh pekerja menyesuaikan dengan jenis dan desain alat bantu pekerjaan yang menyebabkan postur leher pekerja membentuk sudut ekstensi sebesar 10o yang disertai dengan leher miring kesamping. Posisi punggung membungkuk membentuk fleksi 45o dan disertai punggung yang miring. Posisi tubuh bertumpu pada kedua kaki. Posisi lengan kanan atas membentuk sudut fleksi sebesar 110o dan lengan kanan bawah fleksi 75o. Pergelangan tangan kanan membentuk fleksi sebesar 5o. 3. Mengeluarkan Pakaian Dari Mesin Pengering Postur tubuh yang dilakukan oleh pekerja laundry sektor usaha informal saat proses mengeluarkan pakaian dari mesin pengering adalah seperti terlihat pada gambar dan tabel dibawah ini :
Gambar 5.9 Postur Tubuh Pekerja Pada Proses Mengeluarkan Pakaian Dari Mesin Pengering di Laundry Sektor Usaha Informal Kecamatan Ciputat Timur Kota Tangerang Selatan
99
Pada proses mengeluarkan pakaian dari mesin pengering, posisi leher membentuk ektensi 15o yang disertai dengan postur leher yang miring. Postur punggung pekerja membentuk fleksi 50o serta dalam kondisi miring. Posisi tubuh berdiri dengan bertumpu pada kedua kaki.. Postur tubuh lengan kanan atas membentuk sudut fleksi sebesar 120o sedangkan posisi lengan bawah kanan membentuk sudut fleksi 85o dan pergelangan tangan kanan membentuk sudut fleksi 10o. 4. Penjemuran Pakaian Postur tubuh yang dilakukan oleh pekerja laundry sektor usaha informal saat proses penjemuran pakaian adalah seperti terlihat pada gambar dan tabel dibawah ini :
Gambar 5.10 Postur Tubuh Pekerja Pada Proses Penjemuran Pakaian di Laundry Sektor Usaha Informal Kecamatan Ciputat Timur Kota Tangerang Selatan Pada tahapan ini, postur leher pekerja membentuk ekstensi sebesar 10o yang disertai leher berputar. Posisi punggung lurus namun
100
dalam kondisi berputar. Postur tubuh pekerja berdiri dalam keadaan tidak stabil. Posisi lengan kiri atas membentuk fleksi sebesar 45o yang disertai dengan abduksi. Lengan bawah kiri fleksi 110o serta pergelangan tangan kiri 0o. Untuk postur lengan atas kanan, pekerja membentuk fleksi 150o dan lengan bawah kanan membentuk sudut fleksi 10o. Pergelangan tangan kanan 0o. 5.3.4. Setrika dan Pelipatan 1. Posisi Berdiri Menggunakan Meja Setrika Tanpa Kursi Postur tubuh yang dilakukan oleh pekerja laundry sektor usaha informal saat proses setrika dan pelipatan dengan posisi berdiri menggunakan meja setrika tanpa kursi adalah seperti terlihat pada gambar dan tabel dibawah ini :
Gambar 5.11 Postur Tubuh Pekerja Pada Proses Setrika dan Pelipatan Dengan Posisi Berdiri Menggunakan Meja Setrika Tanpa Kursi di Laundry Sektor Usaha Informal Kecamatan Ciputat Timur Kota Tangerang Selatan
101
Dalam proses setrika dan pelipatan, pekerja melakukan tahapan ini dengan beberapa cara. Pada proses ini, pekerja melakukannya dengan cara berdiri menggunakan alat bantu meja setrika yang menghasilkan posisi leher fleksi sebesar 40o yang disertai dengan leher yang berputar. Posisi punggung membentuk sudut fleksi 10o disertai dengan gerakan punggung miring dan berputar. Pekerja dalam posisi berdiri pada kedua kaki. Postur lengan kiri atas membentuk fleksi 10o yang disertai abduksi dan lengan kiri bawah pun juga membentuk sudut fleksi sebesar 60o. Pergelangan tangan membentuk fleksi 5o. pada postur lengan kanan atas membentuk sudut fleksi 35o dan abduksi. Lengan bawah kanan dan pergelangan tangan masing-masing membentuk fleksi sebesar 15o dan 5o. 2. Posisi Duduk Menggunakan Meja Setrika dan Kursi Dengan Sandaran Punggung Postur tubuh yang dilakukan oleh pekerja laundry sektor usaha informal saat proses setrika dan pelipatan dengan posisi duduk menggunakan meja setrika dan kursi dengan sandaran punggung adalah seperti terlihat pada gambar dan tabel dibawah ini :
102
Gambar 5.12 Postur Tubuh Pekerja Pada Proses Setrika dan Pelipatan Dengan Posisi Duduk Menggunakan Meja Setrika dan Kursi Dengan Sandaran Punggung di Laundry Sektor Usaha Informal Kecamatan Ciputat Timur Kota Tangerang Selatan Pada tahapan ini, posisi leher pekerja membentuk fleksi sebesar 5o ditambah dengan posisi leher yang berputar. Postur punggung fleksi 5o yang disertai dengan posisi punggung yang berputar. Pekerja melakukan tahapan ini dengan duduk yang menghasilkan posisi lengan atas kanan fleksi 80o dan gerakan abduksi. Sedangkan pada lengan bawah kanan terbentuk sudut fleksi sebesar 30o dan pada pergelangan tangan membentuk fleksi 5o. 3. Posisi Duduk Menggunakan Meja Setrika dan Kursi Tanpa Sandaran Punggung Postur tubuh yang dilakukan oleh pekerja laundry sektor usaha informal saat proses setrika dan pelipatan dengan posisi duduk menggunakan meja setrika dan kursi tanpa sandaran punggung adalah seperti terlihat pada gambar dan tabel dibawah ini :
103
Gambar 5.13 Postur Tubuh Pekerja Pada Proses Setrika dan Pelipatan Dengan Posisi Duduk Menggunakan Meja Setrika dan Kursi Tanpa Sandaran Punggung di Laundry Sektor Usaha Informal Kecamatan Ciputat Timur Kota Tangerang Selatan
Posisi leher pekerja menunduk membentuk fleksi 10o yang disertai leher yang berputar. Posisi punggung fleksi sebesar 15o dan ditambah dengan postur punggung yang berputar. Pekerja melakukan tahapan ini dengan cara duduk. Pada bagian lengan atas kiri terbentuk fleksi sebesar 60o dan terjadi abduksi. Lengan bawah kiri menekuk membentuk sudut fleksi 40o dan pergelangan tangan kiri terbentuk fleksi 10o. Posisi lengan atas kanan terbentuk sudut 68o yang disertai abduksi. Posisi lengan bawah dan pergelangan tangan kanan masingmasing membentuk fleksi sebesar 30o dan 10o.
104
5.3.5. Pengemasan 1. Pengemasan Dilakukan Dengan Posisi Berdiri Pada tahap ini, pakaian yang akan dikemas diletakkan diatas meja setrika. Postur tubuh yang dilakukan oleh pekerja laundry sektor usaha informal saat proses pengemasan dengan posisi berdiri adalah seperti terlihat pada gambar dan tabel dibawah ini :
Gambar 5.14 Postur Tubuh Pekerja Pada Proses Pengemasan Dengan Posisi Berdiri di Laundry Sektor Usaha Informal Kecamatan Ciputat Timur Kota Tangerang Selatan Proses pengemasan yang dilakukan dengan posisi berdiri menghasilkan postur leher yang menunduk menghasilkan sudut fleksi 10o dan disertai gerakan berputar. Posisi punggung membentuk fleksi sebesar 10o ditambah dengan punggung yang berputar. Tahapan ini dilakukan dengan cara berdiri dengan kedua kaki. Pada lengan kiri atas terbentuk fleksi sebesar 40o dan disertai dengan abduksi. Posisi lengan bawah kiri membentuk sudut fleksi 30o dan pergelangan tangan kiri
105
menghasilkan sudut fleksi 5o. Posisi lengan kanan atas terbentuk fleksi 40o, sedangkan lengan bawah kanan dan pergelangan tangan kanan masing-masing membentuk sudut fleksi 45o dan 5o. 2. Pengemasan Dilakukan Dengan Posisi Duduk Postur tubuh yang dilakukan oleh pekerja laundry sektor usaha informal saat proses pengemasan dengan posisi duduk dilantai adalah seperti terlihat pada gambar dan tabel dibawah ini :
Gambar 5.15 Postur Tubuh Pekerja Pada Proses Pengemasan Dengan Posisi Duduk di Laundry Sektor Usaha Informal Kecamatan Ciputat Timur Kota Tangerang Selatan Selain pengemasan yang dilakukan dengan posisi berdiri, pengemasan juga dilakukan dengan posisi duduk di lantai. Pada posisi ini, leher menekuk membentuk sudut fleksi 5o. Posisi punggung membungkuk sebesar 30o yang disertai dengan punggung miring. Pekerjaan ini dilakukan dengan cara kerja duduk. Posisi lengan atas kiri menekuk membentuk fleksi 50o dan lengan kiri bawah membentuk
106
sudut fleksi 65o. Pada pergelangan tangan kiri, sudut yang terbentuk adalah fleksi 5o.
5.4. Gambaran Beban Kerja, Coupling dan Nilai Aktifitas Pekerja Laundry Gambaran beban kerja, coupling dan nilai aktifitas pada kegiatan di laundry sektor usaha informal Kecamatan Ciputat Timur Kota Tangerang Selatan adalah sebagai berikut : Tabel 5.1 Gambaran Beban Kerja, Coupling dan Nilai Aktifitas Pekerja Laundry Sektor Usaha Informal Kecamatan Ciputat Timur Kota Tangerang Selatan Coupling Berat Proses Kerja Nilai Aktifitas Beban Kanan Kiri 1. Penimbangan a. Penimbangan dengan <5 kg Fair timbangan pegas b. Penimbangan dengan 5-10 kg Poor Poor timbangan biasa 2. Pencucian dan pemerasan a.Memasukkan pakaian <5 kg Fair Gerakan berulang ke dalam mesin cuci >4x permenit b.Mengeluarkan pakaian <5 kg Fair Gerakan berulang dari mesin cuci >4x permenit c. Pembilasan <5 kg Good Gerakan berulang >4x permenit d. Memasukkan pakaian <5 kg Fair Fair Gerakan berulang ke dalam wadah >4x permenit Perubahan postur secara cepat dan tidak stabil 3. Pengeringan a. Mengangkat wadah >10 kg Poor Poor pakaian
107
b. Memasukkan pakaian ke dalam mesin pengering c. Mengeluarkan pakaian dari mesin pengering d. Penjemuran pakaian 4. Setrika dan pelipatan a. Posisi berdiri menggunakan meja setrika tanpa kursi
<5 kg
Fair
-
Gerakan berulang >4x permenit
<5 kg
Fair
-
Gerakan berulang >4x permenit
5-10 kg
Fair
Fair
-
<5 kg
Good
Good
b. Posisi duduk menggunakan meja setrika dan kursi dengan sandaran punggung c. Posisi duduk menggunakan meja setrika dan kursi tanpa sandaran punggung 5. Pengemasan a. Pengemasan dilakukan dengan posisi berdiri b. Pengemasan dilakukan dengan posisi duduk
<5 kg
Fair
-
<5 kg
Good
Good
Salah satu/lebih bagian tubuh statis >1 menit Gerakan berulang >4x permenit Salah satu/lebih bagian tubuh statis >1 menit Gerakan berulang >4x permenit Salah satu/lebih bagian tubuh statis >1 menit Gerakan berulang >4x permenit
<5 kg
Good
Good
-
<5 kg
-
Good
-
Proses kerja pertama yang dilakukan dalam proses laundry adalah proses penimbangan beban. Proses penimbangan ini terdiri dari proses penimbangan dengan timbangan pegas dan timbangan biasa. Pada proses penimbangan dengan timbangan pegas, beban yang diterima pekerja masih dibawah 5 kg. Coupling yang dilakukan saat penimbangan cucian tergolong cukup baik untuk tangan kanan. Pada tangan kiri tidak terdapat genggaman karena beban hanya
108
diangkat menggunakan tangan kanan. Pada proses penimbangan menggunakan timbangan biasa, beban yang diangkat oleh pekerja berada pada ukuran 5-10 kg. sedangkan coupling yang dilakukan pada proses ini tergolong kurang baik. Tahapan selanjutnya adalah proses pencucian dan pemerasan.
Pada
proses ini, memiliki empat tahapan proses. Proses pertama adalah memasukkan pakaian kedalam mesin cuci. Pada proses ini, beban yang diangkat oleh pekerja masih dibawah 5kg.
sedangkan penilaian coupling pada proses ini dapat
dikategorikan cukup baik walaupun tidak ideal serta terdapat pula gerakan berulang lebih dari 4 kali permenit. Setelah dilakukan proses pencucian, pakaian tersebut dikeluarkan dari mesin cuci. Beban yang diangkat masih dibawah 5 kg walaupun beban berat bertambah karena pakaian dalam keadaan basah. Coupling yang dilakukan pekerja cukup baik serta dilakukan secara berulang lebih dari 4 kali permenit. Pakaian
yang telah dikeluarkan dari mesin cuci selanjutnya dibilas.
Beban yang diangkat masih dibawah 5 kg dan dilakukan dengan genggaman (coupling) yang baik. Proses ini dilakukan secara berulang lebih dari 4 kali permenit. Kegiatan selanjutnya adalah memasukkan pakaian yang telah dibilas kedalam wadah. Kegiatan ini dilakukan dengan coupling yang cukup baik dan beban nya masih dibawah 5 kg. Namun, aktifitas ini dilakukan secara berulang serta terjadi perubahan postur secara cepat dan tidak stabil.
109
Setelah pakaian dimasukkan ke dalam wadah, maka langkah selanjutnya adalah proses pengeringan. Proses ini dimulai dengan mengangkat pakaian untuk dibawa ke mesin pengering. Beban yang diangkat pekerja mencapai 13 kg sehingga masuk dalam kriteria >10 kg. Hal ini disesuaikan dengan kapasitas keranjang yang digunakan. Berat beban tersebut disebabkan karena pakaian yang diangkat dalam keadaan basah. Coupling yang dilakukan pekerja kurang baik. Hal ini dikarenakan tidak adanya bagian pegangan yang terdapat di keranjang. Langkah selanjutnya adalah memasukkan pakaian ke dalam mesin pengering. Berat beban yang diangkat pekerja kurang dari 5 kg dan genggaman tangan (coupling) yang dilakukan tergolong cukup baik. Kegiatan ini dilakukan dengan cepat dan terjadi gerakan berulang yang dilakukan lebih dari 4 kali permenit. Kegiatan mengeluarkan pakaian dari mesin pengering dilakukan dengan coupling yang cukup baik dan gerakan ini dilakukan berulang lebih dari 4 kali permenit. Beban yang diangkat pekerja pada proses ini menyusut menjadi kurang dari 5 kg karena pakaian yang sebelumnya basah menjadi kering akibat proses pengeringan. Dalam proses pengeringan pakaian, terdapat pula proses penjemuran pakaian dengan cahaya alami menggunakan bantuan cahaya matahari. Proses
110
ini dilakukan dengan dengan coupling yang cukup baik dan beban yang diangkat berada pada nilai 5-10 kg pada kedua tangan pekerja. Setelah pakaian tersebut kering, maka langkah selanjutnya adalah proses penyetrikaan. Pada proses ini terdapat perbedaan dalam cara kerja diantaranya dengan posisi berdiri, posisi duduk menggunakan kursi dengan sandaran punggung maupun posisi duduk menggunakan kursi tanpa sandaran punggung. Seluruh pekerja laundry menggunakan beban berupa alat setrika yang memiliki berat kurang dari 5 kg dan coupling yang dilakukan pada proses penyetrikaan dengan posisi berdiri dan posisi duduk tanpa sandaran punggung tergolong baik. Sedangkan coupling yang dilakukan pada proses penyetrikaan dengan posisi duduk dengan kursi sandaran punggung tergolong cukup baik. Hal ini dikarenakan desain setrika yang digunakan memiliki desain pegangan yang lebih lebar. Dalam semua proses penyetrikaan, aktifitas dilakukan secara berulang lebih dari 4 kali permenit dan terdapat posisi statis pada bagian kaki, baik yang dilakukan dengan posisi berdiri maupun dengan posisi duduk. Proses selanjutnya adalah pengemasan yaitu memasukkan pakaian yang telah disetrika dimasukkan kedalam wadah bungkus plastik transparan. Pada proses ini pula terdapat perbedaan dalam posisi pengemasan baik dengan posisi berdiri dengan alat bantu meja maupun dengan posisi duduk di lantai. Coupling yang dilakukan pekerja tergolong baik dan beban pada proses ini kurang dari 5 kg.
111
5.5. Analisis REBA Terhadap Keseluruhan Tubuh Yang Digunakan Pekerja 5.5.1. Penimbangan 1. Penimbangan Dengan Timbangan Pegas Analisis
REBA
pada
proses
penimbangan
menggunakan
timbangan pegas di laundry sektor usaha informal Kecamatan Ciputat Timur Kota Tangerang Selatan adalah seperti tabel dibawah ini: Tabel 5.2 Analisis REBA Pada Proses Penimbangan Menggunakan Timbangan Pegas di Laundry Sektor Usaha Informal Kecamatan Ciputat Timur Kota Tangerang Selatan Postur A Hasil Skor o Leher Fleksi 20 1 Leher berputar +1 Total Skor Leher 2 Punggung Lurus 1 Total Skor Punggung 1 Kaki Bertumpu pada kedua kaki 1 Total Skor Kaki 1 Skor Tabel A 1 Beban 3 kg +0 Skor Postur A 1 Hasil Skor Postur B Kiri Kanan Kiri Kanan o Fleksi 50 3 Lengan Atas Abduksi +1 Skor Lengan Atas 4 o Lengan Bawah Fleksi 50 2 Skor Lengan Bawah 2 o Fleksi 10 1 Pergelangan Tangan Miring +1 Skor Pergelangan Tangan 2 Skor Tabel B 6 Coupling Fair 1 Skor Postur B 7 Skor Tabel C 4
112
Aktifitas k
Tidak terdapat aktivitas yang berulang atau perubahan postur S yang cepat Nilai REBA Nilai Risiko Ergonomi
o
+0 4 Medium risk
Skor leher untuk proses penimbangan menggunakan timbangan pegas adalah
1 ditambah dengan penyesuaian yang bernilai 1 dan
totalnya menjadi 2.
Sedangkan skor punggung adalah 1 dan kaki
memiliki skor 1. Dari ketiga skor ini diperoleh skor tabel A yaitu 1. Skor beban untuk proses ini adalah 0. Skor Tabel A ditambah skor beban menghasilkan skor postur A yaitu 1. Skor lengan atas bagian kanan adalah 3 ditambah dengan penyesuaian yaitu 1 dan totalnya menjadi 4, sedangkan skor lengan bawah adalah 2. Skor pergelangan tangan adalah 1 ditambah dengan penyesuaian bernilai 1dan totalnya menjadi 2. Dari ketiga skor tersebut diperoleh skor tabel B yaitu 6. Skor ini ditambah dengan skor coupling yaitu 1 dan total skor Postur B adalah 6. Dari nilai skor postur tubuh A dan skor postur B didapatkan skor tabel C yaitu 4. Skor Tabel C kemudian ditambah dengan nilai aktifitas, namun pada proses ini tidak ada penambahan untuk nilai aktifitas sehingga nilai akhir REBA yaitu 4. Nilai 4 berarti proses penimbangan menggunakan timbangan pegas memiliku tingkat risiko sedang (medium risk).
113
2. Penimbangan Dengan Timbangan Biasa Analisis
REBA
pada
proses
penimbangan
menggunakan
timbangan biasa di laundry sektor usaha informal Kecamatan Ciputat Timur Kota Tangerang Selatan adalah seperti tabel dibawah ini: Tabel 5.3 Analisis REBA Pada Proses Penimbangan Menggunakan Timbangan Biasa di Laundry Sektor Usaha Informal Kecamatan Ciputat Timur Kota Tangerang Selatan Postur A Hasil Skor o Leher Fleksi 25 2 Total Skor Leher 2 Punggung Lurus 1 Punggung berputar +1 Total Skor Punggung 2 Kaki Bertumpu pada kedua kaki 1 Total Skor Kaki 1 Skor Tabel A 3 Beban 6 kg +1 Skor Postur A 4 Hasil Skor Postur B Kiri Kanan Kiri Kanan Lengan Atas Fleksi 70o Fleksi 75o +3 +3 Skor Lengan Atas 3 3 o o Lengan Bawah Fleksi 30 Fleksi 35 2 2 Skor Lengan Bawah 2 2 o o Fleksi 10 Fleksi 20 1 2 Pergelangan Tangan Miring +1 Skor Pergelangan Tangan 1 3 Skor Tabel B 4 5 Coupling Poor +2 +2 Skor Postur B 6 7 Skor Tabel C 6 7 Tidak terdapat aktivitas yang berulang atau Aktifitas +0 +0 perubahan postur yang cepat Nilai REBA 6 7 Medium Nilai Risiko Ergonomi risk
114
Skor leher untuk proses penimbangan menggunakan timbangan biasa adalah 2. Skor punggung adalah 1 ditambah dengan penyesuaian bernilai 1 totalnya menjadi 2dan kaki memiliki skor 1. Dari ketiga skor ini diperoleh skor tabel A yaitu 3. Skor beban untuk proses ini adalah 1. Skor Tabel A ditambah skor beban menghasilkan skor postur A yaitu 4. Skor lengan atas bagian kiri adalah 3, sedangkan skor lengan bawah adalah 2 dan skor pergelangan tangan adalah 1. Dari ketiga skor tersebut diperoleh skor tabel B yaitu 4. Skor ini ditambah dengan skor coupling yaitu 2 dan total skor Postur B adalah 6. Dari nilai skor postur tubuh A dan skor postur B didapatkan skor tabel C yaitu 6. Skor Tabel C kemudian ditambah dengan nilai aktifitas, namun pada proses ini tidak ada penambahan untuk nilai aktifitas sehingga nilai akhir REBA yaitu 6. Nilai 6 berarti proses penimbangan menggunakan timbangan biasa pada tangan kiri memiliki tingkat risiko sedang (medium risk) Skor lengan atas bagian kanan adalah 3, sedangkan skor lengan bawah adalah 2. Skor pergelangan tangan adalah 2 ditambah dengan penyesuaian bernilai 1 dan totalnya menjadi 3. Dari ketiga skor tersebut diperoleh skor tabel B yaitu 5. Skor ini ditambah dengan skor coupling yaitu 2 dan total skor Postur B adalah 7. Dari nilai skor postur tubuh A dan skor postur B didapatkan skor tabel C yaitu 7. Skor Tabel C kemudian ditambah dengan nilai aktifitas, namun pada proses ini tidak
115
ada penambahan untuk nilai aktifitas sehingga nilai akhir REBA yaitu 7. Nilai 7 berarti proses penimbangan menggunakan timbangan biasa pada tangan kanan memiliki tingkat risiko sedang (medium risk) 5.5.2. Pencucian dan Pemerasan Dalam proses ini terdapat beberapa tahap yang harus dilakukan yaitu : 1. Memasukkan Pakaian ke Dalam Mesin Cuci Analisis REBA pada proses memasukkan pakaian ke dalam mesin cuci di laundry sektor usaha informal Kecamatan Ciputat Timur Kota Tangerang Selatan adalah seperti tabel dibawah ini: Tabel 5.4 Analisis REBA Pada Proses Memasukkan Pakaian ke Dalam Mesin Cuci di Laundry Sektor Usaha Informal Kecamatan Ciputat Timur Kota Tangerang Selatan Postur A Hasil Skor o Leher Fleksi 35 2 Total Skor Leher 2 Punggung Lurus 1 Punggung miring +1 Total Skor Punggung 2 Kaki Bertumpu pada kedua kaki 1 Total Skor Kaki 1 Skor Tabel A 3 Beban 1kg +0 Skor Postur A 3 Hasil Skor Postur B Kiri Kanan Kiri Kanan Fleksi 10o 1 Lengan Atas Abduksi +1 Skor Lengan Atas 2 Lengan Bawah Fleksi 135o 2 Skor Lengan Bawah 2
116
Pergelangan Tangan Fleksi 10o 1 Skor Pergelangan Tangan 1 Skor Tabel B 2 Coupling Fair +1 Skor Postur B 3 Skor Tabel C 3 Aktifitas Gerakan berulang >4x permenit +1 Nilai REBA 4 Nilai Risiko Ergonomi Medium risk Skor leher untuk proses memasukkan pakaian kedalam mesin cuci adalah
2. Skor punggung adalah 1 serta ditambah dengan
penyesuaian bernilai 1 totalnya menjadi 2, sedangkan kaki memiliki skor 1. Dari ketiga skor ini diperoleh skor tabel A yaitu 3. Skor beban untuk proses ini adalah 0. Skor Tabel A
ditambah skor beban
menghasilkan skor postur A yaitu 3. Skor lengan atas bagian kiri adalah 1 ditambah dengan penyesuaian yang bernilai 1 dan totalnya menjadi 2. Skor lengan bawah adalah 2 dan skor pergelangan tangan adalah 1. Dari ketiga skor tersebut diperoleh skor tabel B yaitu 2. Skor ini ditambah dengan skor coupling yaitu 1 dan total skor Postur B adalah 3. Dari nilai skor postur tubuh A dan skor postur B didapatkan skor tabel C yaitu 3. Skor Tabel C kemudian ditambah dengan nilai aktifitas yaitu 1 sehingga nilai akhir REBA yaitu 4. Nilai 4 berarti proses memasukkan pakaian kedalam mesin cuci memiliki tingkat risiko sedang (medium risk).
117
2. Mengeluarkan Pakaian Dari Mesin Cuci Analisis REBA pada proses mengeluarkan pakaian dari mesin cuci di laundry sektor usaha informal Kecamatan Ciputat Timur Kota Tangerang Selatan adalah seperti tabel dibawah ini: Tabel 5.5 Analisis REBA Pada Proses Mengeluarkan Pakaian Dari Mesin Cuci di Laundry Sektor Usaha Informal Kecamatan Ciputat Timur Kota Tangerang Selatan Postur A Hasil Skor o Leher Fleksi 18 1 Leher miring +1 Leher berputar +1 Total Skor Leher 3 Punggung Lurus 1 Punggung miring +1 Total Skor Punggung 2 Kaki Bertumpu pada kedua kaki 1 Total Skor Kaki 1 Skor Tabel A 4 Beban 3 kg +0 Skor Postur A 4 Hasil Skor Postur B Kiri Kanan Kiri Kanan o Lengan Atas Fleksi 25 2 Skor Lengan Atas 2 o Lengan Bawah Fleksi 110 2 Skor Lengan Bawah 2 o Fleksi 30 2 Pergelangan Tangan Deviasi ulnar +1 Skor Pergelangan Tangan 3 Skor Tabel B 4 Coupling Fair +1 Skor Postur B 5 Skor Tabel C 5 Aktifitas Gerakan berulang >4x permenit +1 Nilai REBA 6 Medium Nilai Risiko Ergonomi risk
118
Skor leher untuk proses mengeluarkan pakaian dari mesin cuci adalah 1 ditambah dengan penyesuaian bernilai 2 totalnya menjadi 3. Skor punggung adalah 1 serta ditambah dengan penyesuaian bernilai 1 totalnya menjadi 2, sedangkan kaki memiliki skor 1. Dari ketiga skor ini diperoleh skor tabel A yaitu 4. Skor beban untuk proses ini adalah 0. Skor Tabel A ditambah skor beban menghasilkan skor postur A yaitu 4. Skor lengan atas bagian kiri adalah 2 dan skor lengan bawah adalah 2. Skor pergelangan tangan adalah 2 ditambah dengan penyesuaian bernilai 1 totalnya menjadi 3. Dari ketiga skor tersebut diperoleh skor tabel B yaitu 4. Skor ini ditambah dengan skor coupling yaitu 1 dan total skor Postur B adalah 5. Dari nilai skor postur tubuh A dan skor postur B didapatkan skor tabel C yaitu 5. Skor Tabel C kemudian ditambah dengan nilai aktifitas yaitu 1 sehingga nilai akhir REBA yaitu 6. Nilai 6 berarti proses mengeluarkan pakaian dari mesin cuci memiliki tingkat risiko sedang (medium risk). 3. Pembilasan Pakaian Analisis REBA pada proses pembilasan pakaian di laundry sektor usaha informal Kecamatan Ciputat Timur Kota Tangerang Selatan adalah seperti tabel dibawah ini:
119
Tabel 5.6 Analisis REBA Pada Proses Membilas di Laundry Sektor Usaha Informal Kecamatan Ciputat Timur Kota Tangerang Selatan Postur A Hasil Skor o Leher Fleksi 15 1 Leher miring +1 Total Skor Leher 2 Punggung Fleksi 10o 2 Punggung miring +1 Punggung berputar +1 Total Skor Punggung 4 Kaki Bertumpu pada kedua kaki 1 Total Skor Kaki 1 Skor Tabel A 5 Beban 0,5 kg +0 Skor Postur A 5 Hasil Skor Postur B Kiri Kanan Kiri Kanan o Fleksi 30 2 Lengan Atas Abduksi +1 Skor Lengan Atas 3 Lengan Bawah Fleksi 75o 1 Skor Lengan Bawah 1 o Fleksi 10 1 Pergelangan Tangan Berputar +1 Skor Pergelangan Tangan 2 Skor Tabel B 4 Coupling Good +0 Skor Postur B 4 Skor Tabel C 5 Aktifitas Gerakan berulang >4x permenit +1 Nilai REBA 6 Medium Nilai Risiko Ergonomi risk Skor leher untuk proses pembilasan pakaian adalah 1 ditambah dengan penyesuaian bernilai 1 totalnya menjadi 2. Skor punggung adalah 2 ditambah dengan penyesuaian bernilai 2 totalnya menjadi 4, sedangkan kaki memiliki skor 1. Dari ketiga skor ini diperoleh skor
120
tabel A yaitu 5. Skor beban untuk proses ini adalah 0. Skor Tabel A ditambah skor beban menghasilkan skor postur A yaitu 5. Skor lengan atas bagian kiri adalah 2 ditambah dengan penyesuian bernilai 1 totalnya menjadi 3. Skor lengan bawah adalah 1 dan skor pergelangan tangan adalah 1 ditambah dengan penyesuaian bernilai 1 totalnya menjadi 2. Dari ketiga skor tersebut diperoleh skor tabel B yaitu 4. Skor ini ditambah dengan skor coupling yaitu 0 dan total skor Postur B adalah 4. Dari nilai skor postur tubuh A dan skor postur B didapatkan skor tabel C yaitu 5. Skor Tabel C kemudian ditambah dengan nilai aktifitas yaitu 1 sehingga nilai akhir REBA yaitu 6. Nilai 6 berarti proses pembilasan pakaian memiliki tingkat risiko sedang (medium risk). 4. Memasukkan Pakaian Kedalam Wadah Analisis REBA pada proses memasukkan pakaian kedalam wadah di laundry sektor usaha informal Kecamatan Ciputat Timur Kota Tangerang Selatan adalah seperti tabel dibawah ini: Tabel 5.7 Analisis REBA Pada Proses Memasukkan Pakaian Kedalam Wadah Di Laundry Sektor Usaha Informal Kecamatan Ciputat Timur Kota Tangerang Selatan Postur A Hasil Skor Leher Fleksi 20o 1 Leher berputar +1 Total Skor Leher 2 Punggung Fleksi 40o 3
121
Punggung berputar Total Skor Punggung Kaki Bertumpu pada kedua kaki Total Skor Kaki Skor Tabel A Beban 2 kg Skor Postur A Hasil Postur B Kiri Kanan o Lengan Atas Fleksi 20 Fleksi 20o Skor Lengan Atas Lengan Bawah Fleksi 20o Fleksi 20o Skor Lengan Bawah Pergelangan Fleksi 10o Fleksi 10o Tangan Skor Pergelangan Tangan Skor Tabel B Coupling Fair Skor Postur B Skor Tabel C Aktifitas Gerakan berulang >4x permenit Perubahan postur secara cepat dan tidak stabil Nilai REBA Nilai Risiko Ergonomi
+1 4 1 1 5 +0 5 Skor Kiri Kanan 1 1 1 1 2 2 2 2 1
1
1 1 +1 2 4 +1
1 1 +1 2 4 +1
+1
+1
6 Medium risk
6 Medium risk
Skor leher untuk proses memasukkan pakaian ke dalam wadah adalah 1 ditambah dengan penyesuaian bernilai 1 totalnya menjadi 2. Skor punggung adalah 3 ditambah dengan penyesuaian bernilai 1 totalnya menjadi 4 dan kaki memiliki skor 1. Dari ketiga skor ini diperoleh skor tabel A yaitu 5. Skor beban untuk proses ini adalah 0. Skor Tabel A ditambah skor beban menghasilkan skor postur A yaitu 5.
122
Skor lengan atas bagian kiri adalah 1, sedangkan skor lengan bawah adalah 2 dan skor pergelangan tangan adalah 1. Dari ketiga skor tersebut diperoleh skor tabel B yaitu 1. Skor ini ditambah dengan skor coupling yaitu 1 dan total skor Postur B adalah 2. Dari nilai skor postur tubuh A dan skor postur B didapatkan skor tabel C yaitu 4. Skor Tabel C kemudian ditambah dengan nilai aktifitas yang bernilai 2 sehingga nilai akhir REBA yaitu 6. Nilai 6 berarti proses memasukkan pakaian ke dalam wadah pada tangan kiri memiliki tingkat risiko sedang (medium risk) Skor lengan atas bagian kanan adalah 1, sedangkan skor lengan bawah adalah 2. Skor pergelangan tangan adalah 1. Dari ketiga skor tersebut diperoleh skor tabel B yaitu 1. Skor ini ditambah dengan skor coupling yaitu 1 dan total skor Postur B adalah 2. Dari nilai skor postur tubuh A dan skor postur B didapatkan skor tabel C yaitu 4. Skor Tabel C kemudian ditambah dengan nilai aktifitas yang bernilai 2 sehingga nilai akhir REBA yaitu 6. Nilai 6 berarti proses memasukkan pakaian ke dalam wadah pada tangan kanan memiliki tingkat risiko sedang (medium risk) 5.5.3. Pengeringan Dalam proses pengeringan pakaian terdapat beberapa tahapan proses yang dilakukan yaitu :
123
1. Mengangkat Wadah Pakaian Analisis REBA pada proses pengeringan saat mengangkat wadah pakaian untuk dibawa ke dalam mesin pengering di laundry sektor usaha informal Kecamatan Ciputat Timur Kota Tangerang Selatan adalah seperti tabel dibawah ini: Tabel 5.8 Analisis REBA Pada Proses Mengangkat Wadah Pakaian di Laundry Sektor Usaha Informal Kecamatan Ciputat Timur Kota Tangerang Selatan Postur A Hasil Skor Leher Ekstensi 10o 2 Total Skor Leher 2 o Punggung Fleksi 25 3 Total Skor Punggung 3 Kaki Bertumpu pada kedua kaki 1 Total Skor Kaki 1 Skor Tabel A 4 Beban 13 kg +2 Skor Postur A 6 Hasil Skor Postur B Kiri Kanan Kiri Kanan o o Lengan Atas Fleksi 70 Fleksi 70 3 3 Skor Lengan Atas 3 3 o o Lengan Bawah Fleksi 5 Fleksi 5 2 2 Skor Lengan Bawah 2 2 Pergelangan o o Fleksi 5 Fleksi 5 1 1 Tangan Skor Pergelangan Tangan 1 1 Skor Tabel B 4 4 Coupling Poor +2 +2 Skor Postur B 6 6 Skor Tabel C 8 8 Tidak terdapat aktifitas yang Aktifitas +0 +0 berulang Nilai REBA 8 8 High High Nilai Risiko Ergonomi risk risk
124
Skor leher untuk proses mengangkat wadah pakaian adalah 2. Skor punggung adalah 3 dan kaki memiliki skor 1. Dari ketiga skor ini diperoleh skor tabel A yaitu 4. Skor beban untuk proses ini adalah 2. Skor Tabel A ditambah skor beban menghasilkan skor postur A yaitu 6. Skor lengan pada proses ini baik lengan kanan maupun lengan kiri memiliki nilai skor yang sama hingga skor Tabel B, yaitu lengan atas memiliki skor 3, lengan bawah memiliki skor 2 dan pergelangan tangan memiliki skor 1. Dari ketiga skor ini diperoleh skor Tabel B yaitu 4. Skor tabel B ditambah dengan skor coupling yaitu 2 maka didapatkan skor postur B yaitu 6. Dari skor Postur A dan skor postur B didapatkan skor tabel C yaitu 8. Skor tabel C kemudian ditambah dengan skor aktifitas yaitu 0. Dari penjumlahan antara skor tabel C dan aktifitas didapatkan nilai REBA
yaitu 8. Nilai 8 berarti proses
mengangkat wadah pakaian memiliki tingkat risiko tinggi (high risk). 2. Memasukkan Pakaian Kedalam Mesin Pengering Analisis REBA pada proses memasukkan pakaian kedalam mesin pengering di laundry sektor usaha informal Kecamatan Ciputat Timur Kota Tangerang Selatan adalah seperti tabel dibawah ini:
125
Tabel 5.9 Analisis REBA Pada Proses Memasukkan Pakaian Kedalam Mesin Pengering di Laundry Sektor Usaha Informal Kecamatan Ciputat Timur Kota Tangerang Selatan Postur A Hasil Skor o Leher Ekstensi 10 2 Leher miring +1 Total Skor Leher 3 o Punggung Fleksi 45 3 Punggung miring +1 Total Skor Punggung 4 Kaki Bertumpu pada kedua kaki 1 Total Skor Kaki 1 Skor Tabel A 6 Beban 1 kg +0 Skor Postur A 6 Hasil Skor Postur B Kiri Kanan Kiri Kanan Lengan Atas Fleksi 110o 4 Skor Lengan Atas 4 o Lengan Bawah Fleksi 75 1 Skor Lengan Bawah 1 Pergelangan Fleksi 5o 1 Tangan Skor Pergelangan Tangan 1 Skor Tabel B 4 Coupling Fair +1 Skor Postur B 5 Skor Tabel C 8 Aktifitas Gerakan berulang >4x permenit +1 Nilai REBA 9 High Nilai Risiko Ergonomi risk Skor leher untuk proses memasukkan pakaian ke dalam mesin pengering adalah 2 ditambah dengan penyesuaian bernilai 1 totalnya menjadi 3. Skor punggung adalah 3 ditambah dengan penyesuaian bernilai 1 totalnya menjadi 4, sedangkan kaki memiliki skor 1. Dari ketiga skor ini diperoleh skor tabel A yaitu 6. Skor beban untuk proses
126
ini adalah 0. Skor Tabel A ditambah skor beban menghasilkan skor postur A yaitu 6. Skor lengan atas bagian kanan adalah 4. Skor lengan bawah adalah 1 dan skor pergelangan tangan adalah 1. Dari ketiga skor tersebut diperoleh skor tabel B yaitu 4. Skor ini ditambah dengan skor coupling yaitu 1 dan total skor Postur B adalah 5. Dari nilai skor postur tubuh A dan skor postur B didapatkan skor tabel C yaitu 8. Skor Tabel C kemudian ditambah dengan nilai aktifitas yaitu 1 sehingga nilai akhir REBA yaitu 8. Nilai 9 berarti proses memasukkan pakaian kedalam mesin pengering memiliki tingkat risiko tinggi (high risk). 3. Mengeluarkan Pakaian Dari Mesin Pengering Analisis REBA pada proses mengeluarkan pakaian dari mesin pengering di laundry sektor usaha informal Kecamatan Ciputat Timur Kota Tangerang Selatan adalah seperti tabel dibawah ini: Tabel 5.10 Analisis REBA Pada Proses Mengeluarkan Pakaian Dari Mesin Pengering di Laundry Sektor Usaha Informal Kecamatan Ciputat Timur Kota Tangerang Selatan Postur A Hasil Skor Leher Ekstensi 15o 2 Leher miring +1 Total Skor Leher 3 Punggung Fleksi 50o 3 Punggung miring +1 Total Skor Punggung 4
127
Kaki
Bertumpu pada kedua kaki Total Skor Kaki Skor Tabel A Beban 1kg Skor Postur A Hasil Postur B Kiri Kanan Lengan Atas Fleksi 120o Skor Lengan Atas Lengan Bawah Fleksi 85o Skor Lengan Bawah Pergelangan Fleksi 10o Tangan Skor Pergelangan Tangan Skor Tabel B Coupling Fair Skor Postur B Skor Tabel C Aktifitas Gerakan berulang >4x permenit Nilai REBA Nilai Risiko Ergonomi
1 1 6 +0 6 Skor Kiri Kanan 4 4 1 1 1 1 4 +1 5 8 +1 9 High risk
Skor leher untuk proses mengeluarkan pakaian dari mesin pengering adalah 2 ditambah dengan penyesuaian bernilai 1 totalnya menjadi 3. Skor punggung adalah 3 ditambah dengan penyesuaian bernilai 1 totalnya menjadi 4, sedangkan kaki memiliki skor 1. Dari ketiga skor ini diperoleh skor tabel A yaitu 6. Skor beban untuk proses ini adalah 0. Skor Tabel A ditambah skor beban menghasilkan skor postur A yaitu 6. Skor lengan atas bagian kanan adalah 4. Skor lengan bawah adalah 1 dan skor pergelangan tangan adalah 1. Dari ketiga skor tersebut diperoleh skor tabel B yaitu 4. Skor ini ditambah dengan skor
128
coupling yaitu 1 dan total skor Postur B adalah 5. Dari nilai skor postur tubuh A dan skor postur B didapatkan skor tabel C yaitu 8. Skor Tabel C kemudian ditambah dengan nilai aktifitas yaitu 1 sehingga nilai akhir REBA yaitu 9. Nilai 9 berarti proses mengeluarkan pakaian dari mesin pengering memiliki tingkat risiko tinggi (high risk). 4. Penjemuran Pakaian Analisis REBA pada proses penjemuran
pakaian di laundry
sektor usaha informal Kecamatan Ciputat Timur Kota Tangerang Selatan adalah seperti tabel dibawah ini: Tabel 5.11 Analisis REBA Pada Proses Penjemuran Pakaian di Laundry Sektor Usaha Informal Kecamatan Ciputat Timur Kota Tangerang Selatan Postur A Hasil Skor Leher Ekstensi 10o 2 Leher berputar +1 Total Skor Leher 3 Punggung Lurus +1 Punggung berputar +1 Total Skor Punggung 2 Kaki Berdiri tidak stabil 2 Total Skor Kaki 2 Skor Tabel A 5 Beban 5 kg +1 Skor Postur A 6 Hasil Skor Postur B Kiri Kanan Kiri Kanan o o Fleksi 45 Fleksi 150 2 4 Lengan Atas Abduksi +1 Skor Lengan Atas 3 4 o o Lengan Bawah Fleksi 110 Fleksi 10 2 2
129
Skor Lengan Bawah Pergelangan 0o 0o Tangan Skor Pergelangan Tangan Skor Tabel B Coupling Fair Skor Postur B Skor Tabel C Aktifitas Tidak terdapat aktifitas berulang Nilai REBA Nilai Risiko Ergonomi
2
2
1
1
1 4 +1 5 8 +0 8 High risk
1 5 +1 6 8 +0 8 High risk
Skor leher untuk proses penjemuran pakaian adalah 2 ditambah dengan penyesuaian bernilai 1 totalnya menjadi 3. Skor punggung adalah 1 ditambah dengan penyesuaian bernilai 1 totalnya menjadi 2 dan kaki memiliki skor 2. Dari ketiga skor ini diperoleh skor tabel A yaitu 5. Skor beban untuk proses ini adalah 1. Skor Tabel A ditambah skor beban menghasilkan skor postur A yaitu 6. Skor lengan atas bagian kiri adalah 2 ditambah dengan penyesuain bernilai 1 totalnya menjadi 3. Skor lengan bawah adalah 2 dan skor pergelangan tangan adalah 1. Dari ketiga skor tersebut diperoleh skor tabel B yaitu 4. Skor ini ditambah dengan skor coupling yaitu 1 dan total skor Postur B adalah 5. Dari nilai skor postur tubuh A dan skor postur B didapatkan skor tabel C yaitu 8. Skor Tabel C kemudian ditambah dengan nilai aktifitas yang bernilai 0 sehingga nilai akhir REBA yaitu 8. Nilai 8 berarti proses penjemuran pakaian pada tangan kiri memiliki tingkat risiko tinggi (high risk)
130
Skor lengan atas bagian kanan adalah 4, sedangkan skor lengan bawah adalah 2. Skor pergelangan tangan adalah 1. Dari ketiga skor tersebut diperoleh skor tabel B yaitu 5. Skor ini ditambah dengan skor coupling yaitu 1 dan total skor Postur B adalah 6. Dari nilai skor postur tubuh A dan skor postur B didapatkan skor tabel C yaitu 8. Skor Tabel C kemudian ditambah dengan nilai aktifitas yang bernilai 0 sehingga nilai akhir REBA yaitu 8. Nilai 8 berarti proses penjemuran pakaian pada tangan kanan memiliki tingkat risiko tinggi (high risk) 5.5.4. Setrika dan Pelipatan 1. Posisi Berdiri Menggunakan Meja Setrika Tanpa Kursi Analisis REBA pada proses setrika dan pelipatan dengan posisi berdiri menggunakan meja setrika tanpa kursi di laundry sektor usaha informal Kecamatan Ciputat Timur Kota Tangerang Selatan adalah seperti tabel dibawah ini: Tabel 5.12 Analisis REBA Pada Proses Setrika Dan Pelipatan Dengan Posisi Berdiri Menggunakan Meja Setrika Tanpa Kursi di Laundry Sektor Usaha Informal Kecamatan Ciputat Timur Kota Tangerang Selatan Postur A Hasil Skor o Leher Fleksi 40 2 Leher berputar +1 Total Skor Leher 3 Punggung Fleksi 10o 2 Punggung miring +1 Punggung berputar +1 Total Skor Punggung 4 Kaki Bertumpu pada kedua kaki 1
131
Total Skor Kaki Skor Tabel A Beban 2,5 kg Skor Postur A Hasil Postur B Kiri Kanan Fleksi 10o Fleksi 35o Lengan Atas Abduksi Abduksi Skor Lengan Atas Lengan Bawah Fleksi 60o Fleksi 15o Skor Lengan Bawah Pergelangan Fleksi 5o Fleksi 5o Tangan Skor Pergelangan Tangan Skor Tabel B Coupling Good Skor Postur B Skor Tabel C Salah satu/lebih bagian tubuh Aktifitas statis >1 menit Gerakan berulang >4x permenit Nilai REBA Nilai Risiko Ergonomi
1 6 +0 6 Skor Kiri Kanan 1 2 +1 +1 2 3 2 2 2 2 1
1
1 2 +0 2 6
1 4 +0 4 7
+1
+1
7
+1 9 High risk
Skor leher untuk proses setrika dan pelipatan pakaian dengan posisi berdiri adalah 2 ditambah dengan penyesuaian bernilai 1 totalnya menjadi 3. Skor punggung adalah 2 ditambah dengan penyesuaian bernilai 2 totalnya menjadi 4 dan kaki memiliki skor 1. Dari ketiga skor ini diperoleh skor tabel A yaitu 6. Skor beban untuk proses ini adalah 0. Skor Tabel A ditambah skor beban menghasilkan skor postur A yaitu 6. Skor lengan atas bagian kiri adalah 1 ditambah dengan penyesuaian bernilai 1 totalnya menjadi 2. Skor lengan bawah adalah 2
132
dan skor pergelangan tangan adalah 1. Dari ketiga skor tersebut diperoleh skor tabel B yaitu 2. Skor ini ditambah dengan skor coupling yaitu 0 dan total skor Postur B adalah 2. Dari nilai skor postur tubuh A dan skor postur B didapatkan skor tabel C yaitu 6. Skor Tabel C kemudian ditambah dengan nilai aktifitas yang bernilai 1 sehingga nilai akhir REBA yaitu 7. Nilai 7 berarti proses setrika dan pelipatan dengan posisi berdiri pada tangan kiri memiliki tingkat risiko sedang (medium risk) Skor lengan atas bagian kanan adalah 2 ditambah dengan penyesuaian bernilai 1 totalnya menjadi 3. Skor lengan bawah adalah 2 dan skor pergelangan tangan adalah 1. Dari ketiga skor tersebut diperoleh skor tabel B yaitu 4. Skor ini ditambah dengan skor coupling yaitu 0 dan total skor Postur B adalah 4. Dari nilai skor postur tubuh A dan skor postur B didapatkan skor tabel C yaitu 7. Skor Tabel C kemudian ditambah dengan nilai aktifitas yang bernilai 2 sehingga nilai akhir REBA yaitu 9. Nilai 9 berarti proses setrika dan pelipatan dengan posisi berdiri pada tangan kanan memiliki tingkat risiko tinggi (high risk) 2. Posisi Duduk Menggunakan Meja Setrika dan Kursi Dengan Sandaran Punggung
133
Analisis REBA pada proses setrika dan pelipatan dengan posisi duduk menggunakan meja setrika dan kursi dengan sandaran punggung di laundry sektor usaha informal Kecamatan Ciputat Timur Kota Tangerang Selatan adalah seperti tabel dibawah ini: Tabel 5.13 Analisis REBA Pada Proses Setrika dan Pelipatan Dengan Posisi Duduk Menggunakan Meja Setrika dan Kursi Dengan Sandaran Punggung di Laundry Sektor Usaha Informal Kecamatan Ciputat Timur Kota Tangerang Selatan Postur A Hasil Skor o Leher Fleksi 5 1 Leher berputar +1 Total Skor Leher 2 Punggung Fleksi 5o 2 Punggung berputar +1 Total Skor Punggung 3 Kaki Duduk 1 Total Skor Kaki 1 Skor Tabel A 4 Beban 2 kg +0 Skor Postur A 4 Hasil Skor Postur B Kiri Kanan Kiri Kanan o Fleksi 80 3 Lengan Atas Abduksi +1 Skor Lengan Atas 4 o Lengan Bawah Fleksi 30 2 Skor Lengan Bawah 2 Pergelangan Fleksi 5o 1 Tangan Skor Pergelangan Tangan 1 Skor Tabel B 5 Coupling Fair +1 Skor Postur B 6 Skor Tabel C 6 Aktifitas Gerakan berulang >4x permenit +1 Salah satu/lebih dari anggota +1 tubuh statis >1 menit Nilai REBA 8
134
Nilai Risiko Ergonomi
High risk
Skor leher untuk proses setrika dan pelipatan dengan posisi duduk menggunakan meja setrika dan kursi dengan sandaran punggung adalah 1 ditambah dengan penyesuaian bernilai 1 totalnya menjadi 2. Skor punggung adalah 2 ditambah dengan penyesuaian bernilai 1 totalnya menjadi 3, sedangkan kaki memiliki skor 1. Dari ketiga skor ini diperoleh skor tabel A yaitu 4. Skor beban untuk proses ini adalah 0. Skor Tabel A ditambah skor beban menghasilkan skor postur A yaitu 4. Skor lengan atas bagian kanan adalah 3 ditambah dengan penyesuaian bernilai 1 totalnya menjadi 4. Skor lengan bawah adalah 2 dan skor pergelangan tangan adalah 1. Dari ketiga skor tersebut diperoleh skor tabel B yaitu 5. Skor ini ditambah dengan skor coupling yaitu 1 dan total skor Postur B adalah 6. Dari nilai skor postur tubuh A dan skor postur B didapatkan skor tabel C yaitu 6. Skor Tabel C kemudian ditambah dengan nilai aktifitas yaitu 2 sehingga nilai akhir REBA yaitu 8. Nilai 8 berarti proses setrika dan pelipatan dengan posisi duduk menggunakan meja setrika dan kursi dengan sandaran punggung memiliki tingkat risiko tinggi (high risk).
135
3. Posisi Duduk Menggunakan Meja Setrika dan Kursi Tanpa Sandaran Punggung Analisis REBA pada proses setrika dan pelipatan dengan posisi duduk menggunakan meja setrika dan kursi tanpa sandaran punggung di laundry sektor usaha informal Kecamatan Ciputat Timur Kota Tangerang Selatan adalah seperti tabel dibawah ini: Tabel 5.14 Analisis REBA Pada Proses Setrika dan Pelipatan Dengan Posisi Duduk Menggunakan Meja Setrika dan Kursi Tanpa Sandaran Punggung di Laundry Sektor Usaha Informal Kecamatan Ciputat Timur Kota Tangerang Selatan Postur A Hasil Skor o Leher Fleksi 10 1 Leher berputar +1 Total Skor Leher 2 o Punggung Fleksi 15 2 Punggung berputar +1 Total Skor Punggung 3 Kaki Duduk 1 Total Skor Kaki 1 Skor Tabel A 4 Beban 2,5 kg +0 Skor Postur A 4 Hasil Skor Postur B Kiri Kanan Kiri Kanan Fleksi 60o Fleksi 68o 3 3 Lengan Atas Abduksi Abduksi +1 +1 Skor Lengan Atas 4 4 Lengan Bawah Fleksi 40o Fleksi 30o 2 2 Skor Lengan Bawah 2 2 Fleksi 10o Fleksi 10o 1 1 Pergelangan Tangan Skor Pergelangan Tangan 1 1 Skor Tabel B 5 5 Coupling Good +0 +0 Skor Postur B 5 5
136
Aktifitas
Skor Tabel C Gerakan berulang >4x permenit Salah satu/lebih dari anggota tubuh statis >1 menit Nilai REBA Nilai Risiko Ergonomi
5 +1
5 +1
+1
+1
7 Medium risk
7 Medium risk
Skor leher untuk proses setrika dan pelipatan dengan posisi duduk menggunakan meja setrika dan kursi tanpa sandaran punggung adalah 1 ditambah dengan penyesuaian bernilai 1 totalnya menjadi 2. Skor punggung adalah 2 ditambah dengan penyesuaian bernilai 1 totalnya menjadi 3 dan kaki memiliki skor 1. Dari ketiga skor ini diperoleh skor tabel A yaitu 4. Skor beban untuk proses ini adalah 0. Skor Tabel A ditambah skor beban menghasilkan skor postur A yaitu 4. Skor lengan atas bagian kiri adalah 3 ditambah dengan penyesuaian bernilai 1 totalnya menjadi 4. Skor lengan bawah adalah 2 dan skor pergelangan tangan adalah 1. Dari ketiga skor tersebut diperoleh skor tabel B yaitu 5. Skor ini ditambah dengan skor coupling yaitu 0 dan total skor Postur B adalah 5. Dari nilai skor postur tubuh A dan skor postur B didapatkan skor tabel C yaitu 5. Skor Tabel C kemudian ditambah dengan nilai aktifitas yang bernilai 2 sehingga nilai akhir REBA yaitu 7. Nilai 7 berarti proses setrika dan pelipatan dengan posisi duduk menggunakan meja setrika dan kursi tanpa sandaran punggung pada tangan kiri memiliki tingkat risiko sedang (medium risk)
137
Skor lengan atas bagian kanan adalah 3 ditambah dengan penyesuaian bernilai 1 totalnya menjadi 4. Skor lengan bawah adalah 2 dan skor pergelangan tangan adalah 1. Dari ketiga skor tersebut diperoleh skor tabel B yaitu 5. Skor ini ditambah dengan skor coupling yaitu 0 dan total skor Postur B adalah 5. Dari nilai skor postur tubuh A dan skor postur B didapatkan skor tabel C yaitu 5. Skor Tabel C kemudian ditambah dengan nilai aktifitas yang bernilai 2 sehingga nilai akhir REBA yaitu 7. Nilai 7 berarti proses setrika dan pelipatan dengan posisi duduk menggunakan meja setrika dan kursi tanpa sandaran punggung pada tangan kanan memiliki tingkat risiko sedang (medium risk) 5.5.5. Pengemasan 1. Pengemasan Dengan Posisi Berdiri Analisis REBA pada proses pengemasan dengan posisi berdiri di laundry sektor usaha informal kecamatan Ciputat Timur Kota Tangerang Selatan adalah seperti tabel dibawah ini: Tabel 5.15 Analisis REBA Pada Proses Pengemasan Dengan Posisi Berdiri di Laundry Sektor Usaha Informal Kecamatan Ciputat Timur Kota Tangerang Selatan Postur A Hasil Skor Leher Fleksi 10o 1 Leher berputar +1 Total Skor Leher 2 Punggung Fleksi 10o 2
138
Punggung berputar Total Skor Punggung Kaki Bertumpu pada kedua kaki Total Skor Kaki Skor Tabel A Beban 0.5 kg Skor Postur A Hasil Postur B Kiri Kanan o Fleksi 40 Fleksi 40o Lengan Atas Abduksi Skor Lengan Atas Lengan Bawah Fleksi 30o Fleksi 45o Skor Lengan Bawah Pergelangan Fleksi 5o Fleksi 5o Tangan Skor Pergelangan Tangan Skor Tabel B Coupling Good Skor Postur B Skor Tabel C Tidak terdapat aktifitas yang Aktifitas berulang Nilai REBA Nilai Risiko Ergonomi
+1 3 1 1 4 +0 4 Skor Kiri Kanan 2 2 +1 3 2 2 2 2 2 1
1
1 4 +0 4 4
1 2 +0 2 4
+0
+0
4 Medium risk
4 Medium risk
Skor leher untuk proses pengemasan dengan posisi berdiri adalah 1 ditambah dengan penyesuaian bernilai 1 totalnya menjadi 2. Skor punggung adalah 2 ditambah dengan penyesuaian bernilai 1 totalnya menjadi 3 dan kaki memiliki skor 1. Dari ketiga skor ini diperoleh skor tabel A yaitu 4. Skor beban untuk proses ini adalah 0. Skor Tabel A ditambah skor beban menghasilkan skor postur A yaitu 4. Skor lengan atas bagian kiri adalah 2 ditambah dengan penyesuaian bernilai 1 totalnya menjadi 3. Skor lengan bawah adalah 2
139
dan skor pergelangan tangan adalah 1. Dari ketiga skor tersebut diperoleh skor tabel B yaitu 4. Skor ini ditambah dengan skor coupling yaitu 0 dan total skor Postur B adalah 4. Dari nilai skor postur tubuh A dan skor postur B didapatkan skor tabel C yaitu 4. Skor Tabel C kemudian ditambah dengan nilai aktifitas yang bernilai 0 sehingga nilai akhir REBA yaitu 4. Nilai 4 proses pengemasan dengan posisi berdiri pada tangan kiri memiliki tingkat risiko sedang (medium risk) Skor lengan atas bagian kanan adalah 2. Skor lengan bawah adalah 2 dan skor pergelangan tangan adalah 1. Dari ketiga skor tersebut diperoleh skor tabel B yaitu 2. Skor ini ditambah dengan skor coupling yaitu 0 dan total skor Postur B adalah 2. Dari nilai skor postur tubuh A dan skor postur B didapatkan skor tabel C yaitu 4. Skor Tabel C kemudian ditambah dengan nilai aktifitas yang bernilai 0 sehingga nilai akhir REBA yaitu 4. Nilai 4 berarti pengemasan dengan posisi berdiri pada tangan kanan memiliki tingkat risiko sedang (medium risk)
2. Pengemasan Dengan Posisi Duduk di Lantai Analisis REBA pada proses pengemasan dengan posisi duduk dilantai di laundry sektor usaha informal Kecamatan Ciputat Timur Kota Tangerang Selatan adalah seperti tabel dibawah ini:
140
Tabel 5.16 Analisis REBA Pada Proses Pengemasan Dengan Posisi Duduk Dilantai di Laundry Sektor Usaha Informal Kecamatan Ciputat Timur Kota Tangerang Selatan Postur A Hasil Skor o Leher Fleksi 5 1 Total Skor Leher 1 Punggung Fleksi 30o 3 Punggung Miring +1 Total Skor Punggung 4 Kaki Duduk 1 Total Skor Kaki 1 Skor Tabel A 3 Beban 0.5 kg +0 Skor Postur A 3 Hasil Skor Postur B Kiri Kanan Kiri Kanan o Lengan Atas Fleksi 50 3 Skor Lengan Atas 3 Lengan Bawah Fleksi 65o 1 Skor Lengan Bawah 1 Pergelangan Fleksi 5o 1 Tangan Skor Pergelangan Tangan 1 Skor Tabel B 3 Coupling Good +0 Skor Postur B 3 Skor Tabel C 3 Aktifitas Tidak ada aktifitas berulang +0 Nilai REBA 3 Nilai Risiko Ergonomi Low risk Skor leher untuk proses pengemasan dengan posisi duduk dilantai adalah
1. Skor punggung adalah 3 ditambah dengan penyesuaian
bernilai 1 totalnya menjadi 4 dan kaki memiliki skor 1. Dari ketiga skor ini diperoleh skor tabel A yaitu 3. Skor beban untuk proses ini adalah 0. Skor Tabel A ditambah skor beban menghasilkan skor postur A yaitu 3.
141
Skor lengan atas bagian kiri adalah 3. Skor lengan bawah adalah 1 dan skor pergelangan tangan adalah 1. Dari ketiga skor tersebut diperoleh skor tabel B yaitu 3. Skor ini ditambah dengan skor coupling yaitu 0 dan total skor Postur B adalah 3. Dari nilai skor postur tubuh A dan skor postur B didapatkan skor tabel C yaitu 3. Skor Tabel C kemudian ditambah dengan nilai aktifitas yang bernilai 0 sehingga nilai akhir REBA yaitu 3. Nilai 3 proses pengemasan dengan posisi duduk dilantai memiliki tingkat risiko rendah (low risk)
BAB VI PEMBAHASAN
6.1. Keterbatasan Penelitian Pada penelitian tingkat risiko ergonomi ini memiliki beberapa keterbatasan-keterbatasan diantaranya adalah sebagai berikut : 1. Penelitian ini hanya menilai faktor pekerjaan tiap aktifitas kerja pada proses laundry, tanpa melihat faktor individu atau personal, faktor lingkungan dan faktor psikososial. 2. Penelitian ini tidak mengidentifikasi secara rinci dimensi fisik tempat kerja serta tidak melakukan pengukuran antropometri pekerja dan human diversity. 3. Metode yang digunakan dalam penelitian ini tidak bisa mengukur gerakan pergerakan tangan dan penggunaan otot.
6.2. Pembahasan Langkah Kerja Setiap langkah kerja di laundry sektor usaha informal memiliki faktor risiko yang dapat menyebabkan MSDs yaitu : 6.2.1. Penimbangan 1. Penimbangan Menggunakan Timbangan Pegas
142
143
Pada proses penimbangan menggunakan timbangan pegas, faktor risiko ergonomi yang dapat menyebabkan gangguan muskuloskeletal adalah postur janggal. Salah satu faktor penyebab terjadinya gangguan muskuloskeletal adalah postur janggal. Menurut Bernad (1997) bahwa postur menunjukkan hubungan
yang kuat sebagai faktor yang
berkontribusi terhadap terjadinya masalah muskuloskeletal dan menimbulkan terjadinya gangguan leher, punggung dan bahu. Dalam menjalankan aktifitas penimbangan ini, pekerja dalam posisi berdiri pada kedua kaki disertai posisi punggung yang lurus. Menurut Santoso (2004), bahwa bekerja dalam posisi berdiri pada awal kerja sampai akhir kerja, tubuh semakin condong ke depan akibatnya tubuh memerlukan tambahan energi. Posisi leher membentuk sudut fleksi 20o dan disertai leher berputar. Posisi ini dikarenakan pekerja harus mengangkat bahan pakaian yang digantung pada ujung timbangan pegas untuk diukur bebannya. Menurut Grandjean (1987) yang disadur oleh Bridger (1995) yang menyatakan bahwa kepala dan leher tidak boleh dalam keadaan fleksi dan ekstensi lebih dari 15o dan jika hal ini terjadi maka postural stress tidak dapat dihindari. Postural stress ini akhirnya dapat menimbulkan rasa nyeri. Rasa nyeri tersebut dapat diperburuk dengan keadaan posisi leher fleksi dan berotasi.
144
Postur lengan atas pada aktifitas ini memiliki risiko yang cukup besar dikarenakan pada kegiatan ini postur lengan lengan membentuk fleksi sebesar 50o dan terdapat gerakan abduksi yaitu gerakan posisi lengan yang menjauhi tubuh. Risiko ini akan menyebabkan tekanan pada otot leher dan bahu dimana semakin besar sudut yang dibentuk oleh lengan, maka hal itu akan memperbesar risiko terhadap gangguan muskuloskeletal. Menurut Pheasant (1991) bahwa posisi bahu yang ditinggikan atau posisi lengan yang dijauhkan (abduksi) dapat menyebabkan gangguan pada leher (neck pain). Postur lengan bawah yang membentuk fleksi sebesar 50o memiliki risiko yang cukup tinggi. Postur tersebut terbentuk karena posisi alat timbangan yang harus diangkat oleh pekerja. Menurut Bridger (1995), sudut < 60o pada bagian lengan bawah menyebabkan tekana pada otot antagonis yang terdapat pada lengan bawah. Postur pergelangan tangan memiliki risiko karena membentuk fleksi 10o yang disertai dengan posisi yang miring ke samping ketika memegang timbangan. Postur ini dinilai masih dapat diterima. Hal ini sesuai dengan pendapat Brumfield dan Campoux (1984) dalam Kumar (2001) posisi 10o fleksi dan 35o ekstensi merupakan posisi yang masih dapat diterima pada sendi pergelangan tangan dalam melakukan kegiatan normal sehari-hari.
145
Pada saat melakukan proses penimbangan, postur genggaman pekerja ketika memegang alat timbangan tergolong cukup baik karena menggunakan kekuatan jari (finger grip) sehingga keadaan ini dapat dikategorikan fair.
Hal tersebut memiliki risiko ergonomi karena
mengangkat objek tidak boleh hanya dengan mengandal kekuatan jari terbatas sehingga dapat cidera pada jari (Kumar, 2001). Beban yang diangkat pekerja ketika proses penimbangan masih dibawah 5 kg. Hal ini masih dapat diterima dan belum memiliki risiko. Menurut rekomendasi Humantech (1995) bahwa beban yang berisiko apabila beban yang diangkat lebih dari dengan 4,5 kg. Nilai akhir REBA pada proses ini pada bagian tubuh sebelah kanan adalah 4. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat risiko pada proses penimbangan memiliki risiko sedang (medium risk). Menurut Sue Hignett dan Mc Attamney (2000), kegiatan yang tergolong dalam risiko sedang memerlukan investigasi lebih lanjut dan dibutuhkan perubahan pada kegiatan ini. Walaupun risiko ini tergolong dalam risiko sedang, tetapi apabila pekerja terpajan risiko secara terusmenerus tanpa ada perubahan, maka akibat yang ditimbulkan dari risiko ini dapat terakumulasi dan menyebabkan MSDs pada pekerja dalam jangka panjang.
146
2. Penimbangan Dengan Timbangan Biasa Pada proses penimbangan yang menggunakan timbangan biasa, faktor
risiko
ergonomi
yang
dapat
menyebabkan
gangguan
muskuloskeletal adalah postur janggal. Salah satu faktor penyebab terjadinya gangguan muskuloskeletal adalah postur janggal. Menurut Vernon (1924) dalam Bridger (2003), faktor postural dalam setiap bentuk
akfitas
fisik
menyebabkan
kelelahan
dan
gangguan
muskuloskeletal. Dalam menjalankan aktifitas penimbangan ini, pekerja dalam posisi berdiri pada kedua kaki disertai posisi punggung yang lurus dan gerakan punggung yang memutar. Menurut Bridger (2003) postur ekstrim pada punggung dapat menyebabkan peregangan pada lumbar dan penekanan otot perut sehingga terjadi kompresi tulang belakang. Posisi alat timbangan yang berada diatas meja memudahkan pekerja dalam proses ini sehingga posisi leher hanya membentuk sudut fleksi 25o. Menurut Grandjean (1993) jika landasan terlalu tinggi, maka pekerja akan mengangkat bahu untuk menyesuaikan dengan ketinggian landasan kerja sehingga menyebabkan sakit pada bahu dan leher. Sebaliknya bila landasan terlalu rendah maka tulang belakang akan membungkuk sehingga menyebabkan kenyerian pada bagian belakang (backache).
147
Postur lengan atas pada proses ini membentuk sudut fleksi sebesar 70o untuk sebelah kiri, sedangkan bagian kanan terbentuk fleksi sebesar 75o. Postur ini disebabkan posisi beban yang harus diletakkan diatas timbangan. Sesuai dengan pendapat Sue Hignett dan Mc Attamney (2000) bahwa sudut lengan atas lebih dari 20o memiliki risiko ergonomi walaupun sudut lebih dari 90o lebih tinggi risikonya. Postur lengan bawah membentuk fleksi sebesar 30o untuk sebelah kiri dan bagian kanan membentuk fleksi 35o.. Postur ini dilakukan untuk menahan pergerakan beban Menurut Bridger (1995), sudut < 60o pada bagian lengan bawah menyebabkan tekanan pada otot antagonis yang terdapat pada lengan bawah. Postur pergelangan tangan membentuk fleksi sebesar 10o pada bagian kanan serta fleksi sebesar 20o yang disertai dengan posisi yang miring. Posisi ini disebabkan karena pergelangan tangan harus memegang beban yang tidak memiliki pegangan untuk kedua tangan pekerja. Hal ini sesuai dengan pendapat Brumfield dan Campoux (1984) dalam Kumar (2001) posisi 10o fleksi dan 35o ekstensi merupakan posisi yang masih dapat diterima pada sendi pergelangan tangan dalam melakukan kegiatan normal sehari-hari. Pada saat melakukan proses penimbangan, postur genggaman pekerja ketika memegang alat timbangan tergolong kurang baik. Hal
148
ini dikarenakan ketika kemasan pembungkus pakaian yang diberikan oleh pelanggan kepada pekerja laundry tidak memiliki desain kemasan pembungkus yang memiliki pegangan yang baik. Menurut Bridger (2003) desain peralatan yang kurang baik dapat menyebabkan tekanan pada ujung organ tubuh yang mendorong terjadinya injury. Beban yang diangkat pekerja ketika proses penimbangan menggunakan timbangan ini berada pada berat 5-10 kg. Hal ini memiliki risiko ergonomi. Menurut rekomendasi Humantech (1995) bahwa beban yang berisiko apabila beban yang diangkat lebih dari dengan 4,5 kg. Nilai akhir REBA pada proses ini untuk bagian tubuh sebelah kiri adalah 6 sedangkan pada bagian tubuh sebelah kanan adalah 7. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat risiko pada proses penimbangan memiliki risiko sedang (medium risk). Menurut Sue Hignett dan Mc Attamney (2000), kegiatan yang tergolong dalam risiko sedang memerlukan investigasi lebih lanjut dan dibutuhkan perubahan pada kegiatan ini. Walaupun risiko ini tergolong dalam risiko sedang, tetapi apabila pekerja terpajan risiko secara terus-menerus tanpa ada perubahan, maka akibat yang ditimbulkan dari risiko ini dapat terakumulasi dan menyebabkan MSDs pada pekerja dalam jangka panjang.
149
6.2.2. Pencucian dan Pemerasan 1. Memasukkan Pakaian Kedalam Mesin Cuci Pada proses memasukkan pakaian ke dalam mesin cuci, faktor risiko ergonomi yang dapat menyebabkan gangguan muskuloskeletal adalah postur janggl dan gerakan berulang dengan frekuensi >4x permenit.Menurut DiNardi dalam Laraswati (2009), pekerjaan yang dilakukan dengan postur janggal, kerja statis dan gerakan repetitive merupakan faktor risiko terjadinya MSDs. Posisi leher pada kegiatan ini menunduk sebesar 35o. Posisi ini terjadi karena pekerja harus melihat pakaian yang dimasukkan ke dalam mesin cuci. Menurut Grandjean (1987) yang disadur oleh Bridger (1995) yang menyatakan bahwa kepala dan leher tidak boleh dalam keadaan fleksi dan ekstensi lebih dari 15o dan jika hal ini terjadi maka postural stress tidak dapat dihindari. Posisi punggung dalam keadaan lurus, namun dalam keadaan miring. Posisi ini disebabkan karena perbedaan posisi tangan, dimana tangan kanan mengambil pakaian dari wadah
pakaian sedangkan
posisi tangan kiri memasukkan pakaian kedalam mesin cuci. Menurut Bridger (2003) postur ekstrim pada punggung dapat menyebabkan peregangan pada lumbar dan penekanan otot perut sehingga terjadi kompresi tulang belakang.
150
Posisi kaki pada proses ini adalah berdiri dengan kedua kaki. Saat berdiri dengan kedua kaki ditopang seimbang oleh kedua kaki dan tubuh dalam keadaan stabil. Menurut metode yang dikembangkan Sue Hignett dan Mc Attamney (2000), posisi berdiri menggunakan 2 kaki dengan keadaan stabil memiliki nilai risiko yang lebih kecil dibandingkan dengan berdiri dengan 1 kaki. Beban yang diangkat oleh pekerja ketika memasukkan pakaian kedalam mesin cuci kurang dari 5 kg. Hal ini masih dapat diterima dan belum memiliki risiko. Menurut rekomendasi Humantech (1995) bahwa beban yang berisiko apabila beban yang diangkat lebih dari dengan 4,5 kg. Postur lengan atas pada proses ini membentuk sudut fleksi 10o yang disertai dengan gerakan lengan yang menjauhi pusat tubuh (abduksi). Postur ini disebabkan karena pakaian yang akan dimasukkan ke dalam mesin cuci memiliki desain yang berbeda-beda. Menurut Pheasant (1991) bahwa posisi bahu ditinggikan atau lengan dijauhkan juga menyebabkan neck pain. Postur lengan bawah membentuk fleksi sebesar 135o . Postur ini disebabkan karena desain bukaan mesin cuci yang digunakan, dimana pekerja harus menyesuaikan ketinggian bukaan mesin cuci
ketika
151
akan memasukkan pakaian. Menurut Nurmianto (1998) sudut yang optimal untuk lengan bawah berada berkisar antara 90o – 120o. Pergelangan tangan membentuk fleksi sebesar 10o. Postur ini disebabkan pada saat mengambil pakaian, pergelangan tangan sering dalam posisi membentuk sudut baik pada pergelangan tangan kanan maupun kiri Menurut Brumfield dan Champoux (1984) dalam Kumar (2001) posisi 10o fleksi dan 35o ekstensi merupakan posisi yang masih dapat diterima pada sendi pergelangan tangan melakukan aktivitas sehari-hari. Postur genggaman pekerja ketika memasukkan pakaian kedalam mesin cuci cukup baik karena menggunakan kekuatan jari (finger grip) sehingga keadaan ini dapat dikategorikan fair. Hal tersebut memiliki risiko ergonomi karena mengangkat objek tidak boleh hanya dengan mengandal kekuatan jari terbatas sehingga dapat cidera pada jari (Kumar,2001). Tambahan risiko nilai aktifitas pada proses ini juga terjadi karena adanya kegiatan yang bersifat berulang-ulang pada bagian punggung, leher, lengan atas, lengan bawah dan pergelangan tangan untuk mengambil cucian kotor dari wadah pakaian yang berada disebelah mesin cuci. Kegiatan ini menimbulkan risiko karena pekerja melakukannya berulang lebih dari 4x permenit. Berdasarkan metode
152
REBA yang dikembangkan oleh Sue Hignett dan Mc Attamney (2000) kegiatan yang menghendaki gerakan yang berulang >4x permenit menambah risiko ergonomi. Nilai akhir REBA pada kegiatan ini untuk bagian tubuh sebelah kiri adalah 4. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat risiko pada proses memasukkan pakaian kedalam mesin cuci memiliki risiko sedang (medium risk). Menurut Sue Hignett dan Mc Attamney (2000), kegiatan yang tergolong dalam risiko sedang memerlukan investigasi lebih lanjut dan dibutuhkan perubahan pada kegiatan ini. Walaupun risiko ini tergolong dalam risiko sedang, tetapi apabila pekerja terpajan risiko secara terus-menerus tanpa ada perubahan, maka akibat yang ditimbulkan dari risiko ini dapat terakumulasi dan menyebabkan MSDs pada pekerja dalam jangka panjang. 2. Mengeluarkan Pakaian Dari Mesin Cuci Pada proses mengeluarkan cucian dari mesin cuci faktor risiko ergonomi yang dapat menyebabkan gangguan muskuloskeletal adalah postur janggal dan gerakan berulang dengan frekuensi lebih dari 4 kali permenit. Postur leher pekerja membentuk fleksi sebesar 18o yang disertai dengan leher miring dan berputar. Postur ini terjadi karena pekerja harus melihat posisi pakaian yang akan dikeluarkan dari mesin cuci
153
untuk selanjutnya diletakkan pada wadah pakaian. Bernad (1997) bahwa postur menunjukan bukti yang kuat sebagai faktor yang berkontribusi terhadap MSDs dan menimbulkan terjadinya gangguan leher, punggung dan bahu. Postur punggung pekerja dalam keadaan lurus namun dalam keadaan miring. Postur ini terjadi karena pekerja harus mengangkat pakaian yang dikeluarkan dari mesin cuci untuk selanjutnya diletakkan pada wadah pakaian yang berada dibawah. Proses ini dilakukan dengan berdiri pada kedua kaki. Menurut Bridger (2003) postur ekstrim pada punggung dapat menyebabkan peregangan pada lumbar dan penekanan otot perut sehingga terjadi kompresi tulang belakang. Beban yang diangkat pada proses ini masih berada di bawah 5 kg. Berat beban berasal dari pakaian yang harus diangkat masih dalam keadaan basah. Hal ini masih dapat diterima dan belum memiliki risiko. Menurut rekomendasi Humantech (1995) bahwa beban yang berisiko apabila beban yang diangkat lebih dari dengan 4,5 kg. Lengan atas kiri membentuk fleksi 25o. Postur ini terjadi karena posisi lengan pekerja ketika mengeluarkan pakaian dari mesin cuci sejajar dengan tinggi bukaan mesin cuci. Berdasarkan metode REBA yang dikembangkan oleh Sue Hignett dan Mc Atamney (2000) posisi ini memberikan risiko lebih besar pada lengan atas karena semakin
154
besar sudut yang dibentuk maka posisi tangan akan semakin jauh dengan tubuh dan itu merupakan posisi yang berisiko. Lengan bawah pada bagian kiri membentuk fleksi sebesar 110o. hal ini disebabkan
pakaian yang harus diangkat harus melewati
bukaan yang berada diatas mesin cuci. Menurut Nurmianto (1998) sudut yang optimal untuk lengan bawah berada berkisar antara 90o – 120o. Pada saat mengambil pakaian, pergelangan tangan sering dalam posisi membentuk sudut baik pada pergelangan tangan kanan maupun kiri. Saat melakukan proses ini, pergelangan tangan kiri pekerja membentuk fleksi sebesar 30o yang disertai deviasi ulnar atau pergelangan tangan miring kearah kelingking. Posisi ini berisiko karena menurut Sue Hignett dan Mc Attamney (2000) bahwa sudut >15o memiliki risiko terhadap MSDs. Tambahan risiko nilai aktifitas pada proses ini juga terjadi karena adanya gerakan berulang pada bagian punggung, leher , lengan atas dan bawah serta pergelangan tangan yang dilakukan saat mengambil pakaian yang telah dicuci dari dalam mesin. Aktifitas ini dilakukan berulang lebih dari 4 kali permenit maka kegiatan ini dapat dikategorikan sebagai kegiatan yang berisiko. Berdasarkan metode REBA menurut Sue Hignett dan Mc Attamney (2000) kegiatan yang
155
menghendaki gerakan berulang lebih dari 4 kali permenit menambah risiko terhadap gangguan muskuloskeletal. Nilai akhir REBA untuk sebelah kiri pada proses ini yaitu 6 yang berarti memiliki risiko sedang. Menurut Sue Hignett dan Mc Attamney (2000) risiko sedang berarti kegiatan ini memerlukan investigasi lebih lanjut dan dibutuhkan perubahan pada kegiatan ini. Walaupun risiko ini tergolong sedang, tetapi apabila pekerja terpapar secara terus menerus tanpa ada perubahan, maka akibat yang ditimbulkan dari risiko
ini
dapat
terakumulasi
dan
menyebabkan
gangguan
muskuloskeletal pada pekerja dalam jangka panjang. 3. Pembilasan Pakaian Pada proses pembilasan pakaian, faktor risiko ergonomi yang dapat menyebabkan gangguan muskuloskeletal adalah postur janggal dan gerakan berulang dengan frekuensi lebih dari 4 kali permenit. Postur leher pekerja membentuk fleksi sebesar 15o yang disertai dengan leher miring. Postur ini terjadi karena posisi pekerja dalam memilih pakaian yang akan diperas di dalam wadah pembilasan. Menurut Grandjean (1987) yang disadur oleh Bridger (1995) yang menyatakan bahwa kepala dan leher tidak boleh dalam keadaan fleksi dan ekstensi lebih dari 15o dan jika hal ini terjadi maka postural stress tidak dapat dihindari.
156
Postur punggung pekerja membentuk fleksi 10o dan disertai dengan keadaan miring dan berputar. Postur ini terjadi karena selama proses pembilasan, pekerja harus memasukkan dan mengeluarkan pakaian yang dibilas di dalam wadah pembilasan. Proses ini dilakukan dengan berdiri pada kedua kaki. Menurut Bridger (1995) risiko LBP meningkat 15% pada keadaan fleksi pada bagian punggung. Beban yang diangkat pada proses ini masih berada di bawah 5 kg. Berat beban berasal dari pakaian yang dibilas dalam keadaan basah.
Hal ini masih dapat diterima dan belum memiliki risiko.
Menurut rekomendasi Humantech (1995) bahwa beban yang berisiko apabila beban yang diangkat lebih dari dengan 4,5 kg. Lengan atas bagian kiri membentuk postur fleksi sebesar 30 yang disertai dengan gerakan abduksi yaitu gerakan lengan yang menjauhi pusat tubuh. Postur ini terjadi karena ketika dalam proses pembilasan, pekerja membutuhkan tenaga untuk memeras pakaian. Menurut pendapat Sue Hignett dan Mc Attamney (2000) bahwa sudut lengan atas lebih dari 20o memiliki risiko ergonomi walaupun sudut lebih dari 90o lebih tinggi risikonya. Lengan bawah pada bagian kiri membentuk fleksi sebesar 110o. Hal ini disebabkan posisi tangan ketika memeras pakaian harus mendekati posisi ketinggian air yang ada di dalam wadah pembilasan.
157
Menurut Nurmianto (1998) sudut yang optimal untuk lengan bawah berada berkisar antara 90o – 120o. Pada saat membilas pakaian, pergelangan tangan sering dalam posisi membentuk sudut baik pada pergelangan tangan kanan maupun kiri. Saat melakukan proses ini, pergelangan tangan kiri pekerja membentuk fleksi sebesar 70o yang disertai dengan gerakan berputar Menurut pendapat Sue Hignett dan Mc Attamney (2000), sudut lebih dari 15o memiliki risiko ergonomi ditambah dengan pergerakan deviasi atau rotasi pada pergelangan tangan yang dapat menyebabkan rasa tidak nyaman. Postur genggaman pekerja ketika memasukkan pakaian kedalam mesin cuci dapat dikatakan baik karena menggunakan telapak tangan ketika memeras pakaian sehingga keadaan ini dapat dikategorikan good. Genggaman ini dinilai lebih baik dari pada genggaman yang menggunakan tenaga jari. Hal tersebut memiliki risiko ergonomi karena mengangkat objek tidak boleh hanya dengan mengandal kekuatan jari terbatas sehingga dapat cidera pada jari (Kumar,2001). Tambahan risiko nilai aktifitas pada proses ini juga terjadi karena adanya kegiatan yang bersifat berulang-ulang pada bagian punggung, leher, lengan atas, lengan bawah dan pergelangan tangan untuk memeras pakaian. Kegiatan ini menimbulkan risiko karena pekerja
158
melakukannya berulang lebih dari 4x permenit. Berdasarkan metode REBA yang dikembangkan oleh Sue Hignett dan Mc Attamney (2000) kegiatan yang menghendaki gerakan yang berulang >4x permenit menambah risiko ergonomi. Nilai akhir REBA pada kegiatan ini untuk bagian tubuh sebelah kiri adalah 6. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat risiko pada proses pembilasan pakaian memiliki risiko sedang (medium risk). Menurut Sue Hignett dan Mc Attamney (2000), kegiatan yang tergolong dalam risiko sedang memerlukan investigasi lebih lanjut dan dibutuhkan perubahan pada kegiatan ini. Walaupun risiko ini tergolong dalam risiko sedang, tetapi apabila pekerja terpajan risiko secara terusmenerus tanpa ada perubahan, maka akibat yang ditimbulkan dari risiko ini dapat terakumulasi dan menyebabkan MSDs pada pekerja dalam jangka panjang. 4. Memasukkan Pakaian Kedalam Wadah Pada proses memasukkan pakaian kedalam wadah, faktor risiko ergonomi yang dapat menyebabkan gangguan muskuloskeletal adalah postur janggal yang disertai perubahan postur secara cepat dan tidak stabil dan gerakan berulang dengan frekuensi lebih dari 4 kali permenit Postur leher pekerja membentuk fleksi sebesar 20o yang disertai dengan leher berputar. Postur ini terjadi karena proses pemindahan
159
pakaian dari proses pembilasan ke wadah pakaian. Menurut Grandjean (1987) dalam Bridger (1995) posisi fleksi pada bagian leher dan kepala tidak boleh melebihi 15o, karena dapat menyebabkan postural stress. Postur punggung pekerja membentuk sudut fleksi sebebsar 40o yang disertai dengan postur punggung miring. Postur ini terjadi karena posisi wadah pakaian diletakkan di dasar lantai sehingga pekerja harus membungkuk ketika meletakkan pakaian. Proses ini dilakukan dengan berdiri pada kedua kaki. Menurut Bridger (1995) risiko LBP meningkat 15% pada keadaan fleksi pada bagian punggung. Beban yang diangkat pada proses ini masih berada di bawah 5 kg. Berat beban berasal dari pakaian yang dipindahkan masih dalam keadaan basah. Hal ini masih dapat diterima dan belum memiliki risiko. Menurut rekomendasi Humantech (1995) bahwa beban yang berisiko apabila beban yang diangkat lebih dari dengan 4,5 kg. Lengan atas bagian kiri dan kanan masing-masing membentuk postur fleksi sebesar 20o. Postur ini terjadi karena posisi lengan yang disesuaikan dengan jarak wadah pakaian. Berdasarkan metode REBA yang dikembangkan oleh Sue Hignett dan Mc Atamney (2000) posisi ini memberikan risiko lebih besar pada lengan atas karena semakin besar sudut yang dibentuk maka posisi tangan akan semakin jauh dengan tubuh dan itu merupakan posisi yang berisiko.
160
Lengan bawah pada bagian kiri membentuk fleksi sebesar 20o. Hal ini disebabkan posisi lengan bawah dalam meletakkan pakaian ke dalam wadah. Begitu pula posisi lengan bawah yang membentuk sudut <60o menurut Sue Hignett dan Mc Atamney (2000) juga memiliki risiko. Pada saat memasukkan pakaian ke dalam wadah, pergelangan tangan sering dalam posisi membentuk sudut baik pada pergelangan tangan kanan maupun kiri. Saat melakukan proses ini, pergelangan tangan kiri pekerja membentuk fleksi sebesar 10o. Menurut Brumfield dan Champoux (1984) dan Kumar (2001) posisi 10o fleksi dan 35o ekstensi merupakan posisi yang masih dapat diterima pada sendi pergelangan tangan melakukan aktivitas sehari-hari. Postur genggaman pekerja ketika memasukkan pakaian ke wadah pakaian cukup baik karena menggunakan kekuatan jari (finger grip) sehingga keadaan ini dapat dikategorikan fair.
Hal tersebut
memiliki risiko ergonomi karena mengangkat objek tidak boleh hanya dengan mengandal kekuatan jari terbatas sehingga dapat cidera pada jari (Kumar,2001). Tambahan risiko nilai aktifitas pada proses ini juga terjadi karena adanya kegiatan yang bersifat berulang-ulang pada bagian punggung, leher, lengan atas, lengan bawah dan pergelangan tangan serta
161
perubahan postur secara cepat dan tidak stabil dalam meletakkan pakaian ke dalam wadah pakaian. Kegiatan ini menimbulkan risiko karena pekerja melakukannya berulang lebih dari 4x permenit. Berdasarkan metode REBA yang dikembangkan oleh Sue Hignett dan Mc Attamney (2000) kegiatan yang menghendaki gerakan yang berulang >4x permenit menambah risiko ergonomi. Nilai akhir REBA pada kegiatan ini untuk adalah 6. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat risiko pada proses meletakkan pakaian ke dalam wadah memiliki risiko sedang (medium risk). Menurut Sue Hignett dan Mc Attamney (2000), kegiatan yang tergolong dalam risiko sedang memerlukan investigasi lebih lanjut dan dibutuhkan perubahan pada kegiatan ini. Walaupun risiko ini tergolong dalam risiko sedang, tetapi apabila pekerja terpajan risiko secara terusmenerus tanpa ada perubahan, maka akibat yang ditimbulkan dari risiko ini dapat terakumulasi dan menyebabkan MSDs pada pekerja dalam jangka panjang. 6.2.3. Pengeringan 1. Mengangkat Wadah Pakaian Pada proses mengangkat wadah pakaian, faktor risiko ergonomi yang dapat menyebabkan gangguan muskuloskeletal adalah postur janggal dan beban objek yang diangkat melebihi 10 kg.
162
Postur leher pekerja membentuk ekstensi sebesar 10o. Postur ini terjadi karena pekerja harus melihat kearah wadah agar pakaian yang sudah dimasukkan kedalam wadah tidak terjatuh. Dalam pandangan Grandjean (1987) dalam Bridger (1995) yang menyatakan bahwa kepala dan leher tidak boleh dalam keadaan fleksi dan ekstensi lebih dari 15o. Postur punggung pekerja dalam keadaan fleksi sebesar 25o. Postur ini terjadi karena posisi wadah pakaian berada dibawah / dilantai
yang
mengharuskan
punggung
pekerja
berpostur
membungkuk. Proses ini dilakukan dengan berdiri pada kedua kaki. Menurut Bridger (2003) postur ekstrim pada punggung dapat menyebabkan peregangan pada lumbar dan penekanan otot perut sehingga terjadi kompresi tulang belakang. Beban yang diangkat pekerja pada proses ini melebihi 10 kg. Berat beban berasal dari total berat pakaian yang ada di dalam wadah , dimana kondisi pakaian yang ada didalam wadah dalam keadaan basah.
Hal
ini
sangat
berisiko
menimbulkan
gangguan
muskuloskeletal. Menurut rekomendasi Humantech (1995) bahwa beban yang berisiko apabila beban yang diangkat lebih dari dengan 4,5 kg.
163
Lengan atas bagian kiri dan kanan masing-masing membentuk postur fleksi 70o. Postur ini terjadi karena letak wadah yang berada dibawah dimana posisi beban didekatkan ke tubuh. Berdasarkan metode REBA yang dikembangkan oleh Sue Hignett dan Mc Atamney (2000) posisi ini memberikan risiko lebih besar pada lengan atas karena semakin besar sudut yang dibentuk maka posisi tangan akan semakin jauh dengan tubuh dan itu merupakan posisi yang berisiko. Lengan bawah pada bagian kiri dan kanan masing – masing membentuk fleksi sebesar 5o. Hal ini disebabkan postur lengan bawah menyesuaikan dengan desain wadah pakaian. Menurut Bridger (1995) sudut < 60o pada bagian lengan bawah menyebabkan tekanan pada otot antagonis yang terdapat pada lengan bawah. Pada saat mengangkat wadah pakaian, pergelangan tangan sering dalam posisi membentuk sudut baik pada pergelangan tangan kanan maupun kiri. Saat melakukan proses ini, pergelangan tangan kiri pekerja membentuk fleksi sebesar 5o. Postur ini masih dapat diterima. Menurut Brumfield dan Champoux (1984) dan Kumar (2001) posisi 10o fleksi dan 35o ekstensi merupakan posisi yang masih dapat diterima pada sendi pergelangan tangan melakukan aktivitas seharihari.
164
Postur genggaman pekerja ketika memasukkan pakaian kedalam mesin cuci kurang baik karena menggunakan kekuatan ujung jari. Hal tersebut memiliki risiko ergonomi karena mengangkat objek tidak boleh hanya dengan mengandal kekuatan jari terbatas sehingga dapat cidera pada jari (Kumar,2001). Nilai akhir REBA pada kegiatan ini untuk bagian tubuh sebelah kiri dan kanan adalah 8. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat risiko pada proses mengangkat wadah pakaian memiliki risiko tinggi (high risk). Menurut Hignett dan Mc Atamney (2000) risiko tinggi berarti kegiatan ini membutuhkan investigasi mendalam dan perubahan harus dilakukan segera, karena semakin tinggi tingkat risiko yang ada pada pekerjaan berarti semakin besar pula kemungkinan pekerja untuk terkena gangguan muskuloskeletal. 2. Memasukkan Pakaian Kedalam Mesin Pengering Pada proses memasukkan pakaian kedalam mesin pengering, faktor
risiko
ergonomi
yang
dapat
menyebabkan
gangguan
muskuloskeletal adalah postur janggal dan gerakan berulang dengan frekuensi lebih dari 4 kali permenit. Postur leher pekerja membentuk fleksi sebesar ekstensi 10o yang disertai dengan leher miring. Postur ini terjadi karena desain mesin pengering yang memiliki bukaan samping.
Dalam pandangan
165
Grandjean (1987) dalam Bridger (1995) yang menyatakan bahwa kepala dan leher tidak boleh dalam keadaan fleksi dan ekstensi lebih dari 15o. Postur punggung pekerja dalam keadaan fleksi sebesar 45o ditambah dengan postur miring. Postur ini terjadi karena letak wadah pakaian yang diletakkan di bawah/dilantai
dan ditambah dengan
desain mesin pengering yang mengharuskan untuk membungkuk saat memasukkan pakaian. Proses ini dilakukan dengan berdiri pada kedua kaki. Menurut Bridger (2003) postur ekstrim pada punggung dapat menyebabkan peregangan pada lumbar dan penekanan otot perut sehingga terjadi kompresi tulang belakang. Beban yang diangkat pada proses ini masih berada di bawah 5 kg. Berat beban berasal dari pakaian yang masih dalam keadaan basah dari proses pencucian.
Menurut rekomendasi Humantech (1995)
bahwa beban yang berisiko apabila beban yang diangkat lebih dari dengan 4,5 kg. Lengan atas bagian kanan masing-masing membentuk postur fleksi 110o. Postur ini terjadi karena anggota tubuh ini digunakan untuk membantu memasukkan pakaian ke dalam mesin pengering. Hal itu berdasarkan metode REBA yang dikembangkan oleh Sue Hignett dan Mc Atamney (2000) posisi lengan atas >90 o fleksi
166
merupakan posisi yang paling berisiko karena semakin besar sudut yang dibentuk maka semakin besar pula risiko MSDs yang dihasilkan. Lengan bawah pada bagian kanan membentuk fleksi sebesar 75o. Hal ini disebabkan pekerja harus menyesuaikan dengan posisi bukaan mesin cuci pada saat memasukkan pakaian. Menurut Sue Hignett dan Mc Attamney (2000) bahwa sudut lengan bawah antara 60-100o berisiko ergonomi. Pada saat memasukkan pakaian kedalam mesin pengering, pergelangan tangan sering dalam posisi membentuk sudut baik pada pergelangan tangan kanan maupun kiri. Saat melakukan proses ini, pergelangan tangan kanan pekerja membentuk fleksi sebesar 5o. Pendapat Brumfield dan Campoux (1984) dalam Kumar (2001) posisi 10o fleksi dan 35o ekstensi merupakan posisi yang masih dapat diterima pada sendi pergelangan tangan dalam melakukan kegiatan normal sehari-hari. Postur genggaman pekerja ketika memasukkan pakaian kedalam mesin pengering cukup baik karena menggunakan kekuatan jari (finger grip) sehingga keadaan ini dapat dikategorikan fair.
Hal tersebut
memiliki risiko ergonomi karena mengangkat objek tidak boleh hanya dengan mengandal kekuatan jari terbatas sehingga dapat cidera pada jari (Kumar,2001).
167
Tambahan Risiko nilai aktifitas pada proses ini juga terjadi karena adanya kegiatan yang bersifat berulang-ulang pada bagian punggung, leher, lengan atas, lengan bawah dan pergelangan tangan untuk memasukkan pakaian kedalam mesin pengering. Kegiatan ini menimbulkan risiko karena pekerja melakukannya berulang lebih dari 4x permenit. Berdasarkan metode REBA yang dikembangkan oleh Sue Hignett dan Mc Attamney (2000) kegiatan yang menghendaki gerakan yang berulang >4x permenit menambah risiko ergonomi. Nilai akhir REBA pada kegiatan ini untuk bagian tubuh sebelah kanan adalah 9. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat risiko pada proses memasukkan pakaian kedalam mesin pengering memiliki risiko tinggi (high risk). Menurut Hignett dan Mc Atamney (2000) risiko tinggi berarti kegiatan ini membutuhkan
investigasi mendalam dan
perubahan harus dilakukan segera, karena semakin tinggi tingkat risiko yang ada pada pekerjaan berarti semakin besar pula kemungkinan pekerja untuk terkena gangguan musculoskeletal. 3. Mengeluarkan Pakaian Dari Mesin Pengering Pada proses mengeluarkan pakaian kedalam mesin pengering, faktor
risiko
ergonomi
yang
dapat
menyebabkan
gangguan
muskuloskeletal adalah postur janggal dan gerakan berulang dengan frekuensi lebih dari 4 kali permenit.
168
Postur leher pekerja membentuk fleksi sebesar ekstensi 15o yang disertai dengan leher miring. Postur ini terjadi karena pekerja harus melihat posisi pakaian pada saat mengambil pakaian dari dalam mesin. Menurut Grandjean (1987) yang disadur oleh Bridger (1995) yang menyatakan bahwa kepala dan leher tidak boleh dalam keadaan fleksi dan ekstensi lebih dari 15o dan jika hal ini terjadi maka postural stress tidak dapat dihindari. Postur punggung pekerja dalam keadaan fleksi sebesar 50o ditambah dengan postur miring. Postur ini terjadi karena letak wadah pakaian yang diletakkan di bawah/dilantai
dan ditambah dengan
desain mesin pengering yang mengharuskan untuk membungkuk saat mengeluarkan pakaian dari mesin pengering. Proses ini dilakukan dengan berdiri pada kedua kaki. Menurut Bridger (2003) postur ekstrim pada punggung dapat menyebabkan peregangan pada lumbar dan penekanan otot perut sehingga terjadi kompresi tulang belakang. Beban yang diangkat pada proses ini masih berada di bawah 5 kg. Berat beban berkurang setelah dikeringkan menggunakan mesin pengering. Menurut rekomendasi Humantech (1995) bahwa beban yang berisiko apabila beban yang diangkat lebih dari sama dengan 4,5 kg.
169
Lengan atas bagian kanan masing-masing membentuk postur fleksi 120o. Postur ini terjadi karena anggota tubuh ini digunakan untuk
mengeluarkan
pakaian
dari
dalam
mesin
pengering.
Berdasarkan metode REBA yang dikembangkan oleh Sue Hignett dan Mc Atamney (2000) posisi ini memberikan risiko lebih besar pada lengan atas karena semakin besar sudut yang dibentuk maka posisi tangan akan semakin jauh dengan tubuh dan itu merupakan posisi yang berisiko. Lengan bawah pada bagian kanan membentuk fleksi sebesar 85o. Hal ini disebabkan pekerja harus menyesuaikan dengan posisi bukaan mesin cuci pada saat mengeluarkan pakaian. Menurut Bridger (1995) bahwa sudut <60o pada bagian lengan bawah menyebabkan tekanan pada otot antagonis yang terdapat pada lengan bawah. Pada saat mengeluarkan pakaian dari dalam mesin pengering, pergelangan tangan sering dalam posisi membentuk sudut baik pada pergelangan tangan kanan maupun kiri. Saat melakukan proses ini, pergelangan tangan kanan pekerja membentuk fleksi sebesar 10o. Hal ini sesuai dengan pendapat Brumfield dan Campoux (1984) dalam Kumar (2001) posisi 10o fleksi dan 35o ekstensi merupakan posisi yang masih dapat diterima pada sendi pergelangan tangan dalam melakukan kegiatan normal sehari-hari.
170
Postur genggaman pekerja ketika mengeluarkan pakaian dari dalam mesin pengering cukup baik karena menggunakan kekuatan jari (finger grip) sehingga keadaan ini dapat dikategorikan fair.
Hal
tersebut memiliki risiko ergonomi karena mengangkat objek tidak boleh hanya dengan mengandal kekuatan jari terbatas sehingga dapat cidera pada jari (Kumar,2001). Tambahan risiko nilai aktifitas pada proses ini juga terjadi karena adanya kegiatan yang bersifat berulang-ulang pada bagian punggung, leher, lengan atas, lengan bawah dan pergelangan tangan dalam mengeluarkan pakaian dari dalam mesin pengering. Kegiatan ini menimbulkan risiko karena pekerja melakukannya berulang lebih dari 4x permenit. Berdasarkan metode REBA yang dikembangkan oleh Sue Hignett dan Mc Attamney (2000) kegiatan yang menghendaki gerakan yang berulang >4x permenit menambah risiko ergonomi Nilai akhir REBA pada kegiatan ini untuk bagian tubuh sebelah kanan adalah 9. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat risiko pada proses mengeluarkan pakaian dari dalam mesin pengering memiliki risiko tinggi (high risk). Menurut Hignett dan Mc Atamney (2000) risiko tinggi berarti kegiatan ini membutuhkan investigasi mendalam dan perubahan harus dilakukan segera, karena semakin tinggi tingkat risiko yang ada pada pekerjaan berarti semakin besar pula kemungkinan pekerja untuk terkena gangguan muskuloskeletal.
171
4. Penjemuran Pakaian Pada proses penjemuran, faktor risiko ergonomi yang dapat menyebabkan gangguan muskuloskeletal adalah postur janggal. Postur leher pekerja membentuk ekstensi sebesar 10o yang disertai dengan leher berputar. Postur ini terjadi karena pekerja harus memperhatikan posisi pakaian mulai dari proses awal hingga proses penggantungan baju yang akan dijemur. Pendapat Grandjean (1987) dalam Bridger (1995), posisi fleksi pada bagian leher dan kepala tidak boleh melebihi 15o, karena dapat menyebabkan postural stress. Postur punggung pekerja dalam keadaan lurus namun punggung harus berputar karena postur punggung pekerja harus menyesuaikan dengan posisi pakaian yang akan dijemur. Proses ini dilakukan dengan berdiri pada kedua kaki namun tidak stabil. Bernad (1997) bahwa postur menunjukan bukti yang kuat sebagai faktor yang berkontribusi terhadap MSDs dan menimbulkan terjadinya gangguan leher, punggung dan bahu. Beban yang diangkat pada proses ini masih berada pada ukuran 5 – 10 kg. Berat beban berasal dari pakaian yang akan dijemur masih dalam keadaan basah. Beban tersebut berisiko, dimana hal ini sesuai
172
dengan rekomendasi Humantech (1995) bahwa beban yang berisiko apabila beban yang diangkat lebih dari dengan 4,5 kg. Lengan atas bagian kiri dan kanan masing-masing membentuk postur fleksi sebesar 45o dan fleksi sebesar 150o yang disertai dengan gerakan abduksi yaitu gerakan lengan menjauhi badan pada tangan kiri. Postur ini terjadi karena posisi lengan kanan yang bertugas mengarahkan pakaian yang akan dijemur, sedangkan pada lengan kiri bertugas untuk memegang pakaian yang akan dijemur. Menurut Pheasant (1991) bahwa posisi bahu ditinggikan atau lengan dijauhkan juga menyebabkan neck pain. Lengan bawah bagian kiri dan kanan masing-masing membentuk fleksi sebesar 110o dan fleksi 10o. Hal ini disebabkan karena pekerja harus menyesuaikan dengan desain tempat penjemuran. Menurut Bridger (1995) sudut < 60o pada bagian lengan bawah menyebabkan tekanan pada otot antagonis yang terdapat pada lengan bawah. Pada saat penjemuran, pergelangan tangan sering dalam posisi membentuk sudut baik pada pergelangan tangan kanan maupun kiri. Saat melakukan proses ini, pergelangan tangan kanan maupun kiri dalam keadaan lurus. Menurut Sue Hignett dan Mc Attamney (2000), postur pergelangan tangan dalam keadaan lurus memiliki risiko yang kecil.
173
Postur genggaman pekerja ketika tahapan penjemuran pakaian cukup baik karena menggunakan kekuatan jari (finger grip) sehingga keadaan ini dapat dikategorikan fair. Hal tersebut memiliki risiko ergonomi karena mengangkat objek tidak boleh hanya dengan mengandal kekuatan jari terbatas sehingga dapat cidera pada jari (Kumar,2001). Nilai akhir REBA pada kegiatan ini adalah 8. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat risiko pada proses penjemuran pakaian memiliki risiko tinggi (high risk). Menurut Hignett dan Mc Atamney (2000) risiko tinggi berarti kegiatan ini membutuhkan
investigasi
mendalam dan perubahan harus dilakukan segera, karena semakin tinggi tingkat risiko yang ada pada pekerjaan berarti semakin besar pula kemungkinan pekerja untuk terkena gangguan muskuloskeletal. 6.2.4. Setrika dan Pelipatan 1. Posisi Berdiri Menggunakan Meja Setrika Tanpa Kursi Menurut Grandjean (1993) dalam Tarwaka (2004), pekerjaan menyetrika merupakan jenis pekerjaan yang bersifat monoton . Pada proses setrika dan pelipatan dengan posisi berdiri menggunakan meja setrika tanpa kursi, faktor risiko ergonomi yang dapat menyebabkan gangguan muskuloskeletal adalah postur janggal, anggota tubuh statis serta gerakan berulang dengan frekuensi lebih dari 4 kali permenit.
174
Postur leher pekerja membentuk fleksi sebesar 40o yang disertai dengan leher berputar. Postur ini terjadi karena pekerja mengamati gerakan posisi pergelangan tangan yang memegang setrika pada tangan kanan. Menurut Grandjean (1987) dalam Bridger (1995) yang menyatakan bahwa kepala dan leher tidak boleh dalam keadaan fleksi dan ekstensi lebih dari 15o dan jika hal ini terjadi maka postural stress tidak dapat dihindari. Postural stress ini akhirnya dapat menimbulkan rasa nyeri. Rasa nyeri tersebut dapat diperburuk dengan keadaan posisi leher fleksi dan berotasi. Postur punggung pekerja dalam keadaan fleksi sebesar 10o yang disertai dengan postur punggung yang miring dan berputar. Postur ini terjadi karena postur punggung menyesuaikan jangkauan setrika serta ketinggian meja setrika. Proses ini dilakukan dengan duduk. Grandjean (1993) dalam Tarwaka (2004), berpendapat bahwa bekerja dalam posisi duduk mempunyai keuntungan antara lain : pembebanan pada kaki, pemakaian energi dan keperluan untuk sirkulasi darah dapat dikurangi. Beban yang diangkat pada proses ini masih berada di bawah 5 kg. Berat beban berasal dari berat setrika yang digunakan serta pakaian yang disetrika. Hal ini masih dapat diterima dan belum memiliki risiko. Menurut rekomendasi Humantech (1995) bahwa beban yang berisiko apabila beban yang diangkat lebih dari dengan 4,5 kg.
175
Lengan atas bagian kiri dan kanan masing-masing membentuk postur fleksi sebesar 10o dan fleksi sebesar 35o yang disertai dengan gerakan abduksi yaitu gerakan tangan yang menjauhi pusat tubuh. Postur ini terjadi karena penyesuaian yang dilakukan pekerja untuk menjangkau pakaian yang disetrika.
Menurut Tarwaka (2004),
pekerjaan menyetrika memerlukan pengerahan tenaga dengan sedikit penekanan. Pekerjaan tersebut sebagian besar dilakukan dengan tangan dan tidak memerlukan mobilitas yang tinggi serta jangkauan yang tidak terlalu luas. Lengan bawah pada bagian kiri dan kanan masing-masing membentuk fleksi sebesar 60o dan fleksi sebesar 15o. Hal ini dilakukan untuk menyesuaikan gerakan tangan bagian kanan yang memegang setrika dan bagian kiri yang bertugas merapikan pakaian. Menurut Bridger (1995) sudut < 60o pada bagian lengan bawah menyebabkan tekanan pada otot antagonis yang terdapat pada lengan bawah. Pada saat penyetrikaan dan pelipatan dengan posisi berdiri, pergelangan tangan sering dalam posisi membentuk sudut baik pada pergelangan tangan kanan maupun kiri. Saat melakukan proses ini, pergelangan tangan bagian kanan dan kiri masing-masing membentuk fleksi sebesar 5o. Menurut Brumfield dan Champoux (1984) dalam Kumar (2001) posisi 10o fleksi dan 35o ekstensi merupakan posisi yang
176
masih dapat diterima pada sendi pergelangan tangan melakukan aktivitas sehari-hari. Postur genggaman pekerja ketika saat penyetrikaan dan pelipatan dengan posisi berdiri dapat dikatakan baik karena menggunakan kekuatan genggaman tangan. Postur genggaman ini lebih baik dibandingkan dengan hanya menggunakan kekuatan jari. Hal tersebut memiliki risiko ergonomi karena mengangkat objek tidak boleh hanya dengan mengandal kekuatan jari terbatas sehingga dapat cidera pada jari (Kumar,2001). Selain posisi kaki yang statis saat berdiri, tambahan nilai aktifitas berasal dari gerakan repetitif saat menyetrika dengan menggunakan bagian tangan sebelah kanan dan beban tekanan pada alat setrika. Menurut Bridger (2003), penggunaan beban yang repetitif pada lengan dapat menyebabkan sendi siku terkena injury. Hal ini dikemukakan oleh Kumar (2001) bahwa pekerjaan repetitif, tangan dan pergelangan tangan selama bekerja meningkatkan risiko terkena gangguan muskuloskeletal. Selain itu menurut Bridger (1995) kegiatan yang membutuhkan genggaman yang kuat dan dipertahankan dalam waktu lama akan meningkatkan beban statis pada siku. Nilai akhir REBA pada kegiatan ini untuk bagian tubuh kiri adalah 7. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat risiko pada bagian tubuh
177
kiri saat proses penyetrikaan dengan posisi berdiri memiliki risiko sedang (medium risk). Menurut Sue Hignett dan Mc Attamney (2000), kegiatan yang tergolong dalam risiko sedang memerlukan investigasi lebih lanjut dan dibutuhkan perubahan pada kegiatan ini. Walaupun risiko ini tergolong dalam risiko sedang, tetapi apabila pekerja terpajan risiko secara terus-menerus tanpa ada perubahan, maka akibat yang ditimbulkan dari risiko ini dapat terakumulasi dan menyebabkan MSDs pada pekerja dalam jangka panjang. Nilai akhir REBA pada kegiatan ini adalah 9. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat risiko pada saat proses penyetrikaan dengan posisi berdiri memiliki risiko tinggi (high risk). Menurut Hignett dan Mc Atamney (2000) risiko tinggi berarti kegiatan ini membutuhkan investigasi mendalam dan perubahan harus dilakukan segera, karena semakin tinggi tingkat risiko yang ada pada pekerjaan berarti semakin besar pula kemungkinan pekerja untuk terkena gangguan muskuloskeletal. 2. Posisi Duduk Menggunakan Meja Setrika dan Kursi Dengan Sandaran Punggung Pada proses setrika dan pelipatan dengan posisi duduk menggunakan meja setrika dan kursi dengan sandaran punggung, faktor
risiko
ergonomi
yang
dapat
menyebabkan
gangguan
178
muskuloskeletal adalah postur janggal, postur statis
dan gerakan
berulang dengan frekuensi lebih dari 4 kali permenit. Postur leher pekerja membentuk fleksi sebesar 5o yang disertai dengan leher berputar. Postur ini terjadi karena pekerja mengamati gerakan posisi pergelangan tangan yang memegang setrika pada tangan kanan pada proses penyetrikaan pakaian. Menurut Grandjean (1993) jika landasan terlalu tinggi, maka pekerja akan mengangkat bahu untuk menyesuaikan dengan ketinggian landasan kerja sehingga menyebabkan sakit pada bahu dan leher. Sebaliknya bila landasan terlalu rendah maka tulang belakang akan membungkuk sehingga menyebabkan kenyerian pada bagian belakang (backache). Postur punggung pekerja dalam keadaan fleksi sebesar 15o yang disertai dengan postur punggung yang berputar. Postur ini terjadi karena postur punggung menyesuaikan jangkauan setrika serta ketinggian meja setrika. Proses ini dilakukan dengan duduk menggunakan kursi yang memiliki sandaran punggung. Namun sandaran punggung tidak berfungsi karena pekerja melakukan proses penyetrikaan tidak bersandar pada sandaran, tetapi dengan posisi punggung
membungkuk.
Menurut
Pheasant
(1991)
posisi
membungkuk dapat juga menyebabkan pembebanan pada bagian pinggang dan lumbar. Selain itu, Bridger (1995) juga menambahkan
179
bahwa semakin besar sudut yang dibentuk tulang punggung maka semakin besar pula beban yang terjadi pada tulang punggung. Beban yang diangkat pada proses ini masih berada di bawah 5 kg. Berat beban berasal dari berat setrika yang digunakan serta pakaian yang disetrika. Hal ini masih dapat diterima dan belum memiliki risiko. Menurut rekomendasi Humantech (1995) bahwa beban yang berisiko apabila beban yang diangkat lebih dari dengan 4,5 kg. Lengan atas bagian kanan membentuk postur fleksi sebesar 80o yang disertai dengan gerakan abduksi yaitu gerakan tangan yang menjauhi pusat tubuh. Postur ini terjadi karena penyesuaian yang dilakukan pekerja untuk menjangkau pakaian yang disetrika. Menurut Tarwaka (2004), pekerjaan menyetrika memerlukan pengerahan tenaga dengan sedikit penekanan. Pekerjaan tersebut sebagian besar dilakukan dengan tangan dan tidak memerlukan mobilitas yang tinggi serta jangkauan yang tidak terlalu luas. Lengan bawah pada bagian kanan membentuk fleksi sebesar 30o. Hal ini dilakukan untuk menyesuaikan gerakan tangan bagian kanan yang memegang setrika dan bagian kiri yang bertugas merapikan pakaian. Menurut Bridger (1995) sudut < 60o pada bagian lengan bawah menyebabkan tekanan pada otot antagonis yang terdapat pada lengan bawah.
180
Pada saat penyetrikaan dan pelipatan dengan posisi duduk menggunakan kursi dengan sandaran punggung, pergelangan tangan sering dalam posisi membentuk sudut baik pada pergelangan tangan kanan maupun kiri. Saat melakukan proses ini, pergelangan tangan bagian kanan membentuk fleksi sebesar 5o. Kumar (2001) bahwa pekerjaan repetitif tangan dan pergelangan tangan selama bekerja meningkatkan risiko terkena MSDs. Postur genggaman pekerja ketika saat penyetrikaan dan pelipatan dengan
menggunakan
kursi
dengan
sandaran
punggung,dapat
dikatakan cukup baik karena menggunakan kekuatan genggaman tangan walaupun tidak ideal. Postur genggaman ini lebih baik dibandingkan dengan hanya menggunakan kekuatan jari. Hal tersebut memiliki risiko ergonomi karena mengangkat objek tidak boleh hanya dengan mengandal kekuatan jari terbatas sehingga dapat cidera pada jari (Kumar,2001). Tambahan risiko nilai aktifitas pada proses ini juga terjadi karena adanya kegiatan yang bersifat berulang-ulang pada bagian punggung, leher, lengan atas, lengan bawah dan pergelangan tangan. Kegiatan ini menimbulkan risiko karena pekerja melakukannya berulang lebih dari 4x permenit. Berdasarkan metode REBA yang dikembangkan oleh Sue Hignett dan Mc Attamney (2000) kegiatan yang menghendaki gerakan yang berulang >4x permenit menambah risiko ergonomi.
181
Nilai akhir REBA pada kegiatan ini adalah 8. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat risiko pada saat proses penyetrikaan dengan posisi berdiri memiliki risiko tinggi (high risk). Menurut Hignett dan Mc Atamney (2000) risiko tinggi berarti kegiatan ini membutuhkan investigasi mendalam dan perubahan harus dilakukan segera, karena semakin tinggi tingkat risiko yang ada pada pekerjaan berarti semakin besar pula kemungkinan pekerja untuk terkena gangguan muskuloskeletal. 4. Posisi Duduk Menggunakan Meja Setrika dan Kursi Tanpa Sandaran Punggung Pada proses setrika dan pelipatan dengan posisi duduk menggunakan meja setrika dan kursi tanpa sandaran punggung, faktor risiko ergonomi yang dapat menyebabkan gangguan muskuloskeletal adalah postur janggal, postur statis
dan gerakan berulang dengan
frekuensi lebih dari 4 kali permenit. Postur leher pekerja membentuk fleksi sebesar 10o yang disertai dengan leher berputar. Postur ini terjadi karena pekerja mengamati gerakan posisi pergelangan tangan yang memegang setrika pada tangan kanan pada proses penyetrikaan pakaian. Menurut Grandjean (1987) dalam Bridger (1995) yang menyatakan bahwa kepala dan leher tidak boleh dalam keadaan fleksi dan ekstensi lebih dari 15o dan jika
182
hal ini terjadi maka postural stress tidak dapat dihindari. Postural stress ini akhirnya dapat menimbulkan rasa nyeri. Rasa nyeri tersebut dapat diperburuk dengan keadaan posisi leher fleksi dan berotasi. Postur punggung pekerja dalam keadaan fleksi sebesar 15o yang disertai dengan postur punggung yang berputar. Postur ini terjadi karena postur punggung menyesuaikan jangkauan setrika serta ketinggian meja setrika. Menurut Grandjean (1993) jika landasan terlalu
tinggi,
menyesuaikan
maka dengan
pekerja
akan
ketinggian
mengangkat landasan
bahu
kerja
untuk
sehingga
menyebabkan sakit pada bahu dan leher. Sebaliknya bila landasan terlalu rendah maka tulang belakang akan membungkuk sehingga menyebabkan kenyerian pada bagian belakang (backache). Beban yang diangkat pada proses ini masih berada di bawah 5 kg. Berat beban berasal dari berat setrika yang digunakan serta pakaian yang disetrika.
Hal ini masih dapat diterima dan belum memiliki
risiko. Menurut rekomendasi Humantech (1995) bahwa beban yang berisiko apabila beban yang diangkat lebih dari dengan 4,5 kg. Lengan atas bagian kiri dan kanan masing-masing membentuk postur fleksi sebesar 60o dan 68o yang disertai dengan gerakan abduksi yaitu gerakan tangan yang menjauhi pusat tubuh. Postur ini terjadi karena penyesuaian yang dilakukan pekerja untuk menjangkau pakaian
183
yang disetrika. Menurut Tarwaka (2004), pekerjaan menyetrika memerlukan pengerahan tenaga dengan sedikit penekanan. Pekerjaan tersebut sebagian besar dilakukan dengan tangan dan tidak memerlukan mobilitas yang tinggi serta jangkauan yang tidak terlalu luas. Lengan bawah pada bagian kiri dan kanan membentuk fleksi masing –masing sebesar 40o dan 30o. Hal ini dilakukan untuk menyesuaikan gerakan tangan bagian kanan yang memegang setrika dan bagian kiri yang bertugas merapikan pakaian. Menurut Bridger (1995) sudut < 60o pada bagian lengan bawah menyebabkan tekanan pada otot antagonis yang terdapat pada lengan bawah. Pada saat penyetrikaan dan pelipatan dengan posisi duduk menggunakan kursi tanpa sandaran punggung, pergelangan tangan sering dalam posisi membentuk sudut baik pada pergelangan tangan kanan maupun kiri. Saat melakukan proses ini, pergelangan tangan bagian kanan maupun kiri membentuk fleksi sebesar 10o. Menurut Brumfield dan Champoux (1984) dalam Kumar (2001) posisi 10o fleksi dan 35o ekstensi merupakan posisi yang masih dapat diterima pada sendi pergelangan tangan melakukan aktivitas sehari-hari. Postur genggaman pekerja ketika saat penyetrikaan dan pelipatan dengan menggunakan kursi tanpa sandaran punggung,dapat dikatakan
184
baik karena menggunakan kekuatan genggaman tangan. Postur genggaman ini lebih baik dibandingkan dengan hanya menggunakan kekuatan jari.
Hal tersebut memiliki risiko ergonomi karena
mengangkat objek tidak boleh hanya dengan mengandal kekuatan jari terbatas sehingga dapat cidera pada jari (Kumar,2001). Tambahan Risiko nilai aktifitas pada proses ini juga terjadi karena adanya kegiatan yang bersifat berulang-ulang pada bagian punggung, leher, lengan atas, lengan bawah dan pergelangan tangan. Kegiatan ini menimbulkan risiko karena pekerja melakukannya berulang lebih dari 4x permenit. Berdasarkan metode REBA yang dikembangkan oleh Sue Hignett dan Mc Attamney (2000) kegiatan yang menghendaki gerakan yang berulang >4x permenit menambah risiko ergonomi. Nilai akhir REBA pada kegiatan ini untuk adalah 7. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat risiko saat penyetrikaan dan pelipatan dengan menggunakan kursi tanpa sandaran punggung dengamemiliki risiko sedang (medium risk). Menurut Sue Hignett dan Mc Attamney (2000), kegiatan yang tergolong dalam risiko sedang memerlukan investigasi lebih lanjut dan dibutuhkan perubahan pada kegiatan ini. Walaupun risiko ini tergolong dalam risiko sedang, tetapi apabila pekerja terpajan risiko secara terus-menerus tanpa ada perubahan,
185
maka akibat yang ditimbulkan dari risiko ini dapat terakumulasi dan menyebabkan MSDs pada pekerja dalam jangka panjang.
6.2.5. Pengemasan 1. Pengemasan Dengan Posisi Berdiri Pada proses pengemasan dengan posisi berdiri, faktor risiko ergonomi yang dapat menyebabkan gangguan muskuloskeletal adalah postur janggal. Postur leher pekerja membentuk fleksi sebesar 10o yang disertai dengan leher berputar. Postur ini terjadi karena pekerja mengamati pakaian yang akan dimasukkan kedalam wadah plastik. Menurut Grandjean (1987) yang disadur oleh Bridger (1995) yang menyatakan bahwa kepala dan leher tidak boleh dalam keadaan fleksi dan ekstensi lebih dari 15o dan jika hal ini terjadi maka postural stress tidak dapat dihindari. Postur punggung pekerja dalam keadaan fleksi sebesar 10o ditambah postur punggung yang
miring. Postur ini terjadi karena
pekerja ingin memastikan bahwa pakaian tersebut sudah terbungkus dengan benar. Proses ini dilakukan dengan berdiri pada kedua kaki.
186
Menurut Bridger (1995) risiko LBP meningkat 15% pada keadaan fleksi pada bagian punggung. Beban yang diangkat pada proses ini masih berada di bawah 5 kg. Berat beban berasal dari pakaian yang akan dimasukkan kedalam plastik kemasan. Hal ini masih dapat diterima dan belum memiliki risiko. Menurut rekomendasi Humantech (1995) bahwa beban yang berisiko apabila beban yang diangkat lebih dari dengan 4,5 kg. Lengan atas bagian kiri dan kanan masing-masing membentuk postur fleksi sebesar 40o yang disertai dengan abduksi yaitu gerakan tangan menjauhi pusat tubuh. Hal ini disebabkan karena terdapat proses pengambilan dan pemasukan pakaian yang disesuaikan dengan ukuran kemasan pembungkus dan tinggi meja yang digunakan Berdasarkan metode REBA yang dikembangkan oleh Sue Hignett dan Mc Atamney (2000) posisi ini memberikan risiko lebih besar pada lengan atas karena semakin besar sudut yang dibentuk maka posisi tangan akan semakin jauh dengan tubuh dan itu merupakan posisi yang berisiko. Lengan bawah pada bagian kiri dan kanan masing-masing membentuk fleksi 30o dan 45o. Hal ini disebabkan karena mengikuti postur pergelangan tangan dalam membungkus pakaian yang telah disetrika. Menurut Bridger (1995) sudut < 60o pada bagian lengan
187
bawah menyebabkan tekanan pada otot antagonis yang terdapat pada lengan bawah. Pada saat pengemasan dengan posisi berdiri, pergelangan tangan sering dalam posisi membentuk sudut baik pada pergelangan tangan kanan maupun kiri. Saat melakukan proses ini, pergelangan tangan kanan dan kiri masing-masing membentuk fleksi dengan sudut 5o. Menurut Brumfield dan Champoux (1984) dalam Kumar (2001) posisi 10o fleksi dan 35o ekstensi merupakan posisi yang masih dapat diterima pada sendi pergelangan tangan melakukan aktivitas seharihari. Postur genggaman pekerja ketika melakukan pengemasan dengan dapat dikatakan baik karena menggunakan genggaman tangan. Hal ini lebih baik dari pegangan yang hanya menggunakan kekuatan jari. Hal tersebut memiliki risiko ergonomi karena mengangkat objek tidak boleh hanya dengan mengandal kekuatan jari terbatas sehingga dapat cidera pada jari (Kumar,2001). Nilai akhir REBA pada kegiatan ini untuk adalah 4. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat risiko saat pengemasan pakaian dengan postur berdiri memiliki risiko sedang (medium risk). Menurut Sue Hignett dan Mc Attamney (2000), kegiatan yang tergolong dalam risiko sedang memerlukan investigasi lebih lanjut dan dibutuhkan
188
perubahan pada kegiatan ini. Walaupun risiko ini tergolong dalam risiko sedang, tetapi apabila pekerja terpajan risiko secara terusmenerus tanpa ada perubahan, maka akibat yang ditimbulkan dari risiko ini dapat terakumulasi dan menyebabkan MSDs pada pekerja dalam jangka panjang. 2. Pengemasan Dengan Posisi Duduk Dilantai Pada proses pengemasan dengan posisi duduk di lantai, faktor risiko ergonomi yang dapat menyebabkan gangguan muskuloskeletal adalah postur janggal. Postur leher pekerja membentuk fleksi sebesar 5o. Postur ini terjadi karena pekerja mengamati pakaian yang akan dimasukkan kedalam wadah plastik kemasan Menurut Grandjean (1987) yang disadur oleh Bridger (1995) yang menyatakan bahwa kepala dan leher tidak boleh dalam keadaan fleksi dan ekstensi lebih dari 15o dan jika hal ini terjadi maka postural stress tidak dapat dihindari. Postur punggung pekerja dalam keadaan fleksi sebesar 30o ditambah postur punggung yang
miring. Postur ini terjadi karena
perbedaan ketinggian lengan atas baik pada sebelah kanan maupun kiri pada saat proses memasukkan pakaian kedalam plastik kemasan. Pekerja ingin memastikan bahwa pakaian tersebut sudah terbungkus dengan benar. Proses ini dilakukan dengan berdiri pada kedua kaki.
189
Menurut Bridger (2003) postur ekstrim pada punggung dapat menyebabkan peregangan pada lumbar dan penekanan otot perut sehingga terjadi kompresi tulang belakang. Beban yang diangkat pada proses ini masih berada di bawah 5 kg. Berat beban berasal dari pakaian yang akan dimasukkan kedalam plastik kemasan. Hal ini masih dapat diterima dan belum memiliki risiko. Menurut rekomendasi Humantech (1995) bahwa beban yang berisiko apabila beban yang diangkat lebih dari dengan 4,5 kg. Lengan atas bagian kiri membentuk postur fleksi sebesar 50o. Hal ini disebabkan karena terdapat proses pengambilan dan pemasukan pakaian yang disesuaikan dengan ukuran kemasan pembungkus yang digunakan. Menurut Pheasant (1991) bahwa posisi bahu ditinggikan atau lengan dijauhkan juga menyebabkan neck pain. Lengan bawah pada bagian kiri membentuk fleksi 65o. Hal ini disebabkan karena mengikuti postur pergelangan tangan dalam membungkus pakaian yang telah disetrika. Menurut Bridger (1995) sudut < 60o pada bagian lengan bawah menyebabkan tekanan pada otot antagonis yang terdapat pada lengan bawah. Pada saat pengemasan dengan posisi duduk dilantai, pergelangan tangan sering dalam posisi membentuk sudut baik pada pergelangan tangan kanan maupun kiri. Saat melakukan proses ini, pergelangan
190
tangan kiri membentuk fleksi dengan sudut 5o. Menurut Brumfield dan Campoux (1984) dalam Kumar (2001) posisi 10o fleksi dan 35o ekstensi merupakan posisi yang masih dapat diterima pada sendi pergelangan tangan dalam melakukan kegiatan normal sehari-hari. Postur genggaman pekerja ketika melakukan pengemasan dapat dikatakan baik karena menggunakan genggaman tangan. Hal ini lebih baik dari pegangan yang hanya menggunakan kekuatan jari. Hal tersebut memiliki risiko ergonomi karena mengangkat objek tidak boleh hanya dengan mengandal kekuatan jari terbatas sehingga dapat cidera pada jari (Kumar,2001). Nilai akhir REBA pada kegiatan ini untuk adalah 2. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat risiko saat pengemasan pakaian dengan postur duduk memiliki risiko rendah (low risk). Menurut Sue Hignett dan Mc Attamney (2000), kegiatan yang memiliki risiko rendah berarti perubahan mungkin dibutuhkan untuk mencegah risiko tersebut bertambah tinggi.
BAB VII SIMPULAN DAN SARAN
7.1. Simpulan Berdasarkan hasil penelitian analisis risiko ergonomi berdasarkan aspek pekerjaan pada pekerja laundry sektor usaha informal, maka dapat diambil kesimpulan yaitu : 1. Gambaran proses kerja pada laundry sektor usaha informal terdiri dari 5 tahapan
kegiatan
yaitu
penimbangan,
pencucian
dan
pemerasan,
pengeringan, setrika dan pelipatan dan pengemasan. 2. Pada proses penimbangan, pencucian dan pemerasan serta pengeringan, postur tubuh yang paling dominan digunakan dan memiliki tingkat risiko meliputi postur leher, punggung, lengan atas, lengan bawah dan pergelangan tangan. Sedangkan untuk proses setrika dan pelipatan serta pengemasan, postur tubuh yang paling dominan digunakan dan memilki tingkat risiko meliputi postur leher, punggung, lengan atas, lengan bawah, pergelangan tangan serta kaki. 3. Berat objek pada semua proses masih berada dibawah 5kg, kecuali pada proses pencucian dan pemerasan, dimana berat objek melebihi 10 kg yaitu saat pekerja membawa wadah pakaian setelah proses pencucian untuk dibawa ke mesin pengering. Untuk coupling, sebagian besar proses
191
192
dilakukan dengan coupling yang bernilai cukup baik. Namun pada proses penimbangan dengan timbangan biasa dan pengangkatan wadah pakaian untuk dimasukkan ke mesin pengering, coupling bernilai kurang baik. Nilai aktifitas yang berupa gerakan berulang dan terdapat postur statis dilakukan pada proses setrika dan pelipatan. 4. Tingkat risiko pada proses penimbangan, pencucian dan pemerasan serta pengemasan dengan posisi berdiri dalam kategori risiko menengah. Sedangkan, pada proses pengeringan dan penyetrikaan dalam kategori risiko tinggi. Pada proses pengemasan dengan posisi duduk dalam kategori risiko rendah. 7.2. Saran 1. Pada proses penimbangan, disarankan agar alat timbangan diletakkan diatas meja dimana tinggi meja harus disesuaikan tinggi dan jangkauan pekerja saat dilakukan penimbangan. 2. Pekerja sebaiknya menggunakan mesin pengering pakaian yang diberikan dudukan pada kaki mesin pengering pakaian agar pekerja tidak terlalu membungkuk saat menggunakan alat tersebut. 3. Saat mengangkat wadah, seharusnya menggunakan wadah pakaian yang memiliki desain pegangan yang baik untuk meminimalisir risiko ergonomi. 4. Pada proses setrika dan pelipatan, sebaiknya pekerja menggunakan tempat duduk yang dapat disesuaikan dengan ketinggian meja setrika dan antropometri pekerja.
193
5. Perlu dilakukan penelitian lanjutan mengenai risiko ergonomi yang sejenis namun memperhitungkan faktor antropometri dan human diversity.
DAFTAR PUSTAKA
ACGIH. 2007. Threshold Limit Values for Chemical Substances and Physical Agents & Biological Exposure Indices. Cincinnati: Kemper Meadow Drive
Bernad, Bruce P. et al. Musculoskeletal Disorders and Workplace Factors: A Critical Review of Epidemiologic Evidence for Work-Related Musculoskeletal Disorders of the Neck, Upper Extrimity, and Low Back. U.S. Department of Health and Human Services: NIOSH http://www.cdc.gov/niosh/docs/97141/pdfs/97-141.pdf diakses 20 Oktober 2009
Bird, E, Jr, Frank and L. Germain. 2005. Kepemimpinan Pengendalian, dan Kerugian Praktis, Edisi ke-3. Terjemahan oleh W. Abdullah. Jakarta: PT. Denvegraha
Bridger, R.S. 1995. Introduction to Ergonomics.. Singapore: McGraw-Hill Book Co
Bridger, R.S. 2003. Introduction to Ergonomics. Second Edition. London: Taylor & Francis
Budiono, Sugeng et al. 2003. Bunga Rampai Hiperkes dan Keselamatan Kerja : Hygiene Perusahaan, Ergonomik, Kesehatan Kerja dan Keselamatan Kerja (Edisi Kedua). Semarang : Badan Penerbit Undip.
Humantech. 1995. Applied Ergonomics Training Manual 2nd Edition. Australia: Barkelery Vale, http://enhs.umn.edu/2004injuryprevent/back/backinjury.html diakses 20 Oktober 2009
ILO. 1998. Work Organization and Ergonomics. International Labour Office. Geneva
194
195
Kumar, Sharawan. 2001. Biomechanics in Ergonomics. Canada : Taylor and Francis
Kurniawati, 2009. Tinjauan Faktor Risiko Ergonomi dan Keluhan Subjektif Terhadap Terjadinya Risiko Terjadinya Muskuloskeletal Disorders (MSDs) Pada Pekerja Pabrik Proses Inspeksi Kain, Pembungkusan, dan Pengepakan di Departemen PPC PT SCTI Ciracas Jakarta Timur Tahun 2009. (Skripsi) Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia Depok
Laraswati, Hervita, 2009, Analisis Risiko Musculoskeletal Disorders (MSDs) Pada Pekerja Laundry Tahun 2009 (Studi Kasus Pada 12 Laundry Sektor Usaha Informal Di Kecamatan Beji Kota Depok (Skripsi) Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia Depok
Lingard, Helen and Steve Rowlinson, 2005, Occupational Health and Safety in Construction Project Management, Spon Press, Taylor & Francis Group, London and New York
Hignett, Sue, and McAtamney Lynn. 2000. Applied Ergonomics : Rapid Entire Body Assessment. USA: CRC Press.
NIOSH. 1997. Musculoskeletal Disorders and Workplace Factors: A Critical Review of Epidemiologic Evidence for Work-Related Musculoskeletal Disorders. NIOSH: Centers for Disease Control and Prevention
NIOSH. 2007. Simple Solution: Ergonomics for Construction Workers. Department of Health and Human Services: Center for Disease Control and Prevention
Oborne, David J,. 1995. Ergonomics at Work Third Edition: Human Factors in Design and Development. England: John Wiley and Sons Ltd.
196
OHSAH, 1999, An Ergonomics Guidelines for Hospital Laundries, Occupational Health and Safety for Healthcare in BC, Vancouver : BC
OHSCO.2007. Resource Manual for the MSD Prevention Guideline for Ontario. Occupational Health and Safety Council Of Ontario : Musculoskeletal Disorders Prevention Series
Pheasant, Stephen. 1991. Ergonomics, Work and Health. Maryland: Aspen Publishers Inc.
Pulat, B.M. 1997. Fundamental of Industrial Ergonomics (Second Edition), USA : Hall International Englewood Clifts, New Jersey Rom, William N. 2007. Environmental and Occupational Medicine, 4th edition (CDROM). GGS Book Services
Salomon, Stephen P. 2004. An Ergonomic Assesment of the Airline Baggage Handler. Departement of Industrial Engineering, New Jersey Institute of Technology
Santoso, Gempur. 2004. Ergonomi: Manusia, Perlatan dan Lingkungan. Jakarta: Prestasi Pustaka Publisher
Stanton, et al. 2005. Handbook of Human Factors and Ergonomics Methods. USA: CRC Press Suma’mur, P.K. 1989. Ergonomi Untuk Produktivitas Kerja. Jakarta: CV. Haji Masagung
197
Tarwaka, et al. 2004. Ergonomi untuk Kesehatan, Keselamatan dan Produktivitas. Edisi I, Cetakan I,. Surakarta : UNIBA Press
The Australian Standard/New Zealand Standard 4360:1999. 1999. Risk Management Guidelines. Sydney. Australia
Triawan, Rudal. 2007. Gambaran Tingkat Risiko Musculoskeletal Disorders (MSDs) Pada Aktivitas Kerja Di Bagian Fabrikasi Machine And Gear Shop PT. Bukaka Teknik Utama Berdasarkan Metode Rapid Entire Body Assesment (REBA) Tahun 2007 (Skripsi). Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia Depok
Vi, P., Penyk, R., Brechun, W., Lefebvre, P., 1998. Ergonomic Improvements To A Baggage Conveyor System At a Large Airline Company, Proceedings of the 30th Annual Conference of the Human Factors Association of Canada, pp. 323327.
Yassierli. 2008. Peningkatan Kinerja K3 dengan Ergonomi, diakses 1 Mei 2009, http://www .ergoinstitute.com/index.php.
REBA Employee Assessment Worksheet
based on Technical note: Rapid Entire Body Assessment (REBA), Hignett, McAtamney, Applied Ergonomics 31 (2000) 201-205
Step 1: Locate Neck Position
Table A
Neck 2
1
+2
+1
B. Arm and Wrist Analysis
SCORES
A. Neck, Trunk and Leg Analysis
Step 7: Locate Upper Arm Position: 3 +2
Legs +2 Neck Score
Step 1a: Adjust… If neck is twisted: +1 If neck is side bending: +1
+2
+1
1 2 3 4 5
Trunk Posture Score
Step 2: Locate Trunk Position
1 1 2 2 3 4
2 2 3 4 5 6
3 3 4 5 6 7
1 2 3 4 5 6
+3 Upper Arm Score Trunk Score
1 1 1 3 4 6 7
Adjust:
Leg Score
(score from table A +load/force score)
3 3 5 6 7 8
4 4 6 7 8 9
1 3 4 5 6 7
2 3 5 6 7 8
3 5 6 7 8 9
4 6 7 8 9 9
2 2 2 4 5 7 8
2
3 2 3 5 5 8 8
1 1 2 4 5 7 8
2 2 3 5 6 8 9
+2 +
+3
+
Step 7a: Adjust… If shoulder is raised: +1 If upper arm is abducted: +1 If arm is supported or person is leaning: -1
Upper Arm Score
+2
+1
Lower Arm Score
Step 9: Locate Wrist Position:
Score B, (table B value +coupling score)
+1
+2
1 2
3
4 5 6 7 8
9 10 11 12
1
1
1
1
2
3
3
4
5
6
7
7
7
2
1
2
2
3
4
4
5
6
6
7
7
8
3
2
3
3
3
4
5
6
7
7
8
8
8
Step 10: Look-up Posture Score in Table B
4
3
4
4
4
5
6
7
8
8
9
9
9
Using values from steps 7-9 above, locate score in Table B
Step 4: Look-up Posture Score in Table A
5
4
4
4
5
6
7
8
8
9
9
9
9
Using values from steps 1-3 above, locate score in Table A
6
6
6
6
7
8
8
9
9 10 10 10 10
7
7
7
7
8
9
9
9 10 10 11 11 11
8
8
8
8
9 10 10 10 10 10 11 11 11
9
9
9
9
10 10 10 11 11 11 12 12 12
+1
+2
Add +1
Step 5: Add Force/Load Score If load < 11 lbs : +0 If load 11 to 22 lbs : +1 If load > 22 lbs: +2 Adjust: If shock or rapid build up of force: add +1
Add +2
Posture Score A
Force/Load Score
Step 6: Score A, Find Row in Table C Add values from steps 4 & 5 to obtain Score A. Find Row in Table C.
10
10 10 10 11 11 11 11 12 12 12 12 12
11
11 11 11 11 12 12 12 12 12 12 12 12
12
12 12 12 12 12 12 12 12 12 12 12 12
Score A
Scoring: 1 = negligible risk 2 or 3 = low risk, change may be needed 4 to 7 = medium risk, further investigation, change soon 8 to 10 = high risk, investigate and implement change 11+ = very high risk, implement change
+4
Step 8: Locate Lower Arm Position:
3 3 4 5 7 8 9
Table C
Score A
Step 3: Legs
2 2 4 5 6 7
1 Wrist
Step 2a: Adjust… If trunk is twisted: +1 If trunk is side bending: +1
1 1 3 4 5 6
Lower Arm
Table B
+4
+2
4 4 5 6 7 8
+1
Wrist Score
Step 9a: Adjust… If wrist is bent from midline or twisted : Add +1
Posture Score B
Step 11: Add Coupling Score Well fitting Handle and mid rang power grip, good: +0 Acceptable but not ideal hand hold or coupling acceptable with another body part, fair: +1 Hand hold not acceptable but possible, poor: +2 No handles, awkward, unsafe with any body part, Unacceptable: +3
Coupling Score
Step 12: Score B, Find Column in Table C Add values from steps 10 &11 to obtain Score B. Find column in Table C and match with Score A in row from step 6 to obtain Table C Score.
Score B
Step 13: Activity Score
Table C Score
Activity Score
+1 1 or more body parts are held for longer than 1 minute (static) +1 Repeated small range actions (more than 4x per minute) +1 Action causes rapid large range changes in postures or unstable base
Final REBA Score
Task name: ________________________________ Reviewer:__________________________ Date: _______/_____/_____
provided by Practical Ergonomics
This tool is provided without warranty. The author has provided this tool as a simple means for applying the concepts provided in REBA .
[email protected] (816) 444-1667
© 2004 Neese Consulting, Inc.
REBA: Scoring Trunk
Use Table A
Use Table B
Group A
L
R
Upper arms L
Neck
+
+ Load/Force Coupling
Legs
Score A
Use Table C
R
Lower arms L
R Wrists
Score B
Score C
+ Activity Score
REBA Score Source: Hignett, S., McAtamney, L. (2000) Applied Ergonomics, 31, 201-5. © Professor Alan Hedge, Cornell University, September 2001.
Group B