ANALISIS PERTIMBANGAN HUKUM HAKIM DALAM PENJATUHAN PIDANA DI BAWAH MINIMUM TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA KESUSILAAN (Perkara No.107/Pid.Sus/2015/PN.MET)
(Jurnal)
Oleh L. Hendi Permana Email :
[email protected]
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG BANDAR LAMPUNG 2016
ABSTRAK ANALISIS PERTIMBANGAN HUKUM HAKIM DALAM PENJATUHAN PIDANA DI BAWAH MINIMUM TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA KESUSILAAN (Perkara No.107/Pid.Sus/2015/PN.MET) Oleh L. HENDI PERMANA Kasus yang diputus di bawah minimum yang diatur dalam Undang-Undang adalah kasus kesusilaan yang diputus di Pengadilan Negeri Metro No.107/Pid.Sus/2015/PN.MET. Terdakwa dituntut Pasal 81 Ayat (2) UU RI No.35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas UU RI No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Permasalahan penelitian ini adalah bagaimanakah dasar pertimbangan hukum hakim dalam penjatuhkan pidana di bawah minimum terhadap pelaku tindak pidana kesusilaan pada perkara No.107/Pid.Sus/2015/PN.MET dan apakah putusan hakim dalam perkara No.107/Pid.sus/2015/PN.MET sesuai dengan rasa keadilan. Pendekatan penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif dan yuridis empiris. Data yang digunakan adalah data primer yang diperoleh dengan wawancara langsung serta data sekunder yang diperoleh melalui literatur-literartur maupun peraturan-peraturan dan norma-norma yang berhubungan dengan masalah pada skripsi ini. Kemudian dianalisis secara deskriptif kualitatif yaitu menguraikan data secara bermutu dalam bentuk kalimat yang teratur, logis dan efektif sehingga memudahkan interprestasi data dan pemahaman hasil analisis guna menjawab permasalahan yang ada. Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dapat disimpulkan bahwa dasar pertimbangan hukum hakim dalam penjatuhan pidana di bawah pidana minimum terhadap pelaku tindak pidana kesusilaan pada perkara No.107/Pid.Sus/2015/PN.MET lebih ditekankan kepada asas keadilan dan fakta-fakta dalam persidangan. Segala aspek dalam persidangan harus diperhatikan mulai dari aspek yuridis dan non yuridis demi mewujudkan suatu keadilan yang benar-benar diharapkan oleh masyarakat, meskipun keadilan sifatnya relatif karena berbeda dari sudut pandang satu dengan yang lainnya. Juga dalam puusan hakim harus mengandung tiga aspek yuridis, filosofis, dan sosiologis sehingga keadilan yang ingin dicapai, diwujudkan, dan dipertanggungjawabkan dalam putusan hakim adalah keadilan yang berorientasi pada keadilan hukum, keadilan moral, dan keadilan masyarakat. Keadilan masyarakat dalam perkara No.107/Pid.Sus/2015/PN.MET, bahwa hakim dapat menjatuhkan pidana di bawah minimum berdasarkan asas keadilan dan keadaan yang melingkupinya, karena hakim yang menjatuhkan putusan lebih dekat kepada asas kepastian hukum, maka secara otomatis hakim akan menjauh dari titik keadilan. Sebaliknya, kalau hakim
menjatuhkan putusan lebih dekat mengarah kepada keadilan, maka secara otomatis pula hakim akan menjauhi titik kepastian hukum. Dengan suatu pertimbangan yang bernalar, seorang hakim akan menentukan kapan dirinya berada di dekat titik kepastian hukum, dan kapan harus berada di dekat titik keadilan. Saran dalam penelitian ini adalah setiap pelaku tindak pidana kesusilaan terhadap anak seharusnya dihukum dengan hukuman yang maksimal, sehingga memberikan efek jera kepada pelaku dan sebagai pembelajaran bagi pihak lain dan bagi aparat penegak hukum disarankan untuk lebih intens dalam menangani masalah perlindungan hukum kepada anak, orang tua dan masyarakat luas pada umumnya, hendaknya semakin meningkatkan pengawasan dan kontrol terhadap lingkungan dan tempat bermain anak. Kata Kunci: Penjatuhan Pidana, Di Bawah Minimum, Tindak Pidana Kesusilaan
I.
PENDAHULUAN
Setiap pelaku tindak pidana kesusilaan seharusnya dihukum dengan hukuman yang maksimal, sehingga memberikan efek jera kepada pelaku dan sebagai pembelajaran bagi pihak lain, pada kenyataannya majelis hakim menjatuhkan pidana di bawah ancaman minimal terhadap pelakupencabulan dapat ditempuh dengan strategi mengutamakan hak anak dalam semua kebijakan dan program pemerintah dan masyarakat, memberdayakan anak sebagai subyek dari hak-haknya dalam menentang pencabulan, serta menyediakan akses pelayanan dasar bagi anak di bidang pendidikan, kesehatan dan kesejahteraan sosial. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 masih belum mampu secara optimal dalam memberikan perlindungan kepada anak, bahkan jumlah anak yang menjadi korban pencabulan mengalami peningkatan. Padahal undang-undang ini telah mengatur secara rinci sanksi pidana terhadap pelaku pencabulan dan pelanggar hak-hak anak lainnya, namun demikian pada pelaksanaannya sanksi tersebut tidak sepenuhnya memberikan efek jera kepada pelaku dan aparat penegak hukum seharusnya mengoptimalkan upaya perlindungan hukum kepada anak sebagai korban tindak pidana kesusilaan. Upaya memberikan perlindungan kepada anak-anak yang menjadi korban tindak pidana kesusilaan dapat dilakukan dengan mengembangkan sistem dan mekanisme perlindungan hukum dan sosial bagi bagi anak yang beresiko atau menjadi korban tindak pidana kesusilaan. Selain itu sangat penting pula dilakukan upayapemulihan terhadap anak korban tindak pidana kesusilaan. Caranya antaralain dengan mengutamakan pendekatan yang baik kepada anak yang
menjadi korban tindak pidana kesusilaandalam keseluruhan prosedur perundangan, memberi pelayanan medis, psikologis terhadap anak dan keluarganya, mengingat anak yang menjadi korban biasanya mengalami trauma yang akan berpotensi mengganggu perkembangan kejiwaan mereka. Kehidupan bermasyarakat setiap orang tidak dapat terlepas dari berbagai hubungan timbal balik dan kepentingan yang saling terkait antara yang satu dengan yang lainya yang dapat di tinjau dari berbagai segi, misalnya segi agama, etika, sosial budaya, politik, dan termasuk pula segi hukum. Ditinjau dari kemajemukan kepentingan seringkali menimbulkan konflik kepentingan, yang pada akhirya melahirkan apa yang dinamakan tindak pidana. Untuk melindungi kepentingankepentingan yang ada tersebut, maka di buat suatu aturan dan atau norma hukum yang wajib ditaati.Terhadap orang yang melanggar aturan hukum dan menimbulkan kerugian kepada orang lain akan diambil tindakan berupa ganti kerugian atau denda, sedang bagi seorang yang telah melakukan tindak pidana akan dijatuhi sanksi berupa hukuman baik penjara, kurungandan atau denda. Uraian di atas menunjukkan adanya pembangunan di bidang hukum yang merespon kompleksnya fenomena hukum termasuk maraknya kejahatan/ kriminalitas yang terus terjadi seiring dengan perkembangan zaman, ilmu pengetahuan dan teknologi. Pemerintah Indonesia melalui badan dan atau instansi-instansi beserta aparatur penegak hukum (Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan dan Lembaga Permasyarakatan) diharapkan mampu melaksanakan upaya penegakan hukum yang nyata dan dapat di pertanggung-
jawabkan sesuaidengan peraturan hukum yang berlaku agar tatanan kehidupan bermasyarakat dan berbangsa yang aman dan tertib dapat di capai semaksimal mungkin. Fenomena yang melatar belakangi penelitian ini adalah aturan hukum tidak selalu dijadikan acuan bagi pembelaan terhadap anak yang menjadi korban tindak pidana kesusilaan. Sementara itu disisi lain penegak hukum sangat terikat pada asas legalitas, sehingga undangundang dibaca sebagaimana huruf-huruf itu berbunyi, dan sangat sulit memberikan interpretasi yang berbeda bahkan ketika harus berhadapan dengan kasus-kasus yang berkaitan erat dengan nilai-nilai kemanusiaan dan tidak jarang, kasus-kasus kekerasan terhadap anak terkena imbas dari sistem peradilan yang tidak netral, seperti misalnya terkait persoalan politik dan uang. Diharapkan dapat muncul pemikiranpemikiran baru dan terobosan-terobosan yang dapat memberikan perlindungan yang memadai bagi para pencari keadilan. Sebagai contoh perkara tindak pidana pencabulan terhadap anak yang dilakukan oleh lelaki dewasa adalah Perkara Nomor 107/Pid.Sus/2015/PN. MET. Terdakwa bernama Dedi Setiadi Alias Katel (23 tahun) terbukti secara sah dan meyakinkan telah melakukan tindak pidana kesusilaan terhadap korban Restu Safitri (13 tahun), sebagaimana dimaksud dalam Pasal 81 Ayat (2) Undang-Undang No.35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas UndangUndang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak: a. Setiap orang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain, dipidana dengan pidana
penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah). b. Ketentuan pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berlaku pula bagi setiap orang yang dengan sengaja melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain. Sesuai dengan ketentuan Pasal 81 ayat (2) Undang-Undang No.35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak maka seharusnya terdakwa dipidana minimal paling singkat 5 (lima) tahun penjara, tetapi pada kenyataannya Majelis Hakim hanya menjatuhkan pidana penjara selama 4 (empat) tahun penjara terhadap terdakwa, dikurangi dengan masa tahanan. Hal ini menunjukkan adanya kesenjangan antara peraturan perundang-undangan dengan pelaksanaannya di lapangan. Berdasarkan latar belakang masalah tersebut penulis tertarik untuk melakukan penelitian dalam skripsi yang berjudul: “Analisis Dasar Pertimbangan Hukum Hakim dalam Penjatuhan Pidana Di Bawah Minimum Terhadap Pelaku Tindak Pidana Kesusilaan (Perkara No. 107/Pid.Sus/ 2015/PN.MET)” Untuk menguraikan lebih lanjut dalam bentuk pembahasan yang bertitik tolak dari latar belakang, maka yang jadi permasalahan dalam hal ini adalah sebagai berikut: a. Apakah yang menjadi pertimbangan hukum hakim dalam penjatuhan pidana di bawah minimum terhadap pelaku tindak pidana kesusilaan ?
b. Apakah putusan hakim dengan rasa keadilan ?
sesuai
Metode sangat penting untuk menentukan keberhasilan penelitian agar dapat bermanfaat dan berhasil guna dapat memecahkan masalah yang akan dibahas berdasarkan data yang dapat dipertanggungjawabkan. Metode adalah cara kerja untuk memahami objek yang menjadi tujuan dan sasaran penelitian. Pendekatan masalah yang digunakan dalam penelitian ini yaitu dengan cara pendekatan yuridis normatif dan pendekatan yuridis empiris. Pendekatan yuridis normatif dilakukan dengan mempelajari, melihat dan menelaah mengenai beberapa hal yang bersifat teoritis yang menyangkut asas-asas hukum, konsepsi,pandangan, doktrindoktrin hukum, peraturan hukum dan sistem hukum yang berkenaan dengan permasalahan penelitian ini.1 Pendekatan yuridis normatif dimaksudkan untuk memperoleh pemahaman tentang pokok bahasan yang jelas mengenai gejala dan objek yang sedang diteliti yang bersifat teoritis berdasarkan atas kepustakaan dan literatur yang berkaitan dengan pembahasan penelitian. Pendekatan yuridis empiris dilakukan untuk mempelajari hukum dalam kenyataan atau berdasarkan fakta yang didapat secara objektif di lapangan, baik berupa pendapat, sikap dan perilaku aparat penegak hukum yang didasarkan pada identifikasi hukum dan efektifitas hukum.2
II. PEMBAHASAN A. Dasar Pertimbangan Hukum Hakim dalam Penjatuhan Pidana Di Bawah Minimum terhadap Pelaku Tindak Pidana Kesusilaan (Perkara No.107/Pid.Sus/2015/PN.MET) Mahkamah Agung RI sebagai badan tertinggi pelaksana kekuasaan kehakiman yang membawahi empat badan peradilan dibawahnya telah menentukan bahwa putusan hakim harus mempertimbangkan segala aspek yang bersifat yuridis, filosofis, dan sosiologis.3 Aspek yuridis merupakan aspek pertama dan utama dengan berpatokan pada undang-undang yang berlaku. Hakim sebagai aplikator undangundang harus memahami undangundang dengan mencari undangundang yang berkaitan dengan perkara yang sedang dihadapi. Hakim haris menilai apakah undang-undang itu adil, ada kemanfaatannya atau memberikan kepastian hukum jika ditegakkan, sebab salah satu tujuan hukum itu unsurnya adalah menciptakan keadilan. Aspek filosofis merupakan aspek yang berintikan pada kebenaran dan keadilan, sedangkan aspek sosiologis penerapannya sangat memerlukan pengalaman dan pengetahuan yang luas serta kebijaksanaan yang mampu mengikuti nilai-nilai hukum dalam masyarakat yang terabaikan. Jelas penerapannya sangat sulit karena tidak mengikuti asas legalitas dan tidak terikat pada sistem. Pencantuman ketiga
1
Gadis Arivia. Potret Buram Eksploitasi Kekerasan Seksual pada AnakFord Foundation.Jakarta.2005.hlm.2. 2 Soerjono Soekanto. Pengantar Penelitian Hukum. Rineka Cipta. Jakarta. 1986. hlm.5
33
Mahkamah Agung RI, Pedoman Perilaku Hakim (Code Of Conduct), Kode Etik Hakim dan Makalah berkaitan, Pusdiklat MA RI, Jakarta, 2006,hlm2.
unsur tersebut tidak lain agar putusan dianggap adil dan diterima masyarakat.4 Terpenuhinya ketiga aspek tersebut, maka keadilan yang ingin dicapai, diwujudkan dan dipertanggungjawabkan dalam putusan hakim adalah keadilan yang berotientasi pada keadilan umum, keadilan moral, dan keadilan masyarakat. Keadilan hukum adalah keadilan berdasarkan hukum positif dan peraturan perundangundangan. Dalam arti hakim hanya memutus perkara hanya berdasarkan hukum positif dan peraturan perundangundangan. Dalam menegakkan keadilan ini hakim hanya sebagai pelaksana undang-undang saja, hakim tidak perlu mencari sumber-sumber hukum diluar hukum tertulis dan hakim hanya dipandang menerapkan undang-undang pada perkara-perkara konkret rasional belaka. Dengan kata lain hakim adalah sebagai corong ataupun mulut undangundang. Hakim adalah pejabat peradilan negara yang diberi wewenang oleh undangundang untuk mengadili. Seorang hakim dalam sistem kehidupan masyarakat berkedudukan sebagai penyelesai setiap konflik yang timbul sepanjang konflik atau masalah itu diatur daam peraturan perundangundangan. Melalui hakim, kehidupan manusia yang bermasyarakat hendak dibangun dengan nilai-nilai kemanusiaan. Oleh sebab itu dalam melakukan tugasnya, seorang hakim tidak boleh berpihak, kecuali dalam kebenaran dan keadilan serta nilai-nilai kemanusiaan.5 Suatu proses peradilan berakhir dengan putusan akhir atau vonis. Dalam putusan itu hakim menyatakan pendapat 4
Ibid Wahyu Affandi. 2011. Hakim dan Penegakan Hukum. Bandung. Alumni, hlm.35 5
tentang apa yang telah dipertimbangkan dalam putusannya. Putusan pengadilan adalah pernyataan hakim yang diucapkan dalam sidang terbuka, yang dapat berupa pemidanaan atau bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum dalam hal serta menurut acara yang diatur dalam undang-undang. Kata lain pernyataan hakim mengandung arti bahwa hakim telah menemukan hukum yang menjadi dasar pertimbangan dalam putusannya tersebut baik yang merupakan pemidanaan, bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum. Putusan hakim harus berdasarkan pada surat dakwaan dan segala sesuatu yang terbukti dalam sidang pengadilan. Oleh karena itu, kalaupun dalam merumuskan keputusan nya hakim harus mengadakan musyawarah terlebih dahulu, dalam hal pemeriksaan dilakukan dengan hakim majelis, maka musyawarah tersebut harus pula berdasarkan apa yang didakwakan dan apa yang telah dapat dibuktikan. Hal tersebut berkaitan dengan Pasal 183 KUHAP karena hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila telah dengan sekurangkurangnya terdapat 2 (dua) alat bukti yang sah serta ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang berasalah melakukannya. Bahwa dalam setiap pemeriksaan melalui proses acara pidana, keputusan hakim haruslah selalu didasarkan atas surat pelimpahan perkara yang memuat seluruh dakwaan atas kesalahan terdakwa. Selain itu keputusan hakim juga harus tidak boleh terlepas dari hasil pembuktian selama pemeriksaan dan hasil sidang pengadilan.Memproses
untuk menentukan bersalah tidaknya perbuatan yang dilakukan oleh seseorang, hal ini semata-mata dibawah kekuasaan kehakiman, artinya hanya jajaran departemen inilah yang diberi wewenang untuk memeriksa dan mengadili setiap perkara yang datang untuk diadili. Hakim dalam menjalankan tugasnya dalam menyelesaikan suatu perkara, khususnya perkara pidana tidak jarang kita temui bahwa untuk menyelesaikan satu perkara tersebut memerlukan waktu yang cukup panjang, bisa sampai berminggu-minggu atau bahkan berbulan-bulan dan mungkin bisa sampai satu tahun lamanya baru bisa terselenggara atau selesainya satu perkara di pengadilan. Hambatan atau kesulitan yang ditemui hakim untuk menjatuhkan putusan bersumber dari beberapa faktor penyebab, seperti pembela yang selalu menyembunyikan suatu perkara, keterangan saksi yang terlalu berbelitbelit atau dibuat-buat, serta adanya pertentangan keterangan antara saksi yang satu dengan saksi lain serta tidak lengkapnya bukti materil yang diperlukan sebagai alat bukti dalam persidangan. Sehingga bilamana suatu hukum atau Undang-undang tidak mempunyai tujuan, tentunya acara pegakan hukum dan hak-hak asasi manusiapun akan berjalan dengan suatu ketidakpastian. Oleh sebab itulah di dalam mencapai suatu tujuan tersebut kuncinya terletak pada aparat hukum itu sendiri Sejalan dengan tugas hakim seperti dijelaskan diatas yakni kemampuan untuk menumbuhkan putusan-putusan atau yang dapat diterima masyarakat. Apalagi terhadap penjatuhan putusan bebas yang memang banyak
memerlukan argumentasi konkrit dan pasti, kiranya pantaslah status hakim sebagaimana ditentukan Pasal 1 Undang-undang Nomor 4 tahun 2004 tentang Pokok-pokok Kekuasaan Kehakiman bahwa kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelanggarakan negara hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, demi terselenggaranya negara hukum dan keadilan berdasarkan hukum Indonesia. Peranan hakim dalam menentukan suatu kebenaran melalui proses peradilan tidak lain adalah putusannya itu sendiri. Maksudnya ada tidaknya kebenaran itu ditentukan atau ditetrapkan lewat putusan. Dan didalam hubungan tersebut jelaslah apa yang ditegaskan bahwa untuk menemukan kepastian, kebenaran dan keadilan antara lain akan tampak dalam apa yang diperankan oleh hakim dalam persidangan, sejak pemeriksaan sampai pada putusan pengadilan bahkan sampai eksekusinya.6 Alingga Putra menyatakan, sangatlah penting untuk seorang hakim untuk menggali nilai-nilai keadilan dimasyarakat, karena hakim harus melihat akibat yang ditimbulkan dalam perkara yang dihadapi, jika dampak yang dilakukan oleh terdakwa sangat besar yang dimana dalam pengaturannya juga memuat pidana minimum, maka hakim harus melakukan langkah jeli untuk menghukum pelaku dengan berat dan tidak menjatuhkan pidana di bawah minimum. 7 6
https://zulfanlaw.wordpress.com/dasarpertimbangan-hakim/ diakses pada tanggal 6 juni 2016. 7 Wawancara dengan Jaksa Alingga Putra, di Kejaksaan Negeri Metro, Tanggal 04 Mei 2016, Pukul 11.00 WIB
Namun dalam perkara kesusilaan dalam kasus yang dibahas, dimana faktorfaktor yang melingkupi pelaku seperti motif pelaku yang dilakukan atas dasar suka sama suka dan saling mencintai, maka hakim dapat melakukan tindakan yang dimana hakim tidak mengikuti undang-undang dan melakukan terobosan hukum berdasarkan fakta dalam persidangan agar tercapainya sebuah keadilan bagi siapapun dalam putusannya. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi hakim dalam membuat putusannya, dibagi menjadi faktor subjektif dan faktor objektif. Faktor subjektif meliputi:8 1. Sikap prilaku apriori, yakni adanya sikap hakim yang sejak semula sudah menganggap bahwa terdakwa yang diperiksa dan diadili adalah orang yang memang bersalah dan harus dipidana. 2. Sikap perilaku emosional, yakni putusan pengadilan akan dipengaruhi oleh perangaihakim. Hakim yang mempunyai perangai mudah tersinggung akan berbeda dengan perangai hakim yang tidak mudah tersinggung. 3. Sikap arrogance power, yakni sikap lain yang mempengaruhi suatu putusan adalah “kecongkakkan kekuasaan”, disini hakim merasa dirinya berkuasa dan pintar, melebihi orang lain (jaksa, pembela, ataupun terdakwa). 4. Moral, yakni moral seorang hakim karena bagaimanapun juga pribadi seorang hakim diliputi oleh tingkah laku yang didasari oleh moral pribadi hakim tersebut dalam
8
Yahya Harahap, sebagaimana dikutip M. Syamsudin, 2012, Konstruksi Baru Budaya Hukum Hakim Berbasis Hukum Progresif, Kencana, Jakarta, hlm 93.
memeriksa serta memutuskan suatu perkara. Faktor objektif meliputi : 1. Latar belakang budaya, yakni kebudayaan, agama, pendidikan seseorang tentu ikut mempengaruhi putusan hakim. Meskipun latar belakang hidup budaya tidak bersifat determinis, tetapi faktor ini setidaknya ikut mempengaruhi hakim dalam mengambil suatu keputusan. 2. Profesionalisme, yakni kecerdasan serta profesionalisme seorang hakim ikut mempengaruhi putusannya. Perbedaan suatu putusan sering dipengaruhi oleh profesionalisme hakim tersebut. Peraturan hukum menggariskan hakim tidak boleh menilai hal-hal lain kecuali faktor yang telah ditetapkan dalam undang-undang. Namun kenyataan menunjukan bahwa, proses hakim dalam memutuskan perkara, seringkali terpengaruh oleh fakor-faktor non hukum, seperti sifat kepribadian hakim, penampilan terdakwa, dan diri sendiri korban. Erna Dewi menyatakan, seorang hakim harus melihat dari undang-undang sebagai pedoman pemidanaan. Dan seorang hakim juga harus melihat dari segi teori keadilan, apakah putusan yang diambil seorang hakim sudah cukup adil bagi semua pihak dan terutama bagi masyarakat. Karena seorang hakim dalam memutus suatu perkara harus mempertimbangkan dari segi teori manfaat pemidanaan.9
9
Wawancara dengan Dosen Erna Dewi, Akademisi Fakultas Hukum Unversitas Lampung Bagian Hukum Pidana, Tanggal 10 Mei 2016, Pukul 11.30 WIB
Terdapat hasil penelitian yang menunjukan bahwa hakim yang bersifat otoriter akan menjatuhkan hukuman yang lebih berat daripada hakim yang tidak bersifat otoriter. Penampilan terdakwa diruang sidang, seperti gaya berbicara, postur duduk dan berdiri, cara berpakaian akan ikut berpengaruh pada putusan hakim yang dijatuhkan. Beberapa faktor yang berpengaruh terhadap putusan hakim dapat 10 diklasifikasi menjadi : 1. Faktor Hakim Beberapa hal yang ada dalam diri hakim yang berpengaruh dalam pembuatan putusan, meliputi : a. kemampuan berpikir logis b. kepribadian c. jenis kelamin d. usia e. pengalaman kerja. 2. Faktor Terdakwa Terdakwa juga dapat memberikan pengaruh terhadap putusan hakim. Pengaruh yang diberikan dapat dibedakan menjadi karakteristik terdakwa dan keterangan terdakwa. 3. Faktor Saksi Saksi dapat pula mempengaruhi hakim dalam memutuskan perkara di pengadilan. Hakim dan juri menaruh kepercayaan 90% terhadap kesaksian. 4. Faktor Jaksa Penuntut Umum Besarnya tuntutan jaksa mempengaruhi sebagian hakim dalam menentukan pemidanaan. Dalam memutuskan pemidanaan hakim akan menggunakan pasal yang didakwakan jaksa dan kebebasan hakim. Pada kenyataannya masih terdapat hakim dalam memutuskan pemidanaan menggunakan tuntutan jaksa
penuntut umum sebagai acuan mutlak. 5. Faktor Pengacara dan Advokat Pengacara yang menarik dapat memberikan pengaruh yang besar dalam proses persidangan, karena ia dapat berperan sebagai komunikator yang persuasif terhadap hakim. 6. Faktor Masyarakat Faktor masyarakat yang dapat mempengaruhi putusan hakim dapat berupa opini publik dan budaya masyarakat. Opini publik biasanya terbentuk dalam pemuatan kasus yang sedang dilakukan pemeriksaan melalui media televisi, radio, surat kabar, dan sebagainya. Juga dengan budaya masyarakat akan sangat berpengaruh untuk pembuatan putusan oleh hakim. Agus Sapuan Amijaya menyatakan penjatuhan pidana di bawah minimum lebih ditekankan kepada asas keadilan, manfaat pemidanaan, dan fakta-fakta yang ada dalam persidangan. Dalam menjatuhkan pidana pidana di bawah minimum yang ditentukan undangundang, seorang hakim memiliki beberapa pertimbangan-pertimbangan sebelum membuat putusannya. Beberapa pertimbangan tersebut antara lain ikut andilnya korban dalam kejadian perkara, perbuatan didasari atas suka sama suka, dan pihak keluarga dari korban sudah memaafkan.11 Berdasarkan uraian diatas, penulis berpendapat, segala aspek dalam persidangan harus diperhatikan demi mewujudkan suatu keadilan yang benarbenar diharapkan oleh masyarakat, meskipun keadilan sifatnya relatif karena berbeda dari sudut pandang satu 11
10
Ibid, hlm 96
Wawancara dengan Hakim Agus Sapuan Amijaya, di Pengadilan Negeri Metro, Tanggal 28 April 2016, Pukul 10.00 WIB
dengan yang lainnya.Juga dalam putusan hakim harus mengandung tiga aspek, yaitu yuridis, filosofis dan sosiologis sehingga keadilan yang ingin dicapai, diwujudkan, dan dipertanggungjawabkan dalam putusan hakim adalah keadilan yang berorientasi pada keadilan hukum, keadilan moral, dan keadilan masyarakat. Hakim berkewajiban mempertimbangkan hukum yang hidup dalam masyarakat, yang terdiri atas kebiasaan dan ketentuan hukum yang tidak tertulis. Hal ini harus dibedakan rasa keadilan menurut individu, kelompok, dan masyarakat. Selain itu keadilan dari suatu masyarakat tertentu belum tentu sama dengan keadilan masyarakat tertentu lainnya. Jadi dalam pertimbangan putusannya, hakim harus mampu menggambarkan hal itu semua, manakala hakim memilih asas keadilan, misalnya, sebagai dasar untuk menjatuhkan putusan. B. Keadilan Masyarakat Dalam Perkara No.107/Pid.sus/2015/PN. MET Hakim sebagai pelaku kekuasaan kehakiman merupakan pejabat publik yudisial dan karenanya hakim bukan jabatan dibidang eksekutif, sehingga hakim dalam melaksakan kekuasaan kehakiman adalah bersifat merdeka, terlepas dari kekuasaan pemerintah maupun intervensi darimana pun dan siapa pun. Hakim sebagai salah satu penegak hukum dalam melaksanakan kekuasaan kehakiman tidak dapat serta merta berbuat semaunya tanpa mendasarkan pada peraturan perundang-undangan yang berlaku yang memberikan kewenangan dan menuntun hakim dalam melaksana-
kan tugas yudisialnya, tetapi hakim sebagai aktor utama dalam proses keadilan dituntut mempunyai profesionalisme dalam menegakan hukum dan keadilan. Sehinggga dalam melaksanakan tugas yudisialnya hakim harus dapat mempertanggungjawabkan kepada Tuhan YME maupun kepada masyarakat.12 Asas legalitas, yakni tiada pidana tanpa undang-undang, jika dikaitkan dengan kebebasan hakim, maka dapat dikatakan bawasanya kebebasan hakim tdakla mutlak. Hal ini dikarenakan hakim tidak dapat menjatuhkan pidana kepada seseorang atau pelaku pidana atas perbuatan yang telah dilakukannya, bila ancaman pidana atau sanksi pidana yang diancamkan terhadap perbuatan dari si pelaku tersebut belum diatur dalam suatu undnagundang.13 Dapat pula dikatakan bahwa hakim tidak boleh menjatuhkan pidana selain dari yang telah ditentukan dalam ketentuan undang-undang. Hakim tidak dapat menjatuhkan pidana di bawah minimum ancaman pidana yang telah ditentukan oleh undang-undang. Apabila hal ini dilakukan oleh hakim maka dapat dianggap hakim tersebut telah melakukan kesewenang-wenangan, dan tindakan hakim tersebut telah bertentangan dengan kepastian hukum yang terkandung dalam undang-undang itu sendiri. 12
Supandi, 2010, Lembaga Peradilan, Kualitas Profesionalisme dalam Proses Pembaruan Dan Konsekuensi Terhadap Pencederaan Etika Profesi, Varia Peradilan Majalah Hukum Tahun XXV No. 298 September, IKAHI, Jakarta, hlm.36. 13 Eddy O.S. Hiariej, 2009, Asas legalitas dan Penemuan Hukum dalam Hukum Pidana, Jakarta, Erlangga, hlm 27.
Hakim dalam memeriksa perkara secara kasuistis, selalu dihadapakan pada tiga asas yaitu, asas kepastian hukum, asas keadilan dan asas kemanfaatan. Sebagaimana menurut Sudikno Mertokusumo, ketiga asas tersebut harus dilaksanakan secara kompromi, yaitu dengan cara menerapkan ketiganya secara berimbang atau proposional.14 Agus Sapuan Amijaya menyatakan, sangat sulit bagi seorang hakim mengakomodir atau menerapkan ketiga asas tersebut didalam satu putusan atau satu perkara. Dalam menghadapi keadaan seperti ini, hakim harus memilih salah satu dari ketiga asas tersebut untuk memutus suatu perkara dan tidak mungkin ketiga asas tersebut tercakup semua dalam satu putusan.15 Asas keseimbangan berkaitan dengan asas keadilan, keseimbangan disini adalah keseimbangan antara tingkat kesalahan pelaku pidana dan hukuman yang diterimanya. Jika terjadi kesenjangan antara hukuman yang didapat dan perbuatan yang dilakukannnya, maka putusan hakim tersebut jauh dari rasa keadilan yang diharapkan. Erna Dewi menyatakan, dalam perkara ini hakim sangat tidak tepat dalam penjatuhan pidana di bawah minimum, karena dilihat dari segi korban yang masih anak dibawah umur, dan dilihat juga dari teori manfaat pemidanaan yang terdapat pada Pasal 55 konsep KUHP. Seharusnya hakim memperberat 14
Sudikno Mertokusumo dan A. Pitlo, op cit., hlm 2. 15 Wawancara dengan Hakim Agus Sapuan Amijaya, di Pengadilan Negeri Metro, Tanggal 28 April 2016, Pukul 10.00 WIB
hukuman tersebut mengingat korban yang masih anak dibawah umur dan sangat merugikan masa depan korban16. Dan Alingga Putra pun sependapat, putusan hakim tersebut sangat tidak sesuai, karena tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Alingga berpendapat karena sudah jelas ada undang-undang yang memberikan batas minimum penjatuhan pidana. Apa lagi status korban yang masih dibawah umur yang seharusnya dilindungi dan masih mempunyai masa depan 17 sebagai penerus bangsa. Ada kelemahan dengan adanya sistem pidana minimum jika ketentuan tersebut tidak mengakomodir kondisi-kondisi khusus pada masyarakat tertentu. Maka tidak jarang hakim memutus pidana di bawah minimum karena kondisi kasuistis yang tidak sesuai dengan ketentuan normatifnya dalam hal ini peraturan perundang-undangannya. Sehingga hakim harus melakukan sebuah terobosan hukum untuk hal tersebut. Amanat Pasal 5 Ayat (1) Undang-Undang Kekuasaan hakim mengharapkan adanya hakim yang cerdas. Seorang hakim harus melihat kondisi dan tidak boleh menyamakan semuanya secara umum dan harus melihat kasuistisnya. Sehingga antara satu kasus dan kasus lainnya walaupun terlihat sama ia tidak boleh menyamakan16
Wawancara dengan Dosen Erna Dewi, Akademisi Fakultas Hukum Unversitas Lampung Bagian Hukum Pidana, Tanggal 10 Mei 2016, Pukul 11.30 WIB 17 Wawancara dengan Jaksa Alingga Putra, di Kejaksaan Negeri Metro, Tanggal 04 Mei 2016, Pukul 11.00 WIB
nya. Karena jika seorang hakim menjatuhkan putusan di bawah minimum sudah jelas hakim tersebut condong memihak ke asas keadilan dan bukan asas kepastian hukum. Berdasarkan uraian diatas, terhadap pandangan-pandangan tersebut, penulis, dosen dan jaksa yang diwawancarai, condong memihak kepada yang kontra. Bahwa hakim harus melihat peraturan perundangundangan sebagai acuan atau pedoman dalam penjatuhan pidana, jika dilihat dari segi kepastian hukum maka tidaklah sesuai. Kalau hakim dalam penjatuhan putusan lebih dekat mengarah kepada keadilan, maka secara otomatis pula hakim akan menjauhi titik kepastian hukum. Dengan suatu pertimbangan yang bernalar, seorang hakim akan menentukan kapan dirinya berada di titik kepastian hukum dan kapan harus berada di titik keadilan. III. PENUTUP A. Simpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan maka dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. Dasar pertimbangan hakim dalam penjatuhkan pidana di bawah minimum terhadap pelaku tindak pidana kesusilaan pada perkara No. 107/Pid.Sus/2015/PN.MET lebih ditekankan kepada asas keadilan dan fakta-fakta dalam persidangan. Segala aspek dalam persidangan harus diperhatikan mulai dari aspek yuridis dan non yuridis demi mewujudkan suatu keadilan yang benar-benar diharapkan oleh masyarakat, meskipun keadilan sifatnya realatif karena berbeda dari
sudut pandang satu dengan yang lainnya. Juga dalam putusan hakim harus mengandung tiga aspek yuridis, filosofis, dan sosiologis sehingga keadilan yang ingin dicapai, diwujudkan dan dipertanggungjawabkandalam putusan hakim adalah keadilan yang berorientasi pada keadilan hukum, keadilan moral dan keadilan masyarakat. 2. Putusan hakim dalam perkara No. 107/Pid.Sus/2015/PN.MET belum sesuai dengan rasa keadilan, bahwa hakim dapat menjatuhkan pidana di bawah minimum berdasarkan adanya asas keadilan dan fakta keseimbangan antara tingkat kesalahan pelaku dan keadaan yang melingkupinya karena hakim yang menjatuhkan putusan lebih dekat kepada asas kepastian hukum, maka secara otomatis hakim akan menjauh dari titik keadilan. Sebaliknya kalau hakim menjatuhkan putusan lebih dekat mengarah kepada keadilan, maka secara otomatis pula hakim akan menjauhi titik kepastian hukum. Dengan suatu pertimbangan yang bernalar, seorang hakim akan menentukan kapan dirinya berada di dekat titik kepastian hukum dan kapan harus berada di dekat titik keadilan. B. Saran Berdasarkan simpulan, maka saran yang dapat penulis sampaikan adalah: 1. Hakim disarankan untuk penjatuhan pidana terhadap pelaku tindak pidana kesusilaan sesuai dengan tuntutan yang disampaikan oleh Jaksa Penuntut Umum, karena pada dasarnya tuntutan tersebut bertujuan untuk memberikan perlindungan dan keadilan bagi anak sebagai korban tindak asusila sesuai dengan asas
legalitas. Meskipun kebebasan hakim dalam menjatuhkan putusan dilindungi undang-undang, namun hendaknya putusan selaras dengan tuntutan JPU, sehingga tidak menjadi yurisprudensi bagi hakim lainnya dalam menjatuhkan pidana minimal kepada pelaku tindak pidana kesusilaan. 2. Setiap pelaku tindak pidana kesusilaan terhadap anak seharusnya dihukum dengan hukuman yang maksimal, sehingga memberikan efek jera kepada pelaku dan sebagai pembelajaran bagi pihak lain. Orang tua dan masyarakat luas pada umumnya, hendaknya semakin meningkatkan pengawasan dan kontrol terhadap lingkungan dan tempat bermain anak di bawah umur, hal ini penting dilakukan guna mengantisipasi potensi terjadinya tindak pidana kesusilaan yang mengancam anak dibawah umur. Kepada tokoh agama dan tokoh masyarakat hendaknya semakin intensif melakukan pembinaan kepada warga masyarakat untuk dapat meminimalisasi potensi terjadinya tindak pidana kesusilaan yang mungkin dapat terjadi di lingkungan masyarakat setempat.
Hiariej, Eddy O.S. 2009, Asas Legalitas dan Penemuan Hukum dalam Hukum Pidana, Jakarta: Erlangga. Mahkamah Agung RI, Pedoman Perilaku Hakim (Code Of Conduct), Kode Etik Hakim dan Makalah berkaitan, Pusdiklat MA RI, Jakarta, 2006,hlm2. Soekanto. 1986. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: Rineka Cipta. Supandi. 2010.Lembaga Peradilan, Kualitas Profesionalisme dalam Proses Pembaruan Dan Konsekuensi Terhadap Pencederaan Etika Profesi, Varia Peradilan Majalah Hukum Tahun XXV No. 298 September.Jakarta: IKAHI. Wawancara dengan Dosen Erna Dewi, Akademisi Fakultas Hukum Unversitas Lampung Bagian Hukum Pidana, Tanggal 10 Mei 2016, Pukul 11.30 WIB Wawancara dengan Dosen Erna Dewi, Akademisi Fakultas Hukum Unversitas Lampung Bagian Hukum Pidana, Tanggal 10 Mei 2016, Pukul 11.30 WIB
DAFTAR PUSTAKA Affandi, Wahyu. 2011. Hakim dan Penegakan Hukum. Bandung: Alumni. Arivia, Gadis. 2005. Potret Buram Eksploitasi Kekerasan Seksual pada Anak. Jakarta: Ford Foundation.
Wawancara dengan Jaksa Alingga Putra, di Kejaksaan Negeri Metro, Tanggal 04 Mei 2016, Pukul 11.00 WIB https://zulfanlaw.wordpress.com Email :
[email protected] No. HP.: 085783791327
Harahap, Yahya, dikutip M. Syamsudin. 2012. Konstruksi Baru Budaya Hukum Hakim Berbasis Hukum Progresif. Jakarta:Kencana.