1
ANALISIS RENCANA PEMBANGUNAN PUSAT PRIMER GEDEBAGE TERHADAP PEMBANGUNAN EKONOMI KOTA BANDUNG MELALUI PENDEKATAN SISTEM DINAMIK
BUDI BUDIMAN
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011
2
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI
Dengan
ini
saya
menyatakan
bahwa
tesis
Analisis
Rencana
Pembangunan Pusat Primer Gedebage Terhadap Pembangunan Ekonomi Kota Bandung Melalui Pendekatan Sistem Dinamik adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, Agustus 2011
Budi Budiman H152070251
3
Abstract
BUDI BUDIMAN, H152070251. Analysis of Development Plan of Primary Center Gedebage in Bandung City Economic Development by Dynamic Systems Approach. Supervised by SETIA HADI as the leader and SAID RUSLI as member of supervisory commission. Gedebage region as an area to be developed has limitations because it includes areas that have many short comings such as lack of infrastructure and unstable soil conditions. Therefore, in the development of the Gedebage area, the system design is required in the form of engineering assessment of the performance indicators of regional development based on dynamic systems approach based on the principle of feedback between the subsystem, subsystem of the population, and economic subsystem. The purpose of this study was to analyze the Gedebage regional development plan especially Primary Center Gedebage in economic development of Bandung. This research use data analysis through modeling system that includes the land use in the region Gedebage, various economic activities and population dynamics. The research result suggests that the development of the Primary Center Gedebage as planned, will encourage the economic development of Bandung city in a positive direction. Keywords. development of the area, the system dynamic
4
RINGKASAN
BUDI BUDIMAN, H152070251. Analisis Rencana Pembangunan Pusat Primer Gedebage Terhadap Pembangunan Ekonomi Kota Bandung Melalui Pendekatan Sistem Dinamik, dibimbing oleh SETIA HADI sebagai Ketua dan SAID RUSLI sebagai anggota komisi pembimbing. Kawasan Gedebage sebagai kawasan yang akan dikembangkan memiliki keterbatasan karena termasuk wilayah yang memiliki banyak kekurangan seperti keterbatasan infrastruktur dan kondisi tanah yang labil. Oleh karena itu dalam pengembangan kawasan Gedebage diperlukan desain sistem dalam bentuk pengkajian rekayasa terhadap indikator kinerja pembangunan wilayah berdasarkan pendekatan sistem dinamik yang didasari oleh prinsip umpan balik antar subsitem wilayah, subsitem penduduk, dan subsitem ekonomi. Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis rencana pengembangan kawasan Gedebage terutama Pusat Primer Gedebage terhadap pembangunan ekonomi Kota Bandung. Untuk menjawab permasalahan dilakukan analisis data melalui sistem pemodelan yang meliputi penggunaan lahan di kawasan Gedebage, berbagai kegiatan ekonomi, serta dinamika populasi penduduk. Dari simpulan utama menunjukkan bahwa pengembangan kawasan Pusat Primer Gedebage yang sesuai dengan yang direncanakan akan mendorong pembangunan ekonomi Kota Bandung kearah yang positif Dari hasil pengaamatan di lapangan menunjukkan bahwa penggunaan lahan untuk pengembangan kawasan Pusat Primer Gedebage telah ditentukan oleh tim pemerintah kota dan swasta dengan memperhatikan berbagai aspek kelayakan maupun peruntukkannya yaitu lahan untuk transfortasi 32,58 Ha (4,6%), untuk kesehatan 16,55 Ha (2,30%), untuk olah raga dan rekreasi 45 Ha (6,3%), untuk industri 26,61 Ha (8,7 %), untuk peribadatan 5,32 Ha (0.7%), hunian 196,6 Ha (27,6%), hotel apartemen 11 Ha (1,5%), danau buatan 123 Ha (17,26%), akses jalan tol 55,57 Ha (7,8%) dan untuk daya dukung lingkungan 31 Ha (4,4%). Berdasarkan simulasi model sistem dinamis tentang dampak pengembangan Pusat Primer Gedebage terhadap pembangunan ekonomi Kota Bandung dapat dilihat dari perkembangan beberapa aspek, yaitu perubahan penduduk, PDRB kota, penggunaa lahan kota, pendapatan perkapita dan Ruang Terbuka Hijau (RTH), dan berdasarkan simulasi model, maka adanya perubahan jumlah penduduk berupa kenaikan pada akhir tahun simulasi (2034) menjadi ratarata 1,61 persen per tahun. Sedangkan dalam penggunaan lahan industri, perumahan dan jasa meningkat dari 69,73 persen menjadi 80,73 persen atau 13.506 Ha pada tahun 2034. Ini menunjukkan bahwa lahan kosong (bisa berbentuk sawah, tegalan ataupun ruang kosong yang tersedia di Kota Bandung pada tahun 2034 hanya 19,27 persen atau 3.223,87 Ha. Sedangkan simulasi mengenai subsistem ekonomi di Kota Bandung dengan melihat nilai PDRB Kota Bandung Atas Dasar Harga Konstan tahun 2000, maka dari hasil simulasi nilai PDRB terlihat adanya kenaikan PDRB kota yang pada saat ini Rp 26,979 Triliun maka pada akhir tahun simulasi (2034) berubah menjadi Rp. 86,25 Triliun. Dari aspek pendapatan per kapita pengembangan Pusat Primer Gedebage memberikan sumbangan yang positif terhadap peningkatan pendapatan per kapita
5
Kota Bandung. Hal ini dapat terlihat tercapainya target pendapatan per kapita sesuai dengan target pembangunan jangka menengah Kota Bandung 2013 seperti pada tahun 2012 dalam data simulasi menunjukkan angka pendapatan per kapita sebesar Rp.16,84 juta per tahun melampaui target pemerintah Kota Bandung sebesar Rp. 15,1 juta per tahun. Demikian pula pada tahun 2013 sesuai dengan data simulasi menunjukkan angka pendapatan per kapita sebesar Rp. 17,2 juta per tahun melampaui target pemerintah Kota Bandung sebesar Rp. 16 juta per tahun. Sedangkan dalam aspek RTH pengembangan Pusat Primer Gedebage akan menekan luas RTH dari 8,7 persen saat ini menjadi 5,21 persen pada akhir tahun 2034. Kondisi RTH seperti ini sesungggunya tidak relevan dengan target Pemerintah Kota dalam pencapaian luas RTH dalam target jangka pendek (2013) yang sudah mentargetkan pencapaian luas RTH kota 16 persen, tetapi dalam simulasi pada tahun 2013 RTH kota hanya mencapai 8.14 persen. Skenario model pengembangan Pusat Primer Gedebage yang direncanakan berdasarkan beberapa asumsi kondisi yang diharapkan dalam model, yaitu dengan memperhitungkan investasi yang masuk ke kawasan Pusat Primer Gedebage. Adapun skenario dalam model Pengembangan Pusat Primer Gedebage, yaitu skenario 1, dimana pengembangan Pusat Primer Gedebage berjalan sesuai dengan investasi saat ini berjalan sebesar Rp. 500,85 Milyar yang menghasilkan nilai PDRB Rp. 86,250 Triliun dan pendapatan per kapita Rp. 20,75 juta. Skenario 2, dimana pengembangan Pusat Primer Gedebage berjalan dengan investasi yang direncanakan sebesar Rp. 11,945 Triliun dengan hasil nilai PDRB Rp.146,875 Triliun dan pendapatan per kapita Rp. 34,10 juta per tahun Kata Kunci. Pusat Primer Gedebage, sistem dinamik.
6
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2011 Hak Cipta Dilindungi Undang-undang 1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber. a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penulisan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah. b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk laporan apapun tanpa ijin IPB.
7
ANALISIS RENCANA PEMBANGUNAN PUSAT PRIMER GEDEBAGE TERHADAP PEMBANGUNAN EKONOMI KOTA BANDUNG MELALUI PENDEKATAN SISTEM DINAMIK
BUDI BUDIMAN
Tesis Salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu-Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011
8
Penguji Luar Komisi Pada Ujian Tesis: Prof. Dr. Bambang Juanda, M.S.
9
Judul Tesis
Nama NRP
: Analisis Rencana Pembangunan Pusat Primer Gedebage Terhadap Pembangunan Ekonomi Kota Bandung Melalui Pendekatan Sistem Dinamik : Budi Budiman : H152070251
Disetujui Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Setia Hadi, M.S. Ketua
Ir. Said Rusli MA Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi Program Studi Ilmu-Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof. Dr. Ir. Bambang Juanda, M.S.
Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc, Agr
Tanggal Ujian: 10 Agustus 2011
Tanggal Lulus:
10
MOTTO DAN PERSEMBAHAN
terkadang pada awalnya orang akan bangga dengan pilihannya, tapi tidak semua orang akan setia pada pilihannnya, keserakahan dan hawa nafsulah yang membuat orang tidak setia pada pilihannya. Sejatinya yang tersulit dalam hidup ini bukanlah memilih sesuatu tetapi bagaimana bertahan pada pilihan yang pernah kita pilih dengan ikhlas tanpa kepura-puraan, itulah istiqomah dan sabar yang sesungguhnya di dunia yang terus berubah dengan cobaan dan ujian.
untuk orangtua dan para guruku yang telah mengajarkan tentang kejujuran
Tesis ini saya persembahkan buat : Orang Tuaku Istri dan anak-anaku Para guruku
11
KATA PENGANTAR
Dengan mengucapkan syukur alhamdulillah, penulis panjatkan kepada Allah Yang Maha Besar atas karunia dan limpahan-Nya, sehingga Tesis yang berjudul: “Analisis Rencana Pembangunan Pusat Primer Gedebage Terhadap Pembangunan Ekonomi Kota Bandung Melalui Pendekatan Sistem Dinamik” dapat terselesaikan tanpa hambatan yang berarti. Tesis ini disusun guna memenuhi salah satu persyaratan dalam menyelesaikan pendidikan Program Magister di Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Keberadaan Komisi Pembimbing dan para pihak, sangat menentukan dalam penyelesaian penyusunan Tesis ini. Komisi Pembimbing selalu memberikan dorongan, arahan, dan saran penyelesaian selama proses penyusunan berlangsung. Demikian juga para pihak yang telah membantu meringankan beban penulis dalam perbaikan tesis. Dengan ketulusan hati, pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan penghargaan dan terima kasih kepada: 1. Dr. Ir. Setia Hadi, M.S. selaku Ketua Komisi Pembimbing yang dalam kesibukannya telah banyak memberikan bimbingan, arahan, serta saran perbaikan penulisan tesis ini. 2. Ir. Said Rusli, M.A. selaku Anggota Komisi Pembimbing yang sudah banyak memberi dorongan kepada penulis dalam melakukan analisa penelitian serta penyempurnaan dalam penyajian penulisan tesis ini. 3. Prof. Dr. Ir. Bambang Juanda, M.S sebagai Ketua Program Studi Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan, Sekolah Pascasarjana IPB yang telah mengijinkan penulis untuk menyelesaikan tesis, serta telah banyak memberi ilmu ekonomi yang lebih mendasar selama penulis mengikuti kegiatan perkuliahan. 4. Dekan Sekolah Pascasarjana IPB yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk memperoleh ilmu dan menyelesaikan studinya pada program S2 Sekolah Pascasarjana IPB. 5. Kepada Dekan Fakultas Dakwah dan Komunikasi Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati Bandung yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk menempuh pendidikan pada program S2 Sekolah Pascasarjana IPB.
12
6. Kepada Rektor Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati Bandung yang telah memberikan izin kepada penulis untuk menempuh pendidikan pada program S2
Sekolah Pascasarjana IPB. 7. Semua rekan Program Studi IE dan PWD IPB terutama angkatan 2007 dan 2008 yang telah memberikan dorongan, serta menyampaikan uluran kerjasama yang sangat baik serta akrab selama mengikuti pelajaran di kelas, serta selama proses penyusunan tesis ini. Pengalaman yang sangat berharga ini, sangatlah sulit untuk penulis lupakan. Penulis ingin pula menyampaikan terima kasih kepada semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu serta telah banyak membantu dan memberi dorongan selama ini. Semoga amal kebaikan dari semua yang memberikan bantuan akan mendapatkan balasan dari Allah SWT Yang Maha Pemurah dan Penyayang.
Bogor, Agustus 2011 Penulis
Budi Budiman
13
RIWAYAT HIDUP
BUDI BUDIMAN, suami dari Meli Fauziah, dan ayah dari dua putri, satu putra, yaitu Annisa Fathia Rahmah (Nisa), Jasmine Nurul Haniyah (Hani) dan Muhammad Rizal Budiman (Rizal). Lahir di Kota Bandung 4 Maret 1973. Tamat Madrasah Ibtidaiyah (MI) Al Islah Bandung (1986), SMP Negeri 3 Bandung (1989), SMA Negeri 11 Bandung (1992), Jenjang pendidikan S1 pada Jurusan Manajemen Dakwah IAIN Sunan Gunung Djati Bandung (1999), Pada tahun 2002 lulus program S2 Program Studi Ekonomi Islam IAIN Sunan Gunung Djati Bandung (2002). Sejak 2008 kuliah di program S2 Program Studi Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan (PWD), Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor (IPB). Sejak tahun 1999 sampai saat ini penulis bekerja sebagai dosen di Fakultas Dakwah dan Komunikasi Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati Bandung.
14
DAFTAR ISI
Halaman I.
II.
III.
PENDAHULUAN
1
1.1 Latar Belakang
1
1.2 Perumusan Masalah
5
1.3 Tujuan Penelitian
6
1.4 Manfaat Penelitian
6
1.5 Batasan dan Ruang Lingkup Penelitian
6
TINJAUAN PUSTAKA
8
2.1 Teori Sistem Dinamis
8
2.2 Konsep Perencanaan Pembangunan
10
2.3 Konsep Pertumbuhan Ekonomi
15
2.4 Penelitian Terdahulu
17
2.5 Kerangka Pemikiran
21
METODE PENELITIAN
25
3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian
25
3.2 Jenis dan Sumber data
25
3.3 Metode Analisa Data
25
3.3.1 Analisis Model Pengembangan Kawasan
25
3.3.2 Skenario Model
27
IV. KEADAAN UMUM WILAYAH PENELITIAN
V.
28
4.1 Kondisi Geografi dan Administrasi
28
4.2 Pemerintahan
30
4.3 Kependudukan
33
4.4 Kondisi Perekonomian Kota Bandung
37
4.5 Keadaan Ketenagakerjaan
38
HASIL DAN PEMBAHASAN
45
5.1 Perkembangan Penggunaan Lahan di Kawasan
15
Pusat Primer Gedebage Kota Bandung 5.2 Model Pengembangan Pusat Primer Gedebage Kota Bandung
45 65
5.3 Simulasi Model Pengembangan Pusat Primer Gedebage Kota Bandung
73
5.4 Dampak Pengembangan Pusat Primer Gedebage Kota Bandung Terhadap Pembangunan Ekonomi Kota Bandung. 5.5 Skenario Model Pengembangan Pusat Primer Gedebage
VI. KESIMPULAN DAN SARAN
80 86
88
6.1 Kesimpulan
88
6.2 Saran
89
DAFTAR PUSTAKA
90
16
DAFTAR TABEL
Halaman Tabel 1
Perkembangan Indikator Pembangunan Kota Bandung
4
2007-2008 Tabel 2
Jumlah Penduduk Kota Bandung Menurut Kecamatan dan
34
Jumlah Kelurahan Serta rata-rata Per Kelurahan Tahun 2008 Tabel 3
Jumlah Penduduk Kota Bandung Menurut Kecamatan dan
35
Luas Wilayah Serta Kepadatan Penduduk Per Km2 Tahun 2008 Tabel 4
Kontribusi Kegiatan Ekonomi Kota Bandung dan
37
sekitarnya terhadap Ekonomi Jawa Barat Tahun 2008 Tabel 5
Perkembangan Indikator Makro Pembangunan Kota
38
Bandung Tahun 2006-2008 Tabel 6
Perkembangan PDRB Kota Bandung 2003-2008
39
Tabel 7
Kontribusi Sektor Terhadap PDRB Kota Bandung 2008
41
Tabel 8
Penduduk Usia 10 Tahun ke Atas yang Bekerja Menurut
43
Lapangan Usaha di Kota Bandung Tahun 2008 Tabel 9
Jumlah Pengangguran dan Tingkat Penganguran Kota
51
Bandung Kurun waktu 2005-2008 Tabel 10
Program Pemanfatan Ruang di Kawasan Gedebage
47
Tabel 11
Keterangan Pemanfaatan dan Luas Ruang dalam
58
Kawasan Pusat Primer Gedebage Tabel 12
Kode Pemanfaatan dan Ketentuan Intensitas Ruang dalam
59
Kawasan Pusat Primer Gedebage Tabel 13
Hasil Perhitungan Pemanfaatan Lahan serta Luas Total
60
Lantai yang Dapat dibangun dalam Kawasan Pusat Primer Gedebage Tabel 14
Peluang atau prospek investasi (PPP) Kawasan Pusat Primer Gedebage
64
17
Tabel 15
Hasil Simulasi model pengembangan Pusat Primer
74
Gedebage Subsistem Penduduk (2009-2034) Tabel 16
Hasil Simulasi model pengembangan Pusat Primer
77
Gedebage Subsistem Lahan (2009-2034) Tabel 17
Hasil Simulasi Terhadap Perubahan PDRB Kota Bandung
80
Dalam Subsistem Ekonomi model pengembangan Pusat Primer Gedebage (2009-2034) Tabel 18
Hasil Simulasi Terhadap Kondisi Pendapatan Per Kapita
81
KotaBandung dalam Model pengembangan Pusat Primer Gedebage (2009-2034) Tabel 19
Hasil Simulasi Terhadap Kondisi Ruang Terbuka Hijau
84
dalam Model pengembangan Pusat Primer Gedebage (2009-2034) Tabel 20
Hasil Simulasi Perbandingan Subsistem Penduduk,
85
Ekonomi dan Lingkungan dalam Model Pengembangan Pusat Primer Gedebage Tabel 21
Hasil Simulasi Skenario 1 dan 2 dalam Model Pengembangan Pusat Primer Gedebage
86
18
DAFTAR GAMBAR
Halaman Gambar 1
Kerangka Pemikiran Pengembangan Kawasan Gedebage
24
Terhadap Pembangunan Ekonomi Kota Bandung Melalui Pendekatan Sistem Dinamik Gambar 2
Alur Berpikir Dampak Pengembangan Pusat Primer
26
Gedebage Terhadap Pembangunan Ekonomi Kota Bandung Melalui Pendekatan Sistem Dinamik Gambar 3
Peta Rencana Tata Guna Lahan Kota Bandung 2004-2013
47
Gambar 4
Kode Ruang Peruntukan Pusat Primer Gedebage Bandung
56
Gambar 5
Keterangan Tentang Kode Ruang Peruntukan Pusat Primer
57
Gedebage Bandung Gambar 6
Alur pengelolaan kawasan Pusat Primer Gedebage
63
Gambar 7
Diagram Alir Hubungan Antar Subsistem dalam
67
Pengembangan Kawasan Pusat Primer Gedebage Kota Bandung Gambar 8
Struktur Model Subsistem Penduduk dalam pengembangan
69
Pusat Primer Gedebage Kota Bandung Gambar 9
Struktur Model Subsistem Lahan dalam pengembangan
70
Pusat Primer Gedebage Kota Bandung Gambar 10
Struktur Model Subsistem Ekonomi dalam Pengembangan
72
Pusat Primer Gedebage Kota Bandung Gambar 11
Grafik Hasil Simulasi Subsistem Penduduk
74
Gambar 12
Grafik Hasil Simulasi Tingkat Pemanfaatan lahan Kota
76
Bandung Gambar 13
Grafik Hasil Simulasi Tingkat Perubahan PDRB Kota
79
Bandung Atas Dasar Harga Konstan tahun 2000 Gambar 14
Grafik Hasil Simulasi Tingkat Perubahan Pendapatan Per
81
Kapita Kota Bandung Gambar 15
Grafik Hasil Simulasi Tingkat Perubahan
83
19
RTH Kota Bandung Gambar 16
Grafik Hasil Simulasi Perbandingan Subsistem Penduduk, Ekonomi dan Lingkungan dalam Model Pengembangan Pusat Primer Gedebage
85
20
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Pembangunan sebagai suatu proses yang disusun secara sengaja dan terencana untuk mencapai situasi yang diingingkan dengan sendirinya terdapat proses perencanaan yang mengarahkan kepada terjadinya pemerataan (equity), pertumbuhan ekonomi (efficiency), dan keberlanjutan (sustainability). Salah satu indikator keberhasilan pembangunan diantaranya meningkatknya kesejahteraan masyarakat sebagai hasil dari pembangunan ekonomi yang berkeadilan. Berkeadilan artinya kesejahteraan masyarakat bukan hanya dinikmati oleh sebagian masyarakat saja. Wujud pemahaman ini diimplementasikan dalam kegiatan yang dilaksanakan oleh masyarakat dalam mengelola sumber daya dengan efektif dan efisien dalam bentuk kegiatan-kegiatan pembangunan ekonomi yang berdaya saing tinggi. Untuk mencapai tujuan yang kompleks itu, suatu proses pembangunan membutuhkan perencanaan yang cermat. Perencanaan pembangunan ini merupakan langkah strategis yang diambil untuk menghindari meningkatnya kesenjangan pembangunan yang terjadi antar wilayah yang akan mendorong atau menambah ketidakmerataan pembangunan. Perkembangan yang tidak merata ini pada akhirnya menimbulkan back wash effect sebagai kerugian yang diderita oleh wilayah-wilayah yang kurang berkembang akibat adanya ekspansi ekonomi dari wilayah-wilayah yang maju. Seharusnya proses pembangunan dari suatu wilayah yang
berkembang
bisa
memberikan
keuntungan
bagi
wilayah-wilayah
disekitarnya. Dengan kata lain ekspansi pembangunan ekonomi wilayah tersebut harus bisa memberikan spread effects bagi wilayah-wilayah lain. Oleh karena itu perencanaan pembangunan wilayah itu disusun semata-mata bukan hanya untuk kepentingan wilayah yang bersangkutan, melainkan yang lebih luas lagi untuk kepentingan pembangunan nasional secara menyeluruh. Perencanaan pembangunan realisasinya perlu dilakukan dalam bentuk implementasi aktivitas ekonomi dalam berbagai sektor. Selain itu dalam pandangan Capello (2007) aktivitas ekonomi ini muncul, tumbuh, dan terbangun
21
secara maksimal serta berdampak secara positif terhadap masyarakat adalah dalam suatu ruang (space) yang terpusat (angglomerasi). Oleh karena itu langkah memilih lokasi sama maknanya ketika pelaku ekonomi memilih faktor-faktor produksi dan teknologi. Dampak terbentuknya agglomerasi ekonomi ini akan terjadi penurunan biaya yang terjadi karena kegiatan ekonomi yang dilakukan di satu tempat dapat meminimalisir biaya-biaya lain yang disebabkan tersebarnya kegiatan ekonomi pendukung. Dalam hal ini Isard (1975) menekankan pentingnya dukungan pemerintah dalam menciptakan fasilitas-fasilitas yang dapat mendorong terbentuknya ekonomi agglomerasi pada satu wilayah dengan rekayasa dalam bentuk pengembangan suatu kawasan. Pada bagian lain Rustiadi (2007) memaknai pengembangan kawasan (wilayah) sebagai intervensi positif yang dilakukan oleh para pengambil kebijakan dalam berbagai aspek dengan tujuan untuk mempercepat pembangunan suatu wilayah. Pengembangan kawasan dilakukan bukan saja terhadap wilayah yang sedang berkembang tetapi pengembangan kawasan baru menjadi sangat penting dilakukan bukan saja sebagai langkah percepatan pembangunan tetapi juga tingkat efektifitas dan efesiensi proses pengembangan kawasan itu dapat terjaga. Pemahaman ini diterapkan oleh Pemerintah Kota Bandung yang sejak tahun 2004 yang memiliki rencana pengembangan Pusat Primer Gedebage di wilayah timur Kota Bandung sebagai salah satu implementasi pengembangan kawasan Gedebage. Kawasan Gedebage sejak tahun 1987 melalui Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 16 Tahun 1987 menjadi bagian wilayah Kota Bandung yang sebelumnya dikelola oleh Pemerintah Kabupaten Bandung. Bersama dengan Wilayah Ujungberung, pembangunan kawasan Gedebage tertinggal dari empat wilayah lainnya, yakni Bojonegara, Tegallega, Cibeunying, dan Karees. Sesuai dengan Peraturan Daerah Kota Bandung Nomor 02 Tahun 2004 yang dirubah dengan Peraturan Daerah Kota Bandung Nomor 03 Tahun 2006 Tentang Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RTRW) Kota Bandung, pada kawasan tersebut akan dipusatkan berbagai kegiatan ekonomi dan pelayanan masyarakat sebagai bagian dari program pembangunan Kota Bandung tahun 2004-2013. Salah satu yang menjadi prioritas pembangunan di kawasan Gedebage adalah rencana pembangunan Pusat Primer Gedebage sebagai pusat primer kedua
22
di Kota Bandung yang berada di kawasan Bandung Tengah. Adapun bentuk pembangunan yang akan dilakukan di kawasan Pusat Primer Gedebage dan sekitanya di antaranya pembangunan pusat pelayanan masyarakat dan, pembangunan danau buatan, pengembangan kegiatan perdagangan skala nasional dan regional, pengembangan kegiatan jasa komersial skala internasional, nasional, wilayah
dan
kota,
pembangunan
stadion
olahraga
skala
internasional,
pengembangan ruang terbuka hijau, pengembangan pusat kegiatan wisata dan rekreasi, terminal bus terpadu yang terdiri dari terminal penumpang dan terminal barang, pengembangan pergudangan dan terminal peti kemas, pengembangan kegiatan industri kecil dan menengah berwawasan lingkungan. Pengembangan Pusat Primer Gedebage merupakan penegasan orientasi pembangunan Kota Bandung dalam jangka menengah yang memfokuskan pelaksanaan pembangunan Kota Bandung mengarah ke Timur Kota Bandung dengan proyek besarnya Pusat Primer Gedebage. Oleh karena itu pengembangan Pusat Primer Gedebage perlu dilakukan secara terintegrasi agar pengembangan Pusat Primer Gedebage dapat meningkatkan volume aktivitas ekonomi kawasan yang berpengaruh terhadap ekonomi Kota Bandung secara keseluruhan. Peningkatan ekonomi Kota Bandung perlu dilakukan segera karena fakta di lapangan banyak hal yang harus diperbaiki dengan segera oleh Pemerintah Kota Bandung terutama dalam pembangunan ekonomi, seperti dalam aspek ketenagakerjaan Kota Bandung dengan jumlah penduduk tahun 2008 berjumlah 2.374.198 jiwa dengan laju pertumbuhan penduduk 1,90 persen ternyata memiliki tingkat pengangguran yang tinggi, yaitu 15,48 persen di tahun 2008. Sedangkan tingkat perkembangan dalam bidang pembangunan manusia (IPM) yang dalam kurun lima tahun terakhir peringkat IPM Kota Bandung menurun drastic dari peringkat 14 melorot keperingkat 49 di tingka nasional (Bappenas 2008). Menurut BPS Kota Bandung memiliki indeks 77,15 Tahun 2003 dan berubah menjadi 74,5 tahun 2007 dan 78,25 tahun 2008, walaupun nilai ini lebih besar daripada IPM Jawa Barat yang mencapai 70,05 pada tahun yang sama. Sedangkan Nilai Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Kota Bandung tahun 2008 atas harga konstan tahun 2000 sebesar Rp. 26.978.909 Milyar, tahun 2007 sebesar Rp. 24.941.517
23
Milyar, meningkat dari Rp. 23.043.104 Milyar (2006) dan Rp. 21.370.696 Milyar (2005). Tabel 1 Perkembangan Indikator Pembangunan Kota Bandung 2007-2008 No
Indikator
Satuan
2007
2008
1
Jumlah Penduduk
Jiwa
2.329.928
2.374.198
2
Laju Pertumbuhan Penduduk
persen
1,44
1,90
3
Laju Pertumbuhan Ekonomi
persen
8,24
8,29
4
PDRB (ADHK2000)
Milyar
24.941
26.978
6
IPM
74,5
78,25
7
Rata-rata Lama Sekolah
Tahun
10,52
10,65
8
Standar Hidup Layak/Kapita
Rp
577.130
577.385
9
Inflasi
persen
5,21
10,23
10
Jumlah Investasi
Milyar
5.405
4.006
11
Indeks Daya Beli
64,04
64,27
12
Jumlah Rumah Tangga Miskin
RTM
83.500
82.432
13
Jumlah Pengangguran
Jiwa
174.067
173.074
14
Tingkat Pengangguran Terbuka
persen
15,73
15,48
15
Luas Ruang Terbuka Hijau
Ha
1.466
1.484
16
Proporsi RTH
persen
8,76
8,87
Sumber : Diolah dari LPJ Walikota Bandung 2009, Bandung dalam angka 2009 dan RPJM Kota Bandung 2009-2013 Dengan memperhatikan berbagai fakta dan kondisi makro ekonomi Kota Bandung, maka pengembangan kawasan Pusat Primer Gedebage ini perlu dilakukan secara terintegrasi agar tujuan pengembangan kawasan ini dapat meningkatkan volume kegiatan ekonomi Kota Bandung dan dapat memperbaiki beberapa aspek pembangunan Kota Bandung yang pada saat ini mengalami perkembangan negatif seperti tingkat kepadatan penduduk Kota Bandung yang merupakan kota terpadat di dunia dengan rata-rata kepadatan penduduk 13.345 jiwa per kilometer persegi (BKKBN Jabar dan RKPD Kota Bandung 2009), jumlah keluarga miskin terbanyak se-Jawa Barat (BPS Jabar 2008), tujuh dari sepuluh warga kota Bandung menderita kekurangan air bersih (Basis Data LH
24
Bandung 2006), Kota dengan jumlah wanita rawan sosial-ekonomi terbanyak di Jawa Barat (30.000 wanita) (Dinsos Jabar 2007), jumlah timbunan sampah di kota Bandung mencapai 8000 m3, dengan 3000 m3 diantaranya masih tertinggal di TPS (Kementrian Lingkungan Hidup, 2008), enam dari sepuluh murid SD di kota Bandung beresiko menurun kecerdasannya, akibat kadar polusi di atas rata-rata (Dept. TL ITB, BPLHD Jabar 2007), dan jumlah pengangguran terbanyak di Jawa Barat, mencapai lebih 174 ribu orang (BPS Jabar 2007). Agar tujuan pengembangan Pusat Primer Gedebage sesuai dengan tujuannya itu, maka diperlukan suatu konsep desain sistem perencanaan serta pengelolaan yang tepat guna. Desain sistem dalam pengembangan kawasan Pusat Primer Gedebage Kota Bandung ini merupakan suatu pengkajian rekayasa terhadap indikator kinerja pembangunan wilayah berdasarkan pendekatan sistem dinamik. Pendekatan ini didasari oleh prinsip umpan balik (causal loops) antar subsitem wilayah, subsitem penduduk, dan subsitem ekonomi. Salah satu karakteristik dari proses rekayasa indikator kinerja pembangunan wilayah tersebut adalah adanya bentuk pemodelan yang bersifat dinamis dan kuantitatif guna menghasilkan keputusan yang rasional, terukur dan transparan dalam realisasi pengembangan kawasan Pusat Primer Gedebage ini.
1.2 Perumusan Masalah Pengembangan kawasan Pusat Primer Gedebage Kota Bandung tidak terlepas dari pemahaman bahwa angglomerasi ekonomi mempengaruhi kinerja suatu sistem ekonomi. Oleh karena itu pengembangan kawasan Pusat Primer Gedebage Kota Bandung memungkinkan semakin mudahnya kegiatan ekonomi berjalan sehingga dapat memunculkan peluang bagi masyarakat di sekitar kawasan dan Kota Bandung untuk lebih berperan dalam berbagai kegiatan ekonomi yang dapat meningkatkan pembangunan ekonomi Kota Bandung. Dari uraian latar belakang, maka peneliti mencoba menganalisis dampak yang akan ditimbulkan dari pengembangan kawasan Pusat Primer Gedebage Kota Bandung terhadap pembangunan ekonomi Kota Bandung dengan pendekatan sistem dinamik. Berdasarkan hal tersebut, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut :
25
a. Bagaimana perkembangan penggunaan lahan di kawasan Pusat Primer Gedebage Kota Bandung. b. Bagaimana dampak pengembangan kawasan Pusat Primer Gedebage terhadap pembangunan ekonomi Kota Bandung.
1.3 Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah : a. Mengkaji dan menganalisis perkembangan penggunaan lahan di kawasan Pusat Primer Gedebage Kota Bandung. b. Mengkaji dan menganalisis dampak pengembangan kawasan Pusat Primer Gedebage terhadap pembangunan ekonomi Kota Bandung.
1.4 Manfaat Penelitian Manfaat penelitian ini diharapkan dapat dijadikan bahan pertimbangan oleh masyarakat dan Pemerintah Kota Bandung dalam mengimplementasikan dan pengelolaan dari pengembangan kawasan Pusat Primer Gedebage sehingga tujuan dari pengembangan kawasan ini dapat tercapai dengan menekan berbagai dampak negatif yang mungkin ditimbulkannya.
1.5 Batasan dan Ruang Lingkup Penelitian Penelitian seperti yang diungkapkan oleh Bambang Juanda (2009) merupakan suatu proses belajar (usaha) untuk menemukan, mengembangkan dan menguji kebenaran suatu pengetahuan atau untuk memperoleh jawaban masalah penelitian. Oleh karena itu setiap penelitian memerlukan batasan topik penelitian agar tujuan penelitian dapat tercapai dengan memperhatikan beberapa aspek yang perlu diperhatikan dalam pemilihan topik seperti (1) sebaiknya berada dalam jangkauan (manageble topic), (2) tersedianya data untuk membahas topik (obtainable data), (3) menarik untuk diteliti (interesting topic), dan (4) cukup penting (significance of topic). Adapun batasan dari penelitian ini adalah
membahas tentang
perkembangan penggunaan lahan yang akan digunakan untuk kawasan Pusat Primer Gedebage Kota Bandung dan dampak pengembangan kawasan Pusat
26
Primer Gedebage terhadap pembangunan ekonomi Kota Bandung terutama aspek investasi kawasan terhadap pertumbuhan ekonomi serta dinamika kependudukan Kota Bandung. Selain itu pula berdasarkan kemampuan peneliti dalam berbagai aspek, maka penelitian ini dibatasi dalam ruang lingkup penelitian berupa analisis pengembangan kawasan Pusat Primer Gedebage Kota Bandung dengan pendekatan sistem dinamik dengan tiga subsistem, yaitu (1) subsistem wilayah (lahan), (2) subsitem penduduk, dan (3) subsitem ekonomi.
27
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Teori Sistem Dinamis Dalam pandangan Menetsch dan Park seperti yang dikutip oleh Eriyatno (1999) setiap orang dapat menyampaikan terminologi sistem atas dasar pandangan pribadi maupun kegunaan untuk kelompoknya, yang penting harus ada visi tentang sesuatu yang “utuh” dan keutuhan. Oleh karenanya sistem dapat diartikan sebagai himpunan atau kombinasi dari bagian-bagian yang membentuk sebuah kesatuan yang komplek dan memiliki kesatuan (unity), hubungan fungsional dan tujuan yang berguna. Sehingga secara definitif sistem adalah suatu gugus dari elemen yang saling berhubungan dan terorganisasi untuk mencapai tujuan atau suatu gugus dari tujuan-tujuan tertentu. Sistem didefinisikan sebagai suatu kesatuan dari berbagai komponen atau bagian yang saling berinteraksi membentuk suatu fungsi atau tujuan tertentu. Teori sistem berkembang lebih jauh lagi menjadi dua bidang ilmu manajemen utama, berpikir sistemik (system thinking) dan sistem dinamis (system dynamics). Berpikir sistemik merupakan cara pandang baru terhadap suatu kejadian yang menekankan keseluruhan rangkaian bagian secara terpadu. Hal ini terjadi karena adanya kompleksitas permasalahan yang ditandai dengan keragaman yang perlu dikaji atau dikendalikan oleh satu metode saja. Oleh karena itu perlu dicari pemecahan melalui keterpaduan antar bagian melalui pemahaman yang utuh, yang memerlukan suatu kerangka pikir baru yang dikenal dengan pendekatan sistem. Pendekatan sistem merupakan metodologi yang bersifat rasional sampai bersifat intuitif untuk memecahkan masalah untuk mencapai tujuan tertentu. Permasalahan
yang
sebaiknya
menggunakan
pendekatan
sistem
dalam
pengkajiannya, yaitu permasalahan yang memenuhi karakteristik : (1) kompleks, yaitu interaksi antar elemen cukup rumit, (2) dinamis, dalam arti faktornya ada yang berubah menurut waktu dan ada pendugaan ke masa depan, dan (3) probabilistik, yaitu diperlukannya fungsi peluang dalam inferensi kesimpulan maupun rekomendasi. Terdapat tiga pola pikir yang menjadi pegangan pokok dalam menganalisis permasalahan dengan pendekatan sistem, yaitu : (1) sibernetik (cybernetic), artinya berorientasi pada tujuan, (2) holistik (holistic), yaitu cara
28
pandang yang utuh terhadap keutuhan sistem, dan (3) efektif (effectiveness), yaitu prinsip yang lebih mementingkan hasil guna yang operasional serta dapat dilaksanakan dari pada pendalaman teoritis untuk mencapai efesiensi keputusan (Eriyatno, 1999). Oleh karena itu telaah tentang permasalahan dengan pendekatan sistem ditandai oleh ciri-ciri : (1) mencari semua faktor penting yang terkait dalam mendapatkan solusi yang baik untuk menyelesaikan masalah, dan (2) adanya model kuantitatif untuk membantu keputusan secara rasional. Untuk optimalnya pengambilan keputusan dalam permasalahan melalui pendekatan sistem memerlukan apa yang disebut dengan Sistem Penunjang Keputusan (SPK). Keen dan Morton (1986) seperti yang dikutip oleh Eriyatno (1999) mendefinisikan SPK sebagai suatu sistem berbasis komputer yang mendukung manajemen pengambilan keputusan yang berhubungan dengan permasalahan yang bersifat semi terstruktur. Sedangkan Millet dalam Eriyatno (1999) mendefinisikan SPK sebagai suatu sistem yang menggunakan model yang berhubungan antara keputusan dan jalan keluar untuk menunjang pemecahan masalah yang dititikberatkan pada masalah keputusan spesifik ataupun kumpulan masalah-masalah yang berhubungan. Minch dan Burns (1983) seperti yang diacu oleh Eriyatno (1999) mengemukakan bahwa konsepsi model SPK adalah menggambarkan secara abstrak tiga komponen utama penunjang keputusan yaitu pengambilan keputusan, data dan model. SPK terdiri dari tiga elemen pembentuk utama, yaitu basis data, basis model dan manajemen dialog yang terakumalasi dalam suatu sistem yang dinamis. Sistem dinamis sangat erat hubungannya dengan berpikir sistemik. Sistem dinamis dibentuk untuk memberi para manajer suatu alat bantu dalam memahami sistem kompleks yang mereka hadapi. Metodologinya adalah menggunakan simulasi komputer untuk menghubungkan struktur sistem dengan perilaku sistem terhadap waktu. Dengan cara ini, sistem dinamis mampu menterjemahkan pemahaman yang diperoleh dari berpikir sistemik ke dalam model simulasi komputer. Sistem dinamis mampu menciptakan suatu learning environment – suatu laboratorium yang berperan seperti miniatur dari sistem. Simulasi sistem dinamis diatur berdasarkan prinsip: (1) cause-effect (sebab-akibat), (2) feedback (umpan-balik), dan (3) delay (tunda). Simulasi yang
29
lengkap dan komprehensif pasti menggunakan ketiga prinsip tersebut untuk menghasilkan perilaku sistem yang mendekati dunia nyata. Rancangan causalloop diagram (CLD) biasanya digunakan dalam system thinking (berpikir sistemik)
untuk
mengilustrasikan
hubungan
cause-effect
(sebab-akibat).
Hubungan feedback (umpan-balik) bisa menghasilkan perilaku yang bervariasi dalam sistem nyata dan dalam simulasi sistem nyata. Tidak semua hubungan sebab-akibat timbul secara instan. Sering terjadi hubungan sebab-akibat tersebut dipisahkan oleh waktu, bisa berupa detik, menit, jam, minggu, bulan, atau tahun. Delay terjadi dimanapun di dunia nyata. Adanya delay menghasilkan sesuatu hal yang menarik pada perilaku kompleks sistem, ketika sistem tersebut tidak memiliki feedback dan kompleksitas cause-effect yang terbatas. Variabel feedback yang penting adalah level dan flow. Level menunjukkan akumulasi, sedangkan flow menunjukkan perubahan pada yang terjadi pada variabel level.
2.2 Konsep Perencanaan Pembangunan Perencanaan pembangunan dapat dikatakan identik dengan ekonomi pembangunan. Bila ruang gerak ekonomi pembangunan berusaha mencari strategi pembangunan, perencanaan pembangunan merupakan alat yang ampuh untuk menerjemahkan strategi pembangunan tersebut dalam berbagai program kegiatan yang terkoordinir. Koordinasi ini perlu dilakukan sehingga sasaran-sasaran, baik ekonomi maupun sosial, yang telah ditetapkan semula dapat dicapai secara lebih efisien untuk menghindari terjadinya pemborosan-pemboroan dalam pelaksanaan pembangunan (Hendra, 1995). Perencanaan pembangunan ekonomi bisa juga dianggap sebagai perencanaan untuk memperbaiki penggunaan sumber-sumber daya publik yang tersedia di daerah tersebut dan untuk memperbaiki kapasitas sektor swasta dalam rangka menciptakan nilai sumber-sumber daya swasta secara bertanggung jawab (Arsyad, 1999). Dengan demikian diharapkan perekonomian wilayah dapat mencapai keadaan perekonomian yang lebih baik pada masa yang akan datang dibanding dengan keadaan sekarang ini, atau minimal sama dengan keadaan ekonomi sekarang.
30
Hirschman (1958) menegaskan bahwa jika terjadi perbedaan yang sangat jauh antara perkembangan ekonomi di daerah kaya dengan daerah miskin, akan terjadi proses pengkutuban (polarization effects), sebaliknya jika perbedaan diantara kedua daerah tersebut menyempit, berarti telah terjadi imbas yang baik karena ada proses penetesan ke bawah (trickle down effects). Dari pandangan ini, dapat dikatakan bahwa perlunya perencanaan pembangunan itu semata-mata bukan hanya untuk kepentingan wilayah yang bersangkutan, melainkan yang lebih luas lagi seperti untuk kepentingan pembangunan nasional secara menyeluruh. Ada beberapa pendekatan yang dapat diterapkan untuk menyusun perencanaan pembangunan suatu wilayah, yaitu : (1) pendekatan atas-bawah (topdown), (2) pendekatan bawah-atas (bottom-up), (3) pendekatan obyek, sektoral atau bidang, (4) pendekatan gabungan atau campuran, (5) pendekatan komprehensif, (6) pendekatan terpadu, (7) pendekatan pengkerutan (reduced), (8) pendekatan parsial, (9) pendekatan proyek demi proyek (Mangiri, 2000). Perencanaan pembangunan yang disusun dengan pendekatan top-down merupakan perencanaan pembangunan yang sudah diatur pada tingkat atas pemerintah pusat atau daerah yang tidak melibatkan masyarakat, yang kemudian diturunkan ke tingkat lebih bawah dari suatu pemerintah (pusat atau daerah) untuk dilaksanakan sesuai dengan petunjuknya. Pendekatan ini menitikberatkan pada visi terlebih dahulu, kemudian misi, strategi, program dan proyek. Manfaat yang dapat diberikan dengan pendekatan ini adalah program pembangunan yang direncanakan akan lebih cepat terlaksana, karena yang menetapkan hanya beberapa orang pada tingkat pimpinan yang mempunyai persepsi dan wawasan pembangunan yang sama. Akan tetapi, sering juga pendekatan semacam ini menimbulkan permasalahan di lapangan. Karena perencanaannya diturunkan dari atas, bisa saja terjadi program-program pembangunan yang diajukan tidak sesuai dengan potensi atau permasalahan pada wilayah setempat. Akibatnya apa yang menjadi tujuan dari perencanaan tersebut tidak tercapai, bahkan bisa saja hasil yang didapat bertolak belakang dengan tujuan yang diinginkan. Pendekatan kedua, bottom-up, tampaknya lebih operasional atau lebih menyentuh masyarakat, sehingga dianggap mampu memecahkan masalahmasalah pembangunan yang langsung dirasakan oleh masyarakat. Namun
31
demikian, pendekatan ini bisa menyebabkan terjadinya benturan-benturan antara masalah wilayah yang diangkat dengan tujuan makro, dan di samping itu menimbulkan sikap ego lokal yang lebih mementingkan wilayahnya sendiri. Perencanaan yang disusun dari bawah, menyebabkan pula masing-masing wilayah atau sekelompok masyarakat ingin lebih dipentingkan dari wilayah atau kelompok masyarakat yang lain. Akibatnya muncul konflik yang bersifat horizontal, yang akhirnya mengganggu proses pembangunan ekonomi yang dijalankan. Pendekatan
perencanaan
dapat
juga
dilakukan
dengan
lebih
menitikberatkan terhadap pembangunan sektor-sektor atau bidang-bidang tertentu. Di sini tujuan perencanaan dapat diarahkan kepada pemecahan masalah pada sektor-sektor yang menjadi bottleneck dalam pembangunan, ataupun untuk mengembangkan sektor-sektor yang merupakan leader dalam perekonomian daerah. Pola perencanaan yang lebih mengedepankan pembangunan sektoral umumnya berpijak pada konsep pertumbuhan tidak berimbang yang dinilai oleh beberapa ahli ekonomi mempunyai keterbatasan-keterbatasan, di antaranya: (1) kurang perhatian terhadap komposisi, arah dan saat petumbuhan tidak berimbang, (2) mengabaikan pihak-pihak yang beroposisi terhadap pembangunan, (3) memunculkan tekanan inflasi, (4) sulit diterapkan untuk daerah-daerah yang kurang maju dimana fasilitas dasar dan mobilitas faktor menjadi kendala dalam pembangunan (Jhingan, 1993). Pendekatan ideal dalam penyusunan perencanaan pembangunan adalah dengan menggabungkan semua kepentingan atas, bawah, sektoral ataupun bidang pembangunan yang diakomodir dan diselaraskan dalam sebuah perencanaan yang sistematis dan dinamis. Sistem perencanaan pembangunan ini lebih bersifat simulasi dengan kendala tujuan target makro tetapi pelaksanaannya sesuai dengan tingkat bawah. Hasilnya menjadi perencanaan optimal antar pusat, wilayah dan sektor yang dianggap sebagai isu utama nasional atau daerah. Dalam prakteknya, sangat sulit melakukan perencanaan semacam ini. Karena belum tentu tujuan yang diutamakan bagi wilayah merupakan pula tujuan nasional, atau sebaliknya tujuan yang diutamakan bagi nasional belum temtu merupakan tujuan wilayah. Singkatnya, sangat sulit untuk mempertemukan antara tujuan wilayah dengan tujuan nasional.
32
Pendekatan perencanaan pembangunan yang komprehensif diartikan sebagai suatu pendekatan perencanaan yang terkoordinir dan terpadu dalam suatu wilayah pembangunan, dan salah satu bentuk lain dari pendekatan komprehensif adalah pendekatan terpadu. Pendekatan ini berusaha mengintegrasikan semua komponen-komponen ekonomi, dan sosial ke dalam suatu perencanaan pembangunan wilayah. Perencanaan terpadu ini mempunyai empat aspek, yaitu (1) keterkaitan, (2) kuantitas, (3) optimasi, dan (4) risiko (Mangiri, 2000). Sedangkan pernyusunan perencanaan dengan pendekatan parsial lebih bersifat pemecahan persoalan (problem-solving) dalam proses pembangunan, sehingga dengan sendirinya dalam pendekatan ini terdapat berbagai bentuk pendekatan perencanaan. Dengan kata lain pendekatan parsial ini mirip dengan pendekatan gabungan atau campuran. Pendekatan terakhir yang dapat diterapkan dalam penyusunan perencanaan pembangunan wilayah adalah pendekatan proyek demi proyek. Setelah ditetapkan pendekatan mana yang akan diterapkan, langkah berikutnya adalah menyusun perencanaan pembangunan yang dilakukan melalui beberapa tahapan, : (1) pengumpulan data dan analisis, (2) pemilihan strategi pembangunan wilayah, (3) pemilihan proyek-proyek pembangunan,
(4)
pembuatan rencana tindakan, (5) penentuan rincian proyek, dan (6) persiapan perencanaan secara keseluruhan dan implementasi (Blakely seperti yang dikutip oleh Arsyad, 1999). Selain itu perencanaan pembangunan tidak bisa terlepas dari pengetahuan tentang obyek perencanaan, apakah obyek itu berupa nasional, daerah, sektor, ataupun bidang pembangunan. Dengan mengetahui berbagai kecenderungan dari faktor-faktor atau variabel-variabel yang mempengaruhinya, perencana dapat menetapkan strategi pembangunan suatu wilayah dengan lebih tepat agar diperoleh hasil seoptimal mungkin. Untuk semua ini, diperlukan suatu analisis yang teliti dan kompleks yang menyangkut berbagai aspek tentang obyek perencanaan pembangunan. Analisis adalah penyelidikan sesuatu peristiwa untuk mengetahui penyebabnya, dan bagaimana duduk perkaranya. Sedangkan menganalisis ialah menyelidiki dengan menguraikan masing-masing bagiannya. Kegunaan model perencanaan menurut Jhingan (1993) adalah : (1) memberikan kerangka pengawasan terhadap konsistensi atau optimalisasi sasaran
33
rencana yang tertulis, (2) memberikan kerangka bagi penentuan sasaran yang sebenarnya, (3) memberikan kerangka bagi penilaian proyek, dan (4) memberikan pengertian yang mendalam mengenai struktur perekonomian, serta dinamikanya guna menunjang keputusan keputusan kebijaksanaan yang lebih baik. Oleh karena itu Jhingan (1993) membagi model-model perencanaan dalam tiga bentuk pula, yaitu (1) model agregat, (2) model desentralisasi, dan (3) model multisektor. Model agregat mengikuti garis optimal pertumbuhan agregat-agregat ekonomi seperti pendapatan, tabungan, konsumsi, investasi, dan sebagainya. Model Keynes, model Harrod-Domar, dan model two-gap adalah termasuk jenis ini. Model yang didesentralisasi mengandung variabel sektor atau variabel tingkat proyek yang dipakai untuk mempersiapkan model masing-masing sektor atau proyek. Model multisektor dibangun untuk menghubungkan agregat-agregat ekonomi makro dengan sektor-sektor yang merupakan materi operasional perencanaan. Pilihan model-model perencanaan pembangunan sangat tergantung kepada kemampuan tenaga perencanaan untuk mempergunakan model tersebut, tersedianya waktu, data dan berbagai fasilitas penunjang lainnya (aspek infrastruktur), dan bentuk pendekatan yang akan dipergunakan di dalam menyusun perencanaan pembangunan. Walaupun ketiga faktor tersebut sepertinya membatasi suatu wilayah di dalam memilih model perencanaan pembangunannya, bukan berarti setiap kali menyusun perencanaan pembangunan jangka pendek selalu menggunakan model-model yang sama dan sangat terbatas. Perekonomian itu berjalan dinamis, karena pola konsumsi dan produksi dalam masyarakat selalu berubah. Akibatnya orientasi pembangunan tidak mungkin terus sama setiap tahun. Konsep perencanaan pembangunan hanyalah merupakan alat dan cara untuk mencapai tujuan, target dan strategi yang telah ditentukan sebelumnya. Sehingga menurut Arsyad (1999) perencanaan dalam pembangunan akan memiliki fungsi : (1) Sarana komunikasi bagi semua stakeholder, (2) dasar dalam mengatur sumberdaya dan sumberdana, (3) menjadi tolok ukur keberhasilan fungsi pengendalian, dan (4) alat untuk melakukan evaluasi. Dari fungsi
34
perenanaan
dalam
pembangunan
ini,
maka
dapat
dilihat
perencanaan
pembangunan yang baik, yaitu yang memiliki ciri-ciri sebagai berikut: a. Punya target yang jelas. Satu daerah dengan daerah lain mempunyai target yang berbeda yang tercantum dalam renstra daerah masing-masing. Perencanaan yang baik apabila dari target yang dimiliki mempunyai langkahlangkah yang jelas untuk melaksanakannya. b. Konsisten dan Realistis. Yang sering terjadi adalah berbeda antara apa yang direncanakan dengan apa yang dikerjakan sehingga pekerjaan tidak sesuai lagi denga perencanaan yang dibuat dan disetujui bersama. Perencanaan juga harus mengukur sumberdaya yang dimiliki, sehingga perencanaan yang dibuat bukanlah yang tidak mungkin dilaksanakan. c. Mempunyai Pengawasan yang Berkesinambungan. Dengan membentuk alur dan sistim yang jelas sehingga perencaan akan menjadi alat kontrol yang kontinyu. d. Jelas Target Fisik dan Pembiayaannya. Perencanaan harus mempunyai target pencapaian apa yang dikerjakan termasuk kualitas dan persyaratan secara fisik lainnya. Di samping itu perencanaan juga jelas target anggarannya. e. Terukur. Sehingga dalam pelaksanaanya perencanaan akan memudahkan dalam menentukan indikator keberhasilannya. f. Ada batas waktu yang jelas dari setiap pekerjaan, Arsyad (1999).
2.3 Konsep Pertumbuhan Ekonomi Keberhasilan suatu pembangunan salah satu indikatornya dilihat dari peningkatan pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi pada suatu wilayah pada dasarnya menggunakan konsep-konsep pertumbuhan ekonomi secara agregat. Hanya saja titik tekanan analisis pertumbuhan regional lebih diletakkan pada akumulasi faktor produksi. Akumulasi faktor produksi tenaga kerja dan modal dalam suatu wilayah dari satu tahun ke tahun berikutnya, membuka peluang bagi perbedaan tingkat pertumbuhan di suatu wilayah. Model Harrod-Domar memberikan peranan kunci kepada investasi di dalam proses pertumbuhan ekonomi, khususnya mengenai watak ganda
35
yang dimiliki investasi, yaitu: (1) investasi menciptakan pendapatan, dan (2) investasi memperbesar kapasitas produksi perekonomian dengan cara meningkatkan stok modal. Yang pertama dapat disebut sebagai dampak permintaan, dan kedua dampak penawaran investasi. Arsyad (1999) mengatakan bahwa yang dimaksud dengan pertumbuhan ekonomi suatu wilayah adalah pertambahan pendapatan masyarakat yang terjadi di wilayah tersebut, yaitu kenaikan seluruh nilai tambah (added value) yang terjadi di wilayah tersebut. Pertambahan pendapatan tersebut diukur dalam nilai riil atau dinyatakan dalam harga konstan. Pertumbuhan ekonomi pada dasarnya terkait dengan proses peningkatan produksi barang dan jasa dalam suatu daerah perekonomian. Pertumbuhan menyangkut perkembangan berdimensi tunggal dan diukur dengan meningkatnya hasil produksi (output) dan pendapatan. Sukirno (1985) menyatakan bahwa ada beberapa faktor mempengaruhi pertumbuhan ekonomi
yang
suatu wilayah, yaitu: (1) tanah dan
kekayaan alam, (2) jumlah dan kualitas penduduk dan tenaga kerjanya, (3) barang modal dan tingkat teknologi, (4) sistem sosial dan sikap masyarakat, dan (5) luas pasar sebagai sumber pertumbuhan. Sedangkan menurut Todaro (2004) komponen-komponen pertumbuhan ekonomi yang penting dalam masyarakat, yaitu: (1) akumulasi modal termasuk semua investasi baru dalam bentuk tanah, peralatan fisik dan sumberdaya alam, (2) perkembangan pendududuk, khususnya yang menyangkut pertumbuhan angkatan kerja, dan (3) kemajuan teknologi. Suatu perekonomian dikatakan mengalami pertumbuhan jika tingkat kegiatan ekonominya meningkat atau lebih tinggi jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Dengan kata lain, pertumbuhan baru terjadi jika jumlah barang dan jasa secara fisik yang dihasilkan perekonomian tersebut bertambah besar pada tahun-tahun berikutnya. Oleh karena itu, untuk melihat peningkatan jumlah barang yang dihasilkan maka pengaruh perubahan harga-harga terhadap nilai pendapatan wilayah pada berbagai tahun harus dihilangkan. Caranya adalah dengan melakukan perhitungan pendapatan daerah didasarkan atas harga konstan. Kalau perhitungan pendapatan daerah menggunakan tingkat harga yang berlaku pada waktu tersebut, hasil perhitungannya adalah pendapatan daerah menurut harga yang berlaku pada tahun bersangkutan. Jadi perhitungan pendapatan daerah
36
dapat menggunakan harga konstan atau pendapatan riil, dapat pula menggunakan harga yang berlaku saat itu atau pendapatan nominal. Setiap upaya meningkatkan pertumbuhan melalui pembangunan suatu wilayah yang dilakukan oleh pemerintah berserta masyarakatnya memiliki tujuan utama, yaitu untuk meningkatkan jumlah dan jenis peluang kerja bagi masyarakat. Dalam upaya untuk mencapai tujuan tersebut, pemerintah dan masyarakatnya harus secara bersama-sama mengambil inisiatif pembangunan. Oleh karena itu, dengan adanya kebijakan desentralisasi fiskal maka pemerintah hendaknya selalu melibatkan
partisipasi
masyarakatnya
dalam
memanfaatkan
sumberdaya-
sumberdaya yang ada, serta harus mampu memperhitungkan potensi sumberdayasumberdaya yang diperlukan untuk meraancang dan membangun perekonomian.
2.4 Penelitian Terdahulu Penelitian dengan menggunakan sistem dinamik sudah banyak dilakukan di Indonesia di antaranya Tofik Hidayat, Subagyo dan Anna Maria Sri Asih (2008) membuat Model Penerimaan Pendapatan Asli Daerah (PAD) dengan pendekatan Sistem Dinamik. Metode yang digunakan adalah Metode Net Present Value dan Benefit Cost Ratio yang dipakai dalam penyelesaian investasi karena metode ini mempertimbangkan faktor uang selama dan kegunaan selama proses investasi dengan pendekatan sistem dinamik diharapkan akan terbentuk struktur industri yang memberikan feedback, sehingga akan memberikan hasil yang optimal. Dari hasil simulasi dan pengujian model dengan behavior reproduction test dengan t-spaired test diketahui bahwa tidak ada selisih yang signifikan antara output model dengan data histories. Hasil penelitian ini menyatakan bahwa investasi yang ditanam mampu menekan kerugian perusahaan sebesar Rp. 67,854,605.10 dengan nilai NPV > 0 dan B-C ratio >1, maka investasi dinyatakan feasible secara teknis. Adapun kontribusi pada penerimaan PAD sebesar Rp. 222,136,546.93. Dari uji validitas model pada tiga perusahaan di tiga kabupaten/kota yang berbeda menunjukan bahwa model dapat bekerja dan diterima dengan baik. Yulia Asyiawati (2002) melakukan penelitian tentang sistem dinamik dalam penataan ruang wilayah pesisir Kabupaten Bantul. Dengan menggunakan
37
software stella, penelitian ini menunjukkan bahwa dinamika Pesisir Kabupaten Bantul, baik wisatawan maupun petani akan mengalami perubahan yang dipengaruhi tiga subsistem, yaitu (1) subsistem lahan, (2) subsitem penduduk, dan (3) subsitem kegiatan ekonomi pesisir. Perubahan tersebut ditandai dengan adanya pertambahan penduduk dan pertambahan jumlah wisatawan pesisir pantai. Selain itu pula terjadi perubahan terhadap tingkap produksi petani terutama komoditas padi, cabe merah, ketela rambat dan kacang tanah. Penelitian yang berkaitan dengan sistem dinamis dilakukan pula oleh Hadi (2006) dengan kajian model dinamik penataan ruang kehutanan yang dilakukan di Kawasan Hutan di enam provinsi yang mewakili empat klaster wilayah berdasarkan fungsi kawasan yang berbeda yaitu: (1) klaster 1, dicirikan oleh luas areal hutan produksi yang tinggi, diwakili Provinsi Jawa Timur dan Kalimantan Timur, (2) klaster 2, dicirikan oleh luas areal hutan konversi yang tinggi, diwakili Provinsi Sumatera Utara, (3) klaster 3, dicirikan oleh luas areal yang didominasi oleh hutan produksi terbatas, konservasi, dan lindung, diwakili Provinsi Jambi dan Sulawesi Tengah, dan (4) klaster 4, dicirikan oleh luas areal penggunaan lain yang tinggi, diwakili Provinsi Bali. Metode dalam penelitian ini diawali dengan mengkaji Dokumen Teknis yang meliputi RTRWP, Laporan-Laporan Hasil Evaluasi Kegiatan Pembangunan, Rencana-Rencana sektor kehutanan, perkebunan dan pertanian, dan Peta-Peta. Berdasarkan hasil kajian dokumen teknis disusun permasalahan-permasalahan teknis dan informasi berbagai potensi yang ada. Selanjutnya, dilakukan verifikasi lapangan atas informasi potensi dan permasalahan-permasalahan teknis berikut permasalahan lain; menyangkut aspek sosial, ekonomi, budaya dan politik serta manajemen. Berbagai parameter dalam aktivitas sosial, aktivitas ekonomi, dan biofisik kawasan perlu ditetapkan sebagai dasar membuat perencanaan tata ruang, setelah identifikasi kondisi dilakukan. Model optimasi pemanfaatan ruang, selanjutnya dibangun berdasarkan parameter-parameter sosial dan ekonomi yang telah diturunkan dari kondisi riil di lapang. Alat yang digunakan untuk membantu menampung kedinamisan dalam kajian optimasi tata ruang ini adalah Program Stella Research 5.1. Hasil penelitian ini menunjukkan adanya perubahan terhadap jumlah PDRB dan luas kawasan hutan di tiap provinsi pada tahun 2004 dan 2024.
38
Hasil penelitian yang berkaitan dengan Kota Bandung di antaranya yang dilakukan oleh Dewi Kurniasih (2005) dengan penelitian tentang model skala prioritas
pembangunan
Kota Bandung berbasis Good
Governance. Dalam
penelitian ini mengungkapkan bahwa berbicara mengenai otonomi daerah, tidak terlepas dari isu kapasitas keuangan dari masing-masing daerah. Hal ini dikarenakan otonomi dan desentralisasi selalu dikaitkan dengan besaran uang yang dapat dimiliki daerah. Tentu saja hal tersebut akan berkaitan langsung dengan besaran Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan prosentase terhadap Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Penelitian ini bertujuan untuk: (1) menyediakan suatu program dasar perencanaan pembangunan secara menyeluruh dan terpadu dalam kerangka Otonomi Daerah berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah, (2) mengoptimalkan perencanaan pembangunan di Kota
Bandung melalui penjaringan kebutuhan
masyarakat, dan (3) menyusun skala prioritas kegiatan pembangunan di Kota Bandung tahun 2006. Metode penelitian yang digunakan adalah deskriptif eksploratif dengan teknik kuantitatif melalui penggunaan software sebagai salah satu bentuk aplikasi e-government. Berdasarkan hasil penelitian menyimpulkaan beberapa hal : a. Pelibatan masyarakat sejak awal kegiatan musrenbang harus dipertahankan. Sejak saat itulah konsep skala prioritas kegiatan dapat mulai diajukan. b. Kelengkapan dan keseragaman data merupakan aspek yang sangat penting dalam menentukan skala prioritas. Hal ini akan mempengaruhi scoring dan ranking penilaian Daftar Skala Prioritas (DSP). c. Apabila telah disepakati metodologi penilaian DSP yang akan digunakan, seyogyanya dilakukan pelatihan guna memperoleh kesepemahaman mengenai komponen-komponen yang harus dinilai dalam menentukan skala prioritas. Penelitian yang berkaitan denga kawasan Gedebage dilakukan di antaranya oleh Maman Hilman (2004) dengan penelitian tentang perkembangan lokasi perumahan di wilayah Gedebage Kota Bandung akibat pemekaran kota. Penelitian ini bertujuan untuk : (1) mengetahui pengaruh pemekaran kota terhadap perkembangan luas area perumahan; (2) melihat kecepatan perkembangan luas area perumahan; (3) mengetahui pola perkembangan lokasi perumahan. Metode
39
penelitian yang digunakan adalah metode deskriftif. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa perkembangan luas area perumahan di wilayah Gedebage Kota Bandung dipengaruhi oleh meningkatnya perkembangan faktor sosial ekonomi akibat pemekaran kota. Perkembangan luas area perumahan di wilayah Gedebage dipengaruhi oleh pemekaran kota sebesar 89,29 persen. Kecepatan perkembangan luas area perumahan di wilayah Gedebage lebih tinggi terjadi setelah pemekaran kota. Rata-rata perkembangannya setelah pemekaran kota sebesar 212.003,7 m2/tahun dan sebelum pemekaran kota 17.369 m2/tahun. Selain itu pola perkembangan luas area perumahan di wilayah Gedebage menunjukkan pola yang tidak jelas. Selain itu penelitian di kawasan Gedebage LPM-UNPAD (2002) tentang kajian sosial pengembangan wilayah Gedebage
dengan menggunakan dua
pendekatan Policy Research dan Action Research. Policy Research (penelitian kebijakan) merupakan sebuah proses penelitian atau analisis yang dilakukan terhadap masalah-masalah sosial mendasar, sehingga temuan-temuan dalam analisanya dapat direkomendasikan kepada pembuat keputusan untuk bertindak secara praktis dalam menyelesaikan masalah. Pendekatan ini sangat relevan dengan program pengembangan kawasan Gedebage yang masih dalam tahap perencanaan, pada pendekatan penelitian kebijakan ini mencoba mengidentifikasi kira-kira gejolak sosial apa yang akan terjadi pada masyarakat Gedebage, terutama di dalam program pembangunan terminal terpadu yang biasanya akan menimbulkan ketidakamanan dan ketidaknyamanan bagi penduduk sekitar. Di samping itu suatu permasalahan yang sangat mendasar yang harus diselesaikan secara serius adalah bagaimana alih profesi bagi masyarakat petani. Maka untuk menjaring informasi dan aspirasi masyarakat yang sesungguhnya dapat dilakukan pendekatan partisipatory atau focus group disscusion melalui beberapa kelurahan di kawasan inti dan penyangga yang dilakukan pada komunitas yang dianggap homogen, seperti masyarakat petani, masyarakat ojek, masyarakat pegawai formal, masyarakat pedagang dan lain sebagainya. Adapun kesimpulan dari penelitian ini menunjukkan beberapa hal yang perlu dicermati, di antaranya : a. Masalah proporsi peruntukan lahan yang belum seimbang di beberapa wilayah kelurahan di Gedebage
40
b. Masalah struktur kependudukan dan angkatan kerja c. Masalah struktur kepemilikan tanah d. Masalah kerajinan dan industri e. Masalah kesehatan dan keluarga berencana f. Masalah pendidikan dan kebudayaan Selanjutnya, hasil penelitian ini juga telah memberikan catatan terhadap isu-isu strategi yang dimunculkan, diantaranya : a. Delapan kelurahan yang menjadi objek kajian, menunjukkan adanya kebutuhan terhadap upaya-upaya alih profesi dan profesi baru bagi anggota masyarakat yang kehilangan pekerjaan dan belum bekerja. b. Harapan-harapan dalam pengembangan Gedebage, tidak hanya menjadi perhatian masyarakat, melainkan juga oleh aparat pemerintah. Masyarakat menginginkan adanya perbaikan-perbaikan dalam berbagai sektor yang selama ini tidak atau belum tersentuh oleh kebijakan pemerintah, seperti masalah perumahan, akses jalan tol, banjir, kesehatan masyarakat dan lingkungan, sarana dan prasarana yang diperlukan, dan lain-lain. c. Kelembagaan-kelembagaan yang ada tampaknya tidak mampu menampung keinginan banyak pihak, karenanya harapan-harapan yang muncul adalah pengembangan kelompok-kelompok potensial menjadi kelompok aktual.
2.5 Kerangka Pemikiran Aktivitas ekonomi muncul, tumbuh, dan terbangun dalam suatu ruang. Perusahaan, dan pelaku ekonomi secara umum akan memilih lokasi sebagaimana mereka memilih faktor produksi dan teknologi. Sumberdaya produksi terdistribusi secara tidak merata dalam suatu ruang: sumberdaya sering terkonsentrasi dalam suatu area tertentu sehingga terjadi ketidakseimbangan. Ruang tidak dapat dilepaskan dari aktivitas ekonomi. Pernyataan ini didasari oleh kenyataan bahwa setiap aktivitas produksi memerlukan ruang dan tidak semua area geografis memberikan kesempatan atau ketersediaan yang sama untuk (aktivitas) produksi dan pembangunan. Penyebaran bahan mentah, faktor produksi (modal dan tenaga kerja), dan permintaan yang tidak merata membuat perusahaan (dan aktivitas produksi secara umum) memilih lokasi sebagaimana
41
mereka memilih faktor produksi dan teknologi yang akan mempengaruhi kapasitas produksi dan posisi perusahaan di pasar, lokasi secara krusial akan menentukan kapasitas produksi perusahaan (secara agregat) dari area geografis di mana perusahaan itu berlokasi. Namun demikian pemilihan lokasi bukan satu-satunya yang dapat menjadikan suatu wilayah dapat berkembang secara maksimal. Perkembangan suatu wilayah yang baik dapat ditunjukkan oleh adanya keterkaitan antar sektor ekonomi wilayah tersebut, dalam hal ini terjadi transfer input output barang dan jasa antar sektor secara dinamis. Demikian juga pengembangan Pusat Primer Gedebage Kota Bandung akan menciptakan peningkatan kegiatan sektor-sektor ekonomi di sekitar kawasan tersebut maupun Kota Bandung pada umumnya sebagai indikator keberhasilan pembangunan di wilayah tersebut. Di sisi lain pelaksanaan Pusat Primer Gedebage Kota Bandung akan gagal apabila laju pertumbuhan meningkat tetapi pendapatan masyarakat rendah. Hal ini mengidentifikasikan bahwa pembangunan tersebut belum mampu menciptakan spread effect kepada masyarakat. Relevansi pemahaman ini dengan wilayah yang diteliti merupakan suatu landasan pemikiran mengenai komponen pengembangan Pusat Primer Gedebage Kota Bandung yang meliputi penggunaan ruang di kawasan Gedebage, berbagai kegiatan ekonomi, serta dinamika populasi penduduk. Ketiga variabel tersebut merupakan variabel state (pendukung) dalam membangun model konseptual. Kemudian ditentukan variabel non-state (variabel lainnya) yang meliputi variabel penggerak (driving), variabel pembantu (auxiliary), dan variabel tetap (constant) yang melengkapi suatu model yang dapat menciptakan kesempatan kerja dan pertumbuhan ekonomi di Kota Bandung. Desain sistem pengembangan Pusat Primer Gedebage Kota Bandung merupakan interaksi antar sub model ketersediaan ruang kawasan Gedebage (lingkungan), sub model populasi penduduk serta sub model ekonomi. Setelah dilakukan identifikasi terhadap variabel-variabel yang terlibat, kemudian ditentukan hubungan yang logis antar variabel tersebut. Dari hubungan itu dapat ditentukan apakah hubungannya bersifat positif atau negatif. Dengan demikian
42
dapat dibangun hubungan umpan balik (causal loop) untuk semua variabel dalam pengembangan Pusat Primer Gedebage Kota Bandung dalam rantai tertutup. Seperti
yang
digambarkan
dalam
kerangka
pemikiran
bahwa
pengembangan Pusat Primer Gedebage Kota Bandung menunjukkan ada beberapa faktor yang akan mempenguhi optimalisasi pembangunan kawasan ini. Faktor wilayah, penduduk dan ekonomi merupakan faktor yang dapat menimbulkan pengaruh positif dan negatif. Pengaruh positif
antara lain terhadap faktor
ekonomi seperti adanya perubahan pendapatan asli daerah, pendapatan masyarakat serta PDRB. Pengaruh negatif dapat terjadi apabila perencanaan pengembangan Pusat Primer Gedebage Kota Bandung kurang baik dalam. Selain itu juga masalah laju pertumbuhan penduduk yang tidak terkontrol dapat berpengaruh negatif terhadap keseimbangan penduduk di kawasan Pusat Primer Gedebage Kota Bandung karena pusat kegiatan ekonomi pada akhirnya menjadi tujuan bagi penduduk untuk melakukan perpindahan ke wilayah tersebut. Sedangkan faktor pendukung yang dapat membuka peluang berhasilnya sistem pengembangan kawasan Gedebage antara lain adalah ketersediaan ruang kawasan Gedebage. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat dari Gambar 1 tentang Kerangka Pemikiran
Pengembangan
Kawasan
Gedebage
Terhadap
Pembangunan
Ekonomi Kota Bandung Melalui Pendekatan Sistem Dinamik. Sebagai upaya realisasi dari Visi dan Misi Pembangunan Kota Bandung yang ditafsirkan dalam bentuk perumusan sasaran pembangunan dan dilandasi oleh hukum formal berupa Perda RTRW Kota Bandung Nomor 02 Tahun 2004 dan Nomor 03 Tahun 2006 serta sesuai dengan target makro pembangunan Kota Bandung, baik rencana yang bersifat jangka menengah maupun jangka panjang, maka Pengembangan Kawasan Gedebage dengan proyek utamanya pembangunan Pusat Primer Gedebage akan menjadi prioritas pembangunan Kota Bandung yang akan berpengaruh baik terhadap kegiatan pemerintahan maupun masyarakat, serta kegiatan ekonomi Kota Bandung Untuk lebih jelasnya tentang Kerangka Pemikiran tentang dampak pengembangan Pusat Primer Gedebage terhadap pembangunan ekonomi Kota Bandung melalui pendekatan sistem dinamik. dapat dilihat dari Gambar 1.
43
Visi dan Misi Pembangunan Kota Bandung
Perumusan sasaran pembangunan sesuai dengan target makro pembangunan Kota Bandung
Perda RTRW Kota Bandung Nomor 02 Tahun 2004 dan Nomor 03 Tahun 2006
Implementasi
Stakeholders
Analisis kebutuhan
Subsistem wilayah
Pengembangan Kawasan Gedebage
Subsistem penduduk
Analisis Dampak Terhadap Pembangunan Ekonomi Kota Bandung
Formulasi permasalahan
Identifikasi sistem
Pemodelan sistem
Model dinamik dampak pengembangan kawasan Gedebage Kota Bandung Optimalisasi kawasan Gedebage
Gambar 1 Kerangka Pemikiran Pengembangan Pusat Primer Gedebage Terhadap Pembangunan Ekonomi Kota Bandung Melalui Pendekatan Sistem Dinamik
Subsistem ekonomi
44
III. METODE PENELITIAN
3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Lokasi penelitian adalah Kawasan Gedebage di timur Kota Bandung yang terletak di antara 1070 36’ Bujur Timur dan 600 55’ Lintang Selatan. Lokasi Kota Bandung cukup strategis, dilihat dari segi komunikasi, dan perekonomian. Hal tersebut dikarenakan Kota Bandung terletak pada pertemuan poros jalan yaitu dari sebelah Barat - Timur yang memudahkan hubungan dengan Ibukota Negara dan dari sebelah Utara - Selatan yang memudahkan lalu lintas ke daerah perkebunan (Subang dan Pangalengan). Adapun waktu penelitian dilakukan pada rentang waktu bulan Juli-Oktober 209.
3.2. Jenis dan Sumber data Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder seperti pendapatan daerah berupa pertumbuhan ekonomi daerah, produk domestik regional bruto (PDRB), kependudukan dan ketenagakerjaan., kondisi geografis, demografis yang dikumpulkan dari instansi terkait, yaitu BPS Kota Bandung, Pemerintah Kota Bandung, Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah (BAPEDA), dan Dinas Tenaga Kerja.
3.3. Metode Analisis Data 3.3.1 Analisis Model Pengembangan Kawasan Desain sistem pengembangan Pusat Primer Gedebage merupakan alam bentuk interaksi antar sub model ketersediaan ruang kawasan Gedebage (lingkungan) berupa model pemanfatan lahan dan model kondisi RTH Kota Bandung, sub model dinamika penduduk, dan sub model ekonomi dalam bentuk penghitungan PDRB Kota Bandung. Adapun formulasi model untuk analisis model pengembangan Kawasan Pusat Primer Gedebage terdiri dari : a. Luas_Pemanfatan_Lahan_Kota(t) = Luas_Pemanfatan_Lahan_Kota(t - dt) + (Penambahan_Luas_Pemanfatan_Lahan_Kota) * dtINIT Luas_Pemanfatan_Lahan_Kota
45
b. RTH_Kota(t) = RTH_Kota(t - dt) + (Penambahan_RTH_Kota Pengurangan_RTH_Kota) * dtINIT RTH_Kota c. Penduduk (t) = Penduduk(t - dt) + (Penambahan_Pddk Pengurangan_Pddk) * dtINIT Penduduk d. PDRB_KOTA(t) = PDRB_KOTA(t - dt) + (Penambahan_PDRB) * dtINIT PDRB_KOTA Setelah dilakukan identifikasi terhadap variabel-variabel yang terlibat dalam formulasi model (1) Luas Pemanfatan Lahan Kota, (2) Luas RTH, (3) Dinamika Penduduk, dan (4) PDRB Kota, kemudian ditentukan hubungan yang logis antar variabel tersebut. Dari hubungan variabel-variabel yang terlibat itu dapat ditentukan apakah hubungannya bersifat positif atau negatif. Dengan demikian dapat dibangun hubungan dalam bentuk alur berpikir seperti yang terlihat dari Gambar 2 dan. Dari alur berpikir yang ada, maka dibuat suatu causal loop untuk selanjutnya dilakukan analisis dengan melakukan simulasi dengan menggunakan alat bantu software Stella versi 9.0.2 Program Stella merupakan perangkat lunak yang berbasis flow chart yang handal dalam membuat pemodelan sistem dinamik baik dalam prosesnya maupun dalam melakukan simulasi. PENGEMBANGAN KAWASAN PUSAT PRIMEG GEDEBAGE
PEMBAGIAN LAHAN PPG
KESEMPATAN KERJ A
PENGANGGURAN
PENDUDUK
PERTUMBUHAN EKONOMI
INVESTASI
PENDPATAN PER KAPITA
PERUBAHAN PENDUDUK
Gambar 2 Alur Berpikir Dampak Pengembangan Pusat Primer Gedebage Terhadap Pembangunan Ekonomi Kota Bandung Melalui Pendekatan Sistem Dinamik
46
Dari Gambar 2 dapat dilihat bahwa dalam sistem pengembangan kawasan Pusat Primer Gedebage ada pengaruh positif dan negatif. Pengaruh positif antara lain terhadap pendapatan per kapita serta PDRB. Pengaruh negatif dapat terjadi apabila perencanaan pengembangan Pusat Primer Gedebage kurang baik dalam pengelolaannya terutama masalah laju pertumbuhan penduduk yang tidak terkontrol dapat berpengaruh negatif terhadap keseimbangan penduduk di kawasan Gedebage. Selain itu pula dapat dilihat akan adanya faktor pendukung berhasilnya sistem pengembangan kawasan Pusat Primer Gedebage antara lain adalah ketersediaan ruang di kawasan Gedebage. Oleh karena itu dari Gambar 2 menunjukkan bahwa sistem pengembangan kawasan Pusat Primer Gedebage memiliki hubungan sebab akibat (causal loop) yang luas dan beragam yang ditunjukkan dalam bentuk perubahan yang terjadi dalam subsistem yang tergambar dalam setiap model akan dipengaruhi oleh beberapa faktor. Selanjutnya dilakukan pemodelan yang merupakan abstraksi dari sebuah objek atau situasi aktual (Eriyatno, 1999). Salah satu dasar utama untuk mengembangkan model adalah menghubungkan peubah-peubah apa yang penting dan tepat. Penemuan peubah tersebut sangat erat hubungannya dengan pengkajian hubungan-hubungan yang terdapat diantara peubah-peubah. Teknik kuantitatif dan simulasi digunakan untuk mengkaji keterkaitan antar peubah dalam sebuah model.
3.3.2 Skenario Model Dengan keterbatasan data yang mungkin didapat, maka model yang direncanakan berdasarkan beberapa asumsi kondisi yang diharapkan dalam model. Adapun asumsi yang dimaksud menyangkut realisasi dan harapan yang terjadi dalam aspek investasi dan Ruang Terbuka Hijau yang ada di dalam pengembangan Pusat Primer Gedebage dan pembangunan ekonomi Kota Bandung yang diimplementasikan ke dalam model skenario sebagai berikut, yaitu : a. Skenario konservatif (Skenario 1), dimana pengembangan Pusat Primer Gedebage berjalan sesuai dengan investasi. b. Skenario optimis (Skenario 2), dimana pengembangan Pusat Primer Gedebage berjalan sesuai dengan investasi yang direncanakan.
47
IV. KEADAAN UMUM WILAYAH PENELITIAN
4.1 Kondisi Geografi dan Administrasi Kota Bandung merupakan wilayah yang terletak pada 107º bujur timur, 6º-55º lintang selatan dan berada di ketinggian 791 m di atas permukaan laut, titik terendahnya berada pada posisi 675 meter di sebelah selatan dan titik tertinggi terletak pada posisi 1.050 meter yang berada di sebelah utara. Dengan luas wilayah 16.730 Ha (Bandung Dalam Angka, 2009), secara geografik sebelah utara Kota Bandung merupakan daerah perbukitan atau dataran tinggi dan sebelah selatan relatif datar atau dataran rendah. Sebelah selatan pada umumnya tanah bebatuan, sebelah utara dan timur terdiri dari tanah endapan berupa tanah lempung atau tanah liat, sebelah barat dan tengah tersebar tanah bebatuan. Keadaan geologis di Kota Bandung dan sekitarnya terdiri atas lapisan alluvial hasil letusan Funung Tangkuban Perahu. Jenis material di wilayah bagian utara umumnya jenis tanah andosol, sedangkan di bagian Selatan serta Timur terdiri atas jenis alluvial kelabu dengan bahan endapan liat. Di bagian Tengah dan Barat tersebat jenis tanah andosol. Iklim asli kota Bandung dipengaruhi oleh iklim pegunungan di sekitarnya, namun pada dasarnya beberapa tahun belakangan mengalami peningkatan suhu, hal ini disebabkan polusi dan meningkatnya suhu global. Kota Bandung tergolong daerah yang cukup sejuk, dengan temperature udara rata-rata 23º C (1995-2008). Temperatur ini dipengaruhi oleh ketinggian sekitar lingkungan pegunungan atau cekungan dan berbagai danau besar yang terletak disekitarnya, serta perubahan iklim global. temperatur rata-rat di Kota Bandung pada Tahun 2008 terdapat temperatur maksimum yang mencapai 30.7ºC pada bulan September 2008. hal ini mengindekasikan bahwa sebenarnya terdapat kenaikan temperatur di Kota Bandung. Sementaraitu bila dianalisis dalam kurun waktu yang lebih panjang, yaitu temperatur udara rata-rata maksimum dalam 20 tahun terakhir, temperatur di Kota Bandung naik sekitar 2ºC, dan kenaikan tersebut dinilai signifikan dalam dunia meteorologi. Kota Bandung yang secara administratif menurut Perda Kota Bandung nomor 06 tahun 2006 tentang Pemekaran dan pembentukan wilayah kerja
48
kecamatan dan kelurahan di lingkungan Pemerintah Kota Bandung dibagi menjadi 30 Kecamatan, 151 Kelurahan, 1.500 RW dan 9.277 RT (pasca pemekaran 4 kecamatan) yang dibatasi oleh : a. Bagian Utara berbatasan dengan Kecamatan Lembang dan Cisarua Kabupaten Bandung Barat. b. Bagian Barat berbatasan dengan Kota Cimahi yaitu Kecamatan Cimahi Utara, Cimahi Tengah dan Marga Asih. c. Bagian Timur berbatasan dengan Kecamatan Cicalengka dan Cileunyi Kabupaten Bandung dan Kabupaten Sumedang. d. Bagian Selatan berbatasan dengan Kecamatan Dayeuh Kolot dan Cirangrang Kabupaten Bandung. Kota Bandung sebagai kota metropolitan, sekarang ini telah berkembang dengan pesat, baik secara fisik maupun non fisik. Faktor utama yang memberikan keuntungan bagi pembangunan di Kota Bandung adalah selain sebagai ibukota provinsi, juga letak geografis Kota Bandung sangat strategis yang menjadikan persimpangan dan sentra pertemuan yang berada tepat di tengah provinsi, yang menjadikan titik temu seluruh daerah yang berada di wilayah selatan dan utara provinsi Jawa Barat sebelum ditransfer ke Jakarta sebagai pusat perekonomian nasional. Dalam Peraturan Pemerintah No. 47 Tahun 1997 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (RTRWN), Kota Bandung telah ditetapkan sebagai salah satu Pusat Kegiatan Nasional (PKN) dan Kawasan Andalan Cekungan Bandung. Dengan penetapan tersebut, Kota Bandung makin berkembang dan makin banyak menarik pendatang dan penduduk dari wilayah lain disekitarnya untuk bermigrasi, baik untuk menetap maupun untuk melakukan segala kegiatan bisnisnya sebagai penduduk komuter. Perkembangan ini dapat menjadi daya dukung bagi Kota Bandung dalam melakukan pembangunan tetapi sebaliknya bisa juga menjadi beban bagi Kota Bandung jika potensi yang ada tidak memiliki kualitas yang dibutuhkan dalam pembangunan Kota Bandung secara keseluruhan.
49
42Gambar 3 Peta Kota Bandung dan Batas-batas Wilayahnya Sumber : Perda 2 Tahun 2004 Tentang Rencana Tata Ruang dan Wilayah Kota Bandung
4.2 Pemerintahan Sejak dibentuknya Kota Bandung menjadi suatu daerah Otonom pada tanggal 1 April 1906, Kota Bandung telah beberapa kali mengalami perluasan permukaan wilayah daerahnya, yaitu pada masa rentang Tahun 1906 – 1917, yaitu pada hari pembentukan Kota Bandung menjadi daerah otonom tanggal 1 April 1906 mempunyai luas 1.922 Ha dan pada rentang waktu Tahun 1917-1942 daerah Kota Bandung telah diperluas menjadi 2.871 Ha. Pada tahun 1930 telah direncanakan perluasan daerah Kota Bandung dalam jangka waktu 25 tahun berikutnya. Perlunya perluasan tersebut dari 2.871 Ha menjadi 12.758 Ha berdasarkan pertimbangan bahwa penduduk Kota Bandung dengan pertambahan normal pada akhir 1955 diperkirakan akan menjadi 750.000 jiwa, rencana ini dikenal dengan sebutan “Plan Karsten”. Namun pada masa Pendudukan Pemerintahan Belanda, rencana Karsten ini belum seluruhnya
50
dilaksanakan. Pada masa pendudukan Jepang (1942-1945) beberapa kali diadakan perubahan luas daerah berupa pergeseran batas kota dengan cara memasukan desa-desa dari Kabupaten Bandung dimana pada akhir masa pendudukan Jepang luas daerah Kota Bandung berubah menjadi 5.413 Ha. Sedangkan pada masa Negara Pasundan Tahun 1949 secara resmi Kota Bandung mengalami perluasan menjadi 8.098 Ha. Selanjutnya pada Tahun 1987 Berdasarkan Peraturan Pemerintahan Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 1987 wilayah Administrasi Kota Bandung diperluas menjadi 16.730 Ha hingga saat ini. Dari segi pelaksanaan pemerintahan Pemerintah Kota Bandung telah mendorong upaya reformasi birokrasi yang akan dilakukan menurut tahapantahapan tertentu. Saat ini telah dilakukan reorganisasi pemerintah yang diharapkan dapat meningkatkan kinerja aparatur Pemerintah Kota Bandung. Secara umum, implementasi SOTK baru berdasarkan PP Nomor 41 Tahun 2007, tentang Organisasi Perangkat Daerah maka struktur organisasi Pemerintah Kota Bandung saat ini terdiri dari sejumlah SKPD, yaitu 14 Dinas, 9 lembaga teknis daerah, Satuan Polisi Pamong Praja, 4 perusahaan daerah, 3 rumah sakit daerah, 30 kecamatan serta sekretariat daerah. Dengan perangkat organisasi tersebut diharapkan struktur organisasi menjadi lebih ramping, bergerak taktis dan strategis, serta dapat mengurangi jabatan struktural yang ada guna meningkatkan efisiensi kerja dan penyelenggaraan pemerintahan. Oleh karena itu, Organisasi yang ada saat ini didukung oleh Esselon. II.A 1 orang, Esselon. II.B 32 orang, Esselon. III.A 76 orang, Esselon. III.B 131 orang,Esselon. IV.A. 895 orang, Esselon. IV.B 708 orang dengan jumlah pegawai, 24.341 pegawai negeri sipil dan 1.501 tenaga kontrak. Penataan kelembagaan Pemerintah Kota Bandung pada dasarnya diarahkan
dalam
upaya
peningkatan
kualitas
pelayanan
publik
untuk
menghilangkan citra birokrasi sebagai penghambat pembangunan. Dengan demikian, adanya re-organisasi berimplikasi terhadap pengurangan jabatan. Di antara masalah yang masih menjadi tantangan di masa depan adalah kapasitas aparatur tata kerja. Berbagai kegiatan peningkatan kinerja aparatur dilakukan melalui peningkatan kesejahteraan, pengawasan, mengikuti pendidikan dan latihan dan sebagainya. Namun dengan semakin kompleksnya permasalahan
51
perkotaan, dirasakan kapasitas dan kapabilitas aparatur dalam mencapai pelayanan prima masih berada di bawah standar. Tata kerja di masa datang juga penting untuk diperjelas dan dituangkan dalam mekanisme kerja dan job description yang baik agar sistem dapat berjalan dengan baik. Tata kerja ini berfungsi sebagai petunjuk operasional SOTK yang sudah ada. Dan saat ini SKPD yang telah memiliki Standar Mutu Nasional (SMN) ISO 9000:2001 adalah sebanyak 12 SKPD. Hal lain yang akan dilaksanakan dalam rangka peningkatan pelayanan kepada masyarakat, adalah upaya penguatan kelurahan. Sedangkan untuk meningkatkan kualitas perijinan maka telah dibentuk Badan Penanaman Modal dan Pelayanan Perijinan Terpadu (BMPPT) dan Bandung Elektronik Procurment (BEP). Langkah-langkah dapam upaya reformasi pelayanan perijinan, meliputi : a. Regulasi perijinan usaha dengan memangkas jumlah perijinan dan menata perijinan yang tumpang tindih. b. Birokrasi perijinan usaha melalui penyederhaan prosedur perijinan. Dalam pelaksanaannya reformasi pelayanan perijinan diformulasikan ke dalam pembentukan pelayanan terpadu satu pintu. Pelayanan satu pintu adalah penyelenggaraan
pelayanan
perijinan
dan
non
perijinan
yang
proses
pengelolaannya dimulai dari tahap permohonan, sampai dengan penerbitan dokumen secara terpadu dan dilakukan di satu tempat melalui front office untuk meminimalisasi interaksi antara pemohon dan petugas perijinan dan menghindari kemungkinan pungutan-pungutan tidak resmi. Seiring dengan penataan organisasi perangkat daerah Kota Bandung sebagai pelaksanaan Peraturan Pemerintah No. 41 Tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah bentuk kelembagaan terpadu satu pintu ditingkatkan dari setingkat kantor menjadi setingkat badan dengan nomenklatur Badan Pelayanan Perijinan dan Penanaman Modal Daerah Kota Bandung dengan asumsi bahwa pelayanan perijinan yang diselenggarakan berkaitan erat dengan investasi di daerah. Dengan adanya kemudahan perijinan diharapkan akan mendorong kondusifitas iklim investasi di Kota Bandung. Peningkatan status kelembagaan satu pintu juga dilakukan dengan perubahan ketatalaksanaan, peningkatan kewenangan dimana Pelayanan Terpadu Satu Pintu diberikan kewenangan dari mulai penerimaan berkas, pemprosesan ijin, penandatanganan ijin dan penyerahan ijin, Selain itu jumlah perijinan yang
52
dikelola oleh satu pintu ditingkatkan dari 14 jenis perijinan menjadi 62 jenis perijinan baik ijin usaha maupun non usaha. Hal-hal yang perlu dilakukan seiring dengan peningkatan kelembagaan pelayanan terpadu satu pintu meliputi: a. Revisi Perda-perda terkait dengan prinsip-prinsip pelayanan satu pintu, seperti penyederhaan, persyaratan dan waktu pelayanan; b. Penyederhaan jumlah perijinan dengan menyatukan atau menghapus perijinan yang dianggap tumpang tindih dan menyulitkan pelaku usaha; c. Pengurangan biaya bagi kategori usaha tertentu; d. Penetapan kebijakan untuk mengurangi pungutan-pungutan di tingkat Kecamatan, Kelurahan, RW dan RT terutama terkait dengan persyaratan ijin. Sebagai perwujudan political will dari penerapan pola pelayanan terpadu satu pintu telah dianggarkan pula pembiayaan dalam operasional pelayanan satu pintu baik dalam APBD perubahan Tahun 2007 maupun APBD Tahun 2008. Upaya peningkatan pelayanan dilakukan melalui penerapan model pelayanan bersifat proaktif dan standar mutu. Model pelayanan yang bersifat proaktif adalah dengan membangun situs (web site) untuk pelayanan on line, sedangkan pelayanan yang bersifat standar mutu adalah melalui penggunaan ISO 9001:2000 yang berguna untuk menyusun pedoman kerja yang berstandar, meningkatkan citra, profesionalitas dan meningkatkan daya tarik investasi. Dalam upaya efisiensi dan peningkatan pelayanan pemerintah terhadap masyarakat Kota Bandung, maka dalam struktur pelayanan pemerinta Kota Bandung membagi ke dalam enam wilayah pelayanan, yaitu: 1. Wilayah Pelayanan Bojonegara 2. Wilayah Pelayanan Cibeunying 3. Wilayah Pelayanan Tegallega 4. Wilayah Pelayanan Kerees 5. Wilayah Pelayanan Ujungberung 6. Wilayah Pelayanan Gedebage
4.3 Kependudukan Penduduk Kota Bandung berdasarkan Survei Sosial Ekonomi Daerah (Suseda) adalah 2.374.198 jiwa (penduduk laki-laki 1.210.164 jiwa dan
53
perempuan 1.164.034 jiwa). Angka tersebut menentukan Laju Pertumbuhan Penduduk (LPP) sebesar 1,90 persen.
Rata-rata kepadatan penduduk Kota
Bandung 14.190,41 jiwa/Km2, dilihat dari segi kepadatan penduduk per Kecamatan, maka Kecamatan Bojongloa Kaler merupakan daerah terpadat dengan kepadatan penduduk 39.899,01 jiwa/Km2. Salah satu upaya Pemerintah Kota Bandung untuk mengurangi tingkat kepadatan penduduk adalah dengan Program Transmigrasi ke daerah luar Pulau Jawa, diantaranya ke Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, dan Papua.
Tabel 2 Jumlah Penduduk Kota Bandung Menurut Kecamatan dan Jumlah Kelurahan Serta rata-rata Per Kelurahan Tahun 2008 No
Tahun
Jumlah Kecamatan
Jumlah Kelurahan
1 2008 30 151 2 2007 26 139 3 2006 26 139 4 2005 26 139 5 2004 26 139 Sumber : Bandung Dalam Angka 2009
Jumlah Penduduk
Rata-rata Penduduk per Kelurahan
2.374.198 2.329.928 2.296.848 2.270.970 2.232.624
15.723 16.762 16.524 16.338 16.062
Berdasarkan uraian Tabel 2 dan sesuai dengan hasil registrasi penduduk pada tahun 2005, total penduduk Kota Bandung meningkat sebanyak dari 2.228.267 jiwa pada tahun 2003 menjadi 2.232.627 jiwa pada tahun 2004 dengan laju pertumbuhan penduduk 2,65 persen. Dengan luas areal kota sebesar 16.730 hektar. Sehingga rata-rata kepadatan penduduknya sebesar 13.344 jiwa/ha (134 jiwa per km2), dengan rata-rata anggota keluarga sebanyak 4 jiwa per KK. Angka ini tidak termasuk sejumlah besar penduduk komuter (pendatang atau penduduk dari wilayah lain) yang bekerja dan mencari nafkah di Kota Bandung pada siang hari, Menurut data Dinas Kependudukan Kota Bandung (2009), jumlah total penduduk pada siang hari dapat mencapai 3,5 juta jiwa. Sedangkan dari aspek banyaknya migrasi penduduk menetap dan penduduk komuter dari berbagai penjuru tanah air dan bahkan ekspatriat dari luar negeri telah menyebabkan Bandung menjadi kota yang berpopulasi tinggi dengan kepadatan dan multi-etnis. Namun penduduk Kota Bandung relatif tidak tersebar
54
secara merata di setiap kecamatan, sehingga kepadatan penduduk antar kecamatan di Kota Bandung sangat bervariasi. Sedangkan perkembangan penduduk di wilayah penelitian dapat dilihat dari data di Tabel 3
Tabel 3 Jumlah Penduduk Kota Bandung Menurut Kecamatan dan Luas Wilayah Serta Kepadatan Penduduk Per Km2 Tahun 2008 Luas Jumlah Kepadatan No Kelurahan (Km2) Penduduk Penduduk Per Km2 1 Bandung Kulon 6,46 125,350 19,404 2 Babakan Ciparay 7,45 142,309 19,102 3 Bojongloa Kaler 3,03 120,894 39,899 4 Bojongloa Kidul 6,26 81,045 12,947 5 Astanaanyar 2,89 70,544 24,410 6 Regol 4,30 86,500 20,116 7 Lengkong 5,90 71,983 12,201 8 Bandung Kidul 6,06 51,968 8,576 9 Buahbatu 7,93 95,256 12,012 10 Rancasari 7,33 68,864 9,395 11 Gedebage 9,58 31,230 3,260 12 Cibiru 6,32 60,001 9,494 13 Panyileukan 5,10 34,621 6,788 14 Ujung Berung 6,40 61,579 9,622 15 Cinambo 3,68 23,695 6,439 16 Arcamanik 5,87 57,869 9,858 17 Antapani 3,79 59,929 15,812 18 Mandalajati 6,67 57,265 8,586 19 Kiaracondong 6,12 129,623 21,180 20 Batununggal 5,03 123,392 24,531 21 Sumur Bandung 3,40 40,035 11,775 22 Andir 3,71 106,201 28,626 23 Cicendo 6,86 103,532 15,092 24 Bandung Wetan 3,39 31,741 9,363 25 Cibeunying Kidul 5,25 111,094 21,161 26 Cibeunying Kaler 4,50 69,011 15,336 27 Coblong 7,35 126,450 17,204 28 Sukajadi 4,30 101,065 23,504 29 Sukasari 6,27 77,218 12,316 30 Cidadap 6,11 53,934 8,827 Jumlah 167,29 2.374.198 14,192 Sumber : Bandung Dalam Angka 2009 Penduduk Kota Bandung pada tahun 2007 adalah sebanyak 2.340.624 jiwa. Sebagai pusat kegiatan penting, maka disekitar Kota Bandung berkembang daerah-daerah hinterland seperti Kabupaten Bandung dan Bandung Barat, wilayah
55
Kabupaten Sumedang bagian barat serta Kota Cimahi yang dihuni oleh penduduk yang berjumlah besar pula. Kabupaten Bandung, Bandung Barat dan Kota Cimahi pada tahun 2006 dapat mencapai jumlah penduduk 5 jutaan. Dengan peran sebagai orientasi, maka pergerakan penduduk antara pusat dan hinterland menjadi bercampur, sehingga realitas jumlah penduduk yang beraktivitas di Kota Bandung cenderung melebihi jumlah penduduk yang teregistrasi. Rata-rata pertumbuhan jumlah penduduk Kota Bandung antara tahun 2002-2007 adalah sebesar 1,43persen. Dengan kondisi tersebut, maka diperkirakan pada tahun 2013 jumlah penduduk Kota Bandung mencapai hampir 2,6 juta jiwa. Pertambahan jumlah penduduk ini dapat menjadi beban berat apabila secara bersamaan daerah sekitarnya juga terus mengalami pertambahan penduduk. Bila biaya hidup dan beraktivitas di Kota Bandung semakin kompetitif dan mahal, pertumbuhan penduduk bisa semakin melambat, hingga mencapai 2,4 juta jiwa. Jumlah ini tetap mengisyaratkan Kota Bandung sebagai kota penting, namun penduduk yang beraktivitas di dalamnya melakukan komuter dan tinggal di daerah sekitar Kota Bandung. Dalam kondisi ini tetap saja beban bayangan jumlah penduduk yang besar, menjadi isu penting Kota Bandung di masa datang. Dengan luas wilayah sekitar 16.730 ha, maka kepadatan penduduk Kota Bandung pada tahun 2007 adalah 140 jiwa/ha. Seluruh jumlah penduduk tersebar di kecamatan yang ada. Distribusi jumlah penduduk terbesar adalah Kecamatan Bandung Kulon, yaitu mencapai jumlah 120.733 jiwa atau mencapai 5,5 persen dari seluruh jumlah penduduk Kota Bandung. Kecamatan dengan jumlah penduduk tersedikit adalah Kecamatan Cinambo, dengan jumlah penduduk sekitar hampir 20.000 jiwa atau sekitar 0,9persen jumlah penduduk Kota Bandung. Dari kecamatan yang ada, sekitar 50persen penduduk tinggal di 10 Kecamatan saja, yaitu Bandung Kulon, Batununggal, Kiaracondong, Babakan Ciparay, Coblong, Bojongloa Kaler, Cibeunying Kidul, Andir, Sukajadi dan Cicendo, yang rata-rata proporsi jumlah penduduknya mencapai 4persen. Selanjutnya penduduk Kota Bandung dapat dianalisis menurut struktur umurnya. Struktur umur ini adalah informasi yang sangat penting karena berkaitan dengan perkembangan persentase kelompok sasaran pembangunan. Misalnya proporsi penduduk pada tingkat pendidikan dasar, menengah, tinggi, remaja, usia
56
kerja (produktif), usia lanjut. Besaran komposisi penduduk ini akan menentukan kebutuhan layanan pada setiap kelompok. Bila dilihat dari struktur usia penduduk Kota Bandung, yang tergolong menonjol adalah usia masa awal usia kerja (25-34 tahun) dan pada usia pendidikan tinggi (20-24 tahun). Pada kedua kelompok ini terlihat pola lonjakan bila dibandingkan dengan usia pendidikan dasar-menangah. Artinya secara normal sebenarnya strukturnya akan semakin menyempit mulai dari usia balita sampai dengan usia lanjut. Lonjakan pada usia tersebut di atas, mengindikasikan bahwa di Kota Bandung terjadi migrasi masuk yang sangat besar, yaitu mahasiswa-mahasiswa yang melanjutkan studinya di Kota Bandung sekaligus tempat mencari kerja pada penduduk usia-usia awal kerja.
4.4 Kondisi Perekonomian Kota Bandung Kota Bandung memiliki peran penting dalam perekonomian Jawa Barat. Pada Tahun 2004-2008 konstribusi ekonomi Kota Bandung di Jawa Barat mencapai rata-rata 10persen. Dalam lingkup Kota Bandung Raya, maka kontribusi aktivitas ekonominya menjadi sekitar 23 persen dari ekonomi Jawa Barat. Laju pertumbuhan ekonomi Kota Bandung juga tergolong tinggi, atau di atas rata-rata pertumbuhan ekonomi Jawa Barat dan bahkan nasional. Pada tahun 2006 tingkat pertumbuhan ekonomi mencapai 7,83 persen dan pada tahun 2007 mencapai 8,24persen. Tingkat Pertumbuhan yang tinggi tersebut menunjukan bahwa Kota Bandung adalah menjadi salah satu sumber pertumbuhan ekonomi yang penting di Jawa Barat maupun di Indonesia. Secara terinci konstribusi kegiatan ekonomi Kota Bandung dan sekitarnya Ekonomi Jawa Barat dapat dilihat dalam Tabel 4 berikut : Tabel 4 Kontribusi Kegiatan Ekonomi Kota Bandung dan sekitarnya terhadap Ekonomi Jawa Barat Tahun 2008 Kabupaten/Kota persen Kab. Bandung 6.79 Kab. Subang 2.47 Kab. Bandung Barat 2.50 Kota Bandung 10.03 Sumber: Jawa Barat Dalam Angka 2009
57
Uraian Tabel 4 mengindikasikan bahwa Kota Bandung merupakan kota penting bagi aktivitas ekonomi di Jawa Barat maupun nasional. Artinya Kota Bandung menjadi salah satu pusat pertumbuhan ekonomi dan memiliki banyak kaitan aktivitas ekonomi dengan daerah sekitar dan wilayah lain. Sebagai pusat pertumbuhan dengan tumpuan pada aktivitas perdagangan dan industri pengolahan, Kota Bandung juga menjadi salah satu tujuan migrasi tenaga kerja yang cukup besar. Peran lain Kota Bandung sebagai salah satu Kota Pendidikan terpenting di Indonesia, telah menyatu dengan kehidupan ekonomi, sehingga tingkat pertumbuhan ekonominya tergolong sangat tinggi. Laju pertumbuhan Ekonomi Kota Bandung dari tahun 2005 hingga tahun 2008 mengalami peningkatan. Selain LPE, beberapa indikator makro yang dapat digunakan untuk menilai keberhasilan pembangunan ekonomi suatu daerah dapat dilihat di Tabel 5.
Tabel 5 Perkembangan Indikator Makro Pembangunan Kota Bandung Tahun 2006-2008 Indikator
Satuan persen Juta Rp Rp/Tahun persen (mRp/Th)
2006 7,83 43.792.184 19.352.441 5,33 4.181.031 63,99 576.890 84.287 175.644 16,09
2007 8,24 50.552.182 22.616.531 5,21 5.405.271 64,04 577.130 83.500 174.067 15,73
2008 8,29 61.152.569 24.794.604 10,23 4.000.616 64,27 577.385 82.432 173.074 15,48
LPE PDRB (ADHB) PDRB/Kapita (ADHB) Inflasi Investasi Indeks Daya Beli (IDB) SHL/Kapita Rp Kemiskinan RTM Jumlah Pengangguran Jiwa Tingkat Pengangguran persen Terbuka Sumber:Bandung dalam angka 2009 dan RPJM Kota Bandung 2009-2013
PDRB Kota Bandung menunjukkan perkembangan yang cukup meyakinkan dari Rp 17.435,72 Milyar tahun 2001 menjadi Rp 20.690,50 Milyar pada tahun 2002 dan diperkirakan menjadi sebesar Rp 23.420,13 Milyar tahun 2003 atau berkembang dengan angka indeks 100,00 tahun 1993; 309,56 tahun 2001, dan 367,34 pada tahun 2002 dan diperkirakan 415,80 pada tahun 2003 (1993 = 100,00) untuk harga berlaku.
58
Sedangkan
berdasarkan
harga
konstan
PDRB
Kota
Bandung,
menunjukkan perkembangan yang cukup berarti pula yaitu dari Rp 6.266,63 Milyar pada tahun 2001 meningkat menjadi Rp 6.694,33 Milyar pada tahun 2002 dan pada tahun 2003 diperkirakan mencapai Rp 7.173,86 Milyar atau berturutturut berkembang dengan angka indeks 103,66 tahun 2000; 111,26 tahun 2001; 118,85 tahun 2002 diperkirakan menjadi 127,37 pada tahun 2003. Laju pertumbuhan (Riil) PDRB Kota Bandung pada tahun 2003 sebesar 7,16 persen, lebih tinggi
dibanding pertumbuhan tahun sebelumnya sebesar 6,83 persen
selama tahun 2002. Sementara itu laju pertumbuhan PDRB atas dasar harga berlaku pada tahun 2003 adalah sebesar 13,19 persen lebih rendah dibandingkan tahun 2002 sebesar 18,67 persen.
Tabel 6 Perkembangan PDRB Kota Bandung Tahun 2003-2008 PDRB Atas PDRB Atas Tahun Dasar Harga Konstan Dasar Harga Berlaku Tahun 2000 2003 23.420.126 18.490.721 2004 27.422.417 19.874.813 2005 34.792.184 21.370.696 2006 43.491.380 23.043.104 2007 50.552.182 24.941.517 2008 60.441.487 26.978.909 Sumber:Bandung dalam angka 2005 dan 2009 PDRB Kota Bandung yang dihitung atas dasar harga berlaku dari tahun 2003 sampai tahun 2005 menunjukan peningkatan yang cukup signifikan. Nilai absolut PDRB Kota Bandung atas dasar harga berlaku tahun 2003 sebesar Rp. 23.895.430 juta dan tahun 2005 meningkat menjadi Rp. 34.792.184 juta. Jika dibandingkan dengan nilai absolut tahun 2000 maka nilai PDRB Kota Bandung tahun 2005 berkembang dengan indeks 196,23. Sedangkan PDRB Kota Bandung tahun 2005 yang dihitung atas dasar harga konstan tahun 2000 mengalami peningkatan, yaitu dari Rp. 18.490.721 juta pada tahun 2003 menjadi Rp. 21.370.696 juta pada tahun 2005. Dari Tabel 5 dan 6 terlihat bahwa PDRB Kota Bandung dari tahun 2006 ke 2008 menunjukan kenaikan yang berarti, hal ini dapat menunjukkan meningkatnya kegiatan ekonomi. Tingkat inflasi di Kota Bandung relatif lebih
59
tinggi dibandingkan dengan Kabupaten/Kota lain di Jawa Barat. Dari sisi investasi terjadi kenaikan, namun demikian investasi tersebut belum diikuti dengan penyerapan tenaga kerja yang signifikan, dari tabel terlihat terjadi peningkatan jumlah pengangguran dari 175.337 jiwa menjadi 175.664 jiwa pada tahun 2006, tetapi pada tahun 2007 menurun menjadi 174.067 jiwa dan diperkirakan menurun lagi menjadi 173.074 jiwa. Berfluktuasinya jumlah pengangguran tersebut disebabkan oleh berbagai faktor khususnya untuk akhir tahun 2008, terjadi Penurunan harga BBM yang mengalami perubahan sebanyak dua kali, namun demikian pada saat yang bersaam terjadi krisis keuangan global di Amerika Serikat dan Uni Eropa, yang akan berdampak terhadap kinerja perekonomian Kota Bandung khususnya dan perekonomian Indonesia pada umumnya. Sejalan dengan jumlah tangga miskin, yang meningkat dari 70.419 RTM pada tahun 2005 menjadi 84.287 RTM pada tahun 2006, menurun menjadi 83.500 RTM pada tahun 2007, serta menurun lagi menjadi 82.606 RTM. Kecenderungan aktivitas ekonomi Kota Bandung pada beberapa tahun ke depan cenderung positif mengalami pertumbuhan ekonomi yang cukup signifikan. Dalam situasi pertumbuhan ekonomi tinggi dan memiliki prospek yang relatif bagus, maka perekonomian Kota Bandung menghadapi tantangan berat, diantaranyaadalah dampak aktivitas ekonomi terhadap lingkungan sekitar. Beberapa jenis kegiatan ekonomi mengancam kualitas lingkungan dan kualitas kehidupan melalui berbagai jenis pencemaran. Kebutuhan ruang bagi aktivitas ekonomi juga mendesak penggunaan lahan yang lain. Selain itu ketimpangan pendapatan secara riil tampak nyata, perkiraan jumlah keluarga pra-sejahtera ada kencederungan meningkat. Dalam situasi pertumbuhan ekonomi yang tinggi pula, inflasi tinggi juga mengancam. Biaya-biaya hidup yang meliputi biaya kehidupan pangan, sandang, papan, biaya pendidikan, kesehatan dan transportasi meningkat. Peningkatan biaya hidup ini selain dapat menstimulasikan kegiatan ekonomi yang memiliki nilai tambah tinggi, juga sekaligus menjadi ancaman bagi masyarakat berpendapatan rendah dan menengah. Pada jangka panjang, kenaikan biaya-biaya ini dapat mengancam keunggulan kompetitif produk-produk dari Kota Bandung. Selain kondisi ekonomi domestik Kota Bandung, gejolak ekonomi internasional juga dapat menjadi ancaman berarti. Kedekatan kegiatan ekonomi Kota Bandung
60
dengan Jakarta dapat memperpendek efek gejolak ekonomi internasional, misalnya krisis likuiditas di Amerika Serikat dan Eropa. Nilai PDRB Kota Bandung pada tahun 2007 adalah sebesar Rp. 50,552 Trilyun dengan tingkat PDRB per kapita sebesar Rp. 22.616.531,- Tingkat pendapatan perkapita ini tergolong tinggi bila dibandingkan dengan daerah sekitarnya. Aktivitas ekonomi Kota Bandung, sebagian besar bersumber dari sektor perdagangan, hotel dan restoran yang memberikan konstribusi sekitar 36,4 persen dari seluruh kegiatan ekonomi di Kota Bandung, disusul oleh sektor industri pengolahan sekitar 29,8 persen. Sektor pengangkutan dan komunikasi memberikan kontribusi sekitar 10,8 persen demikian juga dengan sektor jasa-jasa. Secara terinci kontribusi sektor terhadap PDRB dapat dilihat dalam Tabel 7.
Tabel 7 Kontribusi Sektor Terhadap PDRB Kota Bandung 2008 No 1 2 3 4 5 6 7 8
Sektor Pertanian Listrik, Gas dan Air Bersih Bangunan Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaan Jasa-jasa Pengangkutan dan Komunikasi Industri dan Pengobatan Perdagangan
Persen 0,30 2,30 4,90 5,30 10,20 10,80 29,80 36,40 100,00
Sumber: Bandung dalam Angka 2009 RPJM Kota Bandung 2009-2013 Berdasarkan perkembangan data PDRB Kota Bandung, Tahun 20042007, terlihat bahwa kontribusi sektor industri pengolahan terus meningkat tetapi pertumbuhan cenderung menurun, sedangkan perdagangan, hotel dan restoran, terus meningkat, hal ini sesuai dengan fungsi Kota Bandung sebagai kota kolektif dan distributif. Struktur ekonomi Kota Bandung didominasi oleh setor jasa dan industri pengolahan. Laju pertumbuhannya juga relatif tinggi bila dibandingkan Jawa Barat dan Nasional. Inflasi yang terjadi juga termasuk tinggi, bersumber dari bahan makanan, biaya kesehatan dan transportasi. Inflasi yang tinggi dapat menurunkan tingkat daya saing Kota Bandung
61
Pendapatan perkapita atas dasar harga berlaku mengalami peningkatan dari Rp. 15.789.552 pada tahun 2005 menjadi Rp. 24.794.604 pada tahun 2008 atau rata-rata peningkatan per tahun mencapai 8,8 persen per tahun. Peningkatan tersebut cukup menjadi dasar untuk memprediksikan bahwa lima tahun kedepan cenderung akan terus meningkat. Inflasi merupakan salah satu indikator penting yang dapat memberikan informasi tentang dinamika perkembangan harga barang dan jasa yang dikonsumsi masyarakat. Perkembangan harga barang dan jasa tersebut menjadi salah satu faktor yang dapat mempengaruhi tingkat daya beli. Tingkat laju inflasi di Kota Bandung pada tahun 2005 mencapai 19,56 persen, dengan sumbangan terbesar dari kelombok bahan dan bahan makanan, makanan jadi dan rokok, kesehatan serta transport dan komunikasi, hal ini disebabkan oleh kenaikan BBM sampai 112 persen pada tahun 2005. Inflasi untuk tahun 2006 dan 2007 terjadi penurunan yaitu mencapai 5,33 persen dan 5,21 persen, sedangkan untuk tahun 2008 sampai dengan triwulan 4, inflasi meningkat lagi mencapai 2 (dua) digit yaitu 10,23 persen, hal ini dipengaruhi oleh krisis keuangan global yang terjadi di Amerika Serikat yang berdampak terhadap perekonomian Indonesia secara umum dan Kota Bandung khususnya. Sumbangan Inflasi tersebut tetap didominasi oleh kelompok bahan makanan serta kelompok makanan jadi, minuman, rokok dan tumbuhan. Sumbangan Inflasi dari kelompok tersebut mencapai 5,7 persen atau membentuk lebih dari 50 persen inflasi Kota Bandung. Struktur ekonomi Kota Bandung
didominasi
oleh
setor
jasa
dan
industri
pengolahan.
Laju
pertumbuhannya juga relatif tinggi bila dibandingkan Jawa Barat dan Nasional. Inflasi yang terjadi juga termasuk tinggi, bersumber dari bahan makanan, biaya kesehatan dan transportasi. Inflasi yang tinggi dapat menurunkan tingkat daya saing Kota Bandung Investasi baik asing, domestik maupun pemerintah, memegang peranan penting dalam
pelaksanaan
pembangunan
ekonomi
di
Kota
Bandung.
Pertumbuhan investasi tersebut dipengaruhi oleh berbagai faktor yaitu iklim investasi yang kondusif, kemudahan dan kejelasan prosedur serta kondisi makro ekonomi daerah tersebut. Investasi di Kota Bandung mengalami peningkatan dari Rp. 3,6 Trilyun pada tahun 2005 menjadi Rp. 5,4 Trilyun pada tahun 2007, tetapi
62
pada tahun 2008 mengalami penurunan menjadi 4 Trilyun, hal ini dipengaruhi oleh Pemilihan Walikota di Kota Bandung pada bulan Agustus, sehingga investor menunda investasinya, sampai dengan triwulan 2.
4.5. Keadaan Ketenagakerjaan Ketenagakerjaan merupakan salah satu aspek makro yang sangat diperhatikan dalam pembangunan ekonomi suatu wilayah terutama pada penyediaan lapangan kerja baru yang memadai untuk menyerap tambahan angkatan kerja baru di suatu pasar kerja yang merupakan kegiatan ekonomi yang mempertemukan para pencari kerja dan kesempatan kerja yang terdiri dari pengusaha dan pencari kerja. Proses interaksi keduanya memerlukan waktu karena baik pencari kerja maupun kesempatan kerja tidak sama kepentingannya. Perkembangan jumlah tenaga kerja menurut lapangan usaha di Kota Bandung tahun 2008 ditunjukkan dalam Tabel 8. Tabel 8 Penduduk Usia 10 Tahun ke Atas yang Bekerja Menurut Lapangan Usaha di Kota Bandung Tahun 2008 No. Sektor Jumlah Penduduk (Jiwa) 1.
Pertanian, Pertambangan dan Galian
2.
Industri Pengolahan
3.
Listrik, Gas & Air
4.
Kontruksi
5.
Perdagangan
6.
Transfor dan Komunikasi
71.659
7.
Keuangan
41.622
8.
Jasa Jumlah Sumber: Bandung dalam Angka 2009 RPJM Kota Bandung 2009-2013
17.819 215.303 2.120 50.098 324.436
229.695 952.752
Tabel 8 menunjukkan perkembangan komposisi tenaga kerja menurut lapangan usaha di Kota Bandung didominasi oleh sektor jasa, perdagangan dan industri pengolahan yang merupakan sektor-sektor andalan dari ekonomi Kota bandung. Sedangkan tingkat pengangguran terbuka di Kota Bandung dalam kurun
63
waktu 2005-2008 tergolong dalam level yang cukup tinggi da perlu menjadi perhatian pemerintqah Kota Bandung untuk mencari solusi secepatnya untuk menekan tingkat pengangguran terbuka yang sangat tinggi ini. Untuk lebih jelas tentang tingkat penggguran di Kota Bandung dapat dilihat di Tabel 9.
Tabel 9 Jumlah Pengangguran dan Tingkat Pengangguran Kota Bandung Kurun waktu 2005-2008 No
Tahun
Jumlah Pengangguran
1 2005 175.337 2 2006 175.644 3 2007 174.067 4 2008 173.074 Sumber: Bandung dalam Angka 2009 RPJM Kota Bandung 2009-2013
Tingkat Pengangguran (persen) 16,25 16,09 15,73 15,.48
64
V. HASIL DAN PEMBAHASAN
5. 1 Perkembangan Penggunaan Lahan di Kawasan Pusat Primer Gedebage Kota Bandung Untuk mengurangi kepadatan aktivitas di pusat Kota Bandung, Pemerintah Kota Bandung akan memperluas pengembangan aktivitas yang mengarah ke kawasan Gedebage. Pengembangan wilayah itu juga untuk mengurangi kesenjangan pembangunan kawasan Bandung Timur dari kawasankawasan lainnya di kota tersebut. Kepala Subbidang Sarana dan Prasarana Badan Perencana Pembangunan Daerah (Bappeda) Kota Bandung mengungkapkan, bahwa pengembangan kawasan Gedebage memerlukan pembebasan lahan warga sekitar 712,3 hektar. Rencana tersebut telah masuk rencana tata ruang wilayah (RTRW) Kota Bandung. Tingkat pembangunan di Bandung Timur selama ini cukup rendah sehingga dengan pengembangan wilayah Gedebage ini diharapkan beban kepadatan di pusat kota bisa berkurang. Gedebage merupakan salah satu dari dua wilayah Kabupaten Bandung, yang sesuai dengan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 16 Tahun 1987 pengelolaannya diserahkan kepada Pemerintah Kota Bandung. Bersama Wilayah Ujungberung, pembangunan kawasan itu tertinggal dari empat wilayah lainnya, yakni Bojonegara, Tegallega, Cibeunying, dan Karees. Salah satu kendala dan tantangan dalam pengembangan wilayah Gedebage adalah kondisi daerah tersebut berada di dataran rendah. Akibatnya, setiap tahun daerah tersebut selalu dilanda banjir. Dalam perkembangan realiasi pengembangan kawasan Gedebage ini ditandai dengan berbagai wacana tentang kelayakan pembangunan berbagai fasilitas yang direncanakan dibangun di kawasan tersebut. Polemik paling sering muncul di antaranya rencana pembangunan pembangkit listrik tenaga sampah (PLTSa) di Gedebage. Pembangunan fasilitas ini menjadi polemik yang berkepanjangan sampai saat ini, terutama dalam aspek dukungan dari masyarakat kawasan Gedebage yang pada saat ini masih menolak dengan alasan-alasan kelayakan fasilitas sampah tersebut dibangun berdekatan dengan fasilitas
65
perumahan yang ada di kawasan Gedebage ini. Polemik tentang pemangunan fasilias sampah ini hingga saat ini belum selesai, bahkan DPRD Kota Bandung meminta Pemerintah Kota Bandung mengkaji ulang semua produk hukum yang berkaitan dengan rencana pembangunan pembangkit listrik tenaga sampah (PLTSa) di Gedebage. Pasalnya, industri yang tidak berwawasan lingkungan akan direlokasi ke luar wilayah Kota Bandung. Sesuai dengan Perda No. 2/2004 tentang RTRW (rencana tata ruang dan wilayah) Kota Bandung jo Perda No. 3/2006, sebenarnya telah mengatur bahwa industri yang tidak berwawasan lingkungan akan direlokasi ke luar wilayah Kota Bandung. Dalam Peraturan Wali Kota (Perwal) No. 685/2006 tentang rencana detail tata ruang kota (RDTRK) wilayah pengembangan Gedebage disebutkan, salah satu kegiatan primer di wilayah Gedebage merupakan kawasan industri nonpolutan dan berwawasan lingkungan, namun pembangunan PLTSa termasuk dalam kategori sistem utilitas yang mendukung suatu lingkungan perumahan masih dapat diperdebatkan. Bagaimana pun, dari sisi proses yang dilakukan, PLTSa lebih tepat dikategorikan sebagai sebuah industri pengolahan. Sedangkan dari sisi output-nya, PLTSa tentu tidak dapat digolongkan ke dalam industri nonpolutan dan berwawasan lingkungan, Karena permasalahan legalitas itu, maka pembangunan PLTSa sedikit terlambat dikarenakan Pemerintah Kota Bandung sangat hati-hati, terkait aturan dan penerimaan masyarakat di Kawasan Gedebage. Pemerintah Kota Bandung mengarahkan pembangunan ke arah timur kota, yakni ke kawasan Gedebage. Pertimbangannya, Kota Bandung bagian barat sudah terlampau padat. Kepala Badan Perencanaan Daerah (Bapeda) Kota Bandung, menjelaskan, Pemerintah Kota Bandung telah memiliki rencana induk (masterplan) untuk mengembangkan wilayah Bandung timur, dalam bentuk pengembangan Pusat Primer Gedebage. Mulai tahun 2006 Pemerintah Kota (Pemkot) Bandung membuka peluang bagi investor untuk menanam modal di kawasan ini. Nantinya semua investor harus mengacu pada rencana induk Gedebage dan diperkirakan 20 tahun lagi kawasan Gedebage akan menjadi pusat perkembangan kota kedua. Pada saat ini infrastruktur Bandung timur saat ini belum memadai. Jalan tol yang dibutuhkan untuk jalan masuk dari arah timur Kota Bandung belum terealisasikan. Infrastruktur yang menjadi prioritas segera
66
dibangun, selain jalan tol adalah fasilitas publik, yaitu fasilitas olahraga dan terminal terpadu. Pemerintah Kota Bandung akan memindahkan Terminal Leuwipanjang di Jalan Soekarno-Hatta ke Gedebage. Saat ini kondisi Bandung barat sudah sangat padat. Semua aktivitas ekonomi, politik, budaya, dan pendidikan terpusat di sana. Oleh karena itu pengembangan Pusat Primer Gedebage adalah salah satu prioritas kebijakan pengembangan Pemerintah Kota Bandung yang dituangkan dalam RTRW Kota Bandung 2004-2013 dengan investasi Rp. 11.954 Triliun. Pengembangan kawasan ini sangat penting, karena ditujukan untuk mendorong perkembangan wilayah Kota Bandung bagian Timur agar mengurangi beban wilayah Bandung Barat dan Pusat Kota Primer Kota Bandung yang lama (alunalun dan sekitarnya). Oleh karena itu, isu utama dalam pengembangan kawasan ini adalah kawasan yang berkelanjutan sebagai penggerak perkembangan dengan tingkat kualitas tinggi dan memiliki daya tarik investasi yang tinggi dengan visi “Pusat Primer Baru untuk Kualitas Hidup yang Lebih Baik” (“A New Primary Center for Better Urban Quality”).
Gambar 3 Peta Rencana Tata Guna Lahan Kota Bandung 2004-2013 Sumber : Perda 2 Tahun 2004 Tentang Rencana Tata Ruang dan Wilayah Kota Bandung
67
Pengembangan kawasan Gedebage dengan pusat pembangunannya berupa pembangunan Pusat primer baru untuk kualitas lingkungan kota yang lebih baik yang diwujudkan dalam penataan ruang, kondisi fisik bebas banjir, serta penyediaan sarana dan prasarana. Dengan kualitas tersebut, diharapkan pembangunan di Bandung Timur dapat meningkatkan kualitas Kota Bandung secara internal yaitu pembangunan yang berkelanjutan dan secara eksternal dengan menciptakan lingkungan kota yang akan menarik orang untuk menetap, bekerja dan berekreasi. Pengembangan kawasan ini telah dimulai sejak tahun 2001,
yang
diawali
dengan
pembentukan
tim
Asistensi
Perencanaan
Pembangunan Terminal Terpadu, Akses Tol, Pusat Sarana Olah Raga dan fasilitas pendukung lainnya (di Kelurahan Cisaranten Kidul dan Kelurahan Derwati, Kecamatan Rancasari Kota Bandung tahun 2001). Dalam hubungannya dengan program pembangunan Kota Bandung, Pengembangan Kawasan Bandung Timur merupakan salah satu program strategis pembangunan Pemerintah Kota Bandung pada saat ini dan mendatang. Pengembangan kawasan Gedebage dengan pusat pembangunannya berupa Pengembangan Kawasan Pusat Primer Gedebage diproyeksikan memiliki fungsi beragam, meliputi gembangan fungsi bisnis, komersial, olah raga, hunian maupun reasi. Fasilitas yang sudah ada di sekitar kawasan yaitu terminal peti kemas di Kota Bandung yang berskala pelayanan lokal, regional dan nasional. Kawasan ini juga memiliki aksesibilitas yang tinggi baik jalan utama regional, akses dan jalan tol, serta aksesibilitas kereta api. Selain itu, terdapat rencana penambahan struktur penunjang generator aktivitas, yaitu terminal bus antar provinsi, sub terminal angkutan dalam kota serta penambahan fasilitas stasiun kereta penumpang pada kawasan. Lahan yang sebagian besar masih berupa persawahan (lahan kosong) akan memudahkan perancangan dan pembangunannya. Pengembangan jalan tol serta adanya jalur SUTET yang melalui kawasan Pusat Primer gedebage menjadi batasan yang dapat dijadikan potensi dan kekhasan dalam merancang kawasan. Selain menetapkan lokasi pengadaan tanah, Pemerintah Kota Bandung juga membentuk Tim Asistensi Perencanaan Pembangunan Terminal Terpadu, Akses Tol, Pusat Sarana Olah raga dan Fasilitas Pendukung Lainnya di Kelurahan Cisaranten Kidul dan Kelurahan Derwati
68
Kecamatan Rancasari Kota Bandung pada Tahun 2001. Instansi-instansi secara terpisah juga telah menyusun rencana pengembangannya, seperti Studi Penataan Wilayah Gedebage dan Ujungberung Kota Bandung (2001); Perencanaan Bangunan Intersection Sungai Buatan Menelusuri Tol dan Danau Buatan Gedebage (2001), Rencana Penataan Terminal Terpadu Gedebage Kota Bandung (2001); Feasibility Study Akses Tol Gedebage Kota Bandung (2002), Perencanaan Stadion Olah Raga, RTBL Terminal Terpadu Cedebage (2002); Visi Pengembangan/Masterplan Gedebage (2003); Skenario Pengembangan Sentra Perdagangan dan Jasa Kawasan Bandung Timur (2003); Rencana Perbaikan Sungai Cisaranten (2003). Namun karena tidak padu, serasi dan terintegrasi, maka Pemerintah Kota Bandung pada Tahun 2005 menyusun Rencana Induk Kawasan Gedebage (Pusat Primer Gedebage) sebagai upaya penyusunan rencana tata ruang secara menyeluruh, terintegrasi dan berkelanjutan berdasarkan daya dukung kawasan dalam bentuk pengembangan Kawasan Pusat Primer Gedebage. Kawasan Pusat Primer Gedebage dengan luas sekitar 712,3 Ha terletak di Bandung Timur (WP Gedebage). Bagian utara kawasan ini dibatasi oleh Jl. Soekarno Hatta, bagian selatan oleh Jalan Tol Padaleunyi, bagian barat oleh Jalan Gedebage dan bagian timur dibatasi oleh Jalan Cimencrang. Kawasan Pengembangan Pusat Primer Gedebage terletak di Kecamatan Rancasari (Kelurahan Derwati, Kelurahan Mekar wangi, Cisaranten Kidul, Kelurahan Derwati) dan Kecamatan Ujungberung (Kelurahan Cisaranten Wetan). Kawasan Pusat Primer Gedebage memiliki kontur yang relatif datar dengan kecenderungan dari arah utara ke selatan yang semakin menurun. Kemiringan lahan dominan antara 2,5 persen dan mempunyai ketinggian antara 662-670 meter di atas permukaan laut. Kawasan Gedebage bagian selatan (sebelum Jalan Tol Padaleunyi) merupakan cekungan dan kawasan Gedebage terletak pada lokasi genangan/banjir. Tapak terletak pada cekungan dengan kondisi geologi yang terdiri dan jenis lempung lanauan, lapisan gambut, lapisan pasir, dan lempung pasiran. Jenis tanah yang tersebar di kawasan ini umumnya berupa tanah alluvial. Kondisi mi memerlukan konstruksi yang spesifik untuk bangunan berat atau tinggi. Kawasan Gedebage dilalui oleh beberapa sungai yang memiliki potensi bila dikelola dengan baik maka sungai-sungai yang berada di
69
lokasi ini dapat menjadi view yang menarik (dapat diekspos menjadi kawasan waterfront city). Adapun sungai-sungai tersebut adalah : 1. Sungai Cipamokolan, mengalir dari Utara ke Selatan sepanjang bagian barat Kawasan Gedebage. 2. Sungai Cisaranten Kulon, mengalir dari Utara ke Selatan, melalui daerah persawahan dekat kompleks Riung Bandung 3. Sungai Cisaranten Kidul, mengalir dari Utara ke Selatan, memotong lintasan kereta api kemudian memotong Jalan Gedebage di wilayah Kelurahan Cisaranten Kidul. 4. Sungai Cinambo, mengalir dari Utara ke Selatan di wilayah Kelurahan Mekarmulya. 5. Sungai Cilamenta mengalir dari Utara ke Selatan dan bergabung dengan Sungai Cinambo. Penggunaan lahan dominan di Kawasan Pusat Primer Gedebage saat ini adalah persawahan. Di luar itu penggunaan lahan campuran antara perdagangan, industri, kawasan perumahan dan penggunaan pemerintahan/perkantoran lainnya. Dahulunya wilayah Pengembangan Gedebage memang berfungsi sebagai kawasan permukiman, industri, jasa dan perkantoran serta pusat kegiatan ekspor impor berupa Terminal Peti Kemas. Kawasan industri, jasa dan perdagangan yang memiliki skala pelayanan untuk wilayah regional dan Terminal Peti Kemas melayani skala Kota Bandung. Dengan adanya pembangunan Terminal Induk Gedebage, akan memberikan dampak terhadap percepatan pengembangan Wilayah Pengembangan Gedebage dan sekitarnya. Wilayah Gedebage telah memiliki beberapa kegiatan penting yang dapat menjadi faktor pemicu perkembangan yaitu terminal peti kemas, pasar induk, beberapa pertokoan, dan beberapa lingkungan permukiman baru. Di kawasan Timur Bandung ini telah tumbuh dan berkembang berbagai kegiatan ekonomi, baik yang berskala lokal, regional, maupun nasional. Laju pertumbuhan penduduk di sekitar Kawasan Pusat Primer Gedebage yaitu di WP Gedebage dan WP Ujungberung relatif tinggi (rata-rata 5,4 persen antara tahun 2000-2009) yang diakibatkan oleh migrasi penduduk. Selain itu, pesatnya pengembangan kawasan permukiman dan penempatan berbagai kegiatan
70
fungsional perkotaan (tempat-tempat bekerja) di kawasan ini akan berpengaruh terhadap peningkatan kapasitas tampung minimal, yang kemudian akan berpengaruh
pula
terhadap
pertambahan
jumlah
penduduk.
Tingginya
pertumbuhan pada sektor pengembangan perumahan di Wilayah Gedebage dan wilayah Ujungberung dapat mengalihkan pertumbuhan penduduk terutama di kawasan sekitar pusat kota dan Kawasan Bandung Utara sebagai daerah konservasi. Berdasarkan proyeksi jumlah penduduk dan kebutuhan jumlah hunian, diidentifikasi bahwa kebutuhan hunian akan meningkat di Kecamatan Ujungberung akan mencapai 15.640 rumah dan di Kecamatan Rancasari 13.544 rumah pada Tahun 2013 dan berdampak pada peningkatan kebutuhan lahan permukiman. Untuk seluruh Kota Bandung hingga tahun 2013 masih dibutuhkan 82.496 unit rumah dengan luas total kebutuhan lahan 19.780 Ha. Hal ini akan menyebabkan Kawasan Perencanaan harus dapat memenuhi kebutuhan akan permukiman. Hal ini menunjukkan upaya dalam pemerataan penduduk di Kota Bandung sudah sejalan dengan kebijaksanaan dalam RTRW Kota Bandung. Sebagian besar kawasan Pusat Primer Gedebage berupa persawahan. Perumahan tidak terencana berkembang di sepanjang JI. Gedebage dan JI. Cimencrang dan bagian Utara Kawasan Pusat Primer Gedebage. Perumahan terencana yang berkembang dalam kawasan Pusat Primer Gedebage bagian Selatan-Barat (PT. Bumi Adipura), sedang di luar kawasan berada di sebelah Tmur adalah Perumahan Bumi Parahyangan dan di sebelah Utara adalah Perumahan Pinus Regensi. Pengembangan kawasan perencanaan akan dilakukan new development yaitu pembangunan baru lengkap dengan ketersediaan sarana prasarananya sehingga memiliki daya tarik tersendiri terutama bagi perkembangan Kota Bandung secara keseluruhan. Konsep pembangan di kawasan perencanaan dengan menggunakan konsep pembangunan siap bangun dan lingkungan siap bangunan (lisiba) yang berdiri sendiri, minimal 1000 unit (RTRW Kota Bandung 201 3).
71
Tabel 10 Program Pemanfatan Ruang di Kawasan Gedebage Komponen Pengembangan Transportasi
Fasilitas Kesehatan Olah Raga dan Rekreasi
Industri (eksisting) Fasilitas Peribadatan Hunian
Luas Total (Ha) 32.58
Presentase (persen) 4.6
16.55
2.3
45
6.3
26.61
8.7
Mesjid Agung
5.32
0.7
Kawasan perumahan yang telah terbangun dan akan dibangun di kawasan perencanaan.
196.6
27.6
Sub Komponen Terminal Terpadu dan fasiltas penunjang serta Stasiun Kereta Api dengan fasilitas penunjangnya Rumah Sakit Tipe B dan Rumah Sakit Gawat Darurat dengan pendukungnya Komplek olah raga dengan Stadiuon Utama, Stadion Renang, Lapangan Tenis, Lapangan Bulutangkis, Lapangan Basket, Lapangan sepak bola, lapangan voli ball, driving range, soft ball, sport club dan fasilitas pendukung lainnya Industri pertamina, sepatu
Hotel dan apartemen 11 1.5 Kolam retensi 123 25.1 Jalan, jalan tol dan akses jalan tol 55.57 Ruang Terbuka Ruang terbuka fasilitas lingkungan 31 4.4 Hijau (termasuk Ruang Terbuka sempadan sungai buffer zone) Ruang Terbuka Sempadan SUTT Ruang Terbuka sempadan jalan tol Taman Kawasan Theme park Total kawasan yang akan dikembangkan 712.3 100 Sumber: development brief Pusat Primer Gedebage BAPEDA Kota Bandung 2006 Infrastruktur
Selain memiliki daya dukung dalam Pengembangan Kawasan Gedebage juga memiliki keterbatasan seperti ancaman terhadap kawasan ini sebagai wilayah yang rentan gempa, oleh karena itu dalam pembangunannya diperlukan konstruksi bangunan tahan gempa. Dalam kondisi seperti ini, maka pengawasan dan pengendalian dalam struktur bangunan yang akan dibangun di kawasan ini menjadi sesuatu yang penting agar karakteristik lahan wilayah ini sebagai pontensial bencana gempa dapat diminimalisir dengan karateristik bangunan yang tahan terhadap kondisi jika terjadi gempa. Pengawasan dan pengendalian struktur bangunan menjadi penting karena selama ini pelanggaran terhadap peraturan menyangkut aspek bangunan cukup sering terjadi.
72
Keterbatasan wilayah Gedebage juga dapat dilihat dari aspek penyediaan air bersih yang masih cukup sulit. Pelayanan PDAM di kawasan ini masih terbatas dan kondisi sumber air lain (sungai) yang tercemar limbah domestik dan industri. Namun demikian, hasil penyelidikan air yang dilakukan oleh PDAM Kota Bandung menunjukan bahwa air baku di kawasan ini memiliki potensi yang besar dengan ditemukannya sumber air tanah dangkal dan dalam serta rencana pembangunan sistem kolam retensi dari drainase yang diharapkan akan mampu melayani kebutuhan air di Wilayah Gedebage dengan melengkapi penambahan instalasi pengolahan air untuk memenuhi kualitas air minum. Rencana penyediaan air bersih dalam kawasan dirancang dengan alternatif-alternatif berupa (1) dari luar kawasan dengan tambahan pengembangan jaringan air, (2) pemanfaatan wet pond, dan (3) pemanfaatan air pada under ground storoge di ruang terbuka hijau. Selain itu pula kawasan ini terletak pada cekungan dengan kondisi geologi yang kurang begitu baik dan lokasi genangan atau banjir. Oleh karena itu solusi yang direncanakan untuk mengantisipasi kendala-kendala ini diantaranya dengan melakukan langkah-langkah : 1. Kondisi
geologi,
tanah
yang
kurang
baik
diantisipasi
dengan
rencana/perancangan struktur dan pondasi yang tahan gempa dan sesuai dengan keterbatasan kondisi geologi/tanah tersebut. 2. Genangan/banjir diantisipasi dengan rencana pengembangan/pembangunan retention pond dan perbaikan sistem drainase untuk manajemen air hujan dan air buangan. Upaya ini juga diharapkan dapat mengatasi permasalahan genangan dan kekurangan air pada musim kemarau. Pada musim kemarau, diharapkan air yang diinjeksi ke dalam tanah tersebut (dengan retention pond) dapat dimanfaatkan oleh masyarakat setempat. Selain itu, normalisasi sungai juga sedang diupayakan untuk mengatasi banjir. Normalisasi sungai saat ini dilakukan pada Sungai Cinambo untuk dapat mengatasi banjir tersebut. Upaya yang direncanakan sebagai upaya Pengendalian Banjir di kawasan Gedebage di antaranya adalah dengan langkah-langkah sebagai berikut : 1. Pembuatan kolam-kolam retensi (retention pond, dry pond dan wet pond) untuk menampung sementara kelebihan aliran yang berasal dari hulu K.
73
Cisaranten dan K. Cinambo sebelum dilepaskan kembali pada waktu muka air di K. Cinambo mulai turun. 2. Volume air yang perlu ditampung oleh kolam Retensi adalah: 1 juta m3 untuk periode banjir 25 tahun dan 1,6juta m3 untuk banjir 50 setahun. 3. Kolam retensi dibuat dalam satu kesatuan atau dipecah menjadi beberapa kolam. 4. Air dalam kolam retensi harus mampu dibuang ke saluran diversi Kali Cinambo dalam jangka waktu 24 jam atau maksimal 48 jam. Elevasi dasar kolam retensi harus lebih tinggi dan pada elevasi dasar saluran diversi Kali Cinambo. 5. Sebagian areal kolam retensi dapat digunakan sebagai kolam air baku. 6. Kedalaman kolam air baku ditentukan berdasarkan kebutuhan air dan juga besarnya perkolasi dan penguapan. 7. Untuk menghindari luapan air maka tinggi tanggul kolam retensi adalah 1,5-2 Cm. 8. Perlu dibangun tanggul disepanjang saluran diversi Kali Cinambo dengan tinggi tanggul 1,5 m dan lebar bantaran banjir 50-100 m. Sedangkan sistem drainase yang dirancang di Kawasan Gedebage ini dengan menggunakan langkah-langkah sebagai berikut : 1. Memanfaatkan air hujan sebaga sumber air baku atau air bersih dengan pendekatan
storage
oriented
approach
menggunakan
kolam-kolam
penampungan air hujan (Wet Pond) 2. Perbanyak bio- rentention pada taman-taman dan ruang terbuka 3. Sistem saluran drainase air hujan dan sistem air kotor terpisah 4. Menggunakan tanaman untuk menahan erosi lahan 5. Terintegrasi dengan tata letak bangunan Utilitas untuk menajemen air hujan dapat digunakan dengan mengikuti langkah-langkah Penggunaan buffer dan area undisturbed, Penggunaan aliran drainase natural., Penggunaan tanaman penahan air selain gorong-gorong dan Pengaliran air atap ke wadah. Sedangkan dalam hal sumur resapan, maka setiap bangunan dalam dalam blok harus dilengkapi dengan sumur resapan dengan kapasitas yang diperhitungkan dengan luasan atap bangunan dan ruang terbuka
74
yang ada. Upaya ini dilakukan supaya air dan atap tidak langsung dibuang tetapi dimasukkan dulu dalam wadah. Kawasan Gedebage pada prinsipnya dikembangkan untuk mengurangi beban aktivitas dan lalu lintas di pusat Kota Bandung terutama di wilayah tengah dan barat Kota Bandung yang sudah mencapai kapasitas maksimal dan tidak memiliki peluang untuk dikembangkan terutama dalam aspek penggunaan lahan bagi fungsi yang saat ini sedang dijalankan. Keseriusan Pemerintah Kota Bandung untuk mengembangkan kawasan ini ditindaklanjuti dengan ditetapkannya kawasan perencanaan Gedebage sebagai Pusat Primer Timur dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Bandung 2004-2013. Dalam RTRW Kota Bandung ini, kegiatan yang akan dikembangkan adalah sebagai berikut: 1. Pendidikan (Perguruan Tinggi dan Perpustakaan) 2. Kesehatan (Rumah Sakit tipe B dan rumah sakit gawat darurat) 3. Peribadatan (mesjid dan rumah ibadah lainnya) 4. Bina Sosial (gedung pertemuan umum) 5. Komplek olahraga dengan gelanggang olahraga, Gedung seni tradisional, Taman kota, 6. Pelayanan Pemerintah, meliputi Pusat Bisnis dan Perkantoran untuk swasta, kantor
pemerintahan,
kantor
pos
wilayah,
kantor
kodim,
kantor
telekomunikasi wilayah, kantor PLN wilayah, kantor PDAM wilayah, kantor urusan agama, pos pemadam kebakaran 7. Perdagangan dan Jasa meliputi hotel dan mall, bangunan komersial, Pertokoan, pusat belanja, bank-bank, perusahaan swasta dan jasa-jasa lain 8. Transportasi, meliputi stasiun kereta ap, terminal dan parkir umum. Pembagian ruang yang menjadi kawasan Pusat Primer Gedebage memiliki tujuan agar ruang yang ada menjadi ruang yang termanfaatkan secara maksimal tanpa menimbulkan suatu resiko yang dapat mengganggu aktifitas di kawasan Gedebage tersebut. Kondisi ini karena kawasan Gedebage memiliki resikolebih tnggi dibandingkan kawasan lain Kota Bandung, terutama ancaman banjir sebagai akibat kondisi kawasan yang lebih rendah dibandingkan dengan kawasan lain Kota Bandung.
75
Rencana Jalan Tol Perumahan Sarana Olah Raga Sarana Pelayanan Masyarakat Sarana Transfortasi Sarana Lingkungan Gambar 4 Kode Ruang Peruntukan Pusat Primer Gedebage Bandung Sumber: development brief Pusat Primer Gedebage BAPEDA Kota Bandung 2006
76
Gambar 5 Keterangan Tentang Kode Ruang Peruntukan Pusat Primer Gedebage Bandung Sumber: development brief Pusat Primer Gedebage dan BAPEDA Kota Bandung 2006 Berdasarkan Gambar 4 dan 5 kondisi saat ini Pusat Primer Gedebage sebagian besar berupa persawahan. Perumahan tidak terencana berkembang di sepanjang JI. Gedebage dan JI. Cimencrang dan bagian Utara Kawasan Pusat Primer Gedebage. Perumahan terencana yang berkembang dalam kawasan Pusat Primer Gedebage bagian Selatan-Barat (PT. Bumi Adipura) (Blok J), sedang di luar kawasan berada di sebelah Timur adalah Perumahan Bumi Parahyangan dan di sebelah Utara adalah Perumahan Pinus Regensi (Blok A). Adapun keterangan mengenai Gambar 4 secara lengkap dapat dilihat dari Tabel 11.
77
Tabel 11 Keterangan Pemanfaatan dan Luas Ruang dalam Kawasan Pusat Primer Gedebage BLOK
Luas Blok (Ha)
Sub Blok A1 A2 A3 A4 A5 A6 B1 B2 B3 B4 C1 C2 D E1 E2 F1 F2 F3 G
Guna Lahan
Luas Total Lahan Untuk Komponen (Ha) 21,68 21,16 7,16 6,40 12,86 17,55 2,59 17,58 15,00 11,50 16,55 11,18 36,02 15,52 31,19 42,60 5,73 6,82 45,05
Industri Jasa Jasa A 86,81 Jasa Perumahan Komplek Pertokoan Komplek Pertokoan Stasiun KA B 46,67 Terminal Bus (Kelas A) Pusat Perbelanjaan/ Mall Rumah Sakit (Kelas B) C 27,73 Komplek Pertokoan D 29,72 Kolam Retensi (dry pond) Perumahan E 42,07 Perumahan Kolam Retensi (dry pond) F 56 Komplek Pertokoan Komplek Pertokoan Komplek Sarana Olah Raga G 45,05 (SOR) dan pendukungnya H 23,55 H Perumahan 27,33 I1 Perumahan 13,49 I2 Pusat Perbelanjaan/Mall 10,92 I3 Bisnis dan Pertokoan 9,76 I4 Pusat Perbelanjaan/Mall 8,94 I5 Peribadatan (Mesjid, 5,32 I 67,29 Gereja, Pura, Vihara) I6 Counvention Hall dan 9,19 Gedung Seni Tradisional I7 Kampus Terpadu 9,68 (Perguruan Tinggi) J1 Perumahan 8,72 J 42,56 J2 Perumahan 19,86 J3 Rumah Susun/Apartemen 13,98 K1 Kampus Terpadu 14,55 (Perguruan Tinggi) K2 Ruang Terbuka Hijau (Wet 14,59 pond) K 112,02 K3 Perumahan 59,35 K4 Perumahan 6,33 K5 Ruang Terbuka Hijau (Wet 30,07 pond) Sumber: Development brief Pusat Primer Gedebage BAPEDA Kota Bandung 2006
78
Dari Tabel 11 terlihat bahwa total luas perencanaan Kawasan Pusat Primer Gedebage adalah 712,3 Ha yang terbagi ke dalam 11 blok dengan blok K memiliki luas peruntukkan yang paling luas. Sedangkan di blok H merupakan blok yang paling kecil luas lahan peruntukkannya. Namun demikian dari total luas lahan di setiap blok tidak semua lahan dapat dipergunakan karena adanya aturan tentang intensitas pemanfaatan ruang dalam pengemangan kawasan Gedebage akan diatur berdasarkan tiga faktor, yaitu Koefisien Dasar Bangunan (KDB), Koefisien Lantai Bangunan dan Ketinggian Lantai Maksimum. KDB adalah persentase luas Lantai dasar maksimum yang diperbolehkan dibangun pada luas kavling sedangkan KLB adalah bilangan pokok atas perbandingan antara jumlah luas lantai bangunan dengan luas kavling. Ketentuan intensitas pembangunan, pembagian blok dan kode pemanfaatan ruang dalam kawasan Pusat Primer Gedebage dapat dilihat pada Tabel 12. Tabel 12 Kode Pemanfaatan dan Ketentuan Intensitas Ruang dalam Kawasan Pusat Primer Gedebage BLOK
Luas Blok (Ha)
A
86,81
B
46,67
C
27,73
D
29,72
E
42,07
F
56
G H
45,05 23,55
I
67,29
J
42,56
K
112,02
Sub Blok A1 A2 A3 A4 A5 A6 B1 B2 B3 B4 C1 C2 D E1 E2 F1 F2 F3 G H I1 I2 I3 I4 I5 I6 I7 J1 J2 J3 K1 K2 K3 K4 K5
Guna Lahan Industri Jasa Jasa Jasa Perumahan Komplek Pertokoan Komplek Pertokoan Stasiun KA Terminal Bus (Kelas A) Pusat Perbelanjaan/ Mall Rumah Sakit (Kelas B) Komplek Pertokoan Kolam Retensi (dry pond) Perumahan Perumahan Kolam Retensi (dry pond) Komplek Pertokoan Komplek Pertokoan Komplek Sarana Olah Raga (SOR) dan pendukungnya Perumahan Perumahan Pusat Perbelanjaan/Mall Bisnis dan Pertokoan Pusat Perbelanjaan/Mall Peribadatan (Mesjid, Gereja, Pura, Vihara) Counvention Hall dan Gedung Seni Tradisional Kampus Terpadu (Perguruan Tinggi) Perumahan Perumahan Rumah Susun/Apartemen Kampus Terpadu (Perguruan Tinggi) Ruang Terbuka Hijau (Wet pond) Perumahan Perumahan Ruang Terbuka Hijau (Wet pond)
Intensitas KDB max KLB max (persen) 40 1.2 70 2,8 50 4 50 4 50 1,5 70 2,1 70 2,8 50 2 50 2 70 2,1 50 2 70 2,1 15 0,3 50 1,5 50 1,5 15 0,3 70 2,8 70 2,1 50 2 50 1 70 2,8 50 4 50 3 70 2,1 50 2 50 1,6 50 1,6 50 1 50 1 25 1,25 50 1,6 10 0,2 50 1 50 1 10 0,2
Sumber: Development brief Pusat Primer Gedebage BAPEDA Kota Bandung 2006
79
Berdasarkan Tabel 11 dan 12, maka dapat dihitung luas lahan yang dapat digunakan dalam setiap blok di kawasan Pusat Primer Gedebage dan luas total dari lantai yang dapat dibangun disetiap blok. Luas lantai dapat dijadikan ukuran pula berapa tingkat ketinggian suatu bangunan yang dapat dibangun di kawasan Pusat Primer Gedebage ini. Untuk melihat luas lahan yang dapat digunakan dan luas total dari lantai yang dapat dibangun di setiap blok di kawasan Pusat Primer Gedebage dapat dilihat dari Tabel 13. Tabel 13 Hasil Perhitungan Pemanfaatan Lahan serta Luas Total Lantai yang Dapat dibangun dalam Kawasan Pusat Primer Gedebage BLOK
Luas Blok (Ha)
A
86,81
B
46,67
C
27,73
D
29,72
E
42,07
F
56
G
45,05
H
23,55
I
67,29
J
42,56
K
112,02
Sub Blok A1 A2 A3 A4 A5 A6 B1 B2 B3 B4 C1 C2 D E1 E2 F1 F2 F3 G H I1 I2 I3 I4 I5 I6 I7 J1 J2 J3 K1 K2 K3 K4 K5
Guna Lahan Industri Jasa Jasa Jasa Perumahan Komplek Pertokoan Komplek Pertokoan Stasiun KA Terminal Bus (Kelas A) Pusat Perbelanjaan/ Mall Rumah Sakit (Kelas B) Komplek Pertokoan Kolam Retensi (dry pond) Perumahan Perumahan Kolam Retensi (dry pond) Komplek Pertokoan Komplek Pertokoan Komplek Sarana Olah Raga (SOR) dan pendukungnya Perumahan Perumahan Pusat Perbelanjaan/Mall Bisnis dan Pertokoan Pusat Perbelanjaan/Mall Peribadatan (Mesjid, Gereja, Pura, Vihara) Counvention Hall dan Gedung Seni Tradisional Kampus Terpadu (Perguruan Tinggi) Perumahan Perumahan Rumah Susun/Apartemen Kampus Terpadu (Perguruan Tinggi) Ruang Terbuka Hijau (Wet pond) Perumahan Perumahan Ruang Terbuka Hijau (Wet pond)
8.67 14.81 3.58 3.20 6.43 12.29 1.81 8.79 7.50 8.05 8.28 7.83 5.40 7.76 15.60 6.39 4.01 4.77 22.53
Luas Total Lantai Bangunan (Ha) 10.41 41.47 14.32 12.80 9.65 25.80 5.08 17.58 15.00 16.91 16.55 16.43 1.62 11.64 23.39 1.92 11.23 10.03 45.05
13.67 9.44 5.46 4.88 6.26 2.66 4.60
13.67 26.44 21.84 14.64 13.14 5.32 7.35
4.84 4.36 9.93 3.50 7.28 1.46 29.68 3.17 3.01
7.74 4.36 9.93 4.37 11.64 0.29 29.68 3.17 0.60
Lahan yang digunakan (Ha)
Sumber: Data diolah 2011 Perubahan atau pergeseran lokasi kegiatan dalam 1 blok masih dimungkinkan selama tidak mengubah jenis kegiatan dan luas total maksimum intensitas pemanfaatan ruang (KDB, KLB, KLB). Pergeseran fungsi subblok
80
antarblok harus dengan persetujuan Perusahaan Pengelola Kawasan Pusat Primer Gedebage untuk mencek kompabilitas, dampak, trip attraction, ketinggian bangunan dan aspek teknis pembangunan lainnya. Dalam satu blok intensitas, baik KDB, KLB dapat ditransfer ke penggunaan lain tanpa merubah intensitas total maksimum blok tersebut. Dalam
kondisi
tertentu
pembangunan
di
Kawasan
Gedebage
memerlukan Investigasi Tambahan jika pembangunan itu memiliki karakteristik seperti : 1. Setiap pembangunan dengan intensitas tinggi (tinggi bangunan melampaui 4 lantai memerlukan investigasi tambahan untuk mengkaji kekuatan daya dukung lahan dan penyelidikan batuan keras untuk dasar perancangan pondasi. 2. Setiap pembangunan yang akan menyebabkan dampak lalu lintas besar memerlukan investigasi untuk menghitung dampak lalu lintas sebagai dasar untuk mengantisipasi penurunan tingkat pelayanan jalan. 3. Setiap pembangunan untuk fungsi-fungsi tertentu yang kemungkinan menimbulkan dampak lingkungan (limbah atau polusi) diperlukan investigasi untuk memperhitungkan dampak yang akan muncul dan rencana untuk mengatasinya. 4. Setiap permohonan perubahan pemanfaatan ruang harus melalui investigasi terlebih dahulu. 5. Setiap permohonan pembangunan baik bangunan maupun bangun-bangunan yang belum diatur dalam rencana yang ditetapkan. Ketentuan Investigasi tersebut meliputi Investigasi dilakukan oleh pengembang atau pengembang dapat menunjuk lembaga atau konsultan yang berkompeten dalam bidang investigasi, hasil investigasi menjadi persyaratan pengajuan permohonan ijin, perusahaan Pengelola Kawasan Pusat Primer Gedebage dibantu oleh instansi terkait dapat membentuk Tim Indepanden Investigasi
sebagai
pembanding hasil
investigasi
yang dilakukan oleh
pengembang dan kriteria dilakukan dalam investigasi tambahan ditetapkan oleh Perusahaan Pengelolaan Kawasan Pusat Primer Gedebage.
81
Kondisi yang terjadi pada saat ini dari 11 blok yang direncanakan baru 2 (blok) yang mulai dilakukan pembangunan, yaitu di Blok A dan Blok G. Namun sebenarnya blok yang dalam proses pembangunan hanyalah Blok G karena sebenarnya blok A merupakan blok yang sudah ada bangunannya yang kemudian dimasukkan dalam kawasan Pusat Primer Gedebage, yaitu bangunan Industri dalam bentuk depot Pertamina seluas 21,68 Ha, perumahan 21,16 Ha, pelayanan pemerintah 7,17 Ha dan bangunan komersil seluas 17,55 Ha. Apabila pengembang hendak melaksanakan pembangunan baik berupa bangunan maupun bangun-bangunan serta infrastruktur dalam blok maupun sub blok, maka setiap permohonan perijinan pembangunan baik berupa bangunan maupun bangun-bangunan wajib menyertakan rencana dan perancangan detail (detail plan and design). Rencana dan Perancangan Detail ini meliputi: 1. Rencana atau rancangan tata letak bangunan Blok atau Sub Blok. 2. Rencana atau rancangan bangunan (detail engineering design). 3. Rencana atau rancangan prasarana dan utilitas. Dalam aspek administrasi pembangunan Perusahaan Pengelola Kawasan Pusat Primer Gedebage adalah lembaga yang ditunjuk oleh Pemerintah Kota Bandung dengan persetujuan DPRD untuk mengelola pengembangan Kawasan Pusat Primer Gedebage termasuk menyusun rencana teknis, menangani administrasi, izin dan lain-lain yang terkait secara kolektif. Berdasarkan proses seleksi yang terbuka (lelang Perusahaan Pengelola ini lebih lanjut akan dtetapkan oleb Peraturan Walikota. Perusahaan Pengelola Pusat Primer Gedebage dapat terdiri atas Perusahaan tunggal (BUMD atau swasta murni) dan Perusahaan konsorsium atau patungan (BUMD dan beberapa perusahaan swasta). Perusahaan patungan digunakan, jika tanggung jawab swasta secara penuh tidak memungkinkan; kondisi lingkungan berisiko; aspek hukum yang tidak membolehkan kepemilikan prasarana oleh swasta secara keseluruhan; hak kepemilikan penuh swasta secara politis tidak dapat diterima; hukum lingkungan tidak memungkinkan perusahaan svvasta secara keseluruhan menerima liabilitas atau permasalahan lain yang dapat mempengaruhi formasi perusahaan. Konsorsium ini membutuhkan perjanjian yang jelas mendefinisikan tambahan manfaat bagi masing-masing pihak dan tanggung jawab mereka sesuai perjanjian.
82
Perusahaan
Pengelola
Pusat
Primer
Gedebage
bertugas
untuk
mengembangkan kawasan mulai dan pembebasan lahan, pembangunan kawasan dan pengelolaan kawasan. Tugas pokok Perusahaan Pengelola kawasan Pusat Primer Gedebage adalah sebagai berikut: 1. Menyusun rencana teknis 2. Menangani proses perizinan secara kolektif 3. Menilai permohonan izin pembangunan yang diajukan 4. Melaksanakan pembangunan fisik 5. Mengawasi pembangnnan fisik 6. Membebaskan lahan untuk prasarana dan sarana dasar 7. Menyediakan prasarana dan sarana dasar Pola pengelolaan kawasan Pusat Primer Gedebage oleh Perusahaan Pengelola serta lingkup tugas masing-masing anggota Perusahaan pengelola ditunjukkan pada Gambar 6 Pemerintah Kota Bandung
BUMD
Swasta/ Investor
Perusahaan Pengelola
I
Pembebasan Lahan, Pematangan Lahan, dan Prasarana Dasar
Pembangunan Blok Kawasan
Lahan Siap Bangun
Bangunan Siap Digunkan
Investor untuk pengembangan/pembangunan Kawasan Pusat Primer Gedebage
Menggunakan Bangunan Siap Digunakan
Melaksanakan Pembangunan Kawasan
Gambar 6 Alur pengelolaan kawasan Pusat Primer Gedebage
83
Adapun ruang lingkup tugas pemerintah Kota Bandung berkaitan dengan Pengelolaan Kawasan Pusat Primer Gedebage adalah : 1. Penyedia peraturan pembangunan. 2. Perijinan dan tugas administrasi lainnya berkaitan dengan adminstrasi pemerintahan dalam pengembangan Pusat Primer Gedebage. 3. Pemrosesan perijinan secara kolektif dari pengelola kawasan 4. Memberikan insentif sesuai kewenangannya. Sedangkan ruang lingkup tugas Pengelola Kawasan Pusat Primer Gedebage adalah : 1. Penyedia lahan dan pematangan lahan 2. Menerima perijinan permohonan pembangunan oleh pihak yang akan membangun 3. Mengajukan permohonan secara kolektif kepada dinas terkait 4. Bersama dengan Pemerintah Kota Bandung dalam memproses aplikasi investasi internasional dan domestik 5. Bersama dengan Pemerintah Kota Bandung melakukan penilaian permohonan perijinan yang diajukan oleh investor 6. Melaksanakan pengendalian pembangunan Kawasan Pusat Primer Gedebage 7. Memasarkan peluang investasi kepada calon investor Peluang atau prospek investasi (PPP) baik oleh sektor publik maupun swasta atau masyarakat di kawasan Gedebage dapat dilihat pada tabel Tabel 14.
Tabel 14 Peluang atau prospek investasi (PPP) Kawasan Pusat Primer Gedebage PUBLIK 1. Jalan dalam kawasan Pusat Primer Gedebage dan jalan akses menuju ke kawasan 2. Dry pond 3. Ruang Publik 4. Normalisasi sungai serta pembangunan jaringan drainase sekunder
1. 2. 3. 4. 5. 6.
PPP Terminal regional Stasiun Kerata Api Fasilitas Ibadah. Telepon Listrik Penyedian jaringan air bersih (dapat dikerjasamakan dengan sektor swasta)
SWASTA Komersial dan bisnis Perkantoran Hotel Apartemen Convention Hall Gedung seni tradisional atau pertunjukkan 7. Sarana olah raga 8. Kampus terpadu 9. Rumah sakit 10.Perumahan 11.Jalan tol 12.Telepon (PT. Telkom) 1. 2. 3. 4. 5. 6.
84 Lanjutan Tabel 14 13.Listrik (PT. PLN) 14.Sarana Peribadatan 15.Pelayanan Persampahan 16.Pelayanan Air Bersih Sumber: Development brief Pusat Primer Gedebage BAPEDA Kota Bandung 2006
Pedoman administrasi dan investasi (administration and investment guidelines) yang dimaksud adalah ketentuan administrasi dan investasi dalam pengembangan Pusat Primer Gedebage. Beberapa ketentuan administrasi dan investasi adalah sebagai berikut: a. Investor yang akan mengembangkan bagian dan Kawasan Pusat Primer Gedebage berurusan hanya dengan Perusahaan Pengelola. Oleh karena itu urusan perijinan, mekanisme investasi dan urusan lainnya (pembangunan, pemeliharaan) menjadi tanggung jawab Perusahaan Pengelola tersebut. b. Persoalan persyaratan investasi, perijinan dan prosedur adminitrasi dapat dibuat ketentuan sendiri oleh Perusahaan Pengelola selama tidak melanggar ketentuan yang berlaku Persyaratan teknis maupun tata cara investasi baik dalam negeri maupun luar negeri harus mengikuti ketentuan-ketentuan sebagal berikut: a. Ketentuan penanaman modal dalam negeri dan luar negeri mengikuti ketentuan dan persyaratan yang ditetapkan dalam Keputusan Menteri Negara Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal Nomor 38/SK/1 999 tanggal 6 Oktober 1999 tentang Pedoman dan Tata Cara Permohonan Penanaman Modal yang Didirikan dalam rangka Penanaman Modal Dalan Negeri dan Penanaman Modal Asing. b. Ketentuan dan Tata Cara Permohonan Ijin Pertanahan mengikuti Peraturan Daerah Kota Bandung. 5.2 Model Pengembangan Pusat Primer Gedebage Kota Bandung Bagian ini merupakan langkah pembahasan tentang model yang dirancang dari sistem pengembangan Pusat Primer Gedebage Kota Bandung. Pemodelan merupakan suatu abstraksi untuk mendekati sebuah kondisi aktual. Dalam model ini diperlihatkan suatu interaksi antara subsistem yang saling berkaitan dalam pengembangan Pusat Primer Gedebage Kota Bandung yang
85
menjadi stimulus terhadap dinamika yanga akan terjadi pada out put dari pengembangan Pusat Primer Gedebage Kota Bandung. Oleh kerena itu langkah kesesuaian antara subsistem yang ada dalam model dengan yang ada pada kondisi aktual akan menjadi suatu hal yang penting dalam menghasilkan model yang benar-benar sesuai dengan kondisi aktualnya. Adapun yang menjadi objek kajian dalam penelitian ini adalah sistem pengembangan Pusat Primer Gedebage Kota Bandung dengan menggunakan pendekatan sistem dinamik. Interaksi antara subsistem ini ditandai dengan mengalirnya unsur yang ada dalam satu susbsistem ke dalam subsistem lainnya. Unsur yang dimaksud berupa material, informasi, pendapatan maupun tenaga kerja. Unsur-unsur inilah yang pada akhirnya membuat model dalam sistem pengembangan Pusat Primer Gedebage Kota Bandung bekerja untuk menghasilkan out put. Hal ini membuktikan bahwa pengembangan Pusat Primer Gedebage Kota Bandung jika pun hanya memiliki tujuan dalam aspek ekonomi semata dipastikan tidak akan pernah dapat menghasilkan out put tanpa memerhatikan aspek lain seperti dinamika kependudukan dan kapasitas lahan yang ada di Kota Bandung. Keberhasilan model untuk menghasilkan out put yang dapat mendekati kondisi aktual dapat menjadi bahan yang berkualitas dalam memprediksi kondisi Pusat Primer Gedebage Kota Bandung pada masa yang akan datang. Oleh karena itu unsur-unsur yang ada dalam setiap subsistem model pengembangan Pusat Primer Gedebage Kota Bandung perlu kiranya adalah unsur-unsur yang saat ini menjadi bagian yang terkait dengan pengembangan Pusat Primer Gedebage Kota Bandung. Seperti yang terlihat dari Gambar 7 bahwa alur model pengembangan Pusat Primer Gedebage Kota Bandung disusun oleh tiga subsistem yang saling berkaitan, yaitu subsistem kependudukan, subsistem lahan, dan subsistem ekonomi. Dalam model ini ketiga subsistem akan membuat kombinasi seperti kombinasi subsistem kependudukan dengan subsistem ekonomi, subsistem ekonomi dengan subsistem lahan, maupun subsistem kependudukan dengan subsistem lahan. Dengan demikian tidak ada subsistem yang dapat berdiri sendiri karena setiap subsistem dalam alam akan dicampuri oleh kepentingan manusia (kependudukan) sedangkan dalam pandangan falsafah sistem dinamik dapat
86
diterangkan bahwa aspek-aspek lain di luar manusia sebenarnya dapat diprediksi perilaku dan perubahannya baik perubahan dalam segi kuantitas dan kualitas maupun segi waktu. Namun ketika susbsistem itu sudah dicampuri oleh subsistem manusia (kependudukan) maka perilaku dan perubahannya akan semakin tidak beraturan. Hal ini dikarenakan dasar manusia yang memiliki sifat keinginan untuk memuaskan dirinya bahkan lebih jauh lagi dapat menampakkan keserakahan untuk menguasai sumber daya yang ada. Oleh karena itu dalam model pengembangan Pusat Primer Gedebage Kota Bandung subsistem kependudukan merupakan subsistem yang penting dan tak mungkin terpisahkan dengan subsistem-subsitem lain yang ada di lingkungan Pusat Primer Gedebage Kota Bandung. Untuk lebih jelasnya mengenai hubungan Antar subsistem dalam Pengembangan Kawasan Pusat Primer Gedebage Kota Bandung dapat dilihat di gambar 7. Subsistem Kependudukan Subsistem Lahan Subsistem Ekonomi
Pengembangan Kawasan Gedebage Keterangan = Material = Pendapatan = Informasi = Tenaga Kerja Gambar 7 Diagram Alir Hubungan Antar Subsistem dalam Pengembangan Kawasan Pusat Primer Gedebage Kota Bandung
87
1. Subsistem Sosial Kependudukan Dalam
subsistem
kependudukan
terdiri
dari
jumlah
penduduk
dikawasan. Jumlah penduduk ini diperlakukan sebagai level dimana jumlah penduduk ditentukan oleh pertambahan dan pengurangan jumlah penduduk. Pertambahan jumlah penduduk dipengaruhi oleh rate pertambahan penduduk baik secara alamaih maupun rate perubahan jumlah penduduk karena imigrasi, sedangkan
pengurangan
jumlah
penduduk
juga
dipengaruhi
oleh
rate
pengurangan penduduk baik secara alamiah yaitu mati maupun emigrasi. Jumlah penduduk di wilayah penelitian akan terkait dengan jumlah tenaga kerja dalam kegiatan ekonomi (susbsistem kegiatan ekonomi). Selain itu juga jumlah penduduk akan terkait dengan kebutuhan ruang fasilitas sosial dan fasilitas umum (subsistem lahan). Dalam model pengembangan Pusat Primer Gedebage Kota Bandung yang dimaksud dengan penduduk adalah penduduk Kota Bandung karena kawasan Pusat Primer Gedebage Kota Bandung merupakan new development sehingga pada saat ini kawasan ini relatif tidak ada penduduk yang dapat dijadikan stok dalam model
pengembangan Pusat Primer Gedebage Kota
Bandung. Dinamika penduduk Kota Bandung dalam model pengembangan Pusat Primer Gedebage akan dipengaruhi oleh aspek-aspek penambahan dan pengurangan jumlah penduduk baik secara alamiah (kelahiran dan kematian) maupun adanya perpindahan penduduk (penduduk yang masuk atau keluar wilayah). Perubahan yang terjadi pada jumla penduduk Kota Bandung tentunya akan mempengaruhi kondisi lahan yang akan menjadi kebutuhan penduduk (pemukiman) maupun kebutuhan ekonomi (penyediaan lahan untuk industri dan lahan untuk kegiatan jasa) baik lahan total Kota Bandung maupun lahan di kawasan Pusat Primer Gedebage. Mengenai struktur model subsistem penduduk dalam pengembangan Pusat Primer Gedebage Kota Bandung dapat dilihat pada Gambar 8.
88
SUBSISTEM P ENDUDUK
laju Masuk
laju keluar
~
~
P enambahan P ddk
P engurangan P ddk
P ENDUDUK laju kelahiran
laju kematian ~
P roduktivIndustri
P rodIndustri LuasIndustri
RsTKIndustri ~ P ersTKIndustri
TambahLuIndustri
LuasJasa
~
P roduktivJasa
RsTKJasa
P rodJasa ~
~
TambahLuJasa
AngKerja
P ersTKJasa
LuasLain
P ersAngKerja ~
~
P rodLain
TambahLuLain TambahAK
P roduktivLain
RsTKLain P ersTKLain
Gambar 8 Struktur Model Subsistem Penduduk dalam pengembangan Pusat Primer Gedebage Kota Bandung 2. Subsistem Lahan Subsistem lahan merupakan subsistem yang berkaitan dengan ruang gerak dari kegiatan ekonomi dan kegiatan penduduk yang ada di wilayah penelitian. Subsistem lahan dalam model ini berkaitan denga luas lahan yang tersedia di kawasan Pusat Primer Gedebage yang direncanakan menjadi lahan kegiatan ekonomi dan penduduk seluas 712,3 Ha. Semua kegiatan yang berkaitan dengan lahan di Pusat Primer Gedebage berkaitan pula dengan dinamika penduduk kawasan maupun penduduk Kota Bandung. Lahan yang direncanakan menjadi Kawasan Pusat Primer Gedebage terdiri dari lahan untuk transfortasi,
89
kesehatan, olah raga dan rekreasi, industri, peribadatan, hunian (termasuk hotel dan apartemen), danau, akses jalan tol dan untuk daya dukung lingkungan. SUBSISTEM LAHAN
Penambahan RTH Kota
RTH Kota
~ Persen Lahan RTH
laju RTH ~ Luas Lahan Kawasan PPG Lahan RTH ~
Lahan Inf rastruktur
lahan transf ortasi Persen lahan transf ortasi
~ ~ lahan kesehatan
? ~
~
Lahan Permukiman Persen Lahan Inf rastruktur ~ persen lahan kesehatan lahan OR dan Rekreasi lahan Peribadatan persen lahan OR dan Rekreasi
Persen Lahan Permukiman ~
Lahan Industri persen Lahan Industri Penambahan Luas Pemanf atan Lahan Kota
Persen Peribadatan
Luas Pemanf atan Lahan Kota Lahan Perumahan Kota ~
Persen Luas Lahan Kawasan
~
Persen Perumahan Kota
Gambar 9 Struktur Model Subsistem Lahan dalam pengembangan Pusat Primer Gedebage Kota Bandung 3. Subsistem Kegiatan Ekonomi Dalam model pengembangan Pusat Primer Gedebage Subsistem ekonomi merupakan subsistem yang berkaitan dengan aktivitas ekonomi yang diusahakan penduduk wilayah penelitian. Namun karena Pusat Primer Gedebage merupakan new development, maka kegiatan ekonominya tidak adanya hanya ada dalam bentuk sumbangan investasi yang dilakukan oleh Pusat Primer Gedebage baik dalam bentuk rencana investasi hingga investasi existing yang telah disalurkan melalui kegiatan pengembangan Pusat Primer Gedebage ini. Oleh karena itu subsistem ekonomi dalam model pengembangan Pusat Primer
90
Gedebage yaitu sumbangan investasi kawasan terhadap PDRB Kota Bandung dan berfungsi sebagai converter dalam model. Hingga saat ini investasi yang masuk ke kawasan Pusat Primer Gedebage merupakan investasi untuk membiaya infrastruktur pembangunan Kawasan Pusat Primer Gede Bage yang direncanakan pembangunannya sejak tahun 2004 dan pelaksanaannya hingga saat ini baru dapat menyelesaikan pekerjaan sebesar 10,18 persen. Nilai ini diperoleh dari hasil capaian kemajuan pekerjaan pada tahun 2009 sebesar 6,18 persen ditambah dengan kondisi pembangunan pada tahun 2008 yang sudah mencapai 4persen. Nilai tersebut merupakan kontribusi dari pembangunan jembatan, terowongan dan saluran di kawasan Pusat Primer Gedebage pada tahun 2009 sebesar 3,18 persen serta realiasi dari persiapan dan pembangunan fisik sampai akhir 2009 sebesar 3 persen yang meliputi Detail Enginering Design (DED), manajemen kontruksi, penyusunan Amdal, serta pelelangan pembangunan SOR Gedebage dengan nilai investasi Rp. 500,85 Milyar yang berada di blok G. Oleh karena itu nilai produksi ekonomi sebagai dasar perhitungan PDRB pada model ini bisa dianggap nol sehingga sebenarnya dapat dikatakan pula perubahan PDRB Kota dari model ini hanyalah sebatas peningkatan kapasitas infrastruktur kawasan Pusat Primer Gedebage. Namun demikian karena kawasan Pusat Primer Gedebage merupakan bagian dari kegiatan ekonomi Kota Bandung secara keseluruhan, akan ada saling mempengruhi antara kawasan Pusat Primer Gedebage dengan kawasan Kota Bandung. Oleh karena itu investasi yang ada pada kawasan Pusat Primer Gedebage akan mempengaruhi pula terhadap dinamika ekonomi kota Bandung. Dalam struktur model subsistem ekonomi dalam pengembangan Pusat Primer Gedebage Kota Bandung akan digamarkan dalam bentuk dinamika PDRB Kota Bandung atas dasar harga konstan tahun 2000 dengan laju pertumbuhannya 7,85 persen.. PDRB ini akan dipengaruhi oleh subsistem penduduk Kota Bandung dan subsistem lahan (penggunaan lahan Kawasan Pusat Primer Gedebage sendiri maupuan penggunanaan lahan Kota Bandung). Mengenai struktur model subsistem ekonomi dalam pengembangan Pusat Primer Gedebage Kota Bandung dapat dilihat pada Gambar 10.
91
SUBSISTEM EKONOMI
Produktiv Industri laju Masuk
Pr
laju keluar
PENDUDUK
RsTKIndustri ~
~
Penambahan Pddk
Pengurangan Pddk PersTKIndustri
rasio inv estasi kawasan PPG laju kelahiran
laju kematian ~
Produktiv Jasa ~
inv estasi per tenaga kerja
ProdJasa
inv estasi kawasan PPG
~
laju inv estasi
~
AngKerja pendapatan per kapita PersAngKerja
~
~ pertambahan inv estasi
Produktiv Lain
PDRB KOTA
Inv estasi Kota
~ ProdLain TambahAK
~ Penambahan PDRB
Laju PDRB Luas Lahan Kawasan PPG
~ Lahan RTH
~
Lahan Inf rastruktur
lahan transf ortasi Persen lahan transf ortasi
Lahan Perumahan Kota ~
~
Persen Lahan RTH ~
lahan kesehatan ~
~
~ Lahan Permukiman Persen Lahan Inf rastruktur
persen lahan kesehatan lahan OR dan Rekreasi lahan Peribadatan
Persen Perumahan Kota persen lahan OR dan Rekreasi
RTH Kota
Persen Lahan Permukiman ~
~ Penambahan RTH Kota
~
Lahan Industri persen Lahan Industri
Pengurangan RTH Kota Penambahan Luas Pemanf atan Lahan Kota
Persen Peribadatan
Luas Pemanf atan Lahan Kota
~
laju RTH
Persen Luas Lahan Kawasan
Gambar 10 Struktur Model Subsistem Ekonomi dalam pengembangan Pusat Primer Gedebage Kota Bandung
92
6.3 Simulasi Model Pengembangan Pusat Primer Gedebage Kota Bandung Proses selanjutnya dalam pengembangan model pengembangan Pusat Primer Gedebage Kota Bandung adalah membangun suatu formula model dan simulasi model sebagai upaya untuk mengkonversikan kontruksi logis yang ditunjukkan oleh tiga subsistem yang selanjutnya dilakukan simulasi melalui perangkat program stella versi 9. Adapun simulasi model menggunakan kurun waktu 25 tahun (2009-2034).
1. Subsistem Penduduk Dalam simulasi model penduduk perubahan kependudukan dipengaruhi oleh natalitas, mortalitas dan migrasi yang berfungsi sebagai converter yang dapat merubah jumlah penduduk dalam tahun simulasi. Dalam aspek kependudukan ini formulasi model yang digunakan adalah sebagai berikut : a. Penduduk(t) = Penduduk (t - dt) + (Penambahan_Pddk Pengurangan_Pddk) * dtINIT Penduduk = 2374198 Jiwa b. Penambahan_Pddk = Penduduk*laju_masuk+ Penduduk *laju_kelahiran c. Pengurangan_Pddk = Penduduk *laju_keluar+ Penduduk *laju_kematian d. laju_kelahiran = persen per tahun e. laju_keluar = persen per tahun f. laju_kematian = persen per tahun g. laju_Masuk = persen per tahun Adapun hasil simulasi mengenai jumlah penduduk secara lengkap dapat dilihat dalam Gambar 11 dan Tabel 14. Berdasarkan Gambar 11 dan Tabel 15 dapat dilihat adanya kecenderungan dari keadaan penduduk Kota Bandung pada masa lampau yang memiliki laju kelahiran 1.91 persen per tahun dan laju masuk sebesar 1.45 persen, maka jumlah penduduk pada tahun simulasi model Pengembangan Pusat Primer Gedebage mengalami kenaikan pada tahun simulasi (2034) yang ditandai dengan laju pertumbuhan penduduk menurun menjadi rata-rata 1,61 persen dibandingkan
93
dengan saat ini, padahal laju pertumbuhan penduduk Kota Bandung dalam kurun waktu 2005-2009 selalu mengalami peningkatan yang dimulai dengan laju pertumbuhan penduduk yang paling rendah di tahun 2005 sebesar 1,14 persen hingga 1,90 persen di tahun 2009. Perubahan penduduk hasil simulasi ini jika dibandingkan dengan target perubahan penduduk yang dicanangkan oleh pemerintah Kota Bandung adalah relevan karena pemerintah kota dalam jangka panjang hingga tahun 2034 menargetkan penurunan laju pertumbuhan penduduk terutama dengan menekan tingkat mortalitas dan natalitas sebagai penyumbang yang paling signifikan dalam perubahan kependudukan sehingga laju pertumbuhan penduduk ada dikisaran 1,00-1,750 persen (Dinkes Kota Bandung, 2009). Oleh karena itu dengan perubahan kependudukan dalam model ini, maka yang paling diuntungkan adalah pemerintah kota karena model ini dapat diterima dalam upaya menekan tingkat pertumbuhan penduduk.
1: PENDUDUK 1:
3700000
1
1 1:
2950000
1
1 1:
2200000 0.00
Page 1
6.25
12.50 Y ears
18.75 25.00 10:20 PM Wed, Aug 17, 2011
GRAFIK PENDUDUK
Gambar 11. Grafik Hasil Simulasi Subsistem Penduduk Tabel. 15 Hasil Simulasi model pengembangan Pusat Primer Gedebage Subsistem Penduduk (2009-2034) Tahun ke Jumlah Penduduk (Jiwa) 0 2.374.198 1 2.423.413 2 2.472.628 3 2.521.843 4 2.571.058
94 Lanjutan Tabel 15 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 atau 2034 Sumber : Data diolah Tahun 2011
2.620.273 2.669.488 2.718.703 2.767.918 2.817.133 2.866.348 2.915.563 2.964.778 3.013.993 3.063.208 3.112.423 3.161.638 3.210.853 3.260.068 3.309.283 3.358.498 3.407.713 3.456.928 3.506.143 3.555.358 3.604.573
2. Subsistem Lahan Untuk
menganalisis
subsistem
lahan
dalam
simulasi
model
pengembangan Pusat Primer Gedebage maka yang dihitung adalah perubahan yang terjadi dalam variabel luas pemanfatan lahan di Kota Bandung. Adapun yang dimaksud dengan pemanfatan lahan dari hasil model pengembangan Pusat Primer Gedebage adalah lahan yang digunakan untuk perumahan, kegiatan industri dan kegiatan jasa yang berjumlah 11.606 Ha.
Dalam subsistem lahan model
pengembangan Pusat Primer Gedebage, maka formulasi model yang digunakan adalah sebagai berikut : a. Luas_Pemanfatan_Lahan_Kota(t) = Luas_Pemanfatan_Lahan_Kota(t - dt) + (Penambahan_Luas_Pemanfatan_Lahan_Kota) * dtINIT Luas_Pemanfatan_Lahan_Kota = 11606 Ha b. Penambahan_Luas_Pemanfatan_Lahan_Kota = (Luas_Pemanfatan_Lahan_Kota+Luas_Lahan_Kawasan_PPG*Pe rsen_Luas_Lahan_Kawasan)
95
c. Luas_Lahan_Kawasan_PPG = 712.3 Ha d. Persen_Luas_Lahan_Kawasan= persen Adapun hasil simulasi mengenai luas pemanfatan lahan di Kota Bandung dalam model pengembangan Pusat Primer Gedebage secara lengkap dapat dilihat dalam Gambar 12 dan Tabel 16. 1: Luas Pemanf atan Lahan Kota 1:
14000
1 1:
12750 1
1
1 1:
11500 0.00
Page 1
6.25
12.50 Y ears
18.75 25.00 10:24 PM Wed, Aug 17, 2011
GRAFIK LUAS PEMANFATAN LAHAN KOTA
Gambar 12 Grafik Hasil Simulasi Tingkat Pemanfaatan lahan Kota Bandung Dari Gambar 14 dan Tabel 16 menunjukkan bahwa penggunaan lahan industri, perumahan dan jasa meningkat pada tahun simulasi dari 69,73 persen menjadi 80.73 persen atau 13,506 Ha pada tahun 2034. Ini menunjukkan bahwa lahan kosong (bisa berbentuk sawah, tegalan ataupun ruang kosong yang tersedia di Kota Bandung pada tahun 2034 hanya 19.27 persen atau 3.223,87 Ha. Hal ini menunjukkan bahwa intensitas kegiatan yang terjadi di kawasan Pusat Primer Gedebage akan mendesak lahan kosong (bisa berbentuk sawah, tegalan ataupun ruang kosong yang tersedia di Kota Bandung saat ini sebesar 11,36 persen dari lahan kosong yang ada pada saat ini bahkan jika simulasi diperpanjang rentang waktunya, maka 68 tahun yang akan datang semua lahan yang ada di Kota Bandung akan termanfaatkan ke dalam tiga lahan peruntukkan yaitu lahan yang digunakan untuk perumahan, kegiatan industri dan kegiatan jasa. Kondisi ini sebenarnya telah diantisipasi oleh Pemerintah Kota Bandung yang sangat memperhatikan akan keterbatasan lahan yang ada dengan intensitas kegiatan yang dilakukan masyarakat menyangkut penggunaan lahan untuk
96
perumahan, kegiatan industri dan kegiatan jasa di antaranya pemanfaatan lahan perumahan yang tercantum dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJM) 2008-2013 yang mengarahkan pembangunan perumahan kearah vertikal (apartemen dan rumah susun), pengendalian pertumbuhan penduduk dengan lebih mengintensifkan program Keluarga Berencana (KB) dengan program kemandirian ber-KB dan peningkatan keikutsertaan pria dalam ber-KB. Selain itu untuk kenyamanan masyarakat kota, maka target Ruang Terbuka Hijau (RTH) yang saat ini (2008) sebesar 8,7 persen akan ditingkatkan pada tahun 2013 sebesar 16 persen dari total luas lahan yang ada di Kota Bandung (16,730 Ha). Tabel 16 Hasil Simulasi model pengembangan Pusat Primer Gedebage Subsistem Lahan (2009-2034) Proporsi Pemanfatan Pemanfatan Tahun ke Lahan Terhadap Lahan Lahan Kota (Ha) yang Tersedia (persen) 0 saat ini 11.606 69,37 1 11.682 69,83 2 11.758 70,28 3 11.834 70,74 4 11.910 71,19 5 11.986 7164 6 12.062 72,10 7 12.138 72,55 8 12.214 73,01 9 12.290 73,46 10 12.366 73,92 11 12.442 74,37 12 12.518 74,82 13 12.594 75,28 14 12.670 75,73 15 12.746 76,19 16 12.822 76,64 17 12.898 77,10 18 12.974 77,55 19 13.050 78,00 20 13.126 78,46 21 13.202 78,91 22 13.278 79,37 23 13.354 79,82 24 13.430 80,27 25 atau 2034 13.506 80,73 Sumber : Data diolah Tahun 2011
97
3. Subsistem Ekonomi Untuk menganalisis subsistem ekonomi dalam simulasi model pengembangan Pusat Primer Gedebage maka yang dihitung adalah perubahan PDRB Atasa Dasar Harga Konstan Kota Bandung tahun 2000. Dalam subsistem model pengembangan Pusat Primer Gedebage, maka formulasi model yang digunakan adalah sebagai berikut : a. PDRB_KOTA(t) = PDRB_KOTA(t - dt) + (Penambahan_PDRB) * dtINIT PDRB_KOTA = 26,978,909 Milyar b. Penambahan_PDRB = (PDRB_KOTA+Laju_PDRB*(ProdIndustri+ProdJasa+ProdLain) +Laju_PDRB*Investasi_Kota) c. Laju_PDRB = persen d. ProduktivIndustri = Milyar per tahun e. ProduktivJasa = Milyar per tahun f. ProduktivLain = Milyar per tahun g. Investasi_Kota = Triliun per tahun Adapun hasil simulasi mengenai subsistem ekonomi di Kota Bandung dalam model pengembangan Pusat Primer Gedebage secara lengkap dapat dilihat dalam Gambar 13 dan Tabel 17. Berdasarkan Gambar 13 dan Tabel 17 dan dengan melihat nilai PDRB Kota Bandung Atas
Dasar Harga Konstan tahun 2000
dengan laju
pertumbuhannya 7,85 persen, maka dari hasil simulasi nilai PDRB terlihat adanya kenaikan PDRB kota. Kondisi relevan dengan teori bahwa investasi merupakan stimulus bagi peningkatan PDRB (Blanchard, 2006). Dengan nilai investasi saat ini yang masuk ke kawasan Pusat Primer Gedebage sebesar Rp. 500,85 Milyar dari yang direncanakan sebesar Rp. 11,945 Triliun mengakibatkan kenaikan PDRB kota untuk tahun simulasi (2034). Dengan nilai PDRB Atas Dasar Harga Konstan tahun 2000 pada saat ini Rp 26,98 Triliun maka pada tahun simulasi (2034) dengan model ini PDRB Kota berubah menjadi Rp. 86,25 Triliun. Adapun investasi yang saat ini masuk ke kawasan Pusat Primer Gedebage baru sebatas investasi untuk biaya infrastruktur yang tidak
98
menghasilkam volume produksi ekonomi karena kawasan Pusat Primer Gedebage ini merupakan kawasan baru yang direncanakan pembangunannya sejak tahun 2004 dan pelaksanaannya baru dapat menyelesaikan pekerjaan sebesar 10,18 persen. Nilai ini diperoleh dari hasil capaian kemajuan pekerjaan pada tahun 2009 sebesar 6,18 persen ditambah dengan kondisi pembangunan pada tahun 2008 yang sudah mencapai 4 persen. Nilai tersebut merupakan kontribusi dari pembangunan jembatan, terowongan dan saluran di kawasan Pusat Primer Gedebage pada tahun 2009 sebesar 3,18 persen serta realiasi dari persiapan dan pembangunan fisik sampai akhir 2009 sebesar 3 persen yang meliputi Detail Enginering Design (DED), manajemen kontruksi, penyusunan Amdal, serta pelelangan pembangunan SOR Gedebage dengan nilai investasi Rp. 500,85 Milyar yang berada di blok G. . Sedangkan dengan skenario 2 berdasarkan Tabel 17 dan dengan melihat nilai PDRB Kota Bandung Atas Dasar Harga Konstan tahun 2000, maka dari hasil simulasi nilai PDRB terlihat adanya kenaikan PDRB. Dengan diasumsukan nilai investasi yang direncanakan oleh Tim Pengelola Pusat Primer Gedebage sebesar Rp. 11,945 Triliun yang akan masuk ke kawasan Pusat Primer Gedebage mengakibatkan kenaikan PDRB kota untuk tahun simulasi (2034) menjadi Rp. 146,875 Triliun.
1: PDRB KOTA 1:
85000000
1
1 1:
52500000
1
1 1:
20000000 0.00
Page 1
6.25
12.50 Y ears
18.75 25.00 10:37 PM Wed, Aug 17, 2011
GRAFIK PDRB KOTA BANDUNG
Gambar 13 Grafik Hasil Simulasi Jumlah PDRB Kota Bandung Atas Dasar Harga Konstan tahun 2000
99
Tabel. 17 Hasil Simulasi Terhadap Perubahan PDRB Kota Bandung Dalam Subsistem Ekonomi model pengembangan Pusat Primer Gedebage (2009-2034) PDRB (Triliun Rp) Tahun ke Skenario 1 Skenario 2 26,979 26,979 Kondisi Saat ini 1 27,45 29,87 2 29,90 34,75 3 32,35 39,62 4 34,80 44,50 5 37,25 49,37 6 39,70 54,25 7 42,15 59,12 8 44,60 64,00 9 47,05 68,87 10 49,50 73,75 11 51,95 78,62 12 54,40 83,50 13 56,85 88,37 14 59,30 93,25 15 61,75 98,12 16 64,20 103,00 17 66,65 107,87 18 69,10 112,75 19 71,55 117,62 20 74,00 122,50 21 76,45 127,37 22 78,90 132,25 23 81,35 137,12 24 83,80 142,00 25 atau 2034 86,25 146,875 Sumber: Data diolah 2011 5.4 Dampak Pengembangan Pusat Primer Gedebage Kota Bandung Terhadap Pembangunan Ekonomi Kota Bandung. Untuk melihat dampak yang ditimbulkan akibat pengembangan Pusat Primer Gedebage Kota Bandung terhadap ekonomi Kota Bandung, maka dugunakan berbagai indikator, diantaranya perubahan PDRB, pendapatan per kapita dan luas Ruang Terbuka Hijau (RTH). Dalam variabel pendapat per kapita pengembangan Pusat Primer Gedebage memberikan sumbangan yang positif terhadap peningkatan pendapatan per kapita Kota Bandung. Hal ini dapat terlihat dari Tabel 17 yang menunjukkan
100
bahwa tercapainya target pendapatan per kapita sesuai dengan target pembangunan jangka menengah Kota Bandung hingga tahun 2013 salah satu diantaranya dengan mengambil contoh pada tahun 2012 dalam data simulasi (Tabel 17) menunjukkan angka pendapatan per kapita sebesar Rp. 16,84 juta per tahun melampaui target pemerintah Kota Bandung sebesar Rp. 15,1 juta per tahun. Demikian pula pada tahun 2013 sesuai dengan data simulasi (Tabel 17) menunjukkan angka pendapatan per kapita sebesar Rp. 17,2 juta per tahun melampaui target pemerintah Kota Bandung sebesar Rp. 16 juta per tahun. Adapun hasil simulasi mengenai pendapatan per kapita di Kota Bandung dalam model pengembangan Pusat Primer Gedebage secara lengkap dapat dilihat dalam Gambar 14 dan Tabel 18.
1: pendapatan per kapita 1:
21
1
1 1:
16 1
1 1:
11 0.00
Page 1
6.25
12.50 Y ears
18.75 25.00 10:47 PM Wed, Aug 17, 2011
GRAFIK PENDAPATAN PER KAPITA
Gambar 14 Grafik Hasil Simulasi Tingkat Perubahan Pendapatan Per Kapita Kota Bandung
Tabel 18 Hasil Simulasi Terhadap Kondisi Pendapatan Per Kapita Kota Bandung dalam Model pengembangan Pusat Primer Gedebage (2009-2034) Pendapatan Per Kapita Tahun Ke Kota Bandung (Juta Rp) 0 saat ini 11,37 1 11,93 2 12,46
101 Lanjutan Tabel 18 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 atau 2034 Sumber: Data diolah 2011
12,98 13,47 13,95 14,41 14,85 15,28 15,69 16,09 16,47 16,84 17,20 17,55 17,89 18,21 18,53 18,84 19,13 19,42 19,70 19,98 20,24 20,50 20,75
Sedangkan dalam simulasi luas Ruang Terbuka Hijau (RTH) dalam model pengembangan Pusat Primer Gedebage Kota Bandung dapat dijadikan kontrol bagi pengembangan kawasan ini. Dalam aspek Ruang Terbuka Hijau (RTH) ini formulasi model yang digunakan adalah sebagai berikut : a. RTH_Kota(t) = RTH_Kota(t - dt) + (Penambahan_RTH_Kota Pengurangan_RTH_Kota) * dtINIT RTH_Kota = 1.456 Ha b. Penambahan_RTH_Kota = (Persen_Lahan_RTH*Luas_Lahan_Kawasan_PPG+RTH_Kota*laju_RT H) c. Pengurangan_RTH_Kota = (RTH_Kota-(Luas_Lahan_Kawasan_PPGLahan_RTH)-Lahan_Perumahan_Kota) d. Luas_Lahan_Kawasan_PPG = Ha e. RTH Kota = Ha
102
f. Laju RTH Kota = persen Berdasarkan simulasi (Gambar 15 dan Tabel 19) dapat dilihat bahwa luas RTH akan tertekan dari 8,7 persen saat ini menjadi 5,21 persen pada akhir tahun 2034. Kondisi RTH seperti ini sesungggunya tidak relevan dengan target Pemerintah Kota dalam pencapaian luas RTH dalam target jangka pendek (2013) yang sudah mentargetkan pencapaian luas RTH kota 16 persen, tetapi dalam simulasi pada tahun 2013 RTH kota hanya mencapai 8.14 persen (masih rendah dari luas RTH 2010 yang memiliki proporsi 11,06%). Kondisi seperti ini diakibatkan karena pencapaian untuk peningkatan luas RTH oleh pemerintah kota Bandung sesuai dengan Rencana Pembangunan Jangka Mengah Daerah Kota Bandung (2009) dilakukan dengan cara pembebasan lahan dan pengalihfungsian lahan-lahan pemerintah menjadi RTH yang sulit dilakukan karena keterbatasan dana dan keengganan masyarakat yang memiliki lahan dan menjadi target pemerintah untuk dibebaskan serta dialihfungsikan menjadi Ruang Terbuka Hijau. Adapun hasil simulasi luas Ruang Terbuka Hijau (RTH) dalam model pengembangan Pusat Primer Gedebage Kota Bandung secara lengkap dapat dilihat dalam Gambar 15 dan Tabel 19. 1: RTH Kota 1:
1550
1
1 1:
1200 1
1
1:
850 0.00
Page 1
6.25
12.50 Y ears
18.75 25.00 3:22 AM Thu, Aug 25, 2011
GRAFIK RUNAG TERBUKA HIJAU (RTH) KOTA BANDUNG
Gambar 15 Grafik Hasil Simulasi Tingkat Perubahan RTH Kota Bandung
103
Tabel 19 Hasil Simulasi Terhadap Kondisi Ruang Terbuka Hijau dalam Model pengembangan Pusat Primer Gedebage (2009-2034) Perubahan Ruang Proporsi RTH Tahun Ke Terbuka Hijau Kota Terhadap Lahan yang (Ha) Tersedia (persen) 0 saat ini 1.456,00 8,70 1 1.432,50 8,56 2 1.409,00 8,42 3 1.385,50 8,28 4 1.362,00 8,14 5 1.338,50 8,00 6 1.315,00 7,86 7 1.291,50 7,72 8 1.268,00 7,58 9 1.244,50 7,44 10 1.221,00 7,30 11 1.197,50 7,16 12 1.174,00 7,02 13 1.150,50 6,88 14 1.127,00 6,74 15 1.103,50 6,60 16 1.080,00 6,46 17 1.056,50 6,32 18 1.033,00 6,17 19 1.009,50 6,03 20 986,00 5,89 21 962,50 5,75 22 939,00 5,61 23 915,50 5,47 24 892,00 5,33 25 atau 2034 871,27 5,21 Sumber: Data diolah 2011 Dengan demikian pengembangan Pusat Primer Gedebage secara keseluruhan akan mempengaruhi kepada tiga subsistem, yaitu kependudukan, lahan dan PDRB Kota Bandung. Adapun perbandingan ketiga susbsistem tersebut dapat dilihat dalam Gambar 18 dan Tabel 20.
104
1: PENDUDUK 1: 2: 3: 4: 5:
3: penda…per kapita 4: Luas …ahan Kota 5: RTH Kota
2: PDRB KOTA
3700000 85000000 21 14000 1500
2 1
5
1: 2: 3: 4: 5:
3
3
4
2
2950000 52500000 16 12750 1175
5
3 1
2
4
1
4 5
1: 2: 3: 4: 5:
3
2200000 20000000 11 11500 850
1
2
4 5
0.00
6.25
12.50 Y ears
Page 1
18.75 25.00 3:24 AM Thu, Aug 25, 2011
GRAFIK LUAS PEMANFATAN LAHAN KOTA
Gambar 16 Grafik Hasil Simulasi Perbandingan Subsistem Penduduk, Ekonomi dan Lingkungan dalam Model Pengembangan Pusat Primer Gedebage Tabel 20 Hasil Simulasi Perbandingan Subsistem Penduduk, Ekonomi dan Lingkungan dalam Model Pengembangan Pusat Primer Gedebage Tahun ke 0 atau saat ini 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23
Penduduk (Jiwa) 2.374.198 2.423.413 2.472.628 2.521.843 2.571.058 2.620.273 2.669.488 2.718.703 2.767.918 2.817.133 2.866.348 2.915.563 2.964.778 3.013.993 3.063.208 3.112.423 3.161.638 3.210.853 3.260.068 3.309.283 3.358.498 3.407.713 3.456.928 3.506.143
PDRB (Triliun Rp)
Pendapatan Per Kapita (Juta Rp)
26,97 27,45 29,90 32,35 34,80 37,25 39,70 42,15 44,60 47,05 49,50 51,95 54,40 56,85 59,30 61,75 64,20 66,65 69,10 71,55 74,00 76,45 78,90 81,35
11,37 11,93 12,46 12,98 13,47 13,95 14,41 14,85 15,28 15,69 16,09 16,47 16,84 17,20 17,55 17,89 18,21 18,53 18,84 19,13 19,42 19,70 19,98 20,24
Luas Pemanfaatan Lahan Kota (Ha) 11.606 11.682 11.758 11.834 11.910 11.986 12.062 12.138 12.214 12.290 12.366 12.442 12.518 12.594 12.670 12.746 12.822 12.898 12.974 13.050 13.126 13.202 13.278 13.354
RTH (Ha) 1.456,00 1.432,50 1.409,00 1.385,50 1.362,00 1.338,50 1.315,00 1.291,50 1.268,00 1.244,50 1.221,00 1.197,50 1.174,00 1.150,50 1.127,00 1.103,50 1.080,00 1.056,50 1.033,00 1.009,50 986,00 962,50 939,00 915,50
105 Lanjutan Tabel 20 24 3.555.358 25 atau 2034 3.604.573 Sumber : Data diolah 2011
83,80 86,25
20,50 20,75
13.430 13.506
892,00 871,27
6.5 Skenario Model Pengembangan Pusat Primer Gedebage Skenario
Model
Pengembangan
Pusat
Primer
Gedebage
yang
direncanakan berdasarkan beberapa asumsi kondisi yang diharapkan dalam model, yaitu dengan memperhitungkan investasi yang masuk ke kawasan Pusat Primer Gedebage. Adapun skenario dalam model Pengembangan Pusat Primer Gedebage sebagai berikut, yaitu : c. Skenario 1, dimana pengembangan Pusat Primer Gedebage berjalan sesuai dengan investasi saat ini, yaitu sebesar Rp. 500,85 Milyar. d. Skenario 2, dimana pengembangan Pusat Primer Gedebage berjalan sesuai dengan investasi yang direncanakan sebesar Rp. 11,945. Dari perhitungan simulasi tentang skenario Model Pengembangan Pusat Primer Gedebage bagi pembangunan ekonomi Kota Bandung, maka dapat dihitung perbandingan PDRB dan pendapatan per kapita dari skanario 1 dan 2 untuk tahun simulasi (2034) seperti yang terlihat dalam Tabel 21.
Tabel 21 Hasil Simulasi Skenario 1 dan 2 dalam Model Pengembangan Pusat Primer Gedebage Pendapatan Per Kapita PDRB (Triliun Rp) (Juta Rp) Tahun ke Skenario 1 Skenario 2 Skenario 1 Skenario 2 26,979 26,979 11,37 11,37 Kondisi Saat ini 1 27,450 29,875 1193 12,63 2 29,900 34,750 12,46 13,84 3 32,350 39,625 12,98 15,00 4 34,800 44,500 13,47 16,12 5 37,250 49,375 13,95 17,19 6 39,700 54,250 14,41 18,23 7 42,150 59,125 14,85 19,22 8 44,600 64,000 15,28 20,19 9 47,050 68,875 15,69 21,11 10 49,500 73,750 16,09 22,01 11 51,950 78,625 16,47 22,88 12 54,400 83,500 16,84 23,71 13 56,850 88,375 17,20 24,53 14 59,300 93,250 17,55 25,38
106
Lanjutan Tabel 21 15 61,750 16 64,200 17 66,650 18 69,100 19 71,550 20 74,000 21 76,450 22 78,900 23 81,350 24 83,800 25 atau 2034 86,250 Sumber : Data diolah 2011
98,125 103,000 107,875 112,750 117,625 122,500 127,375 132,250 137,125 142,000 146,875
17,89 18,21 18,53 18,84 19,13 19,42 19,70 19,98 20,24 20,50 20,75
26,30 27,19 28,06 28,90 29,71 30,50 31,27 32,02 32,74 33,45 34,10
Berdasarkan Tabel 21 dapat terlihat bahwa pengembangan Pusat Primer Gedebage akan berdampak secara positif terhadap pembangunan ekonomi Kota Bandung yang ditandai adanya kenaikan nilai PDRB atas dasar harga konstan tahun 2000 maupun peningkatan pendapatan per kapita penduduk Kota Bandung. Namun dalam aspek lain terutama luas Ruang Terbuka Hijau mengalami penekanan hingga di akhir tahun simulasi (2034) hanya memiliki proporsi 5,21 persen dari total luas wilayah Kota Bandung (16.730 Ha). Oleh karena itu pada akhir tahun simulasi lahan Kota Bandung akan didominasi penggunaan lahan pada tiga fungsi lahan, yaitu lahan untuk perumahan, lahan untuk industri dan lahan untuk kegiatan ekonomi jasa. Selain itu pula penggunaan lahan untuk perumahan akan didominasi bentuk hunian yang bersifat vertikal (rumah susun).
107
VI. KESIMPULAN DAN SARAN
6.1 Kesimpulan Dari hasil pengaamatan di lapangan menunjukkan bahwa penggunaan lahan untuk pengembangan kawasan Pusat Primer Gedebage telah ditentukan oleh tim pemerintah kota dan swasta dengan memperhatikan berbagai aspek kelayakan maupun peruntukkannya yaitu lahan untuk transfortasi 32,58 Ha (4,6%), untuk kesehatan 16,55 Ha (2,30%), untuk olah raga dan rekreasi 45 Ha (6,3%), untuk industri 26,61 Ha (8,7 %), untuk peribadatan 5,32 Ha (0.7%), hunian 196,6 Ha (27,6%), hotel apartemen 11 Ha (1,5%), danau buatan 123 Ha (17,26%), akses jalan tol 55,57 Ha (7,8%) dan untuk daya dukung lingkungan 31 Ha (4,4%). Berdasarkan
simulasi
model
sistem
dinamis
tentang
dampak
pengembangan Pusat Primer Gedebage terhadap pembangunan ekonomi Kota Bandung dapat dilihat dari perkembangan beberapa aspek, yaitu perubahan penduduk, PDRB kota, penggunaa lahan kota, pendapatan perkapita dan Ruang Terbuka Hijau (RTH), dan berdasarkan simulasi model, maka adanya perubahan jumlah penduduk berupa kenaikan pada tahun simulasi (2034) walaupun hal itu ditandai dengan laju pertumbuhan penduduk menurun menjadi rata-rata 1,61 persen per tahun dibandingkan dengan saat ini sebesar 1,90 persen per tahun. Sedangkan dalam penggunaan lahan industri, perumahan dan jasa meningkat pada tahun simulasi dari 69,73 persen menjadi 80,73 persen atau 13.506 Ha pada tahun 2034. Ini menunjukkan bahwa lahan kosong (bisa berbentuk sawah, tegalan ataupun ruang kosong yang tersedia di Kota Bandung pada tahun 2034 hanya 19,27 persen atau 3.223,87 Ha. Sedangkan simulasi mengenai subsistem ekonomi di Kota Bandung dengan melihat nilai PDRB Kota Bandung Atas Dasar Harga Konstan tahun 2000, maka dari hasil simulasi nilai PDRB terlihat adanya kenaikan PDRB kota yang pada saat ini Rp 26,979 Triliun maka pada tahun simulasi (2034) berubah menjadi Rp. 86,25 Triliun. Dalam variabel pendapat per kapita pengembangan Pusat Primer Gedebage memberikan sumbangan yang positif terhadap peningkatan pendapatan per kapita Kota Bandung. Hal ini dapat terlihat tercapainya target pendapatan per kapita sesuai dengan target pembangunan jangka menengah Kota Bandung hingga
108
tahun 2013 salah satu diantaranya dengan mengambil contoh pada tahun 2012 dalam data simulasi menunjukkan angka pendapatan per kapita sebesar Rp. 16,84 juta per tahun melampaui target pemerintah Kota Bandung sebesar Rp. 15,1 juta per tahun. Demikian pula pada tahun 2013 sesuai dengan data simulasi menunjukkan angka pendapatan per kapita sebesar Rp. 17,2 juta per tahun melampaui target pemerintah Kota Bandung sebesar Rp. 16 juta per tahun. Sedangkan dalam aspek RTH pengembangan Pusat Primer Gedebage akan menekan luas RTH dari 8,7 persen saat ini menjadi 5,21 persen pada akhir tahun 2034. Kondisi RTH seperti ini sesungggunya tidak relevan dengan target Pemerintah Kota dalam pencapaian luas RTH dalam target jangka pendek (2013) yang sudah mentargetkan pencapaian luas RTH kota 16 persen, tetapi dalam simulasi pada tahun 2013 RTH kota hanya mencapai 8.14 persen (masih rendah dari luas RTH 2010 yang memiliki proporsi 11,06%). Skenario
Model
Pengembangan
Pusat
Primer
Gedebage
yang
direncanakan berdasarkan beberapa asumsi kondisi yang diharapkan dalam model, yaitu dengan memperhitungkan investasi yang masuk ke kawasan Pusat Primer Gedebage. Adapun skenario dalam model Pengembangan Pusat Primer Gedebage, yaitu : (1) Skenario 1, dimana pengembangan Pusat Primer Gedebage berjalan sesuai dengan investasi saat ini, yaitu sebesar Rp. 500,85 Milyar dengan hasil nilai PDRB Rp. 86,250 Triliun dan pendapatan per kapita Rp. 20,75 juta dan (2) Skenario 2, dimana pengembangan Pusat Primer Gedebage berjalan sesuai dengan investasi yang direncanakan sebesar Rp. 11,945 Triliun dengan hasil nilai PDRB Rp.146,875 Triliun dan pendapatan per kapita Rp. 34,10 juta per tahun
6.2 Saran Perlu percepatan akselerasi pembangunan kawasan Pusat Primer Gedebage dengan melakukan sosialisasi yang lebih aktif ke masyarakat kawasan agar mendapat dukungan maksimal dari masyarakat. Oleh karena itu penelitian selanjutnya tentang kawasan Pusat Primer Gedebage dengan pendekatan sistem dinamis perlu memperhatikan input sosial masyarakat agar hasil simulasi lebih mendekati kenyataan karena saat ini kendala dalam realisasi pembangunan
109
kawasan Pusat Primer Gedebage adalah sikap penerimaan masyarakat terhadap pembangunan kawasan ini yang belum sepenuhnya mendukung.
110
DAFTAR PUSTAKA
Agusniar A. 2006. Analisis Dampak Pemekaran Wilayah terhadap Perekonomian Wilayah dan Kesejahteraan Masyarakat. Tesis Pascasarjana IPB, Bogor. Ambardi, U.M. dan S. Prihawantoro. 2002. Pengembangan Wilayah dan Otonomi Daerah. Pusat Pengkajian Kebijakan Teknologi Pengembangan Wilayah, Jakarta. Arsyad, L. 1999. Ekonomi Pembangunan. Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Yayasan Keluarga Pahlawan Negara, Yogyakarta. Azis, I.J. 1994. Ilmu Ekonomi Regional dan Beberapa Aplikasinya di Indonesia. Penerbit Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia, Jakarta. Badan Pusat Statistik. 2007. Kota Bandung Dalam Angka 2007. Badan Pusat Statistik, Bandung. Badan Pusat Statistik. Kota Bandung Dalam Angka 2009. Badan Pusat Statistik Kota Bandung. Bambang Juanda. 2009. Metode Penelitian Untuk Ekonomi dan Bisnis, IPB Press. Blanchard, O. 2006. Macroeconomics. 4th edition. Prentice-Hall, New Jersey Capello, Roberta. 2007, Regional Economics, Routledge, New York. Dewi Kurniasih. 2005. Model Skala Prioritas Pembangunan Kota Bandung Berbasis
Good
Governance,
Makara, Sosial Humaniora, VOL. 9, NO. 2,
Desember. Dinas Kesehatan Kota Bandung, Profile Kesehatan Kota Bandung 2009 Dornbusch, R., S.Fischer, and R.Startz. 2004. Macroeconomics, 9th ed., McGrawHill, Boston. Dumairy. 1996. Perekonomian Indonesia. Penerbit Erlangga, Jakarta. Eriyatno, 2003. Ilmu Sistem, Meningkatkan Mutu dan Efektifitas Manajemen, IPB Press, Bogor. Ernan, R., et., al, 2007. Perencanaan Pengembangan Wilayah, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Forrester, 1961. The Industrial Dynamics, The MIT-John Wiley & Sons. Inc., New York.
111
Forrester, 2003. Economic Theory for the New Millennium, International System Dynamics Conference, New York. Forum Kajian Kebijakan Spasial Kehutanan P4W, 2006. Kajian Model Dinamik Penataan Ruang Kehutanan, Badan Planologi Kehutanan, Bogor. Hadi, Setia. 2006. Pelatihan Penyusunan PDRB Hijau dan Perencanaan Kehutanan Berbasis Penataan Ruang, Departemen Kehutanan Badan
Planologi
Kehutanan
Pusat
Rencana
dan
Statistik
Kehutanan, Bogor. Hendra, Esmara. 1995. Perencanaan Pembangunan. PAU Ekonomi UI, Jakarta. Hirschman, A.O. 1958. The Strategy of Economic Development. Yale University Press, New York. Isard, W., I.J. Azis, M.P. Drennan, R.E. Miller, S. Saltzman and E. Thorbecke. 1998. Methods of Interregional and Regional Analysis. Ashgate Publishing Company, Brookfield Vermont. Jhingan, M.L. 1988. Ekonomi Pembangunan dan Perencanaan. Terjemahan C.V. Radjawali, Jakarta. Laporan Penelitian Pusat Mitigasi Bencana ITB, 2006. LPM-UNPAD, 2002, Kajian Sosial Pengembangan Wilayah Gedebage, Bandung. Maman Hilman, 2004, Perkembangan Lokasi Perumahan Di Wilayah Gedebage Kota Bandung Akibat Pemekaran Kota, Dimensi Teknik Arsitektur Vol. 32, No. 2, Desember. Mangiri, K. 2000. Perencanaan Terpadu Pembangunan Ekonomi Daerah Otonom. Badan Pusat Statistik, Jakarta. Mankiw N. Gregory, David Romer dan David N. Weil. 1990. A Contribution To The Empirics of Economic Growth, Paper National Bureau of Economic Research. Nazara, S. 1997. Analisis Input-Output. Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia, Jakarta. Perda No, 26 tahun 2006 tentang RTRW Kota Bandung 2013. Richardson, 1999, Reflection for the Future of System Dinamics, Jurnal of the operational Research Society.
112
Sukirno, S. 1985. Ekonomi Pembangunan: Proses, Masalah dan Dasar Kebijakan. Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia, Jakarta. Supriatna, T. 2000. Strategi Pembangunan dan Kemiskinan. Penerbit Rineka Cipta, Jakarta. Sutomo, S. 1995. Kemiskinan dan Pembangunan Ekonomi Wilayah: Analisis Sistem Neraca Sosial Ekonomi. Disertasi Doktor. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Tasrif, et. al., tt, Group Model Building Intervention in Developing Country : Lesson Learned from Developing Strategies for Clen Air. Paper, tt Todaro, M.P. 1991. Economic Development in the Third World. Longman, New York. Tofik Hidayat, Subagyo dan Anna Maria Sri Asih , 2008, Model Penerimaan Pendapatan Asli Daerah (PAD) dengan pendekatan Sistem Dinamik. Prosiding Seminar Nasional Manajemen Teknologi VIII Program Studi MMT-ITS, Surabaya. Yulia Asyiawati, 2002, Pendekatan Sistem Dinamik Dalam Penataan Ruang Wilyah Pesisir. Tesis Pascasarjana IPB, Bogor.