ANALISIS PERHITUNGAN HARGA POKOK PRODUKSI SEPATU (Studi Kasus UKM Hunter, Depok)
Oleh EDI WINARTO H24053894
DEPARTEMEN MANAJEMEN FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009
ABSTRAK Edi Winarto. H24053894. Analisis Perhitungan Harga Pokok Produksi Sepatu (Studi Kasus UKM Hunter, Depok). Di bawah bimbingan Wita Juwita Ermawati. Usaha Kecil dan Menengah (UKM) memiliki kontribusi yang cukup besar dalam upaya pemerintah untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi nasional melalui misi penyediaan lapangan kerja yang berimbas pada meningkatnya income per kapita dan ikut berperan dalam meningkatkan perolehan devisa serta memperkokoh struktur industri nasional. Sering kali UKM memiliki kendala dalam hal keuangan baik berupa modal awal hingga dalam perhitungan harga pokok produksi. Para pelaku usaha biasanya tidak detil dan kurang rinci dalam melakukan perhitungan harga pokok produksi sehingga terjadi ketidaktepatan dalam mengidentifikasi biaya-biaya produksi yang ada. Tujuan dari penelitian ini adalah (1) mengidentifikasi bagaimana pengalokasian dan perhitungan harga pokok produksi yang diterapkan pada UKM Hunter, (2) menganalisis bagaimana pengalokasian dan perhitungan harga pokok produksi pada Hunter dengan menggunakan metode Activity Based Costing, (3) mengetahui perbedaan dari kedua metode tersebut terhadap perhitungan harga pokok produksi dan pengaruhnya terhadap harga jual. Dalam penelitian ini, harga pokok produksi akan dihitung secara tradisional, yakni berdasarkan metode yang biasa digunakan oleh perusahaan kemudian dengan melakukan perhitungan harga pokok produksi menggunakan Activity Based Costing system (ABC system). Kemudian hasil perhitungan dari kedua metode tersebut akan dianalisis untuk melihat perbedaannya terhadap perhitungan HPP dan mengetahui pengaruhnya terhadap harga jual produk. Perhitungan HPP per unit dengan metode activity based costing menghasilkan biaya sebesar Rp. 92.617,67, lebih tinggi daripada metode yang digunakan perusahaan yang bernilai Rp.89.234,00 untuk model sepatu pria. Begitu juga dengan model sepatu wanitanya, dimana hasil yang diperoleh dengan metode perusahaan sebesar Rp.69.984,00 dan berdasarkan perhitungan metode ABC diperoleh Rp.73.833,87. Sehingga selisih dari hasil perhitungan HPP antara metode ABC dengan metode yang digunakan perusahaan adalah sebesar 3,79% untuk sepatu model pria dan 5,50% untuk sepatu model wanita. Perbedaan hasil perhitungan HPP per unit menurut perusahaan dengan menggunakan metode ABC terjadi karena perusahaan belum tepat dalam membebankan biaya overhead pabrik ke setiap produknya.
ANALISIS PERHITUNGAN HARGA POKOK PRODUKSI SEPATU (Studi Kasus UKM Hunter, Depok)
SKRIPSI Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA EKONOMI pada Departemen Manajemen Fakultas Ekonomi dan Manajemen Institut Pertanian Bogor
Oleh EDI WINARTO H24053894
DEPARTEMEN MANAJEMEN FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009
INSTITUT PERTANIAN BOGOR FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN DEPARTEMEN MANAJEMEN ANALISIS PERHITUNGAN HARGA POKOK PRODUKSI SEPATU (Studi Kasus UKM Hunter, Depok)
SKRIPSI Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA EKONOMI pada Departemen Manajemen Fakultas Ekonomi dan Manajemen Institut Pertanian Bogor Oleh EDI WINARTO H24053894
Menyetujui, Agustus 2009
Wita Juwita Ermawati, STP. MM. Dosen Pembimbing
Mengetahui,
Dr. Ir. Jono M. Munandar, M.Sc Ketua Departemen
Tanggal lulus :
RIWAYAT HIDUP
Penulis yang lahir di Tegal pada tanggal 1 Juni 1985 ini merupakan anak keempat dari enam bersaudara pasangan Bapak Sanom (Alm) dan Ibu Sulasmi. Penulis mulai merintis jenjang pendidikannya di SD Negeri Sidoharjo I pada tahun 1992 kemudian melanjutkan ke jenjang selanjutnya di SLTP Negeri 1 Suradadi pada tahun 1998 dan pada tahun 2001 penulis menjadi salah satu siswa di SMU Negeri 1 Kramat, Kabupaaten Tegal pada program IPA. Penulis berhasil diterima di Institut Pertanian Bogor melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB) di Tingkat Persiapan Bersama IPB (TPB-IPB) pada tahun 2005 dan masuk di Departemen Manajemen, Fakultas Ekonomi dan Manajemen. Selama di bangku perkuliahan, penulis pernah berpartisipasi aktif dalam organisasi kemahasiswaan yang ada di kampus IPB. Selama berorganisasi, penulis pernah diberi amanah untuk menjalankan peran sebagai ketua dari Ikatan Mahasiswa Tegal Institut Pertanian Bogor (IMT-IPB). Penulis pernah melakukan kegiatan magang di Kantor Pelayanan Pajak yang ada di Jakarta dan di Tegal. Selain itu, penulis juga pernah mengikuti kegiatan-kegiatan di lingkungan kampus seperti kepanitiaan, seminar, dan pelatihan.
KATA PENGANTAR
Bismillahirrohmanirrohim, Alhamdulillah Segala puji hanya milik Alloh SWT. Sholawat serta salam semoga senantiasa tercurah pada suri tauladan manusia, Nabi Muhammad SAW, keluarga, sahabat serta para pengikutnya sampai akhir zaman. Tiada kata yang layak kita haturkan selain mengucap rasa syukur kehadirat-Nya atas segala kesempatan dan kemudahan sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Analisis Perhitungan Harga Pokok Produksi Sepatu (Studi Kasus UKM Hunter, Depok)”. Skripsi ini disusun sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Manajemen, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor. Adapun tujuan dari penulisan skripsi ini adalah menghitung harga pokok produksi yakni dengan
mengidentifikasi
memproduksi
sepatu
berapa
yang
besar
sebenarnya
biaya
yang
terjadi
dikorbankan
dilapangan.
dalam
Kemudian
membandingkan hasilnya yang diperoleh dengan metode perusahaan dengan metode Activity BasedCosting. Dalam penyusunan skripsi ini, penulis banyak dibantu oleh berbagai pihak baik secara moril maupun materiil. Oleh karena itu, penulis menghaturkan rasa terima kasih yang tak terhingga kepada: 1. Ibu Wita Juwita Ermawati, STP, MM sebagai pembimbing skripsi yang telah begitu banyak memberi bimbingan, saran, dan masukannya selama proses penelitian sehingga skripsi ini dapat terselesaikan. 2. Ibunda tercinta, Mas Tosirin, SE beserta keluarga, Mas Mulyono, Amd dan keluarga, Mba Atun dan adik-adikku serta orang yang tersayang atas segenap daya upaya yang selalu mendoakan, memberi kasih sayang, dorongan, dan kesabarannya dalam menghadapi penulis. 3. Ibu Farida Ratna Dewi, SE, MM dan Ibu Hardiana Widiastuti, S.Hut, MM atas kesediaannya menjadi penguji pada hasil penelitian ini. 4. Bapak H. Muhammad Ahda selaku pemilik UKM Hunter beserta seluruh staf karyawannya yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk
melaksanakan penelitian serta memberikan masukan dan informasi demi selesainya skripsi ini. 5. Seluruh Dosen Departemen Manajemen yang telah memberikan ilmu dan pengetahuan yang berguna bagi penulis. 6. Segenap staf Tata Usaha Departemen Manajemen dan Fakultas Ekonnomi dan Manajemen atas bantuannya selama ini. 7. Seluruh sobat-sobat terbaikku Edhi, Widhi, Andry, Vembry, Irsam, Lulud, Heni, Hapsari, Bagus, Adib, Ibu Kost beserta keluarga serta seluruh anak-anak Manajemen ’42 yang namanya tidak dapat disebut satu per satu. Terus berjuang….!!!! 8. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu yang turut membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini dengan baik. aaaaaKepada semuanya, semoga Allah SWT memberikan balasan dengan lebih baik lagi, karena Dia-lah sebaik-baik Pemberi balasan. Akhir kata, semoga hasil penelitian yang jauh dari sempurna ini dapat memberikan manfaat bagi kita semua.
Bogor, Juli 2009
Penulis
vi
DAFTAR ISI
Halaman ABSTRAK RIWAYAT HIDUP ..................................................................................
iv
KATA PENGANTAR .............................................................................
v
DAFTAR ISI ........................................................................................
vii
DAFTAR TABEL .................................................................................
ix
DAFTAR GAMBAR ............................................................................
x
DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................
xi
I.
PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang .......................................................................... 1.2. Perumusan Masalah ................................................................... 1.3. Tujuan Penelitian ....................................................................... 1.4. Manfaat Penelitian ..................................................................... 1.5. Ruang Lingkup Penelitian .......................................................... ..
1 4 5 6 6
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Usaha Kecil dan Menengah (UKM).......................................... . 2.2. Peranan UKM dalam Perekonomian ........................................ . 2.3. Permasalahan Usaha Kecil dan Menengah ................................... 2.4. Upaya Pengembangan UKM ........................................................ 2.5. Konsep dan Pengertian Biaya ....................................................... 2.6. Klasifikasi Biaya ........................................................................... 2.7. Harga Pokok Produksi .................................................................. 2.8. Activity Based Costing (ABC) ...................................................... 2.9. Manfaat Activity Based Costing System ................................... . 2.10. Perbedaan ABC System dengan Metode Tradisional ................. . 2.11. Hasil Penelitian Terdahulu ............................................................
7 9 11 13 15 16 17 18 20 20 22
III. METODE PENELITIAN 3.1. Kerangka Pemikiran Penelitian ................................................. . 3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian ................................................... . 3.3. Jenis dan Sumber Data ................................................................. 3.4. Metode Pengumpulan Data ..................................................... . 3.5. Pengolahan dan Analisis Data .................................................. .
24 26 26 26 27
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Gambaran Umum Perusahaan ...................................................... 4.1.1. Sejarah Perusahaan ......................................................... . 4.1.2. Struktur Organisasi Perusahaan ...................................... .
28 28 29
4.1.3. Kegiatan Perusahaan ......................................................... 4.2. Identifikasi Proses Produksi Sepatu UKM Hunter ...................... 4.3. Perhitungan Harga Pokok Produksi Sepatu UKM Hunter ............ 4.3.1. Perhitungan Harga Pokok Produksi Sepatu dengan Metode Perusahaan ........................................................................... 4.3.2. Perhitungan Harga Pokok Produksi Sepatu dengan Metode Activity Based Costing ......................................................... 4.4. Perbandingan Hasil Perhitungan harga Pokok Produksi Menggunakan Metode yang Dipakai Perusahaan dengan Metode Activity Based Costing .................................................................. 4.5. Implikasi Manajerial .....................................................................
30 31 33 33 35
51 53
KESIMPULAN DAN SARAN ................................................................
55
1. Kesimpulan ....................................................................................... 2. Saran .................................................................................................
55 55
DAFTAR PUSTAKA ...........................................................................
56
LAMPIRAN ..........................................................................................
58
viii
DAFTAR TABEL
No
Halaman
1. Perbedaan Metode ABC dengan Metode Tradisional ……………………. 22 2. Daftar Mesin dan Peralatan Produksi pada UKM Hunter ......................... 32 3. Perhitungan Harga Pokok Produksi Sepatu Model Pria dengan Metode Perusahaan ............................................................................................ 35 4. Perhitungan Harga Pokok Produksi Sepatu Model Wanita dengan Metode Perusahaan ................................................................................ 36
ix
DAFTAR GAMBAR
No
Halaman
1. Kerangka Pemikiran Penelitian ............................................................. 26 2. Struktur Organisasi UKM Hunter .......................................................... 30
x
DAFTAR LAMPIRAN
No
Halaman
1. Struktur Organisasi UKM Hunter .......................................................... 59 2. Tempat Produksi Sepatu UKM Hunter .................................................. 60 3. Mesin-Mesin yang Digunakan untuk Produksi Sepatu UKM Hunter ..... 61 4. Model-Model Produk Sepatu di UKM Hunter ....................................... 62
xi
1
I.
1.1.
PENDAHULUAN
Latar Belakang Peranan
sektor
Usaha
Kecil
Menengah
(UKM)
dalam
pengembangan ekonomi di Indonesia sering dihubungkan dengan upayaupaya pemerintah dalam mengurangi jumlah pengangguran serta untuk pemerataan pendapatan masyarakat dalam rangka menurunkan tingkat pengangguran. Usaha Kecil dan Menengah (UKM) memiliki kontribusi yang cukup besar dalam upaya pemerintah untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi nasional melalui misi penyediaan lapangan kerja yang berimbas pada meningkatnya income per kapita dan ikut berperan dalam meningkatkan perolehan devisa serta memperkokoh struktur industri nasional. Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik, pada tahun 2007 nilai Produk Domestik Bruto (PDB) yang disumbangkan oleh UKM mencapai Rp 2.121,3 triliun atau meningkat sebesar Rp. 335,1 triliun dari tahun 2006. Dari jumlah ini, UKM memberikan kontribusi sebesar 53,6 % dari total PDB Indonesia, sedikit lebih tinggi dibandingkan dengan tahun 2006 yang mencapai Rp 1.786,2 triliun atau sebesar 53,5 %. Apabila dirinci, kontribusi Usaha Kecil (UK) sebesar Rp 1.496,3 triliun (37,8 %), Usaha Menengah (UM) sebesar Rp 625,1 triliun (15,8 %), dan Usaha Besar (UB) sebesar Rp 1.836,1 triliun (46,4 %). Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), pada tahun 2007 jumlah populasi UKM mencapai 49.840.489 unit usaha. Jumlah ini lebih besar dibandingkan dengan jumlah UKM di tahun sebelumnya yang berjumlah 48.779.151 unit usaha (BPS, 2008). Hal ini menunjukkan bahwa unit usaha di Indonesia dari sektor UKM mengalami peningkatan yang cukup pesat. Sementara dalam hal penyerapan jumlah tenaga kerjanya mencapai 91,8 juta orang atau 97,3 persen terhadap seluruh tenaga kerja Indonesia yang berjumlah 94,3 juta pekerja pada tahun 2007. Dengan banyaknya jumlah UKM yang ada, secara otomatis akan menyebabkan persaingan semakin ketat. Hal ini tidak terlepas dari adanya era globalisasi dimana
2
pasar sangat terbuka bagi siapa saja untuk memasukinya baik produk dari dalam negeri maupun dari luar negeri. Pada umumnya, suatu perusahaan baik manufaktur maupun jasa didirikan dengan tujuan untuk memperoleh laba dan ingin berkembang serta terus menjaga kelangsungan hidupnya. Semakin berkembangnya suatu perusahaan yang diiringi dengan semakin kompleksnya aktivitas yang dijalankan, akan menuntut adanya pelaksanaan aktivitas yang efektif dan efisien karena para manajer tidak dapat lagi memonitor secara langsung aktivitas yang dikerjakan oleh para bawahannya. Akan tetapi, perusahaan harus mampu menghasilkan produk yang berkualitas baik dengan harga jual yang wajar agar produk yang dihasilkan dapat bersaing di pasar. Dalam kondisi seperti ini perusahaan harus membuat suatu planning yang matang agar sumber daya yang dimilikinya dapat dimanfaatkan dengan optimal dalam rangka tercapainya tujuan perusahaan yaitu mendapatkan laba. Sering kali UKM memiliki kendala dalam hal keuangan baik berupa modal awal hingga dalam perhitungan harga pokok produksi. Para pelaku usaha biasanya tidak detil dan kurang rinci dalam melakukan perhitungan harga pokok produksi sehingga terjadi ketidaktepatan dalam mengidentifikasi
biaya-biaya
produksi
yang
ada.
Hal
ini
dapat
menyebabkan terjadinya kesalahan dalam menetapkan harga jual produknya serta ketidakakuratan dalam mengestimasi keuntungan yang akan diperoleh perusahaan. Jadi, perusahaan perlu melakukan perhitungan harga pokok produksi dengan tepat. Manajemen memerlukan informasi yang terpercaya sebagai dasar dalam pengambilan keputusan dan pembuatan kebijakan-kebijakan yang mengacu pada terciptanya efisiensi dan efektivitas kerja agar dalam mengoperasikan perusahaan dapat berjalan dengan baik. Salah satu kebijakan yang penting dalam operasional perusahaan dapat berupa penetapan harga pokok produksi, yaitu dengan melakukan perhitungan biaya produksi secara tepat dan akurat serta tetap menjaga kualitas dari barang atau produk yang dihasilkan, sehingga harga pokok produk satuan
3
yang dihasilkan perusahaan lebih rendah dari para pesaingnya. Kebijakan ini sangat bermanfaat bagi perusahaan untuk menetapkan harga jual yang tepat dan sesuai dengan laba yang ingin diperoleh perusahaan. Sehingga perusahaan tersebut dapat bersaing di pasar terutama dengan perusahaan– perusahaan lain yang memproduksi produk sejenis. Kondisi persaingan usaha yang semakin ketat menuntut para pelaku usaha untuk melakukan efisiensi biaya produksi karena biaya produksi merupakan dasar bagi penetapan harga jual produknya. Melalui efisiensi biaya produksi, pelaku usaha dapat mengendalikan semua biaya yang perlu dikeluarkan sehingga harga jual yang ditetapkan dapat bersaing di pasaran dan mendapatkan keuntungan sesuai yang diharapkan. Dengan demikian, manajemen harus memahami tentang konsep biaya. Biaya merupakan kas atau nilai ekuivalen kas yang dikorbankan untuk memperoleh barang atau jasa yang diharapkan memberi manfaat saat ini atau di masa datang bagi perusahaan (Hansen dan Mowen, 2006). Dalam usahanya menghasilkan manfaat, manajemen harus dapat melakukan berbagai upaya untuk meminimumkan biaya yang dibutuhkan. Selain itu, manajemen juga harus mempunyai tujuan menyediakan nilai bagi pelanggan yang lebih besar dengan biaya yang lebih rendah dari para pesaingnya. Sehingga perusahaan akan memiliki keunggulan kompetitif dari pesaingnya. Dengan biaya produksi yang lebih rendah dari pesaing, berarti dapat menurunkan biaya secara keseluruhan. Kemampuan dalam menurunkan biaya akan berdampak pada penurunan harga jual produknya sehingga dapat mengurangi pengorbanan konsumen dan meningkatkan nilai bagi konsumen. Efisiensi biaya produksi dapat dilakukan dengan cara perhitungan harga pokok produksi yang tepat. Jadi, sudah menjadi keharusan bagi setiap pelaku usaha untuk memperhatikan perhitungan harga pokok produksinya. Untuk mengendalikannya, diperlukan keakuratan dan metode yang tepat dalam sistem perhitungan harga pokok produksi yang mampu merefleksikan konsumsi sumber daya dalam aktivitas produksinya sehingga sistem perhitungan biaya produksi menjadi lebih akurat dan
4
sesuai dengan kenyataan yang terjadi di lapangan. Sistem ini dikenal dengan nama Activity Based Costing System (ABC System), yaitu metode penentuan harga pokok yang menelusuri biaya atas dasar aktivitas kemudian ke produknya. Informasi yang dihasilkan dari ABC System ini dapat dijadikan sebagai dasar dalam pengambilan tindakan perbaikan yang diperlukan sehingga para pelaku usaha dapat menetapkan harga jual yang lebih kompetitif. 1.2.
Perumusan Masalah Salah satu komponen biaya yang akan selalu muncul dalam kegiatan produksi suatu perusahaan adalah biaya overhead pabrik. Hal ini disebabkan macamnya yang banyak dan memiliki jumlah yang cukup besar. Sehingga biaya overhead pabrik akan berpengaruh terhadap penetapan harga pokok produksi yang akan berdampak pada laba yang akan diperoleh perusahaan. Untuk menghasilkan perhitungan harga pokok produksi yang tepat maka perlu didukung oleh informasi akuntansi yang baik. Keandalan sistem informasi yang dihasilkan ditentukan oleh sistem akuntansi biaya yang tepat dan mencerminkan kondisi yang sebenarnya. Informasi tersebut dapat digunakan untuk melakukan pengendalian biaya tidak langsung agar tercipta suatu harga pokok produk yang akurat sebagai dasar pengambilan tindakan perbaikan yang diperlukan agar dalam menjalankan usahanya, para pelaku usaha menjadi lebih kompetitif. Activity Based Costing System memiliki informasi yang akurat pada penentuan konsumsi aktivitas yang berhubungan dengan penggunaan sumber daya dalam penanganan produk. Dengan berbasis aktivitas, perusahaan lebih mampu mengendalikan kegiatan produksi dengan penekanan hanya pada aktivitas yang berhubungan dengan proses penciptaan produk dan nilai tambahnya bagi konsumen. Hunter merupakan usaha kecil menengah yang memproduksi sepatu berbahan baku kulit. Penetapan harga jual yang dilakukan oleh Hunter belum mencerminkan besarnya biaya yang dikeluarkan dalam proses pembuatan produk secara keseluruhan karena biaya overhead pabrik tidak diperhitungkan secara rinci dalam perhitungan harga pokok
5
produksi. Sehingga informasi biaya yang dihasilkan tidak mampu mendeskripsikan konsumsi sumber daya dalam proses produksi. Dengan demikian, perhitungan harga pokok produksi harus dilakukan oleh perusahaan dengan tepat dan teliti. Oleh karena itu, penulis mencoba menerapkan
sistem
perhitungan
harga
pokok
produksi
dengan
menggunakan metode Activiy Based Costing untuk menghasilkan perhitungan biaya yang lebih akurat sehingga perusahaan dapat menetapkan harga jual dengan tepat. Berdasarkan uraian di atas, dapat dirumuskan permasalahanpermasalahan yang akan diteliti antara lain: 1.
Bagaimana pengalokasian dan perhitungan harga pokok produksi yang diterapkan oleh UKM Hunter selama ini?
2.
Bagaimana pengalokasian dan perhitungan harga pokok produksi pada UKM Hunter dengan menggunakan metode Activity Based Costing?
3.
Bagaimana perbedaan dari kedua metode tersebut terhadap perhitungan harga pokok produksi dan pengaruhnya terhadap harga jual?
1.3.
Tujuan Penelitian Berdasarkan perumusan masalah di atas maka tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1.
Mengidentifikasi bagaimana pengalokasian dan perhitungan harga pokok produksi yang diterapkan pada UKM Hunter.
2.
Menganalisis bagaimana pengalokasian dan perhitungan harga pokok produksi pada Hunter dengan menggunakan metode Activity Based Costing.
3.
Mengetahui perbedaan dari kedua metode tersebut terhadap perhitungan harga pokok produksi dan pengaruhnya terhadap harga jual.
6
1.4.
Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi yang dapat
dipakai
sebagai
masukan
bagi
berbagai
pihak
yang
membutuhkannya, antara lain adalah sebagai berikut: 1.
Bagi perusahaan, hasil dari penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan untuk mengetahui biaya yang akurat melalui perhitungan harga pokok produksi yang sesuai.
2.
Bagi
penulis,
penelitian
ini
bermanfaat
untuk
menambah
pengetahuan dan memberikan gambaran nyata dari penerapan ilmu yang diperoleh di perkuliahan. 3.
Bagi pembaca, penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai bahan masukan dalam perhitungan harga pokok produksi serta sebagai rujukan dan pembanding untuk penelitian selanjutnya.
1.5.
Ruang Lingkup Penelitian Penelitian ini memfokuskan pada aktivitas produksi sepatu yang dilakukan oleh UKM Hunter, Depok. Kemudian akan dilakukan pembahasan perhitungan terhadap harga pokok produksi sepatu dengan menggunakan metode yang dipakai oleh perusahaan dan metode Activity Based Costing. Penelitian ini hanya membahas harga pokok proses, tidak membahas harga pokok pesanan sehingga untuk produk yang diproduksi berdasarkan pesanan tidak diteliti.
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1.
Usaha Kecil dan Menengah (UKM) Usaha Kecil dan Menengah saat ini merupakan usaha yang masih dapat bertahan di tengah badai krisis moneter yang berkepanjangan. Untuk itu, pemerintah berupaya dengan keras untuk membina usaha kecil dan menengah guna menjadikannya sebagai penyumbang devisa bagi negara. Adapun definisi dari Usaha Kecil dan Menengah (UKM) ditinjau dari berbagai peraturan, diantaranya adalah sebagai berikut: 1. Berdasar Undang-Undang No.9 tahun 1995, usaha kecil didefinisikan sebagai kegiatan ekonomi rakyat yang berskala kecil serta memenuhi kriteria- kriteria sebagai berikut: a. Memiliki kekayaan bersih maksimal Rp 200.000.000,- (dua ratus juta rupiah), tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha. b. Memiliki hasil penjualan tahunan paling banyak Rp 1.000.000.000,(satu miliar rupiah). c. Milik warga negara Indonesia. d. Berdiri sendiri, bukan merupakan anak perusahaan atau cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai, atau berafiliasi, baik langsung maupun tidak langsung dengan usaha menengah atau usaha besar. e. Berbentuk usaha perseorangan, badan usaha yang tidak berbadan hokum atau badan usaha yang berbadan hukum, termasuk koperasi. 2. Berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan No.316/KMK.016/1994 tanggal 27 Juni 1994, usaha kecil didefinisikan sebagai perorangan atau badan usaha yang telah melakukan kegiatan atau usaha yang memiliki penjualan/omset per tahun setinggi-tingginya Rp 600.000.000,- atau aset/aktiva maksimal Rp 600.000.000,- (di luar tanah dan bangunan yang ditempati) terdiri dari:
8
a. badan usaha (Fa, CV, PT dan Koperasi); b. perorangan (pengrajin/industri rumah tangga, petani, peternak, nelayan, perambah hutan, penambang, pedagang barang dan jasa, dan sebagainya). 3. Sedangkan kalau usaha menengah, berdasar Undang-Undang No.9 Tahun 1995 didefinisikan sebagai kegiatan ekonomi yang memiliki kriteria kekayaan bersih atau hasil penjualan tahunan lebih besar daripada kekayaan bersih atau hasil penjualan tahunan usaha kecil. Biasanya memiliki aset Rp 10.000.000.000,- (sepuluh miliar rupiah), tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha dan omset tahunan Rp 50.000.000.000,(lima puluh miliar rupiah). 4. Berdasarkan
Kepuutsan
Menteri
Keuangan
No.250/KMK.04/1995
perusahaan kecil dan menengah adalah perusahaan yang memiliki penjualan bersih dalam setahun tidak melebihi Rp 5.000.000.000,- (lima miliar rupiah). Selain ketentuan di atas, usaha kecil dan menegah dapat pula dibedakan berdasarkan batasan jumlah tenaga kerja yang direkrut. Dikatakan uasha kecil oleh Badan Pusat Statistk (BPS) jika jumlah tenaga kerja yang dimiliki antara 5 hingga 19 orang, sedangkan usaha menengah berkisar antara 20 hingga 99 orang, dan lebih dari 100 orang dikategorikan sebagai usaha besar (Rachmat, 2005). Adapun menurut Pratomo dan Soejoedono (2004), disebutkan bahwa pengertian tentang usaha kecil dan menengah (UKM) tidak selalu sama, tergantung pada konsep yang digunakan oleh masing-masing Negara. Dalam definisi tersebut setidaknya mencakup dua aspek yaitu aspek penyereapan tenaga kerja dan aspek pengelompokan perusahaan ditinjau dari jumlah tenaga kerja yang diserap dalam gugusan/kelompok perusahaan tersebut (range of the member of employees). Misalnya, usaha kecil United Kingdom adalah suatu usaha bila jumlah karyawannya antara 1 hingga 200 orang; di Jepang antara 1
9
sampai 300 orang; di USA antara 1 hingga 500 orang. INPRES No.10 Tahun 1999 mendefinisikan usaha menengah adalah unit kegiatan yang memiliki kekayaan bersih lebih besar dari RP. 200 juta hingga maksimal Rp. 10 miliar (tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha). 2.2.
Peranan UKM dalam Perekonomian Partomo dan Soejoedono (2004) menyatakan bahwa negara-negara berkembang mulai mengubah orientasinya ketika melihat pengalaman di negara-negara indutri maju tentang peranan dan sumbangan UKM dalam pertumbuhan ekonomi. Ada pebedaan titik tolak antara perhatian terhadap UKM di negara-negara sedang berkembang dengan di negara-negara industri maju. Di negara-negara sedang berkembang, UKM berada dalam posisi terdesak dan tersaingi oleh usaha skala besar. UKM sendiri memiliki berbagai kelemahan, namun karena UKM menyangkut kepentingan masyarakat banyak maka pemerintah terdorong untuk mengembangkan dan melindungi UKM. Sedangkan di negara-negara maju, UKM mendapatkan perhatian karena memiliki faktor-faktor positif yang kemudian oleh para cendekiawan dan sarjana ditularkan ke negara berkembang. Menurut
Partomo
dan
Soejoedono
(2004)
terdapat
beberapa
keunggulan UKM terhadap usaha besar, yaitu sebagai berikut: a. Inovasi dalam teknologi yang telah dengan mudah terjadi dalam pengembangan produk. b. Hubungan kemanusiaan yang akrab di dalam perusahaan kecil. c. Kemampuan
menciptakan
kesempatan
kerja
cukup
banyak
atau
penyerapannya terhadap tenaga kerja. d. Fleksibelitas dan kemampuan menyesuaikan diri terhadap kondisi pasar yang berubah dengan pesat dibanding dengan perusahaan skala besar yang pada umumnya bersifat birokratis. e. Terdapatnya peranan kewirausahaan.
10
Usaha Kecil dan Menegah (UKM) mempunyai peran yang strategis dalam perekonomian nasional (Widiyastuti, 2007) diantaranya adalah sebagai berikut: a.
UKM menjadi tulang punggung perekonomian nasioanal. Pada tahun 2007 jumlah populasi UKM mencapai 49.840.489 unit usaha atau 99,99 persen terhadap total unit usaha di Indonesia yang berjumlah 49,845 juta unit usaha (BPS, 2008). Dengan besarnya populasi yang ada telah menjadikan UKM sebagai pelaku utama dalam sistem perekonomian nasional.
b.
UKM dapat menciptakan lapangan kerja yang luas bagi masyarakat. Pada tahun 2007 jumlah tenaga kerja yang diserap oleh UKM mencapai 91.752.318 juta orang atau 97,3 persen terhadap seluruh tenaga kerja Indonesia yang berjumlah 94,3 juta pekerja. Mereka tersebar dalam berbagai sektor seperti sektor pertanian, pertambangan, bangunan, industri pengolahan, perdagangan dan sebagainya.
c.
UKM memiliki kontribusi dalam peningkatan produksi nasional. Pada tahun 2007 nilai PDB UKM mencapai Rp 2.121,3 triliun meningkat sebesar Rp.335,1 triliun dari tahun 2006. Dari jumlah ini, UKM memberikan kontribusi sebesar 53,6 persen dari total PDB Indonesia, sedikit lebih tinggi dibandingkan dengan tahun 2006 yang mencapai Rp 1.786,2 triliun atau 53,5 persen.
d.
UKM merupakan pelaku ekonomi utama yang dekat dengan masyarakat lapisan bawah. Hal ini terlihat melalui kegiatan produksi di sektor-sektor yang melibatkan rakyat banyak seperti sektor pertanian, perdagangan dan industri pengolahan. Kemudian dalam kegiatan distribusi produk dimana yang berinteraksi langsung dengan konsumen akhir adalah para pedagang eceran kecil.
11
2.3.
Permasalahan Usaha Kecil dan Menengah (UKM) Hafsah (2004) menyatakan bahwa terdapat beberapa permasalahan yang dihadapi oleh Usaha Kecil dan Menengah (UKM) pada umumnya, diantaranya sebagai berikut : A. Faktor Internal 1. Kurangnya Permodalan Permodalan merupakan faktor utama yang diperlukan untuk mengembangkan suatu unit usaha. UKM merupakan usaha perorangan atau perusahaan yang sifatnya tertutup, yang mengandalkan modal dari pemilik yang jumlahnya sangat terbatas. Sedangkan modal pinjaman dari bank atau lembaga keuangan lainnya sulit diperoleh karena persyaratan yang rumit secara administratif dan teknis dari bank. 2. Sumber Daya Manusia (SDM) yang Terbatas Sebagian besar usaha kecil tumbuh secara tradisional dan merupakan usaha keluarga yang turun-temurun. Keterbatasan SDM, baik dari segi pendidikan formal maupun pengetahuan dan keterampilannya sangat berpengaruh terhadap manajemen pengelolaan usahanya, sehingga usaha tersebut sulit untuk berkembang dengan optimal. Disamping itu, unit usaha tersebut relatif sulit untuk mengadopsi perkembangan teknologi
baru
untuk
meningkatkan
daya
saing
produk
yang
dihasilkannya. 3. Lemahnya Jaringan Usaha dan Kemampuan Penetrasi Pasar Usaha kecil yang pada umumnya merupakan unit usaha keluarga mempunyai jaringan usaha yang sangat terbatas dan kemampuan penetrasi pasar yang rendah karena produk yang dihasilkan jumlahnya sangat terbatas dan mempunyai kualitas yang kurang kompetitif. Berbeda dengan usaha besar yang telah mempunyai jaringan yang sudah solid serta didukung dengan teknologi yang dapat menjangkau pasar tingkat internasional dan promosi yang baik.
12
B. Faktor Eksternal 1. Iklim Usaha Belum Sepenuhnya Kondusif Kebijaksanaan Pemerintah untuk menumbuhkembangkan Usaha Kecil dan Menengah (UKM), meskipun dari tahun ke tahun terus disempurnakan, namun dirasakan belum sepenuhnya kondusif. Hal ini terlihat antara lain masih terjadinya persaingan yang kurang sehat diantara pengusaha kecil dan pengusaha besar. 2. Terbatasnya Sarana dan Prasarana Usaha Kurangnya informasi yang berhubungan dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, menyebabkan sarana dan prasarana yang mereka miliki juga tidak cepat berkembang dan kurang mendukung kemajuan usahanya sebagaimana yang diharapkan. 3. Implikasi Otonomi Daerah Dengan berlakunya Undang-undang No. 22 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah, kewenangan daerah mempunyai otonomi untuk mengatur dan mengurus masyarakat setempat. Perubahan sistem ini akan mengalami implikasi terhadap pelaku bisnis kecil dan menengah berupa pungutan-pungutan baru yang dikenakan pada UKM. Jika kondisi ini tidak segera dibenahi maka akan menurunkan daya saing mereka. Disamping itu, semangat kedaerahan yang berlebihan seringkali menciptakan kondisi yang kurang menarik bagi pengusaha luar daerah untuk mengembangkan usahanya di daerah tersebut. 4. Implikasi Perdagangan Bebas Sebagaimana diketahui bahwa AFTA yang mulai berlaku Tahun 2003 dan APEC Tahun 2020 yang berimplikasi luas terhadap usaha kecil dan menengah untuk bersaing dalam perdagangan bebas. Dalam hal ini, UKM dituntut untuk melakukan proses produksi dengan produktif dan efisien. Sehingga dapat menghasilkan produk yang sesuai dengan frekuensi pasar global dengan standar kualitas seperti isu kualitas (ISO 9000), isu lingkungan (ISO 14.000) dan isu Hak Asasi Manusia (HAM)
13
serta isu ketenagakerjaan. Isu ini sering digunakan secara tidak fair oleh negara maju sebagai hambatan (Non Tariff Barrier for Trade). Untuk itu maka diharapkan UKM perlu mempersiapkan agar mampu bersaing baik secara keunggulan komparatif maupun keunggulan kompetitif yang berkelanjutan. 5. Sifat Produk dengan Lifetime Pendek Sebagian besar produk industri kecil memiliki ciri atau karakteristik sebagai produk-produk fashion dan kerajinan dengan lifetime yang pendek. 6. Terbatasnya Akses Pasar Terbatasnya akses pasar akan menyebabkan produk yang dihasilkan tidak dapat dipasarkan secara kompetitif baik di pasar nasional maupun internasional. 2.4.
Upaya Pengembangan UKM Dengan mencermati permasalahan yang dihadapi oleh UKM, maka perlu diupayakan langkah-langkah untuk mengembangkan Usaha Kecil dan Menengah (UKM) yang pada hakekatnya merupakan tanggung jawab bersama antara pemerintah dan masyarakat. Adapun langkah-langkah yang perlu diupayakan adalah sebagai berikut : 1. Penciptaan Iklim Usaha yang Kondusif Pemerintah perlu mengupayakan terciptanya iklim usaha yang kondusif seperti dengan mengusahakan ketenteraman dan keamanan berusaha serta penyederhanaan prosedur perijinan usaha, keringanan pajak dan sebagainya. Sehingga unti bisnis yang ada dapat tumbuh dan berkembang dengan baik. 2. Bantuan Permodalan Pemerintah perlu memperluas skim kredit khusus dengan syarat-syarat yang tidak memberatkan bagi UKM. Hal ini dilakukan untuk membantu peningkatan permodalannya baik itu melalui sektor jasa finansial formal,
14
sektor jasa finansial informal, skema penjaminan, leasing dan dana modal ventura. Sebaiknya pembiayaan untuk UKM menggunakan Lembaga Keuangan Mikro (LKM) yang ada seperti BRI unit Desa dan Bank Perkreditan Rakyat (BPR). Hal yang harus dilakukan sekarang ini adalah bagaimana mendorong pengembangan LKM agar dapat berjalan dengan baik sehingga para pengusaha kecil menengah dapat memperoleh pinjaman dengan dana mudah. 3. Perlindungan Usaha Jenis-jenis usaha tertentu, terutama jenis usaha tradisional yang merupakan
usaha
golongan
ekonomi
lemah
harus
mendapatkan
perlindungan dari pemerintah, baik itu melalui undang-undang maupun peraturan pemerintah yang bermuara kepada saling menguntungkan (winwin solution). 4. Pengembangan Kemitraan Perlu dikembangkan kemitraan yang saling membantu antar sesama UKM, atau antara UKM dengan pengusaha besar di dalam negeri maupun di luar negeri, untuk menghindarkan terjadinya monopoli dalam usaha. Disamping itu juga untuk memperluas pangsa pasar dan pengelolaan bisnis yang lebih efisien. Dengan demikian UKM akan mempunyai kekuatan dalam bersaing dengan pelaku bisnis lainnya, baik dari dalam maupun luar negeri. 5. Pelatihan Pemerintah perlu meningkatkan pelatihan bagi UKM baik dalam aspek kewiraswastaan,
manajemen,
administrasi
dan
pengetahuan
serta
keterampilannya dalam pengembangan usahanya. Kemudian diberi kesempatan untuk menerapkan hasil pelatihan di lapangan untuk mempraktekkan teori melalui pengembangan kemitraan rintisan. 6. Membentuk Lembaga Khusus Perlu dibangun suatu lembaga yang khusus bertanggung jawab dalam mengkoordinasikan semua kegiatan yang berkaitan dengan upaya
15
penumbuhkembangan UKM dan juga berfungsi untuk mencari solusi dalam rangka mengatasi permasalahan baik internal maupun eksternal yang dihadapi. 7. Memantapkan Asosiasi Asosiasi yang telah ada perlu diperkuat untuk meningkatkan perannya dalam pengembangan jaringan informasi usaha yang sangat dibutuhkan untuk pengembangan usaha bagi anggotanya. 8. Mengembangkan Promosi Guna lebih mempercepat proses kemitraan antara UKM dengan usaha besar, diperlukan media khusus dalam upaya mempromosikan produkproduk yang dihasilkan. Disamping itu perlu juga diadakan talk show antara asosiasi dengan mitra usahanya. 9. Mengembangkan Kerjasama yang Setara Perlu adanya kerjasama atau koordinasi yang serasi antara pemerintah dengan dunia usaha (UKM) untuk menginventarisir berbagai isu-isu mutakhir yang terkait dengan perkembangan usaha. 2.5.
Konsep dan Pengertian Biaya Menurut Rony (1990), biaya atau cost merupakan pengeluaran untuk memperoleh barang/jasa yang mempunyai manfaat bagi perusahaan lebih dari satu periode operasi. Dalam Prinsip Akuntansi Indonesia (PAI) yang diterbitkan oleh Ikatan Akuntansi Indonesia, dinyatakan bahwa biaya adalah pengorbanan suatu barang ataupun jasa yang diukur dengan nilai uang, baik itu pengeluaran berupa uang, melalui tukar menukar ataupun melalui pemberian jasa. Hansen dan Mowen (2006) mendefinisikan biaya sebagai kas atau nilai ekuivalen kas yang dikorbankan untuk mendapatkan barang atau jasa yang diharapkan memberi manfaat saat ini atau di masa datang bagi organisasi.. Dikatakan sebagai ekuivalen kas karena sumber non kas dapat ditukar dengan barang atau jasa yang diinginkan. Mulyadi (2005) berpendapat bahwa biaya
16
merupakan pengorbanan sumber ekonomi, yang diukur dalam satuan uang, yang telah terjadi atau yang mungkin akan terjadi untuk tujuan tertentu. Terdapat empat unsur pokok dalam definisi biaya tersebut, yaitu: 1. Biaya merupakan pengorbanan sumber ekonomi, 2. Diukur dalam satuan uang, 3. Yang telah terjadi atau yang secara potensial akan terjadi, 4. Pengorbanan tersebut untuk tujuan tertentu. Adanya informasi biaya yang akurat memungkinkan manajemen untuk melakukan pengelolaan alokasi berbagai sumber ekonomi untuk menjamin dihasilkannya output yang memiliki nilai ekonomis yang lebih tinggi dibandingkan dengan nilai input yang dikorbankan. Selain itu, dengan informasi biaya yang lengkap maka pimpinan perusahaan dapat lebih menyempurnakan lagi prosedur dan kebijakan-kebijakan
yang telah
ditetapkan untuk masa yang akan datang. 2.6.
Klasifikasi Biaya Sebagian besar perusahaan manufaktur membagi biaya ke dalam dua kategori, yaitu biaya produksi dan biaya non produksi (Garrison dalam Ivana, 2004). Terdapat tiga istilah yang kerap digunakan dalam menggambarkan biaya produksi, yaitu: 1.
Biaya Bahan Langsung (Direct Material Costs) Bahan
mentah
merupakan
bahan
yang
digunakan
untuk
menghasilkan produk jadi. Bahan langsung adalah bahan yang menjadi bagian yang tak terpisahkan dari produk jadi dan dapat ditelusuri secara fisik dan mudah ke produk tersebut. 2.
Biaya Tenaga Kerja Langsung (Direct Labor Costs) Tenaga kerja langsung digunakan untuk biaya tenaga kerja yang dapat ditelusuri ke produk jadi dengan mudah. Disebut juga dengan istilah touch labor karena tenaga kerja langsung melakukan kerja tangan atas produk pada saat produksi secara langsung.
17
3.
Biaya Overhead Pabrik Biaya overhead merupakan seluruh biaya manufaktur yang terkait dengan objek biaya (barang dalam proses kemudian barang jadi), namun tidak dapat dilacak ke objek biaya secara ekonomis. Yang termasuk biaya kategori ini antara lain bahan tidak langsung, tenaga kerja tidak langsung, pemeliharaan dan perbaikan peralatan produksi, listrik, penerangan, pajak property, penyusutan, serta asuransi fasilitas-fasilitas produksi.
2.7.
Harga Pokok Produksi Harga pokok produksi adalah semua biaya yang dikeluarkan untuk memproduksi suatu barang atau jasa selama periode bersangkutan. Dengan kata lain, bahwa harga pokok produksi merupakan biaya untuk memperoleh barang jadi yang siap jual (Kuswadi, 2005). Jadi, perhitungan harga pokok produksi adalah menghitung besarnya biaya atas pemakaian sumber ekonomi dalam memproduksi barang dan jasa. Adapun tujuan dilakukannya perhitungan harga pokok produksi adalah sebagai berikut: a. Untuk menentukan harga jual suatu produk b. Menetapkan efisien atau tidaknya suatu perusahaan c. Menentukan kebijakan dalam penjualan d. Pedoman dalam pembelian alat-alat perlengkapan Penetapan harga pokok produksi yang benar sangat penting bagi perusahaan dalam menjalankan usahanya. Terdapat dua kemungkinan yang akan ditemui jika perusahaan tidak teliti dalam melakukan perhitungan harga pokok produksi, yaitu: a.
Harga pokok yang diperhitungkan terlalu rendah Rendahnya harga pokok yang ditetapkan dapat merugikan perusahaan itu sendiri karena harga pokok yang rendah akan menyebabkan harga jualnya pun menjadi rendah. Walaupun perusahaan dapat menjual produknya dengan cepat karena harga jual yang terlalu rendah, akan tetapi dapat merugikan perusahaan karena keuntungan yang
18
diperoleh tidak dapat
menutupi biaya
yang dikeluarkan untuk
memproduksi produk tersebut. b.
Harga pokok yang diperhitungkan terlalu tinggi Kondisi ini juga dapat menimbulkan masalah bagi perusahaan karena harga pokok yang tinggi akan menyebabkan harga jual produk di pasar menjadi mahal. Sehingga akan sulit bagi perusahaan dalam memasarkan produknya dan kalah dalam bersaing dengan perusahaan lain. Konsumen akan lebih memilih produk serupa yang harganya lebih murah dengan kualitas yang sama.
2.8.
Activity Based Costing (ABC) Menurut Horngren (2005), terdapat dua metode dalam perhitungan harga pokok, yaitu Volume Based Costing System dan Activity Based Costing System. Sistem perhitungan biaya berdasarkan aktivitas (activity based costing- ABC) merupakan metode penentuan harga pokok yang menelusuri biaya atas dasar aktivitas kemudian ke produknya. Dengan sistem ABC, setiap aktivitas dapat dihitung dan biaya dapat dialokasikan ke objek biaya. Biaya untuk memproduksi suatu barang atau jasa terdiri dari biaya langsung dan tidak langsung. Biaya langsung dapat ditelusuri secara langsung dengan melihat produknya dan mengamati jenis pekerjaannya. Sistem ABC berfokus pada biaya tidak langsung (biaya overhead pabrik) dengan memperbaiki cara pengalokasian biaya tidak langsung ke departemen terkait, proses, produk dan objek biaya lainnya. Akuntansi biaya berbasis aktivitas mengendalikan biaya melalui penyediaan informasi tentang aktivitas yang menjadi penyebab timbulnya biaya (Mulyadi dan Setyawan, 2001). Sistem ABC menyediakan informasi yang
lengkap
tentang
aktivitas
untuk
memungkinkan
dilakukannya
pengelolaan terhadap aktivitas tersebut oleh pihak manajemen. Tunggal (1992) mengungkapkan bahwa ABC membebankan biaya ke produk atau kepada pelanggan berdasarkan sumber daya yang dikonsumsi.
19
Aktivitas mengkonsumsi sumber daya dan
produk atau pelanggan
mengkonsumsi aktivitas, seperti menjalankan suatu mesin, menerima bahan baku, serta menjadwalkan suatu pekerjaan. ABC kemudian menelusuri aktivitas ini ke suatu produk khusus atau pelanggan yang menimbulkan aktivitas. Activity based costing menitikberatkan pada penentuan harga pokok produk di seluruh fase pembuatan produk, mulai dari fase desain dan pengembangan produk hingga penyerahan produk kepada konsumen. Dalam sistem ABC, terdapat empat aktivitas yang menjadi kategori umum dalam mengidentifikasi dasar alokasi biaya yang merupakan pemicu biaya pada kelompok biaya berdasarkan aktivitas (Tunggal, 2003), meliputi: 1. Unit level activity adalah aktivitas yang dilakukan setiap kali suatu unit diproduksi seperti permesinan dan perakitan. Biaya aktivitas tingkat unit bervariasi dengan jumlah unit yang diproduksi. 2. Batch level activity adalah aktivitas yang dilakukan setiap kali suatu kelompok (batch) produk diproduksi seperti penanganan bahan. Biaya aktivitas tingkat batch bervariasi dengan jumlah batch tetapi tetap terhadap jumlah unit pada setiap batch. 3. Product sustaining activity adalah aktivitas yang dilakukan bila diperlukan untuk mendukung berbagai produk yang diproduksi oleh perusahaan. Aktivitas ini mengkonsumsi input yang mengembangkan produk atau memungkinkan produk diproduksi atau dijual. Aktivitas ini dan biayanya cenderung meningkat seiring dengan peningkatan jenis produk yang berbeda. 4. Facility sustaining activity adalah aktivitas yang menopang proses produksi secara umum suatu pabrik. Aktivitas ini memberi manfaat bagi organisasi pada beberapa tingkat, tetapi tidak memberikan manfaat untuk setiap produk secara spesifik. Contohnya adalah penyusutan.
20
2.9.
Manfaat Activity Based Costing System Menurut Mulyadi dan Setyawan (2001), terdapat beberapa manfaat dari ABC System diantaranya adalah sebagai berikut: 1.
Menyediakan informasi yang akurat mengenai aktivitas yang digunakan perusahaan dalam menghasilkan produk bagi pelanggan.
2.
Menyediakan informasi biaya untuk memantau implementasi rencana pengurangan biaya.
3.
Menyediakan secara akurat dan multidimensi biaya produk yang dihasilkan.
4.
Menyediakan fasilitas untuk menyusun anggaran berbasis aktivitas dengan cepat. Ivana (2004) menjelaskan bahwa manfaat utama dari sistem ABC
adalah sebagai berikut: a. Menyajikan biaya produk yang lebih akurat dan informatif, yang mengarah pada pengukuran profitabilitas yang lebih akurat dan kepada keputusan strategik yang lebih baik tentang penentuan harga jual. b. Menyajikan pengukuran yang lebih akurat tentang biaya yang dipicu adanya aktivitas. Hal ini dapat membantu manajemen untuk meningktakan nilai produk dan nilai proses dengan membuat keputusan yang lebih baik tentang desain produk, mengendalikan biaya yang lebih baik dan membantu perkembangan proyek-proyek peningkatan nilai. c. Memudahkan manajer dalam memberikan informasi tentang biaya relevan untuk pengambilan keputusan bisnis. 2.10. Perbedaan Metode ABC dengan Metode Tradisional Terdapat beberapa perbedaan antara sistem Activity Based Costing (ABC) dengan sistem kalkulasi biaya tradisional (Widjaja dalam Kusuma, 2007), yaitu:
21
1. ABC menggunakan aktivitas-aktivitas sebagai pemicu untuk menentukan berapa besar setiap overhead tidak langsung dari setiap produk yang dikonsumsi. Sistem tradisional mengalokasikan overhead secara arbriter berdasarkan satu atau dua basis alokasi yang non representatif, dengan demikian gagal menyerap konsumsi overhead yang benar menurut produk individual. 2. ABC membagi konsumsi overhead kedalam empat kategori: unit, batch, produk dan penopang fasilitas. Sistem tradisional membagi biaya overhead ke dalam satu unit. 3. Fokus ABC adalah pada biaya, mutu dan faktor waktu. Sistem tradisional terutama fokus pada kinerja keuangan jangka pendek seperti laba, yang cukup akurat. 4. ABC mempunyai kebutuhan yang jauh lbih kecil untuk analisis varian daripada sistem tradisional karena kelompok biaya dan pemacu (driver) jauh lebih akurat dan jelas dan karena ABC dapat menghitung biaya aktual apabila kebutuhan muncul. 5. System ABC terdiri dari berbagai pusat biaya aktivitas dan pemicu tahap kedua, biaya dianggarkan yang digunakan untuk melakukan studi ABC seharusnya diharapan lebih mendekati biaya actual daripada dengan menggunakan sistem tradisional. Mulyadi dan Setyawan (2001) menerangkan bahwa penghitungan dengan metode tradisional sangat berbeda dengan dengan metode ABC sebagaimana disajikan dalam Table 1:
22
Tabel 1. Perbedaan Metode Tradisional dengan ABC System Keterangan
Metode Tradisional
Sistem ABC
Fokus
Produk
Aktivitas
Pemakai Utama Manajemen Puncak
Manajer dan Karyawan
Teknologi
Manual
Teknologi Informasi
Keterterapan (applicability)
Perusahaan Manufaktur
Perusahaan Manufaktur Perusahaan Jasa Perusahaan Dagang
Lingkup
Biaya Produksi
Seluruh Biaya
2.11. Hasil Penelitian Terdahulu Widiyastuti
(2007)
dalam
skripsinya
yang
berjudul
Analisis
Perhitungan Harga Pokok Produksi Tas Wanita (Studi Kasus UKM Lifera Hand Bag Collection) menyimpulkan bahwa perhitungan harga pokok produksi yang dilakukan perusahaan masih sangat sederhana dimana biaya overhead pabrik tidak dialokasikan ke masing-masing produk secara rinci dan tidak disesuaikan dengan pemakaian biaya secara nyata melainkan hanya merupakan suatu estimasi biaya yang dianggarkan dalam kelompok biaya lain-lain. Hal ini mengakibatkan harga pokok produksi yang diperoleh tidak sesuai dengan kaidah. Perhitungan harga pokok produksi dengan metode ABC menghasilkan harga pokok produksi yang lebih besar daripada metode perhitungan yang digunakan perusahaan, yaitu sebesar 32,74 % untuk model 876 A dan 2,5 % untuk model 858. Hal ini disebabkan oleh banyaknya penggunaan sumber daya yang dilakukan dlam proses produksi dibandingkan dengan jika menggunakan metode perusahaan karena dalam metode ABC setiap aktivitas yang berhubungan dengan proses produksi dimasukkan dalam perhitungan.
23
Margin dari hasil penetapan harga jual yang diperoleh perusahaan berdasarkan metode perusahaan lebih besar daripada dengan metode ABC, yaitu sebesar 56,52 % untuk model 876 A dan 51,42 % untuk model 858. Sedangkan margin yang diperoleh dengan menggunakan metode ABC sebesar 35,36 % untuk model 876 A dan 34,85 % untuk model 858. Walaupun dengan metode ABC margin yang diperoleh lebih rendah daripada margin dengan metode perusahaan, namun dengan metode ABC semua biaya produksi yang diperlukan dalam proses produksi sudah diperhitungkan sesuai dengan pemakaian biaya yang sebenarnya sehingga menghasilkan harga pokok produksi yang lebih akurat. Ivana (2004) meneliti tentang analisis penetapan harga pokok produksi karkas dengan menggunakan metode Full costing, Variable Costing, dan Activity
Based
Costing
pada
rumah
potong
ayam
(RPA) Asia Afrika, Bogor bertujuan mengidentifikasi kerugian yang dialami RPA Asia Afrika dengan menganalisis biaya produksi untuk menghitung harga pokok produksi. Dari hasil penelitiannya, peneliti mengungkapkan bahwa perhitungan harga pokok produksi karkas dengan metode Full Costing menghasilkan harga pokok rata-rata tertinggi dan laba kotor terendah dari ketiga metode yang digunakan. Sedangkan hasil perhitungan dengan metode Variable Costing diperoleh harga pokok rata-rata terendah dan laba kotor tertinggi dari ketiga metode yang digunakan dan perhitungan dengan metode ABC berada diantara metode Full Costing dan Variable Costing. Harga pokok yang diperoleh dengan metode ABC akan overcosted bila produksi dilakukan dalam jumlah sedikit dan bila memproduksi dalam jumlah banyak akan undercosted. Berdasarkan hasil penelitian tersebut, peneliti merekomendasikan agar metode Variable Costing digunakan dalam perhitungan harga pokok produksi di perusahaan serta penggunaan metode ABC sebagai alternatif karena perhitungannya merefleksikan konsumsi sumber daya yang sebenarnya.
III. METODE PENELITIAN 3.1.
Kerangka Pemikiran Penelitian Perusahaan sangat memerlukan informasi yang berkaitan dengan biaya-biaya yang dikeluarkan dalam proses pembuatan produknya. Hal ini terkait dengan penetapan harga pokok produksinya guna menentukan harga jual yang tepat dan sesuai sehingga keuntungan yang diharapkan oleh perusahaan dapat tercapai. Salah satu metode untuk mendapatkan informasi biaya-biaya yang akurat adalah dengan melakukan perhitungan harga pokok produksi yang mampu mendeteksi penyerapan sumber daya yang digunakan dalam aktivitas produksi. Penelitian ini dilakukan untuk menganalisis biaya-biaya yang dikeluarkan guna menghitung harga pokok produksi sepatu dan sandal pada UKM Hunter. Dalam menentukan harga jual produknya, perusahaan belum menerapkan metode yang dapat merefleksikan berapa besar biaya yang telah dikeluarkan dalam aktivitas produksinya. Unsur biaya overhead pabrik tidak diperhitungkan secara rinci dalam perhitungan harga pokok produksinya. Dalam penelitian ini, harga pokok produksi akan dihitung secara tradisional, yakni berdasarkan metode yang biasa digunakan oleh perusahaan kemudian dengan melakukan perhitungan harga pokok produksi menggunakan Activity Based Costing system (ABC system). Perhitungan harga pokok produksi dengan metode ABC dilakukan dengan mengetahui tahapan dan aktivitas produksi sepatu. Adapun konsumsi sumber daya hanya dikhususkan pada kegiatan dalam proses produksinya serta variabel yang akan digunakan adalah unit level, batch level, product sustaining activity, dan facility sustaining activity (Tunggal, 2003). Hasil perhitungan dari kedua metode tersebut akan dianalisis untuk melihat
perbedaannya
terhadap
perhitungan
HPP
dan
mengetahui
pengaruhnya terhadap harga jual produk. Sehingga dapat ditentukan metode
25
manakah yang paling efektif dan efisien dalam rangka menciptakan keunggulan kompetitif bagi perusahaan. Alur pemikiran penelitian ini telah disusun secara sistematis pada Gambar 1.
UKM Hunter
Perhitungan Harga Pokok Produksi yang tidak tepat
Penetapan Harga jual yang tidak tepat
Identifikasi Biaya Produksi
Metode Perhitungan Harga Pokok Produksi
Perhitungan Harga Pokok Produksi dengan Metode Perusahaan
Perhitungan Harga Pokok Produksi dengan Metode Activity Based Costing
Perbedaan perhitungan kedua metode terhadap perhitungan HPP dan pengaruhnya terhadap harga jual
Penetapan Harga Pokok Produksi yang tepat bagi perusahaan
Gambar 1. Kerangka Pemikiran Penelitian
26
3.2.
Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di UKM Hunter yang berlokasi di Jl. Siliwangi No.7 Depok. Pemilihan lokasi penelitian dilakukan secara sengaja (purposive) dengan pertimbangan bahwa perusahaan tersebut tergolong dalam usaha kecil dan menengah (UKM) yang memproduksi sepatu dan sandal yang terbuat dari kulit asli, serta adanya kesediaan dari pihak perusahaan untuk memberikan data dan informasi yang diperlukan sesuai dengan penelitian. Waktu penelitian dilaksanakan pada rentang waktu antara bulan Maret 2009 hingga Mei 2009.
3.3.
Jenis dan Sumber Data Data yang digunakan dalam penelitian ini merupakan data primer dan sekunder. Data primer diperoleh dengan melakukan pengamatan secara langsung di lapangan serta melalui wawancara langsung dengan pihak yang terkait dengan perusahaan. Sedangkan data sekunder diperoleh melalui laporan produksi dan dokumen-dokumen perusahaan serta lembaga-lembaga terkait, dan literatur yang sesuai dengan penelitian, seperti buku-buku yang memuat teori, hasil penelitian terdahulu dan data-data yang sudah ada di perusahaan.
3.4.
Metode Pengumpulan Data Dalam penelitian ini, penulis secara langsung mendatangi perusahaan dan menemui pihak terkait yang dapat memberikan data dan informasi yang relevan dengan penelitian. Metode yang digunakan untuk memperoleh data dan informasi dari perusahaan meliputi: 1. Wawancara mendalam yang dilakukan terhadap pihak perusahaan dengan mengajukan berbagai pertanyaan yang terkait dengan tujuan penelitian. 2. Pengamatan (observasi) secara langsung terhadap aktivitas produksi yang dilakukan para pekerja dalam menghasilkan produk.
27
3. Studi literatur dengan memanfaatkan berbagai laporan, buku-buku pendukung teori, browsing di internet, serta hasil penelitian terdahulu. 3.5.
Pengolahan dan Analisis Data Penelitian ini menggunakan metode penetapan harga pokok produksi dengan sistem Activity Based Costing (ABC). Pertimbangannya adalah pengalokasian biaya overhead pabrik dengan metode ABC berhubungan dengan konsumsi aktivitas dan penanganan produk yang sebenarnya sehingga lebih tepat dan akurat dalam perhitungan harga pokok produksi. Dari data yang telah diperoleh kemudian dirinci setiap bulan dan diolah dengan menggunakan Microsoft Excel. Analisis data dikelompokkan menjadi analisis kuantitatif dan analisis kualitatif. Analisis kuantitatif dilakukan pada perhitungan harga pokok produksi dengan metode yang digunakan perusahaan serta dengan menggunakan metode ABC. Sedangkan analisis kualitatif adalah dengan melakukan deskriptif komparatif untuk membandingkan hasil perhitungan yang diperoleh dari metode ABC dengan metode yang digunakan perusahaan.
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Gambaran Umum Perusahaan 4.1.1. Sejarah Perusahaan Hunter merupakan suatu bentuk usaha skala kecil menengah dimana kegiatan usahanya adalah memproduksi sepatu sebagai produk utamanya. Tempat yang digunakan untuk kegiatan produksi berlokasi di Jl. Siliwangi No.7 Depok. Hunter didirikan oleh Muhamad Ahda pada tahun 1987 karena terinspirasi dari berkembangnya usaha kerajinan sepatu kulit Cibaduyut dan berbekal keahlian dan pengalaman yang diturunkan dari ayahnya yang merupakan pengrajin sepatu. Perusahaan ini telah terdaftar pada Dinas Perindustrian dan Perdagangan
dengan
Tanda
Daftar
Industri
Nomor:
530.053/Dep.II.05/Iz.TDI/IX/2006. Untuk memasarkan produknya, Hunter memiliki tiga buah toko yang berlokasi di kota Depok. Selain sepatu kulit sebagai produk utamanya, Hunter juga menyediakan berbagai macam sandal dan dompet yang terbuat dari kulit asli. Akan tetapi, kedua produk tersebut tidak diproduksi oleh Hunter melainkan dibuat oleh pengrajin lain. Hunter hanya memasok kulit asli yang menjadi bahan baku kemudian memasarkannya dengan merek yang sama. Sepatu yang diproduksi Hunter terbuat dari kulit asli dan diberi merek “NEW HUNTERIA”. Konsumen tidak hanya dapat membeli sepatu yang telah tersedia di toko secara langsung, tetapi juga dapat memesan terlebih dahulu dengan spesifikasi yang diinginkan. Pemesanan sepatu dapat dilakukan dalam skala besar maupun perorangan. Terdapat dua jenis sepatu yang diproduksi yaitu sepatu pria dewasa dan sepatu wanita dewasa. Perusahaan yang sampai sekarang telah mempekerjakan lima orang karyawan ini didirikan dengan investasi yang cukup besar dimana sumber investasi awal berasal dari dana pribadi sebesar Rp.9.000.000,00 (sembilan juta rupiah).
29
4.1.2. Struktur Organisasi Perusahaan Struktur organisasi dalam UKM Hunter tergolong masih sederhana. Pemilik yang menjabat sebagai pemimpin perusahaan langsung membawahi bagian produksi. Di dalam bagian produksi terdapat aktivitas-aktivitas yang saling berhubungan dalam membuat sepatu. Sedangkan untuk kegiatan pemasaran produk dikendalikan secara langsung oleh pemilik perusahaan. Kerangka struktur organisasi UKM Hunter dapat dilihat pada Gambar 2.
Pemimpin Perusahaan
Bagian Produksi
Desain
Jahit
Sol
Finishing
Gambar 2. Struktur Organisasi UKM Hunter Keterangan dari fungsi-fungsi di atas adalah sebagai berikut : 1. Pemimpin Perusahaan Pemimpin perusahaan merupakan pemilik dari UKM Hunter yang berperan sebagai pengambil keputusan terhadap kebijakankebijakan perusahaan. Serta mempunyai kewenangan dalam merencanakan, mengawasi dan mengelola jalannya perusahaan
30
serta bertanggung jawab terhadap seluruh aktivitas perusahaan. Selain itu juga menjalankan fungsi administrasi. 2. Bagian Produksi Di dalam bagian produksi terbagi menjadi empat bagian yang memiliki tugas yang berbeda-beda tetapi saling berhubungan. Bagian-bagian yang dimaksud adalah sebagai berikut: a. Bagian Desain Bagian desain (pola) memiliki tugas merancang dan membuat berbagai macam model sepatu yang akan diproduksi. Bagian ini dikerjakan langsung oleh pemilik UKM Hunter. b. Bagian Jahit Pada bagian ini, dilakukan pemotongan bahan kulit yang telah dibuat desain sebelumnya. Kemudian menjahit bagian-bagian tertentu dari sepatu yang perlu dijahit sesuai dengan pola yang telah digunting. c. Bagian Sol Aktivitas pada bagian sol adalah membentuk sepatu dengan menggunakan tangan, memasang besi tamsin kemudian melakukan proses penyatuan dengan bagian bawah sepatu menggunakan perekat (lem). d. Bagian Finishing Bagian finishing memiliki tugas menyelesaikan bagian-bagian yang belum terselesaikan. Diantaranya adalah menghaluskan dan menge-press sepatu serta melakukan pengecatan dan penyemprotan. 4.1.3. Kegiatan Perusahaan a. Kegiatan Produksi Produk yang diproduksi oleh UKM Hunter terdiri dari dua jenis produk yaitu berupa sepatu ukuran dewasa untuk pria dan wanita yang dibuat dengan berbagai macam pola dan model. Produk yang dihasilkan berupa produk jadi yang digunakan
31
sebagai stok untuk memenuhi kebutuhan konsumen setiap waktu dan produk pesanan. Bahan baku yang dibutuhkan untuk memproduksi sepatu adalah bahan kulit asli. Untuk menunjang proses produksi, diperlukan juga bahan pendukung seperti bahan lapisan, aksesoris sepatu, bahan perekat, benang, karton dan bahan untuk pengemasan. Mesin dan peralatan yang digunakan dalam proses produksi sepatu dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2. Daftar Mesin dan Peralatan Produksi pada UKM Hunter Jenis
Jumlah
Mesin Jahit
5
Mesin Seset Cetakan Sepatu (lasting) Pemotong (cutter) Alat Press (penekan)
2 50 5 1
Palu
2
Kuas
6
Gunting Pulpen Spidol Penggaris
Fungsi Merakit antar komponen yang sudah dibuat polanya Menipiskan bahan kulit yang masih tebal Alat untuk mencetak bentuk sepatu yang akan dibuat Memotong karton, bahan-bahan sepatu dan sebagainya Digunakan untuk menipiskan bahanyang telah direkatkan dengan bahan lain Mempermudah dalam pemasangan aksesoris sepatu Alat bantu untuk merekatkan bahan yang satu dengan lainnya menggunakan perekat Memotong kain lapis, benang, dan sebagainya
6 6 Digunakan dalam pembuatan desain sepatu dan 6 pemotongan desain sepatu yang telah dibuat 6 b. Kegiatan Pemasaran Produk yang dihasilkan oleh UKM Hunter dipasarkan secara langsung melalui toko-toko yang dimilikinya. Terdapat tiga buah toko yang dimiliki oleh UKM Hunter. Masing-masing berlokasi di Jl. Siliwangi No.7 Depok, Jl. Arif Rachman Hakim No.2 Depok I dan Jl. Tole Iskandar No.55 Depok.
4.2. Identifikasi Proses Produksi Sepatu UKM Hunter Proses produksi merupakan suatu metode dan teknik dalam menciptakan suatu produk melalui pemanfaatan sumber daya yang tersedia menjadi barang jadi. Sumber daya tersebut meliputi bahan baku, mesin dan
32
peralatan serta sumber daya manusia. Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, dapat diidentifikasi tahapan dan aktivitas produksi yang dilakukan UKM Hunter dalam menghasilkan sepatu model pria dan model wanita. Proses produksi yang dilakukan oleh UKM Hunter terbagi menjadi lima tahap produksi yaitu: a. Tahap Perencanaan Pada
tahap
perencanaan,
aktivitas
yang
dilakukan
adalah
menentukan jenis dan desain produk yang diinginkan. Kemudian diperlukan pula perencanaan mengenai kebutuhan bahan baku dan bahan penolong. Dari aktivitas ini dapat diidentifikasi biaya yang timbul dari penggunaan sumber daya. Biaya ini meliputi biaya pembelian bahan baku, biaya penyusutan kendaraan, biaya pemeliharaan kendaraan dan biaya penggunaan bahan penolong. b. Tahap pembuatan desain (pola) Pada tahap ini, aktivitas yang dilakukan adalah membuat pola sesuai desain produk sepatu yang diinginkan. Pola dibuat dengan detil dan diberikan keterangan oleh pembuat desain yang lengkap kepada bagian selanjutnya
mengenai
ukuran,
pemotongan,
penyambungan
dan
penjahitannya. Pola ini dibuat langsung pada bahan kulit yang akan digunakan dan dengan alat sederhana seperti pulpen, spidol serta penggaris. Dari aktivitas ini, dapat diidentifikasi biaya yang timbul akibat penggunaan sumber daya oleh aktivitas seperti penyusutan peralatan. c. Tahap pemotongan pola dan penjahitan Aktivitas yang dilakukan pada tahap ini adalah memotong bahanbahan yang diperlukan dan sesuai dengan pola yang telah dibuat. Pemotongan bahan ini dilakukan dengan tepat untuk menghindari pemborosan bahan yang ada. Setelah itu, potongan-potongan bahan tersebut digabungkan untuk menghasilkan bentuk sepatu. Penggabungan bagian-bagian ini biasanya menggunakan mesin jahit dan juga lem untuk bagian-bagian
tertentu.
Dari
aktivitas-aktivitas
tersebut,
dapat
diidentifikasi biaya yang timbul dari penggunaan sumber daya yaitu biaya
33
penyusutan peralatan, biaya penyusutan mesin, dan biaya pemeliharaan mesin. d. Tahap perakitan (sol) Bahan yang telah dijahit kemudian dibentuk dengan tangan menggunakan cetakan sepatu (lasting) yang terbuat dari kayu berbentuk kaki. Aktivitas berikutnya adalah merakit atau menggabungkan bahan sepatu yang sudah terbentuk dengan bagian bawah sepatu atau alas sepatu yang dikenal dengan nama sol TPR. Biaya yang timbul dari aktivitas ini adalah biaya penggunaan bahan penolong dan biaya penyusutan peralatan. e. Tahap finishing Pada tahap finishing, aktivitas yang dilakukan adalah menghaluskan atau merapikan sepatu yang telah dirakit. Kemudian dilakukan pengepress-an menggunakan alat press, pengecatan dan penyemprotan sepatu. Biaya yang timbul dari aktivitas ini adalah biaya penggunaan bahan penolong dan biaya penyusutan mesin. 4.3. Perhitungan Harga Pokok Produksi Sepatu UKM Hunter 4.3.1.
Perhitungan Harga Pokok Produksi Sepatu dengan Metode Perusahaan Perhitungan harga pokok produksi sepatu per unit yang telah dilakukan oleh UKM Hunter selama ini masih sederhana. Biayabiaya yang diperhitungkan dalam penetapan harga pokok produksi meliputi biaya bahan baku, upah karyawan dan biaya bahan penolong yang merupakan satu-satunya biaya overhead pabrik yang dihitung di perusahaan. Dalam menghitung biaya overhead pabrik ini tidak dilakukan secara rinci yakni hanya dikelompokkan ke dalam kelompok biaya lain-lain dan merupakan suatu anggaran yang diestimasi. Perhitungan biaya overhead pabrik ini tidak disesuaikan dengan pengeluaran biaya secara nyata. Bahan baku yang digunakan dalam proses produksi berupa bahan kulit asli. Adapun untuk biaya tenaga kerja langsung yang dikeluarkan berupa upah pekerja yang dihitung berdasarkan jumlah unit sepatu yang diproduksi. Selama ini,
perusahaan menetapkan biaya
bahan yang
diperlukan sesuai dengan kebutuhan bahan untuk memproduksi satu
34
unit sepatu. Bahan baku yang digunakan merupakan perhitungan dari proporsi bahan yang diperlukan untuk membuat satu unit sepatu dikalikan dengan harga satuan bahan di pasar. Model sepatu pria dan wanita yang diproduksi terdiri dari beberapa ukuran. Akan tetapi, perusahaan tidak membedakan dalam penyerapan biayanya sehingga harga pokok produksinya diasumsikan sama. Sehingga, walaupun ukurannya berbeda-beda biaya bahan yang diperhitungkan adalah sama. Perhitungan harga pokok produksi sepatu model pria dan model wanita pada UKM Hunter dapat dilihat pada Tabel 3 dan Tabel 4. Tabel 3. Perhitungan Harga Pokok Produksi Sepatu Model Pria dengan Metode Perusahaan Biaya Kebutuhan Per Harga Per Satuan Jumlah Unit (Rp) (Rp) Bahan Kulit Asli 2,3 feet 17.000 39.100 Bahan Pur KM 5 cm 300 1.500 Bahan Bordiran 2 pcs 417 834 Merk Kain Keras 5 cm 150 750 Sol TPR 2 pcs 11.500 21.000 Plastik 1 pcs 500 500 Kardus 1 pcs 3.250 3.250 Upah Pekerja/unit 14.000 Perekat (lem) 2.000 Benang Jahit 200 Aksesoris 3.000 Estimasi Karton 1.000 perusahaan Cat Kulit 600 Biaya Lain-Lain 1.500 Harga Pokok Produksi Per Unit (Rp) 89.234 Sumber : Data UKM Hunter (diolah)
35
Tabel 4. Perhitungan Harga Pokok Produksi Sepatu Model Wanita dengan Metode Perusahaan Biaya Kebutuhan Per Harga Per Satuan Jumlah Unit (Rp) (Rp) Bahan Kulit Asli 1,6 feet 17.000 27.200 Bahan Pur KM 5 cm 300 1.500 Bahan Bordiran 2 buah 417 834 Merk Kain Keras 5 cm 150 750 Sol TPR 2 buah 8.500 17.000 Plastik 1 buah 500 500 Kardus 1 buah 2.000 2.000 Upah Pekerja/unit 12.500 Perekat (lem) Estimasi Benang Jahit perusahaan Aksesoris Karton Biaya Lain-Lain Harga Pokok Produksi Per Unit (Rp)
2.000 200 3.000 1.000 1.500 69.984
Sumber : Data UKM Hunter (diolah) 4.3.2.
Perhitungan Harga Pokok Produksi Sepatu dengan Metode Activity Based Costing (ABC) Dalam metode ABC, biaya overhead pabrik akan dibebankan kepada produk berdasarkan penggunaannya dalam aktivitas yang secara nyata terjadi dalam proses produksi. Proses produksi yang dilakukan membutuhkan berbagai sumber daya baik sumber daya langsung maupun sumber daya tidak langsung dimana sumber daya ini akan menimbulkan biaya. Biaya-biaya yang timbul akan dikalkulasikan dalam perhitungan harga pokok produksi. Berikut adalah berbagai sumber daya yang disertai biayanya: A. Penggunaan sumber daya langsung dan biaya langsung Sumber daya langsung yang digunakan dalam proses produksi sepatu model pria dan wanita meliputi bahan baku dan tenaga kerja langsung. Adapun biaya yang timbul akibat dari penggunaan sumber daya tersebut adalah:
36
a. Biaya bahan baku Bahan baku yang digunakan untuk membuat sepatu adalah kulit asli. Biayanya dihitung dengan mengalikan jumlah bahan baku yang digunakan dengan harga per satuannya dalam kurun waktu enam bulan. Jumlah unit sepatu yang diproduksi per bulan adalah konstan yaitu sebanyak 185 unit. Walaupun sepatu yang diproduksi mempunyai ukuran yang berbeda-beda dalam tiap model sepatu, namun biaya bahan baku yang dikeluarkan hampir sama karena desain dibuat dalam satu lembaran bahan kulit yang sama. Besarnya biaya bahan baku yang dikeluarkan selama enam bulan dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5.Pengeluaran Biaya Bahan Baku Sepatu selama Enam Bulan Model Sepatu
Biaya Bahan Baku
Pria Bahan Baku (Rp) Jumlah Produksi (unit) Biaya Bahan Baku Per Unit Sumber : Data UKM Hunter (diolah)
Wanita
14.076.000 20.400.000 360 750 39.100 27.200
b. Penggunaan tenaga kerja langsung Yang dimaksud tenaga kerja langsung adalah para pekerja yang berkontribusi secara langsungdalam proses produksi sepatu yang meliputi pekerja pemotongan pola dan penjahitan, pekerja perakitan (pengesolan) serta pekerja pada bagian finishing. Besarnya pengeluaran biaya untuk tenaga kerja
langsung
selama
enam
bulan
mencapai
Rp.18.590.000,00. Pembayaran upah tenaga kerja langsung berdasarkan pada tiap unit sepatu yang diproduksi dan dibayarkan per pekerjaan dilakukan. Besarnya upah tenaga kerja langsung tiap-tiap pekerjaan dapat dilihat pada Tabel 6.
37
Tabel 6. Upah Tenaga Kerja Langsung per Pekerjaan No.
Jenis Pekerjaan
1 2 3
Jahit Sol Finishing Total Upah TKL per Unit Sumber : Data UKM Hunter
Model Pria Wanita Rp. 6.500 Rp. 5.000 Rp. 7.500 Rp. 7.500 Rp. 1.000 Rp. 1.000 Rp. 15.000 Rp. 13.500
Untuk pembuatan desain tidak mengeluarkan biaya karena desain sepatu dibuat oleh pemilik perusahaan sendiri. Kemudian untuk memperoleh biaya tenaga kerja per unit sepatu adalah jumlah biaya pada proses produksi dibagi dengan jumlah unit sepatu yang diproduksi. Penggunaan biaya tenaga kerja langsung pada UKM Hunter dapat dilihat pada Tabel 7. Tabel 7. Biaya Tenaga Kerja Langsung Bulan Selama Enam Bulan Biaya TKL Model Jumlah Biaya (Rp) per Unit Sepatu Produksi (unit) (Rp) Pria 360 5.400.000 15.000 Wanita
750 10.125.000 Sumber : Data UKM Hunter (diolah)
13.500
Dari tabel di atas, dapat dilihat bahwa biaya tenaga kerja langsung yang terjadi pada sepatu model wanita lebih besar daripada sepatu model pria. Hal ini disebabkan oleh jumlah produksinya yang lebih besar daripada model pria. Akan tetapi, jika dilihat dari per unitnya, perbedaan biaya tenaga kerja langsung yang terjadi pada kedua model sepatu tersebut tidak
terlalu
signifikan
atau
relatif
sama.
Hal
ini
menunjukkan bahwa pembebanan biaya berdasarkan aktivitas akan menghasilkan biaya tenaga kerja langsung yang cukup adil pada setiap model sepatu walaupun terdapat perbedaan pada jumlah unit yang diproduksi.
38
B. Penggunaan sumber daya tidak langsung Jenis-jenis aktivitas yang timbul akibat dari penggunaan sumber daya tidak langsung dikelompokkan berdasarkan hierarki aktivitas serta pemacu biayanya. Aktivitas penggunaan bahan penolong dan pemeliharaan mesin didasarkan pada pemacu biaya jumlah unit yang diproduksi karena banyaknya bahan penolong yang akan digunakan serta besarnya biaya pemeliharaan mesin tergantung berapa jumlah unit sepatu yang akan diproduksi. Aktivitas pembelian bahan (transportasi), pemeliharaan
kendaraan
dan
penyusutan
kendaraan
dikelompokkan berdasarkan pemacu biaya jumlah pembelian bahan karena makin sering melakukan pembelian bahan maka biaya untuk transport, pemeliharaan dan penyusutan kendaraan akan tinggi. Aktivitas penggunaan mesin dan pemakaian lampu listrik digolongkan berdasarkan pemacu biaya Kilowatt Hour karena terkait dengan besarnya daya yang dikeluarkan. Aktivitas penyusutan mesin dan peralatan termasuk dalam pemacu biaya jam peralatan karena besarnya penyusutan yang dialami oleh mesin dan peralatan tergantung pada waktu pemakaiannya. Pengelompokan aktivitas-aktivitas tersebut berdasarkan pemacu biayanya dapat dilihat pada Tabel 8. Tabel 8. Ikhtisar Aktivitas Hierarki Aktivitas Unit Level Activity
Batch Level Activity
Jenis Aktivitas Penggunaan Bahan Penolong Transportasi Pembelian Bahan Penggunaan Mesin Pemakaian Lampu Listrik
Pemacu Biaya JU FPB Kwh Kwh
Product Sustaining Activity
Pemeliharaan Mesin Pemeliharaan Kendaraan
JU FPB
Facility Sustaining Activity
Penyusutan Mesin & Peralatan Penyusutan Kendaraan
JPM FPB
39
Keterangan Tabel 8 :
JU = Jumlah Unit yang diproduksi FPB = Frekuensi Pembelian Bahan Kwh = Kilowatt Hour JPM = Jam Peralatan dan Mesin Sumber daya tidak langsung yang digunakan pada proses
produksi akan menimbulkan biaya tidak langsung yang disebut biaya overhead pabrik yang merupakan keseluruhan biaya selain biaya bahan langsung dan tenaga kerja langsung. Berikut adalah biaya overhead pabrik yang ditimbulkan akibat dari penggunaan sumber daya tidak langsung yaitu: a. Unit Level Activity Cost Unit level activity cost merupakan biaya yang terjadi pada unit level activity akibat adanya penggunaan sumber daya oleh aktivitas tersebut. Aktivitas yang termasuk dalam level ini adalah penggunaan bahan penolong. Jadi biaya yang terjadi adalah biaya penggunaan bahan penolong. Adapun bahan penolong yang digunakan dalam proses produksi sepatu meliputi bahan lapisan yang berupa Pur KM, bahan pembantu serta bahan kemasan. Bahan pembantu yang digunakan yaitu karton, kain keras, perekat (lem), benang, bahan bordiran merek, dan aksesoris. Bahan kemasan yang digunakan adalah kardus dan plastik. Jumlah biaya yang dikeluarkan dengan adanya penggunaan bahan penolong mencapai Rp.30.719.000,00 selama enam bulan. Penggunaan biaya bahan penolong ini dapat dilihat pada Tabel 9. Tabel 9.
Biaya Penggunaan Bahan Penolong selama Enam Bulan
Model Sepatu
Biaya Bahan Penolong (Rp)
Pria
11.227.000
Wanita
19.492.000 30.719.000
Jumlah Sumber : Data UKM Hunter (diolah)
40
b. Batch Level Activity Cost Batch level activity cost merupakan biaya aktivitas yang timbul pada batch level activity sebagai akibat dari penggunaan sumber daya oleh aktivitas tersebut yang meliputi: 1) Biaya transportasi pembelian bahan Biaya
pembelian
bahan
yaitu
biaya
yang
dikorbankan perusahaan dalam rangka pengadaan bahan yang digunakan dalam proses produksi atau biaya transportasi. Besarnya biaya pembelian bahan (biaya transportasi)
selama
enam
bulan
mencapai
Rp.2.400.000,00. 2) Biaya pemakaian listrik Dalam proses produksi sepatunya, UKM Hunter menggunakan listrik sebagai sumber daya yang dipasok dari PLN. Sumber daya listrik ini digunakan untuk mengoperasikan mesin dan lampu dalam memproduksi sepatu. Rincian biaya pemakaian listrik dapat dilihat pada Tabel 10. Tabel 10. Biaya Pemakaian Listrik selama Enam Bulan Uraian Pemakaian Mesin Pemakaian Lampu Listrik Jumlah
Nilai (Rp) 720.000 480.000 1.200.000
Sumber : Data UKM Hunter (diolah) c. Product Sustaining Activity Cost Product sustaining activity cost merupakan biaya aktivitas yang terjadi akibat dari penggunaan sumber daya pada product sustaining activity yang meliputi biaya pemeliharaan mesin dan kendaraan. Biaya pemeliharaan mesin dan kendaraan berupa biaya untuk perawatan dan
41
perbaikan, serta pembelian suku cadang mesin dan kendaraan (spare part). Kendaraan yang digunakan berupa mobil milik pribadi untuk operasional perusahaan. Untuk pemeliharaan mesin, biaya yang dikeluarkan perusahaan antara lain biaya penggantian jarum jahit, isi dinamo, sepatu mesin, pelumas mesin, pisau dan sebagainya. Sedangkan untuk pemeliharaan kendaraannya, biaya yang dikeluarkan perusahaan berupa biaya servis mesin, ganti oli, kampas rem serta ganti ban. Rincian biaya pemeliharaan mesin dan kendaraan yang terjadi dalam kurun waktu enam bulan dapat dilihat pada Tabel 11. Tabel 11. Biaya Pemeliharaan Mesin dan Kendaraan yang terjadi selama enam bulan Keterangan
Biaya (Rp) 1.200.000 600.000 3.000.000 4.800.000
Mesin Jahit Mesin Seset Mobil Jumlah Sumber : Data UKM Hunter (diolah) d. Facility Sustaining Activity Cost
Facility sustaining activity merupakan biaya aktivitas yang timbul karena adanya penggunaan sumber daya oleh aktivitas yang terjadi pada facility sustaining activity. Aktivitas ini berupa: 1) Biaya penyusutan mesin dan peralatan Setiap mesin dan peralatan yang telah digunakan pasti
akan
mengalami
penyusutan.
Terjadinya
penyusutan ini akan mengakibatkan timbulnya biaya yang disebut dengan biaya penyusutan. Mesin dan peralatan yang digunakan dalam proses produksi diantaranya mesin jahit, mesin seset, alat press, kuas, tang, pulpen, palu, dan gunting. Nilai tarif penyusutan
42
diperoleh dengan menggunakan perhitungan metode jam kerja (Sembiring, 1991).
Dimana taksiran jam mesin yang digunakan merupakan kebijakan dari UKM Hunter. Biaya penyusutan yang dibebankan pada mesin dan peralatan diperoleh dari tarif penyusutan
yang
dikalikan
dengan
jumlah
jam
penggunaan aktual. Harga perolehan mesin jahit adalah Rp.450.000,00
dan kalau dijual kembali bernilai
Rp.200.000,00 dengan umur ekonomis enam tahun. Mesin
seset
diperoleh
dengan
biaya
sebesar
Rp.3.000.000,00 dan memiliki nilai residu 1.825.000,00 dengan umur eonomis lima tahun. Sedangkan nilai sisa untuk
semua
Rp.1.000.000,00
peralatan
yang
digunakan
adalah
dengan
harga
perolehan
sebesar
Rp.1.700.000,00 dengan umur ekonomis lima tahun. Jumlah penggunaan jam kerja aktual untuk masingmasing mesin dan peralatan produksi berbeda-beda yaitu 1.110 jam untuk mesin jahit dan mesin seset digunakan selama 202 jam. Sedangkan peralatan yang digunakan dalam proses produksi telah dipakai selama 985 jam. Adapun jam taksiran untuk mesin jahit adalah 13.320 jam, mesin seset memiliki jam taksiran selama 2.020 jam dan 9.850 jam untuk peralatan produksi. Untuk mendapatkan
total
biaya
penyusutan
mesin
dan
peralatan, dengan cara mengalikannya dengan jumlah mesin dan peralatan yang ada. Tarif biaya penyusutan mesin dan peralatan dapat dilihat pada Tabel 12.
43
Tabel 12. Tarif Biaya Penyusutan Mesin dan Peralatan per Jam Uraian Biaya Penyusutan (Rp) Mesin Seset
581,68
Mesin Jahit
23,27
Peralatan produksi
71,07
Total
676,02
2) Biaya penyusutan kendaraan Karena kendaraan yang dimiliki oleh UKM Hunter digunakan
untuk
kendaraan
tersebut
pengadaan
bahan
dikenakan
biaya
baku,
maka
penyusutan.
Perhitungan biaya penyusutan kendaraan diperoleh dengan menggunakan metode garis lurus (Sembiring, 1991).
Dimana untuk taksiran umur kegunaan berdasarkan pada pedoman dari perhitungan pajak yaitu delapan tahun. Harga perolehan mobil adalah Rp.42.250.000,00 dan memiliki nilai sisa sebesar Rp.20.500.00,00. Jumlah biaya penyusutan kendaraan pada UKM Hunter dapat dilihat pada Tabel 13. Tabel 13. Biaya Penyusutan Kendaraan yang Terjadi Selama Enam Bulan Biaya Biaya Jenis Penyusutan Penyusutan (Rp/tahun) (Rp/6 bulan) Mobil Total
4.350.000
2.175.000
4.350.000
2.175.000
44
C. Perhitungan Pemacu Biaya Perhitungan pemacu biaya diperlukan dalam penentuan tarif kelompok biaya overhead pabrik. Berikut adalah pemacu biaya yang akan dihitung, yaitu: a) Jumlah Unit yang Diproduksi (JU) Jumlah produksi sepatu yang akan diperhitungkan adalah jumlah total sepatu yang diproduksi selama enam bulan di UKM Hunter. Jumlah produksi sepatu untuk setiap model dapat dilihat pada Tabel 14. Tabel 14. Jumlah Produksi Sepatu Selama Enam Bulan Model Sepatu Jumlah Produksi (Unit) Pria
360
Wanita
750
Total
1.110
Sumber : Data UKM Hunter (diolah) b) Jam Peralatan dan Mesin (JPM) Jam peralatan dan mesin merupakan waktu yang digunakan dalam pemakaian alat untuk memproduksi barang secara keseluruhan pada UKM Hunter. Penggunaan jam peralatan dibebankan pada setiap jenis produk yang dihasilkan pada setiap tahap dalam proses produksi. Jumlah penggunaan jam peralatan selama enam bulan mencapai 1.074 jam dengan jumlah produk keseluruhan sebanyak 1.210 unit. Pembebanan pemakaian jam peralatan dapat dikalkulasikan dengan rumus:
Uraian mengenai pemakaian jam peralatan pada masingmasing model sepatu yang diproduksi oleh UKM Hunter dapat dilihat pada Tabel 15.
45
Tabel 15. Penggunaan Jam Peralatan dan Mesin selama Enam Bulan Model Jumlah Produksi Pemakaian JP Sepatu (unit) (jam) Pria
360
319,54
Wanita
750
665,70
c) Kilowatt Hour (Kwh) Perhitungan konsumsi Kwh mesin dihasilkan dari besarnya daya mesin yang dikalikan dengan jumlah jam pemakaian mesin dan jumlah mesin tersebut. Selain mesin, lampu juga digunakan sesuai dengan keperluan. Konsumsi Kwh pada lampu penerangan dilakukan dengan cara yang sama seperti pada mesin. Pembebanan konsumsi Kwh pada setiap model sepatu diperoleh dengan menggunakan rumus:
Penggunaan listrik yang terjadi selama enam bulan pada UKM Hunter sebesar 1.082,25 Kwh. Adapun konsumsi Kwh dapat dilihat pada Tabel 16. Tabel 16. Konsumsi Kwh Selama Enam Bulan Terakhir Model Sepatu
Jumlah (unit)
Produksi Pemakaian Kwh
Pria
360
321,99
Wanita
750
670,82
d) Jumlah Frekuensi Pembelian Bahan (FPB) Perhitungan jumlah biaya transportasi dalam pembelian bahan dilakukan berdasarkan berapa kali UKM Hunter membeli bahan yang diperlukan dalam memproduksi seluruh produknya. UKM Hunter mempunyai tempat untuk membeli bahan-bahan yang tetap sehingga biaya yang timbul untuk transportasi tiap kali pembelian bahan adalah
46
tetap. Jumlah pembelian bahan yang dilakukan UKM Hunter dalam enam bulan dapat dilihat pada Tabel 17. Dalam kurun waktu enam bulan diketahui bahwa UKM Hunter telah melakukan pembelian bahan-bahan yang diperlukan sebanyak 27 kali. Tabel 17. Jumlah Frekuensi Pembelian Bahan selama Enam Bulan Model Jumlah Produksi Periode Pembelian Sepatu (unit) Bahan Pria
360
6 kali
Wanita
750
12 kali
1.110
18 kali
Total
Sumber : Data UKM Hunter D. Pengelompokan aktivitas Semua aktivitas yang menggunakan sumber daya tidak langsung secara bersama dalam proses pembuatan sepatu dikategorikan dalam kelompok masing-masing. Biaya yang timbul dari aktivitas-aktivitas tersebut merupakan biaya overhead bersama yang dikategorikan dalam satu kelompok yang didasarkan atas pemacu biayanya. Jenis biaya yang timbul dari adanya aktivitas penggunaan sumber daya dan pemacu biayanya dapat dilihat pada Tabel 18.
47
Tabel 18. Penggunaan Sumber Daya Tidak Langsung yang timbul dalam Proses Pembuatan Sepatu Sumber Daya Tidak Pemacu Aktivitas Langsung Biaya Penggunaan Bahan Biaya Bahan Penolong JU Penolong Penyusutan Mesin Jahit JPM Penyusutan Mesin Seset JPM Biaya Penyusutan Penyusutan Peralatan JPM Penyusutan Kendaraan FPB Biaya Listrik
Pemakaian Mesin Pemakaian Lampu
Kwh Kwh
Biaya Pemeliharaan
Pemeliharaan Mesin Pemeliharaan Kendaraan
JU FPB
Biaya Pembelian Bahan Keterangan : JU JPM Kwh FPB
= = = =
Pembelian Bahan (Transportasi) Jumlah Unit yang diproduksi Jam Peralatan dan Mesin Kilowatt Hour Frekuensi Pembelian Bahan
FPB
Berdasarkan tabel di atas, biaya overhead pabrik memiliki pemacu biaya yang berbeda-beda. Sehingga perlu dikategorikan dalam satu kelompok biaya berdasarkan pemacu biayanya. Kemudian biaya-biaya tersebut dibebankan kepada masingmasing aktivitas pada proses produksi. Berikut adalah pengelompokan dan pembebanan biaya pada masing-masing aktivitas: a) Kelompok Biaya 1 Biaya aktivitas yang timbul akibat penggunaan sumber daya tidak langsung yang didasarkan pada pemacu biaya jumlah unit yang diproduksi (JU) dikategorikan ke dalam kelompok ini. Pengelompokan biaya aktivitas tersebut dapat dilihat pada Tabel 19.
48
Tabel 19. Pengelompokan dan Pembebanan Biaya Overhead Pabrik Berdasarkan Pemacu Biaya Jumlah Unit yang Diproduksi Biaya Aktivitas (Rp) Aktivitas Model Pria Model Wanita Penggunaan Bahan 11.227.000 19.492.000 Penolong Pemeliharaan Mesin 535.537 1.115.702 Total 11.762.537 20.607.702 b) Kelompok Biaya 2 Biaya aktivitas yang timbul akibat penggunaan sumber daya tidak langsung yang didasarkan pada pemacu biaya jam peralatan dan mesin (JPM) dikategorikan ke dalam kelompok ini. Pemacu biaya jam peralatan dihitung dari berapa besar penyusutan pemakaian peralatan dan mesin yang digunakan. Pemacu biaya jam peralatan dan mesin dapat dilihat pada Tabel 20. Tabel 20. Pengelompokan dan Pembebanan Biaya Overhead Pabrik Berdasarkan Pemacu Biaya Jam Peralatan dan Mesin Aktivitas Biaya Aktivitas (Rp) Penyusutan Mesin Seset 117.499,36 Penyusutan Mesin Jahit 25.829,70 Penyusutan Peralatan 70.003,95 Total c) Kelompok Biaya 3
213.333,01
Biaya aktivitas yang timbul akibat penggunaan sumber daya tidak langsung yang didasarkan pada pemacu biaya Kilowatt Hour (Kwh) dikategorikan pada kelompok ini. Pengelompokan biaya aktivitas tersebut dapat dilihat pada Tabel 21.
49
Tabel 21. Pengelompokan dan Pembebanan Biaya Overhead Pabrik Berdasarkan Pemacu Biaya Kwh Aktivitas Penggunaan Mesin Penggunaan Lampu Listrik Total d) Kelompok Biaya 4
Biaya Aktivitas (Rp) 720.000 480.000 1.200.000
Biaya aktivitas yang timbul akibat penggunaan sumber daya tidak langsung yang didasarkan pada pemacu biaya jumlah periode pembelian bahan. Pengelompokan biaya aktivitas ini dapat dilihat pada Tabel 22. Tabel 22. Pengelompokan dan Pembebanan Biaya Overhead Pabrik Berdasarkan Pemacu Biaya Frekuensi Pembelian Bahan Aktivitas Penyusutan Kendaraan Pemeliharaan Kendaraan Pembelian Bahan (Transportasi) Total
Biaya Aktivitas (Rp) 2.175.000 3.000.000 2.400.000 7.575.000
E. Menghitung tarif biaya Pengertian dari tarif biaya overhead pabrik adalah jumlah biaya overhead pabrik yang tergolong dalam satu kelompok dibagi dengan jumlah pemakaian konsumsi pemacu biayanya. Kemudian hasil dari pembagian tersebut dinamakan tarif kelompok. Proses perhitungan tarif biaya tersebut ditampilkan pada Tabel 23.
50
Tabel 23. Perhitungan Tarif Kelompok Biaya Overhead Pabrik Selama Enam Bulan Kelompok Pemacu Biaya Nilai Biaya Biaya Tarif Biaya (1) (2) (3) (4) = 2:3 Kelompok 1 Model Pria Model Wanita
11.762.537 20.607.702
360 JU 750 JU
Rp.32.673,71/JU Rp.27.476,94/JU
Kelompok 2
213.333,01
1.074 JPM
Rp.198,63/JPM
Kelompok 3
1.200.000
1.082,25 Kwh Rp.1.108,80/Kwh
Kelompok 4 7.575.000 F. Pengalokasian biaya Alokasi
biaya
27 FPB merupakan
Rp.280.555,56/FPB tahap
dilakukannya
pengalokasian biaya dari tarif tiap kelompok ke masing-masing produk. Hal ini dilakukan dengan cara mengalikan tarif kelompok biaya tersebut dengan aktivitas yang dikonsumsi oleh tiap-tiap produk. Perhitungan alokasi biaya overhead pabrik ke tiap-tiap produk dapat dilihat pada Tabel 24. Tabel 24. Perhitungan Alokasi Biaya Overhead Pabrik pada TiapTiap Model Sepatu yang Diproduksi Uraian Model Pria Model Wanita Kelompok 1 Konsumsi JU (unit) 360 750 Tarif per Pemacu (Rp/unit) 32.673,71 27.476,94 Jumlah Biaya (Rp) 11.762.535,60 20.607.705,00 Kelompok 2 Konsumsi JPM (jam) 319,54 665,70 Tarif per Pemacu (Rp/jam) 198,63 198,63 Jumlah Biaya (Rp) 63.470,23 132.227,99 Kelompok 3 Konsumsi Kwh (Kwh) 321,99 670,82 Tarif per Pemacu (Rp/Kwh) 1.108,80 1.108,80 Jumlah Biaya (Rp) 357.022,51 743.805,22 Kelompok 4 Konsumsi FPB (kali) 6 12 Tarif per Pemacu (Rp/kali) 280.555,56 280.555,56 Jumlah Biaya (Rp) 1.683.333,36 3.366.666,72 Total Biaya Kelompok (Rp) 13.866.361,70 24.850.404,93 Jumlah Produksi (unit) 360 750 Biaya Overhead per Unit (Rp) 38.517,67 33.133,87
51
G. Perhitungan harga pokok produksi Proses perhitungan harga pokok produksi pada tiap-tiap model sepatu dengan memakai metode Activity Based Costing (ABC) dapat dilihat pada Tabel 25. Tabel 25. Perhitungan Harga Pokok Produksi per Unit (Rp/unit) Menggunakan Metode ABC Bahan Jumlah Model BTKL BOP Baku HPP/unit Pria
39,100
15,000
38.517,67
92.617,67
Wanita
27,200
13,500
33.133,87
73.833,87
Berdasarkan tabel di atas diketahui bahwa besarnya harga pokok produksi per unit sepatu model pria lebih besar daripada harga pokok produksi per unit sepatu model wanita. Hal ini disebabkan oleh banyaknya jumlah bahan baku yang digunakan untuk sepatu model pria daripada model wanita serta perbedaan biaya pengerjaan pada masing-masing model sepatu. Hasil perhitungan harga pokok produksi per unit tersebut diperoleh dengan menjumlahkan biaya bahan baku dengan biaya tenaga kerja langsung dan biaya overhead pabrik dari tiap unit sepatu yang diproduksi. Sementara biaya overhead pabrik diperoleh dari pengalokasian biaya overhead pada tiap-tiap produk berdasarkan pemakaian sumber daya dalam setiap aktivitas dengan menghhitung seluruh pemacu biaya yang berkaitan dengan biaya overhead tersebut. 4.4. Perbandingan Hasil Perhitungan Harga Pokok Produksi Menggunakan Metode yang Dipakai Perusahaan dengan Metode Activity Based Costing Berdasarkan hasil perhitungan harga pokok produksi yang diperoleh, maka dapat dilakukan analisis perbandingan diantara metode yang dipakai perusahaan dengan metode activity based costing (ABC). Hasil perbandingan tersebut dapat dilihat pada Tabel 26.
52
Tabel 26. Perbandingan Harga Pokok Produksi Sepatu Menurut Metode Perusahaan dengan Metode Activity Based Costing HPP per Unit Model
Metode perusahaan
Pria
Rp.89.234
Prosentase Selisih
Selisih* Metode ABC Rp. 92.617,67 Rp.3.383,67
3,79 %
wanita Rp.69.984 Rp. 73.833,87 Rp.3.849,87 5,50 % Keterangan : * = Selisih metode perusahaan dengan ABC
Berdasarkan Tabel 28 dapat diketahui bahwa hasil perhitungan harga pokok produksi dengan metode ABC lebih besar daripada metode yang dipakai perusahaan. Meskipun nilainya lebih tinggi, akan tetapi metode ABC merefleksikan semua sumber daya yang digunakan dalam proses produksi. Perhitungan tersebut mencatat seluruh biaya yang benar-benar terjadi pada setiap tahap proses produksi. Informasi yang dihasilkan dari perhitungan harga pokok produksi dengan metode activity based costing sangat diperlukan perusahaan karena dapat diketahui berapa sesungguhnya biaya yang mereka korbankan dalam proses produksinya. Sehingga perusahaan dapat melakukan efisiensi dalam proses produksinya serta menetapkan harga jual produknya dengan tepat sesuai dengan keuntungan yang diharapkan. Adapun hasil dari perhitungan harga pokok produksi yang diterapkan perusahaan
lebih
rendah
daripada
metode
ABC.
Karena
dalam
perhitungannya, perusahaan tidak mengikutsertakan biaya overhead pabrik. Kalaupun ada, biaya ini hanya dikategorikan ke dalam anggaran lain-lain. Padahal, biaya overhead ini menyumbangkan biaya yang tidak sedikit dalam proses produksi. Akibatnya, dari perhitungan tersebut dihasilkan informasi biaya yang tidak akurat karena tidak merefleksikan seluruh biaya yang sebenarnya terjadi. Sehingga biaya produksi yang terjadi lebih rendah dari yang seharusnya. Terjadinya perbedaan hasil perhitungan yang diperoleh dari HPP per unit menurut perusahaan dengan menggunakan metode ABC karena perusahaan tidak secara tepat membebankan biaya overhead pabrik ke tiap-
53
tiap produk. Perusahaan hanya mengestimasi biaya-biaya tersebut yang kemudian dikategorikan ke dalam biaya lain-lain. Kalau perhitungan dengan metode ABC, dapat terlihat secara jelas seluruh sumber daya yang digunakan akibat adanya aktivitas-aktivitas yang terjadi dalam proses produksi. Penggunaan sumber daya tersebut tentunya akan menimbulkan biaya-biaya. Akan tetapi, biaya-biaya yang timbul merupakan biaya yang sesungguhnya terjadi yang biasanya tidak diikutsertakan perusahaan dalam menghitung harga pokok produksinya seperti biaya penyusutan serta biaya pemeliharaan untuk mesin, peralatan dan kendaraan. Padahal mesin, peralatan dan kendaraan sangat berkontribusi dalam setiap aktivitas yang ada pada proses produksi sepatu di UKM Hunter. Sehingga timbul harga pokok produksi yang lebih tinggi daripada perhitungan yang dilakukan perusahaan karena metode ABC menghitung secara detil seluruh biaya yang terjadi pada tiap-tiap tahap dalam proses produksi. Berdasarkan hasil perhitungan harga pokok produksi yang dilakukan dengan metode activity based costing akan mempunyai dampak yang cukup berarti dalam penetapan harga jual produknya. Untuk setiap unit sepatunya, UKM Hunter menetapkan harga yang berkisar antara Rp.150.000,00 sampai Rp.185.000,00 tergantung dari model sepatunya. Penetapan harga jual yang dilakukan oleh perusahaan selama ini dianggap sudah tepat dan sesuai dengan besarnya keuntungan yang diharapkan perusahaan. Padahal, margin yang terjadi belum mencerminkan besarnya keuntungan yang diinginkan perusahaan. Dengan diterapkannya metode ABC maka perusahaan dapat mengetahui berapa besar biaya yang dikorbankan dalam proses produksi sepatu secara akurat. Sehingga perusahaan dapat menentukan besarnya harga jual per unit sepatu dengan tepat dengan menambah margin yang sesuai dengan keuntungan yang ingin diperoleh. 4.5 Implikasi Manajerial Dengan diterapkannya metode Activity Based Costing dalam perhitungan harga pokok produksi sepatunya, UKM Hunter dapat mengetahui dengan tepat berapa besar biaya yang dikeluarkannya selama proses produksi.
54
Sehingga perusahaan dapat melakukan peninjauan kembali terhadap harga jual sepatunya karena pada kenyataannya margin yang ditambahkan belum tepat dan sesuai dengan keuntungan yang diharapkan perusahaan. Dengan demikian UKM Hunter harus menaikkan harga jual sepatunya jika tetap menginginkan keuntungan yang sama agar keuntungan yang diperoleh merupakan keuntungan yang sebenarnya diharapakannya. Atau, jika UKM Hunter tetap mempertahankan harga jual sepatunya, berarti perusahaan harus menurunkan prosentase keuntungan yang diharapkannya.
55
KESIMPULAN DAN SARAN 1.
Kesimpulan a.
Informasi yang dihasilkan dari penghitungan HPP dengan metode yang digunakan perusahaan kurang akurat karena tidak merefleksikan seluruh biaya yang sebenarnya terjadi dalam proses produksi. Perbedaan hasil perhitungan HPP per unit menurut perusahaan dengan menggunakan metode ABC terjadi karena perusahaan membebankan biaya overhead pabrik ke setiap produk secara tidak tepat.
b.
Perhitungan HPP per unit dengan metode activity based costing menghasilkan biaya sebesar Rp. 92.617,67, lebih tinggi daripada metode yang digunakan perusahaan yang bernilai Rp.89.234,00 untuk model sepatu pria. Begitu juga dengan model sepatu wanitanya, dimana hasil yang diperoleh dengan metode perusahaan sebesar Rp.69.984,00 dan berdasarkan perhitungan metode ABC diperoleh Rp.73.833,87.
c.
Harga jual yang ditetapkan selama ini ternyata belum merefleksikan keuntungan yang sebenarnya yang diharapkan oleh perusahaan. Sehingga perusahaan harus menaikkan harga jual sepatunya agar keuntungan yang diperoleh sesuai dengan harapan yang sebenarnya.
2.
Saran a.
Metode perhitungan harga pokok produksi yang dipakai perusahaan selama ini sebaiknya diganti dengan metode activity based costing karena mampu mengidentifikasi seluruh biaya yang timbul dalam proses produksi secara nyata.
b.
Sebaiknya dilakukan identifikasi biaya-biaya yang terjadi dalam proses produksi secara akurat supaya perusahaan dapat menentukan mark up yang tepat untuk penentuan harga jual sepatunya.
c.
Sebaiknya perusahaan meninjau kembali terhadap kebijakan penetapan harga jual produk mereka. Sehingga akan diperoleh profit yang tepat dan sesuai dengan yang diharapkan.
d.
Sebaiknya dilakukan penelitian lebih lanjut terhadap produk lainnya yang diproduksi di UKM Hunter.
DAFTAR PUSTAKA Anonim. 2009. Berita Resmi Statistik No. 28/05/Th. XI. www.bps.go.id. [27 Februari 2009] Hafsah, J.M. 2004. Upaya Pengembangan Usaha Kecil dan Menengah (UKM). www.smecda.com/deputi7/file_Infokop. [18 Maret 2009] Hansen and Mowen. 2006. Management Accounting. Edisi 7. Salemba Empat, Jakarta. Hartanto, D. 1981. Akuntansi untuk Usahawan. Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Jakarta. Horngren, Datar and Foster. 2005. Akuntansi Biaya: Penekanan Manajerial. Edisi 11. PT Indeks, Jakarta. Ivana, E. 2004. Analisis Penentuan Harga Pokok Produksi Karkas dengan Menggunakan Metode Full Costing, Variable Costing dan Activity Based Costing (Studi Kasus Rumah Potong Ayam Asia Afrika, Bogor). Skripsi pada Departemen Ilmu-Ilmu Sosial Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Kusuma, F.T. 2008. Penetapan Harga Pokok Produksi Jasa Pelatihan Sumber Daya Manusia (Studi Kasus UKM Pumping Lerning Center). Skripsi pada Departemen Manajemen, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Kuswadi. 2005. Meningkatkan Laba Melalui Pendekatan Akuntansi Keuangan dan Akuntansi Biaya. Elex Media Komputindo, Jakarta. Mulyadi. 2005. Akuntansi Biaya. Edisi 5. Akademi Manajemen Perusahaan YKPN, Yogyakarta. Mulyadi dan J. Setyawan. 2001. Sistem Perencanaan dan Pengendalian Manajemen. Edisi 2. Salemba Empat, Jakarta. Partomo dan Soejoedono.2004. Ekonomi Skala Kecil/Menengah dan Koperasi. Ghalia Indonesia, Bogor.
57
Rachmat, Budi. 2005. Modal Ventura: Cara Mudah Meningkatkan Usaha Kecil dan Menengah. Ghalia Indonesia, Bogor. Rony, Helmi. 1990. Akuntansi Biaya: Pengantar Untuk Perencanaan dan Pengendalian Biaya. Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Jakarta. Sembiring, Y dan R. Wirasasmita. 1991. Pengendalian Biaya. Pionir Jaya, Bandung. Tunggal, A.W. 1992. Activity Based Costing: Suatu Pengantar. Rineka Cipta, Jakarta. Tunggal, A.W. 2003. Activity Based Costing: untuk Manufakturing dan Pemasaran. Harvarindo. Jakarta. Widiyastuti, S. 2007. Analisis Perhitungan Harga Pokok Produksi Tas Wanita (Studi Kasus UKM Lifera Hand Bag Collection Bogor). Skripsi pada Departemen Manajemen, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
59
Lampiran 1. Struktur Organisasi Perusahaan
Bagian Produksi
Bagian Produksi
Desain
Jahit
Sol
Struktur Organisasi UKM Hunter
Finishing
60
Lampiran 2. Gambaran Perusahaan
Gambar: Tempat Produksi Sepatu UKM Hunter, Depok
Gambar: Bordiran Merk Produk dari UKM Hunter
Gambar: Karyawan pada Proses Penjahitan
61
Lanjutan Lampiran 2. Gambaran Perusahaan
Gambar: Karyawan pada Proses Lasting
Gambar: Mesin Seset yang digunakan di UKM Hunter
Gambar: Alat Press yang digunakan di UKM Hunter
62
Lanjutan Lampiran 2. Gambaran Perusahaan
Gambar: Sulas (alat cetakan body sepatu)
Gambar: Sepatu Model Wanita
Gambar: Sepatu Model Pria