Analisis Terhadap Putusan Pengadilan Dalam Perkara Perdata Yang Hukumnya Tidak Ada Atau Hukumnya Tidak Jelas Dr. Ning Adiasih, SH.MH.* ABSTRACT In practice, there will be events which were not regulated by was Laws, or even if it was regulated, still unclear or incomplete. Therefore, a Judge is responsible to fulfill the absence of law by creating, complete or clarify the law it if it needs to be created, completed or clarified by finding the law through exploration and understanding legal norms and justice which lives inside the society so that the law will be applied to the particular event. To provide justice, a Judge should seek the truth behind any event which proceed upon him/her by examining an event and connect it with the governing law and provide a Judgment by stating the law for the particular event. This research is using normative legal research by researching literature and supported by data from interview both from practitioner and academician. The specification of this research is descriptive analytic, and the data compiled is analyze qualitatively towards the substance of legal finding. Good law is law which was accordingly with the living law in society and a reflection of the governing norms in the society. In reality, lawmakers only enacted general law whereas consideration on concrete issues is given to Judges. The background for this is that lawmakers are not fully aware of the newest social norms therefore a Judge must complete the written laws or create a new law by establishing law (rechtsvorming) and finding the law (rechtsvinding) to filled out the absence of law and avoid cases not being examined in the court of law with reason that the written law is unclear or no written law was enacted in concrete cases. Judgments which are taken by Judges have to be accountable with their conscience.
A. Pendahuluan Hakim dalam mengadili suatu
memberikan
suatu
kesimpulan
perkara akan berusaha memberikan
dengan menyatakan suatu hukum
keadilan bagi para pihak. Untuk itu
terhadap peristiwa. 1 Pada praktik
hakim
peradilan,
melakukan
kegiatan
dan
kita
temukan
banyak
tindakan dengan cara menelaah lebih
peristiwa yang belum diatur dalam
dahulu tentang kebenaran peristiwa
peraturan perundang-undangan, atau
yang
meskipun sudah diatur tetapi belum
diajukan
setelah
itu
kepadanya
dan
mempertimbangkan
lengkap atau
kurang jelas dan
dengan memberikan penilaian atas peristiwa
itu
serta
menghubungkannya dengan hukum yang
berlaku
untuk
selanjutnya
*Dosen Tetap Fakultas Hukum Usakti Jakarta 1 Wantjik Saleh K., Kehakiman dan Peradilan, Jakarta: Simbur Cahaya, 1976, hlm. 97.
disinilah salah satu peranan hakim
menyelami perasaan hukum dan
untuk mengisi kekosongan hukum
keadilan
tersebut.
masyarakat.
yang
hidup
Dengan
dalam demikian,
Menurut ketentuan Pasal 5
hakim dapat memberikan putusan
ayat (1) Undang-undang Nomor 48
yang sesuai dengan hukum dan
Tahun 2009 tentang Kekuasaan
keadilan masyarakat. Di
Kehakiman, hakim wajib menggali,
bidang
hukum
perdata
nilai-nilai
dalam hal ada perselisihan antara
hukum dan rasa keadilan yang hidup
dua pihak, hakim harus menyatakan
dalam masyarakat. Ketentuan ini,
hukum perdata yang mana antara
mengandung makna bahwa hakim
mereka
dilarang menolak suatu perkara yang
dilaksanakan dan mungkin dilanggar
dihadapkan
dengan
salah satu pihak. 2 Jika orang hendak
alasan hukumnya tidak ada atau
mempertimbangkan sesuatu dengan
kurang jelas. Dalam hal hukumnya
cara yang benar, maka orang hanya
tidak ada atau tidak jelas, hakim
dapat berbuat demikian mengenai
wajib menggali nilai-nilai hukum
apa yang diketahuinya saja karena
dan rasa keadilan yang terkandung
itu seorang hakim harus banyak
dalam kehidupan masyarakat yang
sekali mempunyai pengetahuan yang
bersangkutan.
berdasarkan pengalaman. 3 Diantara
mengikuti,
memahami
kepadanya
Ketentuan tersebut
menyatakan bahwa prinsip hakim
dua
sebagai
penegak
keadilan
wajib
berlaku
kepentingan
dan
yang
harus
berbeda,
hukum
dan
hukum
menggali
dan
tengah, sebab barang siapa yang
mengikuti nilai-nilai hukum yang
berbuat tidak adil, mengambil terlalu
berlaku di masyarakat didasarkan
banyak barang dan barangsiapa yang
kepada pemikiran bahwa dalam
menderita ketidakadilan, mendapat
masyarakat yang masih mengenal
terlalu
hukum tidak tertulis serta ada dalam
mencabut keuntungan dari orang
pergaulan
yang berbuat tidak adil tadi dengan
dan
peralihan,
hakim
itu
sedikit,
merupakan perumus dan penggali
memperbaiki
nilai-nilai yang hidup dikalangan
2
rakyat. Untuk itu, ia harus terjun ketengah-tengah masyarakat untuk mengenal, merasakan dan mampu
harus
berdiri
maka
imbangan
sama
hakim
dengan
Wirjono Prodjodikoro, Bunga Rampai Hukum, Jakarta: Ichtiar Baru, 1974, hlm. 26. 3 J.J. Von Schmid, Terjemahan R. Wiratno et.al; Ahli-Ahli Pikir Tentang Negara dan Hukum, Jakarta: PT. Pembangunan, 1965, hlm. 34.
hukuman sebab pergi kepada hakim,
sering
berarti pergi kepada keadilan yang
pembangunan
hidup. 4
demikian pesat perkembangannya,
Tujuan hukum memang tidak
ketinggalan
dari
ekonomi
yang
bahkan
pembangunan
hanya keadilan, tetapi juga kepastian
dianggap
sebagai
hukum dan kemanfaatan. Idealnya
pembangunan ekonomi. Oleh karena
hukum harus mengakomodasikan
itu
ketiganya.
5
Lepas dari segala
perlu
hukum
sub
ordinasi
diperhatikan
putusan-putusan
hakim
adanya melalui
kerinduan terhadap hal-hal lain yang
Judge Made Law yang sifatnya jauh
juga menjadi tujuan dari hukum,
lebih elastis dan dinamis dari pada
ketertiban sebagai tujuan utama
hukum tertulis atau undang-undang. 8
hukum
Penemuan
hukum
obyektif yang berlaku bagi segala
diartikan
sebagai
masyarakat manusia dalam segala
pembentukan hukum oleh hakim
bentuknya. 6 Peranan hukum dalam
atau petugas-petugas hukum lainnya
pembangunan
yang diberi tugas melaksanakan
merupakan
menjamin
suatu
adalah
bahwa
fakta
untuk
proses
itu
hukum terhadap peristiwa-peristiwa
terjadi dengan cara yang teratur
hukum yang konkrit. Penemuan
karena
maupun
hukum terutama yang dilakukan
ketertiban (keteraturan) merupakan
oleh hakim dalam memeriksa dan
tujuan kembar dari pada masyarakat
memutus perkara, penemuan hukum
yang sedang membangun, maka
oleh hakim ini dianggap mempunyai
menjadi suatu alat yang tak dapat
wibawa.
diabaikan
mengadakan
baik
perubahan
lazimnya
perubahan
dalam
proses
pembangunan. 7 Disadari hukum 4
terutama
Ilmuan
hukumpun
penemuan
hukum,
hanya kalau hasil penemuan hukum bahwa hukum
peranan tertulis
Ibid., hlm. 35. 5 Darji Darmodiharjo dan Shidarta, PokokPokok Filsafat Hukum, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1999, hlm. 153. 6 Mochtar Kusumaatmadja, Konsep-Konsep Hukum Dalam Pembangunan, Editor, Otje Salman S. dan Eddy Damian, Bandung: PT. Alumni, 2002, hlm. 3. 7 Mochtar Kusumaatmadja, Pembinaan Hukum Dalam Rangka Pembangunan Nasional, Bandung: Binacipta, 1986, hlm. 3.
oleh hakim adalah hukum sedangkan penemuan
hukum
oleh
ilmuan
bukanlah hukum melainkan adalah ilmu atau doktrin. 9 8
Rusli Effendi dan Achmad Ali, Menjawab Tantangan dan Problema Pembangunan Non Hukum Melalui Sarana Pengadilan dan Putusan Hakim, Tulisan dalam Bunga Rampai Pembangunan Hukum Indonesia, Bandung: PT. Erosco, 1995, hlm. 339. 9 SudiknoMertokusumo, Bab-bab tentang
Wewenang
membentuk
Kehakiman, hakim wajib menggali,
hukum tidak hanya diberikan pada
mengikuti,
cabang kekuasaan legislatif, tetapi
hukum dan rasa keadilan yang hidup
juga kepada kekuasaan administrasi
dalam masyarakat. Untuk itu, hakim
Negara (eksekutif) dalam bentuk
wajib menggali hukum yang hidup
peraturan administrasi negara atau
di
peraturan yang dibuat berdasarkan
tersebut terjadi. Oleh karena itu
pelimpahan dari badan legislatif
menarik dilakukan penelitian, jika
(delegated legislation).
10
memahami
masyarakat
nilai-nilai
tempat
perkara
Hukum
hakim menerima dan mengadili
sebagai produk kekuasaan tidak
perkara dimana ketentuan hukum
pernah
kehendak,
tertulisnya belum ada atau jika
dasar-dasar
ketentuan hukumnya tidak jelas.
sendiri.
Disinilah
Sementara sesuai ketentuan Undang-
asal
mula
terlepas
kepentingan, kekuasaan
dari
atau itu
sesungguhnya
permasalahan hukum yang adil atau
Undang
Kekuasaaan
Kehakiman
dilarang menolak perkara.
tidak adil, bermanfaat atau tidak bermanfaat, memuaskan atau tidak
B. Perumusan Masalah
memuaskan baik bagi individu atau
Berdasarkan uraian di atas, maka
masyarakat secara keseluruhan. 11
dapat dirumuskan permasalahan
Penemuan
hukum
relevan
dilakukan jika dalam perkara hakim
sebagai berikut: 1. Bagaimana sikap dan peran
tidak menemukan sumber hukum
hakim
tertulis terutama dalam menangani
menyelesaikan
kasus-kasus yang terjadi di daerah-
yang belum diatur dalam
daerah
peraturan
yang
masih
eksis
menerapkan hukum adat. Sesuai dengan asas peradilan sebagaimana
dalam perdata
perundang-
undangan? 2.
Bagaimana
sikap
tercantum dalam ketentuan Pasal 5
peran
ayat (1) Undang-undang Nomor 48
menyelesaikan
Tahun 2009 tentang Kekuasaan
perdata apabila undang-
Penemuan Hukum, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1993, hlm. 4-5. 10 Bagir Manan, Sistem Peradilan Berwibawa (Suatu Pencarian), Jakarta: Mahkamah Agung, 2005, hlm. 3. 11 Ibid., hlm. 5.
hakim
dan
undang
tidak
dalam perkara
jelas
dikaitkan
dengan
kewajiban
hakim
menggali nilai-nilai yang
proses transformasi masyarakat ke
hidup dalam masyarakat?
arah yang lebih baik melalui hukum, pada umumnya dikenal adanya 3
c. Asas Hukum Yang Berkaitan Dengan Penyelenggaraan Kewajiban Hakim Dalam Menggali Nilai-Nilai Yang Hidup Di Masyarakat
badan
yang
terkait
didalamnya.
Badan-badan itu adalah pembuat hukum, badan penegak hukum, dan badan pelaksana hukum.
Pada dasarnya hukum yang hidup di masyarakat baik yang formal maupun non formal yang eksistensinya masyarakat
diyakini tentang
apa
oleh yang
seharusnya (das sollen) demikian. Hukum
itu
sendiri
merupakan
bentuk formal dari struktur dan kultur masyarakat. Oleh karenanya hukum
positif
Indonesia
adalah
wujud formal dari struktur dan kultur sistem masyarakat kita yang masih diwarnai oleh berbagai corak yang menjadi struktur dan kultur masyarakat kita sebelum merdeka. Dengan kata lain pada hukum positif kita masih terlihat corak sistem hukum yang berdimensi masa lalu, masa kini, dan arah di masa datang. Dalam hukum
hal
inilah
pembangunan
berupaya
melakukan
orientasi terhadap fenomena ini menuju
terwujudnya
hukum
nasional yang dicita-citakan (ius constituendum). 12
12
Pasal 1 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 menyatakan: “Kekuasaan Kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia”. Kemudian di Pasal 10 ayat (1) Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 dijumpai ketentuan sebagai berikut: “Pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutuskan suatu perkara yang diajukan dengan dalil bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya”. Pasal-pasal
tersebut
diatas
membuktikan bahwa hakim juga mempunyai
fungsi
mengadakan
upaya dan transformasi masyarakat
Di dalam suatu
Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman dan HAM-RI, Pola
Pikir dan Kerangka Sistem Hukum Nasional Serta Rencana Pembangunan Hukum Jangka Panjang, (Jakarta, 1996), hlm. 50.
melalui hukum. Hal ini lebih tegas
perlindungan dan penyelesaian
lagi dikatakan dalam Pasal 5 ayat (1)
itu adalah negara. Untuk itu,
bahwa
negara
Hakim
wajib
menggali,
menyerahkan
kepada
mengikuti dan memahami nilai-nilai
kekuasaan
kehakiman
hukum dan rasa keadilan yang hidup
berbentuk
badan
dalam
Keadaan
dengan para pelaksananya yaitu
diatas
hakim. Pasal 11 ayat (1) Undang-
menunjukan bahwa saluran-saluran
undang Nomor 48 Tahun 2009
untuk memfungsikan hukum sebagai
menyatakan
sarana merubah dan memperbaharui
pengadilan memeriksa, mengadili
struktur dan kultur masvyarakat
dan
telah kita miliki.
sekurang-kurangnya
masyarakat.
sebagaimana
disinggung
yang
peradilan
bahwa
semua
memutuskan
dengan 3
(tiga)
orang hakim, kecuali undangundang menentukan lain.
D. Tugas dan Peranan Pengadilan 13 Dalam hal terjadi suatu
kalimat tersebut diatas adalah
pelanggaran hukum, baik berupa
“mengadili”. Sebenarnya dengan
pelanggaran
seseorang
kata “mengadili” sudah tercakup
umum,
kata-kata yang lainnya. Perbuatan
maka tidaklah boleh begitu saja
“mengadili” adalah bertujuan dan
terhadap si pelanggar itu diambil
berintikan
“memberikan
suatu
keadilan”.
Untuk
maupun
13
Kata yang terpenting dalam
hak
kepentingan
tindakan
untuk
memberikan
menghakiminya oleh sembarang
suatu
orang. Perbuatan “menghakimi
melakukan kegiatan dan tindakan.
sendiri” atau “eigenrichting” itu
Pertama-tama
sangatlah tercela, tidak tertib dan
dahulu
harus
peristiwa
dicegah.
Tidak
hanya
keadilan
suatu
itu
menelaah
kebenaran
yang
diajukan
kepadanya.
tapi
mempertimbangkan
suatu
perlindungan dan penyelesaian.
memberikan
Yang
peristiwa
berhak
memberikan
Wantjik Saleh, Kehakiman dan Peradilan, Jakarta : Ghalia Indonesia, 1976, hlm. 11.
lebih
tentang
cukup dengan suatu pencegahan, diperlukan
hakim
Setelah
penilaian
itu dengan atas
itu
serta
menghubungkannya
dengan
hukum
yang
selanjutnya
berlaku,
untuk
memberikan
suatu
kesimpulan dengan menyatakan
tidak jarang terdapat peraturan
suatu hukum terhadap peristiwa
perundang-undangan yang tidak
itu. Tugas dan peranan Hakim
tahan lama, segera menjadi tidak
sebagai Penegak Hukum berbeda
berdaya guna, ketinggalan dengan
dengan Penegak Hukum yang
perkembangan
lainnya (Polisi dan Jaksa). Karena
Karena itu, pembentukan hukum
bagi
tidak hanya digantungkan kepada
hakim
atau
pengadilan
masyarakat.
dalam tugas itu, terselip suatu
para
tugas dan peranan yang lain, yaitu
perundang-undangan saja, juga
sebagai
kepada
“pembentuk
hukum”.
pembuat
para
peraturan
hakim
Tugas dan peranan yang kedua
pengadilan
ini, artinya sangatlah menjadi
melakukan suatu “pembentukan
lebih
rangka
hukum”. Tentulah perbuatan dan
pembaharuan
hasil pembentukan hukum oleh
penting
pembinaan
dalam
dan
diharapkan
atau
hukum di negara kita sekarang
Pengadilan
ini.
perbuatan dan hasil dari pembuat Hukum
peraturan
berupa
oleh
peraturan
melindungi maupun
pembuat
perundang-undangan pembuatnya memilih
hukum yang akan dibuatnya,
dengan
sedangkan Pengadilan sangatlah
perorangan
terbatas pada persoalan peristiwa
tertib
baik
dapat leluasa dalam
untuk
dimaksudkan tata
perundang-undangan.
Karena dalam membuat peraturan
perundang-undangan
mengatur
peraturan
dengan
yang
perundangan
diciptakan
yang
yang
berbeda
supaya
masyarakat
biasanya
atau
kasus
yang
diajukan
memberikan ketentuan-ketentuan
kepadanya. Karena itu, hasilnya
yang
pun berbeda.
bersifat
umum.
Karena
Sebenarnya semua putusan
dalam membuat suatu peraturan itu,
Pengadilan adalah berisi hukum.
pembuatnya tentulah sulit untuk
Tetapi yang dimaksudkan disini
menjangkau waktu dan keadaan
dengan “pembentukan hukum”
yang
oleh pengadilan itu, ialah suatu
perundang-undangan
tertentu,
tidak
dapat
mencakup segala peristiwa yang
usaha
yang
sungguh-sungguh
sedang atau akan terjadi dalam
dalam
masyarakat. Oleh karena itu,
memberikan suatu yang baru,
putusannya
itu
baik dengan cara menciptakan
dalam suatu putusan Pengadilan
suatu kaedah yang baru, yang
seyogyanya merupakan hukum
tadinya
maupun
yang khusus, kongkrit dan jelas,
dengan cara meninggalkan atau
lebih daripada itu juga harus
menyimpangi yang telah ada, lalu
sesuai
menciptakan
masyarakat.
belum
ada,
yang
lain.
dengan
perkembangan
Untuk
menyebut
Sebagaimana diketahui banyak
beberapa contoh yang baru, yang
peraturan
perundang-undangan
diberikan oleh Mahkamah Agung
yang ada sekarang ini, terutama
kita dalam beberapa putusannya
yang berasal dari zaman Hindia
sesudah tahun 1966, antara lain:
Belanda, sudah tidak sesuai lagi
putusan tanggal 17 Mei 1967 No.
dengan alam kemerdekaan dan
8 K/Sip/1967, tentang uang paksa
ketinggalan
dengan
yang tidak diatur dalam H.I.R,
perkembangan masyarakat. Tapi
putusan tanggal 11 Juni 1967 No.
hal itu belum diganti dengan yang
100
lain,
kedudukan
yang
sesuai
dengan
K/Sip/1967 pria
tentang
dan
wanita,
keadaannya. Maka dalam hal ini,
putusan tanggal 15 Maret 1969
apakah
No. 39 K/Sip/1968 tentang alasan
Pengadilan
harus
menerapkan sesuatu yang sudah
“Onheelbare
tidak sesuai lagi? Kalau masih
bercerai, dan putusan tanggal 6
diterapkan juga persis seperti
Maret 1971 No. 99 K/Sip/1971
yang dikehendaki oleh peraturan
tentang acara gugat cerai Pasal 53
perundangan
H.O.C.I.
itu,
berarti
Pengadilan
tidak
lebih
hanyalah
“sebuah
twestpalt”
Dalam
atau
untuk
melakukan
mulut”
peradilan,
Pengadilan
harus
daripada peraturan perundang-
mengadili
berdasarkan
hukum
undangan suatu hal yang sudah
yang
tidak layak lagi.
tertulis dan tidak tertulis. Hal ini
berlaku,
meliputi
yang
bentukan
seperti dapat ditarik dari Pasal 5
pembuat peraturan perundang-
ayat 1 Undang-undang Nomor 14
undangan selain bersifat umum
tahun
juga abstrak atau juga penuh
kalau sekiranya hukum tersebut
dengan
kekurangjelasan,
tidak atau kurang jelas, terutama
sedangkan hukum yang tercipta
umpamanya dalam hal hukum
Hukum
hasil
1970.
Lalu
bagaimana
yang
tidak
Undang-undang Nomor 48 Tahun
tertulis,
apakah
Pengadilan
begitu
saja
2009
menyatakan
tidak
mau
mensyaratkan
dalam
Pasal
50
bahwa
nya segala
mengadili?. Hal tersebut dijawab
putusan Pengadilan selain harus
oleh Pasal 10 ayat 1 Undang-
memuat alasan-alasan dan dasar-
undang Nomor 48 Tahun 2009
dasar putusan itu, juga harus
yang menyatakan dengan tegas
memuat pula pasal-pasal tertentu
bahwa Pengadilan tidak boleh
dari peraturan yang bersangkutan
menolak
atau sumber hukum tak tertulis
untuk
memeriksa,
mengadili, dan memutus suatu
yang
dijadikan
perkara yang diajukan dengan
mengadili.
dasar
untuk
dalih hukum bahwa tidak ada atau
kurang jelas,
wajib
untuk
melainkan
memeriksa
dan
E. Kewajiban dan Tanggung Jawab Hakim
mengadilinya. Ini adalah sesuatu ketentuan yang
layak,
selain
memang
didasari oleh suatu adagium yang menyatakan dianggap
bahwa
tahu
“Hakim
hukum”,
juga
untuk memberikan suatu jaminan bagi
setiap
pencari
keadilan.
Selain itu memang adalah tugas Pengadilan,
yang
kepadanya
sudah diberikan suatu wewenang pula untuk melakukan penafsiran
Dalam memberikan suatu dan
sekaligus hukum
menyatakan
seyogyanya putusan semua
mungkin
yang
baru,
pihak.
juga suatu
memang
tertuang yang
jawab
hakim
formal
yuridis
terutama bersumber dari Undangundang Kehakiman
tentang
Kekuasaan
(Undang-undang
Nomor 48 Tahun 2009), Pasal 3, Pasal 5, Pasal 10 ayat (1), Pasal 13 ayat (1), Pasal 14, Pasal 15, Pasal 50 ayat (1,2), Pasal 51, Pasal 52 ayat (1). Di sini dapat diartikan bahwa, “dipundak para hakim telah diletakkan kewajiban
(interprestasi) hukum.
keadilan
Kewajiban dan tanggung
dalam
menyakinkan Karena
itu,
dan tanggung jawab agar hukum dan keadilan ditegakkan itu, baik yang didasarkan kepada hukum tertulis atau hukum tidak tertulis tidak boleh ada satupun yang bertentangan dengan asas dan sendi peradilan berdasar Tuhan
Yang Maha Esa.
14
Pendapat
kepada
diri.
Lebih
lanjut
demikian ternyata sesuai dengan
ditegaskan, “kalau inilah landasan
penjelasan Pasal 10 ayat (1)
tanggung jawab hakim akankah ia
Undang-undang Nomor 48 Tahun
ragu-ragu menguji, kalau perlu
2009 yang berisi, “Hakim sebagai
membatalkan
organ pengadilan yang dianggap
bertentangan dengan Pancasila
memahami
dan Tuhan Yang Maha Esa”. 15
hukum.
Pencari
peraturan
yang
keadilan datang padanya untuk mohon keadilan. Andaikata ia
Undang-Undang Dasar 1945
tidak menemukan hukum tertulis,
menentukan
ia wajib menggali hukum tidak
kehakiman adalah kekuasaan yang
tertulis
bebas
untuk
berdasarkan seorang
memutus
hukum
yang
sebagai
bijaksana
dan
bahwa
kekuasaan
merdeka.
Kekuasaan
Kehakiman ini ditegaskan pula pada
dan
TAP MPR Nomor III/MPR/1973 Jo
bertanggung jawab penuh kepada
TAP MPR Nomor VI/MPR/1978
Tuhan Yang Maha Esa, diri
tentang Kedudukan dan Hubungan
sendiri, masyarakat, bangsa dan
Tata
negara.
Negara dengan atau Antar Lembaga-
Kerja
Lembaga
lembaga Tinggi Lebih ditekankan melalui
Pasal
11
Tertinggi
Negara.
ditetapkan
Dalam bahwa
Pasal 2 ayat (1) UU. No. 48
Mahkamah Agung adalah badan
Tahun 2009 bahwa peradilan
yang
dilakukan
kehakiman yang dalam pelaksanaan
Berdasarkan
“Demi
Keadilan
Ketuhanan
melaksanakan
kekuasaan
Yang
tugasnya terlepas dari kekuasaan
Maha Esa”. Lain lagi pendapat
pemerintah dan pengaruh-pengaruh
Bismar Siregar, yaitu undang-
lainnya.
undang secara jelas menegaskan
Ketentuan hukum lain yang
tanggung jawab hakim itu bukan
merupakan
dasar
kepada negara, bukan kepada
kekuasaan
kehakiman
bangsa, tetapi pertama kepada
Undang-undang Republik Indonesia
Tuhan Yang Maha Esa baru
Nomor 48 Tahun 2009 tentang
pelaksanaan adalah
Kekuasaan Kehakiman. Penjelasan 14
Bismar Siregar, Berbagai Segi Hukum dan Perkembangan Dalam Masyarakat, Bandung :Alumni, 1983, hlm. 7.
15
Ibid., hlm. 8.
Pasal 1 Undang-undang Republik
diberikan oleh UUD 1945 kepada
Indonesia Nomor 48 Tahun 2009
Mahkamah
tersebut,
bahwa baik keadaan, bentuk maupun
menegaskan,
bahwa
Agung
ditafsirkan
kekuasaan kehakiman yang merdeka
susunannya
mengandung pengertian di dalamnya
pelaksananya yaitu para hakim harus
“kekuasaan yang bebas dari campur
diatur
tangan
Mahkamah Agung.
pihak
kekuasaan
negara
termasuk
secara
para
internal
oleh
lainnya dan kebebasan dari paksaan,
Fungsi kekuasaan kehakiman
direktiva atau rekomendasi yang
yang merdeka dilaksanakan oleh
datang dari pihak ekstra yudisial
hakim berdasarkan hukum positif,
kecuali dalam hal-hal yang diijinkan
namun
undang-undang”.
dikemukakan
Kebebasan
dalam
tidak
sebagaimana oleh
yang
Montesquie
tentang hakim merupakan mulut
melaksanakan wewenang yudisial
Undang-Undang,
tidak mutlak sifatnya karena tugas
Undang-Undang bukan hukum. Hal
hakim adalah menegakkan hukum
ini
dan keadilan berdasarkan Pancasila,
menjalankan tugasnya, hakim harus
dengan jalan menafsirkan hukum
mengambil
dan mencari dasar-dasar serta asas-
konkret itu dari hukum positif yang
asas yang jadi landasannya, melalui
berlaku, yaitu dalam Kitab Undang-
perkara-perkara
Undang saja, yang dianut ajaran
yang dihadapkan
dan
dimaksudkan
di
bahwa
ketentuan
dalam
individual
kepadanya sehingga keputusannya
legisme
mencerminkan
pelaksanaan hukum di negara yang
perasaan
keadilan
yang
luar
Dalam kedudukan kehakiman,
Apabila
Mahkamah Agung merupakan badan
mewujudkan
mandiri yang ditunjuk UUD 1945
kenyataan
menjalankan
tersebut.
UUD
cabang-cabang
Koesnoe
1945
melarang
kekuasaan
kehakiman. mengatakan
hakim
dilarang
hukum selain
dalam
berdasarkan
kekuasaan
negara
yang lainnya untuk mempengaruhi kekuasaan
dasar
menganut sistem kodifikasi. 16
bangsa dan rakyat Indonesia.
untuk
merupakan
Moh. bahwa
kemerdekaan atau kebebasan yang
16
Sudikno Mertokusumo & Pitlo, Bab-bab tentang Penemuan Hukum, Yogyakarta: Citra Adytia, 1993, hlm. 9-10. Lihat pula pendapat John Henry Marryam, Op.cit, hlm. 27. Yang mengatakan bahwa hakim hanyalah merupakan corong Undang-undang, dan dilarang untuk menciptakan hukum, dilihat dari tradisi hukum yang berkembang di dunia yang umumnya dianut negara-negara yang menganut tradisi hukum kontinental (civil law).
Undang-undang, maka hakim tidak
Di samping itu pula aliran
menjalankan fungsi secara bebas
yang disebut Freirechtlehre yang
dalam menerapkan Undang-undang
beranggapan bahwa peran hakim
terhadap peristiwa konkrit. Hakim
aktif
tunduk pada kekuasaan pembuat
Undang-undang. 17 Ajaran ini dibagi
Undang-undang, dan melaksanakan
dua, yakni aliran sosiologis, yang
apa
mengakui kebebasan hakim dalam
yang
diinginkan
Undang-undang,
pembuat sedangkan
tidak
terikat
menemukan
kaku
nilai-nilai
pada
dalam
Undang-undang bersifat statis dan
masyarakat, dan mencarinya dalam
manusia berkembang dan hal itu
hukum
menimbulkan masalah hukum yang
Mertokusumo mengatakan bahwa
baru.
pada umumnya negara-negara di Kalangan yang menolak ajaran
legisme
ini
mengatakan
Undang-undang dengan
tidak
keadilan,
menyetujui
dan
bahwa
dunia
kodrat.
menganut
Sudikno
ketiga
aliran
diterapkan
secara
bahwa
tersebut
identik
bersama-sama. Undang-undang akan
yang
tidak
dijadikan
demi
Undang-undang
patokan,
dan
tidak
apabila
memenuhi
menegakkan keadilan, maka hukum
kebutuhan
ditegakkan.
semakin
hukum maka hakim dapat mengisi
berkembang diikuti oleh pandangan
kekosongan hukum itu dengan jalan
bahwa hakim bukan corong Undang-
menafsirkan
undang tetapi pembentuk hukum
perkara. Sumber hukum yang biasa
yang memberi bentuk pada isi
dimanfaatkan apabila kedua sumber
Undang-undang
hukum
Keadaan
dan
dalam
dalam
tersebut
perwujudan
memutuskan
tidak
dapat
permasalahan
dalam
menyesuaikannya dengan kebutuhan
menjawab
hukum. Hakim dalam memutuskan
perwujudan
perkara, dibimbing oleh pandangan
kenyataan, maka ditemukan sumber
pribadinya
(bigrippjurisprudenz),
hukum lain berupa kebiasaan dalam
pengertian hukum tidak semata-mata
masyarakat. Hakim di Indonesia
dilihat sebagai sarana melainkan
akan melakukan tugasnya sesuai
sebagai
tujuan,
sehingga
ajaran
dengan sistem yang ada, yang
hukum
menjadi
ajaran
tentang
tercantum dalam Pembukaan UUD
pengertian.
17
hukum
dalam
Sudikno Mertokusomo & Pitlo, Op.Cit., hlm. 44.
1945 yang mengandung cita hukum
reformasi di bidang hukum untuk
bangsa
pokok-
mendukung penanggulangan krisis
pokok pikiran yang menjadi patokan
di bidang hukum. Salah satu agenda
Indonesia,
yaitu
pandangan bangsa tentang hukum.
18
yang
harus
dijalankan
adalah
Hakim dalam menjalankan tugasnya
pemisahan yang tegas antara fungsi-
yaitu mewujudkan hukum dalam
fungsi
kenyataan,
walaupun
diberikan
Pemisahan ini dilakukan dengan
kebebasan,
namun
harus
yudikatif
dan
mengalihkan
eksekutif.
organisasi,
memperhatikan cita hukum yang
administrasi, dan finansial badan-
menurut Moh. Koesnoe memuat ide-
badan peradilan yang semula berada
ide sosial yang dicita-citakan bangsa
di bawah departemen kehakiman
Indonesia yang merupakan dasar
menjadi berada di bawah kekuasaan
pembentukan ide kenegaraan yang
Mahkamah Agung. Hal ini karena
selanjutnya
pembinaan lembaga peradilan yang
dijabarkan
kembali
dalam bentuk UUD 1945. 19 Menurut
selama ini dilakukan oleh eksekutif
UUD
1945,
dianggap memberi peluang bagi
kekuasaan kehakiman merupakan
penguasa melakukan intervensi ke
salah
dalam
satu
pelaksana
tatanan
proses
peradilan
serta
kekuasaan dalam negara Republik
berkembangnya kolusi dan praktik-
Indonesia yang mewujudkan cita
praktik
hukum secara mandiri. Saat ini perwujudan
cita
kenyataannya
hukum
dalam
peradilan.
pada
masyarakat
negatif
pada
proses
20
Dalam
rangka
mencapai
kekuasaan kehakiman yang merdeka
dilakukan oleh hakim berdasarkan
dibutuhkan
Undang-undang Nomor 35 Tahun
peraturan perundang-undangan yang
1999
berkaitan
tentang
Perubahan
Atas
perubahan
dengan
berbagai
organisasi,
Undang-undang Nomor 14 Tahun
administrasi, dan finansial badan-
1970
badan peradilan. Perubahan tentang
tentang
Kehakiman.
Kekuasaan
Undang-undang
ini
dibuat dalam memenuhi tuntutan
penataan organisasi, keuangan
kembali
bidang-bidang
administrasi, dilaksanakan
dan secara
18
Moh. Koesnoe, Ajaran Mahkamah Agung Tentang Bagaimana Seharusnya Menafsirkan UU Dari Masa Kolonial. Jakarta: Varia Peradilan, 1996, No. 126, hlm. 123-126. 19 Ibid.
20
Penjelasan Umum Undang-undang Nomor 35 Tahun 1999 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentag Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman.
bertahap dalam jangka waktu 5
yang mandiri tersebut diwujudkan
tahun. Demi terciptanya checks and
dalam hukum secara harfia. Dalam
balances
terhadap
lembaga
menjalankan kewenangannya hakim
peradilan,
antara
perlu
harus memperhatikan ide-ide sosial
diusahakan agar putusan pengadilan
yang merupakan dasar pelaksanaan
dapat diketahui secara terbuka dan
cita negara. Oleh sebab itu walaupun
transparan
oleh masyarakat dan
berada dalam masa transisi, hakim
dibentuk Dewan Kehormatan Hakim
perlu melaksanakan tiga langkah
yang
tadi,
lain
berwenang
perilaku
mengawasi
hakim,
rekomendasi
memberikan
tentang
perekrutan
yaitu
menjadikan
Undng-
undang sebagai sumber hukum, atau menafsirkan,
dan
memperhatikan
hukum kebiasaan yang tidak tertulis.
promosi dan mutasi hakim.
Bertolak dari pendapat yang
Pengalihan kewenangan dari Menteri Pertahanan Keamanan dan
mengatakan,
bahwa
Menteri Kehakiman kepada Ketua
merupakan
mekanisme
Mahakamah
mengintegrasikan
Agung
dalam
hukum
itu yang
kekuatan-
menentukan badan peradilan yang
kekuatan dan proses-proses di dalam
berwenang
masyarakat,
memeriksa
koneksitas; ketentuan jangka
dan
penambahan
mengenai waktu
dengan
yang
pelaksanaan
organisasi,
perkara
maka
Satjipto
Rahardjo, 21 mengemukakan bahwa
penegasan
“pengadilan
berkenaan
lembaga
pengalihan
menjadi pendukung dari mekanisme
administrasi,
dan
itu.
Di
pastilah
yang
dalam
merupakan
terutama
lembaga
sekali
inilah
finansial dari badan-badan peradilan
sengketa-sengketa yang terdapat di
yang dilakukan secara bertahap dan
dalam
dalam waktu paling lama 5 tahun,
sehingga tidak lalu berkembang
namun untuk peradilan agama tidak
menjadi
ditentukan
membahayakan
waktunya.
Walaupun
masyarakat
diselesaikan,
pertentangan
yang
kekuasaan kehakiman, berdasarkan
keamanan/ketertiban. Di tempat ini
Undang-undang
bawah
pulalah nilai-nilai yang dihayati dan
Agung
dikehendaki oleh rakyat serta pola-
mandiri
pola hubungan sosial yang telah
kewenangan yang
akan
Mahkamah
diberikan
berdasarkan
di
UUD
hak 1945
namun
tidaklah berarti bahwa kebebasan
21
Satjipto Rahardjo, Op.cit., hlm. 106.
disetujui
bersama
kemudian
kesepakatan
nilai-nilai
dimana
Dengan
segenap anggota masyarakat itu
demikian, maka sebagai lembaga
menghayati nilai-nilai yang sama,
pengintegrasi, pengadilan juga dapat
maka pengadilannya tentulah tidak
dipandang sebagai lembaga yang
terlalu serumit yang terdapat pada
mengendalikan pola-pola kehidupan
masyarakat yang berlandaskan nilai-
sosial serta menjamin nilai-nilai
nilai yang berbeda. Dalam hubungan
yang dihayati oleh anggota-anggota
dengan pranata yang dipakai oleh
masyarakat” Tetapi, tentulah agar ia
suatu
dapat menjalankan fungsinya itu,
menyelesaikan
pertama-tama
diantara
ditegaskan
kembali.
para
warga
masyarakat
untuk
sengketa-sengketa
para
anggotanya,
oleh
masyarakat haruslah bergerak untuk
Chambliss
memanfaatkan
dapat
Satjipto Rahardjo, ada dua unsur
diberikan oleh lembaga ini. Mereka
yang merupakan faktor yang turut
harus senantiasa bersedia untuk
menentukan, yaitu: 23
jasa
yang
membawa
perkara-perkaranya
depan
pengadilan
ke
(1)
untuk
pengadilan mengalami
Seidman
penyelesaian
sengketa itu. Apabila tujuan karena
itu,
sekarang
lembaga ini
sedemikian
yang oleh pranata itu adalah
telah
untuk
merukunkan
rupa
pihak
sehingga
sehingga merupakan suatu lembaga
selanjutnya
dengan pranata yang tidak sederhana
bersama
lagi.
22
dalam
Tujuan yang hendak dicapai dengan
diselesaikan. Oleh
dan
para mereka
dapat kembali
hidup setelah
Dilihat di dalam kaitan
sengketa itu, maka orang itu
sosialnya, maka setiap pengadilan
dapat mengharapkan, bahwa
itu merupakan respons terhadap
tekanan disitu akan lebih
tuntutan masyarakat yang menjadi
diletakkan kepada cara-cara
landasannya.
Pengadilan
mediasi
dimaksudkan
sebagai
disini
dan
kompromi.
pranata
Sebaliknya, apabila tujuan
penyelesaian sengketa yang dipakai
dari pranata itu adalah untuk
oleh suatu masyarakat. Di dalam
melakukan
masyarakat
peraturan-peraturan
yang
berdasarkan 23
22
Ibid., hlm. 106-107.
penerapan (rule-
Chambliss & Seidman dalam Satjipto Rahardjo, Ibid., hlm. 52.
enforcement), cara
penyelesaian
cara-
masih rendah, kesepakatan
yang
nilai-nilai
masih
mudah
bersifat birokrasi mungkin
dicapai, dimana perukunan
akan lebih banyak dipakai,
merupakan pola penyelesaian
dimana
yang
sengketa, maka di dalam
untuk
masyarakat yang mempunyai
sasarannya
utama
(2)
maka
adalah
menetapkan secara tegas apa
tingkat
perlapisan
yang sesungguhnya menjadi
tinggi
dengan
isi dari suatu peraturan itu
masyarakatnya
serta selanjutnya menentukan
mendorong
apakah peraturan itu telah
ketidaksamaan
dilanggar.
penerapan
Tingkat
perlapisan
yang
terdapat
di
dalam
yang susunan yang
timbulnya (inequality), peraturan-
peraturan
dengan
pembebanan
sanksi
masyarakat. Semakin tinggi
merupakan pola kerja yang
tingkat
perlapisan
yang
cocok untuk masyarakatnya.
terdapat
di
dalam
masyarakat, semakin besar
Berdasarkan
hal
itu,
menurut
pula perbedaan kepentingan
Chambliss dan Seidman, bahwa
dan nilai-nilai yang terdapat
masyarakat yang kurang terlapis
disitu. Dalam keadaan yang
dan
demikian, maka lapisan atau
cenderung untuk memakai pola
golongan yang dominan akan
penyelesaian berupa perukunan,
mencoba
sedangkan
untuk
dengan
memaksakan
cara
berlakunya
kedudukannya.
dalam
sosial
yang
kompleks,
tinggi
lebih
kecenderungannya
ada pada penerapan peraturan-
menjamin
peraturan. Mengenai hubungan
Berbeda
antara struktur masyarakat dan
dengan keadaan masyarakat sederhana, dimana tingkat pemakaian
sebaliknya
akan
disitu
peraturan-peraturan yang
kompleks
masyarakat dengan perlapisan
mempertahankan kelebihannya
kurang
teknologi
dan
pembagian kerja di dalamnya
metode
penyelesaian
sengketanya terlihat pada tabel
dilihat sebagai suatu badan yang
berikut: 24
otonom di dalam masyarakat, melainkan
diterima
sebagai
suatu badan yang merupakan bagian dari keseluruhan nilainilai dan proses-proses yang bekerja di dalam masyarakat tersebut. Salah satu cara untuk Persoalan mengenai bekerjanya hukum dalam hubungan dengan proses peradilan secara konvensional melibatkan pembicaraan tentang kekuasaan kehakiman, prosedur berperkara
dan
sebagainya.
Secara singkat dapat dikatakan, bahwa
masalahnya
disini
adalah: “bagaimana mengatur penyelesaian sengketa secara tertib
berdasarkan
prosedur
formal
proseduryang
telah
Menurut Satjipto Rahardjo, “keadaan agak
lain
apabila
penyelesaian sengketa itu dilihat sebagai fungsi kehidupan sosial disitu”. Yang menjadi masalah disini adalah : bagaimanakah bekerjanya sebagai
adalah
pengadilan
suatu
pranata
itu yang
melayani kehidupan sosial. Di dalam kerangka penglihatan ini maka lembaga pengadilan tidak
dengan
Ibid., hlm. 68.
ini
melihat
pengadilan itu sebagai suatu lembaga yang dapat menerima bahan-bahan serta tugas-tugas yang
harus
datangnya
digarap
masyarakat. tersebut
dan
adalah
dari
Penerimaan
kemudian
setelah
diolah menghasilkan “barangbarang” yang disebut keputusan. Di dalam proses pengolahan
itu turut mengambil bagian dari berbagai macam faktor dan keadaan
yang
harus
diperhatikan. Oleh karena itu maka
penglihatan
pengadilan
dari
menaruh
terhadap sudut
perhatian
itu besar
terhadap unsur-unsur pranata yang bertugas sebagai semacam mesin
untuk
melakukan
pengolahan tersebut. Hal ini digambarkan
24
keadaan
bahan menjadi produk terakhir
ditentukan”.
menjadi
menggambarkan
dalam
bentuk
diagram oleh Satjipto Rahardjo
masyarakat secara sadar kepada
sebagai berikut: 25
tujuan
yang
ditentukan.
Pemimpin atau para kepala ini tugasnya
lebih
menyalurkan
bersifat
anggota-anggota
masyarakat agar mereka berbuat sesuai dengan adat. Di sini sama Memasukkan pula proses bekerjanya
sekali tidak ada penggunaan
umpan balik sebagaimana dapat
paksaan, tidak ada sesuatu yang
dilihat pada diagram diatas,
dibebankan
didapatkan gambaran yang lebih
hakim melalui keputusannya,
jelas lagi mengenai kedudukan
seyogyanya tidak menjatuhkan
lembaga
putusan-putusan
pengadilan
sebagai
atas.
yang
Para
tidak
bagian dari keseluruhan proses
membumi, dalam arti sama
bekerja di dalam masyarakat.
sekali
Hubungan antara kompleksitas
masyarakatnya. Di saat suatu
dan
masyarakat
jenis kejahatan tertentu sedang
dengan cara-cara penyelesaian
marak-maraknya, lantas hakim
sengketa
hanya
perlapisan
ini
tampaknya
jauh
dari
kebutuhan
menjatuhkan
sanksi
tercermin pada kedudukan dan
pidana minimal terhadap para
peranan seorang kepala adat di
pelaku jenis kejahatan itu, mau
Indonesia
tidak mau mempengaruhi sikap
pada
lampau.
waktu-waktu
Lebih
lanjut
warga masyarakat yakni tidak
dikemukakan Satjipto Rahardjo,
ngeri untuk juga melakukan
bahwa
jenis kejahatan itu, dan bagi
pemimpin
masyarakat
pada
Indonesia
asli
yang
sudah
pernah
sebetulnya adalah penjelmaan
melakukannya
adat setempat. Ia tidak dapat
tidak jera untuk melakukannya
dibayangkan sebagai pemimpin
lagi. Seyogyanya para hakim
dalam
benar-benar
sekarang
pengertian yang
zaman
menjalankan
kekuasaannya untuk membawa
Satjipto Rahardjo, Op.cit., hlm. 54.
akan
menjadi
mewujudkan
harapan yang terkandung dalam Undang-Undang Kehakiman
25
dari
Kekuasaan
Undang-undang
Nomor 48 Tahun 2009, yang
menginginkan
hakim
memutus,
dalam
(7)
Alternatif-alternatif peraturan yang dapat
senantiasa
memperhatikan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat.
26
digunakan. Berkaitan dengan hal ini, Satjipto Rahardjo, mengemukakan: 28
Namun dari segi sosiologis, sekalipun pasal yang menjadi dasar dari
Hakim disini kita lihat sebagai
putusan hakim adalah pasal
bagian
yang sama, tetapi bersalah atau
dari pikiran pikiran dan
tidaknya terdakwa, berat atau
nilai-nilai yang berlaku
ringannya vonis hakim, masih
dalam masyarakat. Oleh
tergantung pada berbagai faktor
sebab itu ia merupakan:
yang
sifatnya
non-hukum,
a.
atau
kelanjutan
Pengemban nilai-nilai
seperti yang dikemukakan oleh
yang dihayati oleh
Chambliss dan Friedman yang
masyarakat;
dikutip yaitu:
oleh
Achmad
Ali,
b.
27
(1)
masyarakat Cara perkara itu tiba
(sosialisasi);
di pengadilan; (2)
(4)
(5)
(6)
c.
Sasaran pengaruh
Sumber-sumber teori
lingkungannya pada
yang dianut oleh
waktu itu.
hakim; (3)
Hasil pembinaan
Bagian
yang
sangat
esensial
dan
Atribut-atribut pribadi
terpenting dalam ilmu hukum
hakim;
adalah
Sosialisasi
pengadilan, dimana pada saat
profesional hakim;
hakim memeriksa, mengadili,
Tekanan-tekanan
memutus perkara yang diajukan
keadaan terhadap
kepadanya. Dalam kaitan ini
hakim;
Satjipto
Tekanan-tekanan
mengemukakan, bahwa “pada
keorganisasian
dasarnya yang dilakukan hakim
terhadap hakim’
adalah yang
proses
sidang
Rahardjo
memeriksa
kenyataan
terjadi,
serta
26
Achmad Ali, Menguak Tabir Hukum, Ujung Pandang Watampone, 1998, hlm. 206. 27 Ibid., hlm. 54.
28
Satjipto Rahardjo, Op.cit., hlm. 55-59.
menghukumnya ketentuan
dengan
peraturan
“Calon
mempelai
Andy
Vony
beragama Islam yang ingin
yang
berlaku. Pada waktu diputuskan
melangsungkan
tentang bagaimana atau apa
perkawinannya
hukum
Andrianus yang beragama
yang
berlaku
untuk
dengan
suatu kasus, maka pada waktu
Kristen
itulah
memohon agar perkawinan
penegakkan
hukum
Protestan,
mencapai puncaknya”. Kondisi
mereka
dapat
ini menempatkan hakim sebagai
dilangsungkan
faktor penentu bagi penegakkan
agama
hukum dalam proses sidang
urusan agama Jakarta”.
Islam
menurut di
kantor
pengadilan. Hasil: Putusan Dalam Kasus Hukumnya Tidak Ada
Permohonan pemohon ditolak oleh
Atau Tidak Jelas
Pejabat
A.
Penyelesaian Perkara Perdata
urusan agama. Alasannya
Yang Belum Diatur Dalam
ialah bahwa calon suami
Peraturan
pemohon memeluk agama
Perundang-
Nikah
kantor
Kristen.
Undangan Hal ini dapat dilihat dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor: 1400
Pemohon Kedua: “Calon
mempelai
memohon
K/Pdt/1986 tanggal 20 Januari
kepada Kantor Catatan Sipil
1989. Perkawinan antara Andy
DKI
Vony Gani P. (agama Islam)
perkawinan mereka dapat
dengan Andrianus Petrus Hendrik
dilangsungkan di hadapan
(Kristen Protestan). Keputusan
Pegawai
Mahkamah Agung ini kemudian
Sipil Jakarta”.
dianggap
sebagai
Yurisprudensi/yang
suatu dapat
dijadikan pedoman dalam kasus
Hasil:
agar
Kantor
Permohonan
Catatan
pemohon
ditolak. Alasannya bahwa calon suami istri
perkawinan campuran berbeda
memeluk
agama.
berbeda.
Isi Permohonan pemohon:
Jakarta
agama
yang
Permohonan kepada Pengadilan Negeri:
1. Undang-undang
Isi Permohonan: “Calon mempelai mohon kepada Hakim
supaya
diberikan
Menyatakan penolakan
1
Tahun
mengatur
1974
tidak
perkawinan
yang
berbeda agama;
putusan berupa: 1.
Nomor
Perkawinan
bahwa
dari
Pejabat
2. Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat
membenarkan
penolakan
Kepala Urusan Agama dan
permohonan pemohon oleh Kantor
Pegawai Kantor Catatan Sipil
Urusan Agama dan Kantor Catatan
untuk
melangsungkan
Sipil
perkawinan
mereka
alasannya sudah benar dan tepat;
tidak
3. Di
beralasan/tidak sah. 2.
DKI
sini
Jakarta,
terdapat
karena
halangan
Menyatakan
Hakim
perkawinan, sesuai dengan Pasal 2
Pengadilan
Negeri
Undang-undang
memberikan
izinnya
Nomor 1 Tahun 1974 beserta
kepada pemohon untuk
Perkawinan
penjelasannya. Adanya penolakan tersebut pemohon
melangsungkan perkawinan mereka di
mengajukan
hadapan Pegawai Kantor
pemeriksaan
kasasi
terhadap
Catatan
penetapan/beschikking
yang
Sipil
DKI
permohonan
diterbitkan oleh Hakim Pengadilan
Jakarta”.
Negeri kepada Mahkamah Agung
Hasil: Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat memberikan
“Penetapan
Republik hasilnya
Indonesia. dapat
Adapun
dilihat
dalam
(beschikking) yang inti diktumnya
ikhtisar singkat putusan Mahkamah
antara lain adalah:
Agung sebagai berikut: Mahkamah
Menolak permohonan pemohon. Menyatakan
penolakan
melangsungkan perkawinan oleh:
Agung
Indonesia di Jakarta Putusan :
Reg.
1. Pejabat kantor urusan agama dan
K/Pdt/1986
2. Pegawai
Januari 1989
Kantor
Jakarta, adalah beralasan. Pertimbangan Hukum:
Catatan
Sipil
Republik
Pemohon :
No. Tanggal
1400 20
Andy Vony Gani P.
Memori Kasasi :
1. Bahwa pemohon berkeberatan
Jakarta tercantum dalam
atas penetapan Hakim yang
surat penolakan Nomor:
menolak keinginan pemohon
655/1.1755.4/CS/1986
untuk
tanggal 5 Maret 1986.
melangsungkan
perkawinan
yang
berbeda
agama ini. Antara mereka telah
1. Membatalkan surat penolakan
wali
Pegawai Luar Biasa Pencatat
mempelai kedua belah pihak
Sipil Provinsi Daerah Khusus
telah
Ikukota Jakarta agar supaya
terjalin
cinta
serta
menyetujui
dan
tidak
berkeberatan dilangsungkannya
melangsungkan
perkawinan
antara Andy Vony Gani P.
ini
meskipun
perkawinan
dengan
Andrianus
Petrus
Bahwa Pasal 21 ayat (4)
Hendrik
Nelwan
setelah
Undang-undang
dipenuhi
terhadap perbedaan agama. 2.
Mengadili Sendiri:
Nomor
1
syarat-syarat
Tahun 1974 tidak melarang
perkawinan menurut Undang-
perkawinan
undang;
calon
suami
isteri yang berbeda agama.
2. Menolak
Diktum:
dari
1. Mengabulkan
selebihnya;
permohonan
kasasi
permohonan
pemohon
kasasi
3. Menghukum
kasasi untuk
pemohon
Andy Vony Gani P.
membayar biaya perkara kasasi
untuk sebagian;
ini sebesar Rp 20.000,- (dua
2. Membatalkan penetapan Pengadilan
Negeri
Jakarta Pusat tanggal 11 April
1986
Nomor:
puluh ribu rupiah). Pertimbangan: 1. Calon mempelai sudah saling mencintai,
telah
terjalin
382/PDT/P/1986/PN.JK
hubungan bathin. Wali kedua
T.PST. sejauh mengenai
belah pihak tidak berkeberatan
penolakan
anaknya kawin; 2. Ketetapan Pengadilan Negeri
melangsungkan perkawinan
oleh
Keliru,
karena
tidak
Biasa
mempertimbangkan Pasal 21
Pencatat Sipil Provinsi
ayat (4) UU Nomor 1 Tahun
Daerah Khusus Ikukota
1974;
Pegawai
Luar
3. Mahkamah
Agung
8. Kantor Catatan Sipil adalah
membenarkan bahwa kasus ini
satu-satunya kemungkinan yang
diajukan
kepada
Pengadilan
dapat
Negeri,
bukan
Pengadilan
melangsungkan perkawinan;
Agama;
(membantu)
9. Penolakan Kantor Catatan Sipil
4. Undang-undang
Perkawinan
untuk
melangsungkan
Nomor 1 Tahun 1974 tidak
perkawinan yang bersangkutan
memuat
tidak dapat dibenarkan.
ketentuan
perkawinan
tentang
campur,
namun
Apabila
dianalisa
ada
beberapa
perkawinan karena perbedaan
perbedaan
agama lalu merupakan larangan,
Putusan
tidak sejalan dengan Pasal 27
dengan apa yang diputuskan oleh
Undang-Undang Dasar 1945,
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
sebab
Di samping itu soal pengertian
di
sini
mengandung
penafsiran
antara
Mahkamah
Agung
pengertian kesamaan hak asasi
pasal
untuk kawin dengan sesama
Perkawinan juga terdapat selisih.
warga
Demikian pula pemakaian pasal
negara,
sekalipun
berbeda agamanya;
Undang-Undang
untuk
5. Bahwa dulu ada undang-undang tentang perkawinan campuran,
pertimbangan
guna
mengambil keputusan. Mengenai
aturan
lama,
walaupun
yaitu GHR dan HOCI, tidak
dianggap masih berlaku memang
mungkin dipakai sebab ada
tidak
perbedaan prinsip dan falsafah;
pertimbangan karena mempunyai
6. Dan oleh karena itu terjadi adanya kekosongan hukum;
digunakan
dalam
perbedaan prinsip serta falsafah yang dianut, aturan lama tidak
7. Dalam masyarakat yang bersifat
menghiraukan unsur agama dan
pluralistik, tidak sedikit terjadi
hanya menganggap perkawinan
perkawinan beda agama. Dan
sebagai
apabila tidak ada aturan lalu
Mahkamah Agung menganggap
dibiarkan
saja
menimbulkan
Undang-Undang
masalah
yang
berlarut-larut
adalah bahwa perkawinan adalah
maka
haruslah
diketemukan hukumnya;
dan
dapat ditentukan
hubungan
perdata.
Perkawinan
hubungan lahir dan bathin serta berdasarkan Maha Esa.
Ketuhanan
Yang
Apabila kita perinci, maka Putusan
4) Ketentuan Pasal 2 ayat (1)
Mahkamah Agung, khususnya
Undang-undang Nomor 1 Tahun
mengenai
1974 jo Pasal 10 ayat (2)
pertimbangan
hukumnya
dapat
kita
ambil
Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975, hanya berlaku bagi
sarinya sebagai berikut: a. Hubungan:
mereka yang memeluk agama
Antara calon mempelai putri dan laki-
yang sama;
laki terdapat hubungan bathin dan
menurut
Undang-
sudah saling cinta mencintai. Para
Undang Perkawinan Nomor 1
wali kedua belah pihak telah
Tahun 1974 jo Undang-undang
sama-sama
Nomor
menyetujui
untuk
32
Tahun
penolakan
kawin. b.
5) Bahwa
Undang-Undang
dan
1954,
melangsungkan
perkawinan oleh pejabat KUA adalah sudah benar dan tepat;
Peraturan: 1) Undang-undang lama, yaitu GHR
6) Penolakan
melangsungkan
dan HOCI masih berlaku namun
perkawinan
tidak
Kantor
Catatan
Sipil
DKI
karena terdapat perbedaan prinsip
Jakarta,
tidak
benar
dan
dan falsafah;
dibatalkan
mungkin
2) Undang-Undang
diberlakukan,
Perkawinan
tidak mengatur soal perkawinan
dari
oleh
Pegawai
Mahkamah
Agung; 7) Mahkamah
Agung
beda agama. Dengan demikian
memerintahkan kepada Kantor
maka
Catatan
terjadi
adanya
rechtsvacuum;
warga
untuk
melangsungkan perkawinan.
3) Undang-Undang mengatakan
Sipil
Dasar
bahwa
negara
1945 “Segala
c. Masyarakat: Dalam
masyarakat
yang
bersamaan
pluralistik, tidak sedikit terjadi
kedudukannya dalam hukum”,
perkawinan beda agama. Bila
Pasal 27 asas ini sejalan dengan
tidak ada aturan dan dibiarkan
Pasal
saja
29
kesamaan
UUD dalam
1945
(asas
melakukan
perbuatan hukum, walau pun berlainan agama);
yang
menimbulkan berlarut-larut,
masalah maka
harus diketemukan hukumnya. Menurut
Undang-Undang
Perkawinan, perkawinan harus
mencerminkan nilai-nilai religius
interpretasi harfiah atas kalimat
pasangan suami-istri. Memiliki
yang terdapat dalam Pasal 2 ayat
keyakinan
(1) bahwa perkawinan menjadi
agama
bahkan
merupakan conditio sine qua non
sah
untuk mengikat sebuah hubungan
hukum agama dan keyakinan
perkawinan. Pasal 2 ayat (1)
masing-masing” dapat dianggap
undang-undang ini dengan jelas
sebagai
menyatakan bahwa perkawinan
hubungan perkawinan antara dua
hanya sah jika dilakukan sesuai
pihak
dengan hukum dan keyakinan
memiliki agama atau keimanan
agama kedua calon mempelai.
berbeda.
Karena
tidak
Muslim, misalnya, berisi elemen-
hanya sekadar urusan sekuler dan
elemen yang tidak terdapat dalam
pribadi antara dua orang, namun
tradisi Kristen, dan begitu pula
juga
sebaliknya:
itu
perkawinan
sebuah
institusi
yang
“jika
dilakukan
larangan
yang
menurut
formal
atas
masing-masing
Hukum
maka
perkawinan
perkawinan
ilahiah.
semacam ini bertentangan dengan
pentingnya
hukum. Dan karena hubungan
tempat agama dalam hubungan
perkawinan di Indonesia hanya
perkainan, negara sekaligus juga
dipahami sebagai kontrak antara
mengakui peran hukum agama
dua orang yang berasal dari
dalam
agama
dinaungi Dengan
nilai-nilai mengakui
pelembagaan
sebuah
yang
sama,
maka
keluarga. Persoalan yang muncul
perkawinan antar iman terkecuali
kemudian
secara formal.
adalah
pengesahan
bahwa perkawinan
Namun pemahaman atas
agama
Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang
bermasalah
Perkawinan sebagai larangan atas
karena dua orang yang menikah
perkawinan antar iman dapat
boleh jadi berasal dari latar
ditolak
belakang agama yang berlainan.
bahwa undang-undang itu sendiri
Pria dan wanita dengan afiliasi
tidak secara eksplisit melarang
keagamaan berbeda sering kali
perkawinan antara dua pihak
jatuh
kemudian
yang memiliki afiliasi agama
memutuskan untuk membangun
berbeda. Hal ini didukung oleh
mahligai
kenyataan
berdasarkan yang
sama
cinta
keyakinan bisa
dan
keluarga.
Maka
berdasarkan
bahwa
kenyataan
pasal-pasal
yang terkait dengan penghalang-
unifikasi
penghalang
beberapa hukum yang berbeda
perkawinan
membahas afiliasi
apakah
yang
perbedaan
agama
penghalang
tidak
bisa
berbagai
dilangsungkannya
perkawinan,
sebelumnya
tengah
jadi
hukum
berlaku
masyarakat macam
di
dengan latar
dan
perkawinan (lihat Pasal 8-28
kebudayaan telah dibatalkan dan
Undang-Undang
mewajibkan
Perkawinan
seluruh
bangsa
1974). Karena itu tidaklah dapat
Indonesia untuk menaati satu
diterima,
menurut
hukum perkawinan nasional yang
beberapa ahli, bahwa Pasal 2 ayat
baru. Sayangnya, unifikasi ini
(1) itu harus ditafsirkan sebagai
belum
larangan atas praktik perkawinan
persoalan yang muncul akibat
antar-iman di negeri ini. Pasal ini
hubungan antar-personal antara
hanya
orang-orang
setidaknya
menyatakan
(menurut
mampu
menyelesaikan
yang
memeluk
pendapat mereka) bahwa kedua
agama berbeda. Menurut Retno
belah pihak harus melaksanakan
Lukito 29 secara jelas dapat dilihat
perkawinan
bahwa
agama.
menurut
Maka,
jika
hukum
dalam
Undang-undang
menurut
Nomor 1 Tahun 1974 tentang
hukum agama tidak ada yang jadi
Perkawinan tidak secara eksplisit
penghalang perkawinan, maka
melarang, namun hakim dalam
perkawinan
dapat
mengambil putusan juga tidak
dilaksanakan. Dengan kata lain,
dengan tegas memberikan jalan
pelarangan
keluar
itu
atas
perkawinan
antar-iman tidaklah bisa diterima
ayat
(1)
terbaik,
mereka
berpatokan pada Pasal 2 ayat (1).
jika hanya didasarkan pada Pasal 2
yang
Malang
Undang-Undang
bagi
mereka
berdua, para hakim di pengadilan
Perkawinan.
juga
Namun ini bukan berarti
tersebut
menolak
permohonan
berdasarkan
argumen
perkawinan antar agama sama
hukum bahwa pertama, Undang-
sekali
Undang
tidak
persoalan, ditetapkannya
mengandung
bahkan
setelah
Undang-Undang
Perkawinan Tahun 1974 sekali pun. Memang, dengan adanya
Pokok
Perkawinan
(Undang-undang Nomor 1 Tahun 29
Retno Lukito, Hukum Sakral dan Hukum Sekuler, Studi Tentang Konflik dan Resolusi Dalam Sistem Hukum Indonesia, Yogyakarta: Alfabet, 2008, hlm. 430.
1974) tidak mengatur perkawinan
tidak bisa dilangsungkan karena
dua
baik
orang
penganut
agama
hukum
perdata
berbeda; kedua, dalam pandangan
hukum
hakim-hakim tersebut, penolakan
melarang perkawinan tersebut. Di
KUA dan KCS sudah tepat,
sini hakim percaya bahwa Pasal 2
berdasarkan peraturan-peraturan
Undang-Undang
yang berlaku tentang pengesahan
harus dipahami sebagai larangan
perkawinan;
terdapat
dilakukannya perkawinan antar-
alasan kuat untuk menghalangi
iman dan bahwa perkawinan
terjadinya perkawinan antar-iman
semacam itu tidak punya tempat
di Indonesia berdasarkan Pasal 2
di negara ini. Atas alasan-alasan
Undang-undang Nomor 1 Tahun
inilah
1974 dan penerapannya yang
keputusan Kepala Urusan Agama
ditetapkan
dan Kantor Catatan Sipil.
ketiga,
dalam
Pasal
8
agama
maupun
Perkawinan
mereka
Akan
Peraturan Pemerintah Nomor 9
jelas-jelas
menguatkan
tetapi
Mahkamah
Tahun 1975. Pemahaman hakim
Agung berpedoman lain dengan
tentang
menetapkan bahwa mereka harus
hukum
mendorong
Islam
mereka
juga untuk
dapat
menerapkan
ketentuan
berpendapat bahwa perkawinan
Pasal 27 Undang-Undang Dasar
antar-iman
1945.
juga
prinsip-prinsip merujuk
melanggar
hukum
al-Quran
Islam
Surat
al-
Proposisi dipahami
bahwa
Baqarah (2): 221 bahwa seorang
agung
wanita
Undang-Undang
Muslimah
dilarang
di
atas
dapat
hakim-hakim
memandang
Pasal
2
Perkawinan
menikah dengan seorang non-
sebagai aturan yang dirancang
Muslim.
dari
untuk orang-orang seagama, di
pemahaman hakim tentang ajaran
mana dua pihak yang melakukan
Kristen, perkawinan antar-iman
pernikahan sejak awal sudah
juga
oleh
menganggap diri mereka terikat
Perjanjian Baru (2 Korintus 6:
oleh hukum perkawinan dari
14).
agama
Selanjutnya,
tidak
dibolehkan
Karena
itu,
menurut
mereka
yang
sama.
pertimbangan hakim, perkawinan
Namun ini bukan berarti pasal
antar-iman antara Andy Vony dan
tersebut
Andrianus
melarang perkawinan antar-iman.
pada
kenyataannya
dirancang
untuk
Sebaliknya,
hakim-hakim
masuk akal jadinya jika perasaan
Mahkamah Agung nampaknya
ini dinafikan dan dibunuh semata-
menafsirkan perkawinan antar-
mata hanya karena perbedaan
iman bukan sebagai masalah
agama
agama,
namun
sebagai
Nampaknya hakim juga terkesan
masalah
hak
manusia.
dengan dalamnya perasaan Vony
Akibatnya, melahirkan
lebih asasi hal
tersebut
keputusan
bahwa
yang
terhadap
mereka
Adrianus
dibuktikan
anut.
yang
oleh
kebulatan
perkawinan dapat dilangsungkan
tekadnya untuk membawa kasus
terlepas
ini sampai ke Mahkamah Agung.
dari
perbedaan
perbedaan-
primordial
yang
Keinginan kuat untuk menikah
membedakan
yang seperti ini tidak akan ada
pasangan yang ingin menikah.
jika tidak didasari perasaan cinta
Selama
pihak
yang begitu mendalam satu sama
kesamaan
lain; karena itu, memutuskan
barangkali
kedua
belah
memiliki
kewarganegaraan, maka negara
hubungan
bertanggung jawab melindungi
berdampak buruk pada kedua
hak asasi manusianya, berupa hak
belah pihak. Dari sini jelaslah
untuk menikah dengan sesama
bahwa para hakim memandang
warga negara Indonesia.
basis hubungan perkawinan pada
Hal
yang
terkait
mereka
akan
pula
hakikatnya adalah perasaan kasih
dengan argumen hak asasi di atas
sayang yang sama-sama dimiliki
adalah niat baik hakim untuk
oleh sepasang calon susmi-istri.
melihat kasus perkawinan antar-
Perbedaan keyakinan agama tidak
iman
dengan sendirinya menjadi alasan
berdasarkan
pribadi
motivasi
masing-masing
calon
suami-istri.
Hakim
pasangan
yang
kuat
untuk
mencegah
terjadinya perkawinan. Pendek
mengakui bahwa rencana Vony
kata,
dan Andrianus untuk menikah
adalah hak asasi setiap manusia,
murni didasarkan pada keinginan
dan
mereka mewujudkan hubungan
bertanggung
kasih sayang yang sudah tumbuh
melindunginya.
berkembang sejak lama. Karena itu
hakim
menganggap
tidak
perasaan
karena
kasih
itu
sayang
negara jawab
Di samping itu, menarik pula untuk dikaji mengapa hakim
di Mahkamah Agung menerima
kedua belah pihak terlepas dari
proposisi
kenyataan
kekosongan
hukum
keduanya
tentang perkawinan antar-iman
berasal dari agama yang berbeda.
sebagai titik tolak keputusan yang
Akibatnya,
dikeluarkannya
mengindikasikan
Vony
dalam
ini.
kasus
Penerimaan
ini
semua
kepada
para
hakim bahwa pada prinsipnya
kekosongan hukum ini tak lain
pasangan
berarti bahwa para hakim sudah
mengikuti ajaran agama masing-
sejak
bahwa
masing; atau kalau mereka masih
Perkawinan
mengikutinya, mereka memilih
semula
sepakat
Undang-Undang
tidak menyediakan dasar hukum
untuk
untuk
prinsip
menyelesaikan
perkawinan
perkara
antar-iman
di
tersebut
tidak
menaati
agama
Dengan
tidak
lagi
prinsip-
mereka
demikian,
lagi. dalam
pengadilan. Mahkamah Agung
pandangan para hakim, Vony
berpendapat bahwa resolusi legal
yang meskipun seorang Muslim,
yang memadai hanya mungkin
telah menyatakan dirinya tidak
jika hakim memilih keputusan
lagi terikat dengan ajaran hukum
berdasarkan
Islam yang melarang perkawinan
tujuan
utama
perkawinan. Di sini sekurang-
antar-iman.
kurangnya
dua
hakim dapat menganggap Vony
pertama,
telah melepaskan dirinya dari
ada
pertimbangan, mengingat adalah
30
tujuan
perkawinan
pertimbangan
utama,
ikatan
Dengan
hukum
demikian,
Islam
melaksanakan
untuk
hubungan
maka sahlah membuat keputusan
perkawinan
yang didasarkan pada kenyataan
Jika
bahwa
adalah sah bagi para hakim untuk
kedua
memang
belah
saling
Karenannya,
pihak
dengan
demikian
Adrianus.
halnya,
menggunakan
maka
mencintai.
tidak
hubungan
prinsip hukum Islam sebagai dasar
turunan dari perasaan timbal balik
walaupun
tersebut. Hal ini diperkuat lagi
memang seorang Muslim. Dapat
dengan
dikatakan kalau para hakim ini,
dukungan
orang
tua
Ibid., hlm. 323.
keputusan
prinsip-
perkawinan dipandang sebagai
meski 30
bahwa
yang
tidak
mereka, bersangkutan
secara
eksplisit,
melandaskan keputusan mereka
pada prinsip “penerimaan suka-
kulit dan agama sekalipun tidak
rela” (vrijwillige onderwerping)
dapat
penggugat
yang
Berdasarkan
hukum
Belanda
untuk
sebuah
resolusi;
menemukan
berakar dari
jadi
penghalang.
tafsiran
tersebut,
proposisi hukum umum yang terkandung
dalam
Pasal
dengan mengabaikan peraturan
Undang-Undang
hukum
dapat dipakai sebagai dasar bagi
Islam
yang
melarang
Dasar
27
perkawinan antar-iman tersebut,
penanganan
Vony dianggap telah menolak
perkawinan antar-iman.
hukum Islam sebagai alat hukum untuk
memutuskan
secara
suka
rela
kasusnya dan
tanpa
1945
kasus
khusus
Putusan Mahkamah Agung sebagaimana disebutkan di atas kemudian dijadikan jurisprudensi oleh Pengadilan Negeri Magelang
paksaan. Kedua, hakim nampaknya
dalam perkara permohonan yang
telah menyimpulkan bahwa salah
diajukan oleh Yudi Kristanto
satu acuan hukum terbaik untuk
(Pemohon)
membuat
adalah
tercantum
Inilah
Nomor : 04/Pdt.P/2012/PN.MGL
keputusan
Undang-Undang sebabnya
Dasar.
mengapa
Undang-Undang dikutip
Pasal
Dasar
untuk
27 1945
mendukung
sebagaimana dalam
Yudi
Penetapan
Kristanto
muslim
saat
seorang
mengajukan
permohonan
telah
keputusannya. Prinsip kesamaan
melangsungkan
hak setiap warga negara yang
dengan
seorang
wanita
yang
diacu dalam pasal ini, walaupun
bernama
Yeni
Aryono
yang
memang tidak berkaitan langsung
beragama Khatolik di Gereja
dengan
seperti
Paroki dengan Surat Perkawinan
antar-iman,
atas nama Yudi Kristanto dan
kasus
khusus
perkawinan digunakan rasional
sebagai untuk
landasan
mengizinkan
Florentina
perkawinan
Yeni
Aryono
tertanggal 20 Oktober 2011 yang
perkawinan semacam itu. Hak
dikeluarkan
oleh
untuk
Ignatius
Magelang
melakukan
perkawinan
Paroki
St. dan
adalah hak asasi manusia yang
ditandatangani oleh Rama Paroki
diakui di dalam Undang-Undang
Franciscus
Dasar: perbedaan suku, warna
Handoyo Pr.
Xaverius
Krisno
Heni Srijatun dan Aryo
Kemudian Pemohon akan mendaftarkan
Joko Soewito;
perkawinannya
pada Kantor Catatan Sipil Kota
2. Memerintahkan
kepada
Magelang, akan tetapi Kantor
Pegawai
Catatan Sipil Kota Magelang
Kependudukan
tidak bisa melaksanakan dan
Catatan
mencatat
Magelang setelah salinan
perkawinan
tersebut
Kantor
Penetapan
Yeni Aryono berbeda agama.
mempunyai
Kantor
hukum
Catatan
Sipil
Kota
dan
Sipil
dikarenakan Yudi Krisatanto dan
Dinas
Kota
yang
sudah
kekuatan tetap
ini
Magelang bisa melaksanakan dan
ditunjukkan
mencatat perkawinan apabila ada
untuk
Surat Penetapan dari Pengadilan
perkawinan antara Yudi
Negeri
Kristanto
Magelang
memberikan
ijin
yang
kepadanya melaksanakan
dan
Yeni
Aryono dan mencatat di
kepada
Pemohon untuk melangsungkan
dalam
perkawinan beda agama.
diperuntukkan untuk hal
Pemohon petitum
kepada
Yudi Kristanto yang lahir di
Hakim Pengadilan Negeri
Pengadilan
1. Memberikan ijin kepada
Magelang
yang
itu;
mengajukan
Negeri Magelang sebagai berikut:
daftar
Magelang
memberikan
pertimbangan hukumnya sebagai berikut: Menimbang,
pada
bahwa
tanggal 30 Mei 1981
selanjutnya dalam Pasal 2 ayat
anak dari seorang Ibu
(2) Undang-Undang Perkawinan
Sulibah
tersebut menyatakan bahwa tiap-
untuk
melangsungkan
tiap perkawinan dicatat menurut
perkawinan beda agama
peraturan
di Kantor Catatan Sipil
yang
Kota Magelang dengan
beragama
Yeni Aryono yang lahir di
dilakukan oleh Kantor Urusan
Magelang pada tanggal 9
Agama (KUA) dan bagi yang
Mei
beragama selain Islam dilakukan
1978
pasangan
anak suami
dari isteri
oleh
perundang-undangan
berlaku, Islam
Pegawai
bagi
yang
pencatatan
Pencatat
Perkawinan pada Kantor Catatan
Perkawinan ditunjuk oleh Kepala
Sipil,
Dinas
KUA dan Pegawai Luar Biasa
Kependudukan dan Pencatatan
Pencatatan Sipil DKI Jakarta
Sipil;
untuk menolak pekawinan beda
sekarang
Menimbang,
bahwa
Pemohon adalah seorang laki-laki
agama;
beragama Islam yang hendak mencatatkan dengan
perkawinannya
seorang
perempuan
beragama Katolik;
a
benar
perkawinan
beda agama tidak diatur secara tegas di dalam Undang-Undang No.
Menimbang, bahwa Pasal 35 huruf
Bahwa
1
tahun
1974
tentang
Perkawinan, akan tetapi keadaan
Undang-Undang
tersebut adalah merupakan suatu
Republik Indonesia No. 23 tahun
kenyataan yang terjadi dalam
2006
masyarakat dan sudah merupakan
tentang
Administrasi
Kependudukan mengatur bahwa
kebutuhan
Kantor Dinas Kependudukan dan
dicarikan
Pencatatan
dapat
menurut
yang
menimbulkan
Sipil
mencatatkan
perkawinan
sosial
yang
jalan
harus
keluarnya
hukum
agar
dampak
tidak negatif
telah ditetapkan oleh Pengadilan;
dalam kehidupan bermasyarakat
Dan
dan beragama; Sementara itu
selanjutnya
di
dalam
penjelasan dari pasal tersebut
undang-undang
telah ditegaskan bahwa yang
tidak
dimaksud dengan “Perkawinan
tentang perkawinan beda agama
yang ditetapkan oleh Pengadilan”
tersebut
adalah
kekosongan hukum.
dilakukan
perkawinan
yang
antarumat
yang
berbeda agama;
melarang
tersebut
juga
secara
tegas
sehingga
terjadilah
Terkait dengan penemuan hukum pada kasus Perkawinan
Menimbang, bahwa senafas
Beda Agama, beberapa waktu
dengan peraturan tersebut, yaitu
lalu telah diputus oleh Mahkamah
termuat
dalam
Konstitusi (MK) yang menolak
Mahkamah
Agung
1400/K/Pdt/1986
Putusan RI
tanggal
No.
uji
materi
Undang-Undang
20
Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Januari 1989 yang menyatakan
Perkawinan yang diajukan tiga
bahwa adalah keliru apabila Pasal
orang
60
seorang
Undang-Undang
tentang
konsultan
hukum
mahasiswa.
dan
Dalam
putusan
tersebut
Mahkamah
Perkawinan
menyatakan:
menyatakan ketentuan keabsahan
Perkawinan adalah sah apabila
perkawinan sebagaimana diatur
dilakukan
dalam Pasal 2 ayat (1) UU
masing-masing
Perkawinan tidak bertentangan
kepercayaannya itu. Terhadap
dengan UUD 1945. “Mengadili, menolak
menurut
menyatakan
permohonan
para
hukum
agama
dan
permohonan,
Mahkamah berpendapat setiap warga
negara
wajib
tunduk
Pemohon untuk seluruhnya,” ujar
tunduk terhadap pembatasan yang
Ketua
MK
Arief
Hidayat
ditetapkan
mengucapkan
amar
Putusan
undang dalam menjalankan hak
Perkara Nomor 68/PUU-XII/2014
dan kebebasannya. Hal tersebut
didampingi
demi menjamin pengakuan dan
tujuh
hakim
dengan
konstitusi lain, kecuali Hakim
penghormatan
Konstitusi Wahiduddin Adams, di
kebebasan orang lain.
hak
dan
Pembatasan juga diperlukan
Ruang Sidang Pleno MK, Jakarta,
guna memenuhi tuntutan yang
Kamis (18/6). Para
atas
undang-
pemohon,
Damian
adil sesuai dengan pertimbangan
Agata Yuvens, Rangga Sujud
moral,
Widigda,
keamanan, dan ketertiban umum
Anbar
Jayadi,
dan
nilai-nilai
Luthfi Sahputra K mengajukan
dalam
uji materiil Pasal 2 ayat (1) UU
demokratis.
Perkawinan. Menurut Pemohon,
Mahkamah, UU Perkawinan telah
norma tersebut membuka ruang
dapat
penafsiran
pembatasan
prinsip yang terkandung dalam
sehingga tidak dapat menjamin
Pancasila dan UUD 1945 serta
terpenuhinya hak atas kepastian
telah pula dapat menampung
hukum yang adil.
segala kenyataan yang hidup
dan
Pemohon mendalilkan hak konstitusionalnya
untuk
suatu
agama,
masyarakat “Menurut
mewujudkan
prinsip-
dalam masyarakat,” ujar Wakil Ketua MK Anwar Usman.
melangsungkan perkawinan dan membentuk keluarga terlanggar
B. Penyelesaian Perkara Perdata
dengan adanya ketentuan itu.
Apabila Undang-Undang Tidak
Adapun Pasal 2 ayat (1) UU
Jelas
5. Ny. Hindrotriwirjo ( Islam ) mempunyai 3(tiga) orang
Hal ini dapat dilihat dalam Putusan
Mahkamah
anak diantaranya dua orang
Agung
Nomor: 51 K/AG/1999 tanggal
beragama
29 September 1999 (Putusan ini
sedangkan
menyangkut
Islam;
Pewaris
hubungan
Muslim
hukum
dengan
ahli
Nasrani yang
lainnya
6. Drg. Pantoro (alm), Islam,
waris Non-Muslim).
mempunyai 2(dua) orang
Kasus Posisi:
anak beragama Islam;
Martadi
Hindrolesono
mempunyai
sebidang
7. Lucas Indriya ( Nasrani ). Martadi
tanah
Hindrolesono
dengan SHM No.924 Tahun
wafat dengan meninggalkan
1990
dari
Isteri Ny. Jazilah dan sebidang
bernama
tanah dengan SHM No. 924.
Suwirjo
Antara Ny. Jazilah dengan
(almarhum), yang kemudian
keluarga almarhum Martadi
menikah
Hindrolesono
yang
ayahnya
diperoleh yang
M.Ng.Djojo
(Islam)
dengan tidak
Jazilah
terjadi
mempunyai
perbedaan
pendapat
Martadi
pembagian
harta
keturunan.
soal warisan
Hindrolesono mempunyai 7
tersebut, sehingga oleh Ny.
(tujuh) orang saudara kandung
Jazilah mengajukan gugatan
yaitu :
ke
1. Setijono
Hindro
(alm)
pengadilan
agama
sedangkan keluarga Martadi
mempunyai anak 6(enam)
Hindrolesono
orang
satu
gugatan ke pengadilan negeri.
orang beragama Katholik
Ny. Jazilah menuntut agar
sedangkan
harta
diantaranya
yang
lainnya
warisan
almarhum
Martadi Hindrolesono dibagi
Islam; 2. Hindrowerdoyo
mengajukan
(alm)
menurut hukum Islam. Atas
mempunyai 1(satu) orang
gugatan
Ny.
anak beragama Nasrani;
pengadilan
Jazilah, agama
3. Ny. Danusubroto ( Islam );
memutuskan sebagai berikut :
4. Ny. Hindrowinoto ( Islam );
Dalam
eksepsi
:
eksepsi para tergugat;
Menolak
perempuan. Kesemua para
Dalam Pokok Perkara : 1. Mengabulkan
gugatan
tergugat tersebut di atas memperoleh tiga perempat
sebagian; 2. Menyatakan secara hukum
dari
harta
warisan
alm
Martadi Hindrolesono telah
Martadi
Hindrolesono
meninggal
sedangkan
yang
tidak
tanggal 17 Nopember 1995
beragama
Islam
tidak
dalam keadaan beragama
memperoleh
Islam;
warisan.
dunia
pada
3. Menetapkan penggugat (
bagian
7. Memerintahkan
kepada
Ny. Jazilah ) adalah ahli
pengguygat
waris
tergugat sebagai ahli waris
janda
dari
alm.
untuki
Martadi Hindrolesono; 4. Menyatakan menurut, tanah sengketa
adalah
warisan
alm.
harta Martadi
5. Menyatakan penggugat (
para
mentaati
melaksanakan
dan
pembagian
atas harta warisan tersebut. Atas pihak
Hindrolesono;
dan
putusan para
menerima
tersebut,
tergugat dan
tidak
mengajukan
Janda ) Ny. Jazilah berhak
banding ke pengadilan tinggi
memperoleh
agama tetapi ditolak dengan
seperempat
bagian dari harta warisan
menguatkan
tersebut;
pengadilan agama. Selanjutnya
6. Menyatakan ahli waris lain dari
alm.Martadi
Hindrolesono
adalah
:
pihak
para
putusan
tergugat
tidak
menerima putusan pengadilan tinggi agama dan mengajukan
Subandiyah, Sri Hariyanti,
kasasi.
Bambang
menolak permohonan kasasi
Hendriyanto,
Mahkamah
Agung
Sri
dari para tergugat/pemohon
Hendriyati,
Ny.
kasasi dengan memperbaiki
Danusubroto,
Ny.
putusan
Bambang
Nomor:
Putut
Bayendra,
Hendrowinoto, Wahyu,
Ferlina,
Yulia
pengadilan
tinggi
007/Pdt.G/1998/PT.YK
adalah ahli waris pangganti
dimana
semua
ahli
waris
dari saudara laki-laki dan
berhak memperoleh 3/4 (tiga
perempat) dari harta warisan
juga harus menemukan makna
alm.
Hindrolesono
hukum
tanpa mempersoalkan agama
sedapat
yang dianut oleh para ahli
mencerminkan
waris
dengan
keadilan dalam masyarakat hal
”Ahli
waris
Martadi
menyatakan
lebih
dalam,
mungkin
yang
mampu tuntutan
muslim”
ini dapat dibaca dalam Pasal
berhak bersama-sama mewaris
27 ayat (1) Undang-undang
dengan kadar bagian yang
Nomor
14
sama
dimana
dinyatakan
non
dengan
”Ahli
waris
Tahun
1970, bahwa
muslim” dari harta warisan
hakim harus memahami dan
yang
mengikuti
ditinggalkan
oleh
rasa
keadilan
pewaris muslim atas dasar
masyarakat
ketika
hukum ”Wasiat Wajibah”.
melaksanakan tugasnya. Penerapan
Majelis Hakim Agung dalam
dia
Wasiat
perkara tersebut berpendapat
Wajibah juga dilakukan oleh
bahwa
prinsip-prinsip
Mahkamah
kesamaan dan keadilan bagi
putusannya
seluruh
Agung Nomor.
16
waris
dalam
K/AG/2010
kewarisan
harus
warisan suami istri yang berbeda
menjadi pertimbangan utama
agama. Istri yang beragama selain
ketika menyelesaikan sebuah
Islam yang ditinggal mati oleh
perkara.
Dengan
alur
suami yang beragama Islam tidak
penalaran
semacam
ini,
termasuk ahli waris, akan tetapi ia berhak untuk mendapat wasiat
ahli
masalah
Mahkamah
Agung
lebih
cenderung
memberi
hak
wajibah
dari
dalam
dalam
harta
perkara
warisan
bagian harta warisan kepada
suaminya sebanyak porsi waris
ahli
istri.
waris
non
muslim.
Menurut pertimbangan Majelis
Tergugat adalah istri sah
Agung,
dari Ir. Muhammad Armaya bin
adalah suatu keharusan bahwa
Renreng, M.Si., alias Ir. Armaya
hakim, ketika membuat sebuah
Renreng,
keputusan,
hanya
perkawinan tanggal 1 November
mengacu pada teks peraturan
1990 dengan Kutipan Akta Nikah
perundang-undangan,
Nomor 57/K.PS/XI/1990.
Hakim
Mahkamah
tidak
tetapi
melangsungkan
-
Ir. Muhammad Armaya bin Renreng,
-
M.Si.,
alias
Ir.
yaitu 18 tahun, berarti
Armaya Renreng meninggal
cukup
dunia pada tanggal 22 Mei
Tergugat/
tahun 2008.
Kasasi mengabdikan diri
Almarhum
Ir.
Muhammad
lama
pula Pemohon
pada Pewaris, karena itu
Armaya bin Renreng, M.Si.,
walaupun
alias Ir. Armaya Renrengpada
Kasasi non Muslim layak
sat
dan
meninggal
dunia
Pemohon
adil
untuk
meninggalkan lima orang ahli
memperoleh
waris: Halimah Daeng Baji
selaku
(ibu); Dra. Hj. Murnihati binti
mendapat
Renreng,
harta peninggalan berupa
M.Kes.
(saudara
hak-haknya
istri
untuk
bagian
kandung); Dra. Hj. Muliyahati
wasiat
wajibah
binti Renreng , M.Si. (Saudara
bagian
harta
kandung);
sebagaimana
Djelitahati
bintirenreng,
SST.
(saudara
kandung); dan Ir. Arsal bin Renreng (saudara kandung). -
berlangsung cukup lama
dari
serta bersama
yurisprudensi Mahkamah Agung RI. 2. Istri
yang
beragama
Muhammad
Kristen mendapat bagian
Armaya bin Renreng, M.Si.,
harta pewaris dari harta
alias
bersama
Almarhum
Ir.
Ir.
Armaya
Renreng
disamping meninggalkan ahli waris juga meninggalkan harta
dengan
Wasiat Wajibah; 3. Saudara kandung pewaris mendapat
bersama. Adapun
pertimbangan
hukum Mahkamah Agung adalah
1. Bahwa
perkawinan
bagian
Wasiat
Wajibah oleh
Tinggi Agama Surabaya dalam Putusan
dengan
149/Pdt.G/2009/PTA.Sby
Armaya
bin
Muhammad
juga
Pengadilan
Tergugat/Pemohon Kasasi Ir.
harta
pewaris dengan Warisan.
diterapkan
sebagai berikut:
cara
Nomor
: telah
Renreng,
menangani kasus warisan harta
M.Si., alias Ir. Armaya
orang tua angkat yang meninggal
Renreng
tanpa memiliki anak kandung,
sudah
sehingga anak angkat yang tidak
bahwa pendekatan hermeneutika
mendapat wasiat dari orang tua
hukum
angkatnya dapat mendapat harta
mengklaim diri sebagai satu-
peninggalan
satunya pendekatan yang sah
melalui
Wasiat
ini
tidak
hendak
dalam kajian-kajian sosial dan
Wajibah. Apabila melihat kasus yang
ilmu hukum, sebagaimana halnya
hakim
pendekatan kaum positivis baik
menyangkut tidak adanya hukum,
yang berkhidmat di lingkungan
atau
undang-undangnya
jurisprudence
jelas
maka
telah
diputuskan
bahwa
oleh
dapat
sangat
tidak
dikatakan
sedikit
hakim
maupun
yang
berkhidmat di lingkungan legal studies yang tidak sekali-kali
dalam penanganan perkara, mau
pernah
dan berani melakukan terobosan
paradigma
untuk
teknik penelitiannya sebagai satu-
menemukan
hukum
dapat dan
mengklaim metode
sebagaimana diamanatkan dalam
satunya
Undang-Undang
mempelajari hukum. Bukanlah
Nomor
48
yang
pendekatan
Tahun 2009.
sah
serta
untuk
hermeneutika
dapat
(hermeneutika hukum) ini tidak
memahami dan mengkaji hukum
memiliki kekurangan juga, antara
manakala tidak adanya hukum;
lain seperti dikatakan oleh Fish
dengan cara mengintepretasikan
bahwasannya
kasus yang dialami. Pemahaman
hermeneutika
akan hermeneutika hukum akan
mengharuskan orang untuk selalu
sangat penting, mengingat dapat
mengkaji fakta sosial dan fakta
saja seorang hakim akan diminta
hukum
untuk menjadi saksi (saksi ahli).
padahal “the only thing to know
Hakim
harus
pendekatan itu
melalui
akan
interpretasi,
dengan
about interpretation is that it has
hermeneutika
to be done every time” (satu hal
(hermeneutika hukum) di atas,
yang diketahui tentang penafsiran
memang
adalah
Kajian
hukum
pendekatan
tidak
dimaksudkan
penafsiran
itu
akan
untuk menggantikan sepenuhnya
terjadi/dilakukan setiap waktu).
pendekatan-pendekatan
lain.
Sementara itu, bukankah hukum
Seperti
oleh
itu “wishes to have a formal
Soetandyo
dinyatakan
Wignjosoebroto,
existence”?
(suatu
keinginan
untuk mendapatkan pengakuan
pada kasus Perkawinan Beda
secara formal?). 31 Untuk hal ini
Agama.
hakim
seharusnya
dapat
dengan
lebih
memenuhi
2. Tugas
pokok
seorang
hakim
adalah memeriksa, mengadili dan
memperdalam ilmu pengetahuan
memutuskan
tidak hanya ilmu hukum, tetapi
diajukan
juga terhadap ilmu filsafat.
keadilan berdasarkan Ketuhanan
perkara
yang
kepadanya
demi
Yang Maha Esa. Seorang hakim dalam menghadapi suatu perkara
V. PENUTUP
yang
perundang-
undangannya tidak jelas, hakim
A. Kesimpulan 1. Bertitik tolak dari ketentuan Pasal 10
peraturan
ayat
(1)
Undang-Undang
tidak boleh menolak dengan dalih karena undang-undangnya tidak
Nomor 48 Tahun 2009 Tentang
jelas,
Kekuasaan Kehakiman, di mana
memeriksa,
mengadili
dan
pengadilan tidak boleh menolak
memutuskan
dengan
cara
untuk memeriksa, mengadili, dan
melakukan
interpretasi
hukum
memutus suatu perkara yang
terhadap ketentuan yang sudah
diajukan dengan dalih bahwa
ada dengan memperhatikan nilai
hukum tidak ada atau kurang
dan rasa keadilan yang ada dalam
jelas, melainkan wajib untuk
masyarakat. Contoh kasus dimana
memeriksa
hakim dapat menerapkan asas-
Dalam
dan
hal
mengatur hukum
mengadilinya.
hukum
terhadap yang
belum peristiwa
diajukan
ke
asas
melainkan
tersebut
harus
adalah
saat
menangani kasus Warisan yang diberikan
dengan
Wasiat
harus
Wajibah kepada ahli waris yang
membentuk hukumnya dengan
tidak berhak mendapatkan harta
cara
peninggalan.
pengadilan,
terjun
hakim
ke
tengah-tengah
masyarakat menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat sebagaimana
31
Jazim Hamidi, Op.cit., hlm. 92.
B. Saran 1. Meskipun peran Yurisprudensi di Indonesia
hanyalah
sebagai
pelengkap
apabila
Undang-
undang sebagai sumber pokok
tidak mengaturnya, dan juga tidak mengikat
para
hakim-hakim
lainnya dalam memutus suatu perkara sejenis, namun terhadap perkara yang sejenis sebaiknya memperhatikan
Yurisprudensi
yang telah ada sepanjang belum ada perubahan nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat. 2. Dalam hal hakim menghadapi kekosongan
hukum
terhadap
perkara perkara yang diajukan kepadanya, hakim harus mengisi kekosongan
hukum
tesebut
dengan menemukan hukumnya yaitu
dengan
ketengah-tengah
jalan
terjun
masyarakat
menggali dan meresapi nilai-nilai yang dalam
hidup
dan
berkembang
masyarakat
yang
bersangkutan. DAFTAR PUSTAKA
Achmad Ali, Menguak Tabir Hukum, Ujung Pandang: Watampone, 1998. Aristotle. Ethics.Diterjemahkan J. A. K. Thomson 'practical wisdom' substituted as a translation of 'phronesis' here, Harmondsworth: Penguin, 1976. Artidjo Alkostar, Varia Peradilan XXIII No. 270, Jakarta: IKAHI, 2008. Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman dan HAMRI, Pola Pikir dan Kerangka Sistem Hukum Nasional Serta Rencana Pembangunan Hukum Jangka Panjang, Jakarta: 1996.
Bagir Manan, Dasar-Dasar Perundangundangan Indonesia, Jakarta: IndHill Co, 1992. Bagir Manan, Sistem Peradilan Berwibawa (Suatu Pencarian), Jakarta: Mahkamah Agung, 2005. Bambang Sutiyoso, Metode Penemuan Hukum, Yogyakarta: UII Press, 2006. Benny K. Harman dalam Tabrani, Politik Hukum, Jakarta: BPHN, 2000. Bismar Siregar, Berbagai Segi Hukum dan Perkembangan Dalam Masyarakat, Bandung : Alumni, 1983. Bismar Siregar, Hukum Hakim dan Keadilan Tuhan, Jakarta: Gema Insani Press, 1995. Charles Himawan, Kristalisasi Kepedulian Adi Andoyo oleh Komisi HAM PBB, Jakarta: Kompas, 13 Mei 1996. Darji Darmodiharjo dan Shidarta, PokokPokok Filsafat Hukum, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1999. Didi Nazmi Yunas, Konsepsi Negara Hukum, Padang: Angkasa Raya, 1992. Harkristuti Harkisnowo, Rekonstruksi Konsep Pemidanaan: Suatu Gugatan Terhadap Proses Legislasi dan Pemidanaan di Indonesia, dalam Majalah KHN Newsletter, Edisi April 2003, Jakarta: KHN, 2003. J.J. Von Schmid, Terjemahan R. Wiratno et.al; Ahli-Ahli Pikir Tentang Negara dan Hukum, Jakarta: PT. Pembangunan, 1965. Mochtar Kusumaatmadja, Fungsi dan Perkembangan Hukum Dalam Pembangunan Nasional, Lembaga Penelitian Hukum Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, Bandung: Binacipta, 1986. Mochtar Kusumaatmadja, KonsepKonsep Hukum Dalam Pembangunan, Editor, Otje Salman S. dan Eddy Damian, Bandung: PT. Alumni, 2002 Mochtar Kusumaatmadja, Pembinaan Hukum Dalam Rangka
Pembangunan Nasional, Bandung: Binacipta, 1986. Moh. Koesnoe, Ajaran Mahkamah Agung Tentang Bagaimana Seharusnya Menafsirkan UU Dari Masa Kolonial. Jakarta: Varia Peradilan, 1996, No. 126. Mohammad Saleh, Kajian Atas Eksekusi Putusan Perkara Perdata Dihubungkan Dengan Asas Perradilan Sederhana, Cepat dan Biaya Ringan Sebagai Upaya Pembangunan Negara Hukum (Disertasi). O. Notohamidjojo, Soal-soal Pokok Filsafat Hukum, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1972. Paulus Effendi Lotulung, Kebebasan Hakim Dalam Sistem Penegakan Hukum, Seminar Pembangunan Hukum Nasional VIII, Bali: BPHN, 2003. Prof. Dr. H. Sarmanu, MS. “Populasi, Sampel, Teknik Sampling Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif”. Makalah disampaikan pada penataran Pelatihan Metode Penelitian Kualitatif. Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat Universitas Airlangga, Surabaya 3-4 Mei 2006. Rianto Adi, mengutip pendapat Koentjaraningrat dalam, Metodologi Penelitian Sosial dan Hukum, Jakarta: Granit, 2010. Rusli Effendi dan Achmad Ali, Menjawab Tantangan dan Problema Pembangunan Non Hukum Melalui Sarana Pengadilan dan Putusan Hakim, Tulisan dalam Bunga Rampai Pembangunan Hukum Indonesia, Bandung: PT. Erosco, 1995. Satjipto Rahardjo, Manfaat Telaah Sosial Terhadap Hukum, Pidato Guru Besar Berbicara Tentang Hukum dan Pendidikan Hukum, Bandung: Alumni, 1980. Soerjono Soekanto, Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum,
Pidato Pengukuhan dalam Jabatan Guru Besar Tetap pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Rabu tanggal 14 Desember 1983. Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: Penerbit Universitas Trisakti, 2007. Sudikno Mertokusumo & Pitlo, Bab-bab tentang Penemuan Hukum, Yogyakarta: Citra Adytia, 1993. Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Yogyakarta: Liberty, 2002. Wahyu Affansi dalam Tabrani, Hakim dan Profesinya, Jakarta: Jurnal Penelitian Hukum APHI De Jure, 1999. Wantjik Saleh K., Kehakiman dan Peradilan, Jakarta: Simbur Cahaya, 1976 Wirjono Prodjodikoro, Bunga Rampai Hukum, Jakarta: Ichtiar Baru, 1974. Yudha Bhakti Ardhiwisastra, Penafsiran dan Konstruksi Hukum,PT.Alumni Bandung 2000.