ANALISIS SOSIAL EKONOMI DAN KELEMBAGAAN PENGELOLAAN PASIR LAUT DIKABUPATENSEkANG
OEWI SARASW ATI
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOG OR
2005
PERNYATAAN MENGENAl TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Analisis Sosial Ekonomi dan Kelembagaan Pengelolaan Pasir Laut di Kabupaten Serang adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian Akhir tesis ini. Bogor, Februari 2005 Dewi Saraswati NIM 053020061
ABSTRAK DEWI SARASWATI. Analisis Sosial Ekonomi dan Kelembagaan Pengelolaan Pasir Laut di Kabupaten Serang. Dibimbing oleh AKHMAD FAUZI dan AFFENDI ANWAR. Pasir laut sebagai sumberdaya alam tak dapat pulih pemanfaatanya telah menimbulkan konflik dan pengelolaannya memiliki dimensi yang sangat kompleks, baik dimensi ekonomi, ekologi, sosial, maupun politis. Setiap keputusan untuk membiarkan sumberdaya alam ataupun memanfaatkannya menimbulkan implikasi manfaat dan kerugian (gain and loss) terhadap masyarakat secara keseluruhan. Keputusan tersebut hanya bisa ditetapkan dengan tepat apabila aspek manfaat dan kerugian dianalisis dan dievaluasi dengan tepat. Penelitian ini bertujuan untuk (I) menganalisis konsekuensi ekonomi, lingkungan, dan sosial y:mg dapat ditimbulkan dari pengelolaan pasir laut, (2) mempelajari persepsi masyarakat terkait dengan dampak yang ditimbulkan dari pemanfaatan pasir laut serta tentang kebijakan penambangan pasir laut, dan (3) mengetahui implikasi kebijakan yang dapat dihasilkan dari pengelolaan pasir laut. Dalam penelitian ini digunakan analisis deskriptif, Hotteling Rule, Game Theory, Willingness to Pay, dan Multikriteria. Hasil analisis menunjukkan bahwa pasir laut di Kabupaten Serang memiliki potensi ekonomi yang besar, dengan cadangan stock sebesar 3.7 milyar meter kubik, memiliki potensi penerimaan pemerintah sebesar 2 milyar per tahun, hila dikelola dengan baik maka potensi ini dapat ditingkatkan dan dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan community development khususnya pada masyarakat nelayan. Pelarangan penambangan akan menimbulkan economic loss sebesar Rp. 156 milyar per tahun atau hampir setara dengan 2 trilyun dalam jangka waktu 15 tahun. Potensi loss ini dibanding dengan benefit hanya 0.63 %. Pada periode penambangan pasir laut telah terjadi penurunan surplus nelayan sebesar Rp. 16.212.990.000 per tahun. Penambangan pasir laut dalam skala besar dan jangka panjang akan menimbulkan dampak-dampak (ekstemalitas) terhadap biofisik perairan yaitu menurunnya kualitas perairan yang pada akhimya menurunkan produktivitas perikanan. Akibat sosial dari penambangan pasir laut adanya timbulnya konflik horisontal dan vertikal dalam masyarakat yang berakibat pada tindakan kriminal. Konflik ini terutama terjadi karena adanya alokasi manfaat yang tidak seimbang antara masyarakat nelayan, pemerintah daerah, dan perusahaan penambang pasir laut. Hampir seluruh responden menyatakan belurn ada dampak positif dari penambangan pasir laut, terutama dampak terhadap kesejahteraan nelayan, yang terjadi adalah rusak atau menurur.:-~ya kondisi lingkungan dan menurunya pendapatan nelayan lebih dari 50 % dari pendapatan sebelumnya. Sebagian besar responden menyatakan ketidaksetujuannya terhadap penambangan pasir laut bila keadaannya seperti sekarang ini. Dengan adanya potensi, manfaat dan kerugian tersebut, kebijakan untuk melakukan penambangan pasir laut harus disertai dengan upaya pengendalian yang ketat, baik pengendalian pemanfaatan pasir laut maupun upaya yang terkait dengan kondisi wilayah pesisir yang telah mengalami pencemaran dan over fishing, pemberdayaan masyarakat yang disertai adanya sistem kompensasi yang didasari pada perhitungan damage assessment yang benar.
ABSTRACT DEWI SARASWATI. Institution and Socio-Economic Analysis of Sea Sand Mining in Serang Regency. Under direction of AKHMAD FAUZI and AFFENDI ANWAR. Sea sand mining has caused conflict and it's management has a complex dimension, including economic, environmental, social, and political dimension. Decision for use or unuse a resource has implication, gain or loss to society. Good analyzes that including benefit or loss aspect is needed to make right decision. This research generally aim to (I) analyze economic, environmental, and social consequences due to sand mining to economic and society (2) analyze people perception in order to sand mining policy and impact that could be risen from sand mining (3) understand policy implication that could be arisen from sea sand management or mining. To achieve these aims, descriptive, Hotteling's Rule, Willingness to Pay, Muli.icriteria analyzes are executed. The results of analysis shown that Serang Regency has high economic potential in sea sana mining with 3.7 billions meter cubic of sea sand stock. From sea sand mining, local government has revenue of 2 billions per year and this revenue could be increased and could spend for community development. If moratorium policy in sand mining is executed, that region has 156 billions rupiahs of total economic loss per year, equal to 2 quintillions in 15 years. Comparing this potential loss with benefit is only 0.63 %. On sea sand mining periods, producer's surplus was decreased of about 16 billions rupiahs. Sand mining in big scale and long term will give impacts (externalities) to water biophysics by reducing water quality and then reducing fisheries productivity. Vertical and horisontal conflict are social impact that arisen from sand mining. Crime action were happened due to these conlicts. These conflicts were arisen because of unbalanced benefit allocation among fisherman society, local government, and sand mining company. Almost all of respondents stated there was no positive impact of sand mining for their welfare, on the contrary, their income was decreasing more than 50 %. In addition to, decreased environmental quality was happened. Almost respondents stated their objection to sand mining in status quo. With this high economic potential, benefit, and externalities, strong controlling in sea sand mining is needed, with the policy to manage coastal zone that suffered due to pollution and over fishing, community development policy, and compensating system based on good damage assesment accounts.
© Hak cipta milik Dewi Saraswati, tahun 2005 Hak cipta dilindungi Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apapun, baik cetak, fotokopi, mikrofilm, dan sebagainya
ANALISIS SOSIAL EKONOMI DAN KELEMBAGAAN PENGELOLAAN PASIR LAUT Dl KABL:PA TEN SERANG
DEWI SARAS\VATI
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Pedesaan
SEKOLAHPASCASARJANA 11\STITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2005
Judul Tesis Nama NIM
Analisis Sosial Ekonomi dan Kelembagaan Pengelolaan Pasir Laut di Kabupaten Serang Dewi Saraswati P053020061 .
Disetujui Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Akhmad Fauzi, M.Sc Ketua
Prof Dr. Ir. Affendi Anwar, M. Sc Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Pedesaan
Prof Dr. Ir. Isang Gonarsyah
Tanggal Ujian : 3 Februari /2005
Tanggal Lulus : 0 2 ~::.~ 2005
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Judul dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Juni- Agustus 2004 ini adalah Analisis Sosial Ekonomi dan Kelembagaan Pengelolaan Pasir Laut di Kabupaten Serang. Ungkapan terima kasih dengan rasa honnat yang mendalam kepada Bapak Dr. Ir. Akhmad Fauzi, M.Sc dan Prof Dr. Ir. Affendi Anwar, M.Sc selaku dosen pembimbing yang telah mencurahkan waktu dan pikiran, serta memberikan saran, bimbingan, dan petunjuk yang sangat berarti. Di samping itu, ucapan terima kasih kepada Pemerintah Kabupaten Fakfak yang telah memberikan izin dan rekomendasi kepada penulis untuk mengikuti pendidikan di Sckolah Pascasarjana IPB, kepada pihakpihak di jajaran Pemerintah Daerah Kabupaten Serang yang telah membantu penulis dalam pelaksanaan penelitian, ::-ei<:an-rekan dan sahabat di Serang yang telah mernberikan dorongan dan semangat, serta rekan-rekan dan sahabat PWD Angkatan 1001 atas bantuan dan kerjasamanya. Ungkapan terima kasih tak terhingga juga penulis sampaikan untuk keluarga tercinta, mama-papa dan adik-adik di Jakarta, Bapak-Ibu dan adik-adik serta Abang Rahim Patamasya di Fakfak atas segala dukungan, bantuan, dan kasih sayangnya, khusus suami terkasih, Imran Rasyadi Rumata, atas cinta, dukungan dan pengertian, ser..a pengorbanannya yang luar biasa dan tak henti memanjatkan do'a untuk penulis. Semoga karya ilmiah ini bennanfaat Bogor, Februari 2005
Dewi Saraswati
RIW A YAT HID UP Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 4 Agustus 1972 sebagai anak pertama dari 4 bersaudara, dari ibunda bemama Elly Asmara Sulistyawati dan ayahnda bemama Niman Kelana, menikah pada tahun t997 dengan lmran Rasyadi Rumata. Penulis lui us dari SMA Negeri 78 Kemanggisan Jakarta pada tahun 1991 dan pada tahun yang sama penulis diterima di Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) pada Fakultas Perikanan, dan penulis memilih jurusan Manajemen Sumberdaya Perairan (MSP) dan lulus pada Bulan September 1996. Karier penulis dimulai ketika diterima sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) di Lingkungan Departemen Dalam Negeri dengan status PNS Pusat Diperbantukan (DPB) pada Pemerintah Daerah Tingkat II Kotamadya Padang, khususnya di Bappeda Kotamadya Padang pada tahun 1997. Pada tahun 1998 penulis mengajukan mutasi ke Pemerintah Daerah Tingkat II Fakfak Propinsi Irian Jaya. Bulan Oktober 1999 penulis resmi menjal-11 Pegawai Negeri Sipil Daerah Otonom Kabupaten Tingkat II Fakfak, Propinsi Irian Jaya. Pada Bulan Maret 200 I penulis diberi amanah untuk mengepalai Sub Bidang Pengendalian Administrasi Pro!:,Yfam pada Bidang Pengendalian Bappeda Kabupaten Fakfak. Pada tahun 2002 penulis memperoleh kesempatan mengikuti pendidikan magister (52) melalui beasiswa dari Pusbindiklatren (Pusat Pembinaan Pendidikan dan Pelatihan Perencanaan) Bappenas melalui Proyek PPAN (Peningkatan dan Pendayagunaan Aparatur Negara), dan penulis memilih Program Studi Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Pedesaan (PWD) IPB.
DAFTAR lSI HALAMAN DAFTAR T ABEL DAFTAR GAMBAR ................................................................................................... xii DAFTAR LAMPJRAN ................................................................................................
XIII
PENDAHULUAN ..................................................................................................... .. Latar Belakang ................................................................................................... . Perumusan Masalah ............................................................................................ Tujuan dan Manfaat Penelitian ...........................................................................
6 6
TINJAUAN PUSTAKA .............................................................................................. 8 Pengertian St!;nberdaya, Klasifikasi, dan Manfaat S~mberdaya ........................ 8 Penilaian Ekonomi Dampak Lingkungan ........................................................... 12 Pengelolaan Sumoerdaya A lam dan Kelembagaan .. .. .. .. .. ..... ... ...... .. .. ...... .. .. .. ... . 21 Persepsi, Partisipasi, dan Penge1nbangan Masyarakat ..... ... .... ... .. ........ .............. 33 (Community Development) KERANGKA PEMJKJRAN ........................................................................................ 36 METODE PENELITIAN ..................................................................................... ....... Waktu dan Lokasi Penelitian .......................................... ........ .......... .................. Jenis dan Sumber Data ...................................................................... .................. Metode Pengambilan Contoh .............................................................................. Analisis Data .......................................................................................................
42 42 42 42 42
DESKRIPSI KABUPATEN SERANG ....................................................................... Deskripsi Kabupaten Serang ............................................................................... Deskripsi Wilayah Penelitian :......... ............ .......... ........ .... ... .......... ... ... ..... ..... .... Karakteristik Responden ............................................................................. .... ....
54 54 63 73
HASJL DAN PEMBAHASAN ................................................................................... Profil Penambangan Pasir Laut .. ..... .. .. .. .. .. . .. .. .. .. .. .. .. .. ... .. .. .. .. .. .. .. .. .. ... .. .. .. .. .. .. .. .. . Aspek Ekonomi Penambangan Pasir Laut .. .. ... ... .. ... .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. . Dampak Penambangan Pasir Laut ...................................................................... Persepsi Masyarakat .... ...................................................................... .. ..... ..... ..... Aspek Kelembagaan dalam Pengelolaan Pasir Laut ......................................... Analisis Multikriteria .......................................................................................... Implikasi Kebijakan ............................................................................................
75 75 78 81 97 104 I 07 I 13
SIMPULAN DAN SARAN ........................................................................................ 131 Simpulan .............................................................. ,.............................................. 131 Saran ................................................................................................................ 132 DAFTAR PUSTAKA .................................................................. .
133
LAMPJRAN ............................................................... . 1\
DAFTAR TABEL HALAMAN
f.
Data-data yang diperlukan dalam penelitian ......... .......... ............. .. .... ...... ...... ..... .. 43
2. Matriks pahala
(payldf.\~
dalam analisis Game lheory ...... .... ... ....... ...................... 4 7
3. Tabel Keputusan dalam model anal isis multikriteria .................. ................. .......... 49 4. Anal isis data........................................................................................................... 52 5. Pcnduduk usia 10 tahun ke atas yang bekerja menurut lapangan usaha................. 54 5. Produksi perikanan tangkap/budidaya Kabupaten Serang Tahun 2003 ................. 56 7. Pr0duksi (ton) perikanan laut Kabupaten Serang menurut kecamatan................... 56 8. Nilai produksi (Rp. 1.000) perikanan laut Kabupaten Serang menurut ................ 56 kecamatan 9. Produksi perikanan Iaut menurut jenis ikan tahun 2002-2003................................ 57 10. PDRB Kabupaten Serang dan kontribusi sektor perikanan terhadap PDRB.......... 58 1 1. Jumlah armada penangkapan nelayan menurut kecamatan .................................... 58 12. J umlah alat tangkap di Kabupaten Serang tahun 2003. ...... .. ...... .. ............ .. ............ 61 13. Perkiraan pendapatan nelayan dan buruh nelayan pada beberapa.......................... 62 alat tangkap di Teluk Banten tahun 1998-1999 14. Luas tambak menurut kecamatan ........................................................................... 63 15. Jumlah Rumah Tangga Petani Tambak dan Luas Areal Tambak .......................... 63 di Kab. Serang 16. Jumlah penduduk Kecamatan Trtayasa .................................................................. 64 17. Luas penggunaan Iahaa di Kecamatan Tirtayasa dan Pontang (Ha)....................... 64 18. Pemanfaatan laban di Kecamatan Tirtayasa pada desa-desa pengamatan..... ....... .. 65 19. Jumlah lulusan tiap jenjang pendidikan di Kecamatan Tirtayasa .......................... : 65 20. Komposisi penduduk di desa-desa pengamatan di Kecamatan Pontang ................ 67 21. Tingkat pendidikan penduduk di Kecamatan Pontang ............ ... ............ ..... .. ......... 68 22. Jumlah kapal dan nelayan di Kecamatan Pontang.................................................. 69 23. Jumlah kapal dan nelayan di Kecamatan Tirtayasa ................................................ 70 24. Karakteristik respondcn di wilayah penelitian........................................................ 74 25. Figur tahunan makro ekonomi ............................................................................... 80 26. Figur tahunan mikro ckonomi ... ............ ................................................................. 80 27. Dampak tcrhadap pclarangan pcnambangan pasir Iaut..........................................
82
28. Dampak penambangan terhadap perubahan surplus produsen . ...... ....................... 85 29. Hasil pengukuran beberapa parameter kualitas air di sekitar ................................ 92 Lokasi Penambangan Pasir Laut 30. Matriks pa:·offinteraksi antara pemerintah dengan nelayan ................................. 94 (payoffnelayan dana kompensasi) 3 I. Matriks payoff interaksi an tara pemerintah dengan nelayan ....... ....... ... ..... ...... ..... 95 (payoff nelayan perubahan/penurunan pendapatan) 32. Matriks payotl'interaksi antara perusahaan dengan nelayan ................................. 95 (payoffnelayan dana kompensasi) 33. Matriks payoffinteraksi antara perusahaan dengan nelayan ................................. 95 (payoff nelayan perubahanlpenurunan pendapatan) 34. Matriks Payoff interaksi antara petambak dengan penambang liar ................... .... 95 35. Persepsi masyarakat tentang perubahan pendapatan dan kebijakan ...................... 99 penambangan pasir laut 36. Dampak negatifyang ditimbulkan oleh penambangan pasir laut .......................... 101 37. Besamya WTP nelayan untuk pasir Iaut ................................................................ 102 38. Surplus nelayan terhadap WTP pasir Iaut .............................................................. I 03 39. Matriks input untuk analisis Multikriteria ............................................................. 109 40. Decision Rules Multikriteria dengan PRIME skenario pertama ............................ I 12 41. Decision Rules Multikriteria dengan PRIME skenario kedua ...... ......................... 112 42. Decision Rules Multikriteria dengan PRIME skenario ketiga ............................... 113 43. Kondisi eksisting penambangan pasir Iaut dan upaya-upaya yang ........................ 128 perlu dilakukan
XI
DAFT AR GAM BAR HALAMAN I. Teknik pemilihan metode penilaian nilai guna langsung ................. ... .................. 20
'
Bagan alir teknik pemilihan metode penilaian .. ... ..... ....... ..... .. .... .. .. .... .... ..... .......... 20 nilai guna tLangsung, nilai pilihan, dan keberadaan
3
Kurva permintaan individu ................. .................................................................. 21
4. Bagan alir kerangka pernik iran penelitian ............................................................. 4 I 5. Diagram perubahan surplus produsen..................................................................... 46 6. Alur ekstraksi pasir laut dengan Hotteling Rule .............. ..................................... 79 7. Perubahan surplus produsen . ........... .. ........................................ .......................... 84 8. Surplus produsen sebelum dan setelah penambangan ........................................... 86 9. Produksi perikanan Kabupaten Serang
199~-2003
I0. Produksi Perikanan Kecamatan Tirtayasa
................................................ 86 87
11. Persepsi responden tentang keadaan pendapatan ................................................... 98 12. Persepsi responden tentang penyebab penurunan ..... ......... ..... .. ...... ......... ........... ... 98 I3. Persepsi responden penambangan pasir laut .......................................................... 99 I4. Kurva permintaan pasir !aut oleh nelayan ............................................................. 103 I 5. Nilai indeks analisis Multikriteria skenario pertama ............................................. I 10 16. Nilai indeks analisis Multikriteria skenario kedua ................................................ 110 17. Nilai indeks analisis Multikriterir. Skenario ketiga ................................................ 110 I8. Value interval Multikriteria dengan PRIME skenario pertama ............................. I 1 I 19. Value interval Multikriteria dengan PRIME skenario kedua ................................ 112 20. Value interval Multikriteria dengan PRIME skenario ketiga ................................ 113
XII
DAFTAR LAMPIRA'\
HAL\\1:\:\ I.
Perhitungan perubahan surplus produsen ............................................... .
J
Perhitungan dengan Hotteling ........... ..................................... ...... ... ..................
3.
Anal isis regresi dengan perangkat E-View ............................................................ 142
1-J.O
4. Tahcl alternatif analisis Multikriteria dcngan TOPS IS .......................................... 144
5.
Value Tree analisis Multikritcria dcngan PRIME ................................................. 145
6.
Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 33 Tahun 2002 ........................... 146 Tcntang Pengendalian dan Pengav.:asan Pengusahaan Pasir Laut
... .\J II
PENDAHlTLtTAN Latar Belakang Pengelolaan sumberdaya alam telah menjadi Issue penting dalam lingkup negara, propinsi, maupun kabupaten/kota.
Potensi sumberdaya alam yang relatif
sangat besar menjadikan sumberdaya alam ini masih memegang peranan yang sangat penting sebagai sumber pendapatan negara dan daerah.
Dalam perjalanannya,
sumberdaya alam telah menjadi salah satu penggerak utama perekonomian wilayah baik dalam skala nasional maupun regional. Terbersit pula harapan bahwa sumberdaya alam akan mampu meningkatkan kesejahteraan dan taraf hidup masyarakat secara umum. Wilayah pesisir dan lautan merupakan salah satu wilayah yang dianugerahi bcrbagai sumberdaya alam, baik sumberdaya alam dapat pulih (seperti sumberdaya perikanan) maupun sumberdaya alam tak dapat pulih (seperti bahan tambang). Selama satu dasawarsa terakhir, wilayah ini telah menjadi perhatian khusus baik karena peranannya sebagai wilayah yang memiliki potensi sumberdaya alam tetapi sekaligus pula karena semakin menurunnya daya dukung wilayah ini akibat tingkat eksploitasi yang semakin meningkat dan tidak terkendali. Wilayah ini telah menjadi wilayah yang memiliki dimensi yang sangat kompleks, baik dimensi politis, ekonomi, sosial, maupun ekologis. Sumberdaya alam sebagai suatu endowment ditakdirkan untuk memberikan manfaat kepada umat manusia. Manfaat ini tidak saja berupa manfaat ekonomi yang dapat dirasakan secara langsung, tetapi juga memberikan manfaat berupa jasa-jasa lingkungan yang mempengaruhi kesejahteraan manusia. Berbagai pihak melihat dan memanfaatkan sumberdaya alam dalam perspektif yang berbeda-beda,
b~ik
dari
perspektif ekonomi, lingkungan, maupun politis. Dari sisi kewilayahan, sumberdaya alam menempati satu ruang dimana terdapat berbagai kepentingan, sehingga ruang dimana terdapat sumberdaya alam merupakan suatu ruang konflik. Secara teoritis, suatu endowment dikatakan merupakan sumberdaya bila
endowment tersebut memiliki permintaan dan terdapat teknologi untuk mengekstraksi dan memanfaatkannya.
Adanya permintaan dan teknologi untuk memanfaatkanya
menjadikan sumberdaya alam ini tidak terelakkan untuk dimanfaatkan. Namun suatu hal yang sering terlupakan adalah bahwa sumberdaya alam juga memiliki nilai-nilai
2 lingkungan, sebaliknya apa yang ingin dicapai dalam pemanfaatan sumberdaya alam hanyalah
semata-mata
mantaat
ekonomi
yang
sebesar-besarnya,
sehingga
pemanfaatannya sering menimbulkan eksternalitas yang berlebihan. Pengelolaan sumberdaya alam yang telah berjalan selama ini, baik pada lingkup negara maupun daerah belumlah secara nyata memberikan kontribusi positif terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat secara luas dan merata.
Manfaat
ekonomi dari pemantaatan sumberdaya alam lebih banyak diperoleh dan dinikmati olch scbagian kccil pihak yang memiliki akses terhadap permodalan dan tcknologi serta akses terhadap lembaga pemerintahan formal. Salah satu sumberdaya alam yang terdapat di wilayah pesisir dan lautan adalah pasir laut. Pasir laut adalah salah satu sumberdaya alam yang bersifat tak dapat pulih
(non renewable resource) yang telah lama dimanfaatkan dan akhir-akhir ini menjadi issue penting baik pada skala nasional maupun daerah. Detinisi pasir !aut berdasarkan Keppres No.33 Tahun 2003 adalah bahan galian pasir yang terletak pada wilayah perairan Indonesia yang tidak mengandung unsur mineral golongan A danlatau B dalam jumlah yang berarti ditinjau dari segi ekonomi pertambangan. Selama bertahun-tahun sejak masa orde baru hingga saat tm pastr laut ditambang secara besar-besaran dengan kapal-kapal pengeruk.
Penambangan pasir
laut ada yang dilakukan secara legal maupun ilegal. Pasir itu dijual ke Singapura dan digunakan oleh negara tersebut untuk mereklamasi pantainya sehingga negara pulau itu bertambah luasnya. Efek dari penambangan pasir laut di Riau Kepulauan tersebut adalah perairan laut menjadi keruh sehingga ikan-ikan bermigrasi dan akhimya nelayan mengalami penurunan hasil tangkapan. Petani
tambak di
Desa Mororejo
Kecamatan
Kaliwungu, dan
Desa
Mangunharjo Kecamatan Tugu mengadukan kerusakan tambak mereka kepada Gubemur Jawa Tengah. Petani tambak berpendapat bahwa rusaknya tambak udang mereka adalah akibat penambangan pasir !aut dan diperburuk lagi oleh pembelokan arus sungai Wakak yang dilakukan oleh satu perusahaan.
Kondisi itu telah
menyebabkan penurunan pendapatan petani tambak pada tingkat yang sangat rendah. Namun sebaliknya, direktur produksi perusahaan tersebut menyatakan bahwa bahwa rusaknya tambak masyarakat adalah karena proses alamiah, yakni abrasi !aut utara Jawa (Bernas 2003 ).
...
.)
Pencurian pasir laut di pantai belahan utara dan barat Nusa Penida, Bali, semakin marak yang dilakukan oleh masyarakat setempat.
Akibatnya, kana!
penangkal abrasi pantai semakin tidak berfungsi karena endapan penguat kana! dari pasir makin rapuh dan terancam abrasi. Kerusakan karena abrasi pantai semakin hari semakin parah terutama di pantai tanpa penangkal abrasi.
Abrasi pantai setempat
diperparah oleh pencurian pasir laut tanpa henti. Gubemur Bali memperingatkan masyarakat agar tidak mengambil pasir laut, namun peringatan itu tidak diindahkan dan masyarakat menyatakan bahwa mereka tidak mencuri pasir laut, melainkan mengambil pasir sesuai tradisi dari zaman ke zaman. Masyarakat menyadari bahwa aparat pemerintah sering memperingatka!l mereka ?gar tidak mengambil pasir laut, namun peringatan tersebut menurut masyarabt tidak masuk akal karena warga yang akan membangun rumah tak mampu membeli pasir ke Klungkung daratan karena biayanya terlalu tinggi dan pengadaannya dianggap merepotkan warga. Penambangan pasir laut oleh masyarakat semakin gencar ketika buruh dan petani rumput Iaut menghadapi paceklik karena serangan ais-ais pada tanaman rumput Iaut.
Namun
demikian, pengambilan pasir Iaut sering pula dirisaukan oleh anggota masyarakat lainnya (Harian Nusa 2000). Pemerintah pemah memutuskan untuk melarang ekspor pas1r Iaut untuk menertibkan penambangan pasir Iaut serta mengatur kembali tata niaga eskpor pasir !aut yang selama ini dilakukan secara bebas. Salah satu masalah dalam ekspor pasir laut adalah banyaknya izin yang dikeluarkan instansi pemerintah, seperti dari Kantor Dinas Departemen Pertambangan dan Sumberdaya Mineral. Selain itu, penambangan dan ekspor pasir laut juga tidak terkontrol. Akibatnya, Iingkungan menjadi rusak dan harga pasir laut menjadi anjlok. Tujuan penghentian sementara ekspor pasir laut ini adalah untuk melakukan penataan kembali penambangan dan ekspor pasir laut. Pengawasan ekspor pasir Iaut itu kemungkinan besar akan dilakukan dengan menggunakan sistem kuota yang diatur oleh pemerintah daerah dan asosiasi pelaku usaha pasir laut itu sendiri (Kompas 2002 ). Upaya dan tujuan pemerintah untuk mentataniagakan pasir !aut untuk menekan kerusakan Iingkungan, meningkatkan harga pasir !aut, dan menambah devisa negara mendapat
tanggapan
dari
berbagai
kalangan.
terutama
pihak
swasta
yang
berkepentingan dengan pengusahaan pasir !aut. Dinyatakan bahwa tujuan pemerintah
Dilatarbelakangi
oleh
adanya
kegiatan
penambangan,
5 pengerukan,
pengangkutan, dan perdagangan pasir laut yang berlangsung tidak terkendali; yang telah menyebabkan kerusakan ekosistem pesisir dan laut, keterpurukan nelayan dan pembudidayaan ikan, serta jatuhnya harga pasir laut, maka untuk mencegah dampak negatif dari kondisi-kondisi tersebut, serta untuk melindungi dan memberdayakan nelayan, pembudidaya ikan, dan masyarakat pesisir umumnya, serta memperbaiki nilai jual pasir laut, maka perlu dilakukan upaya pengendalian dan pengawasan terhadap Kepu~usan
pasir Iaut. Berkaitan dengan hal tersebut, pemerintah telah menetapkan
Presiden No.33 Tahun 2002 tentang Pengendalian dan Pengawasan PenbTUSahaan Pasir Laut.
Keputusan Presiden tersebut mengatur tentang pembentukan Kelembagaan
Pengendalian dan Pengawasan Pengusahaan Pasir Laut, Zonasi dan Volume Pengusahaan Pasir Laut, Perdagangan Ekspor, dan Kewajiban Dalam Pengusahaan Pasir Laut. Setiap
keputusan
untuk
membiarkan
sumberdaya
alam
ataupun
memanfaatkannya menimbulkan implikasi manfaat dan kerugian (gain and loss) terhadap masyarakat secara keseluruhan. Keputusan tersebut hanya bisa ditetapkan dengan tepat apabila aspek manfaat dan kerugian dianalisis dan dievaluasi dengan tepat. Hal ini berarti seluruh nilai, baik yang memberikan manfaat atau menimbulkan kerugian dari setiap pilihan pemanfaatan sumberdaya alam harus dipertimbangkan dan diperhitungkan. Namun analisis ekonomi yang membandingkan manfaat (gain) dan kerugian (loss) dari pemanfaatan sumberdaya pada berbagai altematif kondisi atau kebijakan serta implikasinya terhadap perekonomian wilayah tidak atau belum banyak dilakukan, padahal analisis ini diperlukan untuk mengambil Iangkah-Iangkah yang tepat (Fauzi 1999). Selain aspek manfaat dan kerugian, aspek sosial dari pengelolaan sumberdaya alam merupakan aspek yang tidak terpisahkan dari pengelolaan sumberdaya alam. Salah satu aspek sosial ini adalah terkait dengan persepsi masyarakat tentang suatu kebijakan pengelolaan sumberdaya alam pada lingkungan masyarakat tersebut. Pentingnya
mengetahui
persepsi
masyarakat
ini
adalah
untuk
memahami
perilaku/tindakan masyarakat. Persepsi dan perilaku ini kemudian akan menentukan partisipasi masyarakat. Pentingnya memperhatikan tingkat partisipasi ini mengingat masyarakat terutama masyarakat nelayan adalah salah satu pihak (.r;takelwlder) penting
6 yang menentukan berhasilnya upaya pengelolaan sumberdaya pas1r laut selain masyarakat sebagai pihak yang terkena dampak dari penambangan pasir laut. Apabila kemudian terdapat persepsi yang
~'anggap
salah maka dapat dilakukan upaya-upaya
untuk mengarahkan persepsi tersebut ke arah yang benar. Perumusan Masalah Apabila dikaji issue-issue yang berkenaan dengan pemanfaatan pasu laut diatas, hal-hal yang dapat dijadikan catatan penting adalah: •
Adanya permintaan (demand) yang tinggi terhadap pasir laut dan adanya kebijakan dari pemerintah untuk memanfaatkan pasir laut karena dianggap mampu menghasilkan devisa bagi negara serta adanya fungsi-fungsi ekologis dari pasir laut menunjukkan bahwa pasir laut memiliki nilai ganda, yaitu nilai ekonomis dan nilai ekologis.
•
Pemanfaatan pasir laut dianggap telah menimbulkan dampak sosial, ekonomi, maupun lingkungan.
•
Hasil dari penambangan pasir laut belum memberikan kontribusi positif terhadap peningkatan kesejahteraan nelayan atau masyarakat Jokal.
•
Terjadi konflik antar masyarakat, antara masyarakat dengan pelaku usaha pemanfaatan pasir laut, antara masyarakat dengan pemerintah, baik yang diakibatkan oleh perbedaan nilai atau pandangan dan perbedaan kepentingan. Oleh karena itu, hal-hal yang dapat dirumuskan adalah :
1. Bagaimana konsekuensi ekonomi, lingkungan, dan sosial yang dapat ditimbulkan
dari pengelo:aan pasir ]aut. 2. Bagaimana persepsi masyarakat terkait dengan dampak yang ditimbulkan dari pemanfaatan pasir laut serta tentang kebijakan penambangan pasir laut. 3. Implikasi kebijakan apa yang dapat dihasilkan dari pengelolaan pasir laut. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Menganalisis konsekuensi ekonomi, lingkungan, dan sosial yang dapat ditimbulkan dari pengelolaan pasir Iaut.
7
2. Mempelajari persepsi masyarakat terkait dengan dampak yang ditimbulkan dari pemanfaatan pasir !aut serta tentang kebijakan penambangan pasir !aut. 3. Mengetahui implikasi kebijakan yang dapat dihasilkan dari pengelolaan pasir !aut. Hasil penelitian ini diharapkan menjadi informasi yang berguna sebagai input dalam merumuskan strategi kebijakan, terutama bagi pemerintah daerah terkait, yang dapat dijadikan acuan dalam kebijakan pemanfaatan pasir !aut secara khusus, suatu kebijakan yang diharapkan akan memberikan manfaat yang optimum.
8
II. TINJAUAN PUSTAKA Pengertian Sumberdaya, Klasifikasi, dan Manfaat Sumberdaya
Negara berkembang seperti Indonesia memberikan prioritas pembangunan berkelanjutan pada pemenuhan kebutuhan dasar manusia saat ini, serta menjamin kelangsungan pembangunan ekonomi (Mitchell et at. 2003 ). ekonomi,
sumberdaya alam
Pada pembangunan
memegang peranan yang sangat penting,
selain
menyediakan barang dan jasa, juga menjadi tulang punggung dari pertumbuhan ekonomi dan sumber penghasilan masyarakat serta merupakan asset negara yang penting. Selain itu, sumberdaya alam khususnya yang barada pada wilayah pesisir juga memainkan peranan yang penting dilihat dari segi ekologis, diantaranya sebagai penyeimbang ekosistem (Fauzi 2000). Sumberdaya dalam pengertian umum adalah segala sesuatu yang dipand:mg memiliki nilai ekonomi. Rees (1990) dalam Fauzi (2000) menyatakan bahwa sesuatu untuk dikatakan sebagai sumberdaya harus memiliki dua kriteria, yaitu (I). Harus ada teknologi, pengetahuan, atau skill untuk memanfaatkannya, (2). Harus ada pennintaan
(demand) terhadap sumberdaya tersebut. Adanya pandangan tentang sumberdaya alam mempengaruhi penilaian terhadap pemanfaatan sumberdaya alam.
Terdapat dua pandangan yang umumnya dianut.
Pertama adalah pandangan konservatif atau disebut pula pandangan pesimis atau perspektif Malthusian. Dalam pandangan ini resiko akan terkurasnya sumberdaya alam menjadi perhatian utama.
Menurut pandangan ini, sumberdaya alam harus
dimanfaatkan secara hati-hati karena adanya faktor ketidakpastian terhadap apa yang akan teijadi untuk generas1 mendatang. Pandangan ini berakar dari pemikiran Malthus yang dikemukakan pada tahun 1879 ketika "Principles of Population" dipublikasikan. Dalam perspektif Malthus, sumberdaya alam yang terbatas tidak akan mampu mendukung pertumbuhan penduduk yang cenderung tumbuh secara eksponensial. Dengan demikian output per kapita akan menurun dan sumberdaya alam akan terkuras. Pandangan kedua adalah pandangan eksploitatif atau sering juga disebut sebagai perspektif Richardian. Dalam pandangan ini sumberdaya alam dianggap sebagai mesin pertumbuhan yang mentransformasikan sumberdaya kedalam "man-made capital" yang
9 pada gilirannya akan menghasilkan produktivitas yang lebih tinggi dimasa mendatang. Jika sumberdaya menjadi langka, menurut pandangan eksploitatif, kenaikan harga output per satwn akan menimbulkan dua hal. Pertama, dari sisi permintaan, kenaikan harga tersebut akan menyebabkan penurunan terhadap permintaan barang dan jasa yang dihasilkan oleh sumberdaya alam. Penurunan terhadap permintaan ini pada gilirannya akan menimbulkan insentif untuk mencari sumberdaya substitusi.
Kedua, dari sisi
penawaran, kenaikan harga yang dipicu oleh kelangkaan akan mengakibatkan perusahaan-perusahaan yang berbasis sumberdaya alam akan berusaha meningkatkan suplai untuk memperoleh yang sebesar-besamya. Proses ini akan menimbulkan tekanan terh~dap
sumberdaya alam sehingga dari sisi perusahaan mereka juga akan mencari
inovasi-inovasi untuk memenuhi kenaikan harga tersebut. Ketika sumberdaya alam sudah terdefinisikan dan diketahui, maka pertanyaan yang muncul kemudian adalah bagaimana mengukur ketersediaan sumberdaya tersebut. Untuk sumberdaya yang bersifat stock, Rees (1990) dalam Fauzi (2000), membaginya kedalam 5 konsep pengukuran, yakni : I.
Basis sumberdaya; konsep ini diartikan sebagai total kuantitas ketersediaan sumberdaya alam dalam suatu unit geosistem.
2.
Sumberdaya hipotesis; konsep pengukuran sumbedaya alami yang belum diketahui namun diharapkan ditemukan pada masa mendatang.
3.
Sumb~rdaya
spekulatif; konsep ini cenderung diterapkan pada sumberdaya alam
yang sulit diduga. 4.
Sumberdaya kondisional; adalah sumberdaya yang sudah diketahui namun belum dapat dimanfaatkan keberadaannya karena bel urn tersedianya skill dan teknologi.
5.
Cadangan terbukti (proven resources); adalah sumberdaya alam yang sudah diketahui dan dapat dimanfaatkan dengan teknologi dan skill yang ada.
Sumberdaya alam mencakup pengertian yang sangat luas, merupakan unsur pembentuk lingkungan yang sangat kompleks, dinamis, satu sama lain saling berinteraksi. Owen (1980) dalam Ramdan et a/ (2003) mendefinisikan sumberdaya alam sebagai bagian dari lingkungan alam (tanah, air, padang penggembalaan, hutan, kehidupan liar, mineral, atau populasi manusia) yang dapat digunakan manusia untuk meningkatkan kesejahteraan hidupnya.
Pada dasamya sumberdaya alam itu dapat
10 dikelompokkan menjadi dua kelompok utama, yaitu sumberdaya yang tak dapat diperbaharui (exhaustible resource, stock resource) dan kelompok sumberdaya yang dapat diperbaharui (renewable resource, flow resources).
Stock resources diartikan
sebagai sumberdaya alam yang tersedia dalam jumlah dan kualitas yang tetap pada tempat dan waktu tertentu, sedangkanj/ow resources merupakan sumberdaya alam yang selalu berubah jumlahnya. Klasifikasi sumberdaya alam berdasarkan karakteristiknya diperlukan untuk mempermudah pemahaman kita mengenai sifat-sifat sumberdaya tersebut.
Klasifikasi tersebut akan mempermudah dalam perencanaan, pemanfaatan,
dan pengelolaannya agar sumberd3ya alam tersebut tetap lestari dan memberikan manfaat yang optimal. Sumberdaya tak dapat diperbaharui dapat habis baik karena tidak dapat diganti oleh proses alamiahnya maupun karena proses pergantian alamiahnya berjalan lebih lambat dari jumlah pemanfaatannya. Ketersediaan sumberdaya jenis ini tergantung dari volume ekstraksi atau eksploitasinya. Jika sumberdaya ini dieksploitasi sedikit demi sedikit, tentunya akan habis dalam jangka waktu yang relatif panjang, tetapi jika dieksploitasi secara besar-besaran maka akan habis dalam waktu yang relatif singkat. Sumberdaya ini memiliki jumlah yang tetap di alam, sekali diekstraksi maka tidak bisa diganti. Sumberdaya jenis ini bersifat tidak permanen dan juga tidak bisa diproduksi, sehingga menimbulkan problema tersendiri dalam kaitan dengan analisis produksinya yang tidak dijumpai pada sumberdaya alam jenis lain. Kajian ekonomi lingkungan menitikberatkan pada seberapa banyak tingkat ekploitasi dan produksi yang optimal sehingga tidak memberikan efek yang negatif terhadap lingkungan serta kesejahteraan hidup generasi umat man usia yang akan datang (Yakin 1997). Potensi pembangunan yang terdapat di wilayah pesisir dan lautan secara garis besar terdiri dari 3 kelompok : (I) sumberdaya dapat pulih (renewable resources), (2) sumberdaya tak dapat pulih (non-renewable resources), dan (3) jasa-jasa lingkungan
(environmental services).
Sumberdaya tak dapat pulih meliputi seluruh mineral dan
geologi. Mineral terdiri dari tiga kelas, yaitu kelas A (mineral strategis : minyak, gas, dan batubara), kelas B (mineral vital : emas, timah, nikel, bauksit, bijih besi, dan chromite ), dan kelas C (mineral industri : termasuk bahan bangunan dan galian seperti granit, kapur, tanah liat, kaolin, dan pasir) (Dahuri eta!. 200 I).
II Berdasarkan Keppres No. 33 Tahun 2002 Tentang Pengendalian dan Pengawasan
Pasir Laut, pasir laut merupakan bahan galian pasir yang terletak pada wilayah perairan Indonesia yang tidak mengandung unsur mineral golongan A dan/atau B dalam jumlah yang berarti ditinjau dari segi ekonomi pertambangan. Salah satu fungsi pasir laut yang terdapat di dasar perairan pesisir adalah meredam energi gelombang sebelum menghempas ke pantai. Bila dasar perairan pesisir dikeruk (ditambang) untuk diambil pasir lautnya, dasar perairan akan Iebih dalam ataupun lereng dasar perairannya menjadi lebih curam. Akibatnya adalah tingkat energi gelombang yang menghempas di pantai akan menjadi lebih tinggi karena peredaman oleh dasar perairan telah berkurang. Hal ini berdampak pada makin intensifnya proses abrasi/erosi pantai (Purba 2003). Salah satu kekayaan ekosistem pesisir terletak pada lapisan yang tidak terlalu tebal yang terdapat di permukaan dasar perairan pesisir. Lapisan tipis ini dapat berupa basil dekomposisi bahan organik seperti dedaunan dari berbagai jenis vegetasi pantai yang bercampur dengan sedimen halus sampai kasar.
Habitat merupakan tempat dimana
jasad renik yang berperan melakukan proses dekomposisi terhadap bahan organik sehingga menjadi makanan alami bagi larva, juvenile sebelum mereka tumbuh dewasa dan dapat berkelana ke habitat lain sesuai dengan karakter biologisnya. Oleh karena itu, lapisan tipis ini sangat kritis dalam kehidupan makhluk kecil dan lemah tersebut sehingga tempat tersebut disebut nursery ground (tempat pengasuhan). Bila masa larva juvenile ini gagal, dapat dipastikan rekruitmen akan gagal dan akibatnya populasi ikan yang menjadi dewasa juga akan gagal, yang berarti basil tangkapan akan jauh menurun. Selain itu, berbagai organisme benthos yang hidup dan mencari makan pada habitat tersebut juga akan hilang. Tidak semua orang memiliki sumberdaya alam.
~andangan
yang sama terhadap pengelolaan
Latar belakang pendidikan, kebudayaan, sosial, dan ekonomi
berpengaruh terhadap perilaku personal dalam pengelolaan sumberdaya alam. Pandangan tentang upaya untuk mengelola sumbrdaya alam terdiri dari kelompok : preservasionis, konservasionis, dan eksploiter.
Bagi preservasionis, mengelola
sumberdaya alam cenderung membiarkan alam untuk mengatur sistemnya tanpa intervensi manusia, sehingga keberadaan alam semata-mata hanya diperuntukkan untuk kepentingan preservasi (Ramdan et a!. 2003 ). sumberdaya alam sebagai sumber energi.
Kelompok eksploiter memandang
Perspektif ini menjadikan alam sebagai
sumber ekonomi.
12 Pertimbangan ekonomi lebih mendominasi kelompok eksploiter,
bahkan cenderung mengabaikan prinsip-prinsip kelestarian sumberdaya alam. Akibat perspektif ini sumberdaya alam banyak mengalami degradasi. Penilaian Ekonomi Dampak Lingkungan
Kerusakan atau degradasi lingkungan juga menyusutkan Iaju pembangunan ekonomi.
Hal ini sangat mudah dimengerti karena kerusakan lingkungan akan
menurunkan tingkat produktivitas sumberdaya alam. Pada akhimya akan menimbulkan berbagai masalah sosial ekonomi dalam masyarakat dan pada gilirannya, semua itu harus dipikul dengan biaya yang tinggi (Toddro 2000). Meskipun biaya-biaya lingkungan yang ditimbulkan oleh berbagai kegiatan ekonomi sekarang ini masih ramai diperdebatkan, namun semakin banyak ahli ilmu ekonomi pembangunan yang sepakat bahwa pertimbangan dan perhitungan lingkungan harus dijadikan bagian yang integral dari setiap inisiatif kebijakan.
Tidak dimasukkannya biaya-biaya lingkungan dari
kalkulasi GNP merupakan salah satu penyebab masih terabaikannya persoalan lingkungan dari ilmu ekonomi pembangunan selama ini. Kerusakan tanah, sumbersumber air, dan hutan-hutan yang diakibatkan oleh metode produksi yang kurang terencana dan tidak efisien jelas dapat mengurangi tingkat produktivitas nasional, terutama dalam jangka panjang. Namun ekses-ekses tersebut seringkali dipisahkan dari perhitungan semata-mata demi memunculkan angka-angka GNP yang mengesankan. Praktek seperti itu bukan saja mengingkari kenyataan yang ada, akan tetapi juga mendorong kerusakan lingkungan hidup yang Iebih jauh lagi. Oleh karena itu, setiap analisis ekonomi mutlak perlu memperhitungkan berbagai implikasi jangka panjang yang ditimbulkan oleh setiap kegiatan ekonomi te:-hadap kualitas atau kelestarian lingkungan.
Oleh karena itu, para perencana pembangunan harus selalu melibatkan
perhitungan lingkungan (environmental accounting) dalam perumusan kebijakankebijakan mereka. Sebagai contoh, kelestarian atau sebaliknya kerusakan Iingkungan hidup harus dihitung sebagai faktor penambah atau faktor pengurang tingkat pertumbuhan
ekonomi
serta
tingkat
kesejahteraan
penduduk
secara
agregat
(keseluruhan). Salah satu altematif penghitungan Iingkungan telah dikemukakan oleh Pearce dan Warford.
Pengertian asset fisik dalam rumusan mereka mencakup semua hal yang
13 berharga, tidak hanya modal-modal manufaktur (mesin, pabrik,jalan-jalan), namunjuga modal manusia (pengetahuan, keterampilan, dan pengalamaan) serta modal lingkungan hidup (environmental capital), yakni mulai dari hutan, kualitas tanah, rentang kehijauan yang menyejukkan, dan sebagainya.
Berdasarkan definisi ini, maka adanya
pembangunan yang berkelanjutan (sustainable development) mensyaratkan terjaga atau meningkatnya modal tersebut dari waktu ke waktu (tidak boleh susut). Atas dasar itu, kalkulasi GNP harus dikoreksi menjadi NNP* (Sustainable National Income) atau pendapatan nasional netto yang berkesinambungan. Berkaitan dengan valuasi dan perhitungan nasional (national account), Pearce (1993) memodifikasi formula GNP menjadi:
gNNP
= GNP- 5Km- bKn
dimana: gNNP
= "green" net national product
5 Km
= depresiasi asset-asset human made capital
5 Kn = depresiasi asset-aset modal lingkungan yang dinyatakan dalam satuan moneter ( uang) tahunan. Untuk non-renewable resources, Hartwick dalam Pearce ( 1993) memberikan formula untuk menghitung 5 Kn untuk tiap jenis modal lingkungan (Kni) : 5Kn1 = [P;- MC1 ][Q1 - N 1 ]
dimana: P
= harga bayangan (shadow price) dari sumberdaya (harga pasar dalam ekonomi kompetitit)
MCi
= biaya marjinal (marginal cost) dari ekstraksi
Pi-MCi = user cost atau royalty pada sumberdaya Qi
= output dari sumberdaya
Ni
=
penemuan-penemuan baru
Penilaian terhadap dampak Iingkungan akan melibatkan penilaian terhadap analisis biaya dan manfaat terhadap sumberdaya alam. Salah satu tantangan yang dihadapi oleh para pembuat kebijakan adalah bagaimana menilai suatu menyeluruh.
sumberday~
alam secara
Dalam hal ini tidak saja nilai pasar (market value) dari barang yang
14 dihasilkan dari suatu sumberdaya melainkan juga dari jasa yang ditimbulkan oleh sumberdaya tersebut (Fauzi 2000). Dalam setiap kegiatan atau kebijakan selalu
ti1~1bul
adanya biaya dan manfaat
sebagai akibat dari kegiatan atau kebijakan tersebut. Sebagai dasar untuk menyatakan bahwa suatu kegiatan atau kebijakan itu layak atau tidak layak diperlukan suatu perbandingan yang menghasilkan suatu nilai atau suatu rasio.
Untuk itu diperlukan
pemberian nilai (harga) terhadap danlpak suatu kegiatan atau kebijakan terhadap Damoak dari suatu kegiatan dapat bersifat Iangsung maupun tidak
Iingkungan. Iangsung.
Dampak Iangsung atau primer merupakan dampak yang timbul sebagai
akibat dari tujuan utama kegiatan atau kebijakan, baik itu bempa biaya maupun manfaat. Tanpa pemberian nilai daiam rupiah, akan sulit bagi kita untuk menyatakan bahwa kegiatan atau kebijakan itu layak adanya.
Alasan penting untuk penilaian
lingkungan yaitu berkaitan dengan kebijakan ekonomi makro, dan bagi keputusan alokasi faktor produksi demi efisiensi pada tingkat mikro. Pada tingkat makro, nilai manfaat atau kerusakan yang timbul dari suatu kegiatan dapat dinyatakan dalam persentase tertentu dari nilai Produk Domestik Bruto, sehingga dapat digunakan untuk menyatakan layak atau tidaknya kegiatan tersebut dari segi ekonomi makro secara keseluruhan.
Sedangkan pada tingkat mikro, perhitungan biaya dan manfaat suatu
kegiatan sangat menentukan layak atau tidaknya suatu kegiatan bagi pelaksana ekonomi (pemrakarsa) sebagai investor.individual (Suparmoko dan Suparmoko 1987). Berkaitan dengan manfaat dan biaya-biaya yang ditimbulkan dari penambangan pasir laut, selama bertahun-tahun, pantai-pantai pada wilayah pesisir Grenada telah mengalami penambangan pasir yang ekstensif
Manfaat (benefit) dari aktivitas
penambangan tersebut didefinisikar, dalam konteks terpenuhinya kebutuhan lokal akan pasir untuk industri konstruksi.
Biaya-biaya yang ditimbulkan dari aktivitas
penambangan ini digambarkan secara kualitatif meliputi berkurangnya Iuasan area pantai, hilangnyalberkurangnya pantai-pantai untuk rekreasi lokal, hilangnya habitat untuk kehidupan satwa-satwa seperti tempat bersarangnya penyu, hilangnya peluangpeluang pembangunan berkaitan dengan pengembangan hotel-hotel dan akomodasi pemukiman, peningkatan potensi terjadinya banjir dari lahan-lahan pertanian dan penduduk yang berdekatan dengan pantai, dan berkurangnya sedimen untuk mengisi pantai-pantai lainnya (Ruitenbeek dan Cartier 200 I).
15
Secara umum dapat didefinisikan bahwa valuasi ekonomi pada dasamya adalah suatu upaya untuk memberikan nilai kuantitatif terhadap barang dan jasa yang dihasilkan oleh sumberdaya alam dan lingkungan terlepas dari apakah nilai pasar (market
price~)
tersedia atau tidak.
Akar dari konsep penilaian ini sebenamya
berlandaskan pada ekonomi neo-klasikal (neo-classical economic theory) yang menekankan pada kepuasan atau keperluan konsumen.
Berdasarkan pemikiran neo-
klasikal ini, penilaian setiap individu pada barang dan jasa tidak lain adalah selisih antara keinginan membayar (Willingness to Pay= WTP) dengan biaya untuk mensuplai barang dan jasa tersebut.
Barbier et a/ (1997) dalam Fauzi (1999), misalnya
menyatakan bahwa jika sumberdaya alam dan lingkungan tersed1a dan menghasilkan barang dan jasa tanpa kita harus mengeluarkan biaya, maka nilai V.'TP kitalah yang mencerminkan nilai dari sumberdaya itu sendiri, terlepas kita membayamya atau tidak. Konsep ini dalam satu dan lain hal identik dengan surplus konsumen (Marshal/ian Consumer's Surplus) yang telah dikembangkan lebih dini oleh Dupuit (1952). Meskipun tidak terukur secara jelas, teknik pengukuran surplus konsumen ini sudah sangat dikenal pada barang dan jasa konvensional yang diperdagangkan di pasar dengan harga yang terukur.
Ketika surplus konsumen yang diperoleh dari mengkonsumsi
barang dan jasa tersebut sudah diukur, valuasi ekonomi pada komoditas yang konvensional ini kemudian bisa diukur dengan melihat perbandingan surplus konsumen yang terjadi akibat adanya perubahan ekonomi. Masalah yang timbul untuk barang dan jasa yang non konvensional seperti halnya sumberdaya alam dan lingkungan yang selain menghasilkan produk yang bisa dikonsumsi, juga menghasilkan atribut yang tidak terkonsumsi, dimana pasar tidak memberikan harga yang dapat diamati, sehingga pengukuran surplus !ronsumen tersebut akan menemui kesulitan.
Tidak adanya harga yang teramati ini menyulitkan
pengukuran surplus konsumen yang memang dibangun berdasarkan kriteria selisih antara keinginan membayar dengan harga yang teramati.
Memahami kompleksitas
permasalahan ini, Krutila (1967) da/am Fauzi (2000) mengenalkan konsep nilai ekonomi total (FEV = Total Economic Value) bagi setiap individu atas sumberdaya alam dan lingkungan. Nilai ekonomi total ini pada dasamya sama dengan net benefit yang diperoleh dari sumberdaya alam, namun di dalam konsep ini nilai yang
16 dikonsumsi oleh seorang individu dapat dikategorikan kedalam dua komponen utama,
yaitu use value dan non use value. Komponen pertama, yaitu use value pada dasamya diartikan sebagai nilai yang diperoleh seorang individu atas pemanfaatan langsung dari sumberdaya alam dimana individu berhubungan Iangsung dengan sumberdaya alam dan lingkungan.
Nilai ini
juga termasuk pemanfaatan secara komersial atas barang dan jasa yang dihasilkan oleh sumberdaya alam. Use value secara lebih rinci diklasifikasikan kembali kedalam direct
use value dan indirect use value. Direct use value merujuk pada kegunaan Iangsung dari konsumsi sumberdaya seperti penangkapan ikan, pertanian, kayu sebagai bahan bakar dan lain sebagainya baik secara komersial maupun non komersial.
Sementara
indirect use value merujuk pada nilai yang dirasakan secara tidak Iangsung kepada masyarakat terhadap barang dan jasa yang dihasilkan oleh sumberdaya alam dan lingkungan.
Termasuk di dalam kataegori indirect use value ini misalnya fungsi
pencegahan banjir dan nursery ground dari suatu ekosistem (Fauzi 1999). Komponen non-use value adalah nilai yang diberikan pada sumberdaya alam atas keberadaannya meskipun tidak dikonsumsi secara langsung. Non-use value Iebih sulit diukur (less tangible) karena Iebih didasarkan pada preferensi terhadap Iingkungan dibanding pemanfaatan Iangsung. Non use value dibagi Iagi dalam sub kelas yakni : nilai eksistensi (existence value), bequest value, dan nilai pilihan (option value). Nilai eksistensi pada dasamya adalah penilaian yang diberikan dengan terpeliharanya sumberdaya alam dan Iingkungan. Nilai ini sering pula disebut dengan nilai intrinsik
(intrinsic value) dari sumberdaya alam. Bequest value diartikan sebagai nilai yang diberikan oleh generasi saat ini dengan menyediakan atau mewariskan (bequest) sumberdaya untuk generasi mendatang.
N'lai pilihan lebih diartikan sebagai nilai
pemeliharaan sumberdaya sehingga pilihan untuk memanfaatkannya (option) untuk masa datang tersedia. Nilai pilihan ini mengandung ketidakpastian. Nilai ini merujuk pada nilai barang dan jasa dari sumberdaya alam yang mungkin timbul sehubungan dengan ketidakpastian permintaan di masa mendatang. Bila kita yakin akan preferensi dan ketersediaan sumberdaya alam di masa mendatang, maka nilai pilihan kita akan nol, sebaliknya jika kita tidak yakin, maka misalnya saja kita mau membayar "premium" (nilai opsi) agar opsi untuk mengkonsumsi barang dan jasa dari sumberdaya alam tetap terbuka
17 Nilai kegunaan pada hakekatnya adalah mendefinisikan suatu nilai dari konsumsi
aktual maupun konsumsi potensial dari barang dan jasa yang dihasilkan oleh sumberdaya alam. Konsep ini diJagi lagi menjadi beberapa sub kelas dan diartikan sebagai nilai yang diperoleh seorang individu atas pemanfaatan langsung dari sumberdaya alam dimana individu tersebut berhubungan langsung dengan sumberdaya alam dan lingkungan Berdasarkan landasan konsep ekonomi, nilai ekonomi mencakup konsepsi kegunaan, kepuasan, atau kesenangan yang diperoleh individu atau masyarakat tidak hanya terbatas pada barang dan jasa yang diperoleh dari jual beli, tetapi semua barang dan jasa yang dapat memberikan manfaat untuJr kesejahteraan manusia (Ramdan eta/. 2003).
Baik barang publik maupun barang privat akan memberikan manfaat bagi
masyarakat.
Dengan demikian, manfaat fungsi ekologis pada hakekatnya Juga
merupakan nilai ekonomi karena jika fungsi ekologis terganggu, maka akan menimbulkan ketidakmanfaatan (disutility) atau teijadi kerugian karena adanya kerusakan atau bencana. Menurut Pearce dan Moran (1994 ), pada umumnya metode penentuan nilai ekonomi sumberdaya dapat dilakukan melalui dua pendekatan yang mencakup beberapa teknik yaitu : pendekatan langsung dan pendekatan tidak Iangsung.
Pendekatan
Iangsung mencakup teknik-teknik yang mengupayakan memperoleh penilaian secara langsung. dengan mengunakan percobaan atau survey.
Teknik survey (questioner)
terdiri atas dua tipe yaitu perolehan rangking (contingent ranking method) dan perolehan nilai, berupa keinginan untuk membayar (Willingness to Pay) dan kesediaan untuk menerima kompensasi (Willingness to Accept). Hufschmidt et a/ ( 1983) memberikan resume mengenat metode dan teknik penilaian ekonomi sebagai berikut : I. Metode atau Teknik Berorientasi Pasar Dalam metode ini, penilaian dilakukan dengan cara: a.
Penilaian dengan menggunakan harga pasar, yang meliputi perubahan nilai produk, dan hilangnya penghasilan.
b.
Penilaian dengan menggunakan harga pasar bagi nilai input, yang meliputi pengeluaran biaya pencegahan, biaya penggantian, biaya proyek bayangan, analisis keefektifan biaya.
c.
18 Penilaian keuntungan dengan menggunakan pasar pengganti, yang meliputi barang yang dapat dipasarkan sebagai pengganti lingkungan, pendekatan nilai pemilikan, pendekatan lain terhadap nilai tanah, pendekatan biaya perjalanan, pendekatan perbedaan nilai upah, dan penerimaan kompensasi.
2. Orientasi Survey Pada metode orientasi survey, penilaian dilakukan dengan cara : a.
Pertanyaan langsung kesediaan membayar melalui permainan lelangan
b.
Pertanyaan langsung pilihan jumlah dengan metode pilihan tanpa biaya. Pemilihan metode penilaian yang akan digunakan dilakukan melalui proses
pemilihan berdasarkan kriteria yang menggambarkan karakteristik setiap jenis nilai yang diklasifikaskan atas : a.
Nilai guna langsung (direct use value)
b.
Nilai guna tidak langsung (indirect use value)
c.
Nilai pilihan akan datang (option value)
d.
Nilai keberadaan (existence value) Berdasarkan kriteria atau sifat setiap indikator tersebut, maka untuk nilai guna
langsung, tahapan penilaian mengikuti prosedur yang disajikan pada Gambar I. Gambar tersebut memperlihatkan bahwa metode penilaian nilai guna langsung ditentukan berdasarkan seberapa jauh ketersediaan data harga yang ada dan sifat dari produk tersebut (Ramdan et a!. 2003) Konsep dasar bagi semua teknik penilaian ekonomi adalah kesediaan membayar dari individu untuk sumberdaya atau jasa lingkungan yang diperolehnya (Pearce dan Moran, 1994) atau kesediaan membayar untuk menerima kompensasi akibat adanya kerusakan lingkungan di sekitamya (Hufschmidt eta!. 1983 ). Kesediaan membayar atau menerima merefleksikan preferensi individu terhadap perubahan suatu lingkungan dari keadaan awal (Qo) menjadi kondisi lingkugan yang lebih baik (QJ). Kesediaan membayar tersebut dapat dinyatakan dalam bentuk fungsi sebagai berikut (Pearce dan Moran, 1994) :
WTP;
=
f(QJ-Qo, Pown.
Psub,
S;, EJ
19 Dimana: WTPi = kesediaan membayar individu ke-i Pown = harga dari penggunaan sumberdaya lingkungan Psub = harga subsitusi untuk penggunaan sumberdaya lingkungan si
=
karakteristik sosial ekonomi individu ke-i
Ei
=
galat acak
Kesediaan seseorang untuk membayar sejumlah barang menggambarkan manfaat marginal pada tingkat konsumsi tersebut. Dengan melihat jumlah yang dikonsumsi dan kesediaan membayar, maka dapat dibuat kurva fungsi manfaat maijinal barang atau jasa tersebut. Kurva ini biasa disebut dengan kurva permintaan marshall seperti disajikan pada Gambar 3 (Hufschmidt et a!. 1983 ).
Kurva tersebut menggambarkan jumlah
barang atau jasa yang akan dibeli oleh konsumen dalam suatu pasar selama periode waktu tertentu pada berbagai harga. Kelebihan dari kurva Marshall ini adalah dapat diestimasi secara langsung dan digunakan untuk mengukur kesejahteraan melalui surplus konsumen. Surplus konsumen merupakan selisih antara kesediaan untuk membayar dengan jumlah yang dibayarkan oleh konsumen untuk suatu produk.
Hal ini menunjukan
bahwa konsumen menerima atau mendapat nilai lebih dari harga yang dibayamya. Surplus konsumen mencerminkan manfaat yang diperoleh karena konsumen dapat membeli semua unit barang pada tingkat yang lebih rendah. Dalam Gambar 3, besamya surplus konsumen adalah luas bidang yang terletak antara kurva permintaan dengan garis harga Pendekatan yang didasarkan pada kurva permintaan dapat dibagi menjadi dua yaitu: permintaan diukur dengan mengamati preferensi individu pada barang atau jasa lingkungan melalui questioner dan permintaan dinyatakan dengan mengamati pembayaran individu terhadap barang atau jasa lingkungan yang dinikmati melalui pasar. Prosedur penilaian dapat dilakukan secara langsung dengan menggunakan teknik survey atau tidak langsung dengan penentuan preferensi konsumen melalui observasi pasar.
20 Data Demand dan Supply tersedia lengkap
Ya
Metode Manfaat Bersih (Net Soci11f Benefit MMhods)
,
Tidak
Ya
Metode harga pasar (Merlcet Price Method)
Produk dijual di pasar
Tidak
Hasil produk merupakan produk akhir
Ya
Harga Pengganti (surrogate prices) : • Harga su~rtusi • Harga subsitusi tidak langsung • Harga oportinitas lidak langsung • Nila i tukar • Biaya relokasi
Tidak
, Hasil produk merupakan produk anta ra
Ya
Nilai Produksi • Pendekatan fungsi produksi • Faktor pendapatan bersih
Gambar I. Teknik Pemilihan Metode Penilaian Nilai Guna Langsung Mempunyai fungsi per1indungan
Ya
-
Metoda per1indungan asset (protection of asset) : * Biaya pemulihan * Biaya rehabilitasi * Biaya kehilangan produksi * Biaya pombangunan tambahan
Tidak
u Nilai fungsi atau atribut yang dirnfleksikan dalam nilai lahan atau harga lainnya
v
Ya Hedonic Pricing Method
Tidak
Mendukung fungsi produksi
Nilai produksi * Pendekatan fungsi produksi * Faktor pendapatan bersih
Ya
Tidak
Ada harga pasar untuk barang yang mempunyai fungsi sarna
Ya
-
Nilai produksi : * Pendekatan fungsi produksi * Faktor pendapatan bersih
,,
Tidak
Fungsi atau atribut tidak dapat didekati baik dengan transaksl komersial maupun pengganti
Ya
-
Penilaian kontingensi (Contingent Valuation)
Gambar 2. Bagan Alir Teknik Pemilihan Metode Penilaian Nilai Guna Tidak Langsung, Nilai Pilihan, dan Keberadaan
21
p Kurva pennintaan Surplus konsumen Jumlah yang dibayar konsumen M P*
Q* Jumlah barang Gambar 3. Kurva Permintaan Individu. Pada tingkat OQ* nilai marginal barang yang ditawarkan adalah OP*. Untuk mendapatkan barang sejumlah Q*, jumlah korbanan yang harus dikeluarkan adalah OP*MQ* dan daerah P*MP merupakan surplus kon~umen (Hufschmidt, et a/, 1983).
Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Kelembagaan Pihak-pihak yang melakukan kegiatan ekstraksi sumberdaya alam harus mengalami suatu tiga tahap proses yang kompleks dan saling terkait (eksplorasi, pembangunan, dan ekstraksi) untuk memenuhi pasar. Ciri utama dari aktivitas ekstraksi mineral adalah, tidak seperti sektor-sektor produksi lainnya, produksi pada suatu periode tertentu tidak berdiri sendiri terhadap produksi pada periode lainnya. Tingkat ekstraksi mineral pada saat ini mempengaruhi jumlah yang akan diekstraksi pada periode mendatang. Selanjutnya biaya ekstraksi suatu unit mineral hari ini tidak hanya tergantung pada tingkat pemakaian input-input produksi yang penting (tenaga kerja, energi, dll) pada saat ini dan harganya, tetapi juga pada tingkat pemanfaatan input periode sebelumnya dan pada dampak ekstraksi saat ini pada keuntungan mendatang (Turner et ul. I 994 ). Aktivitas ekstraksi pada saat ini dapat mempengaruhi level ketersediaan cadangan pada masa mendatang melalui 2 cara. Suatu peningkatan tingkat ekstraksi pada saat ini dapat mengurangi level cadangan untuk deposit yang spesifik. Peningkatan yang sama
11 dalam ekstraksi dapat meningkatkan aktivitas eksplorasi dan pembangunan yang selanjutnya menimbulkan peningkatan pada level cadangan-cadangan masa depan. lndustri-industri yang mengekstraksi mineral tunduk pada intcvensi pemerintah. Intervensi ini digerakkan oleh tujuan-tujuan kebijakan seperti stimulasi pertumbuhan ekonomi, kebutuhan untuk menjamin kecukupan nasional pada material-material yang stratcgis, perlindungan lingkungan, dan konservasi sumberdaya. Tingkat diskonto merupakan suatu hal yang penting dalam menentukan tingkat pemanfaatan sumberdaya yang daoat pulih dan tidak dapat pulih. Kaidah utama untuk sumberdaya dapat pulih adalah :
Tingkat Pertumhulzan Biologis + Pertum!Julzan Nilai Capital = Tingkat Diskonto Sumberdaya tak dapat pulih tidak memiliki
fung~i
pertumbuhan dan memiliki ukuran
yang tetap, sehingga kaidahnya menjadi :
Pertumbulzan Nilai Capital = Tingkat Diskonto Dengan kata lain, sumberdaya non renewable seharusnya dihabiskan dengan cara dimana tingkat pertumbuhan harga dari sumberdaya yang diekstraksi
sama dengan
tingkat diskonto. Kaidah ini dikenal sebagai Kaidah Sederhana Hotteling (setelah analisis Hotteling dipublikaskan pada tahun 1931 ), karena aplikasinya hanya pada kasus-kasus yang paling sederhana, sebagai contoh, situasi-situasi dimana perusahaanperusahaan memiliki biaya-biaya ekstraksi yang nol. Ekonomi sumberdaya alam memperlakukan sumberdaya-sumberdaya yang ada sebagai asset-asset kapital (Capital
Asset.~).
Dengan mempertahankan sumberdaya di
dalam bumi (tetap menyimpannya), pemilik sumberdaya mengharapkan keuntungankeuntungan kapital sebagai peningkatan-peningkatan harga sumberdaya karena adanya faktor waktu.
Pemilik sumberdaya akan m . . rasa sama saja (ind(fftren) antara
mempertahankan sumberdaya tetap berada dalam bumi dan mengekstraksinya jika tingkat tingkat keuntungan kapital sama dengan tingkat suku bunga pada asset-asset altematif,
sejak
pemilik
akan
mengekstrak
saat
ini
dan
menjualnya
serta
menginvestasikan penerimaan di tempat lain dalam ekonomi (pada suatu tingkat suku bunga positif). Sejauh kita mempertahankan asumsi yang tidak realistis yaitu tidak adanya biaya ekstraksi, harga sumberdaya di dalam bumi sama dengan harga sumberdaya yang diekstraksi (dikenal sebagai wellhead price). Namun demikian, sekali kita memasukkan
')'"' _.)
aums1 ini (dan kita sekarang memiliki biaya-biaya ekstraksi yang positif), dua harga berbeda.
Harga di dalam bumi (dikenal sebagai royalty atau rente) sekarang lebih
rendah daripada harga wellhead
Bila terdapat suatu jumlah yang tetap dari
ketersediaan mineral untuk ekstraksi, biaya-biaya ekstraksi akan termasuk dalam suatu elemen tambahan (sekarang disebut biaya pengguna "user cost"). Biaya pengguna ini meretleksikan biaya oportunitas dari ekstraksi pada saat ini pada keuntungan masa depan, karena suatu unit output yang diekstraksi sekarang tidak dapat diekstraksi (dan dij ual untuk suatu keuntangan pada harga-harga yang berlakl! pada masa yang akan datang) pada masa depan. Keuntungan masa depan yang hilang ini yang disebabkan oleh penurunan kuantitas ketersediaan mineral merupakan biaya-biaya nyata bagi pihak yang mengekstraksi sebagai biaya-biaya input saat ini, sehingga : I~xtraction
Cost
User Cost · Current Operating Costs dan
Optimal Price =Extraction Cost ' User Cost Pemilik sumberdaya akan berusaha untuk memaksimalkan keuntungan sepanjang beberapa horison waktu dan akan menentukan tingkat ekstraksi, sejak keseluruhan deposit mineral tidak biasanya dieksploitasi, bahwa tingkat eksploitasi total yang memaksimalkan nilai keuntungan sekarang (present value) yang terdiskonto. Seorang pemilik mungkin memperoleh maksimisasi keuntungan dengan menunda ekstraksi jika diharapkan bahwa harga mineral akan meningkat secara substantial pada masa yang akan datang (misalnya peningkatan biaya rengguna dari ekstraksi saat ini ); atau jika biaya-biaya ekstraksi diperkirakan akan turun pada masa yang akan datang karena adanya kemajuan teknologi dalam metode-metode pengolahan atau penambangan. Pada sisi lain, jika tingkat suku bunga saat ini dikeluarkan pada investasi-investasi finansial yang meningkat, hal ini akan meningkatkan tingkat ekstraksi saat ini
~alam
deposit-deposit yang diketahui. Seorang pemilik sumberdaya memiliki pilihan dalam mengekstraksi antara tingkat maksimum saat ini dan menginvestasikan keuntungannya untuk memperoleh tingkat suku bunga yang lebih tinggi. Keuntungan saat ini diperoleh, dibuat relatif lebih bemilai terhadap keuntungan-keuntungan masa depan (dalam konteks ekonomi, pemilik memiliki keuntungan masa depan terdiskomo yang lebih besar). Perubahan-perubahan dalam suku bunga juga mempengaruhi tingkat upaya dimana pihak-pihak yang mengekstraksi melakukan eksplorasi untuk dan membangun
24 tempat-tempat yang baru untuk ekstraksi periode berikutnya. Tingkat suku bunga juga mempengaruhi investasi dalam peralatan-peralatan kapital yang baru, baik uhtuk deposit-depos:t yang sedang digunakan maupun pada deposit-deposit baru. Peningkatan tingkat suku bunga akan mengurangi upaya eksplorasi dan mengurangi investasi peralatan kapital, dengan cara demikian dalam mengimbangi kecenderungan tingkat ekstraksi yang meningkat pada deposit-deposit yang diketahui. Ekstraksi sumberdaya alam tidak dapat pulih berkaitan erat dengan aspek inter temporal dimana peranan waktu sangat krusial. Pada sumberdaya alam tak dapat pulih, pertanyaan mendasar pada pengelolaan sumberdaya alam tak dapat pulih adalah bagaimana ekstraksi yang optimal, termasuk didalamnya bagaimana menentukan alur ekstraksi yang efisien dan berapa besar output optimalnya.
Sebagai basis dari teori
ekstraksi sumberdaya alam tidak terbarukan secara optimal adalah model Hotteling yang dikembangkan oleh Harold Hotteling pada tahun 1931 (Fauzi 2004 ).
Asumsi-
asumsi yang digunakan dalam model Hotteling ini adalah bahwa harga per satuan output dari sumberdaya konstan, artinya kurva permintaan dari sumberdaya bersifat elastis sempuma. Persamaan dasar Hotteling untuk sumberdaya alam tidak dapat pulih untuk dua peri ode adalah adalah :
(pl - c)- (p c) = 6 (Po -c) f)
-
dimana Pa dan p 1 masing-masing adalah harga sumberdaya per satuan pada peri ode 0 dan I, c adalah biaya per unit ekstraksi, 6 adalah discount rate (tingkat diskonto) yang menggambarkan biaya oportunitas dari kapital.
Notasi di sebelah kiri tanda sama
dengan menunjukkan laju pertumbuhan proporsional dari manfaat bersih sumberdaya, sementara notasi di sebelah kanan tanda sama dengan mer·1njukkan biaya oportunitas dari kapital atau asset yang sering ditunjukkan dengan tingkat suku bunga. Jadi, jika suku bunga adalah 15%, maka Hukum Hotteling menyatakan bahwa ekstraksi
y~ng
efisien dan optimal mengharuskan manfaat bersih dari sumberdaya harus tumbl,lh, secara proporsional setiap 15% setiap tahun. "ind~fJerent"
Dengan kata lain, agar pemilik sumberdaya
antara mengekstrak kini atau masa yang akan datang, maka manfaa.t yang
diperoleh kini (Capital gain) harus sama dengan discount rate (Fauzi 2004). Model Hotteling untuk ekstraksi multi periode adalah :
25 (p/+ 1 -c)-(p,-c) (p,- c) (p,+l-R,\1,~~)-(p,
= o atau RM,)
=o
(p,- 8M,)
dimana p, dan Pt+J adalah harga sumberdaya per satuan pada waktu t dan t+ 1, RM, dan
RA1,. 1 adalah biaya marjinal pada t dan t+ I. Dalam konteks sebagai penyedia sumberdaya non hayati, pemanfaatan pesisir dan Jautar. hP-ndaknya diarahkan pada peningkatan kesejahteraan masyarakat. Secara lebih khusus, tujuan pemanfaatan wilayah peisisir dan Jaut se!Jagai penyedia sumberdaya non hayati :1aalah : I.
Memenuhi kebutuhan masyarakat dan pembangunan nasional
2.
Penyediaan lapangan kerja
3.
Mendukung terpacunya pertumbuhan industri yang pada akhimya akan memacu pula pertumbuhan ekonomi nasional. Prinsip-prinsip yang harus diketahui dalam pemanfaatan sumberdaya non hayati
di wilayah pesisir dan lautan adalah (PPLH IPB 1993 ): I.
Kemakmuran, keadilan, pemerataan; pemanfaatan sumberdaya non hayati wilayah pesisir dan taut harus ditujukan untuk kepentingan nasional berdasarkan asas keadilan dan pemerataan.
2.
Berwawasan lingkungan; pemanfaatan sumberdaya non hayati tersebut harus mempertimbangkan kepentingan lingkungan alam maupun masyarakat sekitar.
3.
Rasionalisasi; pemanfaatan sumberdaya non hayati di wilayah pesisir dan lautan dilakukan secara rasional dengan mempertimbangkan perkiraan cadangan yang tersedia di alam dan kemungkinan sumberdaya (bahan) penggantinya. Berdasarkan prinsip-prinsip tersebut, beberapa prasyarat pemanfaatan sumberdaya
non hayati di wilayah pesisir dan lautan dapat diuraikan sebagai berikut : I.
Pemanfaatan sumberdaya non hayati di wilayah pesisir harus dilakukan sedemikian rupa sehingga tidak merusak lingkungan alam dan keseimbangan ekosistem alamiah.
Kerusakan terhadap ekosistem alamiah menyebabkan rusaknya fungsi
ekosistem pesisir dan laut sehingga merugikan masyarakat sekitar.
26 2.
Mctode pemanfaatan sumberdaya non hayati diusahakan mcnggunakan cara-cara yang dapat menjamin ketersediaan sumberdaya non hayati tersebut dalam jangka pan.Jang.
3.
llarus ada kemauan dari pcmcrintah untuk mcningkatkan kualitas pcngclolaan sumberdaya non hayati di wilayah pesisir dan lautan sacara optimal. lJntuk mencapai tttiuan pcngelolaan tersebut. diperlukan perangkat hukum yang
tcrmuat
dalam
pcraturan
dan
perundang-undangan.
Dalam
kaitannya
dcngan
pcmanfaatan sumberdaya non hayati di wilayah pesisir dan lautan, peraturan yang dibutuhkan adalah peraturan yang mengatur tcntang hak cksplorasi. produksi. dan distribusi sumhcrdaya non hayati di wilayah pcsisir dan lautan bagi pclaku pemanfaatan sumbcrdaya non hayati tcrscbut. yaitu : I.
Peraturan yang mengatur tentang pencegahan dan penanggulangan pencemaran yang diakibatkan oleh kegiatan pemanfaatan sumberdaya non hayati di wilayah pcsisir dan lautan.
2.
Pcraturan yang menjamin bahwa moditikasi habitat (bentang alam) oleh kegiatan eksplorasi, produksi, dan transportasi dari pemanfaatan sumberdaya non hayati tidak menyebabkan kemampuan ekosistem pesisir dan lautan dalam menerima pcrubahan tersebut menjadi rusak atau terlampaui.
3.
Peraturan lain yang menjamin adanya pemanfaatan sumberdaya non hayati secara rasional dan ditujukan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Konflik adalah pertentangan antar banyak kepentingan, nilai, tindakan atau arah,
serta sudah merupakan bagian yang menyatu sejak kehidupan ada (Johnson dan Duinker, 1993 dalam Mitchell 2003). Upaya-upaya pengelolaan sumberdaya alam selalu dihadapkan pada konflik dan kontroversi yang merupakan konsekuensi dari perbcdaan nilai dan kepentingan yang terdapat dalam masyarakat majemuk (Mitchell 2003 ). Kontlik yang terjadi adalah konflik pemanfaatan maupun konflik kewenangan. Konflik pemanfaatan tet:iadi antar masyarakat. antara masyarakat dcngan pemerintah, maupun
antara
masyarakat
dengan
pihak-pihak
pengelola yang
mendapatkan
keuntungan ekonomi dari peman1aatan sumberdaya alam. Kontlik kewenangan terjadi kan:na adanya tumpang tindih kepcntingan antara
r~merintah
pusat. propinsi. maupun
27 kahupaten/kota maupun karena tidak adanya ketidakjelasan tugas dan wewenang dalam struktur kelembagaan formal. Dalam pengelolaan sumberdaya alam yang harus dicermati adalah bagaimana mengelola hubungan antara manusia dengan lingkungan dan sumberdaya alam, sehingga pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan merupakan proses pengelolaan konflik (Mitchell et a/. 2003).
Hal ini dikarenakan masyarakat selalu terdiri dari
individu dan kelompok yang memiliki nilai-nilai, kepentingan, keinginan, harapan, dan prioritas yang berbeda, sehingga selalu ada ketegangan antar berbagai karakter yang berbeda, atau bahkan terdapat ketidakcocokan diantara karakter-karakter tersebut. Penye~1b
dasar konflik adalah:
I.
Perbedaan pengetahuan dan pemahaman
2.
Perbedaan nilai
3.
Perbedaan alokasi keuntungan dan kerugian
4.
Perbedaan karena Jatar belakang personal dan sejarah kelompok-kelompok yang berkepentingan. Pengkajian lingkungan selalu dicirikan dengan konflik dan kontroversi. Hal ini
merupakan konsekuensi logis dari perbedaan nilai dan kepentingan yang terdapat dalam masyarakat majemuk dalam kaitannya dengan penggunaan dan pengelolaan tanah, air, dan sumber alam. Penyelesaian sengketa biasanya sulit dicapai untuk dua hal yang saling berkaitan: pertama, keuntungan dan kerugian pembangunan cenderung terbagi tidak merata termasuk hal-hal yang tidak terukur yang sulit untuk dibandingkan, dan kedua, banyak kelompok dengan pandangan dan interpretasi yang berbeda selalu terlibat. Teknik-teknik penyelesaian masalah, atau altematif penyelesaian kontlik bertujuan untuk memfasilitasi proses pembuatan keputusan oleh kelompok-kelompok yang bersengketa, sehingga sedapat mungkin dihindari penyelesaian masalah melalui meja hukum. Beberapa karakteristik teknik penyelesaian masalah meliputi: I.
Lebih menekankan pada kesamaan kepentingan kelompok yang saling bersengketa daripada posisi tawar-menawar
2.
Berpikir krec.lif untuk mencari upaya penyelesaian
28
3.
Mcncari jalan tengah untuk menemukan tujuan bersama
4.
Menuntut kesepakatan banyak pihak untuk suatu keputusan. Salah satu instrumen yang dapat digunakan untuk menganalisis kontlik ini adalah
Teori Permainan (Game Theory) yang merupakan landasan fundamental bagi pemahaman untuk setiap interaksi antara pihak-pihak (agent.\) dalam kehidupan manusia (Anwar 2002).
Teori permainan dikembangkan untuk tujuan menganalisis
situasi persaingan yang melibatkan berbagai kepentingan. Teori ini berangkat dari suatu keadaan dimana terdapat dua orang atau Iebih dengan tujuan atau kepentingan yang saling berbcda dan terlibat dalam suatu ·'permainan". Tindakan masing-masing pemain, walaupun tidak sepenuhnya menentukan, turut mempengaruhi hasil akhir
d~ri
pcrmainan. Tcori ini menyediakan cara penyelesaian untuk permainan semacam itu, dengan menganggap bahwa masing-masing pemain berusaha "memaksimumkan keberuntungan yang minimum" atau "meminimumkan ketidakberuntungannya yang maksimum". Kriteria semacam ini dikenal sebagai kriteria maksimin atau minimaks. Merupakan dasar bagi teori strategi permainan yang dikembangkan oleh John Von Newmann dan Oskar Morganstern. Ada beberapa unsur atau konsep dasar yang sangat penting dalam penyelesaian tiap kasus dengan teori permainan, yaitu (1) jumlah pemain, (2) ganjaran (payoff), (3) jumlah strategi permainan, (4) matriks permainan. Permainan diklasifikasikan menurut jumlah kepentingan atau tujuan yang ada dalam permainan tersebut. Pengertian jumlah "pemain" tidak selalu sama artinya dengan "jumlah" orang yang terlibat dalam permainan. Jumlah pemain disini berarti jumlah kelompok pemain berdasarkan masingmasing kepentingan atau tujuanya.
Dengan demikian dua orang atau lebih y?llg
mempunya1 kepentingan yang sama dapat diperhitungkan sebagai satu (kelompok) pemam. Ide dasar dari teori permainan adalah tingkah laku strategis dari pemain atau pengambil keputusan (player atau decision maker).
Setiap pemain dianggap
mempunyai suatu seri rencana atau model tingkah laku dari mana dia bisa memilih, kalau kita memiliki suatu set strategi. Strategi menunjukan untuk setiap situasi yang timbul dalam proses permainan, gerakan khusus mana yang harus dipilih. Semua situasi kompetitif yang mempunyai ciri-ciri atau sifat-sifat berikut yang dapat disebut sebagai
pcrmaman (game), yaitu
29 (I) jumlah pemain terbatas, (2) untuk setiap pemain, ada
sc_j urn lah kemungkinan tindakan yang terbatas. (3) ada pertentangan kepentingan (conf/u;t of mteresl) antara pemain, (4) aturan permainan untuk mengatur di dalam
mcmilih tindakan diketahui oleh setiap pemain (5) hasil seluruh kombinasi tindakan yang mungkin dilakukan berupa bilangan yang positif, negatif, atau nol. Tanda negatif merupakan simbol kekalahan. Begitu pennainan telah selesai, pemain yang kalah akan membayar (mungkin dalam bentuk uang) kepada pihak pemenang, sejumlah yang sudah ditentukan. Nilai pembayaran ini disebut pa_Vl?(f" Kecenderungan
yang terjadi dalam
p('mbangunan
~konomi
adalah tidak
memperhitungkan nilai-nilai pemanfaatan sumberdaya yang tidak memiliki harga, scperti nilai-nilai intrinsik sumberdaya alam maupun beban sosial masyarakat akibat pemanfaatan sumberdaya alam.
Tidak adanya penilaian terhadap sumberdaya ini
selanjutnya menimbulkan ekstemalitas-ekstemalitas tersendiri (terutama ekstemalitas negatif) yang sangat merugikan masyarakat secara keseluruhan.
Masyarakat harus
menanggung beban/biaya sosial yang timbul dalam setiap pemanfaatan sumberdaya tanpa sedikitpun diberi kompensasi. Beban/biaya sosial terbesar yang harus ditanggung oleh masyarakat saat ini maupun masyarakat di masa yang akan datang adalah penurunan kualitas kehidupan dan lingkungan, yang tentu saja dalam jangka panjang tidak menjamin pengelolaan sumberdaya yang berkelanjutan, tujuan ekosistem dalam pembangunan berkelanjutan tidak tercapai (Anwar 2003). Berkaitan dengan pemanfaatan pasir laut, maka persyaratan yang harus dipertimbangkan adalah pada kedalaman berapa penambangan pasir dapat dilakukan sehingga fungsi dasar perairan untuk meredam energi gelombang dapat dipertahankan. Dengan kata lain, proses hantaman gelombang di pantai tidak meningkat akibat adanya penambangan pasir laut di perairan pesisir pantai tersebut (Purba 2003 ). Selain itu pula, lokasi-lokasi yang menjadi habitat-habitat berbagai organisme laut harus dilindungi dan terbebas dari aktivitas penambangan pasir laut karena selain akan mematikan jasad renik, larva, juvenile, serta organisme benthos lainnya, juga merusak habitat yang kritis bagi rantai kehidupan berbagai organisme laut. Kelembagaan dari sudut ekonomi merupakan suatu sistem pengambilan keputusan yang dianut oleh masyarakat dan melahirkan aturan pennainan (the rule of the game) yang menyangkut alokasi sumberdaya serta cara pemanfaatannya guna meningkatkan
30 kesejahteraan (Anwar 1998). Menurut Soekanto (1997), kelembagaan dapat diartikan dalam dua makna yaitu lembaga sebagai institusi (institution) dan pelembagaan
(institutionali::ation). Lembaga dalam pengertia1. institusi merupakan organ-organ yang berisikan konsep dan struktur dalam menjalankan fungsi masyarakat.
Sedangkan
pelembagaan dapat diartikan sebagai suatu proses yang dilewati oleh sesuatu norma aturan itu untuk dikenal, diakui, dihargai, dan kemudian ditaati oleh masyarakat. Lembaga tumbuh dari kebiasaan yang menjadi adat istiadat yang kemudian berkembang menj2di t:ata kelakuan dan bertambah matang apabila telah diadakan penjabaran terhadap aturan dan perbuatan.
Untuk menjalankan aturan dan perbuatan tersebut
terbentuklah struktur yakni sarana atau struktur peranan.
Dengan demikian maka
lembaga merupakan konstelasi dari perangkat kaidah-kaidah yang mengacu pada organisasi baik abstrak maupun konkret. Lembaga yang mengacu pada organisasi abstrak maupun konkret yang diakui dan diterima oleh masyarakat namun tidak mempunyai justifikasi hukum contohnya adalah Iembaga-Iembaga adat.
Sedangkan lembaga yang mengacu pada organisasi konkret
adalah lembaga yang diakui secara formal dan mempunyai justifikasi hukum, contohnya adalah Iembaga-lembaga pemerintah (Soekanto 1997). Saat ini terdapat beberapa lembaga yang terlibat dalam pengelolaan wilayah pesisir dan !aut, lembaga departemen, non departemen, dan lembaga negara lainnya. Lembaga-lembaga terscbut dalam melakukan aktifitasnya di wilayah pesisir dan laut hanya sebatas kewenangannya masing-masing. Kewenangan yang saat ini melekat pada masing-masing lembaga adalah kewenangan yang didasarkan pada undang-undang atau peraturan sektoral masing-masing lembaga tersebut.
.
Dengan demikian kemungkinan
terjadinya conflict of interest antar lembaga tersebut dapat terjadi, mengingat masingmasing lembaga merasa memiliki landasan hukum yang kuat dalam pelaksanaan aktifitasnya (PPLH IPB 1993). Berdasarkan perannya, lembaga pemerintah dapat dibedakan atas dua kategori, yaitu lembaga koordinasi dan lembaga sektoral. Lembaga koordinasi adalah Iembagalembaga yang memiliki peranan dalam mengkordinasikan segenap kegiatan pengelolaan pembangunan sesuai dengan fungsi manajemen yang ada seperti perencanaan, pelaksanaan, monitoring, evaluasi serta pengawasan, dan pengendalian.
Sedangkan
Iemhaga
mcngclola.
sektoral
adalah
Iemhaga-lembaga
yang
mcmilik1
p-:ran
31 mengembangkan, dan mengatur secara teknis kegiatan-kegiatan pembangunan yang
menjadi tanggungjawabnya. Peraturan merupakan salah satu esensi dari kelembagaan yang secara
~()rmal
dibuat dalam kerangka pengendalian. Secara teoritis, pengendalian adalah suatu proses untuk mengarahkan kegiatan menuju ke sasaran yang telah ditentukan (Kunarjo, 2002). Pengendalian
program
dan
proyek dilaksanakan mulai
dari
tahap persiapan,
pelaksanaan, dan pengawasan. Tahap persiapan dimulai dari studi kelayakan, termasuk penei1tuan lokasi yang telah diperhitungkan dari segala aspek, seperti aspek teknis, aspek
~konomis,
aspek organisasi, dan komersial.
Tahap pelaksanaan mencakup pula
penyusunan peraturan perundangan yang mengatur apa boleh dilakukan selama pelaksanaan kegiatan.
~rang
boleh dan apa yang tidak
Upaya pengawasan perlu dilakukan
secara terus-menerus agar penyimpangan dapat diketahui lebih dini. Untuk memperkecil atau mencegah terjadinya benturan kepentingan, hubungan antar Iembaga dalam melaksanakan kewenangan harus dilakukan dalam rangka pengelolaan sumberdaya pesisir dan Iautan secara terpadu. Menurut Pakpahan (I 989), ada tiga unsur yang menentukan faktor kelembagaan yaitu batas yurisdiksi, hak kepemilikan (property right), dan aturan representasi, sehingga struktur kelembagaan tidak dengan sendirinya dapat diukur dan diamati secara Iangsung.
Misalnya suatu
kebijakan tersebut berhasil atau tidak tergantung pada apakah kebijakan yang dimaksud menghasilkan keragaan yang diinginkan atau tidak diinginkan. Menentukan apa dan siapa yang tercakup dalam suatu institusi
dalam suatu
masyarakat ditentukan oleh batas yurisdiksi yang berperan dalam mengatur alokasi sumberdaya. Konsep batas yurisdiksi dapat berarti batas wilayah kekuasaan atau batas otoritas yang dimiliki oleh suatu institusi, atau mengandu .. g makna kedua-duanya. Dalam istilah pemerintah pusat atau pemerintah daerah misalnya terkandung makna bagaimana batas yurisdiksi berperan dalam mengatur alokasi sumberdaya. Konsep hak kepemilikan adalah mengatur hubungan antar anggota masyarakat dalam menyatakan kepentingannya terhadap sumberdaya yang merupakan kekuatan akses dan kontrol terhadap sumberdaya. Bila pengembangan wilayah pesisir dilakukan dengan konsep co-management, dimana masyarakat setempat tersebut langsung ikut terlibat dalam kepentingan dan perencanaan dalam pengelolaan wilayah pesisir dan sekaligus diikutsertakan dalam pembangunan, misalnya masyarakat nclayan dilibatkan
32 dalam usaha pertambakan udang, sehingga disamping peningkatan kesejahteraan bagi masyarakat, kelestarian sumberdaya dan lingkungan tetap te!jaga dan lestari. Aturan
representasi
adalah
mengatur
permasalahan
siapa
yang
berhak
berpartisipasi terhadap apa dalam proses pengambilan keputusan. Keputusan apa yang diambil dan apa akibatnya terhadap kinerja akan ditentukan oleh kaidah representasi yang digunakan dalam proses pengambilan keputusan.
Dalam proses ini bentuk
partisipasi tidak ditentukan oleh nilai uang seperti halnya dalam aturan representasi melalui pasar. Partisipasi lebih banyak ditentukan oleh keputusan politik organisasi. Ginting (I 998) mengelompokkan pola kepemilikan dan penguasaan wilayah pesisir dan lautan menjadi empat kelompok, yaitu : I.
Tanpa pemilik (open access property), dimana sumberdaya tersebut milik semua orang dan tanpa pemilik atau tidak jelas status kepemilikannya.
Dalam hal ini,
tidak ada seorangpun yang berhak memanfaatkan sumberdaya yang ada untuk kepentingan pribadi atau kelompoknya dan mempertahankannya agar tidak digunakan oleh orang lain. Sumberdaya tersebut biasanya terdapat di perairan !aut Iepas (high seas) atau di Iuar batas !aut tentorial ( 12 mil !aut dari garis pangkal). 2.
Milik masyarakat atau komunal (common property) merupakan milik sekelompok masyarakat tertentu yang telah melembaga, dengan ikatan norma-norma atau hukum adat yang mengatur pemanfaatan sumberdaya dan dapat melarang pihak lain untuk memanfaatkannya. Biasanya konsep pemilikan dan penguasaan sumberdaya tersebut merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan di darat dan di !aut. Pemegang hak biasanya mempunyai hak ulayat atas tanah pertanian di pesisir dan hak akses untuk memanfaatkan sumberdaya di pesisir.
3.
Milik pemerintah (public/state prr'.'Jerty), merupakan pemilikan sumberdaya yang berada di bawah kewenangan pemerintah sesuai dengan peraturan yang berlaku. Pada pasal 4 Undang-Undang Nom or 4 Tahun I 996 ten tang Perairan Indonesia dinyatakan bahwa seluruh sumber kekayaan alam di perairan Indonesia di bawah kedaulatan Negara Republik Indonesia.
Hal ini mengandung makna bahwa
pemerintah memiliki dan bertangung jawab untuk mengawasi pemantaatan sumberdaya tersebut.
Kelompok masyarakat, lembaga, atau individu dapat saja
memantaatkan sumberdaya tersebut atas izin. persetujuan, atau hak pengelolaan yang diberikan pemerintah berdasarkan pcraturan pcrundang-undangan yang
33 berlaku.
Sumberdaya wilayah pesisir dan lautan yang hak pemilikan dan
penguasaannya menjadi milik pemerintah antara lain pangkalan militer, taman nasional, taman wisa:a Jaut, atau kawasan konservasi termasuk sumberdaya perairan terumbu karang dan mangrove. 4.
Milik pribadi/swasta (private/quasi private property), adalah sumberdaya yang dimiliki oleh perorangan atau sekelompok orang secara syah yang ditunjukkan oleh bukti-bukti kepemilikan yang jelas. Pemilik sumberdaya tersebut dijamin secara hukum dan sosial untuk menguasai dan memanfaatkan sumberdaya tersebut.
P..;rsepsi, Partisipasi, dan Pengembangan .Masyarakat (Community Development). Masyarakat adalah alasan dan tujuan untuk suatu pembangunan.
Masyarakat
memiliki kebutuhan-kebutuhan, aspirasi-aspirasi, kepercayaan, dan harapan-harapan (ekspektasi) yang merupakan faktor-faktor yang mempengaruhi respon masyarakat terhadap aktivitas-aktivitas pembangunan (World Bank 1998).
Respon masyarakat
terhadap aktivitas-aktivitas pembangunan ini tidak terlepas dari persepsi masyarakat terhadap aktivitas-aktivitas pembangunan yang dihadapinya. Gulo (1982) dalam kamus psikologi memberikan batasan bahwa persepsi adalah proses dimana seseorang menjadi sadar akan segala sesuatu dalam lingkungannya melalui indera-indera yang dimilikinya, atau pengetahuan tentang lingkungannya yang diperoleh melalui intepretasi data indera. Morgan dan King (1971) dalam Sattar (1985) mengemukakan bahwa pengertian perseps1 ialah penglihatan atau pandangan seseorang terhadap sesuatu.
Persepsi
terhadap suatu obyek atau kondisi tertentu akan mempengaruhi sikao dan tingkah laku seseorang terhadap obyek atau kondisi tersebut. Qskam (1972) dalam Saparinah ( 1976) dalam Sattar ( 1985\ mengemukakan bahwa ada 4
karakteristik dari
faktor-faktor pribadi dan sosial yang dapat
mempengaruhi persepsi seseorang, yaitu : I.
Faktor ciri khas dari obyek rangsangan, faktor ini terdiri dari : (1 ). Nilai, yaitu ciri-ciri dari stimulus (rangsangan) seperti nilai bagi subyek yang
mempengaruhi cara stimulus tersebut dipersepsi. (2). Arti emosional, yaitu sampai seberapa jauh stimulus tcrtcntu mcrupakan sesuatu yang mempengaruhi persepsi individu yang bersangkutan.
34 (3 ). Familiaritas, yaitu pengenalan yang berkali-kali dari suatu stimulus yang
mengakibatkan stimulus tersebut dipersepsi lebih akurat. (4 ). Intensitas, yaitu ciri-ciri yang berhubungan dengan derajat kesadaran seseorang mengenai stimulus tersebut. 2.
Faktor pribadi; faktor pribadi termasuk dalam ciri khas individu seperti tingkat kccerdasan, minat, emosional, dan lain-lain.
3.
Faktor pengaruh kelompok; dalam suatu kelompok manusia, respon orang lain akan memberi arah terhadap tingkah laku seseorang.
4.
Faktor Jatar belakang kultural; orang
d~pat
memberil
berbeda terhadap obyek yang sama karena Jatar belakang kultural yang saling berbeda. Persepsi akan mempengaruhi partisipasi seseorang terhadap suatu aktivitas. Partisipasi mencakup ukuran-ukuran Jari kontribusi, pengaruh, pembagian, atau redistribusi
dari
kekuasaan atau kontrol,
sumberdaya,
manfaat,
pengetahuan,
keterampilan yang diperoleh melalui keterlibatannya dalam pengambilan keputusan (Narayan
1995).
Partisipasi juga didefinisikan sebagai proses sukarela oleh
masyarakat, mencakup kondisi yang tidak menguntungkan ( dalam pendapatan, jender, etnik, atau pendidikan), mempengaruhi atau mengkontrol keputusan-keputusan yang mempengaruhi mereka. Esensi dari partisipasi adalah penggunaan suara dan pilihan. Banyak alasan dapat diberikan untuk menyertakan masyarakat dalam pengelolaan lingkungan dan sumberdaya alam. Melalui konsultasi dengan masyarakat yang tinggal di wilayah yang akan terkena kebijakan, program, atau proyek, dimungkinkan untuk ( 1) merumuskan persoalan dengan Iebih efektif, (2) mendapatkan informasi dan pemahaman di Iuar jangkauan dunia ilmiah, (3) merumuskan altematif penyelesaian masalah yang secara sosial akan dapat diterima, dan (4) membentuk perasaan memiliki terhadap rencana dan penyelesaian, sehingga memudahkan penerapan (Mitchell 2003). Aspek-aspek
kunci
pembangunan
berkelanjutan
meliputi
pemberdayaan
masyarakat Iokal, swasembada, dan keadilan sosial. Salah satu usaha untuk mencapai hal tersebut adalah berpindah dari bentuk tradisional pengelolaan lingkungan dan sumberdaya yang didominasi oleh ahli professional dari sektor pemerintah dan swasta, menuju
pendekatan
yang
mengkombinasikan
pengalaman,
pengetahuan,
dan
pemahaman berbagai kelompok masyarakat.
35 Kemitraan dan kelompok kepentingan
(\'lake/wider) selalu digunakan untuk mencirikan sebuah pendekatan yang menyertakan baik kelompok kepentingan maupun publik secara luas dalam perencanaan lingkungan dan sumberdaya (Mitchell et a/. 2003 ). Definisi stakeholder menurut World Bank ( 1998) adalah semua pihak yang dipengaruhi oleh hasil yang dicapai, baik positif maupun negatif atau pihak-pihak yang mempengaruhi hasil suatu aktivitas melalui suatu intervensi.
( 'ommunity development adalah suatu model pembangunan dimana pertumbuhan ekonomi dan transformasi sosial dilakukan oleh dan hasilnya untuk masyarakat dengan menggunakan sumberdaya dari mereka sendiri (Tickson 2000).
Pengembangan
masyarakat juga merupakan suatu proses, metode, program, kelembagaan, dan gerakan yang mengikutsertakan masyarakat sebagai basis dalam menanggulangi masalahmasalah yang dihadapi bersama, mendidik, dan melatih masyarakat
dC~lam
proses
demokrasi untuk mengatasi masalah secara bersama, dan mengaktitkan kelembagaan atau menyediakan fasilitas untuk alih teknologi kepada masyarakat (Krisnamurthi 2002).
Proses Community Development dapat terjadi melalui 3 pendekatan, yaitu (I).
Se({-help, (2). Technical Assistant, (3). Konflik/konfrontasi. Melalui pendekatan se(lhelp, masyarakat didorong untuk mengidentifikasi dan mengetahui permasalahan sendiri serta memecahkan permasalahan sendiri dengan bekeijasama melalui suatu tindakan kolektif Dengan pendekatan technical assistant diasumsikan bahwa struktur dapat
mempengaruhi
perilaku.
Diperlukan
suatu
agen
pembaharuan
yang
mempengaruhi perilaku masyarakat. Agen pembaharuan bekerja untuk masyarakat dan bukan bekerja bersama masyarakat dan agen ini adalah orang luar yang memiliki keahlian dan dianggap mampu menstimulasi pertumbuhan masyarakat ekonomi lokal. Melalui pendekatan konflik, upaya untuk menciptakan keadilan sosial dan pemerataan kemakmuran dipusatkan pada terciptanya distribusi sumberdaya ekonomi dan sosial yang Jebih merata dan membela kelompok masyarakat maijinal (miskin dan minoritas) (Tickson 2000).
36
KERAI\GKA PEMIKIRAN
Pembangunan ekonomi yang dilakukan oleh suatu negara baik pada lingkup nasional maupun lokal pada dasamya bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui pertumbuhan ekonomi.
Sebagai wilayah yang memiliki potensi
sumberdaya alam yang cukup besar, maka pembangunan ekonomi bertumpu pada pemanfa.atan sumberdaya alam tersebut, dimana hal ini dipengaruhi pula oleh pandangan-pandangan yang cendePmg eksploitatif Pada sisi lain, adanya permintaan yang tinggi terhadap sumberdaya tersebut mengakibatkan pemanfaatan sumberdaya tersebut merupakan suatu hal yang tidak terelakkan. Scperti sudah diuraikan sebelumnya bahv.;a setiap pilihan untuk memantaatkan atau tidak memanfatkan sumberdaya menimbulkan implikasi-implikasi tertentu, dan implikasi-implikasi ini tentunya sudah harus diketahui dan diperhitungkan dalam setiap pilihan pengelolaan sumberdaya alam. Dalam pengelolaan sumberdaya alam, paling tidak terdapat 2 aspek yang terkait dengan pengelolaan tersebut, yaitu aspek sumberdaya itu sendiri dan stakeholder yang terlibat dalam pengelolaan. Dari aspek sumberdaya, diperlukan adanya pendugaan (assessment) terhadap sumberdaya tersebut.
Assessment ini dilakukan baik terhadap sumberdaya itu sendiri maupun pengaruh atau dampak yang akan ditimbulkan, baik dampak terhadap lingkungan maupun masyarakat atau stakeholder secara keseluruhan.
Assessment terhadap sumberdaya itu meliputi
seberapa besar potensi atau cadangan sumberdaya yang dapat dieksploitasi, hal ini diperlukan
untuk
mengetahui
nilai
sumberdaya
itu
sendiri
maupun
periode
pemanfaatannya. Ketika sumberdaya alam sudah terdefinisikan dan teridentifikasi, pert.anyaannya adalah seberapa besar ketersediaan sumberdaya tersebut, dengan kata lain seberapa besar potensinya, apakah sumberdaya tersebut sudah dapat dimanfaatkan dengan skill dan teknologi yang tersedia.
Pada aspek sumberdaya tersebut pula,
diperlukan adanya pemahaman akan potensi-potensi, peranan, dan fungsi dari suatu sumberdaya. Secara kodrati, setiap sumberdaya diciptakan dengan sejumlah manfaat, peranan, dan fungsi yang penting bagi umat manusia. Sumberdaya sebagai faktor input dalam kegiatan perekonomian wilayah, maka tiap
pilihan
untuk
memanfaatkan atau
tidak
memanfaatkannya
menimbulkan
konsekuensi atau dampak, baik berupa manfaat (gain) maupun kerugian (los.\) yang
akhimya
pada
berpengaruh
terhadap
tingkat
kesejahteraan
masyarakat
37 dan
perekonomian wilayah secara keseluruhan. Konsekuensi atau dampak dari pengelolaan sumberdaya tersebut meliputi konsekuensi ekonomi, sosial, dan lingkungan.
Secara
rasional, bagi wilayah yang memiliki sumberdaya alam, khususnya bagi pemerintah daerah,
pemanfaatan pasir laut diharapkan akan memberikan manfaat, yaitu
meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD) yang diperoleh dari pajak atau retribusi penambangan pasir Jaut. Secara ideal, penerimaan pemerintah ini dapat dipergunakan untuk pembiayaan pembangunan.
Selain manfaat ekonomi berura rente tersebut,
pemanfaatan pasir laut akan memberikan manfaat bagi perekonomian secara keseluruhan. Bila pemanfaatan pasir laut dilakukan dengan memanfaatkan tenaga lokal yang ada, maka hal itu merupakan sumber pendapatan bagi masyarakat yang secara tidak langsung akan meningkatkan kesejahteraannya. Penambangan pasir laut dapat memenuhi kebutuhan lokal akan pasir laut yang berarti dapat mengurangi biaya. Namun demikian, suatu hal yang tidak dapat dihindari, pemanfaatan sumberdaya menimbulkan
ekstemalitas-ekstemalitas
yang
merugikan
stakeholder,
terutama
dampak-dampak lingkungan yang bersifat negatif Berdasarkan fakta-fakta yang ada serta dari kajian ilmiah tentang fungsi dan manfaat pasir laut, maka kerugian-kerugian yang ditimbulkan dari penambangan pasir !aut berupa kerugian fisik dan ekonomi, yang pada akhimya mengarah pada kerugian secara ekonomi secara keseluruhan. peredam
gelombang akibat
Karena menurunnya fungsi pasir laut sebagai
menurunnya
volume
pasir !aut akibat
aktivitas
penambangan, maka teijadi percepatan penurunan luasan pantai karena abrasi pantai dibanding proses abrasi secara alamiah.
Teijadinya percepatan penurunan luasan
pantai menimbulkan dampak ekonomi seperti menurunnya atau terganggunya pemukiman penduduk, berkurangnya potensi wisata lokal, serta hilangnya potensipotensi pengembangan dan pembangunan pada wilayah pantai. Pengalaman empiris menunjukkan bahwa akibat penambangan pasir laut, pendapatan nelayan mengalami penurunan karena terganggunya area penangkapan (fishing ground),
meningkatnya
kekeruhan perairan serta terganggunya jalur-jalur pelayaran nelayan, dan lain sebagainya. Berkaitan dengan manfaat dan kerugian ini, permasalahannya kemudian adalah bagaimana menilai manfaat dan kerugian yang ditimbulkan dari adanya penambangan pasir laut. Penilaian ini terkait dengan sifat atau karakter dari unsur yang
38 akan diberi penilaian, apakah memiliki harga pasar, memiliki nilai guna langsung atau tidak langsung.
Lebih Ianjut Iagi, permasalahannya adalah bagaimana mantaat dari
penambangan pasir laut ini terdistribusi secara lebih "adil" terhadap semua stakeholder. Setelah dilakukan assessment terhadap sumberdaya, baik terhadap aspek sumberdaya itu sendiri maupun dampaknya, maka diperlukan penilaian (valuasi ekonomi) terhadap sumberdaya pasir laut tersebut, baik secara ex-ante maupun ex-
post. Penilaian secara ex unte dilakukan untuk menilai mantaat ekologi dari pasir laut. Scperti diketahui, oasir laut memiliki fungsi sebagai peredam gelombang !aut, scrta sebagai substrat atau habitat dari berbagai biota taut. Salah satu metode yang dapat digunakan untuk memberikan pcnilaian
ter~adap
:-tilai ekologi ini adalah dengan
mctodc ( 'omingent Vuluution untuk n-:engetahui besarnya WTP (Willingness to Fuy) masyarakat terhadap pasir taut.
Penilaian secara ex-post dilakukan untuk menilai
dampak yang akan ditimbulkan dari pemanfaatan sumberdaya, baik dampak ekonomi, sosial, maupun lingkungan. Dampak ini juga perlu dilihat pada tiap stakeholder, baik sebagai pengambil kebijakan, pemanfaat sumberdaya, maupun masyarakat. Dampak ini tidak saja terkait dengan dampak yang ditimbulkan dari pemanfaatan sumberdaya, tetapi juga dampak bila sumberdaya tersebut tidak dimanfaatkan, bagaimana dampaknya terhadap perekonomian secara keseluruhan.
Dampak yang ditimbulkan
dari penambangan pasir laut ini akan dianalisis berdasarkan perhitungan terhadap makroekonomi maupun mikroekonomi, berdasarkan perubahan surplus produsen (nelayan) maupun berdasarkan literatur. Apa yang ingin dicapai dalam pengelolaan sumberdaya alam adalah optimalisasi pemanfaatan, dalam arti menghasilkan manfaat yang maksimal dan meminimalkan dampak negatif atau ekstemalitas.
<::ecara ekonomi, dari potensi sumberdaya yang
dimiliki diharapkan akan memberikan keuntungan ekonomi yang tinggi.
Optimisasi
nilai ekonomi pemanfaatan sumberdaya pasir !aut ini di/akukan dengan menggunakan
Hotteling 's Rule. Hotteling 's Rule merupakan basis dari teori ekstraksi sumberdaya alam tak dapat pulih yang dikembangkan oleh Harold Hotteling pada tahun 1931. Pengelolaan sumberdaya alam merupakan proses pengambilan keputusan yang memiliki dimensi yang kompleks, seyogyanya merupakan keputusan yang harus didahului oleh pertimbangan terhadap serangkaian pilihan atau altematif
.Setiap
alternatif akan menghasilkan output (manfaat maupun kerugian) vang berbcda dan
39 memiliki kontribusi yang berbeda terhadap perekonomian wilayah. Implikasi-implikasi ekonomi yang ditimbulkan ini mengisyaratkan perlunya altematif-altematif kebijakan dalam pengelolaan pasir !aut baik yang dilandasi oleh tujuan pembangunan daerah, persepsi masyarakat, maupun kebijakan pemerintah pusat. Adanya informasi tentang dampak yang berbeda pada tiap altematif ini merupakan bahan pertimbangan yang penting untuk
mengambil
keputusan serta menentukan
langkah-langkah yang
diperlukan dalam pengelolaan pasir !aut sehingga pengelolaan pasir !aut akan menghasilkan rr.anfaat yang optimal dalam arti, memaksimalkan mantaat atau meminimalkan kerugian. Aspek kelembagaan merupakan aspek sangat penting d(llam pengelvlaan sumberdaya alam, karena aspek kelembagaan inilah yang menggerai-..kan aspek ekonomi dari suatu pengelolaan sumberdaya alam. Selama ini, aspek kelembagaan yang sering menjadi prioritas adalah aspek kelambagaan formal yang dibentuk oleh pemerintah, yang mengeluarkan regulasi-regulasi berkaitan dengan pengelolaan dan pemanfaatan
sumberdaya
alam,
namun
pada
kenyatannya,
seringkali
aspek
kelembagaan formal yang terbentuk ini tidak mencakup aspek efisiensi, keadilan, penegakan hukum, dan tingkat penerimaan publik. Pengelolaan pasir Iaut memberikan implikasi terhadap kegiatan perekonomian Iainnya, terutama perikanan, hal ini menunjukkan perlunya suatu aturan main yang mengelaborasi kegiatan perikanan dalam pengelolaan pasir laut, baik dari sisi produksi perikanan maupun aspek pemberdayaan masyarakat nelayan. Salah satu kajian penting dalam aspek kelembagaan ini adalah bagaimana mengatur dan mengendalikan konflik yang selalu muncul dalam setiap pengelolaan sumberdaya alam.
Pengkajian Iingkungan selalu dicirikan dengan
:~onflik
dan
kontroversi. Hal ini merupakan konsekuensi dari perbedaan nilai dar. kepentingan yang terdapat dalam masyarakat majemuk dalam kaitannya dengan penggunaan dan pengelolaan tanah, air, dan sumber alam lainnya. Penyelesaian sengketa biasanya sulit dicapai untuk dua hal yang sating berkaitan: pertama, keuntungan dan kerugian pembangunan cenderung terbagi tidak merata termasuk hal-hal ya11g tidak terukur yang sulit untuk dibandingkan, dan kedua, banyak kelompok dengan pandangan dan interpretasi yang berbeda selalu terlibat (Sadler dan Armour, 1987, dulwn Mitchell, 2003 ).
40 Salah satu alat untuk menganalisi kontlik ini adalah dengan teori permaman (( iame Jheory). Teori permainan digunakan untuk menggambarkan interaksi yang terjwii antara stakeholder, terutama bila dikaitkan dengan hubungan ekonominya. Analisis kontlik diharapkan dapat memberikan solusi bagi pencapaian resolusi kontlik. Salah satu solusi yang dapat dihasilkan dari teori ini adalah bagaimana masyarakat memperoleh kompensasi atas biaya atau kerugian yang ditangungnya karena adanya aktivitas penambangan pasir laut ini. Resolusi kontlik ini diharapkan merupakan salah satu input dalam perumusan strategi kebijakan pengelolaan pasir laut. Berkaitan dengan aspek kebijakan, yang merupakan bagian dari pengambilan
keputusan, maka optimisasi
proses
pengelolaan akan dilakukan dengan
menggunakan analisis multikriteria (MCM; Multi Criteria
Ana~vsi.\).
Analisis ini
digunakan dengan memadukan aspek persepsi stakeholder yang bersifat kualitatif dengan aspek kuantitatif Pemahaman persepsi stake/wider terutama masyarakat akan membantu untuk memahami perilaku masyarakat terkait dengan pemanfaatan pasir laut ini.
Dengan kedua penggabungan aspek tersebut diharapkan akan diperoleh solusi
yang optimum.
Berdasarkan optimisasi pengelolaan, maka akan dapat dirumuskan
suatu altematif strategi kebijakan pengelolaan pasir laut, yang bila diimplementasikan dengan baik akan memberikan manfaat yang optimal. Output dari analisis multikriteria ini diharapkan dapat dijadikan dasar dalam implementasi kebijakan pengelolaan pasir Iaut.
41 PENGELOLAAN SUMBERDAYA PASIRLAUT
STAKEHOLDER (Persepsi, Partislpasl)
CADANGAN (STOCK)
KONFLIK
rr------r_SOS~L_ _ri _ _ !..! 1 !..! _ _1 EKONOM
UNGKUNGAN ,,
Gambar 4. Bagan Alir Kcrangka Pcmikiran Pcnclitian Analisis Sosial Ekonomi dan Kclcmbagaan Pcngclolaan Pasir l.aul
METODE PENELITIAN
Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian dilakukan pada Bulan Juni - Agustus 2004 di Kabupaten Serang, Propinsi Banten, khususnya Kecamatan Pontang dan Tirtayasa yang meliputi 7 desa, yaitu Desa Domas, Kubang Puji, Linduk, Sukajaya, Lontar, Susukan, Tengkurak. Pada wi !ayah perairan !aut kecamatan ini terdapat aktivitas penambangan pasir Iaut, baik penambangan oleh kapal keruk maupun penambangan liar pasir pantai oleh masyarakat.
Jenis dan Sumber Data Jenis data yang dihimpun dalam penelitian ini adalah data sekunder dan data primer baik kualitatif maupun kuantitatif Data sekunder diperoleh melalui laporanlaporan dari berbagai instansi Pemerintah Daerah Kabupaten Serang seperti Kantor Statistik, Dinas Perikanan dan Kelautan,
Kantor Lingkungan Hidup,
Kantor
Kecamatan, Kantor Kepala Desa, maupun melalui penelusuran literatur. Data Primer diperoleh melalui observasi dan wawancara kepada responden (nelayan, petambak, bakul). Selain responden, informasi juga diperoleh melalui wawancara dengan pihak perusahaan penambang pasir Iaut dan beberapa informan.
Metode Pen gam bilan Contoh Metode pengambilan sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah
purposive sampling (secara sengaja), dimana jumlah sampel ditentukan dengan sengaja sebanyak 101 responden dan sam pel ditentukan secara acak dari berbagai kelompok dalam masyarakat pantai yang mewakili kelompok masyarakat yang dominan, yaitu nelayan, bakul, dan petambak.
Analisis Data Kondisi Existing Karakter atau profil penambangan akan dianalisis secara deskriptif yang menggambarkan keragaan penambangan pasir laut pada saat ini.
Data-data yang
43 diperoleh serta hasil perhitungan ditabulasikan untuk menggambarkan kondisi makro dan mikro ekonomi dari penambangan pasir laut. Tabel I Data-Data yang Diperlukan dalam Penelitian Aspek yang diamati/diukur Karakteristik sosial ekonomi masyarakat
Data
Swnber Data/Informasi
- Jumlah penduduk, umur - Aktivitas ekonomi - Pendidikan
- Kantor Kecamatan - Kantor desa, observasi - Responden, Kantor Statistik - Responden, literatur - Responden, Dinas Perikanan - Responden, informan, Dinas Perikanan - Responden, informan, Dinas Perikanan
- Pendapatan - Sarana produksi - Produksi perikanan - Komoditi, harga komoditi, mus1m 2
Dampak penambangan (ekonomi, sosial, lingkungan)
3
Persepsi masyarakat : - Dampak ekonomi - Dampak lingkungan - Kebijakan penambangan - Nilai lingkungan
4
Kelembagaan
-
Produksi pasir !aut Harga pasir !aut Biaya ekstraksi pasir !aut Pajak pasir !aut PAD, PDRB Kab.Serang Dampak sosial Dampak lingkungan
-
-
Perubahan pendapatan Perubahan kondisi lingkungan Acceptabilitas WTP
- Responden - Responden, informan - Responden - Re~;Jonden
- Kelembagaan formal - Community Develoment
Dinas Perikanan Perusahaan pettambang Perusahaan penambang Dinas Perikanan Kantor Statistik Observasi Literatur
- Dinas perikanan - Dinas perikanan
Hotteling Rule Analisis ini digunakan untuk memperoleh dan menganalisis manfaat ekonomi optimal yang dapat diperoleh serta periode ekstraksi yang optimal.
Total manfaat
ekonomi ekstraksi sumberdaya pada dua periode adalah : PV
= 7ro + .
I
(1 + 8)
Jrl
(4.1)
44 dimana PV adalah present value yang menggambarkan manfaat ekonomi dalam dua peri ode (periode 0 dan periode I},
;r
adalah manfaat dari ekstraksi sumberdaya,
c5 adalah discount rate yang menggambarkan biaya oportunitas dari kapital. Model Hotteling yang akan digunakan dengan asumsi : (I) harga per satuan output dari sumberdaya bersifat konstan, artinya kurva perrnintaan dari sumberdaya bersifat elastis sempurna, (2) biaya ekstraksi pasir laut diasumsikan hanya merupakan fungsi dari output. Bila harga per satuan pada periode 0 dan I masing-masing adalah pi) dan p 1, jumla.h ekstraksi pada kedua periode itu adalah qo dan q 1, bila diasumsikan biay~ ekstraksi berkorelasi linear terhadap jumlah yang diekstraksi atau : ( ', =
~4.2)
cq,. V = I. 2
dimana c adalah biaya ekstraksi per unit, maka manfaat dari ekstraksi sumberdaya alam dapat ditulis :
(4.3) karena sifat sumberdaya alam tidak dapat pulih memiliki kendala stok yang terbatas ( S ), maka kendala terse but ditulis sebagai :
qo +ql
=S
(4.4)
Ekstraksi yang optimal dapat ditentukan dengan :
maxPV
= Jr + 0
]
(1 + 5)
(4.5)
;r1
dengan kendala :
% +q,
=
s
(4.6)
Dengan menggunakan fungsi Langrangian yang biasa digunakan dalam ekonomi, maka fungsi Langrangian dari kedua persamaan terakhir adalah : L
= ;r
+ u
I ;r1 +A(S -q, -q1 ) (1+8)
(4.7)
J
(4.8) dimana A merupakan pengganda Langrangian. Syarat keharusan (necessary condition) dari persamaan (4.8) ?dalah:
aL aqt) = (.f?
-
f)
-c)- A = 0
( 4.9)
aL =
oq Dengan
1
45
1 (1 + S)
penyederhanaan
(p1 -c)- A.= 0
aljabar,
maka
(4. 10)
persamaan
(4.11)
dan
(4.12)
dapat
disederhanakan menjadi: ( p 1 - c) - ( po - c)
=8
(4. 11)
(po- c)
Model dasar Hotteling untuk ekstraksi sumberdaya tak dapat pulih untuk dua periode ini dapat dikembangkan Jebih jauh untuk ekstraksi multi periode, dimana rente ekonomi menjadi : (4.12)
J[{((jf)
discount factor disederhanakan menjadi : I
I
(1 + 8)'
(4.13)
=p
sehingga present value dari rente ekonomi sepanjang waktu : PV =Jr.,+ p;r,(q,) + P 2P2(q2) + P 37r3(q3 )----P 7 1rr (qr)
(4.14)
T
=
LP 7rl(q,)
(4.15)
1
1=0
dengan kendala ketersediaan sumberdaya ditulis sebagai :
S
= qo +q, +q2 ....qT
(4.16) ( 4.1 7)
sehingga persamaan model Hotteling untuk multi periode menjadi : (pi+, -c)-(p, -c)= 8
(4.1 8)
(pi- c)
secara umum dapat ditulis : (pi+, - B,\/,+1)- (pi- BM,) (p1
dimana BU dan BM1
-J
-
=8
( 4. 19)
BMJ
adalah biaya marjinal pada periode t dan t+ I (Fauzi, 2004 ).
Perhitungan Hotteling dilakukan dengan perangkat solver pada
~xcell.
46 Dampak Penambangan Analisis Deskriptif. Dampak penambangan pasir laut, baik dampak ekonomi, sosial, maupun lingkungan dianalisis secara deskriptif
Dampak ekonomi terhadap
pemerintah akan dilihat dari besamya proporsi penerimaan pemerintah terhadap PDRB, PAD. Secara ekonomi, dampak yang akan dianalisis dilihat dari dua sisi, yaitu dampak akibat penambangan, maupun dampak ekonomi bila diberlakukan kebijakan pelarangan penambangan (moratorium policy). Surplus Produsen.
Dampak ekonomi terhadap masyarakat (nelayan) akan s~cara
dianalisis der.gan perubahan surplus produsen.
matematis, surplus produsen
dapat digambarkan dari perubahan luasan biaya marjinal atau: x.,
PS
= Poxo-
fMC(x)dr
(4.20)
0
dimana MC(x) merupakan biaya marjinal atas ekstraksi sumber daya perikanan (x). Secara diagramatik perubahan surplus produsen tersebut dapat dilihat pada Gambar 5.
Biaya, Harga (Rp)
DPS
.\IC
I
output
.\" fl
Gambar 5. Diagram Perubahan Surplus Produsen
Game
Theory.
Game
lheory digunakan
untuk
menggambarkan dan
menganalisis kontlik serta interaksi secara matematis yang terjadi antar stakeholder dalam pengelolaan dan pemanfaatan pasir laut.
Dalam pengelolaan pasir !aut ini
47 stakeholder (player) adalah pemerintah daerah, masyarakat nelayan, perusahaan penambang pasir laut, petambak, dan penambang liar. Model sederhana Game l1wory yang digunakan dalam menganalisis konflik pcmanfaatan sumberdaya pasir laut dapat diuraikan sebagai berikut: I. Player, terdiri dari Pemerintah daerah (G), masyarakat nelayan (F), perusahaan
penambangan pasir taut (C), petambak (P), penambang liar (L). 2.
Strategi,
terdiri
dari
strategi
untuk
meneruskan
penambangan
(A),
atau
mcnghentikan penambangan (8). 3. Payoff, data yang diperlukan untuk menentukan payofftiap player adalah: •
Nilai pajak yang diterima pemerintah daerah per tahun
•
Pendapatan nelayan atau dana community development per tahun
•
Nilai keuntungan yang diterima perusahaan
•
Suatu nilai yang mencerminkan keuntungan (1 ), tidak ada keuntungan (0), atau kerugian (-I) dari petambak dan penambang liar. Langkah-Iangkah yang dilakukan dalam melakukan analisis dengan Game Theory
adalah sebagai berikut : I. Membuat tabel payoff dari masing-masing player.
2. Menetapkan besamya payoff (nilai keuntungan atau kerugian dari masing-masing
stakeholder) apabila memilih/menetapkan salah satu strategi (A atau B). 3. Menetapkan kriteria!konsekuensi yang akan diperoleh oleh player apabila memilih salah satu strategi dalam pengelolaan dan pemanfaatan pasir laut.
T ...Lbel 2 Matriks Pahala (Payqffs) dalam Anal isis Game Theory Player 2 Player 1
A
8
A (1A),(2A) (18), (2A)
8 (lA), (28) (1 B), (28)
Terkait dengan konflik yang ada, maka akan dilakukan analisis deskriptif untuk menemukan solusi konflik.
Teknik-teknik penyelesaian masalah atau altematif
penyelesaian konflik bertujuan untuk memfasilitasi proses pembuatan keputusan oleh
kelompok-kclompok
berkonflik,
yang
sehingga
sedapat
mungkin
48 dihindari
pcnyelesaian masalah melalui meja hukum. Beberapa karakteristik teknik penyelesaian masalah meliputi ( 1) lebih menekankan pada kesamaan kepentingan kelompok yang saling bersengketa daripada posisi tawar-menawar, (2) berfikir kreatif untuk mencari upaya penyelesaian, (3) mencari jalan tengah untuk menemukan tujuan bersama, (4) menuntut kcsepakatan banyak pihak untuk suatu keputusan. Persepsi Masyarkat Deskriptif. Secara deskri!)tif akan digambarkan persepsi masyarakat tentang dampak-dampak yang ditimbulkan dari penambangan pasir !aut, baik dampak pqsitif maupun negatif berdasarkan hasil wawancara.
Selain itu, akan digambarkan pula
perseps1 atau tingkat penerimaan masyarakat tentang kebijakan penambangan pasir
Iaut. Willingness To Pay. Metode ini yang digunakan untuk memberikan penilaian terhadap nilai lingkungan pasir !aut dimana : IYTPi
7 .
(4.21)
j(!. E, A, Q)
dimana I adalah pendapatan, E adalah tingkat pendidikan, A adalah umur, dan Q jumlah tanggungan. Tahapan-tahapan dalam analisis Willingness to Pay ini adalah : 1. Mengetahui nilai maksimum keinginan membayar dari responden dilakukan dengan
pertanyaan terbuka, dimana responden diberikan kebebasan untuk menyatakan nilai rupiah agar kondisi lingkungan yang dianggap telah rusak kembali seperti semula. 2. Menghitung rataan WTP setiap individu. 3. Memperkirakan kurva lelang, yang diperoleh dengan meregresikan WTP sebagai variabel tidak bebas (dependent variable) dengan beberapa variabel bebas : Wi
c=c
I
(1, E, A, Q)
4. Mengagregatkan rataan nilai Ielang, dengan melibatkan konversi data rataan sampel ke rataan populasi, yaitu dengan mengalikan rataan sampel dengan jumlah rumah tangga dalam populasi (N).
Untuk melihat faktor-faktor yang mempengaruhi nilai WTP software E-View
1m,
digunakan
49 Kelembagaan dan Jmplikasi Kebijakan Deskriptif. Dalam mengkaji faktor-faktor yang mempengaruhi pola dan peranan kelembagaan dalam pengelolaan pasir laut dilakukan analisis deskriptif yaitu dengan mempelajari karakteristik dan keragaan (pejiJrmance) kelembagaan formal yang ada, yaitu yang dibentuk oleh pemerintah daerah dan tingkat keberhasilan aktivitas kelembagaan ini dengan melihat faktor-taktor seperti kondisi sosial ekonomi desa pantai, peran kebijakan dan program pemerintah serta kondisi kelembagaan masyarakat yang ada. Analisis Multikriteria. Analisis multikriteria adalah kerangka kerja (framewurk) terstruktur untuk menginvestigasi, menganalisis, dan memecahkan pengambilan keputusan yang terkendala dengan berbagai tujuan dan kriteria dan merupakan teknik pengambilan keputusan berbasis non-parametrik. Pada bentuk dasarnya, model analisis multi kriteria terdiri dari segugus kriteria evaluatif, segugus bobot yang meunjukkan tingkat kepentingan dari kriteria-kriteria tersebut, segugus altematif, dan segugus ukuran-ukuran keragaan yang menunjukkan keragaan tiap-tiap alternatif terhadap masing-masing kriteria.
Aspek-aspek tersebut
digambarkan dalam suatu tabel keputusan (Tabel 4 ). Tabel3 Tabel Keputusan dalam Model Analisis Multikriteria (Kriteria -j)
C1
c2
CJ
Cm
(Bobot -j)
w,
w2
WJ
Wm
a1
x11
x,2
Xu
Xlm
"!
32
x2,
x22
x23
X2m
·.;:::
a3
x3,
X32
X:n
X 3m
3n
x,,
x,2
Xn3
Xnm
<-+-.. t'j
t:
.....
.8 <(
50
Tahap-tahap dalam analisis multikriteria adalah : I. Mengidentifikasi konteks pengambilan keputusan a.
Menentukan tujuan analisis, mengidentifikasi pengambil
keputusan dan
stake/wider lain yang berperan. b. Mendesain sistem teknik-sosial untuk penerapan analisis multikriteria. 2. Mengidentifikasi berbagai pilihan untuk penilaian. 3. Mengidentifikasi tujuan a.
(o~jectives)
dan kriteria.
ldentifikasi i\.riteria untuk menilai konsekuensi tiap pilihan
b. \1elakukan
p~ngelompokan
terhadap kriteria-kriteria dalam bentuk hirarki
ti nggi -rendah 4. Melakukan skoring, mengukur perfiJmtance yang diharapkan untuk tiap pilihan. Kemudian mengukur nilai yang berhubungan dengan konsekuensi untuk tiap pilihan untuk tiap kriteria a. Menggambarkan konsekuensi tiap pilihan b. Skoring tiap pilihan pada kriteria c. Menilai konsistensi skor pada tiap kriteria 5. Pembobotan tiap kriteria yang merefleksikan hubungan relatifnya terhadap
pengambilan keputusan 6. Kombinasi pembobotan dan skoring untuk tiap pilihan untuk mendapatkan nilai keseluruhan: a. Menghitung keseluruhan skor pembobotan pada tiap tingkat hirarki b. Menghitung keseluruhan skor pembobotan 7. Menentukan hasil 8. Analisis sensitivitas 9. Rekomendasi Berdasarkan berbagai macam jenis penggunaan teknik multikriteria, pada penelitian ini menggunakan teknik Topsis dan PRIME. Metode ini digunakan karena sifatnya tidak terlalu sensitif sehingga Jebih baik dibanding
t~knik
lainnya. Langkah-langkah dasar metode Topsis adalah sebagai berikut.
multikriteria
51
I. Menentukan matrik keputusan (Tabel 4 ). 2. Melakukan transformasi ke non dimensional matriks atau menyusun bobot matriks yang temomalisasi 3. Membobot matrik yang sudah dinormalisasi
4. Menetapkan solusi terbaik (1deal solution) dan terburuk (cost loss solution) di an tara altematif solusi yang ada. Ideal solution A• .!
= ~axY11 J.i E .J(minvii J
= {i = 1,2,3, ....... } =
manfaat
./' = {i = 1,2,3, ....... }= biaya (loss) Negativt solution A-=
~in.ViJJJ E
J'(maxv!J
J
5. Mengadakan perhitungan dan pengukuran secara parsial, yaitu mengukur jarak
terkecil dari kriteria yang hampir sama dan mencari jarak terbesar untuk kriteria yang tidak sama
6. Menghitung kemiripan relatifbila terjadi beberapa solusi ideal.
7. Melakukan perangkingan atas urutan preferensi. Semakin dekat dengan satu berarti ideal dan sebaliknya semakin dekat dengan no! berarti tidak ideal.
52 Tabel 4 Analisis Data Aspck yang diamati/diukur
Anal isis
Detail
I.
Kondisi Existing
- Deskriptif
-
2.
Manfaat optimal ekonomi pasir laut
- Hotteling Rule
3
Dampak Penambangan : I) Dampak ekonomi : - Terhadap pemerintah - T erhadap masy&&akat nelayan 2) Dampak Sosial
-
Aspek ekonomi makro, aspek ekonomi mikro - Alur ekstraksi, periode ekstraksi, nilai manfaat o timal
- Rente ekonomi, economic loss - Perubahan surplus produsen
3) Dampak lingkungan Persepsi masyarakat, tentang : - Dampak ekonomi
Deskriptif Surplus Produsen Deskriptif - Game Theory - Analisis Konflik - Deskriptif
-
Deskriptif
- Perubahan pendapatan, penyebab penurunan pendapatan
- Dampak lingkungan - Nilai lingkungan
-
Deskriptif WTP
5.
Kelembagaan
-
Deskriptif
6.
Implikasi Kebijakan
- Multikriteria
4.
-
- WTP rata-rata, total WTP, surplus konsumen
Deskriptif
Definisi Operasional I. Pasir Laut adalah bahan galian pasir
~rang
terletak pada wilayah perai.ran baik pada
wilayah perairan laut maupun pantai. 2. Pengelolaan pasir laut adalah kebijakan untuk memanfaatkan pastr laut yang meliputi perencanaan, pemanfaatan, pengendalian, dan kebijakan-kebijakan yang menyertainya seperti pemberdayaan masyarakat pesisir. 3. Sosial ekonomi adalah kondisi masyarakat atau wilayah terkait dengan keadaan sosial seperti pendidikan, kesehatan, social capital, dan ekonomi yang meliputi produksi, pendapatan baik dalam skala individu maupun masyarakat. 4. Dampak adalah akibat yang ditimbulkan dari adanya upaya untuk memanfaatkan maupun tidak memanfaatkan pasir laut, baik yang bersifat positif (manfaat) maupun negatif (kerugian).
5. Perekonomian
wilayah
adalah
suatu
keadaan
yang
menunjukkan
53 tingkat
perkembangan ekonomi suatu daerah agar mampu menciptakan suasana kehidupan masyarakat yang lebih baik, mencakup kelembagaan formal yang dibentuk oleh pemerintah maupun kelembagaan yang terbentuk oleh masyarakat untuk memenuhi kebutuhannya. 6. Kelcmbagaan adalah rule
(~l
the game, yang meliputi aspek fisik berupa
kclembagaan formal yang tcrbentuk maupun yang meliputi proses (pelembagaan). 7. Persepsi adalah penglihatan atau pandangan seseorang terhadap sesuatu yang dilatarbelakangi oleh pemahamannya yang dipengaruhi oleh kondisi sosi"l ekonominya. 8. ,\'take/wider adalah meliputi pihak-pihak yang terlibat dalam pengelolaan pasir laut, pihak-pihak yang menerima manfaat maupun kerugian dari pengelolaan pasir laut, maupun pihak-pihak yang memiliki kepentingan terhadap per.gelolaan pasir Iaut. 9. Community Development adalah suatu proses, metode, program, kelembagaan, dan gerakan yang mengikutsertakan masyarakat sebagai basis dalam menanggulangi masalah-masalah yang dihadapi bersama, mendidik, dan melatih masyarakat dalam proses demokrasi untuk mengatasi masalah secara bersama, dan mengaktifkan kelembagaan atau menyediakan fasilitas untuk alih teknologi kepada masyarakat.
DESKRIPSI KABUPA TEN SERANG Deskripsi Kabupaten Serang Kondisi Umum Kabupaten Serang Provinsi Banten memiliki luas 1. 734,09 Km 2 dan terdiri dari 32 kecamatan.
Secara administratif: wilayah Kabupaten Serang berbatasan dengan
Kabupaten Tangerang di sebelah timur, Kota Administratif Cilegon dan Selat Sunda di sebelah barat, Kabupaten Lebak dan Pandeglang di Sebelah Selatan, Teluk Banten serta Laut Jawa di sebelah utara.
Dari 32 kecamatan, 9 kecamatan merupakan daerah
pesisir/pantai. Penduduk Kabupaten Serang pada tahun 2003 berjumlah 1. 776.995 jiwa, dengan komposisi jumlah wanita dan laki-laki adalah 871.524 dan 905.47I jiwa dengan laju pertambahan
penduduk
sebesar
2,8%.
Penduduk
Kabupaten
Serang
bermata
pencaharian sebagai PNS, karyawan swasta, pedagang, nelayan, petani, dan lain-lain. Adapun komposisi penduduk berusia I 0 tahun ke atas berdasarkan lapangan usaha tertera pada Tabel 5 berikut. Tabel 5 Penduduk Usia I 0 Tahun ke Atas yang Bekerja Menurut Lapangan Usaha Lapangan Usaha Pertanian Pertambangan dan Penggalian Industri Listrik, Gas, dan Air Bersih Bangunan Perdagangan, Hotel, Restoran Angkutan dan Komunikasi Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya Jasa-Jasa Jumlah Sumber : Serang Dalam Angka 2003
Jumlah (Jiwa)
Prosentase (%)
218.379
36,07
3.027
0,50
90.754
14,99
1.574
0,26
24.883
4, II
129.018
21,31
74.892
12,37
5.086
0,84
57.819
9,55
605.432
Topografi Kabupaten Serang merupakan wilayah dataran rendah dan pegunungan dengan ketinggian antara 0 sampai I. 778 m di atas pennukaan !aut.
Sedangkan
55 fisiografi Kabupaten Serang dari arah utara ke selatan terdiri dari wilayah rawa pasang surut, rawa l"'!lusiman, dataran, perbukitan dan pegunungan. Bagian utara merupa:kan wilayah yang datar dan tersebar luas sampai ke pantai, kecuali sekitar Gunung :.;awi, Gunung Terbang dan Gunung Batusipat. Bagian selatan sampai ke barat berbukit dan bergunung antara lain sekitar Gunung Kencana, Gurung Karang dan Gunung Gede. Daerah yang bergelombang tersebar di antara kedua bentuk wilayah tersebut. Hampir seluruh daratan Kabupaten Serang merupakan daerah subur karena tanahnya scbagian besar tertutup oleh tanah cnriapan Alluvial dan batu vulkanis kuarter. Potensi tersebut bertambah dengan banyaknya sungai-sungai yang besar dan penting yaitu Sungai Ciujung, Cidurian, Cibanten, Cipaseurar., Cipasang oan Anyar yang mendukung kesuburan daerah-daerah pertanian di Kabupaten Serang. Iklim di wilayah Kabupaten Serang termasuk tropis dengan musim hujan antara Bulan November- April dan musim kemarau antara Bulan Mei- Oktober. Curah hujan rata-rata 3,92 mm/hari. Temperatur udara rata-rata berkisar antara 25,8° Celsius - 27,6° Celsius. Temperatur udara minimum 20,90° Celsius dan maksimum 33,8° Celsius. Tekanan udara dan kelembaban nisbi rata-rata 81,00 mb/bulan. Kecepatan arah angin rata-rata 2,80 knot, dengan arah terbanyak adalah dari barat. Salah satu kegiatan perekonomian penting yang ada di Kabupaten Serang yang didasari oleh potensi sumberdaya alam adalah sektor perikanan, pariwisata, dan pertambangan. Kondisi Perikanan Tangkap dan Budidaya Tambak Perikanan merupakan salah satu sektor ekonomi yang berkembang di Kabupaten Serang. Produksi perikanan Kabupaten Serang berasal dari perikanan tangkap dan perikanan budidaya. Perikanan tangkap ini baik berasal dar1 perikanan laut maupun perairan umum (sungai dan rawa/danau), sedangkan perikanan budidaya meliputi tambak, kolam, dan sawah. Produksi perikanan ini pada tahun 2003 tertera pada Tabel 6. Pada Tabel 6 terlihat bahwa perikanan laut memiliki kontribusi terbesar terhadap produksi perikanan Kabupaten Serang.
Produksi perikanan laut pada tahun 2003
mencapai 6.008.500 ton atau 75.5% dari produksi total dengan nilai produksi mencapai Rp. 25.097 530.000,- atau 60.4 % dari nilai produksi total, kemudian disusul oleh perikanan tambak dengan produksi mencapai 1.299. 900 ton atau 16.3 % dari produksi
56 29.1 % dari nilai
total dengan nilai produksi mencapat Rp. 12.090.995.000,- atau produksi total.
Tabel 6 Produksi Perikanan Tangkap/Budidaya Kabupaten Serang Tahun 2003 Produksi (Ton) Perikanan Tangkap/Budidaya
Nilai Produksi (Rp. 1000)
2002
2003
2002
2003
11.491.80
6.008,50
51.857.812
25.097.530
322.50 320.50
137,70 149, lO
1.563.550 2.004.200
782.970 1.057.100
1.299,90 284,40
20.850.700 2.946.500
12.090.995
b. Kolam
I. 739.70 410,00
c. Sawah
201,40
81,20
1.594.200
651.155
Perikanan Tangkap a. Laut b. Perairan Umum - Sungai - Rawa!Danau 2
Pcrikanan 13udidaya a. Tambak
JUMLAH 14.485,90 7.960,80 Sumber : Dinas Perikanan dan Kabupaten Serang 2002-2003 -
80.906.962
----------------·-·· ----· - - - - - - - - - - - - - - -
--
1.884.837
-----------
41.564.587
----
-----
----------~
Tabel 7 Produksi (Ton) Perikanan Laut Kabupaten Serang Menurut Kecamatan TIRTAYASA
K.ASEMEN
KRAMATWATU
BOJONEGARA
1998
977,10
3.397,8
3.588,60
1.713,00
2.736,60
767.80
13.180,90
1999
478,00
1.130.0
3.827.00
826,30
401,30
366.60
7.029,20
2000
544,00
1.284,6
4.349,70
940,00
456,00
272.50
7.846,80
2001
141,40
2.617,8
5.477,20
1.183,00
574,50
667,50
10.661,40
2002
458,00
3.534,2
.U87,70
1.783,30
771,6G
557,00
11.491,80
2003
389,50
2.277.0
1.949,90
851,80
113,60
426,70
6.008,50
2.988,00
14.241,40
23.580,10
7.297,40
5.053,60
3.058,10
56.218,60
TAHUN
ANYER
CINANGKA
JUMLAH
Sumber: Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Serang (1998-2003) Tabel8 Nilai Produksi (Rp. I 000) Perikanan Laut Kabupaten Serang Menurut Kecamatan TIRTA YASA
KASEMEN
KRAMAT WATU
NEGARA
1998
2.651.967
4.107.746
5.525.914
1999
1.291.019
3.319.764
2000
3.536.000
2001
.
BOJO
ANYER
CINANGKA
JUMLAH
2.936.814
2.957.128
1.193.670
19.373.239
8.483.847
3.319.763
1.291.019
737.723
18.443.135
4.753.000
14.829.280
732.420
3.830.400
2.402.400
30.083.500
916.500
15.982.900
18.675.529
822.740
4.821.600
9.390.731
50.610.000
2002
4.610.910
9.461.280
26.401.480
2.900.600
3.480.800
5.002.742
51.857.812
2003
1.676.247
9.321.052
7.745.532
3.704.980
843.404
1.806.315
25.097.530
14.682.643
46.945.742
81.661.582
14.417.317
17.224.351
TAHUN
-----
------
---
-
--
----
-------- -- ·--- --------
------------~---
Sumber : Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Serang (1998-2003)
20.533.581
195.465.216
57 Hasil tangkapan ikan didaratkan melalui Tempat Pendaratan Ikan (TPI). Di
Kabupaten Serang terdapat beberapa TPI, yaitu di Kecamatan Tirtayasa (Desa Tengkurak, Lontar), Pontang (Kemayungan Desa Sukajaya), Kecamatan Tanara (Desa Tenjo
Ayu,
baru
dibangun),
Kecamatan
Kasemen
(Karangantu),
Kecamatan
Kramatwatu. Sedangkan TPI-TPI yang berada di Selat Sunda terdapat di Merak, Anyer, dan Cinangka. Aktivitas nelayan Kabupaten Serang sebagian besar menangkap ikan di dekat pantai, sampai ke Suralaya. Bel>erapa nelayan menangkap ikan hingga ke Selat Sunda. Pada musim timur (Juli-Agustuc;;}, nelayan menangkap ikan di perairan sekitar P. Pamujan Besar, P. Pamujan Kecil, P. Panjang bagian barat dan utara. Pada musim batat (Desember-Februari), dimana angin dan arus kuat, mereka menangkap ikan sampai ke keperairan Kepulauan Seribu atau Lampung (Nuraini, 2004 ). Tabel9 i)roduksi Perikanan Laut Menurut Jenis Ikan Tahun 2002-2003 No.
Jenis Ikan
Petek 2 Manyung 3 Kakap 4 Kurisi 5 Cucut 6 Pari 7 Layang 8 Teri 9 Tembang 10 Lemuru 11 Kembung 12 Tenggiri 13 Tongkol 14 Selar 15 Belanak 16 Kuro 17 Bawal 18 Layur 19 Japuh 20 Ikan Lainnya 21 Rajungan 22 Udang Jerbung 23 Udang Lainnya 24 Cumi
JUMLAH
Produksi (Ton) 2002 726,70 178,30 8,10 708,20 118,70 131,10 600,30 840,00 2.412,50 652,00 1.550,30 328,20 702,50 608,20 29,40 9,10
1.019,50 208,10 161,00 104,00 395,6':
11.491,80
2003 510,60 79,60 291,20 31,60 10,50 553,50 303,40 905,60 372,00 500,70 30,10 191,50 249,30 11,70 8,60 3,00 3,00 12,30 1.606,00 102,60 74,00 157,70
6.008,50
Nilai Produksi (Rp. I 000) 2002 726.700,00 1.248.100,00 97.200,00 4.519.920,00 593.500,00 327.750,00 3.305.500,00 1.680.000,00 2.412.500,00 3.260.000,00 10.852.100,00 3.260.000,00 4.533.500,00 3.041.000,00 117.600,00 45.500,00
4.715.942,00 2.081.000,00 1.610.000,00 832.000,00 2.598.000,00
51.857.812,00
Sumber: Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Serang 2003.
2003 510.000,00 557.200,00 1.456.000,00 158.000,00 31.500,00 2.767.500,00 910.200,00 1.811.200,00 1.860.000,00 3.504.900,00 361.200,00 1.532.000,00 1.246.500,00 58.500,00 43.000,00 30.000,00 15.000,00 12.300,00 3.094.130,00 1.026.000,00 2.220.000,00 1.892.400,00
25.097.530,00
58 Tabel 10 PDRB Kabupaten Serang dan Kontribusi Sektor Perikanan terhadap PDRB PDRB Harga Konslan (Jula)
PDRB Harga Bcrlaku (Jula)
Tahun
Kabujlatcn
Pcrikanan
4.299.276.40 4.H57.7!!-1.-11 5. 704.51-UO 6.539.24-1.20 7.503.414.00 5.209.013.00 5.6!!3.6 71.00 6.541.2!!3.00 7.226 5(,5.00 !!.212 11J9.00 X. 941. 19-..<JO
32.3!!6.30 33.929.H3 H71J5.02 52.257.74 52.641,00 71.714.00 9 l.H69.00 106.79H.OO 10!!.939.00 120 301.00 128.835.00
~-------.
IIJ93 1994 I 'JIJ5 19% 1997 199!! 191)9 2000 2001 2002 2003
% 0.75 0,70 0.77 0.80 0.70 UH 1.62 1.63 1.51 1.46 1.44
Kabupalcn
Pcrikanan
4.299.276.49 4.63H.237.12 4.981.189.71 5.4192!!8,% 5.653.56H.OO 2.424.614.00 2.453.401.00 2.577.376.00 2.657.374.00 2.751.767.00 2.867.055.00
32.3!!6.30 30. 750.6!! 36.351.!!0 39.049.10 36.949.00 32.635,00 33.330.00 36.154.00 36.4!!1.00 3!!.137.00 39.903.00
% 0.75 0.66 0.73 0.72 0.65 1.35 1.36 1.40 1.37 1.39 1.39
Sumber : Serang Dalam Angka 1993-2003
Berdasarkan laporan Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Serang, armada penangkapan nelayan Kabupaten Serang merupakan perahu dengan motor tempe! dan kapal motor, dengan rincian seperti tertera pada Tabel II berikut. Perahu motor beru 1mran panjang kurang dari 12 meter sengan Iebar antara I - 3 m dengan motor berkekuatan 4-9 HP. Tabel II Jumlah Annada Penangkapan Nelayan Menurut Kecarnatan Kecarnatan
Jurnlah Perahu!K.apal Motor Temeel Kaeai Motor
Tirtayasa Tanara Kasemen Krarnatwatu Bojonegara Anyar Cinangka Jumlah Sumber : Dinas Perikanan dan
39Q 56 128 2P 2i 61 882
Jumlah
121 52 36 209
399 56 249 52 217 57 61 1091
Kelautan Kabupaten serang (2003 ).
Terdapat 22 alat tangkap yang telah teridentifikasi (Tjalingii, 1999 dalam Nuraini, 2004 ). Terdapat alat tangkap yang tidak termasuk dalam statistik perikanan Kabupaten Serang. Beberapa alat tangkap yang umum dan potensial dalam produksi ikan adalah: 1. Bubu (Trap). Bubu yang digunakan pada umumnya bubu kecil dengan ukuran panjang dan tingginya kurang lebih 1 m. Bubu berukuran besar, yaitu panjangnya sekitar 2.5 m digunakan untuk perairan yang lebih dalam ( 12- I 6 m) dengan dasar perairan karang, batu atau pasir berlumpur.
Alat tangkap ini dipasang di perairan karang pada
59 kedalaman 2 - 16 m di pantai barat, utara P. Panjang, P. Tarahan, P. Semut, P. Pamujan Besar, P. Pamujan Kecil, dan lain-lain. Dalam sebuah perahu memasang 4 - I 0 bubu. Hasil tangkapan utama dengan men 6 gunakan bubu yaitu kerapu (kerapu lumpur, kerapu sunu), beronang lingkis, ekor kuning, lentjan, jenaha. Produksi ikan dengan menggunakan bubu setiap hari bervariasi antara l - 4 Kg/trip. 2. Pancing Rawe (Rot/om lungline) Pancing rawe yang digunakan di Teluk Banten memiliki 200-250 mata pancmg. PenangkapaP dengan menggunakan pancing rawe umumnya dilakukan pada malam hari, dengan daerah penangkapan meliputi P. Semut, P. Pamujan Besar, P. Pamujan Kecil, utara P. Kub:Jr atau Selatan P. Panjang.
Hacif tangkapan dengan
menggunakan pancing rawe ini diantaranya adalah manyung, gerotlkakap batu, jenaha, kerapu lumpur.
Satu hari dalam satu perahu, pancing rawe dapat
menghasilkan I - 25 Kg ikan, rata-rata 1 I Kg. 3. Payang Alat tangkap ini dikenal dengan dengan produkstifitas tangkapan yang tinggi. Pengoperasian alat tangkap ini mengunakan perahu motor tempe! atau kapal motor. Penangkapan ikan dilakukan pada siang atau malam hari. Penangkapan pada malam hari dilakukan pada bulan gelap, dan pada musim teri dilakukan pada malam dan siang hari.
Hasil tangkapan dengan menggunakan payang ini berupa ikan-ikan
pelagik kecil seperti teri dan lemuru, temb<:lng, layang, cumi-cumi. Hasil tangkapan payang mencapai puluhan bahkan ratusan kg ikan per trip. 4. Jaring Dogol (Danish seine) Alat tangkap ini tidak tercatat dalam statistik perikanan Kabupaten Serang. Pengoperasian alat tangkap .ni menggunakan alat bantu mesin gardan berkekuatan sekitar 6 PK yang berfungsi sebagai penarik jaring. Daerah operasi alat tangkap ini adalah utara P. Panjang yang memiliki dasar pantai pasir berlumpur pada kedalaman di atas 16 m. Penangkapan ikan dengan alat tangkap ini dilakukan pada siang hari dari pulul 07.00 hingga pukul 17.00. Hasil tangkapan alat tangkap ini berupa ikanikan demersal antara lain kurisi (Nemipterus), kuniran ( Upeneus), beloso, juga petek dan sotong.
Alat tangkap ini pada beberapa daerah sudah dilarang untuk
dioperasikan karena menangkap ikan kecil/muda dalam jumlah besar. tangkapan dengan jaring dogol ini dapat mencapai 150-300 kg per trip.
Hasil
60 5. Jaring Bondet (Reach seine). Jaring bondet dioperasikan pada pera1ran yang dangkal.
Pada pera1ran Teluk
Banten, jaring bondet sering digunakan ,.mtuk menangkap ikan pada daerah lamun di pantai barat, selatan P. Kubur dan sekitar Gosong Delapan. Hasil tangkapan jaring bondet bervariasi sesuai dengan daerah penangkapan.
lkan-ikan yang tertangkap
dengan jaring bondet adalah beronang (Sigwzus cana/iculatus), teri kasar (Amhasis g_vmnocephalus dan /'vfonacant lzus lwjwn ), cumi-cum i (/,o/ igo ·'PP ), belanak (A-lug if sp), jenaha (Lutjanus), lentjan (J,ethrinus), kerapu lumpur
(l~pinephelus
coioides),
dan lain-lain. 6. Bagan tancap (I· 1xed /ifi net; Bagan ini dikembangkan pertama kali oleh nelayan bugis. Alat tangkap ini banyak digunakan di perairan Teluk Banten, seperti barat dan selatan P. Panjang, P. Tarahan, sekitar P. Pamujan Besar dan P. Pamujan Kecil. lkan-ikan yang tertangkap bagan ini adalah ikan-ikan pelagik yang murah seperti teri, selar, petek, sotong, tembang, Iemuru, cumi-cumi. Hasil tangkapan per hari mencapai I - Kg ikan, tapi pada musim ikan hasil tangkapan dapat mencapai 20 - 50 Kg, dan tidak diperoleh hasil pada musim angin atau barat 7. Bagan apung/perahu Daerah penangkapan dengan bagan apung ini di perairan utara P.Panjang dan Selat Sunda. Hasil tangkapan dengan hagan apung ini berupa ikan teri, tembang, selar, pete, Iemuru, Iayang, cumu-cumi. Produksi bagan apung dapat mencapai 100 Kg per hari. 8. Jaring Klitik (Bottom gill net) dan Jaring lnsang (Gil/net) Jaring klitik dipasa11g pada dasar perairan, menetap selama 3-5 jam dan merupakan alat tangkap yang banyak digunakan oleh nelayan Iokal. Jaring insang dipasang menetap atau dihanyutkan, dapat dipasang di dasar atau tengah perairan sesuai dengan target ikan yang ditangkap, ikan dasar atau pelagik.
9. Jaring Arad (Bag net) Jaring arad tidak tercatat dalam statistik perikanan kabupaten Serang. Alat tangkap ini mampu menangkap hampir semua ikan dan biota laut yang hidup di dasar perairan seperti udang, teripang, kerang, siput laut, tanaman laut, dan lain-lain. Jaring arad mulai digunakan pada tahun 1999, sclanjutnya jaring ini banyak
61 di!:,JUnakan di Teluk Banten dan jumlahnya terus meningkat karena sangat efisien dalam menangkap udanglikan. 10. Sudu perahu Alat tangkap ini tennasuk jaring kantong yang berbentuk kerucut. Hasil tangkapan alat tangkap ini adalah kerang darah (Anadara sp ), udang, simping (P!acuna
placenta). Besamya hasil tangkapan tergantung musim dan lokasi penangkapan. II. Sudu (Push net) Alat ini tcrmasuk pula jaring kantong berbentuk kerucut.
Alat tangkap ini pada
umumnya digunakan oleh nelayan sambilan dan tidak tercatat dalam statistik perikanan. Berdasarkan laporan Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Serang, jenis dan jumlah alat tangkap di Kabupaten Serang pada tahun 2003 tertera pada Tabel 12. Pada tahun 1999, jumlah penduduk Kabupaten Serang sebesar 7.500.000 jiwa dan 10 % dari jumlah penduduk tersebut hidup dan bennukim di kawasan pantai (Anonimous, 1999 da/am Nuraini 2004) dan bekerja pada sektor perikanan tangkap dan budidaya. Terdapat 1.553 rumah tangga perikanan (RTP) yang memiliki aktivitas di bidang perikanan laut dan melibatkan 12.764 orang pada tahun 1999 dengan pendapatan seperti tertera pada Tabel 13. Tabel 12 Jumlah alat tangkap di Kabupaten Serang Tahun 2003. Payang
Gill Net
Jr. Klitik
Trammel Net
Tirtayasa
72
40
12
9
Tanara
20
23
Kasemen
25
40
Kramatwatu
42
9
Bojonegara
70
56
Anyar
44
5
Cinangka
61
Kecamatan
Jumlah
334
Jr. Angkat
Pancing
Arad
48
Bondet
Jumlah
8
189 56
II 65
57
9
249
478
42
53
103
207
5
37
177
57
106 61
173
13
74
66
423
Sumber : Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Serang 2003
42
148
1273
62 Tabel 13
Perkiraan Pendapatan Nelayan dan Buruh Nelayan pada Beberapa Alat Tangkap Di Teluk Banten Tahun 1998-1999
Biaya operasional per trip (Rp. 1000)
Pendapatan per trip (Rp. 1000)
Pendapatan pemilik perahu per trip (Rp. 1000)
Pendapatan bumh nelayan per trip (Rp. 1000)
Alat Tangkap Lokal
Kg!frip
Payang
50- 150
125-300
500- 1000
190-350
15-30
Bagan Tancap
5-25
50-250
10-50
5-40
5 -· 35
Bagan Apung
30
15-40
100-200
50- I 50
75- 150
150-500
15- 25
150-250
50- 125
10-30
I -5
1-5
10-50
10-50
10--50
25- 100
30
100-200
25-40
5-30
Jaring Jnsang
5- 10
10
10-30
15- 125
10-25
Jaring Arad
0.5-2
30
100-200
10-60
10-25
Bubu
I -20
5- 10
5-250
5- 150
5-25
Rawe
10-25
25-35
10-225
5-75
5-25
Sudu
0.5-2
2-5
5-20
5-20
5-20
5- 10
5- 10
5-40
5-50
5-30
Jaring Dogol Jaring Rajungan Bondet
Sudu Perahu Sumber : Nuraini (2004)
Perikanan tambak memainkan pula peranan yang penting dalam perekonomian masyarakat pesisir. Berdasarkan laporan Hasil Penelitian Potensi Sumberdaya Pesisir Kabupaten Serang Tahun 2003 luasan tambak di Kabupaten Serang mencapai 8.050,45 Ha seperti tertera pada Tabel 14. Produksi perikanan tambak meliputi ikan bandeng, mujair, udang windu, udang putih, dan udang apai-api.
Jumlah rumah tangga petani tambak pada 4 Kecamatan
mencapai I 145 orang dan Iuas tambak mencapai 5.462,37 Ha seperti tertera pada Tabel 15.
63 Tabel 14 Luas Tambak Menurut Kecamatan Kecamatan
Luas Tambak (Ha)
Bojonegara
157,22
Kasemen
988,14 656,6
Kramatwatu
2168,52
Pontang
19,22
Pulo Ampel Tanara
1797,67
Tirtayasa
2263,08
Jumlah
8050.45
Sumber : Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Serang (2003)
Tabel 15 Jumlah Rumah Tangga Petani Tambak dan Luas Areal tambak di Kabupaten Serang Jumlah Petani Luas Areal (Ha) Tambak Kasemen Banten 49 126.60 387.80 Sawah Luhur I44 340.50 Sukajaya 105 342.37 Pontang 60 Linduk 425.80 Wanayasa 70 104 522.90 Domas 105.00 36 Tirtayasa Alang-Alang 521.70 88 Lontar 107 447.90 Susukan 54.00 8 Sujung 748.00 71 Tengkur~k 240.40 52 Tanara Pedaleman I 1 I8.90 234 Tenjoayu 80.50 17 Tanara 5462.37 I 145 Jumlah ---------Sumber : Dinas Perikanan dan Kelautan Kelautan Kabupaten Serang. Kecamatan
Des a
--------~-------
--~
Deskripsi Wilayah Penelitian Keadaan Umum Kecamatan Tirtayasa dan Pontang Kecamatan Tirtayasa memiliki luas 64,46 Km 2 dan terdiri dari 14 desa. Kecamatan Tirtayasa berbatasan dengan Laut Jawa di sebelah utara, Kecamatan Tanara di sebelah timur, Kecamatan Pontang di scbelah barat dan selatan. Dari I 4 desa di
64 Kecamatan Tirtayasa, 6 desa memiliki wilayah wilayah pesisir/pantai, yaitu Desa Sujung,
Desa
Lontar,
Desa
Susukan,
Desa
Alang-Aiang,
Desa
Tengkurak,
danWargasara serta Pulo Panjang yang merupakan desa pulau. Penduduk Kecamatan Tirtayasa pada tahun 2002 berjumlah 39.226 jiwa, dengan komposisi jumlah wanita dan laki-laki adalah I 9.580 dan 19.646 jiwa, jumlah penduduk pada tiap desa tertera pada Tabel I6. Pada desa-desa yang terletak di wilayah pantai atau pesisir, sebagian besar penduduk bermata mata pencaharian sebagai nelayan, petambak, baku! (tengkulak) dan pada desa-desa lainnya. penduduk sebagian besar bermata pencaharian sebagai petani sa\vah. Komposisi penggunaan lahan untuk kegiatan perekonomiar di Kecamcttan Tirtayasa dan Pontang terdiri atas lahan persawahan, kebun, tegalan, dan tamoak, secara terperinci tertera pada Tabel I 7.
Sedangkan pemanfaatan lahan untuk aktivitas
perekonomian perekonomian pada 3 desa pengamatan di Tirtayasa tertera pada Tabel 18. Tabel I 6 Jumlah Penduduk Kecamatan Tirtayasa Jumlah Penduduk Wan ita Laki-Laki I587 I557 Tirtayasa 2132 20 I I Sujung 13 I 1 I389 Kebon 2561 2604 Lon tar 1780 1785 Susukan 1195 I I68 Pontang Legon I259 Kemanisan I333 928 Kebuyutan 943 I295 Samparwadi I308 I 109 Puser I213 1049 1072 Laban 1160 Alang-Aiang I 178 I229 Tengkurak I259 457 509 Wargasara I8874 I9507 Jumlah Sumber : Kantor Kecamatan Tirtayasa Desa
KK 787 1035 758 1932 891 590 648 467 650 580 530 648 622 245 I0383
Tabe1 17 Luas Penggunaan Laban di Kecamatan Tirtayasa dan Pontang (Ha) Kecamatan Pennukiman Sawah Kebun Semak Tambak Jumlah Pontang 314.79 5152.99 43.97 0 2168.52 7680.27 Tirtayasa 235.88 2989.08 357.14 76.26 2263.08 5921.44 Sumber: Laporan Pene1itian Survey Pemetaan Sumberdaya Pesisir Kabupaten Seang 2002
65 Tabel I 8 Pemanfaatan Lahan di Kecamatan Tirtayasa pada Desa-Desa Pengamatan Luas Luas Des a Persawahan Tambak (Ha) (Ha) Lon tar 199 223 Susukan 232 480 Tengkurak 30 553 Sumber: Kantor Kecamatan Tirtayasa
Lain-Lain (Ha)
Jumlah (Ha)
555 790 598
133 78 15
Sarana dan Fasilitas Kesehatan di Kecamatan Tirtayasa terdiri dari sebuah Puskesmas yang terletak di ibukota kccamatan, polindes dengan satu orang bidan desa pada tiap desa. Sedangkan sarana dan fasilitas pendidikan berupa lembaga pcndidikan dasar dari tingkat sekolah dasar hingga SMA, serta pesantren. Tingkat pendidikan di Kecamatan Tirtayasa khususnya pada 3 desa pengamatan relatif rendah seperti tertera pada Tabel I 9. Tabel 19 Jumlah Lulusan tiap Jenjang Pendidikan di Kecamatan Tirtayasa SLTA SO SLTP Desa 122 Lontar 900 250 40 Tengkurak 924 102 95 Susukan 300 140 Sumber: Bappeda Kabupaten Serang (2003)
Akademi 12
3
Univ. 6 9
25
7
Desa Lontar sebelah utara berbatasan dengan Laut Jawa, sebelah selatan dengan Desa Alang-Aiang, Sebelah barat dengan Desa Susukan, dan sebelah timur dengan Desa Tengkurak.
Desa Lontar yang terdiri dari 1932 KK, sebagian besar penduduknya
bermata pencaharian sebagai nelayan.
Selain nelayan, mata pencaharian utama yang
lain adalah baku! (tengkulak), dimana hubungan antara baku! dengan nelayan sudah terjalin erat dan melembaga. Baku! ini terdiri dari baku! pertama yang membeli hasil tangkapan langsung dari nelayan, baku! kedua, yang membeli hasil tangkapan dari baku! pertama, dan baku! besar atau baku! pengumpul. Terdapat pula baku! besar yang membeli hasil tangkapan langsung dari nelayan dalam jumlah yang besar terutama untuk hasil tangkapan rajungan. Para baku! ini terdiri dari baku! yang memiliki kapal maupun baku! yang tidak memiliki kapal.
66 Nelayan yang ada di Desa Lontar terdiri dari nelayan yang memiliki perahu, nelayan tanpa perahu, nelayan jaring lempar, pengumpul kerang-kerangan. Jenis-jenis tangkapan yang dihasilkan para nelayau sangat tinggi, terdiri dari berbagai jenis ikan pelagis seperti tenggiri, tongkol, selar, layar, dan lain-lain, udang, rajungan, berbagai jenis kerang-kerangan, benih kerapu.
Kegiatan pengumpulan kerang-kerangan yang
pada umumnya dilakukan oleh para wanita istri nelayan. Kegiatan perikanan tambak terdapat pula di Desa Lontar dengan luas tambak seoe~:1r
285 Ha, dimana komoditas yang dihasilkan dari tambak ini adalah ikan mujair
dan bandeng.
Seperti halnya nelayan tangkap, nelayan tambak memasarkan panen
tambaknya kepada para bakul. Selain ikan mujair dan bandeng, petambak memanen pula udang alam (udang api) yang masuk ke tambak melalui saluran air masuk dari laut. Selain petani, baku! dan petambak, mata pencaharian lain yang cukup dominan adalah warung dan ojeg. Perekonomian di Desa Lontar digerakkan pula oleh banyaknya TKW yang bekeija di Iuar negeri, dimana pada saat-saat musim paceklik, peran TKW ini cukup berarti untuk menopang perekonomian keluarga. Peran TKW yang cukup menonjol ini terlihat pada bangunan fisik rumah yang tergolong baik. Desa Lontar dengan panjang pantai kurang lebih 6 Km, memiliki komunitas mangrove (jenis api-api) yang sudah rusak dan saat ini memiliki komunitas mangrove yang tidak berarti. Pantai di Desa Lontar adalah pantai berpasir dimana pada pantai ini pula terdapat komunitas nelayan cengan pemukiman yang terletak di pinggir pantai. Pantai di Desa lontar menjadi kawasan wisata lokal, baik untuk masyarakat Desa Lontar sendiri maupun desa-desa lain di Kecamatan Tirtayasa. Sarana dan fasilitas kesehatan yang terdapat di Desa lontar adalah sebuah polindes dengan satu orang b1dan desa. Sedangkan dan sarana pendidikan yang ada di Lont....r berupa 1 buah lembaga pendidikan TK, 3 buah setingkat SD, dan 1 buah Madrasah Tsanawiyah. Desa Susukan dengan luas 7.90 Km 2, wilayahnya terdiri dari areal persawahan, tambak, dan pemukiman. Sebagian besar penduduknya bermata pencaharian sebagai nelayan dan petambak. Nelayan di .Desa Susukan sebagian besar merupakan nelayan jaring rajungan. Di Desa susukan terdapat 2 orang pengusaha atau baku! besar yang menampung rajungan tangkapan nelayan untuk kemudian dijadikan komoditas rajungan kaleng.
Desa Tengkurak dengan luas wilayah 5.98 Km
2
67 sebagian besar wilayahnya
merupakan lahan tambak, sebagian kecil persawahan. Dari luas lahan tambak tersebut, terlihat bahwa mata pencaharian utama IT'1syarakat Desa Tengkurak adalah petambak, disusul nelayan. Jumlah nelayan di Desa Tengkurak berkisar 300- 350 KK. Di Desa Tengkurak terdapat I buah TPI yang beroperasi darijam 08.00-13.00 Kecamatan Pontang memiliki luas 76.80 Km 2 dan terdiri dari 15 desa. Dari 15 desa di Kecamatan Pontang, 4 desa memiliki wilayah pesisir/pantai, yaitu Desa Domas, Lin
P~ntang
pada tahun 2003 berjumlah 50.373 jiwa yang
terdiri dari 11.275 KK, dengan komposisi jumlah wanita dan laki-laki adalah 26.992 dan 23.381 jiwa, jumlah penduduk pada tiap desa pengamatan tertera pada Tabe120. Fasilitas dan sarana kesehatan di Kecamatan Pontang berupa I puskesmas rawat inap dengan 2 orang tenaga dokter beserta tenaga perawat dan bidan dan terdapat polindes atau pos klinik KB pada tiap desa dengan satu orang bidan desa. Sedangkan sarana dan fasilitas pendidikan terdiri dari I 6 unit Sekolah Dasar Negeri dan I 9 Sekolah Dasar Inpres yang tersebar di seluruh desa, I buah SMP Negeri, 3 buah SMP swasta, dan I buah SMA Negeri. Tabel 20 Komposisi Penduduk di Desa-Desa Pengamatan di Kecamatan Pont:Lng Jumlah Penduduk Wanita Laki-Laki Domas 2246 2269 Sukajaya 2046 20I6 Kubang Puj i 2234 1883 Linduk 2136 2047 Sumber : Bappeda Kabupaten Serang (2003)
Des a
KK 861 747 920 IOI2
Adapun tingkat pendidikan penduduk pada desa-desa pengamatan di Kecamatan Pontang berdasarkan jenjang pendidikan pendidikan tertera pada Tabel 21 berikut.
68 Tabel 21 Tingkat Pendidikan penduduk di Kecamatan Pontang
so Des a SLTP SLTA 746 432 77 Domas Kubang Puji 500 375 I 75 1455 362 2I2 Sukajaya Linduk 850 450 450 Sumber: Bappeda Kabupaten Serang (2003)
Akademi
Univ II
35
I5 40
Lahan Desa Domas didominasi oleh areal pertambakan (600 Ha) dan sedikit areal persawahan irigasi (58 Ha). Sebagian besar masyarakat Domas bermata pencaharian sebagai petambak dengan hasil produksi berupa ikan mujair, bandeng.
Lahan Desa
Linduk didominasi oleh lahan persawahan, dengan sawah irigasi teknis dan setengah teknis, serta sawah tadah hujan. Terdapat pula lahan tambak seluas 275 Ha.
Lahan
Desa Sukajaya didominasi pula oleh persawahan, baik teknis, setengah teknis, maupun tadah hujan.
Areal tambak mencapai I 00 Ha.
karakteristik yang sama dengan Desa Linduk.
Nelayan Desa Sukajaya memiliki
Lahan Desa Kubang Puji didominas1
oleh areal persawahan setengan teknis. Secara umum kegiatan perikanan tangkap di keempat desa tersebut dilakukan di perairan Iaut pontang, dengan area tangkapan antara I - 3 mil laut. Nelayan melakukan aktivitas penangkapan ikan setiap hari dan hasil tangkapan dijual kepada bakul. Sarna halnya dengan nelayan di Kecamatan Tirtayasa, nelayan di kecamatan Pontang terdiri dari nelayan tanpa perahu, nelayan yang memiliki perahu, dan nelayan jaring lempar.
Karakteristik Perikanan Tangkap dan Budidaya di Wilayah Penelitian Armada
Penangkapan,
Alat
Tangkap,
dan
Operasi
Penangkapan.
Berdasarkan hasil pengamatan dan wawancara, kapal yang digunakan oleh nelayan di Kecamatan Pontang dan Tirtayasa berupa kapal kayu dengan ukuran Iebar perahu antara I .5- 2.5 m, panjang perahu antara 5-9 m, dengan kapasitas antara 2- 3 GT. Perahu ini dilengkapi dengan mesin (motor tempel) dengan kekuatan 3-25 PK. Pada umumnya kapal-kapal atau perahu yang dimiliki nelayan merupakan milik pribadi yang dibeli dengan modal sendiri atau meminjam.
Pada umumnya nelayan
mengakui bel urn ada atau tidak pemah memanfaatkan fasilitas pinjaman atau kredit dari lembaga keuangan formal dalam permodalannya.
Modal yang diperlukan nelayan
untuk satu unit kapal (ukuran 2 x 8 m) dengan mesin ( 10 PK) serta I unit (6 pis) jaring
udang dan I unit jari11g ram pus, mencapai Rp. I9 juta pada tahun 2003.
69 Nelayan
menyatakan, bahwa selama 1.5-2 tahun modal tersebut sudah tertutupi. Alat tang;.;:ap yang digunakan para nelayan di Kecamatan Pontang adalah jaring lingkar, jaring klitik, jaring udang, jaring bondet, bubu, sudu, dan jaring rajungan .. Sedangkan di Kecamatan Tirtayasa, alat tangkap yang digunakan adalah jaring rampus, jaring udang, jaring rajungan, sero, jaring bondet, jaring tegur, bubu, jaring klitik, jaring arad, jaring !,rrandong, yonbun, sudu. Alat-alat tangkap tersebut dioperasikan dengan kapal, selain itu, terdapat pula alat tangkap berupa jala/jaring lempar yang biasanya dioperasikan oleh nelayan-nelayan pencari udang dan ikan di pinggir pantai ketika air surut. Tabel22 Jumlah Kapal dan Nelayan di Desa-Desa Pengamatan di Kecamatan Pontang Alat Tangkap
Pontang kapal
Domas
nelayan
Jr. Klitik Jr. Lingkar Jr. Udang Jr. Bondet Bubu Sudu Jr. Rajungan Jr Rampus Jumlah
Wanayasa
Kubang Puji
kapal
nelayan
kapal
nelayan
2
10
7 4
35 20
5
Sukajaya
kapal
Nelayan
kapal
nelayan
34 4 14
204 20 28
20*
100*
20
100
5 6
I
5
3
16
12
60
16
64
68
316
Sumber: Hasil survey Dinas Perikanan Kab. Serang tahun 2004 (belum dipublikasikan) *·berdasarkan wawancara dengan masyarakat
Wilayah penangkapan nelayan-nelayan di Kecamatan Pontang dan Tirtayasa pada umumnya berkisar 1-3 mil. Aktivitas penangkapan dilakukan dengan "one-day
fishing". Namun adakalanya pada musim rajungan atau puncak musim ikan, wilayah tangkapan ikan nelayan mencapai wilayah perairan Lampung. Penangkapan dilakukan pula di wilayah perairan dekat pantai yang dilakukan ketika air surut. Aktivitas ini dilakukan tanpa menggunakan perahu, dengan menggunakan jaring/jala Iempar, garuk, ataupun tangan dengan cara "menggaruk" dasar perairan untuk mencari kerangkerangan. Musim dan Basil Tangkapan. Musim ikan terjadi 2 kali dalam setahun, baik pada musim barat maupun musim timur, dan mencapai puncak menjelang musim hujan
70 pada bulan Juni- Oktober. Sedangkan musim udang terjadi 2 kali setahun, yaitu pada musim barat dan timur, mengalami puncak musim selama 3 bulan dalam I tahun. Pada saat musim udang, nelayan menangkap udang 3 hari dalam 1 minggu. Menurut salah seorang nelayan, bulan Februari-Maret-April dimana terjadi musim timur merupakan puncak musim kerapu.
Menurut para nelayan, diantara komoditas udang, ikan,
rajungan, dan kerang-kerangan, rajungan dan kerang-kerangan tidak mengenal musim.
Tabel23 Jumlah Kapal dan nelayan di Desa-Desa Pengamatan di Kecamatan Tirtayasa
kapal
nclavan
ll\
72
Jr. Udang Jr. Bonde\ Bubu Scro Jr. Rajungan Jr Rampus Jr. Tcgur Yonbun Jr. Klitik Jumlah
Tcngkurak
Lon tar
Susukan
Alat Tangkap
kapal
nclavan
kapal
Nclayan
17
102
22
110
14
70
4
15 50
3 10
32
141
265*
1200*
53
282
Sumber : Hasil survey Dinas Perikanan Kab. Serang tahun 2004 * Hasil pengamatan
Hasil tangkapan nelayan berupa udang-udangan (udang jerbung, udang kipas, udang peci, udang belalang atau cackrick), rajungan, kerang-kerangan seperti kerang darah, kerang tahu (kepah), kerang bulu, tiram, "menyeng ", "bladed", keong-keongan seperti keong macan, berbagai jenis ikan seperti ikan kuro, kuwe, tenggiri, bawal, kakap, kerapu, kembung, tongkol, selar, pari, belanak, teri, manyung, layur, tembang, sembilang, kedukang, bilis, cucut, kurisi, raja gantang, cumi, sotong, kerapu (kerapu lumpur, lodeg, macan, bebek, karet, bibit kerapu) dll. Rajungan merupakan salah satu hasil tangkapan yang dominan dari kedua nelayan di 2 kecamatan tersebut.
Di Desa
Lontar dan Susukan di Kecamatan Tirtayasa, terdapat bakul besar rajungan yang melakukan pengolahan daging rajungan, yang produksinya kemudian dipasarkan untuk ekspor. Rajungan ini ditangkap denganjaring rajungan maupun bubu. Berdasarkan wawancara dengan nelayan, rata-rata dalam setiap operasinya, setiap perahu memiliki biaya operasi sebesar 30- 35 ribu untuk jaring rajungan, 70 ribu untuk
7I jaring udang, 75 ribu untuk jaring ikan, 35 ribu untuk jaring bondet dengan hasil tangkapan (sebelum beroperasinya kapal keruk) I 0- 40 kg/trip untuk jaring udang, 50J50 kg/trip untuk jaring ram pus, I5- 50 kg/trip untuk jaring rajungan, I 00- 200 kg/trip
untuk jaring arad, 200 - 500/kg untuk jaring bondet.
Pada puncak musim udang,
tangkapan udang mampu mencapai I 00 - 200 kg/trip. Nelayan-nelayan yang mencari ikan di pinggir pantai dengan menggunakan jala lempar, menghasilkan 3 - 6 Kg udang/ikan tiap harinya, dan para pengumpul kerang dapat menghasilkan kerangkerangan 5 - I 0 Kg setiap hariya. Selain itu, dengan menggunakan sudu, diperoleh pula bibit kerapu. Sosial Ekonomi Masyarakat Nelayan.
Pada masyarakat nelayan di 2
Kecamatan tersebut, terdapat kelompok-kelompok yang dikategorikan sebagai : I. Nelayan Pemilik Kapal 2. Nelayan Buruh 3. Nelayanjala lempar, pengumpul kerang-kerangan 4. Bakul (tengkulak)
Nelayan pemilik kapal pada dalam statistik perikanan disebut sebagai Rumah Tangga Perikanan (RTP). Nelayan ini pada umumnya ikut dalam operasi penangkapan ikan dan pendapatan nelayan ini pada uml,liilnya dua kali Iebih besar daripada nelayan buruh. Nelayan buruh dalam statistik perikanan disebut sebagai P_umah Tangga Buruh Perikanan (RTBP). Dalam satu armada penangkapan, terdiri dari 5-6 orang nelayan, yang terdiri dari satu oraPg punggawa dan 4-5 orang anak buah kapal. Berdasarkan perhitungan, jumlah nelayan (nelayan pemilik kapal dan buruh) mencapai 2170 orang, sedangkan nelayan jaring
k~npar
dan para pengumpul kerang-kerangan diperkirakan
mencapai 50 orang. Bakul merupakan bagian yang tidak bisa dipisahkan dari kehidupan nelayan. Para nelayan menjual hasil tangkapannya kepada para bakul.
Setiap nelayan memiliki
hubungan yang tetap dengan bakul tertentu. Bakul ini ada yang memiliki perahu dan alat tangkap yang dijalankan oleh para nelayan. Seringkali para bakul menjadi lembaga yang memberikan pinjaman kepada para nelayan terutama pada musim paceklik. Bakul ini juga dapat dikelompokkan menjadi bakul pertama (bakul kecil) dan bakul kedua atau
72 bakul besar. Berdasarkan pengamatan, pada tempat-tempat dimana ikatan bakul dengan nelayan begitu kuat, tidak ada aktivitas pada TPI seperti di Desa Lontar.
Di Desa
Tengkurak, meskipun terdapat aktivitas TPI yang berlangsung setiap harinya dari pukul 08.00- 13.00, namun untuk komoditas kepiting, nelayan menjualnya kepada bakul. Pendapatan nelayan pemilik perahu berkisar antara Rp. 20.000 - I 00.000 setiap harinya, dengan rata-rata Rp. 43.000,-, nelayan buruh Rp. I 0.000- 100.000/hari dengan rata-rata Rp. 34.000,- dan bakul Rp. 10.000 -3.000.000,- dengan rata-rata Rp. 130.000 per hari. Bila sedang musim paceklik, nelayan mengaku masih memperoleh pendapatan antara 5.000 - 25.000 setiap harinya.
Nelayan jaring lempar setiap harinya dapat
memperoleh pendapatan antara 20.000 - 50.000 setiap harinya, be6itu pula
c~ngan
nelayan pengumpul kerang-kerangan. Berdasarkan data yang diperoleh dari para responden terlihat bahwa tingkat pendidikan nelayan relatif rendah. Dari I 0 I responden di 7 desa di Kecamatan Pontang dan Tirtayasa, 81 % responden hanya berpendidikan sekolah dasar, sebagian dari jumlah tersebut tidak sampai menamatkan pendidikan sekolah dasamya. Tampaknya, profesi sebagai nelayan merupakan pekerjaan yang bersifat turun menurun dan pekerjaan ini dianggap tidak memerlukan pendidikan yang cukup tinggi . .Karakteristik Perikanan Budidaya di Kecamatan Tirtayasa dan Pontang.
Perikanan tambak juga merupakan kegiatan perikanan yang penting di Kecamatan Tirtayasa dan Pontang. Komoditas yang dibudidayakan di tambak adalah udang windu, udang putih, bandeng dan mujair, selain itu pula, para petambak memanen udang alam setiap harinya. Udang alam ini masuk ke tambak-tambak melalui saluran air masuk. Berdasarkan Laporan Hasil Survey Rehabilitasi Saluran Tambak Rakyat di Kabupaten Serang (2003 ), Pada perikanan tambak ini, status kepemilikan lahan tambak terdiri dari Iahan yang dimiliki dengan cara beli, warisan, sewa, dan bagi hasil. Kepemilikan lahan di Kecamatan Pontang didominasi oleh Iahan yang dimiliki sebagai bagi hasil, sedangkan Kecamatan Tirtayasa didominasi oleh lahan yang dimiliki karena warisan. Berdasarkan hasil wawancara, harga Iahan tambak di 2 kecamatan ini berkisar antara Rp. 5.000- 6.000 I M2. Petani tambak di Kecamatan Pontang membudidayakan udang windu dan bandeng. Budidaya udang dilakukan di lahan-Iahan bekas sa wah yang relatif baru, dan
73 budidaya udang ini dilakukan dilakukan secara intensif Satu periode budidaya bandeng berlangsung selama 3-6 bulan yang dilakukan secara semi intensif Sedangkan periode budidaya udang windu berlangsung selama 4 bulan. Produktivitas tambak udang di Kecamatan ini antara 100 -- 470 Kg udang!Ha/musim, sedangkan produktivitas budidaya bandeng mencapai 26 - 300 Kg/Halmusim. Petani tambak di Kecamatan Tirtayasa membudidayakan bandeng dan mujair, yang dilakukan secara semi intensif dengan masa pemeliharaan selama 4-6 bulan dalam satu musim. Produktivitas tambak bandeng di kecamatan ini mencapai 47 kg-333 kg per Ha. Sejak tahun 200 I, sebagian besar petambak tidak Iagi membudidayakan udang. Menurut para petambak hal ini dikarenakan adanya penyakit yang belum bisa ditangani atau biaya penanganan penyakit yang mahal, selain itu, adanya limbah menyebabkan tingkat yang kematian yang tinggi pada udang-udang tambak. Pada saat pengamatan, tidak ada petambak di Ke(;amatan Tirtayasa yang membudidayakan udang.
Para
petambak menyatakan bahwa produksi pada tahun-tahun terakhir ini menurun dan ikan yang diproduksi berukuran kecil-kecil.
Karakteristik Responden Berdasarkan pengamatan dan wawancara yang dilakukan di 2 kecamatan yang meliputi 7 desa terhadap 10 I responden, diperoleh karakteristik sosial-ekonomi responden seperti tertera pada Tabel 24 . Responden berusia antara 17 - 65 tahun dan apabila dikelompokkan lagi berdasarkan kelompok umur, maka responden terbanyak memiliki kisaran umur di atas 40 tahun. Sebagin besar para petambak berada pada kelompok umur di atas 40 tahun ini, dan kelompok umur yang kurang dari 30 tahun sebagian besar adalah nelayan buruh. Dari sisi tingkat pendidikan, maka sebanyak 82 orang (81.2 %) berpendidikan SD (tamat dan tidak tamat), 13 orang (12.9 %) berpendidikan SLTP, dan 6 orang (5.9 %) berpendidikan SLT A. Dari 6 orang yang berpendidikan SLTA, hanya 2 orang yang
bermata pencaharian sebagai nelayan. Sebanyak 6 I orang dari I 0 I orang responden bermata pencaharian sebagai nelayan dan dari 6 I orang tersebut, I 7 orang (I 6. 8 %) merupakan nelayan yang memiliki perahu, dan 44 orang (43.6 %) merupakan nelayan buruh, 22 orang (21.8 %)
74 responden bennata pencaharian sebagai baku!, baik baku! ikan tambak maupun baku! ikan Iaut, 18 orang (I 7. 8 %) bennata pencaharian sebagai petambak.
Tabel 24 Karakteristik Responden di Wilayah Penelitian Pendidikan
Umur
Kec./Desa SD
SLTP
SLTA
5
2
Pekerjaan
Jum lah
31-40
> 40
H
IH
17
10
17
12
4
43
2
12
<
30
Nelayan Pemilik
Nelayan Buruh
Baku I
Petambak
Tirta~·asa
Lontar
36
Tcngkurak
II
2
5
5
3
5
2
Susukan
12
3
5
5
2
H
2
2
2
3
2
4
3
13
Pontang Domas Kubang Puji Sukaja~·a
Linduk Jumlah Prosentase
3
2
7
2
2
10 3
4 2
2 2
7
2
9
2
2
12
2
3
5 101
5 8
8
4
4
82
13
6
18
38
45
17
44
22
18
81,2
12,9
5,9
17,8
37,6
44,6
16,8
43,6
21,8
17,8
Sumber : Hasil Wawancara
HASIL DAN PEMBAHASAN
Profil Penambangan Pasir Laut Penambangan pasir laut oleh perusahaan swasta di wilayah Kabupaten Serang mulai beroperasi pada Bulan September 2003.
Penambangan ini dilakukan di wilayah
pera1ran Kecamatan Pontang dan Tirtayasa setelah memperoleh Surat Keputusan Menteri
Pertambangan
Eksploitasi.
Oalam
dan
~urat
Energi k~putusan
Tentang tersebut,
Pemberian perusahaan
Kuasa
Pertambangan
memperoleh
kuasa
pertambangan (KP) eksploitasi di wilayah Kabupaten Serang untuk jangka waktu I 7 tahun berturut-turut seluas 2437 Ha.
Oalam surat keputusan tersebut h.:rlampir
kewajiban pemegang kuasa pertambangan eksploitasi, diantaranya adalah kewajiban membayar iuran tetap dan iuran eksploitasi sesuai perundang-undangan, kewajiban menempatkan jaminan reklamasi sebelum melakukan kegiatan penambangan dan operasi, memberikan laporan secara rutin, dan melakukan pengawasan. Menteri
Pertambangan
dan
Energi
Tentang
Pemberian
Kuasa
Oengan SK Pertambangan
Pengangkutan dan Kuasa Pertambangan Penjualan, perusahaan yang memperoleh kuasa penambangan itu memperoleh Kuasa Pertambangan dan Pengangkutan dan Kuasa Pertambangan Penjualan untuk jangka waktu I 0 tahun.
Surat Keputusan Menteri
Pertarnbangan dan Energi ini diperoleh setelah perusahaan tersebut memperoleh persetuju~n
Andal, RKL, dan RPL dari Oepartemen Pc.rtambangan dan Energi
berdasarkan evaluasi Komisi Amdal Pusat OPE.
Surat persetujuan Andal tersebut
adalah Persetujuan Andal, RKL, RPL Kegiatan Pertambangan Pasir Urug di Oesa Lontar, Kecamatan Tirtayasa, Kabupaten Serang.
Oalam Jampiran surat persetujuan
Andal (Evaluasi Komisi Amdal Pusat POE), tercantum bahwa penambangan pasir urug dilakukan dengan menggunakan kapal hi sap jenis "cutter suction dredger" dengan kapasitas 500 M 3/jam.
Kapal tersebut mampu melakukan kegiatan menggali,
menghisap, memuat, dan mengangkut pasir dari lokasi tambang ke konsumen. Berdasarkan hasil eksplorasi, luas pePyebaran pasir mencapai 12.185.000 M2 dengan ketebalan pasir rata-rata 3.81 m. Cadangan terukur sebesar 28.647.316 M 3 dimana dari cadangan tersebut didapat cadangan tertambang sebesar 47.047.835 M 3 .
Target
produksi direncanakan sebesar 3.000.000
M 3/tahun,
76 sehingga diperkirakan umur
tam bang dapat bertahan selama J6 tahun. Melalui Surat Keputusan Bupati Kabupaten Serang Tentang Pemberian ljin Pertambangan Pasir Laut Lepas Pantai di Desa Lontar Kecamatan Tirtayasa, perusahaan kuasa penambangan memperoleh izin penambangan pasir laut "Lepas Pantai" di
\vii ayah Lontar, dengan luas areal 5 J03 Ha, dengan volume yang boleh digali sebesar 675.000 M 3, ketebalan sedimen 2 M, selama jangka waktu I tahun.
Dalam surat
keputusan itu, beberapa ketentuan-ketentuan yang harus dipenuhi perusahaan tersebut adalah kewajiban menyelesaikan dokumen Amdal, melakukan penambangan pasir laut dengan batas minimal 2 mil dan maksimal 4 mil dari garis pantai dengan pada kedalaman I 0 m dengan kemiringan lereng 0-10 %. Surat Keputusan Bupati tersebut didahului oleh Surat persetujuan Andal, RKL/RPL yang ditandatangani oleh Sekda Kabupaten Serang. Persetujuan Andal itu diberikan berdasarkan berita acara pembahasan tim penilai Amdal, UKL/UPL Kabupaten Serang terhadap dokumen Amdal perusahaan untuk digunakan sebagai acuan pengelolaan dan pemantauan lingkungan kegiatan pertambangan pasir laut/urug "lepas pantai" seluas 2.994 Ha yang berlokasi di \vilayah perairan laut Desa Pulo Panjang, Kecamatan Kasemen. Surat izin Bupati Kabupaten Serang diikuti dengan Surat Keputusan Kepala Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Serang tentang Izin Operasi Kapal Keruk/Kapal lsap Pertambangan.
lzin
itu diberikan
kepada kuasa
penambangan
untuk
mempergunakan kapal keruk dalam kegiatan penambangan pasir laut yang berlokasi di Desa Lontar, Kecamatar. Tirtayasa selama 12 bulan. Dalam Surat Keputusan Tersebut dilampirkan spesifikasi kapal keruk, yang memiliki dredging depth 30 m dan hopper
capacity 5000 M 3. Perusahaan kuasa penambangan melakukan kontrak dengan pihak lain untuk penyediaan dan pengadaan pasir laut untuk Proyek Bukit Golf Mediterania Pantai Indah Kapuk. Melalui kontrak tersebut, perusahaan kuasa penambangan mendapatkan perintah untuk melaksanakan pengurusan ijin-ijin yang diperlukan sehubungan dengan pengadaan pasir taut untuk Proyek Bukit Golf Mediterannia. Selain kegiatan penambangan pasir laut oleh perusahaan swasta, terdapat pula pengambilan pasir laut oleh penduduk yang dilakukan pada malam hari dan diangkut dengan menggunakan perahu, yang dilakukan di perairan pantai Tanjung Pontang dan
77 Brambang (Desa Lontar). Pengambilan pasir di pantai ini sudah berlangsung Jebih dari
5 tahun. Dalam setiap harinya, pasir yang berhasil diangkut mencapai 20 perahu, ·dan tiap perahu diperkirakan memiliki kapasitas angkut pasir sebesar 3-4 M 3. Berdasarkan hasil wawancara dengan penduduk yang mengambil pasir di pantai, pasir laut dijual dengan harga Rp.l80.000 - 250.000/perahu, dengan biaya operasional Rp. 25.000 30.000 per trip. Seiring dengan penambangan pas1r Jaut, dilakukan pula upaya pengembangan masyarakat
(community
devdonment)
yang
ditujukan
untuk
meningkatkan
kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan daya dan kapasitas nelayan dalam berproduksi maupun untuk memberikan kompensasi seiLa menanggulangi dam!1akdampak negatif dari penambangan pasir !aut. Melalui Dinas Perikanan dan Kelautan, pemerintah daerah akan berupaya untuk memberikan bantuan pada masyarakat nelayan agar memiliki armada penangkapan dengan kapasitas yang lebih besar, meningkatkan kemampuan nelayan, membangun dan mengaktifkan kembali TPI Lontar yang disertai dengan upaya untuk meningkatkan kedalaman alur pelayaran sehingga kapal-kapal nelayan dapat
berlabuh,
serta upaya-upaya lain yang mampu
meningkatkan
produktifitas dan kapabilitas nelayan, meskipun upaya-upaya ini belum direalisasikan. Melalui Dinas Pekerjaan Umum, untuk mengurangi dampak abrasi pantai ini, telah pula dibangun bangunan "pengedaman" di dekat muara di Desa Lontar. Sebagai konsekuensi atau kewajiban dari pihak pengusahaan pasir laut, seperti yang tercantum dalam Dokumen Andal maupun dokumen-dokumen kesepakatankesepakatan antara perusahaan dengan masyarakat, maka pihak perusahaan memiliki kewajiban: •
Membuat pengedaman atau pemecah gdombang yang dilakukan secara bertahap.
•
Pengerukan saluran air sungai yang dilakukan secara bertahap.
•
Pembuatan sumur bor sepuluh titik yang dilakukan dalam dua tahap
•
Pembangunan Tempat Pelelangan Jkan di Desa Lontar
•
Pengadaan air bersih/air minum yang dilakukan secara bertahap
•
Pemasangan rambu atau tanda pembatas dan penambangan pasir tidak boleh melebihi tanda batas tersebut.
78 Dari beberapa kegiatan tersebut, pihak pengusaha penambangan pasir laut telah memberikan dana community development untuk kegiatan : •
Pembuatan sumur bor sebanyak I 3 titik lengkap dengan pompa air dan bak penampungannya di tiap musholla di Desa Lontar dengan jumlah dana sekitar Rp.325.000.000,-
•
Penanaman mangrove di pantai Desa Lontar yang secara teknis dikelola oleh Kantor Lingkungan Hidup, dengan dana sekitar Rp. 115.000.000,-
•
Bantuan dana partisipasi masyarakat Desa Lontar sekitar Rp. 200.000.000,-
•
Bantuan dana masyarakat untuk Pulau Panjang sekitar Rp. 1.500.000,-/kapal, jumlah
kapal
mencapai
200
kapal,
sehingga
bantuan
~erjumlah
Rp.
300.000.000,•
Bantuan kepada nelayan yang mengalami kerusakan alat tangkap sekitar Rp. I 75.000.000,-.
Aspek Ekonomi Penambangan Pasir Laut Pasir laut sebagai sumberdaya alam tak dapat pulih atau sering juga disebut sumberdaya terhabiskan (depletable) adalah sumberdaya yang tidak memiliki kemampuan regenerasi secara biologis.
Selain itu, sumberdaya alam ini dibentuk
melalui proses geologi yang memerlukan waktu sangat lama untuk dapat dijadikan scbagai sumberdaya alam yang siap diolah atau siap ·pakai. Pengusaha pertambangan harus memutuskan kombinasi yang tepat dari berbagai faktor produksi untuk menentukan produksi yang optimal, dan harus memikirkan pula seberapa cepat stok sumberdaya hams diekstraksi dengan kendala stok yang terbatas (Fauzi, 2004 ). Dengan menggunakan model Horteling dengan struktur pasar kompetitif, maka akan diketahui ekstraksi yang optimal secara ekonomi, termasuk alur ekstraksi (Gambar 7) yang efisien dan berapa besar output optimal dari penambangan pasir laut. Perhitungan dengan model Hotteling ini menggunakan 2 skenario, yaitu skenario minimum dan skenario optimum. Berdasarkan Laporan Penelitian Potensi Sumberdaya Alam Pasir Laut Pantai Utara dan dampak Lingkungan Akibat Penambangan Pasir Laut (2005), diketahui bahwa cadangan pasir laut layak tambang di Kabupaten Serang mencapai 3. 7 milyar meter kubik.
Diketahui pula bahwa biaya ekstraksi pasir Iaut
79 mencapai Rp.35.000/M dan harga pasir laut yang diterima perusahaan mencapai Rp. 3
85.000,-/M3. Dengan asumsi bahwa tidak seluruh stok yang ada harus dihabiskan untuk menjaga keseimbangan ekologis, maka pada skenario minimum digunakan stok sebesar I milyar meter kubik, dan pada skenario optimum digunakan stok 2 milyar meter kubik. Periode ekstraksi pada kedua skenario mencapai I 5 tahun, artinya stok akan habis pada tahun ke-I5, dimulai dengan ekstraksi sebesar 472.8 juta meter kubik dan nilai optimal ekstraksi yang diperoleh sebesar 6. I 5 trilyun rupiah pada skenario minimum(Lampiran 2) dan pada skenario optimum dimulai dengan ekstraksi sebesar 928.7 juta meter kubik dan nilai optimal ekstraksi yang diperoleh mencapai 12.19 trilyun rupiah (Lampiran 2).
(#')-
~
150 +-~~~~~~~--~~~--~~----~--~~
!i
· ::, =
Gambar 6 Alur Ekstraksi Pasir Laut dengan Hotteling Rule
Aspek Ekonomi Makro Berdasarkan Iaporan yang diperoleh dari Dinas Perikanan dan Kelautan, dari Bulan September 2003 sampai Oktober 2004, produksi pasir laut oleh perusahaan swasta mencapai 2.194.103 M
3
.
Pemerintah daerah menerima pajak dari penambangan
pasir laut _ini sebesar Rp. 1000,-/M3 , dengan demikian penerimaan pemerintah daerah dari pajak ini telah mencapai Rp. 2.194.103.000 per tahun. Dengan PDRB Kabupaten Serang sebesar Rp. 8,94 trilyun per tahun, maka kontribusi sektor pertambangan pasir Iaut terhadap PDRB adalah sebesar 0,025 %, sedangkan proporsi penerimaan
pemerintah dari pajak pastr Iaut terhadap PAD sebesar
80 3,5%. Sedangkan dari
penambangan liar pemerintah sama sekali tidak mendapatkan penerimaan. Di bawah iP.i adalah tabel yang mP.nggambarkan makroekonomi tahunan dari penambangan pasir laut. Tabel 25 Figur Tahunan Makroekonomi Figur Tahunan Makroekonomi
Nilai
(M 3 )
Produksi pasir laut perusahaan 2.194.103 Harga yang diterima pemerintah (Rp/M 3 ) 1.000 Penerimaan pemerintah (Rp.) 2.194.103.000 PDRB Kabupaten Serang 8.941.194.000.000 Proporsi penerimaan pemerintah terhadap PAD(%) 3.547 Proporsi penerimaan pemerintah terhadap PDRB (%) 0.025 PAD 61.863.024.644.83 Sumber: Data diolah dan l.aporan Penelitian Potensi Sumherdaya Alam Pasir ].aut Pantai l"tara dan Dampak Lingkungan Akibat Penambanhr.m Pasir Laut (2005).
Aspek Ekonomi Mikro Dilihat dari aspek mikro perusahaan sendiri biaya yang dibutuhkan untuk mengekstraksi pasir laut adalah 35.000/M3 , sehingga dibutuhkan biaya sebesar 76. 793.605.000/tahun. Nilai pasir laut yang dihasilkan per tahun adalah sebesar Rp. I86.498.755.000, dengan demikian keuntungan kotor yang diperoleh perusahaan adalah Rp. I 09.705. I 50.000,- per tahun. Dengan PDRB sektor konstruksi sebesar Rp. 549.739.000.000,-, diperoleh proporsi nilai pasir terhadap PDRB sektor konstruksi sebesar 33.92 %. Hasil perhitungan biaya langsung real terhadap ekonomi (real direct
cost to economy) adalah sebesar Rp.549. 793.000.000,-. Tabel 26 adalah hasil perhitungan valuasi ekonomi mikro tahunan pasir Iaut. Tabel 26 Figur Tahunan Mikroekonomi Figur Tahunan Mikroekonomi
Nilai
Sumber : Data diolah dan Laporan Penelirian Potcnsi Sumberdaya Alam Pasir Laut Pantat l"tara dan Dampak l.ingkungan .\kibat J>enambangan Pasir I .aut (~!lOS).
81
Dampak Penambangan Pasir Laut Dampak Ekonomi Analisis dampak ekonomi penambangan pasir !aut ini dilakukan dengan data dan informasi terbaik yang ada. Beberapa asumsi penyederhanaan dipakai dalam studi ini untuk membuat analisis menjadi dapat dilacak. Namun demikian penyederhanaan dengan menggunakan asumsi-asumsi ini tidak meniadakan esensi penting dari penelitian ini. Analisis dampak ekonomi ini menggunakan skenario dengan aktivitas pertambangan pasir Iaut dan tanpa aktivitas pertambangan Iaut. Asumsi-asumsi yang digunakan adalah : I. Analisis dampak ekonomi studi ini berdasarkan nilai tahunan tetap (fixed annual
value3) dengan discount rate sebesar 8% (market discount rate). 2. Mengabaikan dampak nilai moneter ketidaknyamanan akibat pencemaran suara pada kegiatan ekstraksi pasir laut. 3. Mengabaikan gangguan yang ditimbulkan pada jalur pelayaran Iaut akibat kegiatan transportasi pasir laut. 4. Dengan keterbatasan waktu dan data series yang ada, maka untuk menghitung nilai ekonomi lingkungan maka digunakan pendekatan Back Of The h'nvelope (BOTE) dimana nilai yang ada di proxy dari hasil studi-studi yang sudah dilakukan sebelumnya. Selanjutnya dilakukan analisis proyeksi dampak ekonomi dengan menggunakan nilai hasil perhitungan ekonomi sebelumnya, yaitu
bahwa produksi tahunan dari
pertambangan pasir Iaut oleh perusahaan adalah 2.194.103 M 3, pemerintah daerah memperoleh pajak sebesar Rp.l.OOO per M~ pasir Iaut, sehingga memperoleh penerimaan sebesar Rp. 2.194.103.000,- per tahun.
Penerimaan ini memberikan
sumbangan sebesar 0.025 % terhadap PDRB dan 3.547 % terhadap PAD. Nilai pasir Iaut pada sektor konstruksi adalah Rp. 186.498.755.000, yang meretleksikan sekitar 33.92% dari output :;ektor konstruksi. Berikut ini adalah hasil analisis untuk 2 skenario. Jika kemudian diskenariokan pelarangan ekstraksi pasir !aut, maka beberapa skenario analisis dilakukan sebagai berikut:
82 I. Akibat adanya larangan penambangan pasir Iaut, maka perusahaan penambang pasir Iaut akan berusaha memenuhi kebutuhan permintaan pasir laut tersebut dari daerah lain. Kondisi ini akan menyebabkan adanya disparitas harga yang pada gilirannya akan menimbulkan jiJrgone benefit (kesempatan ekonomi yang hilang) bagi pemerintah daerah untuk memperoleh retribusi. 2. Dampak ekonomi terhadap pelarangan pasir laut ini kemudian dihitung berdasarkan kehilangan langsung terhadap kegiatan ekonomi serta dampak turunan lainnya yakni peningkatan biaya pada sektor konstruksi di daerah penerima khususnya. Berdasarkan perhitungan dengan data riil yang tersedia diperoleh hasil bahwa dampak pelarangan ekstraksi pasir laut akan menyebabkan kerugian ekonomi sekitar 78 milyar rupiah yang meliputi pula hilangnya rente ekonomi (pajak) yang semestinya diperoleh pemerintah daerah sebesar kurang lebih 2, I milyar rupiah. Jumlah kerugian total yang dialami akibat pelarangan pasir Iaut diperkirakan seuesar I 56 milyar rupiah per tahun. Nilai ini jika dihitung untuk jangka waktu yang panjang (15 tahun kedepan) akan setara dengan hampir 2 trilyun rupiah. Tabel 27 Dampak Terhadap Pelarangan Penambangan Pasir Keterangan
Niiai
Dampak (peningkatan biaya) pada sektor konstruksi (Rp.) Dampak terhadap ekonomi (Rp.) Total lost (Rp.) Discount rate (Rp.) Capitalized value (present value) (Rp.)
76.793.605.000 78.987.708.000 155.781.313.000 0,08 1.947.692.700.000
Sumber : Data diolah dan Laporan Penelitian Potensi Sumberdaya Alam Pasir Laut Pantai Ctara dan dampak Lingkungan Akibat Penambangan Pasir Laut (2005).
Jika dihitung dari potensi pasir Iaut yang diperkirakan sebesar 3,7 milyar meter kubik dengan potensi penerimaan pemerintah sebesar 3,7 trilyun rupiah, maka kehilangan pemerintah akibat skenario pelarangan ini memang relatif sangat kecil yakni sekitar 0.06%. Jika dilihat dari total nilai ekonomi yang hilang dibanding dengan potensi cadangan yang diperkirakan maka potensi ekonomi yang hilang ini diperkirakan sebesar 0.63 %.
Dengan demikian dari sisi perspektif ekonomi finansial, kerugian
ekonomi dalam skenario pelarangan ekspor memang sangat kecil dibanding dengan potensi ekonomi yang mungkin dihasilkan.
83 Selain dampak ekonomi yang telah dihitung dan dianalisis sebelumnya, salah satu dampak yang dikeluhkan oleh stakeholders akibat penambangan pastr laut adalah kekhawatiran atas berubahnya kesejahteraan nelayan setempat yang merupakan pemanfaat sumberdaya penambangan.
perikanan yang berada
pada wilayah-wilayah
sekitar
Penambangan pasir laut dapat menimbulkan ekstemalitas (dampak)
yang bisa saja bersifat welfare enhanching (meningkatkan kesejahteraan) maupun
we(lare reducing (mengurangi kesejahteraan). Dampak yang paling dipermasalahkan akibat penambangan pasir laut adalah yang bersifat we(lare reducing.
Seberapa
besamya perubahan kesejahteraan yang bersifat wefare reducing terhadap para nelayan, dihitung dengan mengukur perubahan surplus produsen (nelayan). Fauzi (2004) mendefinisikan surplus produsen sebagai pembayaran yang paling minimum yang bisa diterima oleh produsen dikurangi dengan biaya untuk memproduksi komoditas. Surplus produsen dapat juga dianggap sebagai surplus yang bisa diperoleh oleh pemilik sumberdaya atau asset yang produktif pada saat pendapatan dari sumberdaya melebihi biaya pemanfaatannya. Dalam kasus perikanan, surplus produsen merupakan surplus yang diterima oleh nelayan atas ekstraksi sumberdaya ikan. Dalam pengukuran dampak kesejahteraan, surplus produsen sering tidak diukur berdasarkan ukuran absolut, namun lebih didasarkan pada pengukuran relatif Artinya, indikator kesejahteraan dari stakeholder lebih sering diukur berdasarkan perubahan dalam surplus produsen. Dalam kasus perikanan, misalnya perubahan surplus !Jrodusen bisa diukur akibat adanya perubahan hasil tangkap akibat perubahan lingkungan, sehingga nilai perubahan surplus tersebut akan menggambarkan nilai kerusakan lingkungan yang diderita oleh pelaku. Secara matematis, surplus produSP'l dapat digambarkan dari perubahan luasan biaya marjinal atau: .ro
f
PS = Poxo- MC(x)d.x 0
dimana MC (x) merupakan biaya marj inal atas ekstraksi sumber daya perikanan (x). Secara diagramatik perubahan surplus produsen tersebut dapat dilihat pada Gambar 8. Kurva MCo merupr.kan kurva biaya marjinal pada keadaan sebelum penambangan dan
84 kurva M( :1 merupakan kurva biaya marjinal setelah penambangan. Perubahan surplus produsen merupakan luasan area sebesar L1 PS.
Biaya, Ilarga (Rp)
DPS
output
0 Gambar 7 Perubahan Surplus Produsen
Dampak perubahan surplus produsen akibat penambangan pasir laut di daerah penelitian dihitung berdasarkan data primer dan data sekunder untuk perikanan di wilayah yang terkena penambangan pasir !aut.
Data sekunder terlebih dahulu
didisagregasi untuk memisahkan alat tangkap yang beroperasi di daerah penambangan pasir laut dengan alat tangkap yang beroperasi di luar daerah penambangan pasir laut. Perhitungan surplus produsen didasarkan pada produksi perikanan untuk komoditas atau alat tangkap dominan serta diperkirakan mengalami perubahan produksi karena adanya penambangan pasir laut, yaitu rajungan, ikan, dan udang.
Analisis terhadap
produktivitas alat tangkap dilakukan terhadap jaring rajungan, bubu, jaring bondet, jaring udang, jaring ram pus. Komponen-komponen untuk menghitung surplus produsen ini adalah: I. Hasil tangkapan (rata-rata) per trip (Kg/Trip) 2. Jumlah armada penangkapan 3. Harga komoditas perikanan (Rp/Kg). 4. Jumlah hari melaut 5. Biaya operasional per trip (Rp/Trip); biaya bahan bakar, perbekalan.
85 Berdasarkan data primer dan sekunder, maka diperoleh surplus untuk rajungan, ikan, dan udang pada kondisi sebelum penambangan dan pada saat penambangan seperti tertera pada tabel 28. Tabel 28 Dampak Penambangan Terhadap Perubahan Surplus Produsen (Rupiah) Komoditi
Sebelum penambangan
Rajungan Udang Ikan
6.995.430.000 I 0.971.000.000 16.085.550.000
34.051.980.000 Jumlah Sumber : Data diolah
Fase Penambangan
Perubahan Surplus
1.424.280.000 16.414.710.000
5.571.150.000 10.971.000.000 (329.160.000)
17.838.990.000
16.212.990.000
Surplus produsen untuk rajungan pada keadaan sebelum penambangan sebesar Rp. 6.995.430.000,-, sedangkan surplus produsen pada saat penambangan sebesar Rp. 1.424.280.000,-
sehingga
terjadi
perubahan
(penurunan)
surplus
sebesar Rp.
5.571.150.000,-. Surplus produse:1 untuk udang pada keadaan sebelum penambangan adalah Rp. 10.971.000.000,- dan sedangkan pada fase penambangan tidak memperoleh surplus sehingga terjadi perubahan (penurunan) surplus sebesar Rp. 10.971.000.000,-. Surplus produsen untuk ikan pada keadaan sebelum penambangan sebesar Rp. 16.085.550.000,- dan surplus pada saat penambangan sebesar Rp. 16.414.710.000,sehingga terjadi perubahan (peningkatan) surplus sebesar Rp. 329.160.000,-.
Secara
keseluruhan, teijadi perubahan (penurunan) surplus sebesar 16.212.990.000,-. Bila dibandingkan nilai perubahan surplus terhadap nilai ekonomi pasir !aut sdiap tahunnya, maka besamya perubahan surplus tersebut mencapai 14.8% dari nilai pasir Iaut, suatu nilai yang sangat besar bagi nelayan kecil. Namun demikian sebenamya sangat sulit untuk menentukan, apakah perubahan surplus ini semata mata karena penambangan pasir !aut. Apabila dilihat perubahan surplus yang terjadi, maka udang mengalami perubahan surplus yang terbesar, disusul kemudian dengan rajungan, sebaliknya ikan mengalami sedikit peningkatan surplus. Beberapa nelayan menyatakan bahwa sepanjang tahun 2004 merupakan periode paceklik yang panjang.
Sebagian
besar nelayan menyatakan bahwa telah terjadi penurunan produksi sejak beberapa tahun terakhir, namun penurunan produksi tersebut dianggap penurunan yang wajar akibat fluktuasi musiman.
86 Sebenamya sulit untuk menentukan apakah penurunan surplus ini semata-mata disebabkan oleh penambangan pasir Iaut. Berdasarkan data produksi perikanan, baik produksi perikanan Kabupaten Serang maupun Kecamatan Tirtaya::a sejak tahun 1998 hingga 2003, terdapat kecenderungan menurunnya produksi perikanan seperti tertera pada Gambar 9 dan 10.
Gambar 8 Surplus Produsen Sebelum dan Setelah Penambangan (Juta Rupiah)
2002
2003
Garnbar 9 Produksi Perikanan Kabupaten Serang 1998-2003 (Ton)
87
Gambar 10 Produksi Perikanan Kecamatan Tirtayasa 1998-2003 Dampak Lingkungan Kegiatan penambangan pasir laut yang memberikan pengaruh langsung terhadap kondisi lingkungan perairan adalah aktivitas penambangan pasir laut yang dilakukan dalam skala besar atau industri dengan volume produksi pasir laut yang besar pula dan penambangannya dilakukan terus-menerus pada kawasan yang sama dalam periode waktu tertentu. Paling tidak terdapat 3 (tiga) tahapan kegiatan penambangan pasir laut yang memberikan dampak langsung maupun tidak langsung terhadap kondisi kualitas lingkungan perairan, yaitu tahap penggalian (dredging), pemuatan, dan pengangkutan hasil galian (Kantor Lingkungan Hidup Kabupaten Serang, 2005). Dampak Langsung. Dampak langsung dari aktivitas penambangan pasir laut adalah penurunan kualitas air, dalam hal ini peningkatan kekeruhan dan kadar padatan tersuspensi (TSS; Total Suspended Solid), rusaknya wilayah pemijahan (spawning
ground) dan nursery ground Seperti diketahui bahwa ketika kapal pengeruk pasir melakukan aktivitas penggalian pasir dengan
menggunakan Suction Cutter Dredger, maka akan
menimbulkan turbulensi pada saat cutter menghancurkan endapan pasir yang ada di dasar perairan sehingga akan terjadi peningkatan kekeruhan air laut dan kadar TSS di dasar perairan tersebut. Walaupun ada sebagian partikel, terutama partikel-partikel hal us yang teta:p akan mengambang dan meningkatkan kekeruhan dan kadar TSS, akan tetapi peningkatan ini tidak sebesar yang terjadi di dasar perairan.
88 Peningkatan nilai kekeruhan dan kadar TSS di kolom dan permukaan perairan justru terjadi pada tahap pemuatan material galian yang dialirkan masuk ke dalam tongkang (hopper harger) dan pada tahap pengangkutan hasil galian. Pada
kegi~tan
pemuatan bahan galian, seluruh material yang dihisap oleh suction dredger yang terdiri dari pasir, lumpur, dan air akan terangkut. Material berat, yaitu pasir, akan mengendap pada bagian bawah tongkang, sedangkan lumpur dan air akan berada di permukaan tongkang dan kemudian melimpah kembali ke laut, baik ketika proses pemuatan masih berlang:>ung maupun selama proses pengangkutan bahan galian. Limpahan material gal ian tersebut akan menimbulkan dampak yang san gat besar terhadap kekeruhan dan kadar TSS.
Sedangkan penyebaran dampaknya akan sa.ngat terg<.ntung kepada
komposisi lumpur dan pola aliran air !aut pada saat operasi penaHtbangan pasir !aut ini dilakukan. Volume galian pasir !aut yang dihasilkan dari aktivitas penambangan pasir oleh perusahaan swasta pemegang KP di wilayah perairan Desa Lontar, Kecamatan Tirtayasa, Kabupaten Serang adalah 500M3 per jam atau 10.000 M3 per hari (asumsi operasional Suction Cutter Dredger adalah 20 jam per hari). Sedangkan material galian lain yang dibuang kembali ke perairan adalah 3.300 M 3 per hari, terdiri dari air laut 3.000 M 3/hari dan lumpur 300 M 3/hari. Bila dihitung, sudah seberapa besar volume limbah galian pasir (air !aut dan lumpur) yang dibuang ke perairan Desa Lontar Kecamatan Tirtayasa (Kantor Lingkungan Hidup Kabupaten Serang, 2005). Ketika proses penggalian pasir berlangsung, Suction Cutter Dredger akan menyedot apapun yang berada di bawahnya dengan kekuatan tinggi, termasuk jika di wilayah penyedotan pasir !aut tersebut terdapat wilayah pemijahan dan pembesaran ikan serta habitat hidup biota atau sumberdaya hayati !aut lainn) .1, seperti jasad renik (plankton, nekton), terumbu karang, dan padang lamun. Seluruh isi laut akan ditarik ke atas dan sesampainya di atas kemudian dipilah-pilah, pasimya akan diambil, sedangkan lumpur, air dan lainnya dibuang kembali ke laut. Bertebaranlah limbah pengerukan yang berisi lumpur dan jasad renik serta material lainnya yang ikut terhisap selama proses penggalian dan pemuatan berlangsung. Berbagai jasad renik yang ikut tersedot secara otomatis ikut menjadi penyebab munculnya bau busuk yang mengganggu. Kejadian ini terus berulang dan tidak memberikan waktu sedikitpun bagi !aut dan berbagai biota lainnya untuk bemafas di air yang jemih.
89 Dampak Tidak Langsung. Dampak tidak langsung/turunan dari kegiatan penambangan pasir laut adalah terganggunya keberlangsungan hidup sumber hayati !aut, seperti biota laut (ikan, udang), terumbu karang, lamun dan penurunan hasil tangkapan ikan.
Terganggunya keberlangsungan hidup sumberhayati )aut tersebut
terjadi melalui mekanisme peningkatan kekeruhan air dan kadar TSS. Perairan dengan tingkat kekeruhan dan kadar TSS yang tinggi akan sangat mengganggu keberlangsungan hidup biota !aut, seperti ikan dan udang.
Kondisi
pcrairan dengan kekeruhan dan kadar TSS yang tinggi akan mengg&aggu ikan dan biota !aut lainnya dalam proses bernafas karena butiran-butiran pasir
yan~
teraduk tersebut
dapat menutupi organ pernafasan ikan yaitu insang. Kondisi ini dapat berakibat pada : (I) kematian ikan karena kesulitan dalam bernafas; dan (2) perpindahan atau mit,Tfasi besar-besaran ikan, udang dan biota laut lain menuju tempat dengan kondisi lingkungan pera1ran yang lebih bersih, lebih sehat dan tidak mengganggu keberlangsungan hidupnya. Tingkat kekeruhan dan kadar TSS perairan yang tinggi juga dapat mengganggu keberlangsungan hidup sumberdaya hayati laut lain, seperti terumbu karang. Tingginya tingkat kekeruhan dan kadar TSS dalam perairan dapat menyebabkan terhambatnya pertumbuhan karang yang ada. Kekeruhan dan kadar TSS perairan yang tinggi akan mengurangi penetrasi atau daya tembus sinar matahari masuk ke dalam perairan, sehingga sinar matahari yang menembus perairan lemah atau kurang optimal. Hal ini berdampak pada kesulitan karang untuk melakukan aktivitas fotosintesis sehingga pertumbuhan karang menjadi terhambat. Penurunan hasil tangkapan ikan Juga dapat dijelaskan melalui mekanisme kekeruhan air. Air yang meningkat kekeruhan dan kadar TSS-nya akan mengurangi atau bahkan menghambat penetrasi cahaya matahai ke dalam kolom air, padahal suplai cahaya matahari yang optimal merupakan hal yang sangat penting bagi proses fotosintesis plankton. Proses fotosintesis yang terganggu ini dapat mengganggu keseimbangan rantai makanan secara umum. Kondisi ini dapat menyebabkan rusaknya ekosistem fitoplankton yang tidak akan bisa tumbuh karena cahaya matahari yang masuk ke dalam perairan terhalang (tidak optimal). Kondisi ini akan menimbulkan efek berantai, yaitu akan mengakibatkan zooplanton tidak tumbuh dan berkembang. Jasad
90 rcnik, seperti fitoplankton dan zooplankton yang mati dalam jiJmlah yang besar dapat mencemari perairan dan menimbulkan bau busuk yang sangat menyengat. Dalam kondisi perairan yang sedemikian rupa,
J_,~rtanyaan
yang muncul, adakah
kchidupan yang mampu bertahan didalamnya. Dalam kondisi seperti ini, kematian ikan (bahkan bisa kematian massal) siap menghadang atau pilihan paling aman bagi ikan dan biota laut lainnya adalah melakukan migrasi atau hijrah atau pindah ke wilayah perairan lain yang lcbih bersih dan sehat bagi keberlangsungan hidup mereka. Dengan adanya migrasi ikan
be~ar-besaran
ke wilayah perairan lain, menyebabkan populasi ikan di
wilayah perairan sekitar lokasi penambangan pasir (seperti perairan Desa Lontar) mcnjadi menurun dan mengak!batkan turunnya hasit tangkapan ikan !")ara nelayan. Tidak dapat dipungkiri bahwa rusaknya kualitas lingkungan perairan (peningkatan kekeruhan dan kadar TSS yang tinggi) di sekitar lokasi penambangan pasir laut skala besar yang berlangsung secara terus menerus dalam periode waktu yang cukup lama dapat memberikan dampak negatif yang cukup signifikan bagi kesejahteraan masyarakat nelayan (penurunan hasil tangkapan ikan), khususnya nelayan tradisional yang masih menggantungkan hasil tangkapan pada alat tangkap yang sederhana dan jangkauan operasi penangkapan yang relatif dekat dekat. Sebagai gambaran kondisi kualitas perairan di sekitar wilayah penambangan, disajikan data hasil pengukuran beberapa parameter kualitas air di sekitar lokasi penambangan (Tabel 29).
Abrasi. Dampak lain yang dikhawatirkan akan muncul akibat penambangan pasir laut adalah abrasi. Abrasi adalah berkurangnya daratan yang berbatasan dengan laut akibat kegiatan air laut, ombak dan arus. Adanya abrasi merupakan akibat langsung oleh proses alam. Keadaan iklim dan litologi di wilayah pantai sangat berperan dalam proses pengerosian. Lempung yang bersifat lunak dan pasir lepas yang mudah luruh oleh arus dan gelombang laut dapat menerpa secara Iangsung. Kegiatan manusia dalam pemanfaatan Iahan pantai yang mengakibatkan habisnya tumbuhan pelindung pantai merupakan salah satu faktor dalam mempercepat atau memperbesar akibat yang di timbulkan oleh proses alam tersebut. Sangat beralasan munculnya kekhawatiran akan semakin kuatnya abras; karena adanya penambangan pasir !aut.
Dari sisi teoritis. salah satu fungsi pasir laut yang
91 tcrdapat di dasar perairan adalah meredam energi gelombang sebelum menghempas ke pantaJ.
Bila dasar perairan dikeruk, dasar perairan akan lebih dalam atau lereng
dasarnya lebih curam. Akibatnya adalah tingkat energi gelombang yang menghempas ke pantai akan lebih tinggi karena peredaman oleh dasar perairan berkurang. Hal ini berdampak pada makin intensifnya proses abrasi/erosi pantai (Purba 2003). Namun demikian, berdasarkan hasil studi terhadap perubahan-perubahan gans pantai yang terjadi di daratan pantai Banten Utara, dengan membandingkan kondisi garis pantai dari peta topografi pada tahun 1942 clengan kondisi garis pantai hasil peta topograti tahun 1962 dan tahun 2002 serta dari interpretasi Citra Landsat pada tahun 2002 (terdapat tenggang waktu selama kurang lebih 42 tahun\ menunjukkJ.n adar.ya
proses abrasi dan akresi yang te1ah berlangsung selama periode tersebut (Kantor Lingkungan Hidup Kabupaten Serang 2005 ). Akresi adalah bertambahnya daratan yang berbatasan dengan laut karena adanya proses pengendapan, baik oleh material endapan yang di bawa o1eh sungai maupun material endapan basil kegiatan air laut disekitamya. Bentuk akresi tersebut berupa delta dan pematang pantai dengan keadaan pesisir yang sangat landai.
Dengan kata lain, sulit menentukan seberapa besamya pengaruh
penambangan pasir laut terbadap abrasi. Proses abrasi ditentukan oleb banyak faktor seperti sifat fisika dan dinamika oseanografi, sebingga diperlukan penelitian tersendiri terkait dengan abrasi ini dengan data-data yang memiliki rentang waktu yang relatif panJang.
Dampak Sosial Dampak sosial yang sangat dominan, terutama yang terjadi di Desa Lontar adalah terjadinya konflik, baik konflik antara masyarakat dengan pemerintah daerah, konflik masyarakat dengan pihak pengusaha penambangan pasir !aut, maupun kontlik intern dalam masyarakat. Konflik antara masyarakat dengan pemerintah diwujudkan dalam bentuk demonstrasi yang menuntut dibentikannya penambangan pasir laut.
Secara
umum, aksi demonstrasi yang terdiri dari unsur masyarakat, LSM, dan mabasiswa menyatakan bahwa penambangan pasir laut sangat merugikan masyarakat berupa penurunan pendapatan nelayan terkait dengan menurunnya basil tangkapan, terjadinya kerusakan sarana produksi nelayan (alat-alat tangkap), terganggunya alur pelayaran
91
masyarakat. Dalam demonstrasi dinyatakan pula bahwa penambangan pasir laut hanya mcnguntungkan pemerintah daerah dan perusahaan. Tabcl 29
Hasil Pengukuran Beberapa Parameter Kualitas Air di Sekitar Lokasi Penambangan Pasir Laut. Lokasi Sampling
Parameter
I. Fisika I Wama 2 Bau 3 Kekeruhan
4 TSS 5
TDS II. Kimia I pH
2 DO 3 BOD 5 4 COD
Satuan
TCC Alami NTL' mg;1 mg.'l
mg!l
Baku
Mutu
14/04/2004
2710412004
09/09/2004
5 AI ami 7,0 10 18300
9 AI ami 7,0
6-9 >5
8,23
8,29
6,90
X
X
6,55
30
30
0
30
310
0
0,001 0 0
0 0,003 0 0
496 0
0,005
0,004
Cr Val VI Nitrit Tembaga
8
NH3N
mg!l
9
H2 S
mgll
< 0,03
mg;1
Penambangan pasir P. Panjang
20 AI ami 94,3 140 18310
5 6 7
mgll mg!l mg/1
Penambangan pasir Desa Lontar
<50 Alami < 30 < 80
< 45 < 80 < 0,05 Nihil < 0,06 < 0,3
mg/1
PT. Jetstar dan sekitamya
3 12970
0
0 0 0,006
Keterangan: x = tidak dianalisa Sumber : Kantor Lingkungan Hidup Kabupaten Serang 2005
Konflik intern yang terjadi dalam masyarakat ditandai dengan adanya ketidakpercayaan antar anggota masyarakat.
Masyarakat tersegmentasi menjadi
kelompok yang dinilai pro dan kontra terhadap penambangan pasir laut. Kelompok yang berdemonstrasi dan melakukan aksi kekerasan dianggap kelompok yang kontra terhadap penambangan pasir Iaut.
Berdasarkan pengamatan serta we.wancara, sejak
awal masyarakat tidak menyetujui rencana penambangan pasir laut, dan tidak satupun masyarakat/nelayan yang diwawancarai menyetujui penambangan pasir laut. Kondisi yang sebenamya adalah masyarakat terdiri dari kelompok yang sangat reaksional dan emosional, serta masyarakat yang berfikir rasional untuk tidak melakukan aksi demonstrasi serta kekerasan. Kelompok yang lebih berfikir rasional menyatakan bahwa
93 melakukan demonstrasi serta aksi kekerasan hanya akan lebih merugikan mereka sendiri, lebih baik mereka tetap beraktifitas seperti biasa. Kontlik antar anggota masyarakat dipicu oleh adanya kecurig•.um sekelompok masyarakat terhadap sekelompok masyarakat lainnya yang dianggap telah menerima dan memanfaatkan keuntungan ekonomi dari penambangan pasir laut, sementara sebagian besar masyarakat yang merasa pendapatannya jauh menurun bel urn atau tidak sama sekali merasakan manfaat ataupun kompensasi dari perusahaan.
Terjadi pula
ketidakpercayaan antara sekelompok masyarakat dengan aparat pemerintahan desa yang dianggap berpihak pada pengusaha penambangan pasir laut dan menerima keuntungan dari penambangan pasir laut.
Kontlik ini telah menimbulkan perpecahan da 1am
masyarakat dan berujung pada aksi kekerasan yang menimbulkan kerusakan dan kerugian fisik. Kondisi ini telah menimbulkan rasa ketakutan dalam masyarakat. Kontlik masyarakat dengan perusahaan penambangan pasir laut ditandai dengan adanya upaya-upaya masyarakat untuk mengganggu operasi penambangan pasir laut dan merusak kapal pengeruk pasir laut, selain itu ditandai pula dengan aksi penolakan terhadap bantuan dari perusahaan pengusahaan pasir laut. Walaupun secara fisik menurunnya pendapatan dan kesejahteraan nelayan tidak terlihat karena perekonomian nelayan ditopang pula oleh anggota keluarganya yang mencari nafkah sebagai TKIITKW, namun berdasarkan wawancara dengan masyarakat, jumlah hutang atau pinjaman kepada bukul (pengumpul) dan warung-warung meningkat.
Menurunnya pendapatan ini menurut para nelayan telah meningkatkan
jumlah tunggakan pembayaran pendidikan sekolah anak-anaknya. Terkait dengan kontlik yang terjadi, untuk menggambarkan interaksi antara stakeholder, maka dilakukan analisis Game Theory. Pada Game Theory, digunakan asumst rasionalitas dimana tiap orang aka11 memaksimumkan pahalanya (reward!i) berupa keuntungan, pendapatan, atau keuntungan subyektifnya, dalam lingkungan keadaan dimana dia menghadapinya (Anwar 2002). Dalam analisis Game Theory ini digunakan model interaksi yang sederhana antara 2 stakeholder (player), dimana player-player yang ada dalam kontlik pasir laut ini ~dalah
pemerintah daerah (G), masyarakat nelayan (F), perusahaan penambang pasir
!aut (C), petambak (P), dan penambang-penambang liar (L).
Pemilihan strategi dan
interaksi antara 2 player didasarkan pada issue riil serta kondisi yang relevan di
Iapangan.
94 Strategi yang dipilih dalam analisis ini adalah meneruskan penambangan
pasir atau
menghentikan penambangan, sedangkan interaksi antara 2 player yang
dipilih adalah interaksi antara pemerintah daerah (G) dengan nelayan (F), antara perusahaan (C) dengan nelayan, dan antara petambak (P) dengan penambang liar (L). 8esamya payoff pemerintah daerah didasarkan pada pajak yang diterima, payoff perusahaan didasarkan pada profit yang diterima (berdasarkan perhitungan mencapai Rp. I09.705.150.000 per tahun) atau kerugian yang ditanggung bila tidak melakukan penambangan. Perusahaan telah melakukan investasi yang cukup besar, sehingga bila tidak melakukan penambangan merupakan biaya/kerl!gian dan berc1sarkan infonnasi, kerugian yang ditanggung perusahaan bila tidak menambang bisa mencapai 600 juta rupiah per bulan atau 7.2 milyar per tahun. Payoff nelayan ditentukan oleh perubahan pendapatan atau dana kompensasi (community development) yang diterima nelayan. 8erdasarkan perhitungan, apabila nelayan beranggapan telah teijadi penurunan pendapatan minimal 50 %, maka akibat penambangan nelayan mengalami kerugian sebesar Rp. 16.734.656.952 per tahun. 8erdasarkan Iaporan, dana kompensasi yang telah Karena adanya keterbatasan data,
diterima masyarakat mencapai Rp. 815.000.000,-.
payoff petambak dan penambang liar didasarkan pada suatu nilai yang mencerminkan tingkat keuntungan (bemilai 1), tidak memperoleh apa-apa (bemilai 0), maupun kerugian (bemilai -1 ). Tabel 30
Matriks Payoff Interaksi antara Pemerintah dengan Nelayan (PayoffNelayan Dana Kompensasi) Nelayan (F) Teruskan (A)
Hentikan (8)
Pemerintah
Teruskan (A)
(2.194.103.000)' (815.000.000)
(2.194.103.000) '(0)
(G)
Hentikan (8)
(0)' (815.000.000)
(0 ) • (0)
95
Tabel 31
Matriks Payoff Interaksi antara Pemerintah dengan Nelayan (Payoff nelayan Perubahan,Penurunan Pendapatan) Nelayan (F) Hentikan (B)
Teruskan (A) Pemerintah
Teruskan (A)
(2.194.103.000), (-16.734.656.952)
(2.194.103.000) '(0)
(G)
Hentikan (B)
(0), (- 16.734.656.952)
(0 ) , (0)
·------------·--
Tabel 32
Matriks Payoff lnteraksi antara Perusahaan dengan Nelayan (PayoffNelayan Dana Kompensasi) Nelayan (F) Hentikan (B)
T eruskan (A) Perusahaan
Teruskan (A)
(109.705.150.000)' (815.000.000)
(109.705.150.000) '(0)
(C)
Hentikan (B)
(- 7.200.000.000), (815.000.000)
(-7.200.000.000), (0)
Tabel 33
Matriks Payoff Interaksi antara Perusahaan dengan Nelayan (PayoffNelayan Perubaharv'Penurunan Pendapatan) Nelayan (F) Teruskan (A)
Hentikan (B)
(109.705.150.000), (- 16.734.656.952)
(109.705.150.000)' (0)
(- 7.200.000.000)' (- 16.734.656.952)
(- 7.200.000.000), (0)
Teruskan Perusahaan
(A)
(C)
Hentikun (B)
Tabel 34
Matriks Payoff Interaksi antara Petambak dengan Penambang Liar Petambak Liar (L) Teruskan (A)
Hentikan (B)
Petambak
Teruskan (A)
(-1), (1)
(-1),(0)
(P)
Hentikan (B)
(0) , ( 1)
(0)' (0)
96 Pada interaksi antara pemerintah daerah dengan nelayan, bila payoff pemerintah didasarkan pada nilai pajak dan payoff nelayan didasarkan pada dana kompensasi, maka interaksi tersebut akan memberikan solusi yang optimum bila keduanya memainkan strategi untuk meneruskan penambangan pasir !aut. Namun bila payoff nelayan pada interaksi tersebut didasarkan pada perubahan pendapatan, maka keputusan untuk menghentikan penambangan pasir !aut akan memberikan solusi yang optimum. Pada interaksi antara perusahaan penambangan pasir !aut dengan nelayan, bila payoff nelayan didasarkan pada nilai dana kompePsasi, maka bila keduanya bersepakat untuk meneruskan penambangan akan memberikan solusi yang optimum, namun bila payoff nelayan ini didasarkan pada perubahan pendapatan, rnaka tidak ada solusi optimum yang dapat dicapai.
Oleh karena itu, seperti yang terjadi di lapangan,
perusahaan berupaya menciptakan kondisi untuk meningkatkan tingkat acceptability masyarakat nelayan dengan meningkatkan dana kompensasi sesuai dengan tuntutan masyarakat. Pada dua kasus di atas, yaitu interaksi antara masyarakat dengan pemerintah, maupun interaksi antara masyarakat dengan perusahaan, bila payoff masyarakat adalah pendapatan, maka dihentikannya pasir laut bagi masyarakat merupakan solusi yang memberikan manfaat yang optimal, namun kondisi ini secara nyata sulit dicapai, sehingga yang perlu dilakukan adalah bagaimana memberikan kompensasi yang lebih besar lagi kepada nelayan seimbang dengan menurunnya pendapatan. Pada interaksi antara petambak dengan penambang liar, solusi yang optimum akan dicapai bila keduanya bersepakat untuk tidak melakukan penambangan, namun hal itu pun sukar untuk dicapai.
Petambak liar tidak memiliki pilihan lain kecuali tetap
melakukan penambangan untuk memperoleh penghasilan. Apa yano terjadi sekarang dan sudah berlangsung lama adalah penambang tersebut melakukan penambangan pada malam hari. Penambangan pasir pasir ini mengkhawatirkan petambak dan memiliki kontribusi yang signifikan terhadap percepatan abrasi pantai. Penambangan liar merupakan aktivitas ekonomi yang sudah melembaga yang tujuannya adalah memenuhi kebutuhan,
sehingga
upaya
penanggulangannya tidak
semata-mata melakukan
pelarangan, tetapi mencari altematif atau solusi agar penambang liar dapat mengalihkan aktivitas ekonominya.
97 Persepsi Masyarakat Masyarakat terutama masyarakat nelayan merupakan stakeholder penting dalam pemanfaatan sumberdaya laut.
Sebagai pihak yang telah
lama memanfaatkan
sumberdaya laut, masyarakat yang bermukim dan memiliki mata pencaharian yang lokasinya berdekatan dengan penambangan pasir laut, pasti akan merasakan dampak dari adanya penambangan pasir laut, baik langsung ataupun tidak langsung. Pada sisi lain, dari sisi kebijakan publik, adalah penting untuk mengetahui persepsi masyarakat terkait dengan dampak yang ditimtulkan dari penambangan pasir laut maupun tingkat
acceptability masyarakat tentang kebijakan penambangan pasir laut. Terkait dengan keadaan pendapatan, avakah terjadi perubahan pendapatan, dari I 0 I responden, 12 responden ( 12 %) menyatakan pendapatannya tetap, dan 89 responden ( 88 %) menyatakan pendapatannya menurun. Responden yang menyatakan pendapatannya tetap terdiri dari 3 orang nelayan, 5 orang baku] (tengkulak), dan 4 orang petambak. Dari 3 orang nelayan ini, satu orang merupakan nelayan pendatang yang melakukan operasi penangkapan dengan alat tangkap pancing, sedangkan 2 nelayan lainnya adalah nelayan jala lempar yang melakukan operasi penangkapan di penggir pantai. Responden yang menyatakan pendapatannya menurun, terdiri dari 58 orang nelayan, 17 orang orang bakul, dan 14 orang petambak.
Dari 89 responden yang
menyatakan pendapatannya menurun, 31 o1ang (35 %) menyatakan penurunan itu disebabkan oleh pasir ]aut, 16 orang ( 18 %) menyatakan penurunan itu disebabkan oleh Iimbah, penyakit, dan kondisi Iingkungan yang menurun dan 14 orang dari 16 orang ini merupakan petambak. Lima belas orang ( 17 %) menyatakan penurunan ini disebabkan oleh pasir laut dan kondisi Iingkungan, 2 orang responden menyatakan bahwa penurunan ini disebabkan oleh kondisi alam. Responden lainnya menyatakan bahwa penurunan pendapatan disebabkan oleh gabungan antara pasir laut, alam, limbah, adanya born, pukat trawl dan 5 orang menyatakan tidak tahu. Persepsi responden tentang kebijakan penambangan pasir laut, 91 orang (90 %) menyatakan tidak setuju dengan penambangan pasir laut, 5 orang (5 %) menyatakan aetral, 5 orang (5 %) menyatakan tidak tahu. Berdasarkan pengamatan, ketidaksetujuan responden ini bukanlah hal yang mutlak, tetapi merupakan suatu prioritas pilihan.
98 Ketidaksetujuan ini terkait dengan adanya persepsi bahwa penambangan pasir laut tidak memberikan dampak positif bagi mereka, bahk:an sebaliknya
Hampir seluruh
responden menyatakan bahwa penambangan pasir laut dapat menimbulkan kerusakan walaupun sebagian dari mereka tidak meyakini apakah penurunan pendapatan itu disebabkan oleh penambangan pasir laut.
Meskipun sebagian besar petambak
belum/tidak merasakan dampak dari penambangan pasir laut yang dilakukan oleh perusahaan, namun mereka tidak menyetujui penambangan terkait dengan sikap solidaritas mereka terhadap para
nelay~
disamping adanya kekhawatiran akan
meningkatnya abrasi.
~aik .Tetap D Turun I
Gambar 11 Persepsi Responden Tentang Keadaan Pendapatan
OPasirlaut
DKonclisi alam
.Pasir taut dan koodisi " ' -
0 Pasir, alam, don lim bah
•l>asir dan limbah
0 Pnsir, limbah. bon>, rncun, trawl, amd
Olimbah 0 Tidak tabu
Gambar 12 Persepsi Responden Tentang Penyebab Penurunan Pendapatan
99
• Setu ·o ONetral OTsdak
·u • Tidak tabu
Gambar 13 Persepsi Responden Tentang Penambangan Pasir Laut Tabel35
Persepsi Responden Tentang Perubahan Pendapatan dan Kebijakan Penambangan Pasir Laut Pesepsi Nelayan Bakul Petambak
Naik/turunnya pendapatan
Naik
6 3
0 12 89 31 2 15 6 3
7
8
Tetap
3
5
4
Turun
58
17
14
Penyebab atau yang
Pasir taut
25
6
mernpengaruhi penurunan
Kondisi alam
pendapatan
Pasir laut dan kondisi alam
10
2 5 .
Pasir, alam, dan limbah Pasirdanlimbah Pasir, limbah, born, racun, trawl, arad Penyakit, limbah, lingkungan menurun
I
Limbah, arad, pukat, gardan
2
Tidak tabu
4
Setuju
penambangan pasir laut
Netral Tidak Setuju Tidak tabu
14
16
2
3
2 5 0 5
19
13
91
2
5
2
Limbah
Persepsi terhadap
Jumlah
59 2
Berdasarkan wawancara dengan masyarakat, maka dampak-dampak yang ditimbulkan oleh penambangan pasir taut adalah: 1. Dampak Fisik-Ekologis Menurut para nelayan, setelah beroperasinya kapal keruk pasrr, "gegara" (gosong pasir) yang ada di depan pantai perairan Desa Lontar telah hilang, begitu
100 pula halnya dengan komunitas lamun yang menurut para nelayan merupakan habitat
berbagai macam keong dan biota lainnya.
Selain itu, sebagian besar nelayan
menyatakan bahwa hilanb'llYa pasir yang merupakan habitat dari rajungan ·telah menyebabkan berkuran!,'llya hasil tangkapan rajungan para nelayan. Terjadi pula kekhawatiran dari para nelayan atau petambak, akan meningkatnya abrasi pantai karena ombak yang dirasakan semakin besar.
Ketakutan masyarakat ini cukup
beralasan mengingat terdapat pemukiman nelayan yang terletak di pinggir pantai seperti di Desa Lontar. Meskipun sebagian besar petambak menyatakan belum merasakan dampak Iangsung dari adanya penambangan pasir laut, namun para petambak yang memiliki tambak di pinggir pantai merasakan percepatan menurunnya luasan tambak karena abrasi, walaupun secara jujur mereka menyatakan abrasi pantai secara alami telah berlangsung cukup lama.
Selain itu, para petambak mulai melihat teijadinya
peningkatan kekeruhan air Iaut yang masuk ke tambak. 2. Dampak Ekonomi Nelayan yang menyatakan pendapatannya menurun (58 orang), menyatakan bahwa penurunan pendapatan mencapai lebih dari 50 %, Kadangkala dalam setiap operasi penangkapan, tidak diperoleh hasil sedikitpun sehingga para nelayan mengalami kerugian. Dampak ekonomi ini merupakan akibat Iangsung dari dampak fisik dan ekologis. Menurut para nelayan, setelah adanya penambangan pasir laut, perairan laut
menjadi
Iebih
dalam
yang
mengoperasikan alat tangkapnya.
menyulitkan
nelayan
menempatkan
dan
Selain itu pula telah terjadi peningkatan
kekeruhan air !aut. Menurunnya jumlah tangkapan rajungan dikarenakan rajungan merupakan hewan dengan habitat pasir atau pasir berlumpur, sehingga dengan adanya penambangan pasir laut, hewan-hewan tersebut menjadi jauh berkurang. Para petambak walaupun sebagian besar belum merasakan dampak Iangsung dari penambangan pasir Iaut, sebagian besar menyatakan ketidaksetujuannya dengan operasi penambangan pasir !aut. Penambangan pasir !aut dianggap akan merusak Iingkungan yang berupa abrasi, peningkatan kekeruhan perairan, menurunnya udang alam di tambak.
Selain itu, terdapat pula rasa solidaritas terhadap nelayan.
101
Sebagian para penarnbak beranggapan bahwa selain penambangan yang dilakukan oleh perusahaan, masalah penambang-penambang "liar" pasir yang dilakukan oleh penduduk di pinggir pantai juga merisaukan para petambak, tetapi karena alasar pcnambangan pasir ini adalah tidak ada mata pencaharian lain, maka penambangan ini tidak dirasakan memiliki dampak ekonomi dan sosial yang signifikan. Berkurangnya
hasil
tangkapan
nelayan
mt
mempengaruhi
aktivitas
perekonomian lain yang menunjang perikanan tangkap, seperti penyediaan balokbalok es yang semakin menurun, serta tidak beroperasinya sarana-sarana transportasi pemasaran hasil tangkapan. Tabel 36 Dampak Negatif Yang Ditimbulkan oleh Penambangan Pasir Laut Dampak Negatif
Nelayan
Petambak
Fisik-Ekologis
• Abrasi pantai yang mengancam • Abrasi pantai yang pemukiman mengancam tambak • Hilangnya gosong pasir • Meningkatnya kekeruhan air Iaut • Hilangnya padang lamun • Meningkatnya kedalaman peratran • Meningkatnya kekeruhan perairan Ekonomi • Menurunya produksi • Menurunnya panen udang alam • Menurunnya pendapatan • Berkurang atau hilangnya aktivitas perekonomian lain • Rusak!lya alat-alat tangkap • Meningkatnya pinjaman nelayan Sumber : Hasil pengamatan dan wawancara
Seperti diketahui sumberdaya pasir laut laut memiliki nilai ekonomis dan ekologis bagi masyarakat.
Kedua fungsi tersebut memiliki keterkaitan ya11g sangat erat dan
dirasakan Iangsung oleh masyarakat yang bermukim dekat dengan sumberdaya pasir laut tersebut terutama masyarakat nelayan. Meskipun masyarakat memiliki pandangan yang sama tentang manfaat pasir Iaut, namun memiliki penilaian moneter yang berbeda terhadap manfaat tersebut. Analisis Willingness to Pay selain memberikan gambaran manfaat pasir laut sekaligus dapat dijadikan tolak ukur bagi kerugian masyarakat atas hilangnya sumberdaya pasir laut.
102 Berdasarkan wawancara di lapangan terhadap 6 1 responden nelayan, besamya U'illingness to Pay responden berkisar antara 0 - Rp. 2.925.000,- per tahun, dengan
rata-rata Rp. 593. I 14 per tahun. Bila rata-rata tersebut dikalikan dengan jumlah nelayan (yang diperkirakan mencapai 2170 orang), maka total WTP nelayan mencapai Rp. 1.287.059.016 per tahun. bersedia membayar.
Dari 61 orang tersebut, 10 orang tidak menyatakan tidak
Alasan mereka tidak bersedia membayar adalah karena tidak
mampu mcmbayar, mereka sudah mengalami kesulitan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Secara absolut, besamya total kP.sediaan membayar ini tergolong masih kecil, akan tetapi bila dibandingkan dengan tingkat pendapatan rata-rata per tahun, maka nilai rata-rata WTP ini cukup signifikan, yaitu mencapai 5-10 % dari pendapatan. Apabila dikaji korelasi antara nilai WTP dan varabel-veriabel bebas seperti pendapatan, usia, tingkat pendidikan, dan jumlah tanggungan (anak), maka nilai WTP ini dipengaruhi oleh jumlah anak, umur, dan tingkat pendidikan pada tingkat selang kepercayaan I 0 %.
Semakin besar jumlah anak, maka nilai WTP semakin kecil,
semakin tinggi usia responden, semakin tinggi nilai WTP, dan semakin tinggi tingkat pendidikan, nilai WTP semakin rendah. Namun tujuan analisis WTP ini bukanlah untuk mengkaji faktor-faktor yang mempengaruhi besamya WTP, namun untuk melihat gambaran seberapa besar nilai lingkungan yang diberikan oleh masyarakat nelayan. Adanya nilai tersebut menunjukkan bahwa masyarakat memang memiliki keinginan dan kontribusi agar lingkungan (pasir Iaut) yang dianggap telah rusak kembali seperti semula, hal ini tentu saja terkait dengan manfaat ekologi yang dimiliki oleh pasir laut dan terkait dengan pendapatan masyarakat (nelayan). Nilai WTP ini juga dapat dijadikan tolak ukur untuk memberikan kompensasi bagi masyarakat. Tabel37 Besamya WTP Nelayan untuk Pasir Laut No. I 2 3 4 5 6 7 8
m
Nilai
Total
10 12.000 60.000 120.000 240.000 975.000 1.950.000 2.925.000
25 3 3 1 6 9 4 61
300.000 180.000 360.000 240.000 5.850.000 17.550.000 11.700.000 36.180.000
103
Tabel 38 Surplus Nelayan Terhadap WTP Pasir Laut No.
l 2 3 4 5 6 7 8
Nilai
ni
Qd
Swplus
12.000 60.000 120.000 240.000 975 .000 1.950.000 2.925.000
10 25 3 3 1 6 9 4
61 51 26 23 20 19 13 4
612.000 1.560.000 2.760.000 4.800.000 18.525.000 25.350.000 11.700.000
61
65.307.000
Berdasarkan besamya WTP responden terhadap pasir taut, maka dibuat kurva permintaan (demand) responden terhadap pasir taut. Sebagaimana Iazimnya kurva permintaan, maka kurva permintaan responden terhadap pasir laut memiliki kemiringan
(slope) yang negatif Kurva permintaan masyarakat nelayan terhadap pasir laut tertera pada Gambaf 14. Besamya surplus konsumen masyarakat nelayan terlihat pada Tabel 38. Berdasarkan hasil perhitungan terhadap data primer, nilai surplus konsumen masyarakat nelayan adalah 65.307.000,-. Angka yang ditunjukkan oleh surplus konsumen tersebut menunjukkan besamya manfaat pasir laut yang seharusnya mereka nikmati dalam kapasitas responden sebagai konsumen pasir laut.
Gambar 14 Kurva Permintaan Pasir Laut Oleh Nelayan
104
Aspek Kelembagaan dalam Pengelolaan Pasir Laut.
Ruang dimana pasir Iaut berada adalah suatu ruang kontlik, dimana masmgmasing stakeholder memiliki kepentingan yang berbeda sehingga berujung pada suatu kontlik. Adanya kontlik yang terjadi dalam pengelolaan pasir Iaut yang merupakan benturan kepentingan, alokasi manfaat yang timpang antara masyarakat dengan perusahaan, perbedaan nilai yang terkait dengan dampak yang ditimbulkan, baik dampak ekonomi, dampak Iingkungan, maupun dampak sosial, maka pada hakekatnya pengembangan
kelembagaan
dalam
pengelolaan
pasir Iaut adalah
bagaimana
kelembagaan ini mengelola kontlik dalam kerangka pengendalian yang ketat diiringi upaya pemberdayaan masyarakat nelayan.
Pemberdayaan ini tidak saja rr:encakup
upaya-upaya untuk meningkatkan kapasitas nelayan, tetapi juga bagaimana memberikan kompensasi yang layak khususnya terhadap nelayan sebagai pihak (user) yang paling terkena dampak negatif dari penambangan pasir Iaut. Oleh karena itu, diperlukan suatu mekanisme kompensasi bagi user di sekitar Iokasi penambangan dengan melibatkan seluruh stakeholder yang ada Pengelolaan pasir ]aut dengan konsekuensi-konsekuensi yang ditimbulkannya, baik konsekuensi ekonomi, sosial, dan ekologis, menuntut adanya suatu sistem kelembagaan yang baik, yang tidak saja diwujudkan secara fisik dalam kelembagaan formal yang dibentuk oleh pengambil kebijakan pada tingkat birokrasi, tetapi juga mengem'Jangkan suatu aturan main yang mengikat stakeholder.
d~n
dipatuhi oleh semua
Menurut Bunch (1992) dalam Rintuh (2003), salah satu pentingnya
kelembagaan adalah karena banyaknya masalah yang hanya dapat dipecahkan oleh suatu Iembaga.
Mengingat adanya dampak (ekstemalitas) yang siginifikan dari
penambangan pasir ]aut dan stakeholder yang paling merasakan dampak dari penambangan adalah masyarakat nelayan, maka sistem kelembagaan yang dibentuk secara formal maupun informal adalah dalam kerangka pengendalian dan pemberdayaan masyarakat nelayan. North (1990) dalam Rintuh menegaskan tiga komponen Jembaga, yaitu (I). batasan-batasan informal, (2) aturan-aturan formal, dan (3) paksaan pematuhan terhadap keduanya. Keppres No.33 Tahun 2002 merupakan suatu aturan formal yang mengikat, yang secara substansial mengatur beberapa aspek pengendalian dan pemberdayaan
105
masyarakat pesisir. Selain itu, Pemerintah Daerah Kabupaten Serang telah membentuk suatu tim yang menangani beberapa aspek dari pemantaatan pasir Iaut, namun kelembagaan formal ini baru menangani substansi yang berkaitan dengan tugas, wewenang, dan tanggung jawab terhadap perizinan dan pemanfaatan pasir laut, sesuai dengan tugas dan tanggung jawab sektor-sektor yang terkait, walaupun dalam kenyataannya aspek pengendalian ini belum beijalan secara optimal.
Pada tingkat
pemerintah daerah, belum ada peraturan yang menegaskan tentang upaya-upaya pengendalian, kecuali besarnya nilai pajak pasir Iaut. Oleh karena itu diperlukan upaya dari pihak-pihak seperti perguruan tinggi dan LSM untuk mendorong pemerintah daerah mengeluarkan regulasi-regulasi yang terkait dengan pengelolaan pasir !aut baik dari sis: nonnati f maupun teknis. Upaya pengendalian yang ideal memerlukan biaya yang relatif mahal, pada sisi lain, pemerintah daerah memiliki keterbatasan teknis dan finansial sehingga diperlukan ban(uan teknis maupun finansial baik dari pemerintah propinsi maupun pusat sehingga diperlukan kerjasama dan koordinasi antara pemerintah kabupaten, propinsi, dan pusat Kerjasama dan koordinasi ini tidak hanya dilakukan dalam kerangka pengendalian, tetapi juga untuk mengefektifkan kebijakan pengelolaan pasir laut secara khusus maupun pengelolaan wilayah pesisir dalam skala yang Iebih Iuas, mengingat dampakdampak yang dirasakan dari penambangan pasir laut juga merupakan akumulasi dampak akibat kondisi wilayah pesisir yang telah mengalami pencemaran dan over fishing. Salah
satu segmen
penting dalam
pengendalian
ini
adalah
bagaimana
mengendalikan dampak lingkungan atau pemeliharaan dan pemulihan ekosistem pesisir dan laut akibat penambangan pasir laut Dalam pasal 13 Keppres No. 33 tahun 2002, ditegaskan bahwa setiap orang dan/atau badan hukum yang melakuka" usaha pengusahaan pasir laut wajib menyusun rencana pemeliharaan dan pemulihan lingkungan ekosistem pesisir dan laut
Selanjutnya ditegaskan pula bahwa biaya
pemeliharaan dan pemulihan lingkungan ekosistem pasir dan laut serta tata cara pemungutanya ditetapkan dengan peraturan daerah. Bila dibandingkan ketentuan dalam Keppres tersebut dengan kondisi yang sesungguhnya, maka belum ada peraturan daerah yang mengatur aspek-aspek pengendalian, termasuk dana
pemeliharaan dan pemulihan lingkungan yang harus
dikeluarkan oleh pihak pengusahaan pasir laut Peraturan yang ada hanya menetapkan
besamya nilai pajak pasir laut.
106 Pemerintah daerah hanya menenma pajak yang
besamya Rp. I 000,- per meter kubik pasir Iaut, setara dengan 1.18 % dari harga pasir laut yang tiiterima perusahaan. Terkait dengan aspek pemberdayaan, pada Keppres No.33 tahun 2002 telah ditegaskan bahwa setiap orang dan/atau badan hukum yang melakukan pengusahaan pasir laut wajib menyusun rencana pemberdayaan masyarakat pesisir (Pasal 16 ayat I). Pelaksanaan pemberdayaan masyarakat pesisir dikoordinasikan oleh pemerintah daerah sesuai dengan kewenangan masing-masing berdasarkan ketentuan peraturan perundangundangan (ayat 2). Pembiayaan yang timbul dari pelaksanaan rencana pemberdayaan masy2rakat pesisir sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dibebankan kepada orang dan/atau badan hukum yang melakukan pengusahaan pasir laut. Apabila dikaji aturan tentang pemberdayaan masyarakat tersebut dengan existing
condition, dimana perusahaan telah mengeluarkan dana community development sebesar Rp. 815.000.000,- atau setara dengan 0.74
% dari keuntungan perusahaan,
maka nilai tersebut masih relatifkecil. Dana tersebut dialokasikan untuk kegiatan: •
Pembuatan sumur bor sebanyak 13 titik lengkap dengan pompa air dan bak penampungannya di tiap musholla di desa lontar dengan jumlah dana sekitar Rp.325.000.000,-
•
Penanaman mangrove di pantai Desa Lontar yang secara teknis dilakukan dikelola oleh Kantor Lingkungan Hidup, dengan dana sekitar Rp. 115.000.000,-
•
Bantuan dana partisipasi masyarakat desa lontar sekitar Rp. 200.000.000,-
•
Bantuan dana masyarakat untuk Pulau Panjang sekitar Rp. 1.500.000,-/k:apal, jumlah kapal
mencapai
200
kapal,
sehingga
bantuan berjumlah
Rp.
300.000.000,-. Salah satu aspek penting dalam kelembagaan seperti yang ditegaskan oleh Pakpahan (1989) adalah masalah hak kepemilikan (property right).
Konsep hak
kepemilikan mengatur hubungan antar angggota masyarakat dalam menyatakan kepentingannya terhadap sumberdaya yang merupakan kekuatan akses dan kontrol terhadap sumberdaya.
Sebagai konsekuensi dari UU N0.22/1999 tentang Otonomi
daerah, pemerintah sebagai state yang mewakili publik dalam pengelolaan wilayah peisisir dan lautan pada Zone -+ mil memiliki wewenang untuk memanfaatkan dan
107 mengawasi pemanfaatan sumberdaya tersebut. Hal ini mengandung makna bahwa pemerintah daerah memiliki dan bertanggung jawab untuk mengawasi pemanfaatan sumberdaya
tersebut.
Kelompok
masy1rakat,
lembaga,
atau
individu
dapat
memantaatkan sumberdaya tersebut atas izin, persetujuan, atau hak pengelolaan yang diberikan pemerintah berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Hal ini menunjukkan bahwa pemerintah daerah harus benar-benar memainkan perannya dalam regulasi, mampu mengakomodasikan kepentingan semua stakeholder. Apa yang terjadi sclama ini, peran pemerintah dalam pengelolaan pasir laut, lebih cenderung sebagai pelaku bisnis, sehingga tujuan sosial dari pengelolaan sumberdaya belum tercapai.
Analisis Multikriteria Sebelum membahas implikasi kebijakan yang dapat dihasilkan dari pengelolaan pasir laut ini, terlebih dahulu dilakukan analisis multikriteria.
Analisis multikriteria
adalah kerangka kerja {framework) terstruktur untuk menginvestigasi, menganalisis, dan memecahkan pengambilan keputusan yang terkendala dengan berbagai tujuan dan kriteria dan merupakan teknik pengambilan keputusan berbasis non-parametrik. Seringkali perencana pada pada tingkat pemerintahan dihadapkan pada beberapa keputusan yang harus mempertimbangkan kriteria-kriteria biologis, sosial, politis, dan ekonomi. Tidak seperti analisis Cost-Benefit, analisis multikriteria (MCDM; Multiple
Criteria
Decision
Making)
memungkinkan
pengambil
keputusan
melakukan
perhitungan dengan berbagai kriteria, termasuk kriteria yang tidak dapat dinilai secara moneter (Gurocak and Whittlesey 1998). Tujuan yang ingin dicapai dalam analisis ini adalah menemukan solusi yang memberikan manfaat y"ng optimal dari berbagai alternatif dan atribut dari suatu pengelolaan sumberdaya. Pada analisis ini, karena pengambil keputusan adalah pemerintah daerah, dan tiap pilihan terkait dengan dampak yang dirasakan masyarakat, maka stakeholder dalam analisis ini adalah pemerintah daerah dan masyarakat, sehingga pemilihan atau penentuan atribut dalam analisis ini adalah atribut-atribut yang melekat pada pemerintah daerah dan masyarakat. Selain itu, penambangan pasir !aut memiliki dampak-dampak terhadap lingkungan, sehingga aspek ekologi juga diperhitungkan dalam analisis multikriteria.
108 Berdasarkan data-data yang diperoleh, serta altematif-altematifyang mungkin dan
rei evan, atribut/kriteria yang akan digunakan adalah : I. Atribut ekologi, yang meliputi : I ). Abrasi
2). Komunitas lamun 3). Kekeruhan
4). TSS 2. Atribut ekonomi, yang meliputi :
I ). Peneri maan pajak 2). Pendapatan nelayan 3). Dana Community Development
..,
-'· Atribut sosial, yang meliputi :
I). Konflik 2). Partisipasi masyarakat 3 ). Persepsi masyarakat Sedangkan altematif-altematif yang mungkin dan realistis adalah : I. Kondisi saat ini (status quo)
2. Penambangan pasir laut dihentikan 3. Penambangan pasir Iaut diteruskan Berdasarkan sconng serta data-data di lapangan, maka data masukan untuk analisis multikriteria pengelolaan pasir Iaut adalah seperti tertera pada tabel 39. Analisis multikriteria ini dilakukan dengan teknik TOPSIS (Fechnique for Order
F,·eference by Similarity to Ideal Situation) dan PRIME. Teknik TOPSIS dilakukan dengan terlebih dahulu membuat matriks input dengan perangkat Saana pada Excell (Lampi ran 4 ). Dengan menggunakan TOPS IS, analisis dilakukan pada 3 skenario, yaitu: I. Skenario pertama memberikan bobot yang sama pada tiap atribut 2. Skenario kedua memberikan bobot atribut pajak 2 (dua) kali lipat dibanding bobot atribut Iainnya.
109 3. Skenario ketiga memberikan bobot pajak dan kekeruhan 2 (dua) kali lipat dibanding bobot atribut lainnya. Dengan menggunakan TOPSIS, maka diperoleh hasil sebagaimana tertera pada Gambar 16-18.
Pada skenario pertama, terlihat bahwa bila penambangan pasir !aut
dihentikan memberikan nilai indeks tertinggi sebesar 0.57, kemudian status quo dengan nilai indeks sebesar 0.48, dan bila penambangan diteruskan memberikan nilai indeks terendah. Pada skenario kedua dimana pajak diberi bobot 2 (dua) kali lebih besar dibanding bobot !ainnya, maka kondisi saat ini memberikan nilai indeks terbesar yaitu 0.55, dan bila penambangan dihentikan memberikan nilai indeks terendah yaitu 0.49.
Pada
skenario ketiga dimana pajak dan kekeruhan diberi bobot yang lebih besar, maka memberikan nilai indeks yang hampir sama dengan skenario pertama dimana penghentian
penambangan akan memberikan nilai
indeks tertinggi,
dan
bila
penambangan diteruskan akan memberikan nilai indeks terendah.
Tabel39 Matriks Input Data untuk Analisis Multikriteria Kriteria
Arah optimisasi
Status Quo
Dihentikan
Teruskan
EKOLOGI Abrasi
min
2
2
3
Komunitas Lamun
max
3
3
2
94.3
30
94.3
max
140
80
140
Pajak
max
2.194.103.000
0
2.194.103.000
Community Dev.
max
815.000.000
0
815.000.000
Pendapatan nelayan
min
16.734.656.952
16.734.656.952
16.734.656.952
Konflik
Min
2
3
2
Partisipasi
Max
2
3
2
Persepsi
Max
Kekeruhan TSS
EKONOMI
SO SIAL
2
110
status quo
o.ooooo
0,10000
0 ,20000
0 ,30000
0 .40000
0 ,50000
0,60000
0,70000
Gambar 15 Nilai Indeks Analisis Multikriteria Skenario Pertama.
teruskan
hentikan
status quo
0 ,44000
0 ,46000
0 ,48000
o.soooo
0 ,52000
0 ,54000
0,56000
0,58000
Gambar 16 Nilai lndeks Analisis Multikriteria Skenario Kedua
06
o.ooooo
0,10000
0 ,20000
0,30000
0,40000
0.50000
0,60000
Gambar 17 Nilai Indeks Analisis Multikriteria Skenario Ketiga
0,70 ' ,)()
Ill Teknik PRIME dilakukan dengan menggunakan perangkat PRIME DECISION,
dan terlebih dahulu dibuat value tree (Lampiran 5). Pada analisis dengan PRIME ini digunakan 3 skenario, yaitu : I. Skenario pertama memberikan bobot yang Iebih besar pada atribut ekonomi 2. Skenario kedua memberikan bobot yang lebih besar pada atribut ekologi 3. Skenario ketiga memberikan bobot yang lebih besar pada atribut ekologi dan ekonomi. Pada skenario pertama, basil yang diperoleh berdasarkan value interval, maka menghentikan penambangan pasir laut memberikar. value interval yang terbesar antara 0.413 sampai 0.613, kondisi status quo memberikan pula value interval yang besar antara 0.409 sampai 0.613. Sedangkan meneruskan penambangan pasir laut memiliki value interval terendah, yaitu antara 0.368 - 0.561. Pada skenario kedua, value interval dengan menghentikan penambangan pasir laut memiliki velue interval tertinggi yaitu antara 0.539- 0.655, sedangkan menerukan penambangan pasir Iaut memiliki value interval terendah yaitu 0.326 - 0.439. Pada skenario ketiga, value interval dengan menghentikan penambangan pasir laut memiliki value interval tertinggi yaitu antara 0.53 - 0.636, disusul status quo dengan value interval antara 0.383 - 494, sedangkan meneruskan penambangan pasir laut memiliki value interval terendah yaitu 0.346 0.448.
Value Intervals: pengelolaan pasir laut
(I) Q)
>
;: ca
...c Q)
~
<(
0
0,05
0,1
0,15
0,2
'
0,25
0,3
0,35
0,4
0,45
0,55
Value Gambar 18 Value Interval Multikriteria dengan PRIME Skenario Pertama
0,6
112
Tabel40 Decision Rules Multikriteria dengan PRIME pada Skenario Pertama. Altematif
Maximax
Central Values
Maximin
Minimax Regret
Possible Loss · 0.197
Status Quo Hentikan
0.190
Teruskan
0.241
Value Intervals: pengelolaan pasir laut Status Quo
0
0,05
0,1
0,15
0,2
0,25
0,3
0,35
0,4
0,45
0,5
0,55
0,6
0,65
Value Gambar 19 Value Interval Multikriteria dengan PRIME Skenario Kedua Tabel 4 J. Decision Rules Multikriteria dengan PRIME pada Skenario Kedua
Status Quo
Possible Loss 0.285
Hentikan
-0.063
Teruskan
0.326
Altematif
Maximax
Maximin
Central Values
Minimax Regret
Tahap akhir dari analisis PRIME adalah decision rule yang akan menentukan alternatif terbaik. Decision Rule disajikan dalam bentuk tabel indikator maximax,
maximin, central values, minimax regret, dan possible loss. Maximax disebut juga keputusan optimis dimana diasumsikan semua keputusan nilai berada pada atau dekat dengan batas teri:inggi dari value interval. Sebaliknya, maximin merupakan keputusan pesimis mengasumsikan bahwa jika skenario terburuk terjadi, maka altematif yang
113 dipilih adalah altematif yang memiliki nilai batas bawah tertinggi. Sedangkan central
value memilih altematif dengan nilai tengah yang paling besar (Fauzi, 2002). Dari tabel 40 - 42, berdasarkan possible loss terlihat bahwa kemungkinan kerugian terkecil akan diperoleh bila alternatif yang dipilih adalah menghentikan penambangan pasir laut. Artinya, jika menghentikan pasir Iaut menjadi perhatian utama, maka akan memiliki
possible loss (kemungkinan kerugian ekonomi yang merupakan berkurangnya manfaat ekonomi yang diperoleh) yang paling kecil.
Value Intervals: pengelolaan pasir laut Slab.Js
.. Cl) G)
>
....~
Hentikan
G)
~
0
0,05
0,1
0,15
0,2
0,25
0,3
0,35
0,4
0,45
0,5
0,55
0,6
Value Gambar 20 Value Interval Multikriteria dengan PRIME Skenario Ketiga Tabel 42 Decision Rules Multikriteria dengan PRIME pada Skenario Ketiga Central Values
Status Quo
Possible Loss 0 .246
Hentikan
-0.045
Teruskan
0.287
Altematif
Maximax
Maximin
Minimax Regret
Implikasi Kebijakan Bila mengacu pada analisis multikriteria yang menunjukkan bahwa manfaat yang optimum akan dicapai bila penambangan pasir laut diarahkan untuk dihentikan, dan meskipun ada kesadaran dan pemahaman pemerintah daerah akan dampak negatif yang ditimbulkan dari penambangan pasir laut, namun hal itu tidaklah serta merta menjadi kekuatan pemerintah daerah untuk menghentikan penambangan pasir laut.
Potensi
114 ekonomi yang tinggi yang didukung dengan kekuatan pasar (demand pasir !aut yang tinggi), serta alasan sebagai salah satu penghasil devisa bagi daerah merupakan pendorong untuk tetap mengizinkan penambangan pasir !aut.
lmplikasi Ekonomi Dari sisi ekonomi, bila kebijakan pemerintah daerah mengarah untuk tetap meneruskan penambangan pasir laut maka yang perlu dilakukan adalah bagaimana penambangan pasir laut ini memberikan manfaat ekonomi yang optimal, baik untuk pemerintah daerah maupun masyarakat. Bila dilihat nilai pajak pasir laut yang baru mencapai I. 17 % dari harga pasir laut, suatu nilai yang relatif kecil, maka upaya yang dapat dilakukan adalah meningkatkan pajak pasir laut ini.
Tentu saja hal ini harus
diringi dengan instrumen-instrumen yang bersifat mengikat seperti penetapan dengan PERDA.
Agar keuntungan ini terdistribusi merata dan relatif lebih adil antara
stakeholder, maka manfaat yang diterima pemerintah daerah ini dapat dialokasikan kembali
untuk program-program pemberdayaan ekonomi masyarakat, terutama
masyarakat nelayan. Selain meningkatkan nilai pajak, maka upaya lain yang dapat ditempuh dalam kerangka ekonomi adalah dengan menerapkan user fee. instrumen ekonomi
yang lebih baik,
User fee ini merupakan
karena penerapan
user fee
ini
memperhitungkan faktor keonomi, juga memperhatikan resource yang ada.
selain Dengan
user fee, pemanfaat sumberdaya, dalam hal ini pemanfaat pasir laut membayar atas apa dan berapa yang dimanfaatkan.
Namun demikian, diperlukan suatu kajian tersendiri
untuk menentukan besamya user fee yang layak ditetapkan untuk pemanfaat pasir laut Inl.
Terkait dengan adanya penurunan surplus produsen (nelayan) ini, suatu hal yang hams dicermati adalah bahwa secara obyektif penurunan surplus ini bukan semata-mata disebabkan oleh penambangan pasir laut. Secara nyata kondisi wilayah pesisir utara Kabupaten serang telah mengalami ovefishing dan adanya tingkat pencemaran yang cukup mengkhawatirkan. Berdasarkan data, teijadi kecenderungan penurunan produksi perikanan pada tahun-tahun terakhir. Kondisi ini terjadi karena semakin meningkatnya ejj(Jrt perikanan yang tercermin dari semakin bertambahnya kapal-kapal nelayan dan
adanya penggunaan alat tangkap yang tidak selektif seperti jaring arad, trawl.
115 Berdasarkan wawancara dengan nelayan, memang diakui bahwa salah satu penyebab
penurunaP. produksi ini adalah semakin meningkatnya jumlah nelayan dan sarana-saran produksi perikanan seperti kapal-kapal, dan alat tangkap, serta adanya penggunaan racun. Selain itu, nelayan-nelayan pun mengakui dan mengeluhkan adanya pencemaran dari limbah-limbah industri dan mengganggu kesehatan nelayan yang bermukim dekat muara-muara sungai, seperti sungai Ciujung yang merupakan tempat pembuangan limbah dari berbagai industri yang ada di wilayah hulu di Kabupaten Serang. Oleh karena itu, harus ada upaya untuk mengendalikan e_fforl perikanan ini, paling tidak dilakukan pembatasan penggunaan alat tangkap.
Begitu pula terhadap pencemaran.
Selain melakukan pembatasan terhadap effort perikanan, maka upaya lain yang dapat dilakukan untuk meningkatkan produktifitas perikanan adalah dengan mengintroduksi atau mengembangkan budidaya perikanan laut (marikultur), baik untuk komoditas ikan maupun non ikan (seperti rumput laut, kepiting, kerang, dan lain-lain). Artinya adalah, bahwa upaya pengelolaan pasir laut harus diintegrasikan dengan pengelolaan wilayah pesisir secara lebih luas dan dari sisi administratif dan kewilayahan, diperlukan peran dari
pemerintah propinsi yang lebih besar untuk mengintegrasikan kebijakan
penambangan pasir laut, industri, dan perikanan.
Implikasi Lingkungan Terkait dengan dampak lingkungan yang ditimbulkan dari penambangan pasir !aut, maka upaya yang perlu dilakukan adalah melakukan pengendalian yang ketat untuk meminimalkan dampak-dampak yang dapat ditimbulkan.
Pengendalian ini
dilaksanakan mulai dari tahap perencanaan hingga pengawasan/monitoring. Beberapa aspek pengendalian yang penting yang dapat dilakukan adalah:
Pengendalian Eksploitasi. Pengendalian eksploitasi harus dilakukan mulai dari tahap pra penambangan, tahap penambangan, dan pasca penambangan sesuai dengan Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan No. Ol/K-T4LIVIII/2002. Pelaksanaan pengendalian dan pengawasan pengusahaan pasir laut meliputi pengendalian dan pengawasan administratif dan operasional pengawasan, serta pengamanan. Tahap pra penarnbangan meliputi persiapan, perizinan, studi eksplorasi, studi kelayakan, dan ANDAL.
Pengendalian pada tahap ini dilakukan terhadap materi
I I6 laporan dan kenyataan di lapangan. Pada tahap penambangan, pengendalian dilakukan terhadap: I. Penyediaan kapal keruk;
p~ngendalian
dilakukan terhadap karyawan, jumlah ·kapal
yang melakukan operasi pengerukan, jenis kapal, kapasitas kapal, kelayakan dan perizinan berlayar dari kapal keruk.
Kapal keruk yang tidak layak dapat
menimbulkan pencemaran karena kebocoran, alat penggali pasir yang bersifat merusak, dan lain-lain. 2. Pergerakan kapal keruk dari pelabuhan ke lokasi penambangan; pengendalian
dilakukan untuk mengetahui alur pelayaran kapal keruk, apakah melewati daerah tangrapan ikan relayan. 3. Metode
2~au
cara-cara pengerukan; pengerukan harus dilakukan dcngan cara yang
aman berdasarkan pemilihan material, jalur pengerukan, volume pengerukan diawasi dengan alat pantau produksi (AVL), bahan-bahan material yang dikeruk, Iimbah-Iimbah yang terjadi dan dihasilkan, waktu pengerukan, serta lamanya pengerukan. 4. Transportasi ke tern pat pendaratan pasir; tonase, jumlah rit, lokasi penimbunan. Pada tahap pasca penambangan, dilakukan pemantauan pada area-area yang telah ditambang, meliputi keadaan batimetri pasca penambangan, serta kondisi fisik lainnya. Pihak-pihak
yang
memiliki
wewenang
untuk
melakukan
pengendalian
pengawasan secara formal adalah instansi atau unit unit yang berkepentingan dengan pengelolaan pasir Iaut, baik pada tingkat pusat, propinsi, maupun Kabupaten, yaitu Wakil dari Tim Pengendali dan Pengawasan Pengusahaan Pasir Laut (TP4L), TNI-AL, Polairud-Polri, Ditjen Pengendalian Sumberdaya Kelautan dan Perikanan Departemen Kelautan dan Perikanan, KPLP Ditjen Perhubungan Laut Departemen Perhubungan, Ditjen Bea dan Cukai Departemen Keuangan, Ditjen Perdagangan Luar Negeri Departemen Perdagangan, Pelaksana Inspeksi Tambang (PIT), Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) Perikanan, PPNS Lingkungan Hidup, Gubemur dan unit-unit terkait, dan Bupati serta unsur-unsur terkait. Mengingat pasir )aut merupakan sumberdaya tak dapat pulih, dampak lingkungan yang ditimbulkan dari penambangan pasir laut merup1kan dampak yang berdimensi jangka panjang, maka diperlukan suatu pernbatasan eksploitasi, baik pembatasan
117
produksi pasir laut maupun pembatasan hak (limited term right) pemanfaatan pasir laut, sehingga pihak pemanfaat pasir laut tidak terus menerus melakukan ekstraksi dalam jangka panjang. Selain itu pula diperlukan sistem kuota untuk membatasai eksploitasi pasir laut yang berlebihan.
Hal ini diperlukan agar pihak pemanfaat pasir laut
melakukan aktivitas penambangan secara terkendali. Pengendalian
Biofisik.
Pengendalian
biofisik
terutama dilakukan
untuk
mencegah atau meminimalkan dampak fisik dari penambangan pasir laut, yaitu abrasi. Upaya yang dapat dilakukan adalah dengan membuat tanggul-tanggul pemecah ombak, penanaman kembali tanaman bakau dan sejenisnya yang berfungsi untuk meredam energi gelombang sebelum menghempas ke pantai.
Pengamanan pantai juga dapat
dilakukan dengan membuat terumbu karang buatan. Sistem pengaman ini selain dapat meningkatkan daya tahan terhadap erosi dan gelombang besar, juga berfungsi untuk menciptakan suasana pantai yang estetik. Seperti dijelaskan sebelumnya bahwa di perairan pantai Pontang dan Tirtayasa terdapat aktivitas penambangan pasir pantai (sand beach mining), dimana aktivitas penambangan ini memiliki kontribusi yang besar terhadap percepatan abrasi pantai, maka perlu ada kebijakan pelarangan penambangan pasir ini, yang tentu saja harus pula memperhatikan aspek sosialnya, karena para penambang liar ini adalah masyarakat kecil yang tujuannya semata-mata memenuhi kebutuhan hidupnya. Pengendalian Dampak Lingkungan.
Dampak lingkungan yang ditimbulkan dari
penambangan pasir laut merupakan issue terbesar dalam pengelolaan pasir laut, sehingga pengendalian dampak ini memiliki porsi yang besar. Pengendalian dampak lingkungan dapat dilakukan dengan : I. Pengaturan lokasi penambangan. Menurut para nelayan, seringkali penambangan dilakukan pada daerah-daerah tangkapan nelayan (fishing ground), sementara sebagian besar nelayan-nelayan lokal yang ada hanya memiliki daya jelajah maksimal mencapai 2 mil, sehingga perlu diatur zona-zona penambangan yang tidak berbenturan dengan daerah tangkapan nelayan. Selain itu, zona penambangan harus memperhe:ikan keberadaan pulau-pulau kecil seperti Pulau Panjang, Pulau Tunda, dan Pulau Pamujan. Pulau-
118 perikanan pengembangan untuk potensial yang pulau kecil merupakan daerah
maupun wisata bahari.
Bila penambangan terlalu dekat dengan pulau-pulau menimbulkan
pencemaran yang akan
mengganggu kegiatan perikanan dan wisata bahari.
Secara fisik, bila zona
tersebut,
maka dikhawatirkan akan
penambangan ini tidak dikendalikan, dalam jangka waktu tertentu pulau-pulau kecil ini akan tenggelam. 2. Pengaturan aktivitas penambangan, dilakukan dengan : (I)
Pembatasan volume penambangan pada zonalblok penggalian yang sam a. Pembatasan volume ini disesuaikan dengan potensi pasir laut yang ada pada titik atau kawasan tertentu. Pembatasan volume dapat dilakukan dengan cara membatasi produksi pasir pada setiap zonalblok penggalian, misalkan sebesar
50 % dari potensi yang ada.
Pembatasan volume penambangan ini ini
dimaksudkan untuk memberi kesempatan bagi laut atau dasar
la~t
untuk
melakukan self purification dengan terisinya kembali lubang-lubang bekas penggalian pasir. (2)
Pengaturan kapasitas tongkang pada saat pemuatan pasir.
Pengaturan ini
dimaksudkan untuk meminimalkan resiko limbah galian (air taut dan lumpur) yang tertumpah kembali ke Iaut, baik selama pemuatan maupun pengangkutan. Pengaturan kapasitas tongkang ini dilakukan dengan membatasi volume pasir yang dimuat di tongkang. Pasir galian yang akan dimuat di tongkang tidak haros diisi sesuai dengan kapasitas tongkang, misalnya hanya mengisi pasir sebanyak 80 % dari kapasitas tongkang. (3)
Pengaturan sistem drainase di atas tongkang. Pengaturan sistem drainase di atas tongkang dilakukan dengan membuat saluran buangan dari atas tongkang menuju ke dekat dasar perairan sehingga limpahan lumpur dan kelebihan air dapat mengalir kembali ke dasar perairan, tidak mengalir ke kolom air atau pennukaan perairan.
3. Pengaturan Kualitas Air Aktivitas penggalian pasir dan pemuatan pasir ke dalam tongkang akan meningkatkan kekeruhan air laut dan padatan tersuspensi sehingga dapat
119
mengurangi oksigen terlarut. Aktivitas alat-alat penambangan dan transportasi juga kemungkinan akan menyebabkan teljadinya tumpahan minyak dan oli ke laut. Dampak yang ditimbulkan dari kegiatan tersebut akan terjadi disekitar ·lok~si penambangan dan dapat menyebar tergantung pada arah dan kecepatan pergerakan air laut dan pencemaran yang ditimbulkan ini akan terns berlangsung selama periode operasional penambangan selama bertahun-tahun.
Perlu dilakukan pemantauan
kualitas air secara berkala. Pemantauan ini harus dilakukan dengan standar ilmiah yang memadai. Upaya untuk membatasi penyebaran dampak penambangan terhadap kualitas perairan dapat dilakukan pula dengan memasang
p~nghalang
fi::.ik (physical
barrier), seperti saringan lempung (.'iilt screen) pada blok-blol penambangan yang
bersifat portable. Silt screen ini harus terbuat dari bahan-bahan fabrikasi yang dapat mengapung atau mengambang di air laut, seperti plastik, fibreglass. Bagian atas silt screen ini diikat dengan pelampung dan bagian bawah diberi pemberat atau jangkar.
Metode ini akan efektif pada kondisi gel om bang kecil dan kecepatan arus tidak lebih dari 50 cm/detik. 4. Pengawasan Semua upaya-upaya pengendalian harus diiringi dengan adanya pengawasan yang intensif dan sungguh-sungguh, yang memiliki kekuatan hukum serta ditunjang oleh sumberdaya manusia yang berintegritas dan memiliki kemampuan teknis yang memadai. Pemerintah daerah Kabupaten Serang mengakui memiliki keterbatasan teknis dan finasial untuk melakukan pengawasan yang memadai, oleh karena itu diperlukan bantuan teknis dan finansial dari pemerintah propinsi maupun pusat, artinya diperlukan suatu integrasi dan koordinasi antara pemerintah kabupaten. propinsi, dan pusat dalam pengawasan ini. Implikasi Sosial Dampak sosial yang ditimbulkan dari penambangan pasir laut yaitu adanya konflik, terkait atau dilatarbelakangi oleh keadaan sosial ekonomi masyarakat. Kontlik yang terjadi di Kecamatan Tirtayasa khususnya, tidak saja terjadi pada periode
120
penambangan pasir laut, tetapi sudah terjadi ketika masa-masa awal proses eksplorasi serta proses pengajuan rekomendasi dari masyarakat. Berdasarkan wawancara dengan salah satu aparat desa, masyarakat sejak awal tidak menyetujui rencana operas• penambangan pasir laut di wilayah Tirtayasa.
Ketidaksetujuan ini terkait dengan
adanya keraguan dan ketakutan masyarakat akan bahaya yang dapat ditimbulkan dari penambangan pasir laut serta terganggunya operasi penangkapan ikan oleh nelayan. Hal ini terkait pula dengan dampak yang pemah terjadi di witayah perairan Tangerang. Apabila konflik yang terjadi tersebut dikaji, maka penyebab terjadinya kontlik adalah adanya (I) misinfonnasi dan (2) perbedaan nilai, kepentingan, atau alokasi kP.untungan dan kerugian. Pemerintah daerah kurang memiliki infonnasi yang dibutuhkan untuk mengambil keputusan secara bijaksana, mendapatkan infonnasi yang salah, tidak sepakat dengan apa saja yang relevan terjadi dalam masyarakat. Masyarakat sejak awal tidak setuju dengan adanya penambangan pasir taut, namun telah terjadi manipulasi infonnasi sehingga diperoleh kesimpulan bahwa bahwa masyarakat memberikan rekomendasi terhadap penambangan pasir Iaut. Setelah terjadinya konflik, pemerintah daerah sempat menghentikan sementara operasi penambangan pasir Iaut melalui Surat Keputusan Bupati, namun surat keputusan ini kemudian dicabut kembali dan hal tersebut menimbulkan konflik Iebih Ianjut. Sementara itu, pihak pemerintah daerah beranggapan bahwa demonstrasi itu tidak mumi didasari oleh keinginan disusupi oleh kepentingan-kepentingan tertentu. Masyarakat
masyar~kat, nelay~.n
tapi sudah
oleh pemerintah
daerah dikelompokkan menjadi masyarakat yang pro dan kontra terhadap penambangan pasir laut.
Masyarakat yang berdemonstrasi dikategorikan sebagai masyarakat yang
kontra terhadap penambangan
pa~;r
laut. Namun berdasarkan wawancara dengan salah
satu nelayan yang tidak menyetujui penambangan pasir laut, mereka tidak ikut berdemonstrasi karena dianggap hanya membuang waktu dan tenaga, sementara mereka harus menafkahi keluarga. Karena minimnya sistem pengendalian, maka tidak diketahui apa yang sebenamya terjadi dalam operasi penambangan pasir Iaut di lapangan.
Pemerintah daerah
beranggapan bahwa penambangan pasir taut dilakukan pada Iokasi-Iokasi yang telah ditentukan dan sesuai dengan prosedur, namun masyarakat menyatakan bahwa penambangan dilakukan pada lokasi yang dekat dengan pantai dan mengganggu operasi
121
nelayan. Menurut masyarakat terdapat beberapa kapal pengeruk yang beroperasi setiap harinya. Daiam satu kali operasi memerlukan waktu 2-3 jam dan setiap harinya terdapat : kapal pengeruk pasir sehingga menghasilkan volume pasir laut yang besar setiap harinya.
Selain itu, nelayan juga beranggapan bahwa bersama-sama dengan pasir,
terikut pula biota-biota perairan seperti ikan-ikan. Volume pasir yang relatif dianggap besar, membuat masyarakat memberikan penilaian, bahwa perusahaan memiliki keuntungan yang sangat besar, sangat bertentangan dengan masyarakat nelayan yang mengalami penurunan pendapatan. Konflik sebenamya juga terjadi antara pemerintah daerah dan perusahaan penambang
p~sir
laut. Perusahaan harus membayar pajak sesuai dengan data laporan
mingguan yang didasari atas tramported volume, sedangkan perusahaan menerima harga pasir laut berdasarkan produksi yang didasari oleh pengukuran topografi di darat, kondisi ini menciptakan kondisi yang rawan manipulasi.
Selain itu, perusahaan
menganggap pemerintah daerah tidak berperan aktif dalam menangani konflik yang terjadi. Perbedaan ini sangat jelas terlihat antara kepentingan pemerintah daerah, perusahaan, dan masyarakat, serta LSM. Pemerintah daerah beranggapan bahwa pada era otonomi daerah, daerah berhak dan bertanggungjawab lebih besar dalam mengelola sumberdaya wilayahnya. Pasir laut merupakan bahan galian dari sumberdaya pesisir dan lautan yang perlu dikelola dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat cian mengupayakan kontribusi bagi pendapatan daerah. Perusahaan memandang pasir laut sebagai laban bisnis yang menguntungkan karena memiliki pasar yang jelas (captive
market). Masyarakat berpandangan bahwa pasir laut merupakan habitat bagi berbagai organisme laut yang bemilai ekonomis dan da1"'m jangka panjang bila pasir Iaut hilang, maka sebagian besar nelayan akan kehilangan mata pencaharian.
LSM dan juga
masyarakat berpandangan bahwa pasir Iaut memiliki nilai ekologis yang sangat besar, sehingga penambangan pasir laut merupakan suatu langkah yang lebih banyak menimbulkan kerugian. Pada sisi lain, masyarakat beranggapan bahwa perusahaan memiliki keuntungan yang sangat besar dari penambangan pasir Iaut, sementara masyarakat mengalami kerugian akibat menurunnya basil tangkapan ataupun terancamnya pemukiman nelayan dan tambak karena abrasi pantai. Dengan melihat pada dana community development
122 setara atau tahun satu selama 815.000.000 Rp. yang telah dialokasikan yaitu sebesar
dengan 0. 74 % dari keuntungan kotor perusahaan per tahun, maka nilai tersebut relatif sangat kecil dan alokasi dana tersebut belum menyentuh pada kegiatan kegiatan yang benar-benar dapat meningkatkan pendapatan nelayan. Oleh karena itu diperlukan suatu perhitungan dan mekanisme kompensasi yang dirasakan lebih adil pada seluruh stakeholder, terutama bagi masyarakat nelayan. Kontlik sebagai konsekuensi dari adanya perbedaan-perbedaan dalam masyarakat dalam kaitannya dengan pemanfaatan sumberdaya alam dan penyelesaian kontlik ini biasanya sulit dicapai untuk dua hal yang saling berkaitan : pertama, keuntungan dan kerugian pembangunan cenderung terbagi tida!: merata tennasuk hal-hal tak teruk"r yang sulit untuk dibandingkan; dan kedua, banyak kelompok dengan pandangan dan interpretasi yang berbeda selalu terlihat. Secara politis, pihak pemerintah daerah telah melakukan upaya untuk meminta bantuan pada pihak Iegislatif untuk berkonsultasi atau mengadakan dengar pendapat dengan masyarakat, maupun meminta bantuan kepada para ahli. Pemerintah daerah telah pula berupaya melakukan penjaringan aspirasi masyarakat, namun upaya ini belum optimal karena tidak terjadi dialog yang intensif dan belum menghasilkan keputusan yang memuaskan kedua belah pihak. Mayarakat masih dilanda keresahan dan kontlik dan pihak perusahaan dilanda ketidakpastian usaha. Kontlik lcepentingan tidak saja terjadi .akibat penambangan pasir laut oleh perusahaan, tetapi juga terjadi antara masyarakat petambak dengan penambangpenambang liar yang melakukan penambangan pasir pantai (sand beach mining). Penambangan ini sudah berlangsung bertahun-tahun dan dilakukan pada malam hari. Penambangan liar ini sebenamya memiliki dampah.. atau kontribusi besar terhadap percepatan abrasi, namun masyarakat dan
pem~rintah
mengalami suatu dilema karena
yang melakukan penambangan ini adalah masyarakat yang tujuannya semata-mata adalah untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Pasir laut sebagi suatu komoditi, menimbulkan kontlik kepentingan dari berbagai pihak/perusahaan yang berambisi untuk memperoleh izin atau hak konsesi dengan memailfaatkan masyarakat yang dilanda keresahan. Adanya mekanisme perizinan yang jujur dan transparan serta memberikan perlakuan yang adil kepada semua pihak
123
pemanfaat pas1r laut yang diiringi dengan adanya peraturan yang tegas mutlak diperlukan. Terkait dengan kontlik yang terjadi, bila proses secara hukum dan politis tidak dapat dilaksanakan, maka upaya yang perlu dilakukan adalah mencari altematif penyelesaian konflik, terdapat 4 jenis altematif penyelesaian konflik (Mitchell et a/. 2003), yaitu (I) konsultasi publik, (2) negosiasi, (3) mediasi, dan (4)arbitrasi.
Gagasan dasar dari konsultasi publik adalah untuk saling membagi informasi, meyakinkan bahwa berbagai pandangan dikemukakan, membuka proses manajemen sehingga dapat berlangsung efisien dan adil, kesemw:mya untuk
JTI~yakinkan
bahwa
semua pihak mendapatkan kepuasan yang sama. Jika hal-hal tersebut dapat dipenuhi, Jsu-Jsu yang dipertentangkan dapat diselesaikan sebelumnya sehingga kontlik dapat dihindari. Negosiasi melibatkan situasi dimana dua atau lebih kelompok bertemu secara sukarela dalam usaha untuk mencari isu-isu yang menyebabkan konflik.
Tujuannya
adalah untuk meraih kesempatan yang saling diterima oleh semua pihak secara konsensus. Dalam negosiasi tidak ada pihak luar yang memberikan bantuan, dan pihak yang bersengketa hams memiliki kemampuan untuk bertemu dan membicarakan sengketa secara bersama. Mediasi memiliki karakteristik dari negosiasi, ditambah dengan pihak keterlibatan pihak ketiga yang netral.
Pihak ketiga tidak memiliki kekuatan untuk memutuskaP
kesepakatan, akan tetapi berfungsi sebagai fasilitator dan perumus persoalan dengan tujuan untuk membantu pihak yang bersengketa agar bersepakat.
Dalam arbitrasi ·
terdapat pihak ketiga yang yang memiliki kewenangan untuk mengambil keputusan, yang mengikat maupun tidak mengikat Upaya untuk melaksanakan pelaksanaan konflik hams diiringi dengan community
development, baik yang ditujukan untuk meningkatkan kapabilitas masyarakat (nelayan) dalam perekonomian, maupun dalam kerangka memperbaiki kondisi sosial masyarakat.
Pemberdayaan Masyarakat Seperti sudah diuraikan sebelumnya, secara formal sudah ditetapkan aturan keharusan melaksanakan community development sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari kebijakan penambangan pasir laut. Hal penting dari community development ini
124 tidak saja dilihat dari besamya dana yang dialokasikan, namun lebih dari itu community
development haruslah merupakan suatu proses empowerment nelayan.
Pelaksanaan
commumty development ini tidak saja dilakukan untuk meningkatkan kapasitas produktifitas nelayan, tetapi juga memberikan andil pada masyarakat untuk berperan dalam pengendalian penambangan pasir Iaut. Salah satu pendekatan yang dapat dilakukan dalam proses community development adalah melalui pendekatan kontlik, yaitu menciptakan keadilan sosial dan pemerataan kcmakmuran
dipusatk~n
pada terciptanya distribusi sumberdaya ekonomi dan sosial
yang lebih merata dan membela kelompok masyarakat marjinal (miskin dan minoritas) (Tickson 2000). Keberdayaan terkait dengan kekuatan suatu entitas, dan unsur-unsur
kekua~an
ini
adalah (Kirst-Ashman 2000): I. I<.esejahteraan Nelayan pada umumnya merupakan suatu kelompok dengan tingkat kesejahteraan yang sangat rendah. Tingkat kesejahteraan yang relatif rendah ini terkait dengan sumber mata pencaharian yang hanya mengandalkan sumberdaya perikanan yang mengalami fluktuasi musiman serta adanya faktor-faktor ekstemal seperti pencemaran yang mempengaruhi produksi perikanan. Masyarakat nelayan yang pendapatannya sudah berkurang karena faktor alam, kemudian harus menghadapi tekanan dengan adanya penambangan pasir laut, menjadikan kesejahteraan mereka semakin menurun, maka melakukan aksi demonstrasi merupakan suatu alasan yang rasional. Telah banyak upaya dilakukan oleh pemerintah pusat maupun daerah untuk memberdayakan masyarakat nelayan ini yang tujuannya adalah meningkatkan kesejahteraan nelayan. Tetapi temyata upaya-upaya yang dilakukan tersebut belum mencapai tujuan dan sasaran yang diharapkan. Upaya meningkatkan kesejahteraan nelayan secara tidak langsung dilakukan dengan meningkatkan skill para nelayan serta meningkatkan sarana-sarana produksi, seperti alat tangkap dan armada penangkapannya, sehingga nelayan mampu melakukan operasi penangkapan pada wilayah-wilayah yang lebih jauh. Secara proporsional, terkait dengan penambangan ... pasir laut ini, apabila dikaji diperhatikan elemen-elemen penangkapan nelayan,
125 pada desa-desa yang mengalami konflik akibat penambangan pasir Jaut, nelayan
menggunakan alat tangkap yang dioperasikan hingga menyentuh dasar perairan yang tentu saja mengalami hambatan bila kedalaman perairan meningkat karena adanya penambangan pasir Jaut.
Kapasitas nelayan harus ditingkatkan sehingga
memiliki kemampuan untuk mengatasi hambatan akibat perubahan-perubahan fisik Iingkungan Jaut, misalnya melalui armada perikanan yang lebih besar dengan alat tangkap yang lebih beragam, ataupun mengintroduksi marikultur (hudidaya perikanw: /aut) kepada para nelayan. 2. lnformasi Dalam arti Iuas, informasi menyangkut pula pengetahuan. Masyarakat nelayan tergolong sebagai masyarakat dengan mobilitas yang rendah serta memiliki akses yang minim terhadap informasi.
Konflik merupakan suatu hal yang berkonotasi
negatif, tapi sebenamya konflik merupakan suatu hal yang positif bila masyarakat memiliki informasi yang benar. Konflik mencerminkan aksi tawar masyarakat kepada pemerintah daerah. Terkait dengan konflik yang teijadi, masyarakat tidak memiliki informasi yang memadai, mudah termakan oleh issue-issue sehingga bersikap brutal dan akhimya hanya menjadi korban dan dianggap sebagai pelaku kriminal. Pemerintah daerah sebagai penentu kebijakan, sudah seharusnya memberikan informasi yang benar dan sejelas-jelasnya kepada masyarakat dan melakukan dialog terbuka dengan masyarakat.
Menurut masyarakat, pemerintah
belum melakukan dialog terbuka dengan masyarakat, pemerintah daerah dianggap hanya melakukan dialog dan negosiasi dengan kalangan tertentu yang kemudian menyampaikan informasi yang tidak proporsional kepada masyarakat. Terkait
dengan
kesejahteraan,
bagaimana
meningkatkan
pengetahuan
masyarakat nelayan merupakan elemen yang penting dalam pemberdayaan masyarakat. Upaya pembinaan dan pembelajaran masyarakat nelayan secara terusmenerus dengan memperhatikan sosial-ekonomi-dan kultur masyarakat mutlak diperlukan. Kondisi sosial ekonomi serta adanya informasi-informasi yang terserap oleh akan membentuk persepsi masyarakat, oleh karena itu apabila dilihat dari sisi proses community development, maka dalam pengelolaan pasir laut ini diperlukan suatu
126
technical assistant, dimana diperlukan agen pembaharuan yang dianggap ahli yang dapat merubah persepsi dan perilaku masyarakat serta mampu menstimulasi pertumbuhan ekonomi masyarakat nelayan.
Masyarakat perlu diarahkan untuk
memiliki persepsi yang benar dan jujur tentang apa yang sebenamya dihadapinya, serta memiliki kekuatan dan kemampuan untuk menyaring informasi sehingga tidak mudah termasuk oleh issu-issu yang akan merusak tatanan masyarakat. 3. Pengambil Keputusan Pengambil keputusan ini terkait dengan tingkat partisipasi masyarakat dalam kebijakan di
t~ngkat
birokrasi serta kemampuan masyarakat untuk melakukan posisi
tawar terhadap pemerintah.
Meningkatkan partisipasi masyarakat bukan semata-
mata bagaimana meningkatkan kemampuan masyarakat untuk berpartisipasi, tetapi juga memberikan tekanan pada pengambil kebijakan pada tatanan birokrasi untuk memberikan porsi yang besar serta legalitas terhadap partisipasi masyarakat. Salah satu elemen kesuksesan partisipasi yang mirip dengan elemen penyelesaian konflik adalah alokasi keuntungan yang seimbang untuk semua stakeholder (Mitchell et a/. 2003 ). semua
stakeholder,
khususnya
Jika tidak ada keuntungan yang nyata untuk
kepada
nelayan
yang
mengalami
dampak
penambangan pasir !aut, dan walaupun terdapat pembagian keuntungan, namun keuntungan (manfaat) tersebut dipandang tidak adil untuk semua stakeholder, maka partisipasi yang Ianggeng sui it untuk dicapai.
Dalam pengendalian penambangan pasir laut, memberikan wewenang serta kekuatan hukum pada masyarakat untuk melakukan pengawasan merupakan suatu hal yang dapat dilakukan tidak saja terkait dengan masalah dampak yang mereka alami, tetapi juga akan mengurangi biaya pengendalian. Namun demikian, hal ini harus dilakukan secara hati-hati agar tidak muncul sitat oportunis dalam masyarakat yang memanfaatkan keadaan. Selain itu, masyarakat harus memiliki kemampuan dan kapabilitas untuk membuktikan adanya pelanggaran yang dilakukan oleh pihak pengusahaan pasir Iaut maupun dapat membuktikan bahwa mereka terkena dampak dari penambangan pasir laut.
Pengalaman empiris menunjul:kan bahwa meskipun
masyarakat merasakan dampak (lingkungan) dari suatu aktivitas penambangan,
mer~ka
127 tidak selalu mendapatkan kompensasi akibat dampak tersebut, karena masyarakat tidak
memiliki kemampuan untuk membuktikan adanya "injury" yang mereka alami. Kompensasi yang layak dapat d;berikan bila dapat dibuktikan atau didefinisikan tentang siapa pemilik sumberdaya (property right), siapa saja yang dirugikan akibat suatu aktivitas, dimana saja yang dirugikan, siapa yang menimbulkan kerugian, dan seberapa besar kerugiannya (Fauzi dan Anna 2005).
Tabel 43. Kondisi Eksisting Penambangan Pasir Laut dan Upaya-Upaya yang Perlu Dilakukan ~
-
--·
-----------
~--~
~-----··--------··-
__!:_ As~ek Ekonomi
----Upaya yang perlu --~---~. . Detall/lnstrumen Stakeholder ···---------- f . - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - _____ dll=:tkt_l~~---- -- - - - - - - - - - - - - - - ------·~·-~-
Kondisi Existing ·-
--------~---
----
I. Mikro 2. Makro
3. Dampak pelarangan 4. Penurunan surplus produsen
• Pajak Rp. 1.000/M3 atau 1.18% dari harga • Meningkatkan pajak pasir taut • Menerapkan userfee • Penerimaan pemerintah Rp. 2.194.103.000 per tahun atau 3.55% terhadap PAD dan 0.025 % ~erhadap PDRB Total lost sebesar Rp. 155.781.313.000 per tahun • Rp.16.212.990.000 per tahun (udang paling • Pemberdayaan nelayan drastis mengalami penurunan, ikan tidak mengalami penurunan • Penurunan pendapatan nelayan (penurunan lebih dari 50 %) • Pengendalian effort perikanan
PERDA
Pemda
· · - '-----------
Peningkatan kapasitas nelayan : armada penangkapan, skill, alat tangkap introduksi marikultur Pembatasan jumlah alat tangkap, larangan penggunaan alat tangkap yang bersi fat merusak . (arad).
II. Aspek Sosial
1. Konflik
2. Partisipasi masyarakat 3. Persepsi
-----~-
Detail
• Konflik pemerintah dengan masyarakat • Konflik masyarakat dengan pengusaha penambangan • Konflik petambak dengan penambang liar • Konflik intern dalam masvarakat Rendah
• Meningkatkan Community Dewlopment
• Alternatifpenyelesaian konflik
•
• •
Menolaklmenerima dengan catatan
•
Pemda, DKP, LSM, Perguruan Tinggi
-------Pemda
--·
Memberikan kompensasi yang layak pada nelayan Pendekatan Se(f-Help, Technical A.,·sistant,
Konflik Partisipasi masyarakat dalam pengendalian dan pengawasan Meningkatkan transparansi
--
Perusahaan, masyarakat, Pemda, LSM, Perguruan Tinggi
128
Tabel 43. Kondisi Eksisting Penambangan Pasir Laut dan Upaya-Upaya yang Perlu Dilakukan ·---·----
Kondisi Existing
Detail
-·-
-
Upaya yang perlu dilakukan
Detailllnstrumen
• --III. Aspek Lin2kUn2an I . TSS (Total Su:,pended Solid)
-
-
---- -Meningkat
1. Pengendalian eksploitasi
2. Kekeruhan
Meningkat
2. Pengendalian biofisik
3. Gosong pasir
Hilang
3. Pengendalian dampak lingkungan
4. Padang lamun
Hilang
IV. KELEMBAGAAN FORMAL 1. Keterbatasan teknis dan finansial dari pemda kabupaten untuk melakukan sistem pengendalian yg layak 2. Belum adanya peraturan pad a tingkat daerah yang mengatur berbagai aspek dalam pengelolaan pasir !aut 3. Kurang terintegrasinya dan _!_erkQ9!dinasin}'! kebijakan ______ ---·
..
Meningkatkan dialog
Stakeholder
l.imited term right, kuota.
-
pengendalian, operasi kapal keruk, metode pengerukan. pemantauan area penambangan Membuat tanggul pemecah ombak, penanaman tanaman bakau, pembuatan terumbu karang buatan, pelarangan penambangan pasir pantai Pengaturan lokasi penambangan, pengaturan aktivitas penambangan. pengelolaan kualitas air, pengawasan
Technical Assistant,
integrasi kebijakan antara Pemda kabupaten, propinsi, dan pemerintah pusat Mendorong PEMDA untuk mengeluarkan kebijakan tentang berbagai aspek dalam pengelolaan pasir taut Meningkatkan kerjasama dan koordinasi antara
-Pemda. masyarakat, aparat penegak hukum. LSM PEMDA, masyarakat
Pemda, masyarakat, aparat penegak hukum, LSM
Pemerintah propinsi, pusat, perguruan tinggi, LSM LSM, Perguruan Tinggi
Pemerintah kabupaten,
129
Tabel 43. Kondisi Eksisting Penambangan Pasir Laut dan Upaya-Upaya yang Perlu Dilakukan Kondisi Existing
pengelolaan pasir laut antara pemerintah kabupaten, propinsi, dan pusat.
Detail
Upaya yang perlu dilakukan
Detailllnstrumen
Stakeholder
penwrintah kabupaten, [ propinsi, pusat propinsi, dan pusat dalam kebijakan pengelolaan pasir !aut
130
131
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan
I. Pasir !aut di Kabupaten Serang memiliki potensi cadangan dan potensi ekonomi yang cukup tinggi. Potensi ekonomi ini meliputi potensi penerimaan pemerintah dari pajak sebesar Rp. 2 milyar per tahun dan bila pajak ditingkatkan, potensi penerimaan ini lebih besar lagi. Bila diberlakukan pelarangan penambangan, maka terdapat potentia/loss sebesar 156 milyar per tahun atau hampir mencapai 2 trilyun dalam jangka waktu I 5 tahun. Selama peri ode penambangan pasir laut telah terjadi penurunan surplus produsen yang mencapai Rp. 16.212.990.000,-
per tahun.
Dampak sosial yang dominan akibat penambangan pasir !aut adalah munculnya konflik dalam masyarakat, baik konflik horisontal maupun vertikal. Penambangan menimbulkan pencemaran, yaitu meningkatkan tingkat kekeruhan dan kadar TSS dalam perairan, secara tidak Iangsung dan dalam jangka panjang berpengaruh terhadap perekonomian karena menurunnya produksi perikanan. Dampak abrasi yang ditimbulkan dari penambangan pasir laut sukar untuk diidentifikasi karena secara alami sudah terjadi proses abrasi dan akresi. 2. Menurut persepsi masayarakat nelayan, selama periode penambangan telah terjadi penurunan pendapatan dan penambangan pasir laut adalah penyebab atau salah satu penyebab dari penurunan tersebut, alasan lainnya adalah kondisi alam, limbah, semakin meningkatnya jumlah nelayan dan kapal-kapal nelayan dan gabungan antara semuanya. Sebagian besar responden menyatakan tidak setuju dengan penambangan pasir laut jika kondisinya seperti sekarang ini. Dampak yang ditimbulkan oleh penambangan pasir laut menurut persepsi masyarakat terdiri dari dampak fisik-ekologis dan dampak ekonomi.
Dampak fisik-ekologis dari
penambangan pasir laut adalah hilangnya gosong pasir, meningkatnya abrasi, meningkatnya kedalaman perairan, meningkatnya kekeruhan, hilangnya komunitas lamun. Bagi para petambak, selama periode penambangan pasir, panen udang alam di tambak menurun walaupun belum dapat diduga penurunan tersebut karena penambangan pasir Iaut.
Dampak ekonomi yang dirasakan nelayan adalah
menurunnya pendapatan lebih dari 50 % dari pendapatan semula.
132
3. lmplikasi kebijakan yang muncul adalah bagaimana penambangan pasir )aut ini memberikan manfaat yang optimal serta terjadi alokasi manfaat yang dirasakan lebih adil diantara stakeholder terutama masyarakat nelayan, serta meminimalkan dampak lingkungan. Upaya yang dapat ditempuh adalah dengan meningkatkan nilai pajak, penetapan user fee. Upaya pengendalian effort perikanan diperlukan untuk mengatasi kondisi perikanan yang telah mengalami over jilzing, diiringi dengan upaya untuk meningkatkan produktifitas dan peningkatan pendapatan nelayan. Upaya pengendalian yang ketat diperlukan untuk meminimumkan dampak lingkungan yang ditimbulkan dari penambangan pasir laut, yang meliputi pengendalian eksploitasi, pengendalian biofisik, dan lingkungan.
pengendalian dampak
Diperlukan upaya altematif penyelesaian konflik untuk mengatasi
konflik yang terjadi disertai dengan community development yang lebih intensif dan terarah.
Secara Iebih Iuas, pengelolaan pasir Iaut harus terintegrasi dengan
pengelolaan wilayah pesisir sehingga diperlukan koordinasi dan integrasi kebijakan antara pemerintah kabupaten, propinsi, dan pusat.
Saran Adanya kekurangan dari penelitian ini serta implikasi-implikasi yang muncul dari penambangan pasir laut, maka hal-hal yang dapat disarankan adalah : I. Adanya kajian yang lebih detail tentang dampak lingkungan penambangan pasir laut, khususnya terkait dengan perubahan kualitas perairan serta hubungannya dengan produksi perikanan. 2. Adanya kajian tentang mekanisme penetapan user fee dan kompensasi bagi pengguna sumberdayh di wilayah pesisir yang terkena dampak penambangan pasir Iaut.
133
DAFTAR PUSTAKA Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten Serang. 2003. Potensi Desa Tahun 2003. Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah Kabupaten Serang. Serang. Anwar A 1990. Beberapa Konsepsi Alokasi Sumberdaya Alam untuk Penentuan Kebijaksanaan Ekonomi ke Arah Pembangunan Berkelanjutan. Makalah Seminar Ilmu Tanah Indonesia, Ujung Pandang, 9-10 Oktober 1990. Anwar A 2002. Teori Pennainan (Game Theory) dan Aplikasinya Dalam Analisis Ekonomi. Bahan Perkuliahan Ekonomi Eksperimental. Program Studi Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayzh dan Pedesaan PPs IPB. Anwar A 2003. Masalah Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Kebjaksanaan Pengendalian Terhadap Kerusakannya. Bahan Perkuliahan Ekonomi Sumberdaya Alam dan Lingkungan. Program Studi Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Pedesaan PPs IPB. Bernas. 20 Maret 2003. Buntu, Perseteruan PT KLI dan Petani Tambak. (http://www.indomedia.com/bemas/9810/14/utama/14jat3.html). Dahuri R, Rais J, Ginting SP, Sitepu MJ. 1987. Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu. Pradnya Paramita. Jakarta. Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Serang. 200 I. Dinas Perikanan dan Kelautan Dalam Angka Tahun 2001. Serang. Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Serang. 2002. Dinas Perikanan dan Kelautan Dalam Angka Tahun 2002. Serang. Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Serang. 2003. Dinas Perikanan dan Kelautan Dalam Angka Tahun 2003. Serang. Fauzi A 1999. Metode Valuasi Ekonomi Dampak Lingkungan. Makalah disampaikan pada seminar ''The Role of Economic valuation in EIA, PPSML UI. Jakarta 18 November 1999. ___. 2000.. Valuasi Ekonomi Sumberdaya Pesisir. Makalah disampaikan pada pelatihan "Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, Proyek Kerjasama IPB-New Guinea University of Technology, 20-25 Maret 2000. Bogor. ___. 2002. Analisis Ekonomi Sumberdaya Kawasan Lindung Cipamatuh. Optimisasi dan Multikriteria Analisis. Dinas Tata Ruang dan PemukiMan Propinsi Jawa Barat.
134 ___. 2004. Ekonomi Sumberdaya Alam dan Lingkungan : Teori dan Aplikasi. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Fat.zi A, Anna S. 2005. Pedoman Perhitungan Ganti Rugi Kerusakan Lingkungan. Makalah disampaikan untuk Kementerian Lingkungan Hidup pada Bulan Desember 2005. Ginting SP. I998. Konflik Pengelolaan Sumberdaya Kelautan di Sulawesi Utara dapat Mengancam Kelestarian Pemanfaatannya. Jurnal Pesisir dan Lautan Vol. I No. 2 Tahun 1998. PKSPL IPB. Bogor. Gulo D. I982. Kamus Psikologi. Tonis. Bandung Gurocak ER, Whittlesey NK. 1998. Multiple Criteria Decision Making : A Case Study of The Coiumbia River salmon Recovery Plan. Environmental and Resource of Economics I2: 479-495. Kluwer Academic Publishers. Harian Nusa. 2000. Pencurian Pasir Laut Marak di Nusa Penida. Harian Nusa Edisi II November 2000. Nusa online. http://www.baliaga.com/nusalhtmi/IIII-IIb.htm. Hufschmidth MM, James DE, Meister A, Bower BT, Dixon JA. I983. Environment, Natural System, and Development An Economic Valuation Guide. London: The Hopkins University Press Baltimore and London. Kantor Kecamatan Tirtayasa. 2003. Potensi Kecamatan Tirtayasa. Kantor Kecamatan Tirtayasa. Serang. Kantor Lingkungan Hidup Kabupaten Serang. 2005. Laporan Penelitian Potensi Sumberdaya Alam Pasir Laut Pantai Utara dan Dampak Lingkungan Akibat Penambangan Pasir Laut. Pemerintah Kabupaten Serang. 2005. Kantor Statistik Kabupaten Serang. 2002. Serang Dalam Angka 2002. Kantor Statistik Kabupaten Serang. Serang. _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ . 2003. Serang Dalam Angka 2003. Kantor Statistik Kabupaten Serang. Serang. Kirst K, Ashman. 2000. Human Behavior, Communities, Organizations and Groups in The Macro Social Environtment. Thomson Learning. California. Kompas. 8 Februari 2002.
Ekspor~ Pasir Laut
Akhirnya Ditutup.
Kompas. 22 Oktober 2003. Ekspor Pasir Laut Terkait Mental Korup. Kompas online. www.kompas.co.id/utamalnews/03I0/22/I74I46.html.
135 Krisnamurthi B. 2002. Strategi Pembangunan Ekonomi Rakyat dalam Kerangka Pembangunan Ekonomi Daerah. Pusat Studi Pembangunan Institut Pertanian Bogor. Bogor. Kunarjo. 2002. Jakarta.
Perencanaan dan Pengendalian Program Pembangunan.
UI-Press.
Kusnadi. 2003. Akar Kemiskinan Nelayan. LKis. Yogyakarta. Manoka B. 2001. Existence Value: A Re-Appraisal and Cross Cultural Comparison. Research Report No. 200 1-RRI. EEPSEA. Singapore. Mitchell B, Setiawan B, Rahmi DH. 2003. Pengelolaan Sumbrdaya dan Lingkungan. Gadjah Mada Univesity Press. Yogyakarta. Munansinghe M. 1994. Economic and Policy Issues in Natural Habits and Protected Area. Di dalam : Munasinghe M, Mc.Neely J, editor. Protected Area Economic and Policy: Linking Conservation and Sustainable Development. Washington DC : The World Bank. Narayan D. 1995. The Contribution of People's Participation: Evidence from 121 Rural Water Supply Projects. Environmentally Sustainable Development Occasional Paper Series No.I. World Bank. Washington, D.C. Nuraini, 2004. Potret Perikanan di Teluk Banten 1997-1999 : Seri Selamatkan Lingkungan Teluk Banten 3. Departemen Kelautan dan Perikanan. Jakarta. Pakpahan A 1989. Perspektif Ekonomi lnstitusi Dalam Pengelolaan Sumberdaya Alam. Jumal Ekonomi dan Keuangan Indonesia Volume 37 No.4. Jakarta. Pearce DW. 1993. Valuing The Environment : Past Practice, Future Prospect. Proceedings of The First Annual International Conference on Environmentally Sustainable Development. Worjd Bank. Washington D.C. Pearce D, Moran D. 1994. The Economic Value of Biodiversity. London: IUCN The World Conservation Union. Earthscan Publication. Pemerintah Daerah Kabupaten Serang. 2002. Laporan Hasil Penelitian Survey Pemetaan Sumberdaya Pesisir Kabupaten Serang Tahun 2002. Pemerintah Daerah Kabupaten Serang. Serang. Pemerintah Daerah Kabupaten Serang. 2003. Laporan Akhir Survey Rehabilitasi Saluran Tambak Rakyat di Kabupaten Serang. Pemerintah Daerah Kabupaten Serang. Serang. PPLH. 1993. Studi Pengembangan Institusi dan Kelembagaan Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Lautan : Laporan Akhir. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
136 Purba M. I 0 Desember 2003. Penambangan Pasir Laut : Pertimbangan Ekologi dan Abrasi/Erosi Pantai. Kompas.
Ramdan H, Yusran, Darusman D. 2003. Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Otonomi Daerah. Alqaprint. Bandung. Rintuh C. 2003. Kelembagaan dan Ekonomi Rakyat. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Jakarta. Ruitenbeek HJ, Cartier C. 2001. Valuation of Sand Resources in Grenada: Case Study in Environmental Economics in The Member States of The Organisation of Eastern Carribean States (OECS). OECS-natural Resource Management Unit (NRMU). St. Lucia. Sattar, AL. 1985. Persepsi Masyarakat Terhadap Usaha Konservasi Sumberdaya Alam dan Lingkungan di DAS Bila Waianae Sulawesi Selatan. Kasus Pelaksanaan Reboisasi dan Penghijauan. [tesis]. Bogor: Fakultas Pascasarjana KPK IPBUNHAS, Institut Pertanian Bogor. Serageldin I, Steer A 1993. Valuing the Environment. Proceedings of The First Annual International Conference on Environmentally Sustainable Development : held at The Worls Bank, Washington DC. The International Bank for Reconstruction and Development. World Bank. Washington DC. Serageldin I, Cohen MA. 1994. Enabling Sustainable Community Development. An Environmentally Sustainable Development Proceedings Series No. 8. Associated Event of The Second Annual Conference on Environmentally Sustainable Development. World Bank. Washington D.C. Sinar Harapan. 21 Oktober 2003. Demo Duduki DPRD dan Pemkab Serang. Penambangan Pasir Laut jadi Rebutan Pengusaha. http://www. sinarharapan.co.id/berita/031 0/21/nusO 1.html Soekanto. 1997. Sosiologi. Suatu Pengantar. PT Raja Grafindo Persada. Jakarta. Soerianegara, I. 1975. Pengelolaan Sumberdaya Alam Bagian I. Sekolah Pascasaijana Jurusan Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan. Institut Pertanian Bogor. Bogor Suparmoko M, Suparmoko MR. 2000. Ekonomika Lingkungan. BPFE. Yogyakarta. Suratmo G. 2002. Analisis Mengenai Dampak Lingkungan. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Tickson D. 2000. Community Develoment. Bahan Kuliah Program Magister Pengembangan Masyarakat Universitas Hasanuddin. Makassar.
I37 Todaro MP. 2000. Pembangunan Ekonomi di Dunia Ketiga. Edisi Ketujuh. Penerbit Erlangga. Jakarta. Turner RK, Pearce D, Bateman I. I 994. Environmental Economics. An Elementary Introduction. Harvester Wheatsheaf World Bank. I 998. Participation and Social Assessment Tools and Technique. Rietbergen J, Cracken, Narayan D, editor. World Bank. Washington DC. Yakin A. I997. Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan : Teori dan Kebijaksanaan Pembangunan Berkelanjutan. Akademika Presindo. Jakarta.
LAMP IRAN
Lampiran 1. Perltitungan Perubahan Surplus Produsen Della Lontar Produksi per trip Komodilas'alat langkap
(Kg)
Harga (Rp'Kg)
Jumlah armada
Jumlah hari melaut
Biaya operasional per trip 1Rp.)
(2)
(3)
(4)
(5)
Total Penerimaan (Rp.) (6)
(I) Sd>rlum Jlftl•Ribll~•n - - - - - - - - - - - 20 I) _l{aj~an (Ja_!!llj rajungan) 40 2 )_ Udang (Jaring udang) 3_).lkan (ja_ri_ng rampus) • musim
-55
- tidak musim
25
!;r_l!!a~namban_ga_ll _ _ _
I )_,___Raju~~gan__ 2). Udang .1). lkan
----
---
12.500 19.000
78 60
265 265
-
------ --------- - - - - -
3.500 3.500
265 265 --
- ----
-----~-_--c--:--
78 78
75.000 75.000
3.978.975.000 1.808.625.000
78
35.000 70.000 75.000
1.550.250.000 604.200.000 3.100.500.000
(8)
(3) x(4) x(5) ---
5.167.500.000 12.084.000.000
-------
723.450.000 LJ 13.000.000
-----
1.550.250.000 1.550.250.000
12.500 19.000 3.750
265 265 265
Produksi per trip (Kg)
Harga (Rp'Kg)
Jumlah armada
Jumlah hari melaut
Biays operasional per trip ( Rp.)
Total Penerimaan (Rp.)
Total biaya \"aria bel (Rp.)
(I)
(2)
0)
(4)
(5)
(6) ~ (l)x(2)x(3)x(4)
(3)x(4)x(5)
(>0
156
~
(6)- (7) --
-- ----
---
-
4.444.050.000 I 0. 971.000.000 --~--
2.428.725.000 258.375.000
723.45~~ ~8Q_<J~
6 2 20
---
Surplus
(7) ~
~
(l)x(2)x(3)x(4) -
35.000 70.000
To1al biaya variabel (Rp.)
1.113.000.000 3.100.500.000
(508.800.0QQ_,
-
Desa Susukan
Komoditas 1alat tangkap
s_<-bclum l><"nambangan IJ _Raj~ngan (bubu) - Musim -Tidak musim 2). Jaring -Musim -Tidak musim Setelah Penambangan I). Bubu 2). Jaring
- - ----- ----
50
12.~00
25
-------
--------- --------.--- --- --· -----------
(7)
~
----------~---
Surplus (8) ~ (6)-{7)
-- -------- ------
12.500
18 18
78 234
30.000 30.000
877.500.000 1.316.250.000
42.120.000 126.360.000
835.380.000 1.189.890.000
40 6
12.500 12.500
10 10
78 234
35.000 35.000
390.000.000 175.500.000
27.300.000 81.900.000
362.700.000 93.600.000
10 3
12.500 12.500
18 10
312 312
30.000 35.000
702.000.000 117.000.000
168.480.000 109.200.000
533.520.000 7.800.000
Produksi per trip (Kg)
Harga (Rp/Kg)
Jumlah armada
Jumlah hari melaut
Biaya operasional per trip ( Rp.)
To1al Penerimaan (Rp-)
(I)
(2)
(3)
(4)
(5)
Desa Tengkurak
Komoditasiolatlangkap
Sebelum Penambangan lkan 1). Jaring bondet -Musim -Tidak musim 2). Sero -Musim -Tidak musim S..telah Penambangan I). Jaring bondet 2). Sero
To1al biaya varia bel (Rp.)
Surplus
(6)
(7)
(8)
(l)x(2)x(3)x(4)
(3)x(4)x(5)
(6)- (7)
200 100
3.500 3.500
17 17
78 234
35.000 35.000
928.200.000 1.392.300.000
46.410.000 139.230.000
881.790.000 1.253.070.000
100 50
3.500 3.500
22 22
78 234
35.000 35.000
600.600.000 900.900.000
60.060.000 180.180.000
540.540.000 720.720.000
200
3.750 3.750
17 22
312 312
35.000 35.000
3.978.000.000 643.500.000
185.640.000 240.240.000
3.792.360.000 403.260.000
Harga (Rp!Kg)
Jumlah armada
Jumlah hari melaut
Biaya operasional per trip (Rp.)
To1al Penerimaan (Rp.)
To1al biaya variabel (Rp.)
(2)
(3)
(4)
(5)
(6) (l)x(2)x(3)x(4)
(7) (3) X (4) X (5)
25
Desa Sukajaya Produksi per trip Komodilas
(K~tl
(I)
S..belum Penambangan lkan (jaring bondet) I).Musim 12>- Tidak m usim S..telah Penambangan
350 200 200
3.500 3.500 3.750
20 20 20
78 234 312
35.000 35.000 35.000
1.911.000.000 3.276.1'"0.000 4.680.000.000
54.600.000 163.800.000 218.400.000
Surplus (8)
(6)-(7)
1.856.400.000 3.112.200.000 4.461.600.000
Lampiran I. Perhitungan Perubahan Surplus Produsen (lanjutan) Desa Kubang Puji Produksi per trip Komoditas1alat tangkap
(KR)
{I)
St-bt-lum~'"!'a.!'l_~a"!!an _ _
Hary. (RpXg)
annada
Jumlah hari melaul
Biaya operasional per trip (Rp.)
(2)
(3)
14)
(5)
Jumlah
_ _ ~- -~-
Total Penerimaan (Rp.) (6)
'(I) X (2)~~(.J) X (4)
Total biava ,·aria bel ( Rp.) (7) ~(\)~(41 x(5J
Surplus
(8) ~-
- (6)- (7)
- - - - - - - - - - · - - - - --~--·--- -~- ·-·-······~- __ _ __ __ __ _ ~ __ ~ (_IJMu~--~--- ·--~~~ _Q 5D_Q_ --~_i_--~4r-~_QQ__ ___4_8]50.0_2Q__ _ _______2__,l(JO.OOO -~-~}2}?0.D_QQ_ _(2) J~a!: musi!"__ ~-~~- _ _ _ ..2._ ~lQQ_ -~ _ _ _2,3_4_ -~-~;QQQ_ _ _ _5_l!.500~QQ9____ 28.0_!!QYQQ ~ _ }0 420.QQQ_
I) Rajungan (_bu~u)__
~
~
2).1kan __ ~----------·--~---- ... -~-~ ··----~~ -----·--- -·-- -------~-~~---~-··· -·- -~--~ __ ~ ~(1)1~~.!'S_bo__nde_l_ _ _ _ _ ~---c~ _____ - - - - : ---~---- c-- ~--~----··· --~- Musim 25.Q_ _ __lJQQ~ _ .l4 78 _ 35cm. __2.320.500.000_ _ _923_?_Q.O~__ ~JP?-68.2Jl.~ ~~ Ti~a~~IJ1USiJ1l 100 3.500 34 234 _ 35 000_1---2.7!\4 ~~00 000_ 278 4f>O 000_ 2.506.140.000 (2) Sudu
------=-- ---_:--::-::-:--
~
__
~----1\i.~lll---
____ ---~J.? _Jj_QQ_ --~__li__ ____2_8__ ___ I!U~OO
- Tidak musim ~ (.l)Jaring rampus
10
3.500
14 __
234 _~
_ ~~-MlJ5ill1 __ ~----- ---~ _....11~--~--)~ _ _ _ ]8__ __ :.Ji~k~ll1usim_~--- _ _ _2_5__ ___l~ ___If>_ r---lli..
St-t_elah !'~namban~ll."
10.000
114.660.000 ~.
32.760.000
_ _____?igo_
____ . _ _ _ _ . -~ ___ ~- _ ~ --~ __ ___ __
&1.900.000
~
327.600.000 __ ..?_8_!)-'-S_oo-'-oog~
J2_4_8~0000_()_
_ ~ _'!{>,800.000 _
~--
93 600 0_~ __ __l7 44o___QQQ__ -~__5.Q..!§Q_OQQ_ 2_LJarilll!_lx_m_d~cl____~-- _ _ _ 200 __ ..l]J_Q_ --~ ~--_____21_2- ___ l_~.()()_Q_ __ ?Y5(i:<J_OO:..()QQ _ .lJL 280_g_o__o~ __ 7.2_&_4 720.....o.Q_~ -~l.:~t~du~- ------~ _ _ _?_-2_ _ 3.75() __ _____!-!__ _ _ _ 31_2_ _ _ _ 10_QOQ_ ___ !22.!\SO,QQQ_ ___·H 680~_Q()(~ ___ _.29___17()~0Q() 41. Jarin2rampus 25 3.750 16 312 75.000 468.000.000 374.400.000 93.600.000 l):_l{_ait'!'gan
~~ _g~QQ_,.....
___ _5_7_}}QcD_i2Q ___ 1_!)_2_?Q,(J_()()_ --~-_:l!i.:.41__Q_,_QOQ_
4
312
30.000
Lampiran 2. Perhitungan dengan Hotteling (Skenario Minimum) a= b= delta rho
s t
7500 0.3 0,1 0,9090909 1000 qt
St Discounted Profit 473 1.000 3.512.292 - - - - - - - - - ----- - -·---- ----· ------- ------ - - - - - - - - - - - - - - - 527 I 88 598.345 - - - - - - - - ---------- - - - - - - - - - -439 2 77 476.972 - - - - - - - - - - - - - - - f--------- -----67 362 3 378.224 ----------- -------·- ------ - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - 4-58 295 298.041 - - -237 5 50 233.077 6 43 187 180.578 7 36 144 138.275 8 30 108 104.302 9 24 78 77.126 10 19 54 55.488 11 15 35 38.351 12 10 20 24.869 13 7 10 14.345 14 3 3 6.211 15 (0) 16 (0) 17 (0) 18 (0) 19 (0) 20 (0) 21 (0) 22 (0) 0 0 23 17 (0) 13.962
-
-
-
-
sum
6.150.457
Lampiran 2 (lanjutan). Perhitungan dengan Hotteling (Skenario Optimum) a= b= delta rho
s t
7500 0,3 0, I 0,909090909 2000 qt
St
Discounted Profit 929 2.000 6.835.807 ----· ---------------- 1----------- --·---· ---------------------------179 1 1.071 1.213.280 -- ---·-- - - - - - - - - 2 157 893 967.476 -----··-·-· 137 3 736 767.401 ---- ---- ----------- - - - - - - - - ------- ------ ------- ------- ---------4 604.g72 118 600 ------ -- ---- -- · - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - ----------------------------5 102 481 473.142 --------------- --------- - ---- ------------------------ ----- ----------- ----------- --6 87 379 - - - - - - - -366.649 ··-------7 73 293 280.81 1 ----------------8 61 220 211.857 9 49 159 156.684 10 39 110 112.741 1I 30 71 77.933 12 21 41 50.542 13 13 20 29.157 14 6 6 12.625 15 0 16 0 17 0 18 0 0 0 19 (0) 20 (0) 21 (0) 22 (0) (0) (0) 23 32 (0) 26.655 --·
.
-
sum
12.187.631
Larnpiran 3. Analisis Regresi dengan Perangkat E-View Dependent Variable: WTP Method: Least Squares Date: 02/09/05 Time: I 7:48 Sample(adjusted): 2 6I Included observations: 60 after adjusting endpoints Convergence achieved after 6 iterations Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
c INCOME UMUR ANAK DUMMY AR(I)
-53885.1 I 0.797010 2862.368 -12549.00 -47734.0I 0.608527
48777.25 0.597230 1307.72I 6003.980 29625.54 0.104747
-1.104718 1.334511 2.I88822 -2.090I I4 -1.611246 5.809497
0.2742 0.1876 0.0330 0.04I3 0. I 130 0.0000
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood Durbin-Watson stat
0.439840 0.387974 60572.90 1.98E+ll -742.6717 2.082179
Inverted AR Roots
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion F-statistic Prob(F-statistic)
47541.67 77427.17 24.95572 25.16516 8.480223 0.000006
.61
Breusch-Godfrey Serial Correlation LM Test: F-statistic Obs*R-squared
0.188887 0.432750
Probability 0.828445 Probability 0.805433
White Heteroskedasticity Test: F-statistic Obs*R-squared
1.081774 7.626770
Probability Probability
0.388385 0.366652
Lampiran 3. Analisis Regresi dengan Perangkat E-View Dependent Variable: WTP Method: Least Squares Date: 02/09/05 Time: 17:39 Sample(adjusted): 3 61 Included observations: 57 Excluded observations: 2 after adjusting endpoints Convergence achieved after 9 iterations Variabl~
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Pro b.
c UMUR DUMMY INCOME(-1) AR(1)
-60352.55 0.780639 -14084.12 3039.078 -58033.71 0.223406 0.647818
62131.62 0.679344 6497.720 1353.729 31082.58 0.694541 0.110860
-0.971366 1.149108 -2.167549 2.244969 -1.867081 0.321659 5.843554
0.3360 0.2560 0.0350 0.0292 0.0678 0.7491 0.0000
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood Durbin-Watson stat
0.446854 0.380477 62062.90 1.93E+ll -706.1917 2.086036
INCOME
ANAK
Inverted AR Roots
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion F-statistic Prob(F-statistic)
48583.33 78850.30 25.02427 25.27517 6.732017 0.000029
.65
Breusch-Godfrey Serial Correlation LM Test: F-statistic Obs*R-squared
0.384992 0.899920
Probability Probability
0.~82538
Probability Probability
0.490137 0.457647
Probability Probability
0.543871 0.506730
0.637654
White Heteroskedasticity Test: F-statistic Obs*R-squared
0.952096 8.781881
White Heteroskedasticity Test: F-statistic Obs*R-squared
0.886840 8.274572
Lampiran 4. Tabel Altematif Analisis Multikriteria dengan TOPSIS Skenario I min
--- --
--
---- - .. -
status quo hentlkan teruskan Weights
••min
1 kekeruhan ------------- - - -
94,3 30 94,3
-
••max
••max
••max
1 2 2 abrasl lamun - --------------------- ---------------------- ______paja~---
.
••max
2 Income ----------·-
3 2194103000 16734656952 0 16734656952 3 2 2194103000 16734656952
2 2 3
••min
••max
••max
2
2
CD ------------- ·--815000000 0 815000000
2 3 2
2
1 I
partls
konfllk
...
••min
2 3 2
Pf!rsepsl I
1: 21 1i
TSS14o-l 80 140
Skenario 2 min
••min
••max
••m<~x
2
1
kekeruhan status quo hentikan teruskan Weights
94 3 30 94 3
2 2 3 0.0909
••max
2
••max
2 3 2
815000000 0 815000000
1
2
persepsl
;
TSS
1' 2 1:
2 3 2
140 80 140 0.0909
0.0909
0.0909
0.0909
...
••min
2 partls
konfllk
0.0909
0.0909
0.1818
••max
2
CD
Income
3 2194103000 16734656952 3 0 16734656952 2 2194103000 16734656952 0.0909
••min
2
pajak
lamun
abrasl
0.0909
••max
Skenario 3 min
••min
••max
kekeruhan
abrasl
94 3 30 94 3 0.1667
lamun
2 2 3 0.0833
••max
2
1
1 status quo hentlkan teruskan Weights
••max
•• max
2
2
pajak
Income
3 2194103000 16734656952 0 16734656952 3 2 2194103000 16734656952 0.0833
0.1667
•• min
0.0833
•• max
•• max
CD
0.0833
3
2 0.0833
I
1; 2' 1
2
2 3 2 0.0833
persepsl
partis
konflik
815000000 0 815000000
1
2
2
2
...
••min
I
0.0833
TSS 140 80 140 0.0833
Lampiran 5. Value Tree Analisis Multikriteria dengan PRIME
KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 2002 TENTANG PENGENDALIAN DAN PENGAWASAN PENGUSAHAAN PASIR LAlJf PRESIDEN REPUBLIK IND<mESIA,
Menimbang
a. bahwa kegiatan penambangan, pengerukali, pengangkutan, dan perdagangan pasir laut, yang selama ini berlangsung tidak terkendali, telah menyebabkan kerusakan ekosistem·pesisir dan laut, keterpurukan nelayan dan pemb.udidaya ikan, serta jatuhnya harga·pasir laut; b. bahwa untuk .nencegah dampak negatif sebagaimana di.maksud dalam huruf a, dan untuk melinc!ungi dan memberdayakan ne!ayan, pembudidaya ikan, dan masyarakat pesisir umumnya, serta memperbaiki nilai jual pasir laut, perlu dilakukan pengendalian dan pengawasan terhadap pengusahaan pasir taut; c. bahwa pelaksanaan· pengendalian dan pengawasan terhadap pengusahaan pasir taut masih diselenggarakan secara sektoral sehingga penegakan hukum bel urn terkoordinasi sebagaim~na. mestinya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku; d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu menetapkan Keputusan Presiden tentang Pengendalian dan Pengawasan Pengusahaan Pasir Laut;
Mengingat:
1. Pasal 4 ayat {1) Undang-Undang Dasar 1945 sebagaimana telah diubah dengan Perubahan Ketiga Undang-Undang Dasar 1945;
2. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuanketentuan Pokok Pertambangan (Lembaran Negara Republik Indonesi~ Tahun 1967 Nomor 22, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2831); 3. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1985 tentang Perikanan (Lemharan Negara Republik Indonesia Tahun 1985 Nomor 46, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3299); 4. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1990 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3419); 5. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1992 tentang Pelayaran (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 98, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3493); 6. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang (I Pmh;:m:m
NPnr:~rr~
RPn11hlik
Tnrlnnpc:;ir:~ Tr~h11n
1 QQ? Nnmnr 11';.
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3501); 7. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 75, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3612); 8. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 199€ tentang Perairan Indonesia (lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1996 Nomor 73, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3647); 9. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1997 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak (lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 43, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3687); 10. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3699); 11. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah (lembaran !\legara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 60, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3839); 12. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintahan Pusat dan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 72, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3848); MEMUTUSKAN : Menetapkan
KEPUTUSAN PRESIDEN TENTANG PENGENDALIAN DAN PENGAWASAN PENGUSAHAAN PASIR LAUT. BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1 Dalarr, Keputusan Presiden ini yang dimaksud dengan : 1. Pasir Laut adalah bahan galian pasir yang terletak pada wilayah perairan Indonesia yang tidak mengandung unsur rr.!neral golongan A dan/atau golongan B dalam jumlah yang berarti ditinjau dari segi ekonomi pertambangan. 2. Pengusahaan pasir laut adalah kegiatan ekonomi yang meliputi usaha pertambangan, pengerukan, pengangkutan dan ekspor pasir laut. 3. Kuasa Pertambangan adalah izin yang diberikan kepada badan/perseorangan untuk melaksanakan usaha pertambangan. 4. Eksploitasi adalah usaha pertambangan dengan maksud untuk menghasilkan bahan galian dan memanfaatkannya.
langsung atau tidak langsung terhadap sifat fisik dan/atau hayatinya yang melampaui kriteria baku kerusakan laut. 6. Zonasi wilayah pesisir dan laut adalah arahan pemanfaatan ruang pesisir dan laut.
Pasal2 Pengendalian dan pengawasan pengusahaan pasir laut meliputi pengendalian dan pengawasan kegiatan usaha pertambangan, pengerukan, pengangkutan, perdagangan ekspor, pemanfaatan hasil pengusahaan pasir laut, dan pencegahan perusakan laut yang dilakukan secara terpadu dan terkoordinasi serta dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal3 Upaya pengendalian dan pengawasan sebagaimana dimaksud dal::~m Pasal 2 dilakukan di lokasi penambangan dan selama pengangkutan pasir laut. BAB II KELEMBAGAAN
Pasal4
(1) Untuk melaksanakan pengendalian dan pengawasan terhadap pengusahaan pasir laut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dibentuk Tim Pengendali dan Pengawas Pengusahaan Pasir Laut. (2)
Susu~an
Tim Pengendali dan Pengawas Pengusahaan Pasir Laut sebagaimana dimaksud dalam. ayat (1) terdiri dari :
Ketua Wakil Ketua Anggota
Sekretaris
Menteri Kelautan dan Perikanan; Menteri Perindustrian dan Perdagangan; 1. Menteri Dalam Negeri; 2. Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral; 3. Menteri Kehutanan; 4. Menteri Keuangan; 5. Menteri Perhubungan; 6. Menteri Luar Negeri; 7. Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia; 8. Menteri Negara Lingkungan Hidup; 9. Panglima Tentara Nasional Indonesia; 10. Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia; 11. Gubernur yang wilayahnya penghasil pasir laut; 12. Bupati/Walikota yang wilayahnya penghasil pasir laut; Pejabat Eselon I dari Departemen Kelautan dan Perikanan
(3) Tim Pengendali dan Pengawas Pengusahaan Pasir Laut berada di bawah dan bertanggung jawab langsung kepada Presiden. PasaiS
(1) Tim Pengendali dan Pengawas Pengusahaan Pasir Laut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) mempunyai tugas : a. mengkoordinasikan perumusan kebijakan nasional di bidang pelaksanaan pengendalian dan pengawasan pengusahaan pasir Iaut; b. mengkoordinasikan dan merekomendasikan penetapan zonasi wilayah pesisir dan laut untuk kegiatan pengusahaan pasir laut; c.
mengkoordir.dsikan dan merekomendasikan penetapan rencana volumf> pasir laut yang dapat ditambang dan diekspor secara nsional setiap tahun, dengan mempertimbangkan kelestarian ekosistem pesisir dan laut, dan keseimbangan pasokan dan permintaan serta kepentingan masyarakat daerah;
d. mengkoordinasikan dan merekomendasikan penetapan rencana pemanfaatan dan pengelolaan dana pengendalian, pengawasan, dan pengamanan pengusahaan pasir laut; e. mengkoordinasikan dan merekomendasikan penetapan pedoman pemanfaatan dana pemulihan lingkungan ekosistem pesisir dan laut serta dana pemberdayaan masyarakat pesisir, dan melakukan monitoring, evaluasi, serta pengawasan pelaksanaan pedoman; f. mengkoordinasikan dan merekomendasikan penetapan pedoman pelaksanaan operasi pengawasan dan pengamanan di lokasi penambangan dan selama pengangkutan; g. melakukan monitoring, evaluasi, dan pengawasan terhadap kesesuaian antara zonasi wilayah pesisir dan laut dengan pemberian kuasa pertambangan dan izin pekerjaan pengerukan; h. melakukan pengendalian dan pengawasan terhadap pelaksanaan operasi bPrsama pengawasan dan pengamanan;
i. melakukan monitoring, evaluasi, dan pengawasan terhadap pelaksanaan usaha pertambangan; j. melakukan monitoring, evaluasi, dan pengawasan terhadap pelaksanaan pekerjaan pengerukan; k. melakukan monitoring, evaluasi, dan pengawasan terhadap ekspor dan hasil pengusahaan pasir laut I. melakukan monitoring, evaluasi, dan pengawasan terhadao kondisi ekosistem pesisir danlaut akibat pengusahaan pasir laut dan pemulihan kualitas lingkungan;
m. melakukan monitoring dan pengawasan terhadap pelaksanaan pemberian perizinan keimigrasian terhadap orang asing yang terkait dengan pengusahaan pasir laut; n. mengevaluasi pcraturan perundang-undangan darimasing-masing sektor terkait dalam rangka optimalisasi pengendalian dan pengawasan pengusahaan pasir laut; o. merekomendasikan penyediaan anggaran dan belanja untuk pelaksanaan pengendalian dan pengawasan pengusahaan pasir laut bagi sektor terkait sesuai ketentuan peraturan perundangundangan yang berlaku. (2) Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Tim Pengendali dan Pengawas Pengusahaan Pasir Laut menyelenggarakan fungsi : a. pembinaan dan pengarahan terhadap pelaksanaan pengendalian pengusahaan pasir laut; b. penyusunan ketentuan dan persyaratan pelaksanaan pengendalian pengusahaan pasir laut; c. pemantauan, pengawasan dan pengendalian pengusahaan pasir laut. (3) Tim Pengendali dan Pengawas Pengusahaan Pasir Laut dapat menunjuk badan hukum Indonesia yang menenuhi persyaratan kualifikasi tertentu untuk membantu pelaksanaan kegiatan pengendalian dan pengawasan pengusahaan pasir laut. Pasal6 (1) Untuk mendukung pelaksanaan tugas pengendalian dan pengawasan pengusahaan pasir laut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5, Ketua Tim Pengendali dan Pengawas Pengusahaan Pasir Laut membentuk Kelompok Kerja sesuai dengan kebutuhan. (2) Kelompok Kerja sebagaimana dimaksud dalam :~yat (1) diketuai oleh Pejabat Eselon I dari Departemen Kelautan dan Perikanan dengan anggotanya yang terdiri atas para Pejabat Eselon I atau yang setingkat dari masing-masing departemen dan instansi terkait dan pejabat yang ditunjuk oleh Gi.Jbernur, Bupati/Walikota yang wilayahnya penghasil pasir laut. (3) Tata cara penyelenggaraan kegiatan Tim Pengendali dan Pengawas Pengusahaan Pasir Laut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) serta pengangkatan dan pemberhentian Kelompok Kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan oleh Ketua Tim Pengendali dan Pengawas Pengusahaan Pasir Laut.
BAB III ZONASI DAN VOLUME PENGUSAHAAN PASIR LAUT
Pasal7 (1) Zonasi wilayah pesisir dan laut ditetapkan oleh Menteri yang bertanggung jawab di bidang Kelautan dan Perikanan setelah berkonsultasi dengan instansi terkait di Pusat, Gubernur dan Bupati/Walikota sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan. (2) Volume pasir laut yang dapat diekspor ditetapkan secara nasional oleh i!'lstansi yang bei1:anggung jawab di bidang perindustrian dan perdagangan serta Pemerintah Daerah Propinsi dan Kabupaten/Kcta yang wilayahnya penghasil pasir laut sesuai dengan kewenangan masing-masing berdasarkan ketentuan peraturan perundangundangan. (3) Setiap Kuasa Pertambangan Pasir Laut dan lain Kerja Keruk wajib disesuaikan dengan zonasi wilayah pesisir dan laut sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan volume pasir laut sebagaimana dimaksud dalam ayat (2).
BABIV PERDAGANGAN EKSPOR
PasaiS
(1) Ekspor pasir laut ditetapkan menjadi komoditi yang diawasi tata niaga ekspornya. (2) Pasir laut yang ditetapkan sebagai komoditi yang diawasi tata niaga ekspornya sebagaimana dimc:ksud dalam ayat (1), dapat diubah menjadi komoditi yang dilarang ekspornya setelah mempertimbangk~n usulan dari Tim Pengendali dan Pengawas Pengusahaan Pasir Laut.
Pasal9 (1) Ekspor pasir laut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) hanya dapat dilakukan oleh perorangan atau badan hukum setelah mendap~tkan persetujuan ekspor dari Menteri yang bertanggung jawab di bidang penndustrian dan perdagangan. (/)
11r~lr~m hr~l nP.nP.rhitr~n nP.r~P.tllillrtn P.k~nnr ~P.hr~ar~imr~nr~ rlimr~k~url rlr~lr~m
ayat {1), Menteri yang bertanggung jawab di bidang perindustrian dan perdagangan menunjuk Gubernur dan/atau Bupati/Walikota sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. (3) Gubernur dan/atau Bupati/Walikota wajib melaporkan penerbitan persetujuan ekspor kepada Menteri yang bertanggung jawab di bidang perindustrian dan perdagangan setiap bulan. (4) Perorangan atau badan hukum yang akan melaksanakan ekspor sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus terlebih dahulu mendapat penetapan sebagai Eksportir Pasir Laut {EPL) oleh Menteri yang bertanggung jawab di bidang perindustrian dan perdagangan dengan mempertimbangkan usulan tertulis dari Gubernur dan/atau Bupati/Walikota yang wilayahnya penghasil pasir laut.
Pasal 10 Penerbitan persetujuan ekspor oleh Gubernur dan/atau Bupati/Walikota sesuai dengan kewenangannya masing-masing dilakukan dengan mempertimbangkan volume pasir laut yang diperbolehkan untuk ditambang dan diekspor secara nasional setiap tahun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) serta rencana produksi dan ekspor perusahaan.
Pasal11 Persetujuan ekspor yang telah diterbitkan tidak dapat diperdagangkan atau dipindahtangankan kepada pihak lain. BABV KEWAJIBAN DALAM PENGUSAHAAN PASIR LAUT
Pasal 12 Eksportir yang telah mendapat persetujuan ekspor sesuai dengan ketentuan yang berlaku wajib menyampaikan realisasi pelaksanaan ekspor pasir laut kepada Gubernur dan/atau Bupati/Walikota, Menteri yang bertanggung jawab di bidang perindustrian dan perdagangan serta Ketua Tim Pengendali dan Pengawas Pengusahaan Pasir Laut setiap 3 (tiga) bulan sekali.
Pasal 13 (1) Setiap orang dan/atau badan hukum yang melakukan usaha pengusahaan ;:>asir laut wajib menyusun rencana pemeliharaan dan pemulihan lingkungan ekosistem pesisir dan laut.
r:;n
RPsi'lrnvi'l hii'IVi'l nPmPiihi'lri'li'ln rli'ln nPmlllihi'ln linakunni'ln PkosistPm
pasir dan laut serta tata cara pemungutannya ditetapkan dengan Peraturan Daerah.
Pasal 14 Setiap Pemegang Kuasa Pertambangan wajib melaporkan pengelolaan dan pemantauan lingkungan di lokasi penambangan kepada Gubernur dan/atau Bupati/Walikota dan/atau instansi yang bertanggung jawab di bidang lingkungan hidup di daerah yang bersangkutan.
Pasal 15 (1) Setiap usaha pertambangan dan/atau pengerukan pasir laut wajib memelihara kelestarian fungsi ekosistem laut serta mencegah dan menanggulangi pencemaran dan perusakan ekosistem laut yang ditimbulkannya. (2) Apabila di dalam wilayah dan/atau kawasan Kuasa Pertambangan pasir laut terdapat benda berharga asal muatan kapal yang tenggelam, maka seluruh kegiatan dalam wilayah dan/atau kawasan dimana lokasi kapal tersebut tenggelam dihentikan.
Pasal16 (1) Setiap orang dan/atau badan hukum yang melakukan pengusahaan pasir laut wajib menyusun rencana pemberdayaan masyarakat pesisir. (2) Pelaksanaan pemberdayaan masyarakat pesisir sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dikoordinasikan oleh Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangan masing-masing berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan. (3) Pembiayaan yang timbul dari pelaksanaan rencana pemberdayaan masyarakat pesisir sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dibebankan kepada orang dan/atau badan hukum yang melakukan pen~usahaan pasir laut.
Pasal 17 (1) Pemegang Kuasa Pertambangan wajib memasang alat pantau produksi pada kapal yang telah didaftarkan. (2) Nakhoda kapal wajib mengaktifkan dan memelihara alat pantau produksi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) agar berfungsi sesuai dengan peruntukannya.
Pasal 18 Setiap pelanggaran atas kewajiban dalam pengusahaan pasir laut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11, Pasal 12, Pasal 13, Pasal 14, Pasal 15, Pasal 16 dan Pasal 17 yang ditemukan dalam pelaksanaan operasi pengawasan ditindaklanjuti sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. BABVI KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 19 (1) Ketentuan mengenai penetapan zonasi wilayah pesisir dan laut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat {1) serta volume pasir laut yang dapat dieksploitasi untuk diekspor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) ditetapkan paling lambat 3 (tiga) bulan sejak Keputusan Presiden ini ditetapkan. {2) Sebelum ada ketentuan dan/atau petunjuk operasional tentang penetapan zonasi wilayah pesisir dan laut serta volume pasir laut yang dapat diekspor secara nasional sebagaimana dimaksud dalam ayat {1), kegiatan pengusahaan pasir laut dapat dilaksanakan dengan berpedoman kepada Keputusan Presiden ini. (3) Izin Kuasa Pertambangan dan Izin Kerja Keruk yang telah dikeluarkan sebelum Keputusan Presiden ini, dinyatakan tetap berlaku dan harus disesuaikan dengan ketentuan penetapan zonasi w'ilayah pesisir dan laut serta volume pasir laut.
Pasal 10 Dengan berlakunya Keputusan Presiden ini, maka Instruksi Presiden Nomor 2 Tahun 2002 tentang Pengendalian Pehambangan Pasir Laut dinyatakan tidak berlaku.
BAB VII KETENTUAN PENUTUP
Pasal 21
Pembiayaan yang diperlukan untuk pelaksanaan Keputusan Presiden ini dibebankan kepada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara serta Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pasal22 Keputusan Presiden ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Keputusan Presiden ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 23 Mei 2002 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, ttd MEGAWATI SOEKARNOPUTRI Diundangkan di Jakarta pada tanggal 23 Mei 2002 SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA, ttd. BAMBANG KESOWO
LEMBARAN I\IEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2002 NOMOR 61
Salinan sesuai dengan aslinya Deputi Sekretaris Kabinet Bidang Hukum dan Perundang-undangan,
Lambock V. Nahattands Copyright ®the Department of Marine Affairs and Fisheries Republic of Indonesia