Policy Brief PELURUHAN KELEMBAGAAN LOKAL SUBAK: ANALISIS KONFLIK KEPENTINGAN SOSIAL-EKONOMI DI KABUPATEN TABANAN BALI Dr. Herlina Tarigan Pendahuluan 1. Air merupakan salah satu sumberdaya penggerak agraria yang menduduki posisi strategis. Keberadaannya sebagai sumberdaya milik bersama (common pool resources) membuat seringkali dianggap kurang penting. Sepanjang sejarah, pemanfaatan air melalui penataan sistem pengairan dilakukan secara kolektif sehingga memunculkan beragam lembaga pengairan diantaranya kelembagaan subak pada masyarakat Bali. Subak merupakan kelembagaan pengairan hasil konstruksi sosial masyarakat dengan lingkungannya. 2. Subak bersifat sosio-tekno-religius dan bekerja berlandaskan konsepTri Hita Karana (tiga hubungan untuk mencapai kebahagiaan yaitu hubungan manusia dengan Tuhan, manusia dengan manusia, dan manusia dengan lingkungan). Fungsi utamanya mengelola air irigasi secara teratur dan adil sehingga semua anggotanya bisa melakukan proses produksi pangan tanpa mengabaikan ekosistem lahan dan air. Dalam sejarah pembangunan pertanian, subak terbukti telah memberi kontribusi yang signifikan bagi perkembangan pangan nasional. 3. Sejak negara kesatuan republik Indonesia berdiri, hingga paruh waktu era Orde Baru, negara berperan sebagai aktor dominan dalam semua pembangunan sektor.Sumberdaya alam dan kelembagaan pertanianseperti subak diatur secara ketat melalui kebijakan non-dialogisyang bersifat top-down.Tujuannya agar semua berfungsi mendukung peningkatan produksi pangan yang sejalan dengan kalkulasi-kalkulasi para ahli. Modernisasi yang padat teknologi, sistem usahatani yang memerlukan keterjaminan ketersediaan air, dan pendampingan kelembagaan yang ketat berhasil meningkatkan produksi pangannasional hingga mencapai swasembada pangan. 4. Sejak Kongres Air di Dublin Irlandia tahun 1992, sumberdaya inimulai diatur dan diposisikan sebagai komoditi ekonomi. Lahirnya produk hukum seperti UU No.7 tahun 2004 tentang sumberdaya air, membuka celah adanya hak investor untuk mengelola dan mengusahakan air. Orientasi pembangunan industri dan pariwisata massal di Bali yang perlu didukung berbagai sarana prasarana terkait lahan dan air, wacana konsumsi air minum dalam kemasan (AMDK) dan air minum isi ulang (AMIU) merupakan manifestasi pengetahuan yang mengawali perkembangan industri air. Akhirnya terjadi peningkatan jumlah aktor yang berkepentingan terhadap air sehingga menimbulkan konflik perebutan air baik internal subak maupun subak dengan aktor luar. Akibatnya berdampak pada peran dan fungsi kelembagaan pengairan subak, baik sebagai pendukung produksi pangan maupun lembaga budaya penarik pariwisata.
Masalah 5. Subak dikonstruksi dalam kondisi masyarakat agraris, dimana kedudukan air dan lahan menjadi kunci utama keberlangsungannya. Subak memelihara sumbersumber dan saluran air agar tetap mencukupi kebutuhan dan dan dapat didistribusikan ke seluruh anggotanya baik saat musim hujan maupun kemarau. Satu dekade belakangan ini, bentuk, fungsi, dan kerekatan internal subak mengalami ancaman akibat beberapa unsur dasar lahan, air, wilayah spasial, kewenangan, dan tata kelola governance mengalami tekanan. 6. Eksploitasi air oleh PDAM, pengembangan sarana wisata (hotel/penginapan, restoran, wahana air dll), dan pengusaha AMDK, merupakan bagian dari pembangunan ekonomi Bali yang terus mengembangkan sektor pariwisata, sehingga menjadi destinasi yang berhasil memanjakan wisatawan. Penggunaan air dalam merespon perkembangan penduduk, perumahan, dan aneka industri tidak diatur secara tegas dan terencana. Keperluan untuk sektor non pertanian dan kota mendorong pengambilan air dari wilayah pertanian, penjualan air dari wilayah basis pertanian (seperti Tabanan) ke wilayah basis pariwisata dan industri (Badung dan Denpasar). Praktek salah urus pengelolaan sumberdaya air inibersumber pada berbagai kebijakan pemerintah pusat maupun daerah. Konsekuensinya, agenda ini meruntuhkan kedaulatan petani atas air dan mewajibkan rakyat membayar full cost recovery dalam memperoleh air, sementara keuntungannya jatuh ke tangan pemilik kappital (swasta). 7. Sekalipun angin otonomi daerah sudah dihembuskan namun UU No.23 tahun 1997 yang kemudian direvisi menjadi UU No.32/2009 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, masih memberikan kuasa yang besar bagi pemerintah pusat untuk mengelola, memanfaatkan, dan mengendalikan lingkungan. Hal ini terhubung erat pada ketersediaan dan distribusi sumberdaya seperti air. Rakyat tidak berkuasa melakukan kontrol terhadap lingkungan pendukung kehidupannya. Akses dan pengawasan air belum dilihat sebagai putusan politik, padahal dalam setiap keputusan tentang air selalu ada alasan yang mendasari disusunnya keputusan tersebut, dengan cara-cara apa keputusan itu dilaksanakan, dimana saja itu tepat dilaksanakan, siapa saja pihak-pihak atau aktor-aktor yang mendukung sekaligus mendapat keuntungan dari dilaksanakannya keputusan tersebut serta alasan-alasan rasional yang dipakai untuk menunjukkan pentingnya keputusan itu dilaksanakan. Permasalahannya, selalu ada pihak yang dikorbankan sebagai bayaran atas keuntungan yang diperoleh pihak tertentu dan apa dampaknya bagi keberlanjutan suatu budaya, lingkungan dan ketersediaan pangan. TEMUAN-TEMUAN POKOK 8. Bali merupakan salah satu sentra pangan nasional yang memiliki masyarakat dengan struktur dan kultur berinti pertanian yang khas. Dinamikanya sangat tinggi dan sensitif oleh kebijakan pembangunan secara keseluruhan. Pembangunan pariwisata yang sudah diinisiasi sejak masa kolonial dan digerakkan kembali pada masa Orde Baru, berhasil menempatkan Bali sebagai salah satu tujuan wisata dunia yang mampu mendatangkan wisatawan dan
investor domestik maupun mancanegara dalam jumlah yang besar. Saat ini sekitar 80 persen perekonomian Bali tergantung pada pariwisata, dan pariwisata sangat tergantung pasokan air bersih. Tercatat sektor ini menggunakan sekitar 65 persen air. Ironisnya, 85 persen dari perekonomian pariwisata berada ditangan orang non Bali. 9. Pertumbuhan ekonomi berbasis pertanian dinilai lambat dan kecil sehingga terjadi transformasi pekerjaan dan pencaharian besar-besaran dari pertanian ke non pertanian. Pertumbuhan penduduk, pesatnya pembangunan, land rent pertanian yang rendah,mendorong terjadinya eksploitasi sumberdaya alam, alih fungsi lahan, dan pemanfaatan sumberdaya air yang sangat pesat. Akibatnya, melalui land conversion, land grabbing, pengalihan pemanfaatan air, perampasan sumber air bahkan penjualan air bersih, sumberdaya yang semula digunakan untuk pertanian dan masyarakat pedesaan, sebagian besar kini beralih untuk penggunaan sektor industri pariwisata dan masyarakat perkotaan. 10. Rejim pengelolaan sumberdaya air versi subak bukan terbatas persoalan keteknikan melainkan lembaga produksi yang bersifat sosio-tekno-religius dimana seluruh proses produksi selalu berkorelasi dengan ritual-ritual agama. Pengembangan ekonomi subak memuat nilai-nilai keadilan, kebersamaan, efisiensi dan berkelanjutan. Operasionalisasi subak secara internal diatur berdasarkan kuasa pengetahuan yang memproduksi hukum awig-awig dan perarem secara lengkap, namun kurang mengatur hubungan atau interaksi subak dengan faktor-faktor eksternal sehingga perubahan lingkungan strategis dalam aras yang lebih luas sangat potensial menekan kekuatan internal subak. 11. Perubahan lingkungan eksternal subak, khususnya kebijakan industri pariwisata yang didukung oleh berbagai legislasi dibidang air dan pengairan, lahan, perumahan, penanaman modal hingga ke sektor pertanian telah menyebabkan perubahan pada subsistem wilayah spasial, kepemimpinan, kuasa dan wewenang, serta tata kelola subak. Perkembangan aktor-aktor yang berkepentingan terhadap lahan dan air turut mengurangi kemampuan subak dalam menjalankan fungsinya sebagai pendukung utama menjaga kestabilan ketersediaan pangan. 12. Pergantian regim yang berkuasa senantiasa berkepentingan terhadap peran dan fungsi subak khususnya terkait perolehan upeti atau pajak. Tinjauan sejarah memastikan bahwa sejak lahir hingga era kontemporer, subak berperan penting dalam produksi pangan khususnya mengelola air. Secara evolusi kelembagaan ini mengalami perubahan dari lembaga yang otonom dan sangat kolektif menjadi lembaga yang tergantung dan cenderung individual. 13. Era Orde Baru merupakan satu era perubahan sosial mendasar dengan ideologi politik pertumbuhan yang mengedepankan dukungan sarana prasarana dan kebijakan yang jelas dan tegas, sumberdaya alam dikelola dan dimanfaatkan secara optimal. Pada era ini peran negara sebagai aktor dominan memasuki ruang-ruang partisipasi publik sehingga masyarakat digerakkan untuk terlibat aktif dalam pembangunan yang diusung pemerintah. Aksi-aksi pembangunan yang diproduksi oleh para teknokrat secara agresif diimplementasikan dengan dukungan dana dari politik pinjaman yang ditawarkan oleh lembaga internasional maupun negara-negara donor dari Barat. Akibatnya, regim
pengelolaan dan pemanfaatan sumberdayaairtunduk pada pengaturan negara donor seperti Water Supply Sector Policy Framework (UWSPF) yang mengubah PDAM menjadi sebuah industri jasa otonom, Financial Recovery Action Plan (FRAP) yang mengharuskan PDAM mengurangi biaya operasional dan tidak memberi deviden kepada pemerintah lokal, turnover management, irrigation service fee dan efficient operationalyang sifatnya mendorong eksploitasi air unuk komersial dan konsekuensinya ada beban biaya yang di tanggung oleh petani subak. 14. Otonomi daerah yang tujuannya menguatkan kelembagaan lokal dan mengelola sumberdaya alam daerahnya secara bijaksana justru menggiring aktor penguasa daerah untuk mengeksploitasi sumberdaya dan kelembagaan yang ada demi mengejar PAD. Kabupaten-kabupaten berbasis pertanian di Bali mengalami tarikan yang kuat untuk berpaling kepada sektor pariwisata yang dinilai lebih menghasilkan pendapatan secara cepat dan dalam jumlah besar. Khusus di bidang air, perubahan ideologi politik dan regim penguas menyebabkan terjadinya dekonstruksi kekuasaan kelembagaan subak berupa pelemahan hampir pada seluruh karakteristik pencirinya. Dekonstruksi kekuasaan terjadi secara massif khususnya di era reformasi. Mengendurnya peran negara dan menguatnya kepentingan kapitalis serta ideologi liberalisasi melalui legalitas hukum berideologi desentralisasi dan UU Sumberdaya Air, berfungsi mempertarungkan beragam aktor dalam arena konflik pengelolaan dan pengembangan sumberdaya air. Pengetahuan dan kuasa lokal tradisional subak tidak mampu bertarung melawan pengetahuan dan kuasa aktor kapitalis (yang didukung teknologi, modal, dan relasi-relasi dengan penguasa). Implikasinya, dekonstruksi kelembagaan subak sebagai pelaku terdepan produksi pertanian dan daya tarik pariwisata semakin terancam. 15. Pembangunan sektor industri dan pariwisata massal yang membutuhkan lahan dan air dalam jumlah yang besar semakin hari semakin turut mendesak ruang spasial subak. Subak yang lahir dan berkembang didasari kedua sumberdaya alam ini menemukan kebuntuan untuk menggerakkan diri dalam menjalankan fungsinya. Secara hukum dan kebijakan maupun secara material subak tidak lagi memperoleh ruang yang memungkinkan perannya dijalankan mengikuti hakekat dasarnya untuk menjaga kemandirian pangan warganya. Penurunan luas panen (akibat fuso dan konversi), penurunan produktifitas, hingga penurunan indeks pertanaman padi terjadi akibat kekurangan air. 16. Prinsip satu bendung-satu pura-satu menejemen pada subakberlangsung kokoh selama unsur lahan dan air memadai. Perkembangan masyarakat yang kompleks, pembangunan perkotaan maupun pedesaan bertumbuh pesat, diikuti oleh kondisi lingkungan hidrologis semakin memburuk, aktor yang berkepentingan terhadap sumberdaya air semakin banyak dan bersaing, menejemen sumberdaya air yang membutuhkan integrasi hulu dan hilir semakin sulit dilakukan. Subak-subak tertentu yang berada di wilayah hulu atau dekat dengan sumber mata air “terpaksa” melakukan kolusi dengan pihak luar (PDAM, pengusaha AMDK/AMIU), sehingga subak di wilayah hilir kekurangan air. Sistem pinjam air dan tanam gilir yang menjadi kekuatan subak semakin jarang dilaksanakan. Artinya, ketika kedudukan air beralih dari common pool resources
menjadi commodity economic, konflik air memasuki ranah politik ekonomi yang melibatkan negara dan kapitalis secara intensif. Subak Gde maupun subak agung sebagai wadah koordinasi belum berjalan optimal dalam mengatasi konflik air. 17. Konflik air antara PDAM, pengusaha AMDK, AMIU, maupun pengusaha pariwisata dengan kelembagaan pengairan subak, memiliki keterkaitan dengan lembaga internasional dan negara maju. Konflik pada aras kebijakan (immaterial) sebagai bentuk pertarungan kuasa pengetahuan maupun aras praktikal (material) sebagai bentuk pertarungan akses. Politik ekonomi yang memberi peluang bekerjanya kapitalisme memasuki ruang-ruang publik hingga ke pedesaan pada puncaknya dapat dilihat sebagai bentuk imperialism, dimana hubungan antara negara/kelompok/institusi pusat (centre) dengan lembaga tradisional lokal (periphery) terjadi tidak seimbang. Akibatnya, kepentingan terhadap sumberdaya yang sama diakses melalui kekuasaan dan kekuatan yang berbeda menyebabkan perolehan manfaat dan keuntungan antar aktor sangat timpang. 18. Perbedaan kepentingan dan kekuasaan dalam mendapatkan akses sumberdaya air antar aktor menunjukkan perbedaan kemampuan untuk memperoleh keuntungan dari sumberdaya tersebut. Tinjauan historis menggunakan pendekatan ekologi politik menunjukkan adanya hubungan kekuasaan yang berbanding terbalik antar aktor, artinya semakin besar kekuasaan suatu aktor melakukan pengaturan, semakin kecil kekuasaan aktor lain untuk melakukan pengaturan atas dirinya sendiri. Ketika kapitalis atau negara sebagai lembaga pusat (centre institution) memiliki kontrol yang kuat terhadap sumberdaya air maka subak sebagai pinggiran (periphery institution) semakin melemah. 19. Pertumbuhan yang dicapai melalui akumulasi kapital dan politik pinjaman khusus dibidang pengairan melalui pembangunan pertanian tanaman pangan, Bali Irrigation Project, hingga terkait komersialisasi air, telah memaksa negara melakukan pengaturan hingga ke ruang teknis dan menembus ruang partisipasi masyarakat. Pengartian negara terhadap subak sebagai lembaga keteknikan yang sangat adaptif adalah kekeliruan yang telah mendorong pemerintah secara intensif memanfaatkan lembaga ini sebagai alat pembangunan dengan pengaturan-pengaturan formal. Intervensi pengaturan tidak disertai politik keberpihakan menjaga komponen-komponen dasarnya, telah menyebabkan terjadinya proses peluruhan nilai-nilai kemandirian, kohesifitas, dan keterlekatan subak menjadi lebih tergantung kepada pihak luar, cenderung individualis, dan merubah interaksi budaya agraris menjadi lebih industrialis. Interaksi subak dengan sistem ekonomi liberal melalui beragam program dan fasilitasi, secara bergradasi menularkan ideologi dan sistem nilai kapitalis pada petani subak, khususnya para pemimpin subak.Kondisi ini menyebabkan beragam benturan dan potensial mempercepat proses keterancaman fungsi subak sebagai pendukung ketersediaan pangan maupun subak sebagai salah satu daya tarik pariwisata Bali. 20. Dibangunnya kesepakatan privatisasi air di tingkat global, didukung oleh undang-undang formal di tingkat nasional, selanjutnya dioperasionalkan secara kondusif melalui pembangunan pariwisata membuka celah bertambahnya aktor
pesaing subak dalam mengelola dan memanfaatkan air. Keputusan politik yang mengedepankan pariwisata massal yang sangat kapitalistik, secara sporadik mendesak pengalihan pemanfaatan sumberdaya lahan dan air dari sektor pertanian yang merakyat menjadi non pertanian yang efisien dan produktif dalam menghasilkan pendapatan. Formalisasi organisasi petani untuk kelengkapan dan kontrol paket pembangunan secara utuh, menembus kekuasaan petani dalam mengatur dirinya sendiri, mempersempit ruang jelajah, menciptakan konflik peran, dan akhirnya kurang berhasil membangun partisipasi. 21. Konflik sumberdaya air di Yeh Ho (Bali) merupakan divergen dari politik ekonomi di tingkat global dan aspek praktikal yang menghubungkan isu di tingkat global dengan pertarungan akses di tingkat lokal. Pertarungan kuasa pengetahuan pada Konferensi Dublin yang direspon secara cerdas oleh lembaga-lembaga agen pembangunan, melalui kuasa pengetahuan dan kuasa modal menawarkan “pinjaman” dengan berbagai aturan mengikat. Perusahaan air minum setingkat Golden Mississippi dan Danone yang mengembangkan usaha AMDK memainkan kuasa pengetahuan dan terbukti berkontribusi mempengaruhi kebijakan dan memudahkannya mengakses sumberdaya air di Bali. 22. Pada aras mikro, pertarungan aktor negara (pemda), kapitalis (PDAM, PT Prima Tirta dan pengusaha lainnya), pemerintah desa, dan petani subak menimbulkan konflik material. Koalisi aktor yang berpegang pada aturan formal dan kesepakatan yang dibangun dengan lembaga pendukung permodalan, secara konsisten meningkatkan akses pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya air. Efisiensi perusahaan dengan orientasi perolehan keuntungan yang maksimal, mendorong pengusaha secara aktif mengembangkan usaha dengan mencari dan mengusahakan sumber-sumber air potensial. Agresifitas usaha para aktor dengan menggunakan wacana otoritas formal, politik pembangunan ekonomi, dan tekanan sosial global, para kapitalis dan negara telah menciptakan hubungan yang tidak seimbang dengan subak, dan secara sistematis merebut akses petani terhadap sumberdaya air. Secara empiris ditemukan praktek politik ekonomi dan ekologi yang membangun relasi tidak seimbang bahkan melahirkan pragmentasi kekuasaan dengan munculnya para pekaseh dan tokoh-tokoh desa sebagai lapisan/kelompok aktor baru yang memanfaatkan kekuasaan dan hubungannya dengan subak maupun dengan pihak luar. Kelompok ini mempermudah dan mempercepat terjadinya transaksi atas sumberdaya alam setempat kepada investor. 23. Keterbatasan air pertanian yang disebabkan oleh faktor kerusakan ekosistem dan kebijakan politik ekonomi air, telah membuka kesempatan besar kepada pengusaha untuk mengakses sumberdaya air yang ada, mengambil alih sebagian besar akses dan kontrol sumberdaya air yang selama ini berada ditangan subak. Penyesuaian-penyesuaian sistem produksi, menekan gaya hidup, mengurangi luasan usahatani, melepas lahan, mengalihfungsikan lahan, berpindah pekerjaan, melakukan perlawanan-perlawanan secara kolektif, mengambil saprodi subsidi tanpa berusahatani, hingga protes lewat pertemuanpertemuan dengan petugas pemerintah adalah bentuk-bentuk perlawanan yang dilakukan petani terhadap intervensi negara yang dinilai kurang memihak.
Realitanya, kelembagaan subak tidak mampu menjalankan fungsinya secara optimal mendukung ketersediaan pangan dan kemajuan pariwisata di Bali. Meningkatnya konflik internal dan ekses peran tokoh lokal) menjadi senjata tersembunyi yang akhirnya berperan membunuh subak sendiri. Meluruhnya pertahanan ekonomi dan sosial subak terlihat pula dengan semakin tergantungnya subak pada bantuan pihak luar (pemerintah, PDAM, swasta lainnya) untuk mendanai kebutuhan internal subak (upacara keagamaan, memelihara saluran). Implikasi Kebijakan 24. Kelembagaan subak di Bali sudah membuktikan kontribusinya yang penting dalam memproduksi pangan dan menstimulus sektor pariwisata. JikalauBali dinilai penting sebagai wilayah pendukung kemandirian pangan dan subak dinilai sebagai kelembagaan sosial budaya yang khas sebagai daya tari pariwisata Bali, maka kondisi subak yang saat ini dalam keadaan meluruh, disfungsi, dan terancam punah, memerlukan sikap politik, kebijakan, dan sistem operasional yang mendesak untuk dikuatkan kembali dengan menciptakan iklim yang kondusif untuk hidup dan berproses. Karakteristik subak yang bertolakbelakang dengan kapitalisme memerlukan dukungan penciptaan iklim yang kondusif agar bisa berdampingan tanpa bergantung pada kekuasaan ideologi tersebut. Sangat penting melakukan perubahan aras pengetahuan yang dilengkapi dengan tindakan di aras kebijakan dan operasional, meliputi: 25. Pada aras pengetahuan: (a) Perlu perubahan pandangan tentang subak dengan cara meredefinisi pengartian subak dan memberi ruang partisipasi yang memungkinkan seluruh sistem sosial subak hidup dan berjalan secara optimal; (b) Subak merupakan kelembagaan pengairan khas Bali yang tidak secara otomatis bisa direplikasi di lokasi pangan lain di Indonesia karena keteknikannya kait mengkait dengan nilai-nilai religius Hindu sehingga tidak optimalisasi lembaga tidak tercapai jika mengedepankan keteknikannya semata; (c)Secara holistik pemerintah perlu melihat sektor pertanian pangan sebagai bagian penting dan mendasar dari budaya masyarakat, menjaga keberlanjutan ekologi, dan pewarisan nilai-nilai sosial budaya yang keseluruhannya terkandung dalam kelembagaan subak. Sektor pertanian pangan bukan sumber ekonomi jangka pendek tetapi strategis dalam menjaga kehormatan bangsa. Oleh karena itu patut mempertimbangkan investasi sektor pertanian tidak sepenuhnya ditujukan untuk memproduksi unsur material berupa pendapatan tetapi sekaligus berfungsi untuk menciptakan keamanan pangan yang berkorelasi positif dengan kestabilan sosial ekonomi masyarakat, kedaulatan pangan, dan harga diri bangsa. 26. Pada aras kebijakan dan operasional: (a) Mempelajari dengan seksama UU No. 7 tahun 2004 dan mengatur implementasinya secara selektif dengan kalkulasi resiko dan keberlanjutan lingkungan, khususnya di Tabanan sebagai wilayah berbasis pertanian tanaman pangan. Pemerintah daerah dapat menggunakan kuasa dan kewenangan formalnya memproduksi pengaturan yang bersifat membentengi petani dari dominasi pengaturan kapitalis sehingga secara nyaman dapat bekerja di bidangnya; (b) Memperketat perijinan usaha yang
berkaitan dengan pemanfaatan lahan dan sumberdaya air serta membuka dialog dengan semua unsur subak dalam pengelolaannya. Diperlukan perhitungan teknis kecukupan air untuk pertanian terutama pada musim kemarau, sebelum mengeluarkan ijin pemanfaatan air bagi swasta, baik air waduk, air sungai, maupun mata air. Pengusahaan air juga perlu dilengkapi aturan analisis dampak lingkungan, lalu lintas air, pengaturan jasa lingkungan dan keterjaminan kesempatan kerja utama bagi masyarakat setempat; (c) Menekan laju alih fungsi lahan dan alih fungsi air dengan menerapkan secara efektif UU Perlindungan lahan pertanian pangan berkelanjutan. UU ini perlu dilengkapi jaminan insentif yang layak bagi petani yang secara konsisten mempertahankan lahan sawah dan usaha pertaniannya sehingga petani menilai pertanian adalah sumber pendapatan yang layak dan terjamin; (d) Penataan ruang (RTRW) yang memprioritaskan kawasan-kawasan strategis untuk pertumbuhanekonomi serta mengatur secara tegas untuk kawasan pertanian; (e) Sebagai daerah lumbung pangan, pemerintah daerah Tabanan perlu mengatur dan menetapkan zonase lahan untuk pertanian pangan secara tegas serta mengkawal pemanfaatannya dengan pengaturan yang rinci serta mengeluarkan kebijakan untuk memajukan petani berupa farm bill, kebijakan yang mengalokasikan anggaran untuk membantu petani berupa insentif yang seimbang dan keterjaminan atas resiko usahatani. 27. Politik ekonomi dan pembangunan pariwisata di Bali secara sistemik telah melemahkan peran dan fungsi kelembagaan subak dengan melepas satu per satu unsur-unsur keotonomiannya. Retorika pemerintah mengenai pentingnya peran petani subak dalam memelihara ketahanan pangan lokal dan nasional, memerlukan sikap politik dan keberpihakan yang tegas dan konsisten dengan memperhatikan prinsip dasar bahwa petani hanya bisa menghidupi orang lain termasuk mendukung ketahanan pangan nasional, jika subak itu sendiri hidup dalam komunitasnya. Subak hanya bisa hidup jika ada putusan politik dan keberpihakan yang menciptakan lingkungan yang memungkinkan karakteristik dasarnya (lahan, air, dan jiwa spiritualitasnya) tetap hidup.Mensetarakan subak terhadap beragam kelembagaan sejenis di seluruh Indonesia yang sudah lebih dulu mengalami kehancuran, maka dapat disimpulkan bahwa keterancaman subak merupakan representasi keterancaman kelembagaan sejenis sehingga subak dapat ditempatkan sebagai benteng terakhir pertanian tanaman pangan dan ketahanan budaya Bali.