ANALISIS SITUASI DAN KEBUTUHAN KONSUMSI PANGAN DI PROVINSI RIAU
MAHYUNI
DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2012
i
ABSTRACT MAHYUNI. Analysis of Food Consumption Situation and Needs In Riau Province. Supervised byYAYAT HERYATNO and SITI MADANIJAH.
This study was aimed to analyze the situation and needs food consumption in Riau Province. This study was a prospective study and used secondary data based on national socio economic survey (Susenas) 2008, 2009, and 2010. The study showed that in quantity, energy intake in Riau province was below the Recommended Daily Allowance (RDA) that recomended by Widya Karya Nasional Pangan dan Gizi VIII (WNPG) (1904 kcal/cap/day or 95,3%). Protein intake already exceeded the RDA (55 g/capita/day or 105,8%). In quality, food consumption was still low, that was represented by Desirable Dietary Pattern score (DDP) was 78,2. That score was below the Minimum Service Standard (SPM) score in field of food security (90). Consumption of food groups that should be improved is tuber 2,6 kg/cap/year, animal food 0,6 kg/cap/year, legumes
0,9kg/cap/year,
vegetables
and
fruits
3,5
kg/cap/year,
and
miscellaneous foods 0,3 kg/cap/year.In order to reach DPP score 90 of food consumption according to SPM, in 2015 is needed 757,1 thousand tons of grain, 164,6 thousand tons of tubers, 353,1 thousand tons of animal food, 76,7 thousand tons of fats and oils , 27,8 thousand tons of fruit/oily seeds, nuts 66,1 thousand tons, 81,3 thousand tons of sugar, 509,8 thousand tons of vegetables and fruits, and 29,8 thousand tons of miscellaneous foods.
Keywords: foods consumption, food needs,energy, protein, intake, desirable dietary pattern.
ii
RINGKASAN MAHYUNI. Analisis Situasi dan Kebutuhan Konsumsi Pangan di Provinsi Riau. Dibimbing oleh YAYAT HERYATNO dan SITI MADANIJAH. Ketahanan pangan diartikan sebagai adanya jaminan bahwa setiap penduduk di suatu negara, selalu tercukupi kebutuhan pangan dan gizinya sebagai syarat utama untuk mencapai derajat kesehatan dan kesejahteraan.Ketahanan pangan di suatu wilayah dapat diukur dari ketersediaan pangan, daya beli, dan tingkat konsumsi penduduk. Tingkat konsumsi pangan dapat memberikan gambaran kondisi kesehatan penduduk di suatu wilayah yang ditinjau dari aspek keadaan gizinya. Indikator yang digunakan untuk analisis konsumsi yaitu dari pengukuran kecukupan konsumsi energi dan protein. Riau merupakan salah satu provinsi yang kuantitas konsumsi pangan masyarakatnya masih rendah. Kondisi ini dicerminkan oleh rendahnya konsumsi energi penduduk di Provinsi Riau pada tahun 2010 yaitu 1904 kkal/kapita/hari(BPS 2010). Konsumsi energi tersebut berada di bawah konsumsi energi yang dianjurkan oleh WNPG VIII ahun 2004, yaitu 2000 kkal/kapita/hari. Rendahnya nilai tersebut disebabkan olehkurangnya konsumsi pangan yang dapat berkaitan dengan ketidakseimbangan pola konsumsi pangan penduduk.Oleh karena itu, diperlukan suatu upaya perbaikan konsumsi pangan dan gizi, antara lain melalui perencanaan pangan yang baik, dengan salah satunya menganalisis situasi konsumsi pangan penduduk di Provinsi Riau berdasarkan pendekatan PPH. Secara umum, tujuan penelitian ini adalah menganalisis situasi dan kebutuhan konsumsi pangan di Provinsi Riau berbasis pola pangan harapan (PPH). Tujuan khususnya adalah 1) menganalisis situasi konsumsi pangan penduduk di Provinsi Riau berdasarkan pendekatan PPH pada tahun 20082010,2) menganalisis proyeksi konsumsi pangan penduduk di Provinsi Riau pada tahun 2011-2015 berdasarkan pendekatan PPH dengan tahun dasar 2010, 3) menganalisis proyeksi kebutuhan konsumsi pangan di Provinsi Riau pada tahun 2011-2015. Penelitian ini menggunakan desain prospective studyberdasarkan data hasil survei sosial ekonomi nasional (Susenas) Provinsi Riau tahun 2008 sampai 2010. Pengolahan data dilakukanpada bulan Juni-Juli 2012.Data yang digunakan dalam analisis ini meliputi data karakteristik wilayah, data konsumsi pangan, dan data jumlah penduduk. Data karakteristik wilayah, jumlah penduduk, dan data konsumsi pangan menurut jenis dan kelompok pangan penduduk di Provinsi Riau tahun 2008-2010 diperoleh dari data hasil survei sosial ekonomi nasional (Susenas) dari BPS. Pengolahan data dilakukan dengan program “Perencanaan Pangan dan Gizi Wilayah” yang dikembangkan oleh Heryatno, Martianto, dan Baliwati (2007). Analisis data dilakukan secara deskriptif. Pengolahan dan analisisdata meliputi 1)Analisis situasi konsumsi pangan dan gizi, secara kuantitatif dengan menghitung tingkat kecukupan energi (TKE) dan tingkat kecukupan protein (TKP) penduduk, dan analisis konsumsi secara kualitatif dilakukan dengan menghitung skor PPH, 2)Analisis proyeksi konsumsi pangan berdasarkan pendekatan PPH dengan menggunakan teknik interpolasi linier,3)Analisis proyeksi kebutuhan konsumsi pangan berdasarkan pendekatan PPH. Konsumsi energi aktual penduduk di Provinsi Riau pada tahun 2008 adalah 2144 atau 107,2% AKE. Konsumsi energi mengalami penurunan pada
iii
tahun 2009 yaitu 1933 kkal dengan 96,6% AKE dan pada tahun 2010 sebesar 1904 kkal atau 95,3% AKE. Secara umum tingkat kecukupan energi di Provinsi Riau pada tahun 2008 sampai 2010 adalah normal menurut klasifikasi Depkes tahun 1996. Sementara untuk konsumsi protein di Provinsi Riau pada tahun 2008 sampai tahun 2010 sudah melebihi angka kecukupan yang dianjurkan WNPG VIII (52 g/kapita/hari). Konsumsi protein tahun 2008 adalah 57,8 g/kapita/hari, tahun 2009 adalah 54,7 g/kapita/hari, dan tahun 2010 adalah 55 g/kapita/hari. Secara kualitas, skor PPH tahun 2008 sudah cukup baik yaitu 83,7. Namun, karena kondisi konsumsi pangan yang belum berimbang menyebabkan skor PPH terus menurun pada tahun 2009 dan 2010 yaitu masing-masing 79,0 dan 78,2. Berdasarkan hasil analisis data Susenas tahun 2010, skor PPH konsumsi pangan penduduk di Provinsi Riau masih rendah yaitu 78,2. Terdapat kekurangan sebesar 11,8 poin apabila dibandingkan dengan skor PPH sesuai SPM di bidang ketahanan pangan yaitu 90. Hasil analisis menunjukkan bahwa kelompok pangan yang perlu ditingkatkan konsumsinya adalah kelompok umbiumbian sebesar sebesar 2,6 kg/kapita/tahun, kelompok pangan hewani sebesar 0,6 kg/kapita/tahun, kelompok kacang-kacangan sebesar 0,9 kg/kapita/tahun, sayur dan buah sebesar 3,5 kg/kapita/tahun, dan pangan lainnya 0,3 kg/kapita/tahun. Supaya kebutuhan konsumsi pangan penduduk dapat mencapai skor PPH 90 sesuai SPM maka pada tahun 2015 dibutuhkan 757,1 ribu ton kelompok padi-padian, 164,6 ribu ton umbi-umbian, 353,1 ribu ton pangan hewani, 76,7 ribu ton minyak dan lemak, 27,8 ribu ton buah/biji berminyak, kacang-kacangan 66,1 ribu ton, gula 81,3 ribu ton, 509,8 ribu ton untuk sayur dan buah serta 29,8 ribu ton pangan lainnya. Situasi konsumsi pangan penduduk di Provinsi Riau pada tahun 20082010 menunjukkan pertumbuhan konsumsi yang negatif.Oleh karena itu kedepannya perlu upaya perbaikan konsumsi pangan secara komprehensif baik dari dimensi fisik penyediaan pangan, maupun dari dimensi ekonomi dan kesadaran gizi, serta faktor-faktor lain yang mempengaruhi konsumsi pangan. Penelitian ini menggunakan data konsumsi pangan dan baru mencapai pada tahap analisis konsumsi pangan, sehingga diharapkan pada penelitian selanjutnya dapat digunakan data ketersediaan pangan dan penambahan sumber data lainnya seperti data Neraca Bahan Makanan (NBM )sehingga dapat dilakukan proyeksi dan pengembangan ketersediaan pangan yang disesuaikan dengan wilayah Provinsi Riau.
iv
ANALISIS SITUASI DAN KEBUTUHAN KONSUMSI PANGAN DI PROVINSI RIAU
MAHYUNI
Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Gizi pada Departemen Gizi Masyarakat
DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2012
v
Judul Penelitian
: Analisis Situasi dan Kebutuhan Konsumsi Pangan di Provinsi Riau
Nama
: Mahyuni
NRP
: I14080106
Menyetujui:
Dosen Pembimbing I
Dosen Pembimbing II
Yayat Heryatno, SP, MPS Prof. Dr. Ir Siti Madanijah, MS NIP. 19690112 199601 1 003 NIP. 19491130 197603 2001
Mengetahui, Ketua Departemen Gizi Masyarakat
Dr. Ir. Budi Setiawan, MS NIP. 19621218 198703 1 001
Tanggal Disetujui :
vi
UCAPAN TERIMA KASIH Puji dan Syukur penulis panjatkan atas Kehadirat Allah swt sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penulisan skripsi yang berjudul “Analisis Situasi Konsumsi dan Kebutuhan Pangan di Provinsi Riau”. Penulis menyadari bahwa penyelesaian pedidikan, penelitian, dan penulisan skripsi ini tidak terlepas dari bimbingan dan bantuan dari semua pihak, baik secara moril maupun materil. Oleh karena itu pada kesempatan ini, penulis ingin menyampaikan terima kasih yang setulus-tulusnya dan sebesar-besarnya kepada: 1. Yayat Heryatno, SP, MPS dan Prof. Dr. Ir. Siti Madanijah, MS selaku dosen pembimbing skripsi atas ilmu yang diberikan dan waktu yang telah diluangkan untuk memberikan bimbingan dalam penelitian dan penyelesaian skripsi ini. 2. Dr. Ir. Dodik Briawan, MCN selaku moderator seminar dan dosen penguji atas kritik, saran, pertanyaan, dan masukan demi penyempurnaan penulisan skripsi ini. 3. Kedua orangtuaku tersayang, atas doa, dukungan, dan semangat yang diberikan di sepanjang jalan hidupku hingga terwujudnya cita-cita ini. Terima kasih juga kepada saudara-saudaraku tersayang Fajar, Citra, dan Resti atas doa dan motivasi yang diberikan. 4. Teman-teman pembahas seminar Euis, Azni, Tunggul, dan Maharani atas pertanyaan dan saran yang diberikan. 5. Teman seperjuangan GM45, Cahaya, Astria, Fitri atas semangatnya serta mbak Suci, mbak Qilla, mbak Anggit atas bantuannya. 6. Teman-teman Radar 36 (Titi, Rika, Jopang, Sri, Feby), Diah, Santi atas bantuan, semangat, serta keceriaan yang diberikan. 7. Terima kasih juga buat Irfan dan semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu. Penulis menyadari bahwa tulisan ini masih jauh dari sempurna dan masih perlu perbaikan. Semoga hasil penelitian ini dapat bermanfaat bagi yang membutuhkan. Bogor, Desember 2012
vii
Penulis
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Padang, Provinsi Sumatra Barat, pada tanggal 11 Juni 1990. Penulis adalah anak ketiga dari empat bersaudara yaitu dari keluarga Bapak Mahyunar Koto dan Ibu Eli Marni. Penulis memulai pendidikan dari sekolah dasar di SD YPPI Kecamatan Tualang, Kabupaten Siak Riau dari tahun 1996 sampai 2002. Penulis melanjutkan pendidikan di SMP YPPI Kecamatan Tualang, Kabupaten Siak Riau sampai tahun 2005, selanjutnya pada tahun 2005 melanjutkan pendidikan di SMAN 1 Tualang, Kabupaten Siak Riau dan lulus tahun 2008. Pada tahun 2008 penulis diterima sebagai mahasiswa Institut Pertanian Bogor di Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia. Selama menjadi mahasiswa, penulis pernah aktif dalam organisasi EcoAgrifarma sebagai staf pada divisi Research and Development (R&D). Kemudian penulis juga aktif dalam berbagai kepanitiaan seperti Seminar Herbal (EcoAgrifarma) 2010, Seminar Gizi Nasional (SENZASIONAL) 2011 dan lain-lain. Penulis juga mengikuti kegiatan kemahasiswaan lainnya di Departemen Gizi Masyarakat dan tergabung sebagai anggota di Culinary Club 2010-2011 dan Creative Learning Club (CLC) HIMAGIZI IPB 2010-2011. Penulis berkesempatan mengikuti Kuliah Kerja Profesi di Kecamatan Karang Ampel, Kabupaten Indramayu, Jawa Barat tahun 2011. Kemudian penulis juga menjalani Internship Dietetik di RSUD Cibinong tahun 2012.
viii
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL..........................................................................................
ix
DAFTAR GAMBAR.....................................................................................
x
DAFTAR LAMPIRAN...................................................................................
xi
PENDAHULUAN Latar Belakang ............................................................................................. Tujuan .......................................................................................................... Kegunaan .....................................................................................................
1 3 3
TINJAUAN PUSTAKA Ketahanan Pangan ....................................................................................... Pola Konsumsi Pangan Penduduk............................................................... Pola Pangan Harapan (PPH) ....................................................................... Kebutuhan Konsumsi Pangan Kebijakan Ketahanan Pangan......................................................................
4 7 10 11 12
KERANGKA PEMIKIRAN...........................................................................
15
METODE PENELITIAN Desain, Tempat, dan Waktu ......................................................................... Jenis dan Cara Pengambilan Data ............................................................... Pengolahan dan Analisis Data .....................................................................
17 17 18
Definisi Operasional......................................................................................
22
HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran Umum Wilayah ........................................................................... Kuantitas Konsumsi Pangan ........................................................................ Kualitas Konsumsi Pangan........................................................................... Proyeksi Konsumsi Pangan Penduduk di Provinsi Riau berdasarkan PPH.. Proyeksi Kebutuhan Konsumsi Pangan berdasarkan PPH .........................
23 25 34 38 43
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan ................................................................................................... Saran ............................................................................................................
48 48
DAFTAR PUSTAKA....................................................................................
50
LAMPIRAN..................................................................................................
54
ix
DAFTAR TABEL Halaman 1 Jenis dan sumber data...........................................................................
17
2 Skor Pola Pangan Harapan ideal...........................................................
19
3 Contoh perhitungan skor PPH konsumsi pangan penduduk di Provinsi Riau tahun 2010........................................................................................ 20 4 Tingkat kecukupan energi di Provinsi Riau.............................................
26
5 Tingkat konsumsi energi di Provinsi Riau menurut kelompok pangan berdasarkan data Susenas tahun 2008-2010.........................................
29
6 Tingkat konsumsi energi di wilayah pedesaan dan perkotaan Provinsi Riau menurut kelompok pangan berdasarkan data Susenas tahun 2008-2010...............................................................................................
30
7 Tingkat kecukupan protein di Provinsi Riau............................................
31
8 Tingkat konsumsi protein di Provinsi Riau menurut kelompok pangan berdasarkan data Susenas tahun 2008-2010.........................................
32
9 Tingkat konsumsi energi di wilayah pedesaan dan perkotaan Provinsi Riau menurut kelompok pangan berdasarkan data Susenas tahun 2008-2010...............................................................................................
34
10 Skor PPH konsumsi pangan penduduk di Provinsi Riau tahun 20082015..........................................................................................................
38
11 Kontribusi konsumsi energi menurut kelompok pangan..........................
36
12 Proyeksi skor PPH konsumsi Provinsi Riau berdasarkan kelompok pangan......................................................................................................
38
13 Proyeksi kontribusi konsumsi energi menurut kelompok pangan.............
40
14 Proyeksi konsumsi energi menurut kelompok pangan (kkal/kapita/tahun).....................................................................................
41
15 Proyeksi konsumsi pangan penduduk Provinsi Riau tahun 2011-2015 menurut kelompok pangan (g/kapita/hari)................................................
42
16 Proyeksi konsumsi pangan penduduk Provinsi Riau tahun 2011-2015 menurut kelompok pangan (g/kapita/hari)................................................
43
17 Proyeksi kebutuhan konsumsi pangan penduduk Provinsi Riau tahun 2011-2015 menurut kelompok pangan (kg/kapita/hari)............................
44
18 Proyeksi kebutuhan konsumsi pangan wilayah Provinsi Riau tahun 2011-2015 menurut kelompok pangan (ribu ton/tahun)............................
46
x
DAFTAR GAMBAR Halaman 1 Kerangka pemikiran analisis situasi dan kebutuhan konsumsi pangan di Provinsi Riau........................................................................... 16
xi
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1 Peta Provinsi Riau ..................................................................................
54
2 Keragaman dan skor PPH konsumsi pangan penduduk di Provinsi Riau .........................................................................................................
55
3 Proyeksi konsumsi pangan menurut kelompok dan jenis pangan (kg/kapita/tahun).....................................................................................
56
4 Proyeksi kebutuhan konsumsi pangan wilayah menurut kelompok dan jenis pangan (ribu ton/tahun)...................................................................
57
1
PENDAHULUAN Latar Belakang Pangan dan gizi memiliki peran yang sangat penting dalam peningkatan kualitas sumber daya manusia. Menurut Undang-undang pangan No 7 tahun 1996, pangan merupakan salah satu kebutuhan pokok yang pemenuhannya merupakan bagian dari hak asasi manusia. Pembangunan dibidang pangan dan gizi sangat erat kaitannya dengan pembangunan sumber daya manusia (SDM) yang
berkualitas
yang
pada
akhirnya
akan
menentukan
keberhasilan
pembangunan suatu bangsa. Menurut Berg (1986), gizi berperan terhadap perkembangan mental, perkembangan fisik, produktivitas, dan kesanggupan kerja manusia yang semuanya mempengaruhi pembangunan ekonomi suatu bangsa.Kecukupan pangan bagi setiap orang hanya akan dicapai apabila suatu negara atau daerah dapat mencapai suatu ketahanan pangan. Menurut Soekirman (1996), ketahanan pangan diartikan sebagai adanya jaminan bahwa setiap penduduk di suatu negara, selalu tercukupi kebutuhan pangan dan gizinya sebagai syarat utama untuk mencapai derajat kesehatan dan kesejahteraan. Berdasarkan Kebijakan Umum Ketahanan Pangan (KUKP) tahun 2010-2014, tujuan pembangunan ketahanan pangan adalah untuk membangun ketahanan dan kemandirian pangan baik di tingkat makro (nasional) maupun di tingkat mikro (rumahtangga/individu). Sejalan dengan hal tersebut, RPJMN 2010-2014 menjadikan pembangunan ketahanan pangan menjadi prioritas ke5.Selain itu, hasil KTT Pangan 2009 adalah mendorong untuk terealisasinya target MDG’s nomor 2 yaitu mengurangi penduduk yang menderita karena lapar dan malnutrisi setengahnya pada tahun 2015. Ketahanan pangan di suatu wilayah dapat diukur dari ketersediaan pangan, daya beli, dan tingkat konsumsi penduduk. Tingkat konsumsi pangan dapat memberikan gambaran kondisi kesehatan penduduk di suatu wilayah yang ditinjau dari aspek keadaan gizinya. Indikator yang digunakan untuk analisis konsumsi yaitu dari pengukuran kecukupan konsumsi energi dan protein. Konsumsi energi dan protein tersebut mengacu pada Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VIII (WNPG) tahun 2004, yaitu kecukupan konsumsi energi yang dianjurkan sebesar 2000 kkal/kapita/hari dan kecukupan konsumsi protein adalah sebesar 52 g/kapita/hari. Kebiasaan mengkonsumsi pangan yang baik akan menyebabkan status gizi yang baik pula. Keadaan ini dapat terlaksana apabila telah tercipta
2
keseimbangan antara banyaknya jenis zat gizi yang dikonsumsi dengan banyaknya zat gizi yang dibutuhkan tubuh (Suhardjo 1989). Semakin beragam pangan yang dikonsumsi maka akan semakin beragam pula zat gizi yang diperoleh dan semakin meningkat mutu gizinya. Kurang beragamnya pangan yang dikonsumsi merupakan masalah konsumsi pangan dan gizi yang sering terjadi. Masalah yang berkaitan dengan konsumsi pangan dan gizi yaitu seperti tingkat pendapatan, ketersediaan pangan setempat, teknologi, tingkat pengetahuan, kesadaran masyarakat mengenai gizi, kesehatan, dan faktor-faktor sosial budaya seperti kebiasaan makan, sikap, dan pandangan masyarakat terhadap bahan makanan (Syarief & Martiato 1991). Indonesia
merupakan
negara
kepulauan
dengan
masyarakat,
kebudayaan, dan agama yang beragam. Kondisi fisik wilayah antar provinsi juga sangat beragam. Namun, kontribusi energi konsumsi pangan penduduk Indonesia terbesar adalah dari kelompok padi-padian terutama beras (Bappenas 2007). Hal tersebut menyebabkan pola pangan penduduk belum sesuai dengan pola pangan ideal. Riau merupakan salah satu Provinsi yang kuantitas konsumsi pangan masyarakatnya masih rendah. Kondisi ini dicerminkan oleh rendahnya konsumsi energi penduduk di Provinsi Riaupada tahun 2010 yaitu 1903,59 kkal/kapita/hari (BPS 2010). Konsumsi energi tersebut berada di bawah konsumsi energi yang dianjurkan oleh WNPG VIII yaitu 2000 kkal/kapita/hari. Rendahnya nilai tersebut disebabkan karena kurangnya konsumsi pangan yang dapat berkaitan dengan ketidakseimbangan pola konsumsi pangan penduduk. Oleh karena itu, diperlukan suatu upaya untuk menanggulangi masalah konsumsi pangan dan gizi, antara lain melalui perencanaan pangan yang baik, dengan salah satunya menganalisis keadaan konsumsi pangan penduduk sehingga ke depannya dapat diarahkan untuk memenuhi kebutuhan konsumsi pangan yang sesuai dengan standar gizi. Salah satu acuan atau pendekatan yang dapat digunakan untuk perencanaan pangan adalah pendekatan pola pangan harapan (PPH). Hardinsyah (1996) menyatakan konsep PPH sejalan dengan kebijakan dan tujuan ketahanan pangan dan penganekaragaman konsumsi pangan karena ketahanan pangan tidak mungkin tercapai tanpa konsumsi aneka ragam pangan atau diversifikasi konsumsi pangan. Sangat penting bagi pemerintah untuk berperan aktif dalam mengidentifikasi situasi konsumsi pangan penduduk dan keberagaman konsumsi pangan penduduknya untuk mencukupi kebutuhan
3
knsumsi pangan serta mewujudkan ketahanan pangan. Oleh karena itu, perlu dilakukan analisis situasi konsumsi pangan aktual penduduk untuk mengetahui pola konsumsi pangan penduduk sehingga dapat diperoleh informasi mengenai kebutuhan konsumsi pangan pendudukdi Provinsi Riau sesuai PPH sehingga harapannya pada tahun 2015, konsumsi pangan masyarakat di Provinsi Riau sudah mencapai PPH dengan skor 90 sesuai dengan target Standar Pelayanan Minimal (SPM) di bidang ketahanan pangan. Tujuan Tujuan Umum: Tujuan umum penelitian ini adalah menganalisis situasi dan kebutuhan konsumsi pangan di Provinsi Riau dengan pendekatan PPH. Tujuan Khusus: Tujuan khusus penilitian ini adalah: 1.
M enganalisis situasi konsumsi pangan penduduk di Provinsi Riau berdasarkan pendekatan PPHpada tahun 2008-2010
2.
M enganalisis proyeksi konsumsi pangan penduduk di Provinsi Riau pada tahun 2011-2015 berdasarkan pendekatan PPH dengan tahun dasar 2010
3.
M enganalisis proyeksi kebutuhan konsumsi pangan penduduk di Provinsi Riau pada tahun 2011-2015 Kegunaan Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai kuantitas
dan kualitas konsumsi pangan penduduk ProvinsiRiau. Kemudian dapat memberikan informasi mengenai kebutuhan konsumsi pangan wilayah Provinsi Riau yang dapat bermanfaat dalam evaluasi kebijakan program pangan dan gizi serta perencanaan kebijakan dan program perbaikan pangan dan gizi di Provinsi Riau.
4
TINJAUAN PUSTAKA Ketahanan Pangan Menurut UU No 7 tahun 1997, pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati dan air, baik yang diolah maupun yang tidak diolah ataupun produk turunannya yang diperuntukkan sebagai makanan atau minuman bagi manusia termasuk bahan tambahan pangan, bahan baku pangan, dan bahan lain yang digunakan dalam proses penyiapan, pengolahan, dan atau pembuatan makanan atau minuman. Pangan merupakan kebutuhan dasar manusia karena pemenuhan kebutuhan pangan merupakan bagian dari hak asasi manusia. Hal ini berarti negara bertanggungjawab memenuhi kebutuhan pangan bagi penduduk. Pemenuhan kebutuhan pangan sangat penting bagi komponen dasar untuk membentuk sumberdaya manusia yang berkualitas. Konsumsi pangan dan gizi yang cukup dan seimbang menjadi syarat bagi perkembangan organ fisik manusia sejak dalam kandungan yang selanjutnya berpengaruh terhadap perkembangan intelegensia maupun kemampuan fisiknya. Sumberdaya manusia yang berkualitas akan menjadi tulangpunggung bagi tumbuh kembang suatu bangsa dalam pembangunan ekonomi, sosial, maupun politik. Oleh karena itu ketahanan pangan merupakan salah satu pilar bagi pembangunantersebut (DKP 2006). Menurut UU Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1996, ketahanan pangan merupakan suatu kondisi terpenuhinya pangan bagi rumahtangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutu, aman, merata, dan terjangkau. Adapun pemenuhan kebutuhan pangan sendiri ditujukan untuk
memenuhi
kebutuhan
dasar
manusia,
dan
pemerintah
bersama
masyarakat agar terwujudnya ketahanan pangan. Suryana (2004) menyatakan bahwa negara atau wilayah mempunyai ketahanan pangan yang baik apabila mampu menyelenggarakan pasokan pangan yang stabil dan berkelanjutan bagi seluruh penduduknya, dan masing-masing rumahtangga mampu memproleh pangan sesuai kebutuhannya. Salah satu dokumen kebijakan pembangunan pangan adalah Kebijakan Umum Ketahanan Pangan (KUKP) yang disusun oleh Dewan Ketahanan Pangan (DKP). KUKP diharapkan menjadi panduan bagi pemerintah, swasta, dan
5
masyarakat untuk bersama-sama mewujudkan ketahanan pangan tingkat rumahtangga, wilayah, dan nasional. Salah satu dari 15 elemen penting yang dituangkan dalam KUKP adalah melakukan diversifikasi pangan. Adapun salah satu dari enam rencana program elemen ini adalah melakukan peningkatan diversifikasi konsumsi pangan dengan prinsip gizi seimbang. UU No 32 tahun 2004 memberikan kewenangan kepada pemerintah daerah untuk lebih banyak mengatur dan mengelola pembangunan daerah, termasuk pembangunan ketahanan pangan. Ketahanan pangan merupakan urusan wajib pemerintah daerah sesuai dengan pasal 7 Peraturan Pemerintah Nomor 38 tahun 2007 tentang pembagian urusan pemerintah yang penyelenggaraannya berpedoman pada Standar Pelayanan Minimal (SPM). SPM adalah sebuah kebijakan publik yang mengatur mengenai jenis dan mutu pelayanan dasar yang merupakan urusan wajib daerah yang berhak diperoleh setiap warga secara minimal. Pencapaian SPM dilaksanakan secara bertahap dan ditetapkan oleh pemerintah. Ketahanan pangan harus diupayakan secara optimal dan berkesinambungan sesuai dengan potensi masing-masing wilayah di semua Kabupaten/kota. Peran pemerintah dalam era otonomi daerah adalah menyediakan fasilitas dan rambu-rambu bagi masyarakat untuk mengembangkan usaha produksi, pengolahan, dan perdagangan pangan secara efesien, adil, dan bertanggung
jawab.
Masyarakat
berperan
dalam
mengelola
kebutuhan
pangannya secara swadaya, mengelola konsumsi sesuai kaidah kesehatan serta menerapkan budaya konsumsi yang hemat dan efisien di tingkat rumah tangga (Suryana 2004). Menurut Suryana (2003), ketahanan pangan merupakan suatu sistem ekonomi pangan yang terintegrasi dan terdiri dari berbagai subsistem. Subsistem ini adalah ketersediaan pangan, subsistem distribusi pangan, dan subsistem konsumsi pangan. Terwujudnya ketahanan pangan merupakan sinergi dari ketiga subsistem tersebut. Suryana (2004) mengemukakan bahwa keberhasilan pembangunan ketiga subsistem ketahanan pangan tersebut perlu didukung oleh faktor-faktor inputberupa sarana, prasarana dan kelembagaan produksi, distribusi, pemasaran, pengolahan, dan sebagainya. Kemudiann juga perlu didukung oleh faktor-faktor penunjang seperti kebijakan, peraturan, pembinaan, dan pengawasan pangan. Ketahanan pangan dilaksanakan oleh banyak pelaku seperti produsen, pengolah, pemasar, dan konsumen. Output yang diharapkan dari pembangunan ketahanan pangan adalah terpenuhinya hak asasi manusia
6
akan pangan, meningkatnya kualitas sumberdaya manusia, meningkatnya ketahanan ekonomi, dan ketahanan nasional.
Ketersediaan Pangan Ketersediaan pangan adalah sejumlah bahan makanan dan minuman yang tersedia untuk dikonsumsi setiap individu atau penduduk suatu daerah dalam kurun waktu tertentu, baik dalam bentuk natural maupun dalam bentuk unsur gizinya. Kemudian menurut FAO (1984) ketersediaan pangan adalah tingkat dimana persediaan pangan dapat dimiliki oleh masyarakat yang tinggal disuatu negara, baik di daerah pedesaan maupun perkotaan. Subsistem ketersediaan pangan mencakup aspek produksi, cadangan serta keseimbangan antara ekspor dan impor pangan. Ketersediaan pangan harus dipertahankan sama atau lebih besar dari kebutuhan untuk konsumsi penduduk. Apabila keadaan ini tercapai maka ketahanan pangan di suatu daerah atau wilayah ditentukan oleh berbagai faktor seperti keragaan produksi pangan, tingkat kerusakan dan kehilangan pangan karena penanganan yang kurang tepat, dan tingkat ekspor/impor pangan. Terjaminnnya ketersediaan pangan merupakan salah satu dimensi dari pengertian ketahanan pangan. Ketersediaan pangan harus dikelola sedemikian rupa sehingga walaupun produksi pangan bersifat musiman, terbatas, dan tersebar antar wilayah, volume pangan yang tersedia bagi masyarakat harus cukup jumlah dan jenisnya serta stabil penyediaannya dari waktu ke waktu. Distribusi Pangan Subsistem distribusi pangan mencakup aspek aksebilitas secara fisik dan ekonomi atas pangan secara merata. Akses pangan didefinisikan sebagai kemampuan rumahtangga untuk secara periodik memenuhi sejumah pangan yang cukup, melalui berbagai sumber atau kombinasi cadangan pangan yang dimiliki, hasil produksi pangan, pembelian/ barter, pemberian, pinjaman dan bantuan pangan. Akses pangan secara fisik ditunjukkan oleh kemampuan memproduksi pangan, infrastruktur dasar maupun kondisi sumberdaya alam dan lingkungan. Dengan demikian akses fisik lebih bersifat kewilayahan dan dipengaruhi oleh ciri dan pengelolaan ekosistem. Akses pangan secara ekonomi menyangkut keterjangkauan masyarakat terhadap pangan yang ditunjukkan oleh harga, sumber mata pencaharian, dan pendapatan.
7
Konsumsi Pangan Konsumsi pangan adalah jenis dan jumlah pangan yang dimakan oleh seseorang atau sekelompok orang pada waktu tertentu. Aspek konsumsi berfungsi mengarahkan rumahtangga agar pola pemanfaatan pangan secara nasional memenuhi kaidah mutu, keragaman, kendungan gizi, dan keamanan. Oleh karena itu pemanfaatan pangan dalam tubuh (food utility) dapat optimal dengan peningkatan kesadaran atas pentingnya pola konsumsi pangan beragam dengan gizi seimbang. Untuk memperbaiki konsumsi pangan masyarakat harus ditunjang oleh produksi dan penyediaan pangan yang mampu memenuhi syarat tersebut. Oleh karena itu, pemerintah dengan bebagai upaya di bidang pangan perlu mewujudkan ketahanan pangan hingga tingkat rumah tangga bahkan individu antara lain melalui program perbaikan penyediaan pangan, perbaikan konsumsi pangan, dan diversifikasi pangan. Menurut Syarief dan Martianto (1991), jumlah dan jenis pangan yang dikonsumsi oleh masyarakat tidak saja dipengaruhi produksi atau ketersediaan pangan, tetapi dipegaruhi juga oleh daya jangkau ekonomi (daya beli), kesukaan/selera, pendidikan, dan nilai sosial budaya pangan yang berlaku dalam masyarakat. Pola Konsumsi Pangan Penduduk Pola konsumsi pangan adalah susunan jenis dan jumlah pangan yang dikonsumsi seseorang atau kelompok orang pada waktu tertentu (Madanijah 2004). Konsumsi masyarakat terhadap pangan dapat dilihat dari kecenderungan masyarakat mengkonsumsi jenis pangan tertentu. Sanjur (1982) menyatakan jumlah pangan yang tersedia di suatu wilayah akan berpengaruh terhadap pola konsumsi pangan. Konsumsi atau pola konsumsi pangan dipengaruhi oleh banyak faktor tidak hanya faktor ekonomi tetapi juga faktor budaya, ketersediaan, pendidikan, gaya hidup, dan sebagainya. Penilaian konsumsi pangan dapat dilakukan secara kuantitas dan kualitas. Dari sisi kuantitas, konsumsi pangan ditinjau dari volume atau banyaknya pangan yang dikonsumsi dan konsumsi zat gizi yang terkandung dalam pangan. Kedua hal tersebut digunakan untuk melihat apakah konsumsi pangan sudah dapat memenuhi kebutuhan layak untuk hidup sehat yang sesuai Angka kecukupan gizi (AKG). Angka kecukupan gizi (AKG) adalah suatu kecukupan rata-rata zat gizi setiap hari bagi hampir semua orang menurut
8
golongan umur, jenis kelamin, ukuran tubuh, dan aktivitas untuk mencegah terjadinya defisiensi gizi (Muhilal et al 1998). Tingkat konsumsi pangan dapat memberikan gambaran kondisi kesehatan penduduk di suatu wilayah yang ditinjau dari aspek keadaan gizinya. Indikator yang digunakan untuk analisis konsumsi yaitu dari pengukuran kecukupan konsumsi energi dan protein. Konsumsi energi dan protein tersebut mengacu pada Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VIII (WNPG) tahun 2004, yaitu kecukupan konsumsi energi yang dianjurkan sebesar 2000 kkal/kapita/hari dan kecukupan konsumsi protein adalah sebesar 52 g/kapita/hari. Tingkat kecukupan adalah perbandingan antara konsumsi zat gizi dengan angka kecukupan gizi yang dianjurkan. Klasifikasi tingkat kecukupan energi menurut Departemen Kesehatan (1996) adalah sebagai berikut : a)
Kurang dari 70% AKE
:
defisit berat
b)
70-79% AKE
:
defisit tingkat sedang
c)
80-89% AKE
:
defisit tingkat ringan
d)
90-119% AKE
:
normal (tahan pangan)
e)
120% ke atas AKE
:
kelebihan/diatas AKE
Energi Energi merupakan salah satu hasil metabolisme karbohidrat, protein, dan lemak. Energi berfungsi sebagai zat tenaga untuk metabolisme, pertumbuhan, pengaturan suhu, dan kegiatan fisik. Kelebihan energi akan disimpan sebagai cadangan energi dalam bentuk glikogen sebagai cadangan energi jangka pendek dan dalam bentuk lemak sebagai cadangan jangka panjang (Hardinsyah & Tambunan 2004). Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VIII (WNPG) menganjurkan konsumsi energi penduduk Indonesia adalah 2000 kkal/kap/hari. Dengan menggunakan patokan tersebut, perkembangan konsumsi energi penduduk Indonesia setiap tahunnya meningkat. Pada periode 2005 – 2007, peningkatan konsumsi energi lebih tinggi terjadi di wilayah pedesaan dibandingkan dengan di perkotaan. Secara umum konsumsi energi rata-rata semakin mendekati kebutuhan sebesar 2000 kkal/kap/hari, dan pada tahun 2007 bahkan telah memenuhi angka kecukupan dengan rata -rata konsumsi energi sebesar 2015 kkal/kap/hari atau 100,7% dari angka kecukupan energi (DKP 2009). Penduduk dikatakan rawan konsumsi energi apablia rataan konsumsi energinya kurang dari jumlah yang dibutuhkan oleh tubuh untuk hidup aktif dan
9
sehat. Pada umumnya penduduk rawan konsumsi pangan (energi) dibagi atas dua kelompok, yaitu sangat rawan (tingkat konsumsi energi < 70% AKE) dan mereka yang memiliki kerawanan ringan sampai sedang (tingkat konsumsi energi 70-90% AKE). Berdasarkan analisis data Susenas 2002 hingga 2008 yang dilakukan oleh BKP, ditemukan bahwa kondisi penduduk rawan pangan masih masih cukup tinggi, meski secara umum jumlah dan persentase penduduk rawan pangan mengalami penurunan selama periode 2002-2008. Pada Tahun 2002 persentase penduduk yang termasuk sangat rawan konsumsi pangan mencapai 1311% (sekitar 26,5 juta jiwa), tahun 2005 adalah 13,2% (sekitar 28,7 juta jiwa) dan pada tahun 2007 dan 2008 menurun menjadi 13,0% (29,2 juta jiwa) dan 11,07% (25,1 juta jiwa). Apabila dibandingkan dengan kondisi saat puncak krisis ekonomi tahun 1999 yang prevalensinya adalah 18,9% (sekitar 38,6 juta jiwa), maka baik prevalensi maupun jumlah penduduk yang sangat rawan konsumsi pangan mengalami penurunan yang tajam. Penurunan ini terjadi karena dua hal: 1) karena keberhasilan program dalam meningkatkan tingkat kesejahteraan yang berimbas pada meningkatnya rata-rata konsumsi energi, dan 2) penurunan standar kecukupan energi (AKE) yang diamanatkan dalam Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi (WNPG) 2004 dimana AKE yang semula 2100 kkal/kapita/hari turun menjadi 2000 kkal/kapita/hari. Protein Protein adalah suatu zat gizi yang berperan sebagai penghasil energi, pembentukan jaringan baru, dan mempertahankan jaringan yang telah ada (Winarno 1997). Menurut Almatsier (2002), protein juga berfungsi mengatur keseimbangan air di dalam tubuh, memelihara netralitas tubuh, membantu antibodi dan mengangkut zat-zat gizi. Protein memegang peranan esensial dalam mengangkut zat-zat gizi dari saluran cerna ke dalam darah, dari darah ke jaringan, dan melalui membran sel ke dalam sel-sel tubuh. Kekurangan protein dapat mneyebabkan gangguan pada absorpsi dan transportasi zat-zat gizi. WNPG VIII menganjurkan konsumsi protein penduduk Indonesia adalahdan 52 g/kapita/hari. Pada rekomendasi WNPG sebelumnya, angka kecukupan protein sebesar 56 g/kap/hari. Dengan menggunakan patokan tersebut, perkembangan konsumsi protein penduduk Indonesia menunjukkan trend yang meningkat. Berbeda dengan energi, pada periode 2005 – 2007
10
peningkatan konsumsi proteinyang lebih nyata terjadi di wilayah perkotaan dibandingkan dengan di pedesaan (DKP 2009). Berdasarkan analisis data Susenas 2002 hingga 2008 yang dilakukan oleh BKP, konsumsi protein per kapita per hari umumnya sudah tercukupi meski sebagian besar sumber proteinyang dikonsumsi berasal dari pangan nabati, khususnya kelompok padi -padian. Komposisi protein yang dianjurkan adalah 80% nabati dan 20% hewani. Martianto (2004) menyarankan besarnya komposisi pangan hewani untuk tingkat konsumsi per kapita per hari adalah 65 gram pangan hewani asalruminansia dan unggas dan 85 gram berasal dari ikan.Pada pola konsumsi penduduk Indonesia, beras khususnya tidakhanya menjadi penyumbang energi terbesar tetapi juga merupakan penyumbang protein terbesar. Pola Pangan Harapan (PPH) Pola pangan harapan adalah susunan beragam pangan yang dianjurkan berdasarkan sumbangan energi dari kelompok pangan utama dari suatu pola ketersediaan atau konsumsi pangan. Semakin tinggi skor PPH maka konsumsi pangan semakin beragam. PPH dapat digunakan sebagai perencanaan konsumsi dan ketersediaan pangan serta perumusan kebijakan pangan dan perencanaan pertanian di suatu wilayah. PPH juga berguna sebagai instrumen sederhana untuk menilai situasi ketersediaan konsumsi pangan berupa jumlah dan komposisi pangan menurut jenis pangan secara agregrat (Hardinsyah et al 2002). Sejak diperkenalkan konsep PPH dan skor PPH pada awal dekade 90-an di Indonesia, PPH telah digunakan sebagai basis perencanaan dan penilaian kecukupan gizi seimbang pada tingkat makro. Skor PPH juga telah digunakan sebagai salah satu indikator output pembangunan pangandalam kebijakan pembangunan pangan termasuk evaluasi penyediaan, konsumsi pangan, dan diversifikasi pangan (Suhardjo 1996). Semakin tingi skor mutu pangan, menunjukkan situasi pangan yang semakin beragam dan semkain baik komposisi dan mutu gizinya (Hardinsyah et al 2002). Tujuan
utama
penyusunan
PPH
adalah
untuk
membuat
suatu
rasionalisasi pola konsumsi pangan yang dianjurkan yang terdiri dari kombinasi aneka ragam pangan untuk memenuhi kebutuhan gizi dan sesuai cita rasa (FAORAPA 1989). Melalui pendekatan PPH, keadaan perencanaan penyediaan dan konsumsi pangan
penduduk diharapkan dapat memenuhii tidak hanya
11
kecukupangizi
yang
didukung
(digestability),
daya
terima
oleh
cita
masyarakat
rasa
(palability),
(acceptability),
daya
cerna
kuantitas,
dan
kemampuan daya beli (affortability). Pada umumnya telah diketahui bahwa lima kelompok zat gizi selain air yang esensial diperlukan tubuh manusia adalah protein, karbohidrat, lemak, vitamin, dan mineral.Berbagai zat gizi ini dapat disediakan oleh beragam pangan.Sejumlah pangan yang tersusun secara seimbang akan mampu memenuhi kebutuhan zat gizi. Pangan tersebut mencakup kelompok: (1) padi-padian, (2) umbi-umbian, (3) pangan hewani, (4) minyak dan lemak, (5) buah dan biji berminyak, (6) kacang-kacangan, (7) gula, (8) sayuran dan buah-buahan, (9) lain-lain.Kesembilan kelompok pangan tersebut terdapat dalam PPH, yang merupakan jabaran dari triguna pangan. Waktu pencapaian PPH disesuaikan dengan kondisi dan permasalahan yang terjadi baik nasional maupun daerah. Untuk pencapaian PPH perlu diterjemahkan pada perencanaan pangan nasional dan daerah secara bertahap tahun demi tahun dan target demi target. Masing-masing daerah perlu mengadaptasi pola ini yang disesuaikan dengan masing-masing daerah. Kebutuhan Konsumsi Pangan Berdasarkan UU Nomor 32 Tahun 2004, daerah berwenang untuk mengatur dan mengurus kebutuhan pangan masyarakatnya sesuai kemampuan wilayah. Menurut Hardinsyah et al (2001), seiring dengan otonomi daerah maka sangat penting bagi daerah untuk menyusun perencanaan pangan yang memenuhi prinsip kuantitas maupun kualitas yang didasarkan pada potensi lokal. Orientasi penyediaan dan konsumsi pangan wilayah tidak lagi hanya pada aspek jumlah tetapi juga aspek mutu gizi, keragaman, dan komposisi pangan. Selanjutnya Hardinsayah et al (2001) mengatakan bahwa ada tiga macam pendekatan perencanaan penyediaan pangan dalam pembangunan pangan yakni 1) pendekatan kecenderungan (trend) konsumsi dan permintaan; 2) pendekatan kecenderungan produksi; dan 3) pendekatan gizi seimbang dan permintaan. Sejak tahun 1988, FAO-RAPA merekomendasikan pendekatan yang diharapkan dapat membantu dalam perencanaan produksi maupun konsumsi pangan, yang dikenal dengan desirable dietary pattern (DPP) yang dalam bahasa Indonesia diterjemahkan menjadi pola pangan harapan (PPH). Perencanaan kebutuhan pangan dengan PPH, selain untuk menyediakan pangan yang beranekaragam sesuai dengan kecukupan gizi setempat juga memberi keleluasaan menentukan jenis pangan yang diinginkan karena PPH
12
disajikan dalam kelompok pangan. Pemilihan jenis pangan yang diinginkan diantara kelompoknya disesuaikan dengan kondisi sosial budaya (aspek pola konsumsi atau preferensi jenis pangan penduduk), dan potensi wilayah setempat (Suhardjo 1996). Untuk menjadikan PPH sebagai instrumen perencanaan pangan disuatu wilayah diperlukan kesepakan tentang pola konsumsi pangan dengan salah satunya mempertimbangkan pola konsumsi pangan penduduk saat ini. Kebutuhan
pangan
pertumbuhanekonomi
suatu
juga
wilayah
dipengaruhi
selain
oleh
dipengaruhi
pertumbuhan
oleh
penduduk.
Pertumbuhan penduduk yang
cepat
merupakan
negaraberkembang
isu
termasuk
sentral
yang
Indonesia.
dihadapi
Konsekuensi
dunia, dari
terlebih hal
di
tersebut
adalahpeningkatan ketersediaan pangan untuk mengimbangi pertambahan penduduk.Menurut Khomsan dan Kusharto (2004), bila jumlah penduduk meningkat makaterjadi kompetisi pemanfaatan lahan yang dapat mengancam keberadaan lahanpertanian. Konversi lahan pertanian akan mengancam pemantapan ketahananpangan. Kebijakan Ketahanan Pangan Kebijakan pangan adalah suatu pernyataan tentang kerangka pikir dan arahan yang digunakan untuk menyusun program pangan guna mencapai situasi pangan dan gizi yang lebih baik (Hardinsyah & Ariani M 2000). Dalam UU No.7 tahun 1996 tentang pangan, dinyatakan bahwa pembangunan pangan diselenggarakan untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia yang memberikan manfaat
secara
adil
dan
merata
berdasarkan
kemandirian
dan
tidak
bertentangan dengan keyakinan masyarakat. Tujuan utama pembangunan pangan adalah: 1) tersedianya pangan yang memenuhi persyaratan keamanan, mutu, dan gizi bagi kepentingan kesehatan manusia; 2) terciptanya perdagangan pangan yang jujur dan bertanggungjawab; 3) terwujudnya tingkat kecukupan pangan dengan harga yang wajar dan terjangkau sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Kebiijakan pangan di bidang ketahanan pangan dan gizi merupakan bagian integral dari kebijakan pembangunan nasional. Pembangunan ketahanan pangan dilaksanakan untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat khususnya menjamin ketersediaan pangan bagi seluruh penduduk dalam jumlah, mutu,
13
keragaman, kandungan gizi, dan keamanannya serta terjangkau oleh daya beli masyarakat (Hardinsyah & Martianto 2001). Tujuan pembangunan ketahanan pangan tersebut akan lebih mudah tercapai apabila didasarkan pada 1) penyediaan pangan berbasis pemanfaatan ketersediaan sumberdaya lokal baik sumberdaya alam, manusia, teknologi, dan sosial; 2) efisiensi ekonomi dengan tetap memperhatikan keunggulan kompetitif wilayah; 3) distribusi yang mengacu pada mekanisme pasar yang kompetitif; dan 4) perbaikan mutu dan konsumsi anekaragam pangan. Hal ini mengisyaratkan bahwa pembangunan ketahanan pangan bersifat lintas sektoral (Badan Bimas Ketahanan pangan, Deptan 2001). Secara tegas program ketahanan pangan penduduk tercantum dalam propenas tahun 2000-2004 (Republik Indonesia 2000), dimana salah satu program
ini
bertujuan
untuk
meningkatkan
keanekaragaman
produksi,
ketersediaan, dan konsumsi pangan bersumber pangan ternak, ikan, tanaman pangan, hortikultura, dan kebun serta produk olahannya. Kebijakan program tersebut mencerminkan pentingnya perbaikan mutu gizi pangan melalui penganekaragaman
ketersediaan
dan
konsumsi
pangan
dalam
rangka
mewujudkan ketahanan pangan. Di dalam Renstra Pusat Pengembangan Konsumsi Pangan Badan Bimas Ketahanan Pangan, Deptan (2001), dinyatakan bahwa pengembangan konsumsi pangan ditempuh melalui pengembangan konsumsi pangan lokal dan penganekaragaman konsumsi pangan yang mengarah pada perbaikan konsumsi pangan penduduk baik jumah maupun mutu. Dengan terpenuhinya konsumsi pangan yang beragam dari waktu ke waktu, maka penduduk dapat hidup sehat dan mampu melakukan kegiatannya secara produktif. Terdapat dua kelompok strategi untuk membangun ketahanan pangan, yaitu peningkatan produksi dan pengelolaan konsumsi. Kebijakan pengelolaan konsumsi ditujukan untuk memacu proses diversifikasi konsumsi masyarakat, yaitu mengubah pola konsumsi ke arah yang lebih beragam dan bergizi seimbang. Dengan demikian diharapkan masyarakat mengkuti pola konsumsi sesuai dengan kaidah kesehatan, sekaligus mengurangi ketergantungan pada jenis makanan tertentu khususnya beras. Hal ini ditempuh melalui; a) pendidikan, penyuluhan, dan pemberdaaan masyarakat dan keluarga tentang pentingnya pola konsumsi dengan gizi seimbang untuk kesehatan, daya tahan fisik, dan kemampuan otak, b) pengembangan pangan karbohidrat non beras dengan
14
teknologi pengolahan pangan yang dapat meningkatkan cita rasa dan citra sehingga mempunyai daya saing dengan pangan modern yang telah masuk dalam pola konsumsi masyarakat, c) peningkatan penghasilan dan daya beli masyarakat melalui pemberdayaan ekonomi, karena peningkatan penghasilan secara alamiah mendorong konsumsi pangan yang lebih beragam dan bergizi, d) penyelenggaraan program pangan murah untuk meningkatkan keterjangkauan masyarakat berpenghasilan rendah terhadap perbaikan gizi (Suryana 2004).
15
KERANGKA PEMIKIRAN Pangan merupakan kebutuhan pokok yang paling mendasar bagi manusia, sehingga pemenuhan kebutuhan pangan merupakan bagian dari hak asasi manusia. Adapun pemenuhan kebutuhan pangan sendiri ditujukan untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia, dan pemerintah bersama masyarakat agar terwujudnya ketahanan pangan. Pembangunan ketahanan pangan merupakan urusan wajib pemerintah daerahyang
salah
satunya
adalah
subsistem
konsumsi.
Pembangunan
subsistem konsumsi bertujuan untuk menjamin setiap warga mengkonsumsi pangan dalam jumlah dan gizi yang cukup, aman, dan beragam. Kekurangan zat gizi terutama energi dan protein bila berlangsung cukup lama akan berakibat pada penurunan berat badan disertai dengan menurunnya produktivitas kerja. Pengukuran
secara
kuantitatif
dapat
dilakukan
untuk
mengukur
tingkatkonsumsi pangan dengan menggunakan angka kecukupan energi dan protein. Menurut hasil WNPGtahun 2004, angka kecukupan energi (AKE) ratarata orang Indonesia untuktingkat konsumsi sebesar 2000 kalori dan angka kecukupan protein (AKP) pada tingkat konsumsi sebesar 52 gram. Pengukuran secara kualitatif dilakukan untuk menilai keanekaragaman konsumsi
pangan.
Penilaian
kualitas
pangan
berdasarkan
keragaman
dankeseimbangan komposisi energi dapat dilakukan dengan menggunakan komposisi dan skor pola pangan harapan (PPH). Semakin tinggi skor PPH konsumsi menunjukkan semakin beragam konsumsi pangannya. Skor PPH ideal adalah 100 sedangkan standar pelayanan minimal (SPM) untuk skor PPH konsumsi adalahsebesar 90. Penyusunan proyeksi skor PPH dan konsumsi pangan penduduk dilakukan untuk memenuhi kebutuhan konsumsi pangan penduduk dan secara bertahap akan mengarah pada skor PPH 100 pada tahun tertentu. Skor PPH 90 diharapkan sudah tercapai pada tahun 2015 sesuai dengan SPM di bidang ketahanan pangan. Setelah sasaran konsumsi penduduk diketahui maka dilakukan perhitungan kebutuhan konsumsi pangan penduduk di Provinsi Riau, sesuai dengan pola pangan harapan dengan mempertimbangkan jumlah penduduk setiap tahunnya hingga tahun 2015. Secara skematis kerangka pemikiran analisis situasi konsumsi dan kebutuhan konsumsi pangan di Provinsi Riau dapat dilihat pada Gambar 1.
16
Pengetahuan gizi
Faktor ekologi
Konsumsi pangan Faktor Budaya
Pendapatan
Kuantitas: - TKE - TKP
Kualitas: - SkorPPH
Proyeksi - Skor PPH 2011-2015 - Konsumsi pangan 2011- 2015
Kebutuhan untuk konsumsi pangan penduduk di Provinsi Riau tahun 2011-2015
Pertumbuhan ekonomi
Jumlah penduduk
Strategi pengembangan pola konsumsi pangan
Keterangan: : diteliti
: tidak diteliti
Gambar 1 Kerangka pemikiran analisis situasi dan kebutuhan konsumsi pangan di Provinsi Riau
17
METODE PENELITIAN Desain, Tempat, dan Waktu Penelitian ini menggunakan desain prospective study berdasarkan data hasil survei sosial ekonomi nasional (Susenas) Provinsi Riau tahun 2008-2010. Pemilihan lokasi penelitian dilakukan secara purposive yang didasarkan pada konsumsi pangan penduduk yang masih rendah. Hal ini dapat dilihat dari konsumsi energi penduduk di Provinsi Riau pada tahun 2010 yaitu 1903,59 kkal/kapita/hari (BPS 2010). Konsumsi energitersebut berada di bawah konsumsi energi yang dianjurkan WNPG VIII yaitu 2000 kkal/kapita/hari. Kegiatan penelitian ini mencakup interpretasi data, rekapitulasi data, pengolahan dan analisis data yang dilakukan di Bogor, Jawa Barat, mulai dari bulan MeiNovember 2012. Jenis dan Cara Pengambilan Data Data yang digunakan dalam penelitian ini merupakan data sekunder yang meliputi data karakteristik wilayah, data konsumsi pangan, dan data jumlah penduduk Provinsi Riau.Data karakteristik wilayah dan jumlah penduduk diperoleh dari badan pusat statistik (BPS). Data konsumsi pangan menurut jenis dan kelompok pangan penduduk di Provinsi Riau tahun 2008-2010 diperoleh dari data hasil survei sosial ekonomi nasional (Susenas) dari BPS. Data rumahtanggasampel Susenas merupakan rumahtangga yang sama setiap periode selama tiga tahun, sehingga disebut Susenas panel. Susenas panel Maret 2010 merupakan sampel Susenas tahun ketiga Susenas Panel periode 2008-2010, sehingga rumah tangga sampelnya adalah rumah tangga yang sama pada pelaksanaan panel Maret 2008 (BPS 2010). Data yang dikumpulkan dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1 Jenis dan sumber data No
Data
Sumber
Instansi
1
Konsumsi pangan menurut kelompok dan jenis pangan
Data susenas 2008, 2009, 2010
BPS, Jakarta
2
Jumlah penduduk
Laporan Sensus penduduk 2008,2009,2010
BPS, Provinsi Riau
3
Karakteristik Wilayah
Keadaan umum wilayah
BPS,Provinsi Riau
18
Pengolahan dan Analisis Data Pengolahan
data
konsumsi
pangan
dilakukan
dengan
menggunakanMicrosoft Exel dan program “Perencanaan pangan dan Gizi Wilayah” yang dikembangkan oleh Heryatno, Martianto, dan Baliwati (2007). Analisis data dilakukan secara deskriptif.Analisis situasi dan kebutuhan konsumsi pangan penduduk di Provinsi Riau dilakukan dengan tahapan sebagai berikut: Analisis Situasi Konsumsi Pangan Analisis situasi konsumsi pangan penduduk diukur secara kuantitatif dan kualitatif. Analisis konsumsi pangan penduduk di Provinsi Riau secara kuantitatif dilakukan dengan mengukur tingkat kecukupan energi dan tingkat kecukupan protein terhadap angka kecukupan gizi (AKG) yang dianjurkan. Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi (WNPG) VIII tahun 2004 menganjurkan konsumsi energi penduduk Indonesia adalah 2000kkal/kapita/hari sedangkan konsumsi protein adalah 52 g/kapita/hari. Jumlah konsumsi tersebut harus dipenuhi agar setiap orang dapat hidup sehat, aktif, dan produktif.
Perhitungan tingkat kecukupan gizi dirumuskan sebagai berikut: a.
Tingkat kecukupan energi TKE = [(Konsumsi energi aktual)/ (Angka kecukupan energi)] x 100%
b.
Tingkat kecukupan protein TKP = [(Konsumsi protein aktual)/ (Angka kecukupan protein)] x 100% Berdasarkan perhitungan tersebut, tingkat kecukupan energi dan protein
dikelompokkan menurut kriteria Departemen Kesehatan tahun 1996 sebagai berikut : a.
Kurang dari 70% AKE
:
defisit berat
b.
70-79% AKE
:
defisit tingkat sedang
c.
80-89% AKE
:
defisit tingkat ringan
d.
90-119% AKE
:
normal (tahan pangan)
e.
120% ke atas AKE
:
kelebihan/diatas AKE
Kemudian dilakukan analisis konsumsi pangan secara kualitatif yang dicerminkan dari konsumsi pangan yang beragam secara seimbang. Ukuran keseimbangan dan keragaman pangan dapat dilakukan dengan pendekatan skor pola pangan harapan (PPH). Pola pangan harapan (PPH) merupakan jenis dan jumlah kelompok pangan utama yang dianjurkan untuk memenuhi kebutuhan energi dan zat gizi. Kebutuhan energi dari berbagai kelompok pangan dikatakan terpenuhi apabila sesuai PPH. Semakin tinggi skor PPH maka konsumsi pangan
19
semakin beragam dan seimbang. Apabila skor PPH mencapai 100 maka wilayah tersebut dikatakan tahan pangan. Skor mutu pangan yangideal dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2 Skor Pola Pangan Harapan ideal Komposisi PPH Ideal No
Kelompok Pangan
1 2 3 4 5 6 7 8 9
Padi-padian Umbi-umbian Pangan hewani Minyak & lemak Buah/ biji berminyak Kacang-kacangan Gula Sayur & buah Lain-lain Jumlah Sumber: BKP (2006)
Bobot
% AKE
0,5 0,5 2 0,5 0,5 2 0,5 5 0
50 6 12 10 3 5 5 6 3 100
Skor maksimum 25 2,5 24 5 1 10 2,5 30 0 100
Berat (gram) 275,0 90,0 140,0 25,0 10,0 35,0 30,0 230,0 15,0
Adapun langkah-langkah perhitungan skor PPHadalah sebagai berikut: 1. Melakukan perhitungan energi total yang diperoleh dari semua bahan pangan untuk seluruh kelompok pangan dengan bantuan daftar komposisi bahan makanan (DKBM). Perhitungan dilakukan dengan mengkonversi bentuk, jenis, dan satuan pangan yang dikonsumsi perkapita dalam satuan dan jenis komoditas yang disepakati dan dikelompokkan menjadi 9 kelompok, meliputi : a. Padi-padian (beras, jagung, terigu, dan hasil olahannya) b. Umbi-umbian (ubi kayu, ubi jalar, kentang, talas, sagu dan hasil olahannya) c. Pangan hewani (daging ruminansia, daging unggas, telur, susu, ikan, dan hasil olahannya) d. Minyak dan lemak (minyak kacang tanah, minyak kelapa, minyak kelapa sawit, dan lemak) e. Buah dan biji berminyak (kelapa, kemiri, kenari, mete, coklat) f. Kacang-kacangan (kacang tanah, kacang kedelai, kacang hijau, kacau merah, kacang lain serta hasil olahannya) g. Gula (gula pasir, gula merah, sirup) h. Sayuran dan buah-buahan (semua sayur dan buah dan hasil olahannya) i. Lain-lain (bumbu dan minuman) 2. Menghitung kontribusi konsumsi energi berupa persentase energi dari setiap kelompok pangan terhadap konsumsi energi total. Langkah ini
20
dilakukan dengan membagi energi masing-masing kelompok pangan dengan jumlah konsumsi energi total kemudian dikalikan 100%. 3. Menghitung kontribusi TKE berupa persentase energi masing-masing kelompok pangan terhadap AKE yang dianjurkan WNPG VIIItahun 2004 yaitu 2000 kkal. 4. Mengalikan % TKE dengan bobot sehingga diperoleh skor untuk setiap kelompok pangan. Apabila skor melebihi skor maksimum maka digunakan skor maksimal. Apabila skor lebih rendah dari skor maksimum maka yang diambil adalah skor yang lebih rendah tersebut. 5. Menjumlahkan skor semua kelompok pangan sehingga diketahui skor PPH konsumsi pangan. Contoh perhitungan skor PPH konsumsi pangan disajikan dalam Tabel 2 berikut. Tabel 3 Contoh perhitungan skor PPH konsumsi pangan penduduk di Provinsi Riau tahun 2010 No
Kelompok Pangan
Kalori
1 2 3 4 5 6 7 8 9
%
Padi-padian 1083,1 56,9 Umbi-umbian 35,3 1,9 Pangan hewani 213,6 11,2 Minyak dan lemak 266,0 14,0 Buah/biji berminyak 64,6 3,4 Kacang-kacangan 35,3 1,9 Gula 104,1 5,5 Sayur dan buah 75,5 4,0 Lain-lain 26,0 1,4 Total 1904 100 % TKE = {(konsumsi energi aktual)/AKE} x 100% = Kkal/2000 x 100% Skor PPH = % TKE x bobot
% TKE 54,2 1,8 10,7 13,3 3,2 1,8 5,2 3,8 1,3 82,6
Bobot 0,5 0,5 2,0 0,5 0,5 2,0 0,5 5,0 0,0
Skor Maksimum 25,0 2,5 24,0 5,0 1,0 10,0 2,5 30,0 0,0 100,0
Skor PPH 25,0 0,9 21,4 5,0 1,0 3,5 2,5 18,9 0,0 78,2
Proyeksi Konsumsi dengan Pendekatan Skor PPH Pada penelitian ini, target pencapaian skor PPH konsumsi adalah 90 pada tahun 2015 sesuai dengan SPM. Tahun dasar yang digunakan adalah hasil perhitungan skor PPH aktual tahun 2010. Sedangkan untuk acuan sasaran yaitu skor PPH 90 pada tahun 2015 dengan acuan ideal skor PPH 100. Penyusunan target skor PPH konsumsi pangan sampai tahun 2015, dihitung menggunakan teknik interpolasi linear dengan rumus sebagai berikut: St = S0 + dt ((S2015 – S0)/n Keterangan: St = skor mutu pangan tahun t
21
S0 = skor mutu pangan tahun awal S2015 = skor mutu pangan tahun 2015 n = selisih tahun antara tahun 2015 dengan tahun awal dt = selisih waktu antara tahun yang dicari dengan tahun awal Analisis Proyeksi Kebutuhan Konsumsi Pangan Berdasarkan PPH di Provinsi Riau Analisis proyeksi kebutuhan konsumsi pangan penduduk di Provinsi Riau pada tahun 2011-2015 dihitung dengan cara mengalikan proyeksi konsumsi pangan pada tahun 2011-2015 dengan jumlah penduduk proyeksi pada tahun tersebut. Adapun perhitungannya yaitu dengan menggunakan rumus: Kebutuhan konsumsi pangan = gram kebutuhan konsumsi x 365 penduduk (kg/kapita/tahun) 1000
Kebutuhan konsumsi pangan = kg/tahun kebutuhan konsumsi x jumlah penduduk wilayah (ribu ton/tahun) 1000 proyeksi
Jumlah penduduk proyeksi Jumlah penduduk proyeksi dihitung dengan pendekatan ekstrapolasi atau trend berdasarkan perkembangan pertumbuhan penduduk untuk meramalkan jumlah penduduk pada tahun t, dengan rumus sebagai berikut : Pt = P0 x (1 + L) (t – 0) Keterangan : P0 = jumlah penduduk tahun dasar 0 = tahun dasar L = laju pertumbuhan penduduk T = tahun yang dicari
22
Definisi Operasional Konsumsi Pangan adalah sejumlah makanan dan atau minuman yang dimakan atau diminum oleh manusia dalam rangka memenuhi kebutuhan hayatinya. Pola konsumsipangan adalah susunan makanan yang mencakup jenis dan jumlah bahan makanan rata-rata per orang per hari yang umum dikonsumsi penduduk Provinsi Riau. Pola Pangan Harapan (PPH) adalah komposisi atau susunan pangan yang didasarkan pada kontribusi energinya dalam memenuhi kebutuhan gizi secara kuantitas, kualitas maupun keragamannya dengan mempertimbangkan aspek sosial, ekonomi, budaya, agama, dan citarasa (FAO-RAPA 1989). Skor PPH (Skor PPH) adalah angka yang menunjukkan mutu pangan yang dikonsumsi penduduk di Provinsi Riau berdasarkan data Susenas. Konsumsi energi adalah sejumlah energi pangan yang dinyatakan dalam kalori yang dikonsumsi penduduk Provinsi Riau rata-rata per orang per hari. Angka kecukupan energi adalah sejumlah energi pangan yang diperlukan oleh seseorang atau rata-rata kelompok orang untuk memenuhi kebutuhannya. Tingkat konsumsi energi adalah proporsi konsumsi energi aktual penduduk terhadap angka kecukupan energi yang dianjurkan WNPG VIII tahun 2004 (2000 kkal/kapita/hari) untuk hidup sehat, aktif, dan produktif. Proyeksi konsumsi pangan adalah jenis dan jumlah pangan yang dibutuhkan untuk konsumsi secara normatif pada tahun 2011-2015 sesuai skor PPH dengan teknik interpolasi linier. Kebutuhan konsumsi pangan jenis dan jumlah pangan yang diperlukan untuk dimakan oleh seseorang atau sekelompok orang pada waktu tertentu sesuai dengan PPH. Kebutuhan konsumsi pangan Wilayah adalah banyaknya pangan menurut jenis yang harus disediakan oleh Provinsi Riau untuk memenuhi kebutuhan konsumsi pangan penduduk dan mengacu pada target skor PPH konsumsi pangan pada tahun 2015.
23
HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Wilayah Kondisi Geografis Provinsi Riau adalah salah satu provinsi yang terletak di Pulau Sumatra. Secara geografis, Provinsi Riau terletak pada koordinat 01o05'00’’ Lintang Selatan sampai 02o25'00’’ Lintang Utara dan 100o00'00’’ Bujur Timur sampai 105o05'00’’ Bujur Timur. Provinsi Riau sebelah utara berbatasan dengan Selat Malaka dan Provinsi Sumatera Utara, sebelah selatan berbatasan dengan Provinsi Jambi dan Provinsi Sumatera Barat. Pada wilayah bagian Timur berbatasan dengan Provinsi Kepulauan Riau dan Selat Malaka, dan sebelah barat berbatasan dengan Provinsi Sumatera Barat dan Provinsi Sumatera Utara.Provinsi Riau memiliki luas area sebesar 87.023,66 km2.Wilayah bagian Timur Provinsi Riau didominasi oleh dataran rendah, wilayah bagian Tengah merupakan dataran bergelombang, dan wilayah bagian Barat merupakan dataran
berbukit
yang
dibentuk
oleh
gugusan
Bukit
Barisan.
Kondisi
geomorfologi tersebut menempatkan wilayah Riau bagian Timur berfungsi sebagai kawasan bawahan dari wilayah bagian Barat yang merupakan hulu dari 15 sungai yang mengalir di Provinsi Riau yang bermuara di pantai Timur. Empat sungai diantaranya memiliki arti penting sebagai prasarana perhubungan yakni Sungai Siak, Sungai Kampar, Sungai Rokan, dan Sungai Indragiri. Wilayah Riau bagian Timur yang merupakan dataran rendah menjadi rentan terhadap bencana banjir dan genangan air secara berkala. Kawasan bagian Timur sebagian besar merupakan lahan gambut, terdiri dari rawa gambut air tawar dan rawa gambut pasang surut. Kondisi geologi Riau didominasi oleh batuan sedimen kuarter dengan sisipan batuan sedimen tersier di bagian Barat dan Selatan. Ditinjau dari potensi bencana alam geologi, sebagian besar wilayah Provinsi Riau bagian Tengah dan Barat termasuk zona lipatan (folded zone). Kemungkinan terjadi gempa bumi di bagian barat dipengaruhi oleh keaktifan volkonis di daerah Sumatra Barat. Sementara potensi gerakan tanah relatif kecil karena wilayah Provinsi Riau umumnya datar, kecuali di sebagian wilayah Barat yang merupakan bagian dari Bukit Barisan (Pemerintah Provinsi Riau 2009).
24
Secara administratif, Provinsi Riau terdiri dari 10 kabupaten yaitu Kuantan Singingi, Indragiri Hulu, Indragiri Hilir, Pelalawan, Siak, Kampar, Rokan Hulu, Bengkalis, Rokan Hilir dan Kepulauan Meranti serta dan 2 kota yaitu Kota Pekanbaru dan Kota Dumai. Dari 12 Kabupaten/Kota yang ada di Provinsi Riau pada akhir tahun 2010 terdapat 151 kecamatan dan 1643 kelurahan/desa (BPS 2010). Kondisi Demografi dan Sosial Ekonomi Penduduk provinsi Riau terdiri dari bermacam-macam suku yaitu Jawa, Minangkabau, Batak, Banjar, Tionghoa, dan Bugis. Suku Melayu merupakan masyarakat terbesar dengan komposisi 37,74% dari seluruh penduduk Riau. Hasil Sensus Penduduk tahun 2000 mancatat jumlah penduduk di Provinsi Riau sebesar 3.755.485 jiwa dengan distribusi 56,7% tinggal di perkotaan dan 43,3% bermukim di pedesaan. Susenas mencatat jumlah penduduk tahun 2005 meningkat menjadi 4.614.930 jiwa. Berdasarkan hasil pencacahan Sensus Penduduk tahun 2010, jumlah penduduk Provinsi Riau sementara adalah 5.543.031 orang yangterdiri dari 2.854.989 laki-laki dan 2.688.042 perempuan. Laju pertumbuhan penduduk di Provinsi Riau dari tahun 2000 sampai 2010 tergolong sangat tinggi, yakni rata-rata mencapai 3,59% pertahun. Tingginya jumlah penduduk di Provinsi Riau ini dipengaruhi oleh migrasi penduduk. Berdasarkan hasil sensus penduduk tahun 2010 tersebut, diketahui bahwa penyebaran penduduk bertumpu di Kota Pekanbaru yang merupakan ibukota Provinsi Riau yakni sebesar 16,31%, kemudian diikuti oleh Kabupaten Kampar sebesar 12,38%. Sedangkan persentase penduduk terkecil terdapat di Kabupaten Kepulauan Meranti yakni sebesar 3,18% (BPS 2010). Angkatan kerja di Provinsi Riau pada tahun 2005 berjumlah 2.515.722 orang atau 66,9% dari jumlah penduduk. Angkatan kerja Provinsi Riau pada tahun 2007 sekitar 2.008.813 orang. Bagian terbesar penduduk bekerja pada kegiatan pertanian dan perdagangan (52,2%), rumah makan dan hotel, jasa-jasa, perkebunan, dan konstruksi. Tingginya angka migrasi masuk memberikan implikasi terhadap kesempatan kerja yang semakin terbatas bagi penduduk setempat. Sejalan dengan otonomi daerah, maka peluang bekerja diprioritaskan bagi tenaga kerja setempat dalam rangka meningkatkan peran serta penduduk setempat dalam pembangunan daerah (Pemerintah Provinsi Riau). Struktur ekonomi di Provinsi Riau sangat didominasi oleh sektor yang berkaitan dengan migas dan industri. Pendapatan regional per kapita Riau
25
termasuk migas atas dasar harga berlaku adalah sebesar 55,04 juta rupiah pada tahun 2009 lebih besar dari angka tahun 2008 sebesar 48,69 juta rupiah. Sektor pertanian juga memiliki kontribusi yang besar terhadap perekonomian di Provinsi Riau selain sektor industri tanpa migas dan sektor perdagangan. Pada awal tahun 2007, potensi pertanian khususnya tanaman pangan dan hortikultura cukup besar dimana untuk penggunaan lahan sawah sebesar 278.876 Ha dan bukan lahan sawah 1.120.177 Ha dari luas 8.915.016 Ha. Pendapatan regional per kapita tanpa migas atas dasar harga berlaku di Provinsi Riau meningkat dari tahun 2008 sebesar 26,27 juta rupiah menjadi 30,87 juta rupiah pada tahun 2009. Komoditi unggulan Provinsi Riau untuk sektor pertanian terdiri dari padi, jagung, umbi-umbian dan lain-lain (BPS 2010). Kuantitas Konsumsi Pangan Konsumsi Energi Energi diperlukan untuk metabolisme, pertumbuhan, pengaturan suhu, dan aktivitas tubuh. Kebutuhan energi diperoleh terutama dari karbohidrat dan lemak. Meskipun protein mampu memberikan energi, namun pemanfaatannya lebih diutamakan untuk menyediakan asam amino bagi sintesis protein sel, hormon, dan enzim untuk mengatur metabolisme (Pudjiadi 2001). Kelebihan energi akan disimpan sebagai cadangan energi dalam bentuk glikogen sebagai cadangan energi jangka pendek dan dalam bentuk lemak sebagai cadangan jangka panjang (Hardinsyah & Tambunan 2004). Kekurangan asupan energi yang berlangsung lama akan berpengaruh pada kualitas sumber daya manusia (SDM), diantaranya dapat menurunkan produktivitas kerja, kecerdasan, imunitas, dan lainnya. Tingkat
konsumsi
pangan
dapat
memberikan
gambaran
kondisi
kesehatan penduduk di suatu wilayah yang ditinjau dari aspek keadaan gizinya. Indikator yang digunakan untuk analisis konsumsi dapat dilakukan secara kuantitatif dan kualitatif. Analisis secara kuantitatif dilakukan dengan menghitung tingkat kecukupan energi (TKE) dan protein (TKP). Nilai TKE adalah proporsi konsumsi energi aktual terhadap angka kecukupan energi (AKE) yang dianjurkan. Penilaian
konsumsi
energi
dan
protein
tersebut
mengacu
pada
Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VIII (WNPG) tahun 2004, yaitu kecukupan konsumsi energi yang dianjurkan sebesar 2000 kkal/kapita/hari dan kecukupan
26
konsumsi protein adalah sebesar 52 g/kapita/hari. Jumlah konsumsi tersebut harus terpenuhi agar setiap orang dapat hidup sehat, aktif, dan produktif. Secara umum, konsumsi energi dan tingkat kecukupan energi aktual penduduk di Provinsi Riau pada tahun 2008 sampai 2010 menurun. Konsumsi energi penduduk di Provinsi Riau pada tahun 2008 sudah melebihi angka kecukupan energi yang dianjurkan (2144 kkal atau 107,2% AKE). Namun konsumsi energi penduduk menurunpada tahun 2009 menjadi 1933 kkal dengan 96,6% AKE dan pada tahun 2010 sebesar 1904 kkal atau 95,3% AKE. Departemen Kesehatan (1996) melakukan klasifikasi untuk penilaian tingkat kecukupan energi. Klasifikasi tersebut adalah defisit berat (AKE <70%), defisit tingkat sedang (AKE: 70-79%), defisit tingkat ringan (AKE: 80-89%), normal (AKE: 90-119%), dan berlebih (AKE>120%). Mengacu pada klasifikasi tersebut, secara umum tingkat kecukupan energi di Provinsi Riau pada tahun 2008 sampai 2010 adalah normal. Tingkat kecukupan energi di Provinsi Riau pada tahun 2008 sampai 2010 dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4 Tingkat kecukupan energi di Provinsi Riau No
Konsumsi (kkal/kap/hari)
Wilayah
Tingkat Kecukupan (%AKE)*
Pertumbuhan
2008
2009
2010
2008
2009
2010
Konsumsi
Pertahun (%)
1
Pedesaan
2231
1933
1924
111,5
96,6
96,2
-153,5
-6,9
2
Perkotaan
2065
1932
1884
103,3
96,6
94,2
-90,5
-4,5
Pedesaan+Perkotaan
2144
1933
1904
107,2
96,6
95,3
-120
-5,7
Keterangan : *) Angka Kecukupan Energi (AKE) = 2000 kkal/kap/hari
Berdasarkan Tabel 4 di atas, dapat dilihat laju pertumbuhan konsumsi energi penduduk di Provinsi Riau pada tahun 2008 sampai 2010 menunjukkan nilai negatif. Hal ini berarti pada tahun 2008 sampai 2010 terjadi penurunan konsumsi
energi
di
wilayah
pedesaan,
perkotaan,
dan
wilayah
pedesaan+perkotaan masing-masing sebesar 6,9%, 4,5%, dan 5,7%. Situasi konsumsi energi di Provinsi Riau mengalami pola yang serupa dengan situasi konsumsi energi nasional yang menurun dari tahun 2008-2010. Berdasarkan data Susenas yang diolah oleh BKP (2012), konsumsi energi penduduk Indonesia pada tahun 2008 adalah 2038 kkal/kapita/hari (101,9% AKE), tahun 2009 adalah 1927 kkal/kapita/hari (96,4% AKE), dan tahun 2010 adalah 1926 kkal/kapita/hari (97,6% AKE).
27
Menurut Khomsan dan Kusharto (2004), kebutuhan pangan suatu wilayah dipengaruhi
oleh
pertumbuhanpendudukdan
juga
pertumbuhan
ekonomi.
Menurut BPS (2011), pertumbuhan ekonomi di Provinsi Riau pada tahun 2008 mencapai 5,65% dan berada di atas pertumbuhan ekonomi nasional yang mencapai 5,50%. Namun pertumbuhan ekonomi di Provinsi Riau mengalami penurunan pada tahun 2009 yaitu 2,97% dan berada di bawah pertumbuhan ekonomi nasional yaitu 4,74%.Kemudian dalam kajian ekonomi regional yang dilakukan oleh Bank Indonesia Pekanbaru (2010), pertumbuhan ekonomi di Provinsi Riau pada tahun 2010 hanya mencapai 4,17%. Pertumbuhan ekonomi tersebut jauh berada di bawah pertumbuhan ekonomi nasional yang mencapai 6,08%. Dalam konteks ilmu ekonomi, pertumbuhan ekonomi digunakan untuk menilai aktivitas ekonomi yang menyerap tenaga kerja serta menciptakan sumber mata pencarian dan sekaligus pendapatan yang berhubungan erat dengan daya beli (Syah 2008). Daya beli yang rendah akan memungkinkan masyarakat tidak mampu dalam memenuhi kebutuhannya. Daya beli yang terbatas dapat menyebabkan rendahnya akses atau permintaan masyarakat terhadap kebutuhan primer yang termasuk ke dalamnya kebutuhan konsumsi pangan. Hasil Pra WNPG IX, bulan Juni 2008 menunjukkan bahwa masalah ketahanan pangan disebabkan oleh rendahnya keterjangkauan pangan sebagian penduduk. Menurut Suryana (2008), keterjangkauan pangan masyarakat harus memenuhi tiga hal yaitu ekonomi, fisik, dan sosial. Keterjangkauan ekonomi artinya masyarakat dapat mempunyai daya beli yang cukup untuk mendapatkan bahan pangan yang sesuai kebutuhan dan pilihan setiap individu anggotanya. Keterjangkauan fisik artinya masyarakat dapat menjangkau pangan dengan mudah karena adanya dukungan prasarana dan sarana mobilitas maupun pasar yang memadai. Menurut BKP Riau (2009), Secara umum kondisi sarana dan prasarana di Riau masih belum mendukung kinerja subsistem distribusi pangan daerah. Masih terdapat kekurangan pada fasilitas prasarana jalan, pelabuhan, dan sarana angkutan sehingga menyebabkan mahalnya biaya distribusi dari sentra produksi ke sentra konsumsi. Hal ini terutama terdapat di daerah kepulauan seperti Kabupaten Bengkalis, Indragiri Hilir, dan Pelalawan serta daerah terpencil lainnya. Minimnya prasarana dan sarana ini menyebabkan daerah-daerah tertentu menjadi sangat terisolir dan sulitnya masyarakat mengakses pangan. Oleh karena itu, kedepannya pemerintah Provinsi Riau perlu
28
melakukan perubahan dan mengalokasikan anggaran yang cukup untuk sarana dan prasarana yang mendukung kelancaran disrtribusi pangan ke seluruh wilayah. Pertumbuhan pendudukyang cepat merupakan isu sentral yang dihadapi dunia, terlebih di negaraberkembang termasuk Indonesia. Konsekuensi dari hal tersebut
adalahpeningkatan
kebutuhan
pangan
untuk
mengimbangi
pertambahan penduduk.Disisi lain, menurut Khomsan dan Kusharto (2004), bila jumlah penduduk meningkat makaakan terjadi kompetisi pemanfaatan lahan yang dapat mengancam keberadaan lahanpertanian. Konversi lahan pertanian akan mengancam pemantapan ketahananpangan. Berdasarkan data BPS (2010), laju pertumbuhan penduduk di Provinsi Riau cukup tinggi yaitu mencapai 3,59% per tahun. Hal ini dapat berdampak pada konversi lahan potensial pertanian ke lahan non pertanian seperti perumahan, daerah industri, dan lainlain. Menurut data BPS (2010) terjadi penurunan luas panen pada padi dan jagung pada tahun 2010 yaitu masing-masing mencapai1,31% dan 34,28%. Penurunan luas panen pada lahan jagung mengakibatkan penurunan produksi jagung pada tahun 2010. Produksi jagung pada tahun 2009 tercatat mencapai 49,8 ribu ton dan menurun menjadi 41,9 ribu ton pada tahun 2010 yang berarti mengalami penurunan produksi sekitar -15,9% (BKP Riau 2011).Mengingat jagung merupakan komoditas kelompok pangan padi-padian, maka penurunan produksi jagung mengurangi produksi pada kelompok pangan padi-padian. Penurunan produksi tersebut diikuti oleh penurunan konsumsi pada kelompok pangan padi-padian yang dapat dilihat pada tabel 5. Selain kelompok padi-padian, sumber pangan karbohidrat yang dapat menjadi sumber energi penduduk adalah kelompok pangan umbi-umbian. Menurut (BKP Riau 2011), perkembangan produksi kelompok pangan umbiumbian di Provinsi Riau mengalamipeningkatan produksi dengan pertumbuhan per tahun pada tahun 2008-2010 mencapai 15,9%.Namun konsumsi masyarakat terhadap kelompok pangan umbi-umbian sebagai sumber energi masih sangat rendah apabila dibandingkan konsumsi pada kelompok padi-padian yang dapat dilihat pada Tabel 5. Konsumsi pangan dari kelompok umbi-umbian yang dianjurkan adalah 90 g/kapita/hari. Konsumsi pangan dari kelompok umbiumbian pada tahun 2008 masih rendah yaitu 44 g/kapita/hari. Begitu juga dengan konsumsi pada tahun 2009 dan 2010 yaitu 35 g/kapita/hari.
29
Pada tahun 2008, kelompok umbi-umbian hanya menyumbang 2,2% dari total konsumsi energi yang dianjurkan WNPG (2000kkal/kapita/hari). Angka tersebut menurun pada tahun 2009 dan 2010 yaitu masing-masing hanya menyumbang 1,8% energi dari kontribusi energi yang seharusnya yaitu 6% dari kelompok pangan umbi-umbian.
Tabel 5 Tingkat konsumsi energi di Provinsi Riau menurut kelompok pangan berdasarkan data Susenas tahun 2008-2010 2008 No
1 2 3 4 5 6 7 8 9
Kelompok Pangan Pedesaan+perkotaan Padi-padian Umbi-umbian Pangan Hewani Minyak dan Lemak Buah/Biji Berminyak Kacang-kacangan Gula Sayur dan Buah Lain-lain Total
g/kap/hari 1167 44 209 354 72 45 122 95 36 2144
2009 % TKE 58,3 2,2 10,5 17,7 3,6 2,3 6,1 4,7 1,8 107,2
g/kap/hari 1101 35 207 271 69 37 107 81 25 1933
2010 % TKE 55,0 1,8 10,3 13,6 3,4 1,8 5,4 4,0 1,2 96,6
g/kap/hari
% TKE
1083 35 214 266 65 35 104 76 26 1904
54,2 1,8 10,7 13,3 3,2 1,8 5,2 3,8 1,3 95,2
Apabila dibedakan menurut wilayah, konsumsi energi di pedesaan lebih tinggi dibandingkan perkotaan. Tabel 6 menyajikan konsumsi energi penduduk di Provinsi Riau yang dibedakan menurut wilayah pedesaan dan perkotaan. Dapat diketahui bahwa konsumsi energi penduduk di pedesaan lebih besar daripada di perkotaan untuk kelompok pangan sumber energi baik dari kelompok padipadian maupun umbi-umbian. Konsumsi energi di wilayah pedesaan pada tahun 2008 adalah 2231 kkal/kapita/hari (111,5% AKE) sementara konsumsi energi di wilayah perkotaan adalah 2065 kkal/kapita/hari (103,3% AKE). Pada tahun 2009 konsumsi energi di wilayah pedesaan adalah 1933 kkal/kapita/hari (96,6% AKE) dan di perkotaan 1932 kkal/kapita/hari (96,6% AKE).Tahun 2010 konsumsi energi di wilayah pedesaan adalah 1924 kkal/kapita/hari (96,2% AKE) dan di wilayah perkotaanadalah 1884 kkal/kapita/hari (94,2% AKE).Berdasarkan data Susenas yang diolah oleh BKP (2012), konsumsi energi penduduk Indonesia di wilayah pedesaan juga menunjukkan nilai yang lebih besar daripada wilayah perkotaan. Tahun 2008, konsumsi energi penduduk Indonesia di pedesaan adalah 2095 kkal/kapita/hari (104,8% AKE) dan perkotaan 1976 kkal/kapita/hari (98,8% AKE), tahun 2009 konsumsi energi di pedesaan 1961 kkal/kapita/hari (98,1% AKE) dan perkotaan 1891 kkal/kapita/hari (94,6% AKE), dan tahun 2010
30
konsumsi penduduk Indonesia di pedesaan 1966 kkal/kapita/hari (100,3% AKE) dan di perkotaan 1884 kkal/kapita/hari (94,9% AKE). Menurut Regmi dan Dyck (2001), terdapatnya perbedaan konsumsi energi antara penduduk pedesaan dan perkotaan diantaranya adalah karena perbedaan gaya hidup, ketersediaan pangan, dan kemampuan untuk membeli pangan.Aktivitas penduduk di pedesaan umumnya membutuhkan energi yang lebih besar dibandingkan penduduk perkotaanyang cenderung bergaya hidup sedentarysehingga relatif membutuhkan dan mengkonsumsi energi yang lebih sedikit.Selain itu, menurut Martianto, Ariani, dan Hardinsyah (2003), tingkat pendapatan yang terbatas di pedesaan membuat seseorang cenderung mengalokasikan pendapatannya untuk membeli pangan yang murah dan memberi rasa kenyang. Pangan tersebut umumnya merupakan pangan sumber karbohidrat dan menjadi penyumbang energi terbesar. Tabel 6 Tingkat konsumsi energi di wilayah pedesaan dan perkotaan Provinsi Riau menurut kelompok pangan berdasarkan data Susenas tahun 20082010 2008 No
1 2 3 4 5 6 7 8 9
1 2 3 4 5 6 7 8 9
Kelompok Pangan Pedesaan Padi-padian Umbi-umbian Pangan Hewani Minyak dan Lemak Buah/Biji Berminyak Kacang-kacangan Gula Sayur dan Buah Lain-lain Total Perkotaan Padi-padian Umbi-umbian Pangan Hewani Minyak dan Lemak Buah/Biji Berminyak Kacang-kacangan Gula Sayur dan Buah Lain-lain Total
g/kap/hari
2009 % TKE
g/kap/hari
2010 % TKE
g/kap/hari
% TKE
1212 51 185 380 84 44 142 95 37 2231
60,6 2,5 9,3 19,0 4,2 2,2 7,1 4,7 1,9 111,5
1105 37 179 266 80 36 121 83 26 1933
55,3 1,9 9,0 13,3 4,0 1,8 6,0 4,2 1,3 96,6
1102 37 187 268 75 35 116 78 26 1924
55,1 1,9 9,3 13,4 3,8 1,8 5,8 3,9 1,3 96,2
1122 38 233 328 66 46 102 94 35 2065
56,1 1,9 11,7 16,4 3,3 2,3 5,1 4,7 1,7 103,3
1.096 33 234 277 57 38 94 79 24 1932
54,8 1,7 11,7 13,8 2,8 1,9 4,7 4,0 1,2 96,6
1.064 34 240 264 54 35 93 74 26 1884
53,2 1,7 12,0 13,2 2,7 1,8 4,6 3,7 1,3 94,2
Pada Tabel 6 di atas juga dapat dilihat bahwa untuk kontribusi konsumsi energi dari kelompok padi-padian wilayah pedesaan di Provinsi Riau tahun 2008 adalah 60,6% dan sudah melebihi angka yang dianjurkan yaitu 50%. Sama halnya dengan kontribusi konsumsi energi di perkotaan dari kelompok padipadian sudah melebihi angka yang dianjurkan yaitu mencapai 56,1%. Namun proporsi kontribusi energi dari kelompok padi-padian di wilayah pedesaan lebih
31
tinggi 4,5% dibandingkan wilayah perkotaan.Pada tahun 2009 dan 2010, kontribusi konsumsi energi dari kelompok padi-padian di wilayah pedesaan dan perkotaan menurun dari tahun 2008, namun kontribusi konsumsi energi tersebut masih berada di atas kontribusi energi yang dianjurkan. Sementara untuk kontribusi energi dari konsumsi pangan umbi-umbian masih sangat rendah. Pada tahun 2008 kontribusi konsumsi energi dari kelompok pangan umbi-umbian di wilayah pedesaan adalah 2,5% dan di wilayah perkotaan adalah 1,9%. Kontribusi tersebut masih jauh berada di bawah kontribusi yang diharapkan dari kelompok pangan umbi-umbian yaitu 6% dari AKE 2000 kkal/kapita/hari. Konsumsi Protein Protein adalah salah satu zat gizi yang penting untuk pertumbuhan. Protein yang dikonsumsi sehari-hari terdiri dari berbagai macam asam amino. Jumlah protein yang diberikan dikatakan adekuat apabila mengandung asam amino esensial dalam jumlah yang cukup, mudah dicerna, dan diserap oleh tubuh. Konsumsi protein yang dianjurkan menurut WNPG VIII tahun 2004 adalah sebesar 52 g/kapita/hari. Secara umum, konsumsi protein di Provinsi Riau pada tahun 2008 sampai tahun 2010 sudah melebihi angka kecukupan yang dianjurkan. Konsumsi protein pada tahun 2008 adalah 57,9 g/kapita/hari, kemudian konsumsimenurun pada tahun 2009 menjadi 54,7 g/kapita/hari. Konsumsi meningkat kembali pada tahun 2010 menjadi 55 g/kapita/hari. Situasi konsumsi protein di Provinsi Riau mengikuti pola konsumsi protein nasional. Berdasarkan data Susenas yang diolah oleh BKP (2012), konsumsi protein penduduk Indonesia tahun 2008 adalah 57,49 g/kapita/hari. Kemudian konsumsi juga mengalami penurunan pada tahun 2009 menjadi 54,35 g/kapita/hari dan meningkat kembali pada tahun 2010 menjadi 55,05 g/kapita/hari. Situasi tingkat kecukupan protein di Provinsi Riau pada tahun 2008 sampai 2010 dapat dilihat pada Tabel 7. Tabel 7Tingkat kecukupan protein di Provinsi Riau No
Wilayah
Konsumsi (gram/kap/hari)
Tingkat Kecukupan (%AKP)*
Pertumbuhan
2008
2009
2010
2008
2009
2010
Konsumsi
%
1
Pedesaan
57,8
53,4
54,0
111,2
102,6
103,8
-1,9
-3,2
2
Perkotaan
58,2
56,1
56,1
111,9
107,8
107,8
-1,1
-1,8
Pedesaan+Perkotan
57,9
54,7
55,0
111,4
105,3
105,8
-1,5
-2,5
Keterangan : *) Angka Kecukupan Protein (AKP) = 52 g/kapita/hari
32
Sama halnya dengan denganlaju pertumbuhan konsumsi energi, laju pertumbuhan konsumsi protein di Provinsi Riau juga bernilai negatif. Pada tahun 2008 sampai 2010 terjadi penurunan konsumsi protein diwilayah pedesaan, perkotaan, dan wilayah pedesaan+perkotaan masing-masing sebesar 3,2%, 1,8%, dan 2,5%. Laju penurunan konsumsi protein di wilayah pedesaan lebih besar dibandingkan perkotaan. Hal ini disebabkan terjadinya penurunan konsumsi pangan dari kelompok padi-padian yang cukup besar di wilayah pedesaan yang dapat dilihat pada Tabel 6. Seperti yang diketahui, masyarakat pedesaan cenderung lebih banyak mengkonsumsi pangan sumber karbohidrat yang berasal dari kelompok padi-padian terutama beras. Kelompok padi-padian, selain menjadi sumber energi terbesar juga menjadi sumber protein terbesar di wilayah pedesaan sehingga penurunan konsumsi pangan tersebut dapat mempengaruhi penurunan konsumsi protein penduduk pedesaan. Selanjutnya Tabel 8 menyajikan konsumsi protein penduduk di Provinsi Riau menurut kelompok pangan. Meskipun konsumsi protein menurun pada tahun 2009 menjadi 54,7 g/kapita/hari, namun kontribusi protein dari pangan hewani semakin membaik. Pada tahun 2008, tingkat konsumsi protein dari pangan nabati mencapai 51,1% dari kelompok padi-padian. Kemudian konsumsi protein semakin membaik pada tahun 2009 dan 2010 yang ditandai dengan penurunan kontribusi protein dari pangan nabati dan terjadinya peningkatan kontribusi protein dari pangan hewani. Menurut Pudjiaji (2001), protein yang berasal dari hewan lebih baik kualitasnya dibandingkan protein nabati. Pada tahun 2008 kontribusi protein dari pangan hewani adalah 38,6%, tahun 2009 meningkat menjadi 39,7% dan pada tahun 2010 menjadi 41,4%. Tabel 8 Tingkat konsumsi protein di Provinsi Riau menurut kelompok pangan berdasarkan data Susenas tahun 2008-2010 2008 No
1 2 3 4 5 6 7 8 9
Kelompok Pangan Pedesaan+perkotaan Padi-padian Umbi-umbian Pangan Hewani Minyak dan Lemak Buah/Biji Berminyak Kacang-kacangan Gula Sayur dan Buah Lain-lain Total
g/kap/hari 26,6 0,5 20,1 0,1 0,8 4,0 0,0 3,7 2,1 57,9
2009 % TKE 51,1 1,0 38,6 0,1 1,5 7,8 0,1 7,2 4,1 111,4
g/kap/hari 25,2 0,4 20,6 0,1 0,7 3,3 0,0 2,9 1,4 54,7
2010 % TKE 48,5 0,8 39,7 0,1 1,4 6,4 0,0 5,5 2,7 105,3
g/kap/hari
% TKE
24,9 0,4 21,5 0,0 0,7 3,2 0,0 2,8 1,5 55,0
47,8 0,8 41,4 0,1 1,3 6,1 0,0 5,4 2,9 105,8
33
Apabila dibedakan menurut wilayah, tingkat konsumsi protein di wilayah pedesaan lebih rendah daripada wilayah perkotaan. Konsumsi protein di wilayah pedesaan pada tahun 2008 adalah 57,8 g//kapita/hari (111,2% AKP) sementara di wilayah perkotaan adalah 58,2 g/kapita/hari (111,9% AKP). Konsumsi protein di wilayah pedesaan pada tahun 2009 adalah 53,4 g/kapita/hari ( 102,6% AKP) dan di perkotaan 56,1 g//kapita/hari (107,8% AKP). Tahun 2010 konsumsi protein di wilayah pedesaan adalah 54,0 g/kapita/hari 103,8% AKP) dan di wilayah perkotaan 56,1 g/kapita/hari (107,8% AKP). Berdasarkan data Susenas yang diolah oleh BKP (2012), konsumsi protein penduduk Indonesia di wilayah pedesaan juga menunjukkan nilai yang lebih rendah daripada wilayah perkotaan. Tahun 2008, konsumsi protein penduduk Indonesia di pedesaan adalah 56,9 g/kapita/hari (109,4% AKP) dan perkotaan 58,3 g/kapita/hari (112,1% AKP), tahun 2009 konsumsi protein di pedesaan 53,1 g/kapita/hari (102,1% AKP) dan perkotaan 55,7 g/kapita/hari (107,1% AKP), dan tahun 2010 konsumsi protein penduduk Indonesia di pedesaan 53,9 g/kapita/hari (10,8% AKP) dan di perkotaan 56,2 g/kapita/hari (108,1% AKP). Menurut Hardinsyah et al (2002), beberapa faktor yang mempengaruhi konsumsi pangan diantaranya adalah pendapatan.Pendapatan yang rendah berhubungan dengan akses yang terbatas terhadap pangan yang layak untuk dikonsumsi. Kemudian, seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, masyarakat pedesaan cenderung memperoleh protein lebih besar dari kelompok nabati daripada hewani. Sementara itu, masyarakat di perkotaan lebih banyak mengkonsumsi protein yang berasal dari pangan hewani daripada masyarakat pedesaan. Aspek distribusi pangan juga dapat mempengaruhi pola konsumsi pangan penduduk sehingga aspek transportasi dan distribusi pangan dapat menjadi sangat vital dalam penyediaan pangan yang merata bagi seluruh penduduk. Perbaikan konsumsi pangan perlu dicermati secara komprehensif, baik dari dimensi fisik penyediaan maupun dari dimensi ekonomi dan kesadaran gizi, serta faktor-faktor lain yang mempengaruhinya. Tabel 9 menyajikan tingkat konsumsi protein di wilayah pedesaan dan perkotaan di Provinsi Riau menurut kelompok pangan. Dapat dilihat kontribusi protein di wilayah pedesaan dari kelompok padi-padian pada tahun 2008 mencapai 53,2%, sementara untuk wilayah perkotaan adalah 49%. Kemudian konsumsi protein semakin membaik pada tahun 2009 dan 2010 yang ditandai
34
dengan penurunan kontribusi protein dari pangan nabati dan terjadinya peningkatan kontribusi protein dari pangan hewani baik di wilayah pedesaan maupun perkotaan. Pada tahun 2008 kontribusi protein dari pangan hewani di wilayah pedesaan adalah 35,1%, tahun 2009 meningkat menjadi 36,4% dan pada tahun 2010 menjadi 37,8%. Pada wilayah perkotaan, kontribusi protein dari pangan hewani meningkat dari tahun 2008 yaitu 42,2%, tahun 2009 menjadi 42,9%, dan pada tahun 2010 adalah 44,9%. Tabel 9 Tingkat konsumsi protein di wilayah pedesaan dan perkotaan Provinsi Riau menurut kelompok pangan berdasarkan data Susenas tahun 20082010 2008 No
1 2 3 4 5 6 7 8 9
1 2 3 4 5 6 7 8 9
Kelompok Pangan
g/kap/hari
Pedesaan Padi-padian Umbi-umbian Pangan Hewani Minyak dan Lemak Buah/Biji Berminyak Kacang-kacangan Gula Sayur dan Buah Lain-lain Total Perkotaan Padi-padian Umbi-umbian Pangan Hewani Minyak dan Lemak Buah/Biji Berminyak Kacang-kacangan Gula Sayur dan Buah Lain-lain Total
2009 % TKE
2010 % TKE
g/kap/hari
g/kap/hari
% TKE
27,7 0,6 18,2 0,1 0,9 3,9 0,0 4,0 2,4 57,8
53,2 1,1 35,1 0,1 1,7 7,5 0,1 7,7 4,6 111,2
25,3 0,4 18,9 0,1 0,9 3,1 0,0 3,0 1,6 53,4
48,7 0,8 36,4 0,1 1,7 6,0 0,0 5,8 3,0 102,6
25,3 0,4 19,7 0,1 0,8 3,1 0,0 2,9 1,7 54,0
48,7 0,8 37,8 0,1 1,5 6,0 0,0 5,6 3,2 103,8
25,5 0,5 21,9 0,1 0,8 4,1 0,0 3,4 1,9 58,2
49,0 1,0 42,2 0,1 1,5 8,0 0,0 6,6 3,6 111,9
25,1 0,4 22,3 0,1 0,6 3,5 0,0 2,7 1,2 56,1
48,3 0,8 42,9 0,2 1,2 6,8 0,0 5,3 2,4 107,8
24,4 0,4 23,3 0,0 0,6 3,2 0,0 2,7 1,3 56,1
47,0 0,8 44,9 0,0 1,1 6,2 0,0 5,1 2,5 107,8
Kualitas Konsumsi Pangan Tidak ada satupun makanan yang mengandung zat gizi yang lengkap sehingga seseorang perlu mengkonsumsi makanan yang beraneka ragam. Penganekaragaman konsumsi pangan selama ini sering diartikan berupa penganekaragaman
konsumsi
pangan
pokok,
terutama
non
beras.
Penganekaragaman konsumsi pangan seharusnya mengkonsumsi anekaragam pangan dari berbagai kelompok pangan, baik pangan pokok, lauk pauk, serta sayur dan buah dalam jumlah yang cukup. Tujuan utama penganekaragaman konsumsi pangan adalah untuk meningkatkan mutu gizi konsumsi pangan dan mengurangi ketergantungan
35
konsumsi pada salah satu jenis atau kelompok pangan. Hal ini baik secara langsung dan tidak langsung dapat berdampak pada kesehatan penduduk (Hadinsyah 1996). Salah satu parameter yang dapat digunakan untuk melihat mutu dan keragaman konsumsi pangan penduduk adalah skor PPH. Semakin tinggi skor PPH maka mutu dan keragaman konsumsi semkin baik. Tabel 10 menunjukkan terjadi penurunan skor PPH konsumsi pangan penduduk di Provinsi Riau dari tahun 2008 sampai 2010. Skor PPH konsumsi pada tahun 2008 sudah cukup baik yaitu 83,7. Namun skor PPH menurunpada tahun 2009 dan 2010 yaitu masing-masing 79,0 dan 78,2. Berdasarkan data Susenas yang diolah oleh BKP (2012), kualitas konsumsi pangan penduduk Indonesia pada tahun 2008 sampai 2010 menunjukkan perkembangan yang fluktuatif. Skor PPH konsumsi Indonesia tahun 2008 adalah 81,9, tahun 2009 adalah 75,7, dan tahun 2010 adalah 77,5. Kondisi konsumsi pangan yang belum berimbang menyebabkan skor mutu dan keragaman konsumsi pangan masih rendah. Konsumsi kelompok pangan yang masih rendah di Provinsi Riau adalah kelompok umbi-umbian, pangan hewani, kacang-kacangan, serta sayur dan buah yang ditunjukkan oleh skor PPH kelompok pangan tersebut belum mencapai skor maksimum dan cenderung menurun setiap tahun. Konsumsi kelompok pangan umbi-umbian masih sangat rendah yang ditunjukkan dengan skor PPH konsumsi umbi-umbian pada tahun 2008 sampai 2010 berturut-turut adalah 1,1, 0,9, dan 0,9. Skor PPH untuk konsumsi umbi-umbian tersebut masih berada di bawah skor idealnya yaitu 2,5. Kemudian kelompok pangan hewani juga memiliki skor aktual yang berada di bawah skor ideal yaitu 24. Pada tahun 2008 skor aktual pangan hewani adalah 20,9, tahun 2009 adalah 20,7, dan tahun 2010 adalah 21,4. Kelompok pangan kacang-kacangan pada tahun 2008 memiliki skor aktual 4,5, tahun 2009 adalah 3,7, dan tahun 2010 adalah 3,5 dari skor ideal 10. Selain itu kelompok pangan sayur dan buah juga memiliki skor PPH aktual yang berada di bawah skor PPH ideal yaitu 30. Pada tahun 2008 skor PPH aktual kelompok sayur dan buah adalah 23,6, tahun 2009 adalah 20,2, dan tahun 2010 adalah 18,9. Sama halnya dengan konsumsi kelompok pangan di Provinsi Riau, konsumsi pangan penduduk Indonesia juga masih sangat rendah untuk kelompok umbi-umbian, pangan hewani, kacang-kacangan, serta sayur dan buah. Skor PPH konsumsi kelompok pangan umbi-umbian Indonesia pada tahun
36
2008 sampai 2010 berturut-turut adalah 1,6, 1,2, dan 1,1. Kemudian skor PPH kelompok kacang-kacangan adalah tahun 2008 adalah 6,2 tahun, tahun 2009 adalah 5,7, dan tahun2010 adalah 5,8.Kelompok pangan sayur dan buah memiliki skor PPH 25,1 pada tahun 2008, 21,0 pada tahun 2009, dan 21,5 pada tahun 2010. Skor PPH konsumsi pangan penduduk di Provinsi Riau pada tahun 2008-2010 disajikan pada Tabel 10.
Tabel 10 Skor PPH konsumsi pangan penduduk di Provinsi Riau tahun 20082015 No 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Kelompok Pangan Padi-padian Umbi-umbian Pangan Hewani Minyak dan Lemak Buah/Biji Berminyak Kacang-kacangan Gula Sayur dan Buah Lain-lain Total
Skor ideal 25,0 2,5 24,0 5,0 1,0 10,0 2,5 30,0 0,0
2008 PPH 25,0 1,1 20,9 5,0 1,0 4,5 2,5 23,6 0,0 83,7
2009 PPH 25,0 0,9 20,7 5,0 1,0 3,7 2,5 20,2 0,0 79,0
2010 PPH 25,0 0,9 21,4 5,0 1,0 3,5 2,5 18,9 0,0 78,2
Pertumbuhan Skor % 0 0 -0,1 -9,1 0,3 1,2 0 0 0 0 -0,5 -11,6 0 0 -2,4 -10,4 0 0
Kemudian pada Tabel 10 juga dapat diketahui skor PPH untuk kelompok padi-padian sudah mencapai skor maksimum. Telah diuraikan sebelumnya bahwa konsumsi pangan sumber energi dan karbohidrat terbesar penduduk di Provinsi Riau masih didominasi oleh kelompok padi-padian. Sementara itu, skoruntuk konsumsi umbi-umbian menunjukkan nilai yang berada di bawah skor ideal. Menurut (BKP Riau 2011), ketersediaan untuk kelompok pangan umbiumbian di Provinsi Riau mengalami peningkatan dengan pertumbuhan dari tahun 2009-2010 mencapai 29,3%.Ketersediaan paling besar dari kelompok umbiumbian adalah komoditas sagu yang pada tahun 2010 mencapai 222,1ribu ton. Kemudian untuk ubi kayu, ubi jalar, dan kentang masing-masing adalah 80ribu ton, 16,7 ribu ton, dan 30 ribu ton. Namun dengan melihat skor PPH untuk kelompok pangan umbi-umbian, konsumsi masyarakat terhadap kelompok pangan umbi-umbian masih sangat rendah. Kondisi tersebut menunjukkan bahwa kualitas pangan penduduk Riau perlu diperbaiki. Program diversifikasi pangan perlu dilakukan agar ketergantungan terhadap kelompok padi-padian khususnya beras sebagai sumber energi dan karbohidrat dapat dikurangi. Sementara itu, konsumsi terhadap umbi-umbian perlu ditingkatkan.
37
Skor yang masih rendah juga terjadi pada konsumsi kelompok kacangkacangan. Menurut data BKP Riau (2011), produksi kacang-kacangan di Provinsi Riau pada tahun 2008, 2009, 2010 masing-masing adalah 8,6 ribu ton, 8,9 ribu ribu ton, dan 9,1 ribu ton. Sementara untuk ketersediaan, pada tahun 2008 adalah 89,4 ribu ton, tahun 2009 adalah 104,7 ribu ton, dan pada tahun 2010 adalah 106,1 ribu ton. Produksi kacang-kacangan di Provinsi Riau belum mencukupi kebutuhan sehingga sebagian besar jenis kacang-kacangan harus didatangkan dari daerah lain. Apabila dilihat dari konsumsi pangan aktual penduduk dari kelompok kacang-kacangan pada tahun 2008 adalah 28,5 ribu ton, tahun 2009 adalah 23,3 ribu ton, dan tahun 2010 adalah 22,3 ribu ton. Jumlah konsumsi jauh berada di atas angka produksi, namun berada di bawah angka
ketersediaannya.Adanya
ketersediaan
kacang-kacangan
kesenjangan
yang
dengankonsumsi
cukup
penduduk
besar
antara
yang
dapat
diakibatkan oleh distribusi pangan seperti harga sehingga akses masyarakat terhadap kelompok pangan kacang-kacangan menurun. Menurut kajian perkembangan inflasi di Pekanbaru yang dilakukan oleh Bank Indonesia Pekanbaru (2010), Perkembangan inflasi di kota Pekanbaru menunjukkan kecenderungan lebih tinggidibandingkan dengan nasional. Hal ini antara lain disebabkan karena kelompok barang yang mempunyai sumbangan besar terhadap inflasi, seperti bahan makanan yang dipasok dari daerah lain yaitu Sumatera Barat, Sumatera Utara, dan Palembang. Dengan kondisi demikian maka adanyakenaikan BBM, kerusakan jalan, dan keterbatasan ketersediaan transportasi sangat berpotensi menyebabkan peningkatan harga di Provinsi
Riau
relatif
lebih
tinggi.
Kelompok
bahan
makanan
yang
cenderungmengalami inflasisangat tinggiyaitu beras, sayur dan buah, kacangkacangan, daging, telur, dan bumbu-bumbuan karena ketersediaannya sangat tergantung pada daerah lain. Oleh karena itu untuk membangun subsistem konsumsi yang mencakup pengelolaan pangan di tingkat rumah tangga untuk menjamin setiap individu memperoleh pangan dalam jumlah, mutu, dan gizi yang sesuai dengan kebutuhan, pembangunan subsistem distribusi sangat perlu dilakukan, yang mencakup pengaturan untuk menjamin akses penduduk secara fisik dan ekonomi terhadap pangan antar wilayah dan antar waktu serta stabilitas harga pangan. Kelompok pangan yang berperan sebagai sumber karbohidrat selain kelompok padi-padian adalah kelompok umbi-umbian. Pola konsumsi pangan
38
penduduk di Provinsi Riau masih dominan pangan karbohidrat dari kelompok padi-padian yaitu dengan kontribusi energi pada tahun 2008-2010 melebihi kontribusi yang dianjurkan. Kontribusi konsumsi kelompok padi-padian pada tahun 2008, 2009, dan 2010 berturut-turut adalah 58,3%, 55,0%, dan 54,2%. Kontribusi energi dari kelompok pangan umbi-umbian masih rendah. Kontribusi energi dari kelompok umbi-umbian pada tahun 2008, 2009, dan 2010 berturutturut adalah 2,2%, 1,8%, dan 0,9%. Selain kelompok umbi-umbian, kelompok pangan yang belum mencapai kontribusi konsumsi energi yang dianjurkan adalah pangan hewani, kacang-kacangan, serta sayur dan buah. Diharapkan konsumsi kelompok pangan tersebut dapat ditingkatkan secara bertahap sehingga dapat tercapai kondisi masyarakat yang sehat dan produktif. Kontribusi dan laju pertumbuhankonsumsi energi penduduk di Provinsi Riau menurut kelompok pangan pada tahun 2008-2010 dapat dilihat pada Tabel 11. Tabel 11 Kontribusi konsumsi energi menurut kelompok pangan No 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Kelompok Pangan Padi-padian Umbi-umbian Pangan Hewani Minyak dan Lemak Buah/Biji Berminyak Kacang-kacangan Gula Sayur dan Buah Lain-lain Total
Kontribusi Energi Ideal (%) 50,0 6,0 12,0 10,0 3,0 5,0 5,0 6,0 3,0 100,0
Kontribusi Energi Aktual (%) 2008 58,3 2,2 10,5 17,7 3,6 2,3 6,1 4,7 1,8 107,2
2009 55,0 1,8 10,3 13,6 3,4 1,8 5,4 4,0 1,2 96,6
Pertumbuhan (%)
2010 54,2 1,8 10,7 13,3 3,2 1,8 5,2 3,8 1,3 95,3
-3,5 -9,1 0,9 -12,7 -5,7 -10,9 -7,6 -9,9 -12,5
Pada Tabel 11, dapat diketahui kontribusi energi dari sebagian besar kelompok pangan masih belum ideal. Kontribusi energi aktual dari kelompok padi-padian, minyak dan lemak, buah/biji berminyak, dan gula sudah melebihi kontribusi idealnya. Namun pertumbuhan rata-rata kontribusi energi dari tahun 2008-2010 untuk kelompok pangan tersebut bernilai negatif yang menandakan bahwa kontribusi energi dari kelompok pangan tersebut menurun. Hal ini cukup baik mengingat kontribusi energi untuk kelompok pangan tersebut sudah melebihi ideal. Namun, perlu diperhatikan bahwa untuk beberapa kelompok pangan masih memiliki kontribusi energi aktual yang berada di bawah kontribusi energi idealnya. Kelompok pangan tersebut adalah kelompok pangan umbiumbian, pangan hewani, kacang-kacangan, sayur dan buah serta pangan lainnya
(bumbu-bumbuan).
Konsumsi
kelompok
pangan
tersebut
perlu
39
ditingkatkan agar tercapainya pola konsumsi pangan penduduk yang bergizi, beragam, dan berimbang. Pola konsumsi energi penduduk di Provinsi Riau tahun 2008-2010 juga dibedakan berdasarkan wilayah pedesaan dan perkotaan yang dapat dilihat pada Lampiran 2. Proyeksi Konsumsi Pangan Penduduk di Provinsi Riau Berdasarkan PPH Berdasarkan data Susenas tahun 2010,konsumsi pangan penduduk di Provinsi Riau mempunyai skor PPH 78,2. Skor PPH tersebut masih rendah karena terdapat kekurangan sebesar 11,8 poin apabila dibandingkan dengan skor PPH sesuai dengan SPM di bidang ketahanan pangan yaitu 90. Rendahnya skor tersebut tergantung pada pencapaian sumbangan atau proporsi setiap kelompok pangan yang dikonsumsi. Proporsi konsumsi energi dari kelompok padi-padian, minyak dan lemak, buah dan biji berminyak, gula serta sayur dan buah telah melebihi sumbangan yang diharapkan. Sedangkan pencapaian proporsi keempat kelompok pangan lainnya yaitu umbi-umbian, pangan hewani, kacang-kacangan serta sayur dan buah masih rendah jika dibandingkan dengan sasaran ideal. Proyeksi konsumsi pangan berdasarkan PPH dilakukan karena PPH merupakan jenis dan jumlah kelompok pangan utama yang dianjurkan untuk memenuhi kebutuhan energi dan zat gizi. Dengan terpenuhinya kebutuhan energi dari berbagai kelompok pangan sesuai PPH maka secara implisit kebutuhan zat gizi juga terpenuhi kecuali untuk zat gizi yang sangat defisit dalam suatu kelompok pangan. Diharapkan pada tahun 2015, skor PPH konsumsi pangan penduduk di Provinsi Riau sudah mencapai skor PPH sesuai dengan SPM di bidang ketahanan pangan yaitu 90. Target atau sasaran tersebut akan dicapai secara bertahap sehingga diharapkan pada tahun 2020 konsumsi pangan sudah dapat menacapai skor PPH ideal yaitu 100. Dengan cara interpolasi linear diharapkan terjadi peningkatan skor PPH sebesar 2,4 poin setiap tahunnya. Hasil analisis pada Tabel 12 menunjukkan bahwa skor PPH tahun 2011 sampai tahun 2015 berturut-turut adalah 80,6, 83,0 85,4, 87,9, dan 90,3. Tabel 12 Proyeksi skor PPHdi Provinsi Riau berdasarkan kelompok pangan No
Kelompok Pangan
1 2 3 4
Padi-padian Umbi-umbian Pangan Hewani Minyak dan Lemak
Tahun dasar 2010 25,0 0,9 21,4 5,0
Skor Pola Pangan Harapan 2011 25,0 1,1 21,7 5,0
2012 25,0 1,2 21,9 5,0
2013 25,0 1,4 22,2 5,0
2014 25,0 1,6 22,5 5,0
2015 25,0 1,8 22,8 5,0
Pertumbuhan (%) 0,0 14,9 1,3 0,0
40
5 6 7 8 9
Buah/Biji Berminyak Kacang-kacangan Gula Sayur dan Buah Lain-lain Total
1,0 3,5 2,5 18,9 0,0 78,2
1,0 4,2 2,5 20,1 0,0 80,6
1,0 5,0 2,5 21,3 0,0 83,0
1,0 5,7 2,5 22,6 0,0 85,4
1,0 6,4 2,5 23,8 0,0 87,9
1,0 7,1 2,5 25,1 0,0 90,3
0,0 15,2 0,0 5,8 0,0
Supaya jumlah, mutu, dan keseimbangan konsumsi pangan sesuai yang diharapkan
terwujud
maka
diharapkanadanya
peningkatan
konsumsi
panganpada kelompok umbi-umbian, pangan hewani, kacang-kacangan serta sayur dan buah. Pada tahun 2011-2015, diharapkan terjadi peningkatan skor PPH untuk kelompok pangan umbi-umbian, pangan hewani, kacang-kacangan, serta sayurdan buah yaitu dengan pertumbuhan masing-masing sebesar 14,9%, 1,3%, 15,2%, dan 5,8%. Interpolasi linier juga dilakukan terhadap komposisi pangan yang ditunjukkan dengan kontribusi energi dari setiap kelompok pangan. Dengan demikian peningkatan skor PPH setiap tahun akan diiringi oleh peningkatan kontribusi atau proporsi energi untuk kelompok pangan secara bertahap pula. Kondisi aktual kelompok pangan padi-padian pada tahun 2010 telah melebihi proporsi ideal (50% AKE), sehingga diharapkan kontribusi energi dari kelompok padi-padian dapat dikurangi setiap tahunnya sebesar 0,9%. Selain kelompok padi-padian, kelompok pangan yang diharapkan kontribusi energinya berkurang agar dapat mencapai proporsi yang ideal adalah kelompok minyak dan lemak, buah dan biji berminyak, dan gula.Kemudian berdasarkan hasil analisis yang ditunjukkan pada Tabel 13, diharapkan terjadi peningkatan kontribusi energi dari kelompok umbi-umbian, pangan hewani, kacang-kacangan, sayur dan buah serta pangan lainnya masing-masing sebesar 17,9%, 1,3%, 14,9%, 5,6%, dan 11,2%. Tabel 13 Proyeksi kontribusi konsumsi energi menurut kelompok pangan No 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Kelompok Pangan Padi-padian Umbi-umbian Pangan Hewani Minyak dan Lemak Buah/Biji Berminyak Kacang-kacangan Gula Sayur dan Buah Lain-lain Total
Tahun dasar 2010 54,2 1,8 10,7 13,3 3,2 1,8 5,2 3,8 1,3 95,3
Proyeksi kontribusi energi (%) 2011 53,7 2,2 10,8 12,9 3,2 2,1 5,2 4,0 1,5 95,7
2012 53,2 2,7 11,0 12,6 3,2 2,5 5,2 4,3 1,7 96,3
2013 52,8 3,2 11,1 12,2 3,2 2,8 5,1 4,5 1,9 96,8
2014 52,3 3,6 11,3 11,8 3,1 3,2 5,1 4,8 2,1 97,3
2015 51,8 4,1 11,4 11,5 3,1 3,6 5,1 5,0 2,2 97,9
Pertumbuhan (%) -0,9 17,9 1,3 -2,9 -0,6 14,9 -0,3 5,6 11,2
Kontribusi konsumsienergi aktual dari kelompok pangan padi-padian, minyak dan lemak, buah dan biji berminyak serta gulapada tahun 2008-2010
41
sudah melebihi ideal sehingga konsumsi pangan tersebut perlu dikurangi agar tercapai target PPH konsumsi 90. Pada tahun 2015 diharapkan kontribusi dari kelompok pangan padi-padian, minyak dan lemak, buah dan biji berminyak serta gulaberturut-turut akan mencapai51,8%, 11,5%, 3,1%, dan 5,1%. Kemudian diharapkan terjadi peningkatan kontribusi energi dari umbi-umbian, pangan hewani, kacang-kacangan, sayur dan buah serta pangan lain-lain. Diharapkan pada tahun 2015 kontribusi dan konsumsi energi dari masing-masing kelompok pangan tersebut dapat mencapai 4,1%, 11,4%, 3,6%, 5,0% dan 2,2%. Setiap kelompok pangan memiliki AKE yang berbeda yaitupadi-padian 1000 kkal, umbi-umbian 120 kkal, pangan hewani 240 kkal, minyak dan lemak 200 kkal, buah/biji berminyak 60 kkal, kacang-kacangan 100 kkal, gula 100 kkal, sayur dan buah 120 kkal, dan pangan lain-lain 60 kkal. AKE tersebut merupakan angka kecukupan konsumsi pangan yang ideal yang didasarkan pada AKE 2000 kkal/kpaita/hari. Berdasarkan kontribusi energi dari masing-masing kelompok pangan, dapat diketahui konsumsi energi (kkal/kapita/hari) dari setiap kelompok pangan tersebut. Konsumsi energi diperoleh dengan cara membagi kontribusi energi aktual dengan kontribusi energi ideal untuk setiap kelompok pangan, kemudian dikalikan dengan konsumsi ideal (kkal/kapita/hari) dari setiap kelompok pangan. Proyeksi konsumsi energi dalam kkal/kapita/hari menurut kelompok pangan yang disajikan pada Tabel 14. Tabel 14 Proyeksi konsumsi energi menurut kelompok pangan No
Kelompok Pangan
1 2 3 4 5 6 7 8 9
Padi-padian Umbi-umbian Pangan Hewani Minyak dan Lemak Buah/Biji Berminyak Kacang-kacangan Gula Sayur dan Buah Lain-lain Total
Tahun dasar 2010 1083,1 35,3 213,6 266,0 64,6 35,3 104,1 75,5 26,0 1903,6
Proyeksi konsumsi energi (kkal/kapita/hari) 2011 1073,9 44,8 216,5 258,7 64,1 42,4 103,7 80,5 29,8 1914,3
2012 1064,7 54,2 219,5 251,3 63,6 49,6 103,2 85,4 33,6 1925,0
2013 1055,4 63,6 222,4 244,0 63,1 56,8 102,8 90,3 37,3 1935,7
2014 1046,2 73,0 225,3 236,7 62,6 64,0 102,3 95,3 41,1 1946,4
2015 1037,0 82,4 228,3 229,3 62,0 71,2 101,8 100,2 44,9 1957,2
Berdasarkanhasil analisis yang disajikan pada Tabel 14, diharapkan pada tahun 2015 konsumsi energi penduduk dari kelompok padi-padian adalah 1037 kkal/kapita/hari, umbi-umbian 82,4 kkal/kapita/hari, pangan hewani 228,3 kkal/kapita/hari, minyak dan lemak 229,3 kkal/kapita/hari, buah/biji berminyak 62,0
kkal/kapita/hari,
kacang-kacangan
71,2
kkal/kapita/hari,
gula
101,8
42
kkal/kapita/hari, sayur dan buah 100,2 kkal/kapita/hari, dan pangan lain-lain 44,9 kkal/kapita/hari. Selanjutnya Tabel 15 menampilkan proyeksi pangan yangdisajikan dalam satuan berat (g/kapita/hari) menurut kelompok pangan. Konsumsi pangan dalam satuan g/kapita/hari menyatakan jumlah pangan yang diharapkan dikonsumsi oleh setiap penduduk setiap hari untuk mencapai kuantitas dan kualitas konsumsi pangan yang optimal.Diharapkan pada tahun 2015, penduduk Provinsi Riau
akan
mengkonsumsi
285,2g/kapita/hari,
kelompok
pangan
kelompok
umbi-umbian
padi-padian
sebesar
sekitar
61,8g/kapita/hari,
133,0g/kapita/hari dari kelompok pangan hewani, 28,7g/kapita/harikelompok minyak dan lemak, 10,3 g/kapita/hari dari kelompok buah/biji berminyak, 24,9g/kapita/hari kelompok kacang-kacangan, 30,6g/kapita/hari kelompok gula, 192,1g/kapita/hari kelompok sayur dan buah serta 11,2g/kapita/hari berasal pangan lain-lain. Tabel 15Proyeksi konsumsi pangan penduduk Provinsi Riau tahun 2011-2015 menurut kelompok pangan (g/kapita/hari) No
Kelompok Pangan
1 2 3 4 5 6 7 8 9
Padi-padian Umbi-umbian Pangan Hewani Minyak dan Lemak Buah/Biji Berminyak Kacang-kacangan Gula Sayur dan Buah Lain-lain
Tahun dasar 2010 297,9 26,5 124,3 33,2 10,8 12,3 31,2 144,7 6,5
Proyeksi konsumsi pangan (g/kapita/hari) 2011 295,3 33,6 126,1 32,3 10,7 14,9 31,1 154,2 7,4
2012 292,8 40,6 127,8 31,4 10,6 17,4 31,0 163,7 8,4
2013 290,2 47,7 129,5 30,5 10,5 19,9 30,8 173,2 9,3
2014 287,7 54,7 131,3 29,6 10,4 22,4 30,7 182,6 10,3
2015 285,2 61,8 133,0 28,7 10,3 24,9 30,6 192,1 11,2
Proyeksi konsumsi pangan penduduk juga disajikan dalam satuan berat kg/kapita/tahun yang dapat dilihat pada Tabel 16. Dapat dilihat bahwa sebagian kelompok pangan diharapkan agar ditingkatkan konsumsinya dan sebagian lainnya
diturunkan
ditingkatkan
konsumsinya.
konsumsinya
adalah
Kelompok kelompok
pangan
yang
umbi-umbian
masih sebesar
perlu 2,6
kg/kapita/tahun (18,5%), kelompok pangan hewani sebesar 0,6 kg/kapita/tahun (1,3%), kelompok kacang-kacangan sebesar 0,9 kg/kapita/tahun (15,2%), serta sayur dan buah sebesar 3,5 kg/kapita/tahun (5,8%), dan pangan lainnya 0,3 kg/kapita/tahun (11,3%). Sementara untuk kelompok pangan yang konsumsinya sudah melebihi ideal pada tahun 2010 sehingga diharapkan agar konsumsinya dikurangi per tahunnya untuk mencapai skor PPH 90 adalah kelompok padipadian sebesar 0,9 kg/kapita/tahun (-0,9%), kelompok minyak dan lemak 0,3
43
kg/kapita/tahun (-2,8%), kelompok buah dan biji berminyak 0,02 kg/kapita/tahun (-0,5%), dan gula sebesar 0,04 kg/kapita/tahun (-0,3%). Diharapkan
pada
tahun
2015,
penduduk
provinsi
Riau
dapat
mengkonsumsi pangan dari kelompok padi-padian sekitar 104,1 kg/kapita/tahun, kelompok umbi-umbian sebesar 22,6 kg/kapita/tahun, 48,5 kg/kapita/tahun dari kelompok pangan hewani, 10,5 kg/kapita/tahun kelompok minyak dan lemak, 3,8 kg/kapita/tahun dari kelompok buah/biji berminyak, 9,1 kg/kapita/tahun kelompok kacang-kacangan, 11,2 kg/kapita/tahun kelompok gula, 70,1 kg/kapita/tahun kelompok sayur dan buah serta 4,1 kg/kapita/tahun berasal dari kelompok pangan lainnya. Kemudian hasil analisis konsumsi pangan dalam satuan kg/kapita/tahun ini akan digunakan untuk menghitung jumlah pangan dalam satuan ribu ton untuk memenuhi kebutuhan pangan penduduk di Wilyah Provinsi Riau. Proyeksi konsumsi pangan menurut kelompok dan jenis pangan dapat dilihat pada Lampiran 3. Tabel 16 Proyeksi konsumsi pangan penduduk Provinsi Riau tahun 2011-2015 menurut kelompok pangan (kg/kapita/tahun) No 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Kelompok Pangan Padi-padian Umbi-umbian Pangan Hewani Minyak dan Lemak Buah/Biji Berminyak Kacang-kacangan Gula Sayur dan Buah Lain-lain
Tahun dasar 2010 108,7 9,7 45,4 12,1 3,9 4,5 11,4 52,8 2,4
Proyeksi konsumsi pangan (Kg/kapita/tahun) 2011 2012 2013 2014 2015 107,8 106,9 105,9 105,0 104,1 12,3 14,8 17,4 20,0 22,6 46,0 46,6 47,3 47,9 48,5 11,8 11,5 11,1 10,8 10,5 3,9 3,9 3,8 3,8 3,8 5,4 6,4 7,3 8,2 9,1 11,4 11,3 11,2 11,2 11,2 56,3 59,8 63,2 66,6 70,1 2,7 3,1 3,4 3,8 4,1
Pertumbuhan Kg -0,9 2,6 0,6 -0,3 -0,02 0,9 -0,04 3,5 0,3
% -0,9 18,5 1,3 -2,8 -0,5 15,2 -0,3 5,8 11,3
Proyeksi Kebutuhan Konsumsi Pangan Berdasarkan PPH Proyeksi kebutuhan konsumsi pangan penduduk dilakukan untuk menyediakan pangan sesuai dengan kecukupan gizi serta memperhatikan keragaman dan mutu pangan.Kebutuhan konsumsi pangan akan meningkat sejalan dengan laju pertumbuhan penduduk sehingga dalam proyeksi kebutuhan konsumsi pangan juga dilakukan proyeksi jumlah penduduk dengan pendekatan ekstrapolasi berdasarkan perkembangan pertumbuhan penduduk. Kebutuhan pangan penduduk Riau diasumsikan hanya dipengaruhi oleh jumlah penduduk dan dihitung dengan mengacu pada konsumsi berdasarkan AKE nasional yang akan dicapai pada tahun 2020 yaitu 2000 kkal/kapita/hari dan 1957,2 kkal/kapita/hari pada tahun 2015. Hasil analisis kebutuhan konsumsi pangan
44
penduduk pada tahun 2011-2015 di Provinsi Riau disajikan dalam satuan berat (kg/kapita/tahun) yang dapat dilihat pada Tabel 17. Kebutuhan konsumsi pangan penduduk pada tahun 2015 dari kelompok padi-padian adalah 114,5 kg/kapita/tahun, kelompok minyak dan lemak sebesar 11,6 kg/kap/tahun, buah/biji berminyak sebesar 4,2 kg/kap/tahun, gula sebesar 12,3 kg/kap/tahun, dan pangan lainnnya sebesar 4,5 kg/kap/tahun. Analisis kebutuhan konsumsi pada kelompok pangan umbi-umbian, pangan hewani, kacang-kacangan serta sayur dan buah menunjukkan konsumsi yang belum mencapai ideal pada tahun dasar. Hasil analisis kebutuhan konsumsi pangan dengan pendekatan PPH menunjukkan bahwa jumlah dari kelompok pangan tersebut perlu ditingkatkan setiap tahun agar konsumsi pangan masyarakat yang bergizi, beragam, dan berimabang dapat tercapai. Diharapkan pada tahun 2015 kebutuhan pangan untuk konsumsi dari kelompok pangan umbi-umbian adalah 24,9 kg/kap/tahun, pangan hewani 53,4 kg/kap/tahun, kacang-kacangan 10,0 kg/kap/tahun, dan kelompok sayur dan buah 77,1 kg/kapita/tahun. Tabel 17Proyeksi kebutuhan konsumsi pangan penduduk Provinsi Riau tahun2011-2015 menurut kelompok pangan (kg/kapita/tahun) No 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Kelompok Pangan Padi-padian Umbi-umbian Pangan Hewani Minyak dan Lemak Buah/Biji Berminyak Kacang-kacangan Gula Sayur dan Buah Lain-lain
Tahun dasar 2010 119,6 10,7 49,9 13,3 4,3 5,0 12,5 58,1 2,6
Proyeksi kebutuhan konsumsi pangan (Kg/kapita/tahun) 2011 2012 2013 2014 2015 118,6 117,6 116,5 115,5 114,5 13,5 16,3 19,1 22,0 24,9 50,6 51,3 52,0 52,7 53,4 13,0 12,7 12,2 11,9 11,6 4,3 4,3 4,2 4,2 4,2 5,9 7,0 8,0 9,0 10,0 12,5 12,4 12,3 12,3 12,3 61,9 65,8 69,5 73,3 77,1 3,0 3,4 3,7 4,2 4,5
Selanjutnya, analisis kebutuhan konsumsi pangan Provinsi Riau juga disajikan dalam satuan ribu ton yang disajikan yang dapat dilihat pada Tabel 18.Dapat dilihat bahwa pertumbuhan kebutuhan konsumsi pangan untuk sembilan kelompok pangan bernilai positif. Hal ini disebabkan oleh jumlah penduduk yang terus meningkat setiap tahunnya. Laju pertumbuhan penduduk di Provinsi Riau tergolong tinggi yaitu 3,59% (BPS 2010). Konsumsi kelompok pangan seperti padi-padian, minyak dan lemak, bauh dan biji berminyak, dan gula pada tingkat konsumsi aktual sudah melebihi aturan normatif sehingga konsumsi dari kelompok pangan tersebut secara bertahap perlu diturunkan. Namun dengan memperhatikan jumlah penduduk yang terus meningkat maka kebutuhan konsumsi dari kelompok tersebut sampai tahun 2015 tetap meningkat. Supaya konsumsi pangan penduduk mencapai SPM pada tahun 2015 maka
45
diperlukan pertumbuhan kebutuhan konsumsi untuk kelompok pangan padipadian sebesar 2,7%, kelompok umbi-umbian sebesar 22,7%, pangan hewani sebesar 5,0%, minyak dan lemak sebesar 0,8%, serta buah/biji berminyak masing-masing sebesar 3,2%, kelompok kacang-kacangan sebesar 19,0%, gula sebesar 3,2%, sayur dan buah sebesar 9,6%, dan pangan lainnya sebesar 15,7%. Kondisi tersebut khususnya untuk kelompok pangan umbi-umbian diharapkan dapat tercapai mengingat produksi kelompok umbi-umbian di Provinsi Riau yang cukup tinggi. Dapat dikatakan bahwa ketersediaan pangan dari kelompok umbi-umbian di Provinsi Riau berlimpah. Hal ini karena jumlah pangan dari kelompok umbi-umbian lebih tinggi dibandingkan dengan jumlah yang dibutuhkan. Apabila dilihat dari kebutuhan konsumsi umbi-umbian pada tahun dasar (2010) adalah 59,3 ribu ton sementara menurut BKP Riau (2011), produksi dan ketersediaan kelompok pangan umbi-umbian di Provinsi Riau pada tahun 2010 adalah 308 ribu ton dan 318,8 ribu ton. Jumlah produksi dan ketersediaan jauh berada di atas kebutuhan konsumsi penduduk sehingga diharapkan target penyediaan kelompok pangan untuk kebutuhan konsumsi pangan dari kelompok umbi-umbian pada tahun 2015 sebesar 164,6 ribu ton dapat dicapai. Berdasarkan data BKP Riau (2011), ketersediaan pangan hewani di provinsi Riau pada tahun 2008 adalah 299,7 ribu ton, tahun 2009 adalah 292,3 ribu ton dan tahun 2010 adalah 292,2 ribu ton. Kebutuhan konsumsi pangan hewani pada tahun dasar proyeksi (2010) adalah 276,6 ribu ton. Kemudian untuk ketersediaan kelompok sayur dan buah di Provinsi Riau pada tahun 2008 adalah 586,2 ribu ton, tahun 2009 adalah 637,1 ribu ton dan tahun 2010 adalah 601,3 ribu ton. Kebutuahan konsumsi sayur dan buah pada tahun dasar proyeksi adalah 322,1 ribu ton. Dilihat dari ketersediaan pangan hewani serta sayur dan buah pada tahun 2010, ketersediaan tersebut dinilai dapat memenuhi kebutuhan konsumsi penduduk sehingga harapannya kebutuhan konsumsi pangan untuk kelompok pangan hewani sebesar 353,1ribu ton dan kebutuhan konsumsi pangan untuk kelompok sayur dan buah sebesar 509,8 ribu ton juga dapat dicapai pada tahun 2015. Kemudian untuk produksi kacang-kacangan di Provinsi Riau belum mencukupi kebutuhan konsumsi penduduk pada tahun 2008,2009, dan 2010. Menurut BKP Riau (2011), produksi kacang-kacangan di Provinsi Riau pada tahun 2008, 2009, dan 2010 masing-masing adalah 8,6 ribu ton, 8,9 ribu ribu ton,
46
dan 9,1 ribu ton. Oleh karena itu untuk kacang-kacangan diperlukan pasokan dari daerah lain. Pada tahun 2008 tercatat ketersediaan untuk kelompok kacangkacangan adalah 89,4 ribu ton, tahun 2009 adalah 104,7 ribu ton, dan pada tahun 2010 adalah 106,1 ribu ton. Ketersediaan tersebut dinilai dapat memenuhi kebutuhan konsumsi penduduk untuk kelompok kacang-kacangan. Kebutuhan konsumsi tahun dasar untuk kelompok kacang-kacangan adalah 27,7 ribu ton. Agar target kebutuhan konsumsi masyarakat dapat tercapai maka selain aspek penyediaan pangan, yang juga perlu diperhatikan adalah aspek distribusi pangan. Pemerintah perlu meningkatkan sarana dan prasarana transportasi untuk menjamin distribusi pangan ke berbagai wilayah. Kemudian pemerintah juga perlu melakukan pengawasan dan pengendalian terhadap harga pangan untuk menjamin akses masyarakat dalam memperoleh pangan. Berdasarkan hasil analisis kebutuhan konsumsi pangan di Provinsi riau, diharapkan pada tahun 2015 konsumsi pangan penduduk dapat mencapai skor PPH konsumsi 90 sesuai SPM. Dengan demikian kebutuhan konsumsi pangan wilayah Provinsi Riau pada tahun 2015 untuk kelompok padi-padian adalah sebesar 757,1 ribu ton, 164,6 ribu ton untuk kelompok umbi-umbian, 353,1 ribu ton pangan hewani, minyak dan lemak 76,7 ribu ton, 27,8 ribu ton buah dan biji berminyak, 66,1 ribu ton kacang-kacangan, 81,3 ribu ton gula, 509,8 ribu ton sayur dan buah dan 29,8 ribu ton pangan lainnya. Proyeksi kebutuhan konsumsi pangan menurut kelompok dan jenis pangan dapat dilihat pada Lampiran 4. Tabel 18 Proyeksi kebutuhan konsumsi pangan wilayahProvinsi Riau tahun 2011-2015 menurut kelompok pangan (ribu ton/tahun) No 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Kelompok Pangan
Padi-padian Umbi-umbian Pangan Hewani Minyak dan Lemak Buah/Biji Berminyak Kacang-kacangan Gula Sayur dan Buah Lain-lain
Kebutuhan konsumsi pangan wilayah (ribu ton/tahun)
Kebutuhan tahun dasar 2010
2011
2012
2013
2014
2015
662,9 59,3 276,6 73,7 23,8 27,7 69,3 322,1 14,4
681,0 77,5 290,5 74,6 24,7 33,9 71,8 355,4 17,2
699,5 96,9 305,1 75,5 25,6 41,6 73,8 391,4 20,2
717,8 117,7 320,4 75,2 25,9 49,3 75,8 428,2 22,8
737,2 140,4 336,4 75,9 26,8 57,4 78,5 467,9 26,8
757,1 164,6 353,1 76,7 27,8 66,1 81,3 509,8 29,8
Pertumbuhan Ribu ton 18,8 21,1 15,3 0,6 0,8 7,7 2,4 37,5 3,1
% 2,7 22,7 5,0 0,8 3,2 19,0 3,2 9,6 15,7
Target untuk mencapai kebutuhan konsumsi pangan pada tahun 2015 juga didukung oleh faktor-faktor penentu keberhasilan di Provinsi Riau. Menurut BKP Riau (2009), faktor internal penentu keberhasilan pencapaian ketahanan pangan di Riau antara lain adalah adanya institusi yang bertugas mengatur kegiatan industri pangan agar produktif, efisien, dan stabil baik untuk harga,
47
kualitas maupun ketersediaannya. Adanaya aparat yang memadai dimana sebagian besar berpendidikan S1 bidang pertanian yang sangat mendukung struktur organisasi Badan Ketahanan Pangan Provinsi Riau serta terdapat kelompok jabatan fungsional penyuluh. Selain itu, juga didukung oleh sebagian besar penduduk Riau yang bermata pencarian pada sektor pertanian. Agribisnis komoditas pangan secara langsung melibatkan sebagian besar penduduk baik sebagai produsen maupun pelaku pasar. Peningkatan ketahanan pangan bersifat lintas sektoral sehingga dalam pelaksanaannya memerlukan koordinasi yang terpadu. Pemerintah bersama masyarakat
bertanggung
jawab
dalam
mewujudkan
ketahanan
pangan.
Ketahanan pangan dapat terwujud melalui pelaksanaan beberapa subsistem ketahanan pangan yaitu subsistem ketersediaan, subsitem distribusi, dan subsistem konsumsi.
Pemerintah meyelenggarakan pengaturan, pembinaan,
pengendalian, dan pengawasan terhadap ketersediaan pangan yang cukup baik jumlah maupun mutunya, aman, bergizi, beragam, merata, dan terjangkau oleh daya beli masyarakat. Sementara masyarakat berkewajiban melaksanakan aktifitas
yang
berkaitan
dalam
perwujudan
ketahanan
peningkatan produksi, aktifitas distribusi, dan konsumsi pangan.
pangan
seperti
48
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Konsumsi energi aktual penduduk di Provinsi Riau pada tahun 2008 adalah 2144 kkal atau 107,2% AKE. Konsumsi energi menurun pada tahun 2009 yaitu 1933 kkal (96,6% AKE) dan pada tahun 2010 sebesar 1904 kkal (95,3% AKE). Apabila mengacu pada klasifikasi Depkes (1996), secara umum tingkat kecukupan energi di Provinsi Riau pada tahun 2008 sampai 2010 adalah normal. Sementara untuk konsumsi protein di Provinsi Riau pada tahun 2008 sampai tahun 2010 sudah melebihi angka kecukupan yang dianjurkan. Asupan protein tahun 2008sebesar 57,8 g/kapita/hari, tahun 2009 sebesar54,7 g/kapita/hari, dan tahun 2010sebesar 55 g/kapita/hari. Secara kualitas, skor PPH konsumsi pada tahun 2008 sampai tahun 2010 menurun. Skor PPH tahun 2008 sudah cukup baik yaitu 83,7 namun karena kondisi konsumsi pangan yang belum berimbang menyebabkan skor PPH menurun pada tahun 2009 dan 2010 yaitu berturut-urut adalah 79,0 dan 78,2. Berdasarkan hasil analisis data Susenas tahun 2010, skor PPH konsumsi Riau masih rendah yaitu 78,2. Terdapat kekurangan sebesar 11,8 poin apabila dibandingkan dengan skor PPH sesuai SPM di bidang ketahanan pangan yaitu 90. Hasil analisis menunjukkan bahwa kelompok pangan yang harus ditingkatkan konsumsinya adalahkelompok umbi-umbian sebesar 2,6 kg/kapita/tahun (18,5%), pangan hewani sebesar 0,6 kg/kapita/tahun (1,3%), kelompok kacang-kacangan sebesar
0,9
kg/kapita/tahun
(15,2%),
sayur
dan
buah
sebesar
3,5
kg/kapita/tahun (5,8%), dan pangan lainnya 0,3 kg/kapita/tahun (11,3%). Agar skor PPH konsumsi pangan di Provinsi Riau dapat mencapai 90 sesuai SPM, pada tahun 2015 dibutuhkan sebanyak 757,1 ribu ton pangan dari
49
kelompok padi-padian dan sebanyak 164,6 ribu ton umbi-umbian. Kemudian dibutuhkan sebanyak 353,1 ribu ton pangan hewani, 76,7 ribu ton minyak dan lemak, 27,8 ribu ton buah/biji berminyak, 66,1 ribu ton kacang-kacangan, dan 81,3 ribu ton gula. Selain itu dibutuhkan sebanyak 509,8 ribu ton sayur dan buah serta 29,8 ribu ton pangan lainnya. Saran Situasi konsumsi pangan penduduk di Provinsi Riau pada tahun 2008 sudah cukup baik. Namun situasi konsumsi pangan pada tahun 2009 dan 2010 secara kuantitas dan kualitas belum baik. Oleh karena itu kedepannya perlu upaya perbaikan konsumsi pangan secara komprehensif baik dari dimensi fisik penyediaan pangan, maupun dari dimensi ekonomi dan kesadaran gizi, serta faktor-faktor lain yang mempengaruhinya. Pemerintah perlu melakukan perencanaan produksi dan penyediaan pangan yang baik di tingkat pasar maupun di tingkat rumahtangga dan berorientasi pada kecukupan konsumsi pangan dan gizi masyarakat yang baik dalam jumlah maupun mutunya, aman, bergizi, beragam, merata dan terjangkau oleh daya beli masyarakat. Pemerintah perlu menggalakkan program diversifikasi pangan dalam upaya membina kebiasaan makan masyarakat sehingga diharapkan masyarakat dapat berperilaku makan sesuai dengan prinsip makan seimbang setelah mengetahui, menerima, dan menyadari tentang pentingnya pangan dan gizi untuk kelangsungan hidup. Program tesebut memerlukan penyediaan data yang cermat.
Selain data Susenas untuk konsumsi,
pemnyediaan data lainnya yang diperlukan untuk perencanaan adalah Neraca Bahan Makanan (NBM). Selain itu perencanaan penyediaan pangan juga perlu mempertimbangkan aspek wilayah dan pemerataan, apalagi bagi penduduk yang tinggal di daerah terpencil. Oleh karena itu diperlukan peningkatan sarana dan prasarana transportasi untuk menjamin distribusi pangan ke berbagai wilayah. Kemudian diperlukan pengawasan dan pengendalian terhadap harga pangan untuk menjamin akses masyarakat dalam memperoleh pangan yang cukup baik jumlah maupun mutunya. Sementara masyarakat juga perlu dan berkewajiban melaksanakan aktifitas yang terkait dalam perwujudan ketahanan pangan dengan mengonsumsi pangan yang beragam dan tidak tergantung tehadap satu komoditas saja sebagai sumber energi dan karbohidrat. Masyarakat perlu meningkatkan konsumsi terhadap umbi-umbian, pangan hewani, kacang-kacangan, serta sayur
50
dan buah supaya kuantitas dan kualitas konsumsi pangan masyarakat meningkat. Penelitian ini menggunakan data konsumsi pangan dan baru mencapai pada
tahap
analisis
konsumsi
pangan.
Diharapkanpada
penelitian
selanjutnyadapat digunakan data ketersediaan pangan dan penambahan sumber data
lainnya
sehingga
dapat
dilakukan
proyeksi
dan
pengembangan
ketersediaan pangan yang disesuaikan dengan wilayah Provinsi Riau.
DAFTAR PUSTAKA [Bappenas] Badan Perencanaan Pembangunan Nasional. 2007. Rencana Aksi Nasional Pangan dan Gizi 2006-2010. Jakarta: Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, Kementerian Negara Perencanaan Pembangunan Nasional. [BKP] Badan Ketahanan Pangan. 2009. Draft KUKP 2010-2014. www. deptan.go.id [2 Jun 2012].
. 2009. Rencana Strategis Badan Ketahanan Pangan Provinsi Riau Tahun 2009-2014. Pekanbaru: Badan Ketahanan Pangan Provinsi Riau. . 2011. Laporan Analisis Situasi Konsumsi Pangan penduduk Tahun 2011. Pekanbaru: Badan Ketahanan Pangan Provinsi Riau. . 2012. Direktori Pengembangan Konsumsi Pangan. Jakarta: Badan Ketahanan Pangan – Kementrian Pertanian RI.
[BPS]
Badan Pusat Statistik. 2010. Penduduk dan Ketenagakerjaan. http://riau.bps.go.id/publikasi-online/riau-dalam-angka-2010/bab-4penduduk-ketenagakerjaan. html [4Jul 2012] . 2010. Keadaan Geografis. http:// riau.bps.go.id/ publikasi-online/ riau-dalam- angka- 2010/bab-1-keadaan -geografis. html [4 Jul 2012]. . 2010. Konsumsi Kalori dan Protein Penduduk Indonesia dan Provinsi. Jakarta: Badan Pusat Statistik.
[DKP] Dewan Ketahanan Pangan. 2006. Kebijakan Umum Ketahanan Pangan 2006-2009. Jakarta: Dewan Ketahanan Pangan.
51
[PP No 38/2007]. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 2007 Tentang Pembagian Urusan Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota: Jakarta. [PP No 68/2002]. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 68 Tahun 2002 tentang Ketahanan Pangan: Jakarta. [UU No 32/2004]. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah: Jakarta. [WKNPG] Widya Karya Nasional Pangan dan Gizi. 2004. Ketahanan Pangan dan Gizi, di Era Otonomi Daerah dan Globalisasi. Jakarta: LIPI ___________. 2004. Peran Pangan dan Gizi dalam Peningkatan Kualitas SDM. Sosialisasi dan Apresiasi Pengembangan Kewaspadaan Pangan; Jakarta: 30-31 Agustus 2004. Jakarta: Pusat Kewaspadaan Pangan, Badan Bimas Ketahanan Pangan, Departemen Pertanian. Badan Bimas Ketahanan Pangan. 2001. Kebijakan Umum Pemantapan Ketahanan Pangan Nasional. Jakarta. Departemen Kesehatan. 1996. Panduan 13 Pesan Dasar Gizi Seimbang. Jakarta: Ditjen Pembinaan Kesehatan Masyarakat, Direktorat Bina Gizi Masyarakat. FAO-RAPA. 1989. Desirable Dietary Pattern. Di dalam Setiawan B. 1990. Penyusunan Model Sistem Perencanaan Penyediaan Pangan Berdasarkan Pola Konsumsi. Bogor: Pasca Sarjana IPB. Hardinsyah. 1996. Makanan untuk Kesehatan. Di dalam: Khomsan A dan Sulaeman A (eds). Gizi dan Kesehatan dalam PembangunanPertanian. Bogor: IPB Press. hlm 184 – 196. __________. Ariani M. 2000. Riview Aspek Pangan dalam Kebijakan Pangan dan Gizi Repelita VI. Dalam Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VII. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Jakarta: LIPI __________. 2001. Pengembangan Konsumsi Pangan dengan Pendekatan Pola Pangan Harapan. Bogor: Pusat Studi Kebijakan Pangan dan Gizi (PSKPGIPB), Lembaga Penelitian IPB dan Pusat Pengembangan Konsumsi Pangan Badan Bimas Ketahanan Pangan (BBKP) Departemen Pertanian. __________. Martianto D. 2001. Pembangunan Ketahanan Pangan yang Berbasis Agribisnis dan Pemberdayaan Masyarakat. Makalah dalam Prosiding Seminar Nasional Pemberdayaan Masyarakat untuk Mencapai Ketahanan Pangan dan Pemulihan Ekonomi. Jakarta: Pusat Studi kebijakan Pangan dan Gizi-IPB, Agrindo Aneka Consult, Partnership of Economic Growth, USAID, dan Badan Bimas Ketahanan Pangan-Deptan RI.
52
__________. Tambunan. 2004. Angka kecukupan energi, protein, lemak, dan serat makanan. Di dalam: Ketahanan Pangan dan Gizi di Era OtonomiDaerah dan Globalisasi. Prosiding WNPG VIII; Jakarta, 17-19 Agustus 2004. hlm 317-329 Heryatno Y, Martianto D,Baliwati YF. 2007. Panduan penggunaan aplikasi komputer analisis situasi dan kebutuhan konsumsi pangan wilayah. Bogor: Pusat Konsumsi Pangan, Badan Bimas Ketahanan Pangan, Departemen Pertanian, dan Departemen Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Kelurga, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Madanijah S. 2004. Pola Konsumsi Pangan. Dalam Pengantar Pangan dan Gizi. Jakarta: Penebar Swadaya. Martianto D dan Ariani M. 2004. Analisis Perubahan Konsumsi &Pola Konsumsi Pangan Masyarakat dalam Dekade Terakhir, dalam Prosiding Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VIII, Jakarta 17-19 Mei 2004 (Ketahanan Pangan dan Gizi di Era Otonomi Daerah & Globalisasi). Editor : Soekirman dkk. Jakarta: LIPI Muhilal et al. 1998 dalam Widajanti L. 2009. Survei Konsumsi Gizi. Semarang: Universitas Diponegoro. Presiden Republik Indonesia. Undang-Undang No. 7 Tahun 1996, tentang Pangan. Jakarta. Regmi, Dyck J. 2001. Effect of urbanization on global food demand. Di dalam: RegmiA, editor. Changing structure of global food consumption and trade. Washington:USDA WRS-01-1. hlm 23-30. Sanjur D. 1982. Social and Cultural Perspective in Nutrition. New Jersey: Prentice Hall. Soehardjo. 1989. Sosio Budaya Gizi. Bogor: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi-Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi-Institut Pertanian Bogor. Soekirman. 1996. Ketahanan Pangan: Konsep, Kebijaksanaan, dan Pelaksanaannya. Makalah disajikan pada Lokakarya Ketahanan Pangan Rumahtangga. Yogyakarta, 26-30 Mei. Suhardjo. 1996. Perencanaan Pangan dan Gizi. Bumi Aksara dan Pusat Antar Universitas-Pangan dan Gizi, Institut Pertanian Bogor. Suryana. 2001. Harmonisasi Kebijakan Ketahanan Pangan Nasional dan Daerah dalam Prosiding Dialog dan Lokakarya Kebijakan dan ProgramPangan Prakarsa Swasta dan Pemerintah Daerah. Hariyadi P, Krisnamurti B, Winarno F.G Winarno (eds). Jakarta: Forum Kerja Penganekaragaman Pangan. Suryana. 2004. Ketahanan Pangan di Indonesia, dalam Prosiding Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VIII, Jakarta 17-19 Mei 2004 (Ketahanan
53
Pangan dan Gizi di Era Otonomi Daerah & Globalisasi). Editor : Soekirman dkk. Jakarta: LIPI Syah D. 2008. Agroindustri Pangan Lokal untuk Menggerakkan Ekonomi Masyarakat Guna Meningkatkan Akses terhadap Pangan. Dalam Prosiding WidyakaryaNasional Pangan dan Gizi IX, Jakarta 26-27 Agustus 2008 (Meningkatkan Ketahanan Pangan dan Gizi untuk Mencapai Millenium Development Goals). Editor : Sarwendah dkk. Jakarta: LIPI Syarief
H dan Martianto D. 1991. Perkembangan Konsumsi Pangan: Pengalaman Historis di Beberapa Negara Maju dan Negara Berkembang. Media Komunikasi dan Informasi Pangan. 11(7): 59-68.
LAMPIRAN
54
Lampiran 1 Peta Provinsi Riau
55
Lampiran 2 Keragaman dan skor PPH konsumsi pangan penduduk di Provinsi Riau No
Kontribusi Energi Ideal (%)
Kelompok Pangan
1 2 3 4 5 6 7 8 9
Pedesaan Padi-padian Umbi-umbian Pangan Hewani Minyak dan Lemak Buah/Biji Berminyak Kacang-kacangan Gula Sayur dan Buah Lain-lain
2008 Bobot
Kkal
2009
% TKE
PPH
kkal
% TKE
PPH
kkal
2010 % TKE
PPH
50,0 6,0 12,0 10,0 3,0 5,0 5,0 6,0 3,0 100,0
0,5 0,5 2,0 0,5 0,5 2,0 0,5 5,0 0,0
1211,8 50,7 185,0 380,2 83,8 44,4 142,4 94,8 37,4 2231
60,6 2,5 9,3 19,0 4,2 2,2 7,1 4,7 1,9 111,5
25,0 1,3 18,5 5,0 1,0 4,4 2,5 23,7 0,0 81,4
1105,2 37,0 179,2 266,0 80,3 35,6 120,6 83,0 26,0 1933
55,3 1,9 9,0 13,3 4,0 1,8 6,0 4,2 1,3 96,6
25,0 0,9 17,9 5,0 1,0 3,6 2,5 20,8 0,0 76,7
1102,4 37,2 186,9 267,6 75,3 35,2 115,8 77,5 25,8 1924
55,1 1,9 9,3 13,4 3,8 1,8 5,8 3,9 1,3 96,2
25,0 0,9 18,7 5,0 1,0 3,5 2,5 19,4 0,0 76,0
1 2
Perkotaan Padi-padian Umbi-umbian
50,0
0,5
1122,5
56,1
25,0
1096,0
54,8
25,0
1064,2
53,2
25,0
6,0
0,5
37,9
1,9
0,9
33,4
1,7
0,8
33,6
1,7
0,8
3
Pangan Hewani
12,0
2,0
233,0
11,7
23,3
233,8
11,7
23,4
239,9
12,0
24,0
4
Minyak dan Lemak
10,0
0,5
328,3
16,4
5,0
276,8
13,8
5,0
264,4
13,2
5,0
5 6 7 8 9
Buah/Biji Berminyak Kacang-kacangan Gula Sayur dan Buah Lain-lain
0,5 2,0 0,5 5,0 0,0
66,1 45,7 102,4 94,3 35,0 2065
3,3 2,3 5,1 4,7 1,7 103,3
1,0 4,6 2,5 23,6 0,0 85,9
56,9 38,3 94,0 79,0 24,0 1932
2,8 1,9 4,7 4,0 1,2 96,6
1,0 3,8 2,4 19,8 0,0 81,1
54,0 35,3 92,6 73,5 26,2 1884
2,7 1,8 4,6 3,7 1,3 94,2
1,0 3,5 2,3 18,4 0,0 80,1
1 2 3 4 5 6 7 8 9
Total Pedesaan + perkotaan Padi-padian Umbi-umbian Pangan Hewani Minyak dan Lemak Buah/Biji Berminyak Kacang-kacangan Gula Sayur dan Buah Lain-lain Total
3,0 5,0 5,0 6,0 3,0 100,0 50,0 6,0 12,0 10,0 3,0 5,0 5,0 6,0 3,0 100,0
0,5 0,5 2,0 0,5 0,5 2,0 0,5 5,0 0,0
1166,8 44,3 209,2 354,1 72,0 45,1 122,2 94,5 36,2 2144
58,3 2,2 10,5 17,7 3,6 2,3 6,1 4,7 1,8 107,2
25,0 1,1 20,9 5,0 1,0 4,5 2,5 23,6 0,0 83,7
1100,6 35,2 206,7 271,4 68,5 37,0 107,2 81,0 25,0 1933
55,0 1,8 10,3 13,6 3,4 1,8 5,4 4,0 1,2 96,6
25,0 0,9 20,7 5,0 1,0 3,7 2,5 20,2 0,0 79,0
1083,1 35,3 213,6 266,0 64,6 35,3 104,1 75,5 26,0 1904
54,2 1,8 10,7 13,3 3,2 1,8 5,2 3,8 1,3 95,3
25,0 0,9 21,4 5,0 1,0 3,5 2,5 18,9 0,0 78,2
Total
56
Lampiran 3 Proyeksi konsumsi pangan menurut kelompok dan jenis pangan (kg/kapita/tahun) Kelompok pangan
Padi-padian Beras Jagung Terigu Subtotal padi-padian Umbi-umbian Ubi kayu Ubi jalar Sagu Kentang Umbi lainnya Subtotal umbi-umbian Pangan hewani Ikan Daging ruminansia Daging unggas Telur Susu Subtotal pangan hewani Minyak dan lemak Minyak kelapa Minyak sawit Minyak lain Subtotal minyak dan lemak Buah/biji berlemak Kelapa Kemiri Kacang mede Emping Subtotal buah/biji berminyak Kacang-kacangan Kacang tanah Kacang kedelai Kacang hijau Kacang lain Subtotal kacang-kacangan Gula Gula pasir Gula merah Sirup Subtotal gula Sayur dan buah Sayur Buah Subtotal sayur dan buah Lain-lain Minuman Bumbu Lainnya Subtotal lain-lain
Konsumsi tahun dasar 2010
kg/kapita/tahun 2011
2012
2013
2014
2015
90,3 0,1 18,3 108,7
89,6 0,1 18,2 107,8
88,8 0,1 18,0 106,9
88,0 0,1 17,8 105,9
87,3 0,1 17,7 105,0
86,5 0,1 17,5 104,1
6,3 1,1 0,3 1,7 0,2 9,7
8,0 1,3 0,3 2,2 0,3 12,3
9,7 1,6 0,5 2,7 0,3 14,8
11,4 1,9 0,6 3,2 0,4 17,4
13,0 2,2 0,6 3,7 0,4 19,9
14,7 2,5 0,7 4,1 0,5 22,6
16,5 1,4 9,9 8,4 9,5 45,7
16,2 1,3 9,7 8,2 9,3 46,3
15,8 1,3 9,5 8,1 9,1 46,8
15,5 1,3 9,3 7,9 8,9 47,5
15,1 1,2 9,1 7,7 8,7 48,1
14,9 1,2 8,9 7,6 8,5 48,7
1,1 10,7 0,4 12,1
1,1 10,4 0,3 11,8
1,0 10,1 0,3 11,4
1,0 9,8 0,3 11,1
0,9 9,5 0,3 10,8
0,9 9,2 0,3 10,5
3,6 0,2 0,0 0,0 3,9
3,6 0,2 0,0 0,0 3,8
3,6 0,2 0,0 0,0 3,8
3,6 0,2 0,0 0,0 3,8
3,6 0,2 0,0 0,0 3,8
3,5 0,2 0,0 0,0 3,7
0,7 3,2 0,6 0,0 4,5
0,9 3,8 0,7 0,0 5,4
1,1 4,4 0,8 0,0 6,3
1,2 5,1 0,9 0,0 7,3
1,3 5,7 1,0 0,0 8,2
1,5 6,4 1,1 0,1 9,1
10,9 0,2 0,2 11,4
10,9 0,2 0,2 11,3
10,8 0,2 0,2 11,3
10,8 0,2 0,2 11,2
10,7 0,2 0,2 11,2
10,7 0,2 0,2 11,1
28,3 24,5 52,8
30,2 26,1 56,3
32,0 27,7 59,7
33,9 29,3 63,2
35,7 30,9 66,6
37,6 32,5 70,1
1,6 0,7 0,0 2,3
1,9 0,8 0,0 2,7
2,1 0,9 0,0 3,0
2,3 1,0 0,0 3,4
2,6 1,2 0,0 3,7
2,8 1,2 0,0 4,1
57
Lampiran 4Proyeksi kebutuhan konsumsi pangan wilayah menurut kelompok dan jenis pangan (ribu ton/tahun) Kelompok pangan Padi-padian Beras Jagung Terigu Umbi-umbian Ubi kayu Ubi jalar Sagu Kentang Umbi lainnya Pangan hewani Ikan Daging ruminansia Daging unggas Telur Susu Minyak dan lemak Minyak kelapa Minyak sawit Minyak lain Buah/biji berlemak Kelapa Kemiri Kacang mede Emping Kacang-kacangan Kacang tanah Kacang kedelai Kacang hijau Kacang lain Gula Gula pasir Gula merah Sirup Sayur dan buah Sayur Buah Lain-lain Minuman Bumbu Lainnya
Kebutuhan tahun dasar 2010
ribu ton/tahun 2011
2012
2013
2014
2015
956,5 19,7 107,6
535,2 774 51,7
553,5 801 53,5
572,5 828 55,3
592,1 856 57,3
612,3 886 59,2
44,6 13,4 7,8 9,2 1,1
46,1 7,7 0,8 30,7 1,7
54,9 9,1 1,0 36,5 1,9
64,1 10,7 1,2 42,7 2,3
74,0 12,3 1,3 49,3 2,8
84,5 14,0 1,5 56,3 3,0
299,1 8,4 15,8 67,1 17,7
178,1 4,8 21,1 61,0 17,5
185,5 5,0 22,0 63,6 18,2
193,3 5,2 22,9 66,3 18,9
326,8 9,2 17,2 73,3 19,4
334,0 9,4 17,6 75,0 19,8
37,4 25,1 2,5
5,7 53,8 1,8
5,8 54,7 1,8
5,9 55,7 1,9
6,0 56,6 1,9
6,1 57,6 2,0
19,3 3,4 0,0 0,2
23,2 0,9 0,0 0,3
23,6 0,9 0,0 0,3
23,9 0,9 0,0 0,3
23,4 4,1 0,0 0,3
24,5 4,3 0,0 0,3
9,8 18,5 6,3 1,3
12,0 22,8 7,7 1,6
14,3 27,1 9,2 1,9
16,6 31,5 10,7 2,2
19,0 36,1 12,2 2,6
21,4 40,7 13,8 2,9
80,0 8,2 3,3
81,4 8,4 3,4
82,8 8,5 3,5
84,3 8,6 3,5
85,7 8,8 3,6
87,2 8,9 3,6
425,0 420,9
424,7 420,6
424,3 420,3
423,8 419,8
423,3 419,3
422,7 418,7
98,0 53,7 0,0
92,4 50,6 0,0
86,6 47,5 0,0
80,7 44,2 0,0
74,7 40,9 0,0
68,5 37,5 0,0