ANALISIS RISIKO USAHA PEMOTONGAN AYAM BROILER (Kasus pada Usaha Pemotongan Ayam Kelurahan Kebon Pedes Kota Bogor)
SKRIPSI
BUDY SANTOSO H34076038
DEPARTEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011
ANALISIS RISIKO USAHA PEMOTONGAN AYAM BROILER (Kasus pada Usaha Pemotongan Ayam Kelurahan Kebon Pedes Kota Bogor)
SKRIPSI
BUDY SANTOSO H34076038
DEPARTEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011
2
RINGKASAN BUDY SANTOSO. Analisis Risiko Usaha Pemotongan Ayam Broiler Kasus pada Usaha Pemotongan Ayam Kelurahan Kebon Pedes Kota Bogor. Skripsi. Departemen Agribisnis, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor (Di bawah bimbingan DWI RACHMINA). Sentra Usaha Pemotongan Ayam yang terletak di Kelurahan Kebon Pedes merupakan salah satu tempat pemotongan yang ada di Kota Bogor dengan jumlah kapasitas pemotongan per hari mencapai 13.000 ekor. Dalam menjalankan usahanya dengan melakukan kegiatan pemotongan setiap hari namun pendapatan yang diterima pengusaha berfluktuasi di setiap periode. Hal ini menunjukkan pengusaha masih menghadapi berbagai risiko usaha seperti risiko harga, risiko penjualan, dan risiko pendapatan. Penelitian ini bertujuan untuk (1) Menganalisis risiko usaha baik itu risiko harga, risiko penjualan dan risiko pendapatan pada usaha pemotongan ayam, (2) Menganalisis manajemen risiko yang diterapkan untuk mengatasi risiko yang dihadapi oleh usaha pemotongan ayam. Penelitian ini dilaksanakan di Sentra Tempat Pemotongan Ayam (TPA) Kecamatan Tanah Sareal, Kelurahan Kebon Pedes Kota Bogor. Waktu penelitian dilakukan pada bulan September 2009 sampai Februari 2010. Responden diambil dengan menggunakan metode sensus. Jumlah responden yang diambil adalah 38 responden dan dibagi ke dalam beberapa skala pemotongan yaitu skala kecil berjumlah 28 orang, skala sedang berjumlah 7 orang, dan skala besar berjumlah 3 orang. Penelitian ini menggunakan analisis deskriptif, expected value, ragam (variation), simpangan baku (standard deviation), koefisien variasi (standard variation), dan nilai batas bawah. Risiko harga yang dihadapi pengusaha pemotongan ayam adalah adanya fluktuasi atau variasi harga baik harga ayam hidup di tingkat peternak maupun harga karkas di tingkat konsumen. Hal ini disebabkan oleh ketersediaan ayam di peternak yang tak menentu. Harga jual ayam di pasar cenderung menurun saat ketersediaan ayam hidup di peternak meningkat, begitu juga sebaliknya harga jual karkas ayam akan meningkat saat terjadi kelangkaan pasokan ayam hidup dari peternak. Berdasarkan hasil analisa, nilai Coeficient Variation untuk harga input maupun harga output pada skala kecil diperoleh hasil sebesar 0,08 dan 0,03, pada skala sedang nilai Coeficient Variation sebesar 0,13 dan 0,03 dan pada skala besar nilai Coeficient Variation untuk harga input maupun harga output sebesar 0,12 dan 0,02 mendefinisikan bahwa risiko harga paling berpengaruh terhadap usaha pemotongan ayam skala sedang karena nilai Coeficient Variation lebih besar dibandingkan skala usaha lainnya Intensitas pemotongan yang dilakukan pengusaha setiap hari berbeda mulai dari skala kecil sampai skala besar sehingga mempengaruhi tingkat penjualan ayam di setiap periode. Selain itu, fluktuasi penjualan karkas ayam beserta ceker, kepala, ati ampela, jantung, dan usus ayam dipengaruhi juga oleh berat ayam hidup di peternak. Hasil analisa, nilai Coeficient Variation pada skala kecil sebesar 0,32 sedangkan pada skala sedang nilai Coeficient Variation sebesar 0,31. Pada skala besar nilai Coeficient Variation sebesar 0,25 sehingga diantaranya semua skala pemotongan ayam, pengusaha skala kecil mengalami risiko penjualan terbesar
3
karena risiko yang dihadapi pengusaha untuk setiap 1 Kg penjualan akan mengalami risiko sebanyak 0,32 Kg. Perhitungan analisis risiko pendapatan diperoleh dari jumlah biaya yang dikeluarkan dan penerimaan yang ada. Skala kecil cenderung mengeluarkan biaya kecil karena jumlah pemotongannya yang sedikit, dan tidak memiliki tempat pemotongan. Berbeda dengan pengusaha skala sedang dan besar yang melakukan pemotongan dalam jumlah banyak setiap harinya. Pengusaha skala besar dibebankan biaya listrik, biaya air, pemanas serta biaya tenaga kerja, dan biaya lain-lain. Analisis risiko pendapatan diperoleh hasil bahwa nilai Coeficient Variation pada skala usaha kecil sebesar -0,18. Pada skala usaha sedang nilai Coeficient Variation sebesar -0,26 dan nilai Coeficient Variation pada skala besar sebesar -0,19. Risiko pendapatan terbesar yang harus ditanggung oleh pengusaha adalah pada skala sedang dikarenakan nilai Coeficient Variation sebesar -0,26 dari nilai return yang diperoleh pengusaha. Artinya untuk setiap Rp. 1 return yang diterima pengusaha akan menghasilkan risiko sebesar Rp. 0,26. Manajemen risiko yang telah dilakukan adalah penggunaan teknologi dalam proses pemotongan ayam, usaha pemotongan dilakukan setiap hari untuk mengetahui fluktuasi harga input serta memperhatikan mekanisme pasar seperti permintaan terhadap daging ayam. Dalam upaya mitigasi risiko, pengusaha pemotongan ayam memiliki usaha lain untuk menambah pendapatannya seperti : membuka Rumah Makan, dan menjadi supplier ayam hidup. Untuk menjaga kelangsungan usahanya, pengusaha selalu memperhatikan kejadian-kejadian yang dapat mengancam usaha pemotongan seperti : isu terkait Flu Burung, rencana relokasi tempat pemotongan, serta mengikuti aturan Pemerintah Daerah dengan selalu membayar retribusi pemotongan. Alternatif manajemen risiko yang dapat diterapkan untuk menjaga kelangsungan usaha pemotongan ayam ini adalah dengan menjalin kemitraan dengan peternak untuk menjamin ketersediaan pasokan dan menekan biaya produksi berupa pembelian ayam hidup, menambah kuantitas pemotongan khususnya pengusaha skala kecil untuk meningkatkan pendapatan, mulai merintis pembelian alat-alat pemotongan ayam khususnya untuk pengusaha skala kecil agar dapat memiliki tempat pemotongan ayam sendiri, mengatur manajemen permodalan dalam mensiasati peningkatan permintaan terhadap daging ayam dengan cara menyisihkan sebagian pendapatan yang digunakan untuk membeli ayam hidup pada saat permintaan meningkat.
4
ANALISIS RISIKO USAHA PEMOTONGAN AYAM BROILER (Kasus pada Usaha Pemotongan Ayam Kelurahan Kebon Pedes Kota Bogor)
BUDY SANTOSO H34076038
Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Agribisnis
DEPARTEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011
5
Judul Skripsi
: Analisis Risiko Usaha Pemotongan Ayam Broiler (Kasus pada Usaha Pemotongan Ayam Kelurahan Kebon Pedes Kota Bogor)
Nama
: Budy Santoso
NIM
: H34076038
Disetujui, Pembimbing
Ir. Dwi Rachmina, MS NIP. 19631227 199003 2 001
Diketahui Ketua Departemen Agribisnis Fakultas Ekonomi dan Manajemen Institut Pertanian Bogor
Dr. Ir. Nunung Kusnadi, MS NIP. 19580908 198403 1 002
Tanggal Lulus:
6
PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi saya yang berjudul “Analisis Risiko Usaha Pemotongan Ayam Broiler (Kasus pada Usaha Pemotongan Ayam Kelurahan Kebon Pedes Kota Bogor)” adalah karya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam bentuk daftar pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Bogor, Maret 2011
Budy Santoso H34076038
7
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Bogor pada tanggal 2 Maret 1986. Penulis adalah anak ke enam dari enam bersaudara dari pasangan Bapak Suparno dan Ibunda Darmini. Penulis menyelesaikan pendidikan dasar di SDN Pondok Rumput I Bogor pada tahun 1998 dan pendidikan menengah pertama diselesaikan pada tahun 2001 di SLTPN 5 Bogor. Pendidikan lanjutan menengah diselesaikan pada tahun 2004 di SMUN 2 Bogor. Penulis diterima di Program Studi Diploma Teknologi Perlindungan Sumber Daya Hutan, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor melalui jalur Reguler pada tahun 2004. Penulis menyelesaikan pendidikan Diploma III tahun 2007 dan melanjutkan studinya ke jenjang yang lebih tinggi pada Program Sarjana Agribisnis Penyelenggaraan Khusus, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor pada tahun 2007.
8
KATA PENGANTAR Alhamdulillahirobbil’alamin, puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah memberikan anugerah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skirpsi ini dengan judul “Analisis Risiko Usaha Pemotongan Ayam Broiler (Kasus pada Usaha Pemotongan Ayam Kelurahan Kebon Pedes Kota Bogor)” Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis risiko usaha pada usaha pemotongan ayam. Selain itu, penelitian ini juga menganalisis manajemen risiko yang diterapkan untuk mengatasi risiko yang dihadapi oleh usaha pemotongan ayam. Hasil ini diharapkan mampu memberikan masukan bagi pihak manajemen usaha pemotongan ayam Kelurahan Kebon Pedes. Skripsi ini sangat bermanfaat bagi penulis sebagai salah satu mahasiswa yang sedang menyelesaikan tugas akhir pada Program Sarjana Agribisnis, Institut Pertanian Bogor. Skripsi ini merupakan hasil maksimal yang dapat diselesaikan oleh penulis selama mengikuti kegiatan pembelajaran dalam kegiatan kuliah maupun tugas akhir ini. Penulis menyadari bahwa masih terdapat keterbatasan dan kendala yang dihadapi dalam skripsi ini. Penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang memang membutuhkan. Akhir kata penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian skripsi ini.
Bogor, Maret 2011
Budy Santoso
9
UCAPAN TERIMA KASIH Penyelesaian skripsi ini tentunya tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis menyampaikan ucapan rasa syukur kepada Allah SWT dan menyampaikan terima kasih kepada : 1.
Ir. Dwi Rachmina, MS. sebagai dosen pembimbing, yang telah banyak memberikan bimbingan, saran dan pengarahan, dengan penuh kesabaran selama proses penyusunan skripsi ini.
2.
Dr. Ir. Anna Fariyanti, MSi. yang telah bersedia menjadi dosen evaluator pada kolokium serta menjadi dosen penguji utama pada ujian sidang skripsi, dengan segala saran dan kritik yang sangat membantu pada penyusunan skripsi ini.
3.
Arif karyadi Uswandi, SP selaku dosen penguji komdik yang telah memberikan koreksi pada teknik penulisan juga saran kepada penulis.
4.
Dr. Ir. Nunung Kusnadi, MS selaku ketua Departemen Agribisnis.
5.
Orangtua dan keluarga tercinta untuk setiap dukungan cinta kasih, kesabaran yang luar biasa, dan doa yang diberikan.
6.
Bapak Sony Listen selaku ketua IWPA, Bapak Saiman selaku sekretaris IWPA, dan Bapak Rustanto selaku bendahara IWPA yang telah memberikan kesempatan bagi penulis untuk melakukan penelitian.
7.
Ismi Shaumi Ratna Arum yang telah berkenan menjadi pembahas pada seminar hasil penulis, dengan segala kritik dan saran yang sangat bermanfaat untuk kesempurnaan skripsi ini.
8.
Yuliastri, Amd. atas dukungan, cinta, semangat, dan kesabaran yang telah diberikan kepada penulis selama penyusunan skripsi ini.
9.
Hussen, Wilmar, Mugi, Ivo, Lia, Saud, Aa, Benri, Agung, Didit, Dwi, Dana yang tergabung dalam BETA HOUSE, atas segala semangat dan kebersamaannya selama ini.
10. Mahasiswa Ekstensi Angkatan III atas segala kehangatan, canda tawa, dan persahabatan yang indah. 11. Andri, Pandu, Yoga, Edo, Dika, Melissa, Dinda, Pramita, Aniesya, Gita atas segala keceriaan, serta motivasi yang tiada henti.
10
12. Seluruh pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu, terima kasih atas bantuannya dalam penyusunan skripsi ini.
Bogor, Maret 2011
Budy Santoso
11
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL .......................................................................................... x DAFTAR GAMBAR ..................................................................................... xii DAFTAR LAMPIRAN ....................................................................... xv I
PENDAHULUAN .................................................................... 1.1 Latar Belakang ..................................................................... 1.2 Perumusan Masalah ............................................................. 1.3 Tujuan .................................................................................. 1.4 Manfaat ................................................................................ 1.5 Ruang Lingkup .....................................................................
1 1 8 12 12 12
TINJAUAN PUSTAKA .................................................................... 2.1 Kegiatan Subsistem Agribisnis Hilir ..................................... 2.2 Usaha Pemotongan Ayam .................................................... 2.3 Studi Terdahulu Mengenai Risiko ........................................
13 13 15 16
III
KERANGKA PEMIKIRAN ................................................................ 3.1 Kerangka Pemikiran Teoritis ............................................................ 3.1.1 Permintaan, Penawaran, dan Penentuan Harga barang .............. 3.1.2 Teori Utilitas ........................................................................... 3.1.3 Konsep Dasar Risiko ............................................................... 3.1.4 Sumber Risiko ......................................................................... 3.1.5 Sikap Dalam Menghadapi Risiko ............................................. 3.1.6 Konsep Manajemen Risiko ...................................................... 3.1.7 Ukuran Risiko ......................................................................... 3.2 Kerangka Pemikiran Operasional .....................................................
20 20 20 25 25 28 29 31 36 37
IV
METODE PENELITIAN .................................................................... 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ............................................................ 4.2 Metode Penentuan Responden ......................................................... 4.3 Data dan Instrumentasi ..................................................................... 4.4 Metode Pengolahan Data ................................................................. 4.4.1 Analisis Deskriptif ................................................................... 4.4.2 Analisis Risiko ........................................................................ 4.4.3 Analisis Keuntungan ............................................................... 4.6 Definisi Operasional .............................................................
39 39 39 38 40 40 40 45 46
V GAMBARAN UMUM ............................................................... 5.1 Kondisi Umum Kelurahan Kebon Pedes .......................................... 5.2 Sejarah Berdirinya Usaha Pemotongan Ayam (UPA) ...................... 5.3 Organisasi dan Manajemen Usaha .................................................... 5.4 Kelas dan Kategori Usaha Pemotongan Ayam ................................. 5.5 Sumber Daya Usaha di Sentra Usaha Pemotongan Ayam ................. 5.5.1 Sumberdaya Manusia .............................................................. 5.5.2 Aset Usaha .............................................................................. 5.5.3 Sumberdaya Finansial .................................................. 5.6 Pemasaran Ayam Potong .....................................................
47 47 53 55 56 57 57 58 59 59
II
12
VI ANALISIS RISIKO USAHA PEMOTONGAN ...................... 6.1 Identifikasi Risiko Harga ................................................................. 6.1.1 Penilaian Risiko Harga Ayam Usaha Pemotongan Skala Kecil .............................................................................. 6.1.2 Penilaian Risiko Harga Ayam Usaha Pemotongan Skala Sedang ........................................................................... 6.1.3 Penilaian Risiko Harga Ayam Usaha Pemotongan Skala Besar .............................................................................. 6.2 Identifikasi Risiko Penjualan ............................................................ 6.2.1 Penilaian Risiko Penjualan Ayam Usaha Pemotongan Skala Kecil .............................................................................. 6.2.2 Penilaian Risiko Penjualan Ayam Usaha Pemotongan Skala Sedang ........................................................................... 6.2.3 Penilaian Risiko Penjualan Ayam Usaha Pemotongan Skala Besar .............................................................................. 6.3 Analisis Pendapatan Usaha Pemotongan Ayam Skala Kecil ............. 6.3.1 Biaya ....................................................................................... 6.3.2 Penerimaan .............................................................................. 6.3.3 Analisis Keuntungan .................................................... 6.3.4 Penilaian Risiko Pendapatan Ayam Usaha Pemotongan Skala Kecil .................................................................. 6.4 Analisis Pendapatan Usaha Pemotongan Ayam Skala Sedang .......... 83 6.4.1 Biaya ....................................................................................... 6.4.2 Penerimaan .............................................................................. 6.4.3 Analisis Keuntungan .................................................... 6.4.4 Penilaian Risiko Pendapatan Ayam Usaha Pemotongan Skala Sedang ............................................................... 6.5 Analisis Pendapatan Usaha Pemotongan Ayam Skala Besar ............. 6.5.1 Biaya ....................................................................................... 6.5.2 Penerimaan .............................................................................. 6.5.3 Analisis Keuntungan .................................................... 6.5.4 Penilaian Risiko Pendapatan Ayam Usaha Pemotongan Skala Besar .................................................................. 6.6 Perbandingan Nilai Risiko di Usaha Pemotongan Ayam .................. 6.7 Strategi Pengelolaan Risiko Harga di Sentra Usaha Pemotongan Ayam Kelurahan Kebon Pedes ........................
60 60
KESIMPULAN DAN SARAN ........................................................... 7.1 Kesimpulan ...................................................................................... 7.2 Saran ....................................................................................
103 103 104
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................
105
LAMPIRAN .................................................................................................
107
VII
66 67 69 70 71 72 73 75 75 78 80 80 83 86 88 88 90 90 92 95 95 96 99
13
DAFTAR TABEL Nomor
Halaman 1. Kandungan Protein Ayam, Sapi, dan Kambing ........................
1
2. Populasi Unggas Indonesia Tahun 2003–2008 .........................
2
3. Konsumsi Ayam Broiler di Indonesia Tahun 2003–2009 .........
4
4. Perkembangan Populasi Daging Ayam Ras Pedaging (ekor) Per Provinsi Tahun 2004-2008 ......................................................
5
5. Perkembangan Produksi Daging Ayam Ras Pedaging (ton) Per Provinsi Tahun 2004-2008 ......................................................
5
6. Perkembangan Produksi Daging Ayam Ras Pedaging (ton) di Jawa Barat Tahun 2004-2008 ..................................................
6
7. Jenis Sumber Air Bersih di Kelurahan Kebon Pedes Tahun 2008 .............................................................................
48
8. Sebaran Tingkatan Pendidikan di Kelurahan Kebon Pedes Tahun 2008 .............................................................................
49
9. Sebaran Mata Pencaharian di Kelurahan Kebon Pedes Tahun 2008 .............................................................................
49
10. Sebaran Angkatan Kerja di Kelurahan Kebon Pedes Tahun 2008 .............................................................................
51
11. Lembaga Keuangan dan Usaha di Kelurahan Kebon Pedes Tahun 2008 .............................................................................
52
12. Hasil Penilaian Risiko Harga Usaha Pemotongan Ayam Skala Kecil Selama Periode Pengamatan (September-Februari 2010) ......................................................
67
13. Hasil Penilaian Risiko Harga Usaha Pemotongan Ayam Skala Sedang Selama Periode Pengamatan (September-Februari 2010) ......................................................
69
14. Hasil Penilaian Risiko Harga Usaha Pemotongan Ayam Skala Besar Selama Periode Pengamatan (September-Februari 2010) ......................................................
70
15. Hasil Penilaian Risiko Penjualan Usaha Pemotongan Ayam Skala Kecil Selama Periode Pengamatan (September-Februari 2010) ......................................................
72
16. Hasil Penilaian Risiko Penjualan Usaha Pemotongan Ayam Skala Sedang Selama Periode Pengamatan (September-Februari 2010) ......................................................
73
17. Hasil Penilaian Risiko Penjualan Usaha Pemotongan Ayam Skala Besar Selama Periode Pengamatan (September-Februari 2010) ......................................................
74 14
18. Biaya Produksi Usaha Pemotongan Ayam Skala Kecil di Sentra Usaha Pemotongan Ayam Kelurahan Kebon Pedes Selama Periode Pengamatan (September-Februari 2010) .....................
76
19. Kontribusi Biaya Produksi Usaha Pemotongan Ayam Skala Kecil di Sentra Usaha Pemotongan Ayam Kelurahan Kebon Pedes Selama Periode Pengamatan (September-Februari 2010) ......................................................
77
20. Penerimaan Usaha Pemotongan Ayam Skala Kecil di Sentra Usaha Pemotongan Ayam Kelurahan Kebon Pedes Selama Periode Pengamatan (September-Februari 2010) .....................
79
21. Pendapatan Usaha Pemotongan Ayam Skala Kecil di Sentra Usaha Pemotongan Ayam Kelurahan Kebon Pedes Selama Periode Pengamatan (September-Februari 2010) .....................
80
22. Hasil Penilaian Risiko Pendapatan Usaha Pemotongan Ayam Skala Kecil Selama Periode Pengamatan (September-Februari 2010) ......................................................
81
23. Biaya Produksi Usaha Pemotongan Ayam Skala Sedang di Sentra Usaha Pemotongan Ayam Kelurahan Kebon Pedes Selama Periode Pengamatan (September-Februari 2010) ..................... 84 24. Kontribusi Biaya Produksi Usaha Pemotongan Ayam Skala Sedang di Sentra Usaha Pemotongan Ayam Kelurahan Kebon Pedes Selama Periode Pengamatan (September-Februari 2010) ......................................................
85
25. Penerimaan Usaha Pemotongan Ayam Skala Sedang di Sentra Usaha Pemotongan Ayam Kelurahan Kebon Pedes Selama Periode Pengamatan (September-Februari 2010) .....................
87
26. Pendapatan Usaha Pemotongan Ayam Skala Sedang di Sentra Usaha Pemotongan Ayam Kelurahan Kebon Pedes Selama Periode Pengamatan (September-Februari 2010) .....................
88
27. Hasil Penilaian Risiko Pendapatan Usaha Pemotongan Ayam Skala Sedang Selama Periode Pengamatan (September-Februari 2010) ......................................................
89
28. Biaya Produksi Usaha Pemotongan Ayam Skala Besar di Sentra Usaha Pemotongan Ayam Kelurahan Kebon Pedes Selama Periode Pengamatan (September-Februari 2010) .....................
91
29. Kontribusi Biaya Produksi Usaha Pemotongan Ayam Skala Besar di Sentra Usaha Pemotongan Ayam Kelurahan Kebon Pedes Selama Periode Pengamatan (September-Februari 2010) ......................................................
92
30. Penerimaan Usaha Pemotongan Ayam Skala Besar di Sentra Usaha Pemotongan Ayam Kelurahan Kebon Pedes Selama Periode Pengamatan (September-Februari 2010) .....................
94
15
31. Pendapatan Usaha Pemotongan Ayam Skala Besar di Sentra Usaha Pemotongan Ayam Kelurahan Kebon Pedes Selama Periode Pengamatan (September-Februari 2010) .....................
95
32. Hasil Penilaian Risiko Pendapatan Usaha Pemotongan Ayam Skala Besar Selama Periode Pengamatan (September-Februari 2010) ......................................................
96
33. Perbandingan Nilai Risiko Setiap Skala Pemotongan ..............
98
16
DAFTAR GAMBAR Nomor
Halaman
1. Fluktuasi Harga Ayam Broiler dan Karkas Ayam di Sentra Usaha Pemotongan Ayam Kelurahan Kebon Pedes Selama Periode Pengamatan (September-Februari 2010) .........
10
2. Fluktuasi Penjualan Hasil Pemotongan Ayam Broiler di Usaha Pemotongan Ayam Kelurahan Kebon Pedes Selama Kejadian (September-Februari 2010) ......................................
10
3. Pola Distribusi Sarana Produksi Ternak dan Produk Ternak ....
14
4. Hubungan Antara Varian dan Expected Return .......................
30
5. Fungsi Utilitas dengan Marginal Utility Menurun, Meningkat dan Tetap .................................................................................
31
6. Tahapan dalam Proses Manajemen Risiko ...............................
32
7. Bagan Kerangka Pemikiran Operasional ..................................
38
8. Struktur Organisasi di Sentra Usaha Pemotongan Ayam Kelurahan Kebon Pedes 2009 ..................................................
56
9. Fluktuasi Harga Ayam Broiler dan Karkas Ayam di Usaha Pemotongan Ayam Kelurahan Kebon Pedes Selama Periode Pengamatan (September-Februari 2010) ........
61
10. Fluktuasi Harga Output Ayam Broiler di Usaha Pemotongan Ayam Kelurahan Kebon Pedes Selama Kejadian (September-Februari 2010) ......................................................
62
17
DAFTAR LAMPIRAN Nomor
Halaman
1. Perhitungan Nilai Expected Return dan Nilai Ragam (Variance) Skala Kecil ..............................................................................
108
2. Perhitungan Nilai Expected Return dan Nilai Ragam (Variance) Skala Sedang ...........................................................................
109
3. Perhitungan Nilai Expected Return dan Nilai Ragam (Variance) Skala Besar .............................................................................
110
4. Kuesioner Penelitian ...............................................................
111
18
I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pertumbuhan penduduk di Indonesia sangat cepat. Berdasarkan sensus penduduk pada Tahun 2010 penduduk Indonesia tercatat 237,6 juta jiwa 2. Hal ini perlu diimbangi dengan ketersediaan pangan yang cukup dan memadai. Pangan yang merupakan kebutuhan hidup manusia adalah segala sesuatu baik itu makanan ataupun minuman yang dikonsumsi oleh manusia. Sektor agribisnis pangan memegang peranan penting dalam hal ini karena hampir semua makanan dan minuman berasal dari sektor ini. Produk dari agribisnis pangan sangat beragam meliputi : ikan, ternak, dan tanaman. Kekayaan alam Indonesia yang melimpah serta tingginya keanekaragaman hayati menjadi salah satu faktor pendukung dalam pengembangan sektor pertanian terutama subsektor peternakan. Sumbangan subsektor peternakan dalam Produk Domestik Bruto sebesar Rp 34.530,7 milyar atau 1,6 persen pada tahun 2007 dan masih menyumbang 1,6 persen pada tahun 2008 membuktikan bahwa subsektor peternakan mempunyai peranan penting dalam pembangunan ekonomi Indonesia. Kebutuhan protein penduduk umumnya dipenuhi dari beberapa ternak diantaranya adalah ayam, sapi, kambing dan lain-lain. Kandungan gizi yang terdapat di dalam daging ayam, sapi, kambing yang dapat dilihat dalam Tabel 1.
Tabel 1. Kandungan Protein Ayam, Sapi, dan Kambing Jenis Daging
Protein ( % )
Air (%)
Lemak (%)
Abu (%)
Ayam
23,40
73,70
1,90
1,00
Sapi
21,50
69,50
8,00
1,20
Kambing
19,50
71,50
7,50
1,50
Sumber: Balai Besar Industri Hasil Pertanian dalam Siregar, 2009
Data tersebut menunjukan bahwa ayam mempunyai protein lebih tinggi dari sapi sebesar 1,9 persen dan 3,9 persen dari daging kambing. Kandungan air pun lebih tinggi dari daging sapi sebesar 4,2 persen dan 2,2 persen dari daging kambing serta mempunyai kandungan lemak dan abu yang lebih sedikit dibanding 2
Kompas.com. Penduduk Indonesia 236,7 Juta Jiwa. http//:www.kompas.com. [3 Maret 2011]
19
sapi dan kambing. Selain itu, kandungan gizi yang dimiliki daging ayam sangat lengkap dan dapat memenuhi kebutuhan gizi manusia. Daging ayam tinggi protein, memberikan semua asam amino yang diperlukan tubuh. Kandungan vitamin A, beberapa vitamin B, mineral fosfor juga cukup tinggi, sehingga ideal sebagai sumber gizi yang sehat 3. Dunia perunggasan adalah salah satu subsektor peternakan yang sangat berpotensi untuk dikembangkan. Dalam perunggasan modern ayam ras pedaging atau broiler menjadi komoditas utama karena pertumbuhannya yang cepat. Secara umum perkembangan ayam broiler memberikan manfaat yang besar untuk para pelaku usaha peternakan. Hal ini dapat dilihat dari perkembangan populasi perunggasan Indonesia yang terus mengalami peningkatan. Berdasarkan data Direktorat Jenderal Peternakan populasi unggas Indonesia dari tahun 2003 sampai dengan tahun 2008 dapat dilihat dalam Tabel 2. Tabel 2. Populasi Unggas Indonesia Tahun 2003 – 2008 Tahun (ekor) Jenis Unggas
2004
2005
2006
2007
2008
Ayam Ras Pedaging
778.970 811.189 797.527 891.659 1.075.885
Ayam Buras
276.989 278.954 291.085 272.251
Ayam Ras Petelur
93.416
84.790 100.202 111.489
Itik
32.573
32.405
32.481
35.867
Laju (%/Thn) 8,31
290.803
1,35
116.479
6,17
36.931
0,62
Sumber : Direktorat Jenderal Peternakan, 2009 (diolah) * ) Angka Sementara
Dari Tabel 2 dapat dilihat bahwa populasi terbesar unggas yaitu ayam ras pedaging dengan laju pertumbuhan dari tahun 2004 sampai 2008 sebesar 8,31 persen per tahun, walaupun terjadi penurunan pada tahun 2006 menjadi sebesar 797.527 ekor namun pada tahun 2008 populasi meningkat menjadi 1.075.885 ekor. Pergerakan kenaikan populasi unggas terjadi setiap tahunnya, meskipun sempat terjadi penurunan antara tahun 2004 sampai 2005 pada jenis unggas ayam ras petelur dan itik serta pada jenis unggas ayam buras antara tahun 2006 sampai
3
Majalah Nirmala. Daging Ayam Tak Cuma Rendah Lemak! Health woman. 10 Desember 2003.http//:www.family.go.com. [10 Oktober 2009]
20
2007 namun secara keseluruhan untuk semua jenis unggas mengalami kenaikan populasi. Pada tahun 2006 populasi ayam ras pedaging kembali mengalami penurunan karena terjadi kenaikan harga jagung Internasional. Kenaikan harga jagung terjadi karena adanya persaingan kebutuhan jagung untuk bahan bakar nabati dan untuk pakan ternak sedangkan harga MBM (meat bone meal)/tepung tulang naik karena keterbatasan jumlah importir. Kenaikan harga jagung dan MBM terjadi pada pada bulan Januari 2006 sampai bulan Januari 2007 sebesar 130 dolar menjadi 235 dolar dan harga MBM sebesar 350 dolar sampai 370 dolar, kedua bahan tersebut merupakan bahan baku sangat penting untuk pakan ternak karena komposisi bahan pakan terdiri dari 51 persen jagung dan komposisi MBM sekitar 5 persen. Kenaikan harga jagung diikuti oleh kenaikan bea masuk impor sebesar 5 persen yang semakin membebani harga pakan, sehingga biaya produksi pakan naik sekitar Rp 500/kg. Kelebihan-kelebihan yang dimiliki ayam sebagai bahan konsumsi telah menyebabkan terdapatnya preferensi yang tinggi dari masyarakat terhadap daging potong. Di DKI Jakarta saja, kebutuhan ayam potong mencapai 1,5 juta ekor per hari. Sementara di Tanah Air kebutuhan ayam potong diperkirakan mencapai tiga juta sampai lima juta ekor per hari4. Komoditas ayam mempunyai prospek pasar yang baik karena didukung oleh karakteristik produk unggas yang dapat diterima oleh masyarakat, harga yang relatif murah dengan akses yang mudah karena sudah merupakan barang publik dan merupakan pendorong utama penyediaan protein hewani nasional. Dalam keadaan perekonomian keluarga yang terbatas, sementara agar sehat perlu tetap mengkonsumsi protein hewani, daging ayam menjadi prioritas pilihan yang paling layak sebagai sumber protein hewani bagi keluarga5. Seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk, kebutuhan masyarakat akan daging ayam semakin meningkat. Faktor lain yang menyebabkan meningkatnya kebutuhan masyarakat akan daging ayam adalah meningkatnya jumlah pendapatan masyarakat sehingga daya beli pun meningkat, dan kesadaran 4
Tim Liputan 6 SCTV. Dusta Pedagang Ayam Potong. http://www.Liputan6.com. [2 Mei 2009] Setiawan, Nugraha. 2008. Daging dan Telur Ayam Sumber Protein Murah. nugrahasetiawan.blogspot.com/2008 [12 Mei 2009] 5
21
masyarakat akan pentingnya gizi protein hewani yang meningkat (Tabel 1). Kebutuhan masyarakat akan daging ayam dapat dilihat dari jumlah konsumsi daging ayam. Jumlah konsumsi daging ayam broiler di Indonesia disajikan dalam Tabel 3.
Tabel 3. Konsumsi Ayam Broiler di Indonesia Tahun 2003-2009 Tahun
2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009
Jumlah (Ton)
1.368.200 1.425.300 1.573.000 1.486.100 1.564.200 1.447.000 1.537.600 Laju pertumbuhan (%/thn)
Perubahan (%)
4,00 9,39 -5,85 4,99 -8,01 5,89 1,74
Sumber : Direktorat Jenderal Peternakan, 2009 (diolah)
Berdasarkan Tabel 3, jumlah konsumsi daging ayam broiler terbesar terjadi pada tahun 2005 sebesar 1.573.000 ton dengan tingkat pertumbuhan sebesar 9,39 persen dari tahun sebelumnya. Namun terjadi penurunan tingkat konsumsi pada tahun 2006 sebesar 5,85 persen dan meningkat kembali sebesar 4,99 persen dengan jumlah konsumsi 1.564.200 ton. Pada tahun 2009 jumlah konsumsi daging ayam mencapai 1.537.600 atau meningkat 5,89 persen dari tahun sebelumnya sebesar 1.447.000. Secara keseluruhan laju pertumbuhan konsumsi ayam broiler di Indonesia dari tahun 2003 sampai 2009 adalah sebesar 1,74 persen per tahun. Besarnya jumlah konsumsi tersebut menggambarkan minat masyarakat yang tinggi terhadap daging ayam. Potensi inilah yang harus dikembangkan dengan baik agar agribisnis ayam broiler dapat terus berkembang secara berkelanjutan. Peternakan ayam adalah salah satu andalan dalam sub sektor peternakan di Indonesia. Peternakan ayam khususnya ayam pedaging mempunyai prospek yang sangat baik untuk dikembangkan, baik dalam skala besar maupun skala kecil. Pembangunan peternakan ayam ras pedaging di Indonesia dapat dilihat dari perkembangan populasinya. Jumlah populasi ayam pedaging di Indonesia untuk setiap provinsi disajikan dalam Tabel 4.
22
Tabel 4. Perkembangan Populasi Ayam Ras Pedaging (ekor) Per Provinsi Tahun 2004-2008 Populasi (ekor) Provinsi
Laju (%/Thn)
2004
2005
2006
2007
2008
Jawa Barat
328.015.536
352.434.300
343.954.090
377.549.055
417.373.596
6,34
Jawa Timur
162.781.000
142.602.400
119.525.124
148.854.817
140.005.968
-2,24
Sumatra Utara
38.045.260
35.568.236
42.763.530
78.152.052
42.891.621
12,84
Jawa Tengah
50.356.308
62.043.412
61.258.115
64.552.829
54.643.212
7,99
Sumber : Direktorat Jenderal Peternakan, 2009 (diolah)
Berdasarkan Tabel 4, jumlah populasi tertinggi terletak di Sumatera Utara dengan tingkat laju pertumbuhan sebesar 12,84 persen per tahun selama lima tahun dan merupakan provinsi dengan tingkat laju pertumbuhan tertinggi di Indonesia pada tahun 2004 sampai tahun 2008. Populasi yang terus meningkat ini merupakan potensi yang harus dikelola dengan baik agar usaha peternakan ayam ras pedaging bisa terus berkembang di masa yang akan datang. Budidaya ayam mempunyai banyak kelebihan, salah satunya adalah siklus produksi yang sangat pendek yaitu sekitar 30-40 hari. Siklus produksi yang pendek inilah yang menjadi daya tarik bagi para peternak karena perputaran modalnya yang relatif lebih cepat. Modal yang telah dikeluarkan akan cepat kembali, sehingga keuntungan akan cepat didapatkan. Kondisi tersebut berpengaruh terhadap minat para peternak untuk terus memproduksi ayam pedaging. Jumlah produksi ayam pedaging terus meningkat seiring meningkatnya jumlah konsumsi terhadap daging ayam. Jumlah produksi ayam pedaging setiap provinsi disajikan dalam Tabel 5.
Tabel 5. Perkembangan Produksi Daging Ayam Ras Pedaging (ton) Per Provinsi Tahun 2004-2008 Produksi (ton) Provinsi Jawa Barat
263.397
259.749
276.195
279.851
335.151
Laju (%/Thn) 6,51
Jawa Timur
162.781
128.342
143.643
148.855
115.193
-9,81
DKI Jakarta
88.089
67.054
83.768
128.480
128.480
13,61
Sumatra Utara
44.688
41.778
39.055
35.098
35.283
-5,66
2004
2005
2006
2007
2008
Sumber : Direktorat Jenderal Peternakan, 2009 (diolah)
23
Berdasarkan Tabel 5, laju peningkatan produksi ayam pedaging di Jawa Barat periode 2004 sampai 2008 adalah sebesar 6,51 persen per tahun. Jumlah produksi yang terus meningkat seiring dengan meningkatnya laju populasi ayam di Jawa Barat sebesar 6,34 persen per tahun (Tabel 4). Laju pertumbuhan tertinggi terdapat di provinsi DKI Jakarta sebesar 13,61 persen per tahun selama periode 2004 sampai 2008. Peningkatan produksi ayam pedaging harus dilakukan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Hal ini dikarenakan terjadi peningkatan jumlah pendapatan masyarakat, meningkatnya daya beli, dan meningkatnya kesadaran masyarakat akan pentingnya gizi protein hewani. Komoditas ayam sudah dikenal secara luas oleh masyarakat. Selain karena mudah ditemui dimana saja, cara pengolahan ayam pun sangat beragam untuk dijadikan berbagai macam makanan. Perkembangan produksi ayam pun dari tahun ke tahun semakin meningkat untuk memenuhi kebutuhan konsumsi ayam. Peningkatan produksi tersebut dapat dilihat dari berkembangnya produksi ayam di setiap kota di Jawa Barat (Tabel 6). Pada Tabel 6. Untuk daerah Kota di Provinsi Jawa Barat, peningkatan produksi daging ayam tertinggi berada di Kota Depok dengan peningkatan produksi dari tahun 2004 sampai pada tahun 2008 sebesar 141,44 persen per tahun. Peningkatan yang sangat tinggi tersebut disebabkan karena terjadi lonjakan produksi daging ayam pada tahun 2008 sebanyak lebih dari enam kali lipat dari tahun sebelumnya. Kondisi sebaliknya terjadi di Kota Tasikmalaya dengan produksi daging ayam mengalami penurunan dengan laju sebesar -12,13 persen.
Tabel 6. Perkembangan Produksi Daging Ayam Ras Pedaging (ton) di Jawa Barat Tahun 2004-2008 Produksi (ekor)
Kota Tasikmalaya Bekasi Sukabumi Depok Bogor
2004 6.285 2.601 1.455 1.176 907
2005 3.582 2.445 1.725 1.205 1.831
2006 3.477 2.266 1.786 1.577 858
2007 3.387 3.225 1.935 1.358 867
2008 3.388 4.309 2.340 8.777 1.060
Laju (%/Thn) -12,13 15,65 12,84 141,44 18,14
Sumber : Direktorat Jenderal Peternakan, 2009 (diolah)
24
Lapangan usaha yang beraneka ragam bisa dikembangkan dari komoditas ayam ini, sehingga menjadikan ayam sebagai usaha di bidang ternak yang memiliki prospek cukup menjanjikan dan menguntungkan bagi para pelaku usaha. Usaha yang dapat dikembangkan dengan menggunakan ayam sebagai komoditas utamanya bukan hanya sebatas pada industri hulu atau budidayanya, melainkan juga meliputi berbagai usaha, salah satu contohnya adalah Usaha Pemotongan Ayam (UPA). Usaha Pemotongan Ayam (UPA) menjadi sektor yang penting mengingat produksi daging ayam broiler yang terus meningkat. Selain itu, usaha ini juga dapat sedikit membantu menstabilkan harga daging ayam di pasaran. Keberadaan rumah potong seharusnya bukan hanya dilihat dari sisi entitas bisnis, tetapi juga sebagai stabilisator harga daging ayam atas kemampuannya memproduksi daging ayam beku6. Kebutuhan masyarakat terhadap komoditas ayam ( khususnya ayam potong ) semakin meningkat dan keinginan konsumen akan daging ayam segar siap olah membuat usaha pemotongan ayam menjadi bagian sentral dalam sistem agribisnis ayam. Saat ini kontribusi rumah potong ayam telah mencapai 15 persen dari total kebutuhan ayam di dalam negeri, atau mengalami kenaikan dari tahuntahun sebelumnya yang hanya 5 persen7. Namun saat ini keberadaan usaha pemotongan modern masih sedikit dikarenakan peralatan yang digunakan relatif mahal sehingga diperlukan biaya besar. Pertumbuhan rumah potong ayam yang berskala modern sudah ada meski belum pesat dan jumlahnya sekitar 22 rumah potong di Indonesia8. Usaha pemotongan ayam tidak terlepas dari beberapa kendala yang dihadapi. Kendala tersebut merupakan hambatan yang cukup kompleks dalam menjalankan usaha. Kendala yang dimaksud adalah tingginya tingkat risiko yang dihadapi. Risiko yang dihadapi dalam usaha pemotongan ini adalah risiko usaha baik itu risiko harga, risiko penjualan, maupun risiko pendapatan.
6
Supit, Anton. 2009. Rumah Potong Ayam Masih Menjanjikan. www.harianglobal.com/index.php[2 Maret 2011] 7 Hartono. 2009. Rumah Potong Belum Diminati. www.koran-jakarta.com [2 Maret 2011] 8 Loc.cit
25
Pengelolaan usaha pemotongan ayam yang dihadapkan pada risiko tinggi harus disertai dengan pengetahuan pengusaha dalam meminimalkan risiko. Kemampuan mengelola risiko yang baik sangat diperlukan pengusaha untuk meminimalkan risiko, sehingga pengusaha bisa mendapatkan keuntungan yang maksimal. Manajemen risiko adalah alat bantu bagi pengusaha dalam proses pengambilan keputusan untuk mengurangi atau menghindari risiko yang dihadapinya. Manajemen risiko yang diterapkan oleh usaha pemotongan ayam harus efektif agar tujuan perusahaan dapat tercapai. Harapannya adalah usaha peternakan ayam ini dapat menjalankan usahanya dengan meraih keuntungan yang tinggi dan terjamin kontiunitas usaha. Berdasarkan uraian di atas, maka diperlukan suatu kajian yang menganalisis risiko dan manajemen risiko dalam usaha pemotongan ayam. Kajian ini diperlukan untuk menekan peluang risiko yang terjadi dalam usaha pemotongan ayam. Dengan kajian ini, diharapkan pengusaha pemotongan ayam dapat mengambil keputusan yang tepat dan strategis terkait dengan risiko yang dihadapinya. Harapannya adalah para pengusaha pemotongan ayam dapat menjalankan usahanya dengan lebih baik di masa yang akan datang.
1.2 Perumusan Masalah Sentra Usaha Pemotongan Ayam yang terletak di Kelurahan Kebon Pedes merupakan salah satu tempat pemotongan yang ada di Kota Bogor dengan jumlah kapasitas pemotongan per hari mencapai 13.000 ekor. Sentra pemotongan di Kelurahan Kebon Pedes memiliki wadah organisasi bernama Ikatan Warga Pemotong Ayam (IWPA). Organisasi ini dibentuk agar pengelolaan pemotongan ayam di Kelurahan Kebon Pedes terkendali dan terkoordinasi dengan baik. IWPA juga berfungsi sebagai wadah untuk mengumpulkan iuran rutin serta tempat silahturahmi
tukar
pikiran
antara
sesama
pemotong
ayam
mengenai
perkembangan usaha seperti perkembangan fluktuasi harga ayam. Jumlah anggota IWPA sebanyak 38 orang dengan skala usaha pemotongan berbeda mulai dari skala kecil sampai skala besar. Skala usaha ditentukan berdasarkan jumlah ayam yang dipotong setiap hari. Jumlah pengusaha pemotongan ayam didominasi oleh pengusaha skala kecil sebanyak 28 orang,
26
sedangkan pada skala sedang berjumlah 7 orang. Sementara jumlah pengusaha pemotongan ayam skala besar sebanyak 3 orang. Perbedaan antara pengusaha skala kecil dengan pengusaha skala sedang dan besar adalah pada pengusaha skala kecil yang tidak memiliki tempat pemotongan ayam sendiri, berbeda dengan pengusaha skala sedang dan skala besar yang intensitas pemotongannya besar dan memiliki tempat pemotongan ayam. Dalam menjalankan usahanya dengan melakukan kegiatan pemotongan setiap hari namun tetap terjadi beragam fluktuasi baik itu fluktuasi harga, penjualan, dan pendapatan. Hal ini menunjukkan bahwa pengusaha di Sentra Usaha Pemotongan Ayam menghadapi berbagai risiko usaha seperti risiko harga, risiko penjualan dan risiko pendapatan. Risiko harga yang dihadapi adalah berfluktuatifnya harga input produksi berupa ayam hidup dan harga output berupa karkas ayam siap jual. Harga ayam hidup cenderung naik terutama pada saat sebulan menjelang bulan Ramadhan atau menjelang hari raya Idul Fitri, karena banyaknya peternak musiman yang mengharapkan keuntungan. Pasca Lebaran harga akan kembali turun dan akan kembali meningkat pada saat hari Natal serta Tahun Baru. Selain faktor Hari Raya, fluktuasi harga jual karkas ayam dipengaruhi ketersediaan ayam yang melebihi pasokan (over supply) sehingga ayam beredar di pasar sangat banyak sedangkan daya beli masyarakat menurun. Faktor lain adalah pada bulan Suro penanggalan Jawa dimana masyarakat kebanyakan tidak melakukan aktifitas seperti hajatan dan faktor cuaca yang menyebabkan transportasi ayam terhambat. Fluktuasi harga ayam broiler dan karkas ayam disajikan dalam Gambar 1. Harga ayam broiler dan karkas ayam selalu menunjukkan nilai yang berfluktuasi. Harga ayam broiler berkisar antara Rp 11.200/kg sampai Rp 18.800/Kg sedangkan untuk harga karkas ayam siap jual berkisar antara Rp 18.000/kg sampai Rp 24.500/Kg selama periode pengamatan dari September 2009 sampai dengan Februari 2010.
27
Rupiah
29500 28000 26500 25000 23500 22000 20500 19000 17500 16000 14500 13000 11500 10000
Ayam Broiler Karkas Ayam
24500 21200
20800
18800
18500
18000
12200 September
19700
Oktober
12500
12700
12000
November Desember
11200 Januari
Februari
Periode
Gambar 1. Fluktuasi Harga Ayam Broiler dan Karkas Ayam di Sentra Usaha Pemotongan Ayam Kelurahan Kebon Pedes Selama Periode Pengamatan (September-Februari 2010) Sumber : Ikatan Warga Pemotong Ayam (2010)
Fluktuasi penjualan terjadi karena pada Sentra Usaha Pemotongan Ayam banyak terdapat pengusaha pemotongan dengan intensitas pemotongan yang berbeda-beda mulai dari skala kecil hingga skala besar. Keterbatasan modal yang dimiliki pengusaha mempengaruhi penjualan ayam yang dilakukan setiap harinya. Faktor lain adalah berat ayam hidup dari peternak yang berbeda setiap harinya mempengaruhi penjualan pengusaha pemotongan ayam. Fluktuasi penjualan dapat dilihat pada Gambar 2.
24000 22000 20000 18000 16000 14000 12000 10000 8000 6000 4000 2000 0
22.994 Skala Kecil Skala Sedang Skala Besar
14.571
16.039 13.502 11.580
10.512
4.207
September
14.671
5.769
6.126
2.048
2.012
Oktober
November
4.884 2.352
Desember
5.333 2.235 Januari
6.535 2.915 Februari
Periode Gambar 2. Fluktuasi Penjualan Hasil Pemotongan Ayam Broiler di Usaha Pemotongan Ayam Kelurahan Kebon Pedes Selama Kejadian (September-Februari 2010)
28
Intensitas pemotongan setiap skala usaha usaha berbeda-beda setiap periodenya. Intensitas pemotongan terkecil adalah sebesar 2.012 Kg sedangkan intensitas pemotongan terbesar selama periode pengamatan adalah sebesar 22.994 Kg. Adanya fluktuasi penjualan pada setiap skala usaha menyebabkan pengusaha sulit memprediksi penjualan ayam pada periode berikutnya. Risiko harga dan risiko penjualan yang terjadi di Usaha Pemotongan Ayam menyebabkan terjadinya fluktuasi pendapatan pada setiap skala usaha pemotongan dari skala kecil hingga skala besar. Risiko pendapatan terjadi karena adanya fluktuasi harga input dan output pemotongan serta fluktuasi penjualan output itu sendiri sehingga pendapatan yang diperoleh berbeda-beda. Pendapatan diperoleh karena adanya jumlah harga yang terbentuk dengan banyaknya jumlah komoditas ayam yang dijual. Pada prinsipnya ketika pengusaha telah pemotongan setiap hari untuk mengetahui fluktuasi usaha, seharusnya pengusaha bisa memperoleh kepastian pendapatan sehingga pengusaha dapat mengelola risiko agar mendapatkan harga yang baik, penjualan dan pendapatan yang optimal. Pengukuran risiko ditujukan pula untuk merumuskan alternatif manajemen risiko yang bisa diterapkan oleh Sentra Usaha Pemotongan Ayam. Pengembangan usaha pemotongan ayam akan berhasil apabila pengusaha pemotongan mampu mengelola risikonya dengan baik. Pengelolaan harus ditunjang dengan kemampuan manajemen yang baik, mulai dari manajemen produksi, keuangan, sumber daya manusia, sampai kepada manajemen pemasaran. Pengusaha pemotongan sebagai pengambil keputusan bisnis harus memiliki kompetensi yang baik dalam mengelola seluruh bagian perusahaan. Hal tersebut akan berpengaruh terhadap keberhasilan usahanya. Berdasarkan uraian diatas, permasalahan yang akan dikaji dalam penelitian ini adalah : 1. Bagaimana risiko usaha yang terjadi baik itu risiko harga, risiko penjualan dan risiko pendapatan pada usaha pemotongan ayam ? 2. Bagaimana manajemen risiko yang diterapkan untuk mengatasi risiko usaha pada usaha pemotongan ayam ?
29
1.3 Tujuan Penelitian Berdasarkan permasalahan dan latar belakang maka tujuan penelitian ini adalah : 1. Menganalisis risiko usaha baik itu risiko harga, risiko penjualan dan risiko pendapatan pada usaha pemotongan ayam. 2. Menganalisis manajemen risiko yang diterapkan untuk mengatasi risiko yang dihadapi oleh usaha pemotongan ayam.
1.4 Manfaat Hasil dari penelitian ini diharapkan menjadi informasi bagi pihak-pihak terkait, seperti : 1
Sebagai bahan masukan dan pertimbangan bagi pemilik usaha pemotongan dalam mengambil suatu keputusan bisnis, sehingga pengambil keputusan dapat mengambil keputusan bisnis yang strategis dan tepat sasaran.
2
Sebagai bahan informasi dan rujukan untuk penelitian selanjutnya. Harapannya adalah penelitian selanjutnya dapat lebih baik dan bisa menganalisis lebih dalam lagi berkaitan dengan penulisan ilmiah tentang usaha pemotongan khususnya tentang risiko dalam usaha pemotongan ayam.
1.5 Ruang Lingkup Penelitian Penelitian ini dibatasi pada analisis risiko usaha yaitu risiko harga, risiko penjualan, dan risiko pendapatan Usaha Pemotongan Ayam. Pengukuran risiko menggunakan probabilitas, varian, standar deviasi, koefisien varian. Penelitian dilakukan dengan menggunakan data yang diperoleh dari pengusaha Sentra Usaha Pemotongan selama enam periode dengan ukuran satu bulan sama dengan satu periode mulai dari bulan September 2009 sampai dengan bulan Februari 2010. Data primer berupa analisis deskriptif digunakan untuk menganalisis faktor yang mempengaruhi perubahan harga.
30
II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kegiatan Subsistem Agribisnis Hilir Subsistem agribisnis hilir adalah kegiatan yang mengelola komoditas primer menjadi produk olahan, baik untuk produk antara (Intermediet Product) maupun untuk produk akhir (Final Product) beserta kegiatan perdagangannya. Subsistem ini termasuk diantaranya Tempat Pemotongan Ayam/Rumah Potong Ayam (TPA/RPA), industri pengolahan daging unggas, industri pengolahan telur beserta industri jasa boga/restoran (Food Service Industry) seperti Fried Chicken, MC Donald’s, Wendy’s, A&W (Saragih, 2000). Subsistem agribisnis hilir sangat terkait sekali dengan kegiatan perdagangan. Sistem produksi modern terjadi dari breeding farm/perusahaan pembibit (parent stock) yang melakukan budidaya untuk menghasilkan telur siap tetas/Hatching Eggs (HE) yang akan didistribusikan ke Hatchery (penetasan ayam) yang akan ditetaskan selama 21 hari menjadi ayam umur sehari/DOC yang siap jual maupun dibudidayakan. DOC Final Stock didistribusikan ke peternak oleh perusahaan pembibit, baik pada peternak yang menjalin kemitraan mupun ke peternak mandiri. Industri pakan mendistribusikan pakan ke seluruh kegiatan yang berkaitan dengan proses budidaya, baik ke Breeding Farm yang melakukan budidaya untuk menghasilkan DOC Final Stock maupun ke peternakan mandiri dan kemitraan yang menghasilkan ayam hidup siap panen untuk dijual sebagai produk konsumsi maupun olahan. Pola ini dikatakan sistem produksi modern karena terjadi pada kegiatan yang membutuhkan sarana produksi ternak yang modern juga karena membutuhkan sumber daya manusia yang profesional dan trampil untuk proses produksinya. Dikatakan modern juga karena kegiatan tersebut dilakukan oleh perusahaan-perusahaan yang mempunyai modal yang cukup. Pola distribusi sarana produksi dan produk ternak dapat dilihat dalam bagan9.
9
Sudirman. April 2007. Babak Baru Perunggasan, Restrukturisasi atau Mati!. Trobos:16
31
Breeding Farm
Sistem Produksi Modern
Hatchery
Feedmill
Peternak Kemitraan
RPA
Mandiri
Broker Ayam
Penampungan
Sistem Pasar Tradisional
Pengolahan
Pasar Modern
Pasar Becek/TPA
Lanjutan
Konsumen
Gambar 2. Pola Distribusi Sarana Produksi Ternak dan Produk Ternak Sumber : Sudirman-Biotek dalam Trobos April 2007
Pola pendistribusian produk unggas sebagian besar melalui sistem pasar tradisional yang dijual dalam bentuk daging ayam utuh atau karkas, adapun pola pendistribusian pada sistem pasar tradisional berawal dari hasil panen pada peternakan kemitraan dan peternak mandiri yang didistribusikan pada broker ayam. Biasanya broker mendatangi langsung kandang untuk membeli atau mengambil ayam hidup, setelah itu broker menjualnya ke penampungan di setiap daerah. Dari penampungan ayam didistribusikan ke pasar becek atau pasar-pasar tradisional baik dijual dalam keadaan hidup maupun sudah disembelih lalu dijual ke konsumen akhir, selain langsung ke pasar tradisional atau pasar becek, dan ke
32
pasar hewan. Produk ternak juga didistribusikan ke TPA (Tempat Pemotongan Ayam) untuk dipotong terlebih dahulu baru ke konsumen akhir. Selain
pada
broker,
peternak
kemitraan
dan
peternak
mandiri
mendistribusikan ayam hidupnya ke rumah potong ayam, kemudian dari rumah potong ayam mendistribusikan ayam dalam bentuk karkas dan ikutannya ke pasar modern seperti supermarket, hypermarket dan swalayan-swalayan lain, selain ke pasar modern yang dijual, daging ayam didistribusikan untuk pengolahan lebih lanjut, pemain pasar modern biasanya adalah perusahaan-perusahaan besar, baik perusahaan yang terintegrasi secara vertikal dari hulu sampai hilir, maupun perusahaan pengolahan atau jasa perdagangan saja. Pendistribusian dan pemasaran sangat terkait dengan transportasi atau pengangkutan. Adapun tujuan dari pengangkutan adalah untuk memperlancar pemasaran produk agar sampai ke konsumen. Beberapa fungsi pengangkutan adalah jenis alat angkut, volume diangkut, waktu pengangkutan, dan jenis produk yang akan diangkut. Produk peternakan yang diangkut tanpa memperhatikan fungsi-fungsi tersebut dapat menyebabkan kerusakan, penyusutan produk, bahkan kematian produk khususnya ternak hidup. Proses pengangkutan ayam harus dengan hati-hati, jangan sampai ternak mengalami stres, pengangkutan pada ayam dapat bertahan maksimum dua hari dan lebih dari itu pengangkutan bisa mengakibatkan kematian (Rahardi, 2008).
2.2 Usaha Pemotongan Ayam Di Indonesia banyak pengusaha pemotong ayam yang masih menerapkan cara pemotongan tradisional dengan tempat pemotongan sederhana serta peralatan dan tata cara pemotongan yang kurang memenuhi syarat kesehatan sehingga produk yang dihasilkan masih jauh dari aspek higienis daging. Sementara perusahaan pemotongan ayam yang menggunakan mesin pemotongan modern masih sangat sedikit. Dengan demikian, dapat diketahui bahwa sebagian besar kebutuhan daging ayam dipenuhi oleh pemotongan ayam tradisional ini. Usaha pemotongan ayam dapat digolongkan menjadi beberapa bagian. Menurut Surat Keputusan Menteri Pertanian No. 557/Kpts/TN.529/9/1976, usaha pemotongan menurut jenis kegiatan usahanya terbagi menjadi tiga kategori, yaitu
33
Kategori I, Kategori II, dan Kategori III. Usaha pemotongan ayam kategori I adalah usaha pemotongan ayam yang berupa kegiatan pemotongan ayam milik sendiri di rumah pemotongan sendiri. Usaha pemotongan ayam kategori II adalah usaha pemotongan ayam yang berupa kegiatan menjual jasa pemotongan ayam atau melaksanakan pemotongan ayam milik orang lain. Usaha pemotongan kategori III adalah usaha pemotongan ayam yang berupa kegiatan pemotongan ayam pada rumah pemotongan ayam atau tempat pemotongan ayam milik pihak lain.
2.3 Studi Terdahulu Mengenai Risiko Pada kajian penelitian terdahulu, peneliti mengambil beberapa penelitian yang terkait dengan topik penelitian yaitu penelitian dengan topik manajemen risiko. Selain topik, peneliti juga mengkaji analisis risiko dengan melihat alat analisis yang digunakan yaitu dengan menghitung expected return, ragam (variation), simpangan baku (standard deviation), koefisien variasi (standard variation), batas bawah pendapatan, statistik deskriptif dan alat analisis lainnya yang berhubungan dengan manajemen risiko. Hal tersebut bertujuan untuk melihat perbandingan antara penelitian terdahulu dengan penelitian ini sehingga dapat menunjukkan adanya persamaan, keunggulan dan kelemahan pada penelitian. Solihin (2009) dan Aziz (2009) memiliki persamaan dalam menganalisis risiko di usaha peternakan ayam. Risiko yang diteliti adalah risiko harga dan risiko produksi serta menganalisis manajemen risiko di usaha peternakan ayam. Pada risiko harga permasalahan yang terjadi adalah fluktuasi harga baik harga input berupa Sarana Produksi Ternak maupun harga jual output berupa ayam broiler. Sedangkan pada risiko produksi adalah penyimpangan hasil produksi yang dipengaruhi oleh cuaca dan iklim sehingga menyebabkan mortalitas tinggi serta berpengaruh juga terhadap efisiensi penggunaan pakan. Alat analisis risiko yang digunakan keduanya adalah dengan menghitung expected return, ragam (variance), simpangan baku (standard deviation), koefisien variasi (coefficient variation), batas bawah pendapatan, dan analisis deskriptif untuk menganalisis manajemen risiko.
34
Dari analisis risiko menunjukkan bahwa nilai Coefficient Variation pada penelitian Aziz (2009) sebesar 1,75 sedangkan pada Solihin (2009) sebesar -2,63. Dari kedua nilai Coefficient Variation, hasil penelitian Solihin lebih besar dibandingkan Aziz dikarenakan pada penelitian Solihin kapasitas pemeliharaan ayam sebesar 16.000 ekor sedangkan pada penelitian Aziz hanya sebesar 4000 ekor sehingga semakin besar usaha yang dijalankan maka risiko yang dihadapi pun semakin besar. Hal ini juga diperkuat dengan hasil batas bawah pendapatan pada penelitian Solihin sebesar
Rp -111.107.708, lebih besar dibandingkan
penelitian Aziz yang hanya sebesar Rp -14.421.977 (ceteris paribus). Pada analisis manajemen risiko dari kedua penelitian tersebut terdapat beberapa kesamaan diantaranya adalah dalam hal pengaturan sirkulasi kandang, pengawasan dalam pengobatan terhadap gejala klinis kepada Field Controller, memasang insulasi di atap kandang (Roof Insulation), serta upaya untuk membentuk suatu kelompok peternak untuk memperkuat posisi tawar dalam menjalin kemitraan. Kajian penelitian tentang manajemen risiko pernah dilakukan oleh Trangjiwani (2008) dan Lestari (2009). Kesamaan dari kedua penelitian ini adalah mengindentifikasi sumber-sumber risiko yang ada lalu dilakukan pemetaan risiko menggunakan matriks yang memberikan alternatif penanganan risiko berdasarkan hasil pemetaan. Hasil penelitian Trangjiwani (2008) menunjukkan bahwa risiko operasional yang terindentifikasi dapat dikelompokkan menjadi risiko sistem, proses, SDM, dan risiko eksternal. Penanganan risiko berdasarkan nilai status risiko diutamakan untuk komoditi tomat dibandingkan dengan keempat komoditi lainnya. Alternatif penanganan risiko dengan mitigasi atau detect and monitor dilakukan untuk : a) risiko sistem, SDM, proses, dan eksternal pada tomat, b) risiko sistem dan eksternal pada kol, c) risiko sistem, proses dan eksternal pada lettuce head dan d) risiko sistem, proses, dan eksternal pada cabai merah. Penanganan risiko secara low control dapat dilakukan untuk risiko yang memiliki nilai kemungkinan dan dampak risiko yang rendah, yaitu a) risiko sistem dan SDM pada kentang, b) risiko proses dan SDM pada kol, c) risiko SDM pada lettuce head dan d) risiko SDM pada cabai merah.
35
Sedangkan pada penelitian Lestari (2009) Sumber-sumber risiko yang terdapat di PT. Suri Tani Pemuka dalam kegiatan pembenihan ini dapat diklasifikasikan ke dalam empat kuadran risiko berdasarkan tingkat kemungkinan terjadinya dan dampak yang ditimbulkan oleh risiko tersebut. Strategi yang dilakukan oleh PT. Suri Tani Pemuka untuk mengurangi terjadinya risiko dengan melakukan persiapan bak pemeliharaan, pemeliharaan induk, pemeliharaan larva, pengelolaan kualitas air, pengelolaan pakan, pengepakan dan pemanenan benur, serta pelatihan sumber daya manusia. Hasil pemetaan menunjukkan bahwa risiko penurunan derajat kelangsungan hidup berada pada kuadran 2. Risiko produksi benur dan risiko penerimaan terdapat pada kuadran 3 dan risiko produksi naupli berada pada kuadran 4, sedangkan untuk kuadran 1 tidak terisi risiko. Siregar (2009) menganalisis tentang risiko harga dengan analisis kualitatif dan kuantitatif. Penelitian yang dilakukan oleh Siregar bertujuan menganalisis risiko yang dihadapi PT. Sierad Produce Tbk dan penanganan risiko yang dihadapi PT. Sierad Produce Tbk. Alat analisis risiko menggunakan model ARCH-GARCH dan perhitungan VAR (Value at Risk). Hasil analisis risiko model ARCH-GARCH diperoleh bahwa pola pergerakan harga DOC dipengaruhi oleh kondisi penawaran dan permintaan DOC di pasar seperti saat menjelang lebaran dan memasuki tahun ajaran baru. Hasil analisis GARCH diperoleh bahwa risiko harga DOC dipengaruhi oleh volatilitas dan varian harga DOC broiler periode sebelumnya dengan tanda positif yang artinya bahwa jika terjadi peningkatan risiko harga DOC periode sebelumnya maka akan meningkatkan risiko harga DOC periode berikutnya. Koefisien determinasi (R2) yang diperoleh sebesar 9,99%. Sedangkan harga jual DOC layer dengan ARCH diperoleh bahwa risiko harga DOC layer hanya dipengaruhi oleh volatilitas harga DOC layer periode sebelumnya dengan tanda yang positif yang berarti bahwa jika terjadi peningkatan risiko harga DOC layer periode sebelumnya maka akan meningkatkan risiko harga DOC layer periode berikutnya. Koefisien determinasi (R2) yang diperoleh adalah sebesar 18,81 persen. Tingkat risiko yang diterima sebesar Rp 1.585.111.113 dari total penerimaan selama tahun 2007 sampai 2008 yaitu sebesar Rp 10.911.997.611. Hal tersebut berarti bahwa kerugian yang diperoleh adalah Rp 1.585.111.113 untuk DOC broiler atau 14,53 persen selama
36
satu hari penjualan. Tingginya risiko harga jual DOC broiler dibandingkan risiko harga jual DOC layer disebabkan karena permintaan daging ayam yang lebih berfluktuatif dibandingkan dengan permintaan telur dan juga disebabkan karena siklus layer yang lama daripada broiler. Strategi yang dijalankan PT. Sierad Produce Tbk untuk mengatasi risiko adalah dengan melakukan pemusnahan DOC dan telur tetas hingga mencapai 40 persen dan menjual DOC dengan harga yang sangat murah jika terjadi kelebihan pasokan. Strategi ini belum dikatakan berhasil karena dapat menimbulkan biaya baru dan belum dapat menstabilkan harga harga jual DOC. PT. Sierad Produce Tbk harus membuat dan melaksanakan strategi yang baik yang dapat mengatasi risiko harga DOC yaitu dengan melakukan perencanaan produksi dan perencanaan penjualan dengan mempelajari pola data harga DOC sebelumnya dengan melakukan analisis harga secara rutin per periode dan menjadikan harga jual DOC sebelumnya sebagai dasar untuk memprediksi harga pada periode yang akan datang. Penelitian ini mempunyai persamaan dan perbedaan dengan penelitian sebelumnya. Penelitian ini meneliti komoditas ayam broiler sama dengan penelitian Solihin dan Aziz, kecuali Siregar tentang DOC. Alat analisis yang digunakan dalam penelitian ini sama dengan yang digunakan oleh Solihin dan Aziz, yaitu dengan menghitung expected return, ragam (variation), simpangan baku (standard deviation), koefisien variasi (standard variation), batas bawah pendapatan, dan analisis deskriptif untuk menganalisis manajemen risiko. Namun perbedaannya dengan penelitian Solihin dan Aziz adalah bahwa di penelitian ini tidak menganalisis risiko produksi dan juga tempat penelitiannya yang berbeda. Persamaan penelitian ini dengan Siregar adalah sama-sama menganalisis risiko harga namun berbeda dalam menggunakan alat analisis. Persamaan penelitian ini dengan Trangjiwani dan Lestari adalah sama-sama menganalisis manajemen risiko namun pada penelitian ini hanya menggunakan analisis deskriptif.
37
III KERANGKA PEMIKIRAN 3.1 Kerangka Pemikiran Teoritis Kerangka teoritis merupakan suatu kerangka yang menjelaskan teori-teori yang sesuai dengan topik penelitian. Dalam bab ini akan dibahas mengenai permintaan, penawaran, dan konsep risiko.
3.1.1 Permintaan, Penawaran dan Penentuan Harga Barang 1. Permintaan Menurut McConnel dan Brue (1990) permintaan didefinisikan sebagai suatu daftar yang menunjukkan jumlah barang yang diinginkan dan dapat dibeli oleh konsumen pada harga dan waktu tertentu. Hyman (1996) mendefinisikan permintaan sebagai hubungan antara harga suatu barang dengan jumlah yang diminta yang dipengaruhi oleh harga barang itu sendiri, pendapatan konsumen, kesejahteraan konsumen, ekspektasi perubahan harga di masa depan, harga barang substitusi, selera konsumen dan jumlah penduduk yang dilayani oleh pasar. Hukum permintaan menjelaskan hubungan antara permintaan suatu barang terhadap harga barang tersebut. Hukum permintaan merupakan suatu hipotesa yang menyatakan bahwa makin rendah harga suatu barang makan akan semakin banyak permintaan terhadap barang tersebut. Sebaliknya makin tinggi harga suatu barang maka akan semakin sedikit permintaan terhadap barang tersebut. Hukum permintaan hanya menekankan perhatian pada hubungan antara harga dengan jumlah barang yang diminta. Sedangkan pada kenyataannya jumlah barang yang diminta tidak hanya dipengaruhi oleh harga barang itu sendiri. Menurut McConnel dan Brue (1990) faktor-faktor yang mempengaruhi permintaan selain harga yaitu : a. Selera dan Preferensi Konsumen Perubahan selera konsumen dapat disebabkan oleh adanya pengaruh iklim dan perubahan tren atau fashion. Ketika selera masyarakat terhadap suatu barang meningkat maka permintaan terhadap barang tersebut juga akan meningkat begitu pula sebaliknya. Faktor teknologi juga mempengaruhi perubahan selera
38
masyarakat terhadap suatu barang. Sebagai contoh permintaan terhadap mesin tik berkurang ketika ditemukan teknologi komputer. b. Jumlah Penduduk Peningkatan jumlah konsumen dalam suatu pasar jelas akan meningkatkan permintaan terhadap suatu barang pada pasar tersebut. begitu pula sebaliknya, ketika jumlah konsumen menurun maka permintaan terhadap suatu barang juga akan mengalami penurunan. Umumnya pertambahan jumlah penduduk juga akan diikuti dengan perkembangan kesempatan kerja yang kemudian diiringi dengan peningkatan pendapatan. Dengan demikian pertambahan penduduk dengan sendirinya akan menyebabkan pertambahan permintaan (Sukirno 1985). c. Pendapatan Pendapatan masyarakat merupakan faktor yang sangat berpengaruh terhadap permintaan suatu barang.
Perubahan pendapatan akan selalu
menimbulkan perubahan terhadap permintaan. Berdasarkan hubungannya dengan tingkat pendapatan masyarakat maka barang ekonomi dibedakan menjadi dua golongan yaitu barang normal dan barang inferior. Barang normal adalah suatu barang yang mengalami kenaikan permintaan ketika pendapatan masyarakat meningkat dan sebaliknya. Sedangkan barang inferior adalah barang yang banyak diminta oleh orang-orang yang berpendapatan rendah sehingga ketika pendapatan naik maka permintaan terhadap barang tersebut justru akan menurun. d. Harga barang-barang lain Permintaan konsumen terhadap suatu barang juga tergantung pada harga barang lain. Berdasarkan fungsinya terhadap barang lain maka barang ekonomi dapat digolongkan ke dalam tiga bagian, yaitu barang substitusi, komplementer dan barang lain yang tidak mempunyai kaitan sama sekali dengan barang tersebut. barang substitusi adalah barang yang fungsinya dapat saling menggantikan sedangkan barang komplementer adalah barang yang fungsinya saling melengkapi. Kenaikan harga barang substitusi akan mengakibatkan kenaikan permintaan terhadap suatu barang. Begitu pula sebaliknya penurunan harga barang substitusi akan menyebabkan penurunan permintaan terhadap barang yang
39
digantikan. Contoh barang substitusi adalah margarin dan mentega, minyak tanah dan gas dan sebagainya. Sementara barang komplementer, peningkatan harga akan menyebabkan penurunan permintaan suatu barang. Sebaliknya ketika harga barang komplementer turun maka akan terjadi kenaikan permintaan. Contoh barang dengan fungsi saling melengkapi adalah pulpen dan tinta, teh dengan gula dan sebagainya. Banyak jenis barang yang tentu saja tidak memiliki hubungan satu sama lain sehingga kenaikan atau penurunan harga suatu barang tidak akan mempengaruhi harga barang lain, misalnya saja hubungan antara komoditi kentang dengan suku cadang mobil. e. Harapan di masa yang akan datang Ramalan masyarakat terhadap harga suatu barang yang akan bertambah tinggi di masa depan akan menyebabkan kenaikan permintaan terhadap barang tersebut pada saat ini. Jika masyarakat memperkirakan harga suatu barang akan turun pada masa yang akan datang maka permintaan barang tersebut pada saat ini mengalami penurunan. Begitu pula jika terdapat ramalan bahwa lowongan kerja akan bertambah sulit pada masa yang akan datang maka masyarakat akan lebih berhemat sehingga permintaan terhadap barang akan menurun. Lipsey et al. (1995) mengemukakan bahwa untuk memahami pengaruh setiap faktor-faktor tersebut terhadap permintan secara sekaligus dalam waktu yang bersamaan merupakan suatu hal yang sulit. Oleh karena itu, semua variabel dipertahankan konstan kecuali satu variabel yang akan dipelajari pengaruhnya. Dengan cara yang sama pengaruh semua variabel lainnya dapat dianalisis sehingga tingkat kepentingan masing-masing variabel dapat dipahami. Upaya mempertahankan konstan semua variabel yang ada pengaruhnya dikenal dengan istilah ceteris paribus. Jika dinyatakan bahwa pengaruh harga daging ayam terhadap jumlah daging ayam yang diminta ceteris paribus maka hal ini berarti perubahan harga daging ayam mempengaruhi jumlah daging ayam yang diminta jika semua faktor lain yang mempengaruhi permintaan daging ayam tetap.
2. Penawaran Permintaan saja belum merupakan syarat yang cukup untuk menciptakan terjadinya suatu transaksi dalam pasar. Permintaan masyarakat akan dapat
40
terpenuhi apabila penjual menyediakan barang-barang yang diminta oleh konsumen tersebut. Menurut McConnel dan Brue (1990) penawaran adalah sebuah daftar yang menunjukkan jumlah suatu produk yang ingin dan dapat diproduksi oleh produsen dan tersedia di pasar pada harga dan waktu tertentu. Hyman (1996) mendefinisikan penawaran sebagai hubungan antara harga suatu barang dengan jumlah yang ditawarkan. Hukum penawaran menjelaskan bahwa semakin rendah harga suatu barang maka semakin sedikit penawaran terhadap barang tersebut. Begitu pula sebaliknya, semakin tinggi harga suatu barang maka semakin tinggi pula penawaran terhadap barang tersebut. Selain akibat perubahan harga barang itu sendiri, penawaran menurut McConnel dan Brue (1990) juga dipengaruhi oleh faktor-faktor berikut : a. Harga Sumber Daya atau Harga Input Biaya produksi dan penawaran memiliki hubungan yang sangat erat. Peningkatan harga input meningkatkan biaya produksi dan mengurangi penawaran. Demikian pula sebaliknya, ketika harga input turun maka suatu perusahaan dapat
menekan
biaya
produksi sehingga
penawaran dapat
ditingkatkan. b. Teknologi Perkembangan teknologi memiliki arti bahwa penemuan teknologi baru tersebut memungkinkan kita untuk memproduksi suatu unit barang secara lebih efisien dengan jumlah sumber daya yang semakin sedikit. Hal ini menyebabkan anggaran yang dikeluarkan untuk membiayai pembelian sumber daya atau input menjadi berkurang sehingga perusahaan dapat meningkatkan penawaran. Biaya yang lebih rendah akan meningkatkan keuntungan potensial sehingga mendorong produsen untuk meningkatkan penawaran. Sukirno (1985) menyatakan bahwa tingkat teknologi sangat berperan dalam menentukan tingkat penawaran. Kemajuan teknologi akan menimbulkan dua akibat yaitu meningkatkan kemampuan perusahaan dalam memproduksi lebih banyak barang dan meningkatkan keefisienan produksi. Dengan demikian, kemajuan teknologi cenderung meningkatkan penawaran yang dilakukan perusahaan.
41
c. Pajak dan Subsidi Sebuah usaha seringkali terkena pajak sebagai suatu biaya. Oleh karena itu peningkatan pajak akan meningkatkan biaya produksi dan mengurangi penawaran. Sebaliknya subsidi yang merupakan kebalikan dari pajak akan mengakibatkan berkurangnya biaya dan meningkatkan penawaran. d. Harga barang-barang lain Barang dengan posisi yang saling menggantikan akan mengalami perubahan penawaran jika salah satu barang mengalami perubahan harga. Ketika harga barang substitusi mengalami kenaikan maka permintaan masyarakat terhadap barang yang digantikan akan meningkat. Kenaikan permintaan ini akan memberikan dorongan kepada produsen untuk menaikkan produksi. e. Ekspektasi Perkiraan harga suatu barang di masa depan oleh produsen akan mempengaruhi kenaikan produsen untuk memproduksi barang tersebut pada saat ini. Sebagai contoh petani kemungkinan akan menahan hasil panen jagung untuk mengantisipasi tingginya harga jagung pada masa yang akan datang. Hal ini tentunya akan menyebabkan penurunan penawaran jagung pada saat ini. f. Jumlah Produsen Peningkatan jumlah produsen akan meningkatkan jumlah barang yang ditawarkan. Selama beberapa waktu terakhir peningkatan jumlah produsen merupakan faktor yang sangat berpengaruh dalam peningkatan penawaran.
3. Mekanisme Pembentukan Harga Pasar Harga dan jumlah barang suatu barang yang diperjualbelikan ditentukan oleh permintaan dan penawaran dari barang tersebut. Keadaan pasar dikatakan ekulibrium atau seimbang apabila jumlah yang ditawarkan sama dengan jumlah yang diminta pada harga tersebut. kelebihan penawaran akan menyebabkan turunnya harga sedangkan kelebihan permintaan akan menyebabkan naiknya harga barang tersebut.
42
3.1.2 Teori Utilitas Suatu barang dikatakan mempunyai utiliti apabila barang tersebut berguna atau dengan kata lain dapat memenuhi kebutuhan. Menurut pendekatan ini, setiap barang mempunyai dayaguna atau utilitas oleh karena barang tersebut pasti mempunyai kemampuan untuk memberikan kepuasan kepada konsumen yang menggunakan barang tersebut sehingga bila seseorang meminta sesuatu jenis barang, pada dasarnya yang diminta adalah dayaguna barang tersebut. Pada konsep utilitas terdapat titik optimum konsumen dimana terjadi titik pertemuan antara kepuasan maksimum dengan sumberdaya yang dimiliki. Semakin tinggi meningkat pendapatan konsumen maka titik persinggungannya pun semakin tinggi. Sebaliknya jika pendapatan konsumen menurun maka tingkat konsumsi terhadap suatu barang pun menurun serta disesuaikan dengan harga barang itu sendiri. Terdapat beberapa jenis barang yang dapat mempengaruhi konsumen dalam menggunakan utiliti tersebut : 1. Barang normal yaitu jenis barang yang permintaannya akan meningkat jika pendapatan konsumen bertambah. Contohnya apabila pendapatan konsumen meningkat maka ada kecenderungan untuk membeli banyak susu walaupun harga susu mahal. 2. Barang inferior yaitu jenis barang yang permintaannya akan turun ketika pendapatan konsumen bertambah. Contohnya apabila konsumen terbiasa untuk
mengkonsumsi
singkong
sebagai
makanan
sehari-hari
lalu
pendapatannya meningkat maka kecenderungan untuk mengkonsumsi singkong akan berkurang dan menggantinya dengan membeli beras.
3.1.3 Konsep Dasar Risiko Berbagai definisi dapat diberikan kepada kata risiko itu. Namun secara sederhana artinya senantiasa mengena dengan kemungkinan akan terjadinya akibat buruk atau akibat yang merugikan. Definisi risiko sangat beragam dan memiliki kelebihan serta kelemahan masing-masing, sehingga setiap definisi tersebut dapat saling mengisi satu dan lainnya. Menurut Robison dan Barry (1987), menyitir pendapat Frank Knight, yang menyatakan bahwa risiko menunjukkan peluang terhadap suatu kejadian yang dapat diketahui oleh pelaku
43
bisnis sebagai pembuat keputusan dalam bisnis. Pada umumnya peluang terhadap suatu kejadian dalam kegiatan bisnis dapat ditentukan oleh pembuat keputusan berdasarkan data historis atau pengalaman selama mengelola kegiatan usaha. Pada umumnya peluang terhadap suatu kejadian dalam kegiatan bisnis dapat ditentukan oleh pembuat keputusan berdasarkan data historis atau pengalaman selama mengelola kegiatan usaha. Selanjutnya menurut Harwood, et al. (1999) bahwa risiko menunjukkan kemungkinan kejadian yang menimbulkan kerugian bagi pelaku bisnis yang mengalaminya. Basyaib (2007) mendefinisikan risiko sebagai peluang terjadinya hasil yang tidak diinginkan sehingga risiko hanya terkait dengan situasi yang memungkinkan munculnya hasil negatif serta berkaitan dengan kemampuan memperkirakan terjadinya hasil negatif tadi. Vaughan (1978) dalam Darmawi (2004) mengemukakan beberapa definisi risiko sebagai berikut : 1. Risk is the chance of loss (Risiko adalah kans kerugian) Chance of loss (kans kerugian) dipergunakan untuk menunjukkan suatu keadaan di mana terdapat suatu keterbukaan (exposure) terhadap kerugian atau suatu kemungkinan kerugian. 2. Risk is the possibility of loss (Risiko adalah kemungkinan kerugian) Istilah kemungkinan (possibility) berarti bahwa probabilitas sesuatu peristiwa berada di antara nol dan satu artinya bahwa risiko merupakan probabilitas suatu hasil aktual yang menyimpang dari hasil yang diharapkan. 3. Risk is Uncertainly (Risiko adalah ketidakpastian) Bahwa risiko erat hubungannya dengan ketidakpastian (uncertainly) sehingga dapat dikatakan risiko itu sama artinya dengan ketidakpastian. Ada beberapa sebab yang dapat menimbulkan suatu ketidakpastian antara lain : jarak waktu dimulai perencanaan atas kegiatan sampai kegiatan itu berakhir, keterbatasan tersedianya informasi yang diperlukan, keterbatasan pengetahuan atau keterampilan atau tehnik mengambil keputusan. Risiko adalah kemungkinan kejadian yang menimbulkan kerugian. Setiap usaha pasti mengandung risiko, termasuk dalam agribisnis. Risiko dalam agribisnis diantaranya adalah risiko dalam hal produk dimana produk agribisnis tersebut gagal panen, rendahnya kualitas produk, dan produk tersebut tidak dapat
44
dijual, risiko karena kelangkaan bahan baku, risiko dalam hal teknologi seperti rusaknya mesin, dan alat-alat pertanian serta terjadinya pencurian terhadap mesin dan alat-alat pertanian. Dalam Robison dan Barry (1987), Frank Knight menyatakan bahwa ketidakpastian menunjukkan peluang suatu kejadian yang tidak dapat diketahui oleh pelaku bisnis sebagai pembuat keputusan. Peluang kejadian yang tidak diketahui secara kuantitatif atau sulit diukur oleh pelaku bisnis dapat dikarenakan beberapa hal diantaranya tidak ada informasi atau data pendukung baik berdasarkan data historis atau pengalaman pelaku bisnis selama mengelola kegiatan usaha dalam menghadapi suatu kejadian. Selama peluang suatu kejadian tidak dapat diukur oleh pelaku bisnis maka kejadian tersebut termasuk ke dalam kategori ketidakpastian. Djohanputro (2006) menyatakan bahwa ketidakpastian adalah keadaan dimana ada beberapa kemungkinan kejadian dan setiap kejadian akan menyebabkan hasil yang berbeda. Tetapi, tingkat kemungkinan atau probabilitas kejadian itu sendiri tidak diketahui secara kuantitatif. Peluang kejadian yang tidak diketahui secara kuantitatif atau sulit diukur oleh pelaku bisnis dapat dikarenakan beberapa hal diantaranya tidak ada informasi atau data pendukung baik berdasarkan data historis atau pengalaman pelaku bisnis selama mengelola kegiatan usaha dalam menghadapi suatu kejadian. Selama peluang suatu kejadian tidak dapat diukur oleh pelaku bisnis maka kejadian tersebut termasuk ke dalam kategori ketidakpastian. Berdasarkan kejadian yang dialami pelaku bisnis maka risiko dan ketidakpastian yang dihadapi oleh para pelaku bisnis dapat bersifat personal. Hal tersebut mempunyai arti bahwa diantara pelaku bisnis satu dengan lainnya memungkinkan mempunyai persepsi yang berbeda dalam memandang suatu kejadian yang sama. Bagi pelaku bisnis tertentu akan melihat suatu kejadian sebagai risiko karena mereka mampu menentukan peluang kejadian tersebut dari pengalaman yang pernah dialami. Sedangkan bagi pelaku bisnis lainnya melihat kejadian yang sama tersebut sebagai ketidakpastian karena sulit menentukan peluang kejadian tersebut.
45
3.1.4 Sumber Risiko Risiko pada kegiatan agribisnis bersifat unik dibanding lainnya. Hal ini dikarenakan ketergantungan aktifitas agribisnis terhadap kondisi alam terutama iklim dan cuaca. Harwood et al (1999) menyatakan terdapat beberapa sumber risiko, yaitu meliputi : 1. Production or Yield Risk Faktor risiko produksi dalam kegiatan agribisnis disebabkan adanya beberapa hal yang tidak dapat dikontrol terkait dengan iklim dan cuaca, seperti curah hujan, temperatur udara, hama dan penyakit. Selain itu, teknologi juga berperan dalam menimbulkan risiko pada kegiatan agribisnis. Penggunaan teknologi baru secara cepat tanpa adanya penyesuaian sebelumnya justru dapat menyebabkan penurunan produktivitas alih-alih efisiensi yang diharapkan. 2. Price or Market Risk Risiko pasar dalam hal ini meliputi risiko harga output dan harga input. Pada umumnya kegiatan produksi merupakan proses yang lama. Sementara itu, pasar cenderung bersifat kompleks dan dinamis. Oleh karena itu, petani belum tentu mendapatkan harga yang sesuai dengan yang diharapkan pada saat panen. Begitu pula harga input
yang dapat
berfluktuasi sehingga
mempengaruhi komponen biaya pada kegiatan produksi. Pada akhirnya risiko harga tersebut akan berpengaruh pada return yang diperoleh petani. 3. Institutional Risk Institutional Risk berhubungan dengan kebijakan dan program dari pemerintah yang mempengaruhi sektor agribisnis. Misalnya, adanya kebijakan dari pemerintah untuk memberikan atau mengurangi subsidi dari harga input. Secara umum, Institutional Risk ini cenderung tidak dapat diantisipasi sebelumnya. 4. Financial Risk Financial Risk atau risiko finansial ini dihadapi oleh pelaku bisnis pada saat meminjam modal dari institusi seperti bank. Risiko ini berkaitan dengan fluktuasi dari tingkat suku bunga pinjaman (interest rate)
46
Menurut Kountur (2004), risiko dapat dibedakan berdasarkan sudut pandang manajer perusahaan dan dari sumber penyebab risiko. Risiko menurut manajer perusahaan adalah risiko spekulatif yaitu risiko yang dihadapi perusahaan yang
dapat
memberikan
kemungkinan
merugikan
dan
kemungkinan
menguntungkan, dan risiko murni adalah risiko dimana tidak ada kemungkinan yang menguntungkan dan yang ada hanya kemungkinan merugikan. Sedangkan risiko berdasarkan penyebabnya terdiri dari risiko keuangan dan risiko operasional. Risiko keuangan adalah risiko yang disebabkan oleh faktor-faktor ekonomi dan keuangan, seperti perubahan harga, tingkat bunga, dan mata uang. Risiko Operasional merupakan semua risiko yang tidak termasuk pada kelompok risiko keuangan seperti risiko yang disebabkan oleh faktor manusia, alam dan teknologi. Dengan demikian pengambil keputusan dapat mengidentifikasi permasalahan berdasarkan sudut pandang tersebut sehingga pengelolaan risiko bisa lebih efektif.
3.1.5 Sikap dalam Menghadapi Risiko Menurut Robison dan Barry, (1987) sikap orang ketika menghadapi risiko berbeda-beda, dan teori tentang utility dapat digunakan untuk menjelaskan sikap orang terhadap risiko. Menurut teori ini ada tiga kelompok orang dalam menghadapi risiko yaitu: 1. Pembuat keputusan yang takut terhadap risiko (risk aversion). Sikap ini menunjukkan bahwa jika terjadi kenaikan ragam (variance) dari keuntungan maka pembuat keputusan akan mengimbangi dengan menaikkan keuntungan yang diharapkan yang merupakan ukuran tingkat kepuasan. 2. Pembuat keputusan yang berani terhadap risiko (risk taker). Sikap ini menunjukkan bahwa jika terjadi kenaikan ragam (variance) dari keuntungan maka pembuat keputusan akan mengimbangi dengan menurunkan keuntungan yang diharapkan. 3. Pembuat keputusan yang netral terhadap risiko (risk neutral). Sikap ini menunjukkan bahwa jika terjadi kenaikan ragam (variance) dari keuntungan maka pembuat keputusan akan mengimbangi dengan menurunkan atau menaikkan keuntungan yang diharapkan.
47
Perilaku pelaku bisnis dalam menghadapi risiko dapat dijelaskan berdasarkan teori utilitas seperti terlihat pada Gambar 4. Expected Return
U1 Risk Averter
U2 Risk Neutral
U3 Risk Taker/Lover Varian Return Gambar 4. Hubungan Antara Varian dan Expected Return Sumber : Debertin (1986)
Gambar 4 menunjukkan hubungan antara varian return, yang merupakan ukuran tingkat risiko, dengan return yang diharapkan, yang merupakan tingkat kepuasan pembuat keputusan. Sikap pembuat keputusan dalam menghadapi risko dapat diklasifikasikan menjadi tiga kategori sebagai berikut : 1. Pembuat keputusan yang takut terhadap risiko (Risk Averter) menunjukkan jika U1 diasumsikan kurva isoutiliti pembuat keputusan maka adanya kenaikan varian return yang merupakan ukuran tingkat risiko akan diimbangi dengan menaikkan return yang diharapkan. 2. Pembuat keputusan yang netral terhadap risiko (Risk Neutral) menunjukkan jika U2 diasumsikan kurva isoutiliti pembuat keputusan maka adanya kenaikan varian return yang merupakan tingkat risiko tidak akan diimbangi dengan menaikkan return yang diharapkan. 3. Pembuat keputusan yang berani terhadap risiko (Risk Taker/Lover) menunjukkan jika U3 diasumsikan kurva isoutiliti pembuat keputusan maka adanya kenaikan varian return yang merupakan ukuran tingkat risiko akan diimbangi oleh pembuat keputusan dengan kesediaannya menerima return yang diharapkan lebih rendah.
48
Bentuk lain yang dapat menggambarkan perilaku individu dalam menghadapi risiko dapat dilihat pada Gambar 4 yang menunjukkan kepuasan individu berkaitan dengan kemungkinan pendapatan.
U
U(y)1
Y Gambar 5. Fungsi Utilitas dengan Marginal Utility Menurun, Meningkat dan Tetap Sumber : Debertin (1986)
Berdasarkan Gambar 5, individu yang digambarkan pada kurva U(y) 1 termasuk dalam perilaku risk averter. Kurva tersebut menunjukkan kepuasan marginal utiliti yang semakin menurun (diminishing marginal utility) dari pendapatan. Meskipun tambahan pendapatan selalu meningkatkan kepuasan, tetapi kenaikan kepuasan yang dihasilkan karena kenaikan pendapatan yang mendekati titik original akan lebih besar dari kenaikan kepuasan karena kenaikan pendapatan berikutnya. Sementara pada risk lovers, kepuasan marginal utiliti semakin meningkat (increasing marginal utility) dari pendapatan dan pada risk neutral kepuasan marginal utiliti tetap (constan marginal utility)
3.1.6 Konsep Manajemen Risiko Pengertian manajemen risiko sangat beragam namun memiliki konsep yang sama. Secara umum manajemen risiko merupakan suatu alat atau instrumen yang digunakan untuk mengendalikan atau mengurangi risiko. Menurut Darmawi (2004), manajemen risiko adalah suatu usaha untuk mengetahui, menganalisis, serta mengendalikan risiko dalam setiap kegiatan perusahaan dengan tujuan untuk memperoleh efektifitas dan efisiensi yang lebih tinggi.
49
Djohanputro (2006) mengatakan bahwa terdapat lima tahapan dalam proses manajemen risiko. Tahapan tersebut adalah identifikasi risiko, pengukuran risiko, pemetaan risiko, model pengelolaan risiko, dan pengawasan serta pengendalian risiko. Tahapan dalam proses manajemen risiko tersebut disajikan dalam gambar berikut.
Identifikasi Risiko
Pengawasan dan Pengendalian Risiko
Model Pengelolaan Risiko
Pengukuran Risiko
Pemetaan Risiko
Gambar 6. Tahapan dalam Proses Manajemen Risiko Sumber : Djohanputro, 2006
1. Identifikasi Risiko Tahapan pertama adalah mengidentifikasi risiko yaitu tahapan manajemen risiko dengan mengadakan identifikasi terhadap risiko-risiko yang ada. Langkah pertama dan utama adalah dengan melakukan analisis pihak berkepentingan (stakeholders). Ada berbagai pihak berkepentingan yang perlu mendapat perhatian yaitu : pemegang saham, kreditur, pemasok, karyawan, pemain lain dalam industri, pemerintah, manajemen itu sendiri, masyarakat, dan pihak lain yang terpengaruh oleh adanya perusahaan. 2. Pengukuran Risiko Pada dasarnya, pengukuran risiko mengacu pada dua faktor : kuantitas risiko dan kualitas risiko. Kuantitas risiko terkait dengan berapa banyak nilai, atau eksposur, yang rentan terhadap risiko. Kualitas risiko terkait dengan kemungkinan suatu risiko muncul. Semakin tinggi kemungkinan risiko terjadi,
50
semakin tinggi pula risikonya. Data historis merupakan salah satu sumber identifikasi risiko sekaligus sumber untuk mengukur besarnya risiko.
3. Pemetaan Risiko Ada risiko yang perlu mendapat perhatian khusus, tetapi ada pula risiko yang dapat diabaikan. Itulah sebabnya perusahaan perlu membuat peta risiko. Tujuan pemetaan ini adalah untuk menetapkan prioritas risiko berdasarkan kepentingannya bagi perusahaan. Penetapan prioritas risiko penting karena keterbatasan sumber daya untuk menghadapi semua risiko. Jumlah uang dan SDM yang terbatas menyebabkan perusahaan perlu menetapkan mana yang perlu dihadapi terlebih dahulu. Selain itu, tidak semua risiko berpengaruh terhadap kelangsungan perusahaan. 4. Model Pengelolaan Risiko Setelah dilakukan identifikasi, pengukuran, dan pemetaan risiko, maka tahapan berikutnya adalah menentukan model pengelolaan risiko. Menurut Darmawi (2004), ada dua pendekatan dasar untuk itu : a. Pengendalian risiko yang terdiri dari : menghindari risiko, mengendalikan kerugian, pemisahan, kombinasi atau pooling, dan pemindahan risiko. b. Pembiayaan risiko, meliputi : pemindahan risiko melalui pembelian asuransi dan menanggung risiko. 5. Pengawasan dan Pengendalian Risiko Pengawasan dan pengendalian sangat penting karena manajemen perlu memastikan bahwa pelaksanaan pengelolaan risiko berjalan sesuai dengan rencana. Ini berarti, monitor dan pengendalian prosedur itu sendiri. Kedua, manajemen juga perlu memastikan bahwa model pengelolaan risiko cukup efektif. Artinya, model yang diterapkan sesuai dengan dan mencapai tujuan pengelolaan risiko. Ketiga, karena risiko itu sendiri berkembang, monitor dan pengendalian
bertujuan
untuk
memantau
perkembangan
terhadap
kecenderungan-kecenderungan berubahnya profil risiko. Menurut Basyaib (2007) manajemen risiko dalam pengertian luas adalah seni pembuatan keputusan dalam dunia yang penuh dengan ketidakpastian.
51
Keputusan melibatkan sejumlah risiko dan imbalan. Sebuah pilihan antara melakukan sesuatu yang aman dan mengambil risiko. Seseorang dapat mengalami kebimbangan saat harus memutuskan untuk melakukan investasi dalam usaha baru, juga dalam pilihan melakukan diversifikasi, atau memagari sebuah portofolio aset. Menurut Sofyan (2005), manajemen risiko diartikan sebagai usaha seorang manajer untuk mengatasi kerugian secara rasional agar tujuan yang diinginkan dapat tercapai secara efektif dan efisien. Sofyan (2005) menambahkan bahwa manajemen risiko secara khusus diartikan sebagai kemampuan seorang manajer untuk menata kemungkinan variabilitas pendapatan dengan menekan sekecil mungkin tingkat kerugian yang diakibatkan oleh keputusan yang diambil dalam menggarap situasi yang tidak pasti. Konsep manajemen risiko saat ini berkembang dan terintegrasi serta menganggap bahwa suatu risiko bukan lagi sebagai beban atau biaya, melainkan sebagai sumber keunggulan bersaing. Djohanputro (2006) menjelaskan definisi manajemen risiko korporat terintegrasi atau ERM (enterprise risk management) sebagai suatu proses terstruktur dan sistematis dalam mengindentifikasi, mengukur, memetakan, mengembangkan alternatif penanganan risiko, dan dalam memonitor dan mengendalikan implementasi penanganan risiko. Manajemen risiko yang baik adalah dilakukan pada setiap fungsi-fungsi manajemen, yaitu pada fungsi perencanaan, pengorganisasian, pengendalian, dan pengawasan. Bahkan menurut Darmawi (2004), manajemen risiko memiliki kaitan yang erat dengan fungsi-fungsi perusahaan seperti fungsi accounting, keuangan, pemasaran, produksi, personalia, engineering, dan maintenance. Misalnya fungsi accounting yang menjalankan kegiatan manajemen risiko yang penting, yaitu : (1). Mengurangi kesempatan pegawai melakukan penggelapan dengan jalan melakukan internal control dan internal audit, (2). Melalui rekening asset bagian accounting mengindentifikasi dan mengukur exposure kerugian terhadap harta, dan (3). Melalui penilaian rekening seperti rekening piutang, bagian accounting mengukur risiko piutang dan mengalokasikan cadangan dana exposure kerugian piutang. Begitu juga halnya dengan fungsi-fungsi perusahaan lain.
52
Lebih lanjut Darmawi (2004) menjelaskan bahwa manajemen risiko dapat memberikan lima manfaat terhadap perusahaan. Manfaat pertama adalah manajemen risiko dapat mencegah perusahaan dari kegagalan. Manfaat kedua adalah manajemen risiko dapat menunjang terhadap peningkatan laba perusahaan dan dapat mengurangi fluktuasi laba tahunan dan aliran kas. Manfaat ketiga adalah manajemen risiko dapat menunjang terhadap peningkatab kualitas seorang pengambil keputusan dalam mengambil keputusan bisnis. Manfaat keempat adalah manajemen risiko dapat memberikan ketenangan bagi para manajer dalam mengendalikan risiko karena adanya perlindungan terhadap risiko yang dihadapi tersebut. Manfaat yang terakhir adalah manajemen risiko dapat meningkatkan image perusahaan yang baik di kalangan seluruh stakeholders perusahaan. Dalam menghadapi risiko, pelaku bisnis dapat melakukan beberapa strategi. Menurut Harwood et al (1999), beberapa strategi yang dapat dilakukan meliputi : 1. Diversifikasi usaha (enterprise diversification) Diversifikasi adalah suatu strategi pengelolaan risiko yang sering digunakan yang melibatkan partisipasi lebih dari satu aktifitas. Strategi diversifikasi ini dilakukan dengan alasan bahwa apabila satu unit usaha memiliki hasil yang rendah maka unit-unit usaha yang lain mungkin memiliki hasil yang lebih tinggi. Kelebihan dari diversifikasi adalah mengurangi risiko, meminimalkan tenaga kerja, mengurangi penggunaan peralatan dan meminimalkan biaya. Sementara itu keterbatasan yang dimiliki diversifikasi adalah membutuhkan perlengkapan khusus, membutuhkan keahlian manajerial yang lebih luas dan teknologi menjadi lebih rumit. 2. Integrasi vertikal (vertical integration) Integrasi vertikal merupakan salah satu strategi dalam payung koordinasi vertikal yang meliputi seluruh cara yang mana output dari satu tahapan produksi dan distribusi di transfer ke tahapan produksi lain. Dari sisi pelaku bisnis, keputusan untuk melakukan integrasi vertikal tergantung pada banyak faktor, antara lain perubahan keuntungan dengan adanya integrasi vertikal, risiko pada kuantitas dan kualitas pasokan input (atau output) sebelum dan sesudah integrasi vertikal, dan faktor-faktor lainnya.
53
3. Kontrak produksi (production contract) Kontrak produksi khusus member kontraktor (pembeli) pengawasan terhadap proses produksi (Perry, 1997). Kontak ini biasanya menetapkan dengan rinci suplai produksi oleh pembeli, kualitas dan kuantitas komoditi tertentu yang akan di produksi, dan kompensasi yang akan dibayarkan petani. 4. Kontrak pemasaran (marketing contract) Kontrak pemasaran adalah perjanjian, baik secara tertulis maupun lisan, antara pedagang dan produsen tentang penetapan harga dan penjualan suatu komoditi sebelum panen atau sebelum komoditi siap dipasarkan (Perry, 1997). Kepemilikan komoditi saat di produksi adalah milik pelaku bisnis, termasuk keputusan manajemen, seperti menentukan varietas benih, penggunaan input dan kapan waktunya. 5. Perlindungan nilai (hedging) 6. Asuransi (insurance)
3.1.7 Ukuran Risiko Risiko dapat ditunjukkan dengan indikator adanya fluktuasi dari return atau hasil yang diharapkan. Risiko dinilai dengan mengukur nilai penyimpangan yang terjadi terhadap return dari suatu aset. Beberapa ukuran yang dapat digunakan untuk mengukur penyimpangan diantaranya adalah nilai ragam (variance), simpangan baku (standart deviation), dan koefisien variasi (coefficient variation) (Elton dan Gruber, 1995). Ketiga ukuran tersebut memiliki hubungan satu dengan yang lainnya dan nilai ragam (variance) sebagai penentu ukuran yang lainnya. Hubungan tersebut adalah nilai standart deviation merupakan akar kuadrat dari nilai variance. Nilai koefisien variasi merupakan rasio perbandingan dari nilai standart deviation dengan nilai return dari suatu aset dimana return yang diperoleh berupa pendapatan rata-rata selama periode waktu tertentu. Nilai ragam (variance) merupakan penjumlahan selisih kuadrat dari return dengan ekspektasi return dikalikan dengan peluang setiap kejadian. Nilai variance menunjukkan bahwa semakin kecil nilai variance maka semakin kecil penyimpangannya sehingga semakin kecil risiko yang dihadapi dalam melakukan kegiatan usaha, dan semakin besar nilai variance maka semakin besar
54
penyimpangannya sehingga semakin besar risiko yang dihadapi dalam melakukan kegiatan usaha. Nilai standart deviation merupakan akar dari variance. Nilai standart deviation menunjukkan bahwa semakin kecil nilai standart deviation maka semakin kecil risiko yang dihadapi dalam kegiatan usaha, dan semakin besar nilai standart deviation maka semakin besar pula risiko yang dihadapi dalam kegiatan usaha. Coefficient variation diukur dari rasio standart deviation dengan return yang diharapkan. Semakin kecil nilai coefficient variation maka semakin kecil risiko yang dihadapi dalam melakukan kegiatan usaha, dan semakin besar nilai coefficient variation maka semakin besar risiko yang dihadapi dalam melakukan kegiatan usaha. Ukuran risiko yang dapat dijadikan sebagai ukuran paling tepat dalam memilih alternatif dari beberapa kegiatan usaha dengan mempertimbangkan risiko yang dihadapi dari setiap kegiatan usaha tersebut untuk setiap return yang diperoleh adalah koefisien variasi (coefficient variation). Coefficient variation merupakan ukuran risiko yang telah membandingkan alternatif dari beberapa kegiatan usaha dengan satuan yang sama.
3.2 Kerangka Pemikiran Operasional Keberadaan Usaha Pemotongan Ayam (UPA) yang berlokasi di Kelurahan Kebon Pedes, Kota Bogor sangat berperan dalam upaya penyediaan kebutuhan daging ayam. Keberadaan usaha pemotongan ini menimbulkan berbagi risiko baik risiko harga maupun risiko produksi. Tujuan dari sebuah bisnis tentunya adalah untuk meningkatkan pendapatan. Namun dengan adanya berbagai risiko dapat menyebabkan pendapatan berfluktuatif atau bahkan terjadi kerugian bagi pelaku usaha pemotongan ayam. Tingkat risiko yang dihadapi oleh usaha pemotongan ini dapat dianalisis dengan menggunakan analisis risiko. Analisis risiko digunakan untuk mengetahui keragaan dari tingkat risiko yang dihadapi usaha pemotongan ini. Penilaian risiko dilakukan dengan mengukur nilai penyimpangan terhadap return dari suatu aset. Return dihitung dari rata-rata pendapatan bersih yang diterima dari seluruh periode pengamatan.
55
Ukuran risiko yang dianalisis diantaranya adalah ragam (variance), simpangan baku (standard deviation), dan koefisien variasi (coefficient variation). Berdasarkan ukuran risiko tersebut, jika semakin kecil nilai variance maka semakin kecil penyimpangannya sehingga semakin kecil risiko yang dihadapi. Begitu juga dengan standard deviation, semakin kecil nilai standard deviation maka semakin kecil risiko yang dihadapi. Demikian halnya dengan coefficient variation, semakin kecil nilai coefficient variation maka semakin kecil risiko yang dihadapi. Pengusaha sebagai pengambil keputusan harus bisa mengelola risiko yang dihadapinya. Instrumen yang dapat digunakan pengusaha dalam meminimalkan tingkat risiko adalah dengan menggunakan manajemen risiko. Kemampuan dan pengalaman seorang pengusaha sangat dibutuhkan dalam menentukan suatu keputusan bisnis dalam mengelola manajemen risiko. Manajemen risiko yang diterapkan dapat dianalisis dengan menggunakan analisis deskriptif. Hasil analisis dapat menghasilkan suatu manajemen risiko yang dapat diterapkan oleh pengusaha pemotongan ayam dalam meminimalkan risiko yang dihadapinya sehingga tujuan dari usaha untuk meningkatkan pendapatan dapat dicapai dan pendapatan yang berfluktuasi dikurangi semaksimal mungkin. Bagan kerangka pemikiran operasional disajikan dalam gambar berikut. Pendapatan Berfluktuatif
Usaha Pemotongan Ayam
Risiko Harga
Risiko Penjualan
Analisis Risiko : 1. Expected Value 2. Ragam (Variance) 3. Simpangan Baku (Standard Deviation) 4. Koefisien Variasi (Coefficient Variation) 5. Nilai Batas Bawah
Risiko Pendapatan
Alternatif Manajemen Risiko
56
Gambar 7. Bagan Kerangka Pemikiran Operasional
IV METODE PENELITIAN 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Sentra Tempat Pemotongan Ayam (TPA) Kecamatan Tanah Sareal, Kelurahan Kebon Pedes Kota Bogor. Penentuan lokasi penelitian ini didasarkan atas pertimbangan bahwa sentra usaha pemotongan ayam tradisional ini terbesar di wilayah Kota Bogor dengan kapasitas pemotongan per hari sekitar 13.000 ekor. Selain itu, terdapat beberapa pengusaha pemotongan ayam dengan intensitas yang berbeda-beda mulai dari skala kecil hingga skala besar yang mencapai 2000 ekor per hari. Proses pengambilan data di lokasi penelitian dilakukan pada September 2009 sampai Februari 2010.
4.2 Metode Penentuan Responden Metode penarikan responden yang digunakan adalah berdasarkan metode sensus dengan seluruh populasi diambil menjadi responden yaitu pengusaha pemotongan ayam. Berdasarkan data dari Ketua IWPA, pemilik usaha pemotongan ayam di Kelurahan Kebon Pedes Kecamatan Tanah Sareal Kota Bogor berjumlah 38 orang. Responden yang ada akan dibagi ke dalam beberapa skala pemotongan dengan ukuran banyaknya jumlah ayam hidup yang di potong setiap harinya. Hal ini memudahkan untuk mengklasifikasi golongan usaha pemotongan ayam tersebut. Berikut adalah pembagian skala pemotongan menurut jumlah ayam hidup yang di potong setiap harinya : a. Skala kecil
= 17-678 ekor
b. Skala sedang
= 679-1.339 ekor
c. Skala besar
= 1.340-2.000 ekor
4.3 Data dan Instrumentasi Data yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari data primer dan data sekunder. Data primer diambil dari pemilik usaha dan pegawai Tempat
57
Pemotongan Ayam (TPA) Kelurahan Kebon Pedes untuk mendapatkan gambaran tentang profil tempat usaha, produk dan kegiatan pemotongan, manajemen risiko yang dilakukan oleh pengusaha, data harga-harga input dan output, dan data-data keuangan pengusaha pemotongan seperti laporan biaya, penerimaan, dan pendapatan pengusaha. Sedangkan data sekunder yang digunakan diperoleh dari instansi terkait, literatur-literatur yang relevan dengan tujuan serta dari sumber lain seperti browsing internet, artikel majalah dan pustaka lainnya. Instrumen yang digunakan untuk pengambilan data dalam penelitian ini adalah kuesioner. Kuesioner yang disebar dibagi menjadi dua bagian. Bagian pertama berisikan pertanyaan-pertanyaan mengenai karakteristik responden. Bagian kedua berisikan pertanyaan yang diajukan serta alternatif jawaban yang sudah tersedia pada kuesioner. Pengembangan pertanyaan dari kuesioner yang telah ada dilakukan untuk melengkapi hasil.
4.4 Metode Pengumpulan Data Pengumpulan data dilakukan peneliti dalam waktu satu bulan. Teknik pengumpulan data berupa wawancara, dan diskusi. Observasi dilakukan dengan cara pencatatan langsung di lokasi penelitian tentang aktivitas bisnis perusahaan dan berbagai kendala risiko yang dihadapi. Data primer dan data sekunder yang telah didapatkan kemudian diolah dan dianalisis untuk mengetahui risiko usaha pada usaha pemotongan ayam dan manajemen risiko yang diterapkan oleh pengusaha pemotongan ayam.
4.5 Metode Pengolahan Data Metode pengolahan data menggunakan alat analisis dengan menghitung expected value, ragam (variation), simpangan baku (standard deviation), koefisien variasi (standard variation), nilai batas bawah, dan analisis deskriptif untuk menganalisis manajemen risiko yang diterapkan usaha pemotongan ayam.
4.5.1 Analisis Deskriptif Analisis deskriptif digunakan untuk menganalisis alternatif manajemen risiko yang diterapkan oleh usaha pemotongan ayam ini untuk
58
meminimalkan risiko yang dihadapinya. Manajemen risiko yang diterapkan berdasarkan pada penilaian pengusaha sebagai pengambil keputusan secara subyektif. Indentifikasi ini dilakukan untuk melihat apakah manajemen risiko yang diterapkan efektif untuk meminimalkan risiko. Hal tersebut didasarkan pada tingkat risiko yang dihadapi oleh usaha pemotongan ini.
4.5.2 Analisis Risiko Penilaian risiko dapat dilakukan dengan mengukur nilai penyimpangan yang terjadi. Beberapa ukuran yang dapat digunakan untuk mengukur penyimpangan diantaranya adalah varian (Variance), simpangan baku (Standard Deviation) dan koefisien variasi (Coefficient Variation) (Fariyanti, 2008). Ketiga ukuran tersebut berkaitan satu sama lain dan nilai ragam sebagai penentu ukuran yang lainnya. Seperti misalnya standar deviasi merupakan akar kuadrat dari ragam sedangkan koefisien variasi merupakan rasio dari standar deviasi dengan nilai ekspektasi return dari suatu harga aset. Return yang diperoleh dapat berupa pendapatan, produksi, dan harga.
1. Nilai Harapan atau Expected Value Nilai Harapan atau expected value dihitung dari penjumlahan hasil kali antara peluang kejadian (probability) dengan return berupa pendapatan, produksi, dan harga bersih dari seluruh periode pengamatan selama enam bulan. Jumlah periode produksi selama enam bulan adalah sebanyak 6 periode. Satu periode produksi dalam hal ini adalah jumlah ayam yang dipotong dalam satu bulan. Secara matematis expected value dapat dituliskan sebagai berikut:
𝑚
𝑅1 =
𝑃𝑖𝑗 𝑅𝑖𝑗 𝑗 =1
Penjabaran dari rumus expected value dapat dituliskan sebagai berikut : R1 = pi1 Ri1 + pi2 Ri2 + pi3 Ri3 +…….. + pim Rim Dimana :
59
pi1 = Peluang dari suatu Kejadian (I = aset, j = kejadian) Ri1 = Value R1 = Expected Value Jumlah kejadian atau pengamatan di usaha pemotongan ayam ada 6 kejadian, jadi peluang dari semua kejadiannya bernilai satu. Sehingga expected value dapat dihitung dengan mencari nilai rata-rata atau mean dari return berupa pendapatan, produksi atau harga bersih usaha pemotongan ayam selama 6 periode pengamatan. Maka secara matematis expected value dapat dituliskan sebagai berikut : n
Rij
j=1
Ri = n Dimana : Ri = Expected Value atau Nilai Harapan Rij = Pendapatan, produksi, atau harga periode ke-j, yaitu periode 1-6 n = Jumlah pengamatan, yaitu sebanyak 6 pengamatan. 2. Ragam atau Variance (2) Pengukuran ragam (variance) dari return merupakan penjumlahan selisih kuadrat dari return dengan expected value dikalikan dengan peluang dari setiap kejadian. Secara matematis ragam (variance) dapat dituliskan sebagai berikut : m
i2 = pij (RijRi)2 j=1 Rumus variance dari return dapat juga dituliskan dalam bentuk sebagai berikut : i2 = pi1 (Ri1 – R1)2 + pi2 (Ri2 – R2)2 + pi3 (Ri3 – R3)2 + ….. + pim (Rim – Rm)2 Dimana : i2 = Variance dari value pij = Peluang dari suatu kejadian (i = asset, j = kejadian)
60
Rij = Value Ri = Expected Value Jumlah kejadian atau pengamatan di usaha pemotongan ayam ini ada 6 kejadian, jadi nilai peluang dari setiap kejadian bernilai satu. Sehingga secara matematis ragam (variance) dapat dituliskan sebagai berikut : n
(RijRi)2 i2 =
J=1 n–1
Dimana : i2 = Ragam atau Variance Ri = Expected Value atau Nilai Harapan Rij = Nilai periode ke-j, yaitu periode 1-6 n = Jumlah pengamatan, yaitu sebanyak 6 pengamatan
Nilai ragam (variance) menunjukkan bahwa semakin kecil nilai variance, maka semakin kecil penyimpangan sehingga semakin kecil risiko yang dihadapi dalam melakukan usaha. Begitu juga sebaliknya, semakin besar nilai variance maka semakin besar penyimpangannya sehingga semakin besar risiko yang dihadapi dalam melakukan kegiatan usaha.
3. Simpangan Baku atau Standart Deviation () Seperti halnya variance, makna dari ukuran standart deviation adalah semakin kecil nilai standart deviation, maka semakin kecil risiko yang dihadapi dalam kegiatan usaha. Begitu juga sebaliknya, semakin besar nilai standard deviation maka semakin besar pula risiko yang dihadapi dalam kegiatan usaha. Simpangan baku (standard deviation) merupakan akar dari ragam (variance). Secara matematis standard deviation dapat dituliskan sebagai berikut :
= 2 Dimana : 61
= Simpangan Baku atau Standard Deviation 2 = Ragam atau Variance 4. Koefisien Variasi atau Coefficient Variation (CV) Coefficient variation diukur dari rasio standart deviation dengan expected return. Semakin kecil nilai coefficient variation maka semakin kecil risiko yang dihadapi dalam melakukan kegiatan usaha. Begitu juga sebaliknya, semakin besar nilai coefficient variation maka semakin besar risiko yang dihadapi dalam melakukan kegiatan usaha. Secara matematis coefficient variation dapat dituliskan sebagai berikut : CV = Ri Dimana : CV = Koefisien Variasi atau Coefficient Variation
= Simpangan Baku atau Standart Deviation
Ri = Expected Value atau Nilai Harapan 5. Nilai Batas Bawah (L) Nilai L menunjukkan nilai nominal bersih terendah yang mungkin diterima oleh pengusaha pemotongan ayam. Apabila nilai L sama dengan atau lebih dari nol, maka pengusaha pemotongan ayam tidak akan mengalami kerugian dan begitu juga sebaliknya. Secara matematis dapat dituliskan sebagai berikut :
L = Ri + 2 Keterangan : L = Nilai Batas Bawah Ri = Expected Value atau Nilai Harapan = Simpangan Baku atau Standart Deviation Terdapat hubungan antara nilai batas bawah pendapatan dengan nilai koefisien variasi. Apabila nilai CV > 0,5 maka nilai L < 0. Hal ini berarti pada setiap proses produksi ada peluang pengusaha pemotongan ayam mengalami
62
kerugian. Apabila nilai CV < 0,5 maka nilai L > 0. Hal ini berarti perusahaan akan selalu untung dan akan impas apabila nilai CV = 0 dan L = 0
4.5.3 Analisis Keuntungan Dalam menganalisis keuntungan digunakan alat analisis keuntungan. Penerimaan total merupakan nilai produk dari suatu usaha yaitu harga produk dikalikan dengan total produksi periode tertentu. Total biaya atau pengeluaran adalah semua nilai faktor produksi yang dipergunakan untuk menghasilkan suatu produk dalam periode tertentu. Pendapatan total merupakan selisih antara penerimaan total dan pengeluaran total (Suratiyah, 2009). Rumus penerimaan, total biaya, dan pendapatan adalah : π
= TR-TC
TR = Y + L TC = ( AH + Tk + A+BL) + ( BB + T)
Keterangan :
L
π
= Pendapatan (Rp)
TR
= Total penerimaan atau Total Revenue (Rp)
TC
= Total biaya atau Total Cost (Rp)
Y
= Penerimaan dari penjualan karkas ayam (Rp)
= Penerimaan lain seperti : ceker, kepala ayam, ati ampela, jantung, dan usus ayam. AH
= Biaya Ayam Hidup (Rp)
Tk
= Biaya Tenaga kerja (Rp)
A
= Biaya Air (Rp)
BL
= Biaya Listrik (Rp.)
BB
= Biaya Bahan Bakar pemanas (Rp)
T
= Biaya lain-lain (Rp)
Dengan kriteria :
TR>TC, maka usaha menguntungkan
TR=TC, maka usaha impas TR
4.6 Definisi Operasional 1. Tempat pemotongan unggas adalah suatu tempat atau bangunan dengan desain dan syarat tertentu yang ditunjuk oleh pihak berwenang sebagai tempat untuk memotong unggas bagi masyarakat umum terbatas dalam suatu wilayah kecamatan atau pasar tertentu dengan kapasitas pemotongan maksimum 500 ekor per hari; 2. Usaha pemotongan skala kecil adalah usaha pemotongan ayam dengan intensitas pemotongan perhari berkisar antara 17 sampai 678 ekor perhari; 3. Usaha pemotongan skala sedang adalah usaha pemotongan ayam dengan intensitas pemotongan perhari berkisar antara 679 sampai 1.339 ekor perhari; 4. Usaha pemotongan skala besar adalah usaha pemotongan ayam dengan intensitas pemotongan perhari berkisar antara 1.340 sampai 2.000 ekor perhari; 5. Penerimaan tunai usaha pemotongan ayam adalah jumlah uang yang diterima dari penjualan hasil produksi baik karkas ayam maupun organ lainnya seperti jantung, ceker, kepala ayam, ati ampela,; 6. Biaya tunai adalah jumlah uang yang dibayarkan untuk pembelian barang dan jasa bagi usaha pemotongan ayam. Biaya tunai meliputi biaya sarana produksi yang dibeli, biaya tenaga kerja; 7. Pendapatan
tunai
adalah
imbalan
yang
diperoleh
dari
kegiatan
penyelenggaraan usaha pemotongan ayam untuk jasa kerja pengelola, didapat dari selisih total penerimaan tunai dengan biaya tunai; 8. Risiko usaha adalah fluktuasi pendapatan tunai setiap periode pada masa yang akan datang, dihitung sebagai ukuran simpangan baku. Semakin besar nilai simpangan baku, maka semakin besar pula risiko usaha. Satuan risiko adalah rupiah; 9. Pengaruh risiko terhadap pendapatan adalah penyimpangan pendapatan akibat berfluktuatifnya harga ayam hidup di peternakan.;
64
10. Manajemen risiko adalah cara-cara yang digunakan manajemen untuk menangani berbagai permasalahan yang disebabkan oleh adanya risiko. 11. Hasil yang diharapkan adalah nilai pendapatan tunai yang mungkin diterima perusahaan pada setiap periode pada masa yang akan datang. Nilai ini didapat dari menghitung rata-rata pendapatan tunai dan dihitung dalam satuan rupiah; 12. Koefisien variasi atau disebut juga risiko terendah adalah angka yang menunjukkan perbandingan antara risiko yang harus ditanggung dengan pendapatan tunai yang akan diperoleh. Koefisien variasi tidak mempunyai satuan;
65
V. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 5.1 Kondisi Umum Kelurahan Kebon Pedes Berdasarkan Profil Kelurahan Kebon Pedes Tahun 2008, Kelurahan Kebon Pedes secara administratif masuk ke dalam wilayah Kecamatan Tanah Sareal, Kota Bogor. Sebelah utara berbatasan dengan Kelurahan Kedung Badak, sebelah selatan dengan Kelurahan Cibogor, sebelah barat berbatasan dengan Kelurahan Ciwaringin, dan sebelah timur dengan Kelurahan Tanah Sareal. Iklim di wilayah Kelurahan Kebon Pedes termasuk dingin dengan curah hujan sebesar 4.000 mm dan jumlah bulan hujan pertahun sebanyak 7 bulan. Suhu rata-rata harian berkisar antara 36oC-48oC dan ketinggian berada sekitar 200 mdpl. Topografi di Kelurahan Kebon Pedes termasuk ke dalam kategori dataran rendah serta dekat dengan bantaran sungai. Kelurahan ini termasuk di dalamnya adalah seperti kawasan pertokoan/bisnis, kawasan penduduk, dan industri. Terdapat juga kawasan yang rawan serta bebas banjir dan dekat dengan aliran sungai. Komoditas yang diusahakan di Kelurahan Kebon Pedes menurut Profil Kelurahan Kebon Pedes Tahun 2008 dari sektor pertanian seperti tanaman pangan, buah-buahan, dan tanaman obat-obatan sudah tidak ada karena Kelurahan ini merupakan padat penduduk sehingga tidak ada lahan yang dapat diusahakan untuk pertanian. Begitu juga dengan sektor perkebunan, kehutanan, dan juga perikanan. Sektor peternakan merupakan satu-satunya sektor yang ada di kelurahan ini walaupun populasinya tidak terlalu banyak. Jenis populasi ternak yang diusahakan adalah ternak sapi dengan jumlah pemilik 40 orang dan perkiraan jumlah populasi sebanyak 350 ekor. Selain itu terdapat pula usaha pengolahan hasil ternak berupa biogas dengan jumlah pemilik sebanyak 10 orang. Di Kelurahan Kebon Pedes terdapat Sentra Usaha Pemotongan Ayam yang merupakan salah satu tempat pemotongan yang ada di Kota Bogor dengan jumlah pemotong sekitar 38 orang, serta kapasitas pemotongan per hari mencapai 13.000 ekor.
66
Potensi dan sumber daya air yang terdapat di Kelurahan Kebon Pedes adalah sungai dan mata air dengan debit berukuran sedang kecuali bila keadaan sedang hujan maka debit akan bertambah. Untuk kebutuhan sehari-hari, masyarakat Kelurahan Kebon Pedes memanfaatkan banyak sumber air bersih. Jenis sumber air di Kelurahan Kebon Pedes dapat dilihat pada Tabel 7.
Tabel 7.
Jenis Sumber Air Bersih di Kelurahan Kebon Pedes Tahun 2008
Jenis
Jumlah (Unit)
Pemanfaat (KK)
Kondisi
PAM
2.140
2.140
baik
Sumur Pompa
1.150
1.150
baik
Pipa
972
972
baik
Sumur Gali
695
695
baik
6
30
baik
Mata Air
Sumber : Profil Kelurahan Kebon Pedes, 2008 (diolah)
Berdasarkan Tabel 7, dapat dilihat bahwa sebagian besar masyarakat Kelurahan Kebon Pedes menggunakan PAM sebagai sumber air utama untuk kebutuhan sehari-hari dengan jumlah pemakai sebanyak 2.140 Kepala Keluarga. Selanjutnya diikuti dengan sumur pompa sebanyak 1.150 Kepala Keluarga. Mata air yang tersebar di Kelurahan Kebon Pedes sebanyak 6 unit yang digunakan oleh 30 Kepala Keluarga untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Jumlah penduduk di Kelurahan Kebon Pedes mencapai 20.422 orang dengan rincian penduduk berjenis kelamin laki-laki sebanyak 10.185 orang dan penduduk berjenis kelamin perempuan sebanyak 10.237 orang serta dihuni oleh sekitar 4356 Kepala Keluarga. Tingkatan pendidikan penduduk Kelurahan Kebon Pedes sangat beragam mulai dari penduduk yang tidak bersekolah sampai lulus S3 atau sederajat. Sebagian besar penduduk di Kelurahan Kebon Pedes merupakan tamatan SD yaitu sekitar 31 persen, selanjutnya adalah penduduk dengan pendidikan terakhir SLTP/sederajat dengan presentase sebesar 27 persen, dan presentase sebesar 25 persen untuk penduduk yang menyelesaikan pendidikan terakhir SLTA/sederajat. Tingkatan pendidikan lain-lain seperti : usia 3-6 tahun yang belum masuk TK, sampai dengan tamatan SLB C memiliki presentase sebesar 17 persen. Penduduk di Kelurahan Kebon Pedes dapat dikatakan memiliki tingkat pendidikan rendah karena di dominasi oleh penduduk yang menamatkan 67
sekolahnya di SD, SLTP, dan SMA. Secara rinci, sebaran tingkatan pendidikan di Kelurahan Kebon Pedes dapat dilihat pada Tabel 8.
Tabel 8. Sebaran Tingkatan Pendidikan di Kelurahan Kebon Pedes Tahun 2008 Tingkatan Pendidikan
Laki-Laki (Orang)
Perempuan (Orang)
Jumlah (Orang)
Tamat SD/sederajat
3.126
3.126
6.252
Tamat SLTP/sederajat
2.673
2.802
5.475
Tamat SLTA/sederajat
2.516
2.499
5.015
-
-
3.680
Lain-lain Jumlah Total
20.422
Sumber : Profil Kelurahan Kebon Pedes, 2008 (diolah)
Masyarakat Kelurahan Kebon Pedes dalam memenuhi kebutuhan sandang, pangan dan papan harus memiliki pekerjaan untuk bisa menghasilkan uang. Namun tidak semua penduduknya memiliki mata pencaharian karena saat ini sangat sulit sekali memiliki pekerjaan yang tetap. Total jumlah penduduk Kelurahan Kebon Pedes yang memiliki pekerjaan sebesar 7.654 orang atau hanya sebesar 37 persen dari total jumlah penduduk Kelurahan Kebon Pedes. Penduduk yang memiliki pekerjaan sebagai karyawan swasta mendominasi dengan presentase sebesar 70 persen. Selanjutnya, penduduk yang bermata pencahariaan sebagai pensiunan PNS/TNI/POLRI sebesar 8 persen, pedagang keliling dengan presentase sebesar 7 persen, Pegawai Negeri Sipil sebesar 6 persen, dan sopir angkot sebesar 3 persen. Jenis pekerjaan lainnya sebesar 6 persen beragam mulai dari petani, peternak, montir, dokter swasta, pengusaha kecil dan menengah, penjahit sampai tukang bangunan. Secara rinci, sebaran mata pencahariaan pokok di Kelurahan Kebon Pedes dapat dilihat pada Tabel 9. Tabel 9. Sebaran Mata Pencaharian di Kelurahan Kebon Pedes Tahun 2008 Jenis Pekerjaan Karyawan Perusahaan Swasta
Laki-Laki Perempuan Jumlah (Orang) (Orang) (Orang) 2.705 2.645 5.350
Pensiunan PNS/TNI/POLRI
315
273
588
Pedagang Keliling
415
120
535
Pegawai Negeri Sipil
208
240
448
Sopir Angkot
269
-
269
68
Lain-Lain
-
Jumlah Total
-
505 7.695
Sumber : Profil Kelurahan Kebon Pedes, 2008 (diolah)
Kelurahan Kebon Pedes memiliki sarana dan prasarana yang baik dalam hal transportasi khususnya transportasi darat. Kondisi jalan yang ada sudah sangat baik untuk dilalui oleh kendaraan bermotor. Setidaknya ada 53 unit angkutan yang ada di Kelurahan Kebon Pedes untuk melayani masyarakat bepergian di dukung dengan jalan yang beraspal. Sepanjang 3.500 meter jalan aspal yang terdapat di Kelurahan ini serta 750 meter jalan berbeton/semen. Jalan provinsi yang melewati Keluraan ini sepanjang 120 Km dan jalan Negara sepanjang 60 Km melewati Kelurahan Kebon Pedes. Masyarakat di Kelurahan Kebon Pedes memiliki prasarana yang baik dalam hal pemenuhan air untuk kebutuhan sehari-hari. Di Kelurahan ini terdapat sumur pompa yang tersebar sebanyak 1.150 unit, sumur gali sebanyak 695 unit dan jumlah PAM sebanyak 2.140 unit. Terdapat juga mata air yang terus mengalir sebanyak enam buah untuk keperluan masyarakat sehari-hari. Potensi Sumber Daya Alam di Kelurahan Kebon Pedes adalah sedang. Keterbatasan dalam hal ketersediaan lahan sangat sedikit karena di Kelurahan ini sudah jarang sekali terdapat lahan kosong untuk dimanfaatkan sebagai tempat kegiatan pertanian. Potensi pengembangan tanaman pangan kurang potensial untuk diterapkan di Kelurahan ini karena terhalang oleh kendala bahwa tidak ada lahan untuk menanam. Begitu pula potensi tanaman apotik hidup yang terkendala oleh tidak adanya lahan yang memadai. Potensi pengembangan yang cukup dikembangkan di Kelurahan Kebon Pedes adalah dari sektor peternakan. Hal ini dikarenakan bahwa sudah ada peternakan sapi sejak dulu walaupun sekarang jumlahnya sedikit. Banyaknya lapangan rumput yang luas di Kelurahan Kebon Pedes dapat menjamin ketersediaan pangan untuk kebutuhan ternak sapi. Selain itu, susu yang dihasilkan dapat dijadikan sebagai sumber penghasilan bagi para peternak sapi yang kebanyakan jenis sapi yang diternak adalah sapi perah. Namun saat ini potensi pengembangan tersebut sudah sangat sulit karena terkendala tempat yang kurang memadai untuk beternak. Peternakan sapi yang sekarang sudah ada dekat sekali jaraknya dengan pemukiman warga sehingga sangat mengganggu sekali bagi kehidupan warga tersebut. 69
Potensi Sumber Daya Manusia di Kelurahan Kebon Pedes adalah tinggi. Ekonomi masyarakat yang cenderung kecil sementara kebutuhan hidup yang terus meningkat membuat banyak penduduk di Kelurahan ini tidak mempunyai penghasilan tetap. Jumlah angkatan kerja dengan usia 18 sampai 56 tahun di Kelurahan Kebon Pedes adalah sebesar 14.280 orang. Sebagian besar penduduknya adalah bekerja secara penuh dengan presentase sebesar 38 persen. Selanjutnya adalah penduduk yang bekerja tidak tentu sebesar 26 persen. Penduduk usia 18 sampai 56 tahun yang masih sekolah dan tidak bekerja berada di urutan ketiga dengan presentase sebesar 20 persen. Banyaknya angkatan kerja yang tidak produktif dapat dijadikan sebagai peluang untuk memperkecil tingkat pengangguran di Kelurahan ini dengan cara menciptakan lapangan kerja baru agar angkatan kerja yang tidak produktif ini dapat terserap sehingga dapat meningkatkan ekonomi masyarakat itu sendiri. Secara rinci, sebaran angkatan kerja di Kelurahan Kebon Pedes dapat dilihat pada Tabel 10.
Tabel 10. Sebaran Angkatan Kerja di Kelurahan Kebon Pedes Tahun 2008 Angkatan Kerja
Jumlah (Orang)
Penduduk Usia 18-56 Tahun yang Bekerja Penuh
5.497
Penduduk Usia 18-56 Tahun yang Bekerja Tidak Tentu Penduduk Usia 18-56 Tahun yang Masih Sekolah dan Tidak Bekerja Penduduk Usia 18-56 Tahun yang Menjadi Ibu Rumah Tangga
3.750 2.856 2.142
Usia 18-56 Tahun yang Cacat dan Tidak Bekerja
25
Usia 18-56 Tahun yang Cacat dan Bekerja
10
Jumlah
14.280
Sumber : Profil Kelurahan Kebon Pedes, 2008 (diolah)
Potensi kelembagaan di Kelurahan Kebon Pedes adalah tinggi. Hal ini dapat dilihat dari kelengkapan staf-staf di Kelurahan tersebut. Jumlah aparat pemerintahan yang terdapat di Kelurahan Kebon Pedes sebanyak 10 orang termasuk di dalamnya : Lurah, Sekretaris, Kepala Urusan Pemerintahan, Kepala Urusan Pembangunan, Kepala Urusan Sosial, beserta para pembantunya. Tingkat pendidikan aparat di Kelurahan secara umum adalah S1 kecuali Lurah dengan pendidikan terakhir SMA. Kelurahan Kebon Pedes memiliki beberapa unit
70
organisasi yang tersebar untuk memperlancar kegiatan pemerintahan seperti : RT, RW, LPM, PKK, Karang Taruna, Kelompok Gotong Royong, DLL. Jumlah Rukun Warga yang terdapat di Kelurahan ini sebanyak 13 unit organisasi serta Rukun Tetangga sebanyak 74 unit organisasi dengan alamat kantor di masingmasing RT dan RW. Jumlah pengurus Lembaga Pemberdayaan Masyarakat (LPM) sebanyak 24 orang. Jumlah pengurus PKK sebanyak 22 orang dan Karang Taruna sebanyak 33 orang. Untuk mendukung kegiatan perekonomian, di Kelurahan Kebon Pedes terdapat beberapa lembaga ekonomi maupun jasa lembaga keuangan agar mempermudah masyarakat dalam upaya membantu mengatasi masalah keuangan. Selain itu, masyarakatnya pun memiliki beberapa usaha baik itu kecil dan menengah sampai dengan usaha penginapan. Usaha ini sangat menguntungkan dikarenakan bisa menyerap jumlah pengangguran yang ada di Kelurahan serta meningkatkan perekonomian masyarakat. Beberapa lembaga ekonomi yang terdapat di Kelurahan Kebon Pedes dapat dilihat pada Tabel 11.
Tabel 11. Lembaga Keuangan dan Usaha di Kelurahan Kebon Pedes Tahun 2008 1. Lembaga Ekonomi, dan Unit Usaha Desa/Kelurahan Koperasi Simpan Pinjam
Jumlah/ Unit 2
Jumlah Kegiatan 2
Jumlah Pengurus dan Anggota -
UEK-SP WALATRA
1
1
105
KPEK Kebon Pedes
1
1
205
4 Jumlah/ Unit
4 Jumlah Kegiatan
310 Jumlah Pengurus dan Anggota
1
-
15
Jumlah 2. Jasa Lembaga Keuangan Lembaga Keuangan Non Bank/P2KP Jumlah 3. Industri Kecil dan Menengah Industri Makanan
1 Jumlah/ Unit 4
Jumlah Kegiatan -
Industri Kerajinan
3
-
72
Rumah Makan dan Restoran
97
-
194
104 Jumlah Pemilik 40
Kapasita s 583
434
Jumlah 4. Usaha Jasa Pengangkutan Jumlah Pemilik Angkutan
15 Tenaga Kerja 168
Tenaga Kerja 53
71
Desa/Perkotaan Jumlah
40
583
53
Sumber : Profil Kelurahan Kebon Pedes, 2008 (diolah)
Potensi sarana dan prasarana di Kelurahan Kebon Pedes adalah tinggi. Ketersediaan sarana seperti jalan yang sudah beraspal memudahkan masyarakat untuk melakukan transportasi. Selain itu, Kelurahan Kebon Pedes termasuk ke dalam kawasan ideal karena dekat dengan Kecamatan Tanah Sareal sekitar 1 Km. Jarak menuju Kota Bogor sekitar 3 Km dan dapat ditempuh dengan kendaraan bermotor selama 15 menit yang merupakan waktu yang relatif dekat. Hal ini sangat menguntungkan karena memudahkan masyarakat berpergian ke pusat kota didukung dengan alat transportasi kendaraan umum. Prasarana komunikasi yang tersedia di Kelurahan Kebon Pedes sangat baik karena wilayah ini dapat menerima sinyal telepon seluler dengan baik. Kemudahan mengakses informasi melalui warnet pun banyak tersedia di Kelurahan Kebon Pedes karena letaknya yang strategis dekat dengan pusat kota.
5.2 Sejarah Berdirinya Usaha Pemotongan Ayam (UPA) Usaha Pemotongan Ayam (UPA) merupakan usaha yang bergerak dalam bidang pemotongan ayam dan pertama kali dibangun pada tahun 1971. Pendirian usaha pemotongan diawali dengan memanfaatkan lahan milik sendiri yang belum dimanfaatkan, sehingga muncul ide untuk mengusahakan lahan tersebut. Pencetus dari usaha pemotongan ayam ini adalah seorang warga setempat yang bernama H. Darno. Pada awal berdirinya usaha ini memotong ratusan ekor dengan menggunakan alat yang sederhana dan pegawai yang seadanya. Ide awal munculnya usaha pemotongan ayam ini berasal dari pemikiran Bapak H. Darno yang mempunyai keinginan untuk membuka suatu usaha pemotongan ayam. Keinginan Bapak H. Darno untuk membuka suatu usaha disebabkan karena masih jarangnya usaha yang bergerak di pemotongan ayam. Melihat bahwa daerah Kelurahan Kebon Pedes adalah lokasi strategis karena terdapat juga tempat pemotongan ternak seperti sapi, kerbau, dan babi (sekarang pindah ke Sentra Pemotongan Kota Bogor), serta dekat dengan pasar anyar sebagai tempat pemasaran ayam potong. Memang di dekat tersebut terdapat pabrik pembuatan ban PT. Goodyear Indonesia namun sulitnya masuk ke 72
perusahaan tersebut menyebabkan banyak warga sekitar yang tidak mempunyai pekerjaan sehingga penggunaan tenaga kerja relatif kecil di daerah tersebut. Peran masyarakat setempat yang termanfaatkan hanya untuk memotong hewan ternak seperti sapi, kerbau, dan babi, itupun seperti pekerjaan sambilan karena masyarakat belum banyak yang memiliki pekerjaan tetap. Daya serap tenaga kerja di Kelurahan Kebon Pedes tersebut tidak sebanding dengan perkembangan jumlah penduduk yang ada. Tekanan ekonomi yang meningkat karena masyarakat harus memenuhi kebutuhan hidupnya sementara sulitnya mencari pekerjaan sebagai sumber penghasilan menyebabkan tidak sedikit penduduk sekitar yang menjadi pengangguran. Bapak H. Darno sebagai penduduk setempat ingin membantu para penduduk sekitar agar dapat memperoleh pekerjaan yang layak untuk kehidupan mereka. Maka itu Bapak H. Darno berinisiatif untuk membangun sebuah usaha di bidang pemotongan ternak. Mengingat bahwa daerah Kelurahan Kebon Pedes merupakan daerah yang strategis di dekat pusat kota yang sesuai untuk memasarkan komoditas ternak potong. Untuk komoditas yang diusahakan, Bapak H. Darno memilih untuk mengusahakan pemotongan ayam. Komoditas ayam dipilih karena Bapak H. Darno memiliki kemampuan otodidak dan pengetahuan di bidang pemotongan ayam. Komoditas ayam yang dipilih karena di dekat daerah tersebut sudah ada tempat pemotongan ternak (Pejagalan) sehingga komoditas ayam yang dipilih sebagai karena belum ada yang mengusahakan pemotongan ini sebelumnya. Lahan yang dimiliki Bapak H. Darno tidak terlalu luas sehingga cukup digunakan sebagai usaha pemotongan ayam berbeda dengan komoditas ternak lain seperti sapi yang membutuhkan lahan yang luas. Selain itu, usaha pemotongan ini dapat membantu masyarakat setempat dalam memperoleh pekerjaan, yaitu dengan memberdayakan penduduk sekitar untuk membantu Bapak H. Darno dalam mengelola usaha pemotongan ayam di Kelurahan Kebon Pedes. Seiring dengan perjalanan waktu, UPA di Kelurahan Kebon Pedes terus berkembang pesat. Menurut Puspita (2003) pada tahun 2003 terdapat 23 TPA di Kelurahan Kebon Pedes, kemudian menurut Adinugraha (2008) pada tahun 2008 bertambah menjadi 31 UPA dan hingga sekarang jumlah UPA menjadi 38 TPA di
73
Kelurahan Kebon Pedes dengan berbagai macam skala pemotongan dari yang berskala kecil sampai yang berskala besar per harinya, dengan menggunakan sarana dan prasarana seadanya. Jumlah pemotongan total per hari lebih dari 13.000 ekor, dan merupakan pusat dari pemotongan ayam di Kota Bogor. Lokasi Tempat Pemotongan Ayam (TPA) di Kelurahan Kebon Pedes, sebagian besar terletak di wilayah RW 02. Wilayah ini biasa disebut dengan daerah gamblok. Lokasi ini sangat menguntungkan bagi para pemotong ayam karena dekat dengan aliran sungai Cibalok yang memudahkan para pemotong ayam membuang limbah cair.
5.3 Organisasi dan Manajemen Usaha Organisasi adalah suatu proses tersusun yang orang-orangnya berinteraksi untuk mencapai tujuan. Setiap organisasi memiliki komponen pokok yang merupakan sarana untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Komponen tersebut mencerminkan adanya tugas-tugas yang harus dilakukan, orang yang melakukan dan peralatan yang dapat digunakan untuk melaksanakan tugas tersebut. dalam pengorganisasian kegiatan, diharapkan akan tercipta hubunganhubungan antara berbagai fungsi, personalia dan faktor-faktor fisik agar semua pekerjaan yang dilakukan dapat bermanfaat serta terarah pada suatu tujuan. Kegiatan atau aktifitas yang dilakukan dalam sentra usaha memerlukan suatu pengorganisasian yang baik. Hal ini perlu dilakukan agar setiap orang yang terlibat dalam sentra usaha dapat bekerja lebih terarah, terencana, dan bertanggungjawab dengan pengusaha lainnya. Sentra usaha pun dalam menjalankan kegiatan setiap harinya harus didukung oleh sumberdaya manusia yang sudah diorganisasikan dengan baik sesuai dengan jenis pekerjaan dan tanggung jawab yang diberikan. Untuk menjalankan segala perencanaan tersebut, haruslah disusun suatu struktur organisasi yang baik agar dapat membantu sentra usaha tersebut. dengan adanya sturktur organisasi tersebut, diharapkan semua sumberdaya manusia yang terlibat dapat digunakan dengan efektif dan efisien sesuai dengan kemampuan dan potensi yang dimiliki untuk menjalankan serta mengembangkan sentra usaha tersebut.
74
Sentra Usaha Pemotongan Ayam di Kelurahan Kebon Pedes merupakan sentra usaha yang masih sederhana dalam pengorganisasian. Sebagai sentra di bidang pemotongan hewan ternak, usaha ini masih termasuk dalam usaha sederhana dan belum memiliki sturktur yang jelas dalam organisasinya. Selain itu, konsep yang diterapkan dalam sentra usaha ini adalah dengan pendekatan kekeluargaan, bukan secara struktural yang baku seperti di perusahaan pada umumnya dikarenakan sentra usaha di Kelurahan Kebon Pedes di dominasi oleh penduduk keturunan jawa baik itu Jawa Tengah maupun Jawa Timur. Agar pengelolaan pemotongan ayam di Kelurahan Kebon Pedes lebih terkendali dan terkoordinasi dengan baik maka pada tahun 1986 dibentuklah suatu wadah yang disebut IWPA (Ikatan Warga Pemotong Ayam). IWPA juga berfungsi sebagai wadah silaturahmi antara sesama pemotong ayam dan juga sebagai wadah untuk mengumpulkan iuran rutin. Secara garis besar struktur organisasi di Sentra Usaha Pemotongan Ayam Kelurahan Kebon Pedes dirumuskan dalam suatu hierarki organisasi yang menggambarkan hubungan dan tanggung jawab antara setiap personal yang mengambil bagian dari kegiatan usaha ini.
Ketua Bapak Sony Listen
Sekretaris
Bendahara
Bapak Saiman
Bapak Rustanto
Gambar 6. Struktur Organisasi di Sentra Usaha Pemotongan Ayam Kelurahan Kebon Pedes 2009
5.4 Kelas dan Kategori Usaha Pemotongan Ayam Berdasarkan SK Menteri Pertanian No. 557/kpts./TN. 520/9/1987 dalam Pambudy dan Pulungan (1993), tentang syarat-syarat rumah potong unggas dan usaha pemotongan unggas, maka UPA yang berada di Kelurahan Kebon Pedes dilihat dari luasan peredaran daging yang dihasilkan, termasuk ke dalam kelas D.
75
UPA kelas D merupakan usaha pemotongan unggas untuk penyediaan daging unggas kebutuhan Daerah Tingkat II yang bersangkutan. Hal tersebut memiliki arti bahwa UPA di Kelurahan Kebon Pedes merupakan pemasok daging ayam untuk daerah Kota maupun Kabupaten Bogor. Sedangkan menurut jenis kegiatannya, UPA yang berada di Kelurahan Kebon Pedes termasuk kategori I. Kategori I merupakan usaha pemotongan unggas yang melaksanakan pemotongan unggas di tempat sendiri di tempat pemotongan milik sendiri. Hal tersebut berarti pelaksanaan pemotongan dan penjualan karkas dilakukan oleh pemilik UPA sendiri. Kondisi tersebut cukup beralasan karena sebagian besar UPA memiliki skala pemotongan yang kecil, untuk UPA yang memiliki skala pemotongan yang relatif besar biasanya dalam pelaksanaan pemotongan dan penjualan karkas melibatkan keluarga atau kerabat yang didatangkan dari daerah asal pengusaha pemotongan ayam.
5.5 Sumber Daya Usaha di Sentra Usaha Pemotongan Ayam Sumberdaya yang dimiliki oleh setiap pengusaha di Sentra usaha pemotongan ayam berupa sumberdaya fisik, sumberdaya manusia dan sumberdaya finansial. Sumberdaya manusia yang dimiliki setiap pengusaha ialah orang-orang yang dipekerjakan untuk melaksanakan kegiatan usaha, umumnya disebut dengan tenaga kerja. Sumberdaya fisik yaitu berupa lahan sebagai tempat dilaksanakannya kegiatan usaha, bangunan, peralatan dan perlengkapan. Sumberdaya finansial merupakan kekuatan permodalan yang dimiliki oleh pengusaha pemotongan dalam menjalankan usahanya.
5.5.1 Sumberdaya Manusia Dalam menjalankan sebuah usaha, aspek sumberdaya manusia memegang peranan sangat penting agar dapat mencapai sebuah tujuan. Peran tenaga kerja sangat penting dalam melakukan kegiatan usaha, tanpa tenaga kerja, pemilik tidak akan sanggup melakukan semua kegiatan dengan sendiri. Akan tetapi dalam memperkerjakan tenaga kerja, harus diperhatikan keterampilan yang dimiliki, selain itu tanggung jawab juga menjadi bagian penting dalam memilih pekerja. Di Sentra Usaha Pemotongan Ayam khususnya pengusaha berskala sedang dan besar
76
memiliki lebih dari lima orang tenaga kerja tetap yang dipekerjakan dalam mengelola usaha pemotongan ayam. Pekerja yang ada memiliki tugas yang berbeda mulai dari yang bertugas sebagai supir yang mengangkut ayam hidup dari peternak, tugas memotong, sampai yang menjual karkas ayam di pasar. Khusus untuk pekerja yang bertugas di tempat pemotongan, semua hal yang bersifat teknis seperti : memotong, memisahkan karkas dengan jeroan, mencabut bulu, mencuci, dll dilakukan secara bekerja sama. Upah tenaga kerja berkisar antara Rp 500.000 sampai Rp 650.000 per bulan. Selain itu, pekerja juga mendapatkan uang makan dan uang rokok perhari berkisar dari Rp 10.000 sampai Rp 12.500 tergantung dari pengusaha yang berskala sedang atau besar. Pekerja diberikan fasilitas berupa rumah yang juga digunakan sebagai tempat pemotongan sehingga pekerja tidak perlu memikirkan tempat tinggal selama bekerja di tempat pemotongan. Kebanyakan pekerja di tempat pemotongan merupakan orang yang diambil dari kampung asal pengusaha. Biasanya berasal dari Jawa Tengah dan Jawa Timur dengan alasan bahwa orang jawa cekatan dan rajin dalam hal bekerja kecuali untuk supir pengangkut ayam diambil dari masyarakat sekitar karena lebih mengetahui jalan di daerah Bogor dan sekitarnya. Semua tenaga kerja yang ada di Sentra Usaha Pemotongan Ayam Kelurahan Kebon Pedes memiliki tingkat pendidikan dibawah Sekolah Menengah Atas (SMA). Dalam satu minggu diberlakukan enam hari kerja dan diberikan waktu libur satu hari, tetapi walaupun demikan diatur agar pada hari minggu tetap ada yang pekerja yang bertugas mengingat usaha ini terus berjalan meskipun hari libur ataupun hari biasa. Jam kerja di mulai biasanya pada pukul 22.00 WIB dan selesai pada pukul 04.00 dini hari karena pada saat ayam selesai dipotong langsung dijual ke pasar-pasar di wilayah Bogor.
5.5.2 Aset Usaha Sarana fisik di Sentra Usaha Pemotongan Ayam yang digunakan dalam proses pemotongan ayam sepenuhnya merupakan milik pribadi pengusaha pemotongan. Sarana fisik tersebut berupa peralatan pemotongan dan perlengkapan yang mendukung kegiatan usaha. Selain peralatan, sarana fisik lainnya yang
77
dimiliki pengusaha yang merupakan aset usaha adalah bangunan yang sekaligus dijadikan sebagai tempat tinggal.
5.5.3 Sumberdaya Finansial Modal yang digunakan di Sentra Usaha Pemotongan Ayam dalam mengusahakan pemotongan ayam merupakan modal pribadi. Pengusaha pemotongan ayam kebanyakan merintis usaha ini mulai dari skala kecil sehingga pengusaha yang sekarang merupakan skala besar sudah memulai usahanya selama bertahun-tahun hingga turun-temurun ke keluarga mereka. Modal tersebut berupa investasi yang dilakukan pengusaha pada awal pendirian usaha, dalam bentuk pembelian aset-aset berupa lahan, peralatan, dan bangunan. Modal yang dibutuhkan sangat beragam tergantung seberapa besar skala usaha yang akan dibuka yaitu berkisar dari jutaan hingga ratusan juta yang digunakan untuk bangunan, transportasi pengangkutan, hingga mesin pendukung usaha.
5.6 Pemasaran Ayam Potong Hasil dari proses pemotongan berupa karkas ayam pada usaha pemotongan di Kelurahan Kebon Pedes langsung dipasarkan kepada konsumen sesaat setelah pemotongan dilakukan. Pengusaha khususnya skala sedang dan besar biasanya mempunyai pegawai yang bertugas untuk menjual karkas ayam tersebut di pasar lain halnya dengan pengusaha skala kecil yang menjual sendiri karkas ayam tersebut. Secara umum lokasi dijualnya karkas ayam terdapat di tiga pasar di sekitar Bogor yaitu : Pasar Anyar, Pasar Bogor, dan Pasar Cibinong. Setiap pengusaha memiliki pelanggannya sendiri dalam menjual daging ayam namun untuk pengusaha skala kecil pelanggannya hanya untuk konsumen Rumah Tangga dikarenakan volume pemotongan yang sedikit tidak mampu memenuhi banyaknya permintaan, berbeda dengan pengusaha skala sedang dan besar. Pengusaha skala sedang dan besar selain menjual daging ayam kepada konsumen, juga menjual daging tersebut kepada pelanggan-pelanggan seperti : tukang mie ayam, warung nasi, tukang bubur, tukang sate, dll. Hal ini terjadi karena pengusaha skala sedang dan besar sanggup memenuhi permintaan pelanggan bukan hanya untuk kebutuhan daging ayam tetapi kebutuhan lainnya
78
yang diperlukan untuk usaha makanan seperti : ceker, kepala, jantung, serta usus ayam.
79
VI. ANALISIS RISIKO USAHA PEMOTONGAN 6.1
Identifikasi Risiko Harga Pengelolaan usaha pemotongan ayam di Sentra Usaha Pemotongan Ayam
dihadapkan pada masalah risiko harga. Indikasi adanya risiko harga dalam pengelolaan usaha pemotongan ayam ini ditunjukkan oleh adanya fluktuasi atau variasi harga ayam baik itu harga ayam hidup di tingkat peternak maupun harga karkas ayam di tingkat konsumen. Untuk mengetahui adanya risiko harga pada usaha pemotongan ayam di Sentra Usaha Pemotongan Kelurahan Kebon Pedes dapat dilihat dari fluktuasi harga yang terjadi baik harga input maupun harga output. Dalam usaha pemotongan ayam di Kelurahan Kebon Pedes, para pengusaha khususnya yang berskala sedang sampai besar selalu mempunyai lebih dari tiga supplier ayam hidup untuk menjamin pasokan ayam. Namun harga yang diperoleh para pengusaha pemotongan ayam masih berfluktuatif, hal ini disebabkan oleh ketersediaan ayam di peternakan yang tak menentu. Pada saat ketersediaan ayam di peternak meningkat, maka harga jual ayam di pasar cenderung menurun karena peternak harus menjual ayam tersebut kepada pengusaha pemotongan ayam untuk menjaga siklus produksi ayam di peternakan agar tidak terjadi over supply. Namun sebaliknya jika pasokan ayam di peternak menurun, maka harga jual ayam di pasar meningkat karena terjadi kelangkaan pasokan. Sehingga dari waktu ke waktu sering terjadi fluktuasi ketersediaan pasokan ayam. Fluktuasi harga ayam broiler dan harga karkas ayam yang terjadi pada Usaha Pemotongan Ayam Kelurahan Kebon Pedes selama periode pengamatan dapat dilihat pada Gambar 9. Dari data tersebut selalu terjadi fluktuasi setiap periodenya. Pada skala kecil usaha pemotongan ayam harga ayam broiler terendah terjadi pada periode Januari 2010 sebesar Rp 13.200 dan untuk harga jual tertinggi terjadi pada periode September sebesar Rp 28.500 karena pada periode ini bertepatan dengan Hari Raya Idul fitri. Usaha pemotongan ayam untuk skala sedang dan besar juga mengalami fluktuasi harga yang sama dan pada periode yang sama namun tingkat besarannya yang berbeda. Skala sedang usaha
80
pemotongan ayam dengan harga terendah untuk harga ayam broiler sebesar Rp 11.200 dan harga karkas ayam tertinggi sebesar Rp 27.500. Harga ayam broiler terendah pada skala besar usaha pemotongan ayam sebesar Rp 10.800 dan harga
Ayam Broiler Kecil Karkas Ayam Kecil Ayam Broiler Sedang Karkas Ayam Sedang Ayam Broiler Besar Karkas Ayam Besar
Skala Skala Skala Skala Skala
Skala
Februari 2010
Periode
Januari 2010
Desember
November
Oktober
29500 28000 26500 25000 23500 22000 20500 19000 17500 16000 14500 13000 11500 10000
September
Harga
jual karkas ayam tertinggi sebesar Rp 26.500 pada periode September.
Gambar 9. Fluktuasi Harga Ayam Broiler dan Karkas Ayam di Usaha Pemotongan Ayam Kelurahan Kebon Pedes Selama Periode Pengamatan (September-Februari 2010)
Fluktuasi harga setiap periodenya juga terjadi pada output selain karkas ayam seperti : ceker, kepala, ati ampela, jantung, dan usus ayam. Dapat dilihat pada Gambar 10 bahwa harga ceker ayam terendah terjadi pada periode September sebesar Rp 8.000 sedangkan harga tertinggi terjadi pada periode Februari 2010 sebesar Rp 11.000. harga kepala ayam tertinggi pada periode September dan Februari 2010 sebesar Rp 7000 sedangkan harga ati ampela terbesar terjadi pada periode September sebesar Rp 1.500. Harga jantung ayam selama periode pengamatan tidak terjadi fluktuasi dikarenakan karena jantung masih jarang diminati masyarakat sehingga harga yang terbentuk datar sebesar Rp 4.000 namun harga usus ayam berfluktuatif setiap periodenya. Harga tertinggi terjadi pada periode Oktober dan Januari 2010 sebesar Rp 14.500.
81
Ceker Ayam Kepala Ayam Ati Ampela Ayam Jantung Ayam
Periode
Februari 2010
Januari 2010
Desember
November
Oktober
Usus Ayam
September
Harga
16000 15000 14000 13000 12000 11000 10000 9000 8000 7000 6000 5000 4000 3000 2000 1000
Gambar 10. Fluktuasi Harga Output Ayam Broiler di Usaha Pemotongan Ayam Kelurahan Kebon Pedes Selama Kejadian (September-Februari 2010)
Faktor-faktor tersebut menjadi penyebab terjadinya risiko harga yang dihadapi oleh Sentra Usaha Pemotongan Ayam di Kelurahan Kebon Pedes dalam menjalankan usahanya, dijelaskan secara rinci sebagai berikut : 1. Faktor-faktor harga Input dan Output Usaha Pemotongan Ayam Responden di Sentra Usaha Pemotongan Ayam Kelurahan Kebon Pedes menyatakan bahwa ketersediaan ayam hidup di peternak merupakan faktor utama terjadinya fluktuasi harga karkas ayam di pasaran. Hal ini dikarenakan penentuan harga jual terletak pada harga dari input berupa ayam hidup dari pasokan. Semakin sedikit ketersediaan pasokan ayam di peternak menyebabkan kelangkaan sehingga harga ayam melonjak. Penggunaan input dalam usaha pemotongan ayam antara lain : listrik, air dan gas. Dahulu untuk memanaskan air digunakan kompor minyak tanah, namun seiring dengan dihapuskannya subsidi minyak tanah membuat para pengusaha mengalihkan cara dengan menggunakan gas sebagai bahan bakar pemanas. Penggunaan gas ini termasuk besar dilihat dari perbandingannya dengan penggunaan air dan listrik dimana rata-rata kontribusi gas selama periode pengamatan untuk usaha skala sedang dan besar adalah 7,3 persen dan 3,7 persen, walaupun demikian tingkat kontribusi yang dihasilkan tidak terlepas dari faktorfaktor lainnya yang berpengaruh dalam proses pemotongan ayam. 82
Dalam menjalankan usahanya, para pengusaha mempertimbangkan biaya produksi yang dikeluarkan dalam menentukan harga jual. Salah satu faktor produksi yang digunakan adalah penggunaan teknologi dimana alat-alat yang digunakan termasuk ke dalam aset yang mempunyai nilai ekonomi yang sangat lama. Penggunaan teknologi terbukti sangat efektif dalam menekan biaya produksi
karena
mempermudah
pemotongan
ayam
sehingga
dapat
mengefisienkan waktu. Namun penggunaan teknologi hanya terbatas pada para pengusaha yang berskala sedang dan besar karena untuk pengusaha skala kecil belum mampu membeli alat pemotongan seperti mesin pencabut bulu, pemanas air, dll. Setiap pengusaha pemotongan ayam yang ada di Kelurahan Kebon Pedes dibebani retribusi untuk setiap ekor ayam yang dipotong. Besarnya biaya yang dikeluarkan untuk setiap ekor ayam adalah sebesar Rp 100 yang akan disetorkan ke Pemerintah Daerah setiap minggunya. Penghitungan retribusi didasarkan pada banyaknya ayam yang dipotong per hari lalu diakumulasikan pada akhir minggu dan di koordinir oleh bendahara IWPA yaitu Bapak Rustanto. Fluktuasi harga input terjadi akibat ketersediaan pasokan ayam hidup di peternak. Jika pasokan ayam hidup sedikit membuat harga ayam hidup mahal dan juga sulit dicari. Terkadang ada beberapa pengusaha yang mencari ayam hidup hingga ke pulau Sumatera untuk memenuhi kebutuhan ayam di Bogor sehingga menyebabkan harga ayam di pasaran meningkat pesat karena biaya transportasi yang mahal. Pasokan ayam hidup yang berfluktuatif karena di peternak terjadi wabah penyakit yang menyebabkan kematian pada ayam sehingga ketersediaan ayam menurun, dan harga pakan ayam meningkat. Turunnya harga ayam hidup disebabkan oleh ketersediaan ayam di peternak banyak. Agar tidak terjadi over supply banyak peternak yang menjual ayam tersebut dengan harga murah sehingga berpengaruh terhadap harga ayam di pasaran. Namun hal ini tidak membuat pengusaha untuk menyimpan ayam untuk dijual kembali pada waktu yang akan datang karena sifat ayam yang rentan terhadap suhu akan membuat ayam mati sehingga mekanisme yang digunakan adalah ayam langsung dipotong saat datang ke tempat pemotongan ayam. Walaupun ada penyimpanan dengan rentan waktu yang terjadi kurang dari sehari.
83
Fluktuasi harga input ayam hidup tidak mempengaruhi jumlah ayam yang dipotong oleh pengusaha pemotongan ayam. Kebanyakan pengusaha tetap akan memotong ayam dengan jumlah yang sama dengan hari-hari sebelumnya kecuali saat-saat tertentu pengusaha akan meningkatkan jumlah pemotongan terutama hari-hari besar keagamaan seperti : Munggahan, Hari Raya Idul Fitri, Idul Adha, dan Natal serta hari-hari tertentu seperti : sabtu dan minggu, dan awal bulan. Pengusaha akan menurunkan jumlah pemotongan saat harga ayam tinggi yang membuat jumlah pembeli sedikit, dan masuknya tahun ajaran baru bagi anak sekolah.
2. Faktor-faktor Mekanisme Pasar Usaha Pemotongan Ayam Fluktuasi harga output dipengaruhi oleh permintaan konsumen. Disaat permintaan menurun, pengusaha pemotongan ayam akan menurunkan harga jual sedikit lebih murah dari biasanya agar merangsang konsumen untuk membeli daging ayam. Sebaliknya jika permintaan meningkat maka pengusaha akan meningkatkan harga jual daging ayam dengan motif bahwa konsumen akan berani membayar lebih jika mereka sangat membutuhkan daging ayam. Permintaan konsumen terhadap daging ayam meningkat pada saat hari-hari besar keagamaan seperti : menjelang puasa (munggahan), Lebaran, dan idul Adha. Sementara permintaan konsumen menurun biasanya pada saat bulan Suro penanggalan Jawa dimana pada bulan ini menurut budaya Jawa dilarang melakukan semua aktifitas seperti hajatan, sunatan, bahkan membangun rumah. Selera konsumen saat ini terhadap daging ayam terus meningkat, hal ini dikarenakan daging ayam gampang didapat dan sudah dikenal masyarakat secara luas. Pengolahan ayam yang dapat dijadikan berbagai macam makanan serta harga yang cenderung dapat dijangkau semua lapisan membuat daging ayam terus menerus dicari oleh konsumen. Pertumbuhan penduduk juga berpengaruh terhadap permintaan konsumen terhadap daging ayam saat ini. Selain ayam, daging konsumsi lain yang terdapat di pasaran adalah daging sapi dan daging kambing. kedua jenis daging ini termasuk ke dalam faktor substitusi karena jika konsumen tidak mendapatkan daging ayam maka akan mengalihkan ke kedua jenis daging ini. Namun apapun yang terjadi dengan harga
84
daging sapi atau daging kambing seperti turunnya harga daging sapi tidak akan berpengaruh terhadap permintaan daging ayam. Hal ini dipengaruhi karena konsumen sudah terbiasa dengan mengkonsumsi daging ayam sehingga enggan untuk beralih ke daging lain. Secara umum daging ayam termasuk ke dalam jenis barang normal dimana konsumen akan meningkatkan jumlah pembelian jika pendapatan yang diperoleh meningkat dan begitu juga sebaliknya jika pendapatan menurun maka jumlah pembelian pun berkurang atau bahkan tidak sama sekali. Mekanisme yang terjadi terutama di pasar bisa juga dipengaruhi oleh banyaknya pesaing. Pengusaha yang memiliki usaha yang sama bisa bersaing dalam segala hal baik itu harga maupun kualitas. Namun kebanyakan pengusaha yang menjual daging ayam di pasar-pasar besar di bogor merupakan pengusaha yang berasal dari Sentra Usaha Pemotongan Ayam di Kelurahan Kebon Pedes sehingga kecil kemungkinan terjadinya persaingan harga. Harga yang terbentuk dilihat dari input berupa ayam hidup sehingga kebanyakan pengusaha menjual daging ayam dengan harga yang sama karena berasal dari supplier yang sama pula. Biasanya pengusaha memberikan harga yang sedikit lebih murah kepada pelanggan-pelanggan yang sudah sering membeli di tempat tersebut dengan maksud menjaga agar pelanggan tidak lari ke pengusaha lain. Konsep permintaan pasar terhadap daging ayam yang berfluktuatif tidak mempengaruhi para pengusaha dalam memotong ayam. Setiap harinya pengusaha akan memotong ayam dengan jumlah yang sama walaupun pada hari sebelumnya daging yang terjual telah habis. Pengusaha tidak berani mengambil risiko dengan menambah jumlah ayam yang dipotong karena tekstur karkas ayam yang rentan. Daging ayam yang sudah lama akan terlihat pucat dan mempengaruhi rasa daging itu sendiri sehingga jika ada daging ayam yang tidak laku dijual maka akan di simpan di dalam freezer agar tekstur ayam masih terlihat awet. Namun saat ini konsumen sudah sangat pintar sehingga bisa membedakan mana daging yang masih segar dan mana yang tidak. Kondisi berubah jika kebutuhan konsumen benar-benar meningkat seperti saat hari raya. Pengusaha akan kembali mencari ayam hidup di supplier dengan keyakinan ayam tersebut akan habis terjual serta keuntungan yang di dapat pun meningkat.
85
6.1.1 Penilaian Risiko Harga Ayam Usaha Pemotongan Skala Kecil Pada usaha pemotongan ayam skala kecil risiko pada harga input menunjukkan bahwa nilai Expected Price sebesar Rp 14.483 artinya bahwa harapan harga ayam broiler yang akan didapat pada periode yang akan datang sebesar Rp 14.483 (ceteris paribus). Sedangkan nilai Coefficient Variation pada harga input sebesar 0,08. Artinya setiap terjadi peningkatan harga ayam broiler sebesar Rp 1 maka pengusaha pemotongan akan menghadapi risiko sebesar Rp 0,08. Batas bawah harga yang akan diperoleh pengusaha pemotongan pada periode yang akan datang sebesar Rp 12.049 (ceteris paribus). Perbedaan perolehan nilai risiko terjadi juga pada harga output. Nilai Expected Price pada harga output sebesar Rp 60.450 yang artinya bahwa jumlah keseluruhan harga mulai dari karkas ayam sampai harga output lain yang akan terjadi pada periode yang akan datang sebesar Rp 60.450 (ceteris paribus). Nilai Coefficient Variation pada harga output sebesar 0,03. Artinya setiap peningkatan semua harga output sebesar Rp 1 maka akan risiko yang akan dihadapi pengusaha pemotongan sebesar Rp 1 (ceteris paribus). Nilai batas bawah menunjukkan harga Rp 56.853 artinya nilai terendah dari semua output pemotongan yang akan terbentuk pada masa yang akan datang sebesar Rp 56.853 (ceteris paribus). Nilai Coefficient Variation pada skala kecil dipengaruhi oleh harga yang didapatkan pengusaha skala kecil untuk ayam hidup. Pengusaha skala kecil membeli ayam hidup dari supplier, bukan dari peternak langsung karena pengusaha skala kecil membeli ayam dalam jumlah sedikit. Harga ayam hidup terendah yang diperoleh pengusaha skala kecil selama periode pengamatan adalah sebesar Rp 13.200 pada periode Januari 2010 sedangkan harga tertinggi diperoleh pada periode September sebesar Rp 16.800 yang bertepatan dengan bulan puasa dan Hari Raya Idul Fitri. Coefficent Variation untuk harga output sebesar 0,03 karena dipengaruhi harga input itu sendiri, namun harga output lainnya seperti ceker, kepala, ati ampela, jantung, dan usus ayam cenderung sama setiap periodenya. Permintaan masyarakat terhadap daging ayam yang meningkat menyebabkan pengusaha pemotongan berani untuk meningkatkan harga jual untuk mendapatkan keuntungan lebih besar terutama menjelang hari raya besar keagamaan dimana
86
permintaan terhadap daging ayam meningkat dan terlihat dari periode pengamatan pada bulan September harga karkas ayam tertinggi untuk skala kecil sebesar Rp 28.500. Namun setelah hari raya, permintaan daging ayam menurun sehingga pengusaha ikut menurunkan harga jual karkas untuk memicu minat masyarakat untuk membeli dan itu terlihat dari pengamatan bahwa harga jual karkas ayam pada periode Desember terendah sebesar Rp 23.000. Hasil perhitungan analisis harga skala kecil dapat dilihat pada Tabel 12.
Tabel 12. Hasil Penilaian Risiko Harga Usaha Pemotongan Ayam Skala Kecil Selama Periode Pengamatan (September – Februari 2010) Risiko Harga No Ukuran Risiko Harga Input Harga Output 1
Expected Price
2
Variance
3
Standar Deviation
4
Coefficient Variation
5
Batas Bawah Harga
14.483
60.450
1.481.667
3.243.000
1.217
1.798
0,08
0,03
12.049
56.853
6.1.2 Penilaian Risiko Harga Ayam Usaha Pemotongan Skala Sedang Hasil perhitungan risiko harga input menunjukkan bahwa nilai Expected Price skala usaha sedang sebesar Rp 12.750 artinya bahwa harga ayam broiler yang diharapkan pengusaha skala sedang pada periode yang akan datang sebesar Rp 12.750 (ceteris paribus). Nilai Coefficient Variation menunjukkan harga sebesar 0,13 menunjukkan bahwa setiap terjadi peningkatan harga ayam broiler dari peternak sebesar Rp 1 maka pengusaha pemotongan akan menghadapi risiko sebesar Rp 0.13 (ceteris paribus). Nilai batas bawah harga input yang diperoleh pengusaha skala sedang sebesar Rp 9.494. Nilai tersebut menunjukkan bahwa kemungkinan harga input terendah yang akan dihadapi pengusaha skala sedang setiap periodenya pada masa yang akan datang adalah sebesar Rp 9.494 (ceteris paribus). Nilai Expected Price pada harga output skala sedang Usaha Pemotongan Skala sedang sebesar Rp 59.767. Nilai ini menggambarkan bahwa harga yang diharapkan dapat diperoleh pengusaha skala sedang setiap periodenya pada masa yang akan datang adalah sebesar Rp 59.767 (ceteris paribus). Coefficient 87
Variation diukur dari rasio Standard Deviation dengan Expected Price yang dihasilkan. Nilai Coefficient Variation pada harga output adalah 0,03 menunjukkan bahwa risiko yang ditanggung pengusaha sebesar Rp 0.03 dari setiap Rp 1 peningkatan harga yang terjadi pada skala sedang usaha pemotongan. Nilai Coefficient Variation skala sedang untuk harga input besar dikarenakan pengusaha skala sedang membeli input berupa ayam hidup dari peternak sehingga harga yang didapatkan cenderung lebih murah jika dibandingkan skala kecil walaupun pengusaha pemotongan membeli ayam dalam jumlah banyak. Selain untuk usaha pemotongan, ayam hidup juga dijual kembali kepada skala kecil untuk menambah penghasilannya selain dari usaha pemotongan itu sendiri. Harga ayam hidup terendah yang didapatkan pengusaha skala sedang sebesar Rp 11.200 pada periode Januari 2010. Harga ayam hidup yang rendah ini bisa disebabkan oleh banyaknya ketersediaan ayam hidup di peternak sehingga untuk menjaga over supply peternak banyak menjual ayam hidup dengan harga murah. Sedangkan harga tertinggi ayam hidup pada periode September sebesar Rp 15.900. Hal ini dikarenakan bahwa banyak peternak musiman berspekulasi untuk meningkatkan keuntungan sebesar-besarnya karena pada periode ini terdapat Hari Raya Idul Fitri dimana permintaan masyarakat terhadap daging ayam meningkat. Harga output berupa karkas ayam pada skala usaha sedang mengikuti harga input dan juga dipengaruhi oleh biaya produksi seperti biaya tenaga kerja, pemanas, listrik, air, dan biaya lain-lain. Pengusaha skala sedang memiliki tempat pemotongan sendiri sehingga pembentukan harga output dipengaruhi juga oleh biaya produksi. Teknologi dalam hal proses pemotongan sedikit mempengaruhi dalam hal harga jual tersebut karena dengan teknologi proses pemotongan menjadi cepat walaupun tidak terlalu canggih. Harga karkas ayam terendah untuk skala sedang terjadi pada periode Januari 2010 sebesar Rp 22.800 sedangkan tertinggi terjadi pada periode September sebesar Rp 27.500. Hasil perhitungan analisis harga skala sedang dapat dilihat pada Tabel 13.
88
Tabel 13. Hasil Penilaian Risiko Harga Usaha Pemotongan Ayam Skala Sedang Selama Periode Pengamatan (September – Februari 2010) Risiko Harga No Ukuran Risiko Harga Input Harga Output 1
Expected Price
12.750
59.767
2
Variance
2.651.000
2.458.667
3
Standar Deviation
1.628
1.568
4
Coefficient Variation
0,13
0,03
5
Batas Bawah Harga
9.494
56.631
6.1.3 Penilaian Risiko Harga Ayam Usaha Pemotongan Skala Besar Hasil penilaian risiko harga input pada skala besar Usaha Pemotongan Ayam di Kelurahan Kebon Pedes untuk nilai Expected Price sebesar Rp 12.483. Nilai ini menggambarkan harapan harga ayam broiler yang akan diperoleh pengusaha skala besar pada periode yang akan datang sebesar Rp 12.483 (ceteris paribus). Sedangkan nilai Coefficient Variation pada harga input sebesar 0,12. Artinya setiap terjadi peningkatan harga ayam broiler sebesar Rp 1 maka pengusaha pemotongan akan menghadapi risiko sebesar Rp 0.12. Batas bawah harga yang akan diperoleh pengusaha pemotongan pada periode yang akan datang sebesar Rp 9.397 (ceteris paribus). Nilai Expected Price pada harga output diperoleh nilai sebesar Rp 59.283 yang artinya bahwa jumlah keseluruhan harga output pemotongan ayam yang akan terbentuk pada masa yang akan datang sebesar Rp 59.283 (ceteris paribus). Sedangkan untuk nilai Coefficient Variation sebesar 0,02. Artinya setiap peningkatan harga output pemotongan sebesar Rp 1 maka pengusaha skala besar akan menghadapi risiko sebesar Rp 0,02. Nilai batas bawah harga menunjukkan nilai nominal harga terendah yang mungkin terbentuk oleh pengusaha pemotongan skala besar dan diperoleh nilai sebesar Rp 56.631. Nilai tersebut menunjukkan bahwa kemungkinan harga terendah yang didapat pada masa yang akan datang sebesar Rp 56.631 (ceteris paribus). Hasil perhitungan analisis harga skala besar dapat dilihat pada Tabel 14. Nilai Coefficient Variation pada skala besar cenderung kecil karena fluktuasi yang terjadi pada periode pengamatan kecil. Harga input yang didapatkan dari peternak kecil jika dibandingkan dengan usaha sedang. Pengusaha 89
skala besar membeli ayam dalam jumlah besar sehingga peternak memberikan harga lebih murah karena selain untuk dipotong, ayam hidup tersebut dijual kembali kepada pengusaha skala kecil untuk menambah penghasilannya. Harga ayam hidup terendah yang didapatkan pengusaha skala besar yaitu Rp 10.800 pada periode Januari 2010 sedangkan tertinggi pada periode September sebesar Rp 15.400. Pada harga output pengusaha skala besar sudah sangat lama menjalankan usaha pemotongan ayam sehingga pelanggan yang dimiliki pun banyak. Pengusaha skala besar berani bersaing dalam hal penentuan harga jual output berupa karkas ayam walaupun penentuan harga karkas dipengaruhi juga oleh biaya produksi seperti biaya tenaga kerja, pemanas, listrik, air, dan biaya lain-lain. Fluktuasi yang terjadi pada harga output kecil sehingga Coefficient Variation dari hasil perhitungan sebesar 0,02. Harga karkas ayam tertinggi sebesar Rp 26.500 pada periode September sedangkan terendah pada periode Januari 2010 sebesar Rp 22.500.
Tabel 14. Hasil Penilaian Risiko Harga Usaha Pemotongan Ayam Skala Besar Selama Periode Pengamatan (September – Februari 2010) No
6.2
Ukuran Risiko
Risiko Harga Harga Input 12.483
Harga Output 59.283
2.353.667
1.637.667
1.543
1.280
1
Expected Price
2
Variance
3
Standar Deviation
4
Coefficient Variation
0,12
0,02
5
Batas Bawah Harga
9.397
56.724
Identifikasi Risiko Penjualan Pengusaha pemotongan ayam di Kelurahan Kebon Pedes di bagi ke dalam
berbagai macam skala pemotongan mulai dari skala kecil dengan intensitas pemotongan sedikit hingga skala besar dengan intensitas pemotongan banyak. Banyaknya intensitas pemotongan yang dilakukan mempengaruhi tingkat penjualan pengusaha pemotongan itu sendiri sehingga setiap periodenya akan mengalami fluktuasi penjualan. Penjualan yang dilakukan oleh pengusaha skala kecil cenderung sedikit karena kebanyakan pengusaha terkendala oleh masalah 90
modal. Untuk membeli ayam hidup dalam jumlah besar dibutuhkan biaya yang cukup besar sehingga kebanyakan pengusaha hanya mendapatkan keuntungan yang sedikit karena ketidakmampuan membeli ayam hidup dalam jumlah besar. Berbeda dengan skala sedang dan skala besar dimana pelaku usahanya sudah memiliki cukup modal untuk membeli ayam hidup di peternak dalam jumlah banyak dan juga memiliki kepastian penjualan karena para pengusaha sudah memiliki langganannya sendiri untuk menjual karkas ayam. Selain itu, permintaan masyarakat terhadap daging ayam sulit diprediksi karena karena banyak dipengaruhi beberapa hal seperti : Hari Raya, selera konsumen, faktor barang substitusi, dll. Faktor lain yang mempengaruhi fluktuasi penjualan adalah berat ayam hidup dari peternak. Proses produksi berupa pemotongan ayam mengalami beberapa tahapan-tahapan yang membuat berat ayam menyusut dikarenakan proses produksi itu sendiri. Kebanyakan pengusaha pemotongan ayam menginginkan berat ayam yang tidak kecil dan juga tidak besar yaitu dengan berat ayam hidup sekitar 1,3 Kg sampai 1,5 Kg per ekor. Dengan perkiraan penyusutan pemotongan sebesar 0,3 Kg sampai 0,4 Kg per ekor maka karkas ayam yang dihasilkan idealnya adalah dengan berat kurang lebih 1 Kg per ekor.
6.2.1 Penilaian Risiko Penjualan Ayam Usaha Pemotongan Skala Kecil Pengusaha pemotongan ayam skala kecil di Kelurahan Kebon Pedes berjumlah 28 orang dengan intensitas pemotongan perhari berkisar dari 17 sampai 628 ekor per hari. Banyaknya jumlah pengusaha skala kecil mempengaruhi tingkat penjualan dari karkas ayam dan penjualan lainnya seperti : ceker, kepala, ati ampela, jantung, dan usus ayam. Hasil perhitungan analisis penjualan skala kecil dapat dilihat pada Tabel 15. Berdasarkan hasil perhitungan risiko penjualan dapat dilihat bahwa perkiraan penjualan pengusaha skala kecil dilihat dari Expected Sell sebesar 2.628 Kg. Artinya perkiraan penjualan pengusaha skala kecil setiap periodenya pada masa yang akan datang sebesar 2.628 Kg (ceteris paribus). Perhitungan nilai Coefficient Variation usaha pemotongan ayam skala kecil di Kelurahan Kebon Pedes menunjukkan nilai 0,32. Artinya bahwa risiko yang dihadapi pengusaha
91
untuk setiap 1 Kg penjualan akan mengalami risiko sebanyak 0,32 Kg. Dari perhitungan diatas dapat dilihat bahwa batas minimal penjualan pengusaha skala kecil setiap periodenya pada masa yang akan datang sebesar 949,49 Kg (ceteris paribus).
Tabel 15. Hasil Penilaian Risiko Penjualan Usaha Pemotongan Ayam Skala Kecil Selama Periode Pengamatan (September – Februari 2010) No Ukuran Risiko Skala Kecil 1
Expected Sell
2
Variance
3
Standar Deviation
4
Coefficient Variation
5
Batas Bawah Penjualan
2.628 704.406 839,29 0,32 949,49
Tingkat penjualan pada skala kecil dipengaruhi oleh hari-hari besar keagamaan sehingga mempengaruhi penjualan karkas ayam ceker, kepala, ati ampela, jantung, dan usus ayam pada skala kecil itu sendiri. Nilai Coefficient Variation yang dihasilkan pun besar yaitu 0,32. Hal ini dapat dilihat dari intensitas penjualan tertinggi yang terjadi pada periode September dengan berat rata-rata secara keseluruhan sebesar 4.206,6 Kg karena pada periode ini terdapat munggahan serta Hari Raya Idul Fitri. Intensitas pemotongan terkecil selama periode pengamatan terjadi pada periode November dengan jumlah berat keseluruhan sebesar 2.011,7 Kg karena pada periode ini adalah dua bulan setelah Hari Raya Idul Fitri dimana permintaan terhadap daging ayam kembali menurun.
6.2.2 Penilaian Risiko Penjualan Ayam Usaha Pemotongan Skala Sedang Pengusaha skala sedang pada Usaha Pemotongan Ayam ini berjumlah tujuh orang dengan intensitas pemotongan per harinya sebanyak 679-1.339 ekor. Penjualan yang dilakukan pengusaha skala sedang perharinya cukup banyak sementara jumlah pengusaha yang sedikit. Nilai Expected Sell Usaha Pemotongan Ayam skala sedang menunjukkan nilai sebesar 6.526,4 Kg. Artinya bahwa perkiraan penjualan yang dilakukan pengusaha skala sedang setiap periodenya pada masa yang akan datang sebesar
92
6.526,4 Kg (ceteris paribus). Coefficient Variation yang diperoleh pada skala sedang menunjukkan nilai 0,31 artinya bahwa setiap 1 Kg penjualan yang dilakukan pengusaha skala sedang akan menghasilkan risiko sebesar 0,31. Batas Bawah Penjualan pengusaha skala sedang adalah sebesar 2.452,9 Kg yaitu batas nominal penjualan terendah yang akan dilakukan pengusaha skala sedang pada periodenya pada masa yang akan datang sebesar 2.452,9 Kg (ceteris paribus). Hasil perhitungan analisis penjualan skala sedang dapat dilihat pada Tabel 16.
Tabel 16. Hasil Penilaian Risiko Penjualan Usaha Pemotongan Ayam Skala Sedang Selama Periode Pengamatan (September – Februari 2010) No Ukuran Risiko Skala Sedang 1
Expected Sell
2
Variance
3
Standar Deviation
4
Coefficient Variation
5
Batas Bawah Penjualan
6.526,4 4.148.490 2.036,8 0,31 2.452,9
Fluktuasi penjualan pada Usaha Pemotongan Ayam skala sedang sangat besar jika dibandingkan dengan skala kecil. Dapat dilihat pada Tabel 9 bahwa terjadi penurunan penjualan sangat besar antara periode September dan Oktober dari menjadi 5.769 Kg dari sebelumnya sebesar 10.512 Kg. Namun pada akhir pengamatan pada periode Februari 2010 kembali meningkat menjadi 6.535 Kg sehingga nilai Coefficient Variation pun besar yaitu 0,31. Pada periode September intensitas penjualan tertinggi karena bertepatan dengan bulan puasa dan Idul Fitri sedangkan intensitas penjualan terendah pada periode Desember karena pada bulan ini permintaan masyarakat terhadap ayam, ceker, kepala, ati ampela, jantung, dan usus ayam mengalami penurunan.
6.2.3 Penilaian Risiko Penjualan Ayam Usaha Pemotongan Skala Besar Pengusaha skala besar pada Usaha Pemotongan Ayam ini berjumlah tiga orang dengan intensitas pemotongan per harinya sebanyak 1.340-2.000 ekor perhari. Perhitungan analisis penjualan skala besar dapat dilihat pada Tabel 17.
93
Tabel 17. Hasil Penilaian Risiko Penjualan Usaha Pemotongan Ayam Skala Besar Selama Periode Pengamatan (September – Februari 2010) Skala Besar No Ukuran Risiko 1
Expected Sell
2
Variance
3
Standar Deviation
4
Coefficient Variation
5
Batas Bawah Penjualan
15.559,4 15.467.332 3.932,9 0,25 7.693,7
Berdasarkan hasil perhitungan risiko penjualan dapat dilihat bahwa perkiraan penjualan pengusaha skala besar dilihat dari Expected Sell sebesar 15.559,4 Kg. Artinya perkiraan penjualan pengusaha skala kecil setiap periodenya pada masa yang akan datang sebesar 15.559,4 Kg (ceteris paribus). Perhitungan nilai Coefficient Variation usaha pemotongan ayam skala besar di Kelurahan Kebon Pedes menunjukkan nilai 0,25. Artinya bahwa risiko yang dihadapi pengusaha untuk setiap 1 Kg penjualan akan mengalami risiko sebanyak 0,25 Kg. Dari perhitungan diatas dapat dilihat bahwa batas minimal penjualan pengusaha skala besar setiap periodenya pada masa yang akan datang sebesar 7.693,7 Kg (ceteris paribus). Walaupun jumlah pengusaha pemotongan skala besar hanya tiga orang namun intensitas pemotongan yang dilakukan perharinya sangat banyak sehingga nilai Coefficient Variation yang dihasilkan besar yaitu 0,25. Pengusaha skala besar melakukan pemotongan dalam jumlah besar untuk memenuhi permintaan pelanggannya yang kebanyakan adalah pengusaha makanan seperti Restoran dan Rumah Makan. Selain itu, pengusaha skala besar juga melakukan pemotongan dalam jumlah banyak terutama pada hari besar keagamaan seperti saat Idul Fitri. Intensitas penjualan terbesar pada skala besar terjadi pada periode September sebesar 22.994 Kg. Namun jumlah penjualan terkecil pada skala besar usaha pemotongan ayam terjadi pada periode Desember sebesar 11.580,4 Kg.
94
6.3
Analisis Pendapatan Ayam Usaha Pemotongan Skala Kecil Perhitungan analisis pendapatan ayam di usaha pemotongan skala kecil
adalah dengan mengunakan aspek biaya serta penerimaan pada usaha pemotongan ayam skala kecil.
6.3.1 Biaya Pengusaha pemotongan ayam yang berskala kecil dalam satu hari melakukan aktifitas pemotongan berkisar dari 17 sampai 628 ekor per hari. Upaya mitigasi risiko yang dilakukan oleh pengusaha pemotongan ayam yang berskala kecil adalah melakukan pemotongan setiap hari sehingga fluktuasi pendapatan yang terjadi setiap hari dapat diketahui sehingga seharusnya dapat memprediksi pendapatannya. Berfluktuatifnya harga sarana produksi pemotongan seperti harga ayam hidup yang banyak dipengaruhi oleh ketersediaan ayam hidup di supplier, permintaan masyarakat yang sulit diprediksi dan hanya dipengaruhi oleh hari-hari tertentu dapat menyebabkan berfluktuatifnya harga jual sehingga menyebabkan pendapatan pengusaha pemotongan pun ikut berfluktuatif. Berikut fluktuasi biaya produksi yang terjadi selama pengamatan di Sentra Usaha Pemotongan Ayam skala kecil pada Tabel 18. Harga ayam hidup tertinggi terjadi pada periode September karena pada periode ini harga ayam hidup per kilogram sebesar Rp 16.800. Tingginya harga ayam hidup pada periode ini karena periode ini merupakan Bulan Ramadhan sehingga supplier berspekulasi dengan meningkatkan harga jual ayam mengingat pengalaman-pengalaman sebelumnya pada Bulan Ramadhan konsumsi ayam meningkat. Berat rata-rata ayam hidup pun mencapai angka ideal dengan berat rata-rata sekitar 1,5 kg per ekor sehingga jumlah pemotongan pengusaha skala kecil pada periode ini sebesar 3.661,2 Kg. Kontribusi harga ayam hidup terendah terjadi pada periode Januari 2010 sebesar Rp 13.200. Hal ini dikarenakan ketersediaan ayam di supplier meningkat dari periode sebelumnya sehingga menyebabkan harga ayam hidup menjadi murah.
95
Tabel 18.
Biaya Produksi Usaha Pemotongan Ayam Skala Kecil di Sentra Usaha Pemotongan Ayam Kelurahan Kebon Pedes Selama Periode Pengamatan (September – Februari 2010) Biaya Produksi (Rp./Periode)
Periode
Jumlah Ekor
Berat Ayam Hidup
Berat ratarata
Harga Ayam Hidup
Tenaga Kerja
Air
Listrik
Pemanas
Lain-lain
Total Biaya (Rp./Periode)
September
3.661
5.491,8
1,5
92.261.700
37.076.786
2.150.000
4.250.000
34.500.000
17.000.000
187.238.486
Oktober
2.228
2.673,1
1,2
37.958.426
19.772.231
990.000
2.545.000
19.440.000
17.000.000
97.705.657
November
2.189
2.626,2
1,2
38.080.521
19.813.743
1.005.000
2.560.000
19.490.000
17.000.000
97.949.264
Desember
2.193
3.070,4
1,4
42.984.900
19.772.416
995.000
2.540.000
19.390.000
17.000.000
102.682.316
Januari 2010
2.245
2.918
1,3
38.517.459
19.784.653
1.000.000
2.550.000
19.340.000
17.000.000
98.192.112
Februari 2010
2.239
3.805,9
1,7
54.043.425
19.772.836
1.010.000
2.555.000
19.540.000
17.000.000
113.921.261
413.106
20.585.4
303.846.431
135.992.665
7.150.000
17.000.000
131.700.000
102.000.000
697.689.096
Total
Pengeluaran terbesar untuk tenaga kerja terjadi pada periode September karena pada periode ini intensitas pemotongan meningkat hampir dua kali lipat dari periode pengamatan lainnya dan pengeluaran terendah biaya tenaga kerja terjadi pada periode Oktober karena pada periode ini intensitas pemotongan menurun dibanding periode sebelumnya. Perhitungan biaya tenaga kerja pada usaha pemotongan skala kecil adalah perkalian antara satu keranjang ayam yang berisi kurang lebih 17 ekor dikalikan upah pemotongan sebesar Rp 5000 sehingga banyaknya ayam yang dipotong mempengaruhi biaya tenaga kerja. Pengeluaran biaya untuk pemanas, listrik, dan air tidak dibebankan kepada pemotong yang tidak mempunyai tempat untuk pemotongan karena pengusaha tersebut sudah membayar upah pemotongan kepada para pekerja namun beban biaya ini dibebankan kepada pengusaha yang mempunyai tempat pemotongan sendiri. Bahan bakar pemanas yang digunakan adalah gas tabung karena minyak tanah yang biasa digunakan sudah jarang beredar dan juga harganya mahal. Pengeluaran tertinggi bahan bakar pemanas terjadi pada periode September karena intensitas pemotongan yang meningkat. Pengeluaran lain-lain seperti biaya transportasi, biaya sewa tempat di pasar, dan retribusi pemotongan relatif stabil selama enam periode. Besar kontribusi masing-masing biaya dapat dilihat pada Tabel 19 berikut.
Tabel 19.
Kontribusi Biaya Produksi Usaha Pemotongan Ayam Skala Kecil di Sentra Usaha Pemotongan Ayam Kelurahan Kebon Pedes Selama Periode Pengamatan (September – Februari 2010) Kontribusi Biaya (%)
Periode
Ayam Hidup
Tenaga Kerja
Air
Listrik
Pemanas
Lain-lain
Total Biaya
September
49,27
19,8
1,15
2,27
18,43
9,08
100
Oktober
38,85
20,24
1,01
2,6
19,9
17,4
100
November
38,87
20,23
1,03
2,61
19,9
17,36
100
Desember
41,85
19,26
0,97
2,47
18,89
16,56
100
Januari 2010
39,22
20,15
1,02
2,6
19,7
17,31
100
Februari 2010
47,44
17,36
0,89
2,24
17,15
14,92
100
Rata-rata
42,58
16,20
1,01
2,46
18,99
15,44
100
Kontribusi biaya rata-rata selama enam periode pengamatan menunjukkan bahwa kontribusi biaya ayam hidup terhadap biaya produksi rata-rata mencapai 42,58 persen diikuti oleh biaya pemanas 18,99 persen, biaya tenaga kerja 16,20 persen, biaya lain-lain sebesar 15,44 persen, biaya listrik 2,46 persen, dan biaya air 1,01 persen.
6.3.2 Penerimaan Penerimaan penjualan pada usaha pemotongan ayam skala kecil berfluktuatif setiap periodenya, hal ini disebabkan berfluktuatifnya harga ayam hidup dan harga jual serta mekanisme pasar yang sulit diprediksi. Penerimaan usaha pemotongan skala kecil terdiri dari penerimaan penjualan yang didapat dari perkalian antara berat karkas ayam dengan harga jual serta penerimaan lain yang terdiri dari ceker, kepala, ati ampela, jantung, dan usus ayam. Pada periode September, penjualan daging ayam tertinggi diantara semua periode karena permintaan masyarakat terhadap daging ayam meningkat mencapai dua kali lipat, penerimaan lain pun mengalami hal yang sama sehingga pada periode ini merupakan penerimaan terbesar diantara periode lainnya. Rata-rata harga karkas ayam sangat berfluktuasi, harga karkas tertinggi pada periode September sebesar Rp 28.500 dan terendah pada periode Desember sebesar Rp 23.000, hal ini disebabkan permintaan masyarakat menurun sementara ayam yang beredar di pasaran meningkat. Penerimaan tertinggi terjadi pada periode September, hal ini dikarenakan permintaan masyarakat yang meningkat hingga mencapai dua kali lipat, harga jual yang baik serta berat badan rata-rata ayam cukup besar. Adapun penerimaan terendah terjadi pada periode Februari 2010.
98
Tabel 20. Penerimaan Usaha Pemotongan Ayam Skala Kecil di Sentra Usaha Pemotongan Ayam Kelurahan Kebon Pedes Selama Periode Pengamatan (September – Februari 2010) Penerimaan Usaha Ayam (Rp/Bulan)
Periode Daging Ayam
Ceker Ayam
Kepala Ayam
Ati Ampela Ayam
Jantung Ayam
Usus Ayam
Jumlah Penerimaan (Rp)
September
109.560.769
922.617
345.981
5.491.768
65.901
1.383.926
117.770.962
Oktober
47.153.988
533.289
156.378
2.673.129
32.078
697.687
51.246.548
November
45.407.739
496.360
153.635
2.626.243
31.515
671.268
49.386.760
Desember
49.432.635
612.535
165.799
3.070.350
36.844
773.728
54.091.891
Januari 2010
48.613.702
612.778
157.571
2.917.989
35.016
761.595
53.098.651
Februari 2010
65.270.756
879.157
239.770
2.686.500
45.671
959.081
70.080.935
Total
365.439.589
4.056.736
1.219.135
19.465.979
247.024
5247.284
395.675.746
6.3.3 Analisis Keuntungan Dalam menjalankan suatu usaha, nilai rasio penerimaan dan biaya dihitung agar dapat mengetahui apakah usaha tersebut layak dijalankan atau tidak karena dalam perhitungan ini dapat disimpulkan bahwa apabila R/C lebih besar dari 1 itu artinya usaha ini layak untuk dijalankan dan begitu juga sebaliknya apabila R/C kurang dari satu maka usaha ini tidak layak untuk dijalankan karena biaya yang dikeluarkan lebih besar daripada pendapatan. Adapun R/C usaha pemotongan ayam skala kecil di Kelurahan Kebon Pedes dapat dilihat dalam Tabel 15.
Tabel 21. Pendapatan Usaha Pemotongan Ayam Skala Kecil di Sentra Usaha Pemotongan Ayam Kelurahan Kebon Pedes Selama Periode Pengamatan (September – Februari 2010) Pendapatan Usaha Pemotongan Ayam (Rp/Bulan) Periode
Jumlah Penerimaan (Rp)
Total Biaya (Rp./Periode)
Jumlah Pendapatan (Rp)
R/C Rasio
September
117.770.962
187.238.486
-69.467.524
0,63
Oktober
51.246.548
97.705.657
-46.459.109
0,52
November
49.386.760
97.949.264
-48.562.505
0,50
Desember
54.091.891
102.682.316
-48.590.425
0,53
Januari 2010
53.098.651
98.192.112
-45.093.461
0,54
Februari 2010
70.080.935
113.921.261
-43.840.327
0,62
Rata-rata
65.945.958
116.281.516
-50.335.558
0,56
Usaha pemotongan skala kecil dalam menjalankan usahanya selalu bernilai negatif, artinya bahwa pendapatan usaha ini lebih kecil daripada biaya yang dikeluarkan sehingga dapat disimpulkan bahwa usaha pemotongan ayam ini berpotensi mengalami kerugian setiap periodenya. pengusaha skala kecil tidak sanggup dalam pengadaan modal untuk meningkatkan penjualan ayam sementara harga ayam sangat mahal pada tingkat pengusaha skala kecil yang menyebabkan kerugian di setiap periodenya.
6.3.4 Penilaian Risiko Pendapatan Ayam Usaha Pemotongan Skala Kecil Penilaian risiko pendapatan yang dilakukan pada usaha pemotongan ayam skala kecil merupakan penilaian terhadap kegiatan pemotongan. Penilaian dilakukan hanya pada satu jenis kegiatan saja, karena pada usaha skala kecil
kegiatan yang dilakukan sebagian besar hanya pemotongan ayam. Penilaian risiko harga dapat dihitung menggunakan Variance, Standard Deviation, dan Coefficient Variation. Dalam kajian ini ditambahkan pula nilai batas bawah pendapatan untuk mengetahui nilai nominal pendapatan terendah yang mungkin diterima oleh pengusaha pemotongan ayam. Perhitungan risiko menggunakan data berdasarkan tingkat keuntungan yang diperoleh pengusaha pemotongan ayam skala kecil setiap periodenya yaitu data berdasarkan frekuensi terjadinya peristiwa pada waktu tertentu yang dianalisis dimana kejadian tersebut pernah dialami dan sudah berlangsung selama menjalankan kegiatan usaha pada setiap periode. Penilaian risiko dilakukan dengan mengukur nilai penyimpangan yang terjadi. Menurut Elton dan Gruber (1995), terdapat beberapa ukuran risiko diantaranya adalah nilai varian (variance), standar deviasi (standart deviation), dan koefisien variasi (coefficient variation). Ketiga ukuran tersebut berkaitan satu sama lain dan nilai variance sebagai penentu ukuran yang lainnya. Seperti misalnya standart deviation merupakan akar kuadrat dari variance sedangkan coefficient variation merupakan rasio dari standart deviation dengan nilai ekspektasi return dari aset usaha pemotongan ayam. Return yang diperoleh adalah pendapatan pengusaha pemotongan ayam. Hasil penilaian risiko pendapatan usaha pemotongan ayam skala kecil di Kelurahan Kebon Pedes dapat dilihat pada Tabel 22 dan untuk perhitungannya dapat dilihat pada Lampiran 1.
Tabel 22. Hasil Penilaian Risiko Pendapatan Usaha Pemotongan Ayam Skala Kecil Selama Periode Pengamatan (September – Februari 2010) No. Ukuran Nilai 1 Expected Return -50.335.528 2 Variance 91.383.160.191.761 3 Standar Deviation 9.559,5 4 Coefficient Variation -0,18 5
Batas Bawah Pendapatan
-69.454.466
Penilaian risiko pendapatan pemotongan ayam skala kecil berdasarkan nilai coefficient variation diperoleh hasil sebesar -0,18. Artinya, untuk setiap Rp 1 return yang diterima pengusaha akan menghasilkan risiko sebesar Rp 0.18. Nilai 101
Coefficient Variation yang lebih kecil dari 0,5 menunjukkan bahwa usaha pemotongan ayam skala kecil akan menghadapi peluang untung pada setiap periode pada masa yang akan datang (ceteris paribus). Setiap kegiatan usaha diharapkan dapat memberikan keuntungan bagi pelaku usaha, dimana secara ekonomi keuntungan dapat diharapkan adalah berupa pendapatan usaha. Seperti halnya pada usaha pemotongan ayam skala kecil, pengusaha mengharapkan adanya umpan balik dari kegiatan pemotongan ayam yang diusahakan. Sebagai pelaku usaha, pengusaha mengharapkan umpan balik yang positif, yaitu adanya keuntungan berupa pendapatan yang dihasilkan dari usaha pemotongan ayam tersebut. Dalam melakukan penilaian risiko di usaha pemotongan ayam skala kecil dapat diukur besarnya pendapatan yang diharapkan dari kegiatan pemotongan ayam. Besarnya pendapatan yang diharapkan dapat dilihat dari nilai expected return yang diperoleh. Expected return atau hasil yang diharapkan merupakan perolehan yang diperkirakan akan didapatkan kembali dari rata-rata pendapatan bersih dari seluruh periode pengamatan selama enam bulan pengusaha pemotongan ayam skala kecil. Berdasarkan hasil penilaian risiko harga pada kegiatan pemotongan ayam skala kecil diperoleh nilai Expected Return sebesar Rp -50.335.528. Nilai ini menggambarkan bahwa pendapatan bersih yang diharapkan diperoleh pengusaha skala kecil setiap periode di masa yang akan datang adalah sebesar Rp 50.335.528 (ceteris paribus) Dengan mengetahui harapan pendapatan yang diperkirakan akan didapatkan kembali dari kegiatan pemotongan ayam pada skala kecil berdasarkan perhitungan risiko, maka hal ini dapat digunakan sebagai pertimbangan untuk kelanjutan usaha ataupun sebagai perencanaan untuk menentukan langkah yang akan diambil dalam perkembangan usaha pemotongan ayam skala kecil. Adanya risiko yang dialami dalam menjalankan kegiatan pemotongan ayam menimbulkan kerugian bagi pihak pengusaha. Kerugian tersebut akan berpengaruh terhadap intensitas penjualan, karena risiko yang ada menyebabkan tidak adanya kepastian permintaan akibat dari fluktuasi ayam hidup dan juga pengaruh dari selera masyarakat itu sendiri.
102
6.4
Analisis Pendapatan Usaha Pemotongan Ayam Skala Sedang Perhitungan analisis pendapatan ayam di usaha pemotongan skala sedang
adalah dengan mengunakan aspek biaya serta penerimaan pada usaha pemotongan ayam skala sedang.
6.4.1 Biaya Pengusaha pemotongan ayam skala sedang di Sentra Usaha Pemotongan Ayam Kebon Pedes berjumlah sekitar tujuh orang dengan kapasitas pemotongan berkisar dari 679 sampai 1.339 ekor per hari. Pengusaha skala sedang sudah memiliki tempat pemotongan sendiri sehingga dapat menekan biaya produksi. Selain itu, intensitas pemotongan lebih banyak dari pengusaha skala kecil dan juga kemudahan untuk mendapatkan supply ayam hidup karena pengusaha skala sedang langsung membeli ayam hidup di peternak sehingga harga beli lebih rendah dari pengusaha skala kecil. Biaya produksi yang terjadi selama periode pengamatan di Sentra Usaha Pemotongan Ayam Kebon skala sedang dapat dilihat pada Tabel 23. Pada umumnya harga ayam hidup yang di beli pengusaha skala sedang tidak jauh berbeda dengan pengusaha skala kecil, hanya saja sedikit lebih murah karena pengusaha skala sedang membeli langsung dari peternak. Berbeda dengan pengusaha skala kecil yang tidak dibebankan biaya tenaga kerja, pada usaha pemotongan skala sedang pengusaha dibebankan biaya tenaga kerja cukup besar bahkan pada periode September mencapai Rp 196.000.000. Tingginya biaya tenaga kerja disebabkan intensitas pemotongan ayam pada periode ini sangat tinggi karena permintaan masyarakat pada bulan Ramadhan meningkat sehingga terkadang pegawai pemotongan bekerja lembur untuk terus melakukan pemotongan ayam. Selain itu dalam usaha pemotongan skala sedang, pegawai mendapatkan uang makan dan uang rokok berkisar Rp 11.500 per hari.
103
Tabel 23. Biaya Produksi Usaha Pemotongan Ayam Skala Sedang di Sentra Usaha Pemotongan Ayam Kelurahan Kebon Pedes Selama Periode Pengamatan (September – Februari 2010) Biaya Produksi (Rp./Periode) Periode
jumlah ekor
berat ayam hidup
berat rata2
Harga Ayam Hidup
Tenaga Kerja
Air
Listrik
Pemanas
Lain-lain
Total Biaya (Rp./Periode)
September
8.072
8.072,4
1,7
218.197.744
196.000.000
10.500.000
22.500.000
130.500.000
111.500.000
689.197.744
Oktober
5.379
5.379,1
1,4
91.875.760
98.000.000
7.000.000
13.000.000
66.000.000
95.000.000
370.875.760
November
5.332
5.332
1,5
99.975.000
100.000.000
7.300.000
13.500.000
68.000.000
95.000.000
383.775.000
Desember
5.313
5.313
1,2
76.507.200
99.000.000
7.200.000
13.200.000
66.000.000
95.000.000
356.907.200
Januari 2010
5.355
5.355
1,3
77.968.800
98.500.000
7.250.000
13.300.000
68.500.000
95.000.000
360.518.800
Februari 2010
5.332
5.332,4
1,6
108.354.949
98.000.000
7.000.000
13.000.000
66.000.000
95.000.000
387.354.949
672.879.453
689.500.000
46.250.000
88.500.000
465.000.000
586.500.000
2.548.629.453
Total
51.120,9
Pengeluaran untuk air relatif kecil karena ada sebagian pengusaha yang menggunakan air sumur untuk keperluan pemotongan dan juga untuk membersihkan tempat setelah selesai melakukan pemotongan. Biaya listrik cenderung stabil dalam beberapa periode. Pengeluaran untuk pemanas besar karena pengusaha pemotongan skala rendah menggunakan tabung gas ukuran besar untuk menunjang usahanya. Pengeluaran lain-lain seperti biaya transportasi pengangkutan ayam hidup dari peternak hingga ke tempat pemotongan cukup besar karena mobil angkut yang dimiliki pengusaha skala sedang masih kecil sehingga pengangkutan terjadi hampir lebih dari dua kali ke tempat peternak ditambah dengan perawatan mobil angkut tersebut menyebabkan pengeluaran ini cukup besar. Selain itu, retribusi yang harus dibayarkan adalah sebesar Rp 100 per ekor. Pengusaha skala sedang yang membeli ayam dari peternak cukup banyak sehingga biaya retribusi pun besar. Biaya seperti sewa tempat di pasar masuk dalam pengeluaran ini. Besar kontribusi masing-masing biaya dapat dilihat pada Tabel 24. Selama enam periode pengamatan diperoleh hasil bahwa pada usaha pemotongan ayam skala sedang kontribusi terbesar adalah untuk pembelian ayam hidup pada periode September yang mencapai 31 persen dari total biaya produksi. Selanjutnya adalah untuk biaya tenaga kerja sebesar 28 persen dan yang terkecil adalah untuk biaya air sebesar kurang dari dua persen dari total biaya produksi.
Tabel 24. Kontribusi Biaya Produksi Usaha Pemotongan Ayam Skala Sedang di Sentra Usaha Pemotongan Ayam Kelurahan Kebon Pedes Selama Periode Pengamatan (September – Februari 2010) Kontribusi Biaya (%) Periode
Ayam Hidup
Tenaga Kerja
Air
Listrik
Pemanas
Lain-lain
Total Biaya
September
31,66
28,44
1,52
3,26
18,94
16,18
100
Oktober
24,77
26,43
1,89
3,51
17,8
25,6
100
November
26,05
26,06
1,9
3,52
17,72
24,75
100
Desember
21,44
27,74
2,02
3,7
18,49
26,61
100
Januari 2010
21,63
27,32
2,01
3,69
19
26,35
100
Februari 2010
27,97
25,3
1,81
3,36
17,04
24,52
100
Rata-rata
25,59
26,88
1,86
3,51
18,17
24
100
6.4.2 Penerimaan Pada usaha pemotongan ayam skala sedang, penerimaan penjualan yang dihasilkan setiap periodenya berfluktuatif dikarenakan fluktuasi harga ayam hidup serta mekanisme pasar yang sulit diketahui. Penerimaan usaha pemotongan skala sedang selain dari daging ayam juga berasal dari penerimaan lain-lain seperti : ceker, kepala, ati ampela, jantung, dan usus ayam. Dari semua periode pengamatan, penerimaan periode September merupakan yang terbesar karena pada periode ini merupakan bulan Ramadhan dimana permintaan masyarakat terhadap daging ayam meningkat. Selama periode pengamatan rata-rata harga karkas ayam pengusaha pemotongan ayam skala sedang relatif stabil kecuali pada periode September yang merupakan harga tertinggi mencapai harga Rp 27.500 dan terendah pada periode Januari 2010 harga karkas ayam rendah sekitar Rp 18.000 per Kg. Hal ini berpengaruh terhadap penerimaan penjualan pengusaha pemotongan ayam skala sedang. Penerimaan pengusaha pemotongan ayam skala sedang tertinggi terjadi pada periode September karena pada periode ini kebutuhan masyarakat akan daging ayam tinggi serta harga jual yang menguntungkan bagi pengusaha. Sedangkan penerimaan terendah terjadi pada periode November karena pada periode ini harga jual ayam menurun serta permintaan masyarakat yang juga berkurang.
106
Tabel 25. Penerimaan Usaha Pemotongan Ayam Skala Sedang di Sentra Usaha Pemotongan Ayam Kelurahan Kebon Pedes Selama Periode Pengamatan (September – Februari 2010) Penerimaan Daging Ayam (Rp/Bulan) Periode
Daging Ayam
Ceker Ayam
Kepala Ayam
Ati Ampela Ayam
Jantung Ayam
Usus Ayam
Jumlah Penerimaan (Rp)
September
264.170.225
2.305.486
864.557
12.108.643
164.678
3.458.228
283.071.817
Oktober
129.153.220
1.502395
440.552
6.454.971
90.370
1.965.539
139.607.046
November
134.366.400
1.511.622
467.883
6.398.400
95.976
2.044.289
144.884.570
Desember
102.647.160
1.271.932
344.282
7.438.200
76.507
1.606.651
113.384.733
Januari 2010
111.105.540
1.461.915
375.921
6.961.500
83.538
1.816.952
121.805.366
Februari 2010
142.141.216
1.970.866
537.509
6.398.914
102.383
2.150.035
153.300.923
Total
883.583.761
10.024.215
3.030.704
45.760.629
613.451
13.041.694
956.054.454
6.4.3 Analisis Keuntungan Perhitungan rasio penerimaan dan biaya menunjukkan bahwa jika hasil yang di dapat adalah R/C > 1, maka pengusaha skala sedang mengalami keuntungan karena penerimaan yang diperoleh lebih besar dari biaya dan begitu juga sebaliknya jika jika R/C < 1 itu artinya pengusaha mengalami kerugian karena biaya yang dikeluarkan lebih besar dari penerimaan yang diperoleh. Adapun R/C usaha pemotongan ayam skala sedang di Kelurahan Kebon Pedes dapat dilihat dalam Tabel 26. Berdasarkan Tabel 20, nilai rasio R/C pengusaha skala sedang setiap periodenya beragam namun secara keseluruhan nilai rata-rata selama periode pengamatan sebesar 0,37. Hasil perhitungan R/C menyimpulkan bahwa usaha pemotongan ayam skala sedang mengalami kerugian setiap periode pengamatan.
Tabel 26. Pendapatan Usaha Pemotongan Ayam Skala Sedang di Sentra Usaha Pemotongan Ayam Kelurahan Kebon Pedes Selama Periode Pengamatan (September – Februari 2010) Pendapatan Usaha Pemotongan Ayam (Rp/Bulan) Periode
Jumlah Penerimaan (Rp)
Total Biaya (Rp./Periode)
Jumlah Pendapatan (Rp)
R/C Rasio
September
283.071.817
689.197.744
-406.125.928
0,41
Oktober
139.607.046
370.875.760
-231.268.714
0,38
November
144.884.570
383.775.000
-238.890.430
0,38
Desember
113.384.733
356.907.200
-243.522.467
0,32
Januari 2010
121.805.366
360.518.800
-238.713.435
0,34
Februari 2010
153.300.923
387.354.949
-234.054.026
0,40
Rata-rata
159.342.409
424.771.576
-265.429.167
0,37
6.4.4 Penilaian Risiko Pendapatan Ayam Usaha Pemotongan Skala Sedang Perhitungan nilai risiko pada usaha pemotongan ayam skala sedang sama dengan perhitungan nilai risiko pada usaha pemotongan skala kecil yaitu dengan menghitung nilai Variance, Standard Deviation, dan Coefficient Variation. Dalam kajian ini ditambahkan pula nilai batas bawah pendapatan untuk mengetahui nilai nominal pendapatan terendah yang mungkin diterima oleh pengusaha pemotongan ayam. Hasil penilaian risiko usaha pemotongan ayam skala sedang di Kelurahan
Kebon Pedes dapat dilihat pada Tabel 27 dan untuk perhitungannya dapat dilihat pada Lampiran 2.
Tabel 27. Hasil Penilaian Risiko Pendapatan Usaha Pemotongan Ayam Skala Sedang Selama Periode Pengamatan (September – Februari 2010) No. Ukuran Nilai 1 Expected Return -265.429.166 2 3 4 5
Variance Standar Deviation Coefficient Variation Batas Bawah Pendapatan
4.768.970.589.679.860 69.057.734 -0,26 -403.544.634
Perhitungan Expected return digunakan untuk mengetahui seberapa besar pendapatan bersih yang akan diterima oleh pengusaha sedang selama periode pengamatan dengan cara menghitung rata-rata pendapatan bersih dari semua periode pengamatan dan diperoleh nilai Expected return sebesar Rp -265.429.166. artinya bahwa pendapatan pengusaha skala sedang secara keseluruhan akan mengharapkan pendapatan Rp -265.429.166 per periode untuk setiap kondisi dalam usaha pemotongan ayam. Hal tersebut menunjukkan bahwa kegiatan pemotongan ayam skala sedang memberi harapan pendapatan usaha sebesar Rp 265.429.166. untuk setiap kegiatan usaha pada periode berikutnya. Penilaian risiko pendapatan usaha pemotongan ayam skala sedang di Sentra Usaha Pemotongan Ayam berdasarkan nilai Coefficient Variation diperoleh hasil sebesar -0,26 artinya untuk setiap Rp 1 return yang diterima pengusaha akan menghasilkan risiko sebesar Rp 0,26. Risiko yang dihadapi pengusaha pemotongan skala sedang cukup tinggi dikarenakan tingginya tingkat pengeluaran terutama untuk pembelian ayam hidup di peternak. Biaya tenaga kerja dibebankan kepada pengusaha pemotongan skala sedang sangat tinggi terutama pada periode September yang mencapai dua kali lipat. Risiko usaha dimulai dari turunnya keuntungan yang diperoleh pada periode September sebesar Rp -406.125.928 dan kembali turun pada periode Oktober sebesar Rp -231.268.714.
109
6.5
Analisis Pendapatan Usaha Pemotongan Ayam Skala Besar Perhitungan analisis pendapatan ayam di usaha pemotongan skala besar
adalah dengan mengunakan aspek biaya serta penerimaan pada usaha pemotongan ayam skala besar.
6.5.1 Biaya Pengusaha pemotongan ayam skala besar di Sentra Usaha Pemotongan Ayam Kelurahan Kebon Pedes berjumlah tiga orang dengan kapasitas pemotongan berkisar dari 1.340 sampai 2.000 ekor per hari. Pengusaha pemotongan skala besar yang ada di Sentra Usaha Pemotongan Ayam Kebon Pedes sudah memulai usahanya sejak pertama kali tinggal di Kelurahan Kebon Pedes atau dengan kata lain merupakan pelopor dari timbulnya usaha pemotongan ayam di tempat tersebut. Pengalaman yang dimiliki pengusaha skala besar membuat usaha ini terus berkembang hingga mencapai kapasitas pemotongan per hari sebesar 2.000 ekor per hari. Usaha pemotongan skala besar cenderung kebal terhadap risiko yang dihadapinya terutama risiko harga seperti berfluktuatifnya harga input produksi. Jaringan yang dimiliki terutama peternak ayam membuat pengusaha skala besar bisa menjamin ketersediaan ayam hidup sehingga keberlangsungan usaha dapat terus dijaga. Biaya produksi yang terjadi selama periode pengamatan di Sentra Usaha Pemotongan Ayam Kebon skala besar dapat dilihat pada Tabel 28. Biaya produksi pemotongan terutama untuk pembelian ayam hidup sangat besar. Hal ini bisa dilihat dari skala pemotongan per hari yang mencapai 2.000 ekor per hari sehingga total untuk pembelian ayam hidup selama periode pengamatan mencapai Rp 462.281.820. Pengusaha skala besar rata-rata mempunyai pegawai sebanyak 24 orang termasuk didalamnya tukang potong serta supir untuk mengambil ayam di peternak. Rata-rata penghasilan per bulan antara Rp 500.000 sampai Rp 650.000 belum termasuk didalamnya uang makan dan uang rokok rata-rata sebesar Rp 12.000 per hari sehingga total pengeluaran untuk tenaga kerja selama periode pengamatan sebesar Rp 476.000.000.
110
Tabel 28.
Biaya Produksi Usaha Pemotongan Ayam Skala Besar di Sentra Usaha Pemotongan Ayam Kelurahan Kebon Pedes Selama Periode Pengamatan (September – Februari 2010) Biaya Produksi (Rp./Periode)
Periode
jumlah ekor
berat ayam hidup
berat rata2
Harga Ayam Hidup
Tenaga Kerja
Air
Listrik
Pemanas
Lain-lain
Total Biaya (Rp./Periode)
September
23.091
30.018,3
1,3
462.281.820
131.000.000
4.100.000
9.550.000
42.750.000
90.000.000
739.681.820
Oktober
12.682
19.022,5
1,5
232.074.500
67.000.000
2.700.000
5.600.000
30.000.000
90.000.000
427.374.500
November
13.086
20.938,1
1,6
261.726.667
72.000.000
3.100.000
5.800.000
32.000.000
90.000.000
464.626.667
Desember
12.598
15.118
1,2
181.416.000
71.000.000
2.900.000
6.500.000
31.000.000
90.000.000
382.816.000
Januari 2010
12.590
17.626
1,4
190.360.800
68.000.000
2.800.000
6.000.000
34.000.000
90.000.000
391.160.800
Februari 2010
12.768
19.152,5
1,5
233.660.500
67.000.000
2.700.000
5.600.000
30.000.000
90.000.000
428.960.500
1561.520.287
476.000.000
18.300.000
39.050.000
199.750.000
540.000.000
2834.620.287
Total
121.875,4
Pengeluaran untuk air, listrik, dan pemanas relatif stabil selama periode pengamatan kecuali pada periode September dimana intensitas pemotongan meningkat dikarenakan permintaan masyarakat pada periode ini meningkat hampir dua kali lipat. Pada biaya lain-lain pengusaha skala besar mengeluarkan uang cukup banyak karena pada biaya ini mencakup retribusi untuk Pemerintah Daerah, biaya pemeliharaan truk pengangkut ayam, biaya bensin, dan uang sewa lapak di pasar karena pengusaha skala besar rata-rata memiliki lebih dari lima lapak untuk menjual ayam mereka sehingga dihitung per periode biaya lain-lain usaha pemotongan skala besar mencapai Rp 90.000.000. Besar kontribusi masingmasing biaya dapat dilihat pada Tabel berikut. Tabel 29. Kontribusi Biaya Produksi Usaha Pemotongan Ayam Skala Besar di Sentra Usaha Pemotongan Ayam Kelurahan Kebon Pedes Selama Periode Pengamatan (September – Februari 2010) Kontribusi Biaya (%) Periode
Ayam Hidup
Tenaga Kerja
Air
Listrik
Pemanas
Lain-lain
Total Biaya
September
62,5
17,71
0,55
1,29
5,78
12,17
100
Oktober
54,3
15,68
0,63
1,31
7,02
21,06
100
November
56,33
15,5
0,66
1,25
6,89
19,37
100
Desember
47,39
18,55
0,75
1,7
8,1
23,51
100
Januari 2010
48,67
17,38
0,73
1,53
8,69
23
100
Februari 2010
54,47
15,62
0,63
1,31
6,99
20,98
100
Rata-rata
53,94
16,74
0,66
1,4
7,26
20,02
100
Kontribusi biaya rata-rata selama enam periode pengamatan menunjukkan bahwa kontribusi biaya ayam hidup terhadap biaya produksi mencapai 53,94 persen diikuti oleh biaya lain-lain sebesar 20,02 persen, biaya tenaga kerja 16,74 persen, biaya pemanas 7,26 persen, biaya listrik 1,4 persen dan biaya air sebesar 0,66 persen.
6.5.2 Penerimaan Pada usaha pemotongan ayam skala besar, penerimaan penjualan yang dihasilkan setiap periodenya berfluktuatif dikarenakan fluktuasi harga ayam hidup serta mekanisme pasar yang sulit diketahui. Hasil dari penerimaan lain-lain adalah seperti : ceker, kepala, ati ampela, jantung, dan usus ayam. Dari semua periode
pengamatan, penerimaan periode September merupakan yang terbesar karena pada periode ini merupakan bulan Ramadhan dimana permintaan masyarakat terhadap daging ayam meningkat. Penerimaan pengusaha pemotongan ayam skala besar setiap periodenya sangat besar dikarenakan pengusaha melakukan intensitas pemotongan setiap harinya banyak sehingga karkas ayam yang dihasilkan pun besar. Penerimaan total untuk daging ayam selama periode pengamatan mencapai Rp 2.052.904.758 padahal jumlah pengusaha pemotongan skala besar hanya tiga orang. Total penerimaan lain terbesar pada skala usaha besar adalah penjualan ati ampela ayam sebesar Rp 114.884.767 dan penerimaan terkecil adalah penjualan jantung ayam sebesar Rp 1.462.505. Penerimaan pengusaha pemotongan ayam skala besar tertinggi terjadi pada periode September karena pada periode ini kebutuhan masyarakat akan daging ayam tinggi serta harga jual yang menguntungkan bagi pengusaha. Sedangkan penerimaan terendah terjadi pada periode Desember karena pada periode ini harga jual ayam menurun serta permintaan masyarakat yang juga berkurang.
113
Tabel 30. Penerimaan Usaha Pemotongan Ayam Skala Besar di Sentra Usaha Pemotongan Ayam Kelurahan Kebon Pedes Selama Periode Pengamatan (September – Februari 2010) Penerimaan Usaha Pemotongan Ayam (Rp/Bulan)
Periode Daging Ayam
Ceker Ayam
Kepala Ayam
September
556.839.465
5.043.074
1.891.153
34.636.500
360.220
7.564.612
606.335.024
Oktober
318.246.425
3.794.989
1.112.816
15.218.000
228.270
4.964.873
343.565.373
November
344.432.293
3.957.307
1.224.881
15.703.600
251.258
5.351.787
370.921.126
Desember
243.399.800
3.016.041
816.372
17.637.667
181.416
3.809.736
268.861.032
Januari 2010
277.609.500
3.701.460
951.804
16.367.000
211.512
4.600.386
303.441.662
Februari 2010
312.377.275
4.424.228
1.206.608
15.322.000
229.830
4.826.430
338.386.370
2.052.904.758
23.937.099
7.203.633
114.884.767
1.462.505
31.117.823
2231.510.585
Total
Ati Ampela Ayam
Jantung Ayam
Usus Ayam
Jumlah Penerimaan (Rp)
6.5.3 Analisis Keuntungan Nilai rasio penerimaan dan biaya ini menunjukkan besarnya penerimaan yang diperoleh dari setiap biaya yang dikeluarkan untuk kegiatan pemotongan. Analisis rasio ini digunakan untuk mengetahui keuntungan relatif usaha pemotongan ayam skala besar di Kelurahan Kebon Pedes. Apabila R/C > 1, maka penerimaan yang diperoleh lebih besar dari unit biaya yang dikeluarkan, berarti usaha yang dilaksanakan menguntungkan. Apabila R/C < 1, maka penerimaan yang diperoleh lebih kecil dari tiap unit biaya yang dikeluarkan, berarti usaha yang dilaksanakan tidak menguntungkan. Adapun R/C usaha pemotongan ayam skala besar di Kelurahan Kebon Pedes dapat dilihat dalam Tabel 31. Nilai rasio penerimaan dan biaya setiap periodenya berfluktuatif namun cenderung selalu mengalami kerugian. Hal ini dapat dilihat dari setiap periode pengamatan nilai dari R/C Rasio bernilai kurang dari satu.
Tabel 31. Pendapatan Usaha Pemotongan Ayam Skala Besar di Sentra Usaha Pemotongan Ayam Kelurahan Kebon Pedes Selama Periode Pengamatan (September – Februari 2010) Pendapatan Usaha Pemotongan Ayam (Rp/Bulan) Periode
Jumlah Penerimaan (Rp)
Total Biaya (Rp./Periode)
Jumlah Pendapatan (Rp)
September
606.335.024
739.681.820
-133.346.797
0,82
Oktober
343.565.373
427.374.500
-83.809.128
0,8
November
370.921.126
464.626.667
-93.705.541
0,8
Desember
268.861.032
382.816.000
-113.954.968
0,7
Januari 2010
303.441.662
391.160.800
-87.719.138
0,78
Februari 2010
338.386.370
428.960.500
-90.574.130
0,79
Rata-rata
371.918.431
472.436.714
-100.518.284
0,78
R/C Rasio
6.5.4 Penilaian Risiko Pendapatan Ayam Usaha Pemotongan Skala Besar Expected Return menggambarkan pendapatan bersih yang akan diterima pengusaha pemotongan skala besar pada periode berikutnya pada masa yang akan datang dengan menghitung rata-rata pendapatan selama periode pengamatan. Rata-rata pendapatan bersih pengusaha berskala besar selama periode pengamatan dapat dilihat dalam Tabel 32 dan untuk perhitungannya dapat dilihat pada Lampiran 3.
Tabel 32. Hasil Penilaian Risiko Pendapatan Usaha Pemotongan Ayam Skala Besar Selama Periode Pengamatan (September – Februari 2010) No. Ukuran Nilai 1 Expected Return -100.518.284 2 Variance 369.313.887.213.058 3 Standar Deviation 19.217.541 4 Coefficient Variation -0,19 5 Batas Bawah Pendapatan -138.953.366 Nilai Expected Return usaha pemotongan skala besar adalah sebesar Rp 100.518.284. artinya bahwa pendapatan yang diharapkan oleh pengusaha pada setiap periodenya pada masa yang akan datang adalah sebesar Rp -100.518.284 (ceteris paribus). Nilai Coefficient Variation usaha pemotongan ayam skala besar di Kelurahan Kebon Pedes sebesar -0,19 menunjukkan bahwa risiko yang ditanggung oleh peternak sebesar Rp 0,19 dari nilai return yang diperoleh pengusaha skala besar. Risiko yang dihadapi pengusaha pemotongan skala besar adalah kecil namun tingkat biaya setiap periodenya sangat tinggi. Biaya pembelian ayam hidup di peternak dalam jumlah besar merupakan kontribusi paling tinggi sebesar 53,94 persen. Karakteristik ayam yang tidak bisa bertahan lama membuat para pengusaha skala besar harus bisa melihat permintaan pasar untuk mencegah terjadinya penimbunan di kandang karena dalam usaha pemotongan tidak dilakukan upaya penyimpanan ayam hidup untuk mengurangi biaya produksi. Biaya tenaga kerja yang dikeluarkan cukup besar karena para pengusaha pemotongan besar mempunyai banyak pegawai untuk menunjang usaha pemotongan.
6.6
Perbandingan Nilai Risiko di Usaha Pemotongan Ayam Pada kajian ini akan dibahas perbandingan nilai risiko pada setiap skala
pemotongan
ayam.
Intensitas
pemotongan
setiap
skala
berbeda
dan
mempengaruhi terhadap hasil perhitungan risiko itu sendiri. Pada usaha pemotongan ayam skala kecil perbandingan nilai Coefficient Variation antara risiko harga, risiko penjualan, dan risiko pendapatan berbeda. 116
Pada risiko harga input dan output nilai Coefficient Variation sebesar 0,08 dan 0,03. Pada risiko penjualan sebesar 0,32 dan risiko pendapatan sebesar -0,18. Nilai perbandingan berbeda karena pada skala usaha kecil banyak pengusaha yang melakukan usaha pemotongan dengan intensitas yang sedikit. Pengusaha belum banyak yang memiliki tempat pemotongan sendiri dan hanya terbatas membeli ayam hidup lalu memotongnya di tempat pengusaha yang memiliki tempat pemotongan sehingga risiko yang dihadapi pun kecil karena tidak terbebani biaya lain seperti biaya gas, air dan cukup membayar upah kepada pemilik tempat pemotongan sebesar Rp 5.000 per keranjang. Hal ini mempengaruhi pengusaha dalam hal pendapatan karena penjualan yang dilakukan pun sedikit. Usaha Pemotongan Ayam di Kelurahan Kebon Pedes dengan skala usaha sedang mempunyai nilai Coefficient Variation yang berbeda. Pada risiko pendapatan nilai Coefficient Variation sebesar -0,26 dan untuk risiko penjualan sebesar 0,31. Sedangkan nilai pada risiko harga baik harga input maupun harga output sebesar 0,13 dan 0,03. Nilai Coefficient Variation terbesar terletak pada risiko penjualan. Pengusaha skala sedang mengalami fluktuasi dalam hal penjualan karena dipengaruhi oleh hari raya besar keagamaan. Selain itu, permintaan masyarakat yang berfluktuatif mengakibatkan nilai Coefficient Variation besar jika dibandingkan dengan risiko harga maupun risiko pendapatan.
117
Tabel 33. Perbandingan Nilai Risiko Setiap Skala Pemotongan Ayam Skala Kecil Ukuran Risiko
Risiko Harga
Risiko Penjualan
Skala Sedang Risiko Pendapatan
Risiko Harga Harga Output
Risiko Pendapatan
Risiko Harga Harga Input
Harga Output
Risiko Penjualan
Risiko Pendapatan
Harga Input
Harga Output
Expected Return
14.483
60.450
2.628
-50.335.528
12.750
59.767
6.526,4
-265.429.166
12.483
59.283
15.559,4
-100.518.284
Variance
1.481.667
3.243.0 00
704.406
91.383.160.1 91.761
2.651.0 00
2.458.66 7
4.148.490
4.768.970.589. 679.860
2.353.6 67
1.637.66 7
15.467.332
369.313.887.2 13.058
1.217
1.798
839,29
9.559,5
1.628
1.568
2.036,8
69.057.734
1.543
1.280
3.932,9
19.217.541
0,08
0,03
0,32
-0,18
0,13
0,03
0,31
-0,26
0,12
0,02
0,25
-0,19
12.049
56.853
949,49
-69.454.466
9.494
56.631
2.452,9
-403.544.634
9.397
56.724
7.693,7
-138.953.366
Standar Deviation Coefficient Variation Batas Bawah Pendapatan
Harga Input
Risiko Penjualan
Skala Besar
Nilai Coefficient Variation pada skala usaha besar sangat berbeda jauh perbandingannya antara risiko harga, risiko penjualan dan risiko pendapatan. Pada Tabel 30 dapat dilihat bahwa nilai Coefficient Variation risiko pendapatan sebesar -0,19. Nilai risiko harga baik harga input maupun harga output sebesar 0,12 dan 0,02. sedangkan risiko penjualan hanya 0,25 artinya bahwa risiko yang paling berpengaruh di usaha pemotongan skala besar adalah risiko pendapatan. Jumlah pemotongan perharinya sangat banyak dikarenakan pengusaha skala besar merupakan pelaku lama yang sudah berpengalaman serta sudah memiliki pelanggannya sendiri mulai dari Rumah Makan, hingga Restoran sehingga tidak ada permasalahan dalam hal penjualan. Hal yang berpengaruh dari usaha besar justru dari fluktuasi harga ayam hidup dari peternak, Biaya pembelian ayam hidup di peternak dalam jumlah besar merupakan kontribusi tertinggi dengan rata-rata sebesar 53,94 persen. Selain itu biaya tenaga kerja yang dikeluarkan cukup besar karena pengusaha pemotongan skala besar mempunyai banyak pekerja untuk menunjang usahanya. Risiko yang dihadapi pengusaha skala besar sangat tinggi karena tingkat biaya setiap periodenya sangat tinggi.
6.7
Strategi Pengelolaan Risiko Usaha di Sentra Usaha Pemotongan Ayam Kelurahan Kebon Pedes Para pengusaha khususnya skala sedang dan besar mempunyai usaha lain
untuk meningkatkan pendapatannya seperti : rumah makan, dan menjadi supplier. Para pengusaha pemotongan ayam masih jarang yang memiliki peternakan ayam sendiri untuk menjamin pasokan ayam hidup karena waktu yang ada sudah habis untuk mengusahakan pemotongan ayam. Kenyataan di lapangan terlihat bahwa tidak ada konsep kemitraan dalam usaha pemotongan ayam dan yang ada hanya konsep antara penjual dan pembeli atau supplier dengan pelanggan karena pembeli tersebut membeli ayam hidup di supplier tertentu secara rutin. Usaha pemotongan di Kelurahan Kebon Pedes tidak dilindungi oleh asuransi dan hanya sebatas menjaga agar tidak terjadi risiko yang tidak diinginkan seperti pencurian, kebakaran, dll. Dalam menghadapi risiko yang tidak terduga, para pengusaha untuk selalu memperhatikan kejadian-kejadian yang dapat mengancam usaha pemotongannya seperti Peraturan Daerah yang intinya adalah
119
merelokasi tempat pemotongan. Pengusaha pemotongan sepakat untuk tidak menyetujui peraturan tersebut dengan alasan bahwa bangunan yang merupakan bangunan permanen sekaligus tempat tinggal. Selain itu, jarak yang jauh ke tempat penjualan ayam (pasar) merupakan kendala buruk selain alasan keamanan seperti pencurian karena postur ayam yang kecil, berbeda dengan ternak lain seperti kambing dan sapi yang terlihat sangat besar. Pada umumnya, kebanyakan usaha belum memperhitungkan adanya manajemen risiko dalam usahanya. Timbulnya risiko sebagai akibat dari usaha yang dijalankan tanpa disadari akan menimbulkan kerugian secara finansial oleh usaha tersebut. seperti halnya di Sentra Usaha Pemotongan Ayam Kelurahan Kebon Pedes, belum ada tindakan atau perlakukan yang diterapkan dalam kegiatan usaha untuk pengelolaan risiko usaha yang dihadapi. Rendahnya tingkat pengetahuan pihak pengusaha pemotongan ayam seputar masalah risiko usaha yang dapat terjadi pada kegiatan pemotongan ayam yang dikelola menyebabkan minimnya perlakuan untuk penanganan risiko pada usaha tersebut. Fluktuasi yang terjadi dianggap sebagai kejadian yang wajar akibat dari mekanisme usaha yang ada. Dengan mengetahui bahwa usaha pemotongan ayam berpotensi untuk terjadinya risiko usaha maka perencanaan penanganan yang dapat dilakukan adalah penerapan kesadaran akan risiko serta kesadaran untuk melakukan penanganan risiko sehingga dapat meminimalkan kerugian yang dialami. Oleh karena itu, pihak pengusaha perlu memahami lebih tentang masalah risiko usaha, sehingga dapat menentukan langkah-langkah penanganannya. Dalam kajian ini, diharapkan dapat memberi gambaran terhadap usaha pemotongan ayam dalam merumuskan strategi pengelolaan risiko usaha yang terjadi pada kegiatan pemotongan ayam di usaha tersebut. Proses yang dilakukan dalam perumusan strategi pengelolaan risiko dimulai dengan melakukan indentifikasi terhadap risiko yang terjadi serta penyebabnya, kemudian dilakukan pengukuran besarnya risiko dan selanjutnya ditentukan langkah-langkah penanganan. Proses yang ditempuh dalam perumusan strategi pengelolaan bertujuan untuk dapat memperoleh alternatif penanganan yang efektif dan sesuai dengan kondisi di lapangan.
120
Dari indentifikasi risiko yang dilakukan diperoleh hasil bahwa usaha pemotongan ayam mengalami risiko harga, risiko penjualan, serta risiko pendapatan dalam menjalankan usahanya. Risiko-risiko tersebut disebabkan oleh faktor antara lain fluktuasi harga input dan output serta mekanisme pasar. Strategi penanganan risiko usaha yang dapat dijadikan sebagai alternatif penanganan, yaitu strategi preventif. Strategi preventif merupakan strategi penanganan yang dilakukan untuk menghindari terjadinya risiko, strategi preventif yang dapat dilakukan di Sentra Usaha Pemotongan Ayam diantaranya adalah sebagai berikut: a. Menjalin kemitraan dengan peternak untuk menjamin pasokan ayam hidup dan juga menekan biaya produksi. Pada waktu permintaan terhadap daging ayam meningkat para pengusaha mengalami kesulitan dalam hal pemenuhan ayam hidup sehingga dengan menjalin kemitraan diharapkan dapat menjamin ketersediaan pasokan ayam hidup itu sendiri. b. Menambah kuantitas pemotongan khususnya pengusaha skala kecil untuk meningkatkan
pendapatan.
Hal
yang
perlu
diperhatikan
sebelum
meningkatkan intensitas pemotongan adalah permintaan konsumen terhadap karkas ayam tersebut pada hari sebelumnya. Pada saat-saat tertentu seperti pada saat awal gajian ataupun hari sabtu dan minggu, permintaan konsumen terhadap daging ayam cenderung meningkat sehingga ini merupakan peluang yang bagus untuk meningkatkan pendapatan pengusaha skala kecil. Jikalaupun ada daging ayam yang tidak laku maka hal dilakukan adalah menyimpan di dalam freezer dan bisa dijual kembali dengan harga yang sedikit murah dari harga normal. Hal tersebut dilakukan untuk mencegah kerugian jika ayam tersebut tidak benar-benar tidak bisa dijual kembali walaupun konsekuensi yang didapat dari penjualan ayam sisa adalah keuntungan yang kecil. c. Mulai merintis pembelian alat-alat pemotongan ayam khususnya pengusaha skala kecil untuk mengurangi biaya produksi. Hal ini dilakukan dengan cara mencicil alat-alat pemotongan seperti mesin pencabut bulu atau panci berukuran besar untuk memanaskan air yang digunakan untuk mencelupkan ayam tersebut agar bulu yang ada mudah rontok. Selain untuk menekan biaya produksi, hal ini sangat bermanfaat terutama agar pengusaha dapat
121
mengembangkan usaha ke tingkat yang lebih tinggi seperti pengusaha skala sedang dan besar. d. Mengatur manajemen permodalan dalam mensiasati peningkatan permintaan terhadap daging ayam. Kendala yang di hadapi pengusaha skala kecil adalah sulitnya memiliki modal untuk membeli ayam hidup saat kebutuhan masyarakat terhadap daging ayam meningkat terutama pada saat hari raya. Hal yang dapat dilakukan adalah dengan menyisihkan pendapatan penjualan ayam per hari sehingga pada saat kebutuhan masyarakat meningkat, uang yang dikumpulkan tersebut dapat digunakan sebagai modal untuk membeli ayam hidup.
122
VII KESIMPULAN DAN SARAN
7.1
Kesimpulan Hasil penilaian risiko Usaha Pemotongan Ayam skala kecil diketahui
bahwa nilai Coefficient Variation untuk risiko harga input dan harga output sebesar 0,08 dan 0,03 sedangkan untuk risiko penjualan sebesar 0,32 dan nilai Coefficient Variation pada risiko pendapatan sebesar -0,18. Pengusaha skala kecil tidak terpengaruh terhadap risiko usaha yang ada dikarenakan skala usahanya masih kecil dengan intensitas pemotongan sedikit setiap harinya serta biaya yang dibebankan kecil. Penilaian Coeffient Variation skala sedang untuk risiko harga input dan harga output sebesar 0,13 dan 0,03. Sedangkan pada risiko penjualan menghasilkan nilai Coefficient Variation sebesar 0,31 dan pada risiko pendapatan sebesar -0,26. Pengusaha skala sedang berpeluang merugi pada masa yang akan datang karena nilai Coefficient Variation yang ada menunjukkan bahwa risiko yang ditanggung oleh pengusaha pemotongan ayam sebesar -26% dari nilai return yang diperoleh pengusaha. Artinya untuk setiap Rp. 1 return yang diterima pengusaha akan menghasilkan risiko sebesar Rp 0,26. Nilai risiko terbesar pada usaha pemotongan ayam skala besar adalah risiko penjualan dengan nilai Coefficient Variation sebesar 0,25 dibandingkan dengan nilai Coefficient Variation pada risiko harga input dan harga output sebesar 0,12 dan 0,02 serta pada risiko pendapatan dengan nilai Coefficient Variation sebesar -0,19. Nilai Coefficient Variation pada risiko penjualan besar dikarenakan intensitas pemotongan yang dilakukan perharinya banyak. Pengusaha melakukan pemotongan dalam jumlah banyak untuk memenuhi pelanggan yang kebanyakan merupakan dari usaha Rumah Makan dan Restoran selain dari masyarakat umum. Manajemen risiko yang telah dilakukan adalah penggunaan teknologi dalam proses pemotongan ayam, usaha pemotongan dilakukan setiap hari untuk mengetahui fluktuasi harga input serta memperhatikan mekanisme pasar seperti permintaan terhadap daging ayam. Dalam upaya mitigasi risiko, pengusaha pemotongan ayam memiliki usaha lain untuk menambah pendapatannya seperti :
123
membuka Rumah Makan, dan menjadi supplier ayam hidup. Untuk menjaga kelangsungan usahanya, pengusaha selalu memperhatikan kejadian-kejadian yang dapat mengancam usaha pemotongan seperti : isu terkait Flu Burung, rencana relokasi tempat pemotongan, serta mengikuti aturan Pemerintah Daerah dengan selalu membayar retribusi pemotongan.
7.2
Saran
1. Menjalin kemitraan dengan peternak untuk menjamin ketersediaan pasokan dan menekan biaya produksi berupa pembelian ayam hidup. 2. Menambah kuantitas pemotongan khususnya pengusaha skala kecil untuk meningkatkan pendapatan. 3. Mulai merintis pembelian alat-alat pemotongan ayam khususnya untuk pengusaha skala kecil agar dapat memiliki tempat pemotongan ayam sendiri. 4. Mengatur manajemen permodalan dalam mensiasati peningkatan permintaan terhadap daging ayam dengan cara menyisihkan sebagian pendapatan yang digunakan untuk membeli ayam hidup pada saat permintaan meningkat.
124
DAFTAR PUSTAKA
Adinugraha, Yogaprasta. Sikap Pengusaha Terhadap Rencana Relokasi Tempat Pemotongan Ayam (Kasus Pengusaha Pemotong Ayam di Kelurahan Kebon Pedes, Kecamatan Tanah Sareal, Kota Bogor). [skripsi]. Bogor: Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor. Aziz, Faishal Abdul. 2009. Analisis Risiko dalam Usaha Ternak Ayam Broiler (Studi Kasus Usaha Peternakan X di Desa Tapos, Kecamatan Tenjo, Kabupaten Bogor). [skripsi]. Bogor: Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor. Basyaib, Fachmi. 2007. Manajemen Risiko. Jakarta. Grasindo Darmawi, Herman. 2004. Manajemen Risiko. Jakarta. Bumi Aksara. Debertin. D. L. 1986. Agricultural Production Economics. Macmillan Publisher. New York. Djohanputro, Bramantyo. 2006. Manajemen Risiko Korporat Terintegrasi. Jakarta. Penerbit PPM. Fariyanti, Anna. 2008. Handout Bahan Kuliah Risiko Bisnis. Fakultas Ekonomi dan Manajemen. Institut Pertanian Bogor. Fariyanti, Anna. 2008. Perilaku Ekonomi Rumahtangga Petani Sayuran dalam Menghadapi Risiko Produksi dan Harga Produk di Kecamatan Pangalengan Kabupaten Bandung. [Disertasi]. Institut Pertanian Bogor. Harwood et al. 1999. Managing Risk in Farming: Concept, Research, and Analysis. Market and Trade Economics Division and Resource Economics Division, Economic Research Service, U.S. Department of Agriculture. Agricultural Economic Report No. 774. Hernanto F. 1989. Ilmu Usahatani. Jakarta: Penebar Swadaya. Hindarto. 2003. Mengolah Air Limbah Supaya Tidak Mencemari Lingkungan. Jakarta. PT Esha Hyman DN. 1996. Microeconomics. New York: McGraw-Hill, Inc. Kountur, R. 2004. Manajemen Risiko. Jakarta. Abdi Tandur. Lestari, A. 2009. Manajemen Risiko dalam Usaha Pembenihan Udang Vannamei (Litopenaeus vannamei), (Kasus di PT. Suri Tani Pemuka, Kabupaten
125
Serang, Provinsi Banten). [skripsi]. Bogor: Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor. Lipsey RG, Courant PN, Purvis DD, Steiner PO. 1995. Pengantar Mikroekonomi. Jaka W dan Kirbrandoko, penerjemah: Jakarta: Binarupa Aksara. Terjemahan dari : Economics 10th ed. McConnel CR, Brue SL. 1990. Microeconomics, Principles, Problems and Policies. New York: McGraw-Hill, Ins. Priyatno, Martono Adi. 2003. Mendirikan Usaha Pemotongan Ayam. Jakarta. PT Penebar Swadaya. Puspita, D. 2003. Analisis Kesediaan Masyarakat Menerima Dampak Lingkungan Usaha Pemotongan Ayam di Kelurahan Kebon Pedes Kota Bogor. [skripsi]. Bogor: Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor. _________. 2008. Profil Desa dan Kelurahan Kebon Pedes. Bogor. Departemen Dalam Negeri. Rahardi, F, Hartono R. 2008. Agribisnis Peternakan. Jakarta. Penebar Swadaya. Robison, L. J. dan P. J. Barry. 1987. The competitive Firm’s Response to Risk. Macmillan Publisher. New York. Saragih, B. 2000. Kumpulan Pemikiran: Agribisnis Berbasis Peternakan. Pustaka Wirausaha Muda. Bogor. Siregar, Yusni Rahmadani. 2009. Analisis Risiko Harga Day Old Chick (DOC) Broiler dan Layer pada PT. Sierad Produce Tbk Parung, Bogor. [skripsi]. Bogor: Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor. Sofyan, Iban. 2005. Manajemen Risiko. Yogyakarta. Penerbit Graha Ilmu. Solihin, Muhamad. 2009. Risiko Produksi dan Harga serta Pengaruhnya terhadap Pendapatan Peternakan Ayam Broiler CV AB Farm Kecamatan Bojonggenteng Sukabumi. [skripsi]. Bogor: Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor. Sukirno, S. 1985. Pengantar Teori Mikroekonomi. Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi UI. Suratiyah. 2009. Ilmu Usahatani. Jakarta: Penebar Swadaya.
126
Trangjiwani, Wukir. 2008. Manajemen Risiko Operasional CV. Bina Mandiri di Lembang, Kabupaten Bandung, Provinsi Jawa Barat. [skripsi]. Bogor: Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor.
127