i
ANALISIS PRODUKSI DAN PENDAPATAN PETANI PADI ANGGOTA P3A DAN NON P3A DI KOTA DAN KABUPATEN BOGOR
YOGI CANDRA HIDAYAT
DEPARTEMEN EKONOMI SUMBERDAYA DAN LINGKUNGAN FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013
ii
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi Analisis Produksi dan Pendapatan Petani Padi Anggota P3A dan Non P3A di Kota dan Kabupaten Bogor adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum pernah diajukan dalam bentuk apapun pada perguruan tinggi lain atau lembaga lain manapun untuk tujuan memperoleh gelar akademik tertentu. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Bogor, Mei 2013
Yogi Candra Hidayat H44080024
ANALISIS PRODUKSI DAN PENDAPATAN PETANI PADI ANGGOTA P3A DAN NON P3A DI KOTA DAN KABUPATEN BOGOR Hidayat, Yogi Candra1), Tridoyo Kusumastanto2), Hastuti3) 1) Mahasiswa Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan, H44080024 2) Dosen Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan, Gelar: Prof. Dr. Ir, MS 3) Dosen Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan, Gelar: SP, MP, M.Si
ABSTRAK Air merupakan salah satu unsur penting bagi proses produksi pertanian. Dalam rangka meningkatkan fungsi dan pengendalian tata air untuk pertanian, maka diterapkanlah suatu sistem pengairan yaitu irigasi. Keberadaan sistem irigasi sebagai sarana
pengairan
untuk
lahan
pertanian
memupuk
terbentuknya
organisasi
Perkumpulan Petani Pemakai Air (P3A) yang mampu menangani tugas-tugas keirigasian sesuai dengan situasi dan kondisi daerah setempat. Suplai air irigasi petani P3A lebih banyak dari pada petani non P3A, namun hasil produksi padi petani P3A memiliki jumlah yang lebih sedikit dari pada petani non P3A. Meskipun petani P3A mendapatkan suplai air lebih banyak, namun petani P3A tidak mengikuti teknik budidaya padi dari pemerintah seperti yang dilakukan oleh petani non P3A, sehingga hasil produksi menjadi kurang baik. Dampak yang timbul dari proyek irigasi dan kelembagaan organisasi P3A yaitu petani anggota P3A memdapatkan keuntungan berupa frekuensi musim tanam sebanyak tiga kali dalam satu tahun, sedangkan petani yang tidak tergabung dalam organisasi P3A hanya memiliki musim tanam dua kali dalam satu tahun. Hal ini mengakibatkan petani P3A memiliki pendapatan sebesar Rp. 16.019.074,75 per tahun dimana lebih besar daripada pendapatan petani non P3A sebesar Rp. 10.460.002,02 per tahun.
iii
RINGKASAN YOGI CANDRA HIDAYAT. Analisis Produksi dan Pendapatan Petani Padi Anggota P3A dan Non P3A di Kota dan Kabupaten Bogor. Dibimbing oleh TRIDOYO KUSUMASTANTO dan HASTUTI.
Air merupakan salah satu unsur penting bagi ketersediaan pangan. Dalam upaya memenuhi kebutuhan pangan bagi penduduk, ketersediaan air harus selalu terjaga keberadaannya. Salah satu upaya yang dilakukan untuk menjaga ketersediaan air yaitu dengan membangun sistem irigasi. Irigasi adalah usaha penyediaan, pengaturan, dan pembuangan air untuk menunjang pertanian yang sejenisnya meliputi irigasi permukaan, irigasi rawa, irigasi air bawah tanah, irigasi pompa, dan irigasi tambak. Sistem irigasi yang dilakukan di Kota Bogor salah satunya adalah yang terdapat di Bendung Katulampa, Kecamatan Bogor Timur yang merupakan bagian dari Daerah Aliran Sungai (DAS) Ciliwung. Keberadaan sistem irigasi sebagai sarana pengairan untuk lahan pertanian memupuk terbentuknya organisasi Perkumpulan Petani Pemakai Air (P3A) yang mampu menangani tugas-tugas keirigasian sesuai dengan situasi dan kondisi daerah setempat. Kelembagaan P3A merupakan faktor penting dalam peningkatan produksi pertanian dan pemerataan pendapatan. Petani yang tergabung dalam organisasi P3A memperoleh keuntungan tersendiri berupa meningkatnya frekuensi musim tanam dibandingkan petani non anggota P3A. Oleh karena itu, dalam tahapan perkembangan organisasi P3A diharapkan dapat menjadi suatu organisasi yang mampu menyediakan sarana produksi pertanian dan berperan dalam perkembangan dan pengelolaan sistem irigasi yang lebih baik. Apabila kelembagaan organisasi P3A diterapkan dengan baik dengan memanfaatkan proyek irigasi sebaik-baiknya, diharapkan dari pemanfaatan irigasi tersebut dapat meningkatkan produktivitas dan produksi pertanian, sehingga dengan meningkatnya produktivitas dan produksi pertanian tersebut maka akan meningkatkan pendapatan usahatani. Berdasarkan analisis data yang dilakukan terhadap 55 responden yang terdiri atas 25 petani anggota P3A dan 30 petani non anggota P3A, diketahui bahwa dampak sistem irigasi dan kelembagaan organisasi P3A memberikan manfaat terhadap aktivitas produksi pertanian. Petani yang tergabung kedalam organisasi P3A memiliki masa tanam sebanyak tiga kali dalam satu tahun, sedangkan petani yang tidak tergabung dalam organisasi P3A memiliki masa tanam dua kali dalam satu tahun. Hasil analisis regresi Cobb-Douglas menunjukkan bahwa skala usahatani P3A berada pada kondisi increasing return to scale dengan faktor-faktor produksi yang berpengaruh secara nyata terhadap produksi padi yaitu benih dan air. Hal serupa terjadi pada usahatani non P3A, skala usahatani non P3A berada pada kondisi increasing return to scale dengan faktor-faktor produksi yang berpengaruh secara nyata terhadap produksi padi yaitu benih, pupuk, dan air. Penggunaan faktor-faktor produksi kedua kelompok usahatani (P3A dan non P3A) belum efisien secara ekonomi karena rasio antara Nilai Produk Marjinal (NPM) dan Biaya Korbanan Marjinal (BKM) tidak sama dengan satu. Rasio NPM dan BKM usahatani P3A untuk benih adalah 0,38; dan air sebesar 0,04. Untuk
iv
mencapai kondisi efisien secara ekonomi, penggunaan benih dan air untuk usahatani P3A harus dikurangkan dari penggunaan aktual saat ini agar tercapai penggunaan input yang optimal. Rasio NPM dan BKM usahatani non P3A untuk pupuk adalah 2,93; dan air sebesar 0,12. Untuk mencapai kondisi efisien secara ekonomi, penggunaan faktor produksi pupuk harus ditambahkan sedangkan air harus dikurangkan dari penggunaan aktual saat ini agar tercapai penggunaan input yang optimal. Produksi padi petani P3A tidak memberikan hasil yang lebih banyak dari produksi padi petani non P3A. Hal ini bukan dikarenakan faktor air yang tidak memberikan pengaruh terhadap produksi padi, namun perbedaan cara penanaman dan pengelolaan tanaman padi merupakan faktor utama yang menyebabkan perbedaan produksi padi kedua kelompok petani tersebut. Pendapatan usahatani petani P3A lebih besar dari pada pendapatan usahatani petani non P3A baik dalam satu masa tanam maupun pendapatan per tahun. Sesuai dengan dampak yang timbul dari adanya proyek irigasi dan kelembagaan organisasi P3A, pola tanam petani P3A memiliki tiga kali masa tanam dalam satu tahun sehingga pendapatan total per tahun diperoleh Rp 16.091.074, sedangkan petani non P3A hanya dua kali masa tanam dengan pendapatan per tahun Rp 10.460.002. Efisiensi usahatani petani P3A dan non P3A dapat dilihat dari nilai Return Cost Ratio (R/C) yang diperoleh kedua petani tersebut. Analisis Return Cost Ratio ini didasarkan pada R/C atas biaya total. Berdasarkan data yang diperoleh, nilai R/C rata-rata dalam satu tahun untuk petani P3A atas biaya total yaitu sebesar 2,26 dan nilai R/C untuk petani non P3A yaitu sebesar 1,55. Hal ini menjelaskan bahwa keuntungan yang diperoleh petani P3A akan meningkat sebesar Rp 2,26 setiap satu rupiah input yang dikeluarkan atas biaya total, sedangkan untuk petani non P3A, keuntungan petani non P3A akan meningkat sebesar Rp 1,55 setiap satu rupiah yang dikeluarkan atas biaya total. Berdasarkan hasil penelitian, perlu dikembangkan kelembagaan suatu organisasi seperti Perkumpulan Petani Pemakai Air (P3A) agar segala urusan keirigasian dapat dioptimalkan guna mencapai hasil produksi dan pendapatan usahatani yang lebih baik. Kata kunci:
Efisiensi produksi, pendapatan, model Cobb-Douglas, irigasi, Perkumpulan Petani Pemakai Air (P3A).
v
ANALISIS PRODUKSI DAN PENDAPATAN PETANI PADI ANGGOTA P3A DAN NON P3A DI KOTA DAN KABUPATEN BOGOR
YOGI CANDRA HIDAYAT H44080024
Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan Fakultas Ekonomi dan Manajemen Institut Pertanian Bogor
DEPARTEMEN EKONOMI SUMBERDAYA DAN LINGKUNGAN FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013
vi
Judul Skripsi : Analisis Produksi dan Pendapatan Petani Padi Anggota P3A dan Non P3A di Kota dan Kabupaten Bogor Nama
: Yogi Candra Hidayat
NIM
:
H44080024
Disetujui
Prof. Dr. Ir. Tridoyo Kusumastanto, MS Dosen Pembimbing I
Hastuti, SP, MP, MSi Dosen Pembimbing II
Diketahui Ketua Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan
Dr. Ir. Aceng Hidayat, MT
Tanggal
:
vii
UCAPAN TERIMA KASIH
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena dengan rahmatNya skripsi ini dapat diselesaikan. Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah memberi bantuan dan dukungan dalam penyusunan skripsi ini terutama kepada: 1.
Bapak Ujang Efendi, Ibu Iis Sumiati, Irma Purnamasari, D. Taufik AR, Sri Widiastuti, dan Wisnu Hendroprasetiawan yang selalu memberikan dukungan dan doa yang tak pernah putus kepada penulis.
2.
Bapak Prof. Dr. Ir. Tridoyo Kusumastanto, MS dan Ibu Hastuti, SP, MP, MSi selaku Dosen Pembimbing skripsi yang telah mengarahkan dan memberikan banyak ilmu serta wawasan kepada penulis hingga dapat menyelesaikan skripsi ini.
3.
Bapak Dr. Ir. Ahyar Ismail, M.Agr dan Ibu Nuva, SP, M.Sc selaku Dosen Penguji Utama serta Penguji Wakil Departemen atas semua saran dan pengarahannya kepada penulis.
4.
Bapak Sadeli sebagai Sekretaris Perkumpulan Petani Pengguna Air (P3A) irigasi Bendung Katulampa, dan Bapak Gumyadi sebagai ketua Kelompok Tani Maju Jaya Desa Muarajaya (non P3A) yang telah membantu penulis dalam memperoleh data.
5.
Teman-teman satu bimbingan skripsi, Ade, Andri, Ghieah, Pradipta, Rizky, dan Tika atas segala kebersamaan, keceriaan, dan kerjasamanya selama ini.
6.
Teman-teman ESL 45, Imam, Sausan, Ajeng, Anggi, Elok, Sandy, Ihsan, Ferry, Dwipanca, Dika, Hairul, dan lain-lain yang saling memberikan dukungan dan semangat selama pembuatan skripsi ini.
viii
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala rahmat dan hidayah-Nya yang memberikan kemudahan dan kelancaran kepada penulis sehingga skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik. Adapun judul skripsi ini yaitu “Analisis Produksi dan Pendapatan Petani Padi Anggota P3A dan Non P3A di Kota dan Kabupaten Bogor”. Skripsi ini membahas analisis produksi dan pendapatan usahatani dengan membandingkan produksi dan pendapatan petani anggota Perkumpulan Petani Pemakai Air (P3A) dengan petani non anggota P3A. Skripsi ini juga menganalisis efisiensi penggunaan faktor-faktor produksi pada usahatani padi petani anggota P3A dan non P3A. Bersama ini penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah mendukung dan membantu dalam proses pembuatan skripsi ini, terutama kepada Bapak Prof. Dr. Ir. Tridoyo Kusumastanto, MS dan Ibu Hastuti, SP, MP, MSi selaku Dosen Pembimbing skripsi yang telah mengarahkan dan memberikan banyak ilmu kepada penulis. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi berbagai pihak, khususnya pembuat kebijakan dalam meningkatkan kesejahteraan petani.
Bogor, Mei 2013
Penulis
ix
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL ………………………………………………………….
xi
DAFTAR GAMBAR ………………………………………………………
xiii
DAFTAR LAMPIRAN …………………………………………………….
xiv
PENDAHULUAN …………………………………………………......
1
Latar Belakang ……………………………………………………. Perumusan Masalah ………………………………………………. Tujuan Penelitian …………………………………………………. Ruang Lingkup Penelitian …………………………………........... Manfaat Penelitian ………………………………………...............
1 6 9 9 10
II. TINJAUAN PUSTAKA ………………………………………………
11
Pengertian Irigasi ……………………………................................. Klasifikasi Irigasi ……………………………………………….... Perkumpulan Petani Pemakai Air (P3A) ……………………......... Faktor Produksi Pertanian ………………………………………... 2.4.1 Bibit …………………………………………………….... 2.4.2 Pupuk ……………………………………………….......... 2.4.3 Air ………………………………………………………... 2.4.4 Pestisida …………………………………………….......... 2.4.5 Tenaga Kerja …………………………………………….. Fungsi Produksi …………………………………………………... Analisis Pendapatan ………………………………………………. Analisis Biaya dan Manfaat ………………………………………. Penelitian Terdahulu ………………………………………………
11 12 15 16 16 16 17 17 18 18 20 21 22
III. KERANGKA PEMIKIRAN ………………………………………….
26
IV. METODOLOGI PENELITIAN ……………………………………..
29
Lokasi dan Waktu Penelitian …………………………………….. Metode Penelitian ………………………………………………… Jenis dan Sumber Data …………………………………………… Metode Pengambilan Contoh …………………………………….. Metode Analisis Data …………………………………………….. 4.5.1 Fungsi Produksi ………………………………………….. 4.5.2 Konsep Produktivitas …………………………………….. 4.5.3 Fungsi Cobb-Douglas ……………………………………. 4.5.4 Pengujian Parameter ………………………………........... 4.5.5 Uji Koefisien Determinan …………………………........... 4.5.6 Uji Statistik F …………………………………………….. 4.5.7 Uji Statistik t ………………………………………........... 4.5.8 Uji Kolinearitas Ganda (Multicollinearity) ……………… 4.5.9 Uji Heteroskedastisitas ……………………………........... 4.5.10 Uji Autokorelasi ………………………………………….
29 29 30 30 31 32 32 33 35 35 35 36 36 37 38
I.
1.1 1.2 1.3 1.4 1.5
2.1 2.2 2.3 2.4
2.5 2.6 2.7 2.8
4.1 4.2 4.3 4.4 4.5
x
4.5.11 Ananlisis Efisiensi Faktor-Faktor Produksi ……………… 4.5.12 Analisis Pendapatan ……………………………………… 4.5.13 Return Cost Ratio …………………………………........... 4.6 Batasan Penelitian ………………………………………………….
39 41 41 42
V. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN ……………………
44
5.1 Profil Desa Katulampa……..………………………………............. 5.2 Profil Desa Muarajaya …...….……………………………….......... 5.3 Profil Bendung Katulampa ………………………………………...
44 45 47
VI. HASIL DAN PEMBAHASAN …………………………………..........
49
6.1 Identifikasi Karakteristik Petani Padi P3A dan Non P3A ………... 6.1.1 Karakteristik Sosial Ekonomi Petani Padi Anggota P3A dan Non P3A ……………………………………………………. 6.1.1.1 Usia ..……………………………………................. 6.1.1.2 Tingkat Pendidikan ……………………………….. 6.1.1.3 Status Pekerjaan Petani Padi ……………................. 6.1.1.4 Pengalaman Usahatani ………………...................... 6.1.2 Karakteristik Usahatani Petani Anggota P3A dan Non P3A .. 6.1.2.1 Status Kepemilikan Lahan .. ……............................. 6.1.2.2 Teknik Budidaya Padi …………………………..... 6.1.3 Karakteristik Tenaga Kerja Lokal ………………………..... 6.2 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Produksi Padi Petani P3A dan Non P3A …………………………................................................... 6.2.1 Karakteristik Input Produksi …….……………………….... 6.2.1.1 Benih ……………………………………................. 6.2.1.2 Pupuk ……………………………………………… 6.2.1.3 Pestisida …………………………………………… 6.2.1.4 Tenaga Kerja ……………………………................. 6.2.1.5 Air ………………………………………................. 6.2.2 Hasil Uji Statistik Usahatan Petani P3A dan Non P3A …... 6.2.3 Analisis Efisiensi Ekonomi Penggunaan Faktor-faktor Produksi Padi Petani P3A dan Non P3A …………………. 6.3 Analisis Perbandingan Pendapatan Usahatani Petani P3A dan Non P3A Bendung Katulampa …………………………………………. 6.3.1 Output Usahatani .. …….………………………………….. 6.3.2 Penerimaan Usahatani ……………………………………... 6.3.3 Biaya Usahatani …………………………………………… 6.3.4 Pendapatan Usahatani ……………………………………...
49
VII. SIMPULAN DAN SARAN ……………………………………...........
91
7.1 Simpulan ……………………………………………………........... 7.2 Saran ……………………………………………………………….
91 92
DAFTAR PUSTAKA ……………………………………………………....
93
LAMPIRAN ………………………………………………………………..
95
DAFTAR RIWAYAT HIDUP …………………………………………….
106
49 49 51 52 53 54 54 55 58 59 59 59 60 62 63 64 67 78 82 82 83 84 87
xi
DAFTAR TABEL Nomor
Halaman
1
Luas Panen, Produktivitas, dan Produksi Padi 2009-2011 …......
1
2
Produk Domestik Regional Bruto Kabupaten Bogor Atas Dasar Harga Konstan 2000 Menurut Lapangan Usaha Tahun 20052007 …………………………………………………………….
2
3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19
Produk Domestik Regional Bruto Kota Bogor Atas Dasar Harga Konstan 2000 Menurut Lapangan Usaha Tahun 2005-2007 …... Jumlah Sample Petani P3A (Kota Bogor) dan Non P3A (Kabupaten Bogor) ……………………………………………. Selang Nilai Statistik Durbin Watson Serta Keputusannya …... Sebaran Penduduk Desa Katulampa Berdasarkan Mata Pencaharian …………………………………………………......
3 31 38 45
Sebaran Penduduk Desa Muarajaya Berdasarkan Mata Pencaharian ……………………………………………………..
46
Jumlah Petani Anggota P3A dan Non P3A Berdasarkan Sebaran Usia ……………………………………………………
50
Jumlah Petani Anggota P3A dan Non P3A Berdasarkan Tingkat Pendidikan ……….......................................................................
51
Jumlah Petani Anggota P3A dan Non P3A Berdasarkan Status Pekerjaan Petani ………...............................................................
52
Jumlah Petani Anggota P3A dan Non P3A Berdasarkan Pengalaman Usahatani ………………………………………..
53
Pola Tanam dan Hasil Produktivitas Padi Petani P3A dan Non P3A Tahun 2011-2012 …………………………………………
57
Sebaran Kebutuhan Tenaga Kerja Untuk Aktivitas Usahatani P3A dan Non P3A ……………………………….......................
58
Perbandingan Penggunaan Benih Padi Petani Desa Katulampa (P3A) dan Desa Muarajaya (Non P3A) ………..........................
60
Jumlah Penggunaan Pupuk Kimia dan Pupuk Kandang Petani P3A dan Non P3A ……………………………………...............
61
Jenis Pestisida yang Digunakan Petani P3A dan Petani Non P3A …………………………......................................................
62
Jumlah Tenaga Kerja yang Digunakan Dalam Usahatani P3A dan Non P3A ……………………………………........................
63
Perbandingan Kebutuhan Air Irigasi Petani P3A dengan Petani Non P3A ……………………………………………………….
66
Hasil Analisis Pendugaan Fungsi Produksi Usahatani Padi Petani P3A ………………………………………………….......
67
xii
20
Hasil Analisis Pendugaan Fungsi Produksi Usahatani Padi Petani Non P3A …………………………………………….......
73
Nilai Produk Marjinal dan Biaya Korbanan Marjinal dari Produksi Padi Petani P3A ………………………………………
79
Nilai Produk Marjinal dan Biaya Korbanan Marjinal dari Produksi Padi Petani Non P3A …………………………………
80
Jumlah Produksi dan Produktivitas Padi Petani Anggota P3A dan Petani Non P3A ……………………………………………
83
24
Penerimaan Usahatani Petani Anggota P3A dan Non P3A …
84
25
Biaya Usahatani Petani Anggota P3A dan Non P3A ………..
85
26
Perbandingan Pendapatan Usahatani Petani Anggota P3A dan Non P3A ………………………………......................................
87
21 22 23
xiii
DAFTAR GAMBAR
Nomor
Halaman
1
Hubungan Fungsional Produksi Fisik Dengan Faktor Produksi ..
19
2
Kerangka Pemikiran Penelitian…………………………………
28
3
Grafik Model Regresi Produksi Usahatani P3A ………………..
72
3 (a)
Grafik Uji Kenormalan …………………………………
72
3 (b)
Grafik Homoskedastisitas ………………………………
72
Grafik Model Regresi Produksi Usahatani P3A ………………..
78
4 (a)
Grafik Uji Kenormalan …………………………………
78
4 (b)
Grafik Homoskedastisitas ………………………………
78
4
xiv
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor
Halaman
1.
Jumlah Produksi Dan Produktivitas Padi Petani Anggota P3A …
96
2.
Perbandingan Penggunaan Benih Padi Petani Desa Katulampa (P3A) dan Desa Muara Jaya (non P3A) ……………………….
98
Jumlah Penggunaan Pupuk Kimia dan Pupuk Kandang Petani P3A dan Non P3A ……………………………………………….
99
Jenis Pestisida yang Digunakan Oleh Petani P3A dan Petani Non P3A ………………………………………………………………
101
Perbandingan Kebutuhan Air Irigasi Petani P3A dengan Petani Non P3A …………………………………………………...........
102
Hasil Output Minitab 15 Model Fungsi Produksi Padi Petani P3A ………………………………………………………………
103
Hasil Output Minitab 15 Model Fungsi Produksi Padi Petani Non P3A …………………………………………………………
104
Penerimaan, Biaya, dan Pendapatan Usahatani Petani P3A dan Non P3A …………………………………………………………
105
3. 4. 5. 6. 7. 8.
1
I. PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Pangan merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia disamping
kebutuhan lainnya yaitu sandang dan papan. Guna memenuhi kebutuhan pangan bagi penduduk, ketersediaan lahan, air, benih, pupuk, dan faktor-faktor produksi pertanian lainnya harus selalu terjaga keberadaannya. Jika ketersediaan lahan, air, benih, pupuk, dan faktor-faktor produksi pertanian lainnya terbatas, maka produksi pangan pun akan terhambat, sehingga pemenuhan kebutuhan pangan untuk masyarakat pun akan berkurang. Oleh karena itu, upaya peningkatan luas lahan panen, produktivitas, dan produksi pertanian harus dilakukan agar kebutuhan pangan masyarakat terpenuhi dan sektor pertanian dapat berkontribusi lebih besar terhadap perekonomian Indonesia. Luas panen (ha) padi di Indonesia pada tahun 2010-2011 mengalami penurunan, sedangkan pada tahun 2011-2012 luas panen (ha) padi di Indonesia mengalami peningkatan. Peningkatan luas panen pada tahun 2011-2012 menyebabkan meningkatnya jumlah produksi padi (ton) dan produktivitas padi (kuintal/ha) selama kurun waktu tersebut. Luas panen, produktivitas, dan produksi padi pada tahun 2010-2012 dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Luas Panen, Produktivitas, dan Produksi Padi 2010-2012 No
Uraian
2010
Luas Panen (ha) Indonesia 13.253.450 2. Produktivitas (kuintal/ha) Indonesia 50,15 3. Produksi (ton) Indonesia 66.469.394 Sumber: Badan Pusat Statistik (2012)
2011
2012 (Angka Ramalan)
13.203.643
13.471.653
49,80
51,19
65.756.904
68.956.292
1.
2
Berdasarkan Tabel 1, dapat diketahui bahwa produksi padi tahun 2012 diperkirakan sebesar 68,96 juta ton Gabah Kering Giling (GKG) atau mengalami kenaikan sebesar 3,20 juta ton dibandingkan pada tahun 2011. Kenaikan tersebut diperkirakan terjadi di Pulau Jawa sebesar 2,09 juta ton dan di luar Pulau Jawa sebesar 1,11 juta ton. Kenaikan produksi diperkirakan terjadi karena peningkatan luas panen seluas 268,01 ribu ha dan produktivitas sebesar 1,39 kuintal/hektar (Badan Pusat Statistik, 2012). Luas lahan yang digunakan untuk sawah di Kabupaten Bogor pada tahun 2011 yaitu mencapai 48.185 ha, sedangkan luas penggunaan lahan kering di Kabupaten Bogor sebesar 251.243 ha (Badan Pusat Statistik Kabupaten Bogor, 2012). Potensi lahan pertanian Kabupaten Bogor yang tersedia dalam jumlah yang cukup besar menjadikan sektor pertanian merupakan salah satu kontributor Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) yang cukup besar dalam PDRB Kabupaten Bogor seperti yang disajikan pada Tabel 2. Tabel 2. Produk Domestik Regional Bruto Kabupaten Bogor Atas Dasar Harga Konstan 2000 Menurut Lapangan Usaha Tahun 2008-2010 Sektor
2008 Rupiah (Juta)
Pertanian Pertambangan & Penggalian Industri Pengolahan Listrik, Gas, & Air Bersih Bangunan Perdagangan, Hotel, Restoran Pengangkutan/Komunikasi Keuangan, Persewaan, & Jasa Perusahaan Jasa-jasa Total Sumber: Badan Pusat Statistik (2011)
Tahun 2009 Rupiah (Juta)
2010 Rupiah (Juta)
1.485.678,10
1.546.930,00
1.627.559,56
330.387,70
340.610,00
360.054,93
18.589.893,54 1.103.399,11 908.267,47
19.108.336,56 1.122.270,00 989.633,84
19.917.353,89 1.185.797,38 1.075.484,90
4.756.635,82
5.138.388,64
5.463.530,00
830.011,78
902.144,12
985.229,02
514.699,45
546.707,63
582.378,00
1.202.729,07 29.721.698,04
1.257.117,04 30.952.137,83
1.329.062,00 32.526.449,67
3
Tabel 2 menunjukkan bahwa Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Kabupaten Bogor secara total mengalami peningkatan dari tahun 2008 sampai 2010. Sektor pertanian menjadi salah satu kontibutor PDRB Kabupaten Bogor terbesar ketiga setelah sektor industri pengolahan dan perdagangan, hotel, serta restoran. Hal ini disebabkan karena ketersediaan lahan pertanian di Kabupaten Bogor masih tersedia, sehingga proses produksi untuk sektor pertanian tidak mengalami kendala yang sangat besar. Nilai persentase untuk sektor pertanian tidak memberikan kontribusi yang sangat besar untuk PDRB Kabupaten Bogor, sehingga perlu diadakan upaya untuk meningkatkan produktivitas dan produksi pertanian agar kontribusi PDRB Kabupaten Bogor meningkat. Luas lahan di Kota Bogor pada tahun 2010 terdapat 793 ha lahan sawah dan 2.375 ha lahan bukan sawah (Badan Pusat Statistik Kota Bogor, 2011). Jumlah luas lahan pertanian di Kota Bogor tersebut mempengaruhi besarnya kontribusi sektor pertanian untuk PDRB Kota Bogor. Secara rinci PDRB Kota Bogor menurut lapangan usaha pada tahun 2008-2010 dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3. Produk Domestik Regional Bruto Kota Bogor Atas Dasar Harga Konstan 2000 Menurut Lapangan Usaha Tahun 2008-2010 Sektor
2008 Rupiah (Juta)
13.121,58 Pertanian Pertambangan & 120,53 Penggalian 1.197.768,02 Industri Pengolahan Listrik, Gas, & Air Bersih 136.829,56 299.804,17 Bangunan Perdagangan, Hotel, 1.267.518,19 Restoran 422.723,25 Pengangkutan/Komunikasi Keuangan, Persewaan, & 602.517,87 Jasa Perusahaan 312.418,61 Jasa-jasa 4.252.821,78 Total Sumber: Badan Pusat Statistik (2011)
Tahun 2009 Rupiah (Juta)
2010 Rupiah (Juta)
13.539,61
13.975,80
121,98
123,85
1.273.762,00 146.236,51 312.096,14
1.355.090,75 156.395,94 324.954,50
1.331.874,52
1.398.254,93
453.533,15
487.253,72
648.625,82
699.701,41
328.811,32 4.508.601,05
346.556,29 4.782.307,18
4
Tabel 3 menunjukkan bahwa Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Kota Bogor secara total mengalami peningkatan dari tahun 2008 sampai 2010. Sektor pertanian menjadi salah satu kontibutor PDRB Kota Bogor terkecil kedua setelah sektor pertambangan. Hal ini disebabkan karena ketersediaan lahan pertanian Kota Bogor mengalami penurunan secara kuantitas. Dewasa ini lahan pertanian dikonversi menjadi lahan untuk pemukiman dan untuk industrialisasi, sehingga kontibusi PDRB Kota Bogor pada sektor pertanian lebih kecil dibandingkan dengan sektor-sektor lainnya. Upaya-upaya khusus perlu dikembangkan agar peningkatan lahan panen, produktivitas, dan produksi pertanian di Kota dan Kabupaten Bogor tetap dapat dipertahankan dan dapat berkontribusi dalam perekonomian Indonesia. Salah satu upaya yang perlu dilakukan yaitu dengan pemenuhan kebutuhan faktor produksi untuk pertanian berupa pupuk, benih, pestisida, tenaga kerja, dan air. Air merupakan salah satu unsur penting bagi ketersediaan pangan, sehingga ketersediaan air harus selalu terjaga keberadaan dan fungsinya agar lahan-lahan pertanian tidak mengalami kekeringan yang dapat menyebabkan penurunan produktivitas secara jangka panjang. Guna meningkatkan fungsi dan pengendalian tata air untuk pertanian, maka diterapkan suatu sistem pengairan atau yang dikenal dengan istilah irigasi. Irigasi adalah usaha penyediaan, pengaturan, dan pembuangan air untuk menunjang pertanian yang sejenisnya meliputi irigasi permukaan, irigasi rawa, irigasi air bawah tanah, irigasi pompa, dan irigasi tambak (UU No. 7 Tahun 2004 pasal 41 ayat 1). Adanya sistem irigasi ini, diharapkan pengelolaan dan
5
pendistribusian sumberdaya air dapat dimanfaatkan secara efektif dan efisien, serta dapat menjamin ketersediaan sumberdaya air pada musim kemarau. Sistem irigasi yang dilakukan di Kota Bogor salah satunya adalah yang terdapat di Bendung Katulampa, Kecamatan Bogor Timur yang merupakan bagian dari Daerah Aliran Sungai (DAS) Ciliwung. Pembangunan Bendung Katulampa merupakan suatu usaha konservasi sumberdaya air dan sarana penyediaan air baku bagi aktivitas produksi industri-industri di daerah sekitar merupakan suatu alternatif dalam mengatasi masalah pemenuhan kebutuhan air di daerah tersebut, terutama untuk aktivitas pertanian. Keberadaan sistem irigasi sebagai sarana pengairan untuk lahan pertanian memupuk terbentuknya organisasi Perkumpulan Petani Pemakai Air (P3A) yang mampu menangani tugas-tugas keirigasian sesuai dengan situasi dan kondisi daerah setempat. Organisasi petani pemakai air bertujuan untuk menampung masalah dan aspirasi petani yang berhubungan dengan air untuk tanaman dan bercocok tanam. Wadah bertemunya petani untuk saling bertukar pikiran, curah pendapat serta membuat keputusan-keputusan guna memecahkan permasalahan yang dihadapi bersama oleh petani (Muththalib, 2009). Organisasi ini diharapkan dapat menjadi suatu organisasi yang mampu menyediakan sarana produksi pertanian dan berperan dalam perkembangan dan pengelolaan sistem irigasi yang lebih baik. Kelembagaan Perkumpulan Petani Pemakai Air (P3A) sebagai faktor penting dalam peningkatan produksi pertanian dan pemerataan pendapatan memiliki peran yang bermanfaat. Oleh sebab itu, baik pemerintah maupun lembaga-lembaga swadaya masyarakat sekarang lebih memperhatikan fungsi dan
6
peran kelembagaan Perkumpulan Petani Pemakai Air (P3A) dalam suatu usaha pengelolaan jaringan irigasi (Akrab, 2006). Petani padi yang tergabung dalam organisasi P3A akan memperoleh keuntungan dibandingkan dengan petani yang tidak tergabung dalam organisasi P3A. Salah satu keuntungan yang diperoleh yaitu berupa bertambahnya frekuensi musim tanam. Petani anggota P3A sebagian besar memiliki musim tanam sebanyak tiga kali dalam satu tahun, sedangkan petani yang tidak tergabung dalam organisasi P3A hanya memiliki musim tanam dua kali dalam satu tahun. Dampak yang timbul dari proyek irigasi dan kelembagaan organisasi P3A yaitu mampu meningkatkan produktivitas dan produksi pertanian serta mampu menciptakan kegiatan ekonomi dengan meningkatkan pendapatan usahatani sebagai indikatornya. Oleh karena itu, peran kelembagaan organisasi P3A sebagai faktor penting dalam peningkatan produksi pertanian dan pemerataan pendapatan petani perlu menjadi perhatian guna pengelolaan sistem irigasi yang lebih baik.
1.2
Perumusan Masalah Air merupakan salah satu faktor produksi pertanian yang memiliki peran
penting dalam melakukan aktivitas produksi pertanian. Dalam Undang-undang No. 7 Tahun 2004 tentang sumberdaya air disebutkan bahwa: 1. Sumberdaya air merupakan karunia Tuhan Yang Maha Esa yang memberikan manfaat serbaguna untuk mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh rakyat di segala bidang baik sosial, ekonomi, budaya, politik maupun bidang ketahanan nasional. 2. Dalam menghadapi ketidakseimbangan antara ketersediaan air
yang
cenderung menurun, dan kebutuhan air yang cenderung meningkat sejalan
7
dengan perkembangan jumlah penduduk dan peningkatan aktivitas ekonomi masyarakat, sumberdaya air harus dikelola, dipelihara, dimanfaatkan, dilindungi dan dijaga kelestariannya dengan memberikan peran kepada masyarakat dalam setiap tahapan pengelolaan sumberdaya air. Berdasarkan pernyataan poin nomor dua pada undang-undang di atas, salah satu pengelolaan sumberdaya air yang dapat dilakukan untuk menjaga keseimbangan kebutuhan pengairan lahan pertanian dapat dilakukan dengan sistem irigasi. Irigasi sebagai salah satu faktor penunjang dalam keberlangsungan pertanian
Indonesia
sangat
membantu
dalam
mengatasi
permasalahan
pendistribusian dan penyediaan air pada saat musim kemarau. Salah satu kegiatan irigasi yang dilakukan untuk mengatasi masalah pengelolaan air untuk lahan pertanian di Bogor berada di Bendung Katulampa. Bendung ini dibangun dengan tujuan utamanya sebagai penyedia air irigasi bagi lahan-lahan pertanian khususnya di Kabupaten dan Kota Bogor. Penggunaan air untuk irigasi ini tidak dikenakan biaya apapun kepada para petani sehingga akan memberikan satu nilai positif untuk memotivasi petani dalam meningkatkan produktivitas pertanian. Keberadaan sistem irigasi sebagai sarana pengairan untuk lahan pertanian memupuk terbentuknya organisasi Perkumpulan Petani Pemakai Air (P3A) yang mampu menangani tugas-tugas keirigasian sesuai dengan situasi dan kondisi daerah setempat. Salah satu organisasi P3A yang terdapat di Kota Bogor yaitu berada di Kelurahan Katulampa, Kecamatan Bogor Timur. Organisasi ini memiliki lokasi yang dekat dengan Bendung Katulampa, sehingga pemenuhan dan pengawasan kebutuhan air untuk sarana irigasi lahan petani di lingkungan
8
sekitar Kelurahan Katulampa teraliri dengan baik. Berbeda dengan petani P3A Kelurahan Katulampa, petani di Desa Muarajaya yang tidak tergabung ke dalam organisasi P3A mendapatkan aliran irigasi untuk lahan pertanian yang berasal dari mata air Ciburial. Pengawasan dan pemenuhan kebutuhan air irigasi untuk petani Desa Muarajaya kurang efektif karena tidak diatur oleh kelembagaan organisasi P3A. Kelembagaan P3A sebagai faktor penting dalam peningkatan produksi pertanian dan pemerataan pendapatan tidak dapat disangkal. Petani yang tergabung dalam organisasi P3A memperoleh keuntungan tersendiri berupa meningkatnya frekuensi musim tanam dibandingkan petani non anggota P3A. Oleh karena itu, dalam tahapan perkembangan organisasi P3A diharapkan dapat menjadi suatu organisasi yang mampu menyediakan sarana produksi pertanian dan berperan dalam perkembangan dan pengelolaan sistem irigasi yang lebih baik. Apabila
kelembagaan organisasi P3A diterapkan dengan
baik
dengan
memanfaatkan proyek irigasi sebaik-baiknya, diharapkan dari pemanfaatan irigasi tersebut dapat meningkatkan produktivitas dan produksi pertanian, sehingga dengan meningkatnya produktivitas dan produksi pertanian tersebut maka akan meningkatkan pendapatan usahatani. Berdasarkan pada latar belakang di atas, dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut: 1. Bagaimana karakteristik petani padi P3A di Desa Katulampa (Kota Bogor) dan non P3A di Desa Muarajaya (Kabupaten Bogor)? 2. Faktor-faktor apa saja yang berpengaruh terhadap produksi padi untuk petani P3A di Desa Katulampa (Kota Bogor) dan non P3A di Desa Muarajaya (Kabupaten Bogor)?
9
3. Bagaimana tingkat pendapatan usahatani petani padi P3A di Desa Katulampa (Kota Bogor) dan non P3A di Desa Muarajaya (Kabupaten Bogor)?
1.3
Tujuan Penelitian Berdasarkan perumusan masalah di atas, maka tujuan penelitian ini adalah:
1. Mengidentifikasi karakteristik petani P3A di Desa Katulampa (Kota Bogor) dan non P3A di Desa Muarajaya (Kabupaten Bogor). 2. Menganalisis pengaruh faktor-faktor produksi pertanian terhadap produksi pertanian padi petani P3A di Desa Katulampa (Kota Bogor) dan non P3A di Desa Muarajaya (Kabupaten Bogor). 3. Menganalisis tingkat pendapatan usahatani petani padi P3A di Desa Katulampa (Kota Bogor) dan non P3A di Desa Muarajaya (Kabupaten Bogor).
1.4
Ruang Lingkup Penelitian Penelitian ini dilakukan untuk mengidentifikasi karakteristik petani P3A
dan non P3A berdasarkan karakteristik sosial ekonomi, karakteristik usahatani, dan karakteristik tenaga kerja lokal yang digunakan oleh masing-masing kelompok petani. Analisis faktor produksi dilakukan untuk mengetahui faktorfaktor yang mempengaruhi hasil produksi padi P3A dan non P3A. Selanjutnya dilakukan analisis efisiensi ekonomi untuk mencari penggunaan faktor-faktor produksi yang optimal. Faktor-faktor tersebut dijadikan sebagai informasi untuk meningkatkan produktivitas padi dan meningkatkan pendapatan usahatani. Analisis pendapatan usahatani dihitung selama satu tahun masa tanam. Analisis ini dilakukan untuk melihat perbandingan pendapatan antara petani anggota P3A dan non P3A.
10
1.5
Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi yang berguna
dan bermanfaat. 1. Bagi akademisi, penelitian ini diharapkan menjadi penelitian pelengkap tentang keilmuan ekonomi sumberdaya dan lingkungan. 2. Bagi pengambil keputusan, penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan pertimbangan dalam pengambilan keputusan bagi pihak-pihak yang terkait khususnya Pemerintah Kota dan Kabupaten Bogor. 3. Bagi petani, untuk mengetahui efektifitas dan efesiensi kegiatan pertanian dengan adanya sistem irigasi sehingga terjadi keberlanjutan usahatani. 4. Bagi masyarakat,
untuk menambah pengetahuan keilmuan ekonomi
sumberdaya dan lingkungan khususnya mengenai analisis produksi dan pendapatan usahatani petani padi dari adanya aktivitas proyek irigasi dan kelembagaan organisasi P3A. 5. Bagi peneliti, sebagai persyaratan menyelesaikan studi program sarjana untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor.
11
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Pengertian Irigasi Menurut Mawardi dan Memed (2002), irigasi berasal dari istilah irrigate
dalam bahasa Belanda atau irrigation dalam bahasa Inggris. Irigasi dapat diartikan sebagai suatu usaha yang dilakukan untuk mendatangkan air dari sumbernya guna keperluan pertanian, mengalirkan dan membagikan air secara teratur dan setelah digunakan dapat pula dibuang kembali. Istilah pengairan yang sering pula didengar dapat diartikan sebagai usaha pemanfaatan air pada umumnya, berarti irigasi termasuk didalamnya. Tujuan irigasi yaitu untuk mencukupi kebutuhan air di musim hujan bagi keperluan pertanian seperti membasahi tanah, merabuk, mengatur suhu tanah, menghindarkan gangguan hama dalam tanah dan sebagainya. Tanaman yang diberi air irigasi umumnya dapat dibagi dalam tiga golongan besar yaitu padi, tebu, palawija seperti jagung, kacang-kacangan, bawang, cabe, dan sebagainya (Mawardi dan Memed, 2002). Air irigasi diberikan kepada tanaman, dilakukan dengan berbagai cara yang tergantung pada berbagai faktor. Cara pemberian air itu antara lain pemberian air pada muka tanah tetapi dari bidang yang letaknya lebih tinggi dan dari bawah muka tanah. Untuk tanaman padi di Indonesia umumnya digunakan pemberian air pada muka tanah dengan cara menggenangkan (flooding method). Cara ini akan memberikan keuntungan yaitu tidak terlalu banyak memakan biaya dan dapat mencegah hama yang bersarang di dalam tanah dan di akar tanaman.
12
Tetapi bila tanah terendam terlalu lama akan menjadi kurang baik, sehingga sewaktu-waktu perlu dikeringkan (Mawardi dan Memed, 2002). Menurut Pusposutardjo (2001), pengertian irigasi secara umum, yaitu pemberian air kepada tanah dengan maksud untuk memasok lengas esensial bagi pertumbuhan tanaman. Tujuan umum irigasi kemudian dirinci lebih lanjut, yaitu: 1. Menjamin keberhasilan produksi tanaman dalam menghadapi kekeringan jangka pendek 2. Mendinginkan tanah dan atmosfir sehingga akrab untuk pertumbuhan tanaman 3. Mengurangi bahaya kekeringan 4. Mencuci atau melarutkan garam dalam tanah 5. Mengurangi bahaya pemipaan tanah 6. Melunakkan lapisan olah dan gumpalan tanah 7. Menunda pertunasan dengan cara pendinginan lewat evaporasi. Tujuan utama irigasi yang disebutkan diatas tentu tidak semuanya berlaku untuk di Indonesia yang sebagian besar wilayahnya terletak di kawasan muson tropis-basah. Sebagai contoh, tujuan irigasi untuk mendinginkan tanah dan atmosfir, serta melarutkan garam dalam tanah yang hanya mungkin diterapkan untuk kasus yang sangat khas (Pusposutardjo, 2001).
2.2
Klasifikasi Irigasi Sistem irigasi di Indonesia yang umumnya bergantung kepada cara
pengambilan air sungai dan dimaksudkan untuk mengairi persawahan dapat dibedakan menjadi irigasi pedesaan dan irigasi pemerintah. Pembedaan itu berdasarkan pengelolaannya. Sistem irigasi desa bersifat komunal dan tidak menerima bantuan dari Pemerintah Pusat. Pembangunan dan pengelolaan seluruh
13
jaringan irigasi dilakukan sepenuhnya oleh masyarakat, sedangkan sistem irigasi yang tergantung pada bantuan pemerintah dibagi ke dalam tiga kategori: irigasi teknis, semi teknis, dan sederhana (Mawardi dan Memed, 2002). a) Irigasi teknis, yaitu jaringan air yang mendapatkan pasokan air terpisah dengan jaringan pembuang, dan pemberian airnya dapat diukur, diatur dan terkontrol pada beberapa titik tertentu. Semua bangunannya bersifat permanen. Luas daerah irigasinya diatas 500 hektar. Beberapa contohnya ialah sistem irigasi Jatiluhur, Rentang, Pemali Comal, Sampean dan sebagainya. b) Irigasi semi teknis, yaitu pengaliran air ke sawah dapat diatur, tetapi banyaknya aliran tidak dapat diukur. Pembagian air tidak dapat dilakukan dengan seksama. Memiliki sedikit bangunan permanen, dan hanya satu alat pengukur aliran yang biasanya ditempatkan pada bangunan bendung. Sistem pemberian air dan sistem pembuangan air tidak mesti sama sekali terpisah. c) Irigasi sederhana, yaitu yang biasanya menerima bantuan pemerintah untuk pembangunan dan atau untuk penyempurnaan. Tetapi dikelola dan dioperasikan oleh aparat desa. Mempunyai bangunan semi permanen, dan tidak mempunyai alat pengukur dan pengontrol aliran, sehingga aliran tidak dapat diatur dan diukur. Saluran irigasi di daerah irigasi teknis dibedakan menjadi saluran irigasi pembawa dan saluran pembuang. Saluran irigasi pembawa ditinjau dari letaknya dapat dibedakan menjadi saluran garis tinggi dan saluran garis punggung. Saluran garis tinggi yaitu saluran yang ditempatkan sejurusan dengan garis tinggi/kontur. Dan saluran garis punggung yaitu saluran yang ditempatkan di punggung medan. Ditinjau dari jenis dan fungsi saluran irigasi pembawa dapat dibedakan menjadi
14
saluran primer, sekunder, tersier, dan kuarter. Berdasarkan Standar Perencanaan Irigasi bagian Jaringan Irigasi KP-01, saluran irigasi tersebut didefinisikan sebagai berikut (Mawardi dan Memed, 2002): a. Saluran primer yaitu saluran yang membawa air dari jaringan utama ke saluran sekunder dan petak-petak tersier yang dialiri. Saluran primer biasa pula disebut saluran induk. b. Saluran sekunder yaitu saluran yang membawa air dari saluran primer ke petak-petak tersier yang dilayani oleh saluran sekunder tersebut. Batas ujung saluran ini yaitu bangunan sadap terakhir. c. Saluran muka tersier yaitu saluran yang membawa air dari bangunan sadap tersier ke petak tersier yang terletak di seberang petak tersier lainnya. d. Saluran tersier yaitu saluran yang membawa air dari bangunan sadap tersier di jaringan utama ke dalam petak tersier lalu ke saluran kuarter. Saluran ini berakhir pada boks kuarter yang terakhir. e. Saluran kuarter yaitu saluran yang membawa air dari boks bagi kuarter melalui bangunan sadap tersier ke sawah-sawah. Pembangunan sistem irigasi oleh pemerintah dan pemerintah daerah termasuk
saluran
percontohan
sepanjang
50
meter
dari
bangunan
sadap/pengambilan tersier. Kriteria pembagian tanggung jawab pengelolaan irigasi selain didasarkan pada keberadaan jaringan tersebut terhadap wilayah administrasi juga perlu disadarkan pada strata luasannya, sebagai berikut: a. Dareah Irigasi (DI) dengan luas kurang dari 1.000 ha (DI kecil) dan berada dalam satu kabupaten/kota menjadi kewenangan dan tanggung jawab pemerintah kabupaten/kota
15
b. Daerah Irigasi (DI) dengan luas 1.000 sampai dengan 3.000 ha (DI sedang), atau daerah irigasi kecil yang bersifat lintas kabupaten/kota menjadi kewenangan dan tanggung jawab Pemerintah c. Daerah Irigasi (DI) dengan luas lebih dari 3.000 ha (DI besar), atau DI sedang yang bersifat lintas provinsi, strategis nasional, dan lintas negara menjadi kewenangan dan tanggung jawab Pemerintah.
2.3
Perkumpulan Petani Pemakai Air (P3A) Perkumpulan petani pemakai air (P3A) adalah sekelompok orang yang
berhimpun dalam suatu usaha pengguna air, yang bermata pencaharian pokok bercocok tanam padi maupun kacang-kacangan (palawija) yang dilakukan di sawah basah maupun di lahan kering, dikerjakan sendiri atau bersama kelompok (Akrab, 2006). P3A adalah wadah perkumpulan petani atau kelompok petani yang dibentuk melaksanakan pengelolaan air irigasi dalam suatu petak tersier atau daerah irigasi pedesaan. Pengelolaan air irigasi umumnya dimaksudkan untuk meningkatkan hasil produksi tanaman, baik melalui peningkatan produktivitas maupun peningkatan intensitas tanam. Organisasi petani pemakai air (P3A) betujuan untuk menampung masalah dan aspirasi petani yang berhubungan dengan air untuk tanaman dan bercocok tanam. Wadah bertemunya petani untuk saling bertukar pikiran, curah pendapat serta membuat keputusan keputusan guna memecahkan permasalahan yang dihadapi bersama oleh petani, baik yang dapat dipecahkan sendiri maupun yang memerlukan bantuan dari luar. Fungsi lain organisasi P3A yaitu untuk memberikan pelayanan kebutuhan petani terutama memenuhi kebutuhan air irigasi untuk usaha pertaniannya. Dalam tahapan perkembangannya organisasi ini
16
diharapkan dapat menjadi suatu unit usaha mandiri yang mampu menyediakan sarana produksi pertanian maupun dalam upaya pemasaran. Selain itu organisasi ini juga berperan dalam pengembangan dan pengelolaan sistem irigasi (Muththalib, 2009). Seiring dengan berkembangnya organisasi ini diharapkan petani dapat memiliki kemampuan untuk menilai potensi, motivasi dan keadaan dirinya sendiri, serta memiliki keterampilan merencanakan dan melaksanakan kegiatan pengelolaan irigasi secara baik, berkelanjutan dan mandiri.
2.4
Faktor Produksi Pertanian Faktor produksi adalah semua korbanan yang diberikan pada tanaman agar
tanaman tersebut mampu tumbuh dan menghasilkan dengan baik (Soekartawi, 1993). Pada berbagai literatur, faktor produksi ini dikenal dengan istilah input, production factor, dan korbanan produksi. Faktor produksi sangat menentukan besar-kecilnya produksi yang akan diperoleh. Dalam menunjang keberhasilan pembangunan pertanian, ketersediaan bahan baku pertanian secara kontinyu sangat diperlukan, seperti bibit, pupuk, air, pestisida, dan tenaga kerja. 2.4.1 Bibit Bibit menentukan keunggulan dari suatu komoditas. Bibit yang unggul biasanya tahan terhadap penyakit, hasil komoditasnya berkualitas tinggi dibandingkan dengan komoditas lain sehingga harganya dapat bersaing di pasar (Rahim dan Hastuti, 2007). 2.4.2 Pupuk Pupuk sebagai salah satu komponen penunjang pada sektor pertanian mempunyai peran yang sangat penting bagi peningkatan usahatani di Indonesia, hal ini karena petani telah menyadari peran pupuk pada hasil pertanian. Pada
17
umumnya pupuk yang digunakan dalam proses produksi pertanian ada dua jenis, yaitu pupuk organik dan pupuk kimia. Pupuk organik merupakan bahan organik atau bahan karbon, pada umumnya berasal dari tumbuhan dan atau hewan, ditambahkan ke dalam tanah secara spesifik sebagai sumber hara, pada umumnya mengandung nitrogen yang berasal dari tumbuhan dan atau hewan (Sutanto dalam Saragih, 2011). Sedangkan pupuk kimia adalah pupuk yang berasal dari proses rekayasa secara kimia, fisik atau biologis hasil industri atau hasil dari pabrik pembuat pupuk (Saragih, 2011). 2.4.3 Air Air merupakan faktor lain yang juga penting dalam usaha peningkatan produksi pertanian. Air merupakan syarat mutlak bagi kehidupan dan pertumbuhan tanaman. Air yang digunakan sebagai input pertanian dapat berasal dari air hujan dan air irigasi. Menurut Hanafie (2010), pemanfaatan air yang intensif mampu mendukung kenaikan hasil yang sangat signifikan, bahkan nilai tanah juga dapat mengalami peningkatan sebagai akibat adanya faktor air. Ini dapat dibuktikan dengan membandingkan hasil pertanian antara lahan yang dialiri air irigasi dengan lahan yang tidak diairi. Usaha intensifikasi pertanian melalui perbaikan irigasi terus ditingkatkan oleh pemerintah dengan mengembangkan waduk-waduk dan saluran-saluran air sehingga semakin meningkatkan jumlah lahan yang dapat dialiri air irigasi. 2.4.4 Pestisida Pestisida merupakan salah satu input produksi pertanian yang bermanfaat sebagai pembasmi hama yang menyerang tanaman. Fungsi utama adanya
18
pestisida, tanaman-tanaman pertanian terhindar dari hama yang dapat merusak tanaman dan menyebabkan tanaman tersebut mati. Pestisida mengandung racun, sehingga perlu kehati-hatian dalam menggunakannya, baik terhadap tanaman maupun terhadap lingkungan sekitar. 2.4.5 Tenaga Kerja Tenaga kerja dalam hal ini adalah petani yang merupakan faktor penting dan perlu diperhitungkan dalam proses produksi komoditas pertanian. Menurut Rahim (2007), tenaga kerja harus mempunyai kualitas berfikir yang maju seperti petani yang mampu mengadopsi inovasi-inovasi baru, terutama dalam menggunakan teknologi untuk pencapaian komoditas yang bagus sehingga memiliki nilai jual yang tinggi. Penggunaan tenaga kerja dapat dinyatakan sebagai curahan tenaga kerja. Curahan tenaga kerja adalah besarnya tenaga kerja efektif yang dipakai.
2.5
Fungsi Produksi Fungsi produksi merupakan suatu fungsi yang menunjukkan hubungan
teknis antara hasil produksi fisik (output) dengan faktor-faktor produksi (input) (Hanafie, 2010). Dalam bentuk matematika sederhana, hubungan ini dituliskan sebagai berikut: Y = f(x1, x2, x3 …..xn) .................................................................... (2.1) Dimana: Y
: Hasil Produksi Fisik
x1…xn : Faktor-faktor Produksi Produksi fisik dihasilkan oleh bekerjanya beberapa faktor produksi sekaligus, yaitu bibit, pupuk, air, pestisida, tenaga kerja, dan lain-lain. Untuk
19
menggambarkan dan/atau menganalisis peranan masing-masing faktor produksi terhadap produksi fisik, dari sejumlah faktor produksi yang digunakan, salah satu faktor produksi dianggap sebagai variabel (berubah-ubah), sementara faktor produksi lainnya dianggap konstan (tidak berubah). Dalam bentuk grafik, fungsi produksi merupakan kurva melengkung dari kiri ke kanan atas yang setelah sampai titik tertentu kemudian berubah arah sampai titik maksimum dan berbalik turun kembali.
Y (Output)
Daerah I Ep > 1
Daerah II 0 < Ep < 1
Daerah III Ep < 0
Produksi Total
Produk Rata-rata
Sumber: Soekartawi (2002)
Produk Marjinal
X (Input)
Gambar 1. Hubungan Fungsional Produksi Fisik Dengan Faktor Produksi Berdasarkan Gambar 1, dapat diketahui Return to Scale suatu usaha dimana dengan Return to Scale kita dapat melihat apakah kegiatan suatu usaha yang diteliti mengikuti kaidah increasing, constant, atau decreasing return to
20
scale. Terdapat tiga alternatif daerah keputusan return to scale berdasarkan nilai elastisitas produksi (Ep) (Soekartawi, 2002): 1. Decreasing return to scale, bila Ep < 1 pada daerah III. Keadaan demikian dapat diartikan bahwa proporsi penambahan input produksi melebihi proporsi penambahan produksi. 2. Constant return to scale, bila Ep = 1 pada daerah II. Keadaan demikian dapat diartikan penambahan input produksi akan proporsional dengan penambahan produksi yang diperoleh. 3. Increasing return to scale, bila Ep > 1 pada daerah I. Hal ini berarti bahwa proporsi penambahan input produksi akan menghasilkan tambahan produksi yang proporsinya lebih besar.
2.6
Analisis Pendapatan Petani selalu akan mencari cara mengalokasikan input seefisien mungkin
untuk dapat memperoleh produksi yang maksimal karena petani berprinsip bagaimana mendapatkan keuntungan yang maksimum (profit maximization). Di lain pihak, ketika petani dihadapkan pada keterbatasan biaya dalam melaksanakan usaha taninya, upaya memaksimalkan keuntungan tetap dapat akan dilakukan dengan menekan biaya produksi seminimal mungkin. Usaha tani adalah suatu kegiatan ekonomi yang ditujukan untuk menghasilkan output (penerimaan) dengan input fisik, tenaga kerja, dan modal dalam proses produksinya. Penerimaan total usahatani merupakan hasil produksi dikalikan dengan harga per satuan produksi tersebut, sedangkan pengeluaran total usahatani merupakan semua nilai yang dikeluarkan dalam melakukan proses produksi. Perbedaan antara penerimaan dan pengeluaran inilah yang disebut
21
dengan pendapatan (Nicholson, 1995). Formulasi pendapatan usahatani yang lebih jelas, dapat dilihat sebagai berikut. π = TR – TC π = (Py · Y) – (Px · X) ................................................................... (2.2) Keterangan: π
: Tingkat pendapatan usahatani (Rp)
TR
: Total penerimaan usahatani (Rp)
TC
: Total pengeluaran usahatani (Rp)
Py
: Harga output (Rp)
Y
: Jumlah output (ton)
Px
: Harga input (Rp)
X
: Jumlah input (kg, kg/liter, m3)
2.7
Analisis Biaya dan Manfaat Menurut Sugiyono (2001), analisis biaya dan manfaat digunakan untuk
mengevaluasi penggunaan sumber-sumber ekonomi agar sumberdaya yang langka tersebut dapat digunakan secara efisien. Analisis ini hanya menentukan program dari segi efisiensi sedangkan pemilihan pelaksanaan program berada di tangan pemegang kekuasaan eksekutif yang dalam memilih juga mempertimbangkan faktor lain. Suatu program yang efisien mungkin tidak akan dijalankan karena menimbulkan distribusi pendapatan yang semakin lebar. Sebaliknya, program yang menimbulkan distribusi pendapatan yang semakin baik akan dipilih meskipun program tersebut tidak terlalu efisien ditinjau dari hasil analisis biaya dan manfaat. Analisis biaya dan manfaat ini merupakan alat bantu untuk membuat keputusan publik dengan mempertimbangkan kesejahteraan masyarakat. Saat ini, analisis biaya dan manfaat tidak hanya melihat manfaat dan biaya individu, tetapi
22
secara menyeluruh memperhitungkan manfaat dan biaya sosial, sehingga selanjutnya dapat disebut sebagai analisis biaya dan manfaat sosial. Metode untuk menganalisis biaya dan manfaat sosial suatu proyek dapat dilakukan dengan Return Cost Ratio (R/C). R/C adalah singkatan dari Return Cost Ratio, atau dikenal sebagai perbandingan (nisbah) antara penerimaan dan biaya (Soekartawi, 1995). Secara matematika, hal ini dapat dituliskan sebagai berikut: r=
R ............................................................................................. (2.3) C
Dimana: R
: Py · Y
C
: TFC + TVC
r
: Return Cost Ratio
R
: Penerimaan (Rp)
C
: Biaya (Rp)
Py
: Harga output (Rp)
Y
: Output (kg)
TFC
: Biaya tetap total (Total Fixed Cost)
TVC : Biaya variabel total (Total Variable Cost) Secara teoritis, usahatani dikatakan menguntungkan jika R/C > 1, dan merugikan jika R/C < 1. Namun, dengan rasio R/C = 1 artinya suatu usahatani mengalami Break Even Point (BEP) atau mencapai titik impas, dimana usahatani tersebut tidak menguntungkan, tidak pula merugikan.
2.8
Penelitian Terdahulu Penelitian yang dilkukan oleh Wijaya (2002) dengan judul penelitian
Analisis Pendapatan dan Efisiensi Produksi Usahatani Padi Input Rendah di Kecamatan Tempuran, Kabupaten Karawang, Propinsi Jawa Barat menggunakan metode analisis pendapatan usahatani, analisis imbangan penerimaan dan biaya
23
(R/C Ratio Analysis), analisis ekonometrika, serta efisiensi ekonomi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Tingkat produksi padi rata-rata per hektar pada Musim Tanam Juni – Oktober 2001 menunjukkan bahwa produktivitas padi input rendah lebih rendah dari pada usahatani padi konvensional, sehingga pendapatan usahatani padi input rendah pun lebih rendah dari pada pendapatan usahatani padi konvensional. Namun, nilai R/C rasio untuk usahatani padi input rendah lebih tinggi dari pada usahatani padi konvensional. Usahatani padi input rendah berada pada daerah produksi rasional yang ditunjukkan oleh nilai elastisitas peroduksi sebesar 0,92. Meskipun berada pada daerah rasional namun penggunaan faktor produksinya belum mencapai level efisien. Penelitian selanjutnya yang menjadi acuan penelitian ini yaitu penelitian yang dilakukan oleh Amri (2011) dengan judul Analisis Efisiensi Produksi dan Pendapatan Usahatani Ubi Kayu (Studi Kasus Desa Pasirlaja, Kecamatan Sukaraja, Kabupaten Bogor). Metode analisis yang digunakan yaitu Analisis fungsi produksi (Cobb Douglas), analisis pendapatan usahatani, serta analisis efisiensi produksi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa berdasarkan analisis penerapan pedoman usahatani ubi kayu, budidaya ubi kayu di desa penelitain belum sepenuhnya sesuai dengan pedoman usahatani ubi kayu. Pendapatan bersih usahatani ubi kayu tersebut yaitu Rp 6.279.598,36 dengan nilai R/C rasio atas biaya total sebesar 1,59. Penggunaan faktor-faktor produksi belum efisien secara ekonomi karena rasio antara NPM dan BKM tidak sama dengan satu. Penelitian lain yang menjadi salah satu acuan penelitian ini yaitu penelitian yang dilakukan oleh Finanda (2011) denga judul Analisis Produksi dan Pendapatan Usaha Pembesaran Lele Dumbo (Studi Kasus: CV Jumbo Bintang
24
Lestari). Penelitian ini menggunakan analisis pendapatan usahatani, dan analisis produksi berupa analisis fungsi produksi Cobb Douglas serta analisis efisiensi produksi (NPM dan BKM). Hasil penelitian menunjukkan bahwa seluruh faktor produksi lele dumbo CV Jumbo Bintang Lestari berpengaruh secara nyata terhadap produksi lele dumbo, namun hanya faktor produksi padat penebaran saja yang memiliki pengaruh paling besar terhadao produksi pembesaran lele dumbo dengan nilai elastisitas 0,211. Hal ini berarti setiap peningkatan 1% padat penebaran akan meningkatkan jumlah produksi sebesar 0,211% (Ceteris paribus). Berdasarkan analisis efisiensi dapat diketahui bahwa, untuk mencapai kondisi efisiensi secara ekonomi penggunaan padat penebaran harus dikurangi. Untuk pakan pelet dan pakan tambahan agar mencapai kondisi efisiensi secara ekonomi maka penggunaannya perlu ditambahkan. Sedangkan untuk pupuk, probiotik, dan kapur agar mencapai kondisi efisiensi secara ekonomi, maka penggunaannya harus berdasarkan dosis yang boleh digunakan. Total biaya adalah Rp 1.711.554.792 terdiri dari biaya tunai dan biaya non tunai. Sedangkan total penerimaan adalah Rp 1.924.951.900, berasal dari penjualan lele dumbo hasil pembesaran. Total pendapatannya adalah Rp 213.397.108
per periode pembesaran. Nilai rasio
penerimaan total di CV Jumbo Bintang Lestari adalah 1,12, nilai tersebut dapat diartikan setiap satu rupiah biaya total yang dikeluarkan untuk kegiatan usaha akan memberikan penerimaan sebesar Rp 1,12. Nilai tersebut cukup rendah, namun masih memberikan keuntungan sehingga layak untuk lebih dikembangkan. Penelitian selanjutnya yang menjadi acuan penelitian ini yaitu penelitian yang dilakukan oleh Saragih (2011) dengan judul Analisis Dampak Metode
25
System of Rice Intensification (SRI) terhadap Penggunaan Input, Produksi dan Pendapatan Usahatani Padi Sawah di Desa Jembenenggang, Sukabumi, Jawa Barat. Penelitian ini menggunakan analisis usahatani, analisis pendapatan usahatani, analisis perbandingan penerimanaan dan biaya (R/C ratio), estimasi perhitungan harga air, analisis kesempatan kerja. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penggunaan faktor produksi pertanian untuk petani dengan metode SRI lebih banyak dari pada faktor produksi pertanian petani konvensional. Faktor produksi yang paling berpengaruh secara nyata pada usahatani SRI yaitu air dan benih, sedangkan dalam usahatani konvensional pupuk memiliki pengaruh yang nyata terhadap produksi. Hasil produksi petani dengan metode SRI pun mampu menghasilkan output lebih banyak dari pada petani konvensional. Selain dari segi produksi, harga GKP (Gabah Kering Panen) padi SRI lebih tinggi dibandingkan dengan harga jual GKP padi konvensional. Untuk harga jual GKP padi SRI sebesar Rp 2.800,00/kg, sedangkan harga jual GKP padi konvensional sebesar Rp 2.500,00/kg. Berdasarkan hasil penelitian dapat diketahui bahwa rata-rata penerimaan total usaha tani padi sawah dengan menggunakan metode SRI lebih besar dari rata-rata penerimaan total usaha tani padi konvensional.
26
III. KERANGKA PEMIKIRAN
Produksi dan produktivitas pertanian sangat bergantung pada input atau faktor produksi yang digunakan. Ketersediaan faktor produksi ini harus selalu dijaga keberadaannya agar aktivitas produksi pertanian tetap dapat dilaksanakan, bahkan meningkatkan produksi pertanian. Salah satu faktor produksi yang harus dijaga ketersediaannya yaitu air. Air merupakan input yang paling penting dalam aktivitas produksi pertanian, dimana air berfungsi sebagai sarana pengairan terhadap lahan pertanian yang dapat menyuburkan lahan tersebut. Oleh karena itu, perlu diadakan upaya untuk menjaga ketersediaan air agar ketika musim kemarau supply air masih dapat diberikan kepada lahan-lahan pertanian sehingga aktivitas pertanian tidak mengalami kekeringan. Upaya yang dapat dilakukan untuk menjaga ketersediaan air tersebut, yaitu dengan pembangunan bendung sebagai sarana irigasi untuk mengairi lahan-lahan pertanian. Di Bogor terdapat Bendung Katulampa yang telah berdiri sejak tahun 1911 yang terdapat di Kecamatan Bogor Timur. Fungsi utama dari Bendung Katulampa yaitu sebagai sarana irigasi untuk lahan-lahan pertanian di sekitar Kabupaten dan Kota Bogor serta Kota Depok. Keberadaan sistem irigasi sebagai sarana pengairan untuk lahan pertanian memupuk terbentuknya organisasi Perkumpulan Petani Pemakai Air (P3A) yang mampu menangani tugas-tugas keirigasian sesuai dengan situasi dan kondisi daerah setempat. Salah satu organisasi P3A yang terdapat di Kota Bogor yaitu berada di Kelurahan Katulampa, Kecamatan Bogor Timur. Organisasi ini memiliki lokasi yang dekat dengan Bendung Katulampa, sehingga pemenuhan dan pengawasan kebutuhan air
27
untuk sarana irigasi lahan petani di lingkungan sekitar Kelurahan Katulampa teraliri dengan baik. Berbeda dengan petani P3A Kelurahan Katulampa, petani di Desa Muarajaya yang tidak tergabung ke dalam organisasi P3A mendapatkan aliran irigasi untuk lahan pertanian yang berasal dari mata air Ciburial. Pengawasan dan pemenuhan kebutuhan air irigasi untuk petani Desa Muarajaya kurang efektif karena tidak diatur oleh kelembagaan organisasi P3A. Dalam tahapan perkembangannya, organisasi ini diharapkan dapat menjadi suatu organisasi yang mampu menyediakan sarana produksi pertanian dan berperan dalam perkembangan dan pengelolaan sistem irigasi yang lebih baik. Air merupakan salah satu faktor produksi pertanian yang paling penting keberadaan dan fungsinya. Dalam penelitian ini, akan dilihat faktor-faktor produksi apa saja yang berpengaruh nyata terhadap aktivitas produksi pertanian, dan bagaimana pengaruh air sebagai input pertanian dalam upaya meningkatkan produksi, produktivitas, dan pendapatan usahatani. Analisis yang digunakan untuk melihat sejauh mana faktor-faktor produksi berpengaruh nyata terhadap pertanian yaitu menggunakan analisis regresi berganda (fungsi Cobb Douglas). Analisis faktor
produksi
selanjutnya
dilihat
dengan
membandingkan
produksi,
produktivitas, dan pendapatan petani anggota P3A dengan petani non anggota P3A. Biaya dan penerimaan dari masing-masing petani dianalisis menggunakan pendekatan R/C (Return/Cost) untuk mengetahui apakah kedua kondisi petani tersebut menguntungkan secara ekonomi dan efisien dalam penggunaan biaya produksi. Secara rinci kerangka penelitian dapat dilihat pada Gambar 2.
28
Kebutuhan akan sumberdaya air untuk pertanian
Irigasi Petani Non Anggota Perkumpulan Petani Pemakai Air (P3A)
Petani Anggota Perkumpulan Petani Pemakai Air (P3A)
Identifikasi Karakteristik Petani Anggota P3A dan Non P3A (Analisis Deskriptif)
Analisis Faktor Produksi Pertanian
Faktor-faktor Berpengaruh Terhadap Produksi Padi
Efisiensi Faktor Produksi
Pengelolaan Usahatani Padi Optimal
Gambar 2. Kerangka Pemikiran Penelitian
Analisis Pendapatan Usahatani
29
IV. METODOLOGI PENELITIAN
4.1
Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan terhadap petani yang tergabung dalam Perkumpulan
Petani Pemakai Air (P3A) di Kelurahan Katulampa, Kecamatan Bogor Timur, Kota Bogor, dan petani-petani non anggota P3A di Kelurahan Muarajaya, Kecamatan Caringin, Kabupaten Bogor. Lokasi penelitian dipilih secara sengaja (purposive) dengan mempertimbangkan bahwa petani anggota P3A Kelurahan Katulampa merupakan perkumpulan petani yang posisinya paling dekat dengan proyek irigasi Bendung Katulampa, sehingga segala dampak yang dihasilkan dari proyek tersebut dapat dirasakan langsung oleh masyarakat. Penelitian ini terbagi ke dalam beberapa tahap. Tahap pertama, merupakan proses pengamatan masalah di lapangan, perumusan masalah, pengembangan kerangka berpikir, hingga penyusunan proposal. Pra penelitian ini dilakukan pada bulan Februari hingga bulan Maret 2012. Selanjutnya, penelitian dan pengambilan data dilakukan pada bulan Mei hingga Juni 2012. Proses pengolahan data dan penyusunan skripsi dilakukan hingga bulan Maret 2013.
4.2
Metode Penelitian Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode survei.
Pengertian survei dibatasi pada pengertian survei sample dimana informasi dikumpulkan dari sebagian populasi untuk mewakili populasi tersebut. Informasi diperoleh berdasarkan jawaban atas kuesioner dan wawancara yang diberikan kepada responden.
30
4.3
Jenis dan Sumber Data Data yang dikumpulkan dan digunakan dalam penelitian ini adalah data
primer dan data sekunder. Menurut Siagian dan Sugiarto (2000), data primer merupakan data yang didapat dari sumber pertama, misalnya dari individu atau perseorangan, seperti hasil wawancara atau pengisian kuesioner. Data sekunder merupakan data primer yang telah diolah lebih lanjut dan disajikan oleh pengumpul data primer. Pada umumnya data sekunder disajikan dalam bentuk tabel atau diagram. Data sekunder digunakan oleh peneliti untuk memberikan gambaran tambahan, gambaran pelengkap, ataupun untuk diproses lebih lanjut. Dalam penelititan ini, data primer diperoleh dengan menggunakan metode observasi langsung ke lokasi penelitian dengan melakukan wawancara kepada para petani anggota Perkumpulan Petani Pemakai Air (P3A) dan petani non P3A. Wawancara tersebut dibantu dengan daftar-daftar pertanyaan berupa kuesioner tentang penelitian terkait agar responden mampu menjawab pertanyaanpertanyaan dengan baik dan dengan sebenar-benarnya. Pengumpulan data sekunder dikumpulkan melalui literatur yang diperoleh dari instansi terkait yaitu Balai Pengelolaan Sumberdaya Air (BPSDA) Kota Bogor, Dinas Pertanian, dan Badan Pusat Statistik (BPS), perpustakaan, internet, serta berbagai penelitian terdahulu yang terkait dengan penelitian ini.
4.4
Metode Pengambilan Contoh Sample atau contoh ialah sebagian dari populasi yang dianggap mewakili
populasi. Teknik pengambilan sample dalam penelitian ini menggunakan teknik non-probability sampling method atau pengambilan contoh secara tidak acak. Pengambilan contoh selanjutnya dilakukan dengan purposive sampling dimana
31
responden dipilih secara sengaja atau dengan kata lain responden dipilih berdasarkan kriteria tertentu, yaitu petani yang menjadi responden penelitian adalah petani anggota P3A dan non P3A, serta kedua kelompok petani merupakan petani padi anorganik. Tabel 4 menunjukkan jumlah sample petani P3A (Kota Bogor) dan non P3A (Kabupaten Bogor). Tabel 4. Jumlah Sample Petani P3A (Kota Bogor) dan Non P3A (Kabupaten Bogor) No. 1. 2.
Petani P3A (Kota Bogor) Non P3A (Kabupaten Bogor) Jumlah
Jumlah Populasi (orang) 25 52 77
Jumlah Sample (orang) 25 30 55
Sumber: Analisis Data (2012) Tabel 4 menunjukkan bawa total responden dalam penelitian ini berjumlah 55 orang yang terdiri dari 25 petani yang tergabung ke dalam organisasi Perkumpulan Petani Pemakai Air (P3A) di Kelurahan Katulampa, Kecamatan Bogor Timur, Kota Bogor dan 30 petani yang tidak tergabung dalam Perkumpulan Petani Pemakai Air (P3A) di Desa Muarajaya, Kecamatan Caringin, Kabupaten Bogor. Data primer diperoleh dari wawancara kepada petani dengan mengajukan kuesioner yang berisi pertanyaan terstruktur sesuai dengan tujuan studi.
4.5
Metode Analisis Data Analisis yang dilakukan secara kuantitatif dan kualitatif. Pengolahan data
secara kualitatif dilakukan secara deskriptif dari hasil wawancara dengan responden. Analisis kuantitatif dilakukan untuk mengetahui besarnya produksi dan produktivitas pertanian, serta tingkat pendapatan petani anggota P3A dan petani non anggota P3A. Proses pengolahan data dilakukan dengan menggunakan bantuan perangkat lunak antara lain Microsoft Office Word 2007, Microsoft Office Excell 2007 dan Minitab 15.
32
4.5.1 Fungsi Produksi Fungsi produksi merupakan suatu fungsi yang menunjukkan hubungan teknis antara hasil produksi fisik (output) dengan faktor-faktor produksi (input). Dikenal juga dengan istilah Factor Relationship (FR). Dalam bentuk matematika sederhana, hubungan ini dituliskan sebagai berikut: Y = f(x1, x2, x3, x4, x5) ................................................................... (4.1) Keterangan: Y
: Hasil produksi padi (kg)
x1
: Pupuk (kg)
x2
: Benih (kg)
x3
: Air (m3)
x4
: Tenaga kerja (HOK)
x5
: Pestisida (ml, kg, sachet)
Berdasarkan persamaan matematis tersebut, petani dapat melakukan tindakan yang mampu meningkatkan produksi (Y) dengan dua cara: 1. Menambah jumlah salah satu dari input yang digunakan. 2. Menambah jumlah beberapa input (lebih dari satu) dari input yang digunakan. 4.5.2 Konsep Produktivitas Suatu kegiatan yang mengolah atau mengubah suatu bentuk barang menjadi bentuk yang lainnya, dikatakan sebagai kegiatan produksi (Kaunang, 2006). Barang-barang yang digunakan untuk memproduksi bentuk barang yang lain disebut sebagai input produksi, sedangkan barang-barang yang dihasilkan dari aktivitas produksi disebut sebagai output produksi. Pengertian produktivitas dikemukakan dengan menunjukkan rasio output terhadap input. Input dapat mencakup biaya produksi dan peralatan. Sedangkan output bisa terdiri dari penjualan, pendapatan, market share, dan kerusakan.
33
Produktivitas tidak sama dengan produksi, tetapi produksi merupakan komponen dari usaha produktivitas. 1 Y* =
Y L
................................................................. (4.2)
Keterangan: Y*
: Produktivitas gabah kering panen (kg/ha)
Y
: Total produksi padi (kg)
L
: Luas lahan sawah (ha)
4.5.3 Fungsi Cobb-Douglas Fungsi Cobb-Douglas adalah suatu fungsi atau persamaan yang melibatkan dua atau lebih variabel (variabel bebas atau independent variable dan variabel tak bebas atau dependent variable) (Soekartawi, 2002). Secara matematik, fungsi Cobb-Douglas dapat ditulis sebagai berikut. Y = aX1b1X2b2X3b3X4b4eε .................................................................. (4.3) Keterangan: Y
: Produksi padi (kg)
a
: Intercept/konstanta
b1-b4
: Koefisien arah regresi masing-masing variabel bebas
X1
: Benih (kg)
X2
: Pupuk (kg)
X3
: Tenaga kerja (HOK)
X4
: Air (m3)
e
: Logaritma natural, e = 2,718
ε
: Kesalahan (error) Untuk menaksir parameter-parameter pada persamaan (4.3), persamaan
tersebut harus ditransformasikan dalam bentuk double logaritme natural (ln)
1
http://file2shared.wordpress.com/analisis_produktivitas/ (diakses pada tanggal 1 maret 2012)
34
sehingga merupakan bentuk linear berganda (multiple linear) yang kemudian dianalisi dengan metode kuadrat terkecil (ordinary least square). Model regresi berganda merupakan salah satu model yang terdapat dalam ilmu ekonometrika. Model ini mambahas asumsi bahwa peubah tak bebas (respons) Y merupakan fungsi linear dari beberapa peubah bebas X1, X2, …, Xn, dan komponen sisaan ε (error) (Juanda, 2009). Model akan diuji berdasarkan hipotetsis yang diajukan. Sesudah melakukan pendugaan parameter koefisien regresi, kesesuaian model dengan kriteria statistik dapat dilakukan dengan melihat hasil uji F, uji t, dan koefisien determinan (R2). Berdasarkan persamaan (4.3), dapat diperoleh fungsi linear berganda sebagai berikut: Ln Y = Ln a + b1 Ln X1 + b2 Ln X2 + b3 Ln X3 + b4 Ln X4 + ε ......... (4.4) Keterangan: Y
: Produksi padi (kg)
a
: Intercept/konstanta
b1-b4
: Koefisien arah regresi masing-masing variabel bebas
X1
: Benih (kg)
X2
: Pupuk (kg)
X3
: Tenaga kerja (HOK)
X4
: Air (m3)
ε
: Kesalahan (error) Persamaan (4.4) menunjukkan bahwa nilai b1, b2, b3, dan b4 memiliki nilai
tetap walaupun variabel yang terlibat telah dilogaritmakan. Hal ini dapat dimengerti karena b1, b2, b3, dan b4 pada fungsi Cobb-Douglas sekaligus menunjukkan elastisitas variabel bebas terhadap variabel tak bebasnya.
35
4.5.4 Pengujian Parameter Menurut Sapta (2009), suatu model akan diuji berdasarkan hipotetsis yang diajukan. Pengujian hipotesis berdasarkan statistik bertujuan untuk melihat nyata atau tidaknya variabel-variabel bebas yang dipilih terhadap variabel tak bebas. Pengujian ini menggunakan nilai-P (P-value). Bedasarkan nilai-P, dapat diketahui berapa persen variabel-variabel bebas mempengaruhi variabel tak bebas. Setelah melakukan pendugaan parameter koefisien regresi, selanjutnya harus diuji terlebih dahulu asumsi-asumsi dari model regresi tersebut sebelum melakukan pengujian model secara keseluruhan (uji-F) dan pengujian mengenai masing-masing koefisien regresi (uji-t). 4.5.5 Uji Koefisien Determinasi Firdaus (2004) menyatakan bahwa dalam hal hubungan dua atau lebih variabel, koefisien determinasi (r2) mengukur tingkat ketepatan/kecocokan (goodness of fit) dari regresi linear sederhana, yaitu merupakan presentase sumbangan X terhadap variasi (naik-turunnya) Y. Pengertian tersebut dapat diperluas untuk regresi linear berganda. Pada regresi linera berganda, besarnya persentase sumbangan X terhadap variasi Y disebut koefisien determinasi berganda (multiple coefficient of correlation) dengan simbol R2. R2 =
Jumlah Kuadrat Regresi (JKR) Jumlah Kuadrat Total (JKT)
..................................... (4.5)
Seperti halnya r2 maka R2 nilainya antara nol dan satu: 0 ≤ R2 ≤ 1. 4.5.6 Uji Statistik F Pengujian ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh variabel secara bersama-sama terhadap variabel tak bebasnya. Formula pengujiannya antara lain:
36
H0 : β1 = β2 = β3 = …. = βk = 0 H1 : β1 = β2 = β3 = …. = βk ≠ 0 KTR Fhit =
................................................................................. (4.6)
KTG
Keterangan: KTR
: Kuadrat tengah regresi
KTG : Kuadrat tengah galat
Jika F < Fhit tabel, maka H0 diterima, artinya variabel secara serentak tidak berpengaruh nyata terhadap variabel tak bebasnya.
Jika F > Fhit tabel, maka H0 ditolak, artinya variabel secara serentak berpengaruh nyata terhapad variabel tidak bebasnya.
4.5.7 Uji Statistik t Uji statistik t dilakukan untuk mengetahui seberapa besar masing-masing variable bebas mempengaruhi variable tak bebasnya. Prosedur pengujiannya adalah sebagai berikut: thitung =
b-B Se(b)
.................................................................... (4.7)
Nilai t-hitung yang diperoleh kemudian dibandingkan dengan t tabel. Jika t < - tα/2 atau t > tα/2, tolak H0. Jika - tα/2 ≤ t ≤ tα/2, terima H0, dengan asumsi: H0 : βi = 0, artinya variable bebas tidak berpengaruh nyata terhadap variable tak bebasnya. H1 : βi ≠ 0, artinya berpengaruh nyata terhadap variable tak bebasnya. 4.5.8 Uji Kolinearitas Ganda (Multicollinearity) Menurut Juanda (2009), salah satu asumsi dari model regresi ganda adalah bahwa tidak ada hubungan linear sempurna antar peubah bebas dalam model tersebut. Jika hubungan tersebut ada, maka dapat dikatakan bahwa dalam model
37
tersebut terdapat multikolinearitas. Deteksi adanya multikolinearitas dalam sebuah model dapat dilakukan dengan membadingkan besarnya nilai koefisien determinasi (R2) dengan koefisien determinasi parsial antar dua peubah bebas (r 2). Kolinear ganda dapat dianggap tidak masalah apabila koefisien determinasi parsial antar dua peubah bebas tidak melebihi nilai koefisien determinasi atau koefisien korelasi berganda antar semua peubah secara simultan. Namun multikolinearitas dianggap sebagai masalah serius jika koefisien determinasi parsial antar dua peubah bebas melebihi atau sama dengan nilai koefisien determinasi atau koefisien korelasi berganda antar semua peubah secara simultan. 1 VIF =
1 – Rj2
.......................................................................... (4.8)
Keterangan : VIF
: Variance Inflation Factor
Rj2
: Koefisien determinasi
Masalah multicollinearity juga dapat dilihat langsung melalui output komputer, dimana jika nilai VIF < 10 maka tidak ada masalah multicollinearity. 4.5.9 Uji Heteroskedastisitas Salah satu asumsi yang penting dalam model regresi linear klasik adalah bahwa kesalahan pengganggu εi mempunyai varian yang sama, artinya Var (εi) = E(εi2) = σ2 untuk semua i, i = 1, 2, …n. Asumsi ini disebut sebagai homoskedastisitas (homoscedastic) (Supranto, 2004). Model yang tidak memenuhi
asumsi
tersebut
dapat
dikatakan
memiliki
penyimpangan.
Penyimpangan terhadap faktor pengganggu sedemikian itu disebut dengan heteroskedastisitas (heteroscedasticity) (Firdaus, 2004), statistik ujinya adalah:
38
Fhit =
JKR1 ................................................................................. (4.9) JKR2
Keterangan:
Jumlah kuadrat regresi dari regresi anak contoh pertama dikonotasikan (JKR1).
Jumlah kuadrat regresi dari regresi anak contoh kedua dikonotasikan (JKR2) Jika tidak ada masalah heteroskedastisitas maka nilai F-hitung akan
menuju 1. Masalah heteroskedastisitas masih dapat ditolerir jika F-hitung < F table dengan derajat bebas v1 = v2 = (n-c-2k)/2 dimana n adalah jumlah contoh, c adalah jumlah contoh pemisah, dan k adalah jumlah parameter yang diduga. 4.5.10 Uji Autokorelasi Autokorelasi adalah korelasi antar anggota seri observasi yang disusun menurut urutan waktu (cross-section), atau korelasi pada dirinya sendiri (Supranto, 2004). Autokorelasi dapat terjadi apabila terdapat bias spesifikasi yaitu adanya variabel penting yang tidak dimasukkan ke dalam model. Konsekuensi autokorelasi adalah signifikansi, yang artinya uji F dan uji t menjadi kurang kuat dan taksiran terlalu rendah. Pendeteksian autokorelasi dapat dilakukan dengan metode grafik dan uji Durbin-Watson (uji DW). Nilai statisktik DW berada pada kisaran nilai 0 sampai 4. Jika nilainya mendekati 2 maka menunjukkan tidak ada autokorelasi ordo kesatu, dan jika nilai DW lebih atau kurang dari 2 maka terdapat autokorelasi. Tabel 5 yang menunjukkan distribusi nilai DW dimana nilai tersebut telah disusun oleh Durbin Watson untuk derajat keyakinan 95% dan 99%. Tabel 5. Selang Nilai Statistik Durbin-Watson serta Keputusannya Nilai Durbin-Watson DW < 1,10 1,10 < DW < 1,54 1,55 < DW < 2,46 2,46 < DW < 2,90 DW > 2,91
Sumber: Firdaus (2004)
Kesimpulan Ada autokorelasi Tanpa kesimpulan Tidak ada autokorelasi Tanpa kesimpulan Ada autokorelsi
39
4.5.11 Analisis Efisiensi Faktor-Faktor Produksi Efisiensi ekonomi mengacu pada kombinasi penggunaan input untuk memaksimumkan tujuan individu maupun sosial. Efisiensi ekonomi didefinisikan dalam dua syarat, yaitu syarat keharusan (necessary condition) dan syarat kecukupan (sufficient condition) (Doll dan Orazem, 1984). Syarat keharusan bagi penentuan efisiensi ekonomi dan tingkat produksi optimum adalah saat keuntungan maksimum yaitu turunan pertama fungsi keuntungan sama dengan nol. Syarat efisiensi ekonomi dapat dipenuhi jika produsen berproduksi pada daerah II, yaitu pada saat elastisitas produksinya bernilai antara nol dan satu (0 < Ep > 1). Penggunaan faktor produksi pada tingkat tertentu di daerah ini akan memberikan keuntungan maksimum. Syarat kecukupan dapat terjadi jika keuntungan maksimum pada syarat keharusan dapat dipertahankan, maka keuntungan tersebut akan selalu maksimum. Syarat ini dapat terpenuhi jika turunan kedua pada fungsi keuntungan bernilai negatif. Usahatani akan mencapai efisiensi ekonomi jika keuntungan maksimum tercapai. Syarat untuk mencapai keuntungan maksimum adalah turunan pertama fungsi keuntungan terhadap masing-masing faktor produksi sama dengan nol. Fungsi keuntungan yang diperoleh usahatani dapat dinyatakan sebagai berikut. π = Py · Y – ( Px · X + TFC ) ........................................................... (4.10) Keterangan: π
: Pendapatan usahatani (Rp)
Px
: Harga input (Rp)
X
: Jumlah input (kg, ml, sachet, HOK, m3)
TFC
: Total Fix Cost (biaya tetap total) (Rp)
Py
: Harga persatuan produksi padi (Rp)
Y
: Jumlah produksi padi (kg)
40
Guna memenuhi syarat tercapai keuntungan maksimum, maka turunan pertama fungsi keuntungan tersebut adalah: dπ dX
= Py
dY
– Px = 0
dX
........................................................ (4.11)
Py·MPP – Px = 0 ............................................................................. (4.12) NPMx = Px ...................................................................................... (4.13) Keterangan: MPP
: Marginal Physical Product (produk fisik marjinal)
NPM : Nilai Produk Marjinal Dalam banyak kenyataan, NPMx tidak selalu sama dengan Px, yang sering terjadi adalah NPMx/Px > 1. Artinya penggunaan input x belum efisien. Untuk mencapai efisien, input x perlu ditambah. Selanjutnya, NPMx/Px < 1, artinya penggunaan input x tidak efisien. Untuk mencapai efisien, input x 1perlu dikurangi. Jika NPMx/Px = 1, artinya penggunaan input x sudah efisien dan diperoleh keuntungan maksimal (Rahim dan Hastuti, 2007). Nilai Produk Marjinal (NPM) dapat dihitung dengan rumus: Y NPM = bi
Py
........................................................................ (4.14)
Xi keterangan: NPM : Nilai Produk Marjinal input ke-i bi
: Koefisien regresi dari input ke-i
Y
: Produksi padi (kg)
Xi
: Input ke-i (kg, ml, sachet, HOK, m3)
Py
: Harga persatuan produksi padi (Rp)
Berdasarkan persamaan NPM di atas, maka dapat diketahui input optimal (Xi*) dengan rumus: Ῡ Xi* = bi PXi
Py ................................................................. (4.15)
41
keterangan: Xi*
: input optimal ke-i (kg, ml, sachet, HOK, m3)
Ῡ
: produksi padi rata-rata (kg)
bi
: koefisien regresi dari input ke-i
4.5.12 Analisis Pendapatan Usahatani adalah suatu kegiatan ekonomi yang ditujukan untuk menghasilkan output (penerimaan) dengan input fisik, tenaga kerja, dan modal dalam proses produksinya. Penerimaan total usahatani merupakan hasil produksi dikalikan dengan harga per satuan produksi tersebut. Sedangkan pengeluaran total usahatani merupakan semua nilai yang dikeluarkan dalam melakukan proses produksi. Perbedaan antara penerimaan dan pengeluaran inilah yang disebut dengan pendapatan (Nicholson, 1995). Formulasi pendapatan usahatani yang lebih jelas, dapat dilihat sebagai berikut. π = TR - TC = (Py · Y) – (Px · X) ................................................... (4.16) Keterangan: π
: Tingkat pendapatan usahatani (Rp)
TR
: Total penerimaan usahatani (Rp)
TC
: Total pengeluaran usahatani (Rp)
Py
: Harga persatuan produksi padi (Rp)
Y
: Jumlah produksi padi (kg)
Px
: Harga input (Rp)
X
: Jumlah input (kg, ml, sachet, HOK, m3)
4.5.13 Return Cost Ratio R/C adalah singkatan dari Return Cost Ratio, atau dikenal sebagai perbandingan (nisbah) antara penerimaan dan biaya (Soekartawi, 1995). Secara matematika, hal ini dapat dituliskan sebagai berikut:
42
r=
R ........................................................................................ (4.17) C
Dimana: R
: Py · Y
C
: TFC + TVC
r
: Return cost ratio
R
: Penerimaan (Rp)
C
: Biaya (Rp)
Py
: Harga persatuan produksi padi (Rp)
Y
: Jumlah produksi padi (kg)
TFC
: Biaya tetap total (Total Fixed Cost)
TVC : Biaya variabel total (Total Variable Cost) Secara teoritis, usahatani dikatakan menguntungkan jika R/C > 1, dan merugikan jika R/C < 1. Namun, dengan rasio R/C = 1 artinya suatu usahatani mengalami Break Even Point (BEP) atau mencapai titik impas, dimana usahatani tersebut tidak menguntungkan, tidak pula merugikan.
4. 6
Batasan Penelitian
1. Petani yang menjadi sample yaitu petani padi anorganik anggota P3A dan non P3A. 2. Produksi padi dalam penelitian ini merupakan Gabah Kering Panen (GKP). 3. Status kepemilikan lahan petani P3A dan non P3A adalah sewa lahan (petani penggarap). 4. Penerapan teknik budidaya petani dalam satu kelompok usahatani relatif sama. 5. Satuan input produksi yang digunakan yaitu benih (kg), pupuk (kg), pestisida (ml, kg, dan sachet), tenaga kerja (HOK), dan air (m3). 6. Ukuran tenaga kerja dinyatakan dalam Hari Orang Kerja (HOK). Standarisasi koefisien pembanding antara tenaga kerja wanita dengan tenaga laki-laki yaitu
43
dengan membandingkan besar kecilnya upah tenaga kerja. Koefisien pembanding untuk tenaga kerja laki-laki yaitu 1, sedangkan koefisien pembanding untuk tenaga kerja wanita yaitu perbandingan antara upah yang diterima oleh tenaga kerja wanita dibagi dengan upah yang diterima oleh tenaga kerja laki-laki. 7. Petani P3A di Desa Katulampa menggunakan air irigasi dari Bendung Katulampa sebagai input produksi usahataninya, sedangkan petani non P3A di Desa Muarajaya menggunakan air irigasi dari mata air Ciburial. 8. Harga satuan air irigasi untuk petani P3A yaitu menggunakan harga air PDAM Tirta Pakuan sebesar Rp 5.000/m3, sedangkan harga air irigasi untuk petani non P3A ditentukan oleh pengurus irigasi setempat disesuaikan dengan luas lahan yang dikelola oleh petani. 9. Masa tanam yang menjadi fokus penelitian yaitu periode Januari – Mei 2012. 10. Analisis fungsi produksi yang digunakan yaitu analisis fungsi produksi CobbDouglas dengan faktor produksi benih, pupuk, tenaga kerja, dan air. 11. Jumlah penggunaan input dan pengeluaran tunai usahatani dihitung per musim tanam. 12. Analisis pendapatan petani P3A dan non P3A (biaya, penerimaan, dan pendapatan usahatani) dihitung per tahun. 13. Metode analisis biaya dan manfaat yang digunakan khusus return cost ratio (R/C).
44
V. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN
5.1
Profil Desa Katulampa Katulampa merupakan salah satu kelurahan yang tedapat di Kecamatan
Bogor Timur, Kota Bogor yang memiliki ketinggian tanah 500 m diatas permukaan laut. Wilayah ini memiliki luas 491 ha dengan orbitasi (jarak dari pusat pemerintahan) sebagai berikut. -
Jarak dari pusat pemerintahan kecamatan
: 3 Km
-
Jarak dari pemerintah kota
: 7 Km
-
Jarak dari ibukota provinsi
: 120 Km
-
Jarak dari ibukota negara
: 60 Km
Secara administratif batas wilayah Desa Katulampa dapat dilihat sebagai berikut. -
Sebelah utara
: Kelurahan Cimahpar
-
Sebelah selatan
: Kelurahan Tajur
-
Sebelah barat
: Kelurahan Baranang Siang
-
Sebelah timur
: Kelurahan Sukaraja
Total penduduk Desa Katulampa yaitu 28.711 orang dengan komposisi laki-laki 14.621 orang dan perempuan 14.090 orang. Berdasarkan tingkat pendidikan, terdapat 1.978 orang menempuh jenjang pendidikan pada tingkat taman kanak-kanak, 4.613 orang menempuh jenjang pendidikan sekolah dasar, 5.279 orang menempuh jenjang pendidikan sekolah menengah pertama, 6.716 orang menempuh jenjang pendidikan sekolah mengengah atas, 2.686 orang menempuh pendidikan akademi, dan 2.439 orang menempuh jenjang pendidikan
45
sarjana (S1-S3). Sebaran penduduk Desa Katulampa berdasarkan mata pencaharian dapat dilihat pada Tabel 6. Tabel 6. Sebaran Penduduk Pencaharian No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Desa
Jenis Mata Pencaharian Pegawai Negeri Sipil TNI Polri Swasta/BUMN/BUMD Wiraswasta/pedagang Tani Pertukangan Buruh Tani Pensiunan Jasa/lain-lain Total
Katulampa
Jumlah (orang) 1.976 47 19 2.459 2.711 611 3.892 1.416 971 14.102
Berdasarkan
Mata
Persentase (%) 14,01 0,33 0,13 17,44 19,22 4,33 27,56 10,04 6,88 100
Sumber : Kelurahan Katulampa (2011) Tabel 6 menunjukkan bahwa mata pencaharian penduduk Desa Katulampa sebagian besar berprofesi di bidang pertukangan, pegawai swasta/BUMN/BUMD, dan wiraswasta/pedagang. Penduduk dengan mata pencaharian di bidang pertanian, baik petani maupun buruh tani memiliki jumlah yang tidak terlalu banyak dalam sebaran penduduk Desa Katulampa berdasarkan mata pencaharian. Hal ini perlu diperhatikan oleh penduduk sekitar mengenai kesadaran terhadap ketahanan pangan khususnya untuk daerah Kota Bogor. PDRB Kota Bogor menunjukkan bahwa sektor pertanian merupakan kontributor PDRB terendah kedua setelah pertambangan, sehingga perlu adanya peningkatan kualitas dan kuantitas produksi usahatani.
5.2
Profil Desa Muarajaya Desa Muarajaya merupakan salah satu desa di wilayah Kecamatan
Caringin, Kabupaten Bogor dengan luas 127 ha. Ketinggian desa Muarajaya
46
berada pada 350 – 400 meter diatas permukaan laut dan curah hujan rata-rata 300 mm. desa Muarajaya terbagi kedalam dua Dusun, 5 Rukun Warga (RW), dan 20 Rukun Tetangga (RT). Batas Desa Muarajaya adalah sebagai berikut: -
Sebelah Utara
: Desa Caringin
-
Sebelah Selatan
: Desa Ciburuy, Kecamatan Cigombong
-
Sebelah Barat
: Desa Ciadeg, Kecamatan Cigombong
-
Sebelah Timur
: Desa Pasir Muncang/Desa Cinagara
Jumlah penduduk Desa Muarajaya sampai akhir bulan Desember 2011 tercatat sebanyak 4.737 jiwa dengan komposisi laki-laki sebanyak 2.361 orang, dan wanita sebanyak 2.366 orang. Berdasarkan tingkat pendidikan, terdapat 185 orang tidak menempuh jenjang pendidikan taman kanak-kanak, 1.230 orang menempuh jenjang pendidikan sekolah dasar, 1.057 orang menempuh pendidikan sekolah menengah pertama, 445 orang menempuh pendidikan sekolah mengengah atas, 95 orang menempuh pendidikan Diploma, dan 60 orang menempuh jenjang pendidikan sarjana (S1-S3). Sebaran penduduk Desa Muarajaya berdasarkan mata pencaharian dapat dilihat pada Tabel 7. Tabel 7. Sebaran Penduduk Pencaharian No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Desa
Jenis Mata Pencaharian Pegawai Negeri Sipil TNI Polri Swasta/BUMN/BUMD Wiraswasta Tani Pedagang Buruh Tani Tukang Ojeg Lain-lain Total
Sumber : Kelurahan Muarajaya (2011)
Muarajaya
Jumlah (orang) 31 3 3 370 508 150 147 90 150 957 2.409
Berdasarkan Persentase (%) 1,29 0,12 0,12 15,36 21,09 6,23 6,10 3,74 6,23 39,73 100
Mata
47
Tabel 7 menunjukkan bahwa sebagian besar penduduk Desa Muarajaya memiliki
mata
pencaharian
sebagai
wiraswasta
dan
pegawai
swasta/BUMN/BUMD. Penduduk dengan mata pencaharian di bidang pertanian, baik petani maupun buruh tani memiliki jumlah yang tidak terlalu banyak dalam sebaran penduduk Desa Muarajaya berdasarkan mata pencaharian. Hal ini perlu diperhatikan oleh penduduk sekitar mengenai kesadaran terhadap ketahanan pangan khususnya untuk daerah Kabupaten Bogor. Berdasarkan PDRB Kabupaten Bogor, sektor pertanian menjadi salah satu kontibutor PDRB Kabupaten Bogor terbesar ketiga setelah sektor industri pengolahan dan perdagangan, hotel, serta restoran, sehingga untuk mempertahankan bahkan meningkatkan kontribusi sektor pertanian terhadap PDRB Kabupaten Bogor perlu adanya peningkatan kualitas dan kuantitas produksi pertanian.
5.3
Profil Bendung Katulampa Seiring dengan pesatnya perkembangan area pemukiman di kawasan
perkotaan dan kabupaten umumnya di Propvinsi Jawa Barat menjadi kendala bagi area irigasi yang lokasinya berada di daerah yang dilalui jalan raya provinsi. Hal ini menyebabkan banyak area beralih fungsi dari area irigasi menjadi area pemukiman dan industri, sehingga alokasi air irigasi terbagi tidak untuk pertanian saja namun untuk pemukiman dan sektor industri. Untuk mengatasi hal tersebut, Pemerintah Daerah Provinsi Jawa Barat melalui Dinas PSDA berusaha membuat suatu rencana sistem alokasi air sesuai dengan keperluannya seperti untuk irigasi, penggelontoran industri, dan air baku. Salah satu area irigasi yang perencanaannya akan dilaksanakan pada tahun anggaran 2004 adalah daerah irigasi Ciliwung - Katulampa. Semua area irigasi
48
Ciliwung - Katulampa ini mempunyai 4.354 ha. Namun seiring pesatnya pembangunan pemukiman dan industri, luas daerah pertanian yang dialiri sistem irigasi Bendung Katulampa sebesar 449 Ha, yang teridiri dari 139 Ha untuk Kota Bogor, 122 Ha untuk Kabupaten Bogor, 72 Ha untuk Kota Depok, dan lain-lain sebesar 116 Ha (Dinas Pengelolaan Sumberdaya Air, 2011). Secara geografis Bendung Katulampa berada pada koordinat 06˚38’00” LS – 106˚50’07” BT, sedangkan daerah irigasinya terletak antara 06˚21’30” – 06˚38’00” LS dan 106˚48’30” – 106˚53’30” BT. Secara administratif lokasi Bendung Katulampa berada di Kecamatan Bogor Timur, Kota Bogor, Provinsi Jawa Barat. Maksud dan tujuan dari pekerjaan/proyek ini adalah untuk memberikan gambaran yang jelas tentang pengalokasian air dan mengupayakan pemanfaatan sumber air yang jumlahnya terbatas untuk berbagai keperluan sesuai prioritasnya. Sedangkan tujuannya adalah mempersiapkan kegiatan alokasi air secara menyeluruh dan dapat terlaksana secara optimal dengan baik. Penggunaan air sungai Ciliwung ini digunakan untuk daerah irigasi Ciliwung-Katulampa yaitu untuk irigasi lahan pertanian, aliran untuk kolam ikan, air baku untuk industri, serta air baku untuk Kebun Raya Bogor dan Istana Bogor. Kondisi iklim daerah irigasi Ciliwung-Katulampa umumnya dipengaruhi topografi dan elevasi. Data klimatologi menggunakan data dari Pos Pengamatan Klimatologi Darmaga, Bogor. Curah hujan berkisar antara 3.500-5.000 mm/tahun, temperatur udara rata-rata berkisar antara 17 sampai dengan 35˚C.
49
VI. HASIL DAN PEMBAHASAN
6.1
Identifikasi Karakteristik Petani Padi Anggota P3A dan Non P3A Identifikasi karakteristik petani padi anggota P3A dan no P3A dianalisis
berdasarkan karakteristik sosial ekonomi, karakteristik usahatani, dan karakteristik tenaga kerja lokal. Identifikasi ini dilakukan untuk mengetahui lebih lanjut mengenai perbedaan sosial ekonomi, budidaya usahatani, dan tenaga kerja lokal yang digunakan oleh petani anggota P3A dan non P3A. 6.1.1 Karakteristik Sosial Ekonomi Petani Padi Anggota P3A dan Non P3A Petani responden dalam penelitian ini yaitu petani padi yang tergabung dalam Kelompok Tani P3A Bangun Tani Mukti di Desa Katulampa dan petani padi Kelompok Tani Maju Jaya (non P3A) di Desa Muarajaya. Karakteristik sosial ekonomi petani anggota P3A dan non P3A dapat dianalisis dalam beberapa kriteria yaitu meliputi usia, tingkat pendidikan, status pekerjaan petani padi, dan pengalaman usahatani. 6.1.1.1 Usia Aspek usia mempengaruhi responden pada kondisi fisik petani. Usia petani yang masih muda memiliki kondisi fisik yang sangat baik untuk menjalankan setiap aktivitas usahatani, sedangkan usia petani yang semakin tua akan mengakibatkan kondisi fisik yang kurang prima dan cepat lelah, sehingga pada saat pengelolaan lahan pertanian akan kurang maksimal. Sebaran jumlah petani padi anggota P3A dan non P3A berdasarkan usia petani dapat dilihat pada Tabel 8.
50
Tabel 8. Jumlah Petani Anggota P3A dan Non P3A Berdasarkan Sebaran Usia Usia Petani P3A Desa Katulampa (Tahun) 35 – 46 47 – 58 59 – 70 71 – 83 Jumlah Usia Petani Non P3A Desa Muarajaya (Tahun) 45 – 51 52 – 58 59 – 65 66 – 72 Jumlah Sumber: Hasil Analisis Data (2012)
Jumlah 8 5 8 4 25 Jumlah 6 16 3 5 30
Persentase (%) 32 20 32 16 100 Persentase (%) 20 53 10 17 100
Berdasarkan Tabel 8, tingkatan usia petani padi P3A Desa Katulampa, usia responden cukup bervariasi dengan selang usia antara 35-83 tahun. Begitupun dengan sebaran usia petani non P3A Desa Muarajaya, petani yang memiliki usia paling muda adalah berumur 45 tahun dan usia paling tua adalah berumur 72 tahun. Sebaran usia petani P3A Desa Katulampa dengan persentase terbesar berada pada range usia 35-46 tahun dan 59-70 tahun dengan nilai 32%, sedangkan persentase terendah berada pada range usia 71-83 tahun dengan nilai persentase 16%. Hal ini dikarenakan beberapa dari warga Desa Katulampa menjadikan sektor pertanian sebagai mata pencaharian pokok yang mana kegiatan ini merupakan kegiatan turun temurun dari orang tua responden, sehingga banyak masyarakat memilih untuk tetap melakukan kegiatan ini pada usia produktif mereka. Desa Muarajaya sebagai desa pembanding dalam penelitian ini memiliki sebaran usia petani padi tertinggi pada range usia 52-58 tahun dengan nilai persentase sebesar 53%. Sedangkan sebaran usia terendah berada pada range usia 59-65 tahun dengan nilai sebesar 10%. Hal ini dikarenakan Desa Muarajaya memiliki lahan pertanian yang masih luas dan beberapa masyarakat desa ini bermata pencaharian pokok sebagai petani, sehingga ketika memasuki usia
51
dewasa beberapa masyarakat desa lebih memilih untuk menjadi seorang petani dari pada harus bekerja yang lain yang tidak menentu sifat kerjanya. 6.1.1.2 Tingkat Pendidikan Tingkat pendidikan responden akan berpengaruh terhadap tingkat penyerapan ilmu pengetahuan dan teknologi yang digunakan dalam pengelolaan lahan pertanian. Responden pada lokasi-lokasi penelitian ini sebagian besar telah menganyam pendidikan formal, mulai dari tingkat Sekolah Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP), Sekolah Menengah Akhir (SMA), hingga tingkat Perguruan Tinggi (PT). Sebaran petani responden berdasarkan tingkat pendidikan dapat dilihat pada Tabel 9. Tabel 9. Jumlah Petani Anggota P3A dan Non P3A Berdasarkan Tingkat Pendidikan Tingkat Pendidikan Petani P3A Desa Katulampa Tidak Lulus SD Lulus SD Lulus SMP Lulus SMA Lulus PT Jumlah Tingkat Pendidikan Petani Non P3A Desa Muarajaya Tidak Lulus SD Lulus SD Lulus SMP Lulus SMA Lulus PT Jumlah Sumber: Hasil Analisis Data (2012)
Jumlah 4 19 0 1 1 25 Jumlah 0 28 0 1 1 30
Persentase (%) 16 76 0 4 4 100 Persentase (%) 0 93 0 4 4 100
Tabel 9 menunjukkan sebaran tingkat pendidikan yang dianyam oleh petani anggota P3A dan non P3A. Persentase tertinggi sebanyak 76% dari total petani anggota P3A Desa Katulampa merupakan petani dengan tingkat pendidikan terakhir Sekolah Dasar (SD). Sedangkan persentase terendah sebesar 4% dari total petani responden merupakan petani dengan tingkat pendidikan terakhir Sekolah Menengah Atas (SMA) dan Perguruan Tinggi (PT). Hal yang sama terjadi pada
52
petani non P3A Desa Muarajaya, petani dengan tingkat pendidikan terakhir SD menjadi persentase tertinggi sebesar 93%. Sedangkan persentase terendah yaitu petani dengan tingkat pendidikan terakhir SMA dan PT dengan nilai masingmasing sebesar 4%. Pola pendidikan yang dijalani oleh petani P3A dan non P3A relatif rendah, sehingga banyak dari masyarakat Desa Katulampa dan Muarajaya hanya menganyam pendidikan hingga tingkat SD saja. Hal ini mengakibatkan tingkat penyerapan teknologi dalam mengembangkan usahatani petani P3A dan non P3A sangat rendah. 6.1.1.3 Status Pekerjaan Petani Padi Masyarakat Desa Katulampa dan Muarajaya pada umumnya menjadikan usahatani sebagai mata pencaharian pokok atau utama untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga petani. Tabel 10 menyajikan sebaran petani responden berdasarkan status pekerjaan petani padi P3A Desa Katulampa dan petani non P3A Muarajaya Tahun 2012. Tabel 10. Jumlah Petani Anggota P3A dan Non P3A Berdasarkan Status Pekerjaan Petani Status Pekerjaan Petani Desa Katulampa Pokok Sampingan Jumlah Status Pekerjaan Petani Desa Muarajaya Pokok Sampingan Jumlah Sumber: Hasil Analisis Data (2012)
Jumlah 19 6 25 Jumlah 28 2 30
Persentase (%) 76 24 100 Persentase (%) 93 7 100
Berdasarkan Tabel 10 sebanyak 76% dari total petani anggota P3A di Desa Katulampa bermata pencaharian pokok sebagai petani dan sisanya sebesar 24% memilih usahatani sebagai mata pencaharian sampingan. Status pekerjaan petani non P3A di Desa Muarajaya sebanyak 93% petani menjadikan usahatani sebagai
53
mata pencaharian utama mereka dan 7% dari total petani responden memilih usahatani menjadi mata pencaharian sampingan. Status pekerjaan petani padi memperlihatkan sejauh mana waktu dan perhatian petani terhadap pekerjaannya. Jika petani menjadikan usahatani sebagai mata pencaharian pokok, maka seluruh waktu dan perhatiannya akan tertuju pada usahatani tersebut. Begitupun sebaliknya, jika petani menjadikan usahatani sebagai mata pencaharian sampingan, waktu dan perhatian petani tidak akan tercurah maksimal untuk kegiatan pertanian. Hal ini berpengaruh terhadap fokus atau tidaknya pengawasan petani terhadap segala kegiatan pertanian, sehingga akan berimplikasi terhadap produksi padi dan pendapatan yang akan diterima oleh petani P3A dan non P3A. 6.1.1.4 Pengalaman Usahatani Keberhasilan suatu usahatani petani responden tidak terlepas dari pengalamannya dalam mengelola lahan pertaninannya. Semakin lama seorang petani berusaha dalam bidang usahatani, maka semakin banyak pula pengalaman usahatani yang dimiliki oleh petani dalam mengelola lahan pertaniannya agar menjadi lebih baik. Tabel 11. Jumlah Petani Anggota P3A dan Non P3A Berdasarkan Pengalaman Usahatani Pengalaman Berusahatani Desa Katulampa (Tahun) 2 – 12 13 – 23 24 – 34 35 – 45 46 – 65 Jumlah Pengalaman Berusahatani Desa Muarajaya (Tahun) 12 – 21 22 – 31 32 – 41 42 – 51 Jumlah Sumber: Hasil Analisis Data (2012)
Jumlah 7 6 5 4 3 25 Jumlah 8 8 11 3 30
Persentase (%) 28 24 20 16 12 100 Persentase (%) 26.5 26.5 37 10 100
54
Pengalaman usahatani petani P3A Desa Katulampa beragam, dengan pengalaman paling rendah yaitu 2 tahun dan pengalaman paling lama yaitu 65 tahun. Begitupun pengalaman usahatani petani non P3A Desa Muarajaya, pengalaman usahatani paling rendah yaitu 12 tahun dan pengalaman paling lama yaitu 51 tahun. Tabel 11 menunjukkan bahwa pengalaman usahatani petani P3A Desa Katulampa sebagian besar (28%) berkisar pada 2-12 tahun, sedangkan petani dengan pengalaman usahatani 46-65 tahun merupakan range pengalaman usahatani terendah (12%). Berbeda dengan Desa Katulampa, di Desa Muarajaya sebagian besar petaninya telah berpengalaman dalam usahatani selama 32-41 tahun, sedangkan petani dengan pengalaman 42-51 tahun menjadi range pengalaman usahatani terendah. Pengalaman usahatani merupakan salah satu indikator keberhasilah pengelolaan lahan pertanian, dimana dengan semakin lama pengalaman seorang petani dalam mengelola lahan pertanian, maka diharapkan produksi padi dari suatu lahan tersebut akan meningkat. Hal ini dikarenakan petani sangat mengerti bagaimana lahannya harus dikelola agar menjadi lebih baik dari pengalaman-pengalaman sebelumnya. 6.1.2 Karakteristik Usahatani Petani Padi Anggota P3A dan Non P3A Karakteristik usahatani petani padi anggota P3A dan non P3A dapat dianalisis berdasarkan status kepemilikan lahan dan teknik budidaya padi kedua kelompok petani tersebut. Hal ini dilakukan untuk melihat keragaan status kepemilikan lahan serta perbedaan tektik budidaya padi kedua kelompok tersebut. 6.1.2.1 Status Kepemilikan Lahan Berdasarkan sebaran responden penelitian, sebanyak 100% untuk petani P3A dan non P3A merupakan petani penggarap, dimana status lahan yang mereka
55
miliki merupakan lahan sewa. Kepemilikan lahan ini berpengaruh terhadap biaya yang dikeluarkan untuk lahan pertanian dalam jangka panjang. Sistem pembayaran sewa lahan untuk petani P3A yaitu dengan membayar sejumlah sewa selama satu tahun sesuai dengan lahan yang digarap oleh petani, sedangkan sistem pembayaran sewa lahan untuk petani non P3A yaitu dengan sistem bagi hasil dimana petani akan mendapatkan 60% dari hasil produksi dalam satu kali masa tanam, dan sisanya sebesar 40% menjadi hak atas pemilik lahan. 6.1.2.2 Teknik Budidaya Padi Keberadaan sistem irigasi memberikan dampak positif yang secara langsung dapat dirasakan berupa perubahan masa tanam padi dalam satu tahun serta meningkatnya produksi dan kualitas produk pertanian. Lokasi lahan pertanian yang teraliri saluran irigasi Bendung Katulampa tidak pernah mengalami kesulitan dalam pemenuhan kebutuhan air, baik ketika musim hujan maupun musim kemarau kebutuhan air untuk sarana pengairan lahan pertanian selalu terpenuhi. Ketersediaan air yang melimpah dan keberadaan kelembagaan Perkumpulan Petani Pemakai Air (P3A) mengakibatkan pola tanam petani P3A memiliki tiga kali masa tanam dalam satu tahun. Air irigasi yang digunakan untuk usahatani yaitu mulai dari pengolahan lahan seperti membajak tanah baik dengan mencangkul, menggunakan hewan ternak, atau bahkan oleh mesin traktor hingga beberapa hari menjelang panen. Air irigasi yang digunakan pada setiap aktivitas pertanian disesuaikan dengan kebutuhan. Satu kali musim tanam tanaman padi memiliki waktu kurang lebih 100 hari mulai dari menanam benih (tandur) hingga panen. Selama penanaman benih padi hingga tumbuh dewasa, padi digenangi dengan air irigasi setinggi 3-5 cm dari
56
permukaan lahan. Sebelum pemupukan, lahan dikeringkan hingga 7 hari dan kembali dialiri air untuk menggenangi padi setelah dilakukan pemupukan hingga panen. Ketika panen telah dilakukan, persiapan pengolahan lahan sebelum memasuki musim tanam kedua dilakukan selama 20 hari. Persiapan pengolahan lahan ini tidak membutuhkan waktu yang banyak jika ketersediaan air selalu tersedia setiap saat. Hal inilah yang menyebabkan masa tanam padi petani P3A Desa Katulampa memiliki tiga kali masa tanam dalam satu tahun dibandingkan dengan petani-petani lain yang tidak mendapatkan air irigasi yang hanya memiliki masa tanam dua kali dalam satu tahun. Petani non P3A Desa Muarajaya hanya memiliki masa tanam dua kali dalam satu tahun. Sarana pengairan petani non P3A Desa Muarajaya dilakukan dengan irigasi semi teknis yang dikelola oleh masyarakat setempat. Kebutuhan air untuk setiap aktivitas usahatani petani non P3A mulai dari tandur hingga panen dalam pengelolaan usahatani padi hampir sama dengan petani P3A Desa Katulampa. Perbedaan kebutuhan air yang digunakan untuk pengelolaan usahatani padi petani P3A dan non P3A yaitu ketika pengairan untuk menggenangi tanaman padi dari mulai tandur hingga tanaman padi dewasa. Jika petani P3A menggenangi padi dengan ketinggian 3-5 cm dari permukaan lahan, petani non P3A hanya menggenangi padi dengan ketinggian 1-2 cm dari permukaan lahan. Hal ini dikarenakan supply kebutuhan air irigasi tidak tersedia dalam jumlah yang banyak untuk memenuhi semua lahan yang digarap petani non P3A Desa Muarajaya. Proses pengolahan lahan pasca panen pada petani non P3A membutuhkan waktu minimal 1-1,5 bulan. Proses pengolahan lahan pasca panen tersebut
57
memiliki rentang waktu lebih lama dari pada petani P3A. Hal ini dikarenakan untuk memasuki masa tanam selanjutnya, lahan pertanian harus diolah terlebih dahulu dengan menggemburkan tanah menggunakan air dengan jumlah yang banyak, sedangkan ketersediaan air irigasi petani non P3A tidak banyak. Keadaan seperti inilah yang menyebabkan masa tanam padi petani non P3A hanya dapat dilakukan dua kali dalam satu tahun. Tabel 12 dan Lampiran 1 menunjukkan pola tanam dan produktivitas padi petani P3A dan non P3A pada tahun 2011-2012. Tabel 12. Pola Tanam dan Produktivitas Padi Petani P3A dan Non P3A Tahun 2011-2012. Pola Tanam dan Produktivitas (kg/ha) Masa Tanam 1 Masa Tanam 2 Masa Tanam 3 P3A 4.065,8 2.531,0 2.973,6 Non P3A 5.484,8 4.919,7 Sumber : Hasil Analisis Data (2012) Petani
Berdasarkan Tabel 12 dapat dilihat bahwa jumlah produktivitas padi petani P3A lebih kecil dari pada produktivitas padi petani non P3A pada setiap musim tanam. Perbedaan jumlah produktivitas ini disebabkan oleh berbedanya cara pengelolaan usahatani pada masing-masing petani, terutama ketika aktivitas penanaman benih padi (tandur). Petani P3A tidak mengikuti anjuran penanaman benih yang dicanangkan oleh pemerintah sehingga hasil yang diperoleh tidak memuaskan, sedangkan petani non P3A menerapkan sistem penanaman benih yang dianjurkan oleh pemerintah sehingga hasil yang diperoleh memuaskan. Jumlah produktivitas padi pada setiap musim tanam bersifat tidak tetap. Hal ini dikarenakan terdapat faktor-faktor eksternal yang dapat mempengaruhi produksi padi setiap musim tanam, seperti adanya hama yang mengganggu tanaman padi dan pergantian cuaca yang tidak menentu.
58
6.1.3 Karakteristik Tenaga Kerja Lokal Keberlangsungan kegiatan usahatani tidak terlepas dari peran serta masyarakat lokal dalam setiap proses pelaksanaanya, mulai dari tahap pengolahan lahan hingga panen. Tenaga kerja yang digunakan terbagi menjadi Tenaga Kerja Dalam Keluarga (TKDK) dan Tenaga Kerja Luar Keluarga (TKLK) yang terdiri atas tenaga kerja laki-laki dan perempuan. Kegiatan usahatani P3A dan non P3A terdiri dari (1) Pengolahan lahan, (2) Penyemaian, (3) Penanaman benih padi (tandur), (4) Pemupukan, (5) Penyiangan, (6) Penyemprotan pestisida, dan (7) Panen. Kesempatan kerja yang tercipta biasanya hanya pada musim tanam hingga panen setiap tahunnya. Setiap kegiatan usahatani memiliki kebutuhan tenaga kerja yang berbeda, dan beberapa kegiatan usahatani pun bisa saja tidak membutuhkan tenaga kerja luar keluarga. Penyerapan tenaga kerja luar keluarga paling banyak biasanya dibutuhkan untuk kegiatan penanaman benih padi (tandur) dan pada kegiatan panen. Sebaran kebutuhan tenaga kerja untuk aktivitas usahatani petani P3A dan non P3A dapat dilihat pada Tabel 13. Tabel 13. Kebutuhan Tenaga Kerja Untuk Aktivitas Usahatani P3A dan Non P3A (HOK/ha/petani) No. 1 2 3 4 5 6 7
Kegiatan
Pengolahan Lahan Penyemaian Penanaman Benih Padi (Tandur) Pemupukan Penyiangan Penyemprotan Panen Total Sumber: Hasil Analisis Data (2012)
Kebutuhan P3A 48 13 27 12 47 6 84 237
Non P3A 58 7 31 8 26 5 15 150
59
Berdasarkan Tabel 13 dapat dilihat penggunaan tenaga kerja terbanyak yaitu pada aktivitas pengolahan lahan dan panen. Hal ini mengakibatkan penyerapan tenaga kerja terutama tenaga kerja luar keluarga untuk kegiatan tersebut semakin banyak. Keadaan ini memberikan dampak yang positif terhadap ketenagakerjaan Desa Katulampa dan Desa Muarajaya, dimana masyarakat dapat memperoleh penghasilan yang lebih dari adanya aktivitas usahatani tersebut. Peningkatan penghasilan masyarakat dapat dilihat berdasarkan upah yang diterima oleh tenaga kerja lokal selama melakukan kegiatan-kegiatan usahatani. Upah yang diberikan kepada tenaga kerja laki-laki berbeda dengan upah yang diberikan kepada tenaga kerja perempuan. Upah untuk tenaga kerja laki-laki yaitu sebesar Rp 25.000/hari, sedangkan untuk tenaga kerja perempuan upah yang diberikan sekitar Rp 12.500 – Rp 15.000/hari. Jam kerja harian untuk tenaga kerja di Desa Katulampa dan Desa Muarajaya yaitu 6 jam mulai dari pukul 06.00 – 12.00 WIB.
6.2
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Produksi Padi Petani P3A dan Non P3A
6.2.1 Karakteristik Input Produksi Langkah pertama yang dilakukan dalam mengkaji faktor-faktor yang mempengaruhi produksi padi yaitu dengan menganalisis terlebih dahulu faktorfaktor produksi yang digunakan dalam produksi usahatani. Pada penelitian ini faktor produksi yang dianalisis yaitu benih, pupuk, pestisida, tenaga kerja, dan air. 6.2.1.1 Benih Benih merupakan salah satu faktor produksi yang sangat penting dalam suatu usahatani padi. Hasil produksi usahatani akan baik jika menggunakan benih padi yang unggul disertai dengan pola tanam yang teratur. Benih padi yang
60
digunakan oleh usahatani petani P3A dan non P3A berbeda satu sama lain terlihat dari perbedaan harga benih pada keduanya. Tabel 14 menyajikan penggunaan benih sebagai faktor produksi usahatani petani di Desa Katulampa dan Desa Muarajaya. Secara rinci, penggunaan benih untuk kedua petani dapat dilihat pada Lampiran 2. Tabel 14. Perbandingan Penggunaan Benih Padi Petani Desa Katulampa (P3A) dan Desa Muarajaya (Non P3A) No
Kelompok Rata-rata Luas Petani Lahan (ha) 1 P3A 0,4924 2 Non P3A 0,6067 Sumber: Hasil Analisis Data (2012)
Rata-rata Penggunaan Benih (kg) 35,2 17,9
Harga Ratarata (Rp/kg) 6.556 7.000
Nilai (Rp) 230.771 125.417
Berdasarkan Tabel 14 kebutuhan benih total rata-rata yang digunakan oleh petani di Desa Katulampa (P3A) setiap musim tanam sebesar 35,2 kg dengan harga beli benih sebesar Rp 6.556/kg. Jumlah penggunaan benih petani P3A tersebut berbeda dua kali lipat dengan petani di Desa Muarajaya (non P3A) yang menggunakan benih padi setiap musim tanammya sebesar 17,9 kg dengan harga beli benih Rp 7.000/kg. Perbedaan jumlah kebutuhan benih petani P3A dan non P3A cukup besar, hal ini disebabkan karena petani P3A menanamkan benih padi sebanyak 5-7 benih dalam satu lubang tanam, sedangkan petani non P3A menanamkan benih padi sebanyak 3-4 benih dalam satu lubang tanam. 6.2.1.2 Pupuk Petani yang menjadi responden untuk kedua desa baik Desa Katulampa (P3A) dan Desa Muarajaya (non P3A) merupakan petani padi anorganik sehingga pupuk yang digunakan untuk pengolahan lahan pertaniannya adalah pupuk kimia. Pupuk kimia yang digunakan yaitu urea, TSP, dan lain-lain (KCL dan NPK). Beberapa petani dari kedua desa tersebut ada pula yang menggunakan pupuk
61
kandang sebagai faktor produksi usahatani, namun dalam jumlah yang tidak banyak. Keputusan petani untuk lebih memilih menggunakan pupuk kimia dari pada pupuk kandang yaitu karena lahan yang mereka garap lebih cocok menggunakan pupuk kimia sebagai salah satu faktor produksi padinya. Selain itu, pupuk kimia lebih mudah didapat dan lebih memberikan hasil yang lebih cepat dari pada pupuk kandang. Jumlah pupuk kimia dan pupuk kandang yang digunakan petani P3A dan non P3A dapat dilihat pada Tabel 15 dan Lampiran 3. Tabel 15. Jumlah Penggunaan Pupuk Kimia dan Pupuk Kandang Petani P3A dan Non P3A Uraian
Kelompok Petani
Penggunaan Pupuk Rata-rata (kg)
Petani P3A
Harga Rata-rata (Rp/kg)
Petani P3A
Petani Non P3A
TSP (kg)
Kandang (kg)
KCL&NPK* (kg)
203,8
102,25
273,33
58,75
112,83
31,15
378,57
44,44
2.248
3.010
250
3.125
2.000
2.500
1.000
2.700
458.142
307.773
68.333
183.594
Petani Non P3A 225.667 Sumber: Hasil Analisis Data (2012) Keterangan: *KCL untuk Petani P3A *NPK untuk Petani Non P3A
77.885
378.571
120.000
Nilai (Rp)
Petani Non P3A
Urea (kg)
Petani P3A
Berdasarkan Tabel 15, penggunaan total rata-rata pupuk urea untuk petani P3A di Desa Katulampa yaitu sebesar 203,88 kg. Penggunaan total rata-rata untuk TSP, pupuk kandang, dan KCL masing-masing sebesar 102,25 kg, 273,33 kg, dan 58,75 kg. Hal yang sama dilakukan oleh petani non P3A Desa Muarajaya, penggunaan total rata-rata pupuk urea untuk petani responden di Desa Muarajaya memiliki jumlah yang lebih besar dari pada pupuk-pupuk lainnya. Penggungaan pupuk urea pada petani non P3A ini yaitu sebesar 112,83 kg. Penggunaan total rata-rata untuk TSP, pupuk kandang, dan NPK masing-masing sebesar 31,15 kg, 378,57 kg, dan 44,44 kg.
62
Pupuk urea merupakan pupuk yang paling banyak digunakan oleh para petani sebagai pupuk pokok lahan pertanian. Fungsinya yaitu untuk mempercepat pertumbuhan tanaman (tinggi, jumlah anakan, cabang dan lain-lain), sedangkan pupuk-pupuk lainnya merupakan tambahan saja sebagai pelengkap yang bersifat pilihan dalam penggunaannya. Hal inilah yang melatarbelakangi petani P3A dan petani non P3A menggunakan pupuk urea sebagai pupuk utama untuk lahan pertaniannya. 6.2.1.3 Pestisida Pengendalian hama dan penyakit yang dilakukan oleh petani P3A dan non P3A yaitu dengan melakukan penyemprotan pestisida kimia. Pestisida yang digunakan yaitu berupa pestisida cair dan padat, tergantung aplikasi penggunaan dari pestisida tersebut. Pestisida cair digunakan dengan cara melarutkan pestisida dengan air, kemudian dilakukan penyemprotan terhadap tanaman padi, sedangkan pestisida padat digunakan dengan cara mencampurkan pestisida dengan pupuk (urea, TSP, pupuk kandang, dan KCL/NPK) yang kemudian ditaburkan di lahan sawah. Penyemprotan pestisida sebagai pengendalian hama dan penyakit dilakukan dengan menggunakan handsprayer. Jumlah penggunaan pestisida oleh petani P3A dan non P3A dapat dilihat pada Tabel 16 dan Lampiran 4. Tabel 16. Jenis Pestisida yang Digunakan Petani P3A dan Petani Non P3A Petani P3A
Jenis Pestisida
Satuan Pestisida Cair Decis Lakron Pestisida Padat Furadan
Penggunaan
ml ml kg
Sumber: Hasil Analisis Data (2012)
Petani Non P3A
Jenis Pestisida
297,5 5000 15
Satuan Pestisida Cair Organik
ml
Pestisida Padat Bravo Nature kg Benprima Sachet (serbuk)
Penggunaan 1.016,7
2,6 2,57
63
6.2.1.4 Tenaga Kerja Tenaga kerja merupakan salah satu faktor produksi yang sangat berpengaruh terhadap suatu kegiatan usahatani. Tenaga kerja yang digunakan dapat berupa tenaga mekanik (traktor) dan tenaga kerja manusia. Tenaga kerja mekanik (traktor) digunakan untuk melakukan pengolahan lahan karena dengan menggunakan tenaga traktor, mengolah lahan pertanian menjadi lebih cepat dan lebih efektif, sedangkan tenaga kerja manusia digunakan untuk melakukan pengelolaan lahan seperti mencangkul, penyemaian, penanaman benih padi (tandur), penyiangan, penyemprotan pestisida, pemupukan, dan panen. Kebutuhan tenaga kerja manusia yang digunakan petani dalam pengelolaan lahannya tidak hanya menggunakan Tenaga Kerja Luar Keluarga (TKLK), namun juga menggunakan Tenaga Kerja Dalam Keluarga (TKDK) yang biasanya sering terabaikan dalam perhitungan struktur biaya usahatani. Kebutuhan tenaga kerja untuk setiap aktivitas usahatani berbeda antara satu petani dengan petani lainnya disesuaikan dengan luas lahan yang mereka garap, namun secara agregat jumlah penggunaan tenaga kerja untuk petani P3A dan non P3A setiap satu musim tanam tidak terlalu jauh berbeda. Jumlah tenaga kerja yang digunakan dalam usahatani P3A dan non P3A dapat dilihat pada Tabel 17. Tabel 17. Jumlah Tenaga Kerja yang Digunakan dalam Usahatani P3A dan Non P3A No. 1 2 3 4 5 6 7
Kegiatan
Pengolahan Lahan Penyemaian Penanaman Benih Padi (Tandur) Pemupukan Penyiangan Penyemprotan Panen Total Sumber: Hasil Analisis Data (2012)
Petani P3A Kebutuhan Persentase (HOK) (%) 48 20,25 13 5,49 27 11,39 12 5,06 47 19,83 6 2,53 84 35,44 237 100
Petani non P3A Kebutuhan Persentase (HOK) (%) 58 38,67 7 4,67 31 20,67 8 5,33 26 17,33 5 3,33 15 10,00 150 100
64
Berdasarkan Tabel 17 perbandingan kebutuhan tenaga kerja usahatani P3A lebih banyak dari pada kebutuhan tenaga kerja usahatani non P3A. proporsi kebutuhan tenaga kerja untuk kedua usahatani tersebut paling besar dialokasikan untuk pengolahan lahan dan panen, sedangkan alokasi terendah yaitu pada kegiatan penyiangan, pemupukan dan penyemprotan. Pada usahatani P3A, alokasi tenaga kerja lebih banyak pada kegiatan panen. Hal ini dikarenakan ketika panen banyak kegiatan yang harus dilakukan yaitu mulai dari memotong tanaman padi, ngagebot2 padi, pemilihan bulir padi berisi dan bulir padi yang kosong, hingga pengangkutan hasil panen menuju tempat penggilingan. Pada usahatani non P3A, alokasi tenaga kerja terbanyak yaitu pada aktivitas pengolahan lahan pertanian. Hal ini dikarenakan untuk mendapatkan kualitas tanah yang baik dengan jumlah luas lahan yang besar memerlukan curahan tenaga kerja yang besar pula dalam melakukan aktivitas produksi pertanian. Proporsi kebutuhan tenaga kerja untuk kegiatan pemupukan dan penyiangan pada kedua petani responden sangat rendah. Hal ini dikarenakan hampir semua petani responden P3A dan non P3A melakukan pemupukan dan penyiangan dengan menggunakan tenaga pribadi dengan frekuensi waktu yang singkat guna meminimalisir biaya produksi yang dikeluarkan. Kegiatan pemupukan lahan pertanian dikerjakan rata-rata dalam satu hingga tiga hari oleh setiap petani responden P3A dan non P3A, sedangkan kegiatan penyiangan dilakukan secara bervariasi oleh petani responden P3A dan non P3A sesuai dengan luas lahan yang mereka garap.
2
Proses perontokan padi ketika panen.
65
Kegiatan panen pada petani responden P3A membutuhkan tenaga kerja yang lebih banyak dari pada aktivitas usahatani lainnya, sedangkan untuk petani responden non P3A Desa Muarajaya, kegiatan panen tidak menggunakan tenaga kerja. Kegiatan panen di Desa Muarajaya ini dilakukan secara borongan3. Upah yang diberikan kepada tenaga kerja dari masing-masing desa berbeda, untuk Desa Katulampa upah yang diberikan kepada tenaga kerja pria yaitu sebesar Rp 25.000/hari dan upah untuk tenaga kerja wanita berlaku sekitar Rp 12.500 – Rp 15.000/hari. Upah yang berlaku untuk tenaga kerja pria dan wanita di Desa Muarajaya relatif sama yaitu Rp 20.000/hari. 6.2.1.5 Air Air yang digunakan sebagai input produksi usahatani oleh kedua petani baik P3A maupun petani non P3A adalah air irigasi, namun sumber air dari keduanya berbeda satu sama lain. Petani P3A di Desa Katulampa menggunakan air irigasi dari Bendung Katulampa sebagai input produksi usahataninya, sedangkan petani non P3A di Desa Muarajaya menggunakan air irigasi dari mata air Ciburial yang dikelola bersama oleh Gabungan Kelompok Tani (gapoktan) setempat. Air irigasi yang digunakan petani responden Desa Katulampa merupakan air irigasi dari Bendung Katulampa yang merupakan Daerah Aliran Sungai (DAS) Ciliwung. Air irigasi ini terus mengalir setiap hari, baik pada musim hujan maupun pada musim kemarau sehingga petani P3A Desa Katulampa tidak mengalami kesulitan kebutuhan air untuk mengairi lahan sawah mereka. Pemenuhan kebutuhan air irigasi dari Bendung Katulampa ini tidak dikenakan biaya untuk memperolehnya sehingga akan menghemat biaya usahatani dari 3
Suatu istilah ketika panen dimana terdapat sekelompok orang berprofesi sebagai tenaga kerja khusus untuk panen, dan upah yang diberikan Rp 250/kg dari hasil panen petani penggarap.
66
penggunaan sumberdaya air yang digunakan. Petani P3A hanya bertanggung jawab terhadap saluran tersier yang mana saluran tersebut adalah saluran kecil menuju lahan pertanian mereka. Berbeda dengan petani P3A, petani non P3A Desa Muarajaya menggunakan air irigasi yang bersumber dari mata air Ciburial di sekitar desa yang dimanfaatkan oleh gapoktan untuk dapat mengairi lahan pertanian anggota kelompok tani di Desa Muarajaya. Pemenuhan kebutuhan air irigasi ini dikenakan biaya disesuaikan dengan luas lahan yang akan dialiri setiap musim tanamnya. Kebutuhan air sebagai input usahatani petani P3A dan non P3A dapat dilihat pada Tabel 18 dan Lampiran 5. Tabel 18. Perbandingan Kebutuhan Air Irigasi Petani P3A dengan Petani Non P3A Petani Desa Katulampa (P3A) Desa Muarajaya (non P3A) Sumber: Hasil Analisis Data (2012)
Kebutuhan Total Rata-rata (m3/ha) 20.128 7.000
Berdasarkan Tabel 18 dapat diketahui bahwa kebutuhan air irigasi untuk petani P3A lebih banyak dari pada petani non P3A. Hal ini dikarenakan sarana air untuk irigasi di Desa Katulampa tersedia dalam jumlah yang banyak dari proyek irigasi Bendung Katulampa, sedangkan sarana air untuk irigasi di Desa Muarajaya tersedia dalam jumlah yang terbatas. Selain itu, dalam pemeliharaan tanaman padi petani P3A menggenangi lahan sawah mereka dengan ketinggian rata-rata 2-3 cm, sedangkan petani non P3A menggenangi lahan sawah mereka dengan ketinggian rata-rata 1 cm. Kebutuhan air untuk menggenangi sawah petani P3A dan non P3A tidak dilakukan setiap hari dari mulai tanam hingga panen, namun ada beberapa hari dimana lahan sawah harus dikeringkan untuk pemupukan dan panen.
67
6.2.2 Hasil Uji Statistik Usahatani Petani P3A dan Non P3A Model fungsi produksi yang digunakan dalam menduga faktor-faktor yang mempengaruhi jumlah produksi padi adalah model fungsi Cobb-Douglas dengan metode OLS (Ordinary Least Square). Faktor produksi yang diduga mempengaruhi produksi usahatani padi petani P3A yaitu benih, pupuk, tenaga kerja, dan air. Pendugaan fungsi produksi ini dilakukan dengan menguji faktorfaktor
produksi
menggunakan
metode
statistik
dan
pengujian
asumsi
ekonometrika dengan menggunakan perangkat lunak Minitab 15. Secara rinci hasil analisis pendugaan fungsi produksi usahatani padi petani P3A dapat dilihat pada Tabel 19. Tabel 19. Hasil Analisis Pendugaan Fungsi Produksi Usahatani Padi Petani P3A Prediktor Koefisien Standar Error Konstanta 1,72 1,09 Benih 0,46 0,28 Pupuk 0,04 0,15 Tenaga Kerja 0,21 0,15 Air 0,30 0,18 R-sq 69,4% R-sq (adj) 63,3% Analisis Varians Sumber DF SS Regresi 4 11,54 Kesalahan Sisaan 20 5,09 Total 24 16,64 Sumber: Hasil Analisis Data dengan Minitab 15 (2012) Keterangan: * Nyata pada taraf α 15%
T-Hitung 1,58 1,63 0,24 1,37 1,65
P-Value 0,13 0,12* 0,81 0,19 0,11*
MS 2,89 0,25
F 11,33
VIF 3,68 1,94 1,30 2,95
P 0,00
Berdasarkan Tabel 19, model statistik untuk menduga faktor-faktor produksi yang berpengaruh terhadap produksi padi petani P3A dapat dikatakan layak dan memenuhi kriteria. Hal ini dapat dilihat bahwa R-sq(adj) dari model produksi yaitu sebesar 63,3% yang menyatakan bahwa variabel-variabel benih, pupuk, tenaga kerja, dan air dapat menjelaskan keragaman dari produksi padi
68
sebesar 63,3% dan sisanya sebesar 36,7% dari keragaman model produksi padi dijelaskan oleh variabel-variabel lain di luar model. Nilai F-hitung sebesar 11,33 dengan nilai p-value 0,000 menjelaskan bahwa secara umum variabel-variabel faktor produksi dalam model berpengaruh nyata secara bersama-sama terhadap produksi padi petani P3A pada taraf nyata α 5%. Nilai t-hitung dari setiap variabel independen menyatakan tingkat kontribusi variabel tersebut terhadap produksi usahatani. Nilai koefisien regresi dari variabel-variabel bebas dalam model fungsi produksi Cobb-Douglas merupakan nilai elastisitas dari masing-masing variabel tersebut. Jumlah total nilai elastisitas dari variabel-variabel bebas pada fungsi produksi padi petani P3A diperoleh sebesar 1,007. Jumlah elastisitas produksi tersebut bernilai lebih dari satu yang menunjukkan bahwa skala usahatani P3A berada pada kondisi increasing return to scale. Hal ini berarti bahwa proporsi penambahan input produksi akan menghasilkan tambahan produksi yang proporsinya lebih besar. Variabel-variabel yang diduga berpengaruh terhadap produksi padi petani P3A adalah sebagai berikut. a. Benih Padi yang baik akan sangat tergantung pada kualitas benih yang baik pula. Hal ini berarti bahwa benih yang digunakan petani akan memberikan pengaruh yang baik terhadap produksi padi. Hasil regresi perangkat lunak Minitab 15 menunjukkan bahwa benih memiliki hubungan yang positif terhadap produksi padi petani P3A yang berarti bahwa semakin banyak benih yang digunakan maka produksi padi diperkirakan akan meningkat. Berdasarkan hasil penelitian, nilai elastisitas benih sebesar 0,46 yang berarti bahwa setiap kenaikan penggunaan
69
benih sebesar 1% diduga akan meningkatkan produksi padi sebesar 0,46% (ceteris paribus). Benih padi yang digunakan petani P3A Desa Katulampa merupakan benih unggul, sehingga dengan kualitas benih yang baik akan menghasilkan hasil produksi padi yang baik pula. Hal ini terbukti dengan nilai p-value benih yang kurang dari taraf nyata hingga 15% menunjukkan bahwa penggunaan benih padi dalam penelitian ini memiliki pengaruh yang nyata terhadap produksi padi. b. Pupuk Penggunaan pupuk memiliki hubungan yang positif terhadap produksi padi. Hasil uji statistik menunjukkan bahwa koefisien faktor produksi dari pupuk sebesar 0,04. Hal ini berarti bahwa setiap kenaikan pupuk yang digunakan petani sebesar 1% diduga akan meningkatkan produksi padi sebesar 0,04% (ceteris paribus). Penggunaan pupuk dalam penelitian ini tidak berpengaruh nyata terhadap produksi padi petani P3A. Hal ini dapat dilihat dari p-value pupuk sebagai variabel faktor produksi sebesar 0,81 yang lebih besar dari taraf nyata hingga α 15%. Penggunaan pupuk kimia petani P3A hingga saat ini masih berada pada batas-batas normal dimana kondisi tanah tidak mengalami polusi atas penggunaan pupuk kimia yang berlebihan. Penggunaan pupuk kimia secara berlebihan akan menimbulkan polusi pada tanah sehingga kondisi tanah tidak dapat memberikan respon yang positif terhadap pertumbuhan tanaman padi. Hal ini menyebabkan penggunaan pupuk kimia berpengaruh tidak nyata terhadap produksi padi petani P3A. c. Tenaga Kerja Tenaga kerja yang digunakan dalam proses produksi usahatani dapat memberikan pengaruh yang positif jika tenaga kerja tersebut memiliki kualitas
70
yang baik dalam mengelola segala kegiatan usahatani. Hasil uji statistik menunjukkan bahwa nilai elastisitas tenaga kerja sebagai salah satu variabel faktor produksi bernilai positif, yaitu 0,21 dengan p-value sebesar 0,19. Hal ini berarti setiap penambahan 1% penggunaan tenaga kerja diduga akan meningkatkan produksi padi sebesar 0,21% (ceteris paribus). Penggunaan tenaga kerja dalam penelitian ini tidak berpengaruh secara nyata pada taraf α 15%. Tenaga kerja yang digunakan petani P3A merupakan tenaga kerja yang telah memiliki pengalaman dan keterampilan khusus dalam bidang pertanian, sehingga penambahan tenaga kerja untuk petani P3A dapat memberikan pengaruh yang positif terhadap produksi usahatani yaitu berupa peningkatan hasil produksi padi. d. Air Air merupakan faktor produksi pertanian yang sangat penting dalam proses produksi padi. Penggunaan air sangat dibutuhkan dalam usahatani karena tanaman padi tidak akan tumbuh dengan baik tanpa tergenangi oleh air minimal 1 cm dari permukaan lahan. Hasil uji statistik pada model fungsi produksi padi petani P3A menunjukkan bahwa koefisien regresi air memiliki tanda yang positif sebesar 0,30 dengan p-value 0,11. Hal ini berarti setiap kenaikan penggunaan air sebesar 1% diduga akan meningkatkan produksi usahatani sebesar 0,30% (ceteris paribus). Penggunaan air dalam penelitian ini berpengaruh secara nyata terhadap produksi padi. Hal ini ditunjukkan dengan nilai p-value air sebagai faktor produksi sebesar 0,115, dimana nilai tersebut kurang dari taraf nyata hingga α 15%. Fungsi air irigasi Bendung Katulampa dapat dirasakan secara nyata oleh petani P3A dalam pemenuhan kebutuhan air untuk pengelolaan lahan pertanian. Selain itu, sistem irigasi Bendung Katulampa memberikan manfaat lain berupa
71
perbedaan jumlah masa tanam yang dapat dilakukan petani P3A dalam satu tahun dengan petani-petani non P3A lain yang tidak mendapatkan sarana air irigasi. Uji Kriteria Ekonometrika a.
Uji Multikolinearitas Uji multikolinearitas terhadap suatu model regresi berganda dilakukan
untuk memastikan tidak adanya hubungan linear yang terjadi antara variabelvariabel independen (faktor produksi). Pengujian ini dilakukan dengan melihat nilai
dari
Variance
Inflation
Factor
(VIF).
Suatu
model
memiliki
multikolinearitas jika nilai VIF dari setiap variabel pada model bernilai lebih dari 10. Berdasarkan hasil uji statistik pada Tabel 19, nilai VIF dari keempat faktor yang menjadi variabel independen pada model memiliki nilai kurang dari 10. Hal ini menunjukkan bahwa variabel-variabel independen dalam model regresi untuk produksi usahatani petani P3A tidak memiliki hubungan linear satu sama lain. b.
Uji Normalitas dan Heteroskedastisitas Uji normalitas untuk model produksi padi petani P3A dilakukan dengan
uji statistik Kolmogorov-Smirnov (KS) berdasarkan Lampiran 6. Hasil yang diperoleh pada uji KS tersebut yaitu nilai rata-rata -2,27374E-15, nilai standar deviasi 0,4607, jumlah pengamatan 25 reponden, nilai Kolmogorov-Smirnov (KS) 0,187, dan p-value kurang dari 0,032. Berdasarkan data tersebut, terlihat bahwa nilai KS-hitung lebih kecil dari KS-tabel (0,264). Hal ini menunjukkan bahwa residual telah mengikuti distribusi secara normal, sehingga asumsi kenormalan residual telah terpenuhi. Uji heteroskedastisitas terhadap suatu model regresi berganda dilakukan untuk memastikan varian unsur gangguan (error) adalah konstan. Model regresi
72
yang didapat diharapkan memenuhi asumsi homoskedastisitas. Pendeteksian heteroskedastisitas dapat dilakukan dengan metode grafik, yaitu dengan melihat pola penyebaran titik-titik pada scatterplot. Model regresi dikatakan memenuhi asumsi homoskedastisitas jika sebaran titik-titik pada grafik tidak membentuk pola tertentu atau pola yang terbentuk tidak jelas, dan titik-titik menyebar di atas dan di bawah angka nol pada sumbu Y. Gambar 3 (a) dan (b) masing-masing menunjukkan sebaran kenormalan residual dan homoskedastisitas.
(a)
(b)
Gambar 3. Grafik Model Regresi Produksi Usahatani P3A (a) Grafik Uji Kenormalan (b) Grafik Homoskedastisitas c.
Uji Autokorelasi Uji autokorelasi dilakukan untuk melihat apakah terdapat hubungan antar
galat dalam persamaan regresi yang diperoleh. Model yang baik adalah model yang terbebas dari autokorelasi, sehingga kesalahan prediksi (selisih antara data asli dengan data hasil regresi) bersifat bebas untuk setiap variabel independen. Hasil uji statistik menunjukkan nilai Durbin-Watson statistic sebesar 1,51503. Berdasarkan Firdaus (2004), daerah keputusan 1,10 – 1,54 merupakan daerah tanpa kesimpulan, sedangkan daerah keputusan 1,55 – 2,46 merupakan daerah
73
tidak adanya autokorelasi dalam model tersebut. Nilai DW statistik 1,51503 dapat dikatakan terbebas dari autokorelasi. Model fungsi produksi untuk menduga faktor-faktor yang mempengaruhi jumlah produksi padi petani non P3A tidak berbeda dengan model fungsi produksi padi petani P3A. Faktor produksi yang menjadi variabel bebas untuk fungsi produksi padi petani non P3A yaitu benih, pupuk, tenaga kerja, dan air. Secara rinci hasil analisis pendugaan fungsi produksi usahatani padi petani non P3A dapat dilihat pada Tabel 20. Tabel 20. Hasil Analisis Pendugaan Fungsi Produksi Usahatani Padi Petani Non P3A Prediktor Koefisien Standar Error Konstanta -1,68 0,77 Benih -0,36 0,18 Pupuk 0,14 0,10 Tenaga Kerja 0,05 0,21 Air 1,18 0,16 R-sq 93,3% R-sq (adj) 92,3% Analisis Varians Sumber DF SS Regresi 4 19,55 Kesalahan Sisaan 25 1,40 Total 29 20,95 Sumber: Hasil Analisis Data dengan Minitab 15 (2012) Keterangan: ***Nyata pada taraf α 1% ** Nyata pada taraf α 5% * Nyata pada taraf α 15%
T-Hitung -2,17 -2,02 1,47 0,21 7,18
MS 4,89 0,06
P-Value 0,04 0,05** 0,15* 0,83 0,00***
F 87,48
VIF 6,76 4,04 6,29 7,82
P 0,00
Berdasarkan Tabel 20, model statistik untuk menduga faktor-faktor produksi yang berpengaruh terhadap produksi padi petani non P3A dapat dikatakan layak dan memenuhi kriteria. Hal ini dapat dilihat bahwa R-sq(adj) dari model produksi yaitu sebesar 92,3% yang menyatakan bahwa variabel-variabel benih, pupuk, tenaga kerja, dan air dapat menjelaskan keragaman dari produksi padi sebesar 92,3% dan sisanya sebesar 7,7% dari keragaman model produksi padi
74
dijelaskan oleh variabel-variabel lain diluar model. Nilai F-hitung sebesar 87,48 dengan nilai p-value 0,000 menjelaskan bahwa secara umum variabel-variabel faktor produksi dalam model berpengaruh nyata secara bersama-sama terhadap produksi padi pada taraf nyata α 5%. Nilai t-hitung dari setiap variabel independen (tak bebas) menyatakan tingkat kontribusi variabel tersebut terhadap produksi usahatani. Dalam model fungsi Cobb-Douglas nilai koefisien regresi dari variabelvariabel bebas merupakan nilai elastisitas dari masing-masing variabel tersebut. Jumlah total nilai elastisitas dari variabel-variabel bebas pada fungsi produksi padi petani non P3A diperoleh sebesar 1,005. Jumlah elastisitas produksi bernilai lebih dari satu yang menunjukkan bahwa skala usahatani non P3A berada pada increasing return to scale. Keadaan demikian dapat diartikan bahwa proporsi penambahan input produksi akan menghasilkan tambahan produksi yang proporsinya lebih besar. Variabel-variabel yang diduga berpengaruh terhadap produksi padi petani P3A adalah sebagai berikut. a.
Benih Hasil perhitungan output Minitab 15 pada Tabel 20 menunjukkan bahwa
nilai koefisien variabel benih memiliki nilai yang negatif sebesar 0,36. Hal ini berarti bahwa setiap kenaikan 1% benih padi diduga akan menurunkan produksi 0,36% (ceteris paribus). Kontribusi benih untuk usahatani petani non P3A memiliki pengaruh nyata terhadap produksi padi. Hal ini dapat dilihat dari nilai pvalue benih sebesar 0,05 dimana nilai tersebut sama dengan taraf nyata α 5%. Pengggunaan benih pada usahatani non P3A telah mengikuti standarisasi penggunaan benih yang telah dianjurkan oleh pemerintah dimana dalam satu
75
lubang tanam hanya hanya boleh ditanami 3-4 benih padi. Ketika dilakukan penambahan penanaman benih padi dalam satu lubang tanam, hal ini tidak akan meningkatkan produksi padi melainkan akan menurunkan produksi padi tersebut. b.
Pupuk Penggunaan pupuk memiliki hubungan yang positif terhadap produksi
padi petani non P3A. Hal ini ditunjukkan dengan hasil uji statistik dimana koefisien regresi untuk pupuk memiliki tanda yang positif. Dalam penelitian ini, secara ekonomi setiap kenaikan penggunaan pupuk sebesar 1% diduga akan meningkatkan produksi padi sebesar 0,14% (ceteris paribus). Hubungan pupuk terhadap produksi juga memiliki pengaruh yang nyata. Hal ini dapat dilihat pada p-value pupuk sebesar 0,15 dimana nilai tersebut sama dengan taraf nyata α 15%. Penggunaan pupuk kimia pada usahatani non P3A masih berada pada keadaan normal, dimana pupuk kimia yang digunakan tidak menimbulkan polusi terhadap tanah. Hal ini dibuktikan dengan penambahan pupuk kimia yang digunakan masih memberikan hasil yang positif terhadap produksi padi petani non P3A. c.
Tenaga Kerja Pada dasarnya penggunaan tenaga kerja merupakan suatu upaya untuk
meningkatkan produksi padi, terutama penggunaan tenaga kerja yang memiliki keterampilan khusus dalam bidang pertanian. Hasil uji statistik tenaga kerja sebagai salah satu variabel bebas dalam fungsi produksi padi petani non P3A menunjukkan adanya hubungan yang positif terhadap hasil produksi tersebut. Dalam penelitian ini setiap kenaikan penggunaan tenaga kerja sebanyak 1% diduga akan meningkatkan produksi padi sebanyak 0,05% (ceteris paribus). Kontribusi tenaga kerja terhadap produksi padi petani non P3A tidak berpengaruh
76
secara nyata. Hal ini dapat dilihat pada p-value tenaga kerja 0,83 lebih besar dari taraf nyata hingga α 15%. d.
Air Air merupakan faktor produksi paling penting dalam melakukan kegiatan
produksi usahatani. Hasil uji statistik dari model fungsi produksi padi petani non P3A menunjukkan bahwa koefisien regresi air memiliki hubungan yang positif dengan produksi padi. Peningkatan kebutuhan air sebanyak 1% diduga akan meningkatkan produksi padi sebanyak 1,18% (ceteris paribus). Kontribusi air untuk petani non P3A berpengaruh secara nyata. Hal ini dapat dilihat pada p-value air sebesar 0,00 dimana nilai tersebut lebih kecil dari taraf nyata α 1%. Sesuai dengan kondisi yang terjadi di lapang ketika penelitian, kebutuhan air untuk mengairi lahan pertanian petani non P3A tersedia dalam jumlah yang terbatas, sedangkan tanaman padi yang sedang diusahakan membutuhkan supply air yang banyak agar tanaman padi dapat tumbuh dengan baik dan menghasilkan output yang berkualitas. Oleh karena itu, peran air untuk kebutuhan produksi padi petani non P3A sangat diperlukan. Terbukti berdasarkan hasil analisis regresi jika pasokan air ditingkatkan, maka produksi padi akan meningkatkan dengan jumlah yang lebih besar dari pada jumlah penambahan air tersebut. Uji Kriteria Ekonometrika a.
Uji Multikolinearitas Uji multikolinearitas terhadap suatu model regresi berganda dilakukan
untuk memastikan tidak adanya hubungan linear yang terjadi antara variabelvariabel independen (faktor produksi). Pengujian ini dilakukan dengan melihat nilai
dari
Variance
Inflation
Factor
(VIF).
Suatu
model
memiliki
77
multikolinearitas jika nilai VIF dari setiap variabel pada model bernilai lebih dari 10. Berdasarkan hasil uji statistik pada Tabel 20, nilai VIF dari keempat faktor yang menjadi variabel independen pada model memiliki nilai kurang dari 10. Hal ini menunjukkan bahwa variabel-variabel independen dalam model regresi untuk produksi usahatani petani P3A tidak memiliki hubungan linear satu sama lain. b.
Uji Normalitas dan Heteroskedastisitas Uji normalitas untuk model produksi padi petani non P3A dilakukan
dengan uji statistik Kolmogorov-Smirnov (KS) berdasarkan Lampiran 7. Hasil yang diperoleh pada uji KS tersebut yaitu nilai rata-rata -2,99020E-15, nilai standar deviasi 0,2195, jumlah pengamatan 30 reponden, nilai KolmogorovSmirnov (KS) 0,084, dan p-value lebih dari 15%. Terlihat bahwa nilai KS-hitung lebih kecil dari KS-tabel (0,242). Hal ini menunjukkan bahwa residual telah mengikuti distribusi secara normal, sehingga asumsi kenormalan residual telah terpenuhi. Uji heteroskedastisitas terhadap suatu model regresi berganda dilakukan untuk memastikan varian unsur gangguan (eror) adalah konstan. Model regresi yang didapat diharapkan memenuhi asumsi homoskedastisitas. Pendeteksian heteroskedastisitas dapat dilakukan dengan metode grafik, yaitu dengan melihat pola penyebaran titik-titik pada scatterplot. Model regresi dikatakan memenuhi asumsi homoskedastisitas jika sebaran titik-titik pada grafik tidak membentuk pola tertentu atau pola yang terbentuk tidak jelas, dan titik-titik menyebar di atas dan di bawah angka nol pada sumbu Y. Gambar 4 (a) dan (b) masing-masing menunjukkan sebaran kenormalan residual dan homoskedastisitas.
78
(a)
(b)
Gambar 4. Grafik Model Regresi Produksi Usahatani Non P3A (a) Grafik Uji Kenormalan (b) Grafik Homoskedastisitas c.
Uji Autokorelasi Uji autokorelasi dilakukan untuk melihat apakah terdapat hubungan antar
galat dalam persamaan regresi yang diperoleh. Model yang baik adalah model yang terbebas dari autokorelasi, sehingga kesalahan prediksi (selisih antara data asli dengan data hasil regresi) bersifat bebas untuk setiap variabel independen. Hasil uji statistik menunjukkan nilai Durbin-Watson statistic sebesar 1,92371. Berdasarkan Firdaus (2004), daerah keputusan 1,55 – 2,46 merupakan daerah tidak adanya autokorelasi dalam suatu model, maka dengan nilai 1,92371pada model fungsi produksi padi petani non P3A tersebut menunjukkan bahwa model fungsi produksi padi petani non P3A terbebas dari autokorelasi.
6.2.3 Analisis Efisiensi Ekonomi Penggunaan Faktor-faktor Produksi Padi Petani P3A dan Non P3A Efisiensi produksi dapat diartikan sebagai upaya penggunaan input atau faktor produksi yang sekecil-kecilnya untuk mendapatkan hasil produksi yang sebesar-besarnya (Rahim, 2007). Efesiensi ekonomi penggunaan faktor-faktor produksi dapat dilihat dari rasio antara Nilai Produk Marjinal (NPM) sama dengan harga input (Px) atau Biaya Korbanan Marjinal (BKM). Efisiensi ekonomis
79
merupakan kata lain dari “keuntungan maksimum” (Sumarjono, 2004). Tabel 21 menunjukkan nilai produk marjinal dan biaya korbanan marjinal dari produksi padi petani P3A. Tabel 21. Variabel
Nilai Produk Marjinal dan Biaya Korbanan Marjinal dari Produksi Padi Petani P3A Koefisien Regresi
BKM (Rp)
0,46 163.900 0,30 5.000 Air (m ) Sumber: Hasil Analisis Data (2012) Benih (kg) 3
NPM (Rp) 57.349,23 187,28
NPM/BKM 0,38 0,04
Penggunaan Input Aktual 99,44 20.128,00
Penggunaan Input Optimal 34,22 691,48
Berdasarkan Tabel 21, penggunaan faktor-faktor produksi padi untuk petani P3A belum efisien secara ekonomi. Hal ini dikarenakan nilai-nilai rasio NPM dan BKM dari masing-masing faktor produksi tidak sama dengan satu. Faktor produksi benih memiliki nilai produk marjinal sebesar 57.349,23 yang artinya penambahan 1 kg/ha benih akan meningkatkan pendapatan sebesar Rp 57.349,23 dengan biaya yang harus dikeluarkan yaitu sebesar Rp 163.900. Rasio NPM dan BKM untuk benih bernilai 0,38 yang berarti penggunaan benih padi tidak efisien, sehingga penggunaan benih harus dikurangkan untuk mencapai kondisi yang efisien. Berdasarkan informasi yang diperoleh dari hasil wawancara dengan responden, penggunaan rata-rata benih padi untuk petani P3A yaitu sebesar 99,44 kg/ha dalam satu musim tanam. Oleh karna itu, benih padi harus dikurangkan hingga 34,22 kg/ha agar tercapai penggunaan input secara optimal. Air memiliki nilai produk marjinal 187,28 yang berarti setiap penambahan kebutuhan air sebanyak 1 m3/ha akan meningkatkan pendapatan sebesar Rp 187,28 dan biaya tambahan yang dikeluarkan sebesar Rp 5.000. Rasio NPM dan BKM air adalah 0,03 yang berarti penggunaan air tidak efisien sehingga penggunaan air harus dikurangkan untuk dapat mencapai kondisi yang efisien.
80
Penggunaan air sebagai input produksi padi petani P3A secara aktual sebanyak 20.128 m3/ha yang berarti penggunaan air tersebut masih belum pada kondisi yang efisien, sehingga harus dikurangkan penggunaannya agar tercapai kondisi penggunaan input yang optimal yaitu sebesar 691,48 m3/ha. Berdasarkan informasi yang diperoleh dari Dinas Pertanian Subang, kebutuhan air untuk metode tanam padi konvensional adalah sekitar 4.800.000 liter/ha atau setara dengan 4.800 m3/ha. Hasil perhitungan efisiensi menyatakan bahwa penggunaan air harus dikurangkan, namun harus disesuaikan dengan standarisasi yang telah ditetapkan oleh dinas terkait. Penggunaan faktor-faktor produksi padi untuk petani non P3A belum efisien secara ekonomi. Hal ini dikarenakan nilai-nilai rasio NPM dan BKM dari masing-masing faktor produksi tidak sama dengan satu. Upaya untuk memaksimumkan keuntungan usahatani petani P3A ini dapat dilakukan dengan menambahkan atau mengurangkan input produksi hingga NPM sama dengan BKM. Tabel 22 berikut menunjukkan nilai produk marjinal dan biaya korbanan marjinal dari produksi padi petani non P3A. Tabel 22. Variabel
Nilai Produk Marjinal dan Biaya Korbanan Marjinal dari Produksi Padi Petani Non P3A Koefisien Regresi
BKM (Rp)
Pupuk 0,14 2.050,00 (kg) 1,18 33.666,70 Air (m3) Sumber: Hasil Analisis Data (2012)
NPM (Rp)
NPM/BKM
Penggunaan Input Aktual
Penggunaan Input Optimal
6.006,40
2,93
409,03
1.006,97
2.416,52
0,12
7.000,00
811,77
Berdasarkan Tabel 22, faktor produksi pupuk memiliki nilai NPM sebesar 6.006,40 yang berarti setiap penambahan 1 kg/ha pupuk akan meningkatkan pendapatan petani non P3A sebesar Rp 6.006,40 dengan biaya tambahan yang harus dikeluarkan sebesar Rp 2.050. Rasio NPM dan BKM untuk pupuk memiliki
81
nilai 2,93 yang berarti penggunaan pupuk dalam produksi padi petani non P3A belum efisien, sehingga dapat ditingkatkan untuk mencapai kondisi yang efisien. Rata-rata penggunaan pupuk aktual petani non P3A yaitu sebesar 409,03 kg/ha dalam satu musim tanam. Nilai tersebut belum memberikan produksi yang maksimum, sehingga perlu ditambahkan penggunaan pupuk dalam satu musim tanam agar penggunaan input menjadi optimal sebesar 1.006,97 kg/ha. Berdasarkan informasi yang diperoleh dari Kementerian Pertanian Republik Indonesia, acuan rekomendasi pupuk (kg/ha) untuk tanaman padi di Kecamatan Caringin, Kabupaten Bogor yaitu penggunaan pupuk Urea sebesar 300 kg/ha, SP36 sebesar 50 kg/ha, dan KCl sebesar 50 kg/ha, sehingga total penggunaan pupuk anorganik untuk tanaman padi sebesar 400 kg/ha. Acuan penggunaan pupuk kandang yang digunakan yaitu sebesar 1000 kg/ha. Air sebagai salah satu faktor produksi padi petani non P3A memiliki NPM sebesar 2.416,52, artinya penambahan 1 m3/ha air akan meningkatkan pendapatan sebesar Rp 2.416,52 dengan biaya tambahan yang dikeluarkan sebesar Rp 33.666,70. Rasio NPM dan BKM air memiliki nilai 0,11, artinya penggunaan air tidak efisien sehingga masih dapat dikurangkan untuk mencapai kondisi yang efisien. Total rata-rata penggunaan aktual air untuk kebutuhan proses produksi padi petani non P3A sebanyak 7.000 m3/ha, sedangkan untuk mencapai produksi yang optimal, input yang digunakan harus sebanyak 811,77 m3/ha. Berdasarkan informasi yang diperoleh dari Dinas Pertanian Subang, kebutuhan air untuk metode tanam padi konvensional adalah sekitar 4.800.000 liter/ha atau setara dengan 4.800 m3/ha. Hasil perhitungan efisiensi menyatakan
82
bahwa penggunaan air sebagai faktor produksi harus dikurangkan, namun harus disesuaikan dengan standarisasi yang telah ditetapkan oleh dinas terkait.
6.3
Analisis Perbandingan Pendapatan Usahatani Petani P3A dan Non P3A
6.3.1 Output Usahatani Output usahatani padi yaitu berupa gabah yang merupakan bulir padi yang telah mengalami proses perontokkan dari aktivitas panen. Gabah inilah yang menjadi hasil utama petani dalam menambah pendapatan di bidang pertanian. Gabah yang diterima petani dari lahan sawah yang telah dipanen yaitu Gabah Kering Panen (GKP) yang merupakan gabah hasil perontokan dari tanaman padi yang belum mendapatkan perlakuan pengeringan. Sementara gabah yang telah mengalami pengeringan disebut
dengan Gabah Kering Giling (GKG).
Berdasarkan informasi yang diperoleh dari petani responden penelitian, harga jual GKP lebih rendah dari pada harga jual GKG. Hal ini dikarenakan bulir padi GKP masih berisi air yang dapat menyebabkan bulir padi akan membusuk jika tidak segera dikeringkan. Jenis gabah yang dijual oleh petani responden P3A Desa Katulampa dan petani responden non P3A Desa Muarajaya yaitu Gabah Kering Panen (GKP). Berdasarkan informasi yang diperoleh dari hasil penelitian, harga jual GKP petani P3A lebih tinggi dari pada harga jual GKP petani non P3A. Harga jual GKP yang berlaku pada petani P3A yaitu Rp 3.000/kg, sedangkan harga jual GKP untuk petani non P3A yaitu berkisar antara Rp 2500/kg hingga Rp 2.800/kg. Data hasil produksi padi petani P3A dan non P3A dapat dilihat pada Tabel 23.
83
Tabel 23. Jumlah Produksi Dan Produktivitas Padi Petani Anggota P3A dan Petani Non P3A Musim Tanam
Kelompok Luas RataPetani rata (ha) P3A 0,4924 MT 1 Non P3A 0,6067 P3A 0,4924 MT 2 Non P3A 0,6067 P3A 0,4924 MT 3 Non P3A 0,6067 Sumber: Hasil Analisis Data (2012)
GKP Total (kg) 50.050 99.823 20.400 36.605 98.678
GKP Ratarata (kg) 2.002,00 3.327,33 1.360,00 1.464,00 3.289,27
Produktivitas (kg/ha) 4.605,80 5.484,78 2.531,00 2.973,60 5.421,87
Berdasarkan Tabel 23 dapat diketahui bahwa hasil produksi GKP petani non P3A lebih besar dari pada GKP petani P3A. Hal ini dikarenakan teknik penanaman dari kedua petani tersebut berbeda. Petani P3A menanam benih padi (tandur) sebanyak 5-7 benih dalam satu lubang tanam, sedangkan petani non P3A menerapkan teknik tandur yang telah dianjurkan oleh pemerintah yaitu menanam benih padi sebanyak 3-4 benih pada satu lubang tanam. Berdasarkan informasi yang telah diperoleh dari petani responden, bibit yang ditanam dalam satu lubang tanam tidak boleh terlalu banyak karena hal ini akan menyebabkan pertumbuhan tanaman padi menjadi kurang baik. Unsur hara yang tekandung dalam tanah yang menjadikan zat tumbuh bagi tanaman akan diserap secara bersamaan, sehingga akan terjadi persaingan dalam penyerapan unsur hara tersebut. Petani P3A Desa Katulampa menanam benih padi sebanyak 5-7 benih dalam satu lubang tanam dikarenakan petani P3A masih menerapkan teknik tandur turun menurun dari keluarga mereka dan enggan untuk mencoba menerapkan teknik tandur yang dianjurkan oleh pemerintah. 6.3.2 Penerimaan Usahatani Penerimaan usahatani merupakan jumlah output usahatani dikalikan dengan harga yang berlaku terhadap output usahatani tersebut. Penerimaan ini merupakan pendapatan kotor sebelum dikurangi biaya-biaya yang dikeluarkan
84
selama melakukan proses produksi. Output pertanian berupa Gabah Kering Panen (GKP) dijual dengan harga yang berlaku di pasar untuk masing-masing usahatani sehingga akan diperoleh penerimaan kotor usahatani. Perbandingan penerimaan usahatani petani P3A dan non P3A dapat dilihat pada Tabel 24 dan Lampiran 8. Tabel 24. Penerimaan Usahatani Petani Anggota P3A dan Non P3A Petani P3A
Penerimaan (Rp) Masa Tanam 1
Masa Tanam 2
12.197.400,49
7.593.052,11
Non P3A 14.900.319,60 Sumber: Hasil Analisis Data (2012)
-
Masa Tanam 3
Jumlah Penerimaan (Rp/tahun)
8.920.769,10
28.711.221,70
14.729.408,42
29.629.728,02
Berdasarkan Tabel 24 dapat dilihat bahwa penerimaan rata-rata petani P3A lebih rendah dari penerimaan rata-rata petani non P3A. Penerimaan total per tahun petani P3A sebesar Rp 28.711.221,70, sedangkan penerimaan total petani non P3A sebesar Rp 29.629.728,02 dalam satu tahun. Berdasarkan hasil penelitian, total hasil produktivitas usahatani petani non P3A tidak dapat dinikmati seluruhnya oleh petani penggarap melainkan harus diberikan kepada pemilik lahan pertanian sebesar 40% dari total hasil produksi sebagai sewa lahan pertanian yang digarap petani, sehingga pengeluaran petani penggarap untuk petani non P3A lebih besar dari pada petani non P3A. Harga jual GKP pada petani P3A cenderung tetap yaitu pada harga Rp 3.000/kg, sedangkan tingkat harga GKP pada petani non P3A berbeda-beda mulai dari harga Rp 2.600/kg – Rp 2800/kg sehingga diperoleh harga jual rata-rata GKP petani non P3A sebesar Rp 2.716/kg. Perbedaan tingkat harga jual GKP pada masing-masing usahatani dipengaruhi oleh kualitas dari GKP yang dihasilkan. 6.3.3 Biaya Usahatani Biaya merupakan suatu pengeluaran yang harus dibayarkan atas segala sesuatu yang dibutuhkan ketika melakukan suatu kegiatan. Biaya usahatani
85
merupakan komponen dari pemakain barang atau jasa untuk keperluan usahatani yang harus dikeluarkan oleh petani padi selama masa tanam berlangsung. Biaya usahatani terdiri dari biaya tetap dan biaya variabel. Menurut Hernanto (1996), Biaya tetap merupakan biaya yang penggunaannya tidak habis dalam satu masa produksi. Kelompok biaya ini antara lain pajak tanah, pajak air, penyusutan alat dan bangunan pertanian, pemeliharaan kerbau, pemeliharaan pompa air, traktor dan lain sebagainya. Biaya variabel merupakan biaya yang besar kecilnya sangat tergantung kepada biaya skala produksi. Tergolong dalam kelompok biaya ini antara lain biaya untuk pupuk, bibit, obat pembasmi hama dan penyakit, buruh atau tenaga kerja, biaya panen, biaya pengolahan tanah baik yang berupa kontrak maupun upah harian, dan sewa lahan. Biaya usahatani petani anggota P3A dan non P3A dapat dilihat pada Tabel 25. Tabel 25. Biaya Usahatani Petani Anggota P3A dan Non P3A No. 1
Uraian Biaya Tunai Biaya Tetap Biaya Variabel
2
Sewa Lahan Penyusutan Alat Pertanian Benih Pupuk Pestisida Tenaga Kerja Luar Keluarga Air
Sub Total Biaya Non Tunai Biaya Variabel Tenaga Kerja Dalam Keluarga
Sub Total Biaya Total Sumber: Hasil Analisis Data (2012)
(Rp/ha/tahun) Biaya Petani P3A Petani non P3A 2.391.924 57.153 692.313 3.053.525 438.750 4.195.200 273.282 11.102.147
11.851.890 31.222 250.834 1.604.246 855.932 3.819.966 67.334 18.481.424
1.590.000
756.666
1.590.000 12.692.147
756.666 19.238.090
Tabel 25 menunjukkan bahwa biaya usahatani petani P3A lebih kecil dari pada biaya usahatani petani non P3A. Biaya total yang dikeluarkan petani P3A
86
yaitu sebesar Rp 12.692.147 dalam satu tahun masa tanam, sedangkan untuk petani non P3A biaya total yang dikeluarkan sebesar Rp 19.238.090 dalam satu tahun masa tanam. Biaya tersebut merupakan jumlah total rata-rata dari biaya tunai dan non tunai yang dikeluarkan dalam satu masa tanam. Biaya tunai yang dikeluarkan memiliki proporsi yang lebih besar dari pada biaya non tunai dalam struktur biaya usahatani. Hal ini dikarenakan dalam melakukan suatu aktivitas produksi pertanian input yang digunakan untuk proses produksi harus tercukupi kebutuhannya, baik berupa biaya tunai yang langsung dikeluarkan oleh petani maupun biaya hitung yang secara nyata tidak dikeluarkan sebagai biaya namun pada kenyataannya biaya tersebut harus dikeluarkan dalam aktivitas produksi pertanian, sehingga petani harus memiliki modal untuk dapat memenuhi kebutuhan produksi tersebut. Berdasarkan data yang diperoleh, alokasi biaya yang paling besar dikeluarkan oleh petani P3A yaitu untuk keperluan tenaga kerja. Penggunaan tenaga kerja untuk usahatani petani P3A sebagian besar merupakan tenaga kerja luar keluarga dengan biaya produksi sebesar Rp 4.195.200. Alokasi biaya terbesar yang harus dikeluarkan oleh petani non P3A yaitu untuk biaya sewa lahan. Sistem sewa lahan petani non P3A Desa Muarajaya dilakukan dengan sistem bagi hasil produk pertanian. Petani tidak diwajibkan untuk membayar sewa dari lahan pertanian yang mereka garap, namun kewajiban lain yang harus dibayarkan yaitu berupa bagi hasil produk pertanian dengan proporsi 60% dari total produk pertanian menjadi milik petani penggarap dan sisanya 40% dari total produk pertanian menjadi hak atas pemilik lahan.
87
6.3.4 Pendapatan Usahatani Tujuan utama suatu aktivitas ekonomi yaitu untuk memperoleh keuntungan yang maksimum. Suatu usahatani dikatakan menguntungkan jika selisih antara penerimaan dengan pengeluaran bersifat positif. Pendapatan usahatani dianalisis berdasarkan pendapatan atas biaya tunai dan pendapatan atas biaya total. Pendapatan atas biaya tunai diperoleh dari selisih antara penerimaan dengan biaya tunai, sedangkan pendapatan atas biaya total diperoleh dari selisih antara penerimaan dengan biaya total. Pendapatan atas biaya total akan lebih rendah dari pada pendapatan atas biaya tunai, karena dalam analisis pendapatan atas biaya total memperhitungkan biaya tenaga kerja dalam rumah tangga, sedangkan pada analisis pendapatan atas biaya tunai tidak memperhitungkan hal tersebut. Secara rinci perbandingan pendapatan usahatani petani anggota P3A dan non P3A dapat dilihat pada Tabel 26 berikut. Tabel 26. Perbandingan Pendapatan Usahatani Petani Anggota P3A dan Non P3A No. 1 2
Uraian
Penerimaan Usahatani Biaya Usahatani a. Total Biaya Tunai b. Total Biaya Non Tunai c. Total Biaya (a+b) 3 Pendapatan Atas Biaya Tunai (1-2a) 4 Pendapatan Atas Biaya Total (1-2c) 5 R/C Atas Biaya Total (1/2c) Sumber: Hasil Analisis Data (2012)
Petani P3A
(Rupiah/ha/tahun) Petani non P3A
28.711.221,70
29.629.728,02
11.102.147,95 1.590.000,00 12.692.147,95 17.609.073,75 16.019.073,75 2,26
18.413.060,00 756.666,00 19.169.726,00 11.216.668,02 10.460.002,02 1,55
Berdasarkan data yang diperoleh dari Tabel 26, penerimaan total usahatani petani P3A yaitu sebesar Rp 28.711.221,79 per tahun dan penerimaan total usahatani petani non P3A sebesar Rp 29.629.728,02 per tahun. Perbedaan penerimaan kedua usahatani tersebut disebabkan perbedaan hasil produksi yang
88
didapat oleh masing-masing usahatani. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, petani non P3A mengikuti anjuran dari pemerintah mengenai penanaman dan pengelolaan lahan pertanian sehingga hasil yang diperoleh petani non P3A lebih besar dari pada petani P3A. Biaya total usahatani padi petani P3A yaitu sebesar Rp 16.019.073,75 dalam satu tahun. Biaya ini memiliki proporsi yang lebih kecil dari pada biaya yang dikeluarkan petani non P3A yaitu sebesar Rp 18.413.060,00 dalam satu tahun. Biaya tersebut merupakan jumlah total dari rata-rata biaya tunai dan biaya non tunai. Biaya tunai terdiri atas pengeluaran biaya untuk pembelian input produksi berupa benih, pupuk, pestisida, pemberian upah terhadap tenaga kerja, biaya pemenuhan air untuk irigasi, sewa lahan, dan penyusutan alat-alat pertanian. Biaya non tunai yang harus diperhitungkan dalam struktur biaya usahatani yaitu berupa pemberian upah terhadap tenaga kerja dalam keluarga. Pendapatan usahatani yang diperoleh petani P3A dan petani non P3A bernilai positif yang artinya kedua petani tersebut memperoleh keuntungan atas usahatani yang mereka jalankan. Pendapatan atas biaya total usahatani padi petani P3A memiliki jumlah yang lebih tinggi yaitu Rp 16.019.073,75 dari pada petani non P3A Rp 10.460.002,02 dalam satu tahun masa tanam. Petani P3A dapat melakukan panen dalam satu tahun sebanyak tiga kali panen, sedangkan petani non P3A hanya dapat melakukan dua kali panen saja dalam satu tahun sehingga total pendapatan satu tahun usahatani petani P3A sebesar Rp 16.019.074,75 dan petani non P3A sebesar Rp 10.460.002,02. Hal ini dikarenakan kebutuhan air irigasi pada petani P3A Desa Katulampa selalu tersedia dalam jumlah yang banyak, sehingga ketika pasca panen petani mulai mengolah lahan pertaniannya
89
untuk persiapan masa tanam yang selanjutnya. Sedangkan untuk petani non P3A Desa Muarajaya, ketersediaan air irigasi hanya tesrsedia ketika memasuki masa penanaman padi saja sehingga ketika pasca panen petani harus mengolah lahan pertaniannya untuk persiapan masa tanam yang selanjutnya dengan waktu yang lebih lama. Perbedaan jumlah panen dalam satu tahun pengelolaan usahatani padi ini dapat memberikan pendapatan yang berbeda pula untuk masing-masing petani. Efisiensi usahatani petani P3A dan non P3A dapat dilihat dari nilai Return Cost Ratio (R/C) yang diperoleh kedua petani tersebut. Tabel 25 menunjukkan bahwa R/C atas biaya total bernilai positif yang artinya usahatani kedua petani tersebut menguntungkan secara ekonomi karena nilai R/C usahatani petani anggota dan non anggota P3A bernilai lebih dari satu. Berdasarkan data yang diperoleh, nilai R/C rata-rata dalam satu tahun musim tanam untuk petani P3A atas biaya total yaitu sebesar 2,26 dan nilai R/C untuk petani non P3A yaitu sebesar 1,55. Hal ini menjelaskan bahwa keuntungan yang diperoleh petani P3A akan meningkat sebesar Rp 2,26 setiap satu rupiah input yang dikeluarkan atas biaya total. Begitu pun dengan petani non P3A, keuntungan petani non P3A akan meningkat sebesar Rp 1,55 setiap satu rupiah yang dikeluarkan atas biaya total. Nilai R/C untuk petani P3A memiliki nilai yang lebih besar dari pada nilai R/C petani non P3A. Hal ini dikarenakan total biaya per tahun petani P3A memiliki nilai yang lebih kecil dari pada petani non P3A. Total penerimaan per tahun petani P3A memiliki nilai penerimaan sedikit lebih kecil dari pada total penerimaan yang diperoleh petani non P3A. Hal ini dikarenakan perbedaan cara budidaya padi yang dilakukan oleh petani P3A dan non P3A. Petani P3A melakukan teknik budidaya padi tradisional, sedangkan petani non P3A
90
melakukan teknik budidaya padi berdasarkan anjuran-anjuran yang telah diberikan oleh penyuluh pertanian, sehingga produktivitas padi petani non P3A memberikan hasil yang lebih baik dari pada petani P3A. Peran sistem irigasi dan kelembagaan organisasi P3A menyebabkan petani yang tergabung kedalam organisasi P3A memiliki keunggulan berupa bertambahnya masa tanam dalam satu tahun. Hal ini tentu saja memberikan manfaat berupa bertambahnya pendapatan usahatani petani P3A dalam satu tahun dibandingkan dengan petani non P3A yang hanya memiliki masa tanam dua kali dalam satu tahun.
91
VII. SIMPULAN DAN SARAN
7.1
Simpulan Berdasarkan hasil dan pembahasan terhadap penelitian yang telah
dilakukan, simpulan dapat dirumuskan sebagai berikut: 1. Karakteristik sosial ekonomi petani P3A dan non P3A dapat dijelaskan berdasarkan beberapa kriteria, yaitu usia, tingkat pendidikan, status pekerjaan usahatani, dan lamanya pengalaman berusahatani. Status kepemilikan lahan petani P3A dan non P3A bersifat sewa lahan, namun sistem pembayaran sewa lahan untuk keduanya berbeda. Begitupun dengan teknologi budidaya padi dan kelembagaan organisasi untuk petani P3A dan non P3A pun berbeda satu sama lain. 2. Hasil uji statistik faktor-faktor yang mempengaruhi nilai produksi padi petani P3A menunjukkan bahwa faktor produksi yang berpengaruh nyata terhadap produksi padi petani P3A yaitu benih dan air. Faktor-faktor yang berpengaruh secara nyata terhadap nilai produksi padi petani Non P3A yaitu benih, pupuk, dan air. Skala usahatani petani P3A dan non P3A berada pada kondisi increasing return to scale, yaitu proporsi penambahan input produksi akan menghasilkan tambahan produksi yang proporsinya lebih besar. Penggunaan faktor-faktor produksi padi petani P3A dan non P3A belum optimal. Hal ini ditunjukkan oleh nilai rasio NPM dan BKM yang tidak sama dengan satu. 3. Pendapatan
total per tahun usahatani padi petani P3A lebih besar
dibandingkan pendapatan total usahatani padi petani non P3A. Selisih pendapatan total petani P3A atas petani non P3A yaitu sebesar Rp
92
5.559.071,73 per tahun . Dampak ekonomi yang ditimbulkan proyek irigasi adalah masa tanam petani P3A memiliki tiga kali masa tanam sehingga pendapatan total per tahunnya lebih besar dari pada petani non P3A yang hanya memiliki dua kali masa tanam dalam satu tahun.
7.2
Saran Berdasarkan hasil pembahasan dan simpulan yang diperoleh, saran yang
dapat disampaikan yaitu: 1. Guna mencapai hasil produksi padi yang lebih baik, maka perlu dikembangkan kelembagaan organisasi Perkumpulan Petani Pemakai Air (P3A) agar segala urusan keirigasian dapat dioptimalkan. Selain itu, perlu juga ditingkatkan peran penyuluhan di bidang pertanian agar kualitas dan kuantitas hasil produksi padi menjadi lebih baik. 2. Guna meningkatkan akses aliran irigasi kepada lahan-lahan sawah petani, maka Pemerintah Daerah Kota dan Kabupaten Bogor perlu melakukan perluasan aliran proyek irigasi ke beberapa lokasi lahan pertanian yang belum teraliri air irigasi agar dapat teraliri dengan baik.
93
DAFTAR PUSTAKA
Akrab. 2006. Persepsi Petani Anggota Terhadap Fungsi dan Peran Kelembagaan Perkumpulan Petani Pemakai Air (P3A) dalam Upaya Peningkatan Produksi Pertanian. Tesis. Sekolah Pascasarjana IPB. Bogor Amri A N. 2011. Analisis efisiensi Produksi dan Pendapatan Usahatani Ubi Kayu (Studi Kasus Desa Pasirlaja, Kecamatan Sukaraja, Kabupaten Bogor). Skripsi. Fakultas Ekonomi dan Manajemen IPB. Bogor Badan Pusat Statistik Kabupaten Bogor. 2011. Kabupaten Bogor Dalam Angka 2011. Badan Pusat Statistik. Bogor. Badan Pusat Statistik Kota Bogor. 2011. Kota Bogor Dalam Angka 2011. Badan Pusat Statistik. Bogor. Badan Pusat Statistik. 2012. Berita Resmi Statistik. Badan Pusat Statistik. Jakarta. Dinas Pengelolaan Sumberdaya Air. 2011. Bendung Katulampa Sungai Ciliwung. Dinas Pengelolaan Sumberdaya Air. Bogor. Doll J P, F Orazem. 1984. Production Economics Theory With Applications. John Wiley & Sons, Inc. United States of America. Finanda I T. 2011. Analisis Efisiensi Produksi dan Pendapatan Usaha Pembesaran Lele Dumbo (Studi Kasus: CV Jumbo Bintang Lestari). Skripsi. Fakultas Ekonomi dan Manajemen IPB. Bogor Firdaus M. 2004. Ekonometrika Suatu Pendekatan Aplikatif. PT Bumi Aksara. Jakarta. Hanafie R. 2010. Pengantar Ekonomi Pertanian. CV Andi Offset. Yogyakarta. Hernanto F. 1996. Ilmu Usahatani. Penebar Swadaya. Jakarta. Juanda B. 2009. Ekonometrika: Pemodelan dan Pendugaan. IPB Press. Bogor. Kamus Besar Bahasa Indonesia. 2013. http://kamusbahasaindonesia.org/air diakses pada tanggal 30 Januari 2013. Kaunang S. 2006. Analisis Land Rent Pemanfaatan Lahan Tambak Di Wilayah Pesisir Kabupaten Serang Provinsi Banten. Tesis. Sekolah Pascasarjana IPB. Bogor. Mawardi E, M Memed. 2002. Desain Hidraulik Bendung Tetap Untuk Irigasi Teknis. Alfabeta. Bandung. Muththalib A. 2009. Organisasi Petani Pemakai Air. http://idshvoong.com/exactsciences/1947719-organisasi-petani-pemakai-air/ diakses pada tanggal 5 Desember 2012. Nicholson W. 1995. Teori Ekonomi Mikro Prinsip Dasar dan Pengembangannya. PT. RajaGrafindo Persada. Jakarta.
94
Pusposutardjo S. 2001. Pembangunan Irigasi, Usahatani Berkelanjutan dan Gerakan Hemat Air. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional. Yogyakarta. Rahim A, D R D Hastuti. 2007. Ekonomika Pertanian. Penebar Swadaya. Jakarta. Sapta R. 2009. Analisis Dampak Kemacetan Lalu Lintas Terhadap Sosial Ekonomi Pengguna Jalan Dengan Contingent Valuation Method (CVM) (Studi Kasus: Kota Bogor, Jawa Barat). Skripsi. Fakultas Ekonomi dan Manajemen IPB. Bogor. Saragih B. 2011. Analisis Dampak Metode System Of Rice Intensification (SRI) Terhadap Penggunaan Input, Produksi dan Pendapatan Usahatani Padi Sawah Di Desa Jambenenggang, Sukabumi, Jawa Barat. Skripsi. Fakultas Ekonomi dan Manajemen IPB. Bogor. Siagian D dan Sugiarto. 2000. Metode Statistika Untuk Bisnis dan Ekonomi. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Soekartawi. 1993. Prinsip Dasar Ekonomi Pertanian Teori dan Aplikasi. PT RajaGrafindo Persada. Jakarta. _________. 1995. Analisis Usahatani. Universitas Indonesia (UI-Press). Jakarta. _________. 2002. Prinsip Dasar Ekonomi Pertanian Teori dan Aplikasi. PT RajaGrafindo Persada. Jakarta. Sugiyono A. 2001. Analisis Manfaat dan Biaya Sosial. Makalah. Program Pascasarjana Magister Sains dan Doktor Fakultas Ekonomi UGM. Yogyakarta. Sumarjono D. 2004. Diktat Kuliah Ilmu Ekonomi Produksi. Program Studi Sosial Ekonomi Peternakan Fakultas Peternakan Universitas Diponegoro. Semarang. Supranto J. 2004. Ekonometri. Ghalia Indonesia. Jakarta. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2004 Tentang Sumberdaya Air. Jakarta. Wijaya A. 2002. Analisis Pendapatan dan Efisiensi Produksi Usahatani Padi Input Rendah di Kecamatan Tempuran, Kabupaten Karawang, Propinsi Jawa Barat. Skripsi. Fakultas Pertanian IPB. Bogor.
95
LAMPIRAN
96
Lampiran 1. Jumlah Produksi Dan Produktivitas Padi Petani Anggota P3A dan Non P3A a. Jumlah Produksi dan Produktivitas Padi Petani Anggota P3A No. Resp
L. Lahan (ha)
Masa Tanam 1
1 0.1 2 0.3 3 1 4 0.5 5 3 6 0.5 7 0.06 8 0.5 9 0.3 10 0.2 11 0.2 12 0.2 13 0.2 14 0.2 15 0.15 16 0.1 17 1 18 0.2 19 0.4 20 1 21 0.1 22 1 23 0.5 24 0.1 25 0.5 Jumlah 12.31 Ratarata 0.49 Produktivitas (kg/ha) Sumber: Hasil Analisis Data (2012)
400 2000 2500 900 12000 2500 550 2500 3000 1200 1500 400 800 1000 850 800 5000 400 1700 750 1700 4000 2000 1200 400 50050 2002 4605.8
Produksi (kg) Masa Tanam 2 Masa Tanam 3 350 600 1800 1800 0 4500 0 1500 7000 7200 1000 1500 400 400 1500 2000 1000 1500 800 800 200 200 350 450 0 500 900 800 0 650 400 500 0 2700 0 825 1700 1200 500 1000 0 480 2500 2700 0 1500 0 900 0 400 20400 36605 1360 2531
1464.2 2973.6
97
Lampiran 1 (Lanjutan) b. Jumlah Produksi dan Produktivitas Padi Petani Non P3A No. Resp
L. Lahan (ha)
1 0.5 2 0.1 3 0.5 4 2 5 0.3 6 0.5 7 1 8 0.4 9 0.8 10 0.5 11 0.6 12 1 13 0.5 14 1 15 0.15 16 0.7 17 1.5 18 0.6 19 0.4 20 0.2 21 0.15 22 0.2 23 0.3 24 0.25 25 0.5 26 1 27 0.4 28 1.5 29 0.5 30 0.15 Jumlah 18.2 Rata-rata 0.61 Produktivitas (kh/ha) Sumber: Hasil Analisis Data (2012)
Masa Tanam 1
Produksi (kg) Masa Tanam 2 3500 3000 600 500 1600 1300 5530 5400 1342 1636 3253 3486 6597 6504 2853 2744 4409 3335 3580 3360 3327 2880 6700 6555 3370 2880 680 6527 675 525 3950 3530 10200 9850 3150 2950 2100 2030 1500 875 787 630 950 775 1700 1500 1550 1400 2800 2550 6320 7111 2550 2400 10950 9500 2450 2270 850 675 99823 98678 3327.43 3289.27 5484.8 5421.9
98
Lampiran 2. Perbandingan Penggunaan Benih Padi Petani Desa Katulampa (P3A) dan Desa Muarajaya (non P3A) No. Resp.
Luas Lahan (ha)
Jumlah (kg)
Benih P3A Harga Satuan (Rp/kg) 7000 6000 6000 6000 4000 6000 6000 8000 8000 7500 8000 8000 8000 5000 6000 8000 7400 8000 2000 7000 6000 8000 6000 6000 6000
1 0.1 20 2 0.3 25 3 1 72 4 0.5 30 5 3 150 6 0.5 50 7 0.06 6 8 0.5 50 9 0.3 40 10 0.2 10 11 0.2 20 12 0.2 30 13 0.2 30 14 0.2 20 15 0.15 20 16 0.1 20 17 1 40 18 0.2 20 19 0.4 40 20 1 25 21 0.1 10 22 1 60 23 0.5 60 24 0.1 12 25 0.5 20 26 27 28 29 30 Jumlah 12.31 880 163900 Ratarata 0.492 35.2 6556 Total Biaya Rata-rata Sumber : Hasil Analisis Data (2012)
Total (Rp) 140000 150000 432000 180000 600000 300000 36000 400000 320000 75000 160000 240000 240000 100000 120000 160000 296000 160000 80000 175000 60000 480000 360000 72000 120000
5456000 218240 230771.2
Luas Lahan (ha) 0.5 0.1 0.5 2 0.3 0.5 1 0.4 0.8 0.5 0.6 1 0.5 1 0.15 0.7 1.5 0.6 0.4 0.2 0.15 0.2 0.3 0.25 0.5 1 0.4 1.5 0.5 0.15 18.2 0.607
Benih Non P3A Harga Jumlah Total Satuan (kg) (Rp) (Rp/kg) 12.5 7000 87500 12 7000 84000 20 7000 140000 100 7000 700000 12 7000 84000 13 7000 91000 20 7000 140000 10 7000 70000 20 7000 140000 12 7000 84000 15 7000 105000 25 7000 175000 13 7000 91000 25 7000 175000 7 7000 49000 15 7000 105000 38 7000 266000 15 7000 105000 10 7000 70000 7 7000 49000 5 7000 35000 6 7000 42000 8 7000 56000 7 7000 49000 14 7000 98000 30 7000 210000 10 7000 70000 35 7000 245000 13 7000 91000 8 7000 56000 537.5 210000 3762500 17.917
7000
125417 125417
99
Lampiran 3. Jumlah Penggunaan Pupuk Kimia dan Pupuk Kandang Petani P3A dan Non P3A a. Penggunaan pupuk petani P3A No. Resp.
Luas Lahan (ha)
Urea
TSP
Pupuk Kandang
KCL
Jumlah (kg)
Jumlah (kg)
Jumlah (kg)
Jumlah (kg)
1 2 3 4 5 6 7 8
0.1 0.3 1 0.5 3 0.5 0.06 0.5
60 300 600 100 500 150 50 400
0 100 120 50 750 50 0 200
100 0 0 0 0 0 0 0
0 0 0 50 100 0 10 100
9 10 11 12 13 14
0.3 0.2 0.2 0.2 0.2 0.2
400 40 500 50 100 50
200 20 100 5 50 10
0 0 0 0 320 0
100 20 0 0 0 0
15 16 17 18 19 20
0.15 0.1 1 0.2 0.4 1
100 100 300 40 200 300
0 20 30 20 0 50
400 0 0 0 0 0
0 0 80 10 0 0
21 22 23 24 25
0.1 1 0.5 0.1 0.5
100 200 300 80 75
50 100 100 0 20
0 0 0 0 0
0 0 0 0 0
Jumlah
5095
2045
820
470
Rata-rata
203.8
102.25
273.33
58.75
Harga Rata-rata (Rp) Sub Total Rata-rata (Rp)
2248
3010
250
3125
458142.4
307773
68333.33
183593.75
Total Biaya Rata-rata (Rp)
Sumber : Hasil Analisis Data (2012)
1017841.983
100
Lampiran 3 (Lanjutan) b. Penggunaan pupuk petani Non P3A No. Resp.
Luas Lahan (ha)
Urea
TSP
Pupuk Kandang
NPK
Jumlah (kg)
Jumlah (kg)
Jumlah (kg)
Jumlah (kg)
1 2 3 4 5 6 7 8 9
0.5 0.1 0.5 2 0.3 0.5 1 0.4 0.8
50 25 50 600 50 100 150 100 100
0 0 0 0 15 15 100 10 25
0 0 0 0 200 0 0 0 0
150 15 50 0 0 10 50 10 50
10 11
0.5 0.6
100 100
25 25
0 0
30 20
12 13 14 15
1 0.5 1 0.15
150 75 150 20
50 25 50 5
0 0 0 0
100 50 50 10
16 17 18 19 20 21
0.7 1.5 0.6 0.4 0.2 0.15
125 250 150 75 30 30
50 50 50 25 5 10
0 1000 0 0 0 0
50 100 25 25 10 0
22 23 24 25 26 27
0.2 0.3 0.25 0.5 1 0.4
40 30 30 150 200 75
5 10 10 50 50 10
100 50 100 0 0 200
5 10 10 50 50 15
28 29 30
1.5 0.5 0.15
250 100 30
100 25 15
1000 0 0
200 50 5
3385
810
2650
1200
112,83
31,15
378,57
44,44
2.000
2.500
1.000
2.700
225.666.7
77.884.62
378.571.43
120.000
Jumlah Rata-rata Harga Rata-rata (Rp) Sub Total Rata-rata (Rp) Total Biaya Rata-rata (Rp)
Sumber : Hasil Analisis Data (2012)
802.123
101
Lampiran 4. Jenis Pestisida yang Digunakan Petani P3A dan Petani Non P3A No. Resp
Luas Lahan (ha)
Pestisida Petani P3A Decis (ml)
Lakron (ml)
Furadan (Kg)
Luas Lahan (ha)
Pestisida Petani Non P3A Bravo Organik Benprime Nature (ml) (Sachet) (Kg)
1 2 3
0.1 0.3 1
10 150 50
-
-
0.5 0.1 0.5
2000 50
-
-
4 5
0.5 3
-
-
-
2 0.3
1000 -
-
2
6 7
0.5 0.06
50
-
-
0.5 1
-
2
-
8 9
0.5 0.3
1000 1000
-
-
0.4 0.8
-
1
-
10 11 12 13 14 15
0.2 0.2 0.2 0.2 0.2 0.15
500 1000 50 -
-
-
0.5 0.6 1 0.5 1 0.15
-
-
-
16 17 18 19 20 21
0.1 1 0.2 0.4 1 0.1
100 100 100 50
5000 -
15 -
0.7 1.5 0.6 0.4 0.2 0.15
-
2 -
4 2 -
22 1 23 0.5 24 0.1 25 0.5 26 27 28 29 30 Jumlah Penggunaan Pestisida Rata-rata Penggunaan Pestisida Biaya Total Rata-rata (Rp)
500 50 50
-
-
0.2 0.3 0.25 0.5 1 0.4 1.5 0.5 0.15
-
2 6 -
2 4 3 1 -
4.760
5.000
15
3.050
13
18
297,5
5.000
15
1.016,7
2,6
2,57
89.250
27.000
30.000
215.194
174.200
38.572
Sumber : Hasil Analisis Data (2012)
102
Lampiran 5. Perbandingan Kebutuhan Air Irigasi Petani P3A dengan Petani Non P3A No. Resp.
Petani P3A Luas Lahan Total Penggunaan (ha) Air (m3) 0.1 1480 0.3 6660 1 14800 0.5 7400 3 44400 0.5 7400 0.06 1332 0.5 14800 0.3 8880 0.2 2960 0.2 2960 0.2 5920 0.2 5920 0.2 5920 0.15 2220 0.1 1480 1 22200 0.2 5920 0.4 5920 1 22200 0.1 2960 1 14800 0.5 7400 0.1 1480 0.5 7400
12.31
224812
Luas Lahan (ha) 0.5 0.1 0.5 2 0.3 0.5 1 0.4 0.8 0.5 0.6 1 0.5 1 0.15 0.7 1.5 0.6 0.4 0.2 0.15 0.2 0.3 0.25 0.5 1 0.4 1.5 0.5 0.15 18.2
0.492 Total Biaya Rata-rata
8992.48
0.607
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 Jumlah Rata-rata
0
Sumber: Hasil Analisis Data (2012)
Petani Non P3A Total Penggunaan Air (m3) 3500 700 3500 14000 2100 3500 7000 2800 5600 3500 4200 7000 3500 7000 1050 4900 10500 4200 2800 1400 1050 1400 2100 1750 3500 7000 2800 10500 3500 1050 127400
Biaya Air (Rp) 50000 15000 35000 200000 15000 20000 50000 20000 25000 20000 20000 50000 20000 50000 5000 25000 70000 40000 20000 10000 10000 10000 25000 15000 25000 40000 20000 75000 20000 10000 1010000
4246.67
33667 33667
103
Lampiran 6. Hasil Output Minitab 15 Model Fungsi Produksi Padi Petani P3A Regression Analysis: Produksi versus Benih, Pupuk, Tenaga Kerja, Air The regression equation is Produksi = 1.73 + 0.456 Benih + 0.037 Pupuk + 0.210 Tenaga Kerja + 0.304 Air Predictor Constant Benih Pupuk Tenaga Kerja Air
Coef 1.727 0.4561 0.0372 0.2103 0.3041
S = 0.504725
SE Coef 1.091 0.2801 0.1532 0.1538 0.1846
R-Sq = 69.4%
PRESS = 8.21292
T 1.58 1.63 0.24 1.37 1.65
P 0.129 0.119 0.810 0.187 0.115
VIF 3.684 1.937 1.297 2.955
*Uji Multikolinearitas
R-Sq(adj) = 63.3%
R-Sq(pred) = 50.64%
Analysis of Variance Source Regression Residual Error Total Source Benih Pupuk Tenaga Kerja Air
DF 4 20 24 DF 1 1 1 1
SS 11.5450 5.0949 16.6399
MS 2.8862 0.2547
F 11.33
P 0.000
SE Fit 0.228
Residual -1.245
Seq SS 9.9229 0.0076 0.9227 0.6917
Unusual Observations Obs 11
Benih 3.00
Produksi 5.298
Fit 6.543
St Resid -2.77R
R denotes an observation with a large standardized residual. Durbin-Watson statistic = 1.51503 Uji Kenormalan Mean StDev N KS P-Value
-2.27374E-15 0.4607 25 0.187 0.032
*Uji Autokolerasi
104
Lampiran 7. Hasil Output Minitab 15 Model Fungsi Produksi Padi Petani Non P3A Regression Analysis: Produksi versus Benih, Pupuk, Tenaga Kerja, Air The regression equation is Produksi = - 1.68 - 0.365 Benih + 0.144 Pupuk + 0.046 Tenaga Kerja + 1.18 Air Predictor Constant Benih Pupuk Tenaga Kerja Air
Coef -1.6772 -0.3646 0.14357 0.0458 1.1763
S = 0.236382
SE Coef 0.7737 0.1802 0.09745 0.2155 0.1637
R-Sq = 93.3%
PRESS = 3.00588
T -2.17 -2.02 1.47 0.21 7.18
P 0.040 0.054 0.153 0.833 0.000
VIF 6.761 4.044 6.293 7.822 *Uji Multikolinearitas
R-Sq(adj) = 92.3%
R-Sq(pred) = 85.65%
Analysis of Variance Source Regression Residual Error Total Source Benih Pupuk Tenaga Kerja Air
DF 4 25 29 DF 1 1 1 1
SS 19.5512 1.3969 20.9481
MS 4.8878 0.0559
F 87.48
P 0.000
Seq SS 12.7809 3.7317 0.1542 2.8844
Unusual Observations Obs 2 3 4
Benih 2.48 3.00 4.61
Produksi 6.2146 7.1701 8.5942
Fit 5.8033 7.6482 9.0104
SE Fit 0.1787 0.1043 0.1623
Residual 0.4113 -0.4780 -0.4163
St Resid 2.66RX -2.25R -2.42R
R denotes an observation with a large standardized residual. X denotes an observation whose X value gives it large leverage. Durbin-Watson statistic = 1.92371
Uji Kenormalan Mean StDev N KS P-Value
-2.99020E-15 0.2195 30 0.084 >0.150
*Uji Autokolerasi
105
Lampiran 8. Penerimaan, Biaya, dan Pendapatan Usahatani Petani P3A dan Non P3A (Rp) No.
Uraian
Musim Tanam 1
Musim Tanam 2
Non P3A
P3A
Non P3A
-
8920769.10
14729408.42
28711221.70
29629728.02
797308.00
-
797308.00
5891763.00
2391924.00
11783526.00
15611.00
19051.00
-
19051.00
15611.00
57153.00
31222.00
230771.00
125417.00
230771.00
-
230771.00
125417.00
692313.00
250834.00
1017841.98
802123.00
1017841.98
-
1017841.98
802123.00
3053525.95
1604246.00
146250.00
427966.00
146250.00
-
146250.00
427966.00
438750.00
855932.00
1398400.00
1909983.00
1398400.00
-
1398400.00
1909983.00
4195200.00
3819966.00
91094.00
33667.00
91094.00
-
91094.00
33667.00
273282.00
67334.00
3700715.98
9206530.00
3700715.98
-
3700715.98
9206530.00
11102147.95
18413060.00
530000.00
378333.00
530000.00
-
530000.00
378333.00
1590000.00
756666.00
530000.00
378333.00
530000.00
-
530000.00
378333.00
1590000.00
756666.00
Total Biaya
4230715.98
9584863.00
4230715.98
-
4230715.98
9584863.00
12692147.95
19169726.00
4
Pendapatan
7966684.51
5315456.60
3362336.13
-
4690053.12
5144545.42
16019073.75
10460002.02
5
R/C
2.88
1.55
1.79
2.11
1.54
2.26
1.55
2
Non P3A
P3A
12197400.49
14900319.60
7593052.11
Sewa Lahan Penyusutan Alat Pertanian
797308.00
5891763.00
19051.00
Benih Pupuk
Penerimaan Total Penerimaan Gabah Biaya Tunai Biaya Tetap
Biaya Variabel
Pestisida Tenaga Kerja Luar Keluarga Air Sub Total 2
Non P3A
Total Per tahun
P3A
1
P3A
Musim Tanam 3
Biaya Non Tunai Biaya Variabel
Tenaga Kerja Dalam Keluarga
Sub Total
105
Sumber: Hasil Analisis Data (2012)
106
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Sukabumi pada tanggal 11 Juni 1990. Penulis merupakan anak ketiga dari tiga bersaudara dari pasangan Bapak Ujang Efendi dan Ibu Iis Sumiati. Penulis menyelesaikan pendidikan Sekolah Dasar (SD) pada tahun 2002 di SDN Cibadak 02. Pendidikan Sekolah Lanjutan Pertama (SLTP) diselesaikan di SLTP Negeri 2 Cibadak pada tahun 2005, kemudian masuk Sekolah Menengah Atas (SMA) Negeri 1 Cibadak pada tahun yang sama dan menyelesaikan pendidikan SMA pada tahun 2008. Penulis diterima masuk Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) pada tahun 2008, dan pada tahun 2009 penulis masuk pada Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, IPB. Selama menjalani pendidikan di IPB, penulis aktif pada beberapa organisasi kemahasiswaan seperti menjadi anggota Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Muda FEM IPB tahun 2009, staff Departemen Pendidikan BEM FEM IPB periode 2009 – 2010, staff Departemen Komunikasi dan Informasi BEM FEM IPB periode 2010 – 2011. Selama menempuh studi, penulis mendapatkan beasiswa Peningkatan Prestasi Akademik pada tahun 2008 – 2009 dan beasiswa penelitian BNI pada tahun 2012.