ANALISIS SITUASI DAN KEBUTUHAN KONSUMSI PANGAN DI PROVINSI PAPUA
CAHAYA IRIANI SIAGIAN
DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012
ABSTRACT CAHAYA IRIANI SIAGIAN. Analysis of Food Consumption Situation and Needs in Papua Province. Supervised by YAYAT HERYATNO and CESILIA METI DWIRIANI. The aim of this study was to analyze the food consumption situation and need in Papua Province. This research using secondary data, that were region sosio economic and demographic characteristics, and number of population which ware obtained from Badan Pusat Statistik (BPS), and food consumption obtained from National Socio Economic Survey (Susenas )in 2008, 2009, and 2010. Processing and analysis of data were done by tabulation techniques with descriptive statistics approach using software “Application Program Planning Food and Nutrition”. The results of this data showed energy consumption in Papua Province was 1993 kcal/capita/day (99.6% of RDA) and protein consumption was 48.1 gram/capita/day (92.7% of RDA). The quantity of energy and protein intake still below WNPG 2004 standard. Similarly, score of Desirable Dietary Pattern in 2010 (81.0) was less than minimum service standards (SPM) in 2015 (90). This research also carried outthe need and food consumption and needs prediction for 2011- 2015 in Papua Province. The results showed that consumption of food groups need to be improved are grains (4.29%), animal food (3.02%), fruit/seeds (13.90%), legumes (2.63%), and sugar (2.19%), fruits and vegetables (0.76 %). Similary, prediction analysis showed needs consumption of food groups that should be improved are grains (9.90%), animal food(8.53%), oils and fats(4.3%), fruits/seeds(20.83%), legumes(8.15%), sugar(7.65%),fruits and vegetables (6.18%). Keywords: energy consumption, protein consumption, desirable dietary pattern
RINGKASAN CAHAYA IRIANI SIAGIAN. Analisis Situasi Dan Kebutuhan Konsumsi Pangan di Provinsi Papua. Di bawah bimbingan oleh Yayat Heryatno dan Cesilia Meti Dwiriani. Pangan merupakan komoditas penting dan strategis bagi bangsa Indonesia mengingat pangan adalah kebutuhan dasar manusia yang harus dipenuhi oleh pemerintah dan masyarakat secara bersama-sama seperti diamanatkan oleh Undang Undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang pangan. Provinsi Papua merupakan provinsi yang terletak di wilayah paling timur Indonesia. Secara umum, konsumsi energi di Provinsi Papua masih rendah dari konsumsi energi ideal yang direkomendasikan oleh WNPG 2004 (2000 kkal/kapita/hari). Hal ini ditunjukkan dengan konsumsi pangan di Provinsi Papua pada tahun 2007 adalah 1984 kkal/kapita/hari dengan skor PPH yaitu 80.9 (BPS 2008). Skor PPH di Provinsi Papua masih kurang beragam dan berimbang, dimana semakin tinggi skor PPH semakin bagus kualitas dari konsumsi pangan penduduk tersebut dan berarti konsumsi pangan semakin beragam dan seimbang. Kurang beragamnya pangan yang dipilih dan tidak cukupnya jumlah yang dikonsumsi merupakan masalah konsumsi pangan dan gizi yang sering terjadi. Tujuan umum penelitian ini adalah menganalisis situasi dan kebutuhan konsumsi pangan berdasarkan pola pangan harapan (PPH) di Provinsi Papua. Tujuan khususnya adalah (1) menganalisis situasi konsumsi pangan penduduk di Provinsi Papua pada tahun 2008-2010, (2) menganalisis proyeksi konsumsi pangan penduduk berdasarkan pendekatan pola pangan harapan (PPH) di Provinsi Papua pada tahun 2011-2015, dan (3) menganalisis proyeksi kebutuhan konsumsi pangan penduduk berdasarkan pendekatan pola pangan harapan (PPH) di Provinsi Papua pada tahun 2011-2015. Penelitian ini dilaksanakan dengan pendekatan prospective study dengan menggunakan data hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) Provinsi Papua tahun 2008 sampai tahun 2010 yang dikumpulkan dengan desain cross sectional. Pengumpulan data dilakukan pada bulan Mei-Juni 2012. Data yang digunakan dalam analisis ini adalah data sekunder yang meliputi data karakteristik wilayah, data konsumsi pangan, dan data jumlah penduduk. Data karakteristik wilayah dan data rata-rata kuantitas konsumsi pangan per kapita/minggu menurut jenis dan kelompok makanan serta golongan pengeluaran penduduk di Provinsi Papua tahun 2008-2010 berdasarkan data hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) diperoleh dari Badan Pusat Statistik (BPS), serta data jumlah penduduk diperoleh dari Papua Dalam Angka dari tahun 2008-2010. Kegiatan pengolahan di awali dengan pengolahan data konsumsi pangan rumahtangga Provinsi Papua dengan menggunakan program Microsoft excel dan software “Program Analisis Situasi dan Kebutuhan Konsumsi Pangan Wilayah”. Analisis dalam pengolahan meliputi (1) analisis situasi konsumsi pangan yaitu analisis kuantitatif dan analisis kualitataif. Analisis kuantitatif yaitu mengamati tingkat kecukupan energi (TKE) dan tingkat kecukupan protein (TKP) sedangkan analisis kualitatif yaitu mengamati skor pola pangan harapan (PPH). (2) analisis proyeksi konsumsi berdasarkan PPH, dan (3) analisis proyeksi kebutuhan pangan wilayah berdasarkan PPH. Hasil analisis situasi konsumsi pangan penduduk di Provinsi Papua menunjukkan bahwa konsumsi energi penduduk di Provinsi Papua pada tahun
2010 adalah 1993 kkal (99.6 %AKE) dan konsumsi protein adalah 48.1 gram/kapita/hari (92.7 %AKP). Secara kuantitas konsumsi energi dan protein penduduk di Provinsi Papua masih dibawah standar WNPG 2004. Demikian juga skor PPH pada tahun 2010 adalah 81.0 masih kurang dari standar pelayanan minimum (SPM) tahun 2015 yaitu 90. Hasil analisis proyeksi skor Pola Pangan Harapan di Provinsi Papua harus ditingkatkan minimal 1,9 poin setiap tahunnya sehingga mencapai skor PPH 90 sesuai standar pelayanan minimum (SPM) pada tahun 2015. Hasil proyeksi konsumsi pangan di Provinsi Papua menujukkan bahwa Kelompok pangan yang masih perlu ditingkatkan konsumsinya adalah kelompok padipadian (4.3%), kelompok pangan hewani (3.0%), kelompok buah/biji berlemak (13.9%), kelompok kacang-kacangan (2.6%), kelompok pangan gula (2.2%), dan kelompok pangan sayur dan buah (0.8 %). Hasil analisis proyeksi kebutuhan konsumsi pangan penduduk di Provinsi Papua tahun 2011-2015 menunjukkan bahwa kelompok pangan yang masih perlu ditingkatkan adalah kelompok pangan padi-padian, pangan hewani, minyak dan lemak, buah/biji berlemak, kacang-kacangan, gula serta sayur dan buah dengan pemenuhan kebutuhan konsumsinya adalah 9.9%, 8.5%, 4.4%, 0.8%, 8.1%, 7.6%, dan 6.2% per tahun. Oleh karena itu konsumsi pangan di Provinsi Papua yang masih perlu ditingkatkan adalah kelompok pangan padi-padian, pangan hewani, minyak dan lemak, buah/biji berlemak, kacang-kacangan, gula serta sayur dan buah agar situasi dan kebutuhan konsumsi pangan penduduk tercapai sesuai standar pelayanan minimum (SPM) pada tahun 2015.
ANALISIS SITUASI DAN KEBUTUHAN KONSUMSI PANGAN DI PROVINSI PAPUA
CAHAYA IRIANI SIAGIAN
Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Gizi pada Departemen Gizi Masyarakat
DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012
LEMBAR PENGESAHAN Judul : Analisis Situasi dan Kebutuhan Konsumsi Pangan di Provinsi Papua Nama : Cahaya Iriani Siagian NIM : I14080128
Menyetujui :
Dosen Pembimbing I
Dosen Pembimbing II
Yayat Heryatno, SP, MPS
Dr. Ir. Cesilia Meti Dwiriani, M,Sc
NIP. 19690112 199601 1 003
NIP. 19660527 199203 2 003
Mengetahui : Ketua Departmen Gizi Masyarakat
Dr. Ir. Budi Setiawan, MS NIP. 19621218 198703 1 001
Tanggal Lulus :
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala karuniaNya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Analisis Situasi dan Kebutuhan Konsumsi Pangan di Provinsi Papua” sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana Gizi pada Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor. Penyusunan skripsi ini tidak terlepas dari bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada: 1.
Kedua orang tua penulis yaitu Ayah (Houtman Siagian) dan Ibu (Lindawati Gurning) yang selalu memberikan kasih sayang, doa, serta dukungan baik material maupun spiritual.
2.
Yayat Heryatno, SP, MPS selaku dosen pembimbing akademik sekaligus pembimbing skripsi atas bimbingan, saran dan masukan selama perkuliahan maupun selama penulisan skripsi.
3.
Dr. Ir. Cesilia Meti Dwiriani, M,Sc selaku dosen pembimbing skripsi atas bimbingan, nasehat, saran, dan masukan selama penulisan skripsi.
4.
Dr. Ir. Ikeu Tanziha, MS selaku dosen pemandu seminar dan penguji skripsi yang telah memberikan masukan, saran, dan kritik demi kesempurnaan skripsi ini.
5.
My sister’s (Mentari Siagian, Wulan Siagian, dan Sinta Siagian) yang selalu memberikan kasih sayang, doa, dan dukungan bagi penulis.
6.
Abang Patar Naibaho yang senantiasa memberikan kasih sayang, doa, dan dukungan dari awal hingga akhir selama penulisan skripsi.
7.
Sahabatku (Mahyuni, Astria, Made, Fenny, Ema, Ilya, Nur indah, Oktavianus, Nehemia, Saidah, dan abang Andri), teman-teman GM 45, dan teman-teman kost ‘Perwira 52’ atas dukungan kepada penulis. Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan in tidak lepas dari
kesalahan dan kekurangan, maka dengan segala kerendahan hati penulis mengaharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun dari para pembaca demi perbaikan. Akhir kata, semoga skripsi ini bermanfaat, baik bagi penulis maupun pembaca. Amin.
Bogor, November 2012
Cahaya Iriani Siagian
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Jayapura pada tanggal 12 Juli 1989 dari Ayah Houtman Siagian dan Ibu Lindawati Gurning. Penulis merupakan putri pertama dari empat bersaudara. Penulis memulai pendidikan dari Taman Kanak-kanak di TK Nuri Manis Nabire dari tahun 1993 sampai 1994. Penulis menyelesaikan pendidikan dasar pada tahun 2000 di SDN Impres Nabarua Nabire. Selanjutnya penulis menyelesaikan pendidikan menengah pertama pada tahun 2004 di SMP Negeri 1 Nabire. Pendidikan menengah atas diselesaikan penulis pada tahun 2007 di SMA Negeri 3 Nabire. Penulis diterima sebagai mahasiswa IPB pada tahun 2007 melalui jalur Beasiswa Utusan Daerah (BUD) Kabupaten Nabire Papua dan tercatat sebagai mahasiswi Mayor Ilmu Gizi pada tahun 2008, Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, di Institut Pertanian Bogor. Selama menempuh pendidikan di Institut Pertanian Bogor, penulis aktif dalam berbagai kegiatan salah satunya adalah kepanitiaan Seminar Gizi Nasional 2011. Penulis telah melaksanakan Kuliah Kerja Profesi (KKP) di Desa Larikan, Kecamatan Doro, Kabupaten Pekalongan pada tahun 2011. Penulis juga telah melaksanakan Internship Dietetik di Rumah Sakit Umum Daerah Cilegon Banten pada bulan Maret sampai April 2011.
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL ................................................................................................. xi DAFTAR GAMBAR.............................................................................................xii DAFTAR LAMPIRAN ......................................................................................... xiii PENDAHULUAN.................................................................................................. 1 Latar Belakang.............................................................................................. 1 Tujuan .......................................................................................................... 2 Tujuan Umum ............................................................................................... 2 Tujuan Khusus.............................................................................................. 3 Kegunaan Penelitian..................................................................................... 3 TINJAUAN PUSTAKA ......................................................................................... 4 Ketahanan Pangan ....................................................................................... 4 Pola Konsumsi Pangan................................................................................. 6 Kuantitas konsumsi pangan.......................................................................... 7 Kualitas konsumsi pangan ............................................................................ 9 Perencanaan Kebutuhan Konsumsi Pangan Wilayah ................................. 11 Kebijakan Ketahanan Pangan..................................................................... 12 KERANGKA PEMIKIRAN .................................................................................. 15 METODE ........................................................................................................... 17 Desain, Waktu dan Tempat......................................................................... 17 Jenis dan Sumber Data .............................................................................. 17 Pengolahan dan Analisis Data .................................................................... 17 Analisis Situasi Konsumsi Pangan.............................................................. 18 Analisis konsumsi secara kuantitatif ........................................................ 18 Analisis konsumsi secara kualitatif .......................................................... 18 Analisis Proyeksi Konsumsi Berdasarkan Pendekatan PPH ....................... 21 Analisis Kebutuhan Pangan Wilayah Berdasarkan Pendekatan PPH ......... 21 Definisi Operasional.................................................................................... 22 HASIL DAN PEMBAHASAN .............................................................................. 23 Gambaran Umum Wilayah.......................................................................... 23 Keadaan geografis...................................................................................... 23 Demografi dan Sosial Ekonomi................................................................... 23 Situasi Konsumsi Pangan Provinsi Papua ................................................. 26
x
Kuantitas Konsumsi Pangan....................................................................... 27 Konsumsi Energi ..................................................................................... 27 Konsumsi Protein .................................................................................... 31 Kualitas Konsumsi Pangan ......................................................................... 35 Proyeksi Konsumsi Berdasarkan Pola Pangan Harapan (PPH) .................. 39 Proyeksi Kebutuhan Konsumsi Pangan Wilayah Berdasarkan Pola Pangan Harapan (PPH) .............................................................................. 43 KESIMPULAN DAN SARAN .............................................................................. 47 Kesimpulan................................................................................................. 47 Saran.......................................................................................................... 47 DAFTAR PUSTAKA........................................................................................... 49 LAMPIRAN ........................................................................................................ 52
DAFTAR TABEL Halaman
1
Perbandingan PPH FAO-RAPA, Meneg Pangan 1994, dan DEPTAN 2001 ............................................................................................................ 11
2
Jenis data yang digunakan, tahun dan sumber data penelitian .................... 17
3
Standar ideal dan target SPM tahun 2015................................................... 19
4
Pola pangan harapan Nasional .................................................................... 20
5
Tingkat kecukupan energi perkotaan tahun 2008, 2009, dan 2010 .............. 27
6
Tingkat kecukupan energi pedesaan tahun 2008, 2009, dan 2010 .............. 28
7
Tingkat kecukupan protein perkotaan + pedesaan tahun 2008, 2009, dan 2010...................................................................................................... 29
8
Tingkat kecukupan energi di Provinsi Papua tahun 2008, 2009, dan 2010...................................................................................................... 29
9
Tingkat konsumsi protein perkotaan tahun 2008, 2009, dan 2010 ............... 31
10 Tingkat konsumsi protein pedesaan tahun 2008, 2009, dan 2010................ 32 11 Tingkat konsumsi protein perkotaan+ pedesaan tahun 2008, 2009, dan 2010...................................................................................................... 33 12 Tingkat kecukupan protein di Provinsi Papua tahun 2008, 2009, dan 2010...................................................................................................... 34 13 Skor pola pangan harapan Provinsi Papua tahun 2008, 2009, dan 2010 ..... 36 14 Kontribusi energi menurut kelompok pangan pangan Provinsi Papua tahun 2008-2010.......................................................................................... 37 15 Skor PPH menurut kelompok pangan Provinsi Papua tahun 2008-2010...... 38 16 Proyeksi Pola Pangan Harapan (PPH) Provinsi Papua berdasarkan konsumsi pangan tahun dasar 2010 ............................................................ 39 17 Proyeksi kontribusi energi terhadap Angka Kecukupan Energi (%AKE) menurut kelompok pangan (%) .................................................................... 40 18 Proyeksi konsumsi pangan menurut kelompok pangan (kkal/kapita/hari)..... 42 19 Proyeksi konsumsi pangan menurut kelompok pangan (gram/kapita/hari)... 43 20 Proyeksi kebutuhan konsumsi pangan menurut kelompok pangan (kg/kapit/tahun) ............................................................................................ 44 21 Proyeksi kebutuhan konsumsi pangan penduduk Provinsi Papua tahun 2011-2015 (Ribu ton/ tahun) ........................................................................ 45
DAFTAR GAMBAR Halaman
1
Kerangka pemikiran analisis situasi dan kebutuhan konsumsi pangan di Provinsi Papua. ........................................................................................ 16
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1
Peta Provinsi Papua .................................................................................... 53
2
Trend skor pola pangan harapan Provinsi Papua tahun 2008, 2009, dan 2010............................................................................................................. 54
3
Proyeksi konsumsi pangan menurut kelompok pangan dan jenis pangan tahun 2011-2015 (gram/kapita/hari) ............................................................. 55
4
Proyeksi kebutuhan konsumsi pangan menurut kelompok dan jenis pangan......................................................................................................... 57
PENDAHULUAN Latar Belakang Pangan merupakan komoditas penting dan strategis bagi bangsa Indonesia mengingat pangan adalah kebutuhan dasar manusia yang harus dipenuhi oleh pemerintah dan masyarakat secara bersama-sama seperti diamanatkan oleh Undang Undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang pangan. Dalam rangka menindaklanjuti pelaksanaan UU Pangan tersebut, maka pembangunan di bidang pangan harus diwujudkan secara merata di seluruh wilayah sepanjang waktu dengan memanfaatkan sumberdaya, kelembagaan dan budaya lokal. Sejalan dengan hal tersebut maka Undang-undang Nomor 32 tahun 2004 memberikan kewenangan kepada pemerintah daerah untuk lebih banyak mengatur dan mengelola pembangunan daerah, termasuk pembangunan ketahanan pangan. Ketahanan pangan merupakan urusan wajib pemerintah daerah sesuai dengan pasal 7 Peraturan Pemerintah Nomor 38 tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintah yang penyelenggaraannya berpedoman kepada standar
pelayanan minimum (SPM).
Ketahanan pangan harus
diupayakan secara optimal dan berkesinambungan sesuai dengan potensi masing-masing wilayah di semua kabupaten/kota. Menurut Absari (2007) perencanaan pembangunan suatu wilayah seharusnya dilakukan untuk memenuhi kebutuhan dasar bagi penduduknya. Kebutuhan dasar tersebut meliputi pangan, sandang, dan tempat tinggal. Tingkat kebutuhan gizi bagi konsumsi penduduk dapat digunakan sebagai salah satu standar untuk mengukur kebutuhan dasar penduduk, khususnya dalam hal pangan. Segala sumber daya yang berhubungan dengan produksi dan penyediaan pangan harus dialokasikan sesuai kebutuhan untuk memenuhi kebutuhan
minimal.
Pemilihan
jenis
pangan
yang
diinginkan
diantara
kelompoknya disesuaikan dengan kondisi sosial budaya (aspek pola konsumsi atau preferensi jenis pangan penduduk) dan potensi wilayah setempat (Hardinsyah et al 2001). Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki keragaman dalam hal sumberdaya alam sehingga menyebabkan setiap wilayah atau daerah mempunyai keunggulan maupun keterbatasan dalam memproduksi bahan pangan secara efisien. Beberapa daerah ada yang mampu memproduksi pangan dalam jumlah yang berlebihan, namun ada juga yang tidak mampu memproduksi pangan dalam jumlah yang cukup. Pemenuhan hak masyarakat indonesia akan
2
pangan adalah salah satu bentuk dari tujuan pembangunan ketahanan pangan. Hal ini memungkinkan terdapat pula perbedaan dalam pola konsumsi pangan pada Provinsi Papua. Provinsi Papua merupakan provinsi yang terletak di wilayah paling timur Indonesia. Provinsi Papua juga merupakan provinsi dengan wilayah terluas di Indonesia, yaitu 319.036,05 km2 atau 16,70 persen dari luas Indonesia. Masyarakat di Provinsi Papua, secara umum masyarakatnya berpola pangan sagu dan umbi-umbian sebagai bahan pangan pokok, karena sagu dan umbiumbian merupakan pangan yang banyak berkembang di daerah tersebut. Seperti yang dikemukakan oleh Suhardjo et al. (1988), jenis dan jumlah pangan dalam pola konsumsi pangan di suatu wilayah biasanya berkembang dari pangan setempat atau pangan yang ditanam di tempat tersebut dalam jangka waktu yang lama atau panjang. Secara umum, konsumsi energi di Provinsi Papua masih rendah dari konsumsi energi ideal yang direkomendasikan oleh WNPG 2004 yaitu 2000 kkal/kapita/hari. Hal ini ditunjukkan dengan konsumsi pangan di Provinsi Papua pada tahun 2007 adalah 1984 kkal/kapita/hari dengan skor PPH yaitu 80.9 (BPS 2008). Skor PPH di Provinsi Papua masih kurang beragam dan berimbang, dimana semakin tinggi skor PPH semakin bagus kualitas dari konsumsi pangan penduduk tersebut dan berarti konsumsi pangan semakin beragam dan seimbang. Kurang beragamnya pangan yang dipilih dan tidak cukupnya jumlah yang dikonsumsi merupakan masalah konsumsi pangan dan gizi yang sering terjadi. Selain itu pola konsumsi juga merupakan masalah perilaku penduduk yang berkaitan erat dengan kondisi sosial ekonomi, budaya, dan lingkungan. Perbedaan
pola
konsumsi
antar
daerah
dapat
disebabkan
oleh
ketidakseimbangan antara produksi dan konsumsi pangan yang beragam antar daerah sehingga menyebabkan perubahan pola konsumsi. Berdasarkan hal tersebut, peneliti akan menganalisis situasi dan kebutuhan konsumsi pangan berdasarkan pola pangan harapan (PPH) di Provinsi Papua. Tujuan Tujuan Umum Tujuan umum penelitian ini adalah menganalisis situasi dan kebutuhan konsumsi pangan berdasarkan pola pangan harapan (PPH) di Provinsi Papua.
3
Tujuan Khusus Tujuan khusus penelitian ini adalah: 1. Menganalisis situasi konsumsi pangan penduduk di Provinsi Papua pada tahun 2008-2010. 2. Menganalisis
proyeksi
konsumsi
pangan
penduduk
berdasarkan
pendekatan pola pangan harapan (PPH) di Provinsi Papua pada tahun 2011-2015. 3. Menganalisis
proyeksi
kebutuhan
konsumsi
pangan
penduduk
berdasarkan pendekatan pola pangan harapan (PPH) di Provinsi Papua pada tahun 2011-2015. Kegunaan Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi yang penting mengenai situasi dan kebutuhan konsumsi pangan di Provinsi Papua. Informasi yang dihasilkan juga diharapkan dapat digunakan oleh pemerintah Provinsi Papua dalam menyusun kebijakan dan implementasi program di bidang pangan dan gizi.
TINJAUAN PUSTAKA Ketahanan Pangan Ketahanan pangan di dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan didefinisikan sebagai kondisi terpenuhinya pangan bagi rumahtangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutu, aman, merata, dan terjangkau. Dengan demikian konsep ketahanan pangan tidak sama dengan swasembada (produksi) pangan (terutama beras). Fokus ketahanan pangan adalah setiap manusia setiap saat mampu mengkonsumsi pangan dan gizi secara seimbang (yang diperoleh dari karagaman pangan) untuk memperoleh status gizi yang baik. Sedangkan swasembada pangan adalah produksi (komoditi) pangan cukup untuk memenuhi kebutuhan domestik (tidak diperlukan impor). Swasembada pangan merupakan salah satu strategi untuk mewujudkan ketahanan pangan. Peraturan Pemerintah No.68 Tahun 2002 tentang Ketahanan Pangan sebagai peraturan pelaksanaan UU No.7 Tahun 1996 menegaskan bahwa untuk memenuhi kebutuhan konsumsi yang terus berkembang dari waktu ke waktu, upaya penyediaan pangan dilakukan dengan mengembangkan sistem produksi pangan yang berbasis pada sumber daya, kelembagaan, dan budaya lokal, mengembangkan efisiensi sistem usaha pangan, mengembangkan teknologi produksi pangan, mengembangkan sarana dan prasarana produksi pangan serta mempertahankan dan mengembangkan lahan produktif. Pada era desentralisasi, ketahanan pangan telah menjadi salah satu urusan wajib pemerintah sebagaimana dinyatakan dalam Peraturan Pemerintah No. 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintah antara Pemerintah, Pemerintah Provinsi, dan Pemerintah Kabupaten Kota. Oleh karena itu, urusan ketahanan pangan diselenggarakan berdasarkan Standar Pelayanan Minimal (SPM). Standar Pelayanan Minimum adalah sebuah kebijakan publik yang mengatur mengenai jenis dan mutu pelayanan dasar yang merupakan urusan wajib daerah yang berhak diperoleh setiap warga secara minimal. Standar Pelayanan Minimum dirancang untuk diterapkan di semua kabupaten/kota; untuk menjamin bahwa semua masyarakat memiliki akses ke pelayanan dasar yang menjadi hak mereka serta agar pelayanan dasar masyarakat di semua tingkatan sistem dapat dipertanggungjawabkan (Baliwati et al 2011). Menurut Suryana (2001) menyatakan bahwa ketahanan pangan dapat digambarkan sebagai suatu sistem yang terdiri dari tiga sub sistem yang saling
5
berinteraksi, yaitu sub sistem ketersediaan, sub sistem distribusi dan sub sistem konsumsi. Terwujudnya ketahanan pangan merupakan sinergi dan interaksi dari ketiga sub sistem tersebut. Subsistem ketersediaan pangan mencakup aspek produksi, cadangan serta keseimbangan antara impor dan ekspor pangan. Subsistem ini berfungsi menjamin pasokan pangan untuk memenuhi kebutuhan penduduk, baik dari sisi jumlah, kualitas, keragaman maupun kemanan (Suryana 2001). Menurut Suhardjo (1989) ketersediaan pangan di suatu daerah merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi jumlah dan jenis pangan yang dikonsumsi penduduk. Pola konsumsi pangan penduduk suatu daerah yang meliputi jumlah serta jenis pangan biasanya berkembang dari pangan yang tersedia setempat atau telah ditanam di daerah tersebut untuk jangka waktu yang panjang (Suryana 2001). Subsistem distribusi pangan yang efektif dan efisien sebagai prasyarat untuk menjamin agar seluruh rumahtangga dapat memperoleh pangan dan jumlah dan kualitas yang baik sepanjang waktu. Subsistem ini mencakup aspek aksesibilitas secara fisik, ekonomi maupun sosial atas pangan secara merata sepanjang waktu. Akses pangan didefinisikan sebagai kemampuan rumahtangga untuk secara periodik memenuhi sejumlah pangan yang cukup, melalui berbagai sumber atau kombinasi cadangan pangan yang dimiliki, hasil produksi pangan, pembelian/barter, pemberian, piinjaman dan bantuan pangan (Suryana 2001). Akses pangan secara fisik ditunjukkan oleh kemampuan memproduksi pangan, infrastruktur dasar maupun kondisi sumberdaya alam dan lingkungan. Dengan demikian akses fisik lebih bersifat kewilayahan dan dipengaruhi oleh ciri dan pengelolaan ekosistem. Akses pangan secara ekonomi menyangkut keterjangkauan masyarakat terhadap pangan yang ditunjukkan oleh harga, sumber mata pencaharian dan pendapatan. Sumber mata pencaharian meliputi kemampuan, aset dan aktivitas yang dapat menjadi sumber pendapatan. Seringkali, sumber mata pencaharian sangat dipengaruhi oleh kondisi maupun pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan. Akses pangan secara sosial antara lain dicerminkan oleh tingkat pendidikan, bantuan sosial, kebiasaan makan, konflik sosial/keamanan (Suryana 2001). Aksesibilitas merupakan komponen penting dalam ketahanan pangan rumahtangga. Akses menunjukkan jaminan bahwa setiap rumahtangga dan individu mempunyai sumberdaya yang cukup untuk memenuhi kebutuhan pangan sesuai dengan norma gizi. Pemeliharaan lingkungan hidup dimaksudkan
6
untuk jaminan pangan di masa datang. Pemeliharaan lingkungan berhubungan dengan akses terhadap sumberdaya yaitu dalam hal kepemilikan sumberdaya untuk memproduksi atau membeli pangan yang dibutuhkan. Oleh karena itu masyarakat
mempunyai
kepentingan
untuk
melaksanakan
konservasi
sumberdaya alam dalam rangka ketahanan pangannya (Suryana 2001). Subsistem
konsumsi
pangan
berfungsi
mengarahkan
agar
pola
pemanfaatan pangan memenuhi kaidah mutu, keragaman dan keseimbangan gizi, keamanan dan halal, serta efisiensi untuk mencegah pemborosan. Subsistem ini menyangkut upaya peningkatan pengetahuan dan kemampuan masyarakat agar mempunyai pemahaman atas pangan, gizi dan kesehatan yang baik sehingga dapat mengatur menu beragam, bergizi, seimbang secara optimal; pemeliharaan sanitasi dan higiene serta pencegahan penyakit infeksi dalam lingkungan rumahtangga (Suryana 2001). Pola Konsumsi Pangan Manusia memerlukan sejumlah zat gizi agar dapat hidup sehat dan dapat mempertahankan kesehatannya. Sejumlah zat gizi yang harus dipenuhi dari konsumsi makanan disebut kebutuhan gizi. Kekurangan atau kelebihan konsumsi gizi dari kebutuhan, terutama dalam jangka waktu yang berkesinambungan dapat membahayakan kesehatan, bahkan pada tahap lanjut dapat mengakibatkan kematian (Hardinsyah & Martianto 1989). Pola konsumsi pangan adalah susunan jenis dan jumlah pangan yang dikonsumsi seseorang atau kelompok orang pada waktu tertentu (Madanijah 2004). Konsumsi pangan berkaitan dengan masalah gizi dan kesehatan, masalah pengupahan, ukuran kemiskinan, serta perencanaan dan produksi daerah. Konsumsi masyarakat terhadap pangan dapat dilihat dari kebiasaan masyarakat dalam mengkonsumsi jenis pangan tertentu. Secara umum di tingkat wilayah faktor-faktor yang mempengaruhi konsumsi pangan adalah faktor ekonomi (pendapatan dan harga), faktor sosio budaya dan religi. Konsumsi pangan dipengaruhi oleh banyak faktor dan pemilihan jenis maupun banyaknya pangan yang dimakan, dapat berlainan dari masyarakat ke masyarakat dan dari negara ke negara. Akan tetapi faktor-faktor yang tampaknya mempengaruhi konsumsi pangan adalah jenis dan banyaknya pangan yang diproduksi dan tersedia, tingkat pendapatan, dan pengetahuan gizi. Konsumsi pangan merupakan jumlah pangan, baik tunggal maupun beragam yang dimakan oleh seseorang atau sekelompok orang dengan tujuan
7
pemenuhan fisiologis, psikologis, dan sosiologis. Konsumsi pangan adalah suatu informasi mengenai jenis dan jumlah pangan yang dikonsumsi seseorang atau sekelompok orang pada waktu tertentu (Hardinsyah et al 2001). Oleh karena itu, penilaian konsumsi pangan dapat berdasarkan jumlah maupun jenis makanan yang dikonsumsi. Penilaian konsumsi pangan dimaksudkan sebagai cara untuk mengukur keadaan konsumsi pangan yang terkadang merupakan salah satu cara untuk mengukur
status
gizi.
Menurut
Hardinsyah
(1988),
faktor-faktor
yang
mempengaruhi konsumsi pangan seseorang di antaranya adalah aksesibilitas, kebiasaan makan, pola makan, pembagian makanan dalam keluarga, dan besarnya keluarga. Kebiasaan mengkonsumsi pangan yang baik akan menyebabkan status gizi yang baik pula dan keadaan ini dapat terlaksana apabila telah tercipta keseimbangan antara banyaknya jenis-jenis zat gizi yang dikonsumsi dengan banyaknya zat gizi yang dibutuhkan oleh tubuh. Kebutuhan gizi adalah sejumlah zat gizi minimum yang harus dipenuhi dari konsumsi pangan. Martianto dan Ariani (2004) juga mengemukakan bahwa konsumsi atau pola konsumsi pangan dipengaruhi oleh banyak faktor tidak hanya ekonomi tetapi juga faktor budaya, ketersediaan, pendidikan, gaya hidup dan sebagainya, namun kadang-kadang unsur prestise menjadi sangat menonjol. Pengembangan Pola Konsumsi Pangan
dalam hal ini ditujukan pada
penganekaragaman pangan yang berasal dari bahan pangan pokok dan semua bahan pangan lain yang dikonsumsi masyarakat, termasuk lauk pauk, sayuran, buah-buahan dan makanan kudapan, berbasis pada kondisi dan potensi daerah/wilayah. Setiap daerah mempunyai pola konsumsi dengan menu yang spesifik dan sudah membudaya serta tercermin didalam tatanan menu seharihari. Akan tetapi menu yang tersedia biasanya kurang memenuhi standar gizi yang dibutuhkan, sehingga perlu ditingkatkan kualitasnya dengan tidak merubah karakteristiknya, agar tetap dapat diterima oleh masyarakat setempat . Penilaian konsumsi pangan dapat dilakukan melalui dua sisi (Bimas Ketahanan Pangan RI 2002). Adapun kedua sisi tersebut adalah: Kuantitas konsumsi pangan Kuantitas konsumsi pangan ditinjau dari volume pangan yang dikonsumsi dan konsumsi zat gizi yang dikandung bahan pangan. Kedua hal tersebut digunakan untuk melihat apakah konsumsi pangan sudah dapat memenuhi kebutuhan yang layak untuk hidup sehat dan dikenal sebagai Angka Kecukupan
8
Gizi/AKG yang direkomendasikan Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi. Dalam menilai kuantitas konsumsi pangan masyarakat digunakan Parameter Tingkat Konsumsi Energi/TKE dan Tingkat Konsumsi Protein/TKP. Kecukupan gizi merupakan suatu taraf asupan (intake) yang dianggap dapat memenuhi kecukupan gizi semua orang yang sehat menurut berbagai kelompoknya sehingga kebutuhan pangan hanya diperlukan secukupnya. Kecukupan pangan dapat diukur secara kualitatif dan kuantatif. Ukuran kualitatif meliputi nilai sosal beragam jenis pangan dan nilai cita rasa sedangkan nilai kuantitatif yang umum digunakan adalah kandungan zat gizi (Khumaidi 1994). Kecukupan gizi dapat diukur secara kuantitatif dan kualitatif. Secara kuantitatif, kecukupan pangan umumnya dilihat dari kandungan energi pangan, sedangkan secara kualitatif dapat diperkirakan dari besarnya sumbangan protein terhadap nilai energi yang disebut sebagai Rasio Protein-Enegi (R-PE). Jadi dengan demikian, jika kecukupan akan energi dan protein terpenuhi, maka kecukupan zat-zat gizi lainnya pada umumnya sudah terpenuhi atau sekurangkurangnya tidak terlalu sukar untuk memenuhinya (Khumaidi 1989). Aspek kecukupan pangan menjadi basis kriteria untuk menentukan status ketahanan pangan. Hal ini karena pangan adalah kebutuhan pokok bagi manusia untuk mempertahankan kelangsungan hidup. Pada mulanya kecukupan pangan hanya dinilai menurut fisik kuantitas sesuai kebutuhan untuk beraktifitas dalam kehidupan
sehari-hari
secara
sehat.
Namun
demikian,
seiring
dengan
perkembangan analisis, kriteria kecukupan kemudian juga mencakup kualitas pangan sesuai kebutuhan tubuh manusia (Saliem et al. 2005). Kuantitas ketersediaan dan konsumsi pangan dapat diketahui dari tingkat ketersediaan/konsumsi energi (TKE) dan tingkat ketersediaan/konsumsi protein (TKP). Nilai TKE adalah proporsi ketersediaan/konsumsi energi aktual terhadap Angka Kecukupan Energi (AKE) yang dianjurkan. Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi (WNPG) VIII tahun 2004 menganjurkan ketersediaan energi penduduk Indonesia adalah 2200 kkal/kap/hari sedangkan konsumsi energi adalah 2000 kkal/kap/hari. Nilai TKP adalah proporsi ketersediaan/ konsumsi protein aktual terhadap Angka Kecukupan Protein (AKP) yang dianjurkan. Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi (WNPG) VIII tahun 2004 menganjurkan ketersediaan protein penduduk Indonesia adalah 57 gram/kap/hari sedangkan konsumsi protein adalah 52 gram/kap/hari. Jumlah ketersediaan maupun konsumsi tersebut harus dipenuhi agar setiap orang dapat untuk hidup sehat, aktif dan produktif.
9
Energi Energi merupakan salah satu hasil metabolisme karbohidrat, protein dan lemak. Energi berfungsi sebagai zat tenaga untuk metabolisme, pertumbuhan, pengaturan suhu dan kegiatan fisik. Kelebihan energi di simpan sebagai cadangan energi dalam bentuk glikogen sebagai cadangan energi jangka pendek dan dalam bentuk lemak sebagai cadangan jangka panjang (Hardinsyah dan Tambunan 2004). Pangan sumber energi adalah pangan sumber lemak, karbohidrat dan protein. Pangan sumber energi yang kaya lemak antara lain gajih/lemak dan minyak, buah berlemak (alpukat), biji berminyak (biji wijen, bunga matahari dan kemiri), santan, coklat, kacang-kacangan dengan kadar air rendah (kacang tanah dan kacang kedelai) dan serelia lainnya, umbi-umbian, tepung, gula, madu, buah dengan kadar ai rendah (pisang, kurma dan lain-lain) dan aneka produk turunannya. Pangan sumber energi yang kaya proein antara lain daging, ikan, telur, susu dan aneka produk turunannya. Protein Menurut Almatsier (2002) protein berfungsi mengatur keseimbangan air didalam tubuh, memelihara netralitas tubuh, membantu antibodi dan mengangkut zat-zat gizi. Protein memegang peranan esensial dalam mengangkut zat-zat gizi dari saluran cerna ke dalam darah, dari darah ke jaringan, dan melalui membran sel ke dalam sel-sel. Protein yang berperan sebagai pengangkut zat besi di dalam tubuh adalah transferin. Kekurangan protein dapat menyebabkan gangguan pada absorpsi transportasi zat-zat gizi termasuk zat besi (Fe). Sumber protein berasal dari pangan hewani seperti susu, telur, daging unggas, ikan, dan kerang, serta pangan nabati seperti kedelai dan produk olahannya seperti tempe, tahu, kacang-kacangan lainnya. Pangan hewani mempunyai faktor yang membantu penyerapan besi (Almatsier 2002). Kualitas konsumsi pangan Kualitas konsumsi pangan ditujukan pada keanekaragaman pangan, semakin beragam dan seimbang komposisi pangan yang dikonsumsi akan semakin baik kualitas gizinya. Untuk menilai keanekaragaman pangan digunakan pendekatan Pola Pangan Harapan (PPH) (Bimas Ketahanan Pangan RI 2002). Semakin beragam pangan yang dikonsumsi maka akan semakin beragam pula zat gizi yang diperoleh dan semakin meningkat mutu gizinya (Suhardjo 1989).
10
Menurut Khumaidi (1994) dengan mengkonsumsi makanan sehari-hari yang beraneka ragam, kekurangan zat gizi dari jenis makanan lain dapat diperoleh sehingga masukan zat-zat gizi menjadi seimbang. Jadi, untuk mencapai masukan zat-zat gizi yang seimbang tidak mungkin dipenuhi hanya satu jenis bahan makanan, melainkan harus terdiri dari aneka ragam bahan makanan. Kurang beragamnya pangan yang dipilih dan tidak cukupnya jumlah yang dikonsumsi merupakan masalah konsumsi pangan dan gizi yang sering terjadi. Masalah konsumsi pangan dan gizi ini bukanlah masalah yang berdiri sendiri, tetapi merupakan bagian dari suatu sistem yang ditentukan oleh berbagai faktor yang saling terkait. Masalah yang berkaitan dengan konsumsi pangan dan gizi yaitu seperti tingkat pendapatan, ketersediaan pangan setempat, teknologi, tingkat pengetahuan, kesadaran masyarakat mengenai gizi, kesehatan, dan faktor-faktor sosio budaya seperti kebiasaan makan, sikap, dan pandangan masyarakat terhadap bahan makanan tertentu dan adat istiadat (Sanjur 1982). Ukuran keseimbangan dan keragaman pangan dapat dilakukan dengan pendekatan Pola Pangan Harapan (PPH). Pola Pangan Harapan merupakan jenis dan jumlah kelompok pangan utama yang dianjurkan untuk memenuhi kebutuhan energi dan zat gizi. Kebutuhan energi dari berbagai kelompok pangan dikatakan terpenuhi apabila sesuai PPH. Secara implisit kebutuhan zat gizi akan terpenuhi kecuali untuk zat gizi yang sangat defisit dalam suatu kelompok pangan. Semakin tinggi skor PPH, ketersediaan dan konsumsi pangan semakin beragam dan seimbang. Jika skor PPH mencapai 100, maka wilayah tersebut dikatakan tahan pangan. Selain itu, acuan yang digunakan adalah standar pelayanan minimum (SPM) dengan skor PPH 90 pada tahun 2015. Pola Pangan Harapan (PPH) atau Desirable Dietary Pattern adalah susunan beragam pangan yang didasarkan pada sumbangan energi dari kelompok pangan utama (baik secara absolut maupun relatif) dari suatu pola ketersediaan dan atau konsumsi pangan. FAO-RAPA (1989) mendefinisikan PPH sebagai berikut: “Pola pangan harapan adalah komposisi kelompok pangan utama yang bila dikonsumsi dapat memenuhi kebutuhan energi dan zat gizi lainnya. Dengan pendekatan PPH dapat dinilai mutu pangan penduduk berdasarkan skor pangan (dietary score). Semakin tinggi skor mutu pangan, menunjukkan situasi pangan yang semakin beragam dan semakin baik komposisi dan mutu gizinya.
11
Tim FAO-RAPA (1990) menyadari bahwa proporsi kalori dalam PPH perlu diadaptasi sesuai kondisi/ pola pangan masing-masing Negara dan sstem skor yang dikembangkan oleh tim FAO-RAPA belum divaliditasi. Kritik terhadap PPH juga muncul sehubungan dengan adanya perbedaan rekomendasi pola energi (terutama dari pangan hewani, dan lemak) antara PPH dan Pedoman Umum Gizi Seimbang (PUGS). Hardinsyah (1996) dengan menggunakan data Susenas 1990 telah melakukan validasi dan adaptasi PPH dan scoring system PPH bagi Indonesia yang sejalan dengan konsep Pedoman Umum Gizi Seimbang. Tahun 2000 Badan Urusan Ketahanan Pangan-Deptan telah melakukan diskusi pakar, lintas subsektor, dan sektor terkait pangan dan gizi tentang harmonisasi
PPH
dan
PUGS.
Pertemuan
ini
menjadi
dasar
untuk
penyempurnaan PPH yang disebut menjadi PPH 2020. Penyempurnaan PPH dan skor PPH terdapat pada Tabel 1 dengan mempertibangkan 1) AKG energi berdasarkan Widya Karya Nasional Pangan dan Gizi (1998) sebesar 2200 kkal/kap/hari; 2) Persentase energi (pola konsumsi energi) untuk PPH dihitung terhadap
AKG
energi
(2200
kkal
sebagai penyebut);
3)
Rating/bobot
disempurnakan sesuai teori rating; 4) Skor maksimum PPH adalah 100 bukan 93; 5) Peran pangan hewani, gula serta sayur dan buah disesuaikan dengan PUGS; 6) Peran umbi-umbian ditingkatkan sejalan dengan kebijakan diversifikasi pangan pokok dan pengembangan pangan lokal; 7) Peran makanan lainnya terutama bumbu dan minuman lainnya. Tabel 1 Perbandingan PPH FAO-RAPA, Meneg Pangan 1994, dan DEPTAN 2001 No 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Kelompok Pangan
Padi-padian Umbi-umbian Pangan hewani Minyak/lemak Buah/biji berminyak Kacang-kacangan Gula Sayur dan buah Lain-lain Total Sumber : DKP, 2006
FAO-RAPA (1989) % Min-Max 40.0 40.0- 60.0 5.0 0.0 – 8.0 20.0 5.0 – 20.0 10.0 5.0 – 15.0 3.0 0.0 – 3.0 6.0 2.0 – 10.0 8.0 2.0 – 15.0 5.0 3.0 – 8.0 3.0 0.0 – 5.0 100
Meneg Pangan (1994) % 50.0 5.0 15.3 10.0 3.0 5.0 6.7 5.0 0.0 100
Bobot 0.5 0.5 2.0 1.0 0.5 2.0 0.5 2.0 0.0
Skor 25.0 2.5 30.6 10.0 1.5 10.0 3.4 10.0 0.0 93.0
Deptan (2001) % 50.0 6.0 12.0 10.0 3.0 5.0 5.0 6.0 3.0 100
Bobot 0.5 0.5 2.0 0.5 0.5 2.0 0.5 5.0 0.0
Skor 25.0 2.5 24.0 5.0 1.0 10.0 2.5 30.0 0.0 100
Perencanaan Kebutuhan Konsumsi Pangan Wilayah Kebutuhan konsumsi pangan suatu wilayah selain dipengaruhi oleh pertumbuhan ekonomi dan pertumbuhan penduduk. Pertumbuhan penduduk yang cepat merupakan isu sentral yang dihadapi dunia, terlebih di negara
12
berkembang termasuk Indonesia. Konsekuensi dari hal tersebut adalah peningkatan ketersediaan pangan untuk mengimbangi pertambahan penduduk. Perencanaan pembangunan suatu wilayah seharusnya dilakukan untuk memenuhi kebutuhan dasar bagi penduduknya. Kebutuhan dasar tersebut meliputi pangan, sandang, dan tempat tinggal. Tingkat kebutuhan gizi bagi konsumsi penduduk dapat digunak sebagai salah satu standar untuk mengukur kebutuhan dasar penduduk, khususnya dalam hal pangan. Segala sumber daya yang berhubungan dengan produksi dan penyediaan pangan harus dialokasikan sesuai kebutuhan untuk memenuhi kebutuhan minimal tersebut (Absari 2007). Perencanaan kebutuhan pangan dengan PPH, selain untuk menyediakan pangan yang beranekaragam sesuai dengan kecukupan gizi setempat, juga member keleluasaan menentukan pilihan jenis pangan yang diinginkan karena PPH disajikan dalam kelompok pangan. Pemilihan jenis pangan yang diinginkan diantara kelompoknya disesuaikan dengan kondisi sosial budaya (aspek pola konsumsi atau preferensi jenis pangan penduduk) dan potensi wilayah setempat (Hardinsyah et al 2001). Pola pikir perencanaan dengan pendekatan PPH merupakan konsep pangan untuk memenuhi kebutuhan pangan jangka panjang dan jangka pendek, dengan tujuan utama pendekatan PPH yakni untuk membuat rasionalisasi pola konsumsi yang dianjurkan yang terdiri dari kombinasi aneka pangan untuk memenuhi kebutuhan gizi sekaligus juga mempertimbangkan keseimbangan gizi (nutrional balance) yang didukung oleh cita rasa (palatability), daya cerna (digestibility) serta dikembangkan sesuai dengan potensi sumber daya local (Hardinsyah et al 2002). Kebijakan Ketahanan Pangan Kebijakan pangan merupakan penegasan dari kebijakan yang telah dikeluarkan sebelumnya, yaitu UU No. 7 Tahun 1996 tentang pangan (Kantor Meneg
Pangan
1997).
Dalam
undang-undang
ini
dinyatakan
bahwa
pembangunan pangan diselenggarakan untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia yang memberikan manfaat secara adil dan merata berdasarkan kemandirian dan tidak bertentangan dengan kenyakinan masyarakat. Kebijakan pangan adalah suatu pernyataan tentang kerangka pikir dan arahan yang digunakan untuk menyusun program pangan guna mencapai situasi pangan dan gizi yang lebih baik (Hardinsyah dan Ariani 2000).
13
Berdasarkan Kebijakan Umum Ketahanan Pangan (KUKP) tahun 20102014, tujuan pembangunan ketahanan pangan adalah untuk membangun ketahanan dan kemandirian pangan baik di tingkat makro (nasional) maupun di tingkat mikro (rumah tangga/ individu). Arah kebijakan umum ketahanan pangan nasional 2010-2014 adalah untuk meningkatkan ketersediaan dan penanganan kerawanan pangan, meningkatkan sistem distribusi dan stabilisasi harga pangan dan meningkatkan pemenuhan kebutuhan konsumsi dan keamanan pangan. KUKP diharapkan menjadi panduan bagi pemerintah, swasta dan masyarakat untuk bersama-sama mewujudkan ketahanan pangan tingkat rumah tangga, wilayah dan nasional. Oleh karena itu, idealnya KUKP dirumuskan dalam bentuk Peraturan Presiden. Di tingkat provinsi/kabupaten/kota dirumuskan Program Aksi Operasional KUKP dalam bentuk Peraturan Gubenur/Bupati/Walikota. KUKP Tahun 2010-2014 menyebutkan 15 elemen penting pembangunan ketahanan pangan. Elemen tersebut adalah menjamin ketersediaan pangan, Menata pertanahan dan tata ruang dan wilayah, melakukan antisipasi, aadaptasi dan mitigasi perubahan iklim, menjamin cadangan pangan pemerintah dan masyarakat, mengembangkan sitem distribusi pangan yang adil dan efisien, meningkatkan aksesibilitas rumah tangga terhadap pangan, menjaga stabilitas harga pangan, mencegah dan menangani keadaan rawan pangan dan gizi, melakukan diversifikasi pangan, meningkatan mutu dan keamanan pangan, memfasilitasi
penelitian
dan
pengembangan,
melaksanakan
kerjasama
internasional, mengembangkan peran serta masyarakat, mengembangkan sumberdaya manusia pangan-pertanian, dan melaksanakan kebijakan makro dan pedagangan yang kondusif. Pasal 11 ayat (3) UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, menyebutkan bahwa ketahanan pangan merupakan salah satu urusan wajib pemerintahan daerah provinsi dan pemerintahan daerah kabupaten/kota, karena ketahanan pangan berkaitan dengan pelayanan dasar. Pelayanan Dasar adalah jenis pelayanan publik yang mendasar dan mutlak untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dalam kehidupan sosial, ekonomi dan pemerintahan. Dengan demikian, upaya mewujudkan ketahanan pangan penduduk melibatkan banyak pelaku pembangunan, bersifat bidang/sektor pembangunan. Bentuk kebijakan pembangunan ketahanan pangan sangat penting sebagai acuan untuk merumuskan perencanaan pembangunan provinsi atau kabupaten atau kota dalam kerangka sistem perencanaan nasional. Standar
14
Pelayanan Minimum (SPM) adalah sebuah kebijakan publik yang mengatur mengenai jenis dan mutu pelayanan dasar yang merupakan urusan wajib daerah yang berhak diperoleh setiap warga secara minimum. Provinsi Papua memiliki keragaman yang tinggi dalam kondisi biofisik seperti iklim, topografi, dan vegetasi (Kepas 1990). Keragaman ini juga dijumpai dalam kondisi budaya, adat, kepercayaan, dan bahasa. Mengingat adanya keragaman
biofisik
dan
sosial
budaya,
sehingga
menimbulkan
variasi
agroekosistem, maka hal ini akan mempengaruhi penyebaran jenis dan produktifitas tanaman pangan di berbagai daerah yang pada akhirnya menimbulkan keragaman pola konsumsi pangan antara daerah yang satu dengan daerah yang lainnya di Provinsi Papua (Kepas 1990). Pangan masyarakat Papua pada umumnya berpola pangan pokok sagu. Hal ini karena jenis tanaman pangan sagu banyak berkembang di wilayah tersebut. Jenis tanaman pangan yang diusahakan adalah ubi jalar, ubi kayu, dan keladi. Menurut Apomfires (2002) yang dilakukan di salah satu kabupaten di Provinsi Papua yaitu Kabupaten Merauke, sagu (bie) merupakan makanan pokok yang dikonsumsi masyarakat, biasanya diselingi dengan makanan lain seperti pisang, talas, dan nasi yang merupakan makanan yang telah dikenal dan biasa dikonsumsi. Walaupun ada makanan selingan, tetapi sagu tetap diutamakan, karena beberapa orang menyatakan bahwa mengkonsumsi sagu membuat kenyang lebih lama dibandingkan mengonsumsi pisang, nasi, dan talas.
KERANGKA PEMIKIRAN Pangan merupakan kebutuhan pokok bagi setiap manusia yang berperan penting dalam meningkatkan kualitas manusia dan masyarakat. Memperoleh pangan yang cukup merupakan hak asasi setiap manusia karena pangan merupakan sumber energi yang diperlukan manusia untuk mempertahankan hidup. Salah satu upaya yang harus dilakukan adalah melalui program peningkatan ketahanan pangan wilayah berbasis pola pangan harapan (PPH). Pengembangan pola konsumsi pangan dalam hal ini ditujukan pada penganekaragaman pangan yang berasal dari bahan pangan pokok dan semua bahan pangan lain yang dikonsumsi masyarakat, termasuk lauk pauk, sayuran, buah-buahan dan makanan kudapan, berbasis pada kondisi dan potensi daerah/wilayah. Setiap daerah mempunyai pola konsumsi dengan menu yang spesifik dan sudah membudaya serta tercermin di dalam tatanan menu seharihari. Akan tetapi menu yang tersedia biasanya kurang memenuhi standar gizi yang dibutuhkan, sehingga perlu ditingkatkan kualitasnya dengan tidak merubah karakteristiknya, agar tetap dapat diterima oleh masyarakat setempat. Analisis situasi konsumsi pangan wilayah dapat dilihat dari aspek kuantitatif maupun kualitatif. Analisis konsumsi pangan secara kuantitatif dapat diketahui dari tingkat konsumsi energi (TKE) dan tingkat konsumsi protein (TKP). Nilai TKE adalah proporsi konsumsi energi aktual terhadap Angka Kecukupan Energi (AKE) yang dianjurkan. Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi (WNPG) VIII tahun 2004 menganjurkan konsumsi energi penduduk Indonesia adalah 2000 kkal/kap/hari. Nilai TKP adalah proporsi konsumsi protein aktual terhadap Angka Kecukupan Protein (AKP) yang dianjurkan. Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi (WNPG) VIII tahun 2004 menganjurkan konsumsi protein penduduk Indonesia adalah 52 gram/kap/hari. Analisis konsumsi pangan secara kualitatif dapat diketahui dari pendekatan Pola Pangan Harapan (PPH). Pola Pangan Harapan merupakan jenis dan jumlah kelompok pangan utama yang dianjurkan untuk memenuhi kebutuhan energi dan zat gizi. Kebutuhan energi dari berbagai kelompok pangan dikatakan terpenuhi apabila sesuai PPH. Secara implisit kebutuhan zat gizi akan terpenuhi kecuali untuk zat gizi yang sangat defisit dalam suatu kelompok pangan. Semakin tinggi skor PPH, konsumsi pangan semakin beragam dan seimbang. Jika skor PPH mencapai 100, maka wilayah tersebut dikatakan tahan pangan.
16
Kualitas konsumsi pangan ditujukan pada keanekaragaman pangan. Untuk menilai keanekaragaman pangan digunakan pendekatan Pola Pangan Harapan (PPH). Setelah evaluasi terhadap skor PPH konsumsi pangan di wilayah, selanjutnya dilakukan penyusunan proyeksi (target) skor PPH yang akan dicapai. Penyusunan proyeksi skor PPH wilayah dapat dilakukan dengan menggunakan interpolasi linier dan acuan skor PPH 90 pada tahun 2015 sesuai dengan standar pelayanan minimum (SPM). Secara skematis kerangka pemikiran dapat digambarkan sebagai berikut: Analisis Situasi Konsumsi Aspek Kuantitatif 1. Angka kecukupan energi (AKE) 2. Angka kecukupan Protein (AKP)
Aspek Kualitatif Skor PPH (Pola Pangan Harapan)
Proyeksi Konsumsi Pangan
Kebutuhan Konsumsi Pangan Wilayah
Jumlah penduduk
Rumusan Rekomendasi Teknis
Keterangan gambar : Diteliti : Tidak diteliti
Gambar 1 Kerangka pemikiran analisis situasi dan kebutuhan konsumsi pangan di Provinsi Papua.
METODE Desain, Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan dengan pendekatan prospective study dengan menggunakan data hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) Provinsi Papua tahun 2008 sampai tahun 2010 yang dikumpulkan dengan desain cross sectional. Pemilihan lokasi penelitian dilakukan secara purposive yang didasarkan pada konsumsi pangan penduduk masih kurang dari anjuran WNPG 2004 yaitu 2000 kkal/kap/hr . Hal ini ditunjukkan dengan konsumsi pangan di Provinsi Papua pada tahun 2007 adalah 1984 kkal/kapita/hari dengan skor PPH yaitu 80.9 (BPS 2008). Kegiatan penelitian ini mencakup interpretasi data, rekapitulasi data, pengolahan dan analisis data di lakukan di Bogor, Jawa Barat mulai dari bulan Mei- Juli 2012. Jenis dan Sumber Data Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini seluruhnya merupakan data sekunder yang meliputi data karakteristik wilayah, konsumsi pangan menurut kelompok dan jenis pangan, dan jumlah penduduk diperoleh dari Badan Pusat Statistik (BPS). Data karakteristik wilayah adalah keadaan umum wilayah Provinsi Papua tahun 2010. Data konsumsi pangan hasil survey sosial ekonomi nasional (SUSENAS) yang digunakan adalah rata-rata kuantitas konsumsi pangan per kapita/ minggu menurut jenis dan kelompok makanan serta golongan pengeluaran penduduk di Provinsi Papua tahun 2008-2010 dan data jumlah penduduk diperoleh dari jumlah penduduk tengah tahun Provinsi Papua (20082010) diperoleh dari jenis, tahun, sumber data, dan instansi dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2 Jenis data yang digunakan, tahun dan sumber data penelitian No. 1 2
3
Jenis data Karakteristik wilayah Konsumsi pangan menurut kelompok dan jenis pangan Jumlah Penduduk dan proyeksi penduduk
Tahun 2010
Sumber data Keadaan umum wilayah
Instansi BPS, Jakarta
2008-2010
Data Susenas
BPS, Jakarta
2008-2010
Papua Dalam Angka
BPS, Jakarta
Pengolahan dan Analisis Data Pengolahan analisis data dilakukan dengan metode statistik deskriptif menggunakan program Microsoft Excell 2007 dan software program simulasi
18
analisis situasi dan kebutuhan konsumsi pangan wilayah (Heryatno, Baliwati, Martianto, & Herawati 2005). Berikut ini uraian secara rinci pengolahan dan analisis data pada setiap bagian. Analisis Situasi Konsumsi Pangan Analisis situasi konsumsi pangan ada dua analisis yaitu analisis kuantitatif dan analisis kualitataif. Aspek kuantitas yaitu mengamati tingkat kecukupan energi sedangkan aspek kualitas yaitu mengamati skor pola pangan harapan (PPH). Analisis konsumsi secara kuantitatif Analisis kuantitatif dilakukan terhadap Konsumsi Pangan. Kuantitas konsumsi pangan dapat diketahui dari tingkat konsumsi energi (TKE) dan tingkat konsumsi protein (TKP). Nilai TKE adalah proporsi konsumsi energi aktual terhadap Angka Kecukupan Energi (AKE) yang dianjurkan. Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi (WNPG) VIII tahun 2004 menganjurkan konsumsi energi penduduk Indonesia adalah 2000 kkal/kap/hari. Nilai TKP adalah proporsi konsumsi protein aktual terhadap Angka Kecukupan Protein (AKP) yang dianjurkan Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi (WNPG) VIII tahun 2004 menganjurkan konsumsi protein penduduk Indonesia adalah 52 gram/kap/hari. Jumlah konsumsi tersebut harus dipenuhi agar setiap orang dapat untuk hidup sehat, aktif dan produktif. Perhitungan tingkat kecukupan gizi dirumuskan sebagai berikut : TKE = [(Konsumsi energi aktual)/(Angka kecukupan energi)] x 100% TKP = [(Konsumsi protein aktual)/(Angka kecukupan protein)] x 100% Analisis konsumsi secara kualitatif Kualitas konsumsi pangan dicerminkan oleh keanekaragaman secara seimbang. Ukuran keseimbangan dan keragaman pangan dapat dilakukan dengan pendekatan Pola Pangan Harapan (PPH). Pola Pangan Harapan merupakan jenis dan jumlah kelompok pangan utama yang dianjurkan untuk memenuhi kebutuhan energi dan zat gizi. Kebutuhan energi dari berbagai kelompok pangan dikatakan terpenuhi apabila sesuai PPH. Secara implisit kebutuhan zat gizi akan terpenuhi kecuali untuk zat gizi yang sangat defisit dalam suatu kelompok pangan. Semakin tinggi skor PPH, konsumsi pangan semakin beragam dan seimbang. Jika skor PPH mencapai 100, maka wilayah tersebut dikatakan tahan pangan. Selain itu, acuan yang digunakan standar pelayanan minimum (SPM) dengan skor PPH 90 pada tahun 2015 (Tabel 3).
19
Tabel 3 Standar ideal dan target SPM tahun 2015 No
Kelompok Pangan
1 2 3 4 5 6 7 8 9
Padi-padian Umbi-umbian Pangan hewani Minyak/lemak Buah/biji berminyak Kacang-kacangan Gula Sayur dan buah Lain-lain Total Sumber: DKP, 2006
% AKE 50.0 6.0 12.0 10.0 3.0 5.0 5.0 6.0 3.0 100.0
Ideal Skor PPH 25.0 2.5 24.0 5.0 1.0 10.0 2.5 30.0 0.0 100.0
SPM Skor PPH 45 22.5 5.4 2.25 10.8 21.6 9 4.5 2.7 0.9 4.5 9.0 4.5 2.25 5.4 27.0 2.7 0.0 90.0 90.0
% AKE
Langkah-langkah pengolahan dan analisis data konsumsi dengan menggunakan software “Program Analisis Situasi dan Kebutuhan Konsumsi Pangan Wilayah” meliputi: 1. Pengelompokan Pangan Data pangan yang dikonsumsi rumah tangga dikonversikan dalam satuan dan jenis komoditas yang disepakati dan dikelompokkan menjadi 9 kelompok meliputi: a. Padi-padian (beras, jagung, terigu, dan hasil olahannya). b. Umbi-umbian (ubi kayu, ubi jalar, kentang, talas, sagu dan hasil olahannya). c. Pangan hewani (daging ruminansia, daging unggas, telur, susu, ikan dan hasil olahannya). d. Minyak dan lemak (minyak kacang tanah, minyak kelapa, minyak kelapa sawit dan lemak). e. Buah/biji berlemak (kelapa, kemiri, kenari, mete, coklat). f.
Kacang-kacangan (kacang tanah, kacang kedelai, kacang hijau, kacang merah, kacang lain serta olahannya).
g. Gula (gula pasir, gula merah, sirup). h. Sayur dan buah (semua sayur dan buah serta hasil olahannya). i.
Lain-lain (bumbu dan minuman).
2. Menghitung konsumsi energi menurut kelompok pangan dan total konsumsi Perhitungan kandungan energi setiap jenis pangan yang dikonsumsi dilakukan dengan bantuan daftar komposisi bahan makanan (DKBM). Selanjutnya dijumlahkan berdasarkan kelompok pangannya. Total energi dari seluruh konsumsi pangan merupakan angka komposisi energi wilayah Papua.
20
3. Menghitung kontribusi energi tiap kelompok pangan terhadap total konsumsi energi. Kontribusi energi tiap kelompok pangan terhadap total konsumsi energi dilakukan dengan membagi energi masing-masing kelompok pangan dengan jumlah total energi dikalikan dengan 100%. 4. Menghitung tingkat kecukupan energi (%AKE) Tingkat kecukupan energi wilayah diperoleh dari perbandingan jumlah total
konsumsi
energi
terhadap
AKE
dikalikan
100%.
Nilai
ini
menggambarkan keadaan wilayah. Kontribusi konsumsi energi aktual dari tiap kelompok pangan terhadap AKE juga dihitung dan akan digunakan untuk mengitung skor PPH. 5. Menghitung skor PPH Langkah-langkah menghitung PPH adalah : 1. Dari kesembilan kelompok pangan tersebut dihitung nilai total konsumsi energinya. 2. Menghitung kontribusi energi dari setiap kelompok pangan, dengan berdasarkan Angka Kecukupan Energi (AKE) WNPG 2004, yaitu : % AKE = [(Energi kelompok pangan)/2000] x 100% 3. Selanjutnya dengan mengalikan hasil persentase langkah kedua dengan rating/bobot akan diperoleh skor dari masing-masing kelompok pangan. Setiap kelompok pangan memeliki skor maksimum. Apabila skor melebihi range optimal, akan digunakan skor maksimal dalam range tersebut. 4. Menjumlahkan semua skor dari kelompok pangan sehingga akan diketahui skor PPH mutu pola konsumsi pangan. Pengelompokan pangan, skor, dan bobot yang digunakan sebagai standar PPH nasional diuraikan pada Tabel 4 berikut: Tabel 4 Pola pangan harapan Nasional No 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Kelompok Pangan
Padi-padian Umbi-umbian Pangan hewani Minyak/lemak Buah/biji berminyak Kacang-kacangan Gula Sayur dan Buah Lain-lain Total Sumber: DKP 2012
Pola Pangan Harapan Nasional Gram/hari
Energi (kkal)
275 90 140 25 10 35 30 230 15
1000 120 240 200 60 100 100 120 60 2000
% AKG 50.0 6.0 12.0 10.0 3.0 5.0 5.0 6.0 3.0 100
Bobot 0.5 0.5 2.0 0.5 0.5 2.0 0.5 5.0 0.0
Skor PPH 25.0 2.5 24.0 5.0 1.0 10.0 2.5 30.0 0.0 100
21
Analisis Proyeksi Konsumsi Berdasarkan Pendekatan PPH Setelah evaluasi terhadap skor PPH konsumsi pangan di wilayah, selanjutnya dilakukan penyusunan proyeksi (target) skor PPH yang akan dicapai. Provinsi Papua diharapkan mampu mencapai skor PPH 100 pada tahun 2020 dan tahun 2015 sudah mencapai skor PPH 90. Sasaran acuan skor PPH 90 pada tahun 2015 sesuai dengan standar pelayanan minimum (SPM). Penyusunan proyeksi skor PPH wilayah sebelum tahun 2015 dapat dilakukan dengan menggunakan interpolasi linier. Titik (tahun) awal skor PPH adalah hasil perhitungan PPH aktual (2010), sedangkan proyeksi akhir skor PPH adalah skor PPH 2015. Skor PPH pangan tahun proyeksi sampai dengan 2015 dihitung dengan menggunakan interpolasi linier dengan rumus berikut: Sp=S0 + dt((St-S0)/n Dimana :
Sp= skor proyeksi PPH tahun p S0= skor PPH tahun awal tahun 2010 St = skor target PPH tahun 2015 n= selisih tahun antara tahun 2015 dengan tahun awal dt= selisih waktu antara tahun yang dicari dengan tahun awal
Analisis Kebutuhan Pangan Wilayah Berdasarkan Pendekatan PPH Analisis proyeksi kebutuhan konsumsi pangan berdasarkan pendekatan PPH dihitung dengan menggunakan rumus: Proyeksi kebutuhan penduduk (Kg/Kap/Hari) Kebutuhan pangan penduduk (Kg/Kap/th)
= konsumsi (gr/kap/hari) 1000
x 365 hari x 110%
Proyeksi kebutuhan wilayah (Ton/Tahun) Kebutuhan pangan = kebutuhan pangan pddk (kg/kap/th) x Jumlah penduduk wilayah (ton/tahun)
1000
1000 dengan pendekatan ekstrapolasi atau trend Proyeksi jumlah penduduk berdasarkan perkembangan pertumbuhan untuk meramalkan pada tahun t adalah:
Pt = P0 x (1 + L) (t – 0)
Keterangan : P0 = jumlah penduduk tahun dasar
22
0 = tahun dasar L = laju pertumbuhan penduduk T = tahun yang dicari Definisi Operasional Situasi Konsumsi Pangan adalah keadaan atau kondisi pangan disuatu wilayah berdasarkan aspek kuantitas (tingkat kecukupan energi dan protein) dan aspek kualitas (skor PPH). Tingkat kecukupan Energi adalah rasio yang dinyatakan dalam persen antara rasio asupan energi aktual dengan angka kecukupan energi yang dianjurkan untuk penduduk Indonesia mengacu pada AKG berdasarkan WNPG 2004. Pola Pangan Harapan (PPH) adalah susunan beragam pangan yang didasarkan pada sumbangan energi setiap kelompok pangan utama dari konsumsi pangan untuk memenuhi kebutuhan energi dan zat gizi lainnya.. Proyeksi Konsumsi Pangan adalah jenis dan jumlah pangan yang diduga di konsumsi penduduk di suatu wilayah agar tercapai pola pangan ideal pada tahun tertentu. Proyeksi Kebutuhan Pangan adalah jenis dan jumlah pangan yang disediakan agar sesuai dengan kebutuhan pangan penduduk di suatu wilayah.
HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran Umum Wilayah Keadaan geografis Keadaan geografis Provinsi Papua terletak antara 2025’- 90 Lintang Selatan dan 1300- 1410 Bujur Timur. Di sebelah utara Provinsi Papua dibatasi Samudera Pasifik, sedangkan sebelah selatan berbatasan dengan Laut Arafuru. Sebelah barat berbatasan dengan Laut Seram, Laut Banda, Provinsi Maluku, dan sebelah timur berbatasan dengan Papua New Guinea (BPS 2011). Ketinggian wilayah di Papua sangat bervariasi. Diukur dari permukaan laut ketinggian wilayah Papua berkisar antara 0-3000 meter di atas permukaan laut (mdpl). Kabupaten Puncak Jaya dengan ibukota Mulia merupakan daerah tertinggi dengan ketinggian 2.980 mdpl, sedangkan Kota Jayapura merupakan daerah dengan ketinggian terendah yaitu 4 mdpl. Berdasarkan keadaan topografi, wilayah pesisir Papua umumnya merupakan daerah pegunungan dengan ketinggian antara 10-2.980 mdpl (BPS 2011). Seperti provinsi lainnya di Indonesia, Provinsi Papua memiliki iklim tropis yang di pengaruhi oleh musim hujan dan musim kemarau. Selama tahun 2010, hujan turun setiap bulannya dengan jumlah hari dan curah hujan masing-masing 202 hari dan 2.792 mm. suhu udara di Papua berkisar antara 14,80C-32,10C dan tekanan udara 834,9-1.009,3 mb. Sedangkan kelembaban udara rata-rata 77-86 persen dengan rata-rata penyinaran matahari 31,5-46,9 persen. Curah hujan yang relatif tinggi dan wilayah yang dimiliki sebenarnya sangat potensial untuk dikembangkannya sektor pertanian di Papua mengingat hampir 30 persen perekonomian tanpa tambang berasal dari sektor tersebut (BPS 2011). Provinsi Papua mempunyai kelembaban relatif tinggi dimana pada tahun 2010 rata-rata kelembaban udara berkisar antara 77 persen (Kabupaten Jayawijaya- stasiun Wamena) dan 86 persen (Nabire) sedangkan tekanan udara antara 834,9-1.009,3 mb dan rata-rata penyinaran matahari 31,5-46,9 persen. Jumlah gempa bumi yang dirasakan di Papua selama tahun 2010 sebanyak 82 kali, lebih banyak dibandingkan dengan tahun sebelumnya yaitu 60 kali (BPS 2011). Peta papua dapat dilihat pada Lampiran 1. Demografi dan Sosial Ekonomi Provinsi Papua merupakan provinsi dengan wilayah terluas di Indonesia, yaitu 319.036,05 km2 atau 16,70 persen dari luas Indonesia. Pada tahun 2010, Papua dibagi menjadi 28 kabupaten dan 1 kota dimana Marauke merupakan
24
kabupaten/kota
terluas
(56,84
persen)
dan
kota
Jayapura
merupakan
kabupaten/kota terkecil di Provinsi Papua (0,10 persen dari luas Papua. Berdasarkan hasil sensus penduduk tahun 2010 jumlah penduduk Provinsi Papua sebanyak 2.833.381 jiwa. Penduduk laki-laki Provinsi Papua sebanyak 1.505.883 jiwa (53,15 persen) dan perempuan sebanyak 1.327.498 jiwa (46,85 persen). Dengan demikian, rasio jenis kelamin di Provinsi Papua diatas 100, yaitu 113,4. Rasio jenis kelamin (sex ratio) terdapat di Kabupaten Mimika sebesar 130 dan terendah di Kabupaten Dogiyai sebesar 102 (BPS 2011). Laju pertumbuhan penduduk Provinsi Papua per tahun selama sepuluh tahun terakhir yakni dari tahun 2000-2010 adalah 5,39 persen. Laju pertumbuhan penduduk Kabupaten Tolikara adalah tertinggi dibanding kabupaten/kota lainnya di Provinsi Papua yakni mencapai 12,59 persen, sedangkan laju pertumbuhan penduduk terendah di Kabupaten Pegunungan Bintang (2,48 persen). Jumlah penduduk yang begitu besar dan terus bertambah setiap tahun tidak diimbangi dengan pemerataan penyebaran penduduk. Pada tahun 2010, sebagian besar penduduk Papua massih berpusat di Kota Jayapura (BPS 2011). Kepadatan penduduk di Provinsi Papua merupakan yang terendah di Indonesia. Dengan luas wilayah 756.881,89 km2, kepadatan penduduk di Papua hanya 4 jiwa per km2. Kepadatan tertinggi terjadi di Kota Jayapura, yakni 327 jiwa per km2, sedangkan kepadatan terendah terjadi di Kabupaten Marauke yakni kurang dari 1 jiwa per km2. Penduduk Papua berdasarkan kelompok umur ternyata didominasi oleh kelompok usia muda (0-14 tahun). Kecilnya proporsi penduduk usia tua (kelompok usia 55 tahun ke atas) menunjukkan bahwa tingkat kematian penduduk usia lanjut sangat tinggi. Ini berarti bahwa angka harapan hidup di Papua masih rendah (pada tahun 2009, angka harapan hidup di Papua 68,35 tahun). Selain itu, komposisi penduduk seperti diatas menyebabkan rasio ketergantungan (dependency ratio) di Papua cukup tinggi, yaitu 56.37 persen (BPS 2011). Provinsi Papua memiliki keragaman yang tinggi dalam kondisi biofisik seperti iklim, topografi, dan vegetasi (Petocz dan Tucker 1987 diacu dalam Kepas 1990). Keragaman ini juga dijumpai dalam kondisi budaya, adat, kepercayaan, dan bahasa. Mengingat adanya keragaman biofisik dan sosial budaya, sehingga menimbulkan variasi agroekosistem, maka hal ini akan mempengaruhi penyebaran jenis dan produktifitas tanaman pangan di berbagai daerah yang pada akhirnya menimbulkan keragaman pola konsumsi pangan
25
antara daerah yang satu dengan daerah yang lainnya di Provinsi Papua (Kepas 1990). Sumber pangan spesifik lokal Papua seperti ubi jalar, talas, gembili, sagu, dan jawawut telah dibudidayakan oleh masyarakat asli Papua secara turun temurun. Komoditas tersebut telah menjadi sumber bahan makanan utama bagi masyarakat Papua. Husain (2004) menyatakan, pangan lokal adalah pangan yang diproduksi setempat (suatu wilayah/ daerah tertentu) untuk tujuan ekonomi dan atau konsumsi. Dengan demikian, pangan lokal Papua adalah pangan yang diproduksi di Papua dengan tujuan ekonomi atau produksi. Kondisi agroekosistem Papua sangat mendukung pengembangan komoditas pertanian, terutama komoditas pangan spesifik lokal. Namun, pengembangan komoditas tersebut tidak merata di dataran Papua, kecuali ubi jalar yang dapat dijumpai di berbagai wilayah, baik pada dataran rendah maupun dataran tinggi, terutama pada wilayah pegunungan tengah. Selain ubi jalar, sagu juga merupakan bahan makanan pokok bagi masyarakat Papua, terutama yang berdomisili di dataran rendah atau di pesisir pantai atau danau. Sagu tumbuh baik pada daerah rawa, meskipun dapat pula tumbuh di daerah kering. Papua merupakan salah satu wilayah yang memiliki hutan sagu terluas di Indonesia. Widjono et al. (2000) menemukan 61 aksesi sagu melalui survei yang dilakukan di daerah Jayapura, Manokwari, Sorong, dan Merauke. Jumlah aksesi tersebut masih memungkinkan bertambah karena survei baru dilakukan di sebagian wilayah potensial sagu di Papua. Sumber pangan alternatif yang beragam di Papua, mulai dari umbiumbian, serealia, buah-buahan, dan bahkan tanaman obat dapat menyediakan pangan yang cukup bagi masyarakat setempat sehingga terhindar dari kekurangan gizi (malnutrition) atau kelaparan. Namun, sosialisasi pemanfaatan sumber
pangan
alternatif
tersebut
belum
dilakukan
secara
bijak
dan
berkelanjutan. Selain itu, masyarakat mulai bergantung pada sumber pangan beras karena selain enak juga mudah diperoleh. Hal tersebut merupakan salah satu dampak kebijakan pemerintah yang hanya terfokus pada terjaminnya ketersediaan beras. Kebijakan tersebut tanpa disadari telah mengubah menu karbohidrat masyarakat dari nonberas ke beras, terutama pada daerah yang secara tradisional mengonsumsi pangan bukan beras, seperti kawasan timur Indonesia (Budi 2003).
26
Situasi Konsumsi Pangan Provinsi Papua Pembangunan
di
Provinsi
Papua
yang
merupakan
bagian
dari
pembangunan nasional dilakukan melalui kegiatan pembangunan di berbagai sektor bertujuan untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia Indonesia. Untuk mewujudkan keadaan tersebut tentunya dipengaruhi oleh banyak faktor. Salah satu faktor penting dan mendasar adalah faktor pangan yang memenuhi standar gizi yang dibutuhkan oleh masyarakat. Provinsi Papua merupakan salah satu daerah yang memiliki keragaman sumber daya hayati yang cukup tinggi, termasuk tanaman sumber pangan lokal. Sumber pangan lokal Papua yang memiliki potensi untuk dimanfaatkan sebagai sumber karbohidrat adalah ubi jalar, talas, dan sagu. Pangan lokal tersebut banyak dimanfaatkan oleh masyarakat Papua. Masyarakat yang berdomisili di daerah pegunungan umumnya mengonsumsi ubi jalar dan talas sedangkan yang tinggal di pantai memanfaatkan sagu sebagai pangan pokok. Beberapa jenis ubi jalar, talas, dan sagu telah beradaptasi dengan baik dan dikonsumsi masyarakat Papua secara turun temurun. Menurut Apomfires (2002) yang dilakukan di salah satu kabupaten di Provinsi Papua yaitu Kabupaten Merauke, sagu (bie) merupakan makanan pokok yang dikonsumsi masyarakat, biasanya diselingi dengan makanan lain seperti pisang, talas, dan nasi yang merupakan makanan yang telah dikenal dan biasa dikonsumsi. Walaupun ada makanan selingan, tetapi sagu tetap diutamakan, karena beberapa orang menyatakan bahwa mengkonsumsi sagu membuat kenyang lebih lama dibandingkan mengonsumsi pisang, nasi, dan talas. Menurut Hardinsyah et al (2001) menyatakan bahwa analisis konsumsi pangan dapat dilakukan secara kuantitatif dan kualitatif. Analisis konsumsi pangan secara kuantitatif ditunjukkan oleh tingkat kecukupan gizi. Namun, analisis konsumsi pangan penduduk di suatu wilayah tidak hanya cukup ditunjukkan oleh peningkatan kuantitas konsumsi saja, tetapi perlu analisis lebih lanjut terhadap aspek kualitas konsumsi. Kualitas konsumsi dapat dinilai dari aspek komposisi atau keragaman dan mutu gizi pangan dikonsumsi. Analisis kualitas konsumsi
pangan
atau
skor
mutu
konsumsi
dapat
dilakukan
menggunakan pendekatan Pola Pangan Harapan (PPH). Semakin tinggi skor PPH maka semakin beragam dan berimbang pangan yang dikonsumsi. Oleh karena itu analisis situasi konsumsi pangan Provinsi Papua dilakukan dengan mengamati analisis kuantitatif dan analisis kualitatif.
27
Kuantitas Konsumsi Pangan Analisis kuantitatif dilakukan terhadap konsumsi pangan. Kuantitas konsumsi pangan dapat diketahui dari tingkat konsumsi energi (TKE) dan tingkat konsumsi protein (TKP). Konsumsi Energi Pangan merupakan kebutuhan pokok yang paling mendasar bagi manusia, karenanya pemenuhan kebutuhan pangan merupakan bagian dari hak azasi individu. Untuk hidup sehat seseorang membutuhkan sejumlah zat gizi yang bersumber dari berbagai macam sumber pangan, baik pangan nabati maupun hewani. Zat gizi yang harus dipenuhi terutama adalah energi dan protein. Menurut Martianto (2004) kekurangan dua zat gizi tersebut dan berlangsung lama akan berpengaruh pada kualitas sumber daya manusianya, diantaranya menurunkan produktifitas kerja, kecerdasan, dan imunitas. Salah satu indikator untuk menunjukkan tingkat kesejahteraan penduduk adalah tingkat kecukupan gizi. Sesuai dengan rekomendasi WNPG 2004 menetapkan konsumsi kalori per kapita per hari adalah 2000 kkal. Konsumsi energi menurut kelompok pangan dari tahun 2008 sampai 2010 dapat dilihat pada wilayah perkotaan, pedesaan, dan perkotaan+pedesaan. Tabel 5 Tingkat kecukupan energi perkotaan tahun 2008, 2009, dan 2010 2008 2009 kkal/kap/hr %AKE kkal/kap/hr %AKE 1 Padi-padian 1060 53.0 1000 50.0 2 Umbi-umbian 92 4.6 80 4.0 3 Pangan hewani 222 11.1 205 10.3 4 Minyak/lemak 241 12.1 238 11.9 5 Buah/biji berminyak 29 1.5 28 1.4 6 Kacang-kacangan 52 2.6 60 3.0 7 Gula 106 5.3 97 4.9 8 Sayur dan buah 81 4.1 76 3.8 9 Lain-lain 26 1.3 22 1.1 Total 1910 95.5 1807 90.4 *Angka Kecukupan Energi (AKE): 2000 kkal/kapita/hari No
Kelompok Pangan
2010 kkal/kap/hr %AKE 1006 50.3 89 4.5 245 12.3 234 11.7 23 1.2 61 3.1 105 5.2 91 4.5 24 1.2 1879 94.0
Tabel 5 menunjukkan bahwa konsumsi energi pada tahun 2008 menurut kelompok pangan padi-padian adalah 1060 kkal/kap/hr (53.0 %AKE), umbiumbian adalah 92 kkal/kap/hr (4.6 %AKE), pangan hewani adalah 222 kkal/kap/hr (11.1 %AKE), minyak/lemak adalah 241 kkal/kap/hr (12.1 %AKE), buah/ biji berminyak adalah 29 kkal/kap/hr (1.5 %AKE), kacang-kacangan adalah 52 kkal/kap/hr (2.6 %AKE), gula adalah 106 kkal/kap/hr (5.3 %AKE), sayur dan buah adalah 81 kkal/kap/hr (4.1 %AKE), dan pangan lainnya adalah 26 kkal/kap/hr (1.3 %AKE). Pada tahun 2009 konsumsi energi mengalami penurunan menurut kelompok pangan padi-padian, umbi-umbian, pangan
28
hewani, minyak/ lemak, buah/ biji bermnyak, kacang-kacangan, gula, sayur dan buah, pangan lainnya. Kemudian konsumsi energi menurut kelompok pangan meningkat kembali pada tahun 2010. Berdasarkan tabel diatas menunjukkan bahwa kelompok pangan padipadian lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok pangan umbi-umbian di wilayah perkotaan. Hal ini dipengaruhi oleh preferensi pangan masyarakat terutama di wilayah perkotaan yang masih memilih padi-padian sebagai makanan pokok sumber energi dalam hal ini adalah beras. Dimana masyarakat perkotaan di Provinsi Papua lebih di dominasi oleh pendatang dari luar Papua yang terdiri dari berbagai suku seperti Jawa, Sulawesi, Sumatera, dan lainnya (BPS 2011). Tabel 6 Tingkat kecukupan energi pedesaan tahun 2008, 2009, dan 2010 2008 2009 kkal/kap/hr %AKE kkal/kap/hr %AKE 1 Padi-padian 596 29.8 612 30.6 2 Umbi-umbian 655 32.7 665 33.3 3 Pangan hewani 180 9.0 175 8.7 4 Minyak/lemak 184 9.2 208 10.4 5 Buah/biji berminyak 26 1.3 26 1.3 6 Kacang-kacangan 76 3.8 105 5.3 7 Gula 67 3.3 79 4.0 8 Sayur dan buah 106 5.3 109 5.5 9 Lain-lain 14 0.7 13 0.6 Total 1905 95.2 1993 99.6 *Angka Kecukupan Energi (AKE): 2000 kkal/kapita/hari No
Kelompok Pangan
2010 kkal/kap/hr %AKE 586 29.3 748 37.4 163 8.2 217 10.9 20 1.0 83 4.2 75 3.7 118 5.9 15 0.8 2026 101.3
Tabel 6 menunjukkan bahwa terjadi fluktuasi konsumsi energi pada tahun 2008 sampai 2010 menurut kelompok pangan di wilayah pedesaan. Kelompok pangan umbi-umbian, minyak/ lemak, sayur dan buah mengalami peningkatan dari tahun 2008 sampai 2010 sedangkan kelompok pangan padi-padian, pangan hewani, buah/ biji berminyak, gula, dan pangan lainnya mengalami penurunan konsumsi energi dari tahun 2008 sampai 2010. Kelompok pangan umbi-umbian masih mendominasi dibandingkan dengan kelompok pangan lainnya dari tahun 2008 sampai tahun 2010. Hal ini disebabkan masyarakat di pedesaan Papua yang dominan adalah penduduk asli Papua yang masih mengutamakan konsumsi umbi-umbian sebagai makanan pokok seperti sagu, ubi kayu, ubi jalar, dan keladi. Tabel 7 menunjukkan bahwa terjadi fluktuasi konsumsi energi pada tahun 2008 sampai 2010 menurut kelompok pangan di wilayah perkotaan+pedesaan. Kelompok pangan umbi-umbian, minyak/ lemak, sayur dan buah, pangan lainnya mengalami peningkatan dari tahun 2008 sampai 2010 sedangkan kelompok pangan padi-padian, pangan hewani, buah/ biji berminyak, dan gula mengalami
29
penurunan konsumsi energi dari tahun 2008 sampai 2010. Hal ini diduga karena adanya keterbatasan untuk membeli bahan pangan, faktor sosial budaya, dan preferensi masyarakat terhadap pangan (Wahidah 2005). Tabel 7 Tingkat kecukupan protein perkotaan + pedesaan tahun 2008, 2009, dan 2010 2008 2009 kkal/kap/hr %AKP kkal/kap/hr %AKP 1 Padi-padian 702 35.1 701 35.0 2 Umbi-umbian 526 26.3 532 26.6 3 Pangan hewani 190 9.5 182 9.1 4 Minyak/lemak 197 9.9 214 10.7 5 Buah/biji berminyak 27 1.3 26 1.3 6 Kacang-kacangan 71 3.5 95 4.7 7 Gula 76 3.8 83 4.2 8 Sayur dan buah 101 5.0 102 5.1 9 Lain-lain 17 0.9 15 0.7 Total 1906 95.3 1950 97.5 *Angka Kecukupan Energi (AKE): 2000 kkal/kapita/hari No
Kelompok Pangan
2010 kkal/kap/hr %AKP 682 34.1 598 29.9 182 9.1 221 11.1 21 1.0 78 3.9 82 4.1 112 5.6 17 0.9 1992 99.6
Tabel 8 menunjukkan bahwa tingkat kecukupan energi di wilayah perkotaan Papua mengalami flutuatif dari tahun 2008 sampai 2010 adalah 1910 kkal/kap/hr, 1807 kkal/kap/hr, dan 1879 kkal/kap/hr. Pertumbuhan konsumsi energi di wilayah perkotaan mengalami penurunan 15.5 kkal/kap/hr (0.68%). Hal ini disebabkan karena terjadi penurunan konsumsi energi di Provinsi Papua maupun nasional pada tahun 2009 (DKP 2012). Tabel 8 Tingkat kecukupan energi di Provinsi Papua tahun 2008, 2009, dan 2010 Wilayah Perkotaan Pedesaan Perkotaan+Pedesaan
Konsumsi 2009 2010 kkal/kap/hr 1910 1807 1879 1905 1993 2026 1906 1950 1993
2008
Tingkat Kecukupan 2008 2009 2010 %AKE* 95.5 90.4 94.0 95.2 99.6 101.3 95.3 97.5 99.6
Pertumbuhan kkal/kap/hr -15.5 60.5 43.5
%AKE -0.75 3.05 2.15
% -0.68 3.16 2.23
*Angka Kecukupan Energi (AKE): 2000 kkal/kapita/hari
Secara kuantitas tingkat kecukupan energi di perkotaan dari tahun 2008 sampai tahun 2010 tergolong baik masing-masing adalah 95.5 %AKE, 90.4 %AKE, dan 94.0 %AKE. Apabila dibedakan berdasarkan wilayah perkotaan Papua dan perkotaan Indonesia dari tahun 2008 sampai 2010, konsumsi energi di perkotaan Indonesia lebih tinggi dibandingkan dengan perkotaan Papua. Hal ini dapat dilihat bahwa tingkat kecukupan energi Indonesia di wilayah perkotaan Indonesia dari tahun 2008 sampai 2010 yaitu 1976 kkal/kap/hr (98.8 %AKE), 1891 kkal/kap/hr (94.6 %AKE), dan 1884 kkal/kap/hr (94.2 %AKE) (DKP 2012). Konsumsi energi di pedesaan dari tahun 2008 sampai 2010 mengalami peningkatan dengan pertumbuhan 60.5 kkal/kap/hr (3.16%). Peningkatan konsumsi energi dari tahun 2008 sampai 2010 masing-masing adalah 1905 kkal/kap/hr, 1993 kkal/kap/hr, dan 2026 kkal/kap/hr. Konsumsi energi di wilayah
30
pedesaaan tahun 2010 melebihi rekomendasi WNPG 2004. Hal ini diduga karena aktivitas penduduk di pedesaan umumnya membutuhkan energi yang lebih besar sehingga seseorang akan lebih mengutamakan faktor kenyang daripada rasa ataupun prestise. Di wilayah pedesaan tingkat kecukupan energi dari tahun 2008 sampai 2010 tergolong baik masing-masing adalah 95.2 %AKE, 99.6 %AKE, dan 101.3 %AKE. Apabila dibedakan berdasarkan wilayah pedesaan Papua dan pedesaan Indonesia dari tahun 2008 sampai 2010, konsumsi energi di pedesaan Indonesia cenderung menurun dibandingkan dengan pedesaan Papua. Hal ini ditunjukkan dengan tingkat kecukupan energi di wilayah pedesaan mengalami peningkatan dari tahun 2008 sampai 2010 adalah 1905 kkal/kap/hr, 1993 kkal/kap/hr, dan 2026 kkal/kap/hr. sedangkan tingkat kecukupan energi Indonesia di wilayah pedesaan mengalami penurunan dari tahun 2008 sampai 2010 yaitu 2095 kkal/kap/hr (104.8 %AKE), 1961 kkal/kap/hr (98.1 %AKE), dan 1966 kkal/kap/hr (98.3 %AKE) (DKP 2012). Tingkat kecukupan energi di wilayah perkotaan+ pedesaan Papua mengalami peningkatan dari tahun 2008 sampai 2010 adalah 1906 kkal/kap/hr, 1950 kkal/kap/hr, dan 1993 kkal/kap/hr. Namun tidak demikian dengan tingkat kecukupan energi di wilayah perkotaan+ pedesaan Indonesia yang mengalami penurunan dari tahun 2008 sampai 2010 yaitu 2038 kkal/kap/hr (101.9 %AKE), 1927 kkal/kap/hr (96.4 %AKE), dan 1926 kkal/kap/hr (96.3 %AKE) (DKP 2012). Apabila dibedakan berdasarkan wilayah perkotaan+ pedesaan Papua dan Indonesia dari tahun 2008 sampai 2010, konsumsi energi di perkotaan+ pedesaan Indonesia lebih tinggi dibandingkan dengan perkotaan+ pedesaan Papua. Menurut Regmi dan Dyck (2001) terdapatnya perbedaan kebutuhan energi antara pedesaan dan perkotan adalah perbedaan gaya hidup, ketersediaan pangan dan kemampuan untuk membeli pangan. Masyarakat perkotaan cenderung bergaya hidup sedentary sehingga memerlukan energi yang lebih sedikit sedangkan aktivitas penduduk di pedesaan umumya membutuhkan energi yang lebih besar. Pada umumnya beragam jenis pangan lebih banyak tersedia di perkotaan serta daya beli masyarakatnya lebih tinggi. Menurut Martianto, Ariani, dan Hardinsyah (2003), pada tingkat pendapatan yang terbatas, seseorang akan lebih mengutamakan faktor kenyang daripada rasa
31
ataupun prestise, sehingga alokasi pangan lebih pada pangan yang murah dan memberi rasa kenyang. Konsumsi Protein Protein adalah salah satu zat gizi yang penting untuk pertumbuhan. Sebagai
zat
pembangun
atau
pertumbuhan
karena merupakan bahan
pembentuk jaringan baru dalam tubuh terutama bagi bayi, anak-anak, ibu hamil, ibu menyusui dan orang baru sembuh dari sakit (Hardinsyah & Matianto 1992). Protein yang dimakan sehari-hari terdiri dari berbagai macam asam amino, setelah dicerna dan diserap oleh tubuh digunakan untuk sintesis protein sel, protein fungsional seperti hormon dan enzim, dan protein pengangkut seperti transferin. Jumlah protein yang diberikan dikatakan adekuat apabila mengandung semua asam amino esensial dalam jumlah yang cukup, mudah dicerna dan diserap oleh tubuh. Protein yang memenuhi syarat tersebut adalah protein yang berkualitas tinggi seperti protein hewani (Pudjiadi 2001). Fungsi protein lainnya menurut Almatsier (2002) protein berfungsi mengatur keseimbangan air di dalam tubuh, memelihara netralitas tubuh, pembentukan antibodi, mengangkut zat-zat gizi dan sebagai sumber energi. Kecukupan protein menurut WNPG 2004 adalah 52 gram/kapita/hari. Konsumsi protein menurut kelompok pangan dari tahun 2008 sampai 2010 dapat dilihat pada wilayah perkotaan, pedesaan, dan perkotaan+pedesaan. Tabel 9 Tingkat konsumsi protein perkotaan tahun 2008, 2009, dan 2010 No 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Kelompok Pangan
2008 g/kap/hr %AKP
2009 g/kap/hr %AKP
Padi-padian 24.5 47.0 Umbi-umbian 0.6 1.1 Pangan hewani 20.2 38.8 Minyak/lemak 0.2 0.3 Buah/biji berminyak 0.4 0.8 Kacang-kacangan 5.0 9.6 Gula 0.0 0.0 Sayur dan buah 3.6 6.9 Lain-lain 1.6 3.1 Total 56.0 107.6 *Angka Kecukupan Protein (AKP): 52 gram/kapita/hari
23.1 0.6 19.4 0.1 0.4 5.9 0.0 3.3 1.2 53.9
44.4 1.1 37.4 0.2 0.7 11.3 0.0 6.3 2.3 103.7
2010 g/kap/hr %AKP 23.3 0.6 22.7 0.1 0.4 5.6 0.0 3.6 1.2 57.6
44.9 1.1 43.7 0.1 0.7 10.8 0.0 7.0 2.4 110.7
Tabel 9 menunjukkan bahwa konsumsi protein penduduk di wilayah perkotaan dari tahun 2008 sampai 2010 berada di atas standar nasional sebesar 52 gramkapita/hari yaitu pada tahun 2008 adalah 56.0 gram/kapita/hari (107.6%), 53.9 gram/kapita/hari (103.7%) pada tahun 2009, dan 57.6 gram/kapita/hari (110.7%) pada tahun 2010. Dari tabel tersebut terlihat bahwa konsumsi protein di wilayah perkotaan masih didominasi oleh padi-padian dan pangan hewani dari
32
tahun 2008 sampai tahun 2010. Walaupun konsumsi protein telah melebihi dari kecukupan, tetapi perlu ditinjau kembali komposisi sumber pangan. Menurut dibandingkan
Pudjiadi dengan
(2001),
protein
protein
nabati.
hewani
Konsumsi
lebih
baik
pangan
kualitasnya
hewani
akan
memberikan asupan zat gizi esensial seperti protein dengan bioavailabilitas yang baik, vitamin, dan mineral mikro (B6, B12, zat besi, iodium, dan seng). Kekurangan zat gizi mikro akan berakibat resiko tinggi terhadap pertumbuhan (janin, bayi, dan anak-anak), penyakit infeksi dan penurunan produktivitas (Martianto dan Ariani 2005). Tabel 10 menunjukkan bahwa terjadi fluktuasi konsumsi protein dari tahun 2008 sampai 2010 menurut kelompok pangan di wilayah pedesaan. Pada tahun 2008 konsumsi protein padi-padian adalah 13.9 g/kap/hr (26.7 %AKP), umbi-umbian adalah 4.9 g/kap/hr (9.5 %AKP), pangan hewani adalah 14.4 g/kap/hr (27.7 %AKP), minyak/lemak adalah 0.1 g/kap/hr (0.1 %AKP), buah/ biji berminyak adalah 0.3 g/kap/hr (0.6 %AKP), kacang-kacangan adalah 5.3 g/kap/hr (10.2 %AKP), gula adalah 0.0 g/kap/hr (0.0%AKP), sayur dan buah adalah 4.4 g/kap/hr (8.5 %AKP), dan pangan lainnya adalah 0.9 g/kap/hr (1.7 %AKP). Tabel 10 Tingkat konsumsi protein pedesaan tahun 2008, 2009, dan 2010 No
Kelompok Pangan
2008 g/kap/hr %AKP
1 2 3 4 5 6 7 8 9
Padi-padian 13.9 26.7 Umbi-umbian 4.9 9.5 Pangan hewani 14.4 27.7 Minyak/lemak 0.1 0.1 Buah/biji berminyak 0.3 0.6 Kacang-kacangan 5.3 10.2 Gula 0.0 0.0 Sayur dan buah 4.4 8.5 Lain-lain 0.9 1.7 Total 44.2 85.0 *Angka Kecukupan Protein (AKP): 52 gram/kapita/hari
2009 g/kap/hr %AKP 14.2 5.3 15.2 0.1 0.3 7.3 0.0 5.3 0.9 48.5
2010 g/kap/hr %AKP
27.4 10.2 29.3 0.1 0.6 14.0 0.0 10.1 1.6 93.3
13.7 5.9 13.6 0.1 0.2 5.5 0.0 5.3 0.9 45.3
26.3 11.3 26.1 0.1 0.5 10.6 0.0 10.2 1.8 87.0
Tahun 2009 konsumsi energi mengalami peningkatan menurut kelompok pangan yaitu pangan padi-padian, umbi-umbian, pangan hewani, minyak/ lemak, buah/ biji berminyak, kacang-kacangan, gula, sayur dan buah, pangan lainnya. Namun pada tahun 2010 konsumsi protein mengalami penurunan menurut kelompok pangan. Rendahnya konsumsi protein hewani di pedesaan diduga karena pangan hewani relatif lebih mahal daripada pangan nabati. Oleh karena pendapatan
terbatas,
masyarakat
di
wilayah
pedesaan
Papua
lebih
mengutamakan jenis pangan lain yang lebih murah harganya daripada untuk membeli pangan hewani. Disamping itu masyarakat telah merasa cukup atau
33
kebutuhan pangan hewani sudah terpenuhi. Hal ini dapat dipengaruhi oleh preferensi pangan dan pendapatan masyarakat terutama di wilayah pedesaan (Wahidah 2005). Tabel 11 Tingkat konsumsi protein perkotaan+ pedesaan tahun 2008, 2009, dan 2010 2008 2009 g/kap/hr %AKP g/kap/hr %AKP 1 Padi-padian 16.3 31.3 16.3 31.3 2 Umbi-umbian 3.9 7.6 4.2 8.1 3 Pangan hewani 15.7 30.3 16.2 31.1 4 Minyak/lemak 0.1 0.2 0.1 0.1 5 Buah/biji berminyak 0.3 0.7 0.3 0.6 6 Kacang-kacangan 5.2 10.1 6.9 13.4 7 Gula 0.0 0.0 0.0 0.0 8 Sayur dan buah 4.2 8.1 4.8 9.2 9 Lain-lain 1.0 2.0 0.9 1.8 Total 46.9 90.2 49.7 95.7 *Angka Kecukupan Protein (AKP): 52 gram/kapita/hari No
Kelompok Pangan
2010 g/kap/hr %AKP 15.9 30.5 4.7 9.0 15.6 30.0 0.1 0.1 0.3 0.5 5.5 10.7 0.0 0.0 4.9 9.5 1.0 2.0 48.0 92.3
Tabel 11 menunjukkan bahwa terjadi fluktuasi konsumsi protein dari tahun
2008
sampai
2010
menurut
kelompok
pangan
di
wilayah
perkotaan+pedesaan. Pada tahun 2008 konsumsi protein padi-padian adalah 16.3 g/kap/hr (31.3 %AKP), umbi-umbian adalah 3.9 g/kap/hr (7.6 %AKP), pangan hewani adalah 15.7 g/kap/hr (30.3 %AKP), minyak/lemak adalah 0.1 g/kap/hr (0.2 %AKP), buah/ biji berminyak adalah 0.3 g/kap/hr (0.7 %AKP), kacang-kacangan adalah 5.2 g/kap/hr (10.1 %AKP), gula adalah 0.0 g/kap/hr (0.0%AKP), sayur dan buah adalah 4.2 g/kap/hr (8.1 %AKP), dan pangan lainnya adalah 1.0 g/kap/hr (2.0 %AKP). Kemudian tahun 2009 konsumsi energi mengalami peningkatan menurut kelompok pangan pangan padi-padian, umbiumbian, pangan hewani, minyak/ lemak, buah/ biji bermnyak, kacang-kacangan, gula, sayur dan buah, pangan lainnya. Namun pada tahun 2010 konsumsi protein mengalami penurunan menurut kelompok pangan. Apabila dibedakan berdasarkan wilayah, pada umumnya konsumsi protein di perkotaan lebih tinggi daripada di pedesaan (Tabel 12). Selanjutnya jika dikaitkan dengan tingkat pendapatan, di perkotaan lebih tinggi daripada pedesaan. Pendapatan yang lebih tinggi akan semakin tinggi pula daya beli. Dengan demkian penduduk akan mampu membeli makanan dalam jumlah yang lebih banyak dan kualitas yang lebih baik, dan didukung oleh ketersediaan pangan di kota yang lebih beragam. Tabel 12 menunjukkan bahwa konsumsi protein di perkotaan+pedesaan dari tahun 2008 sampai dengan 2010 cenderung fluktuatif namun konsumsi protein masih kurang dari 52 gram/kapita/hari. Pada tahun 2008 konsumsi
34
protein adalah 46.9 gram/kap/hari atau mencapai 90.2 %AKP. Kemudian meningkat pada tahun 2009 yaitu 49.7 gram/kap/hari atau mencapai 95.7 %AKP dan konsumsi protein menurun pada tahun 2010 yaitu 48.1 gram/kap/hari atau mencapai 92.7 %AKP dengan pertumbuhan 0.60 g/kap/hr (1.48%). Tabel 12 Tingkat kecukupan protein di Provinsi Papua tahun 2008, 2009, dan 2010 Wilayah Perkotaan Pedesaan Perkotaan+Pedesaan
Konsumsi 2008 2009 2010 gram/kapita/hari 56.0 53.9 57.6 44.2 48.5 45.3 46.9 49.7 48.1
Tingkat Kecukupan 2008 2009 2010 %AKP* 107.6 103.7 110.7 85.0 93.3 87.0 90.2 95.7 92.7
Pertumbuhan g/kap/hr 0.80 0.55 0.60
%AKP 1.55 1.00 1.25
% 1.56 1.51 1.48
*Angka Kecukupan Protein (AKP): 52 gram/kapita/hari
Konsumsi protein di wilayah perkotaan dari tahun 2008 sampai dengan tahun 2010 melebihi angka kecukupan protein yang direkomendasikan WNPG 2004. Pada tahun 2009 konsumsi protein di wilayah perkotaan adalah 56.0 gram/kapita/hari atau 107.6 %AKP. Pada tahun 2008 tingkat kecukupan protein menurun dari tahun 2009. Meskipun demikian tingkat kecukupan protein di wilayah perkotaan masih melebihi dari tingkat kecukupan protein yang ideal yaitu sebesar 59,2 gram/kapita/hari atau 103.7 persen dari angka kecukupan protein, dimana tingkat kecukupan protein idealnya yaitu 52 gram/kapita/hari. Konsumsi protein di wilayah perkotaan meningkat kembali pada tahun 2010 sebesar 57.6 gram/kapita/hari atau 110.7 persen dari angka kecukupan protein. Hal ini dibuktikan dengan pertumbuhan konsumsi protein di wilayah perkotaan setiap tahun adalah 0.80 g/kap/hr (1.56%). Konsumsi protein di wilayah pedesaan belum mencukupi angka kecukupan protein sebesar 52 gram/kapita/hari dari tahun 2008 sampai tahun 2010. Pada tahun 2009 konsumsi protein di wilayah pedesaan adalah 44.2 gram/kapita/hari atau 85.0 persen dari angka kecukupan protein. Tingkat kecukupan protein pada tahun 2009 meningkat dari tahun 2008. Meskipun demikian masih belum mencukupi dari tingkat kecukupan protein yang ideal yaitu sebesar 48.5 gram/kapita/hari atau 93.3 persen dari angka kecukupan protein, dimana tingkat kecukupan protein idealnya yaitu 52 gram/kapita/hari. Konsumsi protein di wilayah pedesaan menurun kembali pada tahun 2010 sebesar 45.3 gram/kapita/hari atau 87.0 persen dari angka kecukupan protein. Hal ini dibuktikan dengan laju pertumbuhan konsumsi protein di wilayah pedesaan setiap tahun adalah 0.55 (1.51%). Berdasarkan hasil yang ditunjukkan bahwa konsumsi protein di wilayah perkotaan Papua lebih tinggi dari pada konsumsi protein di wilayah pedesaan
35
Indonesia. Hal ini juga didukung dengan konsumsi protein di wilayah perkotaan Indonesia lebih tinggi dibandingkan perkotaan (DKP 2012). Hal ini dapat dipengaruhi oleh kemampuan daya beli penduduk dan didukung oleh ketersediaan pangan di kota yang lebih beragam dan lebih banyak dibandingkan di
desa.
Konsumsi
masyarakat
terhadap
pangan
dapat
dilihat
dari
kecenderungan masyarakat mengkonsumsi jenis pangan tertentu. Menurut Hardinsyah, Madanijah, dan Baliwati (2002) Secara umum di tingkat wilayah faktor-faktor yang mempengaruhi konsumsi pangan adalah faktor ekonomi (pendapatan dan harga), faktor sosiobudaya dan religi. Kualitas Konsumsi Pangan Kualitas konsumsi pangan ditujukan pada keanekaragaman pangan, semakin beragam dan seimbang komposisi pangan yang dikonsumsi akan semakin baik kualitas gizinya. Untuk menilai keanekaragaman pangan digunakan pendekatan Pola Pangan Harapan (PPH). Kualitas konsumsi pangan penduduk melalui pendekatan PPH dapat dilihat dari nilai skor pangan (skor PPH). Pola Pangan Harapan adalah susunan beragam pangan yang didasarkan atas proporsi sumbangan energi, baik secara absolut maupun relatif terhadap total energi penyediaan atau konsumsi pangan yang mampu mencukupi kebutuhan pangan dan gizi penduduk, baik dalam jumlah kualitas maupun keragamannya. FAO-RAPA mendefinisikan PPH sebagai komposisi kelompok pangan utama yang bila dikonsumsi dapat memenuhi kebutuhan energi dan zat gizi lainnya (Baliwati 2007). Melalui pendekatan PPH mutu atau kualitas konsumsi pangan penduduk dapat dilihat dari nilai skor pangan (skor PPH). Semakin tinggi skor PPH semakin bagus kualitas dari konsumsi pangan penduduk tersebut dan berarti konsumsi pangan semakin beragam dan seimbang. Menurut Anwar (1996), disebutkan kelebihan pemakaian pendekatan PPH salah satunya adalah derajat kesehatan penduduk lebih terjamin karena titik tolak pendekatan adalah kecukupan gizi. Menurut Hardinsyah et al (2001) bahwa dengan terpenuhinya kebutuhan energi dari berbagai kelompok pangan sesuai PPH, maka secara implisit kebutuhan zat gizi akan terpenuhi kecuali untuk zat gizi yang sangat defisit dalam suatu kelompok pangan. komposisi/ susunan komposisi ideal yang dianjurkan untuk tingkat konsumsi adalah padi-padian 275 gram, umbi-umbian 100 gram, pangan hewani 150 gram, kacang-kacangan 35 gram, sayur dan buah 250 gram (Dewan Ketahanan Pangan 2006). Susunan pangan sesuai kaidah PPH
36
sebagaimana dikemukakan oleh Hardinsyah, tidak hanya memenuhi kecukupan gizi tetapi mempertimbangkan keseimbangan gizi yang didukung oleh daya cerna, daya terima masyarakat, kuantitas, dan kemampuan daya beli. Selanjutnya melalui PPH dapat dinilai keberhasilan dari upaya diversifikasi pangan. Kualitas konsumsi pangan di Provinsi Papua dibedakan berdasarkan wilayah perkotaan, pedesaan, dan perkotaan+pedesaan pada tahun 2008, 2009, dan 2010. Tabel 13 menunjukkan bahwa skor PPH di wilayah perkotaan+ pedesaan mengalami peningkatan setiap tahunnya adalah 78.7 pada tahun 2008, tahun 2009 adalah 80.8, dan tahun 2010 adalah 81.0 dengan pertumbuhan setiap tahun adalah 1.46%. Skor Pola Pangan Harapan di wilayah perkotaan lebih tinggi dibandingkan di pedesaan dari tahun 2008 sampai 2010 masing-masing adalah 83.2, 80.8, dan 88.2 dengan pertumbuhan skor PPH setiap tahun adalah 3.14%. Tabel 13 Skor pola pangan harapan Provinsi Papua tahun 2008, 2009, dan 2010 Wilayah Perkotaan Pedesaan Perkotaan+ Pedesaan
2008 83.2 76.5 78.7
Skor PPH 2009 80.8 80.2 80.8
2010 88.2 78.6 81.0
Pertumbuhan % 3.14 1.42 1.46
Skor Pola Pangan Harapan di wilayah pedesaan lebih rendah dibandingkan dengan di wilayah perkotaan pada tahun 2008, 2009, dan 2010 masing-masing adalah 76.5, 80.2, dan 78.6 dengan laju pertumbuhan skor PPH setiap tahun adalah 1.42%. Hal ini menunjukkan bahwa skor PPH di wilayah perkotaan, pedesaan, dan perkotaan+pedesaan belum ideal disebabkan oleh kurang beragamnya pangan yang dikonsumsi (kualitas konsumsi pangan) penduduk di Provinsi Papua. Apabila dibandingkan dengan skor PPH Papua dengan Indonesia, dapat diketahui bahwa skor PPH Papua lebih tinggi dibandingkan dengan Indonesia Hal ini ditunjukkan dengan skor PPH Indonesia mengalami penurunan dari tahun 2008 sampai 2010 adalah 81.9, 75.7, dan 77.5 (DKP 2012). Menurut Baliwati (2007) semakin tinggi skor PPH semakin bagus kualitas dari konsumsi pangan penduduk tersebut dan berarti konsumsi pangan semakin beragam dan seimbang. Secara rinci skor PPH menurut jenis pangan terdapat pada Lampiran 2. Dari hasil analisis dengan pendekatan PPH yang perlu digarisbawahi adalah kelompok pangan umbi-umbian telah mencapai skor maksimal baik di
37
wilayah perkotaan maupun di pedesaan Papua. Konsumsi ideal dari kelompok pangan ini adalah 6.0% dari angka kecukupan dan skornya 2.5. Atas dasar alasan tersebut maka dikatakan bahwa konsumsi pangan di Provinsi Papua belum mencapai jumlah yang ideal. Menurut Martianto dan Ariani (2004), konsumsi yang masih di bawah konsumsi harapan memerlukan upaya-upaya serius untuk meningkatkan kuantitas maupun kualitas konsumsi pangan guna mencapai pola pangan ideal. Upaya ini diantaranya peningkatan pendapatan dan daya beli yang diikuti dengan perbaikan pengetahuan gizi. Peningkatan pengetahuan gizi memungkinkan pengelolaan sumberdaya secara lebih baik, sehingga masyarakat dapat memilih jenis pangan bermutu dengan harga terjangkau. Tabel 14 Kontribusi energi menurut kelompok pangan pangan Provinsi Papua tahun 2008-2010 No 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Kelompok pangan Padi-padian Umbi-umbian Pangan hewani Minyak/lemak Buah/biji berminyak Kacang-kacangan Gula Sayur dan buah Lain-lain Total
%AKE ideal 50.0 6.0 12.0 10.0 3.0 5.0 5.0 6.0 3.0 100.0
2008 35.1 26.3 9.5 9.9 1.3 3.5 3.8 5.0 0.9 95.3
%AKE 2009 35.0 26.6 9.1 10.7 1.3 4.7 4.2 5.1 0.7 97.4
2010 34.1 29.9 9.1 11.1 1.0 3.9 4.1 5.6 0.9 99.7
Pertumbuhan % -1.43 6.77 -2.11 5.91 -11.54 8.63 4.07 5.90 3.17 2.28
Tabel 14 menunjukkan bahwa kontribusi energi meningkat dari tahun 2008 sampai dengan tahun 2010 dengan pertumbuhan 2.28 persen setiap tahun. Kontribusi energi dari kelompok umbi-umbian
masih mendominasi konsumsi
penduduk dari tahun 2008 sampai 2010 masing-masing adalah 26.3 %AKE, 26.6%AKE, dan 29.9 %AKE. Oleh karena itu, pertumbuhan kontribusi energi kelompok pangan umbi-umbian harus diturunkan sebesar 6.77 persen setiap tahun agar mencapai kontribusi energi ideal. Menurut Apomfires (2002) yang dilakukan di salah satu kabupaten di Provinsi Papua yaitu Kabupaten Merauke, sagu (bie) dan umbi-umbian merupakan makanan pokok yang dikonsumsi masyarakat, biasanya diselingi dengan makanan lain seperti pisang, dan nasi yang merupakan makanan yang telah dikenal dan biasa dikonsumsi. Walaupun ada makanan selingan, tetapi sagu dan umbi-umbian tetap diutamakan, karena beberapa orang menyatakan bahwa mengkonsumsi sagu dan umbi-umbian membuat kenyang lebih lama dibandingkan mengonsumsi pisang dan nasi.
38
Kontribusi energi kelompok pangan minyak/lemak, kacang-kacangan gula, sayur dan buah, dan pangan lain-lainnya mengalami peningkatan dari tahun 2008 sampai 2010 dengan pertumbuhan masing-masing adalah 5.91%, 8.63%, 4.07%, 5.90%, dan 3.17%. Namun kontribusi energi dari kelompok pangan minyak/lemak, kacang-kacangan gula, sayur dan buah, dan pangan lainlainnya masih belum sesuai dengan kontribusi ideal masing-masing kelompok pangan tersebut. Kontribusi energi dari kelompok pangan padi-padian, pangan hewani, buah/biji berminyak mengalami penurunan dari tahun 2008 sampai 2010 dengan pertumbuhan masing-masing adalah 1.43%, 2.11%, dan 11.54%. Menurut Hardinsyah et al (2001) bahwa dengan terpenuhinya kebutuhan energi dari berbagai kelompok pangan sesuai pola pangan harapan (PPH), maka secara implisit kebutuhan zat gizi akan terpenuhi kecuali untuk zat gizi yang sangat defisit dalam suatu kelompok pangan. Tabel 15 Skor PPH menurut kelompok pangan Provinsi Papua tahun 2008-2010 No 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Kelompok pangan Padi-padian Umbi-umbian Pangan hewani Minyak/lemak Buah/biji berminyak Kacang-kacangan Gula Sayur dan buah Lain-lain Total
Ideal 25.0 2.5 24.0 5.0 1.0 10.0 2.5 30.0 0.0 100
Skor PPH 2008 2009 17.5 17.5 2.5 2.5 19.0 18.2 4.9 5.0 0.7 0.7 7.1 9.5 1.9 2.1 25.2 25.4 0.0 0.0 78.7 80.8
2010 17.0 2.5 18.2 5.0 0.5 7.8 2.0 27.9 0.0 81.0
Pertumbuhan % -1.43 0.00 -2.11 1.02 -14.29 7.95 2.88 5.32 0.00 1.46
Tabel 15 menunjukkan bahwa skor PPH di Provinsi Papua meningkat dari tahun 2008 sampai dengan 2010 masing-masing adalah 78.7, 80.8, dan 81.0. Namun peningkatan skor PPH tersebut masih jauh dari standar pelayanan minimum (SPM) tahun 2015 yaitu 90 yang berarti masih kurang beragamnya pangan yang dikonsumsi penduduk di Provinsi Papua. Hal ini ditunjukkan dengan kelompok pangan padi-padian, pangan hewani, buah/biji berminyak, gula, sayur dan buah masih kurang dari standar pelayanan minimum (SPM) tahun 2015. Skor PPH kelompok pangan minyak/lemak, kacang-kacangan gula, sayur dan buah
mengalami
peningkatan
dari
tahun
2008
sampai
2010
dengan
pertumbuhan masing-masing adalah 1.02%, 7.95%, 2.28%, dan 5.32%, namun skor PPH masih kurang dari standar pelayanan minimum (SPM) tahun 2015. Untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas konsumsi pangan penduduk agar mencapai pola konsumsi pangan sesuai standar pelayanan minimum (SPM) tahun 2015 (PPH=90), maka diperlukan upaya-upaya yang lebih serius. Upaya-
39
upaya tersebut adalah tidak hanya pada sisi penyediaan, tetapi harus dapat langsung
mempengaruhi
perbaikan
mutu
gizi
penduduk/
masyarakat,
diantaranya peningkatan pendapatan dan daya beli yang diiringi dengan perbaikan
pengetahuan
gizi.
Melalui
peningkatan
pengetahuan
gizi
memungkinkan pengelolaan sumberdaya akan lebih baik, sehingga dapat memilih jenis-jenis pangan bermutu gizi tinggi dengan harga terjangkau. Proyeksi Konsumsi Berdasarkan Pola Pangan Harapan (PPH) Apabila evaluasi terhadap skor mutu gizi pangan daerah sudah dilakukan, maka pada tahap selanjutnya dilakukan penyusunan target (proyeksi) skor PPH yang akan dicapai. Skor PPH dan komposisi PPH ini menggambarkan mutu gizi dan komposisi pangan yang akan dicapai. Berdasarkan Renstra Pusat Pengembangan Konsumsi Pangan, diharapkan secara nasional Indonesia mampu mencapai skor PPH 100 pada tahun 2020. Proyeksi pangan ideal yang dimaksud dalam analisis ini adalah tercapainya konsumsi yang baik secara kuantitas dan kualitas yang digambarkan dengan tercapainya target skor PPH pada tahun 2015 adalah 90 sesuai dengan Standar Pelayanan Minimum (SPM). Tabel 16 menunjukkan bahwa skor PPH Provinsi Papua harus ditingkatkan minimal 1,9 poin setiap tahunnya hingga mencapai skor PPH 90 sesuai standar pelayanan minimum (SPM) pada tahun 2015. Penyusunan proyeksi skor PPH Provinsi Papua dari tahun 2010 sampai tahun 2015 dilakukan dengan menggunakan metode interpolasi linear. Interpolasi linear juga dilakukan terhadap komposisi pangan. Dengan demikian peningkatan skor PPH setiap tahun akan meningkatkan proporsi setiap kelompok pangan secara bertahap. Tabel 16 Proyeksi Pola Pangan Harapan (PPH) Provinsi Papua berdasarkan konsumsi pangan tahun dasar 2010 No 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Kelompok pangan Padi-padian Umbi-umbian Pangan hewani Minyak/lemak Buah/biji berminyak Kacang-kacangan Gula Sayur dan buah Lain-lain Total
Tahun Dasar 2010 17.0 2.5 18.2 5.0 0.5 7.8 2.0 27.9 0.0 81.0
Proyeksi skor PPH 2011 17.8 2.5 18.8 5.0 0.6 8.1 2.1 28.1 0.0 82.9
2012 18.6 2.5 19.4 5.0 0.6 8.3 2.1 28.3 0.0 84.8
2013 19.4 2.5 19.9 5.0 0.7 8.5 2.2 28.5 0.0 86.7
2014 20.2 2.5 20.5 5.0 0.7 8.7 2.2 28.7 0.0 88.6
Pertumbuhan 2015 21.0 2.5 21.1 5.0 0.8 8.9 2.3 28.9 0.0 90.5
% 4.32 0.00 3.00 0.00 10.19 2.68 2.86 0.71 0.00 2.24
Konsumsi pangan yang masih perlu ditingkatkan adalah kelompok pangan padi-padian (4.32%), pangan hewani (3.00%), buah/biji berminyak (10.19%), gula (2.86%), serta sayur dan buah (0.71%). Karena tidak satupun
40
jenis makanan yang mengandung secara lengkap zat gizi pada menu makanan untuk konsumsi pangan penduduk yang beragam dan sesuai kebutuhan. Sedangkan skor PPH telah mencapai maksimal atau ideal adalah kelompok pangan umbi-umbian dan minyak/lemak pada tahun 2010 (tahun dasar) telah memenuhi skor ideal. Proyeksi kontribusi energi terhadap Angka Kecukupan Energi (%AKE) menurut kelompok pangan disajikan pada Tabel 17. Berdasarkan Tabel 17 menunjukkan bahwa pertumbuhan proyeksi kontribusi energi menurut kelompok pangan yang masih perlu ditingkatkan konsumsinya setiap tahun adalah kelompok pangan padi-padian, pangan hewani, buah/biji berminyak, kacangkacangan, gula, sayur dan buah, dan kelompok pangan lainnya masing-masing adalah 4.26 persen, 3.10 persen, 14.91 persen, 2.91 persen, 1.88 persen, 0.71 persen, dan 16.18 persen agar mencapai kontribusi energi ideal. Hal lain yang perlu di perhatikan dan di waspadai adalah konsumsi pangan sumber minyak dan lemak yang sudah berlebih. Kelebihan pangan ini akan membawa dampak negatif pada kesehatan terutama penyakit degenerative seperti tekanan darah tinggi, jantung, dan lain sebagainya. Tabel 17 Proyeksi kontribusi energi terhadap Angka Kecukupan Energi (%AKE) menurut kelompok pangan (%) No
Kelompok pangan
1 2 3 4 5 6 7 8 9
Padi-padian Umbi-umbian Pangan hewani Minyak/lemak Buah/biji berminyak Kacang-kacangan Gula Sayur dan buah Lain-lain Total
Tahun Dasar 2010 34.1 29.9 9.1 11.1 1.0 3.9 4.1 5.6 0.9 99.6
Kontribusi Energi terhadap AKE (%AKE) 2011 2012 2013 2014 2015 35.7 37.3 38.9 40.4 42.0 27.5 25.1 22.7 20.3 17.9 9.4 9.7 10.0 10.3 10.6 11.0 10.9 10.7 10.6 10.5 1.2 1.4 1.6 1.8 2.0 4.0 4.1 4.2 4.4 4.5 4.2 4.3 4.4 4.5 4.5 5.6 5.7 5.7 5.7 5.8 1.1 1.3 1.5 1.7 1.9 99.7 99.7 99.7 99.8 99.8
Pertumbuhan % 4.26 -9.74 3.10 -1.10 14.91 2.91 1.88 0.71 16.18 33.10
Proyeksi kontribusi energi kelompok umbi-umbian adalah 29.9% pada tahun 2010 (tahun dasar) melebihi proporsi ideal (Tabel 17), sehingga dilakukan proyeksi untuk mencapai kontribusi ideal umbi-umbian (6.0%) mulai dari tahun 2011 sampai dengan tahun 2015. Hal ini disebabkan karena sebagian besar penduduk/ masyarakat di Provinsi Papua terutama di wilayah pedesaan bermata pencaharian sebagai petani atau berkebun dengan tanaman umbi sebagai salah satu komoditas sebagai makanan pokok. Selain itu juga menunjukkan arah positif karena konsumsi energi tidak hanya bergantung pada kelompok padi-padian saja
41
sehingga dapat dikatakan konsumsi pangan penduduk telah mengarah pada konsumsi pangan yang beragam. Skor kelompok pangan padi-padian diproyeksikan meningkat setiap tahun sebesar 0.8. Pada tahun 2010 skor padi-padian mencapai 17.0 dengan proporsi konsumsi energi 34.1%. untuk mencapai skor PPH 90 sesuai Standar Pelayanan Mimimum (SPM) pada tahun 2015 maka skor padi-padian adalah 21.0 dengan proporsi konsumsi energi adalah 42.0%. Peningkatan skor pangan hewani diproyeksikan 0.6 per tahun sehingga pada tahun 2010 diharapkan dapat mencapai skor 18.2 dengan proporsi konsumsi energi adalah
9.1%. Skor
pangan hewani pada tahun 2015 adalah 21.1 dengan kontribusi energi 10.6% sehingga proporsi sesuai standar pelayanan minimum (SPM) yaitu 10.8% dapat terpenuhi pada tahun 2015. Sedangkan skor pangan minyak dan lemak setiap tahun adalah stabil yaitu 5.0 dengan proporsi sesuai SPM yaitu 9% pada tahun 2015. Peningkatan skor pangan buah/biji berminyak diproyeksikan
0.1 per
tahun sehingga pada tahun 2010 diharapkan dapat mencapai skor 0.5 dengan proporsi konsumsi energi adalah 1.0%. Skor pangan buah/biji berminyak pada tahun 2015 adalah 0.8 dengan kontribusi energi yaitu 2.0% sehingga proporsi sesuai SPM adalah 2.7% dapat terpenuhi pada tahun 2015. Kelompok kacangkacangan diproyeksikan terjadi peningkatan skor sebesar 0.3. pada tahun 2010 skor kacang-kacangan mencapai 7.8 dengan proporsi 3.5%. Skor kacangkacangan pada tahun 2015 adalah 8.9 dengan kontribusi energi 4.5% sehingga proporsi sesuai SPM dapat terpenuhi pada tahun 2015. Target skor dan kontribusi gula pada tahun 2010 adalah 2.0 dan 4.1%. Kelompok sayur dan buah diharapkan meningkat 0.2 sehingga skor pada tahun 2010 adalah 27.9 dan kontribusi energi sebesar 5.6%. oleh karena itu target skor dan kontribusi pada tahun 2015 masing-masing adalah 28.9 dan 5.8%. Sesuai standar pelayanan minimum (SPM) sebesar 5.4% target proporsi sudah tercapai pada tahun 2015. Kelompok pangan lain-lainnya yang mencakup minuman dan bumbu- bumbuan sangat penting peranannya dalam pola konsumsi penduduk yaitu sebagai penambah cita rasa dan pembangkit selera. Pada tahun 2010 konsumsi pangan lainnya mempunyai skor 0 (karena bobot/ratingnya 0) dengan kontribusi 0.9%. Pola konsumsi pangan penduduk di Provinsi Papua pada tahun 2010 juga belum memenuhi kaidah gizi baik dari segi kuantitas, kualitas keragaman
42
maupun keseimbangan karena masih terjadi ketimpangan terutama pada kelebihan kelompok pangan umbi-umbian, minyak dan lemak, serta sayur dan buah sedangkan kelompok pangan yang masih perlu ditingkatkan konsumsinya adalah kelompok pangan padi-padian, pangan hewani, buah/biji berminyak,dan gula. Kondisi ini mencerminkan pola konsumsi pangan di Provinsi Papua masih didominasi oleh kelompok pangan umbi-umbian. Analisis proyeksi konsumsi pangan dari tahun 2011 sampai 2015 diharapkan meningkat setiap tahun (Tabel 18). Tabel 18 menunjukkan bahwa pada tahun 2010 rata- rata konsumsi energi setiap kelompok pangan di Provinsi Papua masih dibawah standar nasional yaitu 2000 kkal/kapita/hari yaitu 1993 kkal/kapita/hari. Namun diharapkan setiap tahunnya terjadi peningkatan hingga mencapai standar nasional sebesar 2000 kkal/kapita/hari pada tahun 2020 dan mencapai standar pelayanan minimum pada tahun 2015 di Provinsi Papua sebesar 1996 kkal/kapita/hari. Tabel 18 Proyeksi konsumsi pangan menurut kelompok pangan (kkal/kapita/hari) No
Kelompok Pangan
Tahun dasar 2010
1 2 3 4 5 6 7 8 9
Padi-padian Umbi-umbian Pangan Hewani Minyak dan Lemak Buah/Biji Berminyak Kacang-kacangan Gula Sayur dan Buah Lain-lain Total
682 598 182 221 21 78 82 112 18 1993
Proyeksi konsumsi (kkal/kap/hr) 2011 714 550 188 219 25 81 84 112 22 1993
2012 745 502 193 217 29 83 85 113 26 1993
2013 777 455 199 215 33 85 87 114 30 1994
2014 809 407 205 213 37 87 89 115 35 1995
2015 841 359 211 211 40 89 91 116 39 1996
Pertumbuhan % 4.29 -9.69 3.01 -0.98 14.12 2.61 2.13 0.76 17.28 0.34
Pertumbuhan proyeksi konsumsi pangan umbi-umbian dan minyak/lemak harus diturunkan masing-masing 9.69 persen dan 0.98 persen setiap tahun. Hal ini
disebabkan
konsumsi
pangan
kelompok
pangan
umbi-umbian
dan
minyak/lemak pada tahun 2010 (tahun dasar) sudah melebihi konsumsi ideal. Proyeksi konsumsi pangan yang harus ditingkatkan konsumsinya dari tahun 2011 sampai 2015 adalah kelompok pangan padi-padian (4.29%), pangan hewani (3.01%), buah/ biji berminyak (14.12%), kacang-kacangan (2.61%), gula (2.13%), sayur dan buah (0.76%), dan pangan lainnya (17.28%). Tabel 19 berikut ini menggambarkan hasil analisis proyeksi konsumsi untuk setiap kelompok pangan dari tahun 2011 sampai 2015. Diharapkan pada tahun 2015, penduduk di Provinsi Papua mengonsumsi pangan kelompok padipadian sekitar 231.2 gram/kapita/hari. Kelompok umbi-umbian sebesar 269.2 gram/kapita/hari; 123.0 gram/kapita/hari dari kelompok pangan hewani; 26.3
43
gram/kapita/hari dari kelompok minyak dan lemak; 6.7 gram/kapita/hari dari buah/biji berminyak; 31.2 gram/kapita/hari dari kelompok kacang-kacangan; 27.3 gram/kapita/hari dari kelompok gula; 221.9 gram/kapita/hari dari kelompok sayur dan buah serta 9.7 gram/kapita/hari berasal dari kelompok pangan lain-lain. Tabel
No 1 2 3 4 5 6 7 8 9
19
Proyeksi konsumsi (gram/kapita/hari)
Kelompok Pangan Padi-padian Umbi-umbian Pangan Hewani Minyak dan Lemak Buah/Biji Berminyak Kacang-kacangan Gula Sayur dan Buah Lain-lain
Tahun dasar
pangan
menurut
kelompok
Proyeksi konsumsi (gram/kap/hr)
2010
2011
2012
2013
2014
2015
187.4 448.4 106.0 27.7 3.5 27.4 24.5 213.7 4.4
196.2 412.5 109.4 27.4 4.1 28.2 25.1 215.4 5.4
205.0 376.7 112.8 27.1 4.8 29.0 25.6 217.0 6.5
213.7 340.9 116.2 26.9 5.4 29.7 26.2 218.6 7.6
222.5 305.0 119.6 26.6 6.1 30.5 26.7 220.2 8.6
231.2 269.2 123.0 26.3 6.7 31.2 27.3 221.9 9.7
pangan
Pertumbuhan % 4.29 -9.69 3.02 -1.03 13.90 2.63 2.19 0.76 17.19
Pertumbuhan konsumsi kelompok pangan umbi-umbian dan minyak/ lemak harus diturunkan karena sudah melebihi konsumsi ideal dari kelompok pangan tersebut. Sedangkan kelompok pangan yang harus ditingkatkan konsumsinya adalah kelompok pangan padi-padian, pangan hewani, buah/biji berminyak, kacang-kacangan, gula, sayur dan buah, serta pangan lainnya masing-masing adalah 4.29 persen, 3.02 persen, 13.90 persen, 2.63 persen, 2.19 persen, 0.76 persen, dan 17.19 persen. Secara rinci proyeksi konsumsi pangan menurut jenis pangan dapat dilihat pada Lampiran 3. Proyeksi Kebutuhan Konsumsi Pangan Wilayah Berdasarkan Pola Pangan Harapan (PPH) Perencanaan pembangunan suatu wilayah seharusnya dilakukan untuk memenuhi kebutuhan dasar bagi penduduknya. Tingkat kebutuhan gizi bagi konsumsi penduduk dapat digunakan sebagai salah satu standar untuk mengukur kebutuhan dasar penduduk, khususnya dalam hal pangan. Segala sumber daya yang berhubungan dengan produksi dan penyediaan pangan harus dialokasikan sesuai kebutuhan untuk memenuhi kebutuhan minimal tersebut (Absari 2007). Perencanaan kebutuhan pangan dengan PPH, selain untuk menyediakan pangan yang beranekaragam sesuai dengan kecukupan gizi setempat, juga memberi keleluasaan menentukan pilihan jenis pangan yang diinginkan karena PPH disajikan dalam kelompok pangan. Pemilihan jenis pangan yang diinginkan diantara kelompoknya disesuaikan dengan kondisi sosial budaya (aspek pola
44
konsumsi atau preferensi jenis pangan penduduk) dan potensi wilayah setempat (Hardinsyah et al 2001). Kebutuhan konsumsi pangan suatu wilayah selain dipengaruhi oleh pertumbuhan ekonomi dan pertumbuhan penduduk. Pertumbuhan penduduk yang cepat merupakan isu sentral yang dihadapi dunia, terlebih di negara berkembang termasuk Indonesia. Konsekuensi dari hal tersebut adalah peningkatan ketersediaan pangan untuk mengimbangi pertambahan penduduk. Menurut Madanijah (2004) pola konsumsi pangan adalah susunan jenis dan jumlah pangan yang dikonsumsi seseorang atau kelompok orang pada waktu tertentu. Proyeksi konsumsi pangan aktual penduduk di Provinsi Papua dari tahun 2011 sampai tahun 2015 dengan harapan pola konsumsi penduduk semakin baik, beragam dan sesuai kebutuhan gizi yang harus dikonsumsi masyarakat di Provinsi Papua (Tabel 20). Tabel 20 Proyeksi kebutuhan konsumsi pangan menurut kelompok pangan (kg/kapita/tahun) No
Kelompok pangan
1 2 3 4 5 6 7 8 9
Padi-padian Umbi-umbian Pangan hewani Minyak/lemak Buah/biji berminyak Kacang-kacangan Gula Sayur dan buah Lain-lain
Tahun dasar 2010 75.3 180.0 42.7 11.1 1.4 11.0 9.8 85.8 1.7
Kg/kapita/tahun 2011 78.8 165.6 44.1 11.0 1.6 11.3 10.1 86.5 2.2
2012 82.3 151.2 45.4 10.9 1.9 11.6 10.3 87.1 2.6
2013 85.8 136.9 46.8 10.8 2.2 11.9 10.5 87.8 3.0
2014 89.3 122.5 48.1 10.7 2.4 12.2 10.7 88.4 3.5
Pertumbuhan 2015 92.8 108.1 49.5 10.6 2.7 12.5 10.9 89.1 3.9
% 4.27 -9.69 3.00 -0.92 14.08 2.59 2.15 0.76 18.21
Tabel 20 menunjukkan bahwa pertumbuhan kelompok pangan umbiumbian dan minyak/lemak dari tahun 2011 sampai tahun 2015 harus diturunkan sedangkan pertumbuhan untuk kelompok pangan yang lain ditingkatkan pemenuhan kebutuhan pangan secara bertahap dari tahun 2011 sampai tahun 2015 yaitu kelompok pangan padi-padian, pangan hewani, buah/biji berlemak, kacang-kacangan, gula, sayur dan buah. Untuk memperoleh beragam kelompok pangan maka jumlah kelompok pangan yang berlebihan diturunkan hingga mencapai standar pelayanan minimum (SPM) di tahun 2015 sehingga tercapai keseimbangan antara masing-masing kelompok pangan. Pertumbuhan kebutuhan konsumsi pangan yang harus dinaikkan setiap tahunnya adalah kelompok padi-padian 4.27%, kelompok pangan hewani 3.00%, kelompok buah/biji berlemak 14.08%, kelompok kacang-kacangan 2.59% dan pangan gula 2.15%, sayur dan buah 0.76% per tahun. Sedangkan kelompok pangan yang harus diturunkan setiap tahun adalah kelompok umbi-umbian
45
9.69% dan kelompok minyak/lemak 0.92%. Proyeksi konsumsi pangan menurut jenis pangan dapat dilihat pada Lampiran 4. Pola konsumsi pangan penduduk suatu wilayah dapat menunjukkan jenis pangan yang disukai dan dapat diterima oleh penduduk wilayah tersebut sehingga diperlukan proyeksi kebutuhan akan pangan yang dikonsumsi oleh penduduk yang dipengaruhi oleh jumlah penduduk di wilayah tersebut. Berdasarkan proyeksi jumlah penduduk di Provinsi Papua diketahui bahwa jumlah penduduk pada tahun 2010 adalah 2.833.381 jiwa dengan laju pertumbuhan 5,39 persen per tahun. Kemudian diharapkan proyeksi penduduk meningkat dari tahun 2011 sampai tahun 2015 agar kebutuhan konsumsi pangan penduduk terpenuhi. Selanjutnya dilakukan proyeksi kebutuhan konsumsi pangan penduduk Provinsi Papua tahun 2011-2015 (Ribu ton/ tahun) disajikan pada Tabel 21. Tabel 21 menunjukkan bahwa kebutuhan konsumsi pangan umbi-umbian lebih tinggi dibandingkan dengan kebutuhan konsumsi padi-padian di Provinsi Papua pada tahun 2010 (tahun dasar). Hal ini didukung dengan data produksi kelompok pangan pada tahun 2009 di Provinsi Papua yaitu kelompok pangan padi-padian adalah 105.30 ribu ton/tahun sedangkan umbi-umbian adalah 379.82 ribu ton/tahun (BPS 2010). Tabel 21 Proyeksi kebutuhan konsumsi pangan penduduk Provinsi Papua tahun 2011-2015 (Ribu ton/ tahun) No 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Kelompok pangan Padi-padian Umbi-umbian Pangan hewani Minyak/lemak Buah/biji berminyak Kacangkacangan Gula Sayur dan buah Lain-lain
Tahun dasar 2010 213.29 510.06 121.02 31.47
2011 235.23 494.59 131.57 32.85
2012 258.97 475.96 142.91 34.28
2013 284.59 453.90 155.09 35.78
2014 312.22 428.07 168.17 37.33
2015 341.99 398.14 182.20 38.95
3.85
4.85
5.95
7.15
8.46
9.90
20.83
31.21
33.80
36.58
39.56
42.75
46.18
8.15
27.88 243.16 4.93
30.04 258.22 6.47
32.35 274.19 8.17
34.83 291.13 10.03
37.48 309.10 12.07
40.31 328.17 14.29
7.65 6.18 23.80
Ribu ton/ tahun
Petumbuhan % 9.90 -4.82 8.53 4.36
Proyeksi kebutuhan konsumsi pangan penduduk di Provinsi Papua dari tahun 2011 sampai dengan tahun 2015 diharapkan sesuai dengan standar pelayanan minimum (SPM) tahun 2015. Agar mencapai standar pelayanan minimum (SPM) tahun 2015 maka dibutuhkan kelompok pangan padi-padian adalah 314.99 ribu ton/tahun, umbi-umbian adalah 398.14 ribu ton/tahun, pangan hewani adalah 182.20 ribu ton/tahun, mnyak/lemak adalah 38.95 ribu ton/tahun,
46
buah/ biji berminyak adalah 9.90 ribu ton/tahun, kacang-kacangan adalah 46.18 ribu ton/tahun, gula adalah 40.31 ribu ton/tahun, sayur dan buah adalah 328.17 ribu ton/tahun, dan pangan lainnya adalah 14.29 ribu ton/tahun. Proyeksi kebutuhan konsumsi pangan penduduk Provinsi Papua berdasarkan laju pertumbuhan kelompok pangan umbi-umbian harus diturunkan kebutuhan konsumsi pangannya setiap tahun sekitar 4.82% sedangkan kelompok pangan seperti padi-padian, pangan hewani,
minyak dan lemak,
buah/biji berlemak, kacang-kacangan, gula serta sayur dan buah harus ditingkatkan dalam pemenuhan kebutuhan pangan agar sesuai dengan standar pelayanan minimum (SPM) pada tahun 2015. Menurut Budi (2003) komoditas pangan umbi-umbian terutama ubi jalar dapat dijumpai di berbagai wilayah, baik pada dataran rendah maupun dataran tinggi, terutama pada wilayah pegunungan tengah. Analisis proyeksi kebutuhan konsumsi pangan penduduk di Provinsi Papua tahun 2011-2015 menunjukkan bahwa kelompok pangan yang harus ditingkatkan yaitu kelompok pangan padi-padian, pangan hewani, minyak dan lemak, buah/biji berlemak, kacang-kacangan, gula serta sayur dan buah dengan pemenuhan kebutuhan konsumsinya adalah 9.9%, 8.5%, 4.4%, 0.8%, 8.1%, 7.6%, dan 6.2% per tahun. Kualitas pangan dan keragaman pangan yang dikonsumsi penduduk dapat memenuhi kebutuhan konsumsi penduduk Provinsi Papua tahun 2011 sampai tahun 2015. Secara rinci proyeksi kebutuhan konsumsi pangan menurut jenis pangan dapat dilihat pada Lampiran 4.
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Hasil analisis situasi konsumsi pangan penduduk di Provinsi Papua menunjukkan bahwa konsumsi energi penduduk di Provinsi Papua pada tahun 2010 adalah 1993 kkal (99.6 %AKE) dan konsumsi protein adalah 48.1 gram/kapita/hari (92.7 %AKP). Secara kuantitas konsumsi energi dan protein penduduk di Provinsi Papua masih dibawah standar WNPG 2004. Demikian juga skor PPH pada tahun 2010 adalah 81.0 masih kurang dari standar pelayanan minimum (SPM) tahun 2015 yaitu 90. Hasil analisis proyeksi skor Pola Pangan Harapan di Provinsi Papua harus ditingkatkan minimal 1,9 poin setiap tahunnya sehingga mencapai skor PPH 90 sesuai standar pelayanan minimum (SPM) pada tahun 2015. Hasil analisis proyeksi konsumsi pangan di Provinsi Papua yang masih perlu ditingkatkan konsumsi pangannya adalah kelompok pangan padi-padian (4.3%), kelompok pangan hewani (3.0%), kelompok buah/biji berlemak (13.9%), kelompok kacang-kacangan (2.6%), kelompok pangan gula (2.2%), dan kelompok pangan sayur dan buah (0.7%). Hasil analisis proyeksi kebutuhan konsumsi pangan penduduk di Provinsi Papua tahun 2011-2015 menunjukkan bahwa pemenuhan kebutuhan kelompok pangan yang masih harus ditingkatkan yaitu kelompok pangan padi-padian, pangan hewani, minyak dan lemak, buah/biji berlemak, kacang-kacangan, gula serta sayur dan buah masing-masing dinaikkan 9.9%, 8.5%, 4.4%, 0.8%, 8.1%, 7.65%, dan 6.2% per tahun. Saran Hasil analisis situasi konsumsi pangan di Provinsi Papua masih kurang dari standar pelayanan minimum (SPM) tahun 2015 sehingga perlu
adanya
upaya meningkatkan kualitas dan kuantitas konsumsi pangan penduduk agar mencapai pola konsumsi pangan yang ideal, dan dianalisis lebih lanjut menggunakan
data
ketersediaan
pangan
sehingga
dapat
mendukung
perencanaan ketersediaan pangan dalam pengumpulan dan pengolahan data untuk penyusunan NBM di Provinsi Papua. Perlu adanya penyuluhan dalam rangka gerakan sadar pangan dan gizi sehingga konsumsi pangan masyarakat mengarah pada beragam, bergizi, dan berimbang sehingga skor PPH (90) sesuai standar pelayanan minimum (SPM) tahun 2015 tercapai.
48
Penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan informasi yang penting mengenai situasi dan kebutuhan konsumsi pangan di Provinsi Papua sehingga informasi yang dihasilkan juga diharapkan dapat digunakan oleh pemerintah Provinsi Papua dalam menyusun kebijakan dan implementasi program di bidang pangan dan gizi.
DAFTAR PUSTAKA [Bappenas] Badan Perencanaan Pembangunan Nasional. 2007. Rencana Aksi Nasional Pangan dan Gizi 2006-2010. Jakarta: Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, Kementrian Negara Perencanaan Pembangunan Nasional. [BBKP] Badan Bimas Ketahanan Pangan. 2003. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 68 tahun 2002 tentang ketahanan pangan. Departemen Pertanian. Jakarta. [BPS] Badan Pusat Statistik Povinsi Papua. 2008. Papua dalam angka. Papua: Badan Pusat Statistik Provinsi Papua. [BPS] Badan Pusat Statistik Povinsi Papua. 2010. Papua dalam angka. Papua: Badan Pusat Statistik Provinsi Papua. [DKP] Dewan Ketahanan Pangan. 2006. Kebijakan Umum Ketahanan Pangan 2006-2009. Jakarta: Dewan Ketahanan Pangan. [DKP] Dewan Ketahanan Pangan. 2012. Direktori Pengembangan Konsumsi Pangan. Jakarta: Dewan Ketahanan Pangan. [WKNPG] Widya Karya Nasional Pangan dan Gizi. 2004. Ketahanan Pangan dan Gizi, Di Era Otonomi Daerah dan Globalisasi. Jakarta: LIPI Absari, UD. 2007. Perencanaan Produksi Pangan berdasarkan Daya Dukung Pangan Wilayah untuk Memenuhi Kebutuhan Konsumsi Pangan Penduduk di Kabupaten Nganjuk, Propinsi Jawa Timur [Tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Anwar, DH. 1996. Proyeksi permintaan pangan di Nusa Tenggara Timur tahun 2005 [Tesis]. Bogor; Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Apomfires Frans. 2002. Makanan pada Komunitas Adat JAE. www.papuaweb.org [3 Juli 2012] Baliwati YF dan Roosita K. 2004. Sistem Pangan dan Gizi. Di dalam: Baliwati YF, Khomsan A, Dwiriani M, editor. Pengantar Pangan dan Gizi. Jakarta: Penebar Swadaya. Budi, I.M. 2003. Pemanfaatan gandum Papua (pokem) sebagai sumber pangan alternatif untuk menunjang ketahanan pangan masya- rakat Papua. hlm. 121−127. Dalam Y.P. Karafir, H. Manutubun, Soenarto, Y. Abdullah, B. Nugroho, dan M.J. Tokede (Ed.). Prosiding Lokakarya Nasional Pendayagunaan Pangan Spesifik Lokal Papua. Kerja Sama Universitas Papua dengan Pemerintah Provinsi Papua. Depkes RI. 1996. Panduaan 13 Pesan Dasar Gizi Seimbang. Jakarta: Direktorat Bina Gizi Kesehatan Keluarga
50
Dwidjowijoto RN. 2006. Kebijakan Publik untuk Negara-negara Berkembang: Model Perumusan, Implementasi, dan Evaluasi. Jakarta: PT. Gramedia. FAO-RAPA. 1989. Report of Regional Expert Consultation of the Asian Network for Food and Nutrition on Nutrition Urbanization. Bangkok. Food and Agriculture Organizations, Regional Office for Asia and the Pasific (FAO-RAPA), 2-5 may 1989. Hardinsyah, Baliwati Y.F, Martianto D, Rahman H.S, Widodo A, dan Subiyakto. 2001. Pengembangan Konsumsi Pangan dengan Pendekatan Pola Pangan Harapan. Bogor. Pusat Studi Kebijakan dan Gizi (PSKPG-IPB), Lembaga Penelitian IPB dan Pusat Pengembangan Konsumsi Pangan Badan Bimas Ketahanan Pangan (BBKP) Departemen Pertanian. , D. Martianto. 1989. Menaksir kecukupan Energi dan Protein Serta Penilaian Menu Gizi Konsumsi Pangan. Jakarta: Wisari. , S. Madanijah dan Y.F. Baliwati. 2002. Analisis Neraca Bahan Makanan dan Pila Pangan Harapan untuk Perencanaan Ketersediaan Pangan. PSKPG-IPB dan Pusat Pengembangan Ketersediaan Pangan, Departemen Pertanian RI. Jakarta. .1988. Kuantitas dan kualitas konsumsi pangan penduduk menurut strata ekonomi dan wilayah di Indonesia [Tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. . 1996. Measurement and Determinats of Food Diversity: Implications for Indonesia’s Food and Nutritional Policy [Disertasi]. Medical School, University of Queensland. Brisbane. Hariyadi P. 2009. Menuju kemandirian pangan: Ketahanan pangan berbasis sumberdaya lokal. Dalam: Ketahanan Pangan sebagai Fondasi Ketahanan Nasional. Southeast Asian Food an Agricultural Science and Technology (SEAFAST) Center, IPB, Bogor. Heryatno Y, Baliwati YF, Martianto D, Herawati T. 2005. Panduaan penggunaan aplikasi komputer analisis situasi dan kebutuhan konsumsi pangan wilayah. Bogor: Pusat Konstruksi Pangan, Badan Bimas Ketahanan Pangan, Departemen Pertanian, dan Departemen Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Kelurga, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Husain. 2004. Konsep dasar potensi pengembangan pangan spesifik lokal di Provinsi Papua. hlm. 33−42. Dalam. Y.P. Karafir, H. Manutubun, Soenarto, Y. Abdullah, B. Nugroho, dan M.J. Tokede (Ed.). Prosiding Lokakarya Nasional Pendayagunaan Pangan Spesifik Lokal Papua. Kerja Sama Universitas Papua dengan Pemerintah Provinsi Papua. Kepas. 1990. Analisis Agro-ekosistem untuk Pembangunan Masyarakat Pedesaan Irian Jaya: Kasus enam desa. Kelompok Penelitian Agroekosistem. Badan Penelitian dan Pengembangan Penelitian. Khumadi M. 1994. Gizi Masyarakat. Jakarta: BPK Gunung Mulia
51
. 1989. Gizi Masyarakat (Bahan Pengajaran). PAU Pangan dan Gizi, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Madanijah S. 2004. Pola Konsumsi Pangan. Dalam Pengantar Pangan dan Gizi. Jakarta: Penebar Swadaya. Mahfi T. 2009. Analisis situasi pangan dan gizi untuk perumusan kebijakan operasional ketahanan pangan dan gizi Kabupaten Lampung Barat [tesis]. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Martianto D dan Ariani M. 2004. Analisis konsumsi pangan rumah tangga. Prosiding Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VIII. 17-19 Mei. LIPI, Jakarta. Pudjiadi, S. 2001. Ilmu Gizi Klinis pada Anak. Ed 4. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Pusat Studi Kebijakan Pangan dan Gizi dan Kantor Menteri Urusan Pangan. 1994. Peta Keanekaragaman Pangan Nasional. Bogor. IPB Press Rimbawan. 1999. Teknik Pengukuran Mutu Pangan dalam Penelitian Pangan dan Gizi Masyarakat. Makalah disajikan dalam Training Peningkatan Kemampuan Penelitian Bidang Kesehatan dan Gizi Masyarakat. Direktorat Jenderal Pedidikan Tinggi, Departemen Pendidikan Nasional. Saliem et. al. 2005. Manajemen Ketahanan Pangan Era Otonomi Daerah dan Perum Bulog. Jakarta: Pusat analisis sosial ekonomi dan kebijakan pertanian. Sanjur. 1982. Social And Cultural Perspection In Nutrition. New York. Prentice Hall, Inc. Englewood. Suhardjo. 1989. Sosio Budaya Gizi, Hidayat Syarief, penelaah. Bogor: Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi, Institut Pertanian Bogor. Suryana, A. 2001. Tantangan dan kebijakan ketahanan pangan. Dalam Pemberdayaan masyarakat untuk mencapai ketahanan pangan dan pemulihan ekonomi (Ed) Hardinsyah, A Rahardjo, D. Martianto, M.N. Andrestian. Jakarta: Pusat studi kebijakan pangan dan gizi, Agrindo Aneka Consult. Wahiah. 2005. Hubungan Faktor-Faktor Social Budaya Dengan Konsumsi Makanan Pokok Rumah Tangga Pada Masyarakat Di Kecamatan Wamena Kabupaten Jayawiya, Semarang Widjono, A., Y. Mokay, Amisnaipa, H. Lakuy, A. Rouw, A. Resubun, dan P. Wihyawari. 2000. Jenis-jenis Sagu Beberapa Daerah Papua. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian, Bogor.
LAMPIRAN
53
Lampiran 1 Peta Provinsi Papua
Lampiran 2 Trend skor pola pangan harapan Provinsi Papua tahun 2008, 2009, dan 2010 Standar No
1 2 3 4 5 6 7 8 9
1 2 3 4 5 6 7 8 9
1 2 3 4 5 6 7 8 9
Kelompok Pangan Perkotaan+pedesaan Padi-padian Umbi-umbian Pangan hewani Minyak/lemak Buah/biji berminyak Kacang-kacangan Gula Sayur dan bua Lain-lain Total Perkotaan Padi-padian Umbi-umbian Pangan hewani Minyak/lemak Buah/biji berminyak Kacang-kacangan Gula Sayur dan bua Lain-lain Total Pedesaan Padi-padian Umbi-umbian Pangan hewani Minyak/lemak Buah/biji berminyak Kacang-kacangan Gula Sayur dan bua Lain-lain Total
%AKE
Bobot
2008 Skor PPH
kkal
%TKE
2009 Skor PPH
kkal
%TKE
2010 Skor PPH
kkal
%TKE
Skor PPH
50.0 6.0 12.0 10.0 3.0 5.0 5.0 6.0 3.0 100
0.5 0.5 2.0 0.5 0.5 2.0 0.5 5.0 0.0
25.0 2.5 24.0 5.0 1.0 10.0 2.5 30.0 0.0 100
701.9 526.3 189.5 197.4 26.7 70.6 75.9 100.7 17.2 1906
35.1 26.3 9.5 9.9 1.3 3.5 3.8 5.0 0.9 95.3
17.5 2.5 19.0 4.9 0.7 7.1 1.9 25.2 0.0 78.7
700.9 532.0 181.7 214.5 26.4 94.8 83.5 101.7 15.0 1950
35.0 26.6 9.1 10.7 1.3 4.7 4.2 5.1 0.7 97.5
17.5 2.5 18.2 5.0 0.7 9.5 2.1 25.4 0.0 80.8
681.6 597.8 182.1 221.3 20.9 78.4 81.7 111.5 17.5 1993
34.1 29.9 9.1 11.1 1.0 3.9 4.1 5.6 0.9 99.6
17.0 2.5 18.2 5.0 0.5 7.8 2.0 27.9 0.0 81.0
50.0 6.0 12.0 10.0 3.0 5.0 5.0 6.0 3.0
0.5 0.5 2.0 0.5 0.5 2.0 0.5 5.0 0.0
25.0 2.5 24.0 5.0 1.0 10.0 2.5 30.0 0.0
1059.8 91.9 222.1 241.5 29.1 51.7 106.5 81.3 26.3 1910
53.0 4.6 11.1 12.1 1.5 2.6 5.3 4.1 1.3 95.5
25.0 2.3 22.2 5.0 0.7 5.2 2.5 20.3 0.0 83.2
1000.5 80.0 205.0 237.5 28.5 60.3 97.2 76.5 21.9 1807
50.0 4.0 10.3 11.9 1.4 3.0 4.9 3.8 1.1 90.4
25.0 2.0 20.5 5.0 0.7 6.0 2.4 19.1 0.0 80.8
1006.2 89.0 245.2 234.4 23.3 61.3 104.7 90.9 24.4 1879
50.3 4.5 12.3 11.7 1.2 3.1 5.2 4.5 1.2 94.0
25.0 2.2 24.0 5.0 0.6 6.1 2.5 22.7 0.0 88.2
50.0 6.0 12.0 10.0 3.0 5.0 5.0 6.0 3.0
0.5 0.5 2.0 0.5 0.5 2.0 0.5 5.0 0.0
25.0 2.5 24.0 5.0 1.0 10.0 2.5 30.0 0.0
596.1 654.6 179.9 184.4 25.9 76.1 66.9 106.4 14.5 1905
29.8 32.7 9.0 9.2 1.3 3.8 3.3 5.3 0.7 95.2
14.9 2.5 18.0 4.6 0.6 7.6 1.7 26.6 0.0 76.5
612.4 665.5 174.8 207.6 25.7 105.0 79.4 109.2 12.9 1993
30.6 33.3 8.7 10.4 1.3 5.3 4.0 5.5 0.6 99.6
15.3 2.5 17.5 5.0 0.6 10.0 2.0 27.3 0.0 80.2
585.8 748.1 163.4 217.5 20.2 83.4 74.9 117.6 15.4 2026
29.3 37.4 8.2 10.9 1.0 4.2 3.7 5.9 0.8 101.3
14.6 2.5 16.3 5.0 0.5 8.3 1.9 29.4 0.0 78.6
55
Lampiran 3 Proyeksi konsumsi pangan menurut kelompok pangan dan jenis pangan tahun 2011-2015 (gram/kapita/hari) Kelompok/Jenis Pangan Padi-Padian Beras Jagung Terigu Umbi-umbian Ubi Kayu Ubi Jalar Sagu Kentang Umbi Lainnya Pangan Hewani Ikan Daging Ruminansia Daging Unggas Telur Susu Minyak dan Lemak Minyak Kelapa Minyak Sawit Minyak Lain Buah/Biji Berminyak Kelapa Kemiri Kacang Mede Emping Kacang-kacangan Kacang Tanah Kacang Kedelai Kacang Hijau Kacang lain
Tahun Konsumsi Gr/Hari Kg/Thn
2010 Kontribusi (%)
Tahun 2011
Proyeksi Konsumsi Pangan (Gram/Kapita/Hari) Tahun Tahun Tahun 2012 2013 2014
Tahun 2015
160.1 1.9 14.9
58.4 0.7 5.4
90.5 1.1 8.4
169.0 2.0 15.7
177.8 2.1 16.5
186.7 2.2 17.4
195.6 2.3 18.2
204.5 2.4 19.0
62.9 301.2 32.4 0.7 26.1
23.0 109.9 11.8 0.3 9.5
14.9 71.1 7.7 0.2 6.2
58.0 277.5 29.9 0.7 24.1
53.0 253.8 27.3 0.6 22.0
48.0 230.1 24.8 0.6 20.0
43.1 206.3 22.2 0.5 17.9
38.1 182.6 19.7 0.5 15.8
62.8 9.5 7.7 17.9 6.1
22.9 3.5 2.8 6.5 2.2
60.5 9.1 7.4 17.2 5.9
65.0 9.8 8.0 18.5 6.3
67.1 10.1 8.2 19.1 6.5
69.3 10.5 8.5 19.8 6.7
71.5 10.8 8.8 20.4 6.9
73.7 11.1 9.0 21.0 7.2
5.7 18.5 0.6
2.1 6.8 0.2
23.0 74.7 2.4
5.7 18.5 0.6
5.7 18.5 0.6
5.7 18.5 0.6
5.7 18.6 0.6
5.7 18.6 0.6
3.2 0.5 0.0 0.0
1.2 0.2 0.0 0.0
84.2 12.8 0.4 0.6
3.7 0.6 0.0 0.0
4.2 0.6 0.0 0.0
4.8 0.7 0.0 0.0
5.3 0.8 0.0 0.0
5.8 0.9 0.0 0.0
5.0 9.2 1.4 0.3
1.8 3.4 0.5 0.1
31.5 58.1 8.8 1.6
5.6 10.3 1.6 0.0
6.2 11.4 1.7 0.0
6.8 12.5 1.9 0.0
7.4 13.7 2.1 0.0
8.0 14.8 2.2 0.0
56
Lanjutan Lampiran 3 Proyeksi konsumsi pangan menurut kelompok pangan dan jenis pangan tahun 2011-2015 (gram/kapita/hari) Kelompok/Jenis Pangan Gula Gula Pasir Gula Merah Sirup Sayur dan Buah Sayur Buah Lain-lain Minuman Bumbu Lainnya
Tahun Konsumsi Gr/Hari Kg/Thn
2010 Kontribusi (%)
Tahun 2011
Proyeksi Konsumsi Pangan (Gram/Kapita/Hari) Tahun Tahun Tahun 2012 2013 2014
Tahun 2015
21.8 0.3 0.8
8.0 0.1 0.3
95.3 1.1 3.6
22.5 0.3 0.0
23.2 0.3 0.0
23.9 0.3 0.0
24.5 0.3 0.0
25.2 0.3 0.0
224.9 78.9
82.1 28.8
74.0 26.0
219.4 77.0
213.9 75.1
208.5 73.2
203.0 71.3
197.6 69.4
16.4 12.7 0.0
6.0 4.6 0.0
56.3 43.6 0.0
15.6 12.1 0.0
14.8 11.5 0.0
14.0 10.9 0.0
13.2 10.2 0.0
12.4 9.6 0.0
57
Lampiran 4 Proyeksi kebutuhan konsumsi pangan menurut kelompok dan jenis pangan Kelompok/Jenis Pangan Padi-Padian Beras Jagung Terigu Umbi-umbian Ubi Kayu Ubi Jalar Sagu Kentang Umbi Lainnya Pangan Hewani Ikan Daging Ruminansia Daging Unggas Telur Susu Minyak dan Lemak Minyak Kelapa Minyak Sawit Minyak Lain Buah/Biji Berminyak Kelapa Kemiri Kacang Mede Emping Kacang-kacangan Kacang Tanah Kacang Kedelai Kacang Hijau Kacang lain
Proyeksi Konsumsi Pangan (kg/kapita/hari) 2011 2012 2013 2014 2015
2011
Proyeksi Konsumsi Pangan (ribu Ton/tahun) 2012 2013 2014 2015
67.8 0.8 6.3
71.4 0.9 6.6
75.0 0.9 7.0
78.5 0.9 7.3
82.1 1.0 7.6
2025.63 24.26 188.30
224.71 2.69 20.89
248.66 2.98 23.12
274.54 3.29 25.52
302.48 3.62 28.12
23.3 111.4 12.0 0.3 9.7
21.3 101.9 11.0 0.3 8.8
19.3 92.4 9.9 0.2 8.0
17.3 82.8 8.9 0.2 7.2
15.3 73.3 7.9 0.2 6.4
694.85 3327.08 358.30 8.25 288.73
66.97 320.67 34.53 0.80 27.83
63.98 306.37 32.99 0.76 26.59
60.48 289.59 31.19 0.72 25.13
56.41 270.11 29.09 0.67 23.44
26.1 3.9 3.2 7.4 2.5
27.0 4.1 3.3 7.7 2.6
27.8 4.2 3.4 7.9 2.7
28.7 4.3 3.5 8.2 2.8
29.6 4.5 3.6 8.4 2.9
778.84 117.41 95.44 222.01 75.58
84.84 12.79 10.40 24.18 8.23
92.33 13.92 11.31 26.32 8.96
100.37 15.13 12.30 28.61 9.74
109.01 16.43 13.36 31.07 10.58
2.3 7.4 0.2
2.3 7.4 0.2
2.3 7.4 0.2
2.3 7.5 0.2
2.3 7.5 0.2
68.21 221.98 7.02
7.20 23.42 0.74
7.59 24.70 0.78
8.01 26.06 0.82
8.45 27.49 0.87
1.5 0.2 0.0 0.0
1.7 0.3 0.0 0.0
1.9 0.3 0.0 0.0
2.1 0.3 0.0 0.0
2.3 0.4 0.0 0.0
44.46 6.74 0.24 0.33
5.35 0.81 0.03 0.04
6.33 0.96 0.03 0.05
7.41 1.12 0.04 0.06
8.58 1.30 0.05 0.06
2.2 4.1 0.6 0.0
2.5 4.6 0.7 0.0
2.7 5.0 0.8 0.0
3.0 5.5 0.8 0.0
3.2 5.9 0.9 0.0
67.00 123.73 18.71 0.00
7.82 14.45 2.19 0.00
9.05 16.71 2.53 0.00
10.38 19.17 2.90 0.00
11.84 21.86 3.31 0.00
Lanjutan Lampiran 4 Proyeksi kebutuhan konsumsi pangan menurut kelompok dan jenis pangan Kelompok/Jenis Pangan Gula Gula Pasir Gula Merah Sirup Sayur dan Buah Sayur Buah Lain-lain Minuman Bumbu Lainnya
Proyeksi Konsumsi Pangan (kg/kapita/hari) 2011 2012 2013 2014 2015
2011
Proyeksi Konsumsi Pangan (ribu Ton/tahun) 2012 2013 2014 2015
9.0 0.1 0.0
9.3 0.1 0.0
9.6 0.1 0.0
9.9 0.1 0.0
10.1 0.1 0.0
269.84 3.14 0.00
29.29 0.34 0.00
31.77 0.37 0.00
34.43 0.40 0.00
37.29 0.43 0.00
88.1 30.9
85.9 30.2
83.7 29.4
81.5 28.6
79.3 27.8
2630.53 923.54
270.33 94.91
277.62 97.47
284.92 100.03
292.19 102.59
6.3 4.9 0.0
6.0 4.6 0.0
5.6 4.4 0.0
5.3 4.1 0.0
5.0 3.9 0.0
187.41 145.01 0.00
18.74 14.50 0.00
18.69 14.46 0.00
18.58 14.37 0.00
18.39 14.23 0.00