ANALISIS PROSES BISNIS PEMBIAYAAN MURABAHAH DENGAN AKAD WAKALAH MENGGUNAKAN SOFT SYSTEM METHODOLOGY
Abstract—This paper critically analyses business process models murabahah in practice that have been con-troversial in the past and have continued to be so in the present. This paper aims to explore the compliance of murabahah financing practice using wakalah contract with fatwa of Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia. The analysis in this paper focuses the rules and practice about murabahah financing using wakalah contract. This paper use use Soft System Methodology to formulate conceptual models and compare to the real world. The paper concludes with a clear stand towards those doubtful affairs in relation to inventory recognition in terms of Murabahah financing. The paper then outlines recommendations on how Islamic Banks can practice Murabahah financing with wakalah contract based on sharia, not just to comply with sharia based. Key Terms—murabahah, accounting, business process model.
I.
PENDAHULUAN
Meningkatnya pangsa pasar akad murabahah secara khusus dan pangsa pasar perbankan syariah secara umum harus disyukuri, dimana peningkatan tersebut menunjukkan bertambahnya kesadaran masyarakat muslim di Indonesia akan bahaya riba. Tidak ada seorang muslimpun menyangkal akan haramnya hukum riba, karena dosa riba tersebut sudah termaktub jelas di dalam Al-Qur’an dan Sunnah. Diantaranya dalam surat Al-Baqarah ayat 275, “Allah telah mengharamkan riba dan menghalalkan jual beli, .....”. Begitu juga dalam hadist Rasulullah Shallahu ‘alaihi Wassalam yang berbunyi, “Satu dirham yang dimakan oleh seseorang dari transaksi riba sedangkan dia mengetahui, lebih besar dosanya daripada melakukan perbuatan zina sebanyak 36 kali.”(HR. Ahmad 5/225). Buchori (2004) dalam Bank Indonesia (2006) mengungkapkan ada perbedaan antara praktek murabahah klasik dengan praktek murabahah yang terjadi di Indonesia. Diantara perbedaannya adalah dari segi tujuan, tahapan dan proses transaksi serta status kepemilikan barang pada saat akad. Murabahah klasik bertujuan untuk jual beli yang terdiri dari dua tahap transaksi, dimana penjual membeli barang kepada produsen, kemudian menjualnya kepada pembeli. Pada saat akad, barang telah dimiliki oleh penjual. Sedangkan murabahah yang ada di Indonesia sekarang ini merupakan kegiatan pembiayaan dalam rangka penyediaan fasilitas atau barang, terdiri dari satu tahap transaksi, dimana Bank selaku penjual dapat mewakilkan kepada nasabah untuk membeli barang dari produsen untuk dijual kembali kepada nasabah tersebut, kemudian dilakukan akad pada saat barang belum jelas dimiliki penjual. Tarmizi (2012, 40) menjelaskan setidaknya ada tiga pelanggaran yang dilakukan oleh bank syariah yaitu menjual barang yang belum menjadi milik bank, yang diserahkan oleh bank kepada nasabah adalah uang, dan menjual barang yang sudah dibeli tapi belum diterima. Bank hendak mewakilkan kepada nasabah untuk membeli barang dari pihak ketiga menggunakan akad wakalah, akad jual beli
murabahah harus dilakukan setelah barang, secara prinsip, menjadi milik bank (Fatwa DSN No: 04/DSN-MUI/IV/2000, hal. 3). Namun pada praktiknya, Bank Syariah menyerahkan sejumlah uang kepada nasabah menggunakan akad wakalah pada saat setelah melakukan akad murabahah dengan nasabah. Badri (2012, 20) juga menyatakan bahwa “Praktek perbankan syariah masih jauh dari yang difatwakan oleh Dewan Syariah Nasional (DSN) mengenai murabahah, mudharabah, dan gadai emas. Wajar bila sebagian orang menilai perbankan syariah telah melanggar hukum”. Diriwayatkan dari Hakim bin Hizam, beliau mengatakan, “Wahai Rasulullah, saya sering jual beli, apa jual beli yang halal dan haram? Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Wahai anak saudaraku, bila engkau membeli sebuah barang jangan dijual sebelum barang tersebut engkau terima.” (HR. Ahmad dan dihasankan Imam Nawawi). Hadist ini menjelaskan, haram hukumnya menjual barang yang telah dibeli namun fisik barangnya belum diterima (Tarmizi, 2012). Salah satu alasan tidak diperbolehkannya menjual barang yang fisiknya belum diterima adalah karena jaminan barang tersebut masih berada dalam tanggungan penjual pertama. Ada empat syarat yang harus terpenuhi pada barang yang akan diperjualbelikan dengan menggunakan akad murabahah sesuai fatwa DSN nomor 4/DSN-MUI/IX/2000 yaitu: 1) barangnya harus ada, 2) barangnya berupa harta yang jelas harganya, 3) barangnya dimiliki sendiri, artinya terjaga dan 4) barang itu dapat diserahkan sewaktu aqad. Keempat persyaratan tercermin dalam laporan keuangan entitas syariah sebagai dampak dari adanya pengakuan persediaan murabahah. Persediaan yang akan dijual terdapat pada laporan posisi keuangan pada sisi neraca. Nilai yang tertera pada bagian persediaan seharusnya sesuai dengan kondisi sebenarnya bahwa persediaan tersebut ada, jelas harganya, milik sendiri dan siap untuk dijual. Menurut Martani, dkk (2012, 6), hal yang paling penting dalam akuntansi adalah menentukan pada tahap mana proses bisnis tersebut telah memenuhi kriteria pengakuan menurut akuntansi. Dari informasi yang tersedia, akuntan akan menentukan titik awal tahap pengakuan asset, liabilitas, ekuitas, beban dan pendapatan. Informasi yang terdapat dalam laporan keuangan sebagai dampak dari pengakuan harus disajikan dengan tulus dan jujur (faithful representation). Informasi memiliki kualitas andal jika bebas dari pengertian menyesatkan, kesalahan material, dan dapat diandalkan penggunanya sebagai penyajian yang tulus atau jujur (faithful representation) dari yang seharusnya disajikan atau yang secara wajar diharapkan dapat disajikan (KDPPLKS, hlm. 9, 2014). Agar dapat diandalkan, informasi harus menggambarkan dengan jujur transaksi atau peristiwa lainnya yang seharusnya disajikan atau yang secara wajar dapat diharapkan untuk disajikan. Laporan posisi keuangan harus menyajikan dengan jujur transaksi atau peristiwa lainnya dalam bentuk aset, kewajiban, dana syirkah temporer dan ekuitas pada tanggal pelaporan yang memenuhi kriteria pengakuan. Penggunaan teknologi informasi memudahkan entitas syariah dalam melakukan proses penyusunan laporan keuangan, tapi tidak menutup kemungkinan adanya resiko penyajian tidak jujur apabila praktisi perbankan syariah hanya memperhatikan bentuk hukum dari suatu transaksi dibandingkan substansinya. Penggunaan akad wakalah pada pembiayaan murabahah berpotensi mengakibatkan penyajian yang tidak jujur pada laporan keuangan bank syariah, jika yang menjadi wakilnya adalah nasabah sendiri kecuali bank syariah secara prinsip telah menerima barang dari nasabah dan kemudian menjualnya kepada nasabah. Belum banyak yang mengkaji aspek penyajian yang jujur atas pengakuan persediaan dengan akad wakalah pada pembiayaan murabahah. Oleh karena itu penelitian ini akan mengungkapkan bagaimana proses bisnis akad murabahah menggunakan akad wakalah pada pembiayaan murabahah sesuai prinsip syariah. Kontribusi yang diharapkan dari penelitian ini agar
dapat menjadi bahan pertimbangan bagi regulator dalam merevisi kebijakan terkait pembiayaan murabahah. II.
LANDASAN TEORI
Murabahah Murabahah dalam istilah para ulama fikih terdahulu yaitu bagian dari jual beli amanah; dimana penjual menyebutkan harga pokok barang dan mensyaratkan laba sekian kepada pembeli (Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah Al Kuwaytiyyah, jilid XXXVI, hal 318 dalam Tarmizi, 2012). Menurut Tarmizi (2012, hal 382), murabahah merupakan salah satu akad jual beli secara kredit, dimana persyaratan untuk keabsahan akad ini adalah barang harus terlebih dahulu dimiliki penjual sebelum akad jual beli kredit dilangsungkan dan setelah barang dibeli, penjual harus menerima dulu barang ditangannya, kemudian baru ia dibolehkan menjualnya kepada konsumen. Murabahah dalam Fatwa DSN No. 04/DSN-MUI/IV/2000 adalah menjual suatu barang dengan menegaskan harga belinya kepada pembeli dan pembeli membayarnya dengan harga yang lebih sebagai laba. Dalam Kamus Istilah Keuangan dan Perbankan Syariah, murabahah adalah jual beli barang pada harga asal dengan tambahan keuntungan yang disepakati. Dalam ba’i murabahah, penjual harus memberitahu harga produk yang ia beli dan menentukan suatu tingkat keuntungan sebagai tambahannya. Senada dengan pengertian murabahah sebelumnya, murabahah dalam PAPSI (2013, hal 4.1) dan SAKS (2014, hal 102.2) adalah akad jual beli barang dengan harga jual sebesar beban perolehan ditambah keuntungan yang disepakati dan penjual harus mengungkapkan beban perolehan barang tersebut kepada pembeli. Sehingga dapat disimpulkan bahwa murabahah adalah salah satu aplikasi dari akad jual beli dimana penjual menyerahkan barang yang menjadi miliknya secara fisik kepada pembeli dengan menyebutkan harga perolehan dan keuntungan yang disepakati oleh kedua belah pihak. Murabahah adalah salah satu aplikasi dari transaksi jual beli. Sekarang ini murabahah lebih dikenal sebagai jual beli secara tangguh / angsuran / kredit. Jual beli kredit adalah transaksi jual beli, dimana barang diterima pada waktu transaksi dengan pembayaran tidak tunai dengan harga yang lebih mahal daripada harga tunai serta pembeli melunasi kewajibannya dengan cara angsuran tertentu dalam jangka waktu tertentu (Tarmizi, 365, 2012). Jual beli kredit dibolehkan dalam Islam sebagaimana hasil keputusan Majma’ Al-Figh Al Islami (Divisi Fikih OKI), No. 51 (2/6) tahun 1990, yang berbunyi, “Boleh melebihkan harga barang yang dijual dengan tidak tunai daripada dijual tunai ... dan harganya dicicil dalam jangka waktu tertentu1. Jual beli kredit diperbolehkan dengan syarat tidak melakukan hal yang dilarang. Adapun persyaratan jual beli kredit adalah sebagai berikut (Tarmizi, 372, 2012): 1) Akad ini tidak dimaksudkan untuk melegalkan riba. Maka tidak boleh melakukan jual beli ‘inah. Juga tidak boleh dalam akad jual beli kredit dipisah antara harga tunai dan margin yang diikat dengan waktu dan bunga, karena ini menyerupai riba2. 1
Journal Islamic Fiqh Council, Vol VI, Jilid 1, hal 484 dalam Tarmizi, 366, 2012. Erwandi Tarmizi menuliskan bahwa diantara bentuk riba dalam jual beli kredit yaitu memisahkan antara harga barang dan margin yang diikat dengan waktu dan bunga dalam akad. Seperti penjual dan pembeli membuat akad: “Harga motor ini 10 juta rupiah dan bunganya sebesar 1 juta rupiah, sebagai imbalan waktu pelunasan selama 1 tahun” 2 Journal Islamic Fiqh Council, Vol VII, Jilid 2, hal 9 dalam Tarmizi, 371, 2012. Haramnya penjualan kredit dengan cara ini telah diputuskan oleh Majma Al-Fiqh Al Islami (Divisi Fiqh OKI) dalam muktamar ke VI di Jeddah, Arab Saudi tahun 1990 tentang “Jual beli kredit” No. 53 (6/2) yang berbunyi, “Menurut tinjauan syariat tidak boleh menyatakan dalam akad jual beli tidak tunai pemisahan harga barang dan bunga/margin yang diikat
2) Barang terlebih dahulu dimiliki penjual sebelum akad jual beli kredit dilangsungkan. Maka tidak
3)
4) 5)
6) 7) 8)
boleh pihak jasa kredit melangsungkan akad jual beli kredit motor dengan konsumennya, kemudian setelah ia melakukan akad jual beli, memesan motor dan membelinya ke salah satu pusat penjualan motor, lalu menyerahkannya kepada pembeli Pihak penjual kredit tidak boleh menjual barang yang telah dibeli tapi belum diterima dan belum berada ditangannya kepada konsumen. Maka tidak boleh pihak jasa kredit melangsungkan akad jual beli kredit motor dengan konsumennya sebelum barang yang telah dibelinya dari dealer motor diterimanya. Barang yang dijual bukan merupakan emas, perak atau mata uang. Maka tidak boleh menjual emas dengan cara kredit karena ini termasuk riba ba’i. Barang yang dijual secara kredit harus diterima pembeli tunai pada saat akad berlangsung. Maka tidak boleh transaksi jual beli kredit dilakukan hari ini dan barang diterima pada keesokan harinya. Karena ini termasuk jual beli utang dengan utang yang diharamkan. Pada saat transaksi dibuat harga harus satu dan jelas serta besarnya angsuran dan jangka waktunya juga harus jelas. Akad jual beli kredit harus tegas. Maka tidak boleh akad dibuat dengan cara beli sewa (leasing). Tidak boleh membuat persyaratan kewajiban membayar denda, atau harga barang menjadi bertambah, jika pembeli terlambat membayar angsuran. Karena ini adalah bentuk riba yang dilakukan oleh orang-orang jahiliyah di masa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Murabahah merupakah salah satu aplikasi dari akad jual beli amanah. Terpenuhinya syarat akad murabahah dengan ketentuan sudah terpenuhinya syarat akad jual beli. Persyaratan transaksi murabahah dalam Tarmizi (2012) adalah: 1) Barang telah resmi dibeli oleh penjual kedua (bank) 2) Barang telah dipindahtangankan ke penjual (bank), dan menjadi tanggungan bank; dan 3) Belum terjadi akad dan transaksi jual beli antara bank dan nasabah, sebelum ada serah terima barang dari penjual pertama kepada pihak bank. Dalam fatwa Dewan Syariah Nasional nomor 4/DSN-MUI/IX/2000 menjelaskan ketentuan Murabahah pada bagian pertama sebagai berikut: 1) Bank dan nasabah harus melakukan akad murabahah yang bebas riba 2) Barang yang diperjualbelikan tidak diharamkan oleh syariah Islam 3) Bank membiayai sebagian atau seluruh harga pembelian barang yang telah disepakati kualifikasinya 4) Bank membeli barang yang diperlukan nasabah atas nama bank sendiri, dan pembelian ini harus sah dan bebas riba 5) Bank harus menyampaikan semua hal yang berkaitan dengan pembelian, misalnya jika pembelian dilakukan secara hutang 6) Bank kemudian menjual barang tersebut kepada nasabah (pemesan) dengan harga jual senilai harga beli plus keuntungannya. Dalam kaitan ini Bank harus memberitahu secara jujur harga pokok barang kepada nasabah berikut biaya yang diperlukan 7) Nasabah membayar harga barang yang telah disepakati tersebut pada jangka waktu tertentu yang telah disepakati 8) Untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan atau kerusakan akad tersebut, pihak bank dapat mengadakan perjanjian khusus dengan nasabah 9) Jika bank hendak mewakilkan kepada nasabah untuk membeli barang dari pihak ketiga, akad jual beli murabahah harus dilakukan setelah barang, secara prinsip, menjadi milik bank. Dalam hal mendapatkan hak atau aset oleh lembaga keuangan atau wakilnya ada beberapa ketentuan yang harus terpenuhi (Tarmizi, hlm 14-21, 2015) dengan lamanya waktu pelunasan baik kedua belah pihak sepakat dengan rasio bunga tertentu ataupun dengan bunga ditetapkan oleh bank sentral negara tersebut.
1) Mendapatkan barang atau aset sebelum menjual dengan akad murabahah. a. Lembaga keuangan tidak boleh menjual barang dengan akad murabahah sebelum menguasai barang tersebut, kecuali lembaga keuangan telah menyelesaikan proses pembelian dari pemasok atas barang yang menjadi obyek murabahah, secara haqiqi (perpindahan kontrol atas barang) atau hukmi (penyajian dokumen yang menunjukkan perpindahan kepemilikan). Dalil bahwa wajib menerima barang sebelum dijual untuk memastikan tanggungan lembaga risiko kerusakan barang sebelum dijual kepada nasabah. b. Lembaga keuangan melakukan akad murabahah dengan pemasok melalui: (1) Pertemuan kedua belah pihak, pembahasan detail barang dan pelaksanaan akad pada saat itu. (2) Pertukaran dokumen penawaran dan persetujuan secara tertulis atau melalui bentuk korespondensi melalui sarana komunikasi modern yang umum. c. Secara prinsip, lembaga keuangan yang melakukan pembelian barang kepada pemasok. (Dalil yang mengharuskan lembaga mentransfer langsung uang pembayaran kepada penjual untuk menghindari syubhat bahwa muamalat ini hanya sekedar pengelabuan kredit ribawi). Namun lembaga keuangan dapat menunjuk wakil untuk melakukan pembelian selama wakil tersebut bukan nasabah.Wakil tidak boleh menjual barang pada dirinya sendiri kecuali lembaga keuangan telah menguasai barang tersebut dan menjualnya kepada wakil. d. Apabila nasabah mendapat kewenangan dari lembaga keuangan atau bertindak sebagai agen untuk melakukan pembelian barang, maka harus memenuhi beberapa ketentuan : (1) Lembaga keuangan harus membayarkan langsung kepada pemasok dan tidak membayarkan ke rekening nasabah (selaku wakil). (2) Lembaga harus mendapatkan dokumen dari pemasok yang menyatakan telah terjadi jual beli. e. Saat pembelian barang, harus ada pemisahan tanggung jawab atas risiko yang mungkin terjadi yaitu tanggung jawab lembaga keuangan dan tanggung jawab nasabah sebagai wakil. Pemisahan dilakukan dengan cara memberikan jeda waktu antara penetapan akad wakala dan pelaksanaan akad murabahah dengan sistem pesanan, sebagaimana yang ditunjukkan dalam pemberitahuan dari nasabah kepada lembaga keuangan (lampiran 1) yang diikuti pemberitahuan persetujuan dari lembaga keuangan kepada nasabah dan pelaksanaan akad murabahah (lampiran 2). (Dalil yang mengharuskan akad mewakilkan kepada nasabah terpisah dari akad murabahah menghindari syubhat mengikat antara akad wakalah dengan akad murabahah). f. Meskipun pembelian barang dilakukan oleh wakil, secara prinsip, seluruh dokumen dan akad yang terkait dengan pelaksanaan jual beli harus atas nama lembaga keuangan (bukan atas nama nasabah). g. Bila lembaga keuangan menunjuk seseorang sebagai wakil untuk membeli barang, kedua belah pihak dapat menyepakati bahwa untuk memberikan kewenangan kepada wakil untuk membeli barang tanpa mengungkapkan adanya akad wakala padanya. Wakil akan bertindak sebagai lembaga keuangan saat berurusan dengan pihak lain, dan akan melakukan pembelian tapi atas nama lembaga keuangan. Sebaiknya peran sebagai wakil tersebut disampaikan terbuka. h. Asuransi terhadap barang murabahah adalah tanggung jawab lembaga keuangan pada tahap kepemilikan, biaya-biaya yang dikeluarkan untuk asuransi ditanggung oleh lembaga keuangan karena lembaga keuanganlah sebagai pemilik barang yang menjadikannya menanggung risiko kerusakan barang, dan klaim ganti rugi dari asuransi adalah hak lembaga keuangan. Lembaga keuangan boleh menambahkan biaya asuransi tersebut pada barang yang mengakibatkan naiknya harga barang. Boleh mewakilkan pelaksanaan penutupan asuransi barang, akan tetapi biaya-biaya tetap ditanggung oleh lembaga keuangan. 2) Kepemilikan barang atau aset sebelum dilakukan jual beli dengan akad murabahah dengan sistem pesanan. a. Sebelum barang dijual melalui akad murabahah dengan sistem pesanan, lembaga keuangan harus memastikan kepemilikan barang tersebut (haqiqiatau hukmi) b. Keadaan bahwa lembaga keuangan harus memiliki barang tersebut dimaksudkan agar jelas terlihat :
c.
d. e.
f.
g.
(1) bahwa lembaga keuangan menanggung risiko barang yang akan dijual atau telah terjadi perpindahan tanggung jawab dari pemasok kepada lembaga keuangan. (2) perpindahan resiko dari lembaga keuangan kepada nasabah, sebagaimana tahapan perpindahan barang dari satu pihak ke pihak lainnya. Bentuk penguasaan atau kepemilikan barang berbeda satu dan lainnya menurut sifat dan kebiasaan bisnis yang berbeda-beda. Kepemilikan dapat dalam bentuk : (1) Haqiqi yaitu penyerahan fisik atau pengiriman barang kepada wakil atau nasabah, (2) hukmi dengan menempatkan barang dalam penguasaan sehingga wakil atau lembaga keuangan dapat mengambil tindakan sesuai dengan yang dikehendakinya. (3) Kepemilikan rumah/bangunan melalui pengosongan dan penempatan rumah/bangunan sehingga dalam penguasaan/ kontrolnya. Apabila tidak ada penguasaan/kontrol terhadap barang tersebut maka pengosongan rumah/bangunan tidak dianggap sebagai kepemilikan. Dalam kasus barang bergerak, kepemilikan barang menurut sifat dari barang tersebut. Saat pembelian barang pada perdagangan internasional, Bill of lading (B/L) atau resi gudang atas nama lembaga atau wakil menunjukkan kepemilikan barang secara hukmi. Secara prinsip, lembaga keuangan harus menerima barang dari gudang pemasok atau dari suatu lokasi yang ditentukan dalam ketentuan pengiriman. Risiko terhadap barang tersebut berpindah ke lembaga saat peralihan kepemilikan. Namun lembaga juga menunjuk pihak lain untuk menerima barang tersebut atas nama lembaga. Pada tahap barang menjadi milik lembaga keuangan maka penutupan asuransi menjadi beban lembaga keuangan (lembaga bertanggung jawab dalam kapasitasnya sebagai pemilik barang dan menanggung semua risiko). Apabila terjadi suatu resiko terhadap barang tersebut, asuransi akan melakukan penggantian kerugian pada lembaga keuangan (sebelum kepemilikan barang dipindahtangankan ke nasabah). Pada akad murabahah, lembaga keuangan berhak memperhitungkan biaya-biaya saat pembelian barang dan memasukkannya dalam harga jual barang. Pada tahap barang menjadi milik lembaga keuangan, wakil dapat menutup asuransi dan biaya asuransi tersebut menjadi tanggungan lembaga keuangan.
III.
METODE PENELITIAN
Jenis Penelitian Jenis penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode Soft System Methodology. Soft system (SSM) yang digunakan bertujuan untuk menganalisis masalah yang tidak terstruktur dengan jelas dan belum terdefinisi dengan baik. SSM adalah proses penelitian sistemik yang dalam pelaksanaanya menggunakan model-model sistem (Chekland, 1990, hlm. 26). Pengembangan model sistem aktivitas manusia tersebut dilakukan dengan tahapan melakukan penggalian atas permasalahan yang tidak terstruktur, mendiskusikannya secara intensif dengan pihak terkait dengan penyelesaian masalah, membandingkan konsep system thinking dengan real word, dan melakukan penyelesaian masalah secara bersama (Raharja, 2008). Teknik Pengumpulan Data Unit analisis dalam penelitian ini berfokus kepada organisasi yaitu bank syariah yang ada di Indonesia. Data dikumpulkan melalui studi pustaka dan dokumentasi. Studi pustaka digunakan untuk menelusuri berbagai tulisan, hasil penelitian dan penelitian terdahulu terkait praktik murabahah pada perbankan syariah. Studi dokumentasi dilakukan untuk mendapatkan berbagai bahan terkait kebijakan, peraturan dan tulisan lain terkait dengan praktik murabahah pada perbankan syariah. Wawancara juga dilakukan untuk memperoleh data tentang persepsi dan refleksi atas pola pembiayaan murabahah saat ini serta aspirasi maupun gagasan atas pengelolaan pembiayaan murabahah pada masa depan. Narasumber wawancara adalah para praktisi pembiayaan di bank syariah.
Tahapan Penelitian Teknik pengumpulan data sebagaimana yang dijelaskan diatas dikombinasikan dengan tahapan SSM. Dalam SSM terdapat tujuh tahapan (Checkland and Scholes, hlm. 27) yaitu: 1. Problem situation considered problematic
2.Problem situation expressed
7. Action to improve the problem situation
5. Comparison of model and the real world
6. Changes: systematically desirable culturally feasible
Real Word
3. Root definition of relevant purposeful activity systems
4. Conceptual models of the system (holons) named in the root definitions
System Thinking about The real word
Gambar 1. Tahapan Penelitian dengan Menggunakan SSM (Checkland and Scholes, hlm. 27) Penelitian ini hanya melakukan lima dari tujuh tahapan SSM. Kombinasi pengumpulan data dengan lima tahapan SSM disusun dalam tabel berikut: Tabel 1. Kombinasi Pengumpulan Data dengan Tahapan SSM Tahapan / Langkah SSM Mengenali situasi permasalahan yang tidak terstruktur
Mengungkap situasi permasalahan
Merumuskan (formulasi) definisi dasar
Deskripsi Mengumpulkan informasi tentang permasalahan melalui pengumpulan data berupa studi dokumen dan wawancara. Hasil pengumpulan informasi menggambarkan sejumlah persoalan yang mengemuka (isu, relasi, dan masalah-masalah lain yang terkait) sehingga masalah diketahui sekaligus dipahami. Menguraikan secara sistematis ide-ide dan memahami situasi: Mengidentifikasi responden (pemilik masalah atau pemecah masalah) Mengidentifikasi peran dan perilaku yang diharapkan dari yang terlibat Menganalisis perbedaan kekuatan (pengetahuan, pengalaman, peran, posisi, akses, kontrol sumber daya) Deskripsi terstruktur tentang sistem berupa pernyataan tentang aktivitas sistem dalam organisasi yang sedang diteliti yang terdiri dari apa yang menjadi tujuan sistem, bagaimana alat tersebut mendukung tercapainya tujuan jangka panjang. Menggambarkan keterkaitan situasi permasalahan dengan menggunakan CATWOE (Customers, Actors, Transformation
Keterkaitan dengan Teknik Pengumpulan Data Wawancara dan studi dokumen
Studi dokumen dan wawancara
Studi dokumen
Mengembangkan model konseptual
Membandingkan model dengan realita
process, World View, Owners, Environmental Constraints), yaitu identifikasi dan analisis posisi individu dalam sistem yang spesifik Ekstarpolasi secara logis model konseptual dari setiap akar masalah untuk menunjukkan setiap aktivitas operasional proses yang diuraikan pada tahap definisi dasar, dengan membuat konstruksi diagram yang melukiskan batas-batas sistem, keterkaitan / ketergantungan antaraktivitas Membandingkan hasil kajian dengan dunia nyata, dan dengan model konseptual dilawankan dengan sistem yang relevan, dengan membuat tabel perbandingan yang menunjukkan: - Secara sistematis perbedaan penting dunia nyata dengan dunia model - Permasalahan untuk ditanyakan lebih lanjut terhadap orang yang terlibat - Rancangan tindakan yang mungkin dilakukan untuk mengubah situasi - Rancangan perubahan yang harus dibuat terhadap model
Studi dokumen
Studi dokumen
Sumber : diolah dan dimodifikasi dari Taket, Ann and Leroy White (2000) dalam Raharja (2008) IV.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Mengenali Situasi Permasalahan yang Tidak Terstruktur Ada beberapa model KPR murabahah di bank syariah berdasarkan hasil wawancara kepada praktisi perbankan syariah yaitu model pertama, calon nasabah ingin membeli barang kemudian mengajukan pembiayaan kepada bank syariah. Setelah melalui proses analisa dan survey, bank syariah melakukan akad dengan nasabah. Pertama nasabah menandatangani akad wakalah yang menyatakan bahwa nasabah menjadi wakilnya bank syariah untuk membeli barang tersebut dengan menyerahkan sejumlah dana, kemudian selanjutnya dilakukan akad murabahah dengan nasabah pada waktu yang tidak jauh berbeda. Selanjutnya nasabah membeli barang kepada pemasok dan menyerahkan bukti pembelian jika diminta oleh bank syariah. Model kedua, perbedaannya dengan model pertama adalah perwakilan bank menghubungi penjual dan mengatakan kepada penjual bahwa bank syariah membeli barang tersebut dan mentransfer sejumlah uang ke penjual secara online. Kemudian bank syariah melaksanakan akad murabahah dengan nasabah dimana barang masih berada di tangan penjual. Berdasarkan dua model diatas, maka disimpulkan bahwa praktik pengadaan barang yang dilakukan oleh bank syariah terdiri diri dari dua metode yaitu 1) pengadaan barang dengan mewakilkan kepada nasabah sebagai calon pembeli dengan menggunakan akad wakalah, dan 2) pengadaan barang oleh bank syariah secara langsung. Berdasarkan model pertama yang dijabarkan diatas, praktik yang terjadi adalah pelaksanaan akad jual beli murabahah dengan nasabah sebelum bank syariah menerima barang dari nasabah yang ditugaskan sebagai wakil. Bank syariah menganggap telah membeli barang dari pemasok karena bank syariah telah mentransfer sejumlah dana sebagai harga beli ke rekening nasabah. Begitu juga model kedua diatas, praktik yang terjadi adalah pelaksanaan akad jual beli murabahah dengan nasabah sebagai pembeli juga sebelum bank syariah menerima barang dari pemasok. Bank syariah menganggap telah membeli barang dari pemasok karena bank syariah telah mentransfer sejumlah harga beli kepada pemasok. Kemudian barang diantar oleh pemasok secara langsung kepada pembeli, tanpa diterima terlebih dahulu oleh bank syariah secara prinsip sebagai penjual.
Permasalahan yang terjadi pada saat pengakuan persediaan murabahah disebabkan oleh tidak jelasnya kepemilikan barang pada saat akad murabahah. Pada penelitian ini yang akan dibahas hanya pengakuan persediaan dengan menggunakan model pertama yaitu penggunaan akad wakalah pada pembiayaan murabahah. Berikut gambaran proses bisnis murabahah dengan menggunakan akad wakalah berdasarkan hasil interview dengan praktisi pembiayaan salah satu bank syariah.
Gambar 2. Proses Bisnis Murabahah Bank Syariah
Secara umum permasalahan tersebut dibagi menjadi dua kelompok yaitu berkaitan dengan pedoman dan pengelolaan. Masing-masing kelompok dibagi menjadi tiga pertanyaan yang saling berkaitan: apa dan mengapa terjadi permasalahan, apa yang perlu dilakukan, dan bagaimana permasalahan tersebut dapat dipecahkan. Permasalahan dapat dikelompokkan sesuai kedua model diatas yang dirangkum dalam tabel berikut: Tabel 2. Mengenali Situasi Permasalahan yang Tidak Terstruktur terkait Pedoman Permasalahan Pertanyaan Apa dan mengapa - Mengapa DSN MUI tidak menjelaskan secara detil pemahaman tentang proses terjadi penyerahan barang secara prinsip oleh pemasok kepada bank? permasalahan - Mengapa DSN MUI tidak menjelaskan proses yang terjadi pada akad wakalah sehingga tidak ada celah bagi bank syariah untuk mengakali riba? - Mengapa OJK dalam PAPSI dan DSAK IAI dalam PSAK 102 tidak menjelaskan tentang aplikasi akuntasi pada akad murabahah yang menggunakan akad wakalah? Apa yang perlu - Apakah diperlukan revisi atas fatwa penggunaan akad wakalah pada akad murabahah dilakukan agar tidak terjadi penyimpangan dalam praktinya? - Bentuk kebijakan seperti apa yang bisa membolehkan bank syariah mewakilkan pembelian kepada nasabah dan bagaimana mekanismenya? - Bagaimana perlakuan akuntansi pada saat pengakuan persediaan dengan menggunakan akad wakalah? Bagaimana - Bagaimana DSN MUI dapat menjelaskan secara detil penerimaan barang secara permasalahan dapat prinsip oleh bank? dipecahkan - Bagaimana PSAK Syariah dan PAPSI mengatur ketentuan akuntansi terkait penggunaan akad wakalah pada akad murabahah? - Bagaimana Dewan Pengawas Syariah dapat berperan aktif dalam mengawasi praktik akad murabahah?
Tabel 3. Mengenali Situasi Permasalahan yang Tidak Terstruktur terkait Pengelolaan Permasalahan Pertanyaan Apa dan mengapa - Mengapa pembelian barang harus diwakilkan kepada nasabah? Mengapa Bank terjadi Syariah tidak mewakilkan kepada pihak ketiga dalam hal pengadaan barang? permasalahan - Apakah nasabah membeli barang kepada penjual mengatasnamakan bank syariah atau dirinya sendiri? - Apakah nasabah sebelumnya sudah menerima tawaran dari penjual dengan janji akan membeli sebelum barang dijual kepada bank syariah? - Apakah nasabah sebelumnya sudah membayar uang muka kepada pemasok? Apa yang perlu - Apakah bank syariah perlu menunjuk pihak ketiga menjadi wakilnya bank syariah dilakukan dalam pengadaan barang? - Apakah bank syariah memberikan surat kuasa kepada nasabah untuk membeli barang atas nama bank syariah? - Apakah biaya yang dikeluarkan oleh nasabah dalam melakukan pembelian ditanggung oleh bank syariah? - Apakah akad murabahah dilaksanakan ketika barang secara prinsip sudah menjadi milik bank? Bagaimana - Bagaimana agar praktik akad pada pembiayaan murabahah berjalan sesuai syariah? permasalahan dapat - Bagaimana memastikan secara sistem bahwa akad wakalah sudah dilaksanakan dan dipecahkan barangnya sudah diterima secara prinsip oleh bank syariah sebelum akad murabahah dilaksanakan?
Mengungkap Situasi Permasalahan Deskripsi permasalahan pada bagian sebelumnya meliputi beberapa isu penting yang dibagi menjadi dua kategori. Kategori pertama berkaitan dengan pedoman dan kategori kedua berkaitan dengan pengelolaan. Isi penting terkait dengan pedoman adalah sebagai berikut: DSN MUI tidak menjelaskan secara mendetil pemahaman tentang penerimaan barang secara prinsip oleh bank syariah sehingga menjadi celah terjadinya penyimpangan praktik pembiayaan murabahah di lapangan. Kedua, DSAK IAI dalam PSAK Syariah tidak menjelaskan perlakuan akuntansi terkait pengakuan persediaan
murabahah jika menggunakan akad wakalah. Ketiga, OJK dalam PAPSI juga tidak menjelaskan perlakuan akuntansi terkait pengakuan persediaan murabahah jika menggunakan akad wakalah. Isu penting terkait pengelolaan adalah sebagai berikut; Pertama, belum ada lembaga atau pihak ketiga yang bertugas menjadi wakilnya bank syariah dalam pengadaan barang. Kedua, nasabah membuat komitmen dengan pemasok atas pembelian barang yang akan dibiayai oleh bank syariah seperti membayar booking fee atau uang muka. Ketiga, tidak adanya surat kuasa yang dibawa oleh nasabah sebagai wakilnya bank syariah. Keempat, biaya transportasi dan akomodasi terkait pengadaan barang dengan akad wakalah ditanggung oleh nasabah. Merumuskan (Formulasi) Definisi Dasar Pemecahan masalah seperti yang dijelaskan diatas perlu dirumuskan berdasarkan analisis berfikir sistem dengan menggunakan teknik yang dirumuskan oleh Chekland dalam akronim CATWOE (Checkland, 1990, hlm 35-36). Untuk memperjelas perspektif tersebut Checkland (2001, 15) mengembangkan mnemonic CATWOE untuk membantu hal ini dengan beberapa perspektif (holon): Customers : Siapa atau sesuatu yang mendapatkan manfaat dari transformasi ini Actors : Siapa yang memfasilitasi transformasi ini kepada customer Transformation : Aktivitas transformasi dari start sampai akhir World view : Apa atau hal-hal yang memberikan transformasi ini menjadi berarti Owner : Kepada siapa sistem ini dapat dipertanggung-jawabkan atau menjadi tidak ada Environment : Sesuatu yang mempengaruhi tetapi tidak mengendalikan sistem. Tabel 4. Rumusan Definisi Dasar terkait dengan Pedoman Persepektif Customer
Actor
Transformation
Deskripsi Bank syariah
Para pihak yang berperan dalam perumusan dan pelaksanaan pembiayaan Murabahah Aktivitas atau proses konversi masukan menjadi keluaran dalam bentuk kebijakan praktik Murabahah
World View
Persepsi dan pandangan kebijakan Murabahah
terhadap
Owner
Dewan Pengawas Syariah (DPS)
Environment
Nasabah bank syariah
Rincian Bank syariah sebagai pengguna dari pedoman yang akan menjalankan praktik pembiayaan murabahah OJK sebagai regulator DSAKS IAI sebagai pembuat standar DSN MUI sebagai pembuat fatwa Bagaimana kebijakan dirumuskan Bagaimana kebijakan diimplementasikan Bagaimana kebijakan dievaluasi Seberapa jauh customer dan actor terlibat dalam setiap tahap kebijakan Persepsi actor dan customer terhadap pedoman pembiayaan murabahah yang ada dan seharusnya ada DPS memegang kendali atas keberlangsungan akad pembiayaan murabahah pada masingmasing bank syariah agar sesuai syariah Nasabah dapat menolak atau menerima persyaratan pembiayaan murabahah jika bertentangan dengan nilai-nilai syariah
Tabel 4. Rumusan Definisi Dasar terkait dengan Pengelolaan Persepektif Customer
Deskripsi Nasabah sebagai pembeli
Actor
Para pihak yang berperan dalam menjalankan praktik pembiayaan murabahah Aktivitas atau proses konversi masukan menjadi keluaran dalam bentuk kebijakan praktik Murabahah Persepsi dan pandangan terhadap praktik Murabahah
Transformation
World View
Owner
Bank syariah
Environment
Masyarakat Pemerintah
Rincian Nasabah sebagai pembeli yang mengajukan pembiayaan Murabahah kepada bank syariah Bank Syariah sebagai pengelola
Bagaimana praktik berjalan sesuai syariah Seberapa jauh customer dan aktor terlibat dalam setiap tahap kebijakan Persepsi aktor-aktor dan customer terhadap praktik pembiayaan murabahah yang terjadi dan seharusnya terjadi Bank syariah sebagai pemegang kendali utama atas pengelolaan pembiayaan murabahah DPS Bank Syariah sebagai pengawas praktik bank syariah OJK sebagai regulator DSAKS IAI sebagai pembuat standar DSN MUI sebagai pembuat fatwa
Mengembangkan Model Konseptual Pada prinsipnya, Bank Syariah sebagai penjual harus menerima barang dari pemasok sebelum barang tersebut dijual kepada pembeli (nasabah) sebagai persediaan yang siap untuk dijual sebesar biaya perolehan. Hadist riwayat Abu Daud, diriwayatkan dari Hakim bin Hizam, ia berkata, “Wahai Rasulullah, seseorang datang kepadaku untuk membeli suatu barang, kebetulan barang tersebut sedang tidak kumiliki, apakah boleh aku menjualnya kemudian aku membeli barang yang diingingkan dari pasar”. Maka Nabi Shallahu ‘alaihi wassalam menjawab, “Jangan engkau jual barang yang belum engkau miliki” (Hadist ini dishahihkan oleh Al-Albani)3. Dari sahabat Ibnu Abbas Radhiallahu ‘anhu, beliau menuturkan, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Barang siapa yang membeli bahan makanan, maka janganlah ia menjualnya kembali hingga ia selesai melakukan serah terima barang tersebut.” Ibnu Abbas berkata: "Saya berpendapat bahwa segala sesuatu hukumnya seperti bahan makanan." (Muttafaqun alaih). Penggunaan akad wakalah diperbolehkan oleh Dewan Syariah Nasional yang dituangkan dalam fatwa No: 10/DSN-MUI/IV/2000 tentang wakalah. DSN MUI menetapkan fatwa tersebut agar praktik wakalah tersebut dilakukan sesuai dengan syariah. Akad wakalah pada pembiayaan murabahah juga diperbolehkan oleh DSN MUI dalam fatwanya dengan No. 04/DSN-MUI/IV/2000, “Jika bank hendak mewakilkan kepada nasabah untuk membeli barang dari pihak ketiga, akad jual beli murabahah harus dilakukan setelah barang, secara prinsip, menjadi milik bank”. PSAK Syariah No. 102 terkait Akuntansi Murabahah tidak mengatur pencatatan penggunaan akad wakalah dalam pengadaan barang, begitu juga dalam Pedoman Akuntansi Perbankan Syariah Indonesia. Sehingga perlu dirumuskan model konseptual terkait penggunaan akad wakalah pada pembiayaan murabahah. Model yang akan dirumuskan terkait dengan pengakuan persediaan untuk menjamin keandalan dari pengakuan persediaan murabahah dengan menggunakan akad wakalah secara sistem. Model dirumuskan dalam bagan sebagai berikut:
3
Harta Haram Kontemporer. 386. Tarmizi. 2012. Berkat Mulia Insani, Bogor
Gambar 3. Model Konseptual Proses Bisnis Murabahah Dalam hal mendapatkan hak atau aset oleh lembaga keuangan atau wakilnya ada beberapa ketentuan yang harus terpenuhi seperti yang dijelaskan pada literatur review: 1) Bank syariah telah melakukan pembelian barang kepada pemasok dan menguasai barang sebelum dijual kepada nasabah. Terkait penggunaan akad wakalah, bank syariah telah menerima dokumen yang menunjukkan perpindahan kepemilikan. Pertukaran dokumen penawaran dan persetujuan secara tertulis atau melalui bentuk korespondensi umum. Seluruh dokumen dan akad yang terkait dengan pelaksanaan jual beli harus atas nama bank syariah (bukan atas nama nasabah). 2) Nasabah sebagai wakil bertindak sebagai agen hanya berfungsi dalam menentukan spesifikasi barang. Secara prinsip, bank syariah yang melakukan pembelian barang kepada pemasok dengan cara mentransfer langsung ke rekening pemasok. Kemudian bank syariah mendapatkan dokumend ari pemasok yang menyatakan telah terjadi jual beli. 3) Nasabah sebagai wakil bertindak sebagai wakil bank syariah dan menerima surat kuasa dari bank syariah. 4) Saat pembelian barang, harus ada pemisahan tanggung jawab atas risiko yang mungkin terjadi yaitu tanggung jawab bank syariah dan tanggung jawab nasabah sebagai wakil. Pemisahan dilakukan dengan cara memberikan jeda waktu antara penetapan akad wakalah dan pelaksanaan akad murabahah dengan sistem pesanan. Biaya transportasi dan akomodasi terkait pengadaan barang menggunakan akad wakalah menjadi tanggung jawab bank syariah. Membandingkan Model dengan Realita DSN membolehkan bahwa bank syariah dapat mewakilkan pengadaan barang kepada nasabah. “Jika bank hendak mewakilkan kepada nasabah untuk membeli barang dari pihak ketiga, akad jual beli murabahah harus dilakukan setelah barang, secara prinsip, menjadi milik bank”. Namun tidak ada penjelasan lebih detail tentang penyerahan barang secara prinsip menjadi milik bank. Praktik akuntansi yang terjadi dengan model 1 (seperti dijelaskan pada bagian sebelumnya), Bank Syariah mengakui dana yang ditransferkan ke rekening nasabah sebagai piutang wakalah. Jika di sisi Bank Syariah diakui sebagai piutang wakalah, maka di sisi nasabah merupakan hutang wakalah. Dengan dana hutang wakalah tersebut, nasabah membeli barang sesuai dengan spesifikasi yang dibutuhkannya. Sedangkan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak halal menggabungkan antara akad pinjaman dan jual beli, tidak halal dua persyaratan dalam satu jual beli, tidak halal keuntungan barang yang tidak dalam jaminanmu dan tidak halal menjual barang yang bukan milikmu”. (HR. Abu Daud). Adapun jika Bank Syariah mewakilkan kepada nasabah, nasabah hanya sebatas memilih barang sesuai dengan spesifikasi yang diminta dengan membawa surat kuasa, yang melakukan pembayaran tetap oleh Bank Syariah. Pemasok tetap harus melakukan serah terima barang dengan Bank Syariah, kemudian Bank Syariah melakukan serah terima barang dengan nasabah. Beban terkait pengadaan barang yang diwakilkan kepada nasabah tetap menjadi tanggung jawab Bank Syariah. Namun pada praktiknya belum ditemukan Bank Syariah yang membayar upah kepada nasabah atau mengganti biaya transportasi karena telah menjadi wakil dalam pengadaan barang.
V.
KESIMPULAN
Kesimpulan Keadilan yang diajarkan Islam kepada umatnya antara lain membedakan dalil dengan praktek. Bisa jadi kita telah menemukan dalil yang valid dan tegas, namun itu belum cukup menjadi bukti bahwa pemahaman dan aplikasi sudah benar, karena dalam tataran praktek bisa jadi kita salah memahami dan mempraktekkannya (Badri, 2012). Pengakuan persediaan murabahah sesuai prinsip syariah dengan menggunakan akad wakalah secara sistem dapat dilakukan sepanjang praktisi dapat dengan konsisten melaksanakannya. Pada praktiknya, proses bisnis pembiayaan murabahah belum sejalan antara aturan dengan praktik. Untuk itu, sebagai akademisi, perlu mengkaji lebih dalam praktik murabahah yang terjadi di Indonesia dengan praktik yang seharusnya. Kontribusi Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat berkontribusi bagi bank syariah agar bank syariah merumuskan kembali prosedur pencairan pembiayaan murabahah kepada nasabah dengan menggunakan akad wakalah sesuai dengan prinsip syariah. Pendapatan yang diterima pada pembiayaan murabahah berpotensi menjadi pendapatan tidak halal (pendapatan riba) apabila bank syariah menjual barang yang secara prinsip belum dimiliki. Penelitian ini juga diharapkan menjadi masukan bagi Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sebagai regulator agar mengatur secara mendetail tentang akuntansi akad wakalah pada pembiayaan murabahah.
DAFTAR PUSTAKA
Ascarya. (2005). Bahan Ajar UNS : Penyaluran Dana Bank Syariah. Surakarta. Badri, A. M. (2012, Maret). Pelanggaran Bank Syariah terhadap Fatwa DSN MUI. Yogyakarta. Bank Indonesia. (2006). Akad dan Produk Bank Syariah: Konsep dan Praktek di Beberapa Negara. Jakarta, DKI Jakarya, Indonesia. Bank Indonesia. (2013). Laporan Perkembangan Keuangan Syariah Tahun 2012. Jakarta: Bank Indonesia. Bank Indonesia. (2013). Pedoman Akuntansi Perbankan Syariah Indonesia. Jakata: Bank Indonesia. Bin Badri, M. A. (2009). Riba dan Tinjauan Kritis Perbankan Syariah. Bogor: Darul Ilmi. Dewan Syariah Nasional. (2014). Himpunan Fatwa Keuangan Syariah . Jakarta : Erlangga. Ikatan Akuntan Indonesia. (2014). Standar Akuntansi Keuangan Syariah. Jakarta: Ikatan Akuntan Indonesia. Otoritas Jasa Keuangan. (2014). Laporan Perkembangan Keuangan Syariah Tahun 2013. Jakarta: Otoritas Jasa Keuangan. Tarmizi, E. (2012). Harta Haram Muamalat Kontemporer. Bogor: Berkat Mulia Insani. Tarmizi, E. (2012, Maret). Murabahah Bank Syariah, 100 Persen Riba. Majalah Pengusaha Muslim, hal. 40. Tarmizi, E. (20115). Dasar-dasar Akad Murabahah dengan Sistem Pesanan. Handout Training . Bogor, Jawa Barat, Indonesia: Erwandi Tarmizi Institut. Wiroso. (2010). Akuntansi Transaksi Syariah. Jakarta: Ikatan Akuntan Indonesia.