150
ANALISIS PENEGAKAN HUKUM TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PSIKOTROPIKA DI KOTA JAYAPURA Oleh : Sri Karyani Mahasiswa Program Strata Satu Fakultas Hukum Universitas YAPIS Papua
ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan memahami faktor penyebab dan peranan Kepolisian Resor Kota Jayapura dalam melakukan penegakan hukum tindak pidana psikotropika di Kota Jayapura. Penelitian ini menggunakan tipe penelitian hukum normatif dan penelitian hukum sosiologis. Untuk memperoleh data maka penelitian ini menggunakan 3 (tiga) metode pengumpulan data yaitu Observasi, dipadukan dengan melakukan wawancara dengan informan, dan didukung dengan dokumen-dokumen yang relevan dengan objek penelitian, dan analisis data ini dilakukan secara kualitatif, yaitu meliputi pengumpulan data, pengeditan data, klasifikasi data, dan penyajian data. Bahwa Penegakan hukum terhadap pelaku tindak pidana psikotropika di Kota Jayapura sudah berjalan sesuai dengan koridor peraturan perundangundangan yang berlaku yaitu KUHAP, dan pelaku yang terbukti melakukan tindak pidana psikotropika telah ditindak, diproses dan selanjutnya berkas perkara diserahkan ke kejaksaan untuk proses persidangan di Pengadilan Negeri dan bahwa faktor-faktor penyebab terjadinya kejahatan psikotropika di Kota Jayapura dikelompokkan dalam faktor internal dan faktor eksternal. Kata Kunci: Penegakan Hukum, Faktor Penyebab, Psikotropika
PENDAHULUAN Penyalahgunaan psikotropika mulai mendunia sejak awal dekade 90-an, sedangkan di Indonesia, ekstasi sebagai salah satu jenis psikotropika yang paling digemari, baru dikenal di Indonesia pada pertengahan dekade 90-an. Ada yang mengatakan bahwa penggunaan ekstasi mulai mencuat setelah kasus kematian di rumah seorang bintang film pada tahun 1994, namun juga ada yang berpendapat bahwa pil itu mulai dikenal sejak tewasnya seorang penyanyi pop di Indonesia yang diduga mengkonsumsi pil tersebut sebelum mengendarai mobilnya. Terlepas dari waktu keberadaannya di Indonesia, penyalahgunaan psikotropika di negara kita sudah sampai pada taraf yang memprihatinkan. Berdasarkan data dari Badan Narkotika Nasional, sejak tahun 2000 sampai dengan tahun 2004 di seluruh wilayah tanah air telah berhasil disita psikotropika untuk jenis ekstasi sebanyak 741.061 tablet, dan shabu sebanyak 223.106,81 gram. 1 Saat ini Indonesia bukan hanya sebagai negara transit ataupun 1
Badan Narkotika Nasional Republik Indonesia, Materi Advokasi Pencegahan Narkoba, Jakarta, 2005, hal. 2. JURNAL PENELITIAN MAHASISWA FAKULTAS HUKUM “MIX LAW” Volume 1 Nomor 1, Februari 2013 UNIVERSITAS YAPIS PAPUA - JAYAPURA
151
negara tujuan bagi peredaran gelap psikotropika, namun sudah berkembang menjadi salah satu negara produsen psikotropika. Keadaan ini mulai dibuktikan dengan ditemukannya 2 (dua) pabrik ekstasi di Tangerang pada awal April 2002. Sedangkan berita terakhir mengungkapkan keberhasilan polisi menemukan pabrik ekstasi di Serang, Banten pada pertengahan Nopember 2005 yang merupakan pabrik ekstasi terbesar ketiga di dunia setelah pabrik di Fiji dan Cina. Pemberantasan tindak pidana psikotropika sangat penting untuk menyelamatkan masa depan bangsa dan generasi penerus. Penyalahgunaan psikotropika dapat mengakibatkan sindroma ketergantungan apabila penggunaannya tidak di bawah pengawasan dan petunjuk dari tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu. Oleh karena itu dampak yang timbul tidak saja merugikan pihak pengguna saja (mereka yang menyalahgunakan), tetapi juga berdampak bagi seluruh aspek dalam kehidupan masyarakat, sehingga merupakan ancaman bagi kehidupan bangsa dan negara. Oleh karena itu sangat perlu adanya upaya pencegahan, penanggulangan, dan bahkan upaya pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap psikotropika. Kejahatan psikotropika di Kota Jayapura sudah sangat mengkhawatirkan, karena hampir setiap minggu Harian Cenderawasih Pos memuat tentang masalah psikotropika, dan bahkan terus mengalami peningkatan. Terlebih lagi banyak orang tertarik dan tergiur dengan bisnis psikotropika, meskipun berisiko tinggi namun berdagang barang haram ini sepertinya makin meningkat saja baik dari segi jumlah maupun modus operandinya. Hal ini disebabkan oleh faktor keuntungan yang akan diperolehnya dari hasil penjualan obat-obatan (psikotropika) tersebut.2 Berbagai upaya penanggulangan kejahatan psikotropika telah dilakukan, baik secara preventif maupun represif, yakni dengan menerapkan jenis sanksi pidana terhadap pelaku seperti pidana pokok yakni pidana mati, seumur hidup, penjara dalam waktu tertentu, kurungan dan denda. Namun demikian kejahatan psikotropika ini terus berkembang, dan sulit untuk dihilangkan secara total. Polri selaku aparat penegak hukum kedudukannya sangat strategis (sebagai aparat terdepan) dalam menegakkan hukum dan upaya menanggulangi penyalahgunaan psikotropika. Oleh karena itu dalam rangka menanggulangi penyalahgunaan dan peredaran gelap psikotropika di Kota Jayapura diperlukan model penanggulangan yang tepat, sehingga permasalahan yang timbul dapat diatasi secara lebih baik. RUMUSAN MASALAH 1. Bagaimanakah peranan Kepolisian Resor Kota Jayapura dalam melakukan penegakan hukum terhadap pelaku tindak pidana psikotropika di Kota Jayapura? 2. Faktor-faktor apa yang menyebabkan terjadinya tindak pidana psikotropika di Kota Jayapura?
2
Harian Cenderawasih Pos, Jum’at, 15 Desember 2011, hal. 8. JURNAL PENELITIAN MAHASISWA FAKULTAS HUKUM “MIX LAW” Volume 1 Nomor 1, Februari 2013 UNIVERSITAS YAPIS PAPUA - JAYAPURA
152
METODE PENELITIAN Tipe penelitian dalam penelitian ini adalah penelitian hukum normatif dan penelitian hukum sosiologis, yaitu: 1. Penelitian hukum normatif disebut juga penelitian hukum doktrinal, yang seringkali hukum dikonsepkan sebagai apa yang tertulis dalam peraturan perundang-undangan/kaidah/norma yang merupakan patokan berperilaku manusia yang dianggap pantas. Oleh karena itu jenis penelitian ini bersumber pada data sekunder, yang terdiri atas bahan hukum primer yang berupa peraturan perundang-undangan seperti KUHP, bahan hukum sekunder berupa hasil penelitian atau pendapat pakar hukum, atau bahan hukum tersier berupa kamus.3 2. Penelitian hukum sosiologis, hukum dikonsepkan sebagai pranata sosial yang secara riil dikaitkan dengan variabel-variabel sosial lainnya. Tipe penelitian ini bersumber pada data sekunder sebagai data awalnya, yang kemudian dilanjutkan dengan data primer atau data lapangan. 4 HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Pengertian Dan Penggolongan Tindak Pidana Psikotropika Pada prinsipnya secara legal psikotropika merupakan obat yang dapat dipergunakan dan untuk kepentingan pengobatan (pelayanan kesehatan) dan ilmu pengetahuan. Penggunaan untuk kedua kepentingan tersebut diatur sedemikian rupa dalam Pasal 3 dan 4 Undang-Undang RI. Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika (Undang-undang Psikotropika). Oleh karena itu apabila psikotropika disalahgunakan penggunaannya, maka dapat merugikan kehidupan manusia dan kehidupan bangsa, sehingga dapat berdampak yang lebih luas lagi yaitu mengancam ketahanan nasional. Menurut Pasal 1 ayat (1) Undang-undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika yang dimaksud dengan Psikotropika adalah "zat atau obat, baik alamiah maupun sintetis bukan narkotika, yang berkhasiat psikoaktif melalui pengaruh selektif pada susunan saraf pusat yang menyebabkan perubahan khas pada aktivitas mental dan perilaku". Pengertian psikotropika ini juga diatur dalam Pasal 1 ayat (1) Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 688/Menkes/Per/VII/1997 tentang Peredaran Psikotropika. Pengertian ini tidak jauh berbeda dengan pengertian psikotropika yang terdapat dalam Opium Wet di Negeri Belanda. Pasal 2 ayat (2) butir a Opium Wet mengartikan psikotropika sebagai, “Obat-obatan yang memberikan pengaruh pada tingkat kesadaran yang mana dalam pemakaiannya orang dapat mengalami gangguan kesehatan (merusak jiwa) dan merusak kehidupan masyarakat”. 5 Selanjutnya berdasarkan Penjelasan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1996 tentang Pengesahan Konvensi Psikotropika 1971, telah disinggung pula tentang pengertian psikotropika sebagaimana diatur dalam Undang-undang Psikotropika. Pada prinsipnya psikotropika bermanfaat dan sangat diperlukan 3
Amiruddin dan H. Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2008, hal.118-119. 4 Ibid., hal.133. 5 Dani Krisnawati dkk. Bunga Rampai Hukum Pidana Khusus, Pena Pundi Aksara, Jakarta, 2006, hal 180. JURNAL PENELITIAN MAHASISWA FAKULTAS HUKUM “MIX LAW” Volume 1 Nomor 1, Februari 2013 UNIVERSITAS YAPIS PAPUA - JAYAPURA
153
dalam pelayanan kesehatan, seperti pada pelayanan penderita gangguan jiwa dan saraf, maupun tujuan ilmu pengetahuan. Walaupun demikian penggunaan psikotropika yang tidak di bawah pengawasan tenaga yang berwenang dapat merugikan kesehatan, dan dapat menimbulkan sindrom ketergantuangan yang merugikan baik perseorangan, keluarga, masyarakat, generasi sekarang dan generasi yang akan datang, dan dapat menimbulkan masalah sosial lainnya serta dapat berdampak ke arah yang lebih buruk lagi yaitu merusak nilai-nilai budaya bangsa. WHO memberi pengertian psikotropika sebagai obat yang bekerja pada atau mempengaruhi fungsi psikis, kelakuan atau pengalaman. Dapat juga dikatakan sebagai obat yang mempunyai efek utama terhadap aktivitas mental dan perilaku (mind and behavior altering drugs) dan digunakan untuk terapi gangguan psikiatrik6. Menurut Soemarno Ma'sum7, psikotropika dibuat untuk melenyapkan sifat ketergantungan orang akan morfin. Manfaat lainnya, karena ada yang menenangkan dan menguatkan daya tahan fisik dan fisis. Zat-zat ini diproduksi untuk pengobatan kejiwaan. Itulah sebabnya dalam bahasa Inggris disebut “psychotropic” artinya bersifat psikotropis (psiko berarti jiwa dan tropo berarti gerak). Singkatnya, dapat mempengaruhi otak dan susunan saraf pusat. Berkaitan dengan kejahatan psikotropika, maka dapat dikatakan bahwa pada prinsipnya secara legal psikotropika itu merupakan obat yang dapat dipergunakan dan untuk kepentingan pengobatan (pelayanan kesehatan) dan ilmu pengetahuan. Penggunaan untuk kedua kepentingan tersebut diatur sedemikian rupa dalam Pasal 3 dan 4 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika (Undang-undang Psikotropika). Oleh karena itu apabila psikotropika disalahgunakan penggunaannya, maka dapat merugikan kehidupan manusia dan kehidupan bangsa, sehingga dapat berdampak yang lebih luas lagi yaitu mengancam ketahanan nasional. Menurut Hari Sasangka Psikotropika adalah obat yang bekerja pada atau mempengaruhi fungsi psikis, kelakuan atau pengalaman. 8 Dengan demikian obat psikotropika adalah obat yang bekerja pada susunan syaraf pusat yang memperlihatkan efek yang sangat luas. Dalam United Nation Conference for Adoption of Protocol on Psychotropic Substance disebutkan batasan-batasan zat psikotropik adalah bentuk bahan yang memiliki kapasitas yang menyebabkan (a) keadaan ketergantungan; (b) depresi dan stimulan susunan saraf pusat; (c) menyebabkan halusinasi; (d) menyebabkan gangguan fungsi motorik atau persepsi atau mood. Dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1997 dijelaskan 3 (tiga) tujuan diaturnya psikotropika. Pertama, untuk menjamin ketersediaan psikotropika guna kepentingan pelayanan kesehatan dan ilmu pengetahuan. Kedua, mencegah terjadinya penyalahgunaan psikotropika. Ketiga, serta memberantas peredaran gelap psikotropika. Sedangkan ruang lingkup pengaturan di bidang psikotropika 6
Rusdi Muslim, Tuntunan Praktis Penggunaan Klinis Obat Psikotropika (psycotropic Drug), Jakarta, 1994, hal.3. 7 Dani Krisnawati dkk. Op.cit., hal 180. 8 Hari Sasangka, Narkotika dan Psikotropika Dalam Hukum Pidana, CV. Mandar Maju, Bandung, 2003, h.63. JURNAL PENELITIAN MAHASISWA FAKULTAS HUKUM “MIX LAW” Volume 1 Nomor 1, Februari 2013 UNIVERSITAS YAPIS PAPUA - JAYAPURA
154
dalam menurut undang-undang tersebut adalah segala kegiatan yang berhubungan dengan psikotropika yang mempunyai potensi mengakibatkan sindroma ketergantungan. Penggolongan jenis psikotropika menurut Pasal 2 ayat (2) Undangundang Nomor 5 Tahun 1997 (Undang-undang Psikotropika) digolongkan menjadi 4 (empat) golongan, yaitu: (a) Psikotropika golongan I; (b) Psikotropika golongan II; (c) Psikotropika golongan III; (d) Psikotropika golongan IV. Selanjutnya dalam Penjelasan Pasal 2 ayat (2) Undang-undang Psikotropika dijelaskan bahwa psikotropika yang mempunyai potensi mengakibatkan sindroma ketergantungan digolongkan menjadi 4 (empat) yakni: 1. Psikotropika golongan I, psikotropika yang hanya dapat digunakan untuk tujuan ilmu pengetahuan dan tidak digunakan dalam terapi, serta mempunyai potensi amat kuat mengakibatkan sindroma ketergantungan. Psikotropika golongan I ini meliputi: a. Brolamfetamina (DOB) b. Brolamfetamina (DET) c. Brolamfetamina (DMT) d. Etisiklidina (PCE) e. Etriptamina f. Katinona 2. Psikotropika golongan II, psikotropika yang berkhasiat pengobatan dan dapat digunakan dalam terapi, dan/atau untuk tujuan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi kuat mengakibatkan sindroma ketergantungan. Psikotropika golongan II ini meliputi: a. Amfetamina b. Deksamfetamina c. Fensiklidina d. Rasemat e. Metakualon f. Sekobarbital 3. Psikotropika golongan III, psikotropika yang berkhasiat pengobatan dan banyak digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi sedang mengakibatkan sindroma ketergantungan. Psikotropika golongan III ini meliputi: a. Amobarbital b. Buprenorfina c. Butalbital d. Katina e. Pentazosina f. Siklobarbital 4. Psikotropika golongan IV, psikotropika yang berkhasiat pengobatan dan sangat luas digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi ringan mengakibatkan sindroma ketergantungan. Psikotropika golongan IV ini meliputi: a. Aminorex b. Barbital JURNAL PENELITIAN MAHASISWA FAKULTAS HUKUM “MIX LAW” Volume 1 Nomor 1, Februari 2013 UNIVERSITAS YAPIS PAPUA - JAYAPURA
155
c. d. e. f.
Diazepam Etinamat Oksazolam Pipradrol. 9 Sekalipun pengaturan psikotropika dalam Undang-undang Psikotropika hanya meliputi Psikotropika golongan I, Psikotropika golongan II, Psikotropika golongan III, danPsikotropika golongan IV, masih terdapat psikotropika lainnya yang tidak mempunyai potensi mengakibatkan sindroma ketergantungan, tetapi digolongkan sebagai obat kerea. Oleh karena itu pengaturan, pembinaan, dan pengawasannya tunduk kepada peraturan perundang-undangan yang berlaku di bidang obat keras. Menurut Hari Sasangka, pembagian psikotropika yang lain adalah: a. obat anti psikosis (major tranquillizer, neuroleptik); b. obat antiansietas/anti kecemasan (minor tranquillizer, antineurosis); c. obat anti depresi; d. obat psikotogenik, yaitu obat yang dapat menimbulkan kelainan tingkah laku, disertai halusinasi, ilusi, gangguan cara berfikir dan perubahan alam perasaan. Obat ini kadang-kadang disebut obat halusinogen.10 Pembagian yang lebih sederhana untuk orang awam seperti dikemukakan dalam Ensiklopedia Indonesia V, yang memberi batasan psikotropika adalah zatzat yang mempunyai efek terhadap pikiran manusia yang dapat dibagi: 1. Mengganggu fungsi mental manusia normal, yang penting adalah halusinogen. 2. Menyembuhkan fungsi mental abnormal manusia, yang dibagi dalam dua kelompok: 1) obat penenang (traquillizer), bersifat antara penghilang rasa nyeri (analgesik) dan pemati rasa (anaestetik). 2) Obat anti depresan.11 Selanjutnya di dalam ilmu kejahatan tentang penyalahgunaan obat psikotropika dibagi menjadi: 1. Stimulansia, yaitu obat-obat yang mengandung zat-zat yang merangsang terhadap otak dan syaraf. Obat-obat tersebut digunakan untuk meningkatkan daya konsentrasi dan aktivitas mental serta fisik. Obat-obat yang dimasukkan dalam golongan stimulansia adalah amphetamine beserta turunan-turunannya. Stimulansia dalam kerjanya meningkatkan kegiatan susunan saraf pusat sehingga merangsang dan meningkatkan kemampuan phisik orang yang menggunakan, mengkonsentrasikan diri untuk membuat prestasi yang lebih baik, serta sanggup bekerja lebih kuat dan lebih lama tanpa istirahat (di kalangan olahragawan sering disebut dopping). Akan tetapi karena dipaksa, walaupun kemampuan phisik masih ada, tetapi hanya daya mentalnya tidak dapat mengikutinya sehingga lambat laun akan mengakibatkan efek yang tidak baik.
9
Gatot Suparmanto, Hukum Narkoba Indonesia, Jambatan, Jakarta, 2001, h.20. Hari Sasangka, Op.cit., h.68. 11 Ibid., h.69. 10
JURNAL PENELITIAN MAHASISWA FAKULTAS HUKUM “MIX LAW” Volume 1 Nomor 1, Februari 2013 UNIVERSITAS YAPIS PAPUA - JAYAPURA
156
2. Depresiva, yaitu obat-obatan yang bekerja mempengaruhi otak dan susunan saraf pusat yang di dalam pemakaiannya dapat menyebabkan timbulnya depresi pada si pemakai. Depresiva di dalam bekerjanya mempunyai efek mengurangi kegiatan dari susunan syaraf pusat sehingga dipergunakan untuk menenangkan syaraf atau membuat seseorang mudah tidur. Bekerjanya depresiva pada dasarnya bertolak belakang dengan stimulansia. Psikotropika golongan depresiva dalam istilah populer di masyarakat adalah dikenal sebagai obat tidur atau obat penenang. 3. Halusinogen, yaitu obat-obatan yang dapat menimbulkan daya khayal (halusinasi) yang kuatr, yang menyebabkan salah persepsi tentang lingkungan dan dirinya baik yang berkaitan dengan pendengaran, penglihatan maupun perasaan. Dengan kata lain obat-obat jenis halusinogen memutar balikkan daya tangkap kenyataan obyektif. Halusinasi atau khayalan adalah merupakan penghayatan semu, sehingga apa yang dilihat tidaklah sesuai dengan bentuk dan ruang yang sebenarnya (feeling of unreality). Jenis psikotropika yang dikenal luas masyarakat diantaranya adalah ekstasi dan shabu. Ekstasi berasal dari kata ecstacy yang berarti kegembiraan yang meluap-luap. Nama beken lainnya dari ekstasi adalah inex, xtc, fantacy pils. Di Eropa, ekstasi ini pertama kali dikenal dengan sebutan “Pil ADAM”. Disebut pil ADAM karena rumus kimia dari ekstasi ini adalah MDMA. Ekstasi berbentuk pil atau kapsul. Sementara shabu adalah nama jalanan untuk amfetamin dengan nama beken ubas, SS atau ecin. Bentuk penampilannya seperti bola kristal sebesar batu kerikil yang berbentuk serbuk. Kejaksaan Agung Amerika Serikat dalam terbitannya Drug of Abuse, edisi 1988 menjelaskan pengaruh penggunaan obat-obat psikotropika, kelebihan dosis dan gejala lepas obatnya (withdrawal syndrome) sebagai berikut 12: 1. Kelompok obat depresan, misalnya obat tidur dan penenang seperti luminal dan valium. Dapat menimbulkan gagap dan rasa mabuk. Kelebihan dosis akan menimbulkan lemah disertai percepatan denyut nadi serta pernapasan pendek, mungkin koma dan bahkan mati. 2. Kelompok obat stimulan, misalnya amphetamin, dapat menimbulkan kegairahan yang berlebihan, euphoria (sensasi yang luar biasa), percepatan denyut nadi, peningkatan tekanan darah, susah tidur dan agitasi, halusinasi, peningkatan suhu badan, kejang-kejang dan bisa juga kematian. 3. Kelompok obat halusinogen, misalnya LSD dan meskalina. Dapat menimbulkan ilusi, halusinasi dan kemunduran presepsi tentang jarak dan waktu. Kelebihan dosis akan menimbulkan gangguan jiwa dan ada kalanya kematian. Perlu ditegaskan bahwa seseorang yang menyalahgunakan obat (drug abuser) belum tentu menderita ketergantungan pada obat itu baik secara fisik maupun psikis. Ketergantungan fisik merupakan suatu keadaan yang ditandai oleh gangguan jasmaniah yang hebat apabila pemberian suatu obat dihentikan. 12
Eddy O.S. Hiariej, Penyalahgunaan Psikotropika Ditinjau Dari Segi Hukum Pidana, Gaya Baru, Jakarta, 1998, hal.1. JURNAL PENELITIAN MAHASISWA FAKULTAS HUKUM “MIX LAW” Volume 1 Nomor 1, Februari 2013 UNIVERSITAS YAPIS PAPUA - JAYAPURA
157
Keadaan ini timbul sebagai hasil penyesuaian diri terhadap adanya obat dalm tubuh secara terus menerus dalam jangka waktu yang cukup lama. Gangguan atau kelainan yang timbul disebut withdrawal syndrome atau keadaan lepas obat, dan bersifat spesifik untuk masing-masing tipe atayu jenis obatnya. Sedangkan ketergantungan psikis merupakan suatu keadaan dimana suatu obat menimbulkan perasaan puas dan senang sehingga mendorong orang untuk memakainya lagi secara terus menerus atau secara periodik sehingga diperoleh kepuasan terus menerus. Pengobatan dan perawatan bagi penyalahgunaan psikotropika yang sudah mengalami ketergantungan dapat dilakukan pada fasilitas rehabilitasi seperti rumah sakit, lembaga ketergantungan obat dan tempat praktek dokter. Penyalahgunaan psikotropika tidak hanya berdampak pada individu, tetapi juga berdampak pada keluarga, masyarakat dan bangsa. Ada dampak secara khusus yang ditimbulkan oleh psikotropika karena adanya sedikit perbedaan reaksi antara jenis drug yang satu dengan lainnya, misalnya ekstasi dan shabu. Ciri-ciri yang menyolok pada penggunaan ekstasi antara lain tidak bisa diam, apatis, susah tidur, euphoria, halusinasi, paranoid, kerongkongan kering dan terus menerus merasa haus sehingga pengguna ekstasi cenderung mengkonsumsi air putih lebih banyak dari biasa. Pada umumnya orang yang mengkonsumsi ekstasi bertujuan untuk memperoleh rasa gembira yang berlebihan dan tidak mengenal lelah. Akan tetapi efek yang diinginkan ini dapat berakibat fatal karena untuk mempertahankan efek tersebut dosis harus ditambah dan tanpa disadari akan terjadi over dosis. Bahaya bagi kesehatan antara lain seperti syaraf otak rusak, dehidrasi, hati rusak, tulang dan gigi kepropos, syaraf mata rusak, stroke. Ciri-ciri penggunaan shabu antara lain euphoria, apatis, hiperaktif, daya pikir dan konsentrasi menurun, tidak mau makan, cepat lelah, tidak bisa tidur, tidak bisa beraktifitas dengan baik. Peranan Kepolisian Resor Kota Jayapura Dalam Melakukan Penegakan Hukum Terhadap Pelaku Tindak Pidana Psikotropika Di Kota Jayapura Jenis psikotropika sudah banyak beredar di berbagai kalangan, baik itu kalangan anak muda khususnya anak-anak usia sekolah (SLTP dan SMU) maupun kalangan orang dewasa, dan bahkan ada kecenderungan semakin meningkat jumlahnya. maupun kalangan orang dewasa, dan bahkan ada kecenderungan semakin meningkat jumlahnya. Banyak kalangan masyarakat yang sudah mulai mengenal dan bahkan tergiur untuk turut mengedarkan barang terlarang tersebut. Hal ini dimotivasi oleh adanya faktor keuntungan yang akan diraupnya sangat menjanjikan. Secara lebih jelasnya menurut hasil penelitian bahwa besarnya keuntungan para pengedar di Kota Jayapura dapat digambarkan dalam bentuk tabel di bawah ini : Tabel 4.1. Harga Per Butir/Gram/Paket Psikotropika di Kota Jayapura No. Jenis 1. Gober 2. Ineks
Harga Agen 150.000 150.000
Harga Jual 300.000 250.000
Keuntungan 150.000 100.000
JURNAL PENELITIAN MAHASISWA FAKULTAS HUKUM “MIX LAW” Volume 1 Nomor 1, Februari 2013 UNIVERSITAS YAPIS PAPUA - JAYAPURA
158
3. XTC 200.000 500.000 4. Adam 150.000 200.000 5. Essence 100.000 200.000 6. Inex 150.000 200.000 7. Electric 150.000 200.000 8. Bon Jovi 100.000 150.000 9. Mercy 100.000 150.000 10. Ice 150.000 200.000 11. Black Heart 100.000 250.000 12. Buterfly 75.000 100.000 13. Kancing 100.000 150.000 14. Disco 200.000 250.000 15. Biscuit 100.000 150.000 16. Shabu 250.000 750.000 Sumber: Kepolisian Resor Kota Jayapura, Januari 2013.
300.000 50.000 100.000 50.000 50.000 50.000 100.000 50.000 150.000 25.000 50.000 50.000 50.000 500.000
Berdasarkan hasil penelitian terungkap bahwa jumlah Tindak pidana psikotropika di Kota Jayapura terus meningkat dari tahun 2010 sampai Junil 2012. Berikut data kasus psikotropika yang ditangani Kepolisian Resor Kota Jayapura sebagaimana ditampilkan dalam tabel di berikut ini. Tabel 4.2. Jumlah Tindak Pidana Psikotropika di Kota Jayapura Tahun 2010-Juni 2012 No. Tahun Jumlah Kasus % 1. 2010 14 26,92 2. 2011 21 40,39 3. 2012 17 32,69 Total 52 100 Sumber: Kepolisian Resor Kota Jayapura, Januari 2013. Tabel 4.3. Jumlah Pelaku Tindak Pidana Psikotropika di Kota Jayapura Berdasarkan Kelompok Umur Tahun 2010- 2012 Tahun Jumlah 2010 2011 2012 1. Kurang dari 12 Tahun 1 1 2. 12-18 Tahun 1 2 3 6 3. 19-25 Tahun 6 8 7 21 4. 26-35 Tahun 5 6 5 16 5. 35 Tahun Ke atas 2 4 2 8 TOTAL 14 21 17 52 Sumber: Kepolisian Resor Kota Jayapura, Januari 2013. No. Kelompok Umur
JURNAL PENELITIAN MAHASISWA FAKULTAS HUKUM “MIX LAW” Volume 1 Nomor 1, Februari 2013 UNIVERSITAS YAPIS PAPUA - JAYAPURA
% 1,92 11,54 40,38 30,77 15,39 100
159
Berdasarkan Tabel 4.3. terungkap bahwa pelaku tindak pidana psikotropika di Kota Jayapura sangat beragam, dan umumnya pelaku tergolong masih masih muda (anak). Pelaku terbanyak dilakukan oleh kelompok umur antara 19 sampai 25 tahun, yaitu sebanyak 21 kasus (40,38%) kedua kelompok umur 26 sampai 35 tahun yaitu sebanyak 16 kasus (30,77%), ketiga kelompok umur 35 tahun ke atas yaitu sebanyak 8 kasus (15,39%), kempat kelompok umur 12 sampai 18 tahun yaitu sebanyak 6 kasus (11,54%), dan yang paling sedikit adalah kelompok umur kurang dari 12 tahun yaitu sebanyak 1 kasus (1,92%), Tabel 4.4. Jumlah Pelaku Tindak Pidana Psikotropika di Kota Jayapura Berdasarkan Tingkat Pendidikan Tahun 2010- 2012 Tahun Jumlah 2010 2011 2012 1. Tidak Tamat SD 1 1 2 2. SD 2 2 1 5 3. SLTP 4 6 2 12 4. SMU 5 8 12 25 5. Sarjana 3 4 1 8 Jumlah 14 21 17 52 Sumber: Kepolisian Resor Kota Jayapura, Januari 2013. No. Pendidikan
% 3,84 9,62 23,08 48,08 15,38 100
Berdasarkan Tabel 4.4. terungkap bahwa pelaku tindak pidana psikotropika yang terjadi di Kota Jayapura didominasi oleh pelaku yang berpendidikan tingkat SMU. Hal ini dapat dijelaskan bahwa pelaku lebih banyak dilakukan oleh pelaku yang berpendidikan SMU, yaitu tahun 2010 berjumlah 5 orang, tahun 2011 menjadi 8 orang dan tahun 2012 bertambah menjadi 12 orang, sehingga secara keseluruhan selama 3 tahun tingkat pendidikan SMU posisinya tertinggi berjumlah 25 orang (48,08%), sedangkan yang paling sedikit dilakukan oleh pelaku yang berpendidikan tidak tamat SD, yaitu 2 orang (3,84%), yang masing-masing 1 orang pada Tahun 2009 dan Tahun 2010. Tabel 4.5. Jumlah Pelaku Tindak Pidana Psikotropika di Kota Jayapura Berdasarkan Status/Pekerjaan Tahun 2010- 2012 Tahun Jumlah 2010 2011 2012 1. Tidak Bekerja 4 6 5 15 2. Swasta 2 4 3 9 3. PNS 2 3 1 6 4. TNI/POLRI 1 1 5. Pelajar/Mahasiswa 6 7 8 21 Jumlah 14 21 17 52 Sumber: Kepolisian Resor Kota Jayapura, Januari 2013. No. Status/Pekerjaan
JURNAL PENELITIAN MAHASISWA FAKULTAS HUKUM “MIX LAW” Volume 1 Nomor 1, Februari 2013 UNIVERSITAS YAPIS PAPUA - JAYAPURA
% 28,85 17,31 11,54 1,92 40,38 100
160
Berdasarkan Tabel 4.5. terungkap bahwa pelaku tindak pidana psikotropika di Kota Jayapura didominasi mereka yang berstatus masih pelajar/mahasiswa, yaitu pada tahun 2010 sebanyak 6 orang, tahun 2011 sebanyak 7 orang, dan pada tahun 2012 jumlahnya 8 orang. Dengan demikian selama periode Tahun 2010 sampai bulan Juni 2012 jumlah pelaku tindak pidana psikotropika yang paling banyak stauts pelajar/mahasiswa sebanyak 21 kasus (40,38%), kedua pelaku yang berstatus tidak bekerja sebanyak 15 kasus (28,85%), ketiga pelaku yang berstatus swasta sebanyak 9 kasus (17,31%), keempat pelaku yang berstatus Pegawaui Negeri Sipil (PNS) sebanyak 6 kasus (11,54%), sedangkan jumlah yang paling sedikit adalah kelompok pelaku yang berstatus anggota TNI/Polri yaitu sebanyak 1 kasus (1,92%). Realita sosial yang terjadi di dalam masyarakat menunjukkan bahwa semakin meningkatnya tindak pidana penganiayaan dengan berbagai cara dan aksi, maka untuk menanggulanginya diperlukan upaya penegakan hukum dengan menggunakan hukum pidana pidana sebagai salah satu cara untuk mengatasi permasalahan yang terjadi. Oleh karena itu fungsionalisasi dan aktualisasi penegakan hukum harus mempunyai rasa keadilan guna mengatasi tindak pidana penganiayaan ini. Pokok dibentuknya kejahatan ini adalah perlindungan hukum atau jaminan kepercayaan atas kebenaran sesuatu yang ditujukan bagi masyarakat dan Negara. Hukum pada dasarnya dibuat untuk mengatur tingkah laku manusia sehingga dalam bekerjanya perlu adanya upaya penegakan hukum (law enfercement). Upaya penegakan hukum memberikan arti adanya upaya untuk menjaga agar keberadaan hukum diakui di dalam suatu masyarakat dan dapat tetap ditegakkan. Upaya tersebut pada dasarnya harus menjamin agar setiap warga Negara mematuhi hukum yang berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan. Secara konsepsional, inti dari penegakan hukum terletak pada kegiatan menyerasikan hubungan nilai-nilai yang terjabarkan dalam kaidah-kaidah yang mantap dan mengejawantah sikap sebagai rangkaian penjabaran nilai tahap akhir, untuk menciptakan, memelihara, dan mempertahankan kedamaian hidup.13 Menurut Satjipto Rahardjo, penegakan hukum pada hakikatnya merupakan perwujudan ide-ide (ide kepastian hukum, ide kemanfaatan, dan ide ide keadilan) yang bersifat abstrak menjadi kenyataan. Tiga unsur yang perlu diperhatikan dalam penegakan hukum, yaitu: 14 (1). Kepastian hukum, kepastian hukum merupakan perlindungan yustisiabel terhadap tindakan sewenang-wenang, yang berarti bahwa seseorang akan dapat memperoleh sesuatu yang diharapkan dalam keadaan tertentu. Masyarakat mengharap adanya kepastian hukum karena dengan adanya kepastian hukum masyarakat akan lebih tertib. (2). Kemanfaatan, hukum adalah untuk manusia, maka pelaksanaan hukum atau penegakan hukum harus memberi manfaat atau kegunaan bagi masyarakat, jangan sampai timbul kesehatan dalam masyarakat karena pelaksanaan atau penegakan hukum. (3). Keadilan, hukum itu tidak identik dengan keadilan, hukum itu bersifat umum, mengikat setiap orang, bersifat menyamaratakan. Sebaliknya keadilan bersifat subyektif, individualistis, dan tidak menyamaratakan.
13
Soerjono Soekanto. 2000. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. Hal 3. 14 Satjipto Rahardjo. Tanpa tahun. Masalah Penegakan Hukum Suatu Tinjauan Filosofis. Bandung: Sinar Baru. Hal 15. JURNAL PENELITIAN MAHASISWA FAKULTAS HUKUM “MIX LAW” Volume 1 Nomor 1, Februari 2013 UNIVERSITAS YAPIS PAPUA - JAYAPURA
161
Upaya penegakan hhukum harus ada kompromi secara proporsional dan seimbang dari ketiga unsure diatas, meskipun dalam praktek tidak mudah untuk mengusahakannya. Usaha untuk mewujudkan hukum sebagai ide-ide ternyata membutuhkan organisasi yang cukup kompleks, meliputi pengadilan, kebijakan, kepolisian, pemasyarakatan dan juga badan perundang-undangan. Organisasi menjamin proses-proses yang berlangsung sebagai upaya penegakan hukum didalamnya, dan masyarakat akan menerima perwujudan dan tujuan-tujuan hukum. Organisasi tersebut perlu mempunyai suatu tingkat otonomi tertentu untuk mengelola sumber-sumber daya yang tersedia dalam rangka mencapai tujuan organisasi. Sumber daya ini berupa: (1). Sumber Daya Manusia, seperti hakim, polisi, jaksa, panitera. (2). Sumber Daya Fisik, seperti gedung, perlengkapan kendaraan. (3). Sumber Daya Keuangan, seperti belanja Negara dan sumber lain. (4). Sumber Daya selebihnya yang dibutuhkan untuk menggerakkan organisasi dalam usaha mencapai tujuannya. Inti dan arti penegakan hukum terletak pada kegiatan menyerasikan nilai-nilai yang terjabarkan didalam kaidah-kaidah yang mantap dan mengejawantah dan sikap tindak sebagai rangkaian penjabaran nilai tahap akhir, untuk menciptakan, memelihara, dan mempertahankan kedamaian pergaulan hidup. Kaidah-kaidah tersebut menjadi pedoman bagi perilaku atau sikap tindak yang dianggap pantas atau yang seharusnya. Tujuannya adalah untuk menciptakan, memelihara, dan mempertahankan kedamaian. Dengan kata lain, penegakan hukum dalam masyarakat berarti membicarakan daya kerja hukum dalam mengatur dan memaksa masyarakat untuk taat kepada hukum. Penegakan hukum tidak terjadi dalam masyarakat karena ketidakserasian antara nilai, kaidah, dan pola perilaku. Karenanya, permasalahan dalam penegakan hukum terletak pada faktor-faktor yang mempengaruhi penegakan hukum itu sendiri. Menurut Soerjono Soekanto faktor-faktor yang mempengaruhi penegakan hukum adalah: 1. Faktor hukumnya sendiri (undang-undangnya). 2. Faktor penegak hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk maupun menerapkan hukum. 3. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum. 4. Faktor masyarakat, yakni lingkungan dimana hukum tersebut berlaku atau diterapkan. 5. Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup. 15 Kelima faktor yang saling berkaitan di atas, merupakan esensi dari penegakan hukum, serta juga tolok ukur efektivitas penegakan hukum. Faktor penegakan hukum tersebut dapat diuraikan sebagai berikut:
1. Faktor Hukum. Suatu aturan hukum harus memenuhi 2 (dua) asas agar hukum itu dapat dijalankan dan dipatuhi oleh masyarakat yaitu asas pembentukan hukum dan asas 15
Soerjono Soekanto, Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, 1993, hlm. 5. JURNAL PENELITIAN MAHASISWA FAKULTAS HUKUM “MIX LAW” Volume 1 Nomor 1, Februari 2013 UNIVERSITAS YAPIS PAPUA - JAYAPURA
162
2.
3.
4.
5.
berlakunya kekuatan hukum. Gangguan terhadap penegakan hukum yang berasal dari undang-undang, kemungkinan disebabkan karena: (a) Tidak diikutkannya asas-asas berlakunya undang-undang yang mengakibatkan tidak adanya kepastian hukum; (b) Belum adanya peraturan pelaksanaan yang dibutuhkan untuk menerapkan undang-undang; (c) Ketidakjelasan arti kata-kata di dalam undangundang yang mengakibatkan kesimpangsiuran didalam penafsiran maupun penerapannya. Faktor Penegak Hukum Ruang lingkup dari istilah “penegakan hukum” disini dibatasi yaitu mencakup mereka yang secara langsung berkecimpung di bidang penegakan hukum saja yang tidak hanya mencakup Law enforcement akan tetapi juga Peace Maintenance kalangan tersebut mencakup kehakiman, kejaksaan, kepolisian, kepengacaraan, dan pemasyarakatan. Faktor Sarana atau Fasilitas Sarana atau fasilitas yang dimaksud mencakup tenaga manusia yang berpendidikan dan terampil, organisasi yang baik, peralatan yang memadai, keuangan yang cukup dan lain-lain. Sarana atau fasilitas mempunyai peranan yang sangat penting dalam penegakan hukum. Tanpa adanya sarana atau fasilitas tertentu, maka tidak mungkin penegakan akan berlangsung dengan lancar dan mencapai tujuan. Sarana atau fasilitas tersebut antara lain mencakup tenaga manusia yang berpendidikan dan terampil, organisasi yang baik, peralatan yang memadai, keuangan yang cukup dan seterusnya. 16 Faktor Masyarakat Penegakan hukum berasal dari masyarakat dan bertujuan untuk mencapai kedamaian didalam masyarakat. Kesadaran masyarakat terhadap hukum belum terbangun dengan baik. Disamping itu, sebagian masyarakat masih mengalami krisis kepercayaan kepada hukum dan aparat penegak hukum. Pendapat-pendapat masyarakat mengenai hukum ikut mempengaruhi penegakan hukum dan kepastian hukum. Salah satu pendapat masyarakat yaitu mengenai arti hukum yang dianggap identik dengan petugas (penegak hukum sebagai pribadi). Pendapat tersebut menyebabkan masyarakat akan menaati hukum jika ada petugas. Faktor Kebudayaan Kebudayaan adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia untuk memenuhi kehidupannya dengan cara belajar yang semuanya tersusun dalam kehidupan bermasyarakat. Hukum harus dibuat sesuai dengan kondisi masyarakat dan tidak boleh bertentangan dengan kebudayaan yang hidup dalam masyarakat. Kebudayaan yang berkembang di Indonesia sangat beragam, setiap daerah terdiri dari suku bangsa dengan bahasa dan adat istiadat yang berbeda dengan suku bangsa daerah lain. Kemajemukan ini berpengaruh terhadap usaha penegakan hukum di Indonesia. Ketentuan yang diatur dalam suatu perundang-undangan dapat berlaku bagi suatu daerah, tetapi belum tentu bisa berlaku di daerah lain.
16
Ibid., hlm. 37. JURNAL PENELITIAN MAHASISWA FAKULTAS HUKUM “MIX LAW” Volume 1 Nomor 1, Februari 2013 UNIVERSITAS YAPIS PAPUA - JAYAPURA
163
Faktor Penyebab Terjadi Tindak Pidana Psikotropika Di Kota Jayapura Kejahatan ditinjau dari aspek kriminologis tidak pernah disebabkan oleh satu faktor melainkan banyak faktor yang saling berkaitan. Hal ini senada dengan pendapat Sahetapy, bahwa kejahatan yang muncul tidak pernah disebabkan oleh faktor tunggal, melainkan multi faktor. Kemajuan teknologi dan ilmu pengetahuan, perkembangan penduduk, struktur masyarakat, perubahan nilai dan sosial budaya turut mempengaruhi dan memberikan dampak tersendiri terhadap sifat, bentuk, jumlah dan modus operandi kejahatan.17 Di samping itu pula tidak dapat diabaikan adalah faktor lemahnya perangkat hukum yang ada dan penegakannya, serta faktor ekonomi yang sampai saat ini masih dijadikan sebagai alasan klasik pelaku untuk melakukan kejahatan pada umumnya, dan khususnya kejahatan psikotropika. Hal ini memberikan pemahaman bahwa seseorang melakukan kejahatan itu tidak hanya dipengaruhi oleh satu faktor saja, melainkan beberapa faktor yang saling berkaitan satu sama lain. Seseorang dalam melakukan interaksi dengan orang lain cenderung untuk meniru ataupun belajar atas suatu perbuatan, sehingga dari proses ini dapat tercipta suatu perilaku yang menyimpang dari tata aturan yang berlaku. Berdasarkan hasil penelitian terungkap bahwa faktor penyebab terjadi tindak pidana psikotropika di Kota Jayapura 2 (dua) faktor, yaitu (1) faktor internal dan (2) faktor eksternal. 1. Faktor Internal Faktor yang mempengaruhi terjadinya kejahatan psikotropika yaitu faktor yang berasal dari diri si pelaku (intern) dan pengaruh dari luar (ekstern) keduanya saling mempengaruhi. Dari faktor intern ini dapat diperinci sebagai berikut: a. Pembawaan/Tingkah Laku Baik tidaknya pembawaan/tingkah laku seseorang dalam pergaulan sehari-hari pasti mempunyai pengaruh yang besar dalam menciptakan relasi atau hubungan dengan orang lain. Pembawaan/tingkah laku dalam pergaulan hidup sehari-hari yang sifatnya glamor, atau supaya dianggap sebagai "orang yang gaul" akan cenderung berprilaku mengundang perhatian, yang tujuannya tidak lebih untuk mempertahankan gengsi. Perilaku semacam ini semakin lama akan berubah menjadi perilaku yang menyimpang, misalnya sengaja mengkonsumsi obat terlarang. b. Faktor Pekerjaan/Profesi Tidak ada pekerjaan yang mengharuskan untuk melakukan suatu kejahatan, begitu pula dengan pekerjaan misalnya sebagai pramuria atau bar tender. Profesi pramuria atau bar tender adalah suatu profesi yang paling rawan untuk melakukan kejahatan psikotropika. Hal ini disebabkan bahwa untuk dapat dikatakan berhasil, maka pekerjaan pramuria harus dapat melakukan berbagai cara untuk menarik si pelanggan sebanyak mungkin. Kadangkala hanya karena untuk menarik pelanggan seorang 17
Tubagus Ronny Rachman Nitibaskara, Ketika Kejahatan Berdaulat, Peradaban, Jakarta, 2001, h.168. JURNAL PENELITIAN MAHASISWA FAKULTAS HUKUM “MIX LAW” Volume 1 Nomor 1, Februari 2013 UNIVERSITAS YAPIS PAPUA - JAYAPURA
164
pramuria dapat melakukan kejahatan, misalnya dengan sengaja menawarkan jenis psikotropika kepada si pelanggan, atau melakukan transaksi sesama teman kerja. c. Faktor Pendidikan Tidak dapat disangkal bahwa pendidikan seseorang mempunyai pengaruh yang sangat besar bahkan dapat menentukan pembawaan seseorang. Rendahnya pendidikan seseorang dapat menjadi salah satu penyebab orang tersebut tidak dapat menempatkan diri dalam pergaulannya secara baik dan benar, disamping itu dalam bertindak kurang didukung oleh perkembangan ratio. Walaupun hal tersebut sifatnya tidak mutlak, namun secara rational karena kurangnya pengetahuan tentang etika pergaulan menyebabkan seseorang dapat bergaul secara sembarangan, tidak menempatkan diri sebagai individu yang mempunyai kepribadian disegani. d. Faktor Ekonomi Dalam banyak hal faktor ekonomi banyak menyebabkan timbulnya kejahatan psikotropika, bahkan dapat dikatakan bahwa adanya kesenjangan sosial antara yang kaya dan yang miskin adalah salah satu sebab terjadi kejahatan psikotropika. Tingkat ekonomi yang rendah dari seseorang dapat menjadi penyebab orang tersebut melakukan kejahatan psikotropika guna memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari. Ada indikasi yang walaupun hal ini bersifat relatif bahwa orang yang tidak mampu secara ekonomi dan tidak mempunyai pekerjaan secara tetap dapat lebih mudah diajak untuk melakukan kejahatan, apalagi hasil dari kejahatan tersebut tergolong mudah dan memperoleh keuntungan yang sangat besar. Berdasarkan hasil wawancara dengan para pelaku kejahatan psikotropika di Polres Jayapura terungkap bahwa para pelaku pada umumnya melakukan kejahatan psikotropika ini terdorong oleh adanya tuntutan ekonomi yang mendesak, dan faktor keuntungan yang akan dicapainya. e. Faktor Agama Ketaatan seseorang terhadap agama mempunyai nilai yang sangat besar dan tersendiri dalam kehidupan seseorang. Karena dengan nilai-nilai agamalah seseorang mampu berbuat arif dan bijaksana serta menghindari perbuatan-perbuatan tercela (takut akan dosa). Dengan nilai-nilai agama manusia dapat membedakan yang baik dan tidak baik, yang boleh dan tidak boleh dilakukan, bahkan dengan nilai-nilai agama manusia akan dapat mencapai kesempurnaan dan kedamaian batiniah. Agama diakui sebagai salah satu sarana pengendali yang paling ampuh menjadi patokan hidup beriman. Agama merupakan salah satu social control yang utama melalui organisasi-organisasi keagamaan. Selain itu agama itu sendiri dapat menentukan tingkah manusia sesuai atau tidak dengan nilai-nilai keagamaan. Dari pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa agama menempati peranan yang sangat penting dan utama dalam kehidupan manusia sehingga orang yang memandang sepele nilai-nilai agama akan
JURNAL PENELITIAN MAHASISWA FAKULTAS HUKUM “MIX LAW” Volume 1 Nomor 1, Februari 2013 UNIVERSITAS YAPIS PAPUA - JAYAPURA
165
lebih mudah untuk melakukan kejahatan ataupun tergoda untuk melakukan kejahatan psikotropika. 2. Faktor Eksternal Faktor eksternal adalah faktor yang berasal dari luar si pelaku. Faktor eksternal ini dapat diperinci sebagai berikut: a. Tempat/lokasi Keadaan suatu lingkungan dalam banyak segi menjadi salah satu sebab terjadinya kejahatan, termasuk sebab terjadinya kejahatan psikotropika. Faktor lingkungan disini dikaitkan dengan tempat terjadinya tindak pidana (locus delicti). Suatu lingkungan yang ditata secara baik, tertib serta mudah diawasi baik oleh penduduk setempat/aparat keamanan akan mempersempit dilakukannya kejahatan. Berbeda dengan tempat yang misalnya tidak ada pos keamanan lingkungan, di tempat-tempat hiburan seperti bar atau diskotik, dan di tempat-tempat prostitusi atau lokalisasi, hampir dapat dipastikan bahwa peluang untuk terjadi kejahatan khususnya psikotropika akan lebih besar. b. Pergaulan Faktor pergaulan adalah faktor yang penting pula untuk mendorong seseorang melakukan kejahatan. Tidak sedikit para orang tua yang mengeluhkan tentang kenakalan anaknya, yang bermula dari pergaulannya yang kurang mendapatkan pengawasan dari orang tuanya, akhirnya menjadi pecandu psikotropika. Pergaulan antar teman yang akrab memang menyenangkan, tetapi apabila pergaulan yang dilakukan tersebut sudah melewati batas kewajaran atau sudah cenderung ke arah pada suatu kejahatan, maka hal ini harus sejauhmungkin dihindari. c. Lingkungan menyangkut teman sebaya, orang tua, dan remaja (individu) itu sendiri. Pada masa remaja, teman sebaya menduduki peran utama pada kehidupan mereka, bahkan menggantikan peran keluarga/orang tua dalam sosialisasi dan aktivitas waktu luang dengan hubungan yang bervariasi dan membuat norma dan sistim nilai yang berbeda. Faktanya: (a) Pada masa remaja terjadi jarak fisik dan Psikologis yang cendrung berakibat penurunan kedekatan emosi,dan kehangatan, bahkan cendrung timbul konflik remaja denganorang tua. (b) Konflik keluarga membuat remaja tergantung pada teman sebaya uantuk dukungan emosi. Dengan kata lain bahwa perilaku jahat merupakan sesuatu yang dipelajari dalam hubungan akrab, sebab perilaku itu mendatangkan kenikmatan (favourable) dan terpisah dari mereka yang menyatakan bahwa perilaku demikian mendatangkan penderitaan (unfavourable). Seseorang akan terlibat dalam perilaku itu apabila bobot pemahamannya tentang kenikmatan perilaku tersebut lebih berat daripada pemahamannya bahwa perilaku itu mendatangkan penderitaan.18 d. Faktor coba-coba
18
Paulus Hadisuprapto, Kejahatan Ekonomi dan Antisipasinya, Jurnal Hukum Pidana dan Kriminologi, Citra Aditya Bhakti, Bandung, 1998, h.114. JURNAL PENELITIAN MAHASISWA FAKULTAS HUKUM “MIX LAW” Volume 1 Nomor 1, Februari 2013 UNIVERSITAS YAPIS PAPUA - JAYAPURA
166
Faktor coba-coba ini sering dijadikan tameng atau alasan bagi para pelaku kejahatan psikotropika untuk mengelabuhi polisi atau paling tidak nantinya dapat meringankan hukuman yang akan dijatuhkan kepada para pelaku. Dalam prakteknya pada saat ditangkap oleh polisi para pelaku lebih senang memberikan keterangan bahwa pelaku baru pertama kali melakukan kejahatan psikotropika ini, dan itupun karena ingin tahu atau ingin coba-coba merasakan. PENUTUP Kesimpulan 1. Penegakan hukum terhadap pelaku tindak pidana psikotropika di Kota Jayapura sudah berjalan sesuai dengan koridor peraturan perundang-undangan yang berlaku yaitu KUHAP, dan pelaku yang terbukti melakukan tindak pidana psikotropika telah ditindak, diproses dan selanjutnya berkas perkara diserahkan ke kejaksaan untuk proses persidangan di Pengadilan Negeri. 2. Faktor-faktor penyebab terjadinya kejahatan psikotropika di Kota Jayapura dikelompokkan dalam faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal terjadi karena pelaku terbawa oleh pembawaan/tingkah lakunya, dipengaruhi oleh karena pekerjaan, faktor pendidikan, faktor ekonomi, dan faktor agama. Sedangkan faktor eksternal terjadi karena faktor tempat/lokasi, pergaulan, dan faktor coba-coba. Saran 1. Kepada Kepolisian Resor Kota Jayapura hendaknya menambah jumlah personilnya dan menambah/memperbaiki sarana dan fasilitas agar penegakan hukum dapat dilaksanakan dengan optimal. 2. Kepada warga masyarakat di Kota Jayapura hendaknya ikut aktif menjalin kerjasama dengan aparat kepolisian dalam mencegah dan menanggulangi tindak pidana psikotropika hendaknya masyarakat selalu berhati-hati agar tidak menjadi pelaku dan sekaligus korban psikotropika.
DAFTAR PUSTAKA Ali, H. Zainuddin, Metode Penelitian Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, 2010; Arief, Barda Nawawi, Penanggulangan Kejahatan, PT. Eresco, Bandung, 1991; ---------, Upaya Non Penal dalam Kebijakan Penanggu-langan Kejahatan, Bahan Seminar Kriminologi VI, Semarang, 1991; Badan Narkotika Nasional Republik Indonesia, Materi Advokasi Pencegahan Narkoba, Jakarta, 2005; Bassar, M. Soedradjat, Tindak-tindak Pidana Tertentu, CV. Remaja Karya, Bandung, 1984; Chazawi, Adami, Pelajaran Hukum Pidana Bagian I. PT.Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002; Harian Cenderawasih Pos, Jum’at, 15 Desember 2011;
JURNAL PENELITIAN MAHASISWA FAKULTAS HUKUM “MIX LAW” Volume 1 Nomor 1, Februari 2013 UNIVERSITAS YAPIS PAPUA - JAYAPURA
167
Joenoes, Nanizar Zaman, Masalah Penyalahgunaan Obat, Surabaya Intelektual Club, Surabaya, 1984; Lamintang, P.A.F., Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 1997; Moeljatno, Azas-azas Hukum Pidana, PT. Bina Aksara, Jakarta, 1985; Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-teori dan Kebijakan Pidana, Alumni, Bandung, 1992; Prodjomidjojo, Martiman, Memahami Dasar -Dasar Hukum Pidana Indonesia I, Pradnya Pramita, Jakarta, 1995; Saleh, K. Wantjik, Tindak Pidana Korupsi dan Suap, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1983; Sangadji, Etta Mamang dan Sopiah, Metodologi Penelitian, Penerbit ANDI, Yogyakarta, 2010; Sasangka, Hari, Narkotika dan Psikotropika, Dalam Hukum Pidana, Sinar Grafika, Jakarta, 2003; Subekti, R. dan Tjitrosoedibio, Kamus Hukum, Pradnya Pramita, Jakarta, 2005; Sudarto, Hukum Pidana I, Yayasan Sudarto, Semarang, 1990; Suparmanto, Gatot, Hukum Narkoba Indonesia, Jambatan, Jakarta, 2001. PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN : Undang-undang Narkotika dan Psikotropika, 1999. Sinar Grafika, Jakarta.
JURNAL PENELITIAN MAHASISWA FAKULTAS HUKUM “MIX LAW” Volume 1 Nomor 1, Februari 2013 UNIVERSITAS YAPIS PAPUA - JAYAPURA