ANALISIS PENYERAPAN TAMATAN PERGURUAN TINGGI DI PROPINSI SUMATERA UTARA TAHUN 2011 PRAWIDYA HARIANI Dosen Fakultas Ekonomi Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan penyerapan tamatan perguruan tinggi yang ada di Sumatera Utara. Realitas yang ada adalah bahwa tingkat pengangguran makin lama makin besar, dan angka pengangguran dari lulusan Perguruan Tinggi makin meningkat. Pilihan favorit calon tenaga kerja saat ini adalah menjadi Pegawai Negeri Sipil. Daya serap lulusan dari PTS lebih banyak diserap menjadi pegawai pemerintah, sebaliknya PTN justru banyak diserap oleh perusahaan swasta nasional. Kondisi ini cukup menggembirakan, bahwa lulusan PTS mampu bersaing dengan lulusan PTN dengan asumsi dalam perekrutan pegawai tidak dilakukan dengan cara yang curang dan KKN. Kata Kunci : penyerapan alumni perguruan tinggi PENDAHULUAN Peranan sector pendidikan merupakan bagian utama dari peningkatan kualitas sumberdaya manusia sebagai salah satu factor yang mempengaruhi pertumbuhan ekonomi di setiap Negara. Semakin baik dan mudah untuk mendapatkan pendidikan yang dapat diakses oleh semua warga Negara, maka semakin baik pula kualitas kehidupan masyarakat di Negara tersebut. Pendidikan tinggi merupakan salah satu upaya menjadi supply tenaga kerja yang berkualitas dan juga dapat menjadi think tank (tangki pemikir)nya pemerintah dalam membuat kebijakan dan implementasi kebutuhan akan tenaga kerja yang berkulitas. Oleh karenanya pendidikan tinggi dikatakan juga sebagai agen perubahan (change of agent) dalam pembangunan ekonomi. Pendidikan Tinggi juga dapat sebagai Basis Riset dan Pengembangan baik untuk akademik yaitu Ilmu Pengetahuan dan teknologi (IPTEK) serta dunia usaha sebagai pelaku ekonomi yang paling dominan dalam pergerakan aktivitas ekonomi riil sehari-hari. Pendidikan merupakan upaya yang special sehingga dapat mempercepat pengembangan potensi manusia untuk mampu mengemban tugas yang dibebankan kepadanya baik secara individu ataupun berkelompok. Jadi pendikan merupakan suatu kebutuhan primer yang posisinya menjadi sangat penting agar generasi Indonesia di masa yang akan datang mampu bersaing baik dingkat local ataupun internasional. Kualitas lulusan dari Perguruan Tinggi yang idealnya dapat diserap baik secara kuantitas dengan kualitas tinggi bagi setiap stakeholder yang membutuhkan, karena tenaga kerja ini memiliki tingkat produktivitas yang tinggi. Jika terjadi fluktuasi ekonomi berupa penurunan aktivitas ekonomi atau resesi ekonomi yang mengakibatkan naiknya tingkat pengagguran, maka tenaga kerja seperti ini diharapkan mampu melakukan substitusi atau berpindah aktivitas sehingga dapat memiliki surviveness yang baik. JURNAL MANAJEMEN & BISNIS VOL 11 NO. 02 OKTOBER 2011 ISSN 1693-7619
139
Realita yang terjadi di Indonesia selama hampir 15 tahun terakhir, bahwa tingkat pengangguran makin lama makin besar, dan lebih merisaukan lagi bahwa angka pengangguran dari lulusan Perguruan Tinggi makin meningkat. Keadaan ini menunjukkan bahwa pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan yang bermutu menjadi masalah utama di sector pendidikan, sedangkan pendidikan yang berkualitas tentunya akan membentuk SDM yang handal juga. Dalam beberapa tahun terakhir, sekitar 60 persen lulusan perguruan tinggi menganggur. Kalangan pelaku dunia usaha dan akademisi sepakat, untuk mengatasi hal itu, pemerintah perlu segera mengubah fokus pendidikan tinggi dari akademis ke vokasi. Karena dunia usaha di Indonesia saat ini masih banyak membutuhkan lulusan DIII/vokasi yang siap kerja dan lapangan kerja sector formal rata-rata hanya menyerap 37 persen lulusan perguruan tinggi. Bahkan, beberapa tahun ke depan diperkirakan daya serap itu menurun karena ada pengaruh resesi ekonomi di Indonesia yang sejak tahun 1997 mengalami guncangan ekonomi yang sangat besar ditambah lagi sector industri manufaktur Indonesia terus menerus mengalami penurunan tajam (de-industrialisasi) dan belum pulih hingga saat ini, dimana sector industri manufaktur ini yang pola produksinya sangat labor intensive atau banyak menyerap tenaga kerja dalam proses produksinya. Jumlah lulusan perguruan tinggi baik program diploma maupun sarjana lebih dari 300.000 orang per tahun. Adapun jumlah mahasiswa vokasi perguruan tinggi negeri dan swasta pada 2005 sebanyak 838.795 orang, pada 2006 menjadi 1.256.136 orang dan 2007 turun menjadi 979.374 orang. Hal itu terutama terjadi pada program akademis. Sebaliknya untuk pendidikan vokasi seperti politeknik justru kekurangan lulusan untuk disalurkan ke dunia kerja. Karena itu, disarankan, sudah seharusnya pemerintah lebih memerhatikan pendidikan vokasi. Pemerintah harus berani memberi anggaran lebih besar untuk pendidikan vokasi. Penyelenggaraan pendidikan vokasi butuh dana besar, terutama untuk praktikum mahasiswa agar terampil pada saat memasuki pasar kerja. Dewasa ini banyak lontaran kritik terhadap system pendidikan yang pada dasarnya mengatakan bahwa perluasan kesempatan belajar cenderung telah menyebabkan bertambahnya pengangguran tenaga terdidik daripada bertambahnya tenaga produktif yang sesuai dengan kebutuhan lapangan kerja. Kritik ini tentu saja beralasan karena data sensus penduduk memperlihatkan kecenderungan yang menarik bahwa proporsi jumlah tenaga penganggur dari lulusan pendidikan yang lebih tinggi ternyata lebih besar dibandingkan dengan proporsi tenaga penganggur dari lulusan yang lebih rendah (data sensus tahun 1990), dengan kata lain , persentase jumlah penganggur tenaga sarjana lebih besar dibandingkan dengan persentase jumlah penganggur lulusan SMA sederajat atau pendidikan yang lebih rendah. Data kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi menunjukkan, sekitar 30 persen lowongan kerja tahun 2010 tidak terisi. Padahal, jumlah pencari kerja melimpah. Karakter dan daya saing pencari kerja yang jadi masalah. Data dari provinsi, kabupaten, dan kota menunjukkan, terdaftar 4,12 juta pencari kerja. Adapun lowongan kerja yang tersedia bagi 2,38 juta orang, yang hanya terisi 1,62 juta orang (sekitar 70 persen). Kondisi pasar kerja yang cukup timpang ini menunjukkan lapangan kerja tak sebanding dengan pencari kerja. Yang ada pun tidak bisa terpenuhi kerena kualifikasi tenaga kerja tak sesuai permintaan pasar kerja. JURNAL MANAJEMEN & BISNIS VOL 11 NO. 02 OKTOBER 2011 ISSN 1693-7619
140
Senior Marketing Communication Jobstreet.com Ade Wisnu Brata mengatakan, banyak perusahaan mengeluh rendahnya soft skills, seperti kepemimpinan, kemampuan berkomunikasi, kepercayaan diri, dan tanggungjawab para pelamar kerja. Selain itu, pencari kerja baru (sarjana baru) sering kali berharap segera punya fasilitas kerja dan posisi baik secara cepat. Banyak pencari kerja tidak bisa mempertanggungjawabkan apa yang ada pada CV (curriculum viatae)-nya. Kompetensi ternyata tidak seperti kenyataan yang dimiliki pekerja. Saat ini tercatat 1,5 juta pencari kerja di Jobstreet.com. dan dari kantor Kementrian Tenagakerja dan Transmigrasi diungkapkan bahwa, kualitas sumber daya manusia masih menjadi masalah serius, karena dari 116,5 juta angkatan kerja, sekitar 51% merupakan lulusan dari sekolah dasar yang tidak memiliki skill. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyatakan, jumlah pengangguran di Indonesia mencapai 8,32 juta orang, oleh karena itu diperlukan suatu Gerakan Nasional untuk meningkatkan semangat kewirausahaan masyarakat. Jumlah pengangguran itu setara dengan 7,14 persen dari jumlah penduduk Indonesia yang mencapai 237,8 juta orang. Fokus utama pemerintah adalah berusaha menyediakan lapangan kerja bagi para penganggur itu. Salah satu lapangan pekerjaan yang potensial adalah pegawai instansi negara. Namun sektor itu tidak mungkin bisa menyerap semua pengangguran. Menurut Presiden jumlah pegawai instansi negara saat ini mencapai 7.663.570 orang yang terdiri dari pegawai negeri sipil, guru dan dosen, serta TNI dan Polri. Kita harus segera melakukan sinergi antara dunia Pendidikan dan Dunia Kerja untuk memperkecil angka penggangguran, terutama yang berasal dari lulusan perguruan tinggi. Dalam mengatasi hal tersebut, semua pihak harus berkomitmen perlu meningkatkan kualitas sumber daya yang ada. Selain itu, peluang pasar, industri-industri, sumber daya alam dan sumber daya manusia harus dimanfaatkan dengan sebaik mungkin. Pemerintah pun mendorong perkembangan wirausahawan melalui pendidikan dan pelatihan yang sistematis melalui Balai Latihan Kerja (BLK) di bawah kendali Kemenakertrans yang telah kembali direvitalisasi untuk meningkatkan keterampilan dan keahlian para pencari kerja dan calon wirausahawan agar memiliki skill. Potret Tenaga Kerja Indonesia. Masalah ketenagakerjaan di Indonesia dipengaruhi oleh beberapa faktor,yang penting adalah modal asing, proteksi iklim investasi, pasar global, danperilaku birokrasi serta "tekanan" kenaikan upah (Majalah Nakertrans, 2004). Otonomi daerah yang dalam banyak hal juga tidak berpengaruh positif terhadap tenaga kerja. Masalah kemiskman, ketidakmerataan pendapatan, pertumbuhan ekonomi, urbanisasi dan stabilitas politik juga sangat berpengaruh terhadap ketenagakerjaan. Rucker (1985:2) sebagaimana dilansir oleh majalah Nakertrans, menduga bahwa masalah ketenagakerjaan di Indonesia bersifat multidimensi sehingga juga memerlukan cara pemecahan yang multidimensi pula. Tidak ada jalan pintas dan sederhana untuk mengatasinya. Strategi pemulihan dan rekonstruksi ekonomi yang bertumpu pada penciptaan lapangan kerja merupakan keharusan. Dalam kaitan ini, masih sangat relevan untuk JURNAL MANAJEMEN & BISNIS VOL 11 NO. 02 OKTOBER 2011 ISSN 1693-7619
141
diperhatikan secara serius dua elemen strategi yang pernah diajukan oleh Misi ILO (1999:5) yaitu : 1. Strategi dan kebijakan yang membuat proses pertumbuhan ekonomi menjadi lebih memperhatikan aspek ketenagakerjaan, dan 2. Tindakan yang dibutuhkan untuk mendapatkan lapangan kerja tambahan melalui program-program penciptaan lapangan kerja secara langsung. Bila Jumlah penduduk Indonesia adalah 208 juta jiwa, sementara Jumlah penduduk angkatan kerja 106 juta jiwa maka, jumlah penduduk bukan angkatan kerja adalah l02 juta jiwa. Ini berarti Jumlah pengangguran 11 juta jiwa. Sedangkan angka beban ketergantungan dapat dihitung sebagai : DR = (Produktif/non produktifproduktif) x 100 atau sama dengan 103, 92 juta jiwa, dibulatkan menjadi 104 juta jiwa. Ini berarti setiap 100 penduduk usia produktif menanggung 104 penduduk usia non produktif. Sebagai gambaran maka potret ketenagakerjaan dapat dilihat pada beberapa data berikut ini : Tabel 1. Penduduk Yang Bekerja Menurut Lapangan Pekerjaan Utama & Jenis Kelamin, Tahun 2006 Lapangan Kerja Jumlah Pekerja Jumlah Pekerja JUMLAH Laki-Laki (org) Perempuan (org) (org) Pertanian 27.468.466 4.854.724 42.323.190 Pertambangan 805.578 141.519 947.097 Industri 6.873.835 4.704.306 11.578.141 Listrik, Gas dan Air 194.940 12.162 207. 102 Bangunan 4.249.018 124.932 4.373.950 Perdagangan 10.162.347 8.392.710 18.555.057 Angkutan 5.268.277 199.031 5.467.308 Keuangan 836.305 316.987 1.153.292 Jasa Lainnya 6.005.561 4.566.404 10.571.965 JUMLAH 61.864.327 33.312.775 95.177.102 Sumber : BPS, Sakernas 2006 Tabel 2 : Rata-Rata Upah Pekerja Selama Sebulan Tahun 2005 Menurut Pendidikan Dan Tempat Tinggal Kota - Desa NO PENDIDIKAN KOTA (Rp) DESA (Rp) 1. Tidak/belum pernah sekolah 283.164 234.090 2. Tidak/belum Tamat SD 405.535 330.499 3. Sekolah Dasar (SD) 498.112 420.352 4. SMTP Umum 632.907 544.682 5. SMTP Kejuruan 754.541 559.509 6. SMTA Umum 929.697 733.720 7. SMTA Kejuruan 923.553 910.765 8. Diploma I/II 1.080.123 1.102.694 9. Akademi/Diploma III 1.318.921 1.102.944 10. Universitas 1.633.804 1.115.552 Sumber : BPS, Sakernas 2006
JURNAL MANAJEMEN & BISNIS VOL 11 NO. 02 OKTOBER 2011 ISSN 1693-7619
142
TINJAUAN PUSTAKA Konsep Tenaga Kerja dalam Teori Ekonomi Mikro Tenaga kerja merupakan factor produksi penting dan sangat menentukan dalam proses produksi yang sedang berjalan. Walaupun saat ini perannya sebagian besar mulai tergantikan oleh penggunaan tehnologi canggih yang penggunaannya justru dapat mempercepat proses produksi. Tapi, penggunaan teknologi tinggi atau canggih, tidak ada manfaatnya jika tidak ada manusia sebagai oprator dalam menjalankan alatalat tersebut. Artinya pada saat ini pasar sangat membutuhkan tenaga kerja yang mengerti dan ahli untuk mengoperasionalkan peralatan teknologi ini. Jadi secara matematis dapat dituliskan sebagai berikut : Q = f ( L ) Dimana; Q = Jumlah barang/jasa yang diproduksi oleh perusahaan (unit) L = Jumlah input tenaga kerja yang digunakan (orang) Pentingnya input tenaga kerja sebagai factor produksi yang sangat diperhitungkan pada jangka pendek dalam proses produksi dari suatu perusahaan. Faktor produksi yang variable dalam hal ini penggunaan tenaga kerja seperti yang telah dibahas dalam Teori Mikroekonomi akan selalu diasumsikan sebagai factor produksi yang dapat berubah-ubah. Jadi kapasitas produksi yang dihasilkan akan sangat tergantung pada besarnya penggunaan tenaga kerja yang dipakai dalam proses produksi. Jika dilihat secara Makro ekonomi, maka pasar tenaga kerja Samuelson (1997;213) harus menuju pada titik keseimbangannya, agar kekuatan dari permintaan dan penawaran tenaga kerja dapat membentuk harga pekerja atau upah maksimum yang dapat dicapai mealui meknisme pasar. Jika labor supply lebih besar labor demand, maka pasar dalam kondisi kelebihan penawaran (excess supply), hal ini sekaligus menunjukkan tingkat upah yang berlaku dalam mekanisme pasar justru akan mengalami penurunan. Dibanyak Negara terkadang masalah upah tenaga kerja masih sering dilakukan intervensi agar para pekerja tidak menagalami penurunan kesejahteraannya seperti kebijakan UMR (Upah Minimum Regional) di Indonesia. Pemerintah seperti ini masih ikut meakukan intervensi di pasar agar pasar tidak mengalami pergolakan yang besar dan pada akhirna dapat merusak system produksi yang sedang dijalani. Teori Permintaan dan Penawaran Tenaga Kerja Masalah tenaga kerja adalah masalah yang sangat kompleks dan besar. Kompleks karena masalahnya mempengaruhi sekaligus dipengaruhi oleh banyak faktor yang saling berinteraksi dengan pola yang tidak selalu mudah dipahami.Besar karena menyangkut jutaan jiwa. Untuk menggambarkan masalah tenaga kerja dimasa yang akan datang tidaklah gampang karena disamping mendasarkan pada angka tenaga kerja di masa lampau, harus juga diketahui prospek produksi dimasa mendatang. Kondisi kerja yang baik, kualitas output yang tinggi, upah yang layak serta kualitas sumber aya manusia adalah persoalan yang selalu muncul dalam pembahasan tentang tenaga kerja disamping masalah hubungan industrial antara pekerja dengan dunia usaha. Dapat dikatakan ketenagakerjaan di Indonesia hingga kini masih menghadapi beberapa ketidakseimbangan baik struktural ataupun sektoral. Maka salah satu JURNAL MANAJEMEN & BISNIS VOL 11 NO. 02 OKTOBER 2011 ISSN 1693-7619
143
sasaran yang perlu diusahakan adalah meningkatkan daya guna tenaga kerja. Permintaan Tenaga kerja yang dipengaruhi oleh nilai marjinal produk (Value of Marginal Product, VMP) Mankiw (2000;327), Penawaran Tenaga Kerja yang dipengaruhi oleh jam kerja yang luang dari tenaga kerja individu serta upah, secara teoritis harus diperhatikan agar kebijakan-kebijakan yang dilakukan mendekati tujuan yang diinginkan. Permintaan Tenaga Kerja Permintaan dalam konteks ekonomi didefinisikan sebagai jumlah maksimum suatu barang atau jasa yang dikehendaki seorang pembeli untuk dibelinya pada setiap kemungkinan harga dalam jangka waktu tertentu (Sudarsono, 1990). Dalam hubungannya dengan tenaga kerja, permintaan tenaga kerja adalah hubungan antara tingkat upah dan jumlah pekerja yang dikehendaki oleh pengusaha untuk dipekerjakan. Sehingga permintaan tenaga kerja dapat didefinisikan sebagai jumlah tenaga kerja yang dipekerjakan seorang pengusaha pada setiap kemungkinan tingkat upah dalam jangka waktu tertentu. Miller & Meinners (1993), berpendapat bahwa permintaan tenaga kerja dipengaruhi oleh nilai marjinal produk (Value of Marginal Product, VMP). Nilai marjinal produk (VMP) merupakan perkalian antara Produk Fisik Marginal (Marginal Physical Product) dengan harga produk yang bersangkutan. Produk Fisik Marginal (Marginal Physical Product, MPP) adalah kenaikan total produk fisik yang bersumber dari penambahan satu unit input variabel (tenaga kerja). Dalam kalimat lain, minimisasi biaya input atau maksimalisasi output atas penggunaan input mensyaratkan penggunaan kombinasi yang sedemikian rupa sehingga MPP untuk setiap input dengan harganya sama besar untuk setiap input. Dengan demikian, dengan jumlah tenaga kerja yang dipergunakan, produk fisik marjinal modal akan menurun. Setiap unit modal kini membuahkan lebih sedikit hasil sehingga tidak dapat menyerap banyak unit tenaga kerja. MPPR akan menurun seiring dengan menurunnya tenaga kerja yang diserap. Perusahaan akan merekrut setiap unit input sampai suatu titik dimana nilai produk marginalnya sama dengan harganya. Penawaran Tenaga Kerja Penawaran tenaga kerja adalah jumlah tenaga kerja yang dapat disediakan oleh pemilik tenaga kerja pada setiap kemungkinan upah dalam jangka waktu tertentu. Dalam teori klasik sumberdaya manusia (pekerja) merupakan individu yang bebas mengarnbil keputusan untuk bekerja atau tidak. Bahkan pekerja juga bebas untuk menetapkan jumlah jam kerja yang diinginkannya. Teori ini didasarkan pada teori tentang konsumen, dimana setiap individu bertujuan untuk memaksimumkan kepuasan dengan kendala yang dihadapinya. Menurut G.S Becker (1976), Kepuasan individu bisa diperoleh melalui konsumsi atau menikmati waktu luang (leisure). Sedang kendala yang dihadapi individu adalah tingkat pendapatan dan waktu. Bekerja sebagai kontroversi dari leisure menimbulkan penderitaan, sehingga orang hanya mau melakukan kalau memperoleh kompensasi dalam bentuk pendapatan, sehingga solusi dari permasalahan individu ini adalah jumlah jam kerja yang ingin ditawarkan pada tingkat upah dan harga yang diinginkan. Semakin besar elastisitas tersebut semakin JURNAL MANAJEMEN & BISNIS VOL 11 NO. 02 OKTOBER 2011 ISSN 1693-7619
144
besar peranan input tenaga kerja untuk menghasilkan output, berarti semakin kecil jumlah tenaga kerja yang diminta. marginal Rate of Technical Substitution atau dikenal dengan istilah MRS. Hal ini dimaksudkan untuk melihat hubungan antara faktor tenaga kerja dan kapital yang merupakan lereng dari kurva isoquant. Dalam analisis ini kita asumsikan semua tenaga kerja bisa melakukan semua pekerjaan tersebut. Bentuk kurva penawaran itu mengarah ke atas juga dikarenakan adanya perbedaan preferensi di kalangan pekerja atas dua macam pekerjaan yang tersedia. Jika mereka tidak memiliki preferensi sama sekali, maka bentuk kurva penawarannya lurus mendatar. Semakin curam atau semakin besar sudut kurva penawaran itu terhadap tingkat upah maka semakin besar kecenderungan para pekerja untuk memilih salah satu pekerjaan daripada yang lain. Tentu saat ini tidak sama dengan kenyataan sehari-hari yang kita hadapi. Kita sering melihat orang yang bersedia melakukan pekerjaan yang kurang disukainya dengan upah yang juga rendah. Ini terjadi karena yang menjadi faktor penyebab bukan semata-mata preferensi para pekerja, melainkan juga faktor keahlian dan keterbatasan lapangan kerja. Peran Pendidikan dalam Meningkatkan Kualitas Sumberdaya Manusia Dunia telah memasuki era globalisasi yang syarat akan persaingan. Agar mampu berperan dalam persaingan global, maka Indonesia harus terus mengembangkan dan meningkatkan mutu sumber daya manusia yang dimiliki. Peningkatan mutu sumber daya manusia merupakan kenyataan yang harus dilakukan secara terencana, terarah, intensif, efektif dan efisien dalam proses pembangunan. Salah satu upaya peningkatan mutu sumber daya manusia dapat dilakukan dengan meningkatkan mutu pendidikan, karena pendidikan adalah human invesment yang merupakan salah satu indikator penentu untuk melihat dan mengukur kualitas sumber daya manusia yang ada di sebuah Negara. Data dari UNESCO (2000) menunjukkan tentang peringkat Indeks Pembangunan Manusia (Human Development Index), yaitu komposisi dari peringkat pencapaian pendidikan, kesehatan, dan penghasilan per kapita yang menunjukkan, bahwa indeks pengembangan manusia Indonesia makin menurun. Di antara 174 negara di dunia, Indonesia menempati urutan ke-102 (1996), ke-99 (1997), ke-105 (1998), dan ke-109 (1999). Data lain menunjukkan hal yang sama, menurut survei Political and Economic Risk Consultant (PERC), kualitas pendidikan di Indonesia berada pada urutan ke-12 dari 12 negara di Asia. Posisi Indonesia berada di bawah Vietnam. Data yang dilaporkan The World Economic Forum Swedia (2000), Indonesia memiliki daya saing yang rendah, yaitu hanya menduduki urutan ke-37 dari 57 negara yang disurvei di dunia. Dan masih menurut survai dari lembaga yang sama Indonesia hanya berpredikat sebagai pengikut (follower) bukan sebagai pemimpin teknologi dari 53 negara di dunia. Data tersebut menunjukkan buruknya tingkat pendidikan di Indonesia serta diperlukannya peningkatan mutu sumber daya manusia. Hal tersebut menyebabkan pemerintah bersama dengan berbagai kalangan telah dan terus berupaya mewujudkan amanat tersebut melalui berbagai usaha pembangunan pendidikan yang lebih bermutu antara lain melalui : 1. Pengembangan dan perbaikan kurikulum dan sistem evaluasi. JURNAL MANAJEMEN & BISNIS VOL 11 NO. 02 OKTOBER 2011 ISSN 1693-7619
145
2. Perbaikan sarana dan prasarana pendidikan. 3. Pengembangan dan pengadaan materi ajar yang efektif. 4. Pemberian pendidikan dan pelatihan bagi guru. Tetapi upaya-upaya pemerintah tersebut belum memberikan dampak yang signifikan dalam rangka meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia. Adapun permasalahan yang sangat substansi dalam pendidikan di Indonesia yaitu : 1. Rendahnya ketersediaan sarana fisik di sekolah dan universitas. 2. Rendahnya kualitas guru dan Tenaga Pengajar. 3. Rendahnya kesejahteraan guru dan Tenaga Pengajar yang professional. 4. Rendahnya prestasi siswa maupun mahasiswa. 5. Rendahnya kesempatan pemerataan pendidikan. dan, 6. Rendahnya relevansi pendidikan dengan kebutuhan pasar kerja, serta; 7. Mahalnya biaya pendidikan. Solusi yang tepat sangat dibutuhkan untuk memecahkan berbagai masalah pendidikan tersebut, agar mutu pendidikan meningkat dan menghasilkan sumber daya manusia yang berkualitas sekaligus menjadi tenaga kerja yang berkualitas dan menghasilkan produktivitas kerja yang tinggi, sehingga dapat membentuk pondasi Pembangunan Nasional Indonesia. Undang-undang Republik Indonesia No.2 Bab II Pasal 4 Tahun 1989 menjelaskan bahwa Sistem Pendidikan Nasional bertujuan mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri serta rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan. Hasil dari pendidikan diharapkan dapat mengembangkan kemampuan serta meningkatkan mutu kehidupan dan martabat manusia Indonesia dalam rangka upaya mewujudkan tujuan Pembangunan Nasional. Dengan kata lain sumberdaya manusia yang berkualitas akan menghasilkan produktivitas yang tinggi dalam berproduksi maka pertumbuhan ekonomi yang dihasilkan bukan saja sekedar kuantitas yang ingin dicapai melainkan unsure kualitas sudah menjadi focus utama, jadi naiknya kuantitas pertumbuhan ekonomi akan diiringi juga dengan naiknya kualitas pertumbuhan ekonomi yang dihasilkan. Peran dari Perguruan Tinggi Pendidikan Tinggi sebagai institusi yang sangat penting dalam hal mensuplai tenaga kerja yang siap bekerja di pasar, harus memiliki konsep dan strategi yang tepat dalam proses pendidikan yang ditempuh oleh para mahasiswa,s sehingga tamatan/lulusan yang dihasilkan dari proses pendidikan itu dapat terserap di pasar tenaga kerja. Kondisi perekonomian Indonesia yang jika dilihat dari sisi pasar tenaga kerja, bahwa pasar tenaga kerja di Indonesia dari waktu ke waktu selalu mengalami kelebihan pasokan tenaga kerja (over supply). Hal ini diakibatkan oleh besarnya jumlah tenaga kerja yang ada dan tidak sebanding dengan ketersediaan akan lapangan kerja yang ada, akibatnya tingkat pengangguran di Indonesia akan naik secara terus menerus. Untuk mendapatkan fasilitas pendidikan tinggi yang murah semakin hari semakin sulit dan mahal. Bagi kebanyakan warga Indonesia cenderung untuk tidak JURNAL MANAJEMEN & BISNIS VOL 11 NO. 02 OKTOBER 2011 ISSN 1693-7619
146
melanjutkan pendidikan pada jenjang yang lebih tinggi dan memilih untuk mencari kerja. Keadaan ini diperparah lagi dengan fakta pada tiap tahunnya Perguruan Tinggi Negeri hanya mampu memberi kursi atau daya serap mahasiswa baru tiap tahunnya tidaklebih dari 20% dari total yang ikut Ujian nasional masuk perguruan tinggi negeri, jadi sisanya akan masuk ke Perguruan Tinggi swasta bagi yang mampu secara financial dan yang kurang beruntung secara ekeonomi harus memilih untuk mencari kerja berbekal ijazah SLTA. Banyak sudah strategi yang dijalankan oleh pemerintah melalui Departemen Pendidikan Nasional, khususnya Direktorat Pendidikan Tinggi mulai melakukan pembenahan dalam proses pengelolaan dan fasilitas perguruan tinggi, sehingga memudahkan praktek kerja lapangan bagi mahasiswa program vokasi. Pasar tenaga kerja Indonesia sejak 20 tahun yang lalu sebenarnya, sangat membutuhkan lulusan DIII/vokasi yang siap pakai untuk bekerja, jadi bukan level tamatan program strata-1 (S-1). Pada kenyataannya, banyak tamatan sarjana yang tidak dapat diserap oleh dunia kerja, karena yang dibutuhkan hanya setingkat lulusan D-III atau Politeknik. Akibatnya yang Sarjana terpaksa bekerja untuk level diploma daripada tidak bekerja. Hal inilah yang menjadi dilema besar bagi orang yang ingin bekerja dengan kualifikasi pendidikan tinggi dengan gelar sarjana. Tidak punya ijazah sekolah tinggi, maka sulit bekerja, punya ijazah sekolah tinggi juga belum tentu dapat kerja sesuai dengan kualifikasi pendidikan yang dimiliki. Pada pasal 31 UUD 1945 telah mencantumkan tentang hak-hak daripada warga Negara Indonesia untuk mendapatkan pendidikan. Artinya pendidikan ini dijamin atau disediakan oleh Negara. Tapi pada kenyataannya, banyak penduduk Indonesia yang tidak dapat layanan pendidikan yang memadai, ditambah lagi kebijakan pendidikan murah yang dikemukakan oleh pemerintah yang sedang berkuasa baik di tingkat pusat maupun daerah (Propinsi, Kota dan Kabupaten) masih dalam bentuk janji dan tidak sesuai dengan fakta yang ada. Jadi pendidkan makin hari makin mahal di Indonesia. Dan lebih buruknya lagi bagi tenaga yang telah memiliki jenjang pendidikan pada Perguruan Tinggi pun masih sulit sampai saat ini untuk mencari pekerjaan, hal ini lebih membahyakan lagi bagi stabilitas ekonomi, politik dan social di Indonesia. Gugatan yang berkepanjangan terhadap pendidikan nasional, khususnya Pendidikan Tinggi, berkisar pada kualitas para lulusan yang tidak cocok dengan kebutuhan dunia usaha. Lembaga pendidikan tidak bisa menghasilkan lulusan yang siap pakai dan sesuai dengan kebutuhan serta tuntutan perkembangan ekonomi nasional. Ketidaksesuaian (mismatch) ini kemudian menjadi isu utama dalam polemik antara dunia pendidian dan dunia usaha. Jalan keluar yang sempat mengemuka beberapa tahun lalu adalah konsep pendidikan yang memiliki link and match (kaitan dan padanan) antara dunia pendidikan dan dunia usaha yang didengungkan oleh Depatemen pendidikan pada masa tahun 1990-an. Ketidaksesuaian tersebut barangkali dapat tergambar dari data empiris berikut. Dari 593.153 lowongan kerja terdaftar pada Departemen Tenaga Kerja sampai akhir 1997, terdapat 17 persen lowongan kerja yang tidak dapat terisi. Sekitar 50 persen di antaranya adalah angkatan kerja berpendidikan sarjana dan sarjana muda, sedangkan paling rendah lulusan SD dan diploma satu (D1) sekitar 10 persen. Demikian juga JURNAL MANAJEMEN & BISNIS VOL 11 NO. 02 OKTOBER 2011 ISSN 1693-7619
147
dari data Biro Pusat Statistik, periode 1980-1997, angka pengangguran terbuka pada angkatan kerja berpendidikan menengah ke atas justru meningkat lebih tajam. Tingginya tingkat pengangguran di kalangan angkatan kerja terdidik ini dapat berdampak serius pada berbagai dimensi kehidupan. Dari dimensi politik, Samuel P. Huntington (Tertib Politik di dalam Masyarakat yang Sedang Berubah, 1983) mengatakan, semakin tinggi tingkat pendidikan para pengangggur, semakin gawat kadar tindakan destabilitas yang tercipta. Lulusan perguruan tinggi yang tidak terlibat dalam kegiatan ekonomi dapat mendorong pada perubahan sosial yang cepat. Sementara itu tamatan pendidikan menengah yang tidak bekerja dapat semakin memperuncing kadar ketidak-damaian politik atau instabilitas sosial dan politik seperti pada era 1998. METODE PENELITIAN Studi analisis ini bersifat deskriptif karena hanya akan menggambarkan mengenai sifat-sifat yang diketahui keberadaannya dan cukup relevan dengan instrument yang akan diteliti dan informasi ini dapat digunakan untuk memilih kebijakan di masa yang akan datang. PEMBAHASAN Potensi Penduduk Secara demografi, baik dari segi jumlah penduduk, tingkat pertumbuhannya, kepadatan Penduduk dan pendidikan serta kesehatan, provinsi Sumatera Utara kondisinya secar nasional lumayan baik. Hal ini dapat dilihat dari angka IPM (Iindeks Pembangunan Manusia/ Human Development Index) Provinsi Sumatera Utara secara Nasional masuk rangking ke 8 dari 33 provinsi dengan angka IPM mencapai 73,80 (BPS : 2010) . Artinya tingkat kesejahteraan Sumatera Utara lumayan baik dan masuk kategori 10 besar di Indonesia. Sedangkan untuk tingkat harapan hidup (life expectation) rata-rata mencapai 69,20 tahun.
JURNAL MANAJEMEN & BISNIS VOL 11 NO. 02 OKTOBER 2011 ISSN 1693-7619
148
Tabel 3. Jumlah, Jenis Kelamin Dan Komposisi Umur Penduduk di Sumatera Utara Tahun 2010 (dalam ribuan orang) NO GOLONGAN LAKI-LAKI PEREMPUAN JUMLAH UMUR (ORANG) (ORANG) (ORANG) 01. 0 – 4 tahun 712,4 687,0 1.399,4 02. 5 – 9 tahun 681,2 659,7 1.340,9 03. 10 – 14 tahun 712,7 694,0 1.406,7 04. 15 – 19 tahun 705,1 681,9 1.387,0 05. 20 – 24 tahun 665,8 644,2 1.310,0 06. 25 – 29 tahun 577,6 580,4 1.158,0 07. 30 – 34 tahun 467,3 501,5 968,8 08. 35 – 39 tahun 410,8 446,4 857,2 09. 40 – 44 tahun 377,4 404,0 781,4 10. 45 – 49 tahun 338,8 350,7 689,5 11. 50 – 54 tahun 280,4 280,4 560,8 12. 55 – 59 tahun 200,7 202,8 403,5 13. 60 – 64 tahun 129,2 140,4 269,6 14. 60 + 229,6 280,0 509,6 Sumber: BPS Provinsi Sumatera Utara 2009 (Sumatera Utara dalam Angka) Dari tabel diatas terlihat bahwa, dominasi penduduk Sumatera Utara terletak pada golongan usia 10-14 tahun sebesar 1.406,7 ribu orang sedangkan yang berkategori balita yakni usia 0 – 4 tahun mencapai 1.399,4 ribu orang , dan golongan usia 15-19 tahun mencapai 1.387,0 ribu orang. Artinya Balita dan remaja sangat mendominasi penduduk Sumatera Utara, kemudian usia kerja produktif antara 20 -54 tahun mencapai 6.326,0 ribu orang setelah tamat sekolah dan menjadi angkatan kerja produktif. Jika dijumlahkan untuk kategori angkatan kerja yakni 15 – 55 tahun maka jumlahnya mencapai 7.713,0 ribu atau hampir mencapai 7,7 juta jiwa angkatan kerja yang produktif. Potensi Angkatan Kerja Dari data Komposisi penduduk Provinsi Sumatera Utara maka potensi dari angkatan kerjanya mencapai 6.094.802 orang (BPS SUMUT; SAKERNAS;2008). Karena Pemerintah Indonesia memiliki asumsi bahwa usia 15 – 55 tahun adalah masuk kategori angkatan kerja. Jadi usia sekolah SMP sampai SMA akan masuk kategori pekerja anak, jika mereka yang masuk usia ini bekerja. Jika dilihat secara nasional data SUSENAS BPS tahun 2003-2010 bahwa Angka Partisipasi Kasar (APK) pendidikan untuk Pendidikan Tinggi rata-ratanya sudah mencapai 13,65 dalam kurun waktu 2005-2010 (6 tahun) dan kecenderungannya meningkat dari waktu ke waktu sejak tahun 1994 s/d 2010. Sedangkan untuk Angka Partisipasi Murni (APM) pendidikan untuk Pendidikan Tinggi rata-ratanya mencapai 9,77 juga dalam kurun waktu yang sama yakni 2005-2010 (6 tahun). Sedangkan tingkat partisipasi angkatan kerja (TPAK) Sumatera Utara mencapai 64,33%, BPS Sumatera Utara 2010, dengan rincian sebagai berikut : 1. Tidak tamat SD dan tamat SD 38,14%
JURNAL MANAJEMEN & BISNIS VOL 11 NO. 02 OKTOBER 2011 ISSN 1693-7619
149
2. Tamat SMP 23,25% 3. Tamat SMA 31,99%; dan 4. Tamatan Perguruan Tinggi (D-III dan sarjana) hanya 6,62% Berdasarkan data SAKERNAS 2009 (BPS; 2010), bahwa tingkat Pengangguran secara Nasional, bahwa lulusan Perguruan Tinggi (Akademi/DIII dan Sarjana) telah mencapai 1. 113.020 orang (data Februari 2009). Suatu angka yang cukup memprihatinkan bagi kita, bahwa lulusan dari perguruan Tinggi sekalipun sulit untuk diserap oleh pasar kerja. Begitu juga halnya dengan provinsi Sumatera Utara, bahwa kecenderungan angjatan kerja akan bertambah terus bahkan sudah mencapai lebih dari 8 juta orang dengan berbagai macam pendidikan. Untuk lebih mudah melihat perkembangan angkatan kerja di Sumatera Utara akan dapat dilihat pada tabel berikut : Tabel 4. Banyaknya Penduduk Umur 15 Tahun Ke atas menurut Jenis Kegiatan dari tahun 2005 – 2008 di Provinsi Sumatera Utara Jenis Kegiatan 2005 2006 2007 2008 1. Angkatan Kerja 5.803.112 5.491.696 5.654.131 6.094.802 a) Bekerja 5.166.132 4.859.647 5.082.797 5.540.263 b) Mencari kerja 636.980 632.049 571.344 554.539 2. Bukan Ang. Kerja 2.263.896 2.716.955 2.724.017 2.825.171 3. Tenaga Kerja 8.067.008 8.208.651 8.378.148 8.919.973 manpower (1+2) Sumber: BPS Sumut (Sumatera Utara dalam Angka Tahun 2009) Dengan melihat data dari tabel penduduk diatas 15 tahun untuk provinsi Sumatera Utara maka akan lebih jelas bahwa total angkatan kerja di Sumatera Utara telah mencapai 6.094.802 orang dengan rincian yang telah bekerja baik sektor formal maupun informal berjumlah 5.540.263 orang sedangkan yang sedang mencari kerja atau pengangguran mencapai 554.539 orang. Maka manpower di Sumatera Utara tren nya akan meningkat dari waktu ke waktu seiring dengan pertambahan penduduk di Provinsi ini. Potensi Pendidikan. Dari jumlah penduduk yang paling besar di Pulau Sumatera dengan rangking IPM nya secara nasional mencapai 8, maka potensi pendidikan di Sumatera Utara juga cukup baik dan signifikan menjadi daerah yang aktivitas pendidikannya sangat dinamis. Hal ini menunjukkan kwantitas sarana belajar dari SD sampai perguruan tunggi meningkat dalam kurun waktu 10 tahun terakhir. Keadaan ini dapat dilihat dari tabel berikut ini :
JURNAL MANAJEMEN & BISNIS VOL 11 NO. 02 OKTOBER 2011 ISSN 1693-7619
150
Tabel 5. Jumlah Perguruan Tinggi Negeri dan Swasta di Sumatera Utara tahun 2008/2009 No Jenis-jenis Banyaknya Jumlah mahasiswa Keterangan Perguruan Tinggi Perguruan Tinggi (orang) 01. Universitas 39 986.381 2 negeri 02. Sekolah Tinggi 126 441.176 Swasta 03. Institut 4 74.364 1 negeri 04. Akademi 144 206.992 Swasta 05. Politeknik 13 43.728 1 Negeri Total 326 1.752.641. Sumber: BPS Provinsi Sumatera Utara 2009 (Sumatera Utara dalam Angka) Jika dilihat dari tabel diatas, bahwa jumlah institusi pendidikan tinggi yang paling bnayak adalah akademi yakni sebesar 144 institusi dengan jumlah mahasiswa mencapai 206.992 orang dan semuanya dikelola oleh pihak swasta. Akademi yang paling bayak adalah akademi di bidang kesehatan yakni untuk perawat dan bidan, sisanya adalah akademi yang berhubugan dengan ilmu komputer. Walaupun Universitas jumlahnya di Sumatera Utara hanya 39 tapi jumlah mahasiswa nya mencapai 986.381 orang. Jika di jumlahkan untu semua jenis pergurunantinggi yang ada, maka jumlah mahasiswanya mencapai 1.752.641 orang. Angka-angka inilah yang nantinya akan bertarung di pasar kerja untuk meraih pekerjaan khususnya di sektor formal. Dan dari jumlah mahasiswa tersebut, kondisi ini juga akan menggambarkan sisi supply bagi tenaga kerja yang memiliki pendidikan tinggi di Sumatera Utara. Hasil Analisis Data dan Pembahasan Dari 300 responden yang diwawancarai dalam penelitian ini, kami membagi 2 kategori uatama, yakni; 1. Responden yang bekerja di Kantor Pemerintahan. 2. Responden yang bekerja di Perusahaan Swasta Adapun domisili kantor bekerjanya responden tersebut disebar ke 4 daerah yakni : 1. Kota Medan. 2. Kabupaten Langkat di Kota Stabat. 3. Kota Binjai 4. Kabupaten Deli Serdang di Lubuk Pakam dan Tanjung Morawa Kriteria dari responden yang terpilih adalah, saat diwawancarai responden diterima bekerja karena latar belakang dari pendidikan tinggi dan minimal sudah 2 tahun bekerja.. Sistem pengambilan data pada umumnya wawancara langsung (indepth interview) di lapangan dan hanya sekitar 10% saja menggunakan telepon (interview by phone). Wawancara dilakukan dengan memberikan 13 pertanyaan inti untuk mengukur daya serap tamatan perguruan tinggi yang kemudian dikelompokkan menjadi 4 bahagian yakni: 1. Identitas Pribadi Responden 2. Kondisi Mencari Kerja 3. Kondisi pekerjaan saat ini
JURNAL MANAJEMEN & BISNIS VOL 11 NO. 02 OKTOBER 2011 ISSN 1693-7619
151
4. Saran-saran Untuk pertanyaan yang masuk kelompok 2 (dua) dan 3 (tiga), responden akan di beri pertanyaan tertutup karena ada pilihan-pilihan yang harus dijawab oleh responden, sedangkan untuk kelompok 4, pertanyaannya bersifat terbuka karena ini berbentuk saran-saran yang cukup bebas dan realita yang dirasakan oleh responden secara individu. Adapun secara ringkas hasil analisis untuk responden yang bekerja di pemerintahan/pns sebagai berikut : 1. Secara Umum Dalam pengambilan data di lapangan ternyata, sedikit lebih komunikatif dan informatif bagi responden laki-laki dibanding dengan responden perempuan. 2. Pada saat survei ini dilakukan, ternyata daya serap PTS dengan PTN cukup jauh perbedaannya. Artinya lulusan PTS lebih banyak mendapatkan peluang bekerja di kantor-kantor Pemerintahan/PNS dibanding dengan lulisan PTN di Sumatera Utara. Hal seperti ini menjadi catatan sangat penting bagi pemerintah provinsi , Kota maupun Kabupaten. 3. Pada umumnya responden mendapatkan pekerjaan sebelum menyelesaikan studi, yakni sebesar 64% dan sisanya sebesar 36% yang setelah tamat kuliah baru dapat bekerja. Artinya mereka sedang kuliah dan hampir menyelesaikan studi tapi sudah diterima untuk bekerja di instansi pemerintah. 4. Pada umumnya responden mendapat pekerjaan, karena memiliki kompetensi dalam hal kemampuan dengan latar belakang pendidikan tinggi yang dimiliki dari perguruan tinggi sebesar 66%, kemudian diikuti dengan kompetensi IPK sebesar 20%, kemampuan dalam menggunakan aplikasi komputer hanya mencapai 8%, dan sisanya kemampuan berbahasa asing sebesar 6%. Artinya untuk menjadi PNS hanya diperlukan ijazah pendidikan tinggi dan IPK (indeks prestasi komulatif), sedangkan kemampuan bahasa asing dalam hal ini bahasa Inggris dan komputer kurang diperhitungkan. 5. Ternyata lebih dari setengah responden yang bekerja di instansi pemerintahan/PNS sampai pada tahun terakhir kuliah pun tidak aktif mencari pekerjaan karena memang mereka sudah bekerja, yakni sebesar 55%, sisanya yang aktif mencari kerja hanya mencapai 45%. Artinya, banyak yang jadi PNS sudah tahu kalau dia tamat pasti diterima atau memang sudah bekerja lebih dahulu. 6. Kebanyakan dari responden menyatakan bahwa waktu tunggu yang dilewati dalam mencari kerja rata-rata antara 6-12 bulan yakni mencapai 42%, sedangkan yang lebih dari 12 bulan hanya 37%, dan yang kurang dari 6 bulan sebesar 22% dan. Berarti tamatan perguruan tinggi relatif tidak terlalu lama untuk mendapatkan pekerjaan di instansi pemerintah. 7. Pada umumnya responden tidak pernah berpindah-pindah pekerjaan sebelum bekerja ditempat yang sekarang, yakni sebesar 68%, sedangkan sisanya hanya 32% beberapa kali pernah pindah pekerjaan sebelum kerja ditempat yang sekarang. Hal ini memunjukkan bahwa menjadi PNS adalah pilihan yang pasti dan tidak pernah punya keinginan untuk keluar guna berganti pekerjaan.
JURNAL MANAJEMEN & BISNIS VOL 11 NO. 02 OKTOBER 2011 ISSN 1693-7619
152
8. Sebahagian besar responden yang bekerja sebagai PNS atau di instansi pemerintah menyatakan, bahwa pekerjaan yang sekarang telah sesuai dengan minat dan latar belakang pendidikannya yakni mencapai 80%, dan sisanya 20% tidak sesuai. Maka dari pertanyaan ini, dapat di asumsikan bahwa instansi pemerintah, benar-benar melihat latar belakang pendidikan yang dimiliki dalam penempatan pegawainya atau istilahnya right man on the right place, because from right education. 9. Pada umumnya responden menyatakan rata-rata waktu tunggu untuk mendapatakan posisi pekerjaan ditempat yang sekarang bekerja antara 1-2 tahun sebesar 55%, diikuti dengan kurang dari 1 tahun yakni mencapai 40%, dan sisanya 5% lebih dari 2 tahun. Kondisi ini sekali lagi menekankan bahwa lama mendapatkan pekerjaan sebagai PNS pada responden rata-rata berkisar antara 1-2 tahun. Mereka tahan menunggu dalam waktu relatif lama karena memang sangat ingin bekerja menjadi PNS sehingga waktu tunggunya relatif lebih lama dibanding dengan yang bekerja di swasta. 10. Pada instansi pemerintahan/PNS rata-rata gaji yang diterima (take home pay) untuk setiap bulannya 2 - 4 juta rupiah untuk tamatan perguruan tinggi, yakni responden yang menyatakan ini sebesar 83%, kemudian lebih dari 4 juta rupiah sebesar 9% dan sisanya hanya 8% yang menyatakan pendapatannya kurang dari 2 juta rupah per-bulan. Maka dapat disimpulkan bahwa gaji PNS yang memiliki latar belakan pendidikan tinggi berada jauh diatas UMP Sumatera Utara. Adapun secara ringkas hasil analisis untuk responden yang bekerja di perusahaan swasta yakni sebagai berikut : 1. Sebanyak 51 % responden berjenis kelamin laki- laki, sisanya 49% adalah perempuan. Dalam pengambilan data, ternyata responden yang bekerja di perusahaan swasta hampir seimbang antara laki-laki dan perempuan dalam berkomunikasi dan informatif , atau oarng-orangya lebih supel dan dinamis. 2. Dari 150 responden ternyata yang bekerja di perusahaan swasta didominasi oleh tamatan PTN sebesar 55% dan sisanya PTS sebesar 45%. Pada saat survei ini dilakukan, ternyata daya serap PTN dengan PTS tidak terlalu jauh berbeda, artinya perbandingannya hanya 11:9. Perbedaan ini tidak terlalu mencolok, karena orang-orang yang mendapat pekerjaan di swasta cenderung penyuka tantangan (risk lovers). 3. Pada umumnya responden mendapatkan pekerjaan setelah menyelesaikan studi, yakni sebesar 60% dan sisanya yang belum tamat tapi sudah bekerja sebesar 40%. Berarti latar belakang pendidikan tinggi sangat mendominasi pencarian kerja di perusahaan swasta. 4. Pada umumnya responden mendapat pekerjaan, karena memiliki kompetensi lulusan dari perguruan tinggi sebesar 60%, diikuti oleh kemampuan berbahasa asing sebesar 27%, kemudian IPK hanya 7% dan kemapuan menggunakan aplikasi komputer hanya mencapai 6%. Jadi dalam hal bekerja di perusahaan swasta, memiliki ijazah perguruan tinggi sangat penting serta memiliki kemampuan bernahasa asing yakni Bahasa Inggris.
JURNAL MANAJEMEN & BISNIS VOL 11 NO. 02 OKTOBER 2011 ISSN 1693-7619
153
5. Ternyata hampir ¾ dari responden yang bekerja di instansi swasta pada tahun terakhir kuliah aktif mencari pekerjaan, yakni sebesar 84%, sisanya yang tidak aktif mencari kerja hanya 16%. 6. Kebanyakan responden waktu tunggu yang dilewati dalam mencari kerja rata-rata antara 6-12 bulan yakni mencapai 55%, sedangkan yang kurang dari 6 bulan sebesar 40% dan lebih dari 12 bulan hanya 5%. Berarti tamatan dari perguruan tinggi relatif tidak terlalu lama untuk mendapatkan pekerjaan di instansi swasta di banding dengan menjadi pegawai pemerintah. 7. Pada umumnya responden sering berpindah-pindah dari satu pekerjaan kepekerjaan lain sebelum bekerja ditempat yang sekarang, yakni sebesar 60%, sedangkan sisanya hanya 40% yang tidak pernah berpindah pekerjaan. Dapat disimpulkan bahwa bekerja di swasta cenderung akan terus mencari pengahasilan di perusahaan mana yang lebih besar akan terus diburu oleh para pekerja swasta yang memiliki ijazah perguruan tinggi. Dengan kata lain mencari yang paling baik dari yang baik dan mencari yang lebih pasti jaminan hidup serta karir untuk jangka panjang. 8. Kebanyakan responden yang bekerja di instansi swasta menyatakan, bahwa pekerjaan yang sekarang telah sesuai dengan minat dan latar belakang pendidikannya yakni mencapai 58%, dan sisanya 42% tidak sesuai. Maka dari pertanyaan ini, dapat di asumsikan bahwa instansi swasta, benar-benar melihat latar belakang pendidikan yang dimilki karyawannya. 9. Pada umumnya responden menyatakan rata-rata waktu tunggu untuk mendapatakan posisi pekerjaan ditempat yang sekarang kurang dari 1 tahun yakni mencapai 64%, diikuti dengan antara 1-2 tahun sebesar 34% dan sisanya 2% lebih dari 2 tahun. Kondisi ini sekali lagi menekankan bahwa lama mendapatkan pekerjaan itu pada responden rata-rata berkisar 1 tahun. 10. Pada instansi swasta rata-rata gaji yang diterima untuk setiap bulannya 2 - 4 juta rupiah di Sumatera Utara untuk tamatan perguruan tinggi, yakni responden yang menyatakan ini sebesar 69%, kemudian lebih dari 4 juta rupiah sebesar 25% dan sisanya hanya 7% yang menyatakan pendapatannya kurang dari 2 juta rupah perbulan. 11. Umumnya responden bekerja di perusahaan industri/perusahaan Swasta Nasional yakni mencapai 49%, diikuti dengan perusahaan lokal Medan dan Sumatera Utara sebesar 26%, kemudian perusahaan dengan kategori BUMN/PT hanya mencapai 10%. Kategori ini menjadi 3 besar responden yang bekerja di perusahaan tersebut. Sisanya 8% responden bekerja di perusahaan Multinasional, dan kategori LSM hanya 2%, lain-lain 5%. 12. Pada umumnya responden tidak bekerja pada perusahaan pribadi yakni sebesar 67%, sisanya 33% responden bekerja di perusahaan keluarga/pribadi. Artinya tamatan perguruan tinggi di Sumatera Utara bekerja pada perusahaan skala yang lebih besar baik nasional maupun local dan dalam hal kepemilikannya tidak perusahaan perorangan/pribadi/ keluarga. 13. Dari 150 responden terpilih yang bekerja di perusahaan swasta didominasi oleh bidang pekerjaan marketing/pemasaran sebesar 21%, kemudian 19% bekerja pada bidang administrasi dan keuangan, dan 17% bekerja dalam bidang JURNAL MANAJEMEN & BISNIS VOL 11 NO. 02 OKTOBER 2011 ISSN 1693-7619
154
personalia/HRD serta perbankan dan lembaga keuangan lainnya mencapai 13%. Sisanya bidang-bidang lain dibawah 10%. Untuk bidang Kehumasan dan PR serta jurnalis masing-masing hanya 3%, kemunginan peluang untuk bidang ini juga relatif lebih kecil di Medan dan Sumatera Utara, jadi komposisi (share) nya juga menjadi kecil. 14. Dari pilihan kwesioner yang disediakan, ternyata untuk bidang pekerjaan yang sangat diminati adalah tetap saja menjadi Pegawai Pemerintah yakni mencapai 24%, kemudian administrasi dan keuangan mencapai 17%, sedangkan Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya mencapai 16%, dan bidang pekerjaan untuk personalia/HRD mencapai 12% peminatnya. Sisanya pilihan lainnya hanya dibawah 10% saja seperti marketing,Public relation, Jurnalis media cetak dan elektronik, industri, pendidikan serta jasa hotel dan restoran. 15. Tapi menarik untuk dilihat bahwa bidang pekerjaan marketing dan public relation porsi peminatnya sama besar yakni masing-masing mencapai 9%. Faktanya di Medan sekitarnya, bidang marketing peluangnya sangat besar pada saat ini, tapi peminatnya malah kecil. 16. Kemungkinan besar pekerjaan dengan system-sistem target untuk gaji dan sistem outsourcing khususnya untuk pemasaran dianggap tidak menjamin untuk jangka panjang (seattless). 17. Kebanyakan responden mendapatkan informasi lowongan kerja, baik dari keluarga/teman/kenalan mencapai 30%, kemudian dari iklan di Media cetak dan elektronik sebesar 23%, informasi melalui internet mencapai 19%, sedangkan Bursa kerja di kampus tempat responden kuliah mencapai 17% dan 10% nya informasi didperoleh dari kampus lain. 18. Jika dilihat dari angka persentase diatas, maka peranan dari media baik cetak maupun elektronik, internet dan pengumuman di kampus menjadi andalan utama bagi para pencari kerja tamatan perguruan tinggi, jika dijumlahkan angkanya mencapai 69%. Media ini penting bagi perusahaan yang akan mencari karyawan dengan kualifikasi tertentu. Sisanya hanya 1% untuk pendekatan ke perusahaan dan sebaliknya yakni perusahaanlah yang melakukan pendekatan. Jadi faktor-faktor yang sangat dominan dalam mempengaruhi daya serap tatamatan perguruan tinggi di pasar kerja bagi responden yang bekerja sebagai PNS adalah: 1. Memiliki ijazah lulusan dari perguruan tinggi baik D-III (diploma tiga) maupun S-1 (sarjana). 2. Memiliki kompetensi dan kemampuan dalam berbahasa Inggris terutama aktif serta mengoperasikan software-software komputer. 3. IPK (indeks prestasi komulatif) ikut mendukung, walau persentasenya kurang begitu besar, karena sewaktu akan diterima untuk bekerja mereka akan melewati serangkaian tes tertulis dan wawancara seperti TPA (Tes Potensi Akademik), Psikotes dan kemampuan dalam pengetahuan umum, jadi masalah IPK lebih akan terwakili dari serangkaian hasil tes tersebut, khususnya menjadi pegawai swasta. Tapi untuk menjadi PNS di Sumatera Utara, ternyata nilai dari IPK masih masuk indikator utama dalam merekrut pegawai. 4. Pada penelitian kali ini, ternyata daya serap lulusan dari PTS lebih banyak diserap menjadi pegawai pemerintah, sebaliknya PTN justru banyak diserap oleh JURNAL MANAJEMEN & BISNIS VOL 11 NO. 02 OKTOBER 2011 ISSN 1693-7619
155
perusahaan swasta nasional. Kondisi ini cukup menggemburakan ternyata lulusan PTS mampu bersaing dengan lulusan PTN dengan asumsi dalam perekrutan pegawai tidak dilakukan dengan cara yang curang dan KKN. 5. Informasi lowongan kerja ternyata sangat didominasi oleh media cetak, media elektronik dan internet sehingga cara perekrutannya lebih transparan, terbuka, memudahkan akses informasi dan lebih cepat, sehingga calon pegawai yang direkrut adalah orang-orang yang aktif dalam mencari informasi dan biasanya kualifikasi yang diambil sesuai dengan kebutuhan perusahaan dan lifeskill individu yang dimiliki calon pegawai. 6. Sedangkan untuk waktu tunggu panggilan kerja menjadi lebih lama, jika pekerjaan yang didapat adalah menjadi pegawai instansi pemerintah (PNS), sedangkan untuk bekerja di perusahaan swasta relatif lebih cepat diterima/dipanggil kerja dibandingkan dengan menjadi PNS. Yang penting kualifikasi dari pendidikan dan ketrampilan yang menunjukkan kompetensi dan standar untuk bekerja khususnya bahasa Inggris yang lisan maupun operasionalisasi sistem kerja di komputer, maka untuk menjadi pegawai relatif lebih mudah dibanding lainnya. 7. Cukup menarik untuk diteliti lebih lanjut, bahwa hasil penelitian ini menunjukkan fakta bahwa menjadi PNS adalah pilihan favorit dari hampir setiap orang yang telah lulus dari perguruan tinggi dan telah pula bekerja di instansi swasta, masih tetap mencari peluang untuk menjadi PNS. KESIMPULAN 1. Perekrutan pegawai baik untuk perusahaan swasta maupun instansi pemerintah sangat mengutamakan latar belakang pendidikan tinggi yang dimiliki oleh pegawai. 2. Lulusan dari PTN dan PTS sebenarnya sudah mulai berimbang, kemungkinan besar karena ada regulasi pemerintah untuk perguruan tinggi dalam menilai sewaktu akreditasi perguruan tinggi tersebut. 3. Kemampuan individual berupa kompetensi berbahasa Inggris dan mampu mengoperasikan software komputer juga menjadi pertimbangan utama sewaktu merekrut pegawai. 4. IPK (indeks prestasi komulatif) ikut mendukung, walau persentasenya kurang begitu besar, yang paling penting adalah mengikuti seleksi melalui serangkaian tes tertulis dan wawancara seperti TPA (Tes Potensi Akademik), Psikotes dan kemampuan dalam pengetahuan umum. IPK akan terwakili dari serangkaian hasil tes tersebut, khususnya pada kasus recruitment pegawai swasta. Sebaliknya menjadi PNS di Sumatera Utara, ternyata nilai dari IPK masih masuk indikator utama dalam merekrut pegawai. 5. Peran dari media massa, baik cetak, elektronik, dan internet menjadi media yang berperan besar dalam menyebarkan informasi lowongan kerja bagi lulusan perguruan tinggi. Jadi informasi menjadi lebih cepat dan akurat.
JURNAL MANAJEMEN & BISNIS VOL 11 NO. 02 OKTOBER 2011 ISSN 1693-7619
156
DAFTAR PUSTAKA BPS Sumatera Utara; Sumatera Utara dalam Angka dalam berbagai tahun. Biro Pusat Statistik, Sakernas dan Susenas Tahun 2006 Koencoro, Mudrajat; Metode Riset untuk Ekonomi dan Bisnis, 2003, Erlangga, Jakarta Kompas, Surat kabar harian Nasional, Mei 2010, Jakarta Mankiw, N. Gregory; Teori Makro Ekonomi, Edisi ke-4, 2000, Erlangga, Jakarta Samuelson, P.A & Nordhaus, W.D (1997), Makroekonomi, Edisi ke-empatbelas, Erlangga (terjemahan), Jakarta
JURNAL MANAJEMEN & BISNIS VOL 11 NO. 02 OKTOBER 2011 ISSN 1693-7619
157